A. Hasil Penelitian
2. Analisa Univariat
Analisa univariat digunakan untuk menjelaskan dan mendeskripsikan
karakteristik setiap variable penelitian. Peneitian ini dilakukan terhadap 16
orang anak yang menjalani hositalisasi di Rumah Sakit Umum Daerah
Surakarta Ruang Anggrek. Adapun hasil analisa univariat sebagai berikut:
a. Karakteristik Responden
4. Analisa Bivariat
Analisa bivariat digunakan untuk mengetahui tingkat kecemasan anak usia
sekolah yang mengalami hipotalisasi dan pengaruh terapi bermain felt
puppets terhadap tingkat kecemasan anak usia sekola yang mengalami
hospitalisasi di RSUD Surakarta menggunakan uji paired sample t-test, hal
ini disebabkan data penelitian ternyaa terbukti normal sebagaimana
ditampilkan pada table berikut :
a. Tingkat Kecemasan anak
Gambaran tingkat kecemasan responden sebelum da sesudah
pemberian terapi bermain hopitaisasi sebagai berikut :
Hasil uji paired sample t-test nilai thitung sebasar 11,338 dengan nilai
signifikasi (pv) sebesar 0,000. Nilai signifikasi penelitian p-v lebih kecil
dari 0,005 (0,000 < 0,05) maka keputusan uji adalah H0 ditolak yang
bermakna terdapat perbedaan pre test dan post test kecemasan.
Selanjutnya berdasarkan nilai rata-rata pre test dan post test kecemasan
menunjukkan baha terjadi penurunan niali rata-rata kecemasan pre test ke
post test, nilai ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh terapi bermain
felt puppets terhadap kecemasan anak usia sekola yag menjalani
hospitalisasi di RSUD Surakarta.
B. Pembahasan
1. Karakteristik Responden
Distribusi karakteristik responden menunjukkan bahwa sebagian besar
responden berumur 8 tahun (35%). Hospitalisasi adalah keadaan yang
mengharuskan anak untuk dirawat dirumah sakit karena keadaan tertentu.
Dampak hospitalisasi akan menimbulkan reaksi psikologis pada anak
berupa kecemasan, disebabkan karena anak mengalami perasaan asing
dengan lingkungan sekitar dan asing dengan kondisi tubuhnya yang sakit.
Anak pada usia sekolah yang seharusnya mengalami masa bermain dan
mengeksplorasi lingkungan, diharuskan tidur dan penuh dengan ayuran-
aturan yang kadang membuat dirinya tidak nyaman. Kondisi inilah yang
berdampak pada timbulnya kecemasan pada anak usia sekolah yang
mengalami hospitalisasi (Wong,2008). Kecemasan akan mnyebabkan anak
menjadi tidak kooperatif dan suit diajak berkomunikasi. Anak akan
cenderug rewel dan menolah perawatan dan pengobataan, sehingga akan
mempersulit tenaga kesehatan dalam memberikan perawatan dan
pengobatan. Hal tersebut akan berdampak nyata pada lamanya hari rawat,
proses pengobatan dan perawatan pada anak (Wong,2008). Anak usia
sekolah berada pada fase perkembangan, dimana anak akan aktif
mendengarkan dan meningkatkan kemampuannya. Hospitalisasi pada anak
usia sekolah dapat menimbulkan perubahan perilaku, pernyataan dan
reaksi terhadap kesemasan (Lerwick.2013).
Karakteristik jenis kelamin responden adalah seimbang atau sama.
Secara teori anak perempuan memiliki resiko kecemasan lebih tinggi
dibandingkan anak laki-laki, karena anak perempuan lebih sensitive
terhadap permasalahan, sehingga mekanisme koping perempuan kurang
baik. Sedangkan anak laki-laki cenderung lebih aktif dan eksploratif
(Sa,idah,1014).
Sebagian besar respondeh pernah atau memiliki pengalaman dirawat di
rumah sakit (65%). Pengalaman anak sebelumnya bias mengurangi
kecemasan. Sesuai dengan teori Wilson (2009), bahwa anak-anak sangat
rentan untuk mengalami krisis akibat sakit akibat dirawat di rumah sakit.
Krisis tersebut disebabkan oleh stress karena peruahan status kesehatan
loingkungan sehari-hari, serta keterbatan mekanisme koping terhadap
stressor yang dimiliki. Resiko terhadap kris-krisi tersbut akan dipenaruhi
oelh usia perkembangan anak, pengalamhan penyakit anak sebelumnya,
kemampuan koping yanga anak miliki atau dapatkan, keparahan penyakit
dan ketersediaan system pendukung (Hockenberry & Wilson, 2009).
Penelitian Tsai (2007) menyebutkan bahwa anak yang memiliki
pangalaman menjalani hopitalisasi memiliki tingkat kecemasan lebi
rendah dibandingkan anak yang belum pernah memiliki pengalaman
hospitalisasi. Pada anak yang memiliki pengalaman hospitalisasi lebih
mudah beradaptasi dengan lingkungan di rumah sakit dan juga tindakan
keperawatan yang akan didapatkan. Anak yang pernah dirawat di rumah
sakit akan merasa lebih terbiasa dibandingkan dengan yang baru pertama
kali dirawat. Tetapi tidak semua anak yang sudah pernah dirawat tidak
mengalami kecemasan. Hal ini dapat disebabkan oleh beberaa hal seperti
cara tenaga kesehatan melakukan pendekatan, sikap perawat pada anak
mendapatkan tindakan atau prosedur mesdis. Jika pengalaman pernah
dirawat yang lalu buruk maka anak justru akan mengalami kecemasan
yang lebih buruk dibandingakan dengan anak yang baru akan dirawat
(Tjahjono,2014).
Menurut enlitisn Mustika, dkk (2013) menyatakan bahwa saat di
rumah sakit anak lebih banyak ditemani oleh obunya. Peran ibu lebih besar
dalam keluarga terutama untuk mengasuh anak, membuktikan bahwa
kehadiran ibu akan memberikan rasa nyaman pada anak saat dirawat di
rumah sakit. Ibu memiliki sikap yang positif terhadap anak yang sedang
dirawat. Ibu bias memenuhi ebutuhan anak secara fisik maupun psikologis
sehingga membuat anak bersikap positif terhadap kegiatan keperawatan
sehingga membuat anak bersikap psitif terhadap kegiatan keperawatan
yang sedang dijalani anak. Konsep maternal attainment yang
dikemukakan Mercer dalam Themoy dan Alligood tahun 2006
menyatakan bahwa ibu lebih mengerti karakter anak dan memberikan
dukungan social yang lebih baik bagi anak sehingga bisa mendapatkaan
pola asuh yang sesuai sehingga membuat anak merasa nyaman
(Abdulbaki.2011).
Kenyaman menurut teori comfort meliputi rasa nyaman secara fisik,
psikoogis, sosiokultural daan lingkungan. Rasa nyaman merupakan
kebutuhan bagi anak maupun orang tua dan untuk memenuhinya
diperlukan bantuan dari keperawtan (Kolcaba,2010). Dukungan orang tua
yang tinggi juga akan meningkatkan harga diri, kemampuan control diri
dan kemampuan instrumental anak. Seingga dengan peningkatan
keampuan tersebut diharapkan akan meningkatkan kemampuan koping
anak dalam enghadapi berbagai kecemasan yang dihadapinya saat
hospitalisasi. Dengan kemampuan koping tersebut maka tingkat
kecemasan anak yang dialaminya ketika dirawat dapat diminimalisir
(Putranti dan Susilahningsih,2016).
Pengalaman hospitalisasi lebih mudah diterima oleh anak-anak usia
sekolah yang sudah mempunyai kontak dengan lingkungan luar daripada
anak-anak yang tidak pernah terpisah dari orang tuanya. Anak pada usia
inisydah adapat berfikir konkrit dan mereka lebih dapat memahami
keadaannya pada saat hospitalisasi. Penjelasan tentang prosedir yang
dilakukan harus diberikan secara realistic, karena anak usia sekolah tdak
dapat memahami penjelasan secara abstrak.