Anda di halaman 1dari 93

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN


SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
TANGERANG SELATAN

LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN

TINJAUAN TERHADAP PENETAPAN NILAI PABEANBERDASARKAN


NILAI TRANSAKSI DI KANTORPENGAWASAN DAN PELAYANAN BEA DAN
CUKAI TIPE MADYA PABEAN TANJUNG PERAK

Diajukan oleh:
Yafie Lucky Sukmana
NPM: 103040002352

Mahasiswa Program Diploma III Keuangan


Spesialisasi Kepabeanan dan Cukai

Untuk memenuhi sebagian dari syarat-syarat


Dinyatakan Lulus Program Diploma III Keuangan
Tahun 2013
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
TANGERANG SELATAN

PERSETUJUAN
LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN

NAMA : YAFIE LUCKY SUKMANA


NOMOR POKOK MAHASISWA : 103040002352
PROGRAM DIPLOMA III : KEPABEANAN DAN CUKAI
KEUANGAN SPESIALISASI
BIDANG STUDI : KEPABEANAN
JUDUL LAPORAN : TINJAUAN TERHADAP PENETAPAN NILAI
PABEAN BERDASARKAN NILAI
TRANSAKSI DI KANTOR PENGAWASAN
DAN PELAYANAN BEA DAN CUKAI TIPE
MADYA PABEAN TANJUNG PERAK

Mengetahui Menyetujui
Menyetujui
Kepala Bidang Akademis Dosen Pembimbing
Pendidikan Ajun Akuntan

Fadlil Usman, Ak., M. Acc. Hanik Rustiningsih, S.T., M.M.


NIP 196210101983021001 NIP 197003051996032001

ii
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
TANGERANG SELATAN

PERNYATAAN KEASLIAN LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN

NAMA : YAFIE LUCKY SUKMANA


NOMOR POKOK MAHASISWA : 103040002352
PROGRAM DIPLOMA III : KEPABEANAN DAN CUKAI
KEUANGAN SPESIALISASI
BIDANG STUDI : KEPABEANAN
JUDUL LAPORAN : TINJAUAN TERHADAP PENETAPAN NILAI
PABEAN BERDASARKAN NILAI
TRANSAKSI DI KANTOR PENGAWASAN
DAN PELAYANAN BEA DAN CUKAI TIPE
MADYA PABEAN TANJUNG PERAK

Dengan ini menyatakan bahwa sesungguhnya Laporan Praktik Kerja Lapangan ini
adalah hasil tulisan saya sendiri dan atau tidak terdapat bagian atau keseluruhan tulisan
yang saya salin atau tiru tanpa memberikan pengakuan pada penulis aslinya. Bila terbukti
saya melakukan tindakan plagiarisme, saya siap dinyatakan tidak lulus dan dicabut gelar
yang telah diberikan.
Tanggerang Selatan, Agustus 2013
Yang memberi peryataan

Yafie Lucky Sukmana

iii
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
TANGERANG SELATAN

PERYATAAN LULUS DARI TIM PENILAI


LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN

NAMA : YAFIE LUCKY SUKMANA


NOMOR POKOK MAHASISWA : 103040002352
PROGRAM DIPLOMA III : KEPABEANAN DAN CUKAI
KEUANGAN SPESIALISASI
BIDANG STUDI : KEPABEANAN
JUDUL LAPORAN : TINJAUAN TERHADAP PENETAPAN NILAI
PABEAN BERDASARKAN NILAI
TRANSAKSI DI KANTOR PENGAWASAN
DAN PELAYANAN BEA DAN CUKAI TIPE
MADYA PABEAN TANJUNG PERAK
Tanggerang Selatan, 2013

1. (Penilai I/Pembimbing Laporan PKL)


Hanik Rustiningsih, S.T., M.M.
NIP 197003051996032001

2. (Penilai II)
Marlinah, SE. Ak, M. Ak.
NIP 196911061996032001

iv
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
hidayahNya sehingga penulis mampu menyelsaikan Laporan Praktik Kerja Lapangan ini.
Shalawat serta salam tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat,
dan orang-orang yang senantiasa berjuang di jalan Allah.semoga di hari akhir kelak kita
mendapatkan izin dari beliau untuk masuk ke surga Allah. Amin.
Laporan Praktik Kerja Lapangan yang berjudul “TINJAUAN TERHADAP
PENETAPAN NILAI PABEAN BERDASARKAN NILAI TRANSAKSI DI
KANTOR PENGAWASAN DAN PELAYANAN BEA DAN CUKAI TIPE MADYA
PABEAN TANJUNG PERAK” ini dikerjakan demi memenuhi sebagian dari syarat-
syarat dinyatakan lulus dari pendidikan Program Diploma III Keuangan Spesialisasi
Kepabeanan dan Cukai Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Penulis menyadari bahwa
tugas akhir ini bukanlah tujuan akhir dari belajar karena belajar adalah sesuatu yang tidak
terbatas.
Selama penyusunan Laporan Praktik Kerja Lapangan ini, tentunya tak lepas dari
dorongan dan uluran tangan berbagai pihak. Oleh karena itu, tak salah kiranya bila
penulis mengungkapkan rasa terima kasih dan penghargaan kepada:
1. Mama (Luluk Abidah), Ayah (Yusuf), Adik (Nur Aidah Lucky Yusuf), serta keluarga
besar yang selalu mendoakan dan memberikan semangat kepada penulis;
2. Bapak Kusmanadji, Ak., MBA. Selaku Direktur Sekolah Tinggi Akuntansi Negara;
3. Bapak Agus Hermawan selaku Kepala Pusdiklat Bea dan Cukai;
4. Bapak Fadlil Usman AK.,M.Acc. selaku Kepala Bidang Akademis PendidikanAjun
Akuntan;
5. Ibu Hanik Rustiningsih, S.T., M.M. selaku dosen pembimbing selama penulisan
Laporan Praktik Kerja Lapangan ini;
6. Marlinah, SE. Ak, M. Ak. selaku penilai II dalam Laporan Praktik Kerja Lapangan ini;

v
7. Bapak Ircham Habib, S.Si, M.Si. selaku Kepala Kantor KPPBC Tipe Madya Pabean
Tanjung Perak beserta seluruh pejabat dan pegawai atas segala bimbingan dan
bantuan selama penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan;
8. Para Widyaiswara dan dosen pengajar yang telah memberikan ilmu danpengalaman
selama penulis mengikuti pendidikan;
9. Teman-teman seperjuangan, mahasiswa Program Diploma III Kepabeanan dan Cukai
Angkatan XXVI;
10. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis dan tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu.
Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan ketulusan semua pihak yang telah
membantu menyelesaikan Laporan Praktik Kerja Lapangan ini dengan melimpahkan
rahmat dan karuniaNya.
Dan di akhir kata pengantar ini, penulis menyadari betul masih terdapat
kekurangan dalam penyusunan Laporan Praktik Kerja Lapangan ini. Oleh karenanya
dengan rendah hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca sebagai perbaikan dan untuk meningkatkan kemampuan penulis agar
menjadi pribadi yang lebih baik di kemudian hari.Semoga karya penelitian tugas
akhir ini dapat memberikan manfaat nyata dan kebaikan bagi Bangsa dan Negara
demi kemaslahatan bersama serta bernilai ibadah di hadapan Allah SWT. Amin.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Tanggerang Selatan, Agustus 2013

Penulis .

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .………………........................................................................... i


HALAMAN PERSETUJUAN LAPORAN PKL …………………............................. ii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN LAPORAN PRAKTIK KERJA
LAPANGAN ................................................................................................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN LULUS DARI TIM PENILAI ………………………. iv
KATA PENGANTAR …………………………………………….............................. v
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………. vii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………………. ix
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………………… x
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………………. xi
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………. 1
A. Latar Belakang …………………………………………………………………… 1
B. Tujuan Laporan Penulisan ……………………………………………………….. 4
C. Metode Pengumpulan Data ………………………………………………………. 5
D. Ruang Lingkup Pembahasan ……………………………………………………... 6
E. Sistematika Penulisan ……………………………………………………………. 6
BAB II DATA DAN FAKTA ………………………………………………………... 8
A. Data dan Fakta …………………………………………………………………… 8
1. Gambaran Umum KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak …………………. 8
2. Gambaran Umum Proses Penetapan Nilai Pabean Berdasarkan Nilai Transaksi di
KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak ……………………………………... 12
3. Data Atas Keberatan dan Banding atas Penetapan Nilai Pabean di KPPBC Tipe
Madya Pabean Tanjung Perak ……………………………………………………. 16
BAB III LANDASAN TEORI DAN PEMBAHASAN ……………………………... 22
A. Landasan Teori …………………………………………………………………… 22

vii
1. Dasar Hukum …………………………………………………………………….. 22
2. Pengertian Umum ………………………………………………………………... 22
3. Tata Cara Penetapan Nilai Pabean Berdasarkan Nilai Transaksi ………………... 24
B. Pembahasan ............................................................................................................. 37
1. Identifikasi dan Analisa atas Permasalahan yang Terjadi ……………………...… 37
2. Pemecahan Masalah ……………………………………………………………… 50
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………………… 56
A. Simpulan ................................................................................................................. 56
B. Saran ........................................................................................................................ 57
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 60
LAMPIRAN-LAMPIRAN

viii
DAFTAR TABEL

1. Tabel II.1
Komposisi Pegawai Berdasarkan Unit dan Eselon per Juni 2013 …………… 1
2. Tabel II.2 1
Komposisi Pegawai Berdasarkan Unit dan Golongan per Juni 2013 …...……
3. Tabel II.3 1
Data Permohonan Keberatan atas Penetapan Nilai Pabean di KPPBC Tipe 1
Madya Pabean Tanjung Perak pada tahun 2008-2012 ………………………..
4. Tabel II.4
Data Permohonan Keberatan atas Penetapan Nilai Pabean (dalam jumlah 1
rupiah) di KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak pada tahun 2008- 7
2012…………………........................................................................................
.......
5. Tabel III.5
Perkiraan Jumlah Permohonan Keberatan atas Penetapan Nilai Pabean di 1
KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak pada tahun 2013-2015 7
Berdasarkan Perhitungan Trend Linear Kuadrat Terkecil ……………………

3
9

ix
DAFTAR GAMBAR

1. Gambar II.1
Struktur Organisasi KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak ………........ 10
2. Gambar II.2
Data Base Nilai Pabean I …………………………………………………….. 14
3. Gambar II.3
Data Base Nilai Pabean II …...……………………………………………….. 15
4. Gambar II.4
Data Persentase Keputusan Keberatan atas Penetapan Nilai Pabean di
KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak Tahun 2012……………………. 18
5. Gambar II.5
Data Persentase Keputusan Banding atas Penetapan Nilai Pabean di KPPBC
Tipe Madya Pabean Tanjung Perak Tahun 2012 …………………………….. 20
6. Gambar III.6
Tata Cara Penelitian dan Penetapan Nilai Pabean Berdasarkan Nilai
Transaksi ……………………………………………………………………... 36
7. Gambar III.7
Data Statistik Keputusan Keberatan atas Penetapan Nilai Pabean di KPPBC
Tipe Madya Pabean Tanjung Perak Tahun 2008-2012……………………….. 37

x
DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN I : CONTOH PIB


LAMPIRAN II : CONTOH SSPCP
LAMPIRAN III : CONTOH INVOICE
LAMPIRAN IV : CONTOH PACKING LIST
LAMPIRAN V : CONTOH BILL OF LADING (B/L)
LAMPIRAN VI : CONTOH POLIS ASURANSI
LAMPIRAN VII : CONTOH SGS CERTIFICATE
LAMPIRAN VIII : CONTOH SALES CONTRACT
LAMPIRAN IX : CONTOH SALES CONTRACT (LANJUTAN)
LAMPIRAN X : CONTOH BUKTI TRANSFER
LAMPIRAN XI : CONTOH INP
LAMPIRAN XII : CONTOH DNP
LAMPIRAN XIII : CONTOH DNP (LANJUTAN)
LAMPIRAN XIV : CONTOH DNP (LANJUTAN)
LAMPIRAN XV : CONTOH SPTNP
LAMPIRAN XVI : CONTOH LPPNP
LAMPIRAN XVII : CONTOH SURAT PENETAPAN ATAS KEBERATAN
LAMPIRAN XVIII : CONTOH SURAT PEMBERITAHUAN PUTUSAN
PENGADILAN PAJAK
LAMPIRAN XIX : DAFTAR PERTANYAAN PADA PFPD

xi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan


Derasnya arus perkembangan perdagangan dan industri dalam era globalisasi
ekonomi dan perdagangan bebas saat ini menimbulkan tuntutan masyarakat agar
pemerintah dapat memberikan kepastian hukum dalam dunia usaha di dalam negeri.
Saat ini dimana batas antar negara semakin kabur serta adanya ketergantungan suatu
negara dengan negara-negara lain di sektor perdagangan dan industri menyebabkan
peran Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) semakin penting, karena daya saing
suatu produk untuk pasar internasional ditentukan oleh efisiensi dan efektifitas
pelayananan serta pengawasan DJBC.
DJBC yang merupakan instansi di bawah Kementerian Keuangan Republik
Indonesia sebagai kepanjangan tangan pemerintah di bidang kepabeanan dan cukai
mempunyai tugas untuk menjalankankan kebijaksanaan pemerintah berkaitan dengan
lalu lintas barang yang masuk dan keluar Daerah Pabean dan pemungutan bea masuk
dan cukai serta pungutan negara lainnya berdasarkan peraturan perundangan yang
berlaku.
Fungsi Revenue Colector adalah salah satu fungsi dari DJBC sebagai fungsi
pengumpul sumber penerimaan negara diantara tiga fungsi lainnya yaitu Trade
Facilitator, Industrial Assistance, dan Community Protector. Disini DJBC dituntut
untuk melakukan fungsi Revenue Colectordengan baik pada sisi pelayanan maupun

1
2

pengawasannya. Ini dilakukan untuk mendukung tetap lancarnya perdagangan


internasional tanpa mengurangi atau mengidahkan unsur pengawasan yang harus built
in agar tercipta harmonisasi antara fungsi pelayanan dan pengawasan. Ini sejalan
dengan reformasi birokrasi yang sedang gencar dilaksanakan oleh Kementerian
Keuangan. DJBC sebagai bagian integral didalamnya turut berperan aktif untuk
melakukan perbaikan dan penyempurnaan baik dari sisi pelayanan maupun
pengawasan.
Fungsi Revenue Colector ini masih dirasa cukup penting dengan tanpa
mengurangi tingkat urgensi ketiga fungsi lainnya. Ini dapat dilihat dari fungsi
Revenue Colector berhubungan dengan ketiga fungsi lainnya. Misal pemberian
fasilitas pemasukan barang impor untuk diolah ke Kawasan Berikat dengan
mendapatkan penundaan pembayaran bea masuk sebagai bagian dari fungsi Trade
Facilitator. Disini dapat dilihat bahwa fungsi Trade Facilitator ini ada karena adanya
kepentingan atas Revenue Collector didalamnya.
Indonesia sebagai negara berkembang juga menjadi salah satu faktor utama
pentingnya fungsi Revenue Collector ini, karena masih dituntutnya instansi
pengumpul penerimaan pajak yang salah satunya DJBC. DJBC mengumpulkan pajak,
yang dalam hal ini bea masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) sebagai salah
satu sumber Alokasi Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang digunakan untuk
membiayai program-program pemerintah dengan tujuan akhir menyejahterakan
rakyat Indonesia.
Berkaitan dengan fungsi Revenue Colector, DJBC sudah melakukan standardisasi
dalam hal penetapan nilai pabean agar sama dengan ketentuan internasional yaitu
Agreement on Implementation of Article VII of GATT yang dituangkan pada pasal 15
Undang-Undang nomor 10 Tahun 1995 jo Undang-Undang nomor 17 Tahun 2006
tentang Kepabeanan. Ketentuan atas penetapan nilai pabean ini juga dijabarkan secara
lebih rinci pada Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean Untuk Perhitungan Bea Masuk. Ini dilakukan
3

sebagai upaya harmonisasi atas ketentuan penetapan nilai pabean dan tentunya
memberikan kepastian pada pengguna jasa atas ketentuan yang digunakan sebagai
dasar penetapan nilai pabean untuk perhitungan bea masuk.
Pejabat Fungsional Pemeriksa Dokumen (PFPD) sebagai orang terdepan di DJBC
dalam menentukan tarif dan nilai pabean sebagai dasar perhitungan bea masuk
memiliki peran yang sangat sentral sebagai penentu besaran penerimaan negara dari
sektor bea masuk dan PDRI. Oleh karenanya kinerja PFPD dituntut untuk tepat dan
cermat sekaligus cepat sebagai bagian dari perbaikan pelayanan terhadap pengguna
jasa ditengah derasnya arus importasi ke dalam Daerah Pabean. Dengan adanya
keadaan seperti ini, maka tidak jarang terjadi banyak keluhan dari pengguna jasa atas
penetapan nilai pabean dari PFPD berupa keberatan ke Kantor Wilayah Bea dan
Cukai maupun banding ke Pengadilan Pajak. Saat di Pengadilan Pajak, banyak kasus
dimana DJBC kalah karena kurangnya dasar yang kuat dalam penetapan nilai pabean.
Penulis memiliki pemikiran bahwa sebenarnya banyak masalah terjadi saat
penetapan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi. Ini mengingat banyak
importir/kuasanya mengajukan keberatan dan/atau banding dikarenakan nilai atas
barang pada invoice tidak dapat diterima oleh PFPD sebagai harga yang sebenarnya
atau seharusnya dibayar. Dan dapat dimungkinkan terjadi hambatan-hambatan atas
pelaksanaan penetapan nilai pabean berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 160/PMK.04/2010. Menurut penulis, hambatan-hambatan
ini tentunya menodai reformasi birokrasi DJBC untuk menjadi instansi pemerintah
yang good governance dan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Dimana
penerimaan negara dari sektor Bea Masuk dan PDRI merupakan salah satu indikator
yang mudah dilihat oleh masyarakat umum.
Berdasarkan uraian singkat di atas, penulis bermaksud untuk melakukan kajian
serta analisis terhadap hambatan-hambatan yang terjadi di lapangan terkait dengan
pelaksanaan penetapan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi yang dilakukan di
KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak, sehingga penulis tertarik menyusun
4

Laporan Praktik Kerja Lapangan yang berjudul “TINJAUAN TERHADAP


PENETAPAN NILAI PABEAN BERDASARKAN NILAI TRANSAKSI DI
KANTOR PENGAWASAN DAN PELAYANAN BEA DAN CUKAI TIPE
MADYA PABEAN TANJUNG PERAK”

B. Tujuan Penulisan Laporan


Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penyusunan laporan Praktik
KerjaLapangan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk Mengetahui dan memahami secara lebih mendalam mekanisme penetapan
nilai pabean berdasarkan nilai transaksi dan hal-hal yang terkait pada Kantor
Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Tanjung Perak;
2. Untuk mencocokkan/membandingkan antara teori dan yang diperoleh selama
mengikuti perkuliahan dengan praktik yang terjadi di lapangan, khususnya di
Kantor Pengawasan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Tanjung Perak;
3. Untuk mengidentifikasi hambatan dan masalah yang dihadapi Bea Cukai
berkenaan dengan mekanisme penetapan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi
pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean
Tanjung Perak;
4. Untuk mengembangkan potensi dan kemampuan menganalisis penulis atas
kendala-kendala yang timbul di lapangan sekaligus memberi pemecahan dan
saran atas permasalahan yang terjadi;
5. Untuk memperoleh pengetahuan baru sebagai bekal untuk memasuki dunia kerja.

C. Metode Pengumpulan Data


Dalam penyusunan laporan Praktik Kerja Lapangan nanti, penulis berencana
metode pengumpulan data sebagai berikut:
1. Studi Kepustakaan
5

Metode ini ditempuh oleh penulis sebagai dasar acuan teori dan pembelajaran
terhadap data dan fakta dari rumusan permasalahan yang akan dibahas dan dikaji oleh
penulis. Dasar acuan teori yang dimaksud dapat diperoleh dari Undang-undang,
Peraturan Menteri, Peraturan Direktur Jenderal, buku-buku,tulisan-tulisan, laporan-
laporan, dan sumber-sumber lain yang relevan dengan pokok bahasan.Metode ini
dilakukan dengan harapan mendapat pengertian dasar, landasan teori, dan konsep
yang akan digunakan dalam menganalisis kendala yang ada.
2. Metode studi lapangan
a. Observasi
Dalam pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan nanti, penulis berencana melakukan
pengamatan secara langsung praktik yang terjadi di lapangan. Pengamatan yang
dimaksud yakni mencocokkan/membandingkan antara teori dengan data dan fakta di
lapangan. Kegiatan observasi ini bertujuan untuk memperoleh kesimpulan praktik
yang terjadi di lapangan serta menganalisis perbedaan yang terjadi guna memperoleh
saran demi penyempurnaan di masa yang akan datang.
b. Wawancara
Penulis berencana melakukan wawancara secara terstruktur kepada beberapa
narasumber, utamanya PFPD yang berkaitan langsung dengan pokok bahasan penulis.
Narasumber dapat bertambah sesuai dengan kebutuhan dan pengembangan masalah
yang akan ditemui penulis nanti saat pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan nanti.
Metode ini bertujuan untuk memperoleh keterangan akan suatu hal yang
membutuhkan paparan lisan akan kebenaran data. Keterangan dari wawancara ini
akan digunakan penulis dalam penyempurnaan laporan Praktik Kerja Lapangan kelak.
c. Pengolahan data sederhana
Tujuan dari metode ini untuk memberikan proyeksi di tahun-tahun kedepan
dengan mengolah data statistik dari beberapa tahun sebelumnya. Data yang akan
penulis olah adalah data atas keberatan dan banding atas penetapan nilai pabean di
KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak. Penulis berencana menggunakan metode
6

perhitungan trend liner kuadrat terkecil. Menurut pandangan penulis, hasil dari
perhitungan ini akan berguna sebagai bahan evaluasi atas penetapan nilai pabean di
tahun-tahun berikutnya.

D. Ruang Lingkup Pembahasan


Penulis membatasi ruang lingkup penulisan sampai pada tahap penetapan nilai
pabean yang dilakukan oleh PFPD berdasarkan nilai transaksi, hambatan-hambatan
yang dihadapi serta analisis mengenai kesesuaian teori dengan praktik yang terjadi di
lapangan, pembahasan dan alternatif pemecahan permasalahan.

E. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab Pendahuluan menjelaskan tentang uraian latar belakang atau alasan
pemilihan pokok bahasan, tujuan penulisan laporan, ruang lingkup pembahasan, dan
sistematika penulisan laporan.
BAB II DATA DAN FAKTA
Bab Data dan Fakta berisi tentang gambaran umum tentang Kantor Pengawasan
dan Pelayanan Bea Cukai Tipe Madya Pabean Pabean Tanjung Perak Surabaya dan
gambaran umum tentang penentuan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi di Kantor
Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Tipe Madya Pabean Pabean Tanjung Perak
Surabaya, data dan fakta yag diperoleh, serta permasalahan yang terjadi di lingkup
objek penelitian atau pertanyaan berkenaan mengenai objek penelitian secara ringkas.
BAB III LANDASAN TEORI DAN PEMBAHASAN
Bab Landasan Teori dan Pembahasan menjelaskan teori baik berupa dasar
peraturan atau dasar hukum dan dasar acuan teori lainnya yang terkait. Bab ini juga
berisi pembahasan atas data dan fakta, permasalahan yang dikaitkan dengan landasan
teori serta pembahasan alternatif solusi atas permasalahan yang terjadi.
7

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN


Bab Simpulan dan Saran berisi ringkasan atas perbandingan antara data dan fakta
di lapangan dengan teori yang ada serta dari hal tersebut dapat dibahas dan dianalisis
mengenai permasalahan yang timbul akibat perbedaan tersebut. Bab ini juga memuat
mengenai saran-saran perbaikan mengenai penentuan nilai pabean berdasarkan nilai
transaksi. Saran-saran tersebut didasarkan pada solusi-solusi yang dikemukakan dari
pembahasan dan pengkajian atas masalah-masalah yang timbul.
BAB II

DATA DAN FAKTA

A. Gambaran Umum
1. Gambaran umum Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe
Madya Pabean Tanjung Perak.
Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Tanjung
Perak merupakan salah satu dari unit kerja vertikal Bea dan Cukai Kementerian
Keuangan RI. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
168/PMK.01/2012 tentang Organisasi dan tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai, Kantor Pengawasan dan Pelayanan mempunyai tugas
melaksanakan pengawasan dan pelayanan di bidang kepabeanan dan cukai dalam
daerah wewenangnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Berikut penulis
jabarkan gambaran umum KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak.
a. Visi dan Misi.
KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak memiliki visi yaitu “ sejajar dengan
Institusi Kepabeanan dan Cukai dunia di bidang kinerja dan citra”. Visi ini sama
dengan visi DJBC. Untuk misi KPPBC Tanjung Perak sendiri yaitu “Menjadi kantor
pengawasan dan pelayanan yang terbaik bagi industri,perdagangan, dan masyarakat”.
Misi ini juga tidak lepas dari penjabaran fungsi DJBC sebagai kantor pelayanan
modern. Dimana DJBC tidak hanya berfungsi sebagai wakil pemerintah sebagai
pemungut pajak, akan tetapi juga memberi kemudahan fasilitas dalam perdagangan

8
9

maupun industri demi perkembangan perekonomian negara dan kemakmuran rakyat


Indonesia. Tidak hanya itu, DJBC juga senantiasa bertransformasi menjadi instansi
pemerintah yang good governance, guna mendapat kepercayaan dari masyarakat.
b. Letak geografis dan Wilayah kerja.
Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Tanjung
Perak beralamat di Jalan Perak Timur 498 Surabaya yang merupakan Ibukota
Provinsi Jawa Timur. Pelabuhan Tanjung Perak merupakan pintu gerbang terbesar
kedua di Indonesia untuk pergerakan manusia, barang dan jasa perdagangan baik
antar daerah maupun antar negara terutama sebagai pusat kolektor dan distributor
untuk kawasan timur Indonesia.Berdasarkan posisi strategis ini maka sangat layak
apabila KPPBC Tipe Madya Pabean TanjungPerak dapat dijadikan sebagai salah satu
barometer kegiatan impor dan ekspor yang ada di Indonesia.
Wilayah Kerja KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak meliputi Kawasan
Pabean dan Pelabuhan Tanjung Perak (Terminal Petikemas Surabaya, Berlian Jasa
Terminal Indonesia, Jamrud, Mirah dan Nilam). Wilayah kerja lainnya meliputi Pos
Kamal, Pos Sepulu, Pos Bangkalan dan Pos Kalimas.
c. Struktur organisasi.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
168/PMK.01/2012 tentang Organisasi dan tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai, struktur organisasi pada KPPBC Tipe Madya Pabean
Tanjung Perak terdiri satu subbagian umum, tujuh seksi dan kelompok jabatan
fungsional yangsemuanya bertanggung jawab secara langsung kepada seorang kepala
kantor.Berikutbaganorganisasi KPPBC TipeMadyaPabeanTanjung Perak.
10

Gambar II.1
Strukturorganisasi KPPBC TipeMadyaPabeanTanjung Perak

Sumber: Diolah dari Data Pegawai KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak

d. Komposisi pegawai.
Komposisi yang ideal dalam suatu organisasi merupakan salah satu faktor penentu
tercapainya visi dan misi organisasi. Pengertian ideal yang dimaksud adalah memadai
secara kapabilitas dan kuantitasnya. Di KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak
sendiri, memiliki komposisi pegawai yang berasal dari seleksi ketat yang dilakukan
Kementerian Keuangan. Ini sangat baik bagi DJBC karena proses rekrutmen pegawai
bukan dilakukan DJBC sendiri, oleh karenanya jabatan/posisi pada DJBC khususnya
KPPBC Tipe Madya Tanjung Perak diisi oleh orang-orang yang memiliki
profesionalisme tinggi.Rincian pegawai berdasarkan komposisinya adalah sebagai
berikut:
11

Tabel II.1
Komposisi Pegawai Berdasarkan Unit dan Eselon.
Eselon
No. Unit
III IV Fungsional V Pelaksana Jumlah
1 Kepala Kantor 1 1
2 Subbagian Umum 1 3 23 27
Seksi Penindakan dan
1 6 52 59
3 Penyidikan
4 Seksi Administrasi Manifes 1 2 10 13
5 Seksi Perbendaharaan 1 4 17 22
Seksi Pelayanan
9 14 131 154
6 Kepabeanan dan Cukai
Seksi Penyuluhan dan
1 2 7 10
7 Layanan Informasi
8 Seksi Kepatuhan Internal 1 2 6 9
Seksi Dukungan Teknis
1 2 6 9
9 dan Distribusi Dokumen
10 Jabatan Fungsional 25 25
Jumlah 1 16 25 35 252 329
Sumber: Diolah dari Data Pegawai KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak per Juni 2013

Tabel II.2
Komposisi Pegawai Berdasarkan Unit dan Golongan.
Golongan
No. Unit
IV III II Jumlah
1 Kepala Kantor 1 1
2 Subbagian Umum 5 22 27
18 41 59
3 Seksi Penindakan dan Penyidikan
4 Seksi Administrasi Manifes 6 7 13
5 Seksi Perbendaharaan 14 8 22
86 68 154
6 Seksi Pelayanan Kepabeanan dan Cukai
3 7 10
7 Seksi Penyuluhan dan Layanan Informasi
8 Seksi Kepatuhan Internal 4 5 9
Seksi Dukungan Teknis dan Distribusi
4 5 9
9 Dokumen
10 Jabatan Fungsional 25 25
Jumlah 1 165 163 329
Sumber: Diolah dari Data Pegawai KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak per Juni 2013
12

2. Penetapan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi di KPPBC Tipe Madya


Pabean Tanjung Perak.
Proses penetapan nilai pabean oleh PFPD berawal dari diterimanya hardcopy
dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB) beserta dokumen pelengkap pabeannya
yang terbagi dalam jalur merah, kuning, dan hijau sesuai dengan profil importir.
Dokumen pada hardcopy tersebut diserahkan ke bagian penerimaan dokumen dari
Unit Pelayanan Kepabeanan dan Cukai sebelum di distribusikan ke masing-masing
PFPD.Pada bagian penerimaan dokumen, hardcopy PIB diberi stampel berupa nomor
dan tanggal diterimanya PIB. Dokumen PIB yang diserahkan akan dibagi berdasarkan
profil importir.
Untuk jalur Mitra Utama (MITA) dan importir produsen yang berstatuslow
riskakan langsung diterbitkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB) tanpa
dilakukan pemeriksaan fisik maupun penelitian dokumen. Untuk jalur hijau, PIB
diserahkan ke PFPD dengan langsung diterbitkan SPPB. PFPD sendiri melakukan
penetapan nilai pabean dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya dokumen PIB.
Untuk jalur kuning, atas hardcopy PIB diserahkan langsung ke PFPD dari staf
penerimaan dokumen tanpa menunggu datangnya Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)
karena jalur kuning tidak dilakukan pemeriksaan fisik.
Sedangkan untuk jalur merah sendiri, penyerahan dokumen jalur merah ke PFPD
menunggu LHP dan barang contoh (jika diperlukan) yang dikirimkan oleh pejabat
pemeriksa fisik.Untuk pembagian dokumen sendiri ke masing-masing PFPD
dilakukan oleh sistem yang diteruskan ke Unit Pengolahan Data dan Distribusi
Dokumen (PDAD). Kemudian Seksi PDAD akan meneruskan pembagian dokumen
PIB untuk per individu PFPD ke bagian penerimaan dokumen untuk dipilah-pilah
sesuai nama PFPD.
Sebenarnya pengiriman atas data PIB beserta dokumen pelengkapnya sudah
murni lewat sistem intranet DJBC bernama Customs-Excise Information System and
Automation atau biasa disebut CEISA, jadi importir/kuasanya tidak perlu
13

mengirimkan hardcopy ke PFPD. Akan tetapi karena sistem di KPPBC Tipe Madya
Pabean Tanjung Perak sering mengalami masalah, maka dipilah untuk jalur merah,
dokumen PIB dan dokumen pelengkapnya tetap diserahkan secara hardcopy.
Setelah dokumen PIB beserta dokumen pelengkapnya sampai di masing-masing
PFPD maka pertama akan PFPD meneliti kelengkapan data pada PIB beserta
dokumen pelengkapnya. Sebelum melakukan penelitian lebih mendalam, PFPD akan
memilah dokumen PIB berdasarkan jalur. PFPD akan memprioritaskan penelitian dan
penetapan nilai pabean pada jalur merah dan kuning. Sesuai janji layanan, penetapan
atas nilai pabean pada jalur merah dan kuning adalah 3 hari sejak dokumen PIB
diterima secara lengkap.
Penelitian kelengkapan dokumen PIB dilakukan pada sistem intranet CEISA.
Penelitian meliputi kelengkapan isi PIB, jumlah bayar, kelengkapan dokumen
pelengkap dengan hardcopy yang dilampirkan (invoice, packing list, dan B/L), hasil
pemeriksaan LHP dan barang contoh. Dan kemudian melakukan pengecekan yang
berkaitan dengan harga barang impor.Dimulai dengan mengecek tarif pada HS untuk
memastikan jenis barang beserta pembebanannya, kelengkapan ketentuan lartas, dan
fasilitas tertentu jika barang impor menggunakan fasilitas, misal barang modal.
Dalam hal ketentuan atas kelengkapan dokumen lartas maupun fasilitas belum
dipenuhi maka PFPD dapat menerbitkan Nota Pemberitahuan Barang Lartas (NPBL)
jika barang tersebut belum memenuhi atau meminta importir/kuasanya untuk
menyerahkan dokumen yang terkait. Atas barang impor yang diterbitkan NPBL atau
kurang atas kelengkapan dokumen fasilitasnya maka penetapan atas nilai pabeannya
dapat lebih dari 3 hari (lebih dari janji layanan untuk penetapan nilai pabean jalur
merah dan kuning).
Setelah syarat-syarat atas kelengkapan dokumen PIB sudah terpenuhi maka
selanjutnya PFPD akan memfokuskan penelitian terhadap harga barang impor.
Pertama dilakukan uji kewajaran terhadap barang impor. Uji kewajaran dilakukan
dengan membandingkan harga barang impor pada Data Base Nilai Pabean I (DBNP I)
14

atas barang identik barang impor tersebut. Jika pada DBNP I tidak ditemukan barang
identik maka selanjutnya PFPD membandingkan harga barang impor dengan harga
barang identik pada DBNP II.
DBNP I maupun DBNP II terdapat pada sistem aplikasi pelayanan impor yang
termasuk dalam sistem intranet CEISA. Menu pada DBNP I terdiri dari DBNP,
seribarang, kode HS, uraian barang, harga satuan, jenis satuan, kode valas, negara
asal dan cara angkut. Sedikit berbeda pada menu DBNP II yang memiliki men
utambahan berupa nomor PIB, DBNP, tanggal PIB, dan kode kantor.

Gambar II.2
Data Base Nilai Pabean I

Sumber: Aplikasi CEISA komputer PFPD


Barang impor yang dibandingkan pada DBNP I dianggap wajar jika harga barang
impor sama dengan atau lebih rendah 5% dari harga barang pembanding pada DBNP
I. Harga barang impor juga dianggap wajar jika barang impor sama atau lebih tinggi
harganya dari harga barang harga pembanding. Sedangkan pada DBNP II, PFPD
15

menganggap wajar harga barang impor jika nilainya sama atau lebih tinggi dari harga
barang identik pembanding pada DBNP II.
Gambar II.3
Data Base Nilai Pabean II

Sumber: Aplikasi CEISA komputer PFPD


Setelah dilakukan uji kewajaran dengan membandingkan dengan barang identik
pada DBNP I atau DBNP II, atas harga barang impor yang melebihi toleransi 5% dari
harga barang pembanding pada DBNP I atau lebih rendah dari harga barang
pembanding DBNP II maka PFPD dapat menerbitkan Informasi Nilai Pabean (INP).
Penerbitan INP oleh PFPD akan direspon oleh importir dengan menyerahkan
Deklarasi Nilai Pabean (DNP) beserta dokumen pendukung. Mekanisme penerbitan
INP sampai mekanisme konsultasi tidak diberlakukan pada impotir dengan status
jalur hijau. Pada jalur hijau, PFPD hanya melakukan penelitian terhadap klasifikasi
barang.
PFPD akan meneliti kebenaran DNP dan meneliti kelengkapan dokumen
pendukung yang diminta saat penerbitan INP. Dokumen pendukung disini adalah
dokumen pendukung yang meyakini terjadinya jual-beli atau dokumen yang
16

membentuk harga suatu barang impor. Bukti pendukung terdapat pada poin (G) DNP
misal sales contract, purchase order, dan bukti transfer. Disini masing-masing PFPD
dapat berbeda standar dalam memutuskan diterima atau tidaknya nilai transaksi
sebagai nilai pabean berdasarkan keterangan pada DNP dan bukti pendukung yang
diserahkan.
Jika PFPD masih meragukan keterangan importir/kuasanya pada DNP atau
mempertanyakan kebenaran akan data pendukung yang dilampirkan, PFPD dapat
menanyakan langsung pada importir/kuasanya dengan mekanisme konsultasi. Di
KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak, terdapat ruang khusus bagi PFPD dan
importir/kuasanya untuk melakukan mekanisme konsultasi. Jika mekanisme
konsultasi telah dilakukan, maka sudah tidak ada sarana lagi bagi PFPD untuk
melakukan penelitian atas diterima atau tidaknya nilai transaksi.
Terakhir PFPD akan menetapkan nilai transaksi dapat diterima atau tidak. Jika
memutuskan untuk tidak menerima nilai transaksi sebagai nilai pabean, maka PFPD
akan menggunakan metode II s/d IV secara hierarki. Atas barang impor yang telah
ditetapkan nilai pabeannya, atas dokumennya akan diteruskan kembali ke staf
penerimaan dokumen untuk selanjutnya di distribusikan ke Unit PDAD guna
dilakukan pendataan atas penyelsaian PIB.

3. Data atas keberatan dan banding atas penetapan nilai pabean di Kantor
Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Tanjung
Perak.
Penulis mengolah data atas keberatan dan banding atas penetapan nilai pabean di
KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak. Pengolahan data atas keberatan dan
banding ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai
respon nyata dari importir atas penetapan nilai pabean oleh PFPD. Penulis
menyajikan data statistik pengajuan keberatan atas penetapan nilai pabean di KPPBC
Tipe Madya Pabean Tanjung Perak dalam kurun waktu 2008-2012.
17

Tabel II.3
Data Permohonan Keberatan atas Penetapan Nilai Pabean di KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung
Perak pada tahun 2008-2012

Banyaknya Diputuskan Diputuskan Diputuskan


Tahun
permohonan diterima ditolak tolak+revisi

2008 273 90 159 24

2009 559 120 355 84

2010 419 110 261 48

2011 239 22 199 18

2012 477 286 162 29

jumlah 1967 628 1136 203


Sumber: Diolah dari data rekapitulasi keputusan keberatan atas penetapan nilai pabean di
KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak tahun 2008-2012.

Tabel II.4
Data Permohonan Keberatan atas Penetapan Nilai Pabean (dalamjumlah rupiah) di KPPBC Tipe
Madya Pabean Tanjung Perak pada tahun 2008-2012
Dalamjumlah rupiah (Rp)
Tahun Banyaknya Diputuskan Diputuskan Diputuskan
permohonan diterima ditolak tolak+revisi

2008 8.108.468.203 4.811.252.027 2.162.403.387 1.134.812.789

2009 18.717.106.638 7.740.359.166. 5.554.142.573 5.422.604.899

2010 11.561.198.000 4.252.692.000 3.756.313.000 3.552.193.00

2011 13.050.403.000 604.904.000 10.834.401.000 1.611.098.000

2012 9.050.597.000 16.696.937.000 9.050.597.000 766.191.000


Sumber: Diolah dari data rekapitulasi keputusan keberatan atas penetapan nilai pabean di
KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak tahun 2008-2012.
18

Penulis menyusuri lebih dalam data dari keputusan keberatan atas penetapan nilai
pabean di KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak pada tahun 2012. Tahun 2012
dipilih dikarenakan proses pengajuan keberatan memiliki jangka waktu 60 hari sejak
diterbitkan Surat Penetapan Tarif dan Nilai Pabean (SPTNP) oleh PFPD. Dengan
demikian, jika data pada tahun 2013 dijadikan acuan akan terasa rancu karena
ditakutkan ada permohonan keberatan atas penetapan nilai pabean belum diputuskan
hasilnya.Gambar II.4 diolah dari 477 permohonan keberatan yang persyaratan
formalnya sudah terpenuhi. Jumlah diatas merupakan permohonan keberatan atas
penetapan nilai pabean yang diajukan dari 6034 SPTNP yang diterbitkan dengan nilai
atas pungutan negara mencapai Rp 123.373.063.376.
Gambar II.4
Data Persentase Keputusan Keberatan atas Penetapan Nilai Pabean di KPPBC Tipe
Madya Pabean Tanjung Perak Tahun 2012

Diterima (34%)
Ditolak (60%)
Tolak/Revisi (6%)

.
Sumber: Diolah dari data rekapitulasi keputusan keberatan atas penetapan nilai pabean
di KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak tahun 2012

Dalam Gambar II.4 menunjukan 60% atau 286 permohonan keberatan yang
diajukan pada tahun 2012 dinyatakan ditolak seluruhnya. Dalam nilai rupiah atas 286
19

permohonan itu bernilai Rp 9.050.597.000. Sedangkan untuk permohonan yang


diterima sepenuhnya sebesar 34% atau 162 permohonan diterima sepenuhnya. Nilai
rupiah permohonan yang diterima tersebut sebesar Rp 6.880.149.000.
Terakhir adalah sebanyak 6% atau 29 permohonan keberatan diputuskan
tolak/revisi. Ini maksudnya bahwa Kantor Wilayah DJBC menetapkan lain dari
jumlah rupiah yang diberitahukan importir maupun yang ditetapkan di SPTNP oleh
PFPD. Nilai rupiah dari keputusan ini sebesar Rp 766.191.000.
Berikutnya adalah data atas keputusan banding atas penetapan nilai pabean di
KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak pada tahun 2012. Dimulai dengan data
statistik pengajuan banding pada tahun 2011 dan 2012.Data atas keputusan banding
tersebut, diolah oleh penulis dari arsip di Seksi Perbendaharaan KPPBC Tipe Madya
Pabean Tanjung Perak. Gambar II.5 merupakan kelanjutan dari hasil keputusan
keberatan yang dibahas pada Gambar II.4. Ini dikarenakan pada UU No 10 tahun
1995 yang sebagaimana diubah dengan UU 17 tahun 2006, dimungkinkan oleh
importir untuk mengajukan banding atas penetapan Direktur Jenderal. Dimana
penetapan permohonan keberatan pada KPPBC didisposisi di masing-masing Kantor
Wilayah DJBC. Permohonan banding sendiri diajukan ke Pengadilan Pajak apabila
importir tidak puas atas penetapan pada proses permohonan keberatan.
Sebanyak 77 permohonan banding atas penetapan nilai pabean diajukan pada
tahun 2012. Sebanyak 32% atau 25 permohonan banding diterima seluruhnya.
Permohonan yang diterima dalam jumlah rupiah sebesar Rp 3.575.198.000.
Sedangkan sebanyak 8% atau 6 permohonan diputuskan mengabulkan sebagian
dengan jumlah dalam rupiah sebesar Rp 293.179.000.
Selanjutnya adalah keputusan yang ditolak seluruhnya dengan persentase 48%
atau 37 permohonan banding dengan jumlah dalam rupiah sebesar Rp 2.003.092.000.
Dalam putusan banding oleh Pengadilan Pajak dipisahkan antara ditetapkan lebih atau
kurang dari penetapan oleh PFPD. Ini berbeda dengan keputusan keberatan oleh
Kantor Wilayah yang diputuskan “tolak/revisi”. Pada keputusan Pengadilan Pajak,
20

keputusan tolak revisi berlaku hanya untuk yang ditetapkan lebih dari nilai yang
diputuskan di keputusan keberatan atas penetapan nilai pabean.
Terdapat 1% atau 1 permohonan banding yang ditetapkan tolak/revisi pada tahun
2012, dengan nilai rupiah sebesar Rp 37.125.000. Ini sebelumnya ditetapkan Kantor
Wilayah sebesar Rp 12.375.000.Terakhir,sebanyak 10% atau 8 dokumen permohonan
banding diputuskan tidak diterima dikarenakan tidak dipenuhinya syarat formal
pengajuan banding ke Pengadilan Pajak.
Gambar II.5
Data Persentase Keputusan Banding atas Penetapan Nilai Pabean di KPPBC Tipe Madya
Pabean Tanjung Perak Tahun 2012

Mengabulkan
seluruhnya (32%)
Mengabulkan
sebagian (8%)
Menolak seluruhnya
(48%)
Menolak + revisi (1%)

Tidak dapat diterima


(10%)

.
Sumber: Diolah dari data rekapitulasi keputusan banding atas penetapan nilai pabean
di KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak tahun 2012
BAB III

LANDASAN TEORI DAN PEMBAHASAN

A. Landasan Teori
1. Dasar hukum.
a. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 yang sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan
b. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 160/PMK.04/2010
tentang Nilai Pabean Untuk Perhitungan Bea Masuk
c. Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No 38/BC/2010 tentang Mekanisme
Konsultasi Nilai Pabean
d. Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Keputusan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
No 39/BC/2010 tentang Pengisian Lembar Penelitian dan Penetapan
e. Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Keputusan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
No 40/BC/2010 tentang Data Base Nilai Pabean

2. Pengertian umum.
Dalam laporan Praktik Kerja Lapangan ini yang dimaksud dengan:
a. Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean.
b. Barang Impor adalah barang yang dimasukkan ke dalam Daerah Pabean.
c. Importir adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mengimpor barang.

21
22

d. Pemberitahuan Impor Barang (PIB) adalah pemberitahuan pabean untuk


pengeluaran barang yang diimpor untuk dipakai.
e. Jalur Hijau adalah proses pelayanan dan pengawasan pengeluaran Barang Impor
dengan tidak dilakukan pemeriksaan fisik, tetapi dilakukan penelitian dokumen
setelah penerbitan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).
f. Jalur Kuning adalah proses pelayanan dan pengawasan pengeluaran Barang Impor
dengan tidak dilakukan pemeriksaan fisik, tetapi dilakukan penelitian dokumen
sebelum penerbitan SPPB.
g. Jalur Merah adalah proses pelayanan dan pengawasan pengeluaran Barang Impor
dengan dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen sebelum penerbitan
SPPB .
h. Nota Pemberitahuan Barang Larangan/Pembatasan yang selanjutnya disingkat
dengan NPBL adalah nota yang dibuat oleh Pejabat kepada Importir agar
memenuhi ketentuan larangan dan/atau pembatasan impor.
a. Bukti nyata atau data yang objektif dan terukur adalah bukti atau data berdasarkan
dokumen yang benar-benar tersedia dan pada dokumen tersebut terdapat besaran,
nilai atau ukuran tertentu dalam bentuk angka, kata dan/atau kalimat.
b. Pengujian kewajaran adalah kegiatan penelitian nilai pabean yang dilakukan oleh
Pejabat Bea dan Cukai dalam rangka menilai kewajaran atas pemberitahuan nilai
pabean.
c. Informasi Nilai Pabean yang selanjutnya disingkat dengan INP adalah
pemberitahuan Pejabat Bea dan Cukai kepada importir untuk menyerahkan
pernyataan tentang fakta yang berkaitan dengan transaksi barang yang diimpor.
d. Deklarasi Nilai Pabean yang selanjutnya disingkat dengan DNP adalah
pernyataan importir tentang fakta yang berkaitan dengan transaksi barang yang
diimpor dengan disertai dokumen pendukungnya.
e. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat,
perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona
23

Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-


Undang Kepabeanan.
f. Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang Kepabeanan.
g. Pejabat Fungsional Pemeriksa Dokumen (PFPD) adalah pejabat yang bertugas
memeriksa dokumen dan menerima hasil pemeriksaan fisik dari Pejabat
Pemeriksa Barang untuk menentukan kebenaran pungutan Negara yang
seharusnya dibayarkan oleh pengguna jasa (importir).
h. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
i. Pajak Dalam Rangka Impor yang selanjutnya disingkat dengan PDRI adalah pajak
yang dipungut oleh Direktorat Jenderal atas impor barang yang terdiri dari Pajak
Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Pajak Penghasilan.
j. Nilai Pabean adalah Nilai yang digunakan untuk menghitung bea masuk dan
Pajak Dalam Rangka Impor(PDRI).

3. Tata cara penetapan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi.


pengertian nilai pabean sesuai dengan UU nomor 10 tahun 1995 sebagaimana
diubah dengan UU nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan adalah nilai transaksi
dari barang yang bersangkutan. Dalam penjabarannya,yang dimaksud dengan nilai
transaksi adalah harga yang sebenarnya atau yang seharusnya dibayar dari barang
yang dijual untuk diekspor ke Daerah Pabean ditambah dengan biaya – biaya tertentu,
sepanjang biaya-biaya tertentu tersebut belum termasuk dalam harga yang sebenarnya
atau yang seharusnya dibayar.
Sunarno (2011,11) mengemukakan: “Harga yang sebenarnya dibayar atau yang
seharusnya dibayar merupakan total pembayaran yang dilakukan atau akan dilakukan
oleh pembeli kepada atau untuk kepentingan penjual berkenaan dengan barang yang
diimpor. Pembayaran tersebut tidak harus dilakukan dalam bentuk transfer uang,
24

melainkan dengan menggunakan salah satu cara didalam system pembayaran ekspor
impor, misalnya melalui Letter of Credit (L/C) , wesel internasional , advance
payment dan lain-lain.”
Yang dimaksud dengan harga yang sebenarnya dibayar adalah harga barang yang
pada waktu barang tersebut diimpor (diberitahukan PIB-nya ke Kantor Pabean) telah
dibayar/dilunasi oleh pembeli barang kepada penjual. Sedangkan yang dimaksud
dengan harga yang seharusnya dibayar adalah bahwa barang tersebut pada waktu
importasinya (diberitahukan PIB-nya ke Kantor Pabean) belum dibayar sebagian atau
seluruh pembayaran atas barang oleh pembeli yang bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan penggunaan nilai transaksi sebagai dasar penetapan nilai
pabean (penggunaan metode I), nilai transaksi yang dimaksud harus berasal dari suatu
transaksi jual beli. Artinya ada suatu bentuk kegiatan komersial yang menyaratkan
adanya pembeli, yaitu pihak yang membayar/mengirimkan kompensasi, dan adanya
penjual, yaitu pihak yang setuju untuk meneyerahkan hak kepemilikan barang.
Apabila kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli yang terlibat dalam transaksi
tersebut memberikan persetujuan kaitannya dengan barang dan harga, maka terjadilah
suatu penjualan (transaksi jual-beli).
Jika barang impor bukan merupakan objek dari suatu transaksi jual beli dalam
kondisi persaingan bebas, maka nilai pabean atas barang impor tersebut tidak dapat
ditetapkan berdasarkan nilai transaksi. Contoh barang impor yang bukan merupakan
objek dari suatu transaksi jual beli, yaitu:
a. Barang yang disewa (leasing contract);
b. Barang yang dikirim secara konsinyasi ( penjualan dengan cara pemilik
menitipkan barang kepada pihak lain untuk dijualkan dengan harga dan syarat
yang telah diatur dalam perjanjian) yang dijual setelah pengimporan atas perintah
dan/atau untuk kepentingan pemasok;
c. Barang bantuan dari luar negeri yang kepemilikannya ditangan pengirim barang;
25

d. Barang yang diimpor oleh anak cabang perusahaan dengan ketentuan anak cabang
tersebut bukan merupakan badan hukum yang berdiri sendiri;
e. Barang yang diimpor oleh intermediary yang tidak membeli barang, barang
tersebut dijual setelah pengimporan;
f. Barang yang dikirim dengan Cuma-Cuma, misal barang hadiah, barang promosi,
dan barang contoh (free of charge).
Setelah meyakini bahwa barang impor tersebut telah memenuhi syarat sebagai
objek dari suatu transaksi jual beli atau penjualan untuk diekspor ke dalam Daerah
Pabean dalam kondisi persaingan bebas, langkah kedua yaitu meneliti persyaratan
nilai transaksi untuk dapat diterima dan ditetapkan sebagai nilai pabean. Nilai
transaksi dapat diterima sebagai nilai pabean sepanjang memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. Tidak terdapat persyaratan atau pertimbangan yang diberlakukan terhadap
transaksi atau nilai barang impor yang mengakibatkan nilai barang impor yang
bersangkutan tidak dapat nilai pabeannya.
Persayaratan dan pertimbangan yang dimaksud misalnya harga atas barang impor
ditentukan dengan persyaratan pembeli (importir) akan membeli barang lain dalam
jumlah tertentu atau harga barang impor yang bersangkutan ditentukan berdasarkan
harga barang lain yang dijual importir ke penjual, atau harga barang impor yang
bersangkutan ditentukan berdasarkan suatu bentuk pembayaran yang tidak ada
hubungannya dengan barang tersebut;
b. Tidak terdapat proceeds yang harus diserahkan pembeli kepada penjual, kecuali
proceeds tersebut dapat ditambahkan pada harga sebenarnya atau seharusnya
dibayar;
c. Tidak terdapat pembatasan-pembatasan atas pemanfaatan atau pemakaian barang
impor selain pembatasan-pembatasan yang:
1) Diberlakukan atau diharuskan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku
di dalam Daerah Pabean;
26

2) Membatasi wilayah geografis tempat penjualan barang impor;


3) Tidak mempengaruhi harga barang secara substansial, misalnnya penjualan door
to door atau penjualan melalui media tv;
d. Tidak terdapat hubungan antara pembeli dan penjual yang mempengaruhi harga
barang impor. Yang dimaksud orang saling berhubungan atau berhubungan
adalah:
1) Pegawai atau pimpinan pada suatu perusahaan sekaligus pegawai atau pimpinan
pada perusahaan lain;
2) Mereka yang kenal/diketahui secara hukum sebagai rekan dalam perdagangan;
3) Pekerja dan pemberi kerja;
4) Mereka yang salah satu diantaranya secara langsung atau tidak tidak langsung
memiliki, mengendalikan, atau memegang 5% (lima persen) atau lebih saham
yang beredar dari salah satu dari mereka;
5) Mereka yang salah satu diantaranya secara langsung atau tidak langsung
mengendalikan pihak lainnya;
6) Mereka yang secara langsung atau tidak langsung dikendalikan oleh pihak ketiga;
7) Mereka secara bersamaan langsung atau tidak langsung mengendalikan pihak
ketiga; atau
8) Mereka yang merupakan anggota dari satu keluarga yaitu suami, isteri, orang tua,
anak, adik, dan kakak (sekandung atau tidak), kakek, nenek, cucu, paman, bibi,
keponakan, mertua, menentu, dan ipar.
Pada PMK 160/PMK.04/2010 terdapat 2 cara dalam menentukan apakah
hubungan tersebut mempengaruhi harga atau tidak, yaitu meneliti hal-hal yang
berkaitan dengan penjulan dan membandingkan barang dengan Test Value. Penelitian
hal-hal yang berkaitan dengan penjualan diarahkan kepada dokumen-dokumen yang
berkaitan dengan nilai transaksi. Oleh karenanya diperlukan penelitian atas semua
aspek transaksi, hal-hal yang berkaitan dengan tata cara penjual dan pembeli
mengatur hubungan dagangnya dan bagaimana harga tercapai. Hal lain yang perlu
27

diperhatikan meneliti apakah harga penjulan tercapai berdasarkan tata cara yang
konsisiten dengan tata cara tercapainya harga yang lazim terjadi pada industri yang
bersangkutan (pricing practices) dan apakah harga penjulan meliputi semua biaya
yang ditambah dengan keuntungan rata-rata perusahaan yang bersangkutan selama
satu tahun.
Cara lain dalam menentukan hubungan pembeli dan penjual adalah dilakukannya
Test Value. Test Value sendiri yaitu membandingkan nilai transaksi barang impor
dengan nilai transaksi barang identik yang diekspor ke dalam Daerah Pabean yang
berasal dari penjulan antara penjual dan pembeli yang tidak saling berhubungan. Nilai
transaksi barang identik tersebut, tanggal B/L atau AWBnya sama atau dalam waktu
30 hari sebelum atau sesudah tanggala B/L atau AWB barang impor yang sedang
ditetapkan nilai pabeannya. Apabila terdapat lebih dari satu Test Value yang
memenuhi syarat, digunakan Test Value yang tanggalnya paling dekat dengan tanggal
B/L atau AWB barng impor yang sedang ditetapkan nilai pabeannya.
Penentuan diterima atau tidaknya nilai transaksi yaitu dengan membandingkan
harga barang impor dengan harga barang pada Test Value. Apabila lebih rendah
diatas 5% dari nilai pabean barang identik yang tertera pada Test Value, maka
hubungan antara pembeli dan penjual dianggap mempengaruhi harga. Sehingga nilai
pabean ditentukan berdasarkan metode II s/d metode VI secara hierarki.
Perbandingan menggunakan Test Value perlu memperhatikan perbedaaan yang terjadi,
antara lain tingkat perdagangan, tingkat kuantitas, biaya-biaya yang ditambahkan,
biaya-biaya yang dimasukan penjual dalam harga jual dan biaya-biaya yang tidak
dimasukan dalam harga jual. Penelitian hubungan antara penjual dan pembeli
menggunakan Test Value yang diserahkan pembeli. Apabila Test Value yang
diserahkan tidak memenuhi syarat, maka digunakan Test Value yang tersedia di
dalam Daerah Pabean.
28

Langkah ketiga dari penentuan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi yaitu
Meneliti unsur biaya-biaya dan/atau nilai yang seharusnya tidak termasuk dalam nilai
transaksi. Harga sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar tidak meliputi:
a. Biaya yang terjadi dari kegiatan yang dilakukan oleh pembeli untuk
kepentingannya sendiri,antara lain:
1) Biaya untuk uji coba;
2) Pembuatan ruang pamer;
3) Penyelidikan pasar; dan
4) Biaya pembukuan L/C.
b. Biaya-biaya yang secara tegas dapat dibedakan dari harga yang sebenarnya
dibayar atau seharusnya dibayar yang terjadi setelah pengimporan barang (post
importation cost), yaitu:
1) Biaya konstruksi, pembangunan, perakitan, pemeliharaan atau bantuan teknikyang
dilakukan setelah pengimporan;
2) Biaya pengangkutan, asuransi dan/atau biaya lainnya setelah pengimporan;
dan/atau
3) Bea masuk, cukai, dan/pungutan dalam rangka impor.
c. Dividen
Deviden merupakan pembagian keuntungan yang berkaitan dengan seluruh bisnis
perusahaan dan tidak hanya berkaitan dengan penjualan barang yang diimpor.
Deviden atau pembayaran lainnya oleh pembeli kepada penjual yang tidak berkaitan
dengan barang impor, tidak termasuk dalam harga yang sebenarnya atau seharusnya
dibayar;
d. Bunga (Interest Charges)
Bunga yang dibebankan penjual kepada pembeli terhadap pembayaran atas
pembelian barang impor, bukan merupakan bagian dari nilai pabean, sepanjang:
29

1) Nilai bunga secara nyata tertera dalam dokumen pelengkap pabean (invoice,
purchase order) di luar harga yang sebenarnya dibayar atau seharusnya dibayar;
dan
2) Kesepakatan pengaturan pembayaran (financing arrangement), termasuk
ketentuan tentang bunga harus dibuat secara tertulis.
Apabila diperlukan pembeli harus menunjukan bahwa:
1) Barang yang bersangkutan benar-benar dibeli sesuai dengan harga yang
sebenarnya atau seharusnya dibayar; dan
2) Tingkat bunga tidak melebihi tingkat bunga yang pada umumnya berlaku, di
negara penjual atau pembeli tergantung pada kesepakatan transaksi barang impor
yang bersangkutan.
e. Diskon (potongan)
Harga yang sebenarnya dibayar atau seharusnya dibayar dapat memperhitungkan
unsure diskon sesuai dengan kewajaran dalam praktik perdagangan. Didalam
perdagangan dikenal empat jenis diskon, yaitu:
1) Cash discount adalah diskon yang diberikan karena pembayaran kontan, diskon
ini diberikan kepada pembeli atas pembayaran yang dilakukan dalam kurun waktu
tertentu yang telah disetujui oleh penjual;
2) Quantity discount adalah diskon yang diberikan karena perbedaan jumlah
pembelian;
3) Trade discount adalah diskon yang diberikan karena adanya perbedaan tingkat
perdagangan (wholeseller, retailer, dan end-user);
4) Loyalty discount adalah diskon yang diberikan atas kesetiaan pembeli dalam
melakukan pembelian terhadap penjual/langganan.
Harga barang setelah dikurangi diskon tersebut (net price) adalah harga yang
sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar dari barang impor yang
bersangkutan. Dalam hal terdapat importasi dengan kondisi diskon sebagaimana
30

tersebut diatas, importasi tersebut menjadi bahan masukan untuk dilakukan audit
kepabeanan.
Langkah keempat yaitu meneliti unsur biaya-biaya dan/atau nilai yang seharusnya
ditambahkan dalam nilai transaksi. Biaya-biaya dan/atau nilai-nilai yang dimaksud
berupa:
a. Biaya yang dibayar oleh pembeli yang belum tercantum dalam harga yang
sebenarnya atau yang seharusnya dibayar berupa:
1) Komisi dan jasa perantara, kecuali komisi pembelian. Yang dimaksud dengan:
a) Komisi adalah imbalan finansial yang diberikan kepada suatu pihak atas jasanya
mewakili penjual atau pembeli dalam suatu transaksi;
b) Jasa perantara adalah imbalan finansial yang diberikan kepada suatu pihak yang
berfungsi sebagain perantara (intermediary) yang bertugas mempertemukan
penjual dan pembeli dalam suatu transaksi;
c) Komisi pembelian adalah imbalan finansial yang diberikan kepada suatu pihak
yang mewakili pembeli (buying agent) dalam suatu transaksi.
Untuk menentukan apakah suatu pihak bertindak sebagai wakil penjual (selling
agent), wakil pembeli (buying agent), atau perantara (intermediary) harus dilihat
fungsi pihak tersebut dalam transaksi perdagangan bertindak mewakili kepentingan
siapa.
2) Biaya pengemas, yang untuk kepentingan pabean, pengemas tersebut menjadi
bagian yang tak terpisahkan dengan barang yang bersangkutan; dan
3) Biaya pengepakan meliputi biaya material dan upah tenaga kerja pengepakan;
b. Nilai dari barang dan jasa berupa:
1) Material, komponen, bagian, dan barang-barang sejenis yang terkandung dalam
barang impor. Contoh material misalnya kayu, baja dalam lembaran, plastik, kain
tekstil. Sedangkan contoh komponen misalnya sakelar pemutus arus, kapasitor,
dan engsel pintu;
31

2) Peralatan, cetakan, dan barang-barang sejenis yang digunakan dalam pembuatan


barang impor. Contoh peralatan seperti mesin jahit, mesin penggulung benang,
alat pertukangan. Sedangkan contoh cetakan misalnya berupa cetakan untuk
membuat barang dari plastik atau karet;
3) Material yang digunakan dalam pembuatan barang impor, misalnya bahan bakar
minyak untuk pengujian kendaraan atau zat kimia sebagai bahan katalisator; dan
4) Teknik, pengembangan, karya seni, desain, perencanaan, dan sketsa yang
dilakukan dimana saja di luar Daerah Pabean dan diperlukan untuk pembuatan
barang impor, misalnya:
a) Perencanaan-perencanaan, dapat berupa plans for furnance system;
b) Sketsa, misalnya sketches for construction of tanks
c) Teknik, dapat berupa production engineering, technical and engineering study of
the project;
d) Desain: blueprints;
e) Pengembangan meliputi kegiatan conceptional formulation, testing product
alternatives, dan construction of prototypes;
f) Karya seni misalnya architectural drawings.
yang dipasok secara langsung atau tidak langsung oleh pembeli, dengan syarat
barang dan jasa tersebut:
a) Dipasok dengan cuma-cuma atau dengan harga yag diturunkan;
b) Untuk kepentingan produksi dan penjualan untuk ekspor barang impor yag
dibelinya; dan
c) Harga belum termasuk dalam harga yang sebenarnya atau yang seharusnya
dibayar dari barang impor yang bersangkutan;
c. Royalti atau biaya lisensi
Royalti atau biaya lesensi adalah pembayaran yang berkaitan antara lain dengan
paten, merek dagang dan hak cipta. Royalti atau biaya lesensi ditambahkan sepanjang:
1) Dibayar oleh pembeli secara langsung atau tidak langsung;
32

2) Sebagai persyaratan jual beli barang impor:


a) Dalam rangka pembelian barang, pembeli harus diharuskan membayar royalti
atau biaya lesensi. Tanpa mempermasalahkan apakah pembayaran royalti
ditunjukan kepada penjual atau pihak lain (royalti holder atau kuasanya) yang
sama sekali tidak terlibat dalam transaksi barang impor yang bersangkutan;
b) Yang dimaksud dengan persyaratan penjualan adalah adanya kewajiban hukum
dalam suatu kontrak/perjanjian untuk membayar royalti dan apabila kewajiban
tersebut tidak dipenuhi maka kontrak/perjanjian tersebut menjadi batal dan tidak
berlaku lagi.
3) Berkaitan dengan barang impor
Pada barang impor yang bersangkutan terdapat Hak Atas Kekayaan Intelektual,
antara lain berupa hak atas merek, hak cipta atau hak paten (di dalam barang
impor terdapat proses kerja yang dipatenkan).
d. Nilai setiap bagian dari hasil atau pendapatan yang diperoleh pembeli untuk
disampaikan secara langsung atau tidak langsung kepada penjual, atas penjualan,
pemanfaatan, atau pemakaian barang impor yang bersangkutan (proceeds);
e. Biaya transportasi barang impor yang dijual untuk diekspor ke pelabuhan atau
tempat impor dalam Daerah Pabean. Biaya pengangkutan ini biasanya tercantum
dalam Bill of Lading (B/L) atau Airway Bill (AWB). Dalam hal biaya transportasi
belum termasuk dari nilai transaksi dan bukti nyata atau data yang objektif dan
terukur tidak tersedia, maka besaran biaya transportasi diatur sebagai berikut:
1) untuk pengangkutan melalui laut:
a) 5% (lima persen) dari Freight On Board (FOB) untuk barang dari negara anggota
ASEAN;
b) 10% (sepuluh persen) dari Freight On Board (FOB) untuk barang dari negara
non-ASEAN atau Australia;
c) 15% (lima belas persen) dari Freight On Board (FOB) untuk barang dari negara
di Benua Eropa, Amerika, dan Afrika.
33

2) untuk pengangkutan melalui udara persentase tarif berdasarkan tarif International


Air Transport Association (IATA).
f. Biaya pemuatan, pembongkaran, dan penanganan yang berkaitan dengan
pengangkutan barang impor ke pelabuhan atau tempat impor di dalam Daerah
Pabean; dan
g. Biaya asuransi
Biaya asuransi adalah biaya penjaminan pengangkutan barang dari tempat ekspor
di luar negeri ke tempat impor di Daerah Pabean. Dalam hal biaya asuransi belum
termasuk dalam nilai transaksi dan bukti nyata atau data yang objektif dan terukur
mengenai besaran biaya asuransi tidak tersedia, maka besaran biaya asuransi yang
digunakan dalam penentuan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi adalah 0,5% (nol
koma lima persen) dari nilai Cost and Freight (CFR).Terdapat tiga jenis asuransi
yang biasa digunakan pada pengangkutan barang impor yaitu:
1) individualpolicy (closed), yaitu polis kontrak dalam asuransi pengangkutan
barang tang ditutup pada tiap-tiap pengiriman barang dan besarnya polis
dirundingkan antara penanggung dan tertanggung untuk setiap pengiriman barang:
2) open floating policy, yaitupolis kontrak dalam asuransi pengangkutan barang yang
akan dilakukan dalam beberapa pengiriman sesuai dengan yang disepakati antara
penganggung dan tertanggung;
3) open cover policy, yaitu polis kontrak dalam asuransi yang akan dilakukan dalam
jangka waktu tertentu, misalnya 3 bulan, 6 bulan, dan seterusnya sesuai dengan
yang disepakati antara penanggung dan tertanggung.
Besaran biaya asuransi dibutikan dengan polis asuransi/certificate of insurance.
Apabila biaya asuransi ditutup dalam negeri maka nilai asuransi dianggap nihil,
dengan importir wajib menyerahkan polis asuransi yang bersangkutan.
Langkah kritis dalam penentuan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi yang
kelima yaitu penelitian hasil pemeriksa fisik, untuk barang-barang yang dilakukan
pemeriksaan fisik. PFPD dapat mengirim respon melalui Sistem Komputer Pelayanan
34

berupa permintaaan tambahan keterangan dalam rangka penelitian tarif dan nilai
pabean, dan pemberitahuan agar importir menyiapkan barangnya untuk pengambilan
contoh barang dalam hal diperlukan. PFPD mengambil barang dengan
memerintahkan pejabat yang ditunjuk.
Langkah terakhir dalam penentuan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi adalah
menguji kewajaran pemberitahuan nilai pabean yang tercantum dalam pemberitahuan
pabean impor. Pengujian kewajaran dilakukan dengan membandingkan harga barang
identik pada Data BaseNilai Pabean I. Pengujian kewajaran dimulai dengan
membandingkan harga barang impor pada PIB dengan harga barang identik pada
Data BaseNilai Pabean I. Data Base Nilai Pabean I sendiri bersumber dari:
a. Data BaseNilai Pabean I;
b. Pemberitahuan pabean impor yang telah ditentukan nilai pabeannya berdasarkan
nilai transaksi;
c. Data pada Laporan Hasil Audit yang nilai pabeannya ditentukan berdasarkan nilai
transaksi; dan/atau
d. Katalog, brosur, atau informasi lainnya yang berasal dari dalam dan luar Daerah
Pabean yang telah dilakukan proses perhitungan kembali.
Barang impor yang dibandingkan pada Data Base Nilai Pabean I dapat dikatakan
wajar/nilai transaksinya dapat diterima bila nilai pabean yang diberitahukan lebih
rendah dibawah 5%/lebih rendah atau sebesar 5%/sama atau lebih tinggi dari harga
barang pembanding. Sedangkan, dianggap tidak wajar apabila nilai pabean yang
diberitahukan kedapatan lebih rendah diatas 5% dari harga barang identik pada Data
Base Nilai Pabean I.
Dalam hal tidak ditemukan data pembanding barang identik dalam Data Base
Nilai Pabean I, maka PFPD melakukan pengujian kewajaran dengan data pembanding
barang identik dalam Data Base Nilai Pabean II. Sumber dari Data Base Nilai Pabean
II adalah pemberitahuan pabean impor yang nilai pabeannnya ditentukan berdasarkan
nilai transaksi dengan tanggal Bill of Lading (B/L)-nya paling lama 60 (enam puluh)
35

hari sebelum penyusunan Data Base Nilai Pabean II. Nilai pabean yang diberitahukan
dikategorikan wajar bila sama atau lebih besar dari harga barng identik pada Data
Base Nilai Pabean II dan dikatakan tidak wajar bila nilai pabean lebih rendah dari
harga barang identik pada Data Base Nilai Pabean II.Dalam hal uji kewajaran,
dinyatakan:
a. Nilai pabean wajar, maka PFPD menentukan nilai pabean berdasarkan nilai
transaksi barang bersangkutan;
b. Nilai pabean tidak wajar atau tidak ditemukan data pembanding, maka PFPD:
1) Menetukan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi barang yang bersangkutan dan
menginformasikan ke unit penindakan dan penyidikan Kantor Pabean untuk
importir umum ketegori risiko rendah; atau
2) Menerbitkan INP untuk importir kategori risiko sedang, importir kategori risiko
tinggi atau importir kategori sangat tinggi.
Dalam hal diterbitkan INP, maka PFPD menerbitkan dan mengirimkan INP
kepada importir melalui media elektronik atau dengan cara pengiriman lainnya. Atas
INP yang terbit, importir harus:
a. Menyerahkan DNP dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah
diterbitkannya INP;
b. Menyerahkan semua informasi, dokumen, dan/atau pernyataan yang diperlukan
dalam rangka penentuan nilai pabean; dan
c. Memberikan penjelasan baik secara lisan maupun tertulis tentang bagaimana
pembeli atau kuasanya menghitung nilai pabean, unsur-unsur pembentuk nilai
pabean, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan transaksi yang bersangkutan.
Jika hasil penelitian DNP diketahui nilai transaksi belum dapat diyakini
kebenaran dan keakuratannya, maka PFPD dapat melakukan konsultasi dengan
importir yang bersangkutan atau kuasanya. Mekanisme konsultasi hanya dilakukan
terhadap importir kategori risiko menengah atau importir kategori risiko tinggi.
Apabila importir tidak memenuhi permintaan atas tindak lanjut penerbitan INP atau
36

atas hasil konsultasi nilai transaksi tidak dapat diyakini kebenaran dan keakuratannya,
maka PFPD menetapkan nilai pabean berdasarkan metode nilai transaksi barang
identik sampai dengan metode pengulangan sesuai dengan hierarki penggunaannya.
Berikut alur proses tata cara penelitian dan penetapan nilai pabean berdasarkan nilai
transaksi untuk memberikan gambaran yang lebih ringkas.
Gambar III.7
Tata Cara Penelitian dan Penetapan Nilai Pabean Berdasarkan Nilai Transaksi

Sumber : dokumentasi penulis


B. Pembahasan
1. Identifikasi dan analisa permasalahan yang terjadi.
Berdasarkan hasil Praktik Kerja Lapangan yang penulis jalani di KPPBC Tipe
Madya Pabean Tanjung Perak, penulis menemukan beberapa fakta yang perlu untuk
dicermati dan diberikan atensi lebih, utamanya dalam hal penetapan nilai pabean
berdasarkan nilai transaksi. Hal ini bisa dicermati dari tingginya angka keberatan
maupun banding atas penetapan nilai pabean. Data statistik keberatan atas penetapan
37

nilai pabean di KPPBC Tipe Madya Tanjung Perak di atahun 2008-2012 menunjukan
hal tesebut.
Pada tahun 2008 terdapat 273 pengajuan permohonan dan meningkat pada tahun
tahun 2009 menjadi 559 pengajuan permohonan. Pada tahun 2010, terjadi penurunan
pengajuan permohonan keberatan menjadi 419 dan menurun kembali pada tahun
2011 menjadi 239 permohonan. Dan terakhir, pada tahun 2012 kembali meningkat
menjadi 477 permohonan.
Gambar III.7
Data Statistik Keputusan Keberatan atas Penetapan Nilai Pabean di KPPBC Tipe Madya
Pabean Tanjung Perak Tahun 2008-2012.

400
355
350

300 286
261
250
diterima
199
200 ditolak
159
150 tolak+revisi

100

50

0
2008 2009 2010 2011 2012

Sumber: Diolah dari data rekapitulasi keputusan keberatan atas penetapan nilai pabean di KPPBC
Tipe Madya Pabean Tanjung Perak tahun 2008-2012.

Fakta yang ada pada Gambar III.7 menunjukan bahwa permohonan keberatan atas
penetapan nilai pabean yang diputuskan ditolak selalu lebih tinggi tiap tahunnya.
Penulis menemukan fakta bahwa dalam kurun waktu 2008-2012 secara jumlah
pengajuan permohonan keberatan diketahui bahwa permohonan yang diajukan
diputuskan ditolak selalu lebih tinggi dari yang diputuskan diterima. Akan tetapi
38

secara jumlah dalam rupiah atas pungutan negara, permohonan dengan keputusan
yang diterima selalu lebih besar dari yang diputuskan ditolak kecuali pada tahun 2011.
Pada tahun 2012 sesuai Gambar II.4, dari 477 permohonan keberatan yang
diajukan sebanyak 286 diputuskan ditolak sepenuhnya dengan jumlah dalam rupiah
Rp 9.050.597.000. Sedangkan untuk permohonan yang diterima sepenuhnya sebesar
162 permohonan diterima sepenuhnya. Nilai rupiah permohonan yang diterima
tersebut sebesar Rp 6.880.149.000. Sisanya sebanyak 29 permohonan keberatan
diputuskan tolak/revisi dengan jumlah dalam rupiah sebesar Rp 766.191.000. Dalam
data tersebut, meskipun secara jumlah berkas permohonan lebih banyak diputuskan
ditolak tetapi secara nominal rupiah nilainya tidak terpaut jauh.
Begitu pula dengan data banding pada tahun 2012, sebanyak 25 permohonan
banding diterima seluruhnya. Permohonan yang diterima dalam jumlah rupiah sebesar
Rp 3.575.198.000. Sedangkan 6 permohonan diputuskan mengabulkan sebagian
dengan jumlah dalam rupiah sebesar Rp 293.179.000. Selanjutnya adalah keputusan
yang ditolak seluruhnya dengan persentase 48% atau 37 permohonan banding dengan
jumlah dalam rupiah sebesar Rp 2.003.092.000. Sisanya 1 permohonan banding yang
ditetapkan tolak/revisi pada tahun 2012, dengan nilai rupiah sebesar Rp
37.125.000.Dalam rekapitulasi keputusan banding diatas, diketahui bahwa
permohonan banding yang diputuskan diterima lebih besar jumlah rupiahnya
dibandingkan permohonan yang ditolak. Meskipun secara jumlah permohonan
banding yang diajukan, jumlah permohonan yang diputuskan ditolak lebih besar.
Penulis membuat perhitungan trend linear atas banyaknya permohonan keberatan
atas penetapan nilai pabean pada tahun 2013-2015 berdasarkan data history dari
pengajuan keberatan pada tahun 2008-2012 di KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung
Perak sesuai Tabel II.3.
39

Tabel III.5
Perkiraan Jumlah Permohonan Keberatan atas Penetapan Nilai Pabean di KPPBC TIpe Madya
Pabean Tanjung Perak pada tahun 2013-2015 Berdasarkan Perhitungan Trend Linear Kuadrat
Terkecil

Perkiraan yang Perkiraaan Perkiraan


Perkiraan
diputuskan yang yang
banyaknya
Tahun diterima diputuskan diputuskan
permohonan
(y=29.4x+125.6) ditolak tolak+revisi
(y=8.8x+393.4)*
(y=15x+277.2) (y=5.6x+40.6)

2013 419** 213 232 23


2014 428 243 217 18
2015 437 272 202 12
*persamaan garis regresi
**pembulatan

Dari perhitungan trend yang penulis buat, terlihat bahwa adanya peningkatan
permohonan keberatan atas penetapan nilai pabean pada tahun 2013-2015. Hal lain
yang perlu dicermati yaitu perkiraan atas hasil keputusan keberatan. Pada Tabel II.4
menunjukan bahwa akan terjadi trend naik atau meningkat atas permohonan
keberatan yang diputuskan diterima. Sedangkan terjadi penurunan trend atas
permohonan keberatan yang diputuskan ditolak dan diputuskan ditolak revisi. Dari
perhitungan trend ini, penulis memiliki hipotesis bahwa jumlah permohonan
keberatan akan semakin naik pada tahun-tahun mendatang dengan menganggap
faktor-faktor lain sama pada tahun-tahun mendatang misal banyaknya jumlah PIB
atau SPTNP yang terbit atau inovasi di DJBC mengenai penetapan nilai pabean. Ini
tentu menjadi perhatian selain jumlah rupiah yang selalu lebih besar atas keputusan
keberatan dan banding yang diterima daripada atas keputusan yang ditolak atau
ditolak+revisi.
Hal ini menarik bagi penulis karena masih besarnya pungutan negara dimana
diputuskan diterima saat diajukan permohonan keberatan dan/atau banding. Jika
40

penulis menarik lebih jauh atas keputusan keberatan diatas, maka tidak lepas dari
penetapan nilai pabean berdasarkan nilai pabean yang dilakukan oleh PFPD di
KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak. Dalam penelitian yang penulis lakukan
pada berkas keberatan mengenai penetapan nilai pabean, penulis menemukan bahwa
sebagian besar importir/kuasanya berkeberatan atas nilai pabean yang ditetapkan dan
yakin atas nilai transaksi yang diberitahukan.
Ini merupakan konsekuensi dari proses bisnis di DJBC dalam menetapkan nilai
pabean sebagai dasar perhitungan bea masuk. Ini dapat terlihat pada awal dokumen
PIB dan dokumen pelengkap pabean lain yang diserahkan oleh importir/kuasanya
secara self assessment. Dengan menganut asas self assessment ini, importir/kuasanya
diberikan kepercayaan untuk memberitahukan dan menghitung pungutan negara yang
harus dibayar, yang dalam ini adalah bea masuk dan PDRI.
Hubungan dengan penetapan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi,
pemberlakuan asas self assessment ini juga memberikan konsekuensi kepada PFPD
sebagai wakil dari DJBC. Konsekuensi yang dimaksud adalah untuk lebih
memberikan kepercayaan kepada importir/kuasanya atas harga/nilai transaksi barang
impor dan validasi dokumen-dokumen yang membentuk dan mendukung
pembentukan harga tersebut. Dalam bahasa yang lebih umum dapat dikatakan bahwa
PFPD menganggap benar harga/nilai transaksi barang impor yang diberitahukan oleh
importir/kuasanya pada kesempatan pertama.
Meskipun demikian, dalam ketentuan internasional yaitu Agreement on
Implementation of Article VII of GATT (1994,173) menyatakan bahwa “If the
customs value of the imported goods cannot be determined under the provisions of
Article 1(transaction value), the customs value shall be the transaction value of
identical goods….” Ini artinya bahwa secara internasional, pejabat Bea dan Cukai
dapat menentukan nilai pabean tidak berdasarkan nilai transaksi jika persyaratan
dapat diterimanya nilai transaksi tidak dapat terpenuhi.
41

Pada saat melakukan praktik kerja, penulis menemukan bahwa titik untuk
menentukan diterima atau tidaknya nilai transaksi barang impor oleh
importir/kuasanya ini sangat krusial, baik bagi importir sendiri maupun bagi DJBC
yang hubungannya dengan besaran pajak yang diperoleh sebagai penerimaan negara.
Ini dapat diketahui dari sebagian besar alasan pada surat permohonan keberatan
dan/atau banding atas penetapan nilai pabean oleh PFPD. Dalam konteks ini,
Importir/kuasanya meyakini bahwa nilai transaksi yang mereka beritahukan adalah
yang sebenarnya/seharusnya.
Dalam pelaksanaan atas penetapan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi atas
barang impor oleh PFPD, penulis menemukan beberapa hambatan dan
ketidaksempurnaan lain dari proses maupun aturan penetapan tersebut. Pada
kesempatan ini penulis akan menguraikan masalah dan mencoba memberikan
alternatif solusi untuk mengatasi masalah yang terjadi di lapangan.
Pertama, penulis akan menguraikan dan menganalisa hambatan serta
ketidaksempurnaan lain yang penulis temui selama menjalani Praktik Kerja Lapangan.
Uraian masalah dan analisanya sebagai berikut:

a. Data Base Nilai Pabean I yang tidak up to date dan Data Base Nilai Pabean II
yang masih baru dibuat.
Data Base Nilai Pabean I ini dibuat oleh Direktorat Teknis Kepabeanan Kantor
Pusat DJBC sebagai alat uji kewajaran nilai transaksi atas barang impor. DBNP I ini
notabanenya salah satu sumbernya dari DBNP II yang dibuat oleh masing-masing
Kantor Wilayah DJBC di seluruh Indonesia. DBNP II sendiri bersumber dari PIB
yang nilai pabeannya ditentukan berdasarkan nilai transaksi dengan tanggal Bill of
Lading (B/L)-nya paling lama 60 hari sebelum penyusunan DBNP II. Penggunaan
DBNP II hanya terbatas pada masing-masing Kantor Wilayah DJBC yang
menerbitkan. Ini berbeda dengan DBNP I yang digunakan oleh seluruh kantor Bea
dan Cukai di seluruh Indonesia.
42

Dari segi utilitas, DBNP I dan DBNP II memiliki sedikit perbedaan yaitu DBNP I
digunakan pertama untuk meguji kewajaran nilai transaksi barang impor. Sesudah itu,
baru digunakan DBNP II sebagai alat uji kewajaran jika jenis barang impor yang
dimaksud tidak ada dalam DBNP I. Penggunaan DBNP I disini adalah sebagai alat uji
kewajaran, sedangkan DBNP II sebagai alat penetapan PFPD dan sebagai alat uji
kewajaran jika tidak ditemukan jenis barang impor yang dimaksud pada DBNP II.
Disini penulis melihat adanya permasalahan dalam hal penggunaan DBNP I
maupun DBNP II. Pertama, dari segi waktu penggunaan yang mendahulukan DBNP I
dibandingkan DBNP II sebagai alat uji kewajaran. Penulis rasa kurang tepat karena
jika dilihat dari waktu penyusunan Data Base Nilai Pabean, DBNP II lah yang
memiliki jangka waktu yang lebih dekat dengan waktu importasi barang impor uang
diuji kewajarannya. Jangka waktu ini sangat penting mengingat harga/nilai transaksi
suatu barang tentu akan lebih cenderung berubah dalam waktu yang lebih lama baik
itu lebih murah maupun lebih mahal.
Hal ini tentu memberikan dampak yang kurang baik bagi importir sendiri maupun
DJBC sebagai wakil pemerintah sebagai pemungut pajak. Sebagai contoh, seorang
importir melakukan importasi suatu barang dengan benar memberitahukan nilai
transaksi lengkap dengan data pendukung. Ternyata barang impor tersebut lebih
murah/lebih rendah dari toleransi 5% harga barang pembanding di DBNP I saat PFPD
melakukan uji kewajaran. Selanjutnya, PFPD memutuskan untuk tidak menerima
nilai transaksi atas barang impor.
Disisi lain memang harga barang yang bersangkutan di pasaran mengalami
penurunan harga lebih dari 5% selama tahun berjalan. Ini menyebabkan importir
harus membayar kekurangan bea masuk dan sanksi administrasi berupa denda. Hal
demikian baik untuk penerimaan negara, akan tetapi disisi lain hal tersebut
berdampak mengurangi kepercayaan pengguna jasa ditambah jika itu menyebabkan
gangguan perdagangan jenis barang impor yang bersangkutan.
43

Permasalahan mengenai penggunaan Data Base Nilai Pabean yang penulis lihat
selanjutnya adalah tidak up to date nya DBNP I. Di ketentuan PMK
160/PMK.04/2010, tidak mengatur jangka waktu pemuktahiran data jenis barang
pada DBNP I, baik pada segi kuantitas jenis barang, harga barang, dan rincian
spesifikasi pada DBNP I. Menu rincian yang dimaksud adalah spesifikasi lengkap dan
rinci atas barang pembanding pada DBNP I, yang dinilai oleh PFPD masih terlalu
umum. Dalam wawanacara yang penulis lakukan kepada 10 PFPD, seluruhnya
mengeluhkan DBNP I yang tidakup to date.
Selain itu, masalah yang lebih pelik lagi terdapat pada penggunaan DBNP II yang
penulis temukan ternyata baru ada di bulan juni tahun 2013 di KPPBC Tipe Madya
Pabean Tanjung Perak. Permasalahan DBNP II memang terasa cukup menghambat
kinerja PFPD dalam uji kewajaran dan juga penetapan diterima tidaknya nilai
transaksi barang impor. Ini dikarenakan data jenis barang di DBNP II masih sangat
sedikit, padahal penulis menemukan beberapa PFPD amat tergantung pada data di
DBNP I maupun DBNP II.

b. Ketentuan dalam PMK 160/PMK.04/2010 yang belum sempurna.


Penulis berpendapat masih terdapat celah-celah di PMK 160/PMK.04/2010 yang
dapat menghambat kinerja PFPD. Pertamamengenai ketentuan pada pasal 8 huruf (d)
PMK 160/PMK.04/2010 yang menyatakan pejabat Bea dan Cukai mempunyai alasan
berdasarkan bukti nyata atau data yang objektif dan terukur untuk tidak menerima
nilai transaksi sebagai nilai pabean. Di ketentuan PMK 160/PMK.04/2010 tidak
secara rinci menyebutkan apa-apa saja yang termasuk bukti nyata atau data yang
objektif dan terukur tersebut.
Sebagai contoh, penulis melakukan wawancara dengan seorang PFPD atas arsip
keberatan atas nilai pabean suatu barang impor beserta lampiran-lampiran dokumen
pendukung. Keputusan keberatan menyatakan menerima permohonan dan
menetapkan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi yang diberitahukan
44

importir.Berdasarkan Lembar Penelitian dan Penetapan Nilai Pabean (LPPNP)


disebutkan alasan PFPD menolak nilai transaksi dikarenakan keterangan pada DNP
tidak berdaya guna. Setelah mengkonfirmasi dokumen keberatan tersebut kepada
PFPD bersangkutan ternyata saat mekanisme konsultasi PFPD tersebut menilai secara
psikologis gerak-gerik importir. Selanjutnya, dari hasil melihat keadaan importir
tersebut yang dirasa mencurigakan maka PFPD memutuskan untuk tidak menerima
nilai transaksi sebagai nilai pabean. Padahal data pendukung sudah cukup lengkap
seperti PIB, Packing List, Invoice, SGS Certificate, Sales Contract dan
amandemennya, serta fotokopi data importasi selama periode tahun berjalan.
Sebagai tambahan, Dalam wawancara yang penulis lakukan pada 10 dari 25
PFPD di KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak, PFPD sepakat bahwa dasar
yang digunakan dalam penetapan nilai pabean adalah PMK 160/PMK.04/2010. Di
lain sisi penulis menemukan fakta yang sebenarnya berbeda dengan pernyataan diatas.
Penulis menemukan 5 dari 10 PFPD yang diwawancarai, sangat bergantung
diterima atau tidaknya nilai transaksi dari harga pembanding pada DBNP I atau
DBNP II tanpa melihat dokumen pendukung pembentuk nilai transaksi. Terdapat juga
PFPD yang melakukan uji kewajaran dan melakukan penelitian terhadap dokumen
pendukung nilai transaksi. Disini juga terjadi perbedaan akan syarat dokumen yang
harus disertakan. Misal, ada seorang PFPD yang menerima nilai transaksi jika
terdapat L/C atau bukti transfer lainnya pada dokumen pendukung. Seorang PFPD
lainnya menyatakan bahwa nilai transaksi bisa diterima jika ada sales contract dan
amandemennya atau korespondensi antara pembeli dan penjual.
Dari contoh diatas kita dapat menyimpulkan sebenarnya masih belum adanya
kesepakatan bersama yang dilegalkan atas rincian/detail mengenai pernyataan bukti
nyata atau data yang objektif dan terukur. Ini sangat penting agar PFPD di seluruh
Kantor Pelayanan Bea dan Cukai mempunyai pegangan yang sama dalam interpretasi
mengenai pernyataan tersebut. Jadi, sebenarnya masalah personal judgement ini
adalah goal dari permasalahan terminologi yang penulis uraikan diatas.
45

Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu tidak tercakupnya jenis-jenis perdagangan
tertentu yang sesuai dengan ketentuan di PMK 160/PMK.04/2010, misalnya
mengenai Future Trading. Future Trading merupakan jenis perdagangan dimana
pembeli (importir) membeli suatu barang, dan penjual menyerahkan barang tersebut
pada waktu yang yang ditentukan (kebanyakan hampir diserahkan lebih dari 1 tahun
berjalan).
Sebagai contoh, seorang importir membeli barang pada tahun 2013 dan eksportir
baru mengirimkan barang pada tahun 2017. Tentu dalam jangka waktu tersebut harga
barang impor akan cenderung berubah. Future Trading biasanya terjadi pada
importasi barang yang harganya terus naik dari waktu ke waktu. Dari hasil
wawancara dengan seorang PFPD, Future Trading masih sulit dibuktikan
dikarenakan memang tidak ada ciri-ciri khusus antara Future Trading dengan bentuk
perdagangan pada umumnya.
Sebenarnya tidak hanya peraturan tentang penetapan nilai pabean saja yang belum
sempurna, akan tetapi juga dari PFPD sendiri yang dalam hal tertentu tidak sesuai
dengan peraturan. Misal penelitian dokumen untuk importir jalur hijau yang hanya
diteliti tarifnya saja tanpa adanya penelitian terhadap nilai pabean.

c. PFPD kesulitan dalam menentukan biaya-biaya yang ditambahkan pada harga


sebenarnya/seharusnya dibayar.
Atas biaya-biaya yang ditambahkan pada harga sebenarnya/seharusnya memang
masih terasa sulit untuk dapat ditentukan oleh PFPD. Penulis menemukan bahwa
PFPD amat tergantung pada dokumen pelengkap pabean yang diserahkan oleh
importir/kuasanya dan pada harga pembanding di DBNP I dan II. Sebenarnya
masalah biaya-biaya yang ditambahkan pada harga sebenarnya/seharusnya pernah
terjadi awal tahun 2011 tentang importasi film.
Masalah saat itu adalah tidak dimasukannya royalti pada nilai transaksi film
impor. Padahal masyarakat film saat itu mempertanyakan samanya harga importasi
46

film impor, baik yang diproduksi mahal dan peredaran sukses (blockbuster) maupun
yang produksi murah dan peredarannya tidak sukses.Ternyata memang diketahui
bahwa importir hanya melaporkan nilai pabean senilai dengan biaya cetak copy-nya
saja senilai USD 0,43/meter. Padahal harga atas film tersebut bukan hanya itu, karena
ada yang dibayarkan kemudian yaitu sebesar persentase (%) tertentu dari hasil edar
film tersebut.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai waktu itu, Thomas Sugijata lewat surat tagihan
tertanggal 12 Januari 2011 menyebutkan bahwa importir film impor waktu itu
dikenakan tambah bayar sebesar Rp 31 miliar selama dua tahun. Jumlah itu belum
termasuk denda sepuluh kali lipat, sehingga total kewajibannya mencapai Rp 310
miliar.
Sampai sekarang hal ini masih belum ada solusi yang tepat untuk megatasi
masalah ini. Dari contoh mengenai importasi film yang bermasalah dengan royalti,
DJBC mengatasi masalah ini dengan menjadikan tarif dari film tidak menganut
sistem tarif advalorum akan tetapi tarif spesifik.Artinya penghitungan tarif tidak lagi
berdasar satuan meter panjang pita seluloid film, tapi berdasarkan per menit.
Penghitungan nilai tarif bea masuk ini dengan mengasumsikan satu menit sama
dengan 27,42 meter. Dari konversi tersebut dikalikan nilai pabean US$ 0,043 dan
kurs rupiah Rp 9100 per dolar. Sehingga berdasarkan tarif lama, besaran bea
masuknya sebesar Rp 10.729 per menit. Tarif ini yang kemudian dinaikkan sebesar
100 persen menjadi Rp 21.458 per menit film. Dengan pemberlakuan tarif spesifik
ini maka harga atas film tidak berpengaruh pada perhitungan bea masuk. Akan tetapi,
cara seperti ini tentu tidak bisa terus-menerus dilakukan untuk mengatasi masalah
yang sama.

d. Kurangnya pengetahuan PFPD atas jenis barang tertentu


Menjadi seorang PFPD tidak hanya dituntut mememenuhi persyaratan formal
seperti pangkat minimal III/c, Jabatan eselon IV, lulusan Diklat Teknis Substantif
47

Dasar dan Spesialisasi Kepabeanan dan Cukai, dan lain sebagainya. Akan tetapi juga
dituntut memiliki pemahaman lebih mengenai jenis bahkan spesifikasi barang. Sering
di lapangan terdapat barang impor yang sulit dibedakan secara fisik bahkan uji
laboratorium sekalipun. Berdasarkan hasil wawancara 10 dari 10 PFPD menyatakan
bahwa hambatan yang sering ditemui dalam penetapan nilai pabean adalah tidak
tahunya akan spesifikasi barang terutama bahan kimia dan mesin. Hasilnya, sering
PFPD menerima nilai transaksi barang impor yang bersangkutan.
Contoh barang yang sulit PFPD tentukan harga/ nilai transaksinya adalah mesin.
Mesin merupakan salah satu barang yang dapat berbeda harga meskipun secara fisik
terlihat sama. Importasi mesin sering dilakukan per part dan jumlah yang banyak.
Terlebih jika mesin tersebut belum pernah diimpor sebelumnya, tentu ini akan lebih
mempersulit PFPD dalam memutus diterima atau tidaknya nilai transaksi yang
bersangkutan.

e. PFPD memiliki keterbatasan dan kesulitan dalam menentukan kasus under


invoicing .
Under invoicing adalah istilah harga pada invoice bukan merupakan nilai
transaksi yang sebenarnya/seharusnya pada barang impor. Dalam wawancara yang
dilakukan penulis dengan 10 PFPD, penulis menemukan bahwa PFPD sulit
menentukan suatu kasus dapat dikategorikan under invoicing atau tidak. Saat penulis
melakukan wawancara, terdapat beberapa PFPD yang mengungkapkan jika harga
barang ditetapkan tidak dengan metode I atau berdasarkan nilai transaksi itu dapat
dikategorikan under invoicing. Sementara itu, beberapa PFPD lainnya hanya
menggangap barang yang diberitahukan dengan invoce atau dokumen pelengkap lain
palsu/dipalsukanlah yang termasuk kasus under invoicing.
Terminologi keterbatasan yang dimaksud diatas adalah terbatasnya waktu dalam
menentukan nilai pabean. Sedangkan terminologi kesulitan maksudnya sulit untuk
menentukan palsu/tidaknya invoice atau dokumen pelengkap pabean lainnya karena
48

tidak ada bentuk baku atas dokumen-dokumen tersebut. Dalam wawancara yang
penulis lakukan, diketahui terjadi kerjasama yang kurang baik antara PFPD dan Unit
Penindakan dan Penyidikan. Bentuk kerjasama yang kurang baik ini maksudnya,
PFPD menunggu atensi dari Unit Penindakan dan Penyidikan tetapi sebaliknya juga
Unit Penindakan dan Penyidikan menunggu informasi atas kecurigaan under
invoicing dari PFPD. PFPD di KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak sendiri
belum pernah memberikan atensi ke Unit Penindakan dan Penyidikan atas hal
tersebut. Saat penulis melakukan konfirmasi ke Unit Penindakan dan Penyidikan,
ternyata memang belum ada kasus yang berkaitan dengan invoice atau dokumen
pelengkap pabean palsu/dipalsukan.
Memang jika dihubungkan dengan penetapan nilai pabean berdasarkan nilai
transaksi, ini tidak terkait langsung dengan harga barang impor. Hal ini karena
sebagian besar PFPD berpatokan pada harga barang pembanding di DBNP I atau
DBNP II dan selama harga barang dianggap wajar maka keaslian dokumen tidak
dipermasalahkan. Hal ini menjadi terkait, jika PFPD menduga harga barang impor
tidak wajar setelah membandingkan harga barang pembanding di DBNP I atau DBNP
II. Ini karena proses selanjutnya yaitu penerbitan INP dan diikuti penyerahan DNP
dan dokumen pelengkap pabean termasuk data pendukung pembentuk nilai transaksi.
Dengan PFPD mengetahui, palsu/dipalsukannya dokumen pemberitahuan pabean atau
dokumen pelengkap pabean akan berguna bagi profiling importir guna uji kewajaran
pada importasi selanjutnya.

f. Kurangnya pengetahuan pengguna jasa atas pertanyaan pada DNP dan ketentuan
akan mekanisme konsultasi yang sering tidak efektif.
Kurangnya pengetahuan pengguna jasa merupakan hambatan yang dialami PFPD
yang berasal dari eksternal. Pengetahuan pengguna jasa akan poin-poin pertanyaan
pada DNP ini dirasa penting. Misal pertanyaan mengenai persyaratan nilai transaksi
“apakah terdapat persyaratan/pertimbangan atas pembelian barang impor Saudara
49

mempengaruhi harga barang impor tersebut, sehingga mengikibatkan harga barang


tidak dapat ditentukan?”, tentu tidak semua importir tahu istilah ini. Kalaupun kuasa
importir yang merupakan ahli kepabeanan tahu maksud pertanyaan ini atau
pertanyaan lain tentu tidak benar-benar valid jawabannya dikarenakan kuasa bukan
orang yang melakukan transaksi jual-beli.Saat penulis melakukan observasi dan
meneliti sebagian dokumen keberatan di KPPBC Tipe Madya Tanjung Perak, penulis
menemukan beberapa fakta. Antara fakta tersebut yaitu terdapat cukup banyak
penetapan PFPD yang tidak diterima nilai transaksinya beralasan bahwa DNP tidak
berdaya guna. Alasan ini penulis lihat pada LPPNP. Dengan demikian, kita tahu
bahwa sebenarnya beberapa DNP yang diserahkan importir tidak membantu
penetapan nilai pabean. Bahkan terasa hanya sebagai formalitas saja.
Masalah eksternal lain yang penulis temui adalah pada saat mekanisme konsultasi.
Mekanisme konsultasi ini pada dasarnya untuk meyakinkan kembali PFPD atas data
pendukung atau meminta data pendukung terbentuknya nilai transaksi barang impor.
Dalam mekanisme konsultasi, Juga digunakan PFPD untuk menanyakan mengenai
hal-hal tertentu untuk mendukung data pembentuk nilai transaksi barang impor yang
bersangkutan.
Masalah timbul saat ini adalah seringnya importir tidak hadir jika PFPD meminta
mekanisme konsultasi dan diwakilkan oleh kuasanya yang dalam hal ini adalah PPJK.
Tentu ini menyulitkan bagi PFPD, karena atas pembentukan harga barang impor dan
seluk beluk barang impor tersebut tentu hanya importir sendiri yang mengetahuinya.
Jadi, jika PFPD melakukan wawancara dengan kuasanya/PPJK mengenai pembentuk
harga/nilai transaksi maka tidak akan benar-benar efektif.

2. Pemecahan masalah.
a. Data Base Nilai Pabean I yang tidak up to date dan Data Base Nilai Pabean II
yang masih baru dibuat.
50

Untuk permasalahan tidak up to date nya DBNP I dan DBNP II, penulis
memberikan beberapa alternatif solusi. Yang pertama yaitu merevisi penggunaan
DBNP I sebagai alat uji kewajaran dan digantikan dengan DBNP II. Ini dikarenakan
data harga pada DBNP II lebih dekat dengan tanggal importasi dibanding DBNP I.
Tentu dengan mendahulukan penggunaan DBNP II, proses uji kewajaran akan lebih
relevan.
Alternatif selanjutnya, tentu proses pemutakhiran DBNP I dan DBNP II harus
sesuai Peraturan Direktur Jenderal Nomor 40/BC/2010. Penulis menemukan bahwa
memang terjadi pemutakhiran data harga, akan tetapi untuk sebagian jenis barang saja.
Sebagai tambahan pula, di KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak baru ada dan
berlaku DBNP II di bulan juni. Dalam Peraturan Direktur Jenderal Nomor
40/BC/2010, Direktorat Teknis Kepabeanan wajib melakukan pemuktahiran harga
pada DBNP I dalam waktu 1 bulan sekali. Sedangkan untuk pemutakhiran DBNP II,
Kantor Wilayah DJBC wajib melakukannya 2 kali dalam 1 bulan. Hal ini tentu
dengan didukung dengan mengirimkan pemutakhiran data harga sebagai sumber
DBNP I dalam waktu yang sama dengan sistem terintegrasi.
Selain menyoroti waktu pemuktahiran data harga, penulis juga menyarankan
untuk lebih merinci data uraian barang pada DBNP I dan DBNP II. Penulis
menemukan data uraian barang pada DBNP I dan DBNP II masih terlalu umum
sehingga PFPD sendiri kesulitan menemukan barang identik sebagai data
pembanding. Tidak jarang PFPD membandingkan harga barang impor dengan harga
barang pembanding pada DBNP I atau DBNP II padahal spesifikasi barang impor
tidak dapat dipastikan identik.
Alternatif maju terakhir yang penulis sarankan adalah adanya link antar PFPD di
seluruh Indonesia yang terintegrasi secara online.Link ini merupakan pengganti dari
DBNP I dan DBNP II yang masih tergolong lama dalam hal pemuktahiran data.
Terintegrasi secara online disini maksudnya setiap kali seorang PFPD memutuskan
51

harga suatu barang diterima atau tidak nilai transaksinya maka putusan dan data
pendukungnya itu direkam dalam suatu sistemonline yang terintegrasi.
Dengan adanya sistem link online ini, maka seluruh PFPD di semua KPPBC/KPU
dapat melihat putusan dan data pendukungnya secara langsung tanpa tergantung
DBNP I atau DBNP II. Ini menjadi penting, karena penulis melihat dasar penetapan
nilai pabean oleh PFPD secara garis besar merupakan personal judgement masing-
masing, tentu dengan tetap berdasar pada PMK No. 160/PMK.04/2010. Penulis
percaya bahwa adanya sistem link online ini dapat memberikan masukan atau sebagai
bahan pertimbangan yang lebih baik dari penggunaan DBNP I atau DBNP II.
Penggunaan sistem link online ini juga memberikan kepastian, tidak hanya pada
pihak DJBC sebagai pemungut pajak tetapi juga pada importir sebagai pengguna jasa.
Ini dikarenakan keputusan atas besaran nilai pabean antar PFPD akan memiliki
kecenderungan diputuskan sama.

b. Ketentuan dalam PMK 160/PMK.04/2010 yang belum sempurna.


Penulis menyarankan untuk merevisi PMK 160/PMK.04/2010.Untuk
permasalahan terminologi bukti nyata atau data objektif dan terukur pada pasal 8
huruf (d) PMK 160/PMK.04/2010, penulis menyarankan untuk merevisi dan
memberikan penjelasan yang terminologi diatas. Penjelasan yang dimaksud, penulis
menyarankan adanya dokumen pelengkap pabean wajib yang ditambahkan pada saat
penyerahan PIB. Untuk lebih jauh lagi penulis menyarankan adanya penambahan
ketentuan agar imortir/kuasanya wajib menyerahkan semua dokumen pelengkap
pabean yang mendukung terbentuknya nilai transaksi. Dan jika importir/kuasanya
tidak melakukan hal tersebut maka PFPD menetapkan nilai pabean berdasarkan data
yang diserahkan.
Pengertian diatas akan memberikan konsekuesi bagi importir dan kuasanya untuk
menyerahkan semua dokumen yang mendukung terbentuknya nilai transaksi. Dan
apabila tidak dapat menyerahkan dokumen tertentu maka harus dilengkapi alasan
52

yang jelas dan dapat diterima. Dengan standar seperti ini, juga akan menghindari
PFPD dari penetapan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi yang sering dilakukan
secara personal judgement misal dengan menerima atau tidak nilai transaksi
berdasarkan faktor psikologis importir.
permasalahan lain mengenai berbagai kesepakatan dagang atau jenis perdagangan
misal Future Trading, penulis menyarankan adanya lembar peraturan terpisah
pelengkap PMK 160/PMK.04/2010. Lembar peraturan terpisah ini memuat berbagai
jenis dan aturan mengenai berbagai kesepakatan dagang atau jenis perdagangan dan
terus dilakukan pemuktahiran setiap tahunnya. Dengan adanya lembar peraturan
terpisah ini, PFPD akan lebih mudah dalam menetapkan nilai pabean berdasarkan
nilai transaksi dengan melihat aturan main pada jenis kesepakatan dagang tersebut.
Jika permasalahannya adalah sebaliknya yaitu PFPD melakukan penelitian dan
penetapan tarif dan nilai pabean tidak sesuai dengan ketentuan tentang penetapan tarif
dan nilai pabean, maka penulis menyarankan untuk PFPD kembali melaksanakan
tugasnya sesuai ketentuan yang berlaku. Misalnya yang selama ini penelitian atas
jalur hijau yang hanya pada klasifikasi untuk menentukan tarif bea masuknya saja
diubah menjadi penelitian dan penetapan tarif dan nilai pabean.

c. PFPD kesulitan dalam menentukan biaya-biaya yang ditambahkan pada harga


sebenarnya/seharusnya dibayar.
Alternatif solusi pada masalah terminologi bukti nyata atau data objektif dan
terukur pada pasal 8 huruf (d) PMK 160/PMK.04/2010 tidak dapat diterapkan, karena
biaya-biaya yang ditambahkan pada nilai transaksi pada dasarnya berbeda. Berbeda
dalam artian jika alternatif solusi pada masalah bukti nyata atau data objektif dan
terukur pada pasal 8 huruf (d) PMK 160/PMK.04/2010 diterapkan akan sangat efektif
untuk mengeliminasi biaya-biaya yang seharusnya tidak termasuk dalam nilai
transaksi misal diskon. Ini dikarenakan importir sudah “dianggap” sudah
menyerahkan semua data saat pertama kali penyerahan PIB. Sedangkan pada biaya-
53

biaya yang harus ditambahkan pada harga sebenarnya atau seharusnya, PFPD dituntut
untuk tahu adanya biaya itu, misalroyalti.
Atas permasalahan PFPD kesulitan dalam menentukan biaya-biaya yang
ditambahkan pada harga sebenarnya/seharusnya dibayar, penulis memberi 2 aternatif
solusi. Yang pertama, revisi atas PMK 160/PMK.04/2010 dimana dengan
mendahulukan uji kewajaran dan kemudian melakukan penelitian terhadap dokumen
pelengkap yang mendukung nilai transaksi barang impor. Dengan demikian waktu
penelitian dokumen akan lebih efisien.
Yang kedua yaitu Tim audit khusus nilai pabean yang melakukan audit pada
importir jalur kuning dan merah yang diberikan atensi khusus oleh PFPD. Solusi
kedua ini mempunyai syarat bahwa ketentuan penyerahan dokumen pendukung
pembentuk nilai transaksi oleh importir/kuasanya pada saat penyerahan PIB lengkap.
Misal terdapat importasi yang barang impor dimana harga barang yang bersangkutan
lebih rendah dari toleransi harga pembanding pada DBNP I atau DBNP II, akan tetapi
dokumen pelengkap pendukung terbentuknya nilai transaksi lengkap maka PFPD
dapat memberikan atensi pada Unit Audit yang dalam hal ini Tim audit khusus nilai
pabean untuk melakukan audit.

d. Kurangnya pengetahuan PFPD atas jenis barang tertentu


Permasalahan kurangnya pengetahuan PFPD atas jenis barang tertentu ini,
sebenarnya berkaitan dengan masalah tidak up to date nya DBNP I dan DBNP II.
Dikarenakan kurang pengetahuan akan jenis barang tertentu maka PFPD sering
sangat mengandalkan data pembanding pada DBNP I dan DBNP II, padahal di Data
Base Harga sendiri belum tentu ada barang identik.
Masalah atas kurangnya pengetahuan jenis barang ini, penulis menyarankan untuk
diadakannya workshop atas importasi barang tertentu misal mesin atau bahan kimia.
Tentu workshop ini diisi oleh orang-orang yang kompeten dan ahli di bidangnya.
Untuk masalah materi workshop dapat difokuskan pada jenis barang yang sering
54

diimportasi ke Indonesia terutama yang pemasukannya melalui Pelabuhan Tanjung


Perak. Dengan adanya workshop ini diharapkan PFPD dapat lebih mengenai uraian
jenis barang, terutama perbedaan spesifikasi yang mempengaruhi harga.
Selain workshop, DJBC juga dapat mengusulkan pada World Customs
Organization (WCO) agar semua perusahaan pengekspor membuat daftar harga resmi
dari eksportir yang berlaku secara internasional yang dapat dilihat di website
perusahaan. Sebenarnya beberapa perusahaan pengekspor sudah melakukan ini, akan
tetapi tidak semua perusahaan. Hal ini wajar, dikarenakan harga merupakan sesuatu
yang sensitif. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian ID khusus bagi Instansi Bea dan
Cukai negara pengimpor untuk log in dan mengecek harga barang pada website
perusahaan.

e. PFPD memiliki keterbatasan dan kesulitan dalam menentukan kasus under


invoicing.

Dalam hal ini penulis memberikan alternatif solusi penambahan menu pada sistem
CEISA yang digunakan oleh PFPD maupun Unit Penindakan dan Penyidikan.
Dimana menu ini digunakan untuk mengirim atensi non lartas dan dihubungkan pada
Unit Penindakan dan Penyidikan apabila PFPD meragukan keaslian dokumen
pelengkap pabean, misal invoicedan begitu pula sebaliknya.Adanya menu ini akan
menciptakan kerjasama yang baik antara PFPD dan Unit Penindakan dan Penyidikan
dalam menangani kasus under invoicing.
Dengan demikian Unit Penindakan dan Penyidikan dapat meneliti lebih lanjut dan
dapat mengoptimalkan penegakan hukum yang termuat pada pasal 103 huruf a UU
No 10 tahun 1995 yang sebagaimana diubah dengan UU No 17 tahun 2007. Dimana
pasal yang dimaksud menyatakan bahwa setiap orang yang menyerahkan
pemberitahuan pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean yang palsu atau
dipalsukan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun sampai 8 tahun
55

dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.00 dan paling banyak Rp


5.000.000.000.

f. Kurangnya pengetahuan pengguna jasa atas pertanyaan pada DNP dan pentingnya
mekanisme konsultasi.
Pengetahuan pengguna jasa yang dalam hal ini adalah importir/kuasanya atas
pertanyaan pada DNP adalah penting. Peran DNP disini dapat berguna atau tidak
berdaya guna dikarenakan kurangnya pengetahuan pengguna jasa tentang maksud
poin-poin pertanyaan pada DNP.Penulis memberikan alternatif solusi mengenai
masalah ini adalah pengisian DNP dilakukan oleh importir sendiri dengan
pendampingan kuasanya yang merupakan ahli kepabeanan. Dengan demikian
importir mengerti maksud dari poin-poin yang ditanyakan dalam DNP. Sekaligus
juga memahami data yang harus dilampirkan sebagai pendukung nilai transaksi.Ini
penting, untuk mempermudah PFPD dalam menentukan diterima atau tidaknya nilai
transaksi barang impor. Ini juga mengembalikan fungsi DNP yang sebenarnya yaitu
sebagai deklarasi sebenarnya dari importir bahwa harga barang impor memang benar
berdasarkan nilai transaksi.
Tidak jauh berbeda dengan alternatif solusi pada permasalahan DNP, alternatif
solusi pada masalah mekanisme konsultasi juga dengan mengharuskan importir
sendiri yang datang untuk konsultasi. Agar ketentuan ini menjadi legal, maka penulis
menyarankanmerevisi Peraturan Direktur Jenderal Nomor 38/BC/2010 yang
menyatakan dimungkinkan bagi kuasa importir untuk hadir dan mewakili importir
untuk melakukan mekanime konsultasi. Keharusan hadir disini dalam arti adanya
importir atau wakil importir yang bukan PPJK/ahli kepabeanannya. Misal importir
seorang direktur perusahaan, saat mekanisme konsultasi diwakilkan oleh manajer
pengadaan barang pada perusahaan tersebut.
BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab-bab
sebelumnya, penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Data mengenai keberatan dan banding atas penetapan nilai pabean pada tahun
2008-2012, menunjukkanbahwakeputusan diterima selalu lebih besar dari
keputusan ditolak atau diputuskan tolak+revisi dalam satuan nilai rupiah atas
pungutan negara.
2. Sebagian besar keberatan dan banding atas penetapan nilai pabean terjadi dengan
alasan importir meyakini nilai transaksi adalah yang sebenarnya/seharusnya.
3. Data Base Nilai Pabean Itidak up to date dan Data Base Nilai Pabean II yang
masih baru dibuatsehinggamenyebabkan PFPD sulitmelakukanujikewajaran.
Tidak up to date nya DBNP I, dikarenakan proses pemutakhiran data harga
barang impor yang dilakukan oleh Direktorat Teknis Kepabeanan Kantor Pusat
DJBC berjalan lambat dan tidak sesuai ketentuan pasal 7 Peraturan Direktur
Jenderal No P-40/BC/2010. Tidak hanya DBNP I, untuk DBNP II pun ternyata
penggunaannya baru ada di bulan juni 2013.
4. Ketentuan dalam PMK 160/PMK.04/2010belumsempurna, antara lain:
a. Tidak jelasnya terminologi pada pasal 8 huruf (d) PMK 160/PMK.04/2010 yang

56
57

b. menyatakan pejabat Bea dan Cukai mempunyai alasan berdasarkan bukti nyata
atau data yang objektif dan terukuruntuk tidak menerima nilai transaksisebagai
nilai pabean. Dimana tidak ada ukuran baku bukti nyata atau data yang objektif
dan terukur tersebut.
c. Masih belum tercakupnya jenis-jenis perdagangan tertentu yang sesuai dengan
ketentuan di PMK 160/PMK.04/2010.
5. PFPD kesulitan dalam menentukan biaya-biaya yang ditambahkan pada harga
sebenarnya/seharusnya dibayar. Hal ini sulit ditentukan karena pada dasarnya
dokumen pendukung pembentuk nilai transaksi diserahkan secara self assessment
oleh importir/kuasanya.
6. Kurangnya pengetahuan PFPD atas jenis barang tertentu. Hal ini menjadi penting
karena pada jenis barang tertentu terutama mesin dimana perbedaan kecil pada
spesifikasi dapat mempengaruhi harga barang impor.
7. PFPD memiliki keterbatasan dan kesulitan dalam menentukan kasus under
invoicing.
8. Kurangnya Pengetahuan Pengguna Jasa atas Pertanyaan pada DNP. Hasilnya
sering penetapan PFPD yang tidak diterima nilai transaksinya beralasan bahwa
DNP tidak berdaya guna.
9. Kurang efektifnyamekanismekonsultasikarena seringimportir tidak hadir jika
PFPD meminta mekanisme konsultasi dan diwakilkan oleh kuasanya yang dalam
hal ini adalah PPJK. Mejadi sulit karena atas pembentukan harga barang impor
dan seluk beluk barang impor tersebut tentu hanya importir sendiri yang
mengetahuinya.

B. Saran
Berdasarkan uraian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya atas penetapan
nilai pabean berdasarkan nilai transaksi di KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung
Perak dan dalam upaya untuk meningkatkan kinerja dan citra pelayanan dan
58

pengawasan DJBC khususnya di KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak, penulis
memberikan saran antara lain:
1. Mengganti penggunaan DBNP I sebagai alat uji kewajaran dan digantikan dengan
DBNP II. Ini dikarenakan data harga pada DBNP II lebih dekat dengan tanggal
importasi dibanding DBNP I.
2. Proses pemutakhiran DBNP I dan DBNP II harus sesuai Peraturan Direktur
Jenderal Nomor 40/BC/2010. Direktorat Teknis Kepabeanan wajib melakukan
pemuktahiran harga pada DBNP I dalam waktu 1 bulan sekali. Sedangkan untuk
pemutakhiran DBNP II, Kantor Wilayah DJBC wajib melakukannya 2 kali dalam
1 bulan.
3. Merinci data uraian barang pada DBNP I dan DBNP II sampai ke detail
spesifikasinya.
4. Membuat link antar PFPD di seluruh Indonesia yang terintegrasi secara online
sebagai pengganti dari DBNP I dan DBNP II dimana dengan adanya sistem link
online ini, maka seluruh PFPD di semua KPPBC/KPU dapat melihat putusan dan
data pendukungnya secara langsung tanpa tergantung DBNP I atau DBNP II.
5. Merevisi PMK 160/PMK.04/2010, antara lain:
a. Merevisi dan memberikan penjelasan yang terminologi bukti nyata atau data
objektif dan terukur pada pasal 8 huruf (d) PMK 160/PMK.04/2010. Penjelasan
yang dimaksud, penulis menyarankan adanya dokumen pelengkap pabean wajib
yang ditambahkan pada saat penyerahan PIB.
b. Menambahkan ketentuan agar imortir/kuasanya wajib menyerahkan semua
dokumen pelengkap pabean yang mendukung terbentuknya nilai transaksi. Dan
jika importir/kuasanya tidak melakukan hal tersebut maka PFPD menetapkan nilai
pabean berdasarkan data yang diserahkan.
c. Membuat lembar peraturan terpisah pelengkap PMK 160/PMK.04/2010 yang
berisi kesepakatan dagang atau jenis perdagangan misal Future Trading yang
dilakukan pemuktahiran setiap tahunnya.
59

6. Membentuk Tim audit khusus nilai pabean. Tim audit khusus nilai pabean ini
tidak hanya melakukan audit pada importir MITA, importir produsen dengan
status low risk maupun importir jalur hijau tetapi secara importir secara
keseluruhan. Baik pada importir jalur kuning dan merah yang diberikan atensi
khusus oleh PFPD.
7. Mendahulukan uji kewajaran dan kemudian melakukan penelitian terhadap
dokumen pelengkap yang mendukung nilai transaksi barang impor. Guna waktu
penelitian dokumen akan lebih efisien.
8. Mengadakanworkshop atas importasi barang tertentu yang sulit ditentukan nilai
pabeannya misal mesin atau bahan kimia. Adanya workshop ini diharapkan PFPD
dapat lebih mengenai uraian jenis barang, terutama perbedaan spesifikasi yang
mempengaruhi harga.
9. Mengusulkan pada World Customs Organization (WCO) agar semua perusahaan
pengekspor membuat daftar harga resmi dari eksportir yang berlaku secara
internasional yang dapat dilihat di website perusahaan.
10. Menambah menu pada sistem CEISA yang digunakan oleh PFPD. Dimana menu
ini digunakan untuk mengirim atensi non lartas dan dihubungkan pada Unit
Penindakan dan Penyidikan apabila PFPD meragukan keaslian dokumen
pelengkap pabean, misal invoice.
11. Mengharuskanpengisian DNP dilakukan oleh importir sendiri dengan
pendampingan kuasanya yang merupakan ahli kepabeanan. Dengan demikian
importir mengerti maksud dari poin-poin yang ditanyakan dalam DNP.Ini
dilakukan untuk mempermudah PFPD dalam menentukan diterima atau tidaknya
nilai transaksi barang impor.
12. Mengharuskan importir sendiri yang datang untuk konsultasi. Agar ketentuan ini
menjadi legal, maka penulis menyarankan merevisi Peraturan Direktur Jenderal
Nomor 38/BC/2010. Ini dilakukan guna menjadikan mekanisme konsultasi
menjadi efektif.
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku, majalah, jurnal periodik, electronic formats.

Jafar, Mohamad. 2011. Kajian Atas Uji Kewajaran Nilai Transaksi Dalam Penetapan
Nilai Pabean. Koleksi Artikel Pusdiklat Bea dan
Cukai.http://www.bppk.depkeu.go.id/webbc/index.php?option=com_content&vie
w=article&id=558% 3Akajain-atas-uji-kewajaran-nilai-transaksi-dalam-
penetapan-nilai-pabean-&catid=146%artikel-online&Itemid=85(diakses 11 Juli
2013).

Jafar, Mohamad. 2013. Mengurai Benang Kusut Penerapan Nilai Pabean Berdasarkan
Nilai Transaksi. Koleksi Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai.
http://www.bppk.depkeu.go.id/webbc/index.php?option=com_content&view=arti
cle&id=765:transformasi-manajemen-training&catid=146:artikel-
online&Itemid=85(diakses 6 Juni 2013).

Sunarno. 2011. Aplikasi Nilai Pabean. Jakarta: Pusdiklat Bea dan Cukai.

2. Dokumen publik.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor No 10 tahun 1995 yang sebagaimana


diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan,15
Nopember 2006.

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Keuangan Republik


Indonesia Nomor 160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean Untuk Perhitungan
Bea Masuk,01 September 2010.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Keputusan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai No
42/BC/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengeluaran Barang Impor Untuk
Dipakai, 31 Desember 2008.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Keputusan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai No
09/BC/2009 atas Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No
42/BC/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengeluaran Barang Impor Untuk
Dipakai, 30 Maret 2009.

60
Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Keputusan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai No
38/BC/2010 tentang Mekanisme Konsultasi Nilai Pabean, 01 Oktober 2010.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Keputusan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai No
39/BC/2010 tentang Pengisian Lembar Penelitian dan Penetapan, 01 Oktober
2010.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Keputusan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai No
40/BC/2010 tentang Data Base Nilai Pabean, 01 Oktober 2010.

61
62
LAMPIRAN I

CONTOH PIB
LAMPIRAN II

CONTOH SSPCP
LAMPIRAN III

CONTOH INVOICE
LAMPIRAN IV

CONTOH PACKING LIST


LAMPIRAN V

CONTOH BILL OF LADING


LAMPIRAN VI

CONTOH POLIS ASURANSI


LAMPIRAN VII

CONTOH SGS CERTIFICATE


LAMPIRAN VIII

CONTOH SALES CONTRACT


LAMPIRAN IX

CONTOH SALES CONTRACT (LANJUTAN)


LAMPIRAN X

CONTOH BUKTI TRANSFER


LAMPIRAN XI

CONTOH INP
LAMPIRAN XII

CONTOH DNP
LAMPIRAN XIII

CONTOH DNP (LANJUTAN)


LAMPIRAN XIV

CONTOH DNP (LANJUTAN)


LAMPIRAN XV

CONTOH SPTNP
LAMPIRAN XVI

CONTOH LPPNP
LAMPIRAN XVII

CONTOH SURAT PENETAPAN ATAS KEBERATAN


LAMPIRAN XVIII

CONTOH SURAT PEMBERITAHUAN PUTUSAN PENGADILAN PAJAK


LAMPIRAN XIX

DAFTAR PERTANYAAN PADA PFPD

1. Berapa jumlah rata-rata dokumen PIB yang harus Bapak/Ibu tetapkan nilai
pabeannya dalam 1 hari?
2. Berapa jumlah rata-rata dokumen PIB yang Bpak/Ibu dapat selesaikan pada 1
hari?
3. Jalur apakah yang rata-rata Bapak/Ibu tetapkan setiap hari?
4. Dalam hal Bapak/ Ibu tidak yakin atas nilai transaksi suatu barang? Seberapa
obyektif dan terukurkah itu?apa dasar yang digunakan?
5. Apakah selama bekerja, Bapak/Ibu pernah menemui kasus under invoicing. Jika
pernah, bagaimana Bapak/Ibu tahu bahwa harga dalam invoice tersebut adalah
harga dibawah harga asli barang ybs?
6. Apakah sudah pernah ditemukan dokumen pelengkap pabean palsu misal seperti
invoice palsu dan dilakukan penindakan dengan sanksi pidana selama Bapak/Ibu
bekerja?
7. Apakah menurut Bapak/Ibu DBH I atau DBH II sudah cukup efektif untuk
dijadikan dasar sebagai penetapan nilai pabean??
8. Apa kendala yang Bapak/Ibu hadapi dalam penetapan nilai pabean berdasar nilai
transaksi selama ini?
9. Apa saran dari Bapak/Ibu untuk perbaikan kinerja PFPD dalam penetapan nilai
pabean berdasarkan nilai transaksi
Pertanyaan mengenai penetapan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi
1. Alasan Bapak/Ibu meyakini bahwa barang tersebut merupakan obyek dari suatu
transaksi jual beli?
2. Alasan Bapak/Ibu meyakini bahwa nilai transaksi tersebut memenuhi persyaratan
untuk ditetapkan sebagai nilai pabean?
3. Pernahkah Bapak/Ibu melakukan Test Value?
LAMPIRAN XX

DAFTAR PERTANYAAN PADA PFPD (LANJUTAN)

4. Pernahkah selama bekerja Bapak/Ibu menemukan barang yang terdapat ‘ biaya-


biaya yang ditambahkan ke harga sebenarnya atau seharusnya atau biaya-biaya
yang dikurangkan pada haraga sebenarnya atau seharusnya’?
5. Pernahkah Bapak/Ibu melakukan konsultasi pada importir/kuasanya untuk
menetapkan nilai pabean?
6. Jika pernah melakukan konsultasi, pertanyaan apa saja yang Bapak/Ibu ajukan
pada importir/kuasanya serta data apa saja yang Bapak/Ibu minta untuk
meyakinkan Bapak/Ibu bahwa nilai pabean barang tersebut dapat diterima
berdasarkan nilai transaksi?

Anda mungkin juga menyukai