Diajukan oleh:
Yafie Lucky Sukmana
NPM: 103040002352
PERSETUJUAN
LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN
Mengetahui Menyetujui
Menyetujui
Kepala Bidang Akademis Dosen Pembimbing
Pendidikan Ajun Akuntan
ii
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
TANGERANG SELATAN
Dengan ini menyatakan bahwa sesungguhnya Laporan Praktik Kerja Lapangan ini
adalah hasil tulisan saya sendiri dan atau tidak terdapat bagian atau keseluruhan tulisan
yang saya salin atau tiru tanpa memberikan pengakuan pada penulis aslinya. Bila terbukti
saya melakukan tindakan plagiarisme, saya siap dinyatakan tidak lulus dan dicabut gelar
yang telah diberikan.
Tanggerang Selatan, Agustus 2013
Yang memberi peryataan
iii
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
TANGERANG SELATAN
2. (Penilai II)
Marlinah, SE. Ak, M. Ak.
NIP 196911061996032001
iv
KATA PENGANTAR
v
7. Bapak Ircham Habib, S.Si, M.Si. selaku Kepala Kantor KPPBC Tipe Madya Pabean
Tanjung Perak beserta seluruh pejabat dan pegawai atas segala bimbingan dan
bantuan selama penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan;
8. Para Widyaiswara dan dosen pengajar yang telah memberikan ilmu danpengalaman
selama penulis mengikuti pendidikan;
9. Teman-teman seperjuangan, mahasiswa Program Diploma III Kepabeanan dan Cukai
Angkatan XXVI;
10. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis dan tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu.
Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan ketulusan semua pihak yang telah
membantu menyelesaikan Laporan Praktik Kerja Lapangan ini dengan melimpahkan
rahmat dan karuniaNya.
Dan di akhir kata pengantar ini, penulis menyadari betul masih terdapat
kekurangan dalam penyusunan Laporan Praktik Kerja Lapangan ini. Oleh karenanya
dengan rendah hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca sebagai perbaikan dan untuk meningkatkan kemampuan penulis agar
menjadi pribadi yang lebih baik di kemudian hari.Semoga karya penelitian tugas
akhir ini dapat memberikan manfaat nyata dan kebaikan bagi Bangsa dan Negara
demi kemaslahatan bersama serta bernilai ibadah di hadapan Allah SWT. Amin.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Penulis .
vi
DAFTAR ISI
vii
1. Dasar Hukum …………………………………………………………………….. 22
2. Pengertian Umum ………………………………………………………………... 22
3. Tata Cara Penetapan Nilai Pabean Berdasarkan Nilai Transaksi ………………... 24
B. Pembahasan ............................................................................................................. 37
1. Identifikasi dan Analisa atas Permasalahan yang Terjadi ……………………...… 37
2. Pemecahan Masalah ……………………………………………………………… 50
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………………… 56
A. Simpulan ................................................................................................................. 56
B. Saran ........................................................................................................................ 57
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 60
LAMPIRAN-LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL
1. Tabel II.1
Komposisi Pegawai Berdasarkan Unit dan Eselon per Juni 2013 …………… 1
2. Tabel II.2 1
Komposisi Pegawai Berdasarkan Unit dan Golongan per Juni 2013 …...……
3. Tabel II.3 1
Data Permohonan Keberatan atas Penetapan Nilai Pabean di KPPBC Tipe 1
Madya Pabean Tanjung Perak pada tahun 2008-2012 ………………………..
4. Tabel II.4
Data Permohonan Keberatan atas Penetapan Nilai Pabean (dalam jumlah 1
rupiah) di KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak pada tahun 2008- 7
2012…………………........................................................................................
.......
5. Tabel III.5
Perkiraan Jumlah Permohonan Keberatan atas Penetapan Nilai Pabean di 1
KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak pada tahun 2013-2015 7
Berdasarkan Perhitungan Trend Linear Kuadrat Terkecil ……………………
3
9
ix
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar II.1
Struktur Organisasi KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak ………........ 10
2. Gambar II.2
Data Base Nilai Pabean I …………………………………………………….. 14
3. Gambar II.3
Data Base Nilai Pabean II …...……………………………………………….. 15
4. Gambar II.4
Data Persentase Keputusan Keberatan atas Penetapan Nilai Pabean di
KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak Tahun 2012……………………. 18
5. Gambar II.5
Data Persentase Keputusan Banding atas Penetapan Nilai Pabean di KPPBC
Tipe Madya Pabean Tanjung Perak Tahun 2012 …………………………….. 20
6. Gambar III.6
Tata Cara Penelitian dan Penetapan Nilai Pabean Berdasarkan Nilai
Transaksi ……………………………………………………………………... 36
7. Gambar III.7
Data Statistik Keputusan Keberatan atas Penetapan Nilai Pabean di KPPBC
Tipe Madya Pabean Tanjung Perak Tahun 2008-2012……………………….. 37
x
DAFTAR LAMPIRAN
xi
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
sebagai upaya harmonisasi atas ketentuan penetapan nilai pabean dan tentunya
memberikan kepastian pada pengguna jasa atas ketentuan yang digunakan sebagai
dasar penetapan nilai pabean untuk perhitungan bea masuk.
Pejabat Fungsional Pemeriksa Dokumen (PFPD) sebagai orang terdepan di DJBC
dalam menentukan tarif dan nilai pabean sebagai dasar perhitungan bea masuk
memiliki peran yang sangat sentral sebagai penentu besaran penerimaan negara dari
sektor bea masuk dan PDRI. Oleh karenanya kinerja PFPD dituntut untuk tepat dan
cermat sekaligus cepat sebagai bagian dari perbaikan pelayanan terhadap pengguna
jasa ditengah derasnya arus importasi ke dalam Daerah Pabean. Dengan adanya
keadaan seperti ini, maka tidak jarang terjadi banyak keluhan dari pengguna jasa atas
penetapan nilai pabean dari PFPD berupa keberatan ke Kantor Wilayah Bea dan
Cukai maupun banding ke Pengadilan Pajak. Saat di Pengadilan Pajak, banyak kasus
dimana DJBC kalah karena kurangnya dasar yang kuat dalam penetapan nilai pabean.
Penulis memiliki pemikiran bahwa sebenarnya banyak masalah terjadi saat
penetapan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi. Ini mengingat banyak
importir/kuasanya mengajukan keberatan dan/atau banding dikarenakan nilai atas
barang pada invoice tidak dapat diterima oleh PFPD sebagai harga yang sebenarnya
atau seharusnya dibayar. Dan dapat dimungkinkan terjadi hambatan-hambatan atas
pelaksanaan penetapan nilai pabean berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 160/PMK.04/2010. Menurut penulis, hambatan-hambatan
ini tentunya menodai reformasi birokrasi DJBC untuk menjadi instansi pemerintah
yang good governance dan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Dimana
penerimaan negara dari sektor Bea Masuk dan PDRI merupakan salah satu indikator
yang mudah dilihat oleh masyarakat umum.
Berdasarkan uraian singkat di atas, penulis bermaksud untuk melakukan kajian
serta analisis terhadap hambatan-hambatan yang terjadi di lapangan terkait dengan
pelaksanaan penetapan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi yang dilakukan di
KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak, sehingga penulis tertarik menyusun
4
Metode ini ditempuh oleh penulis sebagai dasar acuan teori dan pembelajaran
terhadap data dan fakta dari rumusan permasalahan yang akan dibahas dan dikaji oleh
penulis. Dasar acuan teori yang dimaksud dapat diperoleh dari Undang-undang,
Peraturan Menteri, Peraturan Direktur Jenderal, buku-buku,tulisan-tulisan, laporan-
laporan, dan sumber-sumber lain yang relevan dengan pokok bahasan.Metode ini
dilakukan dengan harapan mendapat pengertian dasar, landasan teori, dan konsep
yang akan digunakan dalam menganalisis kendala yang ada.
2. Metode studi lapangan
a. Observasi
Dalam pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan nanti, penulis berencana melakukan
pengamatan secara langsung praktik yang terjadi di lapangan. Pengamatan yang
dimaksud yakni mencocokkan/membandingkan antara teori dengan data dan fakta di
lapangan. Kegiatan observasi ini bertujuan untuk memperoleh kesimpulan praktik
yang terjadi di lapangan serta menganalisis perbedaan yang terjadi guna memperoleh
saran demi penyempurnaan di masa yang akan datang.
b. Wawancara
Penulis berencana melakukan wawancara secara terstruktur kepada beberapa
narasumber, utamanya PFPD yang berkaitan langsung dengan pokok bahasan penulis.
Narasumber dapat bertambah sesuai dengan kebutuhan dan pengembangan masalah
yang akan ditemui penulis nanti saat pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan nanti.
Metode ini bertujuan untuk memperoleh keterangan akan suatu hal yang
membutuhkan paparan lisan akan kebenaran data. Keterangan dari wawancara ini
akan digunakan penulis dalam penyempurnaan laporan Praktik Kerja Lapangan kelak.
c. Pengolahan data sederhana
Tujuan dari metode ini untuk memberikan proyeksi di tahun-tahun kedepan
dengan mengolah data statistik dari beberapa tahun sebelumnya. Data yang akan
penulis olah adalah data atas keberatan dan banding atas penetapan nilai pabean di
KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak. Penulis berencana menggunakan metode
6
perhitungan trend liner kuadrat terkecil. Menurut pandangan penulis, hasil dari
perhitungan ini akan berguna sebagai bahan evaluasi atas penetapan nilai pabean di
tahun-tahun berikutnya.
E. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab Pendahuluan menjelaskan tentang uraian latar belakang atau alasan
pemilihan pokok bahasan, tujuan penulisan laporan, ruang lingkup pembahasan, dan
sistematika penulisan laporan.
BAB II DATA DAN FAKTA
Bab Data dan Fakta berisi tentang gambaran umum tentang Kantor Pengawasan
dan Pelayanan Bea Cukai Tipe Madya Pabean Pabean Tanjung Perak Surabaya dan
gambaran umum tentang penentuan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi di Kantor
Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Tipe Madya Pabean Pabean Tanjung Perak
Surabaya, data dan fakta yag diperoleh, serta permasalahan yang terjadi di lingkup
objek penelitian atau pertanyaan berkenaan mengenai objek penelitian secara ringkas.
BAB III LANDASAN TEORI DAN PEMBAHASAN
Bab Landasan Teori dan Pembahasan menjelaskan teori baik berupa dasar
peraturan atau dasar hukum dan dasar acuan teori lainnya yang terkait. Bab ini juga
berisi pembahasan atas data dan fakta, permasalahan yang dikaitkan dengan landasan
teori serta pembahasan alternatif solusi atas permasalahan yang terjadi.
7
A. Gambaran Umum
1. Gambaran umum Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe
Madya Pabean Tanjung Perak.
Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Tanjung
Perak merupakan salah satu dari unit kerja vertikal Bea dan Cukai Kementerian
Keuangan RI. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
168/PMK.01/2012 tentang Organisasi dan tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai, Kantor Pengawasan dan Pelayanan mempunyai tugas
melaksanakan pengawasan dan pelayanan di bidang kepabeanan dan cukai dalam
daerah wewenangnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Berikut penulis
jabarkan gambaran umum KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak.
a. Visi dan Misi.
KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak memiliki visi yaitu “ sejajar dengan
Institusi Kepabeanan dan Cukai dunia di bidang kinerja dan citra”. Visi ini sama
dengan visi DJBC. Untuk misi KPPBC Tanjung Perak sendiri yaitu “Menjadi kantor
pengawasan dan pelayanan yang terbaik bagi industri,perdagangan, dan masyarakat”.
Misi ini juga tidak lepas dari penjabaran fungsi DJBC sebagai kantor pelayanan
modern. Dimana DJBC tidak hanya berfungsi sebagai wakil pemerintah sebagai
pemungut pajak, akan tetapi juga memberi kemudahan fasilitas dalam perdagangan
8
9
Gambar II.1
Strukturorganisasi KPPBC TipeMadyaPabeanTanjung Perak
Sumber: Diolah dari Data Pegawai KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak
d. Komposisi pegawai.
Komposisi yang ideal dalam suatu organisasi merupakan salah satu faktor penentu
tercapainya visi dan misi organisasi. Pengertian ideal yang dimaksud adalah memadai
secara kapabilitas dan kuantitasnya. Di KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak
sendiri, memiliki komposisi pegawai yang berasal dari seleksi ketat yang dilakukan
Kementerian Keuangan. Ini sangat baik bagi DJBC karena proses rekrutmen pegawai
bukan dilakukan DJBC sendiri, oleh karenanya jabatan/posisi pada DJBC khususnya
KPPBC Tipe Madya Tanjung Perak diisi oleh orang-orang yang memiliki
profesionalisme tinggi.Rincian pegawai berdasarkan komposisinya adalah sebagai
berikut:
11
Tabel II.1
Komposisi Pegawai Berdasarkan Unit dan Eselon.
Eselon
No. Unit
III IV Fungsional V Pelaksana Jumlah
1 Kepala Kantor 1 1
2 Subbagian Umum 1 3 23 27
Seksi Penindakan dan
1 6 52 59
3 Penyidikan
4 Seksi Administrasi Manifes 1 2 10 13
5 Seksi Perbendaharaan 1 4 17 22
Seksi Pelayanan
9 14 131 154
6 Kepabeanan dan Cukai
Seksi Penyuluhan dan
1 2 7 10
7 Layanan Informasi
8 Seksi Kepatuhan Internal 1 2 6 9
Seksi Dukungan Teknis
1 2 6 9
9 dan Distribusi Dokumen
10 Jabatan Fungsional 25 25
Jumlah 1 16 25 35 252 329
Sumber: Diolah dari Data Pegawai KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak per Juni 2013
Tabel II.2
Komposisi Pegawai Berdasarkan Unit dan Golongan.
Golongan
No. Unit
IV III II Jumlah
1 Kepala Kantor 1 1
2 Subbagian Umum 5 22 27
18 41 59
3 Seksi Penindakan dan Penyidikan
4 Seksi Administrasi Manifes 6 7 13
5 Seksi Perbendaharaan 14 8 22
86 68 154
6 Seksi Pelayanan Kepabeanan dan Cukai
3 7 10
7 Seksi Penyuluhan dan Layanan Informasi
8 Seksi Kepatuhan Internal 4 5 9
Seksi Dukungan Teknis dan Distribusi
4 5 9
9 Dokumen
10 Jabatan Fungsional 25 25
Jumlah 1 165 163 329
Sumber: Diolah dari Data Pegawai KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak per Juni 2013
12
mengirimkan hardcopy ke PFPD. Akan tetapi karena sistem di KPPBC Tipe Madya
Pabean Tanjung Perak sering mengalami masalah, maka dipilah untuk jalur merah,
dokumen PIB dan dokumen pelengkapnya tetap diserahkan secara hardcopy.
Setelah dokumen PIB beserta dokumen pelengkapnya sampai di masing-masing
PFPD maka pertama akan PFPD meneliti kelengkapan data pada PIB beserta
dokumen pelengkapnya. Sebelum melakukan penelitian lebih mendalam, PFPD akan
memilah dokumen PIB berdasarkan jalur. PFPD akan memprioritaskan penelitian dan
penetapan nilai pabean pada jalur merah dan kuning. Sesuai janji layanan, penetapan
atas nilai pabean pada jalur merah dan kuning adalah 3 hari sejak dokumen PIB
diterima secara lengkap.
Penelitian kelengkapan dokumen PIB dilakukan pada sistem intranet CEISA.
Penelitian meliputi kelengkapan isi PIB, jumlah bayar, kelengkapan dokumen
pelengkap dengan hardcopy yang dilampirkan (invoice, packing list, dan B/L), hasil
pemeriksaan LHP dan barang contoh. Dan kemudian melakukan pengecekan yang
berkaitan dengan harga barang impor.Dimulai dengan mengecek tarif pada HS untuk
memastikan jenis barang beserta pembebanannya, kelengkapan ketentuan lartas, dan
fasilitas tertentu jika barang impor menggunakan fasilitas, misal barang modal.
Dalam hal ketentuan atas kelengkapan dokumen lartas maupun fasilitas belum
dipenuhi maka PFPD dapat menerbitkan Nota Pemberitahuan Barang Lartas (NPBL)
jika barang tersebut belum memenuhi atau meminta importir/kuasanya untuk
menyerahkan dokumen yang terkait. Atas barang impor yang diterbitkan NPBL atau
kurang atas kelengkapan dokumen fasilitasnya maka penetapan atas nilai pabeannya
dapat lebih dari 3 hari (lebih dari janji layanan untuk penetapan nilai pabean jalur
merah dan kuning).
Setelah syarat-syarat atas kelengkapan dokumen PIB sudah terpenuhi maka
selanjutnya PFPD akan memfokuskan penelitian terhadap harga barang impor.
Pertama dilakukan uji kewajaran terhadap barang impor. Uji kewajaran dilakukan
dengan membandingkan harga barang impor pada Data Base Nilai Pabean I (DBNP I)
14
atas barang identik barang impor tersebut. Jika pada DBNP I tidak ditemukan barang
identik maka selanjutnya PFPD membandingkan harga barang impor dengan harga
barang identik pada DBNP II.
DBNP I maupun DBNP II terdapat pada sistem aplikasi pelayanan impor yang
termasuk dalam sistem intranet CEISA. Menu pada DBNP I terdiri dari DBNP,
seribarang, kode HS, uraian barang, harga satuan, jenis satuan, kode valas, negara
asal dan cara angkut. Sedikit berbeda pada menu DBNP II yang memiliki men
utambahan berupa nomor PIB, DBNP, tanggal PIB, dan kode kantor.
Gambar II.2
Data Base Nilai Pabean I
menganggap wajar harga barang impor jika nilainya sama atau lebih tinggi dari harga
barang identik pembanding pada DBNP II.
Gambar II.3
Data Base Nilai Pabean II
membentuk harga suatu barang impor. Bukti pendukung terdapat pada poin (G) DNP
misal sales contract, purchase order, dan bukti transfer. Disini masing-masing PFPD
dapat berbeda standar dalam memutuskan diterima atau tidaknya nilai transaksi
sebagai nilai pabean berdasarkan keterangan pada DNP dan bukti pendukung yang
diserahkan.
Jika PFPD masih meragukan keterangan importir/kuasanya pada DNP atau
mempertanyakan kebenaran akan data pendukung yang dilampirkan, PFPD dapat
menanyakan langsung pada importir/kuasanya dengan mekanisme konsultasi. Di
KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak, terdapat ruang khusus bagi PFPD dan
importir/kuasanya untuk melakukan mekanisme konsultasi. Jika mekanisme
konsultasi telah dilakukan, maka sudah tidak ada sarana lagi bagi PFPD untuk
melakukan penelitian atas diterima atau tidaknya nilai transaksi.
Terakhir PFPD akan menetapkan nilai transaksi dapat diterima atau tidak. Jika
memutuskan untuk tidak menerima nilai transaksi sebagai nilai pabean, maka PFPD
akan menggunakan metode II s/d IV secara hierarki. Atas barang impor yang telah
ditetapkan nilai pabeannya, atas dokumennya akan diteruskan kembali ke staf
penerimaan dokumen untuk selanjutnya di distribusikan ke Unit PDAD guna
dilakukan pendataan atas penyelsaian PIB.
3. Data atas keberatan dan banding atas penetapan nilai pabean di Kantor
Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Tanjung
Perak.
Penulis mengolah data atas keberatan dan banding atas penetapan nilai pabean di
KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak. Pengolahan data atas keberatan dan
banding ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai
respon nyata dari importir atas penetapan nilai pabean oleh PFPD. Penulis
menyajikan data statistik pengajuan keberatan atas penetapan nilai pabean di KPPBC
Tipe Madya Pabean Tanjung Perak dalam kurun waktu 2008-2012.
17
Tabel II.3
Data Permohonan Keberatan atas Penetapan Nilai Pabean di KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung
Perak pada tahun 2008-2012
Tabel II.4
Data Permohonan Keberatan atas Penetapan Nilai Pabean (dalamjumlah rupiah) di KPPBC Tipe
Madya Pabean Tanjung Perak pada tahun 2008-2012
Dalamjumlah rupiah (Rp)
Tahun Banyaknya Diputuskan Diputuskan Diputuskan
permohonan diterima ditolak tolak+revisi
Penulis menyusuri lebih dalam data dari keputusan keberatan atas penetapan nilai
pabean di KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak pada tahun 2012. Tahun 2012
dipilih dikarenakan proses pengajuan keberatan memiliki jangka waktu 60 hari sejak
diterbitkan Surat Penetapan Tarif dan Nilai Pabean (SPTNP) oleh PFPD. Dengan
demikian, jika data pada tahun 2013 dijadikan acuan akan terasa rancu karena
ditakutkan ada permohonan keberatan atas penetapan nilai pabean belum diputuskan
hasilnya.Gambar II.4 diolah dari 477 permohonan keberatan yang persyaratan
formalnya sudah terpenuhi. Jumlah diatas merupakan permohonan keberatan atas
penetapan nilai pabean yang diajukan dari 6034 SPTNP yang diterbitkan dengan nilai
atas pungutan negara mencapai Rp 123.373.063.376.
Gambar II.4
Data Persentase Keputusan Keberatan atas Penetapan Nilai Pabean di KPPBC Tipe
Madya Pabean Tanjung Perak Tahun 2012
Diterima (34%)
Ditolak (60%)
Tolak/Revisi (6%)
.
Sumber: Diolah dari data rekapitulasi keputusan keberatan atas penetapan nilai pabean
di KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak tahun 2012
Dalam Gambar II.4 menunjukan 60% atau 286 permohonan keberatan yang
diajukan pada tahun 2012 dinyatakan ditolak seluruhnya. Dalam nilai rupiah atas 286
19
keputusan tolak revisi berlaku hanya untuk yang ditetapkan lebih dari nilai yang
diputuskan di keputusan keberatan atas penetapan nilai pabean.
Terdapat 1% atau 1 permohonan banding yang ditetapkan tolak/revisi pada tahun
2012, dengan nilai rupiah sebesar Rp 37.125.000. Ini sebelumnya ditetapkan Kantor
Wilayah sebesar Rp 12.375.000.Terakhir,sebanyak 10% atau 8 dokumen permohonan
banding diputuskan tidak diterima dikarenakan tidak dipenuhinya syarat formal
pengajuan banding ke Pengadilan Pajak.
Gambar II.5
Data Persentase Keputusan Banding atas Penetapan Nilai Pabean di KPPBC Tipe Madya
Pabean Tanjung Perak Tahun 2012
Mengabulkan
seluruhnya (32%)
Mengabulkan
sebagian (8%)
Menolak seluruhnya
(48%)
Menolak + revisi (1%)
.
Sumber: Diolah dari data rekapitulasi keputusan banding atas penetapan nilai pabean
di KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak tahun 2012
BAB III
A. Landasan Teori
1. Dasar hukum.
a. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 yang sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan
b. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 160/PMK.04/2010
tentang Nilai Pabean Untuk Perhitungan Bea Masuk
c. Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No 38/BC/2010 tentang Mekanisme
Konsultasi Nilai Pabean
d. Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Keputusan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
No 39/BC/2010 tentang Pengisian Lembar Penelitian dan Penetapan
e. Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Keputusan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
No 40/BC/2010 tentang Data Base Nilai Pabean
2. Pengertian umum.
Dalam laporan Praktik Kerja Lapangan ini yang dimaksud dengan:
a. Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean.
b. Barang Impor adalah barang yang dimasukkan ke dalam Daerah Pabean.
c. Importir adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mengimpor barang.
21
22
melainkan dengan menggunakan salah satu cara didalam system pembayaran ekspor
impor, misalnya melalui Letter of Credit (L/C) , wesel internasional , advance
payment dan lain-lain.”
Yang dimaksud dengan harga yang sebenarnya dibayar adalah harga barang yang
pada waktu barang tersebut diimpor (diberitahukan PIB-nya ke Kantor Pabean) telah
dibayar/dilunasi oleh pembeli barang kepada penjual. Sedangkan yang dimaksud
dengan harga yang seharusnya dibayar adalah bahwa barang tersebut pada waktu
importasinya (diberitahukan PIB-nya ke Kantor Pabean) belum dibayar sebagian atau
seluruh pembayaran atas barang oleh pembeli yang bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan penggunaan nilai transaksi sebagai dasar penetapan nilai
pabean (penggunaan metode I), nilai transaksi yang dimaksud harus berasal dari suatu
transaksi jual beli. Artinya ada suatu bentuk kegiatan komersial yang menyaratkan
adanya pembeli, yaitu pihak yang membayar/mengirimkan kompensasi, dan adanya
penjual, yaitu pihak yang setuju untuk meneyerahkan hak kepemilikan barang.
Apabila kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli yang terlibat dalam transaksi
tersebut memberikan persetujuan kaitannya dengan barang dan harga, maka terjadilah
suatu penjualan (transaksi jual-beli).
Jika barang impor bukan merupakan objek dari suatu transaksi jual beli dalam
kondisi persaingan bebas, maka nilai pabean atas barang impor tersebut tidak dapat
ditetapkan berdasarkan nilai transaksi. Contoh barang impor yang bukan merupakan
objek dari suatu transaksi jual beli, yaitu:
a. Barang yang disewa (leasing contract);
b. Barang yang dikirim secara konsinyasi ( penjualan dengan cara pemilik
menitipkan barang kepada pihak lain untuk dijualkan dengan harga dan syarat
yang telah diatur dalam perjanjian) yang dijual setelah pengimporan atas perintah
dan/atau untuk kepentingan pemasok;
c. Barang bantuan dari luar negeri yang kepemilikannya ditangan pengirim barang;
25
d. Barang yang diimpor oleh anak cabang perusahaan dengan ketentuan anak cabang
tersebut bukan merupakan badan hukum yang berdiri sendiri;
e. Barang yang diimpor oleh intermediary yang tidak membeli barang, barang
tersebut dijual setelah pengimporan;
f. Barang yang dikirim dengan Cuma-Cuma, misal barang hadiah, barang promosi,
dan barang contoh (free of charge).
Setelah meyakini bahwa barang impor tersebut telah memenuhi syarat sebagai
objek dari suatu transaksi jual beli atau penjualan untuk diekspor ke dalam Daerah
Pabean dalam kondisi persaingan bebas, langkah kedua yaitu meneliti persyaratan
nilai transaksi untuk dapat diterima dan ditetapkan sebagai nilai pabean. Nilai
transaksi dapat diterima sebagai nilai pabean sepanjang memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. Tidak terdapat persyaratan atau pertimbangan yang diberlakukan terhadap
transaksi atau nilai barang impor yang mengakibatkan nilai barang impor yang
bersangkutan tidak dapat nilai pabeannya.
Persayaratan dan pertimbangan yang dimaksud misalnya harga atas barang impor
ditentukan dengan persyaratan pembeli (importir) akan membeli barang lain dalam
jumlah tertentu atau harga barang impor yang bersangkutan ditentukan berdasarkan
harga barang lain yang dijual importir ke penjual, atau harga barang impor yang
bersangkutan ditentukan berdasarkan suatu bentuk pembayaran yang tidak ada
hubungannya dengan barang tersebut;
b. Tidak terdapat proceeds yang harus diserahkan pembeli kepada penjual, kecuali
proceeds tersebut dapat ditambahkan pada harga sebenarnya atau seharusnya
dibayar;
c. Tidak terdapat pembatasan-pembatasan atas pemanfaatan atau pemakaian barang
impor selain pembatasan-pembatasan yang:
1) Diberlakukan atau diharuskan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku
di dalam Daerah Pabean;
26
diperhatikan meneliti apakah harga penjulan tercapai berdasarkan tata cara yang
konsisiten dengan tata cara tercapainya harga yang lazim terjadi pada industri yang
bersangkutan (pricing practices) dan apakah harga penjulan meliputi semua biaya
yang ditambah dengan keuntungan rata-rata perusahaan yang bersangkutan selama
satu tahun.
Cara lain dalam menentukan hubungan pembeli dan penjual adalah dilakukannya
Test Value. Test Value sendiri yaitu membandingkan nilai transaksi barang impor
dengan nilai transaksi barang identik yang diekspor ke dalam Daerah Pabean yang
berasal dari penjulan antara penjual dan pembeli yang tidak saling berhubungan. Nilai
transaksi barang identik tersebut, tanggal B/L atau AWBnya sama atau dalam waktu
30 hari sebelum atau sesudah tanggala B/L atau AWB barang impor yang sedang
ditetapkan nilai pabeannya. Apabila terdapat lebih dari satu Test Value yang
memenuhi syarat, digunakan Test Value yang tanggalnya paling dekat dengan tanggal
B/L atau AWB barng impor yang sedang ditetapkan nilai pabeannya.
Penentuan diterima atau tidaknya nilai transaksi yaitu dengan membandingkan
harga barang impor dengan harga barang pada Test Value. Apabila lebih rendah
diatas 5% dari nilai pabean barang identik yang tertera pada Test Value, maka
hubungan antara pembeli dan penjual dianggap mempengaruhi harga. Sehingga nilai
pabean ditentukan berdasarkan metode II s/d metode VI secara hierarki.
Perbandingan menggunakan Test Value perlu memperhatikan perbedaaan yang terjadi,
antara lain tingkat perdagangan, tingkat kuantitas, biaya-biaya yang ditambahkan,
biaya-biaya yang dimasukan penjual dalam harga jual dan biaya-biaya yang tidak
dimasukan dalam harga jual. Penelitian hubungan antara penjual dan pembeli
menggunakan Test Value yang diserahkan pembeli. Apabila Test Value yang
diserahkan tidak memenuhi syarat, maka digunakan Test Value yang tersedia di
dalam Daerah Pabean.
28
Langkah ketiga dari penentuan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi yaitu
Meneliti unsur biaya-biaya dan/atau nilai yang seharusnya tidak termasuk dalam nilai
transaksi. Harga sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar tidak meliputi:
a. Biaya yang terjadi dari kegiatan yang dilakukan oleh pembeli untuk
kepentingannya sendiri,antara lain:
1) Biaya untuk uji coba;
2) Pembuatan ruang pamer;
3) Penyelidikan pasar; dan
4) Biaya pembukuan L/C.
b. Biaya-biaya yang secara tegas dapat dibedakan dari harga yang sebenarnya
dibayar atau seharusnya dibayar yang terjadi setelah pengimporan barang (post
importation cost), yaitu:
1) Biaya konstruksi, pembangunan, perakitan, pemeliharaan atau bantuan teknikyang
dilakukan setelah pengimporan;
2) Biaya pengangkutan, asuransi dan/atau biaya lainnya setelah pengimporan;
dan/atau
3) Bea masuk, cukai, dan/pungutan dalam rangka impor.
c. Dividen
Deviden merupakan pembagian keuntungan yang berkaitan dengan seluruh bisnis
perusahaan dan tidak hanya berkaitan dengan penjualan barang yang diimpor.
Deviden atau pembayaran lainnya oleh pembeli kepada penjual yang tidak berkaitan
dengan barang impor, tidak termasuk dalam harga yang sebenarnya atau seharusnya
dibayar;
d. Bunga (Interest Charges)
Bunga yang dibebankan penjual kepada pembeli terhadap pembayaran atas
pembelian barang impor, bukan merupakan bagian dari nilai pabean, sepanjang:
29
1) Nilai bunga secara nyata tertera dalam dokumen pelengkap pabean (invoice,
purchase order) di luar harga yang sebenarnya dibayar atau seharusnya dibayar;
dan
2) Kesepakatan pengaturan pembayaran (financing arrangement), termasuk
ketentuan tentang bunga harus dibuat secara tertulis.
Apabila diperlukan pembeli harus menunjukan bahwa:
1) Barang yang bersangkutan benar-benar dibeli sesuai dengan harga yang
sebenarnya atau seharusnya dibayar; dan
2) Tingkat bunga tidak melebihi tingkat bunga yang pada umumnya berlaku, di
negara penjual atau pembeli tergantung pada kesepakatan transaksi barang impor
yang bersangkutan.
e. Diskon (potongan)
Harga yang sebenarnya dibayar atau seharusnya dibayar dapat memperhitungkan
unsure diskon sesuai dengan kewajaran dalam praktik perdagangan. Didalam
perdagangan dikenal empat jenis diskon, yaitu:
1) Cash discount adalah diskon yang diberikan karena pembayaran kontan, diskon
ini diberikan kepada pembeli atas pembayaran yang dilakukan dalam kurun waktu
tertentu yang telah disetujui oleh penjual;
2) Quantity discount adalah diskon yang diberikan karena perbedaan jumlah
pembelian;
3) Trade discount adalah diskon yang diberikan karena adanya perbedaan tingkat
perdagangan (wholeseller, retailer, dan end-user);
4) Loyalty discount adalah diskon yang diberikan atas kesetiaan pembeli dalam
melakukan pembelian terhadap penjual/langganan.
Harga barang setelah dikurangi diskon tersebut (net price) adalah harga yang
sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar dari barang impor yang
bersangkutan. Dalam hal terdapat importasi dengan kondisi diskon sebagaimana
30
tersebut diatas, importasi tersebut menjadi bahan masukan untuk dilakukan audit
kepabeanan.
Langkah keempat yaitu meneliti unsur biaya-biaya dan/atau nilai yang seharusnya
ditambahkan dalam nilai transaksi. Biaya-biaya dan/atau nilai-nilai yang dimaksud
berupa:
a. Biaya yang dibayar oleh pembeli yang belum tercantum dalam harga yang
sebenarnya atau yang seharusnya dibayar berupa:
1) Komisi dan jasa perantara, kecuali komisi pembelian. Yang dimaksud dengan:
a) Komisi adalah imbalan finansial yang diberikan kepada suatu pihak atas jasanya
mewakili penjual atau pembeli dalam suatu transaksi;
b) Jasa perantara adalah imbalan finansial yang diberikan kepada suatu pihak yang
berfungsi sebagain perantara (intermediary) yang bertugas mempertemukan
penjual dan pembeli dalam suatu transaksi;
c) Komisi pembelian adalah imbalan finansial yang diberikan kepada suatu pihak
yang mewakili pembeli (buying agent) dalam suatu transaksi.
Untuk menentukan apakah suatu pihak bertindak sebagai wakil penjual (selling
agent), wakil pembeli (buying agent), atau perantara (intermediary) harus dilihat
fungsi pihak tersebut dalam transaksi perdagangan bertindak mewakili kepentingan
siapa.
2) Biaya pengemas, yang untuk kepentingan pabean, pengemas tersebut menjadi
bagian yang tak terpisahkan dengan barang yang bersangkutan; dan
3) Biaya pengepakan meliputi biaya material dan upah tenaga kerja pengepakan;
b. Nilai dari barang dan jasa berupa:
1) Material, komponen, bagian, dan barang-barang sejenis yang terkandung dalam
barang impor. Contoh material misalnya kayu, baja dalam lembaran, plastik, kain
tekstil. Sedangkan contoh komponen misalnya sakelar pemutus arus, kapasitor,
dan engsel pintu;
31
berupa permintaaan tambahan keterangan dalam rangka penelitian tarif dan nilai
pabean, dan pemberitahuan agar importir menyiapkan barangnya untuk pengambilan
contoh barang dalam hal diperlukan. PFPD mengambil barang dengan
memerintahkan pejabat yang ditunjuk.
Langkah terakhir dalam penentuan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi adalah
menguji kewajaran pemberitahuan nilai pabean yang tercantum dalam pemberitahuan
pabean impor. Pengujian kewajaran dilakukan dengan membandingkan harga barang
identik pada Data BaseNilai Pabean I. Pengujian kewajaran dimulai dengan
membandingkan harga barang impor pada PIB dengan harga barang identik pada
Data BaseNilai Pabean I. Data Base Nilai Pabean I sendiri bersumber dari:
a. Data BaseNilai Pabean I;
b. Pemberitahuan pabean impor yang telah ditentukan nilai pabeannya berdasarkan
nilai transaksi;
c. Data pada Laporan Hasil Audit yang nilai pabeannya ditentukan berdasarkan nilai
transaksi; dan/atau
d. Katalog, brosur, atau informasi lainnya yang berasal dari dalam dan luar Daerah
Pabean yang telah dilakukan proses perhitungan kembali.
Barang impor yang dibandingkan pada Data Base Nilai Pabean I dapat dikatakan
wajar/nilai transaksinya dapat diterima bila nilai pabean yang diberitahukan lebih
rendah dibawah 5%/lebih rendah atau sebesar 5%/sama atau lebih tinggi dari harga
barang pembanding. Sedangkan, dianggap tidak wajar apabila nilai pabean yang
diberitahukan kedapatan lebih rendah diatas 5% dari harga barang identik pada Data
Base Nilai Pabean I.
Dalam hal tidak ditemukan data pembanding barang identik dalam Data Base
Nilai Pabean I, maka PFPD melakukan pengujian kewajaran dengan data pembanding
barang identik dalam Data Base Nilai Pabean II. Sumber dari Data Base Nilai Pabean
II adalah pemberitahuan pabean impor yang nilai pabeannnya ditentukan berdasarkan
nilai transaksi dengan tanggal Bill of Lading (B/L)-nya paling lama 60 (enam puluh)
35
hari sebelum penyusunan Data Base Nilai Pabean II. Nilai pabean yang diberitahukan
dikategorikan wajar bila sama atau lebih besar dari harga barng identik pada Data
Base Nilai Pabean II dan dikatakan tidak wajar bila nilai pabean lebih rendah dari
harga barang identik pada Data Base Nilai Pabean II.Dalam hal uji kewajaran,
dinyatakan:
a. Nilai pabean wajar, maka PFPD menentukan nilai pabean berdasarkan nilai
transaksi barang bersangkutan;
b. Nilai pabean tidak wajar atau tidak ditemukan data pembanding, maka PFPD:
1) Menetukan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi barang yang bersangkutan dan
menginformasikan ke unit penindakan dan penyidikan Kantor Pabean untuk
importir umum ketegori risiko rendah; atau
2) Menerbitkan INP untuk importir kategori risiko sedang, importir kategori risiko
tinggi atau importir kategori sangat tinggi.
Dalam hal diterbitkan INP, maka PFPD menerbitkan dan mengirimkan INP
kepada importir melalui media elektronik atau dengan cara pengiriman lainnya. Atas
INP yang terbit, importir harus:
a. Menyerahkan DNP dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah
diterbitkannya INP;
b. Menyerahkan semua informasi, dokumen, dan/atau pernyataan yang diperlukan
dalam rangka penentuan nilai pabean; dan
c. Memberikan penjelasan baik secara lisan maupun tertulis tentang bagaimana
pembeli atau kuasanya menghitung nilai pabean, unsur-unsur pembentuk nilai
pabean, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan transaksi yang bersangkutan.
Jika hasil penelitian DNP diketahui nilai transaksi belum dapat diyakini
kebenaran dan keakuratannya, maka PFPD dapat melakukan konsultasi dengan
importir yang bersangkutan atau kuasanya. Mekanisme konsultasi hanya dilakukan
terhadap importir kategori risiko menengah atau importir kategori risiko tinggi.
Apabila importir tidak memenuhi permintaan atas tindak lanjut penerbitan INP atau
36
atas hasil konsultasi nilai transaksi tidak dapat diyakini kebenaran dan keakuratannya,
maka PFPD menetapkan nilai pabean berdasarkan metode nilai transaksi barang
identik sampai dengan metode pengulangan sesuai dengan hierarki penggunaannya.
Berikut alur proses tata cara penelitian dan penetapan nilai pabean berdasarkan nilai
transaksi untuk memberikan gambaran yang lebih ringkas.
Gambar III.7
Tata Cara Penelitian dan Penetapan Nilai Pabean Berdasarkan Nilai Transaksi
nilai pabean di KPPBC Tipe Madya Tanjung Perak di atahun 2008-2012 menunjukan
hal tesebut.
Pada tahun 2008 terdapat 273 pengajuan permohonan dan meningkat pada tahun
tahun 2009 menjadi 559 pengajuan permohonan. Pada tahun 2010, terjadi penurunan
pengajuan permohonan keberatan menjadi 419 dan menurun kembali pada tahun
2011 menjadi 239 permohonan. Dan terakhir, pada tahun 2012 kembali meningkat
menjadi 477 permohonan.
Gambar III.7
Data Statistik Keputusan Keberatan atas Penetapan Nilai Pabean di KPPBC Tipe Madya
Pabean Tanjung Perak Tahun 2008-2012.
400
355
350
300 286
261
250
diterima
199
200 ditolak
159
150 tolak+revisi
100
50
0
2008 2009 2010 2011 2012
Sumber: Diolah dari data rekapitulasi keputusan keberatan atas penetapan nilai pabean di KPPBC
Tipe Madya Pabean Tanjung Perak tahun 2008-2012.
Fakta yang ada pada Gambar III.7 menunjukan bahwa permohonan keberatan atas
penetapan nilai pabean yang diputuskan ditolak selalu lebih tinggi tiap tahunnya.
Penulis menemukan fakta bahwa dalam kurun waktu 2008-2012 secara jumlah
pengajuan permohonan keberatan diketahui bahwa permohonan yang diajukan
diputuskan ditolak selalu lebih tinggi dari yang diputuskan diterima. Akan tetapi
38
secara jumlah dalam rupiah atas pungutan negara, permohonan dengan keputusan
yang diterima selalu lebih besar dari yang diputuskan ditolak kecuali pada tahun 2011.
Pada tahun 2012 sesuai Gambar II.4, dari 477 permohonan keberatan yang
diajukan sebanyak 286 diputuskan ditolak sepenuhnya dengan jumlah dalam rupiah
Rp 9.050.597.000. Sedangkan untuk permohonan yang diterima sepenuhnya sebesar
162 permohonan diterima sepenuhnya. Nilai rupiah permohonan yang diterima
tersebut sebesar Rp 6.880.149.000. Sisanya sebanyak 29 permohonan keberatan
diputuskan tolak/revisi dengan jumlah dalam rupiah sebesar Rp 766.191.000. Dalam
data tersebut, meskipun secara jumlah berkas permohonan lebih banyak diputuskan
ditolak tetapi secara nominal rupiah nilainya tidak terpaut jauh.
Begitu pula dengan data banding pada tahun 2012, sebanyak 25 permohonan
banding diterima seluruhnya. Permohonan yang diterima dalam jumlah rupiah sebesar
Rp 3.575.198.000. Sedangkan 6 permohonan diputuskan mengabulkan sebagian
dengan jumlah dalam rupiah sebesar Rp 293.179.000. Selanjutnya adalah keputusan
yang ditolak seluruhnya dengan persentase 48% atau 37 permohonan banding dengan
jumlah dalam rupiah sebesar Rp 2.003.092.000. Sisanya 1 permohonan banding yang
ditetapkan tolak/revisi pada tahun 2012, dengan nilai rupiah sebesar Rp
37.125.000.Dalam rekapitulasi keputusan banding diatas, diketahui bahwa
permohonan banding yang diputuskan diterima lebih besar jumlah rupiahnya
dibandingkan permohonan yang ditolak. Meskipun secara jumlah permohonan
banding yang diajukan, jumlah permohonan yang diputuskan ditolak lebih besar.
Penulis membuat perhitungan trend linear atas banyaknya permohonan keberatan
atas penetapan nilai pabean pada tahun 2013-2015 berdasarkan data history dari
pengajuan keberatan pada tahun 2008-2012 di KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung
Perak sesuai Tabel II.3.
39
Tabel III.5
Perkiraan Jumlah Permohonan Keberatan atas Penetapan Nilai Pabean di KPPBC TIpe Madya
Pabean Tanjung Perak pada tahun 2013-2015 Berdasarkan Perhitungan Trend Linear Kuadrat
Terkecil
Dari perhitungan trend yang penulis buat, terlihat bahwa adanya peningkatan
permohonan keberatan atas penetapan nilai pabean pada tahun 2013-2015. Hal lain
yang perlu dicermati yaitu perkiraan atas hasil keputusan keberatan. Pada Tabel II.4
menunjukan bahwa akan terjadi trend naik atau meningkat atas permohonan
keberatan yang diputuskan diterima. Sedangkan terjadi penurunan trend atas
permohonan keberatan yang diputuskan ditolak dan diputuskan ditolak revisi. Dari
perhitungan trend ini, penulis memiliki hipotesis bahwa jumlah permohonan
keberatan akan semakin naik pada tahun-tahun mendatang dengan menganggap
faktor-faktor lain sama pada tahun-tahun mendatang misal banyaknya jumlah PIB
atau SPTNP yang terbit atau inovasi di DJBC mengenai penetapan nilai pabean. Ini
tentu menjadi perhatian selain jumlah rupiah yang selalu lebih besar atas keputusan
keberatan dan banding yang diterima daripada atas keputusan yang ditolak atau
ditolak+revisi.
Hal ini menarik bagi penulis karena masih besarnya pungutan negara dimana
diputuskan diterima saat diajukan permohonan keberatan dan/atau banding. Jika
40
penulis menarik lebih jauh atas keputusan keberatan diatas, maka tidak lepas dari
penetapan nilai pabean berdasarkan nilai pabean yang dilakukan oleh PFPD di
KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak. Dalam penelitian yang penulis lakukan
pada berkas keberatan mengenai penetapan nilai pabean, penulis menemukan bahwa
sebagian besar importir/kuasanya berkeberatan atas nilai pabean yang ditetapkan dan
yakin atas nilai transaksi yang diberitahukan.
Ini merupakan konsekuensi dari proses bisnis di DJBC dalam menetapkan nilai
pabean sebagai dasar perhitungan bea masuk. Ini dapat terlihat pada awal dokumen
PIB dan dokumen pelengkap pabean lain yang diserahkan oleh importir/kuasanya
secara self assessment. Dengan menganut asas self assessment ini, importir/kuasanya
diberikan kepercayaan untuk memberitahukan dan menghitung pungutan negara yang
harus dibayar, yang dalam ini adalah bea masuk dan PDRI.
Hubungan dengan penetapan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi,
pemberlakuan asas self assessment ini juga memberikan konsekuensi kepada PFPD
sebagai wakil dari DJBC. Konsekuensi yang dimaksud adalah untuk lebih
memberikan kepercayaan kepada importir/kuasanya atas harga/nilai transaksi barang
impor dan validasi dokumen-dokumen yang membentuk dan mendukung
pembentukan harga tersebut. Dalam bahasa yang lebih umum dapat dikatakan bahwa
PFPD menganggap benar harga/nilai transaksi barang impor yang diberitahukan oleh
importir/kuasanya pada kesempatan pertama.
Meskipun demikian, dalam ketentuan internasional yaitu Agreement on
Implementation of Article VII of GATT (1994,173) menyatakan bahwa “If the
customs value of the imported goods cannot be determined under the provisions of
Article 1(transaction value), the customs value shall be the transaction value of
identical goods….” Ini artinya bahwa secara internasional, pejabat Bea dan Cukai
dapat menentukan nilai pabean tidak berdasarkan nilai transaksi jika persyaratan
dapat diterimanya nilai transaksi tidak dapat terpenuhi.
41
Pada saat melakukan praktik kerja, penulis menemukan bahwa titik untuk
menentukan diterima atau tidaknya nilai transaksi barang impor oleh
importir/kuasanya ini sangat krusial, baik bagi importir sendiri maupun bagi DJBC
yang hubungannya dengan besaran pajak yang diperoleh sebagai penerimaan negara.
Ini dapat diketahui dari sebagian besar alasan pada surat permohonan keberatan
dan/atau banding atas penetapan nilai pabean oleh PFPD. Dalam konteks ini,
Importir/kuasanya meyakini bahwa nilai transaksi yang mereka beritahukan adalah
yang sebenarnya/seharusnya.
Dalam pelaksanaan atas penetapan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi atas
barang impor oleh PFPD, penulis menemukan beberapa hambatan dan
ketidaksempurnaan lain dari proses maupun aturan penetapan tersebut. Pada
kesempatan ini penulis akan menguraikan masalah dan mencoba memberikan
alternatif solusi untuk mengatasi masalah yang terjadi di lapangan.
Pertama, penulis akan menguraikan dan menganalisa hambatan serta
ketidaksempurnaan lain yang penulis temui selama menjalani Praktik Kerja Lapangan.
Uraian masalah dan analisanya sebagai berikut:
a. Data Base Nilai Pabean I yang tidak up to date dan Data Base Nilai Pabean II
yang masih baru dibuat.
Data Base Nilai Pabean I ini dibuat oleh Direktorat Teknis Kepabeanan Kantor
Pusat DJBC sebagai alat uji kewajaran nilai transaksi atas barang impor. DBNP I ini
notabanenya salah satu sumbernya dari DBNP II yang dibuat oleh masing-masing
Kantor Wilayah DJBC di seluruh Indonesia. DBNP II sendiri bersumber dari PIB
yang nilai pabeannya ditentukan berdasarkan nilai transaksi dengan tanggal Bill of
Lading (B/L)-nya paling lama 60 hari sebelum penyusunan DBNP II. Penggunaan
DBNP II hanya terbatas pada masing-masing Kantor Wilayah DJBC yang
menerbitkan. Ini berbeda dengan DBNP I yang digunakan oleh seluruh kantor Bea
dan Cukai di seluruh Indonesia.
42
Dari segi utilitas, DBNP I dan DBNP II memiliki sedikit perbedaan yaitu DBNP I
digunakan pertama untuk meguji kewajaran nilai transaksi barang impor. Sesudah itu,
baru digunakan DBNP II sebagai alat uji kewajaran jika jenis barang impor yang
dimaksud tidak ada dalam DBNP I. Penggunaan DBNP I disini adalah sebagai alat uji
kewajaran, sedangkan DBNP II sebagai alat penetapan PFPD dan sebagai alat uji
kewajaran jika tidak ditemukan jenis barang impor yang dimaksud pada DBNP II.
Disini penulis melihat adanya permasalahan dalam hal penggunaan DBNP I
maupun DBNP II. Pertama, dari segi waktu penggunaan yang mendahulukan DBNP I
dibandingkan DBNP II sebagai alat uji kewajaran. Penulis rasa kurang tepat karena
jika dilihat dari waktu penyusunan Data Base Nilai Pabean, DBNP II lah yang
memiliki jangka waktu yang lebih dekat dengan waktu importasi barang impor uang
diuji kewajarannya. Jangka waktu ini sangat penting mengingat harga/nilai transaksi
suatu barang tentu akan lebih cenderung berubah dalam waktu yang lebih lama baik
itu lebih murah maupun lebih mahal.
Hal ini tentu memberikan dampak yang kurang baik bagi importir sendiri maupun
DJBC sebagai wakil pemerintah sebagai pemungut pajak. Sebagai contoh, seorang
importir melakukan importasi suatu barang dengan benar memberitahukan nilai
transaksi lengkap dengan data pendukung. Ternyata barang impor tersebut lebih
murah/lebih rendah dari toleransi 5% harga barang pembanding di DBNP I saat PFPD
melakukan uji kewajaran. Selanjutnya, PFPD memutuskan untuk tidak menerima
nilai transaksi atas barang impor.
Disisi lain memang harga barang yang bersangkutan di pasaran mengalami
penurunan harga lebih dari 5% selama tahun berjalan. Ini menyebabkan importir
harus membayar kekurangan bea masuk dan sanksi administrasi berupa denda. Hal
demikian baik untuk penerimaan negara, akan tetapi disisi lain hal tersebut
berdampak mengurangi kepercayaan pengguna jasa ditambah jika itu menyebabkan
gangguan perdagangan jenis barang impor yang bersangkutan.
43
Permasalahan mengenai penggunaan Data Base Nilai Pabean yang penulis lihat
selanjutnya adalah tidak up to date nya DBNP I. Di ketentuan PMK
160/PMK.04/2010, tidak mengatur jangka waktu pemuktahiran data jenis barang
pada DBNP I, baik pada segi kuantitas jenis barang, harga barang, dan rincian
spesifikasi pada DBNP I. Menu rincian yang dimaksud adalah spesifikasi lengkap dan
rinci atas barang pembanding pada DBNP I, yang dinilai oleh PFPD masih terlalu
umum. Dalam wawanacara yang penulis lakukan kepada 10 PFPD, seluruhnya
mengeluhkan DBNP I yang tidakup to date.
Selain itu, masalah yang lebih pelik lagi terdapat pada penggunaan DBNP II yang
penulis temukan ternyata baru ada di bulan juni tahun 2013 di KPPBC Tipe Madya
Pabean Tanjung Perak. Permasalahan DBNP II memang terasa cukup menghambat
kinerja PFPD dalam uji kewajaran dan juga penetapan diterima tidaknya nilai
transaksi barang impor. Ini dikarenakan data jenis barang di DBNP II masih sangat
sedikit, padahal penulis menemukan beberapa PFPD amat tergantung pada data di
DBNP I maupun DBNP II.
Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu tidak tercakupnya jenis-jenis perdagangan
tertentu yang sesuai dengan ketentuan di PMK 160/PMK.04/2010, misalnya
mengenai Future Trading. Future Trading merupakan jenis perdagangan dimana
pembeli (importir) membeli suatu barang, dan penjual menyerahkan barang tersebut
pada waktu yang yang ditentukan (kebanyakan hampir diserahkan lebih dari 1 tahun
berjalan).
Sebagai contoh, seorang importir membeli barang pada tahun 2013 dan eksportir
baru mengirimkan barang pada tahun 2017. Tentu dalam jangka waktu tersebut harga
barang impor akan cenderung berubah. Future Trading biasanya terjadi pada
importasi barang yang harganya terus naik dari waktu ke waktu. Dari hasil
wawancara dengan seorang PFPD, Future Trading masih sulit dibuktikan
dikarenakan memang tidak ada ciri-ciri khusus antara Future Trading dengan bentuk
perdagangan pada umumnya.
Sebenarnya tidak hanya peraturan tentang penetapan nilai pabean saja yang belum
sempurna, akan tetapi juga dari PFPD sendiri yang dalam hal tertentu tidak sesuai
dengan peraturan. Misal penelitian dokumen untuk importir jalur hijau yang hanya
diteliti tarifnya saja tanpa adanya penelitian terhadap nilai pabean.
film impor, baik yang diproduksi mahal dan peredaran sukses (blockbuster) maupun
yang produksi murah dan peredarannya tidak sukses.Ternyata memang diketahui
bahwa importir hanya melaporkan nilai pabean senilai dengan biaya cetak copy-nya
saja senilai USD 0,43/meter. Padahal harga atas film tersebut bukan hanya itu, karena
ada yang dibayarkan kemudian yaitu sebesar persentase (%) tertentu dari hasil edar
film tersebut.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai waktu itu, Thomas Sugijata lewat surat tagihan
tertanggal 12 Januari 2011 menyebutkan bahwa importir film impor waktu itu
dikenakan tambah bayar sebesar Rp 31 miliar selama dua tahun. Jumlah itu belum
termasuk denda sepuluh kali lipat, sehingga total kewajibannya mencapai Rp 310
miliar.
Sampai sekarang hal ini masih belum ada solusi yang tepat untuk megatasi
masalah ini. Dari contoh mengenai importasi film yang bermasalah dengan royalti,
DJBC mengatasi masalah ini dengan menjadikan tarif dari film tidak menganut
sistem tarif advalorum akan tetapi tarif spesifik.Artinya penghitungan tarif tidak lagi
berdasar satuan meter panjang pita seluloid film, tapi berdasarkan per menit.
Penghitungan nilai tarif bea masuk ini dengan mengasumsikan satu menit sama
dengan 27,42 meter. Dari konversi tersebut dikalikan nilai pabean US$ 0,043 dan
kurs rupiah Rp 9100 per dolar. Sehingga berdasarkan tarif lama, besaran bea
masuknya sebesar Rp 10.729 per menit. Tarif ini yang kemudian dinaikkan sebesar
100 persen menjadi Rp 21.458 per menit film. Dengan pemberlakuan tarif spesifik
ini maka harga atas film tidak berpengaruh pada perhitungan bea masuk. Akan tetapi,
cara seperti ini tentu tidak bisa terus-menerus dilakukan untuk mengatasi masalah
yang sama.
Dasar dan Spesialisasi Kepabeanan dan Cukai, dan lain sebagainya. Akan tetapi juga
dituntut memiliki pemahaman lebih mengenai jenis bahkan spesifikasi barang. Sering
di lapangan terdapat barang impor yang sulit dibedakan secara fisik bahkan uji
laboratorium sekalipun. Berdasarkan hasil wawancara 10 dari 10 PFPD menyatakan
bahwa hambatan yang sering ditemui dalam penetapan nilai pabean adalah tidak
tahunya akan spesifikasi barang terutama bahan kimia dan mesin. Hasilnya, sering
PFPD menerima nilai transaksi barang impor yang bersangkutan.
Contoh barang yang sulit PFPD tentukan harga/ nilai transaksinya adalah mesin.
Mesin merupakan salah satu barang yang dapat berbeda harga meskipun secara fisik
terlihat sama. Importasi mesin sering dilakukan per part dan jumlah yang banyak.
Terlebih jika mesin tersebut belum pernah diimpor sebelumnya, tentu ini akan lebih
mempersulit PFPD dalam memutus diterima atau tidaknya nilai transaksi yang
bersangkutan.
tidak ada bentuk baku atas dokumen-dokumen tersebut. Dalam wawancara yang
penulis lakukan, diketahui terjadi kerjasama yang kurang baik antara PFPD dan Unit
Penindakan dan Penyidikan. Bentuk kerjasama yang kurang baik ini maksudnya,
PFPD menunggu atensi dari Unit Penindakan dan Penyidikan tetapi sebaliknya juga
Unit Penindakan dan Penyidikan menunggu informasi atas kecurigaan under
invoicing dari PFPD. PFPD di KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak sendiri
belum pernah memberikan atensi ke Unit Penindakan dan Penyidikan atas hal
tersebut. Saat penulis melakukan konfirmasi ke Unit Penindakan dan Penyidikan,
ternyata memang belum ada kasus yang berkaitan dengan invoice atau dokumen
pelengkap pabean palsu/dipalsukan.
Memang jika dihubungkan dengan penetapan nilai pabean berdasarkan nilai
transaksi, ini tidak terkait langsung dengan harga barang impor. Hal ini karena
sebagian besar PFPD berpatokan pada harga barang pembanding di DBNP I atau
DBNP II dan selama harga barang dianggap wajar maka keaslian dokumen tidak
dipermasalahkan. Hal ini menjadi terkait, jika PFPD menduga harga barang impor
tidak wajar setelah membandingkan harga barang pembanding di DBNP I atau DBNP
II. Ini karena proses selanjutnya yaitu penerbitan INP dan diikuti penyerahan DNP
dan dokumen pelengkap pabean termasuk data pendukung pembentuk nilai transaksi.
Dengan PFPD mengetahui, palsu/dipalsukannya dokumen pemberitahuan pabean atau
dokumen pelengkap pabean akan berguna bagi profiling importir guna uji kewajaran
pada importasi selanjutnya.
f. Kurangnya pengetahuan pengguna jasa atas pertanyaan pada DNP dan ketentuan
akan mekanisme konsultasi yang sering tidak efektif.
Kurangnya pengetahuan pengguna jasa merupakan hambatan yang dialami PFPD
yang berasal dari eksternal. Pengetahuan pengguna jasa akan poin-poin pertanyaan
pada DNP ini dirasa penting. Misal pertanyaan mengenai persyaratan nilai transaksi
“apakah terdapat persyaratan/pertimbangan atas pembelian barang impor Saudara
49
2. Pemecahan masalah.
a. Data Base Nilai Pabean I yang tidak up to date dan Data Base Nilai Pabean II
yang masih baru dibuat.
50
Untuk permasalahan tidak up to date nya DBNP I dan DBNP II, penulis
memberikan beberapa alternatif solusi. Yang pertama yaitu merevisi penggunaan
DBNP I sebagai alat uji kewajaran dan digantikan dengan DBNP II. Ini dikarenakan
data harga pada DBNP II lebih dekat dengan tanggal importasi dibanding DBNP I.
Tentu dengan mendahulukan penggunaan DBNP II, proses uji kewajaran akan lebih
relevan.
Alternatif selanjutnya, tentu proses pemutakhiran DBNP I dan DBNP II harus
sesuai Peraturan Direktur Jenderal Nomor 40/BC/2010. Penulis menemukan bahwa
memang terjadi pemutakhiran data harga, akan tetapi untuk sebagian jenis barang saja.
Sebagai tambahan pula, di KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak baru ada dan
berlaku DBNP II di bulan juni. Dalam Peraturan Direktur Jenderal Nomor
40/BC/2010, Direktorat Teknis Kepabeanan wajib melakukan pemuktahiran harga
pada DBNP I dalam waktu 1 bulan sekali. Sedangkan untuk pemutakhiran DBNP II,
Kantor Wilayah DJBC wajib melakukannya 2 kali dalam 1 bulan. Hal ini tentu
dengan didukung dengan mengirimkan pemutakhiran data harga sebagai sumber
DBNP I dalam waktu yang sama dengan sistem terintegrasi.
Selain menyoroti waktu pemuktahiran data harga, penulis juga menyarankan
untuk lebih merinci data uraian barang pada DBNP I dan DBNP II. Penulis
menemukan data uraian barang pada DBNP I dan DBNP II masih terlalu umum
sehingga PFPD sendiri kesulitan menemukan barang identik sebagai data
pembanding. Tidak jarang PFPD membandingkan harga barang impor dengan harga
barang pembanding pada DBNP I atau DBNP II padahal spesifikasi barang impor
tidak dapat dipastikan identik.
Alternatif maju terakhir yang penulis sarankan adalah adanya link antar PFPD di
seluruh Indonesia yang terintegrasi secara online.Link ini merupakan pengganti dari
DBNP I dan DBNP II yang masih tergolong lama dalam hal pemuktahiran data.
Terintegrasi secara online disini maksudnya setiap kali seorang PFPD memutuskan
51
harga suatu barang diterima atau tidak nilai transaksinya maka putusan dan data
pendukungnya itu direkam dalam suatu sistemonline yang terintegrasi.
Dengan adanya sistem link online ini, maka seluruh PFPD di semua KPPBC/KPU
dapat melihat putusan dan data pendukungnya secara langsung tanpa tergantung
DBNP I atau DBNP II. Ini menjadi penting, karena penulis melihat dasar penetapan
nilai pabean oleh PFPD secara garis besar merupakan personal judgement masing-
masing, tentu dengan tetap berdasar pada PMK No. 160/PMK.04/2010. Penulis
percaya bahwa adanya sistem link online ini dapat memberikan masukan atau sebagai
bahan pertimbangan yang lebih baik dari penggunaan DBNP I atau DBNP II.
Penggunaan sistem link online ini juga memberikan kepastian, tidak hanya pada
pihak DJBC sebagai pemungut pajak tetapi juga pada importir sebagai pengguna jasa.
Ini dikarenakan keputusan atas besaran nilai pabean antar PFPD akan memiliki
kecenderungan diputuskan sama.
yang jelas dan dapat diterima. Dengan standar seperti ini, juga akan menghindari
PFPD dari penetapan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi yang sering dilakukan
secara personal judgement misal dengan menerima atau tidak nilai transaksi
berdasarkan faktor psikologis importir.
permasalahan lain mengenai berbagai kesepakatan dagang atau jenis perdagangan
misal Future Trading, penulis menyarankan adanya lembar peraturan terpisah
pelengkap PMK 160/PMK.04/2010. Lembar peraturan terpisah ini memuat berbagai
jenis dan aturan mengenai berbagai kesepakatan dagang atau jenis perdagangan dan
terus dilakukan pemuktahiran setiap tahunnya. Dengan adanya lembar peraturan
terpisah ini, PFPD akan lebih mudah dalam menetapkan nilai pabean berdasarkan
nilai transaksi dengan melihat aturan main pada jenis kesepakatan dagang tersebut.
Jika permasalahannya adalah sebaliknya yaitu PFPD melakukan penelitian dan
penetapan tarif dan nilai pabean tidak sesuai dengan ketentuan tentang penetapan tarif
dan nilai pabean, maka penulis menyarankan untuk PFPD kembali melaksanakan
tugasnya sesuai ketentuan yang berlaku. Misalnya yang selama ini penelitian atas
jalur hijau yang hanya pada klasifikasi untuk menentukan tarif bea masuknya saja
diubah menjadi penelitian dan penetapan tarif dan nilai pabean.
biaya yang harus ditambahkan pada harga sebenarnya atau seharusnya, PFPD dituntut
untuk tahu adanya biaya itu, misalroyalti.
Atas permasalahan PFPD kesulitan dalam menentukan biaya-biaya yang
ditambahkan pada harga sebenarnya/seharusnya dibayar, penulis memberi 2 aternatif
solusi. Yang pertama, revisi atas PMK 160/PMK.04/2010 dimana dengan
mendahulukan uji kewajaran dan kemudian melakukan penelitian terhadap dokumen
pelengkap yang mendukung nilai transaksi barang impor. Dengan demikian waktu
penelitian dokumen akan lebih efisien.
Yang kedua yaitu Tim audit khusus nilai pabean yang melakukan audit pada
importir jalur kuning dan merah yang diberikan atensi khusus oleh PFPD. Solusi
kedua ini mempunyai syarat bahwa ketentuan penyerahan dokumen pendukung
pembentuk nilai transaksi oleh importir/kuasanya pada saat penyerahan PIB lengkap.
Misal terdapat importasi yang barang impor dimana harga barang yang bersangkutan
lebih rendah dari toleransi harga pembanding pada DBNP I atau DBNP II, akan tetapi
dokumen pelengkap pendukung terbentuknya nilai transaksi lengkap maka PFPD
dapat memberikan atensi pada Unit Audit yang dalam hal ini Tim audit khusus nilai
pabean untuk melakukan audit.
Dalam hal ini penulis memberikan alternatif solusi penambahan menu pada sistem
CEISA yang digunakan oleh PFPD maupun Unit Penindakan dan Penyidikan.
Dimana menu ini digunakan untuk mengirim atensi non lartas dan dihubungkan pada
Unit Penindakan dan Penyidikan apabila PFPD meragukan keaslian dokumen
pelengkap pabean, misal invoicedan begitu pula sebaliknya.Adanya menu ini akan
menciptakan kerjasama yang baik antara PFPD dan Unit Penindakan dan Penyidikan
dalam menangani kasus under invoicing.
Dengan demikian Unit Penindakan dan Penyidikan dapat meneliti lebih lanjut dan
dapat mengoptimalkan penegakan hukum yang termuat pada pasal 103 huruf a UU
No 10 tahun 1995 yang sebagaimana diubah dengan UU No 17 tahun 2007. Dimana
pasal yang dimaksud menyatakan bahwa setiap orang yang menyerahkan
pemberitahuan pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean yang palsu atau
dipalsukan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun sampai 8 tahun
55
f. Kurangnya pengetahuan pengguna jasa atas pertanyaan pada DNP dan pentingnya
mekanisme konsultasi.
Pengetahuan pengguna jasa yang dalam hal ini adalah importir/kuasanya atas
pertanyaan pada DNP adalah penting. Peran DNP disini dapat berguna atau tidak
berdaya guna dikarenakan kurangnya pengetahuan pengguna jasa tentang maksud
poin-poin pertanyaan pada DNP.Penulis memberikan alternatif solusi mengenai
masalah ini adalah pengisian DNP dilakukan oleh importir sendiri dengan
pendampingan kuasanya yang merupakan ahli kepabeanan. Dengan demikian
importir mengerti maksud dari poin-poin yang ditanyakan dalam DNP. Sekaligus
juga memahami data yang harus dilampirkan sebagai pendukung nilai transaksi.Ini
penting, untuk mempermudah PFPD dalam menentukan diterima atau tidaknya nilai
transaksi barang impor. Ini juga mengembalikan fungsi DNP yang sebenarnya yaitu
sebagai deklarasi sebenarnya dari importir bahwa harga barang impor memang benar
berdasarkan nilai transaksi.
Tidak jauh berbeda dengan alternatif solusi pada permasalahan DNP, alternatif
solusi pada masalah mekanisme konsultasi juga dengan mengharuskan importir
sendiri yang datang untuk konsultasi. Agar ketentuan ini menjadi legal, maka penulis
menyarankanmerevisi Peraturan Direktur Jenderal Nomor 38/BC/2010 yang
menyatakan dimungkinkan bagi kuasa importir untuk hadir dan mewakili importir
untuk melakukan mekanime konsultasi. Keharusan hadir disini dalam arti adanya
importir atau wakil importir yang bukan PPJK/ahli kepabeanannya. Misal importir
seorang direktur perusahaan, saat mekanisme konsultasi diwakilkan oleh manajer
pengadaan barang pada perusahaan tersebut.
BAB IV
A. Simpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab-bab
sebelumnya, penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Data mengenai keberatan dan banding atas penetapan nilai pabean pada tahun
2008-2012, menunjukkanbahwakeputusan diterima selalu lebih besar dari
keputusan ditolak atau diputuskan tolak+revisi dalam satuan nilai rupiah atas
pungutan negara.
2. Sebagian besar keberatan dan banding atas penetapan nilai pabean terjadi dengan
alasan importir meyakini nilai transaksi adalah yang sebenarnya/seharusnya.
3. Data Base Nilai Pabean Itidak up to date dan Data Base Nilai Pabean II yang
masih baru dibuatsehinggamenyebabkan PFPD sulitmelakukanujikewajaran.
Tidak up to date nya DBNP I, dikarenakan proses pemutakhiran data harga
barang impor yang dilakukan oleh Direktorat Teknis Kepabeanan Kantor Pusat
DJBC berjalan lambat dan tidak sesuai ketentuan pasal 7 Peraturan Direktur
Jenderal No P-40/BC/2010. Tidak hanya DBNP I, untuk DBNP II pun ternyata
penggunaannya baru ada di bulan juni 2013.
4. Ketentuan dalam PMK 160/PMK.04/2010belumsempurna, antara lain:
a. Tidak jelasnya terminologi pada pasal 8 huruf (d) PMK 160/PMK.04/2010 yang
56
57
b. menyatakan pejabat Bea dan Cukai mempunyai alasan berdasarkan bukti nyata
atau data yang objektif dan terukuruntuk tidak menerima nilai transaksisebagai
nilai pabean. Dimana tidak ada ukuran baku bukti nyata atau data yang objektif
dan terukur tersebut.
c. Masih belum tercakupnya jenis-jenis perdagangan tertentu yang sesuai dengan
ketentuan di PMK 160/PMK.04/2010.
5. PFPD kesulitan dalam menentukan biaya-biaya yang ditambahkan pada harga
sebenarnya/seharusnya dibayar. Hal ini sulit ditentukan karena pada dasarnya
dokumen pendukung pembentuk nilai transaksi diserahkan secara self assessment
oleh importir/kuasanya.
6. Kurangnya pengetahuan PFPD atas jenis barang tertentu. Hal ini menjadi penting
karena pada jenis barang tertentu terutama mesin dimana perbedaan kecil pada
spesifikasi dapat mempengaruhi harga barang impor.
7. PFPD memiliki keterbatasan dan kesulitan dalam menentukan kasus under
invoicing.
8. Kurangnya Pengetahuan Pengguna Jasa atas Pertanyaan pada DNP. Hasilnya
sering penetapan PFPD yang tidak diterima nilai transaksinya beralasan bahwa
DNP tidak berdaya guna.
9. Kurang efektifnyamekanismekonsultasikarena seringimportir tidak hadir jika
PFPD meminta mekanisme konsultasi dan diwakilkan oleh kuasanya yang dalam
hal ini adalah PPJK. Mejadi sulit karena atas pembentukan harga barang impor
dan seluk beluk barang impor tersebut tentu hanya importir sendiri yang
mengetahuinya.
B. Saran
Berdasarkan uraian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya atas penetapan
nilai pabean berdasarkan nilai transaksi di KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung
Perak dan dalam upaya untuk meningkatkan kinerja dan citra pelayanan dan
58
pengawasan DJBC khususnya di KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak, penulis
memberikan saran antara lain:
1. Mengganti penggunaan DBNP I sebagai alat uji kewajaran dan digantikan dengan
DBNP II. Ini dikarenakan data harga pada DBNP II lebih dekat dengan tanggal
importasi dibanding DBNP I.
2. Proses pemutakhiran DBNP I dan DBNP II harus sesuai Peraturan Direktur
Jenderal Nomor 40/BC/2010. Direktorat Teknis Kepabeanan wajib melakukan
pemuktahiran harga pada DBNP I dalam waktu 1 bulan sekali. Sedangkan untuk
pemutakhiran DBNP II, Kantor Wilayah DJBC wajib melakukannya 2 kali dalam
1 bulan.
3. Merinci data uraian barang pada DBNP I dan DBNP II sampai ke detail
spesifikasinya.
4. Membuat link antar PFPD di seluruh Indonesia yang terintegrasi secara online
sebagai pengganti dari DBNP I dan DBNP II dimana dengan adanya sistem link
online ini, maka seluruh PFPD di semua KPPBC/KPU dapat melihat putusan dan
data pendukungnya secara langsung tanpa tergantung DBNP I atau DBNP II.
5. Merevisi PMK 160/PMK.04/2010, antara lain:
a. Merevisi dan memberikan penjelasan yang terminologi bukti nyata atau data
objektif dan terukur pada pasal 8 huruf (d) PMK 160/PMK.04/2010. Penjelasan
yang dimaksud, penulis menyarankan adanya dokumen pelengkap pabean wajib
yang ditambahkan pada saat penyerahan PIB.
b. Menambahkan ketentuan agar imortir/kuasanya wajib menyerahkan semua
dokumen pelengkap pabean yang mendukung terbentuknya nilai transaksi. Dan
jika importir/kuasanya tidak melakukan hal tersebut maka PFPD menetapkan nilai
pabean berdasarkan data yang diserahkan.
c. Membuat lembar peraturan terpisah pelengkap PMK 160/PMK.04/2010 yang
berisi kesepakatan dagang atau jenis perdagangan misal Future Trading yang
dilakukan pemuktahiran setiap tahunnya.
59
6. Membentuk Tim audit khusus nilai pabean. Tim audit khusus nilai pabean ini
tidak hanya melakukan audit pada importir MITA, importir produsen dengan
status low risk maupun importir jalur hijau tetapi secara importir secara
keseluruhan. Baik pada importir jalur kuning dan merah yang diberikan atensi
khusus oleh PFPD.
7. Mendahulukan uji kewajaran dan kemudian melakukan penelitian terhadap
dokumen pelengkap yang mendukung nilai transaksi barang impor. Guna waktu
penelitian dokumen akan lebih efisien.
8. Mengadakanworkshop atas importasi barang tertentu yang sulit ditentukan nilai
pabeannya misal mesin atau bahan kimia. Adanya workshop ini diharapkan PFPD
dapat lebih mengenai uraian jenis barang, terutama perbedaan spesifikasi yang
mempengaruhi harga.
9. Mengusulkan pada World Customs Organization (WCO) agar semua perusahaan
pengekspor membuat daftar harga resmi dari eksportir yang berlaku secara
internasional yang dapat dilihat di website perusahaan.
10. Menambah menu pada sistem CEISA yang digunakan oleh PFPD. Dimana menu
ini digunakan untuk mengirim atensi non lartas dan dihubungkan pada Unit
Penindakan dan Penyidikan apabila PFPD meragukan keaslian dokumen
pelengkap pabean, misal invoice.
11. Mengharuskanpengisian DNP dilakukan oleh importir sendiri dengan
pendampingan kuasanya yang merupakan ahli kepabeanan. Dengan demikian
importir mengerti maksud dari poin-poin yang ditanyakan dalam DNP.Ini
dilakukan untuk mempermudah PFPD dalam menentukan diterima atau tidaknya
nilai transaksi barang impor.
12. Mengharuskan importir sendiri yang datang untuk konsultasi. Agar ketentuan ini
menjadi legal, maka penulis menyarankan merevisi Peraturan Direktur Jenderal
Nomor 38/BC/2010. Ini dilakukan guna menjadikan mekanisme konsultasi
menjadi efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Jafar, Mohamad. 2011. Kajian Atas Uji Kewajaran Nilai Transaksi Dalam Penetapan
Nilai Pabean. Koleksi Artikel Pusdiklat Bea dan
Cukai.http://www.bppk.depkeu.go.id/webbc/index.php?option=com_content&vie
w=article&id=558% 3Akajain-atas-uji-kewajaran-nilai-transaksi-dalam-
penetapan-nilai-pabean-&catid=146%artikel-online&Itemid=85(diakses 11 Juli
2013).
Jafar, Mohamad. 2013. Mengurai Benang Kusut Penerapan Nilai Pabean Berdasarkan
Nilai Transaksi. Koleksi Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai.
http://www.bppk.depkeu.go.id/webbc/index.php?option=com_content&view=arti
cle&id=765:transformasi-manajemen-training&catid=146:artikel-
online&Itemid=85(diakses 6 Juni 2013).
Sunarno. 2011. Aplikasi Nilai Pabean. Jakarta: Pusdiklat Bea dan Cukai.
2. Dokumen publik.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Keputusan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai No
42/BC/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengeluaran Barang Impor Untuk
Dipakai, 31 Desember 2008.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Keputusan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai No
09/BC/2009 atas Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No
42/BC/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengeluaran Barang Impor Untuk
Dipakai, 30 Maret 2009.
60
Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Keputusan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai No
38/BC/2010 tentang Mekanisme Konsultasi Nilai Pabean, 01 Oktober 2010.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Keputusan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai No
39/BC/2010 tentang Pengisian Lembar Penelitian dan Penetapan, 01 Oktober
2010.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Keputusan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai No
40/BC/2010 tentang Data Base Nilai Pabean, 01 Oktober 2010.
61
62
LAMPIRAN I
CONTOH PIB
LAMPIRAN II
CONTOH SSPCP
LAMPIRAN III
CONTOH INVOICE
LAMPIRAN IV
CONTOH INP
LAMPIRAN XII
CONTOH DNP
LAMPIRAN XIII
CONTOH SPTNP
LAMPIRAN XVI
CONTOH LPPNP
LAMPIRAN XVII
1. Berapa jumlah rata-rata dokumen PIB yang harus Bapak/Ibu tetapkan nilai
pabeannya dalam 1 hari?
2. Berapa jumlah rata-rata dokumen PIB yang Bpak/Ibu dapat selesaikan pada 1
hari?
3. Jalur apakah yang rata-rata Bapak/Ibu tetapkan setiap hari?
4. Dalam hal Bapak/ Ibu tidak yakin atas nilai transaksi suatu barang? Seberapa
obyektif dan terukurkah itu?apa dasar yang digunakan?
5. Apakah selama bekerja, Bapak/Ibu pernah menemui kasus under invoicing. Jika
pernah, bagaimana Bapak/Ibu tahu bahwa harga dalam invoice tersebut adalah
harga dibawah harga asli barang ybs?
6. Apakah sudah pernah ditemukan dokumen pelengkap pabean palsu misal seperti
invoice palsu dan dilakukan penindakan dengan sanksi pidana selama Bapak/Ibu
bekerja?
7. Apakah menurut Bapak/Ibu DBH I atau DBH II sudah cukup efektif untuk
dijadikan dasar sebagai penetapan nilai pabean??
8. Apa kendala yang Bapak/Ibu hadapi dalam penetapan nilai pabean berdasar nilai
transaksi selama ini?
9. Apa saran dari Bapak/Ibu untuk perbaikan kinerja PFPD dalam penetapan nilai
pabean berdasarkan nilai transaksi
Pertanyaan mengenai penetapan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi
1. Alasan Bapak/Ibu meyakini bahwa barang tersebut merupakan obyek dari suatu
transaksi jual beli?
2. Alasan Bapak/Ibu meyakini bahwa nilai transaksi tersebut memenuhi persyaratan
untuk ditetapkan sebagai nilai pabean?
3. Pernahkah Bapak/Ibu melakukan Test Value?
LAMPIRAN XX