Anda di halaman 1dari 25

Nama : Desi Mawarni

NIM : 04011181621056
Kelas : Beta 2016

FISIOLOGI SISTEM HEPATOBILIER

1.1 Metabolisme bilirubin

Proses metabolisme pemecahan heme sangatlah kompleks. Setelah kurang lebih 120
hari, eritrosit diambil dan didegradasi oleh sistem RES terutama di hati dan limpa.
Sekitar 85% heme yang didegradasi berasal dari eritrosit dan 15% berasal dari
jaringan ekstraeritroid. Bilirubin terbentuk akibat terbukannya cincin karbon-alfa dari
heme yang berasal dari eritrosit maupun ekstraeritroid.

Tahap awal proses degradasi heme dikatalisis oleh enzim heme oksigenase
mikrosom di dalam sel RE. Dengan adanya NADPH dan O2, enzim ini akan
menambahkan gugus hidroksil ke jembatan metenil diantara dua cincin pirol,
bersamaan dengan oksidasi ion ferro (Fe+2) menjadi Fe+3 (ferri). Oksidasi selanjutnya
oleh enzim yang menyebabkan pemecahan cincin porfirin. Ion ferri dan dan CO di
lepaskan, sehingga menyebabkan pembentukan biliverdin yang berpigmen hijau.
Biliverdin kemudian direduksi oleh enzim biliverdin reduktase sehingga membentuk
bilirubin yang bewarna merah jingga. Bilirubin dan turunannya bersama-sama disebut
pigmen empedu.

Bilirubin hanya sedikit larut dalam plasma, sehingga diangkut kehati dengan
berikatan dengan protein albumin secara nonkovalen. Bilirubin teruarai dari molekul
pembawa albumin dan masuk ke dalam hepatosit, tempat bilirubin akan berikatan dengan
protein intrasel, terutama protein liganin. Di dalam hepatosit, kelarutan bilirubin
meningkat karena penambahan dua molekul asam glukoronat. Reaksi ini dikatalisis oleh
bilirubin glukoniltransferase dengan menggunakan asam glukoronat UDP sebagai donor
glukoronat. Bilirubin diglukoronid ditransport secara aktif dengan melawan gradien
konsentrasi ke dalam kanalikuli biliaris dan kemudian ke dalam empedu. Proses ini
memerlukan energi, merupakan tahapan yang membatasi laju dan rentan mengalami
gangguan pada penyakit hepar. Bilirubin yang tidak terkonjugasi normalnya
diekskresikan.
Pada saat bilirubin terkonjugasi mencapai illeum terminal dan usus besar, glukuronida
dikeluarkan oleh enzim bakteri khusus dan pigmen tersebut kemudian direduksi oleh flora
feses menjadi urobilonogen. Sebagian besar urobilinogen dioksidasi oleh bakteri usus
menjadi sterkobilin, memberi warna coklat pada feses. Namun, beberapa urobilinogen
direabsorbsi oleh usus dan masuk ke dalam sirkulasi portal. Sebagian urobilinogen ini
berperan dalam siklus urobilinogen intrahepatik yang akan diuptake oleh hepar kemudian
diekskresikan kembali ke dalam empedu. Sisa urobilinogen diangkut oleh darah ke
dalam ginjal, tempat urobilinigen diubah menjadi urobilin yang berwarna kuning dan
diekskresikan sehingga memberikan warna yang khas pada urin.
SIROSIS HEPATIS

2.1 Definisi

Sirosis hepatis merupakan tahap akhir proses difus fibrosis hati progresif yang
ditandai oleh distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul regeneratif. Gambaran
morforlogi sirosis hepatis meliputi fibrosis difus, nodul regenratif, perubahan arsitektur
lobular dan pembentukan hubungan vaskular intrahepatik antara pembuluh darah hati aferen
(vena posta dan arteri hepatika) dan eferen (vena hepatika).

Secara klinis atau fungsional, sirosis hepatis dibagi menjadi sirosis hati kompensata
dan dirosis hati dekompensata diserta dengan tanda kegalalan hepatoselular dan hipertensi
portal.

2.2 Epidemiologi

Sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada penderita yang
berusia 45-46 tahun (setelah penyakit kardiovaskular dan kanker). Di seluruh dunia sirosis
hepatis menenmapti urutan ketujuh penyebab kematian. Penderita sirosis hepatis lebih
banyak pada laki-laki, jika dibandingkan dengan wanita rasionya sekitar 1,6 : 1. Umur rata-
rata penderitanya terbanyak golongan umur 30-59 tahun dengan puncaknya sekitar umur 40-
49 tahun. Insiden sirosis hepatis di Amerika diperkirakan 360/100.000 penduduk. Penyebab
sirosis hepatis sebagian besar adalah penyakit hati alkoholik dan non alkoholik steatohepatis
serta hepatitis C. Di Indonesia data prevalensi penderita sirosis hepatis secara keseluruhan
belum ada. Di daerah Asia Tenggara, penyebab utama sirosis hepatis adalah hepatitis B
(HBV) dan Hepatitis C (HCV). Angka kejadian sirosis hepatis di Indonesia akibat hepatitis B
berkisar antara 21,2-46,9% dan hepatitis C berkisar 38,7-73,9%.

2.3 Etiologi

Penyebab sirosis hepatis bermacam-acam, kadang lebih dari satu penyebab ada pada
satu penderita. Di negara barat, alkoholisme kronik bersama virus hepatitis C merupakan
penyebab paling sering.

Penyebab Sirosis Hepatis


Penyakit hati alkoholik (alcoholic liver disease/ALD)
Hepatitis C kronik
Hepatitis B kronik dengan/tanpa hepatitis D
Steatohepatitis non alkoholik (NASH)
Sirosis bilier primer
Kolangitis sklerosing primer
Hepatitis autoimun
Hemokromatosis herediter
Penyakit Wilson
Defisiensi alpha 1-antitrypsin
Sirosis Kardiak
Galaktosemia
Fibrosis kistik
Hepatotoksik akibat obat atau toksin
Infeksi parasit tertentu (Schistosomia)

2.4 Faktor Risiko

 Faktor kekurangan nutrisi. 81,4% penderita Sirosis Hepatis kekurangan protein hewani,
dan ditemukan 85% penderita sirosis hati yang berpenghasilan rendah.
 Hepatitis Virus. Virus hepatitis mempunyai peranan yang besar untuk terjadinya nekrosa
sel hati sehingga terjadi sirosis. Secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih
banyak mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa serta
menunjukan perjalanan yang kronis, bila dibandingkan dengan hepatitis virus A.
 Zat hepatotoksik. Kerusakan hati akut akan berakibat nekrosis atau degenerasi lemak,
sedangkan kerusakan kronis akan berupa sirosis hati. Zat hepatotoksik yang sering
disebut-sebut ialah alkohol.
 Kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya sirosis kardiak.
 Sebagai saluran empedu akibat obstruksi yang lama pada saluran empedu akan dapat
menimbulkan sirosis biliaris primer.

2.5 Klasifikasi

Sirosis diklasifikasikan dengan berbagai cara berdasarkan atas morfologi,


makroskopik, mikroskopik, etiologi serta kondisi klinisnya.
Keterangan:

ALD (alcoholic liver disease), HHC (hereditary


hemo chromatosis), VH (viral hepatitis), AIH (auto
immune hepatitis), PBC (primary sclerosing
cholangitis), EHBA (extra hepatic biliary atresia),
VO (vaso-occlusive), BC (budd chiary), MLD
(metabolic liver disease), CC (cryptogenic cirrhosis),
DIH (drug-induced hepatitis).

2.6 Patogenesis

Sirosis hepatis terjadi akibat adanya cidera kronik-ireversibel pada parenkim hati
disertai dengan timbulnya jaringan ikat difus (akibat adanya cidera fibrosis), pembentukan
nodul degeneratif ukuran mikronodul sampai makronodul. Hal ini sebagai akibat adanya
nekrosis hepatosit, kolapsnya jaringan penunjang retikulin, disertai dengan deposit jaringan
ikat, distorsi jaringan vaskular berkaibat pembentukan vaskular intrahepatik antara pembuluh
darah hati aferen (vena portadan arteri hepatika) dan eferen (vena hepatika), dan regenerasi
nodular parenkim hati sisanya.

Terjadinya fibrosis hati disebabkan adanya aktivasi dari sel stellate hati. Aktivasi ini
dipicu oleh faktor pelepasan yang dihasilkan sel hepatosit dari sel Kupffer. Sel stellate
merupakan sel penghasil utama matriks ekstraseluler (ECM) setelah terjadi cedera pada
hepar. Pembentukan ECM disebabkan anyan pembentuk jaringan mirip fibroblast yang
dihasilkan sel stellate dan dipengaruhi oleh beberapa sitokin seperti transforming growth
factor beta (TGF beta) dan TNF alfa.

Deposit ECM di space of Disse akan menyebabkan perubahan bentuk dan memacu
kapilarisasi pembuluh darah. Kapilarisasi sinusoid kemudian mengubah pertukaran normal
aliran vena porta dengan hepatosit, sehingga meterial yang seharusnya dimetabolisme oelh
hepatosit akan masuk langsung ke aliran darah sistemik dan menghambat material yang
diproduksi di hati masuk ke darah. Prosis ini akan meninmbulkan hipertensi portal dan
penurunan fungsi hepatoseluler.

2.7 Manifestasi Klinis

Perjalanan sirosis hepatis lambat, asimtomatis dan seringkali tidak dicurigai sampai
adanya komplikasi penyakit hati. Banyak penderita sering tidak terdiagnosis sebagai sirosis
hepatis sebelumnya dan sering ditemukan pada waktu autops. Diagnosis SH asimptomatis
biasanya dibuat secara insidental ketika tes pemeriksaan fungsi hati (transaminase) atau
penemuan radiologi, sehingga kemudian penderita melakukan pemeriksaan lebih lanjut dan
biopsi hati.

Sebagian besar penderita datang ke klinik biasanya sudah dalam stadium


dekompensata, disertai adanya komplikasi seperti perdarahan varises, peritonitis bakterial
spontn, atau ensefalopati hepatis. Gamabaran klinis penderita SH adalah mudah lelah,
anoreksia, berat badan menurun, atropi otot, ikterus, spider nevi angiomata, splenomegali,
asites, caput meduase, palmar eritema, white nails, ginekomastia, hilangnya rambut pubis dan
ketiak pada wanita, asterixis (flapping tremor), foetor hepaticus, dupuytren’s contracture
(sirosis akibat alkohol)

Tanda Penyebab
Spider angioma atau spider nevi Estradiol meningkat
Palmae erytema Gangguan metabolisme hormon seks
Perubahan kuku
 Muehrche’s lines Hipoalbuminemia
 Terry’s nails Hipoalbuminemia
 Clubbing Hipertensi portomulmonal
Osteoartopati hipertrofi Chronic proliferative periostitis
Kontraktur Dupuytren Proliferasi fibroplastik dan gangguan deposit
kolagen
Ginekomastia Estradiol meningkat
Hipogonadisme Perlukaan gonad primer atau supresi fungsi
hipofise atau hipotalamus
Ukuran hati: besar, normal, mengecil Hipertensi portal
Slenomegali Hipertensi portal
Asites Hipertensi portal
Capur medusae Hipertensi portal
Murmur Cruveilhie-Baungarten (bising Hipertensi portal
daerah epigastrium)
Fetor hepaticus Diamethyl sulfide meningkat
Ikterus Bilirubin meningkat (sekurang-kurangnya 2-
3 mg/dl)
Asterixis/flapping tremor Ensefalopati hepaticum

2.8 Algoritma Penegakan Diagnosis


2.9 Diagnosis

1. Gambaran Klinis
Pada stadium kompensata sempurna kadang-kadang sangat sulit menegakkan diagnosis
sirosis hepatis. Pada proses lebih lanjtu setadium kompensata bisa ditegakkan dengan
bantuan pemeriksaan klinis yang cermat, laboratorium, biokimia/serologi, dan
pemeriksaan pencitraan lainnya. Pada stadium dekompesata, diagnosis tidak terlalu sulit
karena gejala dan tanda klinis biasanya sudah tampak dengan adanya komplikasi. Gold
standar untuk diagnosis sirosis hepatis adalah biopsi hati melalui perkutan, transjugular,
laparoskopi, atau dengan biospi jarum halus. Biopsi tidak diperlukan bila secara klinis,
pemeriksaan laboratoris dan radiologi menunjukkan kecenderungan sirosis hepatis.
Walaupun biopsi hati risikonya kecil tapi dapat berakibat fatal misalnya perdarahan dan
kematian.
2. Laboratorium

Jenis Pemeriksaan Hasil


Aminotransferase: ALT dan AST Normal atau sedikit meningkat
Alkali fosfatase/ALP Sedikit meningkat
Gamma-glutamil transferase Korelasi dengan ALP, spesifik khas akibat
alkohol sangat meningkat
Bilirubin Meningkat pada sirosis hepatis lanjut
Globulin Meningkat terutama IgG
Prothrombin time Meningkat/penurunan produksi faktor V/VII dari
hati
Natrium darah Menurun akibat peningkatan ADH dan aldosteron
Trombosit Menurun (hipersplenism)
Leukosit dan neutrofil Menurun (hipersplenism)
Anemia Makrositik, normositik, dan mikrositik

Pemeriksaan laboratorium lain untuk mencari penyebab sirosis adalah:


 Serologi virus hepatitis
 HBV: HbsAg, HBeAg, Anti HBc, HBV-DNA
 HCV: Anti HCV, HCV-RNA
 Autoantibodi (ANA, ASM, Anti-LKM) untuk autoimun hepatitis
 Saturasi transferin dan feritinin untuk hemokromatosis
 Ceruloplasmin dan Copper untuk penyakit Wilson
 Alpha 1-trypsin
 AMA untuk sirosis hepatis bilier primer
 Antibodi ANCA untuk kolangitis sklerosis primer

3. Pemeriksaan Pencitraan
Ultrasonografi (USG) untuk mendeteksi sirosis hepatis kurang sensitif namun cukup
spesifik bila penyebabnya jelas. Gambaran USG memperlihatkan ekodensitas hati
meningkat dengan ekostruktur kasar homogen atau heterogen pada sisi superfisial, sedagn
pada sisi profunda ekodensitas menurun. Dapat dijumpai pula pembesaran lobus
caudatus, splenomegali, dan vena hepatika gambaran terputus-putus. Hati mengecil dan
dijumpai splenomegali. Asites tampak sebagai area bebas dema (ekolusen) antara organ
intra abdominal dengan dinding abdomen. Pemeriksaan MRI dan CT konvensional bisa
digunakan untuk menentukan derajat beratnya sirosis hepatis, misal menilai ukuran lien,
asites, dan kolateral vaskuler. Ketiga alat ini juga dapat untuk mendeteksi adanya
karsinomahepatoseluler.
4. Endoskopi
Gastrokopi dilakukan untuk memeriksa adanya varises esofagusdan gaster pada penderita
sirosis hepatis. Selain untuk diagnostik juga, dapat pula digunakan untuk pencegahan dan
terapi perdarahan varises.

2.10 Tatalaksana

 Hipertensi portal
Hipertensi portal adalh peningkatan hepatic venous pressure lebih dari 5 mmHg.
Hipertensi portal merupakan suatu sindroma klinis yang serinf terjadi. Bila gradien
tekanan portal (perbedaan tekanan antara vena porta dan vena cava inferior) di atas 10-12
mmHg, komplikasi hipertensi pulmonal dapat terjadi. Hipertensi porta terjadi akibat
adanya peningkatan resistensi intra hepatik terhadap aliran darah porta akibat adanya
nodul degeneratif; dan peningkatan aliran darah splanchnic sekunder akibat vasodilatasi
pada aplanchnic vascular bed.
 Asites
Penyebab asites yang paling abnyak pada sirosis hepatis adalah HP, disamping adanya
hipoalbuminemia (penurunan fungsi sintesis pada hati) dan disfungsi ginjal yang akan
mengakibatkan akumulasi cairan dalam peritoneum. Penanganan asites yaitu tirah baring,
diet rendah garam dengan konsumsi garam 5,2 gram atau 90 mmol/hari. Bila tidak
berhasil dapat dikombinasikan dengan spironolakton 100-200 mg/hari. Respon diuretik
bisa dimonitor dengan adanya penurunan berat badan 0,5 kg/hari tanpa edema dan i
kg/hari bila ada edema. Bila pemberian spironolakton tidak adekuat, bisa dikombinasi
dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari, dengan dosis maksimal 160 mg/hari.
Parasintesis dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran asites sampai 4-6 liter perlu
disertai dengan pemberian albumin.
 Varises gastroesofagus
Varises gastroesofagus merupakan
kolateral portosistemik yang paling penting.
Pecahnya varises esofagus mengakibatkan
perdarahan varises yang berakibat fatal.
Diagnosis VE ditegakkan dengan
esofagogastroduodenoskopi, sehingga perlu
dilakukan skrining untuk mengetahui adanya
VE pada semua penderit SH yang didiagnosis
pertama kali. Pencegahan terjadinya
perdarahan VE adalah dengan pemberian obat
golongan beta blocker (propranolol) maupun
ligasi varises. Bila sudah terjadi perdarahan
dalam keadaan akut, bisa dilakukan resusitasi
dengan cairan kristaloid/koloid/penggantian
produk darah. Untuk menghentikan perdarahan digunakan preparat
vasokonstriktorsplanchnic, somatostatin, atau octreotide. Octreotide bisa diberikan
dengan dosis 50-100 ug/jam dengan infus kontinyu. Setelah itu dilakukan skleroterapi
atau ligasi varises. Rtindakan endoskopi terapeutik ini juga dilakukan untuk
menghentikan perdarahan berulang. Transjugular Intrahepatic Portosystemic (TIPS) dan
pembedahan shunt namun sebagai efek samping dapat terjadi ensefalopati hepatik.
 Peritonitis Bakterial Spontan
Peritonitis bakterial spontan merupakan komplikasi berat dan sering terjadi pada asites
yag ditandai dengan infeksi spontan cairan asites tanpa adanya fokus infeksi
intraabdominal. Pada penderita sirosis hepatis dan asites berat, frekuensi SBP berkisar
30% dan angka mortallitas 25%. Diagnosis SBP ditegakkan bila pda sampel cairan asites
ditemukan angka sel neutrofil >250/mm3. Untuk penanganan SBP diberikan antibiotika
golongan cefalosporin generasi kedua atau cefotaxim, dengan dosis 2 garam intravena
tiap 8 jam selama 5 hari.
 Ensefalopati Hepatikum
Mekanisme terjadinya EH adalah akibat hiperammonia, terjadi penurunan hepatic uptke
sebagai akibat dari intrahepatic portal systemic shunt dan/atau penurunan sintesis urea
dan glutamik. Beberapa faktor merupakan faktor presipitasi timbulnya EH diantaranya
infeksi, perdarahan, ketidakseimbanganelektrolit, pemberian obat sedatif, dan protein posi
tinggi. Dengan mencegah ataupun menuruni faktor risikonya, EH dapat diturunkan
risikonya. Di samping itu pemberian Laktulose, neomisin (antibiotika yang tidak
direasorbsi mukosa usus) cukup efektif untuk mencegh terjadinya EH.
 Sindrom Hepatorenal
SHR merupakan gangguan fungsi ginjal tanpa kelainan organik ginjal, yang ditemukan
pada SH tahap lanjut. Sindroma ini sering dijumpai pada penderita sirosis hepatis dengan
asites refrakter. SHR tipe 1 ditandai dengan gangguan progresif fungsi ginjal dan
penurunan klirens kreatinin secara bermakna dalam 1-2 minggu. Tipe 2 ditandai dnegan
penurunan filtrasi glomerulus dengan peningkatan serum kreatinin. Penanganan SHR
yang baik adalah transplantasi hati. Untuk prevensi terjadinya SHR perlu dicegah dengan
menghentikan pemberian diuretik, rehidrasi dan infus albumin.
2.11 Komplikasi
2.12 Edukasi dan Pencegahan

HBIG merupakan obat yang terpilih untuk profilaksis pascapajan jangka pendek.
Pemberian vaksin HBV dapat dilakukan bersamaan untuk mendapatkan imunitas jangka
panjang, bergantung pada situasi pajanan. CDC merekomendasikan pemberian HBIG dan
HBV dalam 12 jam setelah lahir pada bayi yang lahir dar ibu HbsAg positif. Lebih jauh
mereka menganjurkan uji rutin HbsAg prenatal pada semua wanita hamil di masa yang akan
datang, karena kehamilan menyebabkan penyakit berat papda ibu dan infeksi kronik pada
neonatus. HBIG (0,06 ml/kg) adalah pengobatan terpilih untuk mencegh infeksi HBV setelah
suntikan perkutan atau mukosa terpajan darah HbsAg positif. Vaksin HBV harus segera
diberikan dalam waktu 7-14 hari bila individu yang terpajan belum divaksinasi. Individu
terpajan yang telah divaksinasi harus menjalani pengukurn kadar antibodinti-HBs, kemudian
tidak membutuhkan pengobatan. Bila kadar antibodi anti-HBs tidak mencukupi, maka perlu
diberikan dosis booster-vaksin.

Tindakan dalam masyarakat yang penting untuk mencegah hepatitis mencakup


penyediaan makanan dan air bersih yang aman, serta sistem pembuangan sampah yang
efektif. Penitng untuk memperhatikan hiegine umum, mencuci tangan, serta membuang urine
dan feses yang terinfeksi secara aman. Pemakaian kateter, jarum suntik, dan spuit sekali pakai
akan menghilangkan sumber infeksi ynag penitng. Semua donor danar perlu disaring
terhadap HAV, HBV, dan HCV sebelum diterima menjadi panel donor.

2.13 Prognosis

Perjalanan alamiah SH terhantung pada sebab dan perjalanan etiologi yang mendasari
penyakit. Beberapa sistem skoring dapat digunakan untuk menilai keparahan sirosis hepatis
dan menentukan prognosisnya. Sistem skoring ini antara lain skor Child Turcotte Pugh (CTP)
dan Model end stage Disease (MELD) yang digunakan untuk evaluasi pasien dengan
rencaran tansplantasi hati.

Klasigikasi Child-Turcotte Pugh (Garcia-Tsao G&Bosch J, 2010)


Nilai
Parameter
1 2 3
Ensefalopati Tidak ada Terkontrol dengan terapi Kurang terkontrol
Asites Tidak ada Terkontrol dengan terapi Kurang terkontrol
Bilirubin (mg/dl) <2 2-3 >3
Albumin (gr/l) >3,5 1,8-3,5 <2,8
INR <1,7 1,7-2,2 >2,2

Penderita sirosis hepatis dikelompokkan menjadi CTP-A (5-6 poin), CTP-B (7-9
poin), dan CTP-C (10-15 poin). Penderita sirosis hepatis dengan CTP kelas A menunjukkan
penyakitnya terkompensasi dengan baik, dengan angka kesintasan berturut-turut 1 tahun dan
2 tahun sebesar 100% dan 85%. Sedang CTP kelas B angka kesintasan berturut-turut 1 tahun
dan 2 tahunnya sebesar 81% dan 60%. Kesintasan penderita SH dengan CTP kelas C 1 tahun
dan 2 tahun berturut-turut adalah 45% dan 35%.

2.14 SKDI

Sirosis Hepatis: SKDI 2


Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan menentukan
rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu
menindaklanjuti setelah kembali dari rujukan.
ANALISIS MASALAH

1C) Apa makna tidak ada riwayat putty-like stool dan itchy skin?

Jawab:

Feses yang pucat dan itchy skin terjadi akibat obstruksi post hepatik sehingga terjadi
retensi bilirubin dan garam empedu di dalam hepar. Hal ini akan mengakibatkan bilirubin
tidak dapat masuk ke dalam duodenum sehingga tidak dapat dioksidasi menjadi sterkobilin di
dalam ileum dan kolon. Oleh karena itu feses akan berwarna pucat. Selain itu itchy skin juga
terjadi karena retensi garam empedu dalam hepar sehingga menstimulasi sel mast untuk
mensekresikan histamin. Hal inilah yang pada akhirnya menyebabkan rasa gatal pada kulit.
Namun, pada kasus tidak didapatkan feses pucat dan rasa gatal pada kulit yang menunjukkan
tidak ada obstruksi total pada sistem biliaris.

1D) Bagaimana mekanisme urin berwarna seperti teh tua?

Jawab:

Hepatocellular jaundice (dalam kasus ini disebabkan oleh cirrhosis hepatis)


disebabkan oleh nekrosis sel sehingga menurunkan kemampuan hepatosit untuk
memetabolisme dan mengeksresikan bilirubin sehingga bilirubin indirect dapat meningkat
dalam darah. Penyebab lainnya bisa dikarenakan sirosis pada duktus biliaris primer sehingga
bilirubin direct meningkat dalam darah. Atau bilirubin indirect masih dapat ditranspor ke
hepatosit dan dikonjugasi secara normal, namun bilirubin direct ini kemudian kembali ke
dalam sirkulasi yang mungkin disebabkan oleh rupturnya bile canaliculi. Oleh karena itu,
kebanyakan bilirubin dalam plasma berbentuk direct daripada indirect. Bilirubin direct dalam
jumlah banyak dalam darah akan dioksidasi menjadi urobilinogen sehingga akan memberikan
warna teh cokelat tua pada urin.

2D) Bagaimana mekanisme keluhan di atas?

Jawab:

 Weakness of the body


Infeksi virus hepatitis B memicu serangkaian kaskade reaksi imunologi sehingga pada
akhir proses inflamasi akan didapatkan banyak hepatosit yang mengalami nekrosis.
Nekrosis dari sel akan memicu mekanisme penyembuhan jaringan dengan menstimulasi
fibrosis jaringan parenkim hepar. Fibrosis lama kelamaan akan membentuk sirosis
jaringan hepar sehingga terjadi distorsi arsitektur hati. Nekrosis sel dan abnormalitas
struktur hepar dapat mengurangi kemampuan hepar dalam memetabolisme makronutrien
seperti protein, glukosa, dan lemak sehingga makronutrien tidak dapat digunakan sebagai
sumber energi bagi tubuh. Oleh karena itu, pasien akan merasakan kelemahan pada tubuh.
 Epigastric Pain
Infeksi virus hepatitis B memicu serangkaian kaskade reaksi imunologi sehingga pada
akhir proses inflamasi akan didapatkan banyak hepatosit yang mengalami nekrosis.
Nekrosis dari sel akan memicu mekanisme penyembuhan jaringan dengan menstimulasi
fibrosis jaringan parenkim hepar. Fibrosis lama kelamaan akan membentuk sirosis
jaringan hepar sehingga terjadi distorsi arsitektur hati. Hal ini akan menyebabkan
peningkatan resistensi intrahepatik terhadap aliran darah porta sehingga terjadi hipertensi
porta. Hipertensi porta juga meningkatkan aliran darah splanchnic sekunder akibat
vasodilatasi pada splanchnic vascularbed. Akibat dari hipertensi porta inilah yang
akhirnya memberikan tekanan balik pada vena distal (gastrika) sehingga terjadi nyeri
epigastrium.
 Mual dan nafsu makanan menurun
Hipertensi porta akibat sirosis hepatis menyebabkan aliran balik pada vena distal
sehingga akan mengakibatkan tingginya tekanan vena pada gaster. Tingginya tekanan
vena gaster akan menstimulasi impuls aferen vagus yang akan dimodulasi di vomit center
pada medula oblongata sehingga timbul rasa mual. Rasa mual akan menyebabkan
penurunan nafsu makan.

2D) Organ apa saja yang terdapat di regio epigastrium?

Jawab:
3E) Apa saja gejala dan tanda dari Hepatitis B?

Jawab:

 Hepatitis B fase akut ditandai HbsAg muncul di dalam serum selama 2-10 minggu setelah
paparan virus dengan gejala hilang nafsu makan, diare dan muntah, letih (malaise), rasa
sakit pada otot, tulang sendi, demam ringan dan rasa tidak nyaman pada perut bagian atas,
urin gelap, tinja menjadi lebih pucat, dan timbul ikterus.
 Hepatitis B kronik ditandai dengan HbsAg tidak menghilang >6 bulan dalam serum dan
disertai hepatomegali, splenomegali, mucle wasting, palmar eritema, spider angioma,
vaskulitis (jarang).

4B) Bagaimana mekanisme terjadinya abnormalitas dari hasil pemeriksaan fisik pada
kasus?

Jawab:

 Moderate illness
Infeksi virus hepatitis B memicu serangkaian kaskade reaksi imunologi sehingga pada
akhir proses inflamasi akan didapatkan banyak hepatosit yang mengalami nekrosis.
Nekrosis dari sel akan memicu mekanisme penyembuhan jaringan dengan menstimulasi
fibrosis jaringan parenkim hepar. Fibrosis lama kelamaan akan membentuk sirosis
jaringan hepar sehingga terjadi distorsi arsitektur hati. Nekrosis sel dan abnormalitas
struktur hepar dapat mengurangi kemampuan hepar dalam memetabolisme makronutrien
seperti protein, glukosa, dan lemak sehingga makronutrien tidak dapat digunakan sebagai
sumber energi bagi tubuh. Hal ini juga ditambah rasa mual dan nafsu makan yang
menurun sehingga makronutrien yang masuk ke dalam tubuh pun sedikit. Oleh karena itu,
pasien akan merasakan kelemahan pada tubuh dan terlihat sakit sedang.

6B) Bagaimana mekanisme terjadinya abnormalits dari hasil pemeriksaan


laboratorium pada kasus?

Jawab:

 Anemia
Pada sirosis hepatis terjadi hipertensi portal yang mengakibatkan splenomegali kongestif
sehingga terjadi hipersplenisme. Pasien dengan hipersplenisme gambaran klinisnya akan
mengalami anemia, leukopenia, dan trombositopenia atau kombinasinya. Hal ini
disebabkan limpa yang membesar cenderung ntuk menangkap dan menghancurkan sel-sel
darah. Anemia yang disebabkan oleh pembesaran limpa cenderung perlahan dan
mengalami gejala ringan.
 Penurunan hematokrit
Akibat dari hipersplenisme, limpa cenderung mendegradasi eritrosit lebih banyak
sehingga jumlah esitrosit dalam plasma akan berkurang.
 Trombositopenia
 Penurunan kadar trombopoietin. Trombopoietin diproduksi oleh sel prenkiman dan sel
endotelial sinuosid hepar dan diseresikan ke dalam sirkulasi. Trombopoietin berfungsi
untuk mempercepat progresi stem sel melalui pematangan megakariosit. Namun, pada
sirosis hepatis terjadi nekrosis dan apoptosis sel hepatosit sehingga kadar TPO
menjadi berkurang. Hal ini akan menyebabkan produksi platelet akan menurun.
 Supresi sumsum tulang. Virus hepatitis B secara langsung menghambat pertumbuhan
dan dan diferensiasi dari sel progenitor sumsum tulang sehingga produksi platelet
juga akan menurun.
 Pada sirosis hepatis terjadi hipertensi portal yang mengakibatkan splenomegali
kongestif sehingga terjadi hipersplenisme. Pasien dengan hipersplenisme gambaran
klinisnya akan mengalami anemia, leukopenia, dan trombositopenia atau
kombinasinya. Hal ini disebabkan limpa yang membesar akan mengakibatkan
peningkatan aktivitas degradasi trombosit sehingga terjadi trombositopenia.
 Peningkatan bilirubin total dan bilirubin direct
Hepatocellular jaundice (dalam kasus ini disebabkan oleh cirrhosis hepatis) disebabkan
oleh nekrosis sel sehingga menurunkan kemampuan hepatosit untuk memetabolisme dan
mengeksresikan bilirubin sehingga bilirubin indirect dapat meningkat dalam darah.
Penyebab lainnya bisa dikarenakan sirosis pada duktus biliaris primer sehingga bilirubin
direct meningkat dalam darah. Atau bilirubin indirect masih dapat ditranspor ke hepatosit
dan dikonjugasi secara normal, namun bilirubin direct ini kemudian kembali ke dalam
sirkulasi yang mungkin disebabkan oleh rupturnya bile canaliculi. Oleh karena itu,
kebanyakan bilirubin dalam plasma berbentuk direct daripada indirect. Bilirubin direct
dalam jumlah banyak dalam darah akan menyebabkan peningkatan bilirubin total.
 SGOT dan SGPT meningkat
Infeksi virus hepatitis B memicu serangkaian kaskade reaksi imunologi sehingga pada
akhir proses inflamasi akan didapatkan banyak hepatosit yang mengalami nekrosis.
Nekrosis sel hepatosit akan menyebabkan keluarnya enzim SGOT pada mitokondria dan
SGPT pada sitoplasma ke dalam sirkulasi. Oleh karerna itu, terjadi peningkatan SGOT
dan SGPT pada darah.
 HbsAg (+)
Sel hepatosit merupakan taget dari virus hepatitis B. Virus ini mula-mula melekat pada
reseptro spesifik dan melakukan penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepatosit. Dalam
sitoplasma HBV mengalami uncoating sehingga melepaskan nucluokapsid. Kemudian
DNA HBV ditransport ke nuklues sel host. Di nukleus DNA membentuk covalently
closed circular (ccc) yang disajikan sebagai bahan trasnkripsi. Hasil transkripsi dan
translasi virus dalam sel hepatosit akan memproduksi protein virus seperi protein
surfacei, core, polimerase, dan protein X. Protein tersebut akan dibungkus oleh retikulum
endoplasma dan dikeluarkan oleh hepatosit sebagai antigen, salah satunya adalah HbsAg.
HbsAg diproduksi dalam jumlah banyak dan bersirkulasi di serum pada individu yang
terinfeksi HBV. HbsAg ini akan terdeteksi dalam uji serologis.
 Hipoalbuinemia
Pada proses inflamasi kronik dimana terjadi peningkatan sekresi sitokin pro inflamatori
seperti TNF alfa, IL-6 akan terjadi peningkatan permeabilitas membran vaskuler (albumin
berdifusi ke rongga ekstravaskular), peningkatan degradasi, dan penurunan sintesis
albumin (aktivasi dari TNF alfa akan menurunkan transkripsi gen albumin).

6D) Bagaimana metabolisme bilirubin?

Jawab:

Proses metabolisme pemecahan heme sangatlah kompleks. Setelah kurang lebih 120
hari, eritrosit diambil dan didegradasi oleh sistem RES terutama di hati dan limpa.
Sekitar 85% heme yang didegradasi berasal dari eritrosit dan 15% berasal dari
jaringan ekstraeritroid. Bilirubin terbentuk akibat terbukannya cincin karbon-alfa dari
heme yang berasal dari eritrosit maupun ekstraeritroid.

Tahap awal proses degradasi heme dikatalisis oleh enzim heme oksigenase
mikrosom di dalam sel RE. Dengan adanya NADPH dan O2, enzim ini akan
menambahkan gugus hidroksil ke jembatan metenil diantara dua cincin pirol,
bersamaan dengan oksidasi ion ferro (Fe+2) menjadi Fe+3 (ferri). Oksidasi selanjutnya
oleh enzim yang menyebabkan pemecahan cincin porfirin. Ion ferri dan dan CO di
lepaskan, sehingga menyebabkan pembentukan biliverdin yang berpigmen hijau.
Biliverdin kemudian direduksi oleh enzim biliverdin reduktase sehingga membentuk
bilirubin yang bewarna merah jingga. Bilirubin dan turunannya bersama-sama disebut
pigmen empedu.

Bilirubin hanya sedikit larut dalam plasma, sehingga diangkut kehati dengan
berikatan dengan protein albumin secara nonkovalen. Bilirubin teruarai dari molekul
pembawa albumin dan masuk ke dalam hepatosit, tempat bilirubin akan berikatan dengan
protein intrasel, terutama protein liganin. Di dalam hepatosit, kelarutan bilirubin
meningkat karena penambahan dua molekul asam glukoronat. Reaksi ini dikatalisis oleh
bilirubin glukoniltransferase dengan menggunakan asam glukoronat UDP sebagai donor
glukoronat. Bilirubin diglukoronid ditransport secara aktif dengan melawan gradien
konsentrasi ke dalam kanalikuli biliaris dan kemudian ke dalam empedu. Proses ini
memerlukan energi, merupakan tahapan yang membatasi laju dan rentan mengalami
gangguan pada penyakit hepar. Bilirubin yang tidak terkonjugasi normalnya
diekskresikan.

Pada saat bilirubin terkonjugasi mencapai illeum terminal dan usus besar, glukuronida
dikeluarkan oleh enzim bakteri khusus dan pigmen tersebut kemudian direduksi oleh flora
feses menjadi urobilonogen. Sebagian besar urobilinogen dioksidasi oleh bakteri usus
menjadi sterkobilin, memberi warna coklat pada feses. Namun, beberapa urobilinogen
direabsorbsi oleh usus dan masuk ke dalam sirkulasi portal. Sebagian urobilinogen ini
berperan dalam siklus urobilinogen intrahepatik yang akan diuptake oleh hepar kemudian
diekskresikan kembali ke dalam empedu. Sisa urobilinogen diangkut oleh darah ke
dalam ginjal, tempat urobilinigen diubah menjadi urobilin yang berwarna kuning dan
diekskresikan sehingga memberikan warna yang khas pada urin.

15) Bagaimana petogenesis dari penyakit yang dialami?

Jawab:

Sirosis hepatis terjadi akibat adanya cidera kronik-ireversibel pada parenkim hati disertai
dengan timbulnya jaringan ikat difus (akibat adanya cidera fibrosis), pembentukan nodul
degeneratif ukuran mikronodul sampai makronodul. Hal ini sebagai akibat adanya nekrosis
hepatosit, kolapsnya jaringan penunjang retikulin, disertai dengan deposit jaringan ikat,
distorsi jaringan vaskular berkaibat pembentukan vaskular intrahepatik antara pembuluh
darah hati aferen (vena portadan arteri hepatika) dan eferen (vena hepatika), dan regenerasi
nodular parenkim hati sisanya.

Terjadinya fibrosis hati disebabkan adanya aktivasi dari sel stellate hati. Aktivasi ini
dipicu oleh faktor pelepasan yang dihasilkan sel hepatosit dari sel Kupffer. Sel stellate
merupakan sel penghasil utama matriks ekstraseluler (ECM) setelah terjadi cedera pada
hepar. Pembentukan ECM disebabkan anyan pembentuk jaringan mirip fibroblast yang
dihasilkan sel stellate dan dipengaruhi oleh beberapa sitokin seperti transforming growth
factor beta (TGF beta) dan TNF alfa.

Deposit ECM di space of Disse akan menyebabkan perubahan bentuk dan memacu
kapilarisasi pembuluh darah. Kapilarisasi sinusoid kemudian mengubah pertukaran normal
aliran vena porta dengan hepatosit, sehingga meterial yang seharusnya dimetabolisme oelh
hepatosit akan masuk langsung ke aliran darah sistemik dan menghambat material yang
diproduksi di hati masuk ke darah. Prosis ini akan meninmbulkan hipertensi portal dan
penurunan fungsi hepatoseluler.

18) Apa manifestasi klinis dari penyakit yang dialami?

Jawab:

Perjalanan sirosis hepatis lambat, asimtomatis dan seringkali tidak dicurigai sampai
adanya komplikasi penyakit hati. Banyak penderita sering tidak terdiagnosis sebagai sirosis
hepatis sebelumnya dan sering ditemukan pada waktu autops. Diagnosis SH asimptomatis
biasanya dibuat secara insidental ketika tes pemeriksaan fungsi hati (transaminase) atau
penemuan radiologi, sehingga kemudian penderita melakukan pemeriksaan lebih lanjut dan
biopsi hati.

Sebagian besar penderita datang ke klinik biasanya sudah dalam stadium


dekompensata, disertai adanya komplikasi seperti perdarahan varises, peritonitis bakterial
spontn, atau ensefalopati hepatis. Gamabaran klinis penderita SH adalah mudah lelah,
anoreksia, berat badan menurun, atropi otot, ikterus, spider nevi angiomata, splenomegali,
asites, caput meduase, palmar eritema, white nails, ginekomastia, hilangnya rambut pubis dan
ketiak pada wanita, asterixis (flapping tremor), foetor hepaticus, dupuytren’s contracture
(sirosis akibat alkohol)

Tanda Penyebab
Spider angioma atau spider nevi Estradiol meningkat
Palmae erytema Gangguan metabolisme hormon seks
Perubahan kuku
 Muehrche’s lines Hipoalbuminemia
 Terry’s nails Hipoalbuminemia
 Clubbing Hipertensi portomulmonal
Osteoartopati hipertrofi Chronic proliferative periostitis
Kontraktur Dupuytren Proliferasi fibroplastik dan gangguan deposit
kolagen
Ginekomastia Estradiol meningkat
Hipogonadisme Perlukaan gonad primer atau supresi fungsi
hipofise atau hipotalamus
Ukuran hati: besar, normal, mengecil Hipertensi portal
Slenomegali Hipertensi portal
Asites Hipertensi portal
Capur medusae Hipertensi portal
Murmur Cruveilhie-Baungarten (bising Hipertensi portal
daerah epigastrium)
Fetor hepaticus Diamethyl sulfide meningkat
Ikterus Bilirubin meningkat (sekurang-kurangnya 2-
3 mg/dl)
Asterixis/flapping tremor Ensefalopati hepaticum
DAFTAR PUSTAKA

Danastri, CN. 2013. Sirosis Hepatis pada Pasien dengan Riwayat Mengkonsumsi Alkohol
Kronik. Medula Unila. Vol 1 (2): 19-26.

Fauci, Anthony S., Kasper, Dennis L., Longo, Dan L., Braunwald, Eugene., Hauser, Stephen
L., Jameson, J Larry., Loscako, Joseph. 2004. Harrison’s Principles of Internal
Medicine 17th Edition. New York: The McGraw Hill Company.

Fukui, Hiroshi., Salto, Hidetsugu., Ueno, Yokhiyuki., Hirofumi Uto. (2016). Evidence-based
Clinical Practice Guideline for Liver Cirrhocis 2015. The Japanese Society of
Gastroenterology. Vol 51: 629-650.

Kumar, E. Halleys., Radhakrishnan, A. (2014). Prevalence of Anemia in Decompensated


Chronic Liver Disease. World of Journal Medical Sciences. Vol 10 (1): 56-40.

Konsil Kedokteran Indonesia. 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta: KKI.

Mitchell, Oscar., Feldman, David M., Diakow, Marla., Sigal, Samuel H. (2016). The
Pathophysiology of Trombocytopenia in Chronic Liver Disease. Hepatology Medicine.
Vol 8: 39-50.

Murray,, Robert K., Bender, David A., Botham kathleen M., Kennelly, Peter J., Rodwel,
Victor W., Weil, P Anthony. 2014. Biokimia Harper Edisi 29. Jakarta: EGC

Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Volume 1. Jakarta: EGC.

Setiati, Siti., Alwi, Idrus., Sudoyono, Aru W., et al. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
FK UI Jilid II Edisi VI. Jakarta: InternaPublishing

Zhou, Wen-Ce., Zhang, Quan-Bao., Qiao, Liang. (2014). Pathogenesis of Liver Cirrhosis.
World Journal Gastroenterology. Vol 20 (23): 7312-7324.

Anda mungkin juga menyukai