Anda di halaman 1dari 25

Air Bersih 1

July 14, 2010 fisuharoh Leave a comment Go to comments

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Air minum merupakan kebutuhan dasar bagi manusia, yang harus tersedia dalam kuantitas yang
cukup dan kualitas yang memenuhi syarat dan terjamin kontinuitasnya. Meskipun alam telah
menyediakan air dalam jumlah yang cukup, tetapi pertambahan penduduk dan peningkatan
aktivitasnya telah mengubah tatanan dan keseimbangan air di alam. Sebagian besar air yang
tersedia tidak lagi layak dikonsumsi secara langsung dan memerlukan pengolahan supaya air dari
alam layak dan sehat untuk dikonsumsi.

Kualitas air baku untuk air minum semakin memburuk dengan masih kurangnya perhatian yang
serius terhadap pengelolaan air limbah. Air limbah dari rumah tangga dan industri, kawasan
perdagangan, dan sebagainya hampir semuanya dibuang langsung ke badan-badan air tanpa
pengolahan. Akibatnya, terjadi penurunan kualitas air permukaan dan air tanah, yang pada
akhirnya menurunkan kualitas air baku untuk air minum.

Pemerintah telah memberikan perhatian yang cukup besar terhadap pengembangan sistem
pernyediaan air minum. Sejak akhir 1970an hingga saat ini penyediaan air minum khususnya
dengan sistem perpipaan telah dibangun dan dikembangkan menggunakan berbagai pendekatan
baik yang bersifat sektoral maupun pendekatan keterpaduan dan kewilayahan (perkotaan dan
pedesaan).

Pada awalnya pengembangan sistem penyediaan air minum (SPAM) banyak dilakukan oleh
pemerintah pusat. Tetapi sejalan dengan upaya desentralisasi melalui PP No.14 Tahun 1987
tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah bidang Pekerjaan Umum kepada Daerah,
urusan pembangunan, pemerliharaan dan pengelolaan prasarana dan sarana air minum
diserahkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota. Meskipun urusan tersebut telah diserahkan,
namum pendanaannya masih dapat dibantu sebagian oleh Pemerintah pusat. Penyerahan urusan
pembangunan, pemerliharaan dan pengelolaan prasarana dan sarana air minum sebagai
wewenang dan tanggung jawab pemerintah Kabupaten/Kota tersebut selanjutnya dipertegas
dalam Pasal 16 Undang-Undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan Pasal 40 PP
No.16 tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum dengan rumusan
“memenuhi kebutuhan air minum masyarakat di wilayahnya sesuai dengan standar pelayanan
minimal yang ditetapkan.”
Penetapan wewenang dan tanggung jawab tersebut sejalan pula dengan pengaturan dalam Pasal
14 Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menempatkan urusan
penyediaan prasarana dan sarana umum serta pelayanan dasar bagi masyarakat di
Kabupaten/Kota sebagai “urusan wajib Pemerintah Kabupaten/Kota”. Tentunya lingkup atau
pengertian dan urusan penyediaan prasarana dan sarana umum serta pelayanan dasar bagi
masyarakat di Kabupaten/Kota tersebut mencakup pula penyediaan air minum bagi masyarakat.

Untuk mengatur pengembangan sistem penyediaan air minum nasional yang sekaligus
terintegrasi dengan pengelolaan air limbah dan persampahan, Pemerintah telah menetapkan
pengaturannya dalam Pasal 23 Peraturan Pemerintah (PP) No.16 Tahun 2005 tentang
Pengembangan Sisitem Penyediaan Air Minum (SPAM). Pasal 23 Peraturan Pemerintah tersebut
juga menegaskan bahwa perlindungan air baku dilakukan melalui keterpaduan pengaturan
pengembangan SPAM dan prasarana dan sarana sanitasi, yang meliputi sarana dan prasarana air
limbah dan persampahan. Hal mendasar lainnya yang diatur dalam PP tersebut adalah bahwa
Pemerintah bertanggung jawab dan wajib untuk menjamin penyelenggaraan pelayanan air
minum yang berkualitas, melalui :

Terciptanya pengelolaan dan pelayanan air minum yang berkualitas dengan harga terjangkau,

Terciptanya kepentingan yang seimbang antara konsumen dan penyedia jasa pelayanan,

Meningkatnya efisiensi dan cakupan pelayanan air minum dan sanitasi.

Hingga kini, penyediaan air bersih masih menjadi persoalan serius negeri ini. Dan jika dikaitkan
dengan salah satu target Millenium Development Goals (MDGs) dimana pada tahun 2015
setidaknya separo (50%) masyarakat dunia sudah harus mendapatkan akses terhadap air bersih,
maka Indonesia mungkin menjadi salah satu negara yang harus menata diri untuk mencapai
target global tersebut.

Air sehat bagi seluruh rakyat, seyogyanya didefinisikan sebagai air minum. Ketentuan tentang air
minum, sebagaimana tertuang dalam PP No.16 / 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan
Air Minum, adalah air minum rumah tangga yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses
pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Persyaratan
kesehatan air minum ini sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
907/MENKES/SK/VII/2002 tentang Syarat Syarat dan Pengawasan Air Minum.

Pemenuhan kebutuhan air minum tidak saja diorientasikan pada kualitas sebagaimana
persyaratan kesehatan air minum, tetapi sekaligus menyangkut kuantitas dan kontinuitasnya.
Pemerintah dan Pemerintahan di daerah berkewajiban menyelesaikan persoalan penyediaan air
minum yang memenuhi ketentuan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas untuk seluruh rakyat,
khususnya terhadap masyarakat yang masih belum memiliki akses terhadap air minum. Di sisi
lain, Pemerintah mempertimbangkan pemenuhan akses masyarakat terhadap air minum
berlandaskan tantangan nasional dan global.

Upaya melindungi sumber air baku, saat ini mendapatkan perhatian yang cukup serius dari
pemerintah. Hal ini berangkat dari kesadaran masyarakat dan pemerintah bahwa sumber air
sebagai unsur lingkungan yang vital merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat
menjamin berlanjutnya kehidupan.

Berbagai peraturan perundang-undangan dikeluarkan seperti yang dituangkan dalam Undang-


undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, UU No.41/1999 tentang Kehutanan, UU No.7/2004 tentang Sumber Daya
Air. Peraturan-peraturan pelaksanaannya antara lain dituangkan dalam Peraturan Pemerintah
No.22/1982 tentang Tata Pengaturan Air, PP 27/1991 tentang Rawa, PP 35/1991 tentang Sungai,
PP 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, PP 16/2004
tentang Penatagunaan Tanah dan Keppres No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, apabila master plan dan sistem jaringan air bersih akan
disusun, landasan hukum yang dapat digunakan dalam penyusunan adalah sebagai berikut :

1. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air


2. Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
3. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup
4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
5. Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air
Minum
6. Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan
Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur
7. Peraturan Pemerintah No. 22/1982 tentang Tata Pengaturan Air
8. Peraturan Pemerintah No. 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air
9. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 294/PRT/M/2005 tentang Badan Pendukung
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum
10. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Strategi
Sistem Penyediaan Air Minum
11. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 907/MENKES/SK/VII/2002 tentang Syarat Syarat
dan Pengawasan Air Minum

Tantangan Global dalam pemenuhan air minum, didasarkan pada deklarasi “Millennium
Development Goals” (MDGs) pada KTT Bumi (World Summit for Sustainable Development) di
Johannesburg, pada tahun 2002. Pencapaian sasaran Agenda MDGs tersebut disepakati pada
tahun 2015. Salah satu Agenda MDGs, yakni Agenda No. 7 “Ensure Environmental
Sustainability“. adalah “reduce by halve the proportion of people without sustainable access to
safe drinking water“. Konsekuensi terhadap ratifikasi Deklarasi MDGs tersebut, untuk upaya
pengembangan system penyediaan air minum di Indonesia, bahwa pada tahun 2015 harus dapat
meningkatkan pelayanan untuk mengurangi separuh proporsi (50%) penduduk yang saat ini
belum memiliki akses kepada air minum yang berkelanjutan.

CONTOH LATAR BELAKANG STUDI KASUS

Pemerintah Indonesia mensyaratkan kebutuhan air bersih bagi masyarakatnya


didasarkan pada kategori kota, dan jumlah penduduk. Kota Semarang dengan jumlah
penduduk > 1.4 juta jiwa adalah kategori Kota dengan syarat kebutuhan air bersih
sebesar 150-200 liter per orang per hari ( Kimpraswil, 2003). Air bersih tersebut harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut : jernih, tidak bewarna, tidak berasa, tidak berbau,
tidak beracun, pH netral dan bebas mikroorganisme. Namun kenyataannya ketersediaan
air bersih secara alami sangat terbatas sehingga banyak masyarakat yang tidak mampu
memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Pemerintah tersebut. Karena itu diperlukan
upaya-upaya untuk mengolah air mentah menjadi air bersih dan mendistribusikannya
kepada seluruh masyarakat.

Pemenuhan kebutuhan air bersih masyarakat perkotaan umumnya didapatkan melalui


Perusahaan Penyedia Air Bersih yang didirikan Pemerintah di setiap perkotaan, yaitu
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Hal ini dimungkinkan karena letak pemukimam
diperkotaan berkelompok dan sudah tertata dengan baik sehingga memudahkan sistem
pelayanan dan dapat menekan biaya pendistribusian air bersih ke masyarakat. Disamping
itu standar pendidikan dan perekonomian masyarakat perkotaan yang relatif lebih tinggi
dibandingkan masyarakat pedesaan memungkinkan masyarakat perkotaan dapat
memenuhi kebutuhan air bersih sesuai dengan yang dipersyaratkan. Bahkan tidak jarang
masyarakat perkotaan atas inisiatif sendiri atau kelompok mendirikan unit pengolahan air
sendiri untuk memenuhi kebutuhan air bersih.

Hingga saat ini masyarakat sulit untuk mendapatkan pelayanan air bersih, sumber
PDAM Kota Semarang menyebutkan , target jumlah pelanggan 185.000 di tahun 2007
baru dapat terealisasi 126.749 pelanggan, dengan cakupan pelayanan saat ini 56,10%
(Selayang Pandang PDAM Kota Semarang,2008) Tidak tercapainya target jumlah
pelanggan disebabkan terjadi penurunan pasokan air produksi di beberapa IPA, dari
900 liter per detik saat musim hujan hanya 600 liter per detik saat kemarau, diantaranya
IPA Kudu, dan IPA Pucang Gading, sedangkan penurunan produksi pada IPA Gajah
Mungkur disebabkan karena faktor usia (PDAM kota Semarang, 2008). Dilain pihak tidak
kurang dari 105 pengembang saat ini menyediakan pemukiman di Kota Semarang, yang
berakibat kebutuhan air bersih meningkat. Dampak dari penyediaan air bersih yang
belum dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat juga mendorong kawasan Graha
Candi Golf dan Bukit Semarang Baru (BSB) Kota Semarang ”memenuhi sendiri”
kebutuhan air bersihnya.

Untuk memenuhi kebutuhan air bersih pada kawasan Graha Candi Golf pengembang
memanfaatkan air sungai sebagai sumber air baku. Adapun air sungai yang
dimanfaatkan berasal dari aliran Sungai Bajak yang melintas pada kawasan tersebut.
Agar kualitas air Sungai Bajak dapat dimanfaatkan sebagai air minum, pengembang
melengkapi Instalasi Pengolahan Air (IPA). Sedangkan Untuk memenuhi kebutuhan air
bersih pada kawasan Bukit Jatisari, Bukit Semarang Baru pengembang memanfaatkan
air tanah sebagai sumber air baku melalui pembuatan sumur dalam, dan dilengkapi
dengan reservoir (bak penampungan). Penggunaan air tanah maupun air sungai sebagai
air baku untuk air minum di masing-masing wilayah tersebut sebaiknya melalui proses
pengolahan, agar menghasilkan air yang memenuhi standart kualitas air minum.
Pengolahan air pada dasarnya adalah upaya menyisihkan zat-zat pengotor/pencemar dari
air mentah. Secara garis besar kelompok zat pencemar air tersebut terbagi atas tiga yakni
padatan terdispersi (suspended solid), padatan terlarut (dissolved solid), dan gas terlarut
(dissolved gass). Khusus untuk produksi air bersih upaya pengolahan dititik beratkan pada
penyisihan padatan terdispersi dari air mentah. Proses penyisihan padatan terdispersi dari
air mentah terdiri dari tiga tahapan yakni tahap pengendapan alami (natural
sedimentation), tahap pengolahan (clarification) dan tahap penyaringan (filtration). Tahap
yang paling menentukan dari ketiga tahap tersebut adalah tahap pengolahan. Tahap
pengolahan ini didefinisikan sebagai tahap pengendapan padatan tersuspensi dengan
bantuan zat kimia tertentu. Proses pengolahan air (clarifying process) juga terdiri dari tiga
tahap yakni tahap koagulasi (coagulation step), tahap flokulasi (floculation step) dan tahap
sedimetasi (sedimentation step). Tahap koagulasi adalah tahap penetralan muatan atau
penyediaan jembatan dari padatan terdispersi dengan penambahan zat kimia tertentu
(coagulant aid). Pada tahap ini dikehendaki pencampuran yang baik (rapid mixing) untuk
menjamin kontak yang maksimal antara padatan terdispersi dengan zat kimia yang
ditambahkan. Tahap flokulasi adalah tahap penggabungan dari padatan-padatan
terdispersi untuk membentuk flok (aglomerat). Pada tahap ini dibutuhkan zona yang
relatif tenang agar penggabungan dari padatan-padatan terdispersi dapat berlangsung
dengan baik. Sementara tahap sedimentasi adalah tahap pengendapan flok-flok ke dasar
klarifier, agar proses pengendapan ini berjalan dengan baik maka tahap ini harus
berlangsung pada zona yang sangat tenang. Pengelola air minum dengan sistem perpipaan
juga wajib mengadakan pengawasan internal terhadap kualitas air yang diproduksinya,
sesuai dengan ketentuan sebagai berikut : Untuk Produksi Air Minum sebesar < 200.000
m3/Tahun/Unit Produksi, Pada setiap reservoir (tandon air) dilakukan pemeriksaan
parameter:

 Sisa khlor dilakukan minimal satu kali sehari;


 pH, dilakukan minimal satu kali per minggu;
 Daya hantar listrik (DHL), Alkalinitas, kesadahan total, CO2 Agresif, suhu
dilakukan minimal satu kali per minggu;
 Besi dan Mangan, dilakukan minimal satu kali per bulan bila menjadi masalah.
(KEPMEN KES RI Nomor : 907/MENKES/SK/VII/2002)

Kualitas air dan kuantitas air minum sangat menentukan kinerja pengelolaannya, dimana
kinerja adalah sebagai catatan outcome yang dihasilkan dari suatu fungsi pekerjaan
tertentu atau kegiatan selama suatu periode waktu tertentu. (Benardin dan Russel dalam
Gomes,2000). Kinerja pengelolaan air minum sangat ditentukan oleh:

1. a. Kualitas air dan kuantitas air yang dapat dinikmati oleh konsumen sebagai
pengguna jasa pelayanan, termasuk tingkat kepuasan yang dapat dicapai;
2. b. Efektivitas dan efisiensi dalam pengadaannya; sebagai indikator dalam menilai
tingkat efektivitas penyediaan air bersih adalah berbagai kriteria teknis dan
standar desain yang berlaku di dalam perencanaan sistem penyediaan air bersih,
seperti kualitas air baku, sistem transmisi, sistem distribusi, dan proses pengolahan
air yang menghasilkan air bersih sesuai standar kualitas air yang telah ditentukan
oleh Pemerintah. Sedangkan tingkat efisiensi ditentukan atas dasar perbandingan
antara jumlah biaya yang dikeluarkan dibandingkan dengan kualitas dan kuantitas
air yang dihasilkan serta tingkat kepuasan yang dicapai.

Dalam rangka mencapai derajat kualitas, dan kuantitas air minum yang memenuhi
persyaratan sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor
907/MCNKCS/SK/2002 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum,serta
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 416/Menkes/Per/IX/1990
tentang pengawasan dan syarat-syarat kualitas air bersih, maka perlu dilakukan evaluasi
kinerja pengelolaan air bersih.

1.2 Air
Pada dasarnya air di bumi dapat dikelompokkan sebagau berukut:

1. Air Permukaan

Air permukaan meliputi:

 Air sungai
 Air danau
 Air waduk
 Air rawa. Dan
 Genangan air lainnya

1. Air Tanah

Air tanah dapat dibedakan menjadi air tanah tidak tertekan (bebas), dan air tanah tertekan. Air
tanah bebas adalah air dari akifer yang hanya sebagian terisi air, terletak pada suatu dasar yang
kedap air, dan mempunyai permukaan bebas.

Air tanah tertekan adalah air dari akifer yang sepenuhnya jenuh air, dengan bagian atas dan
bawah dibatasi oleh lapisan yang kedap air.

Tabel 1.1 memperlihatkan bahwa lebih dari 97 % air di muka bumi ini merupakan air laut yang
tidak dapat digunakan oleh manusia secara langsung. Dari 3% air yang tersisa, 2 % diantaranya
tersimpan sebagai gunung es (glacier) di kutub dan uap air.

Tabel 1.1 distribusi Air di Bumi

Lokasi Volume (x 103km3) Prosentase (%)


1 Laut 1.320.000 – 1.370.000 97,3
2 Air Tawar 24.000 – 29.000 2,1

a Gunung es (glacier) 13 – 14 0,0001


b Uap air di atmosfer 4.000 – 8.000 0,6

c Air tanah hingga 60 – 80 0,008


kedalaman 4.000 m
1,2 0,0009
d Uap air di tanah
104 0,007
e Sungai
125 0,009
f Danau asin

g Danau air tawar

Sumber : Jeffries and Mills, 1996

Air yang benar-benar tersedia bagi keperluan manusia hanya 0,62 %, meliputi air yang terdapat
di danau, sungai dan air tanah. Jika ditinjau dari segi kualitas, air yang memadai bagi konsumsi
manusia hanya 0,003 % dari seluruh air yang ada (sumber : Effendi,2003).

Dalam Peraturan Menteri No 416 Tahun 1990 yang dimaksud dengan air meliputi :

a. Air adalah air minum, air bersih, air kolam renang, dan air pemandian umum.

b. Air minum adalah air yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung
diminum.

c. Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi
syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak.

d. Air kolam renang adalah air di dalam kolam renang yang digunakan untuk olah raga renang
dan kualitasnya memenuhi syarat-syarat kesehatan.

e. Air Pemandian Umum adalah air yang digunakan pada tempat pemandian umum tidak
termasuk pemandian untuk pengobatan tradisional dan kolam renang yang kualitasnya
memenuhi syarat kesehatan.

Sedangkan dalam PERMENKES NO: 907/MENKES/SK/VII/2002, yamg dimaksud air


adalah:

1. Air Minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang
memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung di minum.

2. Sampel Air adalah air yang diambil sebagai contoh yang digunakan untuk keperluan
pemeriksaan laboratorium.
3. Pengelola Penyediaan Air Minum adalah Badan Usaha yang mengelola air minum untuk
keperluan masyarakat.

Peraturan Pemerintah No 20 Tahun 1990 mengelompokkan kualitas air menjadi beberapa


golongan menurut peruntukannya

1. Golongan A, yaitu air yang dapat digunakan sebagai air minum secara langsung tanpa
pengolahan terlebih dahulu
2. Golongan B, yaitu air yang dapat digunakan sebagai air baku air minum
3. Golongan C, yaitu air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan
4. Golongan D, yaitu air yang dapat digunakan untuk keperluan pertanian, usaha di
perkotaan, industry, dan pembangkit listrik tenaga air.

Sedangkan Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2001,


Pengelolaan kualitas air adalah upaya pemeliharaan air sehingga tercapai kualitas air yang
diinginkan sesuai peruntukkannya untuk menjamin agar kualitas air tetap dalam kondisi
alamiahnya. Klasifikasi mutu air di Indonesia ditetapkan menjadi 4 (empat) kelas sebagai berikut
ini.

1. kelas satu, air yang peruntukkannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau
peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
2. kelas dua, air yang peruntukkannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air,
pembudidayaan ikan tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau
peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
3. kelas tiga, air yang peruntukkannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air
tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukkan lain yang
mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut, dan
4. kelas empat, air yang peruntukkannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman, dan
atau peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut.

1.3 Penyediaan Air


Menurut Peraturan Pemerintah Rrepublik Indonesia Nomor 16 Ttahun 2005 tentang
pengembangan sistem penyediaan air minum, Bab II Sistem Penyediaan Air Minum :

Bagian Kesatu,Umum

Pasal 5

(1) SPAM dapat dilakukan melalui sistem jaringan perpipaan dan/atau bukan jaringan perpipaan.

(2) SPAM dengan jaringan perpipaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat meliputi unit
air baku, unit produksi, unit distribusi, unit pelayanan, dan unit pengelolaan.

(3) SPAM bukan jaringan perpipaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat meliputi
sumur dangkal, sumur pompa tangan, bak penampungan air hujan, terminal air, mobil tangki air
instalasi air kemasan, atau bangunan perlindungan mata air.

(4) SPAM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikelola secara baik dan berkelanjutan.

(5) Ketentuan teknis mengenai SPAM bukan jaringan perpipaan sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan. Menteri.

Pasal 6

(1) Air minum yang dihasilkan dari SPAM yang digunakan oleh masyarakat
pengguna/pelanggan harus memenuhi syarat kualitas berdasarkan perautran menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan

(2) Air minum yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang
didistribusikankepada masyarakat.

Bagian Kedua,Unit Air Baku

Pasal 7

(1) Unit air baku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), dapat terdiri dari bangunan
penampungan air, bangunan penampungan air, bangunanan pengambilan/penyadapan, alat
pengukuran dan peralatan pemantauan, system pemompaan, dan/atau bangunan sarana pembawa
serta perlengkapannya.

(2) Unit air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan sarana pengambilan

dan/atau penyediaan air baku.

Pasal 8

(1) Air baku wajib memenuhi baku mutu yang ditetapkan untuk penyediaan air minum sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin dan ketersediaan air baku sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).

(3) Dalam rangka efisiensi pemanfaatan air baku, Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat
melakukan kerja sama antardaerah.

(4) Penggunaan air baku untuk keperluan pengusahaan air minum wajib berdasarkan izin hak
guna usaha air sesuai peraturan perundang-undangan.
(5) Penggunaan air baku untuk memenuhi kebutuhan kelompok nonpengusahaan wajib
berdasarkan izin guna pakai air sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(6) Penggunaan air baku khususnya dari air tanah dan mata air wajib memperhatikan keperluan
konservasi dan pencegahan kerusakan lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga, Unit Produksi

Pasal 9

(1) Unit produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) merupakan prasarana dan sarana
yang dapat digunakan untuk mengolah air air baku menjadi air minum melalui proses fisik,
kimiawi, dan/atau biologi.

(2) Unit produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat terdiri dari bangunan pengolahan
dan perlengkapannya, perangkat operasional, alat pengukuran dan peralatan pemantauan, serta
bangunan penampungan air minum.

(3) Limbah akhir dari proses pengolahan air baku menjadi air minum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke sumber air baku dan daerah
terbuka.

Bagian Keempat, Unit Distribusi

Pasal 10

(1) Unit distribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) terdiri dari system perpompaan,
jaringan distribusi, bangunan penampungan, alat ukur dan peralatan pemantauan.

(2) Unit distribusi wajib memberikan kepastian kuantitas, kualitas air, dan kontinuitas
pengaliran.

(3) Kontinuitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib memberikan jaminan pengaliran 24
jam per hari.

Bagian Kelima, Unit Pelayanan

Pasal 11

(1) Unit pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) terdiri dari sambungan rumah,
hidran umum, dan hidran kebakaran.

(2) Untuk mengukur besaran pelayanan pada sambungan rumah dan hidran umum harus
dipasang alat ukur berupa meter air.
(3) Untuk menjamin keakurasiannya, meter air sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib ditera
secara berkala oleh instansi yang berwenang.

Bagian Keenam, Unit Pengelolaan

Pasal 12

(1) Unit pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) terdiri dari pengelolaan
teknis dan pengelolaan nonteknis.

(2) Pengelolaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari kegiatan operasional,
pemeliharaan dan pemantauan dari unit air baku, unit produksi dan unit

distribusi.

(3) Pengelolaan nonteknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari admiistrasi

dan pelayanan.

Pasal 13

Ketentuan teknis mengenai unit air baku, unit produksi, unit distribusi, unit pelayanan,

dan unit pengelolaan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Bab III Perlindungan Air Baku, Bagian Kesatu, Umum :

Pasal 14

(1) Perlindungan air baku dilakukan melalui keterpaduan pengaturan pengembangan SPAM dan
Prasarana dan Sarana Sanitasi.

(2) Prasarana dan Sarana Sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi PS Air Limbah
dan PS Persampahan.

(3) Pengembangan Prasarana dan Sarana Sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada pertimbangan:

a. keberpihakan pada masyarakat miskin dan daerah rawan air;

b. peningkatan derajat kesehatan masyarakat;

c. pemenuhan standar pelayanan; dan

d. tidak menimbulkan dampak sosial.


BABA II

HIDROLOGI

2.1 Siklus Hidrologi

Pada saat air hujan jatuh ke bumi,sebagian air jatuh langsung ke permukaan bumi dan ada juga
yang terhambat oleh vegetasi (Intersepsi). Intersepsi memiliki 3 macam, yaitu interception loss,
through fall, dan stem flow. Interception loss adalah air yang jatuh ke vegetasi tetapi belum
sampai mencapi tanah sudah menguap. Through fall adalah air hujan yang tidak langsung jatuh
ke bumi, tetapi terhambat oleh dedaunan terlebih dahulu. Stem flow adalah air hujan yang jatuh
ke vegetasi dan mengalir melalui batang vegetasi tersebut. Air hujan yang terhambat vegetasi
sebagian ada yang menguap lagi atau mengalami evaporasi ada juga yang kemudian jatuh ke
permukaan tanah (through fall). Air hasil through fall ini mengalir di permukaan dan berkumpul
di suatu tempat menjadi suatu run off seperti sungai, danau, dan bendungan apabila kapasitas
lengas tanah sudah maksimal yaitu tidak dapat menyerap air lagi. Dalam lengas tanah, ada zona
aerasi yaitu zona transisi dimana air didistribusikan ke bawah (infiltrasi) atau keatas (air kapiler).
Semakin besar infiltrasi, tanah akan semakin lembab dan setiap tanah memiliki perbedaan
kapasitas penyimpanan dan pori-pori tanah yang berbeda-beda. Vegetasi mengalami fotosintesis
pada saat siang hari dan mengalami transpirasi. Peristiwa berkumpulnya uap air di udara dari
hasil evaporasi dan transpirasi disebut evapotranspirasi. Evapotranspirasi dikontrol oleh kondisi
atmosfer di muka bumi. Evaporasi membutuhan perbedaan tekanan di udara. Potensi
evapotranspirasi adalah kemampuan atmosfer memindahkan air dari permukaan ke udara,
dengan asumsi tidak ada batasan kapasitas.

Air yang jatuh di permukaan sebagian ada yang mengalami infiltrasi atau diserap oleh tanah.
Kapasitas infiltrasi tergantung dari tekstur tanah, vegetasi, lengas tanah, kemiringan lereng, dan
waktu. Air tersebut memasuki celah-celah batuan yang renggang di dalam bumi atau mengalami
perkolasi untuk mengisi persediaan air tanah. Air tanah dapat muncul ke permukaan tanah karena
air memiliki kapilaritas yang tinggi. Dalam air tanah ada zona akuifer (zona penahan air) yaitu
menyediakan simpanan air yang besar yang mengatur siklus hidrologi dan berpengaruh pada
aliran air. Air tanah juga dapat menyuplai debit air sungai apabila jalur air tanah terputus oleh
jalur sungai. Air tanah dapat berkurang apabila digunakan manusia untuk keperluan sehari-hari.

Selain itu, air yang langsung jatuh ke permukaan tanah langsung mengisi channel storage
contohnya sungai, danau, dan bendungan lalu menjadi run off. Tipe-tipe-tipe aliran adalah Over
land flow, through flow, dan base flow. Over land flow terjadi apabila ketika kapasitas presipitasi
melebihi batas infiltrasi. Through flow adalah air perkolasi yang bergerak di zona perkolasi yang
bergerak pada horizon tanah. Base flow adalah air yang bergerak di atas aliran air untuk
pengukuran muka air. Channel storage ini mengalami infiltrasi untuk mengisi persediaan air
tanah apabila dasar suatu channel storage jaraknya jauh dari tempat persediaan air tanah.
Sebagian air pada channel storage mengalami evaporasi kembali karena pengaruh panas
matahari.

2.2 Iklim
Iklim adalah kondisi rata-rata cuaca dalam waktu yang panjang. Studi tentang iklim dipelajari
dalam meteorologi. Iklim di bumi sangat dipengaruhi oleh posisi matahari terhadap bumi.
Terdapat beberapa klasifikasi iklim di bumi ini yang ditentukan oleh letak geografis. Secara
umum kita dapat menyebutnya sebagai iklim tropis, lintang menengah dan lintang tinggi. Ilmu
yang mempelajari tentang iklim adalah klimatologi.

2.2.1 Perubahan Iklim ( Climate Change at a Glance)

Meningkatnya pemanasan : Sebelas dari dua belas tahun terakhir merupakan tahun-tahun
terhangat dalam temperatur permukaan global sejak 1850. Tingkat pemanasan rata-rata selama
lima puluh tahun terakhir hampir dua kali lipat dari rata-rata seratus tahun terakhir. Temperatur
rata-rata global naik sebesar 0.74oC selama abad ke-20, dimana pemanasan lebih dirasakan pada
daerah daratan daripada lautan.

Jumlah karbondioksida yang lebih banyak di atmosfer : Karbondioksida adalah penyebab


paling dominan terhadap adanya perubahan iklim saat ini dan konsentrasinya di atmosfer telah
naik dari masa pra-industri yaitu 278 ppm (parts-permillion) menjadi 379 ppm pada tahun 2005.
(Sumber : “Climate Change 2007”) Intergovernmental Panel on Climate Change

Lebih banyak air, tetapi penyebarannya tidak merata : Adanya peningkatan presipitasi pada
beberapa dekade terakhir telah diamati di bagian Timur dari Amerika Utara dan Amerika
Selatan, Eropa Utara, Asia Utara serta Asia Tengah. Tetapi pada daerah Sahel, Mediteranian,
Afrika Selatan dan sebagian Asia Selatan mengalami pengurangan presipitasi. Sejak tahun 1970
telah terjadi kekeringan yang lebih kuat dan lebih lama.

Kenaikan permukaan Laut : Saat ini dilaporkan tengah terjadi kenaikan muka laut dari abad
ke-19 hingga abad ke-20, dan kenaikannya pada abad 20 adalah sebesar 0.17 meter. Pengamatan
geologi mengindikasikan bahwa kenaikan muka laut pada 2000 tahun sebelumnya jauh lebih
sedikit daripada kenaikan muka laut pada abad 20. Temperatur rata-rata laut global telah
meningkat pada kedalaman paling sedikit 3000 meter.

Pengurangan tutupan salju : Tutupan salju semakin sedikit di beberapa daerah, terutama pada
saat musim semi. Sejak 1900, luasan maksimum daerah yang tertutup salju pada musim
dingin/semi telah berkurang sekitar 7% pada Belahan Bumi Utara dan sungai-sungai akan lebih
lambat membeku (5.8 hari lebih lambat daripada satu abad yang lalu) dan mencair lebih cepat
6.5 hari.

Gletser yang mencair : Pegunungan gletser dan tutupan salju rata-rata berkurang pada kedua
belahan bumi dan memiliki kontribusi terhadap kenaikan muka laut sebesar 0.77 milimeter per
tahun sejak 1993 – 2003. Berkurangnya lapisan es di Greenland dan Antartika berkontribusi
sebesar 0.4 mm pertahun untuk kenaikan muka laut (antara 1993 – 2003).

Benua Arktik menghangat : Temperatur rata-rata Benua Arktik mengalami peningkatan hingga
mencapai dua kali lipat dari temperatur rata-rata seratus tahun terakhir. Data satelit yang diambil
sejak 1978 menunjukkan bahwa luasan laut es rata-rata di Arktik telah berkurang sebesar 2.7%
per dekade.
2.2.2 Perubahan merugikan dalam siklus hidrologi

Kenaikan temperatur telah mempercepat siklus hidrologi. Atmosfer yang lebih hangat akan
menyimpan lebih banyak uap air, sehingga menjadi kurang stabil dan menghasilkan lebih banyak
presipitasi, terutama dalam bentuk hujan lebat. Panas yang lebuh besar juga mempercepat proses
evaporasi. Dampak dari perubahan-perubahan tersebut dalam siklus air adalah menurunnua
kuantitas dan kualitas air bersih di dunia. Sementara itu, pola angin dan jejak badai juga akan
berubah. Intensitas siklon tropis akan semakin meningkat (namun tidak berpengaruh terhadap
frekuensi siklon tropis), dengan kecepatan angin maksimum yang bertambah dan hujan yang
semakin lebat.

2.2.3 Meningkatnya Resiko Kesehatan

Perubahan iklim akan mengubah distribusi nyamuk-nyamuk malaria dan penyakit-penyakit


menular lainnya, sehingga mempengaruhi distribusi musiman penyakit alergi akibat serbuk sari
dan meningkatkan resiko penyakit-penyakit pada saat gelombang panas (heat waves).
Sedangkan, tentu saja seharusnya akan lebih sedikit kematian yang disebabkan oleh udara
dingin.

2.2.4 Kenaikan Muka Laut

Prediksi paling baik untuk kenaikan muka laut akibat perluasan lautan dan pencairan gletser pada
akhir abad 21 (dibandingkan dengan keadaan pada 1989- 1999) adalah 28-58 cm. Hal ini akan
menyebabkan memburuknya bencana banjir di daerah pantai dan erosi.

Kenaikan muka laut yang besar hingga 1 meter pada 2100 tidak dapat dibenarkan apabila lapisan
es terus mencair seiring dengan kenaikan temperatur. Saat ini terdapat bukti yang menunjukkan
bahwa lapisan es di Antartika dan Greenland perlahan berkurang dan berkontribusi terhadap
kenaikan muka laut. Sekitar 125.000 tahun yang lalu, ketika daerah kutub lebih hangat daripada
saat ini selama periode waktu tertentu, pencairan es kutub telah menyebabkan muka laut naik
mencapai 4-6 meter. Kenaikan muka laut memiliki kelembaman besar dan akan terus
berlangsung selama berabad-abad.

Lautan juga akan mengalami kenaikan temperatur, yang tentu saja berpengaruh terhadap
kehidupan bawah laut. Selama 4 dekade terakhir, sebagai contoh, plankton di Atlantik Utara
telah bermigrasi ke arah kutub sebanyak 10o lintang. Selain itu juga, lautan mengalami proses
pengasaman seiring dengan diserapnya lebih banyak karbondioksida. Hal ini akan menyebabkan
batu karang, keong laut dan spesies lainnya kehilangan kemampuan untuk membentuk cangkang
atau kerangka.

2.3 Curah Hujan

Mungkin kita pernah mendengar laporan cuaca di radio, televisi, dan juga koran, terdapat istilah
Curah hujan. Disebutkan dalam jumlah angka tertentu dengan satuan milimeter. Apakah
maksudnya? Bagaimana angka itu menjelaskan hujan yang turun di suatu daerah? Apa
kegunaannya.
Curah hujan sebesar 1 mm artinya adalah “tinggi” air hujan yang terukur setinggi 1 mm pada
daerah seluas 1 m2 (meter persegi). Artinya “banyaknya” air hujan yang turun dengan ukuran 1
mm adalah 1 mm x 1 m2 = 0,001 m3 atau 1 liter.

Jadi misal suatu daerah pada suatu hari memiliki curah hujan sebesar 8000 mm, dan wilayah itu
memiliki luas 100 km2, maka jumlah air yang “turun” di daerah itu adalah 8000 mm x 100 km2 =
8 x 1011 liter. Jika air sebanyak itu jatuh ke bumi dan tidak langsung mengalir atau meresap ke
dalam tanah, maka dapat diperkirakan berapa luas daerah yang tergenang air itu. Sebagai contoh
: luas wilayah yang tergenang air setinggi rata-rata 1 meter di area hujan tadi adalah 8 x 1011 liter
/ 1 m = 8 x 108 m2 = 800 km2.

Curah hujan dihitung harian, mingguan, hingga tahunan, sesuai kebutuhan. Pembangunan
Saluran Drainase, selokan, irigasi, serta pengendalian banjir selalu menggunakan data curah
hujan ini, untuk mengetahui berapa jumlah hujan yang pernah terjadi di suatu tempat, sebagai
perkiraan pembuatan besarnya saluran atau sarana pendukung lainnya saat hujan sebesar itu akan
datang lagi dimasa mendatang.

Sebagai contoh, rata-rata curah hujan di Indonesia adalah 2000-3000 mm/tahun (artinya kalau air
hujan “dikumpulkan” selama satu tahun akan setinggi 2-3 meter!). Curah hujan tertinggi ada di
daerah Jawa Tengah Baturaden sebesar 7069 mm/thn, dan curah hujan terendah ada di daerah
Palu, Sulawesi tengah sebesar 547mm/tahun. Data tersebut didapat dari Badan Meteorologi dan
Geofisika (BMG), yaitu badan resmi pemerintah yang menangani masalah cuaca dan kebumian.

BAB III

KUALITAS AIR BERSIH

Agar air minum tidak menyebabkan penyakit maka air tersebut hendaknya diusahakan
memenuhi persyaratan kesehatan, setidaknya diusahakan mendekati persyaratan tersebut. Air
yang sehat harus mempunyai persyaratan fisik, kimia, dan bakteriologis.

3.1 Syarat Fisik

Persyaratan fisik untuk air minum yang sehat adalah bening (tak berwarna), tidak berasa, suhu
dibawah suhu udara diluarnya, dan dalam kehidupan sehari-hari cara mengenal air yang
memenuhi persyaratan fisik ini sangat mudah, artinya disamping dapat dilakukan di laboratorium
juga dapat dilakukan secara visual.

3.2 Syarat Bakteriologis

Air untuk keperluan minum yang sehat harus bebas dari segala bakteri, terutama bakteri patogen.
Cara untuk mengetahui apakah air minum terkontaminasi oleh bakteri patogen adalah dengan
memeriksa sampel (contoh) air tersebut. Dan bila dari pemeriksaan 100 cc air terdapat kurang
dari 4 bakteri E. coli maka air tersebut sudah memenuhi syarat kesehatan.

3.3 Syarat Kimia


Air minum yang sehat harus mengandung zat-zat tertentu didalam jumlah yang tertentu pula.
Kekurangan atau kelebihan salah satu zat kimia didalam air akan menyebabkan gangguan
fisiologis pada manusia. Bahan-bahan atau zat kimia yang terdapat dalam air yang ideal antara
lain sebagai berikut :

Air minum yang berasal dari mata air dan sumur dalam dapat diterima sebagai air yang sehat dan
memenuhi ketiga persyaratan tersebut diatas asalkan tidak tercemar oleh kotoran, terutama
kotoran manusia dan binatang. Oleh karena itu mata air atau sumur harus mendapatkan
pengawasan dan perlindungan agar tidak dicemari oleh penduduk yang menggunakan air
tersebut.

Tabel 3.1 Persyaratan Air Secara Kimia

Kadar Yang Dibenarkan


No Jenis Bahan
( mg/liter)
1 Fluor (F) 1-1,5
2 Chlor (Cl) 250
3 Arsen (As) 0,05
4 Tembaga (Cu) 1,0
5 Besi (Fe) 0,3
6 Zat organik 10
7 Ph (keasaman) 6,5-9,0
8 CO2 0

Sumber: Notoatmodjo. 2003

3.4 Standar Kualitas Air Bersih

Standar kualitatif menggambarkan mutu atau kualitas air baku air bersih. Persyaratan ini meliputi
persyaratan fisik, kimia, biologis, dan radioaktif. Syarat-syarat tersebut berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan RI No. 907/MENKES/SK/VII/2002 dan disajikan pada tabel-tabel berikut:

Tabel 3.2. Syarat-syarat Fisik

Kadar Maksimum
Parameter Satuan Keterangan
Yang Diperbolehkan
1 2 3 4
Parameter Fisik TCU 15 Tidak berbau dan berasa

Warna - -

Rasa dan Bau ºC Suhu udara ± 3 º C


Temperatur NTU 5

Kekeruhan

Tabel 3.3. Syarat-syarat Kimia (Bahan Inorganik)

Kadar Maksimum
Parameter Satuan
Yang Diperbolehkan
1 2 3
Arsenic (mg/liter) 0.01

Barium (mg/liter) 0.7

Boron (mg/liter) 0.3

Cadmium (mg/liter) 0.003

Kromium (mg/liter) 0.05

Tembaga (mg/liter) 2

Sianida (mg/liter) 0.07

Fluoride (mg/liter) 1.5

Timah (mg/liter) 0.01

Molybdenum (mg/liter) 0.07

Nikel (mg/liter) 0.02

nitrat (sebagai ) (mg/liter) 50

nitrit (sebagai ) (mg/liter) 3

Selenium (mg/liter) 0.01

Tabel 3.4. Bahan-bahan Inorganik (yang kemungkinan dapat menimbulkan

keluhan pada konsumen)

Kadar Maksimum
Parameter Satuan
Yang Diperbolehkan
1 2 3
Ammonia (mg/liter) 1.5

Alumunium (mg/liter) 0.2


(mg/liter)
Klorida 250
(mg/liter)
Copper 1
(mg/liter)
Kesadahan 500
(mg/liter)
Hidrogen Sulfida 0.05
(mg/liter)
Besi 0.3
(mg/liter)
Mangan 0.1
-
pH 6.5 – 8.5

Lanjutan Tabel 3.4

Kadar Maksimum
Parameter Satuan
Yang Diperbolehkan
1 2 3
Sodium (mg/liter) 200

Sulfate (mg/liter) 250

Total padatan terlarut (mg/liter) 1000

Seng (mg/liter) 3

Tabel 3.5. Bahan-bahan Organik (yang memiliki pengaruh langsung pada kesehatan).

Kadar Maksimum
Parameter Satuan
Yang
Diperbolehkan
1 2 3
Chlorinated alkanes μg/l 2

Carbon tetrachloride μg/l 20


dichloromethane μg/l 30

1,2 – dichloroethane μg/l 2000

1,1,1 – trichloroethana μg/l 5

Chlorinated ethenes μg/l 30

Vinyl chloride μg/l 50

1,1 – dichloroethene μg/l 70

1,2 - trichloroethene μg/l 40

Trichloroethene μg/l 10

Tetrachloroethene μg/l 700

Aromatic hyrocarbons μg/l 500

Benzene μg/l 0.7

Toluene

Xylenes

benzo[a]pyrene

Lanjutan Tabel 3.5

Kadar Maksimum
Parameter Satuan
Yang
Diperbolehkan
1 2 3
Chlorinated benzenes μg/l 0.7

Monochlorobenzene μg/l 300

1,2 – dichlorobenzene μg/l 1000

1,4 - dichlorobenzene μg/l 300

Trichlorobenzenes μg/l 20
(Total)
Lain-lain μg/l 80

di(2-ethylhexyl)adipate μg/l 8

di(2-ethylhexyl)phthalate μg/l 0.5

Acrylamide μg/l 0.4

Epichlorohydrin μg/l 0.6

Hexachlorobutadiene μg/l 200

edetic acid (EDTA) μg/l 2

Tributyltin oxide

Tabel 3.6 Bahan-bahan Organik (yang kemungkinan dapat menimbulkan

keluhan pada konsumen).

Kadar Maksimum
Parameter Satuan
Yang
Diperbolehkan
1 2 3
Organik μg/l 24 – 170

Toluene μg/l 20 – 1800

Xylene μg/l 2 – 200

Ethylbenzene μg/l 4 – 260

Styrene μg/l 10 – 120

Monochlorobenzene μg/l 1 – 10

1.2 – dischlorobenzene μg/l 0.3 – 30

1.4 – dischlorobenzene μg/l 5 – 50

Trichorobenzenes (Total) μg/l 600 – 1000

Desinfektan dan hasil μg/l 0.1 – 10


sampingannya
Chlorine μg/l 0.3 – 40

2 – cholorophenol μg/l 2 – 300

2,4 – dichlorophenol

2,4,6 – trichloropnenol

Tabel 3.7 Bahan-bahan Pestisida.

Kadar Maksimum
Parameter Satuan
Yang Diperbolehkan
1 2 3
Alachlor (μg/liter) 20

Aldicarb (μg/liter) 10

aldrin / dieldrin (μg/liter) 0.03

Atrazine (μg/liter) 2

Bentazone (μg/liter) 30

Carbofuran (μg/liter) 5

Chlorodane (μg/liter) 0.2

Chlorotoluron (μg/liter) 30

DDT (μg/liter) 2
1,2 – dibromo – 3 – (μg/liter) 1
chloropropane
(μg/liter) 30
2,4 – D
(μg/liter) 20
1,2 – dichloropropane
(μg/liter) 20
1,3 – dichloropropane
(μg/liter) 0.03
Heptachlor and
(μg/liter) 1
Hexachlorobenzene
μg/liter) 9
Isoproturon (μg/liter) 2

Lindane (μg/liter) 2

MCPA (μg/liter) 20

Methoxychlor (μg/liter) 10

Metolachlor (μg/liter) 6

Molinate (μg/liter) 20

Pendimethalin (μg/liter) 9

Pentachlorophenol (μg/liter) 20

Permethrin (μg/liter) 20

Propanil (μg/liter) 100

Pyridate (μg/liter) 2

Simazine (μg/liter) 20

Trifluralin (μg/liter) 90

Chlorophenoxy (μg/liter) 100


herbicides selain 2,4 – D
dan MCPA (μg/liter) 9

2,4 – DB (μg/liter) 10

Dichlorprop (μg/liter) 9

Fenoprop (μg/liter)

Mecoprop

2,4,5 – T

Tabel 3.8 Disinfektan dan Hasil Sampingannya.

Parameter Satuan Kadar Maksimum


Yang
Diperbolehkan
1 2 3
Monochloramine (μg/liter 3

Chlorine (μg/liter 5

Bromate (μg/liter) 25

Chlorite (μg/liter) 200

Chlorophenol (μg/liter) 200

2,4,6 – trichlorophenol (μg/liter) 90

Formaldehyde (μg/liter) 100

Trihalomethanes (μg/liter) 100

Bromoform (μg/liter) 60

Dibromochloromethane (μg/liter) 200

Bromodichloromethane (μg/liter) 50

Chloroform (μg/liter) 100

Chlorinated acetic acids (μg/liter) 10

Dichloroacetic acid (μg/liter) 90

Trichloroacetic acid (μg/liter) 100

Chloral hydrate (μg/liter) 1

(Trichloroacetal – (μg/liter) 70
dehyde)

Halogenated
acetonitriles

Dichloroacetonitrile

Dibomoacetonitrile
Trichloracetonitrile

Cyanogen chloride

(sebagai CN)

Tabel 3.9 Syarat Radioaktifitas.

Kadar Maksimum
Parameter Satuan
Yang
Diperbolehkan
1 2 3
Gross alpha activity (Bq/liter) 0.1

Gross beta activity (Bq/liter) 1


PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 08 TAHUN 2013
TENTANG
TATA LAKSANA PENILAIAN DAN PEMERIKSAAN
DOKUMEN LINGKUNGAN HIDUP SERTA
PENERBITAN IZIN LINGKUNGAN

Anda mungkin juga menyukai