BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia). Tetapi selama beberapa dekade terakhir itu UU yang secara khusus
mengatur jaminan sosial bagi tenaga kerja swasta adalah UU Nomor 3 Tahun
1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja jo. PP Nomor 14 Tahun 1993 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dengan penyelenggara
PT. Jamsostek yang memberikan pelayanan Jaminan Kecelakaan Kerja,
Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan.
Gambaran tentang program Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebelum lahirnya UU
Nomor 24 Tahun 2011 ditunjukkan oleh Gambar 1.
1Diagram ini dibuat oleh penulis berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja jo PP Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja, PP Nomor 67 Tahun 1991 tentang Asuransi Sosial
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, PP Nomor 25 Tahun 1981 tentang Asuransi
Sosial Pegawai Negeri Sipil, dan PP Nomor 69 Tahun 1991 tentang Pemeliharaan
Kesehatan PNS, Penerima Pensiun, Veteran, Perintis Kemerdekaan Beserta
Keluarganya.
2 http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/page/profil/Sejarah.html
3 http://www.asabri.co.id/page/4/Dasar_Hukum
4 Direksi, Laporan Tahunan 2013 PT. TASPEN (PERSERO), h. 76.
5 Widya Hartati, Kajian Yuridis Perubahan PT. ASKES (Persero) Menjadi Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, (Jurnal; Mataram: Program Magister
Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Mataram, 2015), h. 487
penyelenggaraan program asuransi sosial oleh PT. Taspen dan PT. ASABRI
harus sudah dialihkan kepada BPJS Ketenagakerjaan sepenuhnya. Gambaran
tentang program Jaminan Sosial Tenaga Kerja setelah lahirnya UU Nomor 24
Tahun 2011 ditunjukkan oleh Gambar 2.
KESEHATAN KETENAGAKERJAAN
6 Diagram ini dibuat oleh penulis berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial, PP Nomor 102 Tahun 2015 tentang Asuransi Sosial
Prajurit TNI, Anggota Kepolisian Negara RI, dan Pegawai Aparatur Sipil Negara di
Lingkungan Kementerian Pertahanan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, PP
Nomor 25 Tahun 1981 yang telah diubah dengan PP Nomor 20 Tahun 2013 tentang
Asuransi Sosial PNS, dan PP Nomor 89 Tahun 2013 tentang Pencabutan PP Nomor 69
Tahun 1991 tentang Pemeliharaan Kesehatan PNS, Penerima Pensiun, Veteran, Perintis
Kemerdekaan, Beserta Keluarganya.
7Prof. Dr. Lalu Husni, S.H., M.Hum., Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Ed.
Revisi Cet. Ke-14; Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, Agustus 2016), h. 151-162.
yang hilang. Di samping itu, program jaminan sosial tenaga kerja mempunyai
beberapa aspek antara lain:
1. Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal
bagi tenaga kerja beserta keluarganya.
2. Merupakan penghargaan kepada tenaga kerja yang telah menyumbangkan
tenaga dan pikirannya kepada perusahaan tempatnya bekerja.
Dengan demikian, jaminan sosial tenaga kerja mendidik kemandirian
pekerja sehingga pekerja tidak harus meminta belas kasih orang lain jika dalam
hubungan kerja terjadi risiko-risiko akibat dari hubungan kerja.
c. Biaya rehabilitasi berupa alat bantu (orthose) dan/atau alat ganti (prothose)
bagi tenaga kerja yang anggota badannya hilang atau tidak berfungsi akibat
kecelakaan kerja.
Selain penggantian biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kepada
tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja diberikan juga santunan berupa
uang yang meliputi:
a. Santunan sementara tidak mampu bekerja.
b. Santunan cacat sebagian untuk selama-lamanya.
c. Santunan cacat total untuk selama-lamanya baik fisik maupun mental
dan/atau santunan kematian.
Besarnya jaminan kecelakaan kerja adalah sebagai berikut:
a. Santunan Sementara Tidak Mampu Bekerja (STMB) 4 (empat) bulan
pertama 100% x upah sebulan, 4 (empat) bulan kedua 75% x upah sebulan
dan bulan seterusnya 50% x upah sebulan.
b. Santunan Cacat:
Cacat sebagian untuk selama-lamanya dibayarkan secara sekaligus
(lumpsum) dengan besarnya % sesuai tabel x 60 bulan upah.
Santunan cacat total untuk selama-lamanya dibayarkan secara sekaligus
(lumpsum) dan secara berkala dengan besarnya santunan adalah (1)
santunan sekaligus besarnya 70% x 60 bulan upah, (2) santunan berkala
sebesar Rp 25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah) selama 24 bulan.
Santunan cacat kekurangan fungsi dibayarkan sekaligus (lumpsum)
dengan besarnya santunan adalah % berkurangnya fungsi x % sesuai
tabel x 60 bulan upah.
c. Santunan kematian dibayarkan sekaligus (lumpsum) dan secara berkala
dengan besarnya santunan adalah:
Santunan sekaligus sebesar 60% x 60 bulan upah, sekurang-kurangnya
sebesar jaminan kematian.
Santunan berkala sebesar Rp 25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah)
selama 24 bulan.
Biaya pemakaman sebesar Rp 200.000,- (dua ratus ribu rupiah).
d. Biaya pengobatan dan perawatan yang dikeluarkan berupa penggantian
biaya dokter, obat, operasi, rontgen, laboratorium, perawatan puskesmas,
rumah sakit umum, gigi, jasa tabib, sinshe/tradisional yang telah
mendapatkan izin resmi dari yang berwenang. Seluruh biaya yang
atau suami atau isteri atau anak-anak memerlukan pelayanan gawat darurat
dapat langsung memperoleh pelayanan dari pelaksana pelayanan kesehatan
atau rumah sakit terdekat dengan menunjukkan kartu pemeliharaan kesehatan.
Bagi tenaga kerja atau isteri tenaga kerja yang memerlukan pemeriksaan
kehamilan dan/atau persalinan memperoleh pelayanan pemeliharaan kesehatan
dari rumah bersalin yang ditunjuk. Jika terjadi persalinan yang sulit maka tenaga
kerja atau isteri tenaga kerja dapat merujuk ke rumah sakit.
Tenaga kerja atau suami atau isteri atau anak-anak tenaga kerja
mendapatkan resep obat, harus mengambil obat tersebut pada apotek yang telah
ditunjuk dengan menunjukkan kartu pemeliharaan kesehatan. Apotek harus
memberikan obat yang diperlukan oleh tenaga kerja atau suami atau isteri atau
anak-anak tenaga kerja sesuai dengan standar obat yang berlaku. Jika obat yang
dibutuhkan di luar standar yang berlaku, maka selisih biaya obat tersebut
ditanggung sendiri oleh tenaga kerja yang bersangkutan.
Program jaminan sosial tenaga kerja yang ruang lingkupnya seperti
disebutkan di atas wajib dilaksanakan oleh setiap perusahaan yang
mempekerjakan pekerja dalam suatu hubungan kerja minimal 10 orang dan/atau
membayar upah minimal Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) sebulan. Ketentuan ini
bersifat alternatif, bisa jadi suatu perusahaan mempekerjakan pekerja kurang
dari sepuluh orang tapi total gaji yang dibayarkan lebih dari Rp 1.000.000,- (satu
juta rupiah) sebulan, maka perusahaan tersebut wajib menjadi peserta program
Jamsostek. Sebaliknya bisa terjadi total upah yang dibayarkan kurang dari Rp
1.000.000,- (satu juta rupiah) sebulan tapi jumlah pekerjanya lebih dari 10
(sepuluh) orang, perusahaan tersebut juga wajib menjadi peserta Jamsostek.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini dikenakan kurungan selama-lamanya 6
bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
(Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992).
Selanjutnya dalam pasal 30 Undang-Undang ini menyebutkan bahwa
dengan tanpa mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam
pasal 29 terhadap pengusaha, tenaga kerja, dan badan penyelenggara yang
tidak memenuhi ketentuan undang-undang ini beserta peraturan pelaksanaannya
dikenakan sanksi administratif, ganti rugi, dan denda yang akan diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah. Dari sanksi yang ada, undang-undang Jamsostek
tergolong maju dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya, karena selain
sanksinya cukup tinggi juga terdapat sanksi administratif yang belum dikenal
dalam undang-undang di bidang perburuhan/ketenagakerjaan yang ada.
jaminan hari tua yang menjadi haknya diperhitungkan dengan jaminan hari tua
berikutnya.
A. BPJS Kesehatan
Hal-hal terkait BPJS Kesehatan dapat berpedoman pada ketentuan-
ketentuan dalam UU Nomor 24 Tahun 2011. Di samping itu, juga berpedoman
pada Perpres Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Perpres Nomor
12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, sebagai ketentuan pelaksananya.
Berikut ini djelaskan secara umum kedua ketentuan-ketentuan tersebut:
8 Almaududi, S.H., M.H., Hukum Ketenagakerjaan Hubungan Kerja dalam Teori dan
Praktik (Cet. Ke-1; Bandung: Kaifa Publishing, April 2017), h. 110-116.
(a) Peserta
Berdasarkan Pepres 19/2016, peserta BPJS Kesehatan dikelompokkan
menjadi Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Bukan Penerima Iuran Bantuan
(Non-PBI). PBI merupakan fakir miskin dan orang tidak mampu membayar iuran
sebagai kepesertaan sehingga negaralah yang bertanggung jawab
membayarkan iurannya kepada BPJS Kesehatan.
Disebabkan pekerja “digolongkan” pada peserta yang tidak tergolong
fakir, miskin atau orang tidak mampu, maka pekerja sebagai penerima upah
merupakan peserta Non-PBI. Mengingat anggota keluarga pekerja merupakan
satu kesatuan yang harus dijamin pula kesehatannya, maka Pasal 4 ayat (1)
huruf a Perpres 19/2016 menggariskan bahwa anggota keluarga pekerja juga
merupakan peserta Non-PBI. Untuk itu, yang dijamin oleh BPJS Kesehatan
adalah pekerja penerima upah dan anggota keluarganya dengan batasan
sebanyak-banyaknya (maksimal) 5 orang.
Berdasarkan Pasal 5 Perpres 19/2016, anggota keluarga pekerja meliputi
istri/suami yang sah, anak kandung, anak tiri dari perkawinan yang sah, dan anak
angkat yang sah. Untuk dapat disebut sebagai “anak” (anak kandung, anak tiri
dari perkawinan yang sah, dan anak angkat yang sah), harus memenuhi
beberapa kriteria:
Tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai penghasilan
sendiri; dan
Belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia 25 (dua
puluh lima) tahun yang masih melanjutkan pendidikan formal.
Disamping itu, pekerja sebagai peserta Non-PBI dapat pula
mengikutsertakan anggota keluarga yang lainnya ke dalam program jaminan
kesehatan meliputi, anak ke 4 (empat) dan seterusnya, ayah, ibu, dan mertua.
Tentunya, hal tersebut akan menyebabkan timbulnya kewajiban penambahan
biaya iuran dari pekerja yang bersangkutan.
dokter yang berwenang) dan ternyata tidak mampu, maka ia masih berhak
menjadi peserta PBI jaminan kesehatan.
B. BPJS Ketenagakerjaan
Disamping UU Nomor 24 Tahun 2011, pengaturan mengeni BPJS
Ketenagakerjaan merujuk pula pada Perpres 109 Tahun 2013 sebagai ketentuan
pelaksananya.
(a) Kepesertaan
Peserta program jaminan sosial terdiri peserta penerima upah (dhi.
pekerja). Tanpa menutup kemungkinan peserta bukan penerima upah menjadi
peserta BPJS Ketenagakerjaan. Dengan memberikan data pekerja berikut
anggota keluarganya secara lengkap dan benar, pengusaha diwajibkan
mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS Ketenagakerjaan sesuai
dengan program jaminan sosial yang diikuti.
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2) Pepres 109 Tahun 2013,
pengusaha sesuai dengan skala usahanya wajib mendaftarkan pekerjanya
mengikuti program JKK, JHT, JKM, dan JP. Klasifikasi pengusaha berdasarkan
ketentuan tersebut, dapat digolongkan menjadi beberapa jenis. Dengan
kewajiban berbeda pula, yaitu:
Usaha besar dan usaha menengah, wajib mengikutsertakan pekerja pada
program JKK, JHT, JP, dan JKM.
Usaha kecil wajib mengikutkan pekerjanya pada program JKK, JHT, dan
JP.
Usaha mikro wajib mengikutkan pekerjanya pada program JKK dan JKM.
Dalam hal skala usaha bergerak di bidang usaha jasa konstruksi yang
mempekerjakan tenaga harian lepas, borongan, dan/atau musiman wajib
mendaftarkan pekerjanya pada program JKK dan JKM.
C. Pengenaan Sanksi
Pengenaan sanksi dalam penyelenggaraan jaminan sosial diatur oleh PP
No. 86 Tahun 2013. Dimana, dalam melaksanakan kegiatan usahanya setiap
pengusaha wajib untuk:
(a) Mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS; dan
(b) Memberikan data dirinya dan pekerjanya berikut anggota keluarganya
kepada BPJS secara lengkap dan benar meliputi:
Data pekerja berikut anggota keluarganya yang didaftarkan sesuai
dengan data pekerja yang dipekerjakan;
BAB II
PEMBAHASAN
Jaminan Sosial Tenaga Kerja dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi sejak
BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi. (3)BPJS Kesehatan menjadi
penyelenggara jaminan sosial kesehatan (program Jaminan Kesehatan),
sedangkan BPJS Ketenagakerjaan menjadi penyelenggara jaminan sosial
ketenagakerjaan (program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian,
Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Pensiun). (4)PT. ASABRI dan PT. TASPEN
harus menyelesaikan pengalihan program asuransi sosial yang dikelolanya
paling lambat tahun 2029. Dengan demikian, mulai tahun 2029 seluruh program
jaminan sosial ketenagakerjaan akan diselenggarakan oleh BPJS
Ketenagakerjaan secara penuh.
Dengan beralihnya program jaminan kesehatan yang sebelumnya
dikelola oleh PT. Jamsostek ke BPJS Kesehatan, kepesertaan perusahaan
selama ini di PT. Jamsostek tidak secara otomatis terdaftar/diakui oleh BPJS
Kesehatan, sehingga pengusaha/pemberi kerja harus melakukan proses
registrasi kembali dari awal.
Untuk program jaminan sosial ketenagakerjaan (Jaminan Kecelakaan
Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Pensiun), pengalihan
pengelolaan dari PT. Jamsostek (Persero) kepada BPJS Ketenagakerjaan
seharusnya berjalan mulus karena hanya berubah badan hukumnya saja. Tetapi
dalam prakteknya cukup merepotkan/membingungkan pengusaha/pemberi kerja
dan pegawai BPJS Ketenagakerjaan, karena mulai tanggal 1 Januari 2014 PT.
Jamsostek sudah dibubarkan dan beralih kepada BPJS Ketenagakerjaan tetapi
tidak langsung beroperasi saat itu juga melainkan diberi waktu sampai dengan 1
Juli 2015. Ketika BPJS Ketenagakerjaan dibentuk dan mengambil alih tanggung
jawab PT. Jamsostek (Persero) mulai tanggal 1 Januari 2014, Dewan Komisaris
dan Direksi PT. Jamsostek (Persero) yang diangkat menjadi anggota Dewan
Pengawas dan anggota Direksi BPJS Ketenagakerjaan untuk jangka waktu
paling lama 2 (dua) tahun sejak BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi (sesuai
pasal 63 UU Nomor 24 Tahun 2011) tidak langsung dapat menjalankan
kewenangannya, karena ketika BPJS Ketenagakerjaan tersebut dibentuk tidak
langsung dinyatakan beroperasi sebagaimana halnya BPJS Kesehatan.
Kekosongan hukum ini menyebabkan layanan yang diterima oleh
pengusaha/pemberi kerja maupun pekerja menjadi terhambat/terganggu.
B. Jenis Program
Pasal 6 UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial jo pasal 18 UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional menyebutkan bahwa jenis program jaminan sosial meliputi:
Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan
Hari Tua, dan Jaminan Pensiun. Berarti ada penambahan 1 (satu) program yang
harus diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan setelah terjadi pengalihan
pengelolaan dari PT. Jamsostek (Persero), yaitu program Jaminan Pensiun.
Penambahan program jaminan ini akan terasa memberatkan pengusaha/pemberi
kerja, karena mereka harus menanggung 2/3 dari iuran yang harus dibayarkan,
yang besarnya 3% dari upah tiap bulan. Tentunya bagi pekerja, hal ini menjadi
sesuatu yang menggembirakan meskipun mereka ikut menanggung 1/3 dari
iuran yang harus dibayarkan tiap bulannya (sesuai pasal 28 PP 45 Tahun 2015
tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun).
PP Nomor 84 Tahun 2013 tentang Perubahan Kesembilan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan
Sosial Tenaga Kerja telah menghapus ketentuan pasal 2 ayat (4) yang berbunyi:
Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) yang telah
menyelenggarakan sendiri program pemeliharaan kesehatan bagi tenaga
kerjanya dengan manfaat yang lebih baik dari Paket Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Dasar menurut Peraturan Pemerintah ini, tidak wajib ikut dalam
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan yang diselenggarakan oleh Badan
Penyelenggara. Untuk menghindari sanksi, tidak sedikit pengusaha/pemberi
kerja yang akhirnya mendaftar dobel (mendaftar Asuransi Lain dan juga BPJS
Kesehatan). Karena iuran Jaminan Kesehatan ini ditanggung bersama oleh
Pengusaha/Pemberi Kerja dan Pekerja (Pengusaha 4% & Pekerja 1% dari upah
per bulan, sesuai Perpres Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas
Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.), akhirnya beban
tambahan ini harus ditanggung oleh mereka secara proporsional. Bagi
perusahaan-perusahaan tertentu yang sudah memberikan asuransi kesehatan
yang lebih baik dari program BPJS Kesehatan, biasanya akan membebankan
biaya iuran tersebut sepenuhnya ditanggung oleh pekerja.
C. Kepesertaan
Baik UU Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
maupun UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional jo
UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial,
sama-sama mewajibkan pengusaha/pemberi kerja untuk mengikutsertakan
pekerja dalam program jaminan sosial tenaga kerja.
Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 1992 menegaskan bahwa Program
jaminan social tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 wajib
dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan
di dalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Ini. Di pasal
17 ditegaskan kembali bahwa pengusaha dan tenaga kerja wajib ikut serta dalam
program jaminan sosial tenaga kerja.
Pasal 13 UU Nomor 40 Tahun 2004 menyatakan bahwa pemberi kerja
secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta
kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai dengan program jaminan
sosial yang diikuti. Sedangkan pasal 14 dan 15 UU Nomor 24 Tahun 2011
menyatakan: (1)Setiap orang termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6
(enam) bulan di Indonesia, wajib menjadi peserta program jaminan sosial.
(2)Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya
sebagai peserta kepada BPJS sesuai dengan program jaminan sosial yang
diikuti.
Mandatori yang diberikan oleh UU tersebut kepada pengusaha/pemberi
kerja, kemudian diatur secara khusus oleh PP Nomor 14 Tahun 1993 yang telah
beberapa kali diubah terakhir dengan PP Nomor 84 Tahun 2013 tentang
Perubahan Kesembilan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993
tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Pasal 2 ayat
(3) PP tersebut menyatakan bahwa pengusaha yang mempekerjakan tenaga
kerja sebanyak 10 (sepuluh) orang atau lebih, atau membayar upah paling sedikit
Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) sebulan, wajib mengikutsertakan tenaga
kerjanya dalam program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1). Pengkhususan dilakukan juga oleh Perpres Nomor 109 Tahun
2013 tentang Penahapan Kepesertaan Program Jaminan Sosial pasal 6 ayat (3),
yang membatasi kewajiban usaha besar/menengah, kecil, dan mikro dalam
mengikuti program jaminan sosial ketenagakerjaan.
D. Jumlah Iuran
Setelah membandingkan PP Nomor 53 Tahun 2012 tentang Perubahan
Kedelapan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang
Penyelenggaraan Program Jamsostek dan PP sebelumnya (yang berlaku
sebelum tanggal 1 Januari 2014) dengan PP perubahan terakhir yaitu PP Nomor
84 Tahun 2013 tentang Perubahan Kesembilan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek (yang
berlaku sejak tanggal 1 Januari 2014), terlihat adanya perubahan iuran yang
diberlakukan. Perubahan tersebut meliputi ketentuan jumlah iuran dan proporsi
tanggung jawab para pihak yang harus membayarnya (Pengusaha/Pemberi
Kerja dan Pekerja).
Terkait iuran Jaminan Kesehatan9 dan Jaminan Pensiun10, dapat dilihat
perubahannya dengan membandingkan antara Perpres Nomor 12 Tahun 2013
yang diubah terakhir dengan Perpres Nomor 111 Tahun 2013 tentang Jaminan
Kesehatan (mulai berlaku 1 Januari 2014) dan PP Nomor 45 Tahun 2015 tentang
14/1993, PP No. 84/2013 (perubahan ke-9), PP No. 45/2015, Perpres No. 12/2013.
13 Sesuai pasal 18 ayat (1) dan (2) PP 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Pensiun, untuk pertama kali manfaat pensiun minimal Rp 300.000,- per
bulan dan maksimal Rp 3.600.000,- per bulan.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
1. Prof. Dr. Lalu Husni, S.H., M.Hum., Pengantar Hukum Ketenagakerjaan
Indonesia, Ed. Revisi Cet. Ke-14, Penerbit PT. Rajagrafindo Persada,
Jakarta, Agustus 2016.
2. Almaududi, S.H., M.H., Hukum Ketenagakerjaan Hubungan Kerja dalam
Teori dan Praktik, Cet. Ke-1, Penerbit Kaifa Publishing, Bandung, April
2017.
3. Widya Hartati, Kajian Yuridis Perubahan PT. ASKES (Persero) Menjadi
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Jurnal,
Program Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas
Mataram, Mataram, 2015.
4. Direksi, Laporan Tahunan 2013 PT. TASPEN (PERSERO).
B. Peraturan Perundang-undangan
1. UU Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek
2. UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
3. UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
4. UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial.
5. PP Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan
Sosial Tenaga Kerja.
6. PP Nomor 53 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedelapan PP Nomor 14
Tahun 1993.
7. PP Nomor 84 Tahun 2013 tentang Perubahan Kesembilan PP Nomor 14
Tahun 1993.
8. PP Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan
Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian.
9. PP Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program jaminan
Pensiun.
10. PP Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan
Hari Tua.
11. PP Nomor 60 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas PP Nomor 46 Tahun
2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua.
C. Internet
1. http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/
2. https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/
3. http://www.asabri.co.id/page/4/Dasar_Hukum