Diagnosis Penyakit Akibat Kerja Dilakukan Dengan Pendekatan Sistematis Untuk Mendapatkan Informasi Yang Diperlukan Dalam Melakukan Interpretasi Secara Tepat
0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
97 tayangan9 halaman
Diagnosis Penyakit Akibat Kerja Dilakukan Dengan Pendekatan Sistematis Untuk Mendapatkan Informasi Yang Diperlukan Dalam Melakukan Interpretasi Secara Tepat
Diagnosis penyakit akibat kerja dilakukan dengan pendekatan sistematis
untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dalam melakukan interpretasi secara tepat. Pendekatan tersebut dilakukan melalui 7 (tujuh) langkah diagnosis penyakit akibat kerja dilakukan sebagai berikut : a. Menegakkan diagnosis klinis Diagnosis klinis harus ditegakkan terlebih dahulu dengan melakukan : 1) anamnesa 2) pemeriksaan fisik 3) bila diperlukan dilakukan pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan khusus. b. Menentukan pajanan yang dialami pekerja di tempat kerja. Beberapa pajanan dapat menyebabkan satu penyakit, sehingga dokter harus mendapatkan informasi semua pajanan yang dialami dan pernah dialami oleh pekerja. Untuk memperoleh informasi tersebut, dilakukan anamnesis pekerjaan yang lengkap, mencakup : 1) Deskripsi semua pekerjaan secara kronologis dan pajanan yang dialami (pekerjaan terdahulu sampai saat ini). 2) Periode waktu melakukan masing-masing pekerjaan. 3) Produk yang dihasilkan. 4) Bahan yang digunakan. 5) Cara bekerja. 6) Proses kerja. 7) riwayat kecelakaan kerja (tumpahan bahan kimia). 8) Alat Pelindung Diri (APD) yang digunakan. Informasi tersebut semakin bernilai, bila ditunjang dengan data yang objektif, seperti MSDS (Material Safety Data Sheet) dari bahan yang digunakan dan catatan perusahaan mengenai informasi tersebut di atas. c. Menentukan hubungan antara pajanan dengan diagnosis klinis Pajanan yang teridentifikasi berdasarkan evidence based dihubungkan dengan penyakit yang dialami. Hubungan pajanan dengan diagnosis klinis dipengaruhi oleh waktu timbulnya gejala setelah terpajan oleh bahan tertentu. Penyakit lebih sering timbul apabila berada di tempat kerja dan berkurang saat libur atau cuti. Hasil pemeriksaan pra-kerja dan berkala dapat digunakan sebagai salah satu data untuk menentukan penyakit berhubungan dengan pekerjaannya. d. Menentukan besarnya pajanan Penilaian untuk menentukan kecukupan pajanan tersebut untuk menimbulkan gejala penyakit dapat dilakukan secara : 1) Kualitatif a) Pengamatan cara, proses dan lingkungan kerja dengan memperhitungkan lama kerja dan masa kerja. b) Pemakaian alat pelindung secara benar dan konsisten untuk mengurangi besar pajanan. 2) Kuantitatif a) Data pengukuran lingkungan kerja yang dilakukan secara periodik. b) Data monitoring biologis. e. Menentukan faktor individu yang berperan. Faktor individu yang berperan terhadap timbulnya penyakit antara lain : 1) Jenis kelamin 2) Usia 3) Kebiasaa 4) Riwayat penyakit keluarga (genetik) 5) Riwayat atopi 6) Penyakit penyerta. f. Menentukan pajanan di luar tempat kerja Penyakit yang timbul mungkin disebabkan oleh pajanan yang sama di luar tempat kerja sehingga perlu informasi tentang kegiatan yang dilakukan di luar tempat kerja seperti hobi, pekerjaan rumah dan pekerjaan sampingan. g. Menentukan Diagnosis Penyakit Akibat Kerja Berdasarkan enam langkah diatas, dibuat kesimpulan apakah penyakit yang diderita oleh pekerja adalah penyakit akibat kerja atau bukan penyakit akibat kerja. 2. Komunikasi efektif diharapkan dapat mengatasi kendala yang ditimbulkan oleh kedua pihak, pasien pekerja dan dokter. Bila dokter dapat membangun hubungan komunikasi yang efektif dengan pasien, banyak hal-hal negatif dapat dihindari. Dokter dapat mengetahui dengan baik kondisi pasien serta mengetahui tentang seluk beluk pekerjaannya yang dapat membantu menentukan diganosa pasie dan keadaan keluarganya, pasien pun akan percaya sepenuhnya kepada dokter. Kondisi ini amat berpengaruh pada proses penyembuhan pasien selanjutnya. Pasien merasa tenang dan aman ditangani oleh dokter sehingga akan patuh menjalankan petunjuk dan nasihat dokter karena yakin bahwa semua yang dilakukan adalah untuk kepentingan dirinya. Pasien percaya bahwa dokter tersebut dapat membantu menyelesaikan masalah kesehatannya. 3. Berbeda dengan diagnosis penyakit pada umumnya, diagnosis penyakit akibat kerja mempunyai aspek medis, aspek komunitas dan aspek legal. Dengan demikian tujuan melakukan diagnosis akibat kerja adalah : a. Dasar terapi b. Membatasi kecacatan dan mencegah kematian c. Melindungi pekerja lain d. Memenuhi hak pekerja Dengan melakukan diagnosis okupasi/ diagnosis penyakit akibat kerja, maka hal ini akan berkontribusi terhadap : a. Pengendalian pajanan berrisiko pada sumbernya b. Identifikasi risiko pajanan baru secara dini c. Asuhan medis dan upaya rehabilitasi pada pekerja yang sakit dan/atau cedera d. Pencegahan terhadap terulangnya atau makin beratnya kejadian penyakit atau kecelakaan e. Perlindungan pekerja yang lain f. Pemenuhan hak kompensasi pekerja g. Identifikasi adanya hubungan baru antara suatu pajanan dengan penyakit Secara umum Penyakit Akibat Kerja mempunyai ciri-ciri yang harus diperhatikan yaitu : a. Adanya hubungan antara pajanan yang spesifik dengan penyakit yang diakibatkan. Contoh adanya pajanan asbes secara evidence based akan mengakibatkan asbestosis, silika menyebabkan silikosis b. Adanya fakta bahwa frekwensi kejadian penyakit pada populasi pekerja lebih tinggi daripada pada masyarakat umum. Maksudnya di sini bahwa penyakit akibat kerja jumlah lebih banyak di kalangan pekerja dari pada di masyarakat umum. c. Penyakit Akibat Kerja dapat dicegah dengan melakukan tindakan preventif di tempat kerja. Pengelolaan penyakit akibat kerja: deteksi dini PAK, pemeriksaan kesehatan awal, pemeriksaan kesehatan berkala, pemeriksaan kesehatan khusus yaitu : a. Pelayanan kesehatan: Promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif b. Penilaian potential hazard di tempat kerja c. Pengendalian lingkungan kerja d. Surveilans PAK 4. Penyakit akibat kerja (occupational disease) adalah penyakit yang mempunyai penyebab yang spesifik atau asosiasi kuat dengan pekerjaan, yang pada umumnya terdiri dari satu agen penyebab yang sudah diakui. Faktor lingkungan fisik dan kimia kerja (kebisingan, pencahayaan, debu dan suhu/iklim kerja) merupakan faktor yang berpengaruh signifikan terhadap pencapaian kinerja K3 tenaga kerja, dan berkontribusi cukup besar terhadap pencapaian kinerja K3. Dalam meningkatkan pencapaian kinerja K3 perusahaan, faktor lingkungan fisik dan kimia kerja tidak bisa diabaikan karena berkontribusi cukup besar. Lingkungan kerja adalah kehidupan sosial, psikologi, dan fisik dalam perusahaan yang berpengaruh terhadap pekerja dalam melaksanakan tugasnya. Kehidupan manusia tidak terlepas dari berbagai keadaan lingkungan sekitarnya, antara manusia dan lingkungan terdapat hubungan yang sangat erat. Dalam hal ini, manusia akan selalu berusaha untuk beradaptasi dengan berbagai keadaan lingkungan sekitarnya. Demikian pula halnya ketika melakukan pekerjaan, karyawan sebagai manusia tidak dapat dipisahkan dari berbagai keadaan disekitar tempat mereka bekerja, yaitu lingkungan kerja. Selama melakukan pekerjaan, setiap pegawai akan berinteraksi dengan berbagai kondisi yang terdapat dalam lingkungan kerja. Kondisi lingkungan kerja dikatakan baik atau sesuai apabila manusia dapat melaksanakan kegiatan secara optimal, sehat, aman, dan nyaman. Kesesuaian lingkungan kerja dapat dilihat akibatnya dalam jangka waktu yang lama lebih jauh lagi lingkungan-lingkungan kerja yang kurang baik dapat menuntut tenaga kerja dan waktu yang lebih banyak dan tidak mendukung diperolehnya rancangan sistem kerja yang efisien. 5. Walk Through Survey adalah survei untuk mendapatkan informasi yang relatif sederhana tapi cukup lengkap dalam waktu yang relatif singkat sehingga diperlukan upaya pengumpulan data untuk kepentingan penilaian secara umum dan analisa sederhana. Walk Through Survey dan Check list Walk through survey merupakan teknik utama yang penting untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi potensi bahaya di lingkungan kerja yang dapat memberikan efek atau gangguan pada kesehatan pekerja yang terpajan. Keuntungan dari melakukan survey ini termasuk : a. Memperoleh satu pandangan umum tentang seluruh operasional b. Dapat mengidentifikasi kunci dari kebahayaan di area tempat kerja c. Mengakses keefektifitas terhadap metode kontrol pada tempat Pada saat ‘walk-through’, pihak okupasi kesehatan dapat menanyakan hal-hal seperti berikut : a. Apakah suatu tindakan pengukuran diperlukan di area ini? b. Jika iya, bahaya (hazard) apa yang perlu diukur? c. Dimana sebaiknya diukur? d. Pekerja mana yang sering terpapar? e. Kapan seharusnya pengukuran tersebut dibuat f. Kesimpulan apa yang dapat diambil setelah hasil didapatkan? 6. Tata laksana penyakit akibat kerja secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu tata laksana medis dan tata laksana okupasi. a. Tata Laksana Medis Tata laksana medis dilakukan setelah diagnosis klinis pada langkah pertama diagnosis penyakit akibat kerja ditegakkan. Tata laksana medis berupa rawat jalan dan/atau rawat inap yang dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan oleh dokter sesuai dengan kompetensinya. Terapi yang diberikan berupa medikamentosa dan/atau nonmedikamentosa seperti edukasi, exercise, fisioterapi, konseling, psikoterapi dan nutrisi. Rujukan klinis dilakukan apabila diagnosis klinis belum dapat ditegakkan karena : 1) Timbul keraguan dari dokter yang melakukan pemeriksaan. 2) Sumber daya manusia, sarana, dan prasarana yang tidak memadai. b. Tata Laksana Okupasi Tata laksana okupasi diberikan setelah diagnosis PAK ditegakkan. Sasaran tata laksana okupasi adalah individu pekerja dan komunitas pekerja. Tata laksana okupasi pada individu pekerja terdiri dari penetapan kelaikan kerja, program kembali bekerja dan penentuan kecacatan. 1) Tata laksana Okupasi pada Individu Pekerja a) Penetapan Kelaikan Kerja Penetapan kelaikan kerja meliputi penilaian risiko, kapasitas dan tolerasi pekerja dengan tuntutan pekerjaan yang ada di tempat kerja. Hasil penilaian digunakan untuk menentukan pekerja tersebut dapat kembali bekerja pada pekerjaan sebelumnya, bekerja dengan keterbatasan (limitasi) ataupun restriksi tertentu atau berganti pekerjaan yang sesuai dengan kondisi kesehatan pekerja. b) Program Kembali Bekerja (return to work) Suatu upaya terencana agar pekerja yang mengalami cedera/sakit dapat segera kembali bekerja secara produktif, aman dan berkelanjutan. Dalam upaya ini termasuk pemulihan medis, pemulihan kerja, pelatihan keterampilan, penyesuaian pekerjaan, penyediaan pekerjaan baru, penatalaksanaan biaya asuransi dan kompensasi serta partisipasi pemberi kerja. c) Penentuan Kecacatan Penyakit akibat kerja dapat menimbulkan disabilitas akibat kecacatan anatomi maupun fungsi yang perlu dinilai persentasenya sehingga pekerja berhak mendapatkan kompensasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2) Tata Laksana Okupasi pada Komunitas Pekerja Tata laksana okupasi pada komunitas pekerja terdiri dari pelayanan pencegahan penyakit akibat kerja dan penemuan dini penyakit akibat kerja. a) Upaya Pencegahan Penyakit Akibat Kerja Pada umumnya penyakit akibat kerja bersifat irreversible sehingga tindakan pencegahan sangat diperlukan, karena bila tidak dilakukan akan menimbulkan penyakit akibat kerja pada pekerja lain dengan risiko pekerjaan yang sama. b) Penemuan Dini Penyakit Akibat Kerja Penemuan dini penyakit akibat kerja dilakukan dengan pemeriksaan kesehatan pra kerja, pemeriksaan berkala, dan pemeriksaan khusus yang dilakukan sesuai indikasi bila ditemukan ada keluhan dan/atau potensi bahaya di tempat kerja. 7. Penyuluhan pada pegawai perusahaan sangat penting untuk dilaksanakan demi untuk menegakkan kesehatan dan keselamatan kerja sekaligus mencapai tujuan perusaan untuk medapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Materi penyuluhan yang biasa dibawakan oleh dokter perusahaan dapat meliputi pelatihan dalam bidang kesehatan lingkungan, P3K, hygiene perorangan, gizi, KB, penyuluhan perorangan waktu berobat, dan penyuluhan tentang aplikasi ergonomi yang sangat erat kaitannya dengan PAK. 8. Penilaian kinerja K3 menggunakan metode pengukuran proaktif dan metode pengukuran reaktif di tempat kerja. Prioritas pengukuran kinerja K3 menggunakan metode pengukuran proaktif dengan tujuan untuk mendorong peningkatan kinerja K3 dan mengurangi kejadian kecelakaan kerja di tempat kerja. a. Termasuk dalam pengukuran proaktif kinerja K3 antara lain : 1) Penilaian kesesuaian dengan perundang-undangan dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan penerapan K3 di tempat kerja. 2) Keefektivan hasil inspeksi dan pemantauan kondisi bahaya di tempat kerja. 3) Penilaian keefektivan pelatihan K3. 4) Pemantauan Budaya K3 seluruh personil di bawah kendali Perusahaan. 5) Survey tingkat kepuasan tenaga kerja terhadap penerapan K3 di tempat kerja. 6) Keefektivan hasil audit internal dan audit eksternal Sistem Manajemen K3. 7) Jadwal penyelesaian rekomendasi-rekomendasi penerapan K3 di tempat kerja. 8) Penerapan program-program K3. 9) Tingkat keefektivan partisipasi tenaga kerja terhadap penerapan K3 di tempat kerja. 10) Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja di tempat kerja. 11) Penilaian aktivitas kerja yang berkaitan dengan resiko k3 Perusahaan. b. Termasuk dalam pengukuran reaktif kinerja K3 antara lain : 1) Pemantauan kejadian kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja (PAK). 2) Tingkat keseringan kejadian kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja (PAK). 3) Tingkat hilangnya jam kerja akibat kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja (PAK). 4) Tuntutan tindakan pemenuhan dari pemerintah. 5) Tuntutan tindakan pemenuhan dari pihak ke tiga yang berhubungan dengan Perusahaan.