Anda di halaman 1dari 10

PARARATON

Serat Pararaton, sebuah historiografi tradisi yang menjadi rujukan utama para sejarawan dalam
mempelajari sejarah Singhasari dan Majapahit. Posisi serat ini pun mampu menandingi kitab
Negarakertagama dan prasasti-prasasti yang ditinggalkan oleh peradaban Singhasari dan Majapahit.
Padahal kitab Negarakertagama dan prasasti-prasasti ini lebih jelas asal-usulnya daripada Serat
Pararaton itu sendiri. Seperti yang telah lama diketahui, historiografi tradisi adalah historiografi dimana
bercampurnya antara fakta sejarah dengan mitos-mitos yang ada. Dengan bercampurnya antara fakta
dan mitos ini tidak serta merta membuat historiografi tradisi diragukan kebenarannya. Sejarawan sendiri
lebih banyak mengambil dari Serat Pararaton ketika membicarakan tentang sejarah Singhasari dan
Majapahit. Dan apa yang mereka dapat dari serat itu mereka bandingkan dengan Negarakertagama dan
prasasti-prasasti yang telah ditemukan. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa Serat Pararaton
adalah inti cerita dari sejarawan-sejarawan yang mengkisahkan sejarah Singhasari dan Majapahit,
sementara Negarakertagama dan prasasti-prasasti lain hanya sebagai pembanding, penggembira, dan
pelengkap dari kisah-kisah di dalam Serat Pararaton.

Hal yang menarik dalam serat ini adalah tidak jelasnya siapakah pengarang dari Serat Pararaton itu
sendiri. Yang dapat dijadikan jejak penelusuran asal mula serat ini adalah nama desa dan waktu
penyelesaian Serat Pararaton. Tetapi ini menjadi kontroversi ketika mendapati kenyataan bahwa Serat
Pararaton sendiri ditulis pada tahun 1613 M, tepatnya pada masa Sultan Agung Hanyakrakusuma
berkuasa. Sangat berbeda dengan kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada masa
kerajaan Majapahit. Apalagi bila dibandingkan dengan prasasti-prasasti yang sudah pasti terbukti
keabsahannya sebagai sebuah sumber sejarah. Padahal Serat Pararaton ini adalah rujukan utama para
sejarawan dalam menganalisa sejarah Singhasari dan Majapahit, tetapi hingga saat ini belum diketahui
siapakah penanggungjawab kebenaran-kebenaran peristiwa pada Serat Pararaton tersebut.

Serat Pararaton lebih ke arah sebuah novel yang sarat dengan kisah kepahlawanan, intrik politik,
asmara, dendam, dan hasrat akan harta dan kekuasaan. Dan bila ditelisik lebih jauh, serat ini
memberitahukan bahwa budaya politik nusantara adalah budaya saling mengkudeta satu sama lain .
Bahkan dalam Serat Pararaton digambarkan dengan gamblang tentang perebutan kekuasaan, saling iri-
dengki antar saudara, obsesi yang begitu tinggi, sifat megalomania, dendam pribadi, dan lain-lain. Hanya
saja apabila dibandingkan dengan Negarakertagama, Serat Pararaton nampak lebih objektif karena tidak
hanya membicarakan yang manis-manis saja mengenai sejarah Singhasari dan Majapahit.

Serat Pararaton ini berkisah tentang awal mula Ken Angrok lahir hingga menjelang jatuhnya Majapahit
pada masa Bhre Pandanalas (Sri Adi Suraprabhawa Singhawikramawardhana Giripati Pasutabhupati
Ketubhuta ).

IHSAN RAMADHAN

X MIA 1
Di dalam nya penuh dengan mitos, fantasi, dan khayalan yang digunakan untuk melegitimasi tokoh-
tokoh yang diceritakan di dalamnya. Fakta dan fantasi yang terbaur menjadi satu membuat para ahli
sejarah meragukan bahwa Serat Pararaton ditulis untuk merekam kejadian-kejadian pada masa lampau.
Hal ini diungkap oleh C.C. Berg yang berpendapat bahwa teks-teks tersebut secara keseluruhan
supranatural dan ahistoris, serta dibuat bukan dengan tujuan untuk merekam masa lalu melainkan
untuk menentukan kejadian-kejadian di masa depan.

Analisa Serat Pararaton

Dalam kisah pembuka diceritakan bahwa Ken Angrok kecil yang rela menjadikan dirinya sebagai kurban
persembahan kepada sebuah gapura besar sebagai pengganti seekor kambing berbulu merah yang tidak
berhasil didapatkan oleh Empu Tapawengkeng. Tetapi ia meminta supaya kelak ia dapat pulang kembali
kepada dewa Wisnu dan dapat ber-reinkarnasi kembali. Kisah pun berganti dengan Dewa Brahma yang
sedang berputar-putar mencari seorang wanita yang layak ditanami benih calon raja di bumi, dan sang
dewa pun bertemu dengan seorang wanita yang baru saja menikah Ken Endok. Sang Dewa lalu
menggauli Ken Endok dan menyuruh kepada Ken Endok supaya tidak bercerita kepada siapapun perihal
peristiwa ini dan melarang ia untuk bersenggama dengan suaminya. Dewa Brahma pun mengancam Ken
Endok apabila ia tidak mampu menjaga rahasia ini maka suaminya akan mati . Ken Endok pun
menceritakan peristiwa itu dan menceraikan suaminya, dan tak lama kemudian suaminya itu meninggal
dan lahirlah seorang Ken Angrok dari rahim Ken Endok. Lalu oleh Ken Endok bayi itu dibuang ke kuburan
dan akhirnya ditemukan dan diasuh oleh seorang pencuri yang bernama Lembong.

Dalam kisah pendahuluan dari Serat Pararaton nuansa legitimasi akan Ken Angrok sudah sangat kental.
Dia yang disebut sebagai anak dewa dan memiliki kekuatan gaib yang sangat kuat sudah dipaparkan
dalam halaman-halaman awal Serat Pararaton. Dalam mitos jawa, keturunan raja kelak pastilah juga
menjadi raja. Dan Ken Angrok telah dilegitimasi sebagai keturunan Dewa Brahma, yang berarti juga
Hymelegitimasi para keturunan-keturunan Ken Angrok di masa sesudahnya memiliki darah sang dewa.
Sehingga bisa dipastikan yang menjadi asal-usul legitimasi dalam Serat Pararaton ini bukan garis
keturunan Dewa Brahma, melainkan garis keturunan Ken Angrok.

Kisah Pararaton lalu berlanjut pada pertemuan Ken Angrok dengan Dang Hyang Lohgawe, seorang
brahmana yang berasal dari Jambudwipa dan bertugas memastikan perintah Bhatara Wisnu dapat
terlaksana. Dang Hyang Lohgawe mendapatkan tugas dari Bhatara Wisnu untuk membimbing Ken
Angrok hingga menjadi raja di Jawadwipa kelak. Dang Hyang Lohgawe dan Ken Angrok pun akhirnya
bekerja pada akuwu Tumapel yang bernama Tunggul Ametung. Hingga akhirnya Ken Angrok bertemu
dengan Ken Dedes, istri dari sang akuwu Tumapel dan melihat “barang rahasia” Ken Dedes yang
menampakkan sinar.

IHSAN RAMADHAN

X MIA 1
Dari sepenggal kisah lanjutan dari Serat Pararaton ini dapat diketahui bahwa tujuan pengarang adalah
untuk melegitimasi raja-raja Majapahit yang konon merupakan keturunan dari Ken Angrok dan Ken
Dedes. Hal ini terbukti dari penjelasan “barang rahasia Ken Dedes yang bersinar” adalah pengakuan
akan diri seorang ardhanareswari pada diri Ken Dedes. Ardhanareswari adalah seorang wanita yang
memiliki tuah akan menurunkan raja-raja dan membawa keberuntungan. Terbukti dari pasangan
Tunggul Ametung dan Ken Dedes yang menurunkan Anusapati dan Ranggawuni. Begitu juga dengan
keturunan Ken Arok dan Ken Dedes yang mampu menurunkan Kertanegara, Raden Wijaya, Jayanagara,
Tribhuwana Wijayatunggadewi, Hayamwuruk, hingga Girindrawardhana sebagai raja terakhir Majapahit.
Apabila Raden Patah juga merupakan anak dari Brawijaya yang juga merupakan keturunan Raden
Wijaya, maka dapat dipastikan seluruh raja Demak, Pajang, hingga Mataram merupakan keturunan dari
anak Dewa Brahma dan sang ardhanareswari.

Kisah ini pun berlanjut pada obsesi Ken Angrok untuk memiliki Ken Dedes. Dan intrik tentang kekuasaan
pun dimulai dari sini, ketika niatan Ken Angrok bukan hanya menjadi suami bagi Ken Dedes, melainkan
juga menjadi raja di Jawadwipa. Dengan meminta bantuan Empu Gandring untuk membuatkan sebuah
keris sakti, Ken Angrok pun menggunakan machiavelisme dalam memperoleh apa yang ia inginkan.
Karena tidak sabaran, maka sang pembuat keris pun ia bunuh karena tidak menyelesaikan keris dalam
waktu yang ia inginkan. Kutukan pun terlontar dari mulut Empu Gandring yang menyatakan tujuh orang
raja akan meninggal dengan keris yang sama.

Ken Angrok lalu meminjamkan keris itu kepada sahabatnya, Kebo Ijo. Sifat suka pamer Kebo Ijo ia
manfaatkan dalam rencana kudeta politis nya terhadap Tunggul Ametung. Ketika Kebo Ijo sedang
terlelap, ia pun mencurinya dan membunuh Tunggul Ametung malam itu juga. Dan tak lupa esok harinya
ia memfitnah Kebo Ijo dan membunuhnya dengan keris itu pula. Intrik politik yang tidak jelas siapa
kawan dan siapa lawan ditunjukkan oleh Ken Angrok dalam Serat Pararaton. Begitu juga dengan kudeta
politis yang berdarah pun ia perkenalkan kepada seluruh anak bangsa yang sedang belajar mengenai
sejarah Singhasari.

Ken Angrok lalu diangkat sebagai akuwu Tumapel yang baru menggantikan Tunggul Ametung. Dengan
begitu maka Ken Dedes ikut menjadi istrinya pula. Situasi politis yang sedang tidak kondusif antara para
brahmana dengan Prabu Dandanggendis (Raja Kertajaya) pun menjadi santapan empuk bagi Ken Angrok
yang terobsesi menjadi penguasa Jawadwipa. Ketika itu Prabu Dandanggendis menghendaki agar para
brahmana menyembah dirinya, karena ia berpendapat bahwa tidak ada yang mampu menyamai
kehebatannya kecuali sang Bhatara Guru (Bhatara Siwa). Mendengar sesumbar sang prabu, Ken Angrok
pun meminta restu kepada para brahmana untuk memakai nama Hyang Caturbuja alias Bhatara Guru
untuk menyerang Daha. Pertempuran pun terjadi di sebelah utara Ganter dengan kemenangan di pihak
Ken Angrok. Prabu Dandanggendis pun mengundurkan diri dari medan perang dan semua hal tentang
Prabu Dandanggendis hilang ditelan bumi. Persitiwa itu diberi candrasengkala “warna-warna janma iku”
atau 1144 çaka (1222 M) .

IHSAN RAMADHAN

X MIA 1
Keberhasilan Ken Angrok dalam memanfaatkan situasi politis di Daha membuatnya mampu
memperbesar kekuasaanya dan memperluas pengaruhnya di Jawadwipa. Obsesinya untuk menjadi raja
di Jawadwipa menjadi kenyataan. Seusai peperangan di desa Ganter, Ken Angrok merubah status
Tumapel yang semula merupakan negara bagian dari kerajaan Daha (Kadiri) menjadi negara merdeka
dengan nama Singhasari. Ia pun mengangkat dirinya sebagai raja pertama Singhasari yang bergelar Sri
Rajasa Bhatara Sang Amurwabumi.

Sikap Ken Angrok yang tidak memperdulikan Anusapati membuat sang anak terheran-heran. Dengan
segala rasa penasaran Anusapati bertanya kepada sang ibu perihal ketidak-adilan sikap ayahnya dalam
memperlakukan dirinya. Dengan penuh penyesalan Ken Dedes menceritakan kisah kudeta berdarah Ken
Angrok pada Anusapati. Mengetahui kisah tersebut membuat Anusapati naik darah dan membunuh
Sang Amurwabumi saat itu juga dengan keris Empu Gandring pemberian ibunya. Dari sini dapat
diketahui bahwa Ken Dedes juga turut berperan dalam konflik internal kerajaan Singhasari. Seorang
ardhanareswari ternyata juga sangat licik, ambisius, dan mementingkan kekuasaan diri sendiri. Ken
Angrok memang orang ia cintai, tapi bagaimanapun juga Ken Angrok telah membunuh suaminya yang
telah mengangkatnya dari seorang putri brahmana di desa menjadi permaisuri yang mengetahui
nikmatnya kekuasaan. Sehingga tak ada jalan lain kecuali merestui keinginan sang anak untuk
membunuh Ken Angrok.

Anusapati pun menjadi raja menggantikan Ken Angrok. Ia memerintah dengan ditandai sengkalan “sirna
swarna wani nata” yang bermakna 1170 çaka atau 1274 M. Selama memerintah ia dihantui oleh rasa
balas dendam dari keturunan Ken Angrok, sehingga ia melapisi istananya dengan parit yang sangat
dalam serta pengawalan yang sangat ketat. Hingga suatu hari Panji Tohjaya (anak dari Ken Angrok
dengan selirnya, Ken Umang) mengajaknya mengikuti aduan ayam dan meminta izin untuk meminjam
keris pusaka Empu Gandring milik ayahnya. Karena terlena oleh suasana aduan ayam, Anusapati menjadi
tidak waspada lagi dan Panji Tohjaya segera memanfaatkan momen tersebut untuk menusuk jantung
Anusapati.

Panji Tohjaya pun menjadi raja Singhasari berikutnya. Akibat hasutan dari pembantu setianya
membuat Panji Tohjaya berniat untuk membunuh kedua keponakannya, yaitu Ranggawuni dan Mahisa
Campaka. Namun kedua keponakannya justru mendapat dukungan kuat dari seluruh tentara Singhasari
sehingga terjadilah pemberontakan yang akhirnya membuat Panji Tohjaya terluka parah dan meninggal
karena luka-lukanya.

IHSAN RAMADHAN

X MIA1
Ranggawuni pun akhirnya naik tahta menjadi raja Singhasari. Ia memimpin dengan gelar Sri
Jayawisnuwardhana Sang Mapanji Seminingrat Sri Sakala Kalana Kulama Dhumardana Kamaleksana .
Saat Ranggawuni menjadi raja, maka Mahisa Campaka menjadi raja hanggabaya dengan gelar Bhatara
Narasinga. Ranggawuni adalah putra dari Anusapati yang berarti cucu dari Tunggul Ametung dan Ken
Dedes. Sementara Mahisa Campaka adalah putra dari Mahisa Wongateleng yang berarti cucu dari Ken
Angrok dan Ken Dedes. Keduanya diibaratkan dwi-tunggal guna menyatukan antara pendukung Tunggul
Ametung dengan pendukung Ken Angrok. Konflik Singhasari pun berakhir pada pemerintahan
Ranggawuni sehingga ia akhirnya dapat meninggal tanpa harus terkena kutukan keris Empu Gandring.

Setelah Ranggawuni mangkat, ia digantikan oleh anaknya yang bernama Kertanegara. Ia memerintah
dengan gelar Sri Maharaja Kertanegara. Pada masa kekuasaannya ia digambarkan sebagai pemimpin
yang egois dan mementingkan perutnya. Ia adalah raja yang gemar pesta dan mabuk-mabukan.

Dalam pemerintahannya sempat terjadi reshuffle yang membuat banyak kalangan bhayangkara tidak
puas. Antara lain Empu Raganata diturunkan dari jabatan rakryan patih menjadi adhyaksa. Penggantinya
bernama Kebo Tengah atau Panji Aragani. Sedangkan Arya Wiraraja dimutasi dari jabatan rakryan
demung menjadi bupati Sumenep. Panji Aragani digambarkan sebagai patih yang gemar pesta-pora,
sehingga sang raja pun larut dalam pestanya. Ketika itu kebanyakan prajurit istana tengah dalam
ekspedisi pamalayu, sehingga jumlah tentara di istana sangatlah sedikit. Keadaan ini dimanfaatkan oleh
Jayakatong yang saat itu menjadi raja di Daha untuk menyerang Singhasari. Kertanegara akhirnya tewas
dalam pemberontakan Jayakatong dan dengan demikian berakhirlah sudah kerajaan Singhasari.

Sebuah akhir yang cukup tragis bagi Singhasari yang baru saja merasakan kedamaian setelah
bergabungnya dua anak-turun penguasa. Nikmatnya kekuasaan dan semangat untuk merdeka menjadi
objek utama dalam mengkaji sejarah Singhasari. Obsesi tinggi akan kekuasaan, konflik internal, dan
ketidak-becusan dalam mengurus rakyat membuat raja-raja yang memimpin jarang yang mampu
bertahan lama. Intrik politik dan kudeta berdarah yang hampir selalu timbul setiap era pemerintahan
membuat Singhasari tak ubahnya negeri yang selalu bergolak dan dipenuhi dengan ketegangan-
ketegangan politis hingga peristiwa berdarah hampir selalu terjadi di kerajaan itu.

Kisah pun masih berlanjut, seusai pemberontakan Jayakatong, Raden Wijaya lari menuju Sumenep
untuk bertemu dengan Arya Wiraraja. Raden Wijaya pun diperintah untuk pura-pura setia pada prabu
Jayakatong sembari meminta sebuah daerah untuk digunakan sebagai basis kekuatannya. Oleh Prabu
Jayakatong, Raden Wijaya diberi hak untuk membuka hutan di Tarik. Ketika membuka lahan disana,
salah satu prajuritnya menemukan buah maja yang rasanya amat pahit. Sejak saat itu nama Tarik diubah
menjadi Majapahit.

IHSAN RAMADHAN

X MIA1
Perebutan kekuasaan pun terjadi lagi. Kemarahan pasukan Tatar akibat penghinaan Kertanegara pada
saat ia masih hidup kepada Mengci membuat Kubilai Khan memutuskan untuk menyerang Singhasari.
Tapi Kubilai Khan tidak mengetahui bahwa Singhasari telah tamat, sehingga pasukan yang menuju ke
Jawadwipa tetap saja bergerak maju guna menghancurkan siapapun penguasa di Jawadwipa. Pasukan
Tatar ini pun dimanfaatkan oleh Raden Wijaya untuk menggempur Jayakatong di Daha. Jayakatong pun
akhirnya menyerah dan kekuasaan di Daha dipegang oleh Raden Wijaya. Setelah berhasil mengalahkan
DAha, pasukan Raden Wijaya langsung mengusir pasukan Tatar hingga mereka kembali ke negerinya.

Semangat untuk memerdekakan diri dari belenggu penjajahan menjadi suatu hal yang pantas untuk
dikaji dalam sejarah Majapahit. Berawal dari sebuah hutan di wilayah Tarik mampu merubah diri
menjadi sebuah kerajaan besar yang kelak akan menyatukan hampir seluruh nusantara. Proses ini
memang berlangsung cukup lama, tapi setidaknya dengan filosofi ‘bangsa yang besar adalah bangsa
yang menghargai sejarahnya’ mampu menjadikan Majapahit menjadi sebuah negeri yang diingat oleh
para sejarawan hingga kapanpun. Konsep asal-muasal negara nya tidak jauh berbeda dengan Singhasari
pada masa awal. Bahkan penjajahnya pun sama-sama Daha. Dengan mempelajari sejarah bangsanya,
Raden Wijaya mampu mendirikan sebuah kerajaan baru yang kelak menjadi kerajaan besar di
Nusantara. Raden Wijaya pun menjadi raja pertama Majapahit dengan gelar Sri Maharaja Kertarajasa
Jayawardhana.

Raja Majapahit berikutnya adalah Jayanagara yang bergelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri
Sundarapandya Dewa Adhiswara . Pada masa pemerintahannya banyak diwarnai pemberontakan, hal ini
karena terdapat tokoh bernama Mahapati yang terobsesi menjadi Mahapatih kerajaan. Para pesaing-
pesaing Mahapati seperti Ranggalawe, Sora, Nambi, dan Kuti dihasutnya supaya memberontak hingga
akhirnya mereka tewas satu-persatu. Diantara pemberontakan-pemberontakan itu yang paling
berbahaya adalah pemberontakan Kuti, karena pada saat itu ibukota kerajaan mampu diduduki oleh
para pemberontak. Tapi dengan sigap dapat segera ditumpas oleh pasukan bhayangkari yang saat itu
dipimpin oleh Gajahmada.

Jayanagara wafat ditangan tangan tabib kerajaan. Ia meninggal di tangan Ra Tanca ketika sang tabib
mengobati bisul sang raja. Ra Tanca pun kemudian dibunuh oleh Gajahmada. Sebuah analisa politis
timbul dalam diri penulis bahwa mungkin ketidaktegasan Jayanagara adalah sebuah aib bagi kerajaan
sebesar Majapahit. Selain itu tindakan Gajahmada menuruti perintah Jayanagara untuk melenyapkan
mereka-mereka yang merupakan pengawal setia dari Raden Wijaya diakuinya sebagai suatu kesalahan
besar. Hal ini berdasarkan informasi bahwa nama ‘Kalagemet’ yang diberikan oleh Serat Pararaton
merupakan sebuah ejekan untuk Jayanagara. Untuk itu Gajahmada merancang sebuah perbaikan untuk
menyelamatkan nama besar dan negeri-nya dengan menggunakan tangan Ra Tanca guna mengganti raja
yang berkuasa saat itu.

IHSAN RAMADHAN

X MIA1
Jayanagara lalu digantikan oleh adiknya, Tribhuwana Wijayatunggadewi yang bergelar Sri
Tribhuwanotunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani. Dalam Serat Pararaton ia bernama Bhre
Kahuripan. Persitiwa penting yang tercatat dalam masa pemerintahan Bhre Kahuripan adalah Sumpah
Palapa yang dikumandangkan oleh Gajahmada. Dengan lantang Gajahmada berkata “Sadurunge samya
nungkul, Nusantara Pulo Bali, Gurun, Seran, Tanjungpura, Aru, Pahang lan Tumasik, Dompo, Sunda, lan
Palembang, tan arsa bukti rumiyin”. Gajahmada bersumpah bahwa ia tidak akan makan enak sebelum
seluruh wilayah Nusantara tunduk pada kekuasaan Majapahit. Masa Bhre Kahuripan adalah masa
perluasan wilayah Majapahit. Sebagai pelaksanaan atas Sumpah Palapa yang terlanjur diucapkan oleh
Gajahmada.

Bhre Kahuripan mundur dari tahta raja Majapahit dan digantikan oleh anaknya, Hayamwuruk yang
bergelar Rajasanegara. Peristiwa Bubat menjadi hal yang paling terkenal pada masa pemerintahan
Hayamwuruk. Tahun 1351 Hayamwuruk hendak menikahi putri dari raja Pajajaran yang bernama Dyah
Pitaloka Citrasemi. Sang raja memperbolehkan dengan satu syarat, pernikahan ini tidak bertujuan untuk
menyerahkan kedaulatan Pajajaran pada Majapahit. Hayamwuruk menyetujuinya dan rombongan raja
Pajajaran beserta putrinya pun bergerak menuju Majapahit. Tapi ditengah jalan rombongan ini dicegat
oleh Gajahmada yang meminta supaya putri raja Pajajaran dijadikan upeti sebagai pertanda tunduk
pada Majapahit. Raja Pajajaran menolak dan seluruh pasukan beserta para menak melindungi sang raja
dan sang putri. Pertempuran besar itupun berlangsung sengit tanpa ada yang lari hingga akhirnya semua
rombongan itu tewas di tangan pasukan Majapahit.

Persitiwa ini sungguh ironis dan mencoreng Sumpah Palapa sang mahapatih Gajahmada. Sebuah cara
yang mungkin dalam pikiran Hayamwuruk dapat menguasai dengan cara damai telah gagal dengan
tergesa-gesanya Gajahmada dalam mengambil keputusan. Setelah perang tersebut konon Hayamwuruk
meminta maaf kepada kerajaan Pajajaran. Bahkan Hayamwuruk berjanji tidak akan menyerang lagi
daerah Jawa Barat serta mengakui kedaulatan kerajaan Pajajaran. Kejadian ini jelas-jelas telah
mencoreng nama Majapahit dalam sejarah Pasundan. Hingga sekarang pun di Jawa Barat tidak ada
nama jalan yang bertuliskan Hayamwuruk maupun Gajahmada. Hal ini karena kesan Majapahit sebagai
kerajaan agresor melekat kuat dalam sejarah Pasundan.

Setelah Hayamwuruk mangkat, Wikramawardhana menggantikan posisi Hayamwuruk sebagai raja


majapahit yang bergelar Bhre Hyang Wisesa Aji Wikrama. Pada masa ini Bhre Hyang Wisesa memerintah
Majapahit karena menikahi anak dari permaisuri Hayamwuruk (Kusumawardhani). Sehingga sebelum
ajalnya Hayamwuruk memberikan warisan berupa pembagian kekuasaan untuk Kusumawardhani dan
Bhre Wirabumi. Kusumawardhani selaku putri dari permaisuri diberi wilayah yang lebih luas, yaitu
Majapahit Barat. Sementara Bhre Wirabumi mendapat bagian Majapahit Timur (Blambangan). Ketika
Bhre Hyang Wisesa berkuasa, ia berselisih dengan Bhre Wirabumi. Lalu terjadilah Perang Paregreg
dimana pihak Blambangan akhirnya kalah dan Bhre Wirabhumi dipenggal kepalanya. Sementara itu
pengikut-pengikut Bhre Wirabumi banyak yang melarikan diri ke Pulau Bali.

IHSAN RAMADHAN

X MIA1
sebuah negeri yang sangat besar hancur dalam sekejap mata begitu sifat haus akan kekuasaan muncul
dalam hati keturunan Hayamwuruk. Seperti yang sudah lama diketahui bahwa masa Hayamwuruk
adalah masa yang sangat luas wilayahnya. Bahkan masa keemasan Majapahit terjadi pada era
Hayamwuruk. Tetapi setelah Hayamwuruk mangkat, yang terjadi adalah perang saudara yang
mengakibatkan lepasnya kerajaan-kerajaan yang telah dikuasai dan berada di luar Pulau Jawa.
Kesibukan berperang antara Majapahit dengan Blambangan membuat kerugian yang cukup telak bagi
Majapahit. Tercatat Majapahit berhutang sebesar 60.000 tail pada Dinasti Ming di Cina. Karena pada
saat penyerbuan ke Blambangan, sebanyak 170 anak buah Laksamana Cheng Ho terbunuh.

Setelah Bhre Hyang Wisesa turun tahta, maka yang menggantikan adalah Dewi Suhita. Dewi Suhita
menjalankan kekuasaan bersama sang suami Bhre Hyang Parameswara Ratnapangkaja. Kemunduran
Majapahit pun terus berjalan. Begitu pula ketika Majapahit dipimpin oleh Kertawijaya yang bergelar Sri
Maharaja Wijaya Parakramawardhana. Sebelum menjadi raja, Kertawijaya pernah menjabat sebagai
Bhre Tumapel. Pada masa pemerintahannya Majapahit justru semakin terpuruk dengan berbagai
bencana alam yang menyertainya dan peristiwa pembunuhan penduduk Tidung Galating oleh
keponakannya, yaitu Bhre Paguhan putra Bhre Tumapel .

Setelah itu Kertawijaya digantikan oleh Rajasawardhana yang pernah menjabat sebagai Bhre Pamotan,
Bhre Keling, dan Bhre Kahuripan. Setelah Rajasawardhana mangkat di Majapahit terjadi kekosongan
pemerintahan selama tiga tahun. Setelah itu Bhre Wengker menjadi raja di Majapahit. Bhre Wengker
bernama asli Girishawardhana Dyah Suryawikrama dan bergelar Bhre Hyang Purwawisesa. Kemunduran
Majapahit semakin mendekati titik nadir dengan banyaknya bencana yang mendera. Dan raja Majapahit
terakhir yang tercantum dalam Pararaton adalah Bhre Pandanalas yang bernama asli Dyah
Suraprabhawa dan bergelar Sri Adi Suraprabhawa Singhawikramawardhana Giripati Pasutabhupati
Ketubhuta.

Kesimpulan

Serat Pararaton seperti sebuah novel apabila karya tersebut disajikan pada zaman sekarang. Hal ini
dapat dilihat banyaknya adegan-adegan yang dramatis seperti pengkhianatan, dendam, asmara,
kematian, kemenangan, kekalahan, tumbangnya seorang raja, atau malah kebangkitan suatu kerajaan
baru. Kisah yang ada dalam Serat Pararaton seperti meniadakan fakta sejarah dan menggunakan fantasi
seindah-indahnya guna memperindah jalinan kisahnya.

Dalam serat ini terdapat kisah seorang pencuri yang bisa menjadi raja. Terdapat pula seorang kepala
negara yang dibunuh anak buahnya hanya karena istrinya yang cantik . Konflik kekuasaan yang dimulai
dari seseorang yang dianggap memberikan tuah keberuntungan. Kudeta politis yang berdarah.
Kebangkitan sebuah dinasti baru yang mungkin anak-turunnya masih bertahan hingga sekarang. Perang
besar yang terjadi hanya karena seorang wanita. Hingga sifat megalomania seorang mahapatih yang
ambisius. Serat ini seperti menawarkan sebuah ending story yang kisahnya never end.

IHSAN RAMADHAN

X MIA1
Hanya saja serat ini masih menyimpan misteri dengan belum diketahuinya pengarang dari Serat
Pararaton. Bahkan yang lebih kontroversial lagi adalah serat ini ditulis pada era Mataram Islam dimana
saat itu yang berkuasa di Jawa adalah Sultan Agung Hanyakrakusuma. Walaupun ada kemungkinan
bahwa pengarang Serat Pararaton tinggal di daerah lain di luar kekuasaan Mataram Islam. Tetapi dibalik
semua kontroversi itu, Pararaton lebih banyak diambil kisah-kisahnya daripada Negarakertagama.

Sayang, Serat Pararaton yang diterima oleh penulis bukan merupakan serat yang asli (mungkin lebih
tepatnya terjemahan dari serat yang asli). Buku Serat Pararaton Ken Arok 2 yang dijadikan referensi
penulis merupakan hasil analisis dari terjemahan Serat Pararaton karya Dr. Brandes. Jadi dalam buku ini
juga diterangkan mengenai perdebatan para ahli sejarah Hindia Belanda dalam menerjemahkan Serat
Pararaton. Selain itu yang membuat buku ini cukup rumit adalah upaya penjelasan garis keturunan yang
mungkin digunakan untuk melegitimasi bahwa raja-raja Singhasari dan Majapahit adalah keturunan
Dewa Brahma. Sementara itu proses jalannya pemerintahan beberapa raja dan beberapa peristiwa
penting tidak terungkap secara lengkap disini.

Tetapi setidaknya isi dari Pararaton dapat dijaga kenetralannya. Sehingga tidak seperti Negarakertagama
yang terlalu istana-sentris. Sayangnya legitimasi yang berlebihan pada kisah-kisah awalan nampak
seperti dongeng. Legitimasi yang diberikan kepada Ken Arok (yang pada Serat Pararaton bernama Ken
Angrok) sebagai anak Dewa Brahma membuat segalanya tampak mengerikan apabila diterjemahkan
secara harfiah ke dunia modern. Dapat dibayangkan betapa mengerikannya ketika anak Dewa Brahma
menikah dengan titisan ardhanareswari yang akhirnya menurunkan raja-raja Jawa, bahkan apabila
keturunannya itu masih ada hingga saat ini. Dapat diartikan legitimasi Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat menjadi sangat kuat dengan adanya keturunan dari putra Dewa Brahma dan titisan
ardhanareswari, yakni Sri Sultan Hamengkubuwana X.

Pemitosan yang berlebihan pada bagian Sumpah Palapa menimbulkan perdebatan sengit di kalangan
sejarawan. Banyak yang menganggap bahwa Gajahmada gagal dalam melaksanakan sumpahnya karena
kesalahan taktik dalam merebut Pajajaran. Konon setelah peristiwa Perang Bubat, Gajahmada dicopot
dari jabatannya dan tidak lama kemudian meninggal dunia dengan menyisakan Pajajaran sebagai negeri
yang belum masuk ke dalam wilayah Majapahit.

Mitos yang berlebihan pada diri Ken Arok juga menjadi sasaran empuk para pendukung historiografi
modern guna menuntut tidak digunakannya historiografi tradisi sebagai sumber sejarah. Kebanyakan
analisa mengenai Pararaton lebih terkonsentrasi pada halaman-halaman awal yang penuh legitimasi
kepada Ken Arok. Sementara analisa-analisa lengkap mengenai Pararaton sangat sulit untuk ditemukan.
Kebanyakan yang menjadi sasaran analisis itu adalah Ken Arok, Raden Wijaya, dan Gajahmada. Hal ini
cukup menyulitkan dalam memperoleh suatu informasi yang dirasa penting, karena yang memegang
sentral tokoh di Serat Pararaton adalah semua raja yang pernah berkuasa selama era Singhasari dan
Majapahit.

IHSAN RAMADHAN

X MIA1

Anda mungkin juga menyukai