Abses Retroauricular
Abses Retroauricular
1. Insisi abses
2. Antibiotik : Penisilin Prokain 2 X 0,6-1,2 juta IU i.m / hari
dan metronidazol X 250 – 500mg oral / sup / hari.
3. Mastoid dektomi radikal urgen.
labiryncochlea
Sabtu, 29 September 2012
LAPOR
AN KASUS
PENDAHULUAN
Otitis media adalah radang atau infeksi pada daerah mukosa telinga tengah,
peradangan ini dapat terjadi sebagian ataupun seluruh mukosa telinga, tuba Eustachius,
antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Proses inflamasi umumnya berawal dari infeksi yang
terjadi dari saluran pernapasan atas yang menyebar sampai ke telinga tengah. Secara umum,
otitis media terbagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif . Dan setiap
pembagian tersebut memiliki bentuk akut dan kronis, yaitu otitis media supuratif akut (otitis
media akut = OMA) dan otitis media supuratif kronis (OMSK). Selain itu, terdapat juga otitis
media spesifik, seperti otitis media tuberkulosa atau otitis media sifilitik. (1,2,3,4)
Bila keadaan akut dari otitis media tidak ditangani dengan baik atau tidak diobati
dengan tuntas, maka akan berkembang menjadi kronik. Pada keadaan ini tidak hanya dapat
mengakibatkan kehilangan pendengaran, melainkan juga dapat mengakibatkan komplikasi
sehingga terjadi juga gangguan di tempat lain. (1,2,3,4)
Komplikasi dari otitis media secara umum dibagi menjadi dua, yaitu intratemporal
dan intrakranial. Komplikasi intratemporal terdiri dari parese nervus fasialis, labirintitis,
abses retroaurikuler, fistel retroaurikuler, abses citelli, abses bezold. Sedangkan komplikasi
intrakranial terdiri dari abses subdural, abses epidural, tromboflebitis sinus lateral, meningitis,
abses otak, dan hidrosefalus otitis. Penanganan komplikasi otitis media haruslah mencakup
dua hal, yaitu penanganan yang efektif terhadap komplikasinya dan penanganan terhadap
penyebab primernya. Penanganan dengan menggunakan antibiotika dosis tinggi haruslah
diberikan secepatnya. Selain itu penanganan secara operatif juga haruslah dipertimbangkan
untuk mengeliminasi penyebab primernya.(2,3)
Anatomi Telinga(1,5)
Gambar 1
Anatomi Telinga
Membran timpani berbentuk bulat dan cekung bila dilihat dari arah meatus akustikus
eksternus dan bagian oblik terhadap sumbu meatus akustikus eksternus. Bagian atas disebut
pars flaksida (membran Sharpnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran propria).
Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan
bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran nafas. Pars tensa
mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu lapisan lamina propria yang terdiri dari serat
kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan sirkuler pada
bagian dalam.
Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosessus longus
maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada
stapes. Stapes terletak pada foramen ovale yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar
tulang-tulang pendengaran merupakan persendian.
Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan daerah
nasofaring dengan telinga tengah. Bagian lateral tuba eustachius adalah yang bertulang
sementara dua pertiga bagian medial bersifat kartilaginosa. Origo otot tensor timpani terletak
di sebelah atas bagian bertulang sementara kanalis karotikus terletak di bagian bawahnya.
Bagian bertulang rawan berjalan melintasi dasar tengkorak untuk masuk ke faring. Bagian ini
biasanya tertutup tapi dapat dibuka melalui kontraksi musculus levator palatinum dan tensor
palatinum. Tuba ini berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi
membrana timpani.
Anatomi Os Temporal(5)
Gambar 2
Gambar 5
CT Scan Potongan Aksial, Mastoiditis Akut Kanan
2. Labirintitis10
Labirintitis yang mengenai seluruh bagian labirin disebut labirintitis generalisata ,
dengan gejala vertigo berat dan tuli saraf berat, sedangkan labirintitis yang terbatas
(labirintitis sirkumskripta) menyebabkan terjadinya vertigo saja atau tuli saraf saja.
Labirintitis terjadi oleh karena penyebaran infeksi ke ruang perilimfe Terdapat dua bentuk
labirintitis yaitu labirintits serosa dan labirintits supuratif.
Gejala dan tanda serangan akut labirintitis adalah vertigo spontan dan nistagmus
rotatoar, biasanya ke arah telinga yang sakit. Kadang-kadang disertai mual dan muntah dan
tuli sensorineural.Tes fistula akan positif. Pada labirintitis serosa ketulian bersifat temporer,
biasanya tidak berat , sedangkan pada labirintitis supuratif terjadi tuli saraf total dan
permanen. Bila pada labirintitis serosa ketulian menjadi berat atau total maka mungkin telah
terjadi perubahan makan menjadi labirintitis supuratif .
Labirintitis supuratif difus, ditandai dengan tuli total pada telinga yang sakit di ikuti
dengan vertigo berat, mual, muntah, dan nistagmus spontan ke arah telinga yang sehat, serta
ditemukan perforasi membran timpani sedang, total atau atik. Labirintitis supuratif
difus dapat merupakan kelanjutan dari labirintits serosa yang infeksinya masuk melalui
tingkap lonjong atau tingkap bulat.
3. Paralisis Fasialis (7,9)
Paralisis fasialis dapat terjadi sebagai komplikasi baik dari akut maupun kronik otitis
media. Ada dua mekanisme dimana otitis media dapat menyebabkan paralisis fasialis, yaitu
akibat produksi toksin bakteri secara lokal atau akibat tekanan langsung terhadap nervus dari
kolesteatoma ataupun jaringan granulasi.
Pembagian derajat dari paralisis fasialis dikemukakan oleh House dan Brackmann
yang saat ini diterima secara umum.
Gambar 6
Sistem Derajat Kerusakan Nervus Fasialis Versi House-Brackmann
Jika Paralisis nervus fasialis terjadi sebagai komplikasi dari otitis media supuratif
kronik, maka tindakan operatif yang segera disertai dengan dekompresi nervus fasialis sangat
diindikasikan.
4. Petrositis (7,8,9)
Salah satu dari komplikasi dari otitis media supuratif ini dapat terjadi baik secara akut
ataupun kronik. Petrositis sendiri merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Pada bentuk
yang akut, diketahui bahwa perluasan dari mastoiditis ke arah apeks petrosa yang berisi
dengan udara. Apeks petrosa dapat pneumatik (berisi udara), diploik (berisi sumsum tulang)
ataupun sklerotik (berupa tulang padat). Perluasan secara langsung dari infeksi di bagian
telinga tengah melalui jalur udara pneumatik tersebut ke apeks petrosa diduga sebagai
etiologi dari petroisitis.
Gejala dari petrositis biasanya tersamar.Pada penelitian terhadap 8 orang pasien
dengan petrositis, empat pasien mengeluh nyeri fasial yang dalam, dua pasien dengan
paralisis abdusens, dan dua pasien dengan gejala meningitis.
Pasien dengan supurasi dapat bermanifestasi menjadi beberapa simptom dan tidak
satupun yang menjadi tanda patognomonis dari petrositis. Pada pasien dengan riwayat
otomastoiditis yang berkepanjangan, nyeri fasial yang dalam, dan infeksi persisten, serta
ditemukan perforasi membran timpani sedang, total atau attik, diagnosis petrositis ini dapat
dipikirkan.Pada pemeriksaan fisis pasien petrositis, biasanya didapatkan riwayat otorea
kronik.
Oleh karena hubungan yang dekat dengan cabang oftalmikus dari nervus trigeminus
dan nervus abdusens dari apeks petrosa, tampakan klasik dari petrositis berupa otore
berkaitan dengan nyeri retroorbital dan kelumpuhan otot rektus lateralis yang biasanya
disebut sebagai Sindrom Gradenigo.
Kecurigaan terhadap petrositis dapat diklarifikasi dengan CT-scan sebagai modalitas
yang terpilih. CT-scan dengan resolusi yang tinggi dapat menunjukkan detail dari apeks
petrosae. Asimetris dari apeks petrosae belum dapat dijadikan sebagai patokan karena hal ini
dapat terjadi pada beberapa orang normal (Roland, 1990). Jika CT-scan mengindikasikan
petrositis, maka pemeriksaan MRI dapat menambah informasi tentang cairan ataupun
jaringan yang mengisi apeks petrosa.
Gambar 7
CT Scan dan MRI Potongan Aksial Pada Petrositis
(Ket : Pasien anak perempuan, 7 tahun, dengan keluhan demam, nyeri dalam pada wajah sebelah kanan,
dan diplopia. (1) CT scan potongan aksial menunjukkan peningkatan densitas dari aerasi mastoid dan
erosi dari apex petrosae kanan, (2) CT scan kontras menunjukkan daerah hipodens tanpa disertai
peningkatan densitas jaringan lunak, (3&4) MRI T1 dan T2 menunjukkan lesi, (5) CT Scan potongan
aksial post mastoidektomi menunjukkan resolusi.11)
am 14.00
IVFD RL : D5% = 1:1 = 20 tetes / menit
Injeksi cefotaxime 1 gr/ 12 j/ IV
Injeksi Dexametaxone 1 amp/ 8 j/ IV
Metronidazole 500 mg/ 8 j/ IV
Injeksi ranitidine 1 amp/ 8 j/ IV
Drainase abses retroaurikula S/ : tampak pus mukopurulen sebanyak 5 cc
Insisi abses retroaurikula s/ dan pasang drain
Toilet telinga dan tampon burowi S/
Kultur dan sensitivitas antibiotik
Konsul bagian mata dan Neuro
Konsul mata
Pemeriksaan oftalmologi :
VOD 3/ 60 RB TOD 17,3 mm Hg
VOS 3/ 60 RB TOS 17,3 mm Hg
Kesan : Diplopoia Binokuler e.c Parese N. VI
Anjuran : Rawat Bersama
Konsul Neuro
Status Neurologis:
GCS 15 (E4M3 V5)
Fungsi Kortikal Luhur : dBN
Rangsang meanings: Kaku kuduk tidak ada.
Nervus cranialis pupil bundar anisokor diameter 2,5 mm/ 5 mm
RCL +/+ RCTL +/+
FODS kesan normal
Parese n.VI S/ (+)
Refleks fisilogis S/ menurun, tonus otot S/ menurun
Sensoris : hemiplegia S/
SSO: kesan Normal
Romberg test (+) jatuh ke kiri
D/ : Vertigo sentral + cefalgia kronik e.c abses cerebelli
Anjuran : Rawat bersama
Ampicillin 2 gr/ 6 j/ IV
Chloramphenicol 1 gr/ 6 j/ IV
Piracetam 3 gr/ 8 j /IV
Dexamethason 1 amp/ 8 j / IV
Ranitide 1 amp/ 8 j/ IV
Metronidazole 500 mg/ 8 j/IV
Dimenhidrinat 2 x1
Tanggal 11/3/2011
Jam 09.00 KU Baik
Vertigo (-), cefalgia (+), demam (-) Drainase abses
retroaurikuer
Otore S/(+) diplopia (+) gangguan penglihatan (+) Terapi injeksi lanjut
Tunggu hasil kultur dan
sensivitas
PTA: D/ CHL ringan (35 dB)
S/ CHL sedang berat (65 dB)
Test fistula : Negatif
Test vestibuler : tidak ada gangguan
Jam 20.00
KU: Lemah
Kejang (+), cefalgia makin memberat, mual (+),muntah (+) penglihatan mata S/ makin kabur
TD: 110/70
Nadi 76x / menit
Pernapasan : 20 x/ menit
Suhu : 38C
Konsul Cito Bagian Bedah Saraf
Jawaban : Rawat Bersama
Rapid Test (-)
Ceftriaxone 2 gr/ 8 j/ IV
Metronidazole 500 mg/ 8 j/ IV
Awasi ketat tanda vital
Hasil kultur dan sensitivitas antibiotik :
Ceftriaxone 34
Cefepime (maxipime) 32
Levofloxacin 30
Aztrenam 30
Rencana :
perasi Mastoidektomi Radikal S/ + Drainase Abses Cerebellum kerjasama Bedah Saraf
Hari VII:
KU Baik aff infus
Gangguan Penglihatan (-) ciprofloxacin 2 x 500 mg
Vertigo (-) metronidazole 3 x 500 mg
Cefalgia (-) metilprednisolon 3 x 4 mg
Otore (-) stollcell(-) Toilet telinga, kontrol poli
THT
5 hari kontrol poli THT :
KU Baik
Gangguan Penglihatan (-) ciprofloxacin 2 x 500 mg
Vertigo (-) metronidazole 3 x 500 mg
Cefalgia (-) metilprednisolon 3 x 4 mg
Otore (-) Toilet telinga
10. Lee K..J. et al, Infections of The Ear, Essential Otolaryngology Head
and Neck Surgery 8th edition. Connecticut : Mc.Graw-Hill.
muhammad
igbal
Lihat profil
lengkapku
Template Awesome Inc.. Diberdayakan oleh Blogger.