Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

I.I. Latar belakang

Indonesia memiliki banyak sumber daya alam yang dapat digunakan

sebagai bahan obat, terutama tumbuh-tumbuhan. Kebanyakan pemanfaatnya

masih secara tradisional yang didasarkan pada dugaan dan pengalaman yang

diteruskan secara turun-temurun (Djamal, 1995)

Kumis kucing (Orthosiphon stamineus Bth) merupakan salah satu tumbuhan

obat–obatan yang sudah terkenal di dalam dan luar negri. Kumis kucing banyak

digunakam baik dalam bentuk tunggal maupun campuran dengan bahan lainnya.

Tumbuhan kumis kucing ini tumbuh secara luas di wilayah Indonesia. Terutama

dengan kondisi iklim tropis yang dimiliki oleh Indonesia. Kandungan kimia dari

tumbuhan kumis kucing adalah sinensetin, alkoloida, saponin, flavonoid, dan

polifenol. Selain itu, kumis kucing mengandung, kalium, minyak atsiri, minyak

lemak dan saponin (Depkes,2012).

Dalam Farmakope Herbal Indonesia terdapat monografi tentang kumis

kucing dengan senyawa identitas sinensetin. Sinensetin sangat sulit didapatkan

karena belum ada industri yang mengisolasi dan memproduksi senyawa tersebut

sementara sinensetin dibutuhkan sebagai senyawa identitas. Senyawa identitas

diperlukan untuk tujuan analisis dalam pengawasan mutu (Gaedcke & Steinhoff,

2003).

1
Senyawa identitas adalah kandungan kimia simplisia yang dapat

digunakan untuk identifikasi (Depkes RI, 2008). Sedangkan kebutuhan senyawa

identitas terus meningkat karena industri obat tradisional dalam pengawasan mutu

produk harus mengacu pada Farmakope Herbal Indonesia.

Penelitian ini dilakukan dengan metoda ekstraksi secara maserasi dengan

menggunakan pelarut n-heksan dilanjutkan dengan fraksinasi diklorometan,

metanol, dan pemisahan senyawa sinensetin dilakukan dengan kromatografi lapis

tipis, kromatografi kolom dan kromatotron. Pemeriksaan dilakukan secara

organoleptik, kromatografi lapis tipis, spektofometer ultraviolet, spektofotometer

inframerah.

Dari hasil penelitian ini diharapkan diperoleh metoda untuk isolasi dan

senyawa pembanding sinensetin dari kumis kucing.

1.2 Perumusan masalah

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan permasalahannya, yaitu apakah

dapat diisolasi senyawa pembanding sinensetin dari ekstrak kumis kucing

(Orthosiphon stamineus Bth ), dengan metoda yang direncanakan.

1.3 Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metoda isolasi dan senyawa

pembanding sinensetin dari kumis kucing.

2
1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi Mahasiswa

Sebagai penambah pengetahuan dalam bidang kimia bahan alam dan

sebagai penambah pengetahuan tentang isolasi senyawa sinensetin dari

tumbuhan kumis kucing (Orthosiphon stamineus)

2. Bagi industri obat tradisional

Sebagai bahan tambahan dalam pembuatan obat herbal berkualitas yang

dapat digunakan dalam pengembangan dunia industri herbal dan

tersedianya senyawa pembanding sinensetin.

1.5 Hipotesis

Sinensetin dapat diisolasi dari kumis kucing dengan metoda yang telah

direncanakan.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Tumbuhan

2.1.1 Klasifikasi tumbuhan kumis kucing

Divisi :Spermatophyta

Ordo : Lamiales

Kerajaan : Plantae

Famili : Lamiaceae

Genus : Orthosiphon

Spesies : Orthosiphon stamineus (Depkes 2012).

2.1.2 Sinonim dan nama daerah

Nama daerah : Kumis Kucing (Indonesia), Kidney Tea (Inggris),

Mao Xu Cao (Cina), Kabling Gubat (Filipina), Misai Kuching (Melayu). (J.R,

Hutapea, 1991).

2.1.3 Morfologi tumbuhan

Kumis kucing merupakan tanaman obat berupa tumbuhan berbatang basah

yang tegak. Tanaman ini dikenal dengan berbagai istilah seperti: kidney tea

plants/java tea (Inggris), giri-giri marah (Sumatera), remujung (Jawa Tengah dan

4
Jawa Timur) dan songot koneng (Madura). Tanaman Kumis kucing berasal dari

wilayah Afrika tropis, kemudian menyebar ke wilayah Asia dan Australia.

Kumis kucing termasuk terna tegak, pada bagian bawah berakar di bagian

buku-bukunya dan tingginya mencapai 2 meter.Batang bersegi empatagak beralur

berbulu pendek atau gundul. Helai daun berbentuk bundar atau lojong, lanset,

bundar telur atau belah ketupat yang dimulai dari pangkalnya, ukuran daun

panjang 1 – 10cm dan lebarnya 7.5mm – 1.5cm. urat daun sepanjang pinggir

berbulu tipis atau gundul, dimana kedua permukaan berbintik-bintik karena

adanya kelenjar yang jumlahnya sangat banyak, panjang tangkai daun 7 – 29cm.

Ciri khas tanaman ada pada bagian kelopak bunga berkelenjar, urat dan pangkal

berbulu pendek dan jarang sedangkan di bagian yang paling atas gundul. Bunga

bibir, mahkota yang bersifat terminal yakni berupa tandan yang keluar dari

ujung cabang dengan panjang 7-29 cm, dengan ukuran panjang 13 – 27mm, di

bagian atas ditutupi oleh bulu pendek berwarna ungu dan kemudian

menjadi putih, panjang tabung 10 – 18mm, panjang bibir 4.5 – 10mm, helai bunga

tumpul, bundar. Benang sari ukurannya lebih panjang dari tabung bunga dan

melebihi bibir bunga bagian atas. Buah geluk berwarna coklat gelap, panjang 1.75

– 2mm. 2.3. gagang berbulu pendek dan jarang, panjang 1 mm sampai 6 mm (J.R,

Hutapea, 1991).

2.1.4 Khasiat Kumis Kucing

Secara tradisional daun kumis kucing digunakan untuk memperlancar

keluarnya air seni pada gangguan tanpa penyebab yang jelas, obat batu ginjal,

tekanan darah tinggi, encok dan kencing manis.

5
2.1.5 Kandungan Kimia

Tumbuhan Kumis Kucing menghasilkan senyawa-senyawa terpenoid dan

senyawa fenol seperti diterpenoid jenis isopimaran, flavonoid, benzokromen, dan

turunan asam organic. Ciri khas senyawa diterpenoid yang diisolasi dari kumis

kucing adalah mempunyai kerangka karbon jenis isopimaran yang terdiri dari tiga

cincin dan mengandung banyak gugus fungsi oksigen (utamanya pada C-1, 2, 3

dan 7). Cincin C mengandung gugus hidroksi tersier pada C-8 dan gugus karbonil

pada C-14 dan dapat pula mengandung gugus fungsi oksigen pada C-11, 12 dan

20. Gugus-gugus fungsi hidroksi ini seringkali teresterifikasi dengan asam asetat

dan benzoate.

Daun mengandung minyak atsiri 0,02-0,06%, flavonoid lipofil dengan

kandungan utama sinensetin, eupatorin, skutellarein, tetrametil eter, salvigenin,

rhamanazin glikosida flavonol, turunan asam kafeat (terutama asam rosmarinat

dan asam 2,3-dikaffeoil tartarat), metilripariokromen A 6-(7,8-dimetoksi-2,2-

dimetil (2H,1-benzopiran), saponin serta garam kalsium (3%) dan

myoinositol.4,9,13) hasil ekstraksi daun dan bunga Orthosiphon stamineus

ditemukn metilripariokromen A atau 6-(7,8-dimetoksietanon) (Depkes 2012).

2.2 Senyawa Identitas(Agoes, 2007)

Senyawa identitas (marker compound) merupakan senyawa yang terdapat

dalam bahan alam dan dideteksi untuk keperluan khusus (contoh untuk tujuan

identifikasi atau standardisasi) atau dapat juga disebut zat indikatif. Senyawa

identitas terbagi beberapa kategori.

6
2.2.1 Senyawa untuk identifikasi

Senyawa identitas dapat dipakai untuk menandai atau sebagai senyawa

identitas suatu simplisia tanaman tertentu. Hal ini dibuktikan dengan cara

sederhana yang cukup handal dan umum dilakukan yaitu kromatografi lapis tipis

(KLT) dari tanaman obat, dan juga untuk identifikasi suatu ekstrak atau bentuk

sediaan farmasi yang mengandung ekstrak. Dalam melakukan KLT, tidak cukup

hanya jika zona warna atau spot dari larutan yang timbul pada kromatogram

berada pada tingkat zat indikatif, tetapi juga harus dijelaskan nilai Rf dan ukuran

dari zona yang timbul.

2.2.2 Senyawa untuk penentuan kandungan

Senyawa atau zat tersebut hanya terdapat dalam simplisia atau produk yang

dibuat dari simplisia yang akan dievaluasi pada pemilihan zat atau senyawa

penanda untuk penentuan secara kuantitatif.

2.2.3 Senyawa yang mempunyai efek farmakologi

Simplisia tanaman merupakan sumber aneka ragam bahan aktif secara

biologi yang tidak dapat diabaikan karena kemampuannya menyembuhkan

berbagai macam penyakit. Zat atau senyawa identitas yang ditemukan secara

penelitian penentuan identifikasi dan kandungan kimianya maka harus dapat

dibuktikan mempunyai efek farmakologis atau aktifitas biologis.

2.3. Senyawa Flavonoid

2.3.1 Uraian umum

Flavonoid merupakan salah satu metabolit sekunder yang tersebar merata

dalam dunia tumbuhan. Menurut perkiraan, kira-kira 2% dari seluruh karbon yang

7
difotosintesis oleh tumbuhan diubah menjadi flavonoid atau senyawa yang

berkaitan erat dengannya. Senyawa flavonoid terdapat dalam berbagai bentuk

struktur, mengandung 15 atom karbon dalam inti dasar yang tersusun dalam

bentuk konfigurasi C6-C3-C6, terdiri dari dua cincin aromatik yang dihubungkan

oleh satuan tiga karbon yang dapat atau tidak berbentuk cincin ketiga (Markham,

1988; Ikan, 1976).

Gambar 1. Struktur umum dan penomoran flavonoid

Berdasarkan substitusi cincin fenil pada rantai propan, flavonoid

dikelompokkan dalam tiga kerangka utama, yaitu 1,3-difenilpropan, 1,2-

difenilpropan, dan 1,1-difenilpropan (Markham, 1988; Robinson, 1995).

Modifikasi lain dari struktur menghasilkan penambahan atau pengurangan gugus

hidroksil, dimerisasi (pembentukan biflavonoid), glikosilasi gugus OH

(pembentukan flavonoid-O-glikosida) atau inti flavonoid (pembentukan

flavonoid-C-glikosida). Berdasarkan pada tingkat oksidasi rantai propan,

flavonoid dapat dibedakan atas beberapa golongan, yaitu dihidroksikalkon,

kalkon, flavon, flavonol, flavonon, antosianidin, dan auron. Dari semua golongan,

8
flavon, flavonol, dan antosianidin adalah golongan yang paling sering ditemukan

(Markham, 1988; Ikan, 1976).

2.3.2 Biosintesis flavonoid

Biosintesis senyawa golongan flavonoid mempunyai alur yang sama,

karena sama-sama memasukkan prazat dari alur sikimat dan alur asetat-malonat.

Flavonoid yang pertama dihasilkan adalah kalkon yang terbentuk setelah kedua

alur bertemu, dari kalkon akan diturunkan flavonoid lainnya. Modifikasi

flavonoid lebih lanjut akan terjadi pada tahap berikutnya, seperti : hidroksilasi,

metilasi gugus hidroksil atau inti flavonoid, dimerisasi, pembentukan bisulfat, dan

yang terpenting adalah glikosilasi gugus hidroksil atau inti flavonoid (Markham,

1988; Harborne, 1987).

2.4 Penggolongan flavonoid

2.4.1 Aglikon flavonoid

Ada beberapa jenis aglikon flavonoid seperti kalkon, flavonon,

dihidrokalkon, flavon, auron, isoflavon, dihidroflavonol, rotenoid dan

antosianidin. Kalkon dan auron mempunyai struktur dengan cincin yang terbuka

dan diberi penomoran yang berbeda dengan flavonoid lainnya. Kalkon dan auron

sedikit ditemukan di alam seperti halnya flavonon, leukoantosianin sedangkan

flavonoid yang banyak ditemui di alam adalah flavonol, isoflavon, flavon dan

antosianidin (Markham, 1988). Flavonon diperoleh dari reduksi flavon dan

dihidroksiflavon dari reduksi flavonol. Isoflavon merupakan isomer dari flavon

(Harborne, 1987).

9
2.4.2 Flavonoid O-glikosida

Flavonoid biasanya terdapat sebagai flavonoid-O-glikosida, pada senyawa

tersebut satu gugus hidroksil flavonoid (atau lebih) terikat pada satu gula (atau

lebih) dengan ikatan hemiasetal yang tidak tahan asam. Pengaruh glikosilasi

menyebabkan flavonoid menjadi kurang aktif dan lebih mudah larut dalam air

(cairan). Sifat terakhir ini memungkinkan penyimpanan flavonoid di dalam

vakuola sel. Walaupun gugus hidroksil pada setiap posisi dalam inti flavonoid

dapat diglikosilasi, kenyataannya hidroksil pada tempat tertentu mempunyai

peluang yang lebih besar untuk terglikosilasi ketimbang tempat-tempat lain,

misalnya 7-hidroksil pada flavon, isoflavon, dan dihidroflavon, 3- dan 7-hidroksil

dalam flavonol dan dihidroflavonol, dan 3- dan 5-hidroksil dalam antosianidin.

Glukosa merupakan gula yang paling umum terlibat, walaupun galaktosa,

ramnosa, xilosa, dan arabinosa sering juga terdapat. Gula lain yang kadang-

kadang ditemukan ialah alosa, manosa, fruktosa, apiosa, dan asam glukoronat

serta galakturonat. Disakarida sering juga dapat terikat pada flavonoid dan

kadang-kadang tri atau bahkan tetrasakarida. Sudah diakui bahwa dalam

tumbuhan O-glikosida (dan metilasi) terjadi sebagai salah satu tahap akhir pada

biosintesa dan dikatalisis oleh enzim yang sangat khas. Ada kalanya glikosida

mengalami modifikasi lebih lanjut, yaitu asilasi. Glikosida terasilasi mempunyai

satu gugus hidroksil gula (atau lebih) yang berikatan dengan asam seperti asam

asetat atau asam farulat. Dalam hal ini, ikatannya ikatan ester, asam teresterifikasi

secara efektif dengan gula (Markham, 1988).

10
2.4.3 Flavonoid C-glikosida

Flavonoid C-glikosida merupakan flavonoid dengan struktur yang khas,

dimana ikatan antara gula dengan aglikon adalah ikatan karbon-karbon. Jenis

aglikon flavonoid yang dijumpai sangat terbatas. Yang umum dijumpai adalah

flavon C-glikosida. Jenis gula yang terikat adalah glukosa, galaktosa, ramnosa,

xilosa, dan arabinosa. Ikatan C-glikosida lebih tahan asam dibandingkan ikatan

flavonoid O-glikosida (Harborne, 1987; Markham; 1988).

2.4.4 Flavonoid sulfat

Flavonoid sulfat termasuk flavonoid yang mudah larut dalam air. Senyawa

ini mengandung satu atau lebih ion sulfat yang terikat pada hidroksi fenol atau

gula. Senyawa ini sebenarnya bisulfat karena terdapat sebagai garam kalium yaitu

flavon O-SO3K. Banyak yang berupa glikosida bisulfat pada bagian hidroksi fenol

mana saja yang masih bebas atau pada gula (Markham, 1988).

2.4.5 Biflavonoid

Biflavonoid merupakan flavonoid dimer. Flavonoid yang biasanya terikat

adalah flavon dan flavonon yang secara biosintesis mempunyai pola oksigenasi

yang sederhana pada 5,7,4’ atau kadang-kadang 5,7,3,4’ dan ikatan antar

flavonoid berupa ikatan karbon-karbon atau ikatan eter. Monomer flavonoid yang

tergabung menjadi flavonoid dapat berjenis sama atau berbeda dan letak ikatannya

berbeda. Sifat fisika dan kimianya menyerupai sifat monoflavonoid

pembentuknya terbatas terutama pada gimnospermae (Harborne, 1987; Markham,

1988).

11
2.4.6 Aglikon flavonoid yang aktif optik

Flavonoid ini mempunyai atom karbon asimetris sehingga menunjukkan

keaktifan optik. Yang termasuk golongan flavonoid ini adalah flavonon,

dihidroflavonol, katekin, pterokarpan, rotenoid dan beberapa biflavonoid

(Markham, 1988)

12
2.5 Sinensetin

2.5.1 Uraian Umum

Struktur umum: 5, 6, 7, 31 , 41 pentametoksiflavon

Sinensetin merupakan senyawa hasil metabolisme sekunder.Senyawa yang

disinensetis makhluk hidup (dalam hal ini tanaman) bukan untuk memenuhi

kebutuhan dasar, Melainkan untuk kebutuhan sekunder yakni mempertahankan

eksistensinya dalam berinteraksi dengan ekosistem (Sumaryono 1994).

Sinensetin adalah salah satu polymethoxyflavones (PMFs) memiliki lima

kelompok metoksi pada kerangka benzo-γ-pyrone dasar dengan gugus karbonil

pada C (4) posisi.

2.3.2 Sifat Fisikokimia

1. Sifat Fisika

Sifat fisika merupakan suatu materi yang dapat dilihat secara langsung dengan

indra. Sifat fisika antara lain wujud zat, warna, bau, titik leleh, titik didih

13
(547,8oC) massa jenis, kekerasan, kelarutan, dan ketebalan. Sifat fisik itu sendiri

yang tidak mengubah sifat kimia materi.

2. Sifat Kimia

Sinensetin merupakan golongan metoksiflavon salah satu jenis senyawa

flavonoid yang terdapat didalam daun kumis kucing.Kandungan senyawa

sinensetin (5,6,7,31,41 pentametoksi flavon) didalam daun kumis kucing relatif

kecil, berada sekitar 2,1 µmol/gram (bunga ungu) dan 2,9 µmol/gram (bunga

putih). Sinensetin merupakan senyawa aglikon flavonoid yang bersifat semipolar.

2.3.3 Manfaat Sinensetin

Manfaat sinensetin ini adalah menunjukkan aktivitas anti-inflamasi dengan

mengatur tingkat protein inhibitor kB-α (IκB-α).

2.4 Isolasi Senyawa Tumbuhan

Pada dasarnya isolasi senyawa kimia dari bahan alam adalah sebuah

usaha bagaimana caranya memisahkan senyawa yang bercampur sehingga kita

dapat menghasilkan senyawa tunggal yang murni. Tumbuhan mengandung ribuan

senyawa yang dikategorikan sebagai metabolit primer dan metabolit sekunder.

Biasanya proses isolasi senyawa dari bahan alami ini mentargetkan untuk

mengisolasi senyawa metabolit sekunder, karena senyawa metabolit sekunder

diyakini dan telah diteliti dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.

Antara lain manfaatnya dalam bidang pertanian, kesehatan dan pangan. Untuk

mengisolasi suatu senyawa kimia dari bahan alam hayati pada dasarnya

14
menggunakan metode yang sangat bervariasi, seperti yang diaplikasikan dalam

proses industri.

Metode ini umum digunakan karena senyawa organik yang diperoleh

dengan kuantitas yang cukup banyak. Tetapi berbeda dengan senyawa bahan alam

hasil proses metabolit sekunder lainnya yang pada umumnya dengan kandungan

yang relatif kecil, maka metode-metode dalam proses industri tersebut tidak dapat

digunakan.

Berdasarkan hal di atas maka metode umum dalam isolasi senyawa

metabolit sekunder dapat digunakan. Metode standar laboratorium dengan

kuantitas sampel terbatas dan perlunya menetukan metode yang paling sesuai

dengan maksud tersebut (Darwis, 2000).

Dari identifikasi awal, maka dapat diamati kandungan senyawa dari

tumbuhan sehingga untuk isolasi dapat diarahkan pada suatu senyawa yang lebih

dominan dan salah satu usaha mengefektifkan isolasi senyawa tertentu maka dapat

dimanfaatkan pemilihan pelarut organik yang akan digunakan pada isolasi

tersebut, dimana pelarut polar akan lebih mudah melarutkan senyawa polar dan

sebaliknya senyawa non polar lebih mudah larut dalam pelarut non polar

(Harborne, 1987).

2.5 Proses Pemisahan

2.5.1. Ekstraksi

Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan

menggunakan pelarut. Jadi ekstrak adalah sediaan yang diperoleh dengan cara

15
ekstraksi tanaman obat dengan ukuran partikel tertentu dan menggunakan medium

pengekstraksi (menstrum) yang tertentu (Agoes. G, 2007).

Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut yaitu :

1. Maserasi

Maserasi merupakan proses sederhana untuk mendapatkan ekstrak. Cara

ini baik untuk skala kecil maupun skala industrI. Proses yang paling sederhana

hanya menuangkan pelarut pada simplisia (Agoes. G, 2007).

Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah pengerjaan

danperalatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Sedangkan

kerugiancara maserasi adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang

sempurna(Anonim, 2010).

2. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru,

dilakukan menggunakan alat soxhlet sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan

jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Anonim, 2010).

2.5.2 Fraksinasi

Fraksinasi merupakan proses pemisahan senyawa berdasarkan tingkat

kepolarannya. Proses pemisahan ini bisa dilakukan dengan mencampurkan

senyawa dengan pelarut yang berbeda kepolarannya artinya senyawa yang polar

akan tertarik dengan pelarut polar dan non polar. Metoda ini didasarkan pada

perbedaan distribusi molekul-molekul komponen diantara fasa gerak dan fasa

diam (Hendayana, 2006). Fase diam yang digunakan pada umumnya adalah silika

gel (SiO2) dan Alumina (Al2O3). Untuk fase gerak dapat digunakan pelarut-

16
pelarut organik dengan berbagai tingkat kepolaran, dengan satu pelarut maupun

kombinasi pelarut pada berbagai perbandingan (Gritter, Bobbitt

&Schwarting,1997).

2.5.3 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fitokimia atau

merupakan salah satu metode identifikasi awal untuk menentukan kemurnian

senyawa yang ditemukan atau dapat menentukan jumlah senyawa dari ekstrak

kasar metabolit sekunder. Kromatografi lapis tipis merupakan kromatografi

adsorpsi dan adsorben bertindak sebagai fase stasioner (Ibrahim S, 2000).

Lapisan yang memisahkan terdiri dari atas bahan berbutir-butir (fase

diam), ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam atau lapisan yang

cocok. Campuran yang akan dipisah, berupa larutan, ditotolkan berupa bercak

kemudian plat dimasukkan di dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan

pengembang yang cocok (fase gerak). Pemisahan terjadi selama perambatan

kapiler pengembangan(Markham, 1988).

Lempeng KLT disiapkan dengan melapiskan penjerap ke permukaan

lapisan kaca, gelas, atau aluminium dengan ketebalan 250 µm. Lempeng KLT

telah tersedia di pasaran dengan berbagai ukuran dan telah ditambah dengan

reagen fluoresen untuk memfasilitasi deteksi bercak solut. Di samping itu,

lempeng KLT yang tersedia di pasaran sudah ditambah dengan reagen fluoresen

untuk memfasilitasi deteksi bercak solut. Di samping itu, lempeng KLT yang

tersedia di pasaran sudah ditambah dengan agen pengikat, seperti kalsium sulfat

(Gandjar, 2008).

17
a. Aplikasi (Penotolan) Sampel

Pemisahan pada KLT yang optimal akan diperoleh hanya jika menotolkan

sampel dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin. Sebagaimana dalam

prosedur kromatografi yang lain, jika sampel terlalu banyak maka akan

menurunkan resolusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penotolan secara

otomatis lebih dipilih daripada penotolan manual terutama jika sampel yang akan

ditotolkan lebih dari 15 µl. Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan

bercak yang menyebar dan puncak ganda. Jika volume sampel yang akan

ditotolkan lebih besar dari 2-10 µl maka penotolan harus dilakukan secara

bertahap dengan dilakukan pengeringan antar totolan (Gandjar, 2008).

b. Pengembang

Bila sampel telah ditotolkan maka tahap selanjutnya adalah

mengembangkan sampel tersebut dalam suatu bejana kromatografi yang

sebelumnya telah dijenuhi dengan uap fase gerak. Tepi bagian bawah lempeng

lapis tipis yang telah ditotoli sampel dicelupkan ke dalam fase gerak kurang lebih

0,5-1 cm. Tinggi fase gerak dalam bejana harus di bawah lempeng yang telah

berisi totolan sampel.

Bejana kromatografi harus tertutup rapat dan sedapat mungkin volume

fase gerak sedikit mungkin. Untuk melakukan penjenuhan fase gerak, biasanya

bejana dilapisi dengan kertas saring. Jika fase gerak telah mencapai ujung atas

kertas saring, maka dapat dikatakan bahwa fase gerak telah jenuh. Selama proses

elusi, bejana kromatografi harus ditutup rapat, misalkan dengan lembar

aluminium dan sebagainya (Gandjar, 2008).

18
c. Deteksi Bercak

Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak yang tidak

berwarna. Untuk penentuannya dapat dilakukan secara kimia, fisika, maupun

biologi. Cara kimia yang biasa digunakan adalah mereaksikan bercak dengan

suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Cara

fisika yang dapat digunakan untuk menampakkan bercak adalah pencacahan

radioaktif dan fluoresensi sinar ultraviolet. Fluoresensi sinar ultraviolet terutama

untuk senyawa yang dapat berfluoresensi, membuat bercak akan terlihat jelas. Jika

senyawa tidak dapat berfluoresensi maka bahan penyerapnya akan diberi indikator

yang berfluoresensi, dengan demikian bercak akan kelihatan hitam sedang latar

belakangnya akan kelihatan berfluoresensi (Gandjar, 2008).

2.5.4 Kromatografi Kolom

Kromatografi kolom digunakan untuk pemisahan campuran beberapa

senyawa yang diperoleh dari isolasi tumbuhan. Dengan menggunakan fase padat

dan fase cair (pelarut organik), maka fraksi-fraksi senyawa akan menghasilkan

kemurnian yang cukup tinggi (Ibrahim, 2000).

Penentuan pelarut terbaik dilakukan dengan telah pendahuluan pada plat

KLT dan kemudian pemisahan dialihkan ke kromatografi kolom dengan

memperhatikan bahwa penjerap diaktifkan dulu dengan tepat. Jika kita melakukan

pemisahan memakai silika gel, kita harus memakai silika gel untuk kromatografi

kolom (Hostettman, 1995)

Silika gel merupakan jenis adsorben (fase diam) yang penggunaannya

paling luas. Permukaan silika gel terdiri atas gugus Si-O-Si dan gugus silanol (Si-

19
OH). Gugus silanol bersifat sedikit asam dan polar karenanya gugus ini mampu

membentuk ikatan hidrogen dengan solut-solut yang agak polar sampai sangat

polar.

Semakin polar solut maka semakin tertahan kuat ke dalam adsorben silika

gel ini. Solut-solut non polar (seperti hidrokarbon-hidrokarbon jenuh) tidak

mempunyai afinitas atau mempunyai sedikit afinitas terhadap adsorben polar,

sementara solut-solut yang terpolarisasi (seperti hidrokarbon-hidrokarbon tak

jenuh) mempunyai afinitas yang kecil terhadap adsorben polar disebabkan adanya

interaksi dipol atau interaksi-interaksi yang diinduksi oleh dipol. Solut-solut polar,

terutama yang mampu membentuk ikatan hidrogen, akan terikat kuat pada

adsorben karenanya butuh fase gerak yang cukup polar untuk

mengelusinya(Gandjar, 2008).

Pengisian tabung pemisah dengan adsorben, yang juga disebut kemasan

kolom, harus dilakukan secara hati-hati, harus rata. Aluminium oksida atau silika

gel dapat diisikan kering ke dalam tabung pemisah. Agar pengisian rata, tabung

setelah diisi divibrasi, diketok-ketok, atau dijatuhkan lemah pada plat kayu.

adsorben lainnya harus diisikan sebagai suspensi, terutama jika zat ini dapat

menggelembung dengan pelarut pengembang. Yang umum dilakukan adalah,

adsorben dibuat seperti bubur dengan pelarut elusi, kemudian dimasukkan ke

dalam tabung pemisah (Roth, 1994).

2.5.5 Kromatografi secara radial (Kromatotron)

Kromatotron memiliki prinsip sama seperti kromatografi klasik dengan

aliran fase gerak yang dipercepat oleh gaya centrifugal. Kromatografi jenis ini

20
menggunakan rotor yang dimiringkan dan terdapat dalam ruang tertutup oleh plat

kaca kuarsa, sedangkan lapisan penyerapnya berupa plat kaca yang dilapisi oleh

silika gel. Plat tersebut dipasang pada motor listrik dan diputar dengan kecepatan

800rpm. Pelarut pengelusi dimasukkan ke bagian tengah pelarut melalui pompa

torak sehingga dapat mengalir dan merambat melalui lapis tipis karena gaya

sentrifugal. Untuk mengetahui jalannya proses elusi dimonitor dengan lampu UV.

Gas Nitrogen dialirkan kedalam ruang plat untuk mencegah pengembunan pelarut

pengelusi dan mencegah oksidasi sampel. Pemasukan sampel itu diikuti dengan

pengelusian menghasilkan pita2 komponen berupa lingkaran sepusat. Pada tepi

plat, pita2 akan terpuatr keluar dengan gaya sentrifugal dan ditampung dalam

botol vial, cek dg KLT (Hostettmann, 1995).

2.5.6 Teknik Spektroskopi

Teknik spektroskopi adalah salah satu teknik analisis kimia-fisika yang

mengamati tentang interaksi atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik.

Ada dua macam instrumen pada teknik spektroskopi yaitu spektrometer dan

spektrofotometer. Instrumen yang memakai monokromator celah tetap pada

bidang fokus disebut sebagai spektrometer. Apabila spektrometer tersebut

dilengkapi dengan detektor yang bersifat fotoelektrik maka disebut

spektrofotometer (Muldja, 1955).

2.5.7 Spektrofotometri UV

Serapan molekul di dalam daerah ultra ungu dan terlihat dari spektrum

bergantung pada struktur ultra elektronik dari molekul.Penyerapan sejumlah

energi, menghasilkan percepatan dari elektron dalam orbital tingkat dasar ke

21
orbital yang berenergi lebih tinggi di dalam keadaan tereskitasi (Silverstein,

1986).

Spektrum Flavonoid biasanya ditentukan dalam larutan dengan pelarut

Metanol (MeOH) (Markham, 1988).

Penggunaan pereaksi geser ini berdasarkan pengetahuan bahwa pada

kerangka dasar senyawa flavonoid terdapat dua sistem konjugasi yaitu cincin A

(sistem konjugasi benzoil) dan cincin B (sistem konjugasi sinamoil) yang

menyebabkan adanya serapan pada daerah ultraviolet dan cahaya sinar tampak.

Penambahan masing-masing pereaksi geser dari senyawa flavonoid menyebabkan

pergeseran yang nyata (Mabryet al.,1970).

1. Pergeseran spektrum yang dihasilkan oleh natrium hidroksida (NaOH) atau

NaOMe

Natrium hidroksida adalah basa kuat yang dapat mengionisai semua gugus

hidroksil pada cincin flavonoid. Pergeseran batokromik yang besar (40-65nm)

pada pita I digunakan untuk mendeteksi gugus OH pada posisi 3 dan 4’.

Terbentuknya pita baru pada pita I digunakan untuk mendeteksi gugus OH pada

posisi 7.

2. Pergeseran spektrum yang dihasilkan oleh natrium asetat (NaOAc)

Natrium asetat merupakan basa lemah dari pada natrium hidroksida.

Natrium asetat mengionisasi gugus OH yang sangat asam yang terdapat pada

posisi 7 yang nantinya akan memberikan efek batokromik yaitu bila terjadi

pergeseran batokromik pita II sebesar 5-20 nm.

22
3. Pergeseran spektrum yang dihasilkan oleh natrium asetat dan asam borat

(NaOAc / H3BO3)

Asam borat dengan adanya natrium asetat akan membentuk kompleks

dengan gugus orto dihidroksi pada semua kedudukan dalam inti flavonoid kecuali

oada kedudukan C3 dan C6. Bila terjadi pergesaran batokromik sebesar 12-30nm

pada pita I akan menunjukkan adanya orto-diOH pada cincin B. dan apabila

terjadi pergesaran batokromik sebesar 10-15 nm pada pita II akan menunjukkan

adanya o-diOH pada cincin A (posisi 6,7 atau 7,8).

4. Pergeseran spektrum yang dihasilkan alumunium (III) klorida dan asam klorida

(AlCl3/HCl)

AlCl3 membentuk komplek dengan c4-keto dan hidroksi pada C5 atau C3

yang stabil terhadap asam dan menyebabkan pergeseran batokromik pada pita I

dan pita II. Sebaliknya gugus OH yang letaknya orto akan membentuk komplek

yang tidak stabil, akibatnya akan terjadi pergeseran hipsokromik terhadap

penambahan asam. Penambahan AlCl3/HCl digunakan untuk mendeteksi adanya

gugus orto-dihidroksi pada cincin B dan gugus OH posisi 3 atau 5.

2.5.8 Spektrofotometri IR

Spektrum inframerah suatu molekul adalah hasil transisi antara tingkat

energi getaran yang berlainan. Pancaran inframerah yang kerapatannya kurang

dari 100 cm -1 (panjang gelombang lebih daripada 100 μm) diserap oleh sebuah

molekul organik dan diubah menjadi putaran energi molekul.

23
Penyerapan ini tercantum, namun spektrum getaran terlihat bukan sebagai

garis – garis melainkan berupa pita – pita. Hal ini disebabkan perubahan energi

getaran tunggal selalu disertai sejumlah perubahan energi putaran (Silverstein,

1986).

24
BAB III

PELAKSANAAN PENELITIAN

3.1 Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biota Sumatra pada bulan April –

Juni 2013.

3.2 Metoda Penelitian


a. Pengambilan dan pengolahan bahan

b. Identifikasi tumbuhan

c. Isolasi senyawa kumis kucing

d. Karakterisasi senyawa hasil isolasi

3.3 Alat dan bahan

Alat

Alat yang digunakan adalah corong , gelas ukur, kromatografi kolom,

neraca analitik, beker glas, lempeng silika gel (plat KLT), pipet kapiler, vial,

rotary evaporator (BUCHI®), kromatotron, lampu UV, batang pengaduk, grinder,

aluminium foil, destilasi vakum, bejana kromatografi (chamber), spatel,

spektrofotometer UV-Vis Pharmaspec 1700 (Shimadzu®), Infrared

Spectrofotometer Perkin Elmer Spectrum.

Bahan

Bahan yang digunakan adalah daun kumis kucing, etil asetat destilasi, air

suling , silika gel, diklorometan destilasi, n-heksan destilasi, metanol destilasi.

25
3.4 Cara kerja

3.4.1 Pengambilan dan pengolahan bahan

Kumis kucing didapatkan di Kabupaten Sarolangun, Jambi. Kumis kucing

segar sebanyak 3 kg di keringkan dan kemudian digrinder menjadi serbuk.

3.4.2 Identifikasi Tumbuhan

Identifikasi sampel dilakukan di Herbarium ANDA di Universitas

Andalas, Padang (Lampiran 3, gambar 2).

3.3.3 Isolasi senyawa kumis kucing

3.3.3.1 Ekstraksi dan Fraksinasi

Sebanyak 500 g serbuk kumis kucing yang telah digrinder tersebut

dimaserasi dengan larutan n-heksan 2L, 2 kali pengulangan masing-masing

selama 3 hari. Maserat yang diperoleh diuapkan dengan rotary evaporator pada

suhu 45-55oC. Dengan cara yang sama dilanjutkan maserasi terhadap ampas

secara bertingkat terhadap diklorometan dan metanol. Untuk maserat masing-

masing tersebut diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu 45-55oC. Ekstrak

kental diperiksa dengan kromatografi lapis tipis (KLT) dengan pengembang

diklorometan–etil asetat dengan perbandingan ( 4 : 1 ).. Kemudian dilanjutkan

kromatografi kolom dengan ekstrak diklorometan, karena ekstrak diklorometan

pemisahannya sempurna.(Lampiran 6, gambar 3).

26
Mula–mula suspensikan silika gel sebanyak 40 g sebagai fasa diam dengan

diklorometan (DCM) kemudian masukkan ke dalam kolom yang sudah diberi

kapas pada bagian bawahnya. Kemudian kolom diketok-ketok untuk

menghilangkan gelembung udara. Setelah itu masukkan ekstrak kental

diklorometan (4 g ) yang sudah di preabsorbsi dengan silika, kemudian dielusi

dengan fasa gerak DCM–etil asetat (4:1).

Tiap–tiap fraksi yang keluar ditampung dalam vial, dimonitor dengan KLT

menggunakan fasa gerak diklorometan-etil asetat d (4:1). Fraksi yang mempunyai

nilai Rf yang sama digabung sehingga didapatkan 3 fraksi yaitu A ( 5-12), fraksi

B ( 13-16), fraksi C ( 17-34). (lampiran 6 gambar 4).

Fraksi C yang memberikan dua noda yang berfluoresensi, dilanjutkan

dengan Kromatografi radial memakai silika gipsum sebagai fasa diam dan fase

geraknya digunakan diklorometan-etil asetat (4:1). Masing–masing fraksi

ditampung dalam vial, dan dimonitor dengan KLT. Fraksi yang mempunyai nilai

RF yang sama digabungkan sehingga didapatkan 2 fraksi yaitu C1 (28-38) dan

fraksi C2 (46-78). Yang memberikan noda tunggal tapi nilai Rf nya

berbeda.(Lampiran 6, gambar 6).

3.3.4 Karakterisasi senyawa hasil isolasi

Karakterisasi senyawa hasil isolasi meliputi pemeriksaan organoleptis,

pemeriksaan kromatografi lapis tipis, spektrofotometer UV-Vis, spektrofotometer

inframerah.

27
1. Pemeriksaan organoleptis

Pemeriksaan ini meliputi bentuk dan warna senyawa hasil isolasi.

2. Pemeriksaan kromatografi lapis tipis

Pemeriksaan ini menggunakan pelarut diklorometan-etil asetat ( 4 : 1)

sebagai penampak noda digunakan lampu UV254nm dan UV365nm., Noda

yang terlihat diukur Rf-nya.

3. Pemeriksaan spektrum ultraviolet

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer

UV-Vis Pharmaspec 1700 (Shimadzu®). Senyawa hasil isolasi

sebanyak 1 mg dilarutkan dalam pelarut metanol, kemudian diukur

serapannya. Selanjutnya diberikan pereaksi geser (metanol+natrium

klorida, metanol+natrium asetat+asam borat, metanol+aluminium

klorida+asam klorida.

4. Pemeriksaan spektrofometer inframerah

Pemeriksaan ini diukur dengan menggunakan alat Infrared

Spectrofometer Perkin Elmer Spectrum One. 1 mg sampel, kemudian

dilarutkan dengan pelarut diklorometan (DCM) sedikit sehingga

menutupi kaca alat tersebut, kemudian diukur serapannya.

28
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

1. Dari serbuk herba kering Orthosiphon stamineus Bth ( 500 g ) dimaserasi

berturut-turut dengan n-heksan, diklorometan (DCM), metanol setelah

dipekatkan didapatkan ekstrak n-heksan (4,01 g), DCM (4,85 g) dan

metanol (5, 45 g). Dengan rendemen ekstrak tersebut yaitu (0, 802%),

(0,97%) dan (1,09%).(Lampiran 4, table 1).

2. Pada pemeriksaan organoleptis, kumis kucing yang didapatkan berupa

amorf yang berwarna kuning, sebanyak 5 mg. (Lampiran 5, table 2).

3. Hasil pengukuran spektrum ultraviolet senyawa OS dengan metanol

memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang 212 nm dan

329 nm, dengan pereaksi natrium hidroksida 314 nm dan 372 nm, dengan

pereaksi natrium asetat 221 nm dan 326 nm, dengan pereaksi alumunium

klorida 292 dan 329 nm, dengan alumunium klorida dalam HCl 213 nm

dan 333 nm.(Lampiran 8, table 3).

4. Pemeriksaan spektrum inframerah senyawa OS memiliki serapan yang

kuat pada daerah gelombang (cm- ) :

 2925- 2855 Regang O-H

 1724 -1459 Regang C-H

29
 1420- 705 Regang C=O

1.2 Pembahasan

Ekstraksi kandungan kimia utama dari tumbuhan kumis kucing dilakukan

dengan cara maserasi, dimana sebelumnya sampel tersebut disortir dari pengotor

dan dirajang kemudian dikeringkan. Maserasi merupakan cara ekstraksi yang

secara teknis pengerjaan dan alat-alat yang digunakan sederhana. Maserasi

dilakukan dengan merendam sampel hingga terendam selama 3 hari dan dilakukan

2 kali pengulangan. Tujuannya adalah agar hasil metabolit sekunder yang berada

dalam tumbuhan bisa keluar dan terikat pada metanol sehingga dapat di isolasi.

(Handa, 2008)

Proses ekstraksi ini menggunakan cara ekstraksi bertingkat dengan 3 jenis

pelarut yang ditingkatkan kepolarannya yaitu n-heksan, diklorometan (DCM),dan

metanol. Proses ekstraksi bertingkat (berkesinambungan) ini dipilih karena tidak

menggunakan pemanasan, sehingga cocok digunakan untuk ekstraksi tumbuhan

kumis kucing, dimana sifat senyawa yang terkandung di dalamnya belum

semuanya diketahui, selain itu untuk menghindari terjadinya kerusakan zat.

Fraksi yang didapat masing-masing dipekatkan in vacuo, sehingga

didapat ekstrak kental untuk setiap fraksi. Cara ini menguntungkan karena dalam

keadaan vakum, tekanan uap pelarut akan turun dan pelarut akan mendidih pada

temperatur lebih rendah dari titik didihnya. Dengan demikian dapat mengurangi

kerusakan senyawa-senyawa yang termolabil yang ada didalam sampel.

30
Masing-masing sampel di kromatografi lapis tipis, kromatografi lapis tipis

menunjukkan fraksi diklrometan pemisahannya yang baik tetapi masih memiliki

kloropil(pengotor) (lampiran 5, gambar 3). Kemudian dilanjutkan kromatografi

kolom. Kromatografi kolom bertujuan untuk memisahkan senyawa berdasarkan

kepolarannya. (Hostettman, 1995).

Sampel disiapkan dengan cara preabsorbsi menggunakan serbuk silika

sama banyak (1:1) dengan jumlah sampel yang akan dipisahkan. Campuran ini

dilarutkan dengan DCM dan setelah homogen pelarut yang ada diuapkan dengan

rotary evaporator hingga kering. Preabsorbsi dilakukan untuk menghomogenkan

sampel dalam fasa diam dan memudahkan pada saat peletakkan sampel pada fasa

diam.

Serbuk hasil preabsorbsi ditaburkan merata diatas permukaan bubur silika

dalam kolom kromatografi. Selanjutnya kolom dielusi dengan fase gerak

diklorometan dan etil asetat yang kepolarannya ditingkatkan secara bertahap

dalam berbagai perbandingan, sehingga diperoleh pemisahan yang baik. Setiap

fraksi dianalisa pola pemisahannya menggunakan KLT dan noda diamati di

bawah lampu UV365.

Hasil kromatografi kolom tersebut digabungkan sesuai Rf yang sama dan

didapatkan fraksi A (5-12) yang memiliki 2 noda, fraksi B (13-16) memiliki 2

noda tetapi ada pengotor dan fraksi C (17-34) memiliki satu noda tetapi memiliki

pengotor . Hasil dari KLT menunjukkan pemisahan yang baik pada fraksi C,

31
namun hasilnya masih belum murni sehingga dilakukan kromatografi radial

(lampiran 6, gambar 4).

Kromatotron memiliki prinsip sama seperti kromatografi klasik dengan

aliran fase gerak yang dipercepat oleh gaya centrifugal. Kromatografi jenis ini

menggunakan rotor yang dimiringkan dan terdapat dalam ruang tertutup oleh plat

kaca kuarsa, sedangkan lapisan penyerapnya berupa plat kaca yang dilapisi oleh

silika gel. Plat tersebut dipasang pada motor listrik dan diputar dengan kecepatan

800rpm. Pelarut pengelusi dimasukkan ke bagian tengah pelarut melalui pompa

torak sehingga dapat mengalir dan merambat melalui lapis tipis karena gaya

sentrifugal.Untuk mengetahui jalannya proses ini dimonitorkan dengan lampu

UV. Kemudian ditampung dalam vial dan cek KLT, noda yang sama digabungkan

(Hostettmann, 1995).

Hasil kromatografi radial yang di peroleh sudah murni, namun didapatkan

dua senyawa murni vial no 28-38 (3 mg) dengan Rf 0.3 dan vial no 46-78 (5 mg)

dengan Rf 0,4. Senyawa murni vial no 46-78 dikarakterisasi secara arganoleptis

berwarna kuning dan berbentuk amorf.

Spektrum ultraviolet senyawa hasil isolasi dalam pelarut metanol

menunjukkan panjang gelombang masksimum pita I pada 329 nm dan pita II pada

292 nm, ini diperkirakan termasuk pada panjang gelombang flavon. Gugus

hidroksi flavon selanjutnya ditentukan dengan penambahan pereaksi geser pada

larutan sampel dalam pelarut berbeda (lampiran 8).

32
Pada Penambahan pereaksi geser NaOH tidak terjadinya pergeseran gugus

OH pda gugus 7 karena sinensetin tidak memiliki gugus hidroksi. Kemudian

dengan penambahan AlCl3 tidak menunjukkan pergeseran gugus hidroksi pada

gugus C5. Demikian juga dengan penambahan asam borat tidak merubah

pergeseran batokromik pada spektrum metanol.

Pemeriksaan spektrum inframerah senyawa hasil isolasi memperlihatkan

adanya serapan pada bilangan gelombang 2925 cm-1 diduga berasal dari regang O-

H. Serapan pada 1724 cm-1diduga berasal dari regang CH. Serapan pada 1420

cm-1 diduga berasal dari regang C=O (lampiran 10)

33
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Dari 500 g herba kumis kucing didapatkan senyawa hasil isolasi 5 mg.

2. Berdasarkan hasil kromatografi lapis tipis, analisis spektrum ultraviolet,

dan spektrum inframerah disimpulkan senyawa yang didapat, diduga

sinensetin.

5.2 Saran

Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk mengisolasi senyawa dari

tumbuhan Orthosiphon stamineus Bth lebih banyak serta analisis spektroskopi

dan NMR agar diperoleh data-data yang mendukung untuk menentukan struktur

senyawa sinensetin yang diperoleh dari hasil isolasi. Dengan metoda yang lebih

efektif dan lebih efisien.

34
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, G. (2007). Teknologi bahan alam.Bandung : ITB Press.

Anonim, 2010, Sediaan Galenik, 8, 10, 16, Departemen Kesehatan Republik


Indonesia, Jakarta.

Anonim, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, 1, 3,


Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.

Azis, V. 2007. Analisis Kandungan Sn, Zn, dan Pb dalam susu kental manis
kemasan kaleng secara spektrofotometri serapan atom. Skripsi. Jurusan ilmu
kimia, fakultas ilmu kimia dan ilmu pengetahuan alam. Universitas Islam
Indonesia. Jogjakarta.

Darwis A.A., Gumbira E.,2000. Teknologi fermentasi. IPB. Bogor.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Farmakope herbal Indonesia.


Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

[Depkes] Departemen Kesehatan. 2012. Sedian galenik.Jakarta : Departemen


kesehatan RI, Dirjen POM.
[Depkes] Departemen Kesehatan. 2012.Analisa obat tradisional Ed Ke-1.Jakarta:
Departemen kesehatan RI.
Depadua LS & Bunyapraphatsara. 2003. Medicinal and poisonous Plant 1.
Porsea: Bogor.
Djamal R, 1990. Prinsip-prinsip Dasar Bekerja daalm Kimia Bahan Alam.
Padang: Universitas Andalas, hlm 32,36-40,58.
Djamal, Rusjdi. Pemanfaatan Tumbuhan Obat, Penggalian dan Tantangan di
Masa Depan, Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Tetap dalam ilmu
Farmasi FMIPA, Universitas Andalas, 1995.
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. 2000. Parameter Standar
Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta:, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia

Gaedcke, F. & Steinhoff, B. 2003.Herbal medicinal products.Stuttgard:


Medpharm

35
Gandjar, 2008. pengantar kromatografi. Ed ke -2. Kosasih padmawinata.
penerjemah. Bandung: penerbit ITB. Terjemahan dari introduction to
chromatography.

Gritter, R. J., Bobbitt J. M. dan Schwarting, A.E. 2007. Pengantar Kromatografi,


(edisi II). Penerjemah: K. Padmawinata. Bandung: Penerbit ITB

Handa, s. S., Khanuja, S. P. S., Longo, G. & Rakesh, D. D. (eds.).2008. Extraction


Technologies for Medicinal and Aromatic Plants. Trieste:International
Centre For Science And High Technolgy.
Harborne, J.B., 1998. Phitochemical Method. Chapman and Hall ltd. London.

Harborn TJ. 1987. metode fitokimia- penuntun cara modern menganalisa


tumbuhan. Padmawinata K, Penerjemah bandung : Penerbit ITB.
Terjemahan dari : phytochemical method guide to modern techniques of
plant analysis.
Hendayana, S. 2006. Kimia Pemisahan. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya
Herawaty, rety dan Ari Novianti.2006.Kumis kucing.Pengawasan makanan,
Direktorat obat asli Indonesia.
Hostettman, K., Hostettman, M., dan Marston, A. 1995.cara kromatografi
preparative penggunaan pada isolasi bahan alam.Terjemahan, Kosasih
P. ITB (buku asli : 1986). Bandung.
Mabry, T. J., K. R. Markham and M. B. Thomas. 1970 . The sistemic
Identification of Flavonoids. Springer-Verlag, New York, Heidenburg,
Berlin.

Markham, K. R. 1988. Cara mengidentifikasi flavonoid (Terjemahan, Kosasih


Padma Winata). ITB (Buku asli : 1982). Bandung.
Nakayama, T (2002). Enzim biosintesis aurone. Journal of Bioscience dan
Bioengineering 94 (6): 487-91.
Robinson, T. 1991. The organic constituen of higherplants.6th Edition
Departemen of Biochemistry.University of Massachusetts.
Sastrohamidjojo. H. 1991. Kromatografi.Yogyakarta : Liberty Yogyakarta.

Shin HS , Kang SI , Yoon SA , Ko HC , Kim SJ . 2012. Biosci


BiotechnoBiochem.Departemen Biologi, Jeju National University, Jejusi,
Jeju, Republik Korea.

36
Silverstein, et al, 1986, Penyidikan Spektrometrik Senyawa Organik, Edisi IV,
Erlangga, Jakarta, hlm. 305-309

Sugati. S, Hutapea. J.R., 1991, Inventaris Tanaman Obat Indonesia., Jilid I.,
Balitbang Kesehatan., Departemen Kesehatan RI. Jakarta, p.424-425.

Sumaryono, W. 1995.Analisis Profil metabolit sekunder beberapa kultival


orthosiphon aristatus.Jakarta : Badan pengkajian dan penerapan
teknologi.

37
Lampiran 1 : Skema kerja

Tanaman segar kumis kucing


(Orthosiphon stamineus Bth)

(3 kg)
☺ Dikering anginkan dan grinder
Sampel kering 500 g

dimaserasi dengan n-heksan(2 X 2.5L) (3 Hari)

☺ Disaring

Ampas
Fraksi n-heksan
In vacuo Maserasi dengan DCM 5L (3 Hari)

Fraksi kental n-
heksan 4,01 g Fraksi
Fraksi DCM
DCM Ampas

In vacuo Maserasi dengan metanol

Fraksi kental DCM Fraksi


Fraksi metanol
metanol Ampas
4,85 g

K. Kolom dengan eluen In vacuo


DCM-etil asetat
Fraksi kental metanol
(4:1)
5,45 g

Fraksi A (5-12) Fraksi B (13-16) Fraksi C (17-34)


500 mg 200 mg 300 mg

kromatografi radial

Kosentrasi Fraksi C1 (28-38) Fraksi C2 (46-78)


sangat rendah 3 mg 5 mg

Isolasi dan karakterisasi

38
Lampiran 2 : Foto sampel

Gambar 1. Tumbuhan Kumis kucing (Orthosiphon stamineus Bth)

39
Lampiran 3: Identifikasi tumbuhan

Gambar 2: Herbarium Kumis kucing ( Orthosiphon stamineus Bth)

40
Lampiran 4: Data dari ekstrak kumis kucing

Sampel Berat ekstrak (gr) Rendemen (%)

n-heksan 4,01 0,802

Diklorometan 4,85 0,97

Metanol 5,45 1,09

Tabel 1: Data dari serbuk kumis kucing

Lampiran 5: Sifat argonoleptis Data Karakteristik hasil senyawa isolasi

Karakteristik Pembanding Sampel

Bentuk Amorf Amorf

Warna Kuning Muda Kuning Muda

Bau Tidak Berbau Tidak Berbau

Kelarutan Tidak Larut Metanol Tidak Larut Metanol

Tabel 2: Data Karakteristik hasil senyawa isolasi

41
Lampiran 6 : Pola KLT

Fraksi heksan Fraksi DCM Fraksi metanol

Gambar 3: KLT Fraksi sebelum dikromatografi kolom

Gambar 4: KLT Fraksi Diklorometan no vial A (5-12), B (13-16) dan C (17-34)

42
C2

C1

Gambar 5 : KLT hasil dari kromatografi radial pada vial no C1 (28-38) dengan Rf 0,3

vial no C2 (46-78) dengan Rf 0,4

Gambar 6. hasil dari kromatografi radial pada no vial 46-78 dengan Rf 0,4

43
Lampiran 7 : Profil spektrum UV Senyawa Hasil Isolasi

Gambar 7. Spektrum UV senyawa hasil isolasi dalam MeOH diperoleh.

MeOH+NaOH

Metanol

Gambar 8: Spektrum UV senyawa hasil isolasi dalam MeOH /NaOH

44
MeOH+NaOAc+H3BO3

metanol

Gambar 9: Spektrum UV senyawa hasil isolasidalam MeOH+ NaOAc+H3BO3

metanol

MeOH+AlCl3 +HCl

Gambar 10 : Spektrum UV senyawa hasil isolasi dalam MeOH + AlCl3 + HCl

45
Lampiran 8: Data spektrum UV senyawa hasil isolasi

Spektrum UV Puncak Serapan (λmax nm)


Metanol 292 ; 329
Natrium klorida 314 ; 372
Aluminium klorida 292 ; 329
Aluminium klorida/ asam klorida 294 ; 333
Natrium asetat 297 ; 326
Natrium asetat/asam borat 292 ; 330

Tabel 3: Data spektrum UV senyawa hasil isolasi

46
Lampiran 9 : Spektrum FT-IR

Gambar 11: Spektrum FT-IR senyawa hasil isolasi

Lampiran 10. Hasil Pemeriksaan Analisis komponen gugus fungsi IR

No Λmaks Gugus Fungsi

1 2925.37, 2855.48 Regang O-H

2 1724.34, 1459.88 Regang C-H

3 1420.50, 705.56 Regang C=O

Tabel 4: Data analisis gugus fungsi IR

47
Lampiran 6: Senyawa identitas dan pembanding farmakope herbal

SENYAWA IDENTITAS

Kurzerenon Kurzerenon
Linalool Linalool
Luteolin Luteolin
Miristisin Miristisin
Momordisin Momordisin
Pinostrobin Pinostrobin

48
Piperin Piperin
Punikalin Punikalin
Rutin Rutin
Shogaol Shogaol
Shogaol Shogaol
Sinamaldehid Sinamaldehid
Sinensestin Sinensestin
Sineol Sineol
Skopoletin Skopoletin
ß-vetivon ß-vetivon
Terpinen-4-ol Terpinen-4-ol
Tetrahidroalstonin Tetrahidroalstonin
Tilirosida Tilirosida
Trans-anetol Trans-anetol
Verbaskosid Verbaskosid
Viteksikarpin Viteksikarpin
Xantorizol Xantorizol
Zedoaron Zedoaron
Zerumbon Zerumbon

PEMBANDING FARMAKOPE HERBAL INDONESIA

Eugenol Eugenol
Falerin Falerin
Isodeoksielefantopin Isodeoksielefantopin
Isokuersitrin Isokuersitrin
Kaempferol Kaempferol
Kapsaisin Kapsaisin
Katekin Katekin
Kubebin Kubebin
Sineol Sineol
Skopoletin Skopoletin
Skopoletin Skopoletin
ß-sitosterol ß-sitosterol
Stigmasterol Stigmasterol
Terpinen-4-ol Terpinen-4-ol
Tetrahidroalstonin Tetrahidroalstonin
Tilirosida Tilirosida

49
Trans-anetol Trans-anetol
Viteksikarpin Viteksikarpin
Xantorizol Xantorizol
Zerubon Zerubon
Sinensetin Sinensetin

50

Anda mungkin juga menyukai