Anda di halaman 1dari 145

UNIVERSITAS DIPONEGORO

APLIKASI UAV (UNMANNED AERIAL VEHICLE) FOTOGRAMMETRI


UNTUK PERENCANAAN PENGEMBANGAN
JALUR TRANSMISI SUTET 500 kV
(STUDI KASUS : KEC. AMBARAWA, KAB. SEMARANG)

TUGAS AKHIR

AGREE ISNASATRIANTO
21110113130097

FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK GEODESI

SEMARANG
OKTOBER 2017
UNIVERSITAS DIPONEGORO

APLIKASI UAV (UNMANNED AERIAL VEHICLE) FOTOGRAMMETRI


UNTUK PERENCANAAN PENGEMBANGAN
JALUR TRANSMISI SUTET 500 kV
(STUDI KASUS : KEC. AMBARAWA, KAB. SEMARANG)

TUGAS AKHIR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana (Strata – 1)

AGREE ISNASATRIANTO
21110113130097

FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK GEODESI

SEMARANG
OKTOBER 2017

ii
HALAMAN PERNYATAAN

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang
dikutip maupun dirujuk
Telah saya nyatakan dengan benar

Nama : AGREE ISNASATRIANTO


NIM : 21110113130097
Tanda Tangan :

Tanggal : 25 Oktober 2017

3
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh :
NAMA : AGREE ISNASATRIANTO

NIM : 21110113130097

Jurusan/Program Studi : TEKNIK GEODESI

Judul Skripsi :

APLIKASI UAV (UNMANNED AERIAL VEHICLE) UNTUK PERENCANAAN


PENGEMBANGAN JALUR TRANSMISI SUTET 500 kV (STUDI KASUS :
KECAMATAN AMBARAWA, KABUPATEN SEMARANG)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Tim Penguji dan diterima sebagai


bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana/ S1 pada
Jurusan/Program Studi Teknik Geodesi, Fakultas Teknik, Universitas
Diponegoro.

TIM PENGUJI

Pembimbing 1 : Dr. Yudo Prasetyo, ST., MT ( )

Pembimbing 2 : Ir. Bambang Sudarsono, MS ( )

Penguji 1 : Dr. Yudo Prasetyo, ST., MT ( )

Penguji 2 : Ir. Bambang Sudarsono, MS ( )

Penguji 3 : Ir. Sawitri Subiyanto, M.Si ( )

Semarang, 25 Oktober 2017


Program Studi Teknik Geodesi
Ketua

Ir. Sawitri Subiyanto, M.Si.


NIP : 196603231999031008

4
HALAMAN PERSEMBAHAN

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
(Q.S Al-fatihah : 1)

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam


(Q.S Al-fatihah : 2)

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali

kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka”

(Q.S Ar- Ra’D : 11)

Tugas akhir ini saya persembahkan untuk

Ayah dan Ibu

Suatu proses dan hasil yang sederhana, tapi dibalik ini kalianlah

yang selalu menjadi motivasi selama ini demi membalas sedikit

demi sedikit apa yang telah Ayah dan Ibu berikan walaupun pada

akhirnya jasa kalian tidak akan pernah bisa terbalas.

5
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Akhirnya Penulis dapat menyelesaikan
tugas akhir ini. Tugas akhir ini sesungguhnya bukanlah sebuah kerja individual dan
akan sulit terlaksana tanpa bantuan banyak pihak yang tak mungkin Penulis sebutkan
satu persatu, namun dengan segala kerendahan hati, Penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Bapak Ir. Sawitri Subiyanto, M.Si., selaku Ketua Departemen Teknik
Geodesi Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.
2. Bapak Dr. Yudo Prasetyo, ST., MT., yang telah memberikan bimbingan dan
pengarahan dalam penyelesaian tugas akhir ini.
3. Bapak Ir. Bambang Sudarsono, MS., yang telah memberikan bimbingan dan
pengarahan dalam penyelesaian tugas akhir ini.
4. Bapak Arwan Putra Wijaya, ST., MT., yang telah menjadi dosen wali penulis
dari semester awal hingga semester akhir dan memberikan nasihat serta
arahan yang berguna bagi penulis.
5. Kedua orang tua yang selalu menjadi penyemangat dan motivasi dibalik
proses studi perkuliahan.
6. Seluruh Dosen Departemen Teknik Geodesi yang tidak pernah lelah
memberikan bimbingan, saran, dan bantuannya dalam proses perkuliahan dan
pembuatan Tugas Akhir ini.
7. Mas Alfian Adi, Naufal Faras, Armenda Bagas, Rachaditya Pradipta, Merpati
Dewo, Ika Nurdiana, Andini Riski, Sulaiman Hakim, Alan Aji, Kurniawan
Wardana, Dito Seno, Okki Mihano, Muhammad Hudayawan yang telah
membantu dalam penyelesaian penelitian ini.
8. Rekan sekaligus keluarga Geodesi 2013 “AW” yang selalu ada.
9. Teman KKN Tim 1 Desa Kebowan Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang
Tahun 2017.
10. Semua pihak yang telah memberikan dorongan dan dukungan baik berupa
material maupun spiritual serta membantu kelancaran dalam penyusunan
tugas akhir ini.

6
Penulis menyadari bahwa Tugas Akhir ini masih banyak kekurangan, oleh
karena itu masukan dan kritikan yang bersifat membangun sangat penulis harapkan
sebagai acuan agar menjadi lebih baik lagi serta penulis berharap semoga Tugas Akhir
ini dapat bermanfaat bagi Penulis khususnya dan semua pihak yang membutuhkan.
Terimakasih.

Semarang, 25 Oktober 2017

Penyusun

vii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

Sebagai sivitas akademika Universitas Diponegoro, saya yang bertanda tangan

di bawah ini :

Nama : AGREE ISNASATRIANTO

NIM : 21110113130097

Jurusan/Program Studi : TEKNIK GEODESI

Fakultas : TEKNIK

Jenis Karya : SKRIPSI

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Diponegoro Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Noneeksklusif Royalty
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
APLIKASI UAV (UNMANNED AERIAL VEHICLE) FOTOGRAMMETRI
UNTUK PERENCANAAN PENGEMBANGAN JALUR TRANSMISI SUTET
500 kV (STUDI KASUS : KECAMATAN AMBARAWA, KABUPATEN
SEMARANG)
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas
Royalti/Noneksklusif ini Universitas Diponegoro berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Semarang
Pada Tanggal : 25 Oktober 2017
Yang menyatakan

(Agree Isnasatrianto)

88
88
ABSTRAK
Pertumbuhan konsumsi listrik nasional semakin tinggi seiring dengan
bertambahnya jumlah penduduk dan sejalan dengan peningkatan pertumbuhan
ekonomi nasional. Peningkatan kebutuhan listrik ini diperkirakan akan terus tumbuh
dengan rata-rata pertumbuhan 6,5% per tahun hingga tahun 2020. Salah satu upaya
PLN yang bergerak pada bidang ketenagalistrikan di Indonesia untuk mengimbangi
peningkatan kebutuhan listrik tersebut adalah dengan membangun SUTET untuk
pendistribusian listrik dari sumber listrik ke gardu induk.
Pada penelitian ini UAV akan dimasukkan pada proses perencanaan penentuan
jalur SUTET sesuai dengan peraturan yang berlaku dan dikombinasikan dengan
survei GPS untuk menghasilkan data koordinat yang teliti. Data yang dihasilkan dari
UAV berupa foto udara yang kemudian akan diolah menjadi orthofoto, DSM (Digital
Surface Model) dan DTM (Digital Terrain Model). Untuk penentuan ROW (Right Of
Way) jalur perencanaan SUTET yang memiliki kriteria tertentu seperti ruang bebas
dan jarak bebas minimum secara horizontal dapat digunakan orthofoto karena
memiliki tingkat kedetailan visual yang tinggi. Sedangkan untuk memenuhi ruang
bebas dan jarak minimum secara vertikal digunakan DSM yang memiliki nilai
ketinggian dari pohon maupun bangunan pada area perencanaan sebagai acuan dan
data DTM yang memiliki nilai ketinggian tanah saja dapat digunakan untuk acuan
penentuan lokasi menara SUTET didirikan. Sehingga dapat menentukan lokasi
perencanaan SUTET sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hasil orthofoto yang
memiliki data koordinat X,Y serta DEM yang memiliki data X, Y, Z dilakukan
validasi dengan data yang memiliki ketelitian lebih tinggi yaitu dengan menggunakan
ICP (Independent Check Point) hasil ukuran GPS metode statik untuk mengetahui
perbedaan data yang dihasilkan.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa, hasil orthofoto maupun DEM
dapat digunakan untuk perencanaan penentuan lokasi titik SUTET sesuai dengan
peraturan ruang bebas dan jarak minimum yang berlaku dengan nilai RMSE
horizontal untuk orthofoto sebesar 0,158 meter dan RMSE vertikal dari DEM 0,201
meter. Dengan hasil pada penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan
pihak terkait untuk mengaplikasikan UAV untuk perencanaan jalur SUTET yang
lebih cepat dibanding dengan pengukuran langsung ke lapangan yang membutuhkan
waktu lebih lama. Sehingga dapat membuat perencanaan yang lebih cepat dan
berakibat pada proses pembangunan yang lebih cepat untuk mengimbangi kebutuhan
konsumen yang semakin meningkat.

Kata Kunci : DSM, DTM, Listrik, SUTET, UAV

9
ABSTRACT
The growth of national electricity consumption is getting higher with the
increase of population and national economic. This increase in electricity demand is
expected to grow with an average growth of 6.5% per year until 2020. One of PLN's
efforts as provider in the electricity sector in Indonesia to equal the electricity
demand is to build SUTET for the distribution of electricity from a power source to
the substation.
In this case, UAV will be incorporated in the planning process of determining
SUTET lines in accordance with prevailing regulations and combined with GPS
survey to produce accurate coordinate data. The data generated from the UAV in the
form of aerial photography which will be processed into orthophoto, DSM (Digital
Surface Model) and DTM (Digital Terrain Model). For the determination of the ROW
(Right Of Way) of the SUTET planning path which has certain criteria such as free
space of horizontal minimum distance can be used orthophoto because it has a high
level of visual detail. Meanwhile, to fulfill the free space and minimum distance
vertically used DSM which has the height value of trees and buildings in the planning
area as a reference and DTM data has a value height of bare earth can be used for
reference determination of tower location established SUTET. So it can determine
the location of SUTET planning in accordance with the applicable regulations.
Product of orthophoto which have coordinate X, Y data and DEM which have X, Y,
Z coordinate data will be validated with higher accuracy data using ICP
(Independent Check Point) from GPS survey static method.
The results in this case indicate that orthophoto and DEM can be used for
planning the determination of the location of the SUTET in accordance with the free
space regulation and the minimum distance applicable with the horizontal RMSE
value for orthofoto of 0.158 meters and the vertical RMSE of DEM 0.201 meters. The
results of this case are expected to be considered by related parties to apply UAV for
faster SUTET planning than terestrial which takes longer time. So it can make the
planning faster and result in a faster development process to fulfill the increasing
needs of consumers.

Keywords : DSM, DTM, Electricity, SUTET, UAV

1
0
DAFTAR ISI
HALAMAN PERNYATAAN.................................................................................iii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................................. vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI..........................viii
ABSTRAK ............................................................................................................... ix
ABSTRACT .............................................................................................................. x
DAFTAR ISI............................................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. xv
DAFTAR TABEL.................................................................................................. xix
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xxi
PENDAHULUAN .................................................................................... 1
I.1 Latar Belakang........................................................................................... 1
I.2 Rumusan Masalah...................................................................................... 2
I.3 Batasan Penelitian...................................................................................... 3
I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................. 3
I.4.1 Tujuan penelitian ........................................................................... 3
I.4.2 Manfaat penelitian ......................................................................... 4
I.5 Ruang Lingkup Penelitian ......................................................................... 4
I.5.1 Wilayah penelitian ......................................................................... 4
I.5.2 Alat dan data penelitian ................................................................. 5
I.6 Metodologi Penelitian................................................................................ 7
I.7 Sistematika Penulisan Laporan.................................................................. 7
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 10
II.1 Kajian Penelitian Terdahulu .................................................................... 10
II.2 Gambaran Umum Kondisi Wilayah Penelitian ....................................... 12
II.3 Fotogrammetri Rentang Dekat ................................................................ 14
II.4 Foto Udara ............................................................................................... 17
II.4.1 Perencanaan foto udara ................................................................ 18
II.4.2 Kesalahan pada foto udara ........................................................... 20

1
1
II.4.3 Orthofoto...................................................................................... 21
II.4.4 Rektifikasi .................................................................................... 22
II.5 GCP (Ground Control Point) dan ICP (Independent Check Point) ........ 22
II.6 UAV (Unmanned Aerial Vehicle) ........................................................... 23
II.6.1 UAV Secara Umum ..................................................................... 23
II.6.2 DJI Phantom 4 ............................................................................. 25
II.7 DEM (Digital Elevation Model).............................................................. 27
II.8 GPS (Global Positioning System)............................................................ 28
II.8.1 GPS secara umum ........................................................................ 28
II.8.2 Strenght Of Figure (SOF) ............................................................ 30
II.9 Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) .................................. 31
II.9.1 Pengertian SUTET ....................................................................... 31
II.9.2 SUTET sebagai sistem jaringan energi listrik ............................. 32
II.9.3 Komponen sistem transmisi energi listrik ................................... 33
II.9.4 Andongan (Sag) ........................................................................... 35
II.9.4 Dampak SUTET terhadap lingkungan sekitar ........................... 357
II.10 Kebijakan Ruang Bebas dan Jarak Bebas Minimum SUTET ................. 37
II.11 Peraturan Daerah Kabupaten Semarang No. 6 Tahun 2011 .................... 42
II.12 Uji Statistika ............................................................................................ 43
II.12.1 Uji normalitas Shapiro Wilk ........................................................ 43
II.12.2 Uji korelasi................................................................................... 44
II.12.3 Uji – T berpasangan (Paired T Test) ........................................... 44
II.13 Ketelitian Peta Dasar ............................................................................... 45
II.14 Pix4Dmapper ........................................................................................... 46
TAHAPAN PELAKSANAAN .............................................................. 48
III.1 Tahapan Persiapan ................................................................................... 48
III.1.1 Studi literatur ............................................................................... 48
III.1.2 Penentuan dan perijinan lokasi penelitian ................................... 48
III.1.3 Permohonan data.......................................................................... 49
III.1.4 Persiapan alat ............................................................................... 49
III.1.5 Perencanaan sebaran GCP dan ICP ............................................. 49
III.1.6 Survei pendahuluan...................................................................... 50

xii
III.1.7 Perencanaan penerbangan UAV .................................................. 50
III.2 Tahapan Pelaksanaan............................................................................... 52
III.2.1 Pelaksanaan akuisisi data GPS .................................................... 52
III.2.2 Pelaksanaan akuisisi data foto udara ........................................... 55
III.3 Tahapan Pengolahan................................................................................ 59
III.3.1 Orthofoto...................................................................................... 59
III.3.2 Penapisan ..................................................................................... 68
III.4 Tahapan Pemodelan Jalur SUTET .......................................................... 70
III.4.1 Pemodelan SUTET secara horizontal .......................................... 71
III.4.2 Pemodelan SUTET secara vertikal .............................................. 73
III.5 Tahapan Analisis Ruang Bebas Minimum .............................................. 75
III.5.1 Tahapan analisis ruang bebas minimum horizontal..................... 75
III.5.2 Tahapan analisis ruang bebas minimum. ..................................... 76
III.6 Tahapan Verifikasi Kebijakan Peraturan Daerah .................................... 77
III.7 Tahapan Validasi dan Analisis Ketelitian ............................................... 79
III.7.1 Tahapan uji normalitas data ......................................................... 80
III.7.2 Tahapan uji korelasi..................................................................... 81
III.7.3 Tahapan uji t ................................................................................ 81
III.8 Tahapan Penyajian Peta Hasil Pemodelan............................................... 82
HASIL DAN ANALISIS ....................................................................... 86
IV.1 Hasil dan Analisis Foto Udara ................................................................. 86
IV.2 Hasil dan Analisis Koordinat GCP dan ICP ............................................ 88
IV.3 Hasil dan Analisis Orthofoto ................................................................... 92
IV.4 Hasil dan Analisis DEM .......................................................................... 94
IV.5 Hasil dan Analisis Pemodelan SUTET.................................................... 99
IV.5.1 Hasil dan analisis ruang bebas minimum. ................................. 100
IV.5.2 Hasil dan analisis kelayakan tower ............................................ 108
IV.6 Hasil dan Analisis Verifikasi Pemodelan Terhadap Peraturan Daerah . 109
IV.7 Hasil dan Analisis Uji Statistik.............................................................. 112
IV.7.1 Hasil uji normalitas .................................................................... 112
IV.7.2 Hasil uji korelasi ........................................................................ 112
IV.7.3 Hasil uji t.................................................................................... 113

131
313
IV.7.4 Analisis hasil uji statistik ........................................................... 114
IV.8 Hasil dan Analisis Uji Ketelitian Peta ................................................... 115
KESIMPULAN .................................................................................... 117
V.1 Kesimpulan ............................................................................................ 117
V.2 Saran ...................................................................................................... 117
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 119
LAMPIRAN .......................................................................................................... 123

14
14
DAFTAR GAMBAR

Gambar I-1 Peta rencana pola ruang Kecamatan Ambarawa ................................ 5


Gambar I-2 Diagram alir penelitian ........................................................................ 9
Gambar II-1 Lokasi penelitian .............................................................................. 12
Gambar II-2 Lokasi penelitian .............................................................................. 13
Gambar II-3 Orientasi kamera pada tiga sisi......................................................... 18
Gambar II-4 Konfigurasi foto udara ..................................................................... 18
Gambar II-5 Sidelap .............................................................................................. 19
Gambar II-6 Frontlap............................................................................................ 19
Gambar II-7 Kesalahan foto udara ........................................................................ 21
Gambar II-8 Sistem proyeksi ................................................................................ 21
Gambar II-9 Premark ............................................................................................ 23
Gambar II-10 Jenis- jenis UAV ............................................................................ 24
Gambar II-11 DJI Phantom 4 ................................................................................ 25
Gambar II-12 Produk yang bisa dihasilkan UAV ................................................. 26
Gambar II-13 Perbedaan DTM dan DSM ............................................................ 28
Gambar II-14 SUTET .......................................................................................... 32
Gambar II-15 Sistem jaringan energi listrik.......................................................... 33
Gambar II-16 Menara transmisi ............................................................................ 34
Gambar II-17 Andongan ...................................................................................... 36
Gambar II-18 Desain sag ...................................................................................... 37
Gambar II-19 Ruang bebas SUTET 275 kV dan 500 kV sirkuit ganda................ 41
Gambar III-1 Diagram alir persiapan .................................................................... 48
Gambar III-2 Desain sebaran GCP dan ICP ......................................................... 49
Gambar III-3 Pertampalan misi terbang yang berbelok ........................................ 51
Gambar III-4 Pertampalan misi terbang lurus ...................................................... 51
Gambar III-5 Rencana jalur terbang ..................................................................... 52
Gambar III-6 Tahapan akuisisi data GPS.............................................................. 52
Gambar III-7 Premark yang digunakan ................................................................ 53
Gambar III-8 Pengukuran tinggi alat GPS ............................................................ 54

15
Gambar III-9 Baseline hasil pengolahan dengan Topcon Tools ........................... 55
Gambar III-10 Tahapan akuisisi data foto udara................................................... 55
Gambar III-11 Kalibrasi kompas horizontal ......................................................... 56
Gambar III-12 Kalibrasi kompas vertikal ............................................................. 56
Gambar III-13 Sampel hasil foto udara................................................................. 59
Gambar III-14 Alur pemrosesan Pix4Dmapper .................................................... 59
Gambar III-15 Koordinat dan orientasi kamera yang terbaca pada tiap foto........ 60
Gambar III-16 Parameter initial processing (general).......................................... 61
Gambar III-17 Parameter initial processing (matching) ....................................... 61
Gambar III-18 Parameter initial processing (calibration) .................................... 62
Gambar III-19 Input parameter GCP dan ICP ...................................................... 63
Gambar III-20 Memilih titik GCP secara manual ................................................. 63
Gambar III-21 Point cloud renggang .................................................................... 64
Gambar III-22 Parameter proses point cloud ........................................................ 65
Gambar III-23 Parameter proses point cloud (3D texture mesh) .......................... 65
Gambar III-24 Point cloud padat .......................................................................... 66
Gambar III-25 Hasil 3D mesh ............................................................................... 66
Gambar III-26 Parameter DSM, orthomosaic dan index ...................................... 66
Gambar III-27 Hasil orthomosaik ......................................................................... 67
Gambar III-28 Hasil DSM .................................................................................... 68
Gambar III-29 Klasifikasi ground point ............................................................... 69
Gambar III-30 Hasil klasifikasi ground point ....................................................... 69
Gambar III-31 Hasil filtering ................................................................................ 70
Gambar III-32 Diagram alir tahapan pemodelan SUTET ..................................... 70
Gambar III-33 Lingkaran jarak bebas horizontal .................................................. 71
Gambar III-34 Sudut belok tower ......................................................................... 72
Gambar III-35 Sudut belok tower ......................................................................... 72
Gambar III-36 Model jalur SUTET secara horizontal .......................................... 72
Gambar III-37 Lengkungan basic span template 350 m....................................... 73
Gambar III-38 Hasil surface ................................................................................. 74
Gambar III-39 Hasil potongan profil memanjang................................................. 74
Gambar III-40 Desain tower dan sagging ............................................................. 75

xvi
Gambar III-41 Tahapan analisis buffer ruang bebas horizontal ............................ 76
Gambar III-42 Pemodelan secara vertikal............................................................. 76
Gambar III-43 Pemodelan secara horizontal......................................................... 77
Gambar III-44 Hasil buffer pada jalur perencanaan.............................................. 78
Gambar III-45 Hasil sampel plotting jalur rencana SUTET pada peta RTRW .... 79
Gambar III-46 Overlay model jalur SUTET dengan RTRW ................................ 79
Gambar III-47 Atribut luasan area terdampak ROW SUTET .............................. 79
Gambar III-48 Report uji normalitas Shapiro-Wilk .............................................. 81
Gambar III-49 Report hasil Paired Samples Test ................................................. 82
Gambar III-50 Pembagian port layout .................................................................. 82
Gambar III-51 Bidang persamaan pada port pertama........................................... 83
Gambar III-52 Informasi port kedua..................................................................... 83
Gambar III-53 Informasi tepi ................................................................................ 84
Gambar III-54 Informasi SUTET.......................................................................... 84
Gambar III-55 Hasil akhir peta ............................................................................. 85
Gambar IV-1 Hasil akuisisi data foto udara.......................................................... 86
Gambar IV-2 Tingkat visualisasi hasil foto udara ................................................ 87
Gambar IV-3 Hasil pengecekan foto udara........................................................... 88
Gambar IV-4 Sebaran GCP dan ICP pada jalur terbang....................................... 88
Gambar IV-5 Grafik RMS pengolahan GPS......................................................... 91
Gambar IV-6 Elips kesalahan pengamatan GPS................................................... 91
Gambar IV-7 Hasil point cloud renggang ............................................................. 92
Gambar IV-8 Jumlah pertampalan foto pada pemrosesan .................................... 94
Gambar IV-9 Orthofoto hasil pengolahan............................................................. 94
Gambar IV-10 Hasil DSM yang terbentuk ........................................................... 95
Gambar IV-11 DTM hasil filtering ....................................................................... 95
Gambar IV-12 Perbedaan visual DSM dan DTM ................................................. 96
Gambar IV-13 Sampel perbedaan tinggi permukaan DSM dan DTM ................. 96
Gambar IV-14 Sampel area surface difference ..................................................... 97
Gambar IV-15 Lokasi sebaran titik SUTET ......................................................... 99
Gambar IV-16 Pemodelan menara T.01- T.02.................................................... 101
Gambar IV-17 Pemodelan menara T.02- T.03.................................................... 101

xvii
Gambar IV-18 Pemodelan menara T.03- T.04.................................................... 102
Gambar IV-19 Jarak objek berbahaya pada menara T.04................................... 102
Gambar IV-20 Pemodelan menara T.04- T.05.................................................... 103
Gambar IV-21 Pemodelan menara T.05- T.06.................................................... 103
Gambar IV-22 Jarak objek berbahaya dari menara T.06 model vertikal ............ 104
Gambar IV-23 Jarak objek berbahaya dari menara T.06 model horizontal ........ 104
Gambar IV-24 Objek berbahaya yang terlihat .................................................... 105
Gambar IV-25 Jarak objek berbahaya ke ruang bebas........................................ 105
Gambar IV-26 Pemodelan menara T.06- T.07.................................................... 106
Gambar IV-27 Pemodelan menara T.07- T.08.................................................... 106
Gambar IV-28 Pemodelan menara T.08- T.09.................................................... 107
Gambar IV-29 Peta RTRW lokasi penelitian...................................................... 109
Gambar IV-30 Overlay peta RTRW dan ROW SUTET..................................... 111

181
818
18
DAFTAR TABEL

Tabel I-1 Alat yang digunakan................................................................................ 5


Tabel II-1 Kajian penelitian terdahulu .................................................................. 10
Tabel II-2 Luas wilayah dan penggunaan lahan Kecamatan Ambarawa 2015 ..... 13
Tabel II-3 Perbedaan fotogrammetri udara dan fotogrammetri rentang dekat ..... 16
Tabel II-4 Perbedaan fotogrammetri udara dan fotogrammetri rentang dekat ..... 16
Tabel II-5 Spesifikasi Phantom DJI 4 ................................................................... 25
Tabel II-6 Selang waktu pengamatan baseline GPS ............................................. 30
Tabel II-7 Daftar konduktor yang dipergunakan untuk SUTT dan SUTET ........ 34
Tabel II-8 Luasan tapak tower SUTET 500 kV .................................................... 37
Tabel II-9 Jarak bebas minimum vertikal pada konduktor ................................... 40
Tabel II-10 Jarak bebas minimum horizontal ....................................................... 42
Tabel II-11 Tingkat korelasi ................................................................................. 44
Tabel II-12 Ketelitian geometri peta RBI ............................................................ 45
Tabel II-13 Ketentuan Ketelitian Geometri Peta RBI Berdasarkan Kelas ........... 46
Tabel III-1 Jalur terbang yang digunakan. ............................................................ 57
Tabel III-2 Variabel uji normalitas ....................................................................... 80
Tabel IV-1 Koordinat GCP dan ICP hasil pengolahan ......................................... 88
Tabel IV-2 Report pengolahan GPS ..................................................................... 89
Tabel IV-3 Report RMSE GCP............................................................................. 92
Tabel IV-4 Report RMSE ICP .............................................................................. 93
Tabel IV-5 Perbandingan elevasi pada DSM dan DTM ....................................... 98
Tabel IV-6 Validasi ICP........................................................................................ 99
Tabel IV-7 Koordinat lokasi perencanaan SUTET ............................................. 100
Tabel IV-8 Hasil analisis ruang bebas minimum vertikal dan horizontal........... 107
Tabel IV-9 Tipe tower yang digunakan .............................................................. 108
Tabel IV-10 Nilai rasio tower ............................................................................. 108
Tabel IV-11 Validasi peta RTRW lokasi penelitian ........................................... 110
Tabel IV-12 Luasan ROW SUTET ..................................................................... 111
Tabel IV-13 Hasil uji normalitas......................................................................... 112
Tabel IV-14 Hasil uji korelasi koordinat X orthofoto dengan ICP ..................... 112

19
19
Tabel IV-15 Hasil uji korelasi koordinat Y orthofoto dengan ICP ..................... 113
Tabel IV-16 Hasil uji korelasi koordinat Z orthofoto dengan ICP ..................... 113
Tabel IV-17 Hasil uji t ........................................................................................ 114
Tabel IV-18 Hasil penentuan kelas peta ............................................................. 116

20
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Lembar asistensi .......................................................................... A-1


Lampiran B Hitungan kekuatan jaringan ......................................................... B-1
Lampiran C Form pengamatan GPS ................................................................ C-1
Lampiran D Report pengolahan Pix4D............................................................ D-1
Lampiran E Perhitungan sagging......................................................................E-1
Lampiran F Peta orthofoto ................................................................................ F-1
Lampiran G Peta DSM dan DTM .................................................................... G-1
Lampiran H Peta lokasi perencanaan SUTET ................................................. H-1
Lampiran I Overlay ROW dengan peta RTRW ................................................ I-1
Lampiran J Layout model jalur SUTET ...........................................................J-1

21
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Tingkat konsumsi listrik penduduk Indonesia terus meningkat setiap tahunnya
sejalan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional. Peningkatan kebutuhan
listrik ini diperkirakan akan terus tumbuh dengan rata-rata pertumbuhan
6,5% per tahun hingga tahun 2020. Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik
(RUPTL) PT. PLN (Persero) tahun 2010-2019 menyebutkan, kebutuhan listrik
diperkirakan mencapai 55.000 MW, jadi rata-rata peningkatan kebutuhan listrik
pertahun adalah 5.500 MW, dari total daya tersebut, sebanyak 32.000 MW (57%)
dibangun sendiri oleh PLN, sedangkan sisanya yakni 23.500 MW akan dipenuhi
oleh pengembang listrik swasta.
Perusahaan Listrik Negara (PLN) merupakan perusahaan yang bergerak
dibidang ketenagalistrikan di Indonesia, dalam upaya memenuhi kebutuhan tenaga
listrik, maka dibangun sistem jaringan terpadu meliputi pembangkit tenaga listrik
serta membangun sistem transmisi dari pusat pembangkit ke gardu induk berupa
Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) dan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi
(SUTET). Selama ini, pemilihan jalur SUTT maupun SUTET diusahakan oleh PLN
tidak melintas daerah pemukiman, hutan lindung maupun cagar alam, namun
mengingat tidak semua jalur kelistrikan dapat dibangun pada area yang bebas
gangguan dimana banyak terdapat dibeberapa daerah seperti kota besar. Oleh karena
itu, PLN memiliki peraturan untuk menjaga kemanan dan kenyamanan penduduk
sekitar menara berupa Peraturan Menteri ESDM Nomor 18 Tahun 2015 tentang
ruang bebas dan jarak bebas minimum pada saluran udara tegangan tinggi, saluran
tegangan ekstra tinggi untuk penyaluran tenaga listrik.
Pada 2013, Kentjana melakukan penelitian tentang pemetaan topografi untuk
perencanaan jalur migas dengan metode fotogrammetri berbasis wahana udara
tanpa awak (UAV). Pada penelitian tersebut menghasilkan peta topografi skala
1:1000 dari wilayah perencanaan jalur migas. Sehingga memunculkan gagasan
bahwa UAV dapat digunakan untuk proses perencanaan penentuan jalur SUTET

1
sesuai dengan peraturan yang berlaku dan dikombinasikan dengan survei GPS
untuk menghasilkan data koordinat yang teliti.
Data yang dihasilkan dari UAV berupa foto udara yang kemudian akan diolah
menjadi orthofoto, DSM (Digital Surface Model) dan DTM (Digital Terrain
Model). Untuk penentuan ROW (Right Of Way) jalur perencanaan SUTET yang
memiliki kriteria tertentu seperti ruang bebas dan jarak bebas minimum secara
horizontal dapat digunakan orthofoto karena memiliki tingkat kedetailan visual yang
tinggi. Sedangkan untuk memenuhi ruang bebas dan jarak minimum secara vertikal
digunakan DSM yang memiliki nilai ketinggian dari pohon maupun bangunan pada
area perencanaan sebagai acuan dan data DTM yang memiliki nilai ketinggian tanah
saja dapat digunakan untuk acuan penentuan lokasi menara SUTET didirikan.
Sehingga dapat menentukan lokasi perencanaan SUTET sesuai dengan peraturan
yang berlaku.
Penelitian ini bertujuan mengaplikasikan fotogrammetri UAV dalam proses
perencanaan jalur transmisi SUTET yang lebih cepat dibanding dengan pengukuran
langsung ke lapangan yang membutuhkan waktu lebih lama. Sehingga dapat
membuat perencanaan yang lebih cepat dan berakibat pada proses pembangunan
yang lebih cepat untuk mengimbangi kebutuhan konsumen yang semakin
meningkat.

I.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka diangkat
perumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tingkat kesesuaian hasil model perencanaan pengembangan jalur
transmisi SUTET terhadap Peraturan Menteri ESDM NO. 18 Tahun 2015?
2. Bagaimana hasil verifikasi model perencanaan terhadap peta RTRW, dan
peraturan Pemerintah Daerah ditinjau dari aspek zonasi?
3. Bagaimana kualitas hasil orthofoto dan DEM berdasarkan uji statistik dan
orde ketelitian peta?

2
I.3 Batasan Penelitian
Ruang lingkup pada penelitian ini adalah:

1. SUTET yang digunakan dalam penelitian adalah SUTET 500 kV sirkuit


ganda.
2. Panjang jalur perencanaan SUTET sepanjang 3,2 km dengan menggunakan
GCP berjumlah 5 titik yang menyebar dengan jarak antar GCP tidak melebihi
1 km.
3. Penentuan jalur berdasarkan data survei yang didapat, dalam pengambilan
keputusan berpedoman pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 18 Tahun
2015 Tentang Ruang Bebas dan Jarak Bebas Minimum Pada SUTT, SUTET
Untuk Penyaluran Tenaga Listrik.
4. Verifikasi dilakukan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Semarang Nomor
6 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Semarang
tahun 2011-2013 mengenai aspek zonasi serta menggunakan peta RTRW
Kabupaten Semarang untuk mengetahui dampak terhadap rencana tata ruang
wilayah lokasi perencanaan.
5. Pengujian ketelitian peta dengan menggunakan acuan PERKA BIG Nomor
15 Tahun 2014 Tentang Pedoman Teknis Ketelitian Peta Dasar dengan
menggunakan sebaran titik ICP di awal, tengah dan akhir jalur perencanaan.
6. Uji Statistika dilakukan dengan uji distribusi normal dan uji t.
7. Hasil penelitian ini berupa peta perencanaan jalur SUTET skala 1: 10.000.

I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian


I.4.1 Tujuan penelitian
1. Membuat model perencanaan pengembangan jalur transmisi SUTET sesuai
dengan Peraturan Menteri ESDM No. 18 Tahun 2015.
2. Memverifikasi hasil model perencanaan terhadap peta RTRW, dan Peraturan
Daerah yang berlaku.
3. Menguji hasil orthofoto dan DEM menggunakan sebaran titik- titik ICP
dengan uji statistika dan ketelitian peta yang dihasilkan.

3
I.4.2 Manfaat penelitian
Manfaat penelitian ini dapat dilihat dari dua aspek yakni aspek keilmuan dan
aspek rekayasa. Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Aspek keilmuan
Memberikan kontribusi bagi ilmu fotogrammetri untuk mengaplikasikan
UAV fotogrammetri dalam pembuatan peta rencana.
2. Aspek Rekayasa
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai salah satu referensi untuk membuat
perencanaan jalur SUTET yang sesuai dengan Peraturan Menteri No. 18
Tahun 2015.

I.5 Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup penelitian terdiri dari wilayah penelitian dan data yang
digunakan. Wilayah penelitian mendeskripsikan mengenai lokasi penelitian
sedangkan data penelitian menjelaskan mengenai data yang digunakan dalam
penelitian.
I.5.1 Wilayah penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Kecamatan Ambarawa. Kecamatan
Ambarawa merupakan salah satu Kecamatan yang berada pada Kabupaten
Semarang. Secara geografis Kecamatan Ambarawa berada pada koordinat
7˚14’39,48” LS dan 110˚22’45,8” BT sampai 7˚16’27,84” LS dan 110˚25’12,7” BT
dengan luas sebesar 28,22 km2. Kabupaten Ambarawa berbatasan dengan:
• Sebelah Utara : Kecamatan Bandungan dan Kecamatan Bawen
• Sebelah Timur : Kecamatan Bawen dan Rawa Pening
• Sebelah Selatan : Kecamatan Banyubiru
• Sebelah Barat : Kecamatan Bandungan dan Kecamatan Jambu
Untuk mengetahui Gambaran administrasi Kecamatan Ambarawa dapat
dilihat pada Gambar I-1.

4
Gambar I-1 Peta rencana pola ruang Kecamatan Ambarawa (Peta digital Bappeda, 2011)
I.5.2 Alat dan data penelitian
a. Alat penelitian.
Tabel I-1 Alat yang digunakan
Alat Jumlah Keterangan
GPS Geodetik Hiper SR 3 Instrumen receiver survei GPS.
Statif 3 Tempat berdiri GPS.
Pita ukur 3 Mengukur tinggi receiver GPS.
Dji Phantom 4 Instrumen pesawat pemotretan
1
foto udara.
Battery 10 Sumber energi pesawat.
Propeller 4 Sebagai baling- baling pesawat.
Remote control (RC) Mengoperasikan pesawat dari
1
jarak jauh.
Smarthphone Untuk menjalankan aplikasi DJI
1
Go dan Pix4D.
Laptop Untuk pemrosesan data
1 orthofoto, DEM, DTM dan
pemodelan jalur.

5
b. Software penelitian.
Tabel I-2 Software yang digunakan

Software Keterangan
PC- CDU Software untuk mengunduh data dari receiver GPS.
Topcon Tools Software untuk pengolahan data koordinat GPS.
DJI Go Software untuk melakukan kalibrasi RC, kompas
dan gymbal pada pesawat.
Ctrl+DJI Software menghubungkan pesawat dengan
Pix4Dcapture.
Pix4Dcapture Software untuk pembuatan rencana terbang.
Pix4Dmapper Software untuk mengolah foto udara.
Global Mapper Software untuk melakukan filtering DEM.
AutoCAD Civil 3D 2017 Software untuk pengolahan profil memanjang.
ArcGIS Software untuk pembuatan peta.
SPSS Software untuk perhitungan statistika.

c. Data penelitian.
Tabel I-3 Data penelitian

No Jenis Data Tahun Sumber Data Keterangan


Data berupa foto udara
hasil survei menggunakan
1 Foto Udara 2017 Primer UAV pada tanggal 30 Mei
2017 dengan ukuran 4000
x 3000 piksel tiap foto.
Cors CSEM digunakan
sebagai titik referensi yang
diketahui koordinatnya
Data CORS Badan Informasi
2 2017 untuk menentukan
CSEM BIG Geospasial
koordinat GCP dan ICP
dengan akuisisi pada
tanggal 30 Mei 2017.

6
Tabel I-3 Data penelitian (lanjutan)
No Jenis Data Tahun Sumber Data Keterangan
Data GCP digunakan untuk
proses orthofoto dan
3 Data GCP 2017 Primer rektifikasi foto udara
dengan akuisisi pada
tanggal 30 Mei 2017.
Peta RTRW yang
Bappeda dan digunakan memiliki skala
4 Peta RTRW 2015 Dinas Pekerjaan 1:25.000 sebagai verifikasi
Umum terhadap jalur yang telah
dibuat.

I.6 Metodologi Penelitian


Terkait metodologi penelitian, penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahapan
yang dapat dilihat pada Gambar I-2.

I.7 Sistematika Penulisan Laporan


Sistematika penulisan laporan penelitian ini diharapkan dapat memberikan
Gambaran dari struktur laporan agar lebih jelas dan terarah. Adapun
sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini membahas mengenai latar belakang, rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian di mana manfaat penelitian membahas
dari segi aspek keilmuan dan kerekayasaan, ruang lingkup penelitian
yang terdiri dari lokasi penelitian, data penelitian dan perangkat
lunak yang digunakan dalam penelitian, metodologi penelitian, dan
sistematika laporan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini membahas mengenai tinjauan pustaka yang terkait dengan
penelitian, yaitu kajian penelitian terdahulu, gambaran umum
kondisi wilayah penelitian, fotogrammetri rentang dekat, foto udara,
UAV, DEM, GPS, SUTET, kebijakan tata ruang nasional jaringan

7
listrik, peraturan daerah Kabupaten Semarang, kebijakan ruang
bebas dan jarak minimum SUTET, uji statistika, ketelitian peta
dasar, Pix4Dmapper.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


Bab ini membahas mengenai metode serta prosedur penelitian, yaitu
tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan, tahapan pengolahan
orthofoto dan filtering, tahapan pemodelan jalur SUTET, tahapan
analisis ruang bebas dan jarak bebas minimum, tahapan verifikasi
kebijakan peraturan daerah, tahapan validasi dan analisis ketelitian,
tahapan penyajian peta.

BAB IV HASIL DAN ANALISIS


Bab ini berisi tentang hasil dari foto udara, akuisisi data koordinat
GPS, pengolahan orthofoto, DEM, DTM, analisis ruang bebas dan
jarak bebas minimum hasil pemodelan jalur SUTET yang dibuat,
analisis verifikasi peraturan daerah yang berkaitan dengan zonasi
SUTET, hasil uji statistik dan uji ketelitian peta yang dihasilkan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


Bab ini membahas mengenai kesimpulan yang penulis dapatkan
selama penelitian yang berisikan jawaban dari rumusan masalah, dan
saran yang penulis dapatkan dari hasil penelitian.

8
Ya

Gambar I-2 Diagram alir penelitian

9
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Kajian Penelitian Terdahulu


Berikut adalah kajian penelitian terdahulu yang menjadi referensi bagi
penulis dalam melakukan penelitian ini.
Tabel II-1 Kajian penelitian terdahulu
No Nama Tahun Judul Keterangan
1. Dilian 2013 Fotogrammetri Penelitian ini dilakukan
Satyagama Berbabasis Wahana untuk pembuatan DTM
Udara Tanpa Awak dari data foto udara
(Unmanned Aerial dengan UAV dengan
Vehicle) Untuk metode filtering SMRF
Pembuatan DTM dan Slope.
Lanskap Sekitar
Sungai Ciliwung
Wilayah Ciawi Jawa
Barat.
2. Arina Nada 2013 Pemetaan Topografi Penelitian ini dilakukan
Kentjana Untuk Rencana Jalur untuk memetakan
Pipa Migas Dengan topografi daerah yang
Metode Fotogrammetri akan direncanakan
Berbasis Wahana sebagai jalur pipa migas
Udara Tanpa Awak dengan menggunakan
(UAV). UAV.

3. Alfian Adi 2015 Deteksi Objek Penelitian ini


Atmaja Berbahaya Dan dilaksanakan untuk
Pemodelan 3D mengetahui objek
Jaringan Kelistrikan berbahaya di sekitar
Menggunakan jaringan listrik dari
Teknologi Lidar. pemodelan 3D dengan
LiDAR.

10
Tabel II-1 Kajian penelitian terdahulu (lanjutan)

No Nama Tahun Judul Keterangan


4. Hanif Arafah 2016 Analisis Ketelitian Penelitian ini dilakukan
Mustofa Planimetrik Orthofoto untuk menguji ketelitian
Pada Topografi orthofoto hasil dari UAV
Perbukitan dan Datar berdasarkan kuantitas
Berdasarkan Kuantitas titik kontrol tanah
Titik Kontrol Tanah

5. Thoriq Fajar 2016 Analisis Deformasi Penelitian ini dilakukan


Setiawan Dan Volumetrik dengan menggunakan
Menggunakan Metode UAV untuk mengamati
Pengamatan 3D deformasi dan volumetric
Unmanned Aerial dengan pemodelan 3D
Vehicle (UAV)

Satyagama (2013) melakukan penelitian untuk menurunkan data dari data


DSM hasil dari foto udara dengan UAV menjadi data DTM (filtering) dengan
membandingkan filtering secara otomatis dan manual. Pada filtering manual
melibatkan proses penentuan tie point secara manual hingga proses stereoplotting.
Proses filtering otomatis dengan metode SMRF dan Slope Based dengan software
Matlab dan SAGA GIS, sedangkan filtering manual dengan menggunakan software
Summit Evolution. Hasil dari penelitian didapatkan bahwa filtering dengan metode
SMRF menghasilkan ketelitian yang lebih tinggi dibanding dengan metode lain
yang diuji.
Kentjana (2013) melakukan penelitian dengan memetakan topografi daerah
yang akan dibangun jalur pipa migas dengan menggunakan UAV. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui sejauh manakah kemampuan UAV dalam
menghasilkan informasi geometri peta untuk pemetaan jalur pipa migas dan menguji
kemampuan skala peta yang dihasilkan dari UAV dengan validasi data berupa data
ukuran terestris. Dari penelitian ini data DSM dari UAV dilakukan filtering dengan
metode SMRF dan Slope Based mampu menghasilkan peta topografi dengan skala
1:1.000.
Adiatmaja (2015) melakukan penelitian berjudul deteksi objek berbahaya dan
pemodelan 3D jaringan kelistrikan menggunakan teknologi lidar. Penelitian ini
bertujuan untuk mendeteksi objek berbahaya yang berada di sekitar jaringan listrik

11
seperti pohon ataupun bangunan dengan menggunakan data point cloud lidar
berdasarkan ruang bebas vertikal dan horizontal. Sebelum mendapatkan objek
berbahaya terlebih dahulu dilakukan klasifikasi berdasarkan objek kelas.
Mustofa (2016) melakukan penelitian untuk mengetahui tingkat ketelitian
planimetrik orthofoto yang dihasilkan dari UAV berdasarkan tingkat kuantitas dari
titik kontrol tanah. Pada penelitian ini dibuat beberapa model desain titik kontrol
tanah yaitu menyebar dan merapat dan masing-masing diuji dengan menggunakan
jumlah titik kontrol tanah sebanyak 5 dan 10.
Setiawan (2016) melakukan penelitian deformasi dan volumetrik Brown
Canyon dengan menggunakan data foto udara multi temporal dari UAV. Penelitian
ini bertujuan untuk mengamati deformasi dengan menggunakan data DEM yang
dianalisis volumenya. Nilai deformasi didapatkan dari perbedaan volume dari hasil
DEM multi temporal. Data DEM divalidasi dengan menggunakan data ukuran total
station dengan menggunakan sampel daerah halus dan daerah kasar. Dan didapatkan
RMS yang memenuhi dalam pembuatan peta dengan skala 1:1.000.

II.2 Gambaran Umum Kondisi Wilayah Penelitian


Pada penelitian ini lokasi titik awal perencanaan jalur ini berada di titik awal
tepatnya di Desa Tambakjoyo Kecamatan Ambarawa pada koordinat 7˚16’1,39”
LS dan 110˚25’ 17,71” BT dan berakhir di Desa Pojoksari Kecamatan Ambarawa
pada koordinat 7˚16’24,64” LS dan 110˚23’35,46” BT. Untuk lebih jelas, akan
disajikan pada Gambar II-1 dan II-2.

Gambar II-1 Lokasi penelitian (Google Earth, 2017)


Gambar II-2 Lokasi penelitian

Kondisi topografi daerah penelitian tergolong datar, memiliki ketinggian


paling kecil 486 meter sedangkan paling tinggi berada pada 496 meter di atas
elipsoid, dengan jarak 3,2 kilometer. Sedangkan untuk tata guna lahan daerah
penelitian didominasi oleh area persawahan dan pemukiman. Untuk mengetahui
luas wilayah dan penggunaan lahan pada Kecamatan Ambarawa dapat dilihat pada
Tabel II-2.
Tabel II-2 Luas wilayah dan penggunaan lahan Kecamatan Ambarawa 2015
(BPS, 2016)
Pertanian Bukan Luas
Desa/
No Sawah Bukan Sawah Pertanian Wilayah
Kelurahan
(Ha) (Ha) (Ha) (Ha)
1 Ngampin 137,37 69,52 97,01 303,90
2 Pojoksari 142,60 15,92 143,49 302,01
3 Bejalen 81,46 2,84 386,75 471,05
4 Tambakboyo 101,12 4,28 83,61 189,00
5 Kupang 90,76 3,79 94,46 189,01
Tabel II-2 Luas wilayah dan penggunaan lahan Kecamatan Ambarawa 2015
(lanjutan)
6 Lodoyong 48,87 6,35 57,98 113,20
7 Kranggan 4,30 2,80 15,90 23,00
8 Panjang 99,33 18,04 91,73 209,10
9 Pasekan 79,32 523,71 155,94 758,97
10 Baran 164,41 18,11 80,38 262,90
Jumlah 959,43 665,37 1.2007,24 2.822,15

II.3 Fotogrammetri Rentang Dekat (Close Range Photogrammetry)


Fotogrammetri dapat didefinisikan sebagai suatu seni, ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk memperoleh informasi yang dapat dipercaya tentang suatu obyek
fisik dan keadaan di sekitarnya melalui proses perekaman, pengamatan atau
pengukuran dan interpretasi citra fotografis atau rekaman gambar gelombang
elektromagnetik (Dipokusumo, 2010). Sedangkan fotogrammetri rentang dekat atau
close range photogrammetry didefinisikan sebagai kegiatan pengukuran suatu objek
dengan menggunakan kamera dalam jarak yang relatif dekat. Penggunaan metode
ini sangat membantu proses pengukuran objek karena dapat dilakukan dengan cepat
dan menghasilkan ketelitian yang tinggi. Untuk hasil maksimal, dalam
pelaksanaannya harus diperhatikan semua aspek fotogrammetri baik dimulai dari
besar sudut pengambilan antar titik yang terkait langsung dengan pertampalan antar
citra, hingga fokus kamera yang digunakan (Irawan, 2012).
Pada fotogrammetri, posisi dari sebuah objek pada ruang didefinisikan pada
sistem koordinat kartesian 3D. Pada awalnya, objek terdefinisi pada sistem
koordinat berkas. Kemudian dilakukan transformasi koordinat untuk mendapatkan
koordinat objek pada sistem koordinat tanah. Antara kedua sistem koordinat itu
terdapat perbedaan orientasi dan skala, sehingga transformasi koordinat terdiri dari
translasi, rotasi dan perubahan skala (Ismail, 2009).
Menurut Atkinson (1980) beberapa kelebihan lain dari teknik fotogrammetri
rentang dekat ini antara lain:
1. Fotogrammetri rentang dekat merupakan metode yang tidak memerlukan
kontak langsung dengan objek, sehingga pengukuran dapat dilakukan
walaupun akses langsung tidak memungkinkan. Cakupan dapat berupa
keseluruhan objek maupun sebagian dari objek yang diteliti.
2. Akuisisi data dengan menggunakan fotogrammetri dapat dilakukan dengan
cepat.
3. Repetisi untuk evaluasi selalu dimungkinkan.
4. Fotogrammetri merupakan teknik yang sangat baik jika metode lain tidak
memungkinkan dilakukan atau tidak efektif dan efisien mengingat
aksesibilitas objek yang diukur, biaya, atau kendala lainnya.
Sedangkan kekurangan dari teknologi fotogrammetri rentang dekat menurut
Leitch (2002) antara lain:
1. Hasil ukuran tidak dapat diperoleh secara langsung mengingat perlu
dilakukan pengolahan dan evaluasi.
2. Pengolahan data yang relatif lama.
3. Kesalahan selama pengambilan dan pengolahan foto dapat menyulitkan
Pekerjaan
Pada perkembangannya metode fotogrammetri rentang dekat terus mengalami
kemajuan dengan memanfaatkan kamera yang terdapat pada UAV. UAV
merupakan wahana yang dapat melaksanakan pekerjaan fotogrammetri, yang
beroperasi dengan cara dikendalikan dari jarak jauh, semi-otonom atau otonom,
tanpa pilot yang berada di dalam wahana. Wahana ini dilengkapi dengan sistem
fotogrammetri yaitu kamera dalam ukuran kecil. Tidak terbatas hanya pada sensor
kamera, pada wahana ini juga bisa dipasang sensor video atau kamera video, sistem
kamera termal atau inframerah. Saat UAV standar memungkinkan pelacakan posisi
(tracking positioning) dan orientasi sensor diimplementasikan dalam sistem
koordinat lokal atau global. Oleh karena itu, UAV dapat dipahami sebagai alat
pengukuran baru fotogrammetri. UAV dapat digunakan untuk berbagai aplikasi
baru dalam rentang domain dekat, menggabungkan udara dan darat fotogrammetri,
tetapi juga memperkenalkan aplikasi real time dan sebagai alternatif untuk
fotogrammetri dengan pesawat udara berawak (Eisenbeiss, 2009). Untuk mengetahui
perbedaan- perbedaan aerial photogrammetry dan close range photogrammetry
akan dapat dilihat pada Tabel II-3 dan II-4.
Tabel II-3 Perbedaan fotogrammetri udara dan fotogrammetri rentang dekat
(Eisenbeiss, 2009).

Aerial Close Range

Perencanaan semi otomatis manual

Akuisisi data manual otonom/manual

Luas area km2 mm2 - m2

Resolusi spasial
cm – m mm - dm
foto

Jarak ke objek 100 m - 10 km cm - 300 m

Akurasi cm – dm mm - m

Jumlah foto
10 – 1000 1 - 500
yang dibutuhkan

Daerah berskala besar


Area dan objek berskala
(Pemetaan,
kecil (Pemetaan,
Penggunaan Kehutanan,
dokumentasi arkeologi,
Glasiologi, Pemodelan
pemodelan 3D bangunan)
3D-Kota)

Tabel II-4 Perbedaan fotogrammetri udara dan fotogrammetri rentang dekat


(Prasetyo, Y, 2014).

Aerial Close range

Objek memiliki karakteristik spasial. Objek memiliki relief lebih kecil jika
dibandingkan dengan tinggi terbang.

Presisi untuk tiga koordinat sama Persyaratan presisi berbeda untuk


pentingnya. tinggi dan planimetri.

Format terbatas. Seluruh format bisa digunakan.


Tabel II-4 Perbedaan fotogrammetri udara dan fotogrammetri rentang dekat
(lanjutan)

Aerial Close range

Objek bersifat spasial sehingga Fotografi vertikal digunakan secara


memerlukan fotografi dengan berbagai eksklusif.
posisi dan orientasi.

Memungkinkan untuk menargetkan Target hanya pada titik kontrol/ ikat.


semua titik.

Jumlah foto biasanya sedikit. Area yang besar bisa terdiri dari ribuan
foto.

Dimungkinkan untuk menentukan Data memiliki keakuratan yang


parameter kamera secara akurat. terbatas.

II.4 Foto Udara


Fotogrammetri adalah seni, ilmu, dan teknologi untuk memperoleh informasi
terpercaya tentang objek fisik dan lingkungan melalui proses perekaman,
pengukuran, dan interpretasi gambaran fotografik dan pola radiasi energi
elektromagnetik yang terekam (Wolf, 1993). Hasilnya berupa suatu rekaman detail
permukaan bumi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor panjang fokus lensa
kamera, ketinggian terbang pesawat, waktu pemotretan.
Foto udara selanjutnya diklasifikasikan sebagai foto udara vertikal dan foto
udara condong. Foto udara vertikal, yaitu apabila sumbu kamera pada saat
pemotretan dilakukan benar-benar vertikal atau sedikit miring tidak lebih dari 3˚.
Sebagian besar dari foto-foto udara termasuk dalam jenis foto udara vertikal.
Tipe kedua dari foto udara yakni foto udara condong yaitu apabila sumbu foto
mengalami kemiringan antara 3˚ dan 90˚ dari kedudukan vertikal. Jika horizon tidak
tampak, disebut condong atau miring rendah. Jika horizon tampak, disebut condong
tinggi atau sangat miring. Kemudian lebih detail lagi, menurut Wolf orientasi
kamera udara dibagi menjadi tiga yaitu vertikal, agak condong dan sangat condong
sebagaimana ditunjukan pada Gambar II-3 dan II-4.

(a) vertikal (b) agak condong (c) condong


Gambar II-3 Orientasi kamera pada tiga sisi (Wolf, 1993)

(a) vertikal (b) agak condong (c) condong


Gambar II-4 Konfigurasi foto udara (Wolf, 1993)

II.4.1 Perencanaan foto udara


Karena keberhasilan suatu pekerjaan fotogrammetri mungkin lebih
dipengaruhi oleh foto yang kualitasnya baik dari pada oleh pengaruh aspek lain,
maka perencanaan pemotretan merupakan pertimbangan utama. Pada umumnya
rencana penerbangan terdiri dari dua hal yaitu peta jalur terbang dan spesifikasi
yang merupakan pedoman untuk melaksanakan pemotretan. Spesifikasi yang
dimaksud (Wolf, 1993) antara lain:
1. Area
Area merupakan wilayah yang akan dijadikan objek pemotretan udara.
2. Tinggi terbang
Tinggi terbang adalah jarak vertikal antara objek area dengan kamera foto
udara. Semakin tinggi terbangnya maka akan berpengaruh dengan jumlah
foto yang semakin sedikit dan semakin besar nilai ground sampling distance.
Sebaliknya jika jarak semakin kecil maka foto yang dihasilkan menjadi
banyak tetap memiliki resolusi ground sampling distance yang lebih baik
dengan nilai yang mengecil.
3. Sidelap
Sidelap merupakan pertampalan kesamping antar foto yang dihasilkan.
Keuntungan digunakannya tampalan samping yang besar ini ialah
terhindarnya penggunaan bagian paling tepi foto, di mana kualitas fotonya
biasanya kurang baik. Nilai dari sidelap dilambangkan dengan
menggunakan nilai presentase yang semakin tinggi presentasenya akan
berpengaruh pada jumlah foto yang banyak. Sedangkan nilai presentase
yang sedikit berpengaruh pada jumlah foto yang menjadi sedikit. Gambar II-
5 merupakan visualisasi dari sidelap.

Gambar II-5 Sidelap (Hadi, B.S. 2007)

4. Frontlap
Frontlap merupakan pertampalan kemuka. Nilai dari frontlap dilambangkan
dengan menggunakan nilai presentase yang semakin tinggi presentasenya
akan berpengaruh pada jumlah foto yang banyak. Sedangkan nilai presentase
yang sedikit berpengaruh pada jumlah foto yang menjadi sedikit. Gambar II-
6 merupakan visualisasi dari frontlap.

Gambar II-6 Frontlap (Hadi, B.S. 2007)


II.4.2 Kesalahan pada foto udara
Pada umumnya foto udara yang diperoleh dari pemotretan
udara memiliki beberapa sumber kesalahan, sehingga foto udara tersebut tidak
vertikal dengan sempurna, baik kesalahan pemotretan ataupun faktor dari luar
kegiatan pemotretan.
Berikut beberapa kesalahan yang terdapat pada foto udara (Lojoo, 2011):
1. Crab
Crab adalah kesalahan yang terjadi akibat pemasangan kamera yang tidak
sempurna.
2. Drift
Drift adalah kesalahan yang terjadi akibat arah terbang yang tidak sempurna
disebabkan oleh pengaruh angin.
3. Tilt
Tilt adalah kesalahan yang terjadi akibat kemiringan pesawat terbang yang
dipengaruhi oleh angin dari samping.
4. Tip
Tip adalah kesalahan yang terjadi akibat kemiringan pesawat terbang yang
dipengaruhi oleh angin dari depan atau belakang.
5. Kesalahan akibat penyusutan atau pengembangan bahan fotografi baik film
maupun kertas foto.
6. Kesalahan yang terjadi adanya distorsi lensa kamera udara.
7. Kesalahan yang terjadi akibat adanya pengaruh refraksi atmosfer.
8. Kesalahan yang terjadi akibat akibat pengaruh kelengkungan bumi.
Untuk mengetahui gambaran mengenai penyebab kesalahan foto udara dapat
dilihat pada Gambar II-7.

(a) drift (b) tilt


(c) tip

Gambar II-7 Kesalahan foto udara (Bäumker, M. dan Heimes F. J., 2001)
II.4.3 Orthofoto
Foto yang dihasilkan dari UAV adalah foto udara yang masih mengandung
distorsi yang disebabkan sistem proyeksi foto udara yang masih perspektif sehingga
foto udara belum bisa dijadikan untuk pengukuran karena tidak mempunyai skala
yang seragam. Sedangkan untuk membuat peta yang digunakan adalah orthofoto
telah dikoreksi, sehingga distorsinya hilang dan memiliki skala yang seragam.
Pada pemrosesan orthofoto, peniadaan pergeseran letak oleh relief (distorsi)
dibutuhkan lebih dari satu foto di mana foto tersebut bertampalan satu sama lain.
Gambar II-8 merupakan visualisasi dasi sistem proyeksi perspektif dan orthogonal.

Gambar II-8 Sistem proyeksi perspektif (a) dan orthogonal (b)


(Santoso, B, 2011 dalam Mustofa, H.A, 2016)
II.4.4 Rektifikasi
Sistem koordinat yang digunakan pada orthofoto adalah sistem koordinat
piksel. Apabila pada foto udara tersebut telah memiliki sistem koordinat tanah,
biasanya koordinat tersebut belum akurat. Oleh karena itu, perlu dilakukan
pekerjaan rektifikasi yaitu pekerjaan memasukkan koordinat tanah ke foto udara
sehingga terjadi transformasi sistem koordinat dari sistem koordinat piksel ke sistem
koordinat tanah. Untuk keperluan rektifikasi, dibutuhkan beberapa koordinat dari
titik kontrol yang ada di lapangan titik kontrol di lapangan dapat diperoleh dari
pengukuran langsung dengan GPS.

II.5 GCP (Ground Control Point) dan ICP (Independent Check Point)
GCP merupakan titik yang telah diketahui koordinatnya. Titik ini merupakan
tanda titik yang dijadikan sebagai referensi kerangka horizontal (x,y) dan kerangka
vertikal (z), sehingga foto udara yang sebelumnya tidak memiliki koordinat, dengan
adanya GCP memiliki koordinat. Data GCP didapat dari survei lapangan dengan
menggunakan GPS, sedangkan metode pengambilan data tergantung dari nilai
ketelitian yang dibutuhkan GCP pada proses rektifikasi. Selain metode yang
digunakan dalam pengambilan data diperlukan perencanaan mengenai persebaran
GCP, menurut Nisrina (2016) syarat penentuan sebaran GCP adalah sebagai berikut:
1. Pada sisi perimeter area citra.
2. Pada tengah area/scene.
3. Pada wilayah perbatasan/overlap scene citra.
4. Tersebar secara merata dalam area citra.
5. Menyesuaikan kondisi terrain.
Sedangkan ICP merupakan titik yang dijadikan sebagai validasi koordinat.
Perbedaan utama antara GCP dan ICP adalah GCP digunakan saat pengolahan data
sedangkan ICP berfungsi ketika data sudah menjadi produk dan tidak termasuk
dalam proses pengolahan data. Titik ini digunakan untuk mendapatkan ketelitian
horizontal maupun vertikal produk dari pengolahan foto udara berupa orthofoto dan
DSM (Lailissaum, A., 2015 dalam Mustofa, H., 2016). Koordinat titik tersebut pada
orthofoto maupun DSM divalidasikan dengan koordinat hasil pengukuran GPS.

22
Untuk sebaran ICP menurut Nisrina (2016) memiliki sebaran yang merata diseluruh
area yang akan diuji.
Pada saat dilakukan akuisisi foto udara di lapangan lokasi titik GCP dan ICP,
perlu dilakukan pemasangan premark agar titik tersebut mudah diidentifikasi
nantinya pada hasil foto udara. Premark dapat berupa kain, terpal yang memiliki
warna kontras dengan kondisi sekitar lingkungan dan untuk ukuran premark
disesuaikan dengan nilai GSD (Ground Sampling Distance) yang merupakan
resolusi spasial dari foto udara di mana nilai GSD semakin tinggi nilainya resolusi
spasialnya menjadi kecil yang berdampak pada ukuran premark yang digunakan
harus besar dan sebaliknya. Untuk mengetahui gambaran premark yang terpasang
pada titik GCP dan ICP dapat dilihat pada Gambar II-9.

Gambar II-9 Premark

II.6 UAV (Unmanned Aerial Vehicle)


II.6.1 UAV Secara Umum
UAV atau pesawat tanpa awak, Penerbangan UAV dapat dikontrol secara
autonomous oleh komputer di dalamnya (autopilot), semi-autonomous, atau
dikendalikan dengan remote control. UAV dapat terbang rendah dengan ketinggian
di bawah awan. Tinggi terbang UAV dapat diatur sesuai dengan keinginan dan
kebutuhan. UAV juga dapat dimanfaatkan untuk misi yang berbahaya jika
dilakukan oleh pesawat udara berawak.
Ada berbagai macam tipe UAV, dilihat dari material penyusun, jenis sayap
dan struktur badan, daya jelajah serta tenaga penggerak. Berdasarkan jenis sayap
dan struktur badannya, UAV dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu fixed-wing dan
rotary-wing yang. Pada dasarnya prinsip terbang dari pesawat fixed-wing dan

23
pesawat rotary-wing adalah sama. Perbedaannya ada pada sumber kekuatan untuk
mengangkat dan mendorong pesawat. Pada pesawat fixed-wing sumber gaya angkat
pesawat dihasilkan oleh aliran udara di permukaan sayapnya yang membentuk sudut
datang tertentu dengan sayap kecil di belakang yang posisinya ditegakkan, dengan
ini aliran udara mengalir ke belakang dan udara yang mengalir di permukaan sayap
yang relatif datar itu ikut menekan ke atas dan menimbulkan gaya angkat dan
menyebabkan pesawat terangkat ke atas. Sumber gaya dorong dari pesawat fixed-
wing adalah perbedaan tekanan udara pada sayap atas dan sayap bawah di pesawat.
Sementara, pada tipe rotary-wing, fungsi sayap digantikan oleh baling-baling.
Sumber gaya angkat gaya dorong dari rotary-wing adalah baling- baling. Gambar
II-10 merupakan jenis UAV yang ada.

(a) fixed-wing (b) rotary-wing

Gambar II-10 Jenis- jenis UAV (Indoatlas, 2015)

Berikut ini merupakan beberapa contoh kelebihan dari UAV:


1. Melakukan penginderaan jarak jauh, seperti melakukan pemetaan suatu
daerah, melihat keadaan suatu daerah.
2. Melakukan pemantauan kerusakan akibat bencana banjir dan melakukan
pemantauan kebakaran hutan.
3. Melakukan pengawasan hukum, seperti patroli keamanan suatu lokasi,
pemantauan keadaan lalu lintas, patroli keadaan pesisir, kelautan, dan
perbatasan.
4. Mampu menjangkau pada daerah yang sulit dijangkau oleh pesawat
berawak.
5. Melakukan pengambilan gambar untuk keperluan hiburan.

24
Selain memiliki kelebihan, karena ukurannya yang kecil UAV juga memiliki
kekurangan. Berikut adalah kekurangan dari UAV:
1. Memiliki ukuran kecil, sehingga hanya dapat membawa beban yang
sedikit.
2. Sensor yang digunakan memiliki format kecil.
3. Dikendalikan dari jarak jauh sehingga tidak dapat melakukan antisipasi
cepat jika terjadi hal yang tidak terduga.
4. Memiliki jarak terbang yang terbatas karena dikendalikan dari jarak jauh
yang tergantung frekuensi yang digunakan.
5. Untuk keperluan fotogrammetri, harus mengambil foto sebanyak
mungkin karena menggunakan kamera format kecil.

II.6.2 DJI Phantom 4


DJI Phantom 4 merupakan drone produk dari pabrikan DJI. Fungsi utama dari
drone tidak jauh yaitu untuk pengambilan data berupa foto maupun video. Saat ini
teknologi drone semakin canggih dengan adanya fitur GPS serta geotagging yang
tertanam pada drone tersebut sehingga dimanfaatkan untuk kegiatan lain seperti
pemetaan dengan mengaplikasikan photogrammetry. Gambar II-11 merupakan DJI
Phantom 4.

Gambar II-11 DJI Phantom 4 (DJI, 2017)


Berikut Tabel II-5 merupakan spesifikasi dari UAV DJI Phantom 4.

Tabel II-5 Spesifikasi Phantom DJI 4 (DJI, 2017)

Berat 1388 g

Sistem posisi satelit GPS/ GLONASS

25
Tabel II-5 Spesifikasi Phantom DJI 4 (lanjutan)

S- mode : 72 kpj

Kecepatan maksimal A- mode : 58 kpj

P- mode : 50 kpj
Waktu terbang maksimal 30 menit
Stabilisasi 3 poros (pitch, roll, yaw)
Sensor 12 Megapixel
FOV 84o 8.8mm/ 24mm (35mm format) f/2.8-
Lensa
f/11
3:2 rasio: 5472 x 3648

Ukuran foto 4:3 rasio: 4864 x 3648

16:9 rasio: 5472 x 3078

Phantom 4 memiliki sensor dengan resolusi 12 Megapixel yang dapat


menghasilkan ukuran gambar maksimal 3000 X 4000. Dan dapat menghasilkan
pandangan yang cukup luas dengan memiliki panjang fokal sebesar 24 mm. Dilihat
dari spesifikasi di atas drone tersebut dapat menghasilkan foto udara dengan
kualitas yang bagus untuk ukuran drone. Dengan dukungan software yang ada
seperti Agisoft Photoscan, Dronedeploy foto tersebut dapat dijadikan beberapa
keluaran produk seperti peta ortho, pembentukan DSM dan DEM, analisis NDVI
serta pembuatan model 3D. Gambar II-12 adalah kemampuan yang dimiliki
software Drone Deploy dalam mengolah data foto udara.

Gambar II-12 Produk yang bisa dihasilkan UAV (Drone Deploy, 2017)

26
II.7 DEM (Digital Elevation Model)
DEM adalah data digital yang menggambarkan geometri dari bentuk
permukaan bumi atau bagiannya yang terdiri dari himpunan titik-titik koordinat
hasil sampling dari permukaan (Tempfli, 1991). DEM merupakan representasi
digital dari permukaan tanah atau lebih jelasnya didefinisikan sebagai representasi
dari suatu permukaan topografi atau koleksi dari titik-titik (X,Y,Z) dalam sistem
koordinat ruang yang merepresentasikan permukaan fisik tiga dimensi. Dari definisi
di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa DEM merujuk pada pemodelan permukaan
bumi ke dalam suatu model digital permukaan tanah tiga dimensi dari titik-titik yang
mewakili permukaan tanah tersebut (Furqon, 2008).
Data DEM dapat berupa grid atau petak petak zona segi empat yang beraturan
yang membentuk permukaan DEM. Dapat juga berupa TIN atau jaringan segitiga
yang tidak beraturan yang menghubungkan antar titik-titik spasial sehingga menjadi
DEM. Kemudian bisa juga berupa kontur, yaitu permukaan DEM yang terbentuk
dari susunan garis-garis dengan interval ketinggian tertentu. DEM terbagi menjadi
dua, yaitu DTM dan DSM. DTM adalah singkatan dari Digital Terrain Model atau
bentuk digital dari terrain (permukaan tanah, tidak termasuk objek diatasnya) DTM
menampilkan data yang lebih lengkap dari DEM. DTM di gambarkan sebagai tiga
representasi dimensi permukaan medan yang terdiri dari X,Y, Z koordinat disimpan
dalam bentuk digital yang tidak hanya mencakup ketinggian dan elevasi unsur –
unsur geografis lainnya dan fitur alami seperti sungai, jalur punggungan, dll. DTM
secara efektif DEM yang telah ditambah dengan unsur-unsur seperti breaklines dan
pengamatan selain data asli untuk mengoreksi artefak yang dihasilkan dengan
hanya menggunakan data asli (Indoatlas, 2015). Sementara untuk DSM adalah
model yang menggambarkan ketinggian puncak permukaan reflektif, seperti
bangunan dan vegetasi (Maune dkk, 2001).
Pada akuisisi data dengan menggunakan UAV, DEM yang dihasilkan masih
terdapat objek yang merupakan bentang alam seperti bangunan, pohon dan lainnya.
Sehingga DEM yang dihasilkan bukan merupakan representasi tinggi permukaan
tanah yang sebenarnya. Sehingga perlu dilakukan penapisan objek- objek tersebut.
Penapisan biasa disebut filtering, pada penelitian ini metode filtering menggunakan
metode klasifikasi dari data point cloud berdarkan objek dan menggunakan
software Global Mapper. Untuk mengetahui lebih lanjut perbedaan antara DSM dan
DTM dapat dilihat pada Gambar II-13.

Gambar II-13 Perbedaan DTM dan DSM (Indoatlas, 2015)

II.8 GPS (Global Positioning System)


II.8.1 GPS secara umum
Menurut (Abidin, 2011) GPS adalah sistem radio navigasi dan penentuan
posisi menggunakan satelit yang dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat. Karena
berbasis pada satelit maka pengamatan GPS receivernya tidak harus saling terlihat
(intervisibility), yang penting adalah receiver mampu menangkap sinyal GPS
(satellit visibility) hingga mencukupi. Pada prinsipnya semakin banyak jumlah satelit
yang mampu ditangkap akan semakin baik pula kualitas dari akuisisi posisi GPS.
Dengan memanfaatkan sinyal dari satelit kemudian receiver GPS melakukan
pengikatan ke belakang terhadap titik base yang ditentukan (metode diferensial),
maka dalam hal pengamatan posisi menggunakan GPS minimal digunakan dua
receiver GPS. Kemudian dalam melakukan perekaman data, receiver harus dalam
keadaan statis atau diam karena pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan
untuk satu titik. Pada pengamatan GPS komponen yang wajib antara lain adalah
receiver GPS, satelit yang cukup dan pengguna.
Konsep dasar penentuan posisi adalah reseksi jarak, yaitu dengan pengukuran
jarak secara simultan ke beberapa satelit GNSS yang koordinatnya telah diketahui.
Secara vektor, prinsip dasar penentuan posisi pada pengamatan dengan GPS, yang

28
dapat diukur adalah jarak antara pengamat dengan satelit (bukan vektornya), agar
posisi pengamat dapat ditentukan maka dilakukan pengamatan terhadap beberapa
satelit sekaligus secara simultan.
Metode penentuan posisi dengan GPS dapat dikelompokkan atas beberapa
metode yaitu: absolute, differential, static, rapid static, pseudo-kinematic dan stop
and go. Prinsip dan karakteristik dari setiap metode penentuan posisi tersebut
dijelaskan berikut ini (Abidin, 2011):

1. Statik
Pada metode pengukuran ini titik yang akan ditentukan posisinya tidak
bergerak, pengamatan yang dilakukan bisa secara absolut maupun diferensial,
data pengamatan bisa menggunakan pseudorange dan/atau phase yang
selanjutnya dilakukan pengolahan data setelah pengamatan (post process),
keandalan dan ketelitian yang diperoleh cukup tinggi yaitu di orde millimeter
sampai centimeter, dan biasanya digunakan untuk penentuan titik-titik kontrol
survei pemetaan maupun survei geodetik.

2. Rapid Static
Metode pengukuran ini dilakukan dengan sesi pengamatan yang lebih singkat
(5-20 menit), prosedur pengumpulan data di lapangan sama dengan
pengukuran statik, lama pengamatan tergantung pada panjang baseline,
jumlah satelit serta geometri satelit pengamatan ini berbasiskan metode
pengamatan diferensial dengan menggunakan data phase. Pada saat
melakukan pengukuran di lapangan memerlukan kondisi satelit geometri yang
baik, tingkat bias dan kesalahan data yang relatif rendah, serta lingkungan
yang relatif tidak menimbulkan multipath. Ketelitian relatif posisi titik yang
diperoleh adalah dalam orde centimeter, pengukuran statik singkat ini
diantaranya digunakan untuk survei pemetaan dengan orde tidak terlalu tinggi,
perapatan titik dan survei rekayasa.

3. Kinematik
Pada metode pengukuran kinematik ini titik-titik yang akan ditentukan
posisinya bergerak (kinematik), pengamatan ini bisa dilakukan secara absolut
maupun diferensial dengan menggunakan data pseudorange atau phase. Hasil

29
penentuan posisinya bisa diperlukan saat pengamatan (real-time) ataupun
sesudah pengamatan (post-processing), untuk pengamatan diferensial secara
real time diperlukan komunikasi data antara stasiun referensi dengan receiver
yang bergerak. Penggunaan metode kinematik biasanya dilakukan untuk
navigasi, pemantauan fotogrammetri, survei hidrografi.

4. Stop and go
Pada metode pengukuran ini dilakukan pergerakan alat GNSS sebagai rover
dan stop selama beberapa puluh detik dari titik ke titik, dinamakan juga survei
semi kinematik, mirip dengan pengukuran kinematik, hanya titik yang akan
ditentukan posisinya tidak bergerak dan alat GNSS diam beberapa saat di titik
tersebut. Perlu diperhatikan ambiguitas phase pada titik awal harus ditentukan
sebelum alat GNSS rover bergerak, untuk mendapatkan tingkat ketelitian
berorde sentimeter.
Untuk lama pengamatan pada beberapa metode pengamatan dapat dilihat
pada Tabel II-6.
Tabel II-6 Selang waktu pengamatan baseline GPS
(Abidin, H.Z, 2004 dalam Setiawan, T, 2016)
Panjang Metode Lama Lama
Baseline (km) Pengamatan Pengamatan Pengamatan
(hanya L1) (L1 dan L2)
0–5 Stop and Go 2 menit 2 menit
0–5 Statik Singkat 30 menit 15 menit
5 – 10 Statik Singkat 50 menit 25 menit
10 – 30 Statik 90 menit 60 menit
30 – 50 Statik 180 menit 120 menit

II.8.2 Strenght Of Figure (SOF)


Strength of figure adalah kekuatan jaring titik kontrol yang mencakup
geometri pengamatan dan geometri satelit sehingga akan mempengaruhi ketelitian
posisi titik yang didapatkan. Geometri pengamatan mempunyai beberapa parameter
(Gurandhi, 2008) antara lain:

30
1. Lokasi

2. Jumlah titik

3. Konfigurasi jaringan

4. Karakteristik baseline
Parameter tersebut merupakan parameter yang mewakili geometri
pengamatan serta jumlah satelit serta lokasi dan distribusi satelit yang mewakili
geometri satelit. Geometri pengamatan harus didesain dengan sebaik mungkin
untuk mendistribusikan kesalahan dan menciptakan konsistensi, karena
pengaruhnya tidak hanya pada ketelitian titik yang diperoleh melainkan juga pada
aspek-aspek operasional yang berdampak finansial.
Perhitungan nilai Strength Of Figure mengunakan metode perataan parameter
untuk menghasilkan nilai SOF. Semakin kecil atau mendekati nol nilai SOF
tersebut, maka konfigurasi jaringan tersebut semakin kuat, begitu pula sebaliknya.
Perhitungan nilai SOF menggunakan persamaan 2.1:

�𝑟 𝑎� �( � 𝑇�)−1

𝑜��= �
..................................................... (2.1)

Keterangan:

𝑜𝐹 = Strength of Figure (kekuatan jaringan)
����
��𝑒 (𝐴�𝐴)−1 = Penjumlahan diagonal pada matriks (𝐴�𝐴)−1
� = Jumlah parameter (3x jumlah baseline yang terbentuk)

II.9 Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET)


II.9.1 Pengertian SUTET
Menurut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral no 18 tahun
2015, SUTET adalah saluran tenaga listrik yang menggunakan kawat telanjang
(konduktor) di udara bertegangan nominal di atas 230 kV sesuai dengan standar di
bidang ketenagalistrikan (kementrian ESDM, 2015)
Saluran transmisi ini berfungsi untuk menyalurkan energi listrik dari
pembangkit- pembangkit besar ke pusat beban. SUTET yang ada di Indonesia
menggunakan tegangan 500 kV. Komponen lain dari sistem transmisi adalah Gardu

31
Induk (GI), yaitu tempat untuk mengumpulkan, mendistribusikan dan
mentransmisikan daya listrik dalam kapasitas daya besar. Pada GI terdapat trafo
daya kapasitas skala besar yang berfungsi untuk menaikan atau menurunkan
tegangan dari sisi primer ke sisi sekunder. Sedangkan Gardu Induk Tegangan Ekstra
Tinggi (GITET) adalah gardu induk dimana sistem tegangan kerja yang terpasang
menggunakan tegangan ekstra tinggi (dari 275 kV sampai 700 kV). Gambar II-14
merupakan gambaran mengenai SUTET.

Gambar II-14 SUTET (PLN, 2016)


II.9.2 SUTET sebagai sistem jaringan energi listrik
Sistem jaringan energi listrik dam komponen prasarananya terdiri atas
pembangkit tenaga listrik, jaringan transmisi (SUTET dan SUTT-Saluran Udara
Tegangan Tinggi), jaringan distribusi serta GITET (Gardu Induk Tegangan Ekstra
Tinggi) dan GI (Gardu Induk). Tenaga listrik yang dihasilkan melalui pembangkit
tenaga listrik disalurkan melalui jaringan listrik. Seperti diketahui, pada umumnya
pusat-pusat pembangkit tenaga listrik itu berada cukup jauh, bahkan sangat jauh
dari perkotaan, kawasan industri maupun perumahan yang memerlukan daya listrik.
Jaringan listrik tersebut dikelompokkan menjadi jaringan distribusi dan jaringan
transmisi. Jaringan distribusi tenaga listrik adalah jaringan listrik berada di sekitar
pemakai seperti perumahan perkotaan, maupun kawasan industri jaringan distribusi
tenaga listrik menggunakan tegangan lebih kecil dari 35 kV. Sedangkan jaringan
transmisi tenaga listrik adalah sistem yang digunakan untuk menyalurkan daya
listrik dalam kapasitas daya besar (tegangan di atas 35 kV) dengan menggunakan
sistem tegangan tinggi atau ekstra tinggi dan daya listrik yang disalurkan cukup
jauh. Skema sistem jaringan listrik dapat dilihat pada Gambar II-15.

32
Gambar II-15 Sistem jaringan energi listrik (Irawati, 2009)

II.9.3 Komponen sistem transmisi energi listrik


Dwinugraha (2016) menjelaskan komponen sistem transmisi energi listrik
dibagi menjadi beberapa bagian yaitu:
a. Menara Transmisi atau Tiang Transmisi
Energi listrik yang disalurkan lewat saluran transmisi udara pada umumnya
menggunakan kawat telanjang (konduktor) sehingga mengandalkan udara
sebagai media isolasi antara kawat penghantar tersebut dengan benda
sekelilingnya, dan untuk menyanggah kawat penghantar dengan ketinggian
dan jarak yang aman bagi manusia dan lingkungan sekitarnya, kawat-kawat
penghantar tersebut dipasang pada suatu konstruksi bangunan yang kokoh,
yang biasa disebut menara transmisi. Gambar II-16 merupakan Gambar dari
menara SUTET.

33
Gambar II-16 Menara transmisi (PLN, 2007)

b. Konduktor
Kawat dengan bahan konduktor untuk saluran transmisi tegangan tinggi tanpa
pelindung atau isolator kawat karena suhunya yang panas dan akan
mengakibatkan isolator leleh sehingga hanya kawat berbahan tembaga atau
alumunium dengan inti baja yang terbentang untuk mengalirkan arus listrik.
Daftar konduktor yang dipergunakan untuk SUTET dan SUTT dapat dilihat
pada Tabel II-7.

Tabel II-7 Daftar konduktor yang dipergunakan untuk SUTT dan SUTET (PLN, 2007)

Data Konduktor
Tipe Luas R DC
Jenis Kon-
No Kon- Penam- Diameter 20°C Berat Keterangan
duktor
duktor pang (mm) (ohm/ (kg/ m)
(mm) km)

1 ASCR HAWK 281,03 21,79 0,1199 455 150 kV

2 ASCR HEN 298,07 22,40 0,1202 1.112 150 kV

150 kV dan
3 ASCR DOVE 327,77 23,55 0,1024 1.137
500 kV

34
Tabel II-7 Daftar konduktor yang dipergunakan untuk SUTT dan SUTET (lanjutan)

Data Konduktor
Tipe Luas R DC
Jenis Kon-
No Kon- Penam- Diameter 20°C Berat Keterangan
duktor
duktor pang (mm) (ohm/ (kg/ m)
(mm) km)
150 kV dan
4 ASCR GANNET 392,84 25,76 0,0858 1.365
500 kV

5 ASCR ZEBRA 484,50 28,62 0,0674 1.621 150 kV

6 ASCR DRAKE 468,45 28,11 0,0715 1.624 150 kV

7 ASCR PEGION 99,22 12,75 0,3366 343 70 kV

8 ASCR OSTRICH 176,71 12,75 0,1900 613 70 kV

9 ASCR LINNET 198,19 17,28 0,1699 689 70 kV

ASCR 240/
10 ASCR 282,50 18,31 0,1188 987 150 kV
40
ACRS 340/
11 ASCR 369,10 21,90 0,0851 1180 150 kV
30

II.9.4 Andongan (Sag)


Karena beratnya, maka penghantar yang direntangkan antara dua tiang
transmisi hingga dapat membentuk suatu lengkungan yang dipengaruhi oleh faktor-
faktor seperti berat kawat, modulus elastisitas, koefisien perubahan panjang,
diameter kawat, jarak antara dua menara, dan kondisi lingkungan sekitar yang
mungkin berpengaruh, misalnya angin, es, debu dan suhu. Andongan (sag)
merupakan jarak lenturan dari suatu bentangan kawat penghantar antara dua tiang
penyangga jaringan. Nilai sag harus diperhitungkan dengan cermat guna melakukan
ground clearance yang merupakan area bebas obyek di sekitar transmisi untuk
alasan keselamatan masyarakat sekitar dan keamanan tower itu sendiri. Rumus
untuk menghitung nilai sag dapat dilihat pada persamaan 2.2 dan untuk gambaran
mengenai sag dapat dilihat pada Gambar II-17.

35
𝑤�
D= .................................................................... (2.2)
𝑔 2
Keterangan: 8�
D = Andongan (m)

w = Berat kawat (kg/m)


S = Jarak antar dua menara atau span (m)
T = Kuat tarik penghantar (kg)
g = Gaya gravitasi (9,81 N)

Gambar II-17 Andongan (Said, H. 2007)


Penentuan posisi tapak tower dilakukan dengan mempertimbangkan nilai
rasio sagging yang merupakan nilai perbandingan antara weight span dengan wind
span. Nilai weight span diukur dari titik berat konduktor ke konduktor selanjutnya.
Rasio sagging memiliki rentang nilai antara 0,5 sampai 1,5 jika diluar dari interval
tersebut maka desain SUTET tidak memenuhi standar PLN. Ilustrasi dari desain
sagging ditampilkan pada Gambar II-18 dan perhitungan rasio sagging
menggunakan rumus 2.3:
𝑊�
Rasio = ((���+���))/2 .................................................. (2.3)

Keterangan:
WT = Weight span (m)
dAB = Jarak horizontal antara titik A dengan titik B (m)
dBC = Jarak horizontal antara titik B dengan titik C (m)

36
Gambar II-18 Desain sag

Pembangunan transmisi harus dijauhkan dari pemukiman warga, namun juga


meminimalkan adanya titik belok. Besarnya sudut titik belok mempengaruhi
memilihan tipe tower itu sendiri. Tower-tower yang ditempatkan pada titik belok
memiliki ukuran yang berbeda dari tower-tower yang terdapat pada jalur yang lurus,
sehingga menambah besarnya biaya dari pembangunan kontruksi tower itu sendiri.
Berdasarkan sudut beloknya, tipe tower dapat dibagi menjadi lima tipe tower
transmisi seperti yang terlihat pada Tabel II-8.
Tabel II-8 Luasan tapak tower SUTET 500 kV

SUTET 500 kV
No Tipe Tower Sudut Belok Jalur Luasan (m)
1. AA 0°-5° 28 x 28
2. BB 5°-10° 34 x 34
3. CC 10°-30° 34 x 34
4. DD 30°-60° 39 x 39
5. EE 60°-90° 39 x 39

II.9.5 Dampak SUTET terhadap lingkungan sekitar


SUTET adalah singkatan dari Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi dengan
kekuatan 500 kV yang ditujukan untuk menyalurkan energi listrik dari pusat-pusat
pembangkit yang jaraknya jauh menuju pusat-pusat beban sehingga energi listrik
bisa disalurkan dengan efisien. Menara tersebut dapat dijumpai pada banyak tempat
bahkan ada beberapa yang berdiri kokoh di sekitar pemukiman warga.

37
Karena lokasinya banyak yang terdapat di sekitar pemukiman warga, tanpa
disadari menara SUTET ini dapat menimbulkan dampak negatif jika terlalu dekat
karena efek frekuensi dan medan magnet yang besar dan cukup intens. Menurut
Ndaru, 2017 beberapa dampak negatif pada lingkungan disekitar area SUTET
berdiri adalah sebagai berikut :
a. Sosial
Terjadinya keresahan dan ketakutan yang disebabkan dari munculnya
rasa tidak aman terhadap bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan dari
jaringan tersebut, yaitu kecelakaan yang disebabkan adanya sambaran petir,
putusnya kabel, atau gangguan fondasi tower akibat dari perubahan struktur
tanah sehingga menimbulkan masalah terkait pembebasan lahan dan
pemindahan penduduk ke area di luar jalur SUTET. Selain itu munculnya
kekhawatiran kesehatan secara terus menerus yang disebabkan oleh radiasi
gelombang elektromagnetik.
Masih banyak masyarakat yang masih awam atau belum mengerti tentang
SUTET itu sendiri sehingga dikhawatirkannya timbul doktrin-doktrin yang
bersifat negatif yang dapat merugikan salah satu pihak. Tentunya
diperlukannya sosialisasi dari pihak pemerintah atau PLN tentang dampak
baik dan buruknya dari saluran tersebut serta memberikan solusi yang jelas
bagi pihak masyakat agar mereka mengerti dan tahu harus melakukan apa.
b. Ekonomi
Dapat ditinjau dari dengan dibangunnya jaringan tegangan tinggi tersebut
dapat menyebabkan “Kematian Perdata” bagi nilai tanah yang dilintasi oleh
SUTT/SUTET, sehingga apabila pemilik tanah tersebut berniat menjual
tanahnya, maka harga jual tanah tersebut akan jatuh dan berada dibawah harga
jual tanah yang tidak dilewati jalur tersebut, atau juga pemilik tanah mau
mengoptimalisasikan tanahnya dengan mendirikan bangunan bertingkat
sehingga yang bersangkutan mempunyai masalah dengan perijinan pendirian
bangunan, atau bila ingin menanam pohon juga akan dilarang menanam
pohon dalam batas ketinggian tertentu.
Dari permasalah tersebut kemungkinan besar wilayah yang dilalui oleh
SUTT/SUTET bisa dikatakan mengalami penurunan dalam segi ekonomi.

38
c. Kesehatan
Pembangunan SUTET tentunya memiliki berbagai dampak positif
maupun negatif dari berbagai bidang. Diantaranya dampak dari bidang
kesehatan bagi makhluk hidup yang tinggal di sekitaran SUTET.
Pembangunan SUTET tentunya akan menimbulkan medan magnet dan medan
listrik yang dapat menimbulkan gelombang elektromagnetik yang
menimbulkan efek radiasi. Radiasi ini tentunya sangat berbahaya bagi dampak
kesehatan untuk makhluk hidup yang tinggal di sekitaran SUTET. Dampak
dari adanya radiasi SUTET dapat menimbulkan gejala pusing kepala, mual-
mual, pening, lemas, dan bisa sampai dampak yang cukup berbahaya seperti
daya ingat menurun, kanker, mutasi gen hingga menyebabkan kematian.

Untuk mengatasi efek negatif yang ditimbulkan SUTET terhadap lingkungan


sekitar, sebenarnya pemerintah telah mengeluarkan aturan tentang pendirian
SUTET yaitu Peraturan Menteri ESDM Nomor 18 Tahun 2015 tentang Ruang
Bebas dan Jarak Bebas Minimum pada SUTET dimana peraturan tersebut dibuat
dengan mengkaji efek medan magnet dan radiasi yang terjadi pada SUTET dan
akan dibahas pada sub bab selanjutnya.

II.10 Kebijakan Ruang Bebas dan Jarak Bebas Minimum SUTET


Menurut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral nomor 18 tahun
2015, ruang bebas adalah ruang yang dibatasi oleh bidang vertikal dan horizontal
di sekeliling atau di sepanjang konduktor di mana tidak boleh ada benda di
dalamnya demi keselamatan manusia, makhluk hidup serta kemanan operasi.
Sedangkan jarak bebas minimum adalah jarak yang tidak boleh kurang dari jarak
yang ditentukan demi keselamatan dan keamanan operasi. Tabel II-9 merupakan
jarak bebas minimum vertikal pada konduktor dan Gambar II-19 merupakan
ilustrasi jarak bebas minimum horizontal.

39
Tabel II-9 Jarak bebas minimum vertikal pada konduktor
(Peraturan Menteri ESDM No. 18 Tahun 2015)
SUTT SUTET SUTTAS
No Lokasi 66 kV 150 kV 275 kV 500 kV 250 kV 500 kV
(m) (m) (m) (m) (m) (m)
1 Lapangan
terbuka atau 7,5 8,5 10,5 12,5 7,0 12,5
daerah terbuka
2 Daerah dengan
keadaan tertentu
- Bangunan, 4,5 5,0 7,0 9,0 6,0 9,0
jembatan 4,5 5,0 7,0 9,0 6,0 9,0
- Tanaman/
tumbuhan, 8,0 9,0 11,0 15,0 10,0 15,0
hutan
perkebunan 12,5 13,5 15,0 18,0 13,0 17,0
- Jalan/jalan
raya/ rel kereta
api
- Lapangan
umum

Keterangan :
a. Jarak bebas minimum vertikal dihitung dari konduktor ke permukaan bumi
atau permukaan jalan atau rel.
b. Jarak bebas minimum vertikal dihitung dari konduktor ke titik tertinggi atau
terdekatnya.

40
Gambar II-19 Ruang bebas SUTET 275 kV dan 500 kV sirkuit ganda
(Peraturan Menteri ESDM No. 18 Tahun 2015)

Keterangan :
L : Jarak dari sumbu vertikal tiang ke konduktor
H : Jarak horizontal akibat ayunan konduktor
I : Jarak bebas impuls switching
C : Jarak bebas minimum vertikal
D : Jarak andongan terendah di tengah gawang (antara dua menara)

Sedangkan untuk mengetahui jarak bebas minimum horizontal pada SUTET


dapat dilihat pada Tabel II-10.

41
Tabel II-10 Jarak bebas minimum horizontal
(Peraturan Menteri ESDM No. 18 Tahun 2015)

Jarak Jarak Total


Saluran Jarak I Pembulatan
No L H (m) L+H+I
Udara (m) (m)
(m) (m)
SUTT
1 150 kV 4,20 3,76 1,50 9,46 10,00
Menara
SUTET
2 275 kV 5,80 5,13 1,80 12,73 13,00
Sirkuit Ganda
SUTET
3 500 kV 7,30 6,16 3,10 16,56 17,00
Sirkuit Ganda
SUTTAS
4 7,40 4,30 1,70 13,40 14,00
250 kV
SUTTAS
5 9,00 5,30 3,30 17,60 18,00
500 kV

Keterangan :
L : Jarak dari sumbu vertikal tiang ke konduktor
H : Jarak horizontal akibat ayunan konduktor
I : Jarak bebas impuls switsing

II.11 Peraturan Daerah Kabupaten Semarang No. 6 Tahun 2011


Jaringan transmisi listrik merupakan salah satu arahan pengembangan sistem
jaringan prasarana wilayah yang termasuk ke dalam rencana struktur ruang wilayah
Kabupaten Semarang (Perda Kab. Semarang No. 6 Tahun 2011).
Pada pasal 16 ayat 4 huruf a, rencana pengembangan jaringan transmisi
tenaga listrik dan gardu induk Kabupaten Semarang meliputi pengembangan
jaringan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi 500 (lima ratus) Kilo Volt Ampere

42
dan Saluran Udara Tegangan Tinggi 150 (seratus lima puluh) Kilo Volt Ampere
yang melintasi:
a. Kecamatan Jambu.
b. Kecamatan Ambarawa.
c. Kecamatan Bawen.
d. Kecamatan Tuntang.
e. Kecamatan Pabelan.
f. Kecamatan Tengaran.
g. Kecamatan Kaliwungu.
h. Kecamatan Ungaran Barat.
i. Kecamatan Ungaran Timur.
j. Kecamatan Bergas.
k. Kecamatan Pringapus.
Supaya tidak menyimpang dalam pelaksanaan pengembangan jaringan
transmisi listrik dilakukan pengendalian pemanfaatan ruang yang mendukung
berfungsinya sistem pusat pelayanan dan sistem jaringan prasarana wilayah serta
pelarangan pemanfaatan ruang yang menyebabkan gangguan terhadap
berfungsinya sistem pusat pelayanan dan sistem jaringan prasarana wilayah yang
diatur dalam peraturan zonasi. Peraturan zonasi merupakan peraturan mengenai
penempatan lokasi titik SUTET yang diatur pada pasal 49 huruf b, untuk jaringan
transmisi tenaga listrik disusun dengan memperhatikan ketentuan pelarangan
pemanfaatan ruang bebas di sepanjang jalur transmisi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

II.12 Uji Statistika


II.12.1 Uji normalitas Shapiro Wilk
Uji distribusi normal adalah uji untuk mengetahui data yang digunakan telah
memenuhi terdistribusi normal, sehingga dapat dipakai dalam statistik parametrik
(statistik inferensial). Metode Shapiro Wilk menggunakan data dasar yang belum
diolah dalam tabel distribusi frekuensi. Data diurut, kemudian dibagi dalam dua
kelompok untuk dikonversi dalam Shapiro Wilk.

43
Syarat uji Shapiro Wilk :
a. Data berskala interval atau ratio (kuantitatif)
b. Data tunggal / belum dikelompokkan pada tabel distribusi frekuensi
c. Data dari sampel random
Kemudian signifikansi dibandingkan dengan nilai tabel Shapiro Wilk, untuk dilihat
posisi nilai probabilitasnya (p).
Jika nilai p > 5%, maka Ho diterima ; Ha ditolak.
Jika nilai p < 5%, maka Ho ditolak ; Ha diterima.
II.12.2 Uji korelasi
Uji korelasi bertujuan untuk mengetahui besar hubungan antara variabel satu
dengan yang lain. Penelitian kali ini menggunakan perangkat lunak SPSS untuk
menganalisis korelasi. Tingkat korelasi dibagi dalam beberapa kelas dapat dilihat
pada Tabel II-11.
Tabel II-11 Tingkat korelasi (Setabasri, 2014)

Persentase Jenis
No
Korelasi Korelasi
1 0 Tidak ada
2 0-0,25 Sangat lemah
3 0,25-0,50 Cukup
4 0,50-0,75 Kuat
5 0,75-0,99 Sangat kuat
6 1 Sempurna

II.12.3 Uji – T berpasangan (Paired T Test)


Uji Paired T Test dalah salah satu metode pengujian hipotesis dimana data
yang digunakan tidak bebas (berpasangan). Ciri-ciri yang paling sering ditemui
pada kasus yang berpasangan adalah satu individu (objek penelitian) dikenai 2 buah
perlakuan yang berbeda. Walaupun menggunakan individu yang sama, peneliti
tetap memperoleh 2 macam data sampel, yaitu data dari perlakuan pertama dan data
dari perlakuan kedua.

44
II.13 Ketelitian Peta Dasar
PERKA BIG No. 15 Tahun 2014 tentang pedoman teknis ketelitian peta dasar
menyebutkan bahwa Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial ini merupakan
peraturan kepala yang mengatur pedoman teknis mengenai syarat dan ketentuan
dalam standar ketelitian peta dasar.
Ketelitian yang dimaksudkan berupa ketelitian geometri yang
menggambarkan ketidakpastian koordinat posisi suatu objek pada peta
dibandingkan dengan koordinat posisi objek yang dianggap posisi sebenarnya.
Komponen ketelitian geometri terdiri atas akurasi horizontal dan akurasi vertikal
(BIG, 2014). Pada penelitian ini mengacu kepada standar ketelitian geometri peta
RBI berdasarkan Peraturan Kepala BIG Nomor 15 tahun 2014 tertera pada Tabel
II-12.
Tabel II-12 Ketelitian geometri peta RBI (BIG, 2014)
Ketelitian Peta RBI
Interval Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3
No Skala Kontur Horizontal Vertikal Horizontal Vertikal Horizontal Vertikal
(m) CE90 LE90 CE90 LE90 CE90 LE90
(m) (m) (m) (m) (m) (m)

1 1:1.000.000 400 200 200 300 300 500 500


2 1:500.000 200 100 100 150 150 250 250
3 1:250.000 100 50 50 75 75 125 125
4 1:100.000 40 20 20 30 30 50 50
5 1:50.000 20 10 10 15 15 25 25
6 1:25.000 10 5 5 7,5 7,5 12,5 12,5
7 1:10.000 4 2 2 3 3 5 5
8 1:5.000 2 1 1 1,5 1,5 2,5 2,5
9 1:2.500 1 0,5 0,5 0,75 0,75 1,25 1,25
10 1:1000 0,4 0,2 0,2 0,3 0,3 0,5 0,5

Nilai ketelitian di setiap kelas diperoleh melalui ketentuan yang ditunjukkan


Tabel II-13.

45
Tabel II-13 Ketentuan ketelitian geometri peta RBI berdasarkan kelas (BIG,2014)
Ketelitian Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3
Horizontal 0,2 mm x 0,3 mm x 0,5 mm x
bilangan skala bilangan skala bilangan skala
Vertikal 0,5 x interval 1,5 x ketelitian 2,5 x ketelitian
kontur kelas 1 kelas 2

Nilai ketelitian posisi peta dasar pada Tabel II-12 adalah nilai CE90 untuk
ketelitian horizontal dan LE90 untuk ketelitian vertikal, yang berarti bahwa
kesalahan posisi peta dasar tidak melebihi nilai ketelitian tersebut dengan tingkat
kepercayaan 90%.

Nilai CE90 dan LE90 dapat diperoleh dari persamaan 2.4 dan 2.5 yang
mengacu kepada standar sebagai-berikut US NMAS (United States National Map
Accuracy Standards) sebagai berikut:
CE90=1,5175 x RMSE𝑟................................................(2.4)
LE90=1,6499 x RMSE�................................................(2.5)

Keterangan :
CE90 = Circular Error
LE90 = Linear Error
RMSE𝑟 = Root Mean Square Error pada posisi x dan y (horizontal)
RMSE𝑧 = Root Mean Square Error pada posisi z (vertikal)
Nilai RMS didapatkan dari persamaan 2.6:
2
RMS =√ 𝑛 ....................................................................(2.6)

Keterangan :

D = Selisih antara data ukuran dengan data yang memiliki ketelitian lebih tinggi.
N = Jumlah data yang digunakan.

II.14 Pix4Dmapper
Pix4Dmapper merupakan sebuah produk dari Pix4D yang mengubah foto
udara aerial dan oblique yang diambil oleh UAV ke dalam orthomosaik 2D yang
tergeoreferensi, model permukaan 3D dan point cloud. Selain itu Pix4Dmapper

46
dapat berfungsi untuk mengukur volume pertambangan, menganalisis NDVI,
mengelola dan mengetahui perubahan lingkungan sumber daya alam, menghasilkan
peta dan model untuk kontruksi serta situs arkeologi.
Selain itu terdapat alur kerja otomatis Pix4Dmapper yang tetap intuitif dan
mudah digunakan dan memberi pengguna kendali penuh atas kalibrasi dan hasil.
Dengan menggunakan ray cloud yang dapat menilai, mengedit, menafsirkan dan
memperbaiki hasil secara langsung di perangkat lunak. RayCloud memungkinkan
untuk menganotasi dan mengukur objek dengan presisi tertinggi, mengendalikan
titik ikat dan kalibrasi sepenuhnya, dan bahkan menggunakan anotasi untuk
memproses ulang proyek untuk meningkatkan keakuratan keseluruhan pekerjaan.
Pada prosesnya Pix4D mapper memiliki tahapan seperti berikut :
1. Intial processing:
Intial processing merupakan tahapan awal seperti memasukkan foto udara,
orientasi internal kamera, penentuan sistem koordinat yang akan digunakan.
Hasilnya berupa pengecekan foto apakah terdapat perbedaan signifikan antara
paramater internal kamera dan hasil dari parameter initial processing. Selain
itu dilakukan pengecekan antar foto pada tie point apakah terdapat
pertampalan pada foto atau tidak. Untuk hasil akhir berupa point cloud yang
masih renggang yang selanjutnya dapat dilakukan orthorektifikasi sebelum
dilanjutkan ke proses selanjutnya.
2. Point cloud and mesh:
Pada tahapan kedua untuk pembuatan point cloud padat dan 3D mesh. Point
cloud padat didapat dari perapatan dengan cara interpolasi pada point cloud
yang masih renggang, sedangkan 3D mesh didapat data point cloud yang
berdekatan akan dilakukan interpolasi antar point cloud untuk menghilangkan
area yang berlubang. Point cloud digunakan untuk menghasilkan permukaan
yang terdiri dari segitiga. Karena mesh adalah bentuk 3D, maka akan dilipat
ke bidang 2D untuk menentukan resolusi (ukuran piksel).
3. DSM, Orthomosaic:
Tahapan terakhir di mana hasil akhir berupa orthofoto dan DSM terbentuk
dari proses sebelumnya.

47
TAHAPAN PELAKSANAAN

III.1 Tahapan Persiapan


Tahapan awal pada penelitian ini adalah persiapan. Persiapan perlu dilakukan
agar penelitian dapat berjalan dengan baik, prosedur persiapan pada penelitian ini
dapat dilihat dengan diagram alir pada Gambar III.1.

Gambar III-1 Diagram alir persiapan

III.1.1 Studi literatur


Studi literatur dilakukan untuk memperkaya materi serta memperluas
pengetahuan tentang hal-hal yang berhubungan dengan topik penelitian.
III.1.2 Penentuan dan perijinan lokasi penelitian
Pada tahap ini dilakukan penentuan lokasi dan pengurusan izin survei di
lokasi pengukuran. Penentuan lokasi dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa
lokasi penelitan merupakan daerah yang didominasi persawahan serta topografi
yang datar dan keadaan lingkungan warga yang mendukung. Kemudian mengurus

48
perijinan lokasi agar proses pengambilan data berlangsung dengan legal karena
sudah mendapat izin dari pihak setempat.
III.1.3 Permohonan data
Tahap ini bertujuan untuk mendapatkan data berupa peta RTRW digital
Kabupaten Semarang kepada BAPPEDA Kabupaten Semarang yang akan
digunakan untuk keperluan verifikasi pada tahap pengolahan.
III.1.4 Persiapan alat
Persiapan alat meliputi pengecekan alat untuk memastikan bahwa alat
bekerja dengan baik dan benar.
III.1.5 Perencanaan sebaran GCP dan ICP
Perencanaan sebaran GCP dan ICP dilakukan studi literatur terlebih dahulu
mengenai sebaran titik GCP dan ICP berdasarkan penelitian terdahulu dan tinjauan
pustaka yang sudah dibahas pada Bab II, untuk jumlah GCP ditentukan sebanyak 5
titik berdasarkan pada kondisi topografi area yang cenderung datar, sedangkan
untuk persebarannya dilakukan secara merata dan pada tengah area penelitian. Pada
persebaran ICP dilakukan sebaran yang merata di seluruh area yang akan diuji dan
pada penelitian ini diletakkan pada titik awal, tengah, dan akhir dari lokasi
penelitian yang diharapkan mewakili dari data daerah penelitian. Selain kriteria tadi,
ditambahkan kriteria untuk peletakan GCP maupun ICP untuk mempermudah proses
pelaksanaan akuisisi data seperti penentuan titik GCP dan ICP dihindarkan dari
obstacle, dan mempertimbangkan kondisi lingkungan warga sekitar. Untuk
mengetahui Sebaran GCP dan ICP dapat dilihat pada Gambar III-2.

Gambar III-2 Desain sebaran GCP dan ICP

49
III.1.6 Survei pendahuluan
Setelah merancang desain GCP dan ICP, tahapan selanjutnya adalah
melakukan survei ke lokasi penelitian yang telah ditentukan. Survei lokasi
penelitian ini meliputi survei lokasi persebaran GCP dan ICP serta survei obstacle
(penghalang) yang terdapat di lokasi penelitian. Survei persebaran GCP dan ICP
ditujukan untuk memastikan apakah pada titik tersebut dapat diidentifikasi atau tidak
pada foto udara, dengan memastikan tidak terdapat halangan seperti pepohonan dan
bangunan.
Selain untuk survei lokasi sebaran GCP dan ICP, dilakukan juga survei
pendahuluan untuk akuisisi foto udara nanti. Survei ini berupa menentukan batas
aman dalam penerbangan UAV berdasarkan dari kondisi area penelitian seperti
adanya bangunan yang tinggi atau menara telekomunikasi untuk mengantisipasi
terjadinya benturan yang terjadi antara UAV dengan penghalang tersebut.
III.1.7 Perencanaan penerbangan UAV
Sebelum melakukan akuisisi data foto udara dilakukan perencanaan jalur
terbang, pada penelitian ini menggunakan 5 misi jalur terbang. Penentuan 5 misi
jalur terbang berdasarkan luas area penelitian yang mencapai 192 Ha sehingga tidak
memungkinkan dilakukan hanya dalam 1 kali terbang karena kapasitas battery dari
UAV yang hanya mampu terbang selama 20 menit dan kemampuan jarak tempuh
UAV dari remote control. Penentuan untuk 5 misi jalur terbang mengikuti pola dari
lokasi penelitian yang berbentuk memanjang dan berbelok. Untuk 1 misi terbang
memiliki kriteria panjang jalur terbang yang berbeda karena efek dari panjang dan
belokan area penelitian dan tidak melebihi dari 1 km panjang tiap misi karena untuk
mengantisipasi terjadinya lost signal pada UAV yang mengakibatkan UAV hilang
serta daya tahan battery sedangkan untuk lebar tiap misinya sama yaitu 300 meter
yang melebihi dari batas area penelitian untuk mengurangi efek lubang data pada
saat pemrosesan yang biasanya banyak terdapat pada area paling luar. Karena pada
penelitian ini menggunakan 5 misi terbang yang nantinya akan dijadikan 1 kesatuan
maka setiap misi terbang harus memiliki area bertampalan (overlap). Pada buku
panduan dari aplikasi Pix4D telah digambarkan mengenai overlap baik untuk misi
yang lurus dan belok untuk tiap misi terbang yang dapat dilihat pada Gambar III-3
dan Gambar III-4.

50
Gambar III-3 Pertampalan misi terbang yang berbelok (manual Pix4D)

Gambar III-4 Pertampalan misi terbang lurus (manual Pix4D)

Untuk jalur terbang yang direncanakan parameter nilai sidelap dan overlap
diatur pada angka 80% sebagai langkah untuk memperbanyak foto yang
bertampalan supaya orthofoto yang dihasilkan tidak terdapat lubang data, sedangkan
tinggi terbang diatur pada angka 100 meter dengan pertimbangan menghindari
obstacle seperti tiang listrik, pohon maupun menara telekomunikasi dan
mempertimbangkan GSD (Ground Sampling Distance) yang ingin didapatkan. Pada
Gambar III-5 merupakan desain dari perencanaan jalur terbang.

51
Gambar III-5 Rencana jalur terbang

III.2 Tahapan Pelaksanaan


Tahapan pelaksaan merupakan tahapan akuisisi data dilapangan. Tahapan
pelaksanaan ini dibagi menjadi 2 bagian, yaitu tahapan pelaksanaan pengamatan
titik GCP dan ICP dengan menggunakan GPS serta pelaksanaan foto udara lokasi
penelitian dengan menggunakan UAV.
III.2.1 Pelaksanaan akuisisi data GPS
Tahapan pelaksanaan akuisisi data GPS dapat dilihat pada Gambar III-6.

Gambar III-6 Tahapan akuisisi data GPS

52
Setelah melakukan perencanaan sebaran titik GCP dan ICP serta survei
pendahuluan, selanjutnya adalah memasang marker pada GCP dan ICP sebagai
penanda (premark) pada foto udara yang dihasilkan nanti untuk keperluan
rektifikasi. Untuk mempermudah identifikasi premark tersebut, digunakan warna
yang terang serta kontras dari lingkungan. Gambar III-7 merupakan premark yang
digunakan.

Gambar III-7 Premark yang digunakan


Berikutnya adalah pengukuran GPS di lapangan. Sebelum pengukuran GPS
dilaksanakan terlebih dahulu dicek kembali apakah instrumen alat sudah terpasang
dengan baik dan benar seperti titik nivo pada tribach berada pada pusat tengah
lingkaran (centering) dan pengukuran tinggi receiver alat, apabila salah dalam
melakukan pemasangan alat maka akan berdampak pada nilai ketelitian data yang
menjadi buruk. Pada penelitian ini, metode pengukuran yang digunakan adalah
metode statik dengan lama pengamatan selama 60 menit dengan panjang baseline
dengan titik referensi CORS CSEM BIG 31 km. Penentuan lama pengamatan
berdasarkan dari panjang baseline, metode yang digunakan serta tipe receiver signal
alat GPS yang telah dibahas pada Bab II. Lama pengamatan 60 menit
didapatkan dari metode statik, alat yang digunakan merupakan dual frekuensi (L1
dan L2) receiver akan tetapi pada perencanaan semula titik ikat referensi yang
digunakan adalah CORS UDIP dengan panjang baseline 25 km mengalami
perubahan, karena sinyal yang diterima dari CORS UDIP terdapat sinyal yang

53
putus- putus yang mempengaruhi kualitas data maka titik ikat referensi yang
digunakan berpindah dari CORS UDIP ke CORS CSEM yang berakibat kurangnya
lama pengamatan yang dilakukan karena perubahan baseline yang lebih panjang.
Proses akuisisi data GPS dapat dilihat pada Gambar III-8.

Gambar III-8 Pengukuran tinggi alat GPS

Setelah melakukan akuisisi data di lapangan, kedua data tersebut diolah pada
software Topcon Link. Pengolahan data GPS dilakukan dengan metode radial
karena titik GCP dan ICP pengamatannya tidak dilakukan pada waktu yang
bersamaan. Untuk mengetahui kekuatan jaringan yang terbentuk dari sebaran GCP
dapat digunakan perhitungan strenght of figure yang telah dijelaskan pada Bab II
yang pengolahannya dapat dilihat Lampiran B. Kemudian langkah pengolahan
diawali dari melakukan import data GPS baik dari pengamatan lapangan maupun
dari CORS. Kemudian mengisi data GPS pada kolom bawah Topcon Tools seperti
tinggi antena, jenis antena, dan jenis kontrol. Kemudian dilakukan post processing
dan juga adjustment. Gambar III-9 merupakan baseline yang terbentuk hasil dari
pengolahan dengan menggunakan software Topcon Tools.

54
Gambar III-9 Baseline hasil pengolahan dengan Topcon Tools

III.2.2 Pelaksanaan akuisisi data foto udara


Setelah melakukan persiapan akuisisi foto udara, langkah berikutnya adalah
melakukan akuisisi foto udara dilapangan. Untuk tahapan akuisisi foto udara di
lapangan dijelaskan melalui diagram alir pada Gambar III-10.

Gambar III-10 Tahapan akuisisi data foto udara

55
Teknis akuisisi foto udara di lapangan diawali dengan merakit komponen dari
UAV meliputi aircraft atau badan pesawat, remote control dan smartphone.
Langkah berikutnya adalah mulai untuk mengkalibrasi UAV, terdapat tiga macam
kalibrasi diantaranya:

1. Kalibrasi kompas
Kalibrasi ini dilakukan agar tidak terjadi kesalahan pada IMU (Inertial
Measuring Unit) aircraft dan dapat dikendalikan sesuai dengan perintah
nantinya. Untuk teknis pelaksanaan dari kalibrasi kompas adalah setelah
menghubungkan remote control dengan smartphone kemudian diawali
dengan membuka software DJI Go pada smartphone. Kalibrasi kompas
dilakukan dengan cara mengeksekusi perintah compass calibrate dan
mengikuti instruksi yang diberikan oleh aplikasi DJI Go. Teknis dari
kalibrasi kompas adalah memutar aircraft DJI Phantom searah jarum jam
dengan posisi horizontal maupun vertikal sebagaimana ditunjukan Gambar
III-11 dan III-12.

Gambar III-11 Kalibrasi kompas horizontal

Gambar III-12 Kalibrasi kompas vertikal

56
2. Kalibrasi gymbal
Kalibrasi pada alat kontrol horizontal kamera, jadi gymbal disini
bertanggung jawab untuk menjaga kondisi kamera tetap pada posisi
horizontal sesuai bidang nivo.

3. Kalibrasi pada Remote Control


Kalibrasi pada remote pengontrol UAV. Bertujuan untuk memastikan
fungsi dari komponen-komponen pengontrol pada remote control normal.
Kalibrasi remote control dilakukan hanya sekali sesudah penyambungan
remote control dan aircraft untuk yang pertama kali.

Setelah kalibrasi menggunakan aplikasi DJI Go selesai dilakukan, kemudian


melakukan pengisian perencanaan jalur terbang melalui smartphone dengan
membuka software Pix4Dcapture dengan mengisikan empat parameter pemotretan
foto udara diantaranya area, overlap, sidelap dan altitude. Jalur terbang yang
digunakan akan dijelaskan pada Tabel III-1.
Tabel III-1 Jalur terbang yang digunakan.

Jalur terbang Parameter Sketsa jalur

Sidelap :80
Jalur Terbang 1 Overlap:80
Altitude:100

Sidelap :80
Jalur Terbang 2 Overlap:80
Altitude:100

57
Tabel III-1 Jalur terbang yang digunakan (lanjutan)

Jalur terbang Parameter Sketsa jalur

Sidelap :80
Jalur Terbang 3 Overlap:80
Altitude:100

Sidelap :80
Jalur Terbang 4 Overlap:80
Altitude:100

Sidelap :80
Jalur Terbang 5 Overlap:80
Altitude:100

Setelah melakukan penentuan area, overlap, sidelap dan altitude langkah


selanjutnya adalah melakukan eksekusi pemotretan foto udara pada Pix4Dcapture.
Kemudian UAV melakukan pemotretan sesuai dengan project perencanaan yang
dibuat. Setelah selesai melakukan pemotretan, UAV akan kembali dan foto dapat
diunduh dari kartu micro sd pada UAV. Dari 5 misi yang dibuat menghasilkan 1931
foto untuk area penelitian yang akan diolah. Gambar III-13 merupakan beberapa
foto hasil pemotretan menggunakan pesawat UAV.

58
Gambar III-13 Sampel hasil foto udara

III.3 Tahapan Pengolahan


III.3.1 Orthofoto
Foto udara hasil survei kemudian akan diproses bersama dengan data ukuran
GPS Geodetik dengan menggunakan aplikasi Pix4Dmapper yang memiliki output
berupa point cloud DSM dan orthofoto. Berikut adalah Gambar III-14 mengenai
tahapan pemrosesan data di Pix4Dmapper.

Gambar III-14 Alur pemrosesan Pix4Dmapper

59
Pada saat memasukkan foto yang akan digunakan untuk diproses, software
Pix4Dmapper memasukkan orientasi internal kamera pada seluruh gambar seperti
omega, phi dan kappa yang didapat dari meta data foto dan sudah memiliki
koordinat hasil dari GPS pada UAV serta secara otomatis akan mendeteksi sistem
koordinat yang dipakai dalam pemrosesan, untuk nilai akurasi horizontal dan
vertikal diisi dengan angka 5 meter untuk horizontal dan vertikal 10 meter nilai
tersebut didapat dari panduan manual Pix4D karena geolokasi foto udara untuk
UAV memiliki tingkat akurasi yang tinggi. Gambar III-15 merupakan proses pada
saat memasukkan foto udara.

Gambar III-15 Koordinat dan orientasi kamera yang terbaca pada tiap foto

Langkah selanjutnya adalah intial processing yang mempunyai tujuan untuk


mencari keseragaman pada foto dalam bentuk tie point untuk ditampalkan pada tiap-
tiap foto. Untuk parameter yang digunakan adalah image scale full yang berarti
menggunakan ukuran foto asli tanpa merubah ukuran agar hasil yang didapatkan
maksimal. Hasil akhir dari proses ini berupa point cloud yang masih renggang.
Gambar III-16 sampai Gambar III-18 merupakan parameter yang digunakan dalam
initial processing.

60
Gambar III-16 Parameter initial processing (general)

Gambar III-17 Parameter initial processing (matching)

Pada opsi general keypoint image scale berguna untuk menentukan ukuran
gambar yang digunakan untuk mengekstrak keypoints dan digunakan opsi full
supaya tidak ada data yang berkurang nantinya. Metode matching foto digunakan
untuk memilih pasangan pada foto yang memiliki kesesuaian. Digunakan aerial
grid or corridor karena mengoptimalkan pasangan tiap foto yang bersesuaian untuk

61
misi aerial pada jalur penerbangan udara. Pada opsi setelahnya digunakan
pencocokan secara geometris, selain menggunakan keypoint pada masing-masing
foto yang bersesuaian dilakukan pencocokan dengan menggunakan posisi relatif
kamera yang berakibat pada akurasi lokasi suatu objek pada model yang dihasilkan.

Gambar III-18 Parameter initial processing (calibration)

Untuk jumlah target keypoints digunakan opsi otomatis karena akan


berpengaruh pada penentuan jumlah pada saat pemrosesan dan memungkinkan
menghasilkan hasil yang optimal. Kalibrasi digunakan untuk memilih bagaimana
parameter internal dan eksternal kamera dioptimalkan dan dipilih metode kalibrasi
accurate geolocation and orientation berguna untuk projek dengan geolokasi foto
udara yang akurat. Metode kalibrasi ini membutuhkan semua foto udara yang
bergeolokasi dan berorientasi.
Karena model yang dihasilkan masih memiliki nilai akurasi koordinat tanah
yang kurang teliti, maka dimasukkan GCP sebagai titik kontrol dan ICP sebagai
titik cek bebas dari pengukuran GPS geodetik untuk mendapatkan nilai yang lebih
akurat (rektifikasi). Ketika memasukkan GCP, maka tipe yang dipilih adalah 3D
GCP karena memiliki nilai ketinggian serta untuk ICP yang dipilih adalah tipe check
point. Gambar III-19 merupakan proses untuk memasukkan GCP dan ICP.

62
Gambar III-19 Input parameter GCP dan ICP

Input yang dimasukkan untuk GCP dan ICP berupa koordinat X, Y, Z serta
nilai akurasi dari titik tersebut yang didapat dari nilai RMS hasil pengolahan GPS.
Setelah koordinat GCP dan ICP dimasukkan maka secara otomatis titik tersebut
mempunyai tanda lingkaran, akan tetapi jika dilihat secara teliti tanda lingkaran
tersebut bergeser dari premark yang sudah terpasang ketika akuisisi data. Oleh
sebab itu tanda lingkaran tersebut digeser ke arah titik tengah premark sesuai
dengan hasil interpretasi dan diusahakan sesuai titik agar hasilnya akurat, kemudian
akan muncul nilai kesalahannya berupa RMS error GCP. Gambar III-20 merupakan
proses memilih titik GCP secara manual.

Gambar III-20 Memilih titik GCP secara manual

63
Dari hasil initial processing didapatkan point cloud yang masih renggang
Gambar III-21 merupakan hasil point cloud renggang yang sudah dilakukan
rektifikasi koordinat GCP dan ICP.

Gambar III-21 Point cloud renggang

Setelah proses initial processing dilakukan proses point cloud and mesh yang
bertujuan untuk membentuk point cloud padat dari point cloud jarang yang
dihasilkan dari proses intial processing serta memberi tekstur pada hasil point cloud
padat. Parameter yang digunakan untuk pembuatan point cloud padat yaitu density
point digunakan opsi optimal dan image scale menjadi setengah dari ukuran aslinya,
mengingat foto yang akan diproses sangatlah banyak sehingga membutuhkan waktu
yang lama dan pada manual book Pix4Dmapper dijelaskan bahwa hasil point cloud
tidak terlalu signifikan jika menggunakan full image. Sedangkan untuk kepadatan
point cloud jelas akan mempengaruhi jumlah point cloud dan berakibat pada
kualitas DSM pada tahap selanjutnya yang akan dibahas pada Bab IV. Gambar III-
22 dan Gambar III-23 merupakan parameter yang digunakan pada saat proses
pembentukan point cloud padat dan hasilnya. Kemudian point cloud tadi diekspor ke
format LASer (.LAS) LiDAR yang kemudian akan diolah untuk proses filtering
pembuatan DTM pada tahap selanjutnya.

64
Gambar III-22 Parameter proses point cloud

Gambar III-23 Parameter proses point cloud (3D texture mesh)

Karena hasil dari point cloud padat nanti terdapat lubang data maka langkah
selanjutnya dilakukan proses pembuatan 3D textured mesh yang berfungsi untuk
melakukan interpolasi untuk menutupi jika terdapat lubang data. Parameter yang
digunakan adalah opsi medium yang menghasilkan detail yang cukup bagus. Pada
pembuatan 3D mesh, data point cloud yang berdekatan akan dilakukan interpolasi
pada area yang berlubang. Gambar III-24 dan III-25 merupakan dari pengolahan
point cloud.

65
Gambar III-24 Point cloud padat

Gambar III-25 Hasil 3D mesh

Tahap terakhir adalah pembuatan orthofoto dan DSM hasil pengolahan yang
dapat dilihat pada gambar III-26 untuk mengetahui parameter yang digunakan pada
saat pemrosesan tahap ini.

Gambar III-26 Parameter DSM, orthomosaic dan index

66
Untuk resolusi orthofoto dan DSM sesuai dengan nilai GSD yaitu 4,12 cm
tiap pikselnya. Nilai GSD (Ground Sampling Distance) dipengaruhi oleh ukuran
sensor kamera yang digunakan, panjang fokal dari kamera, tinggi terbang pada saat
akuisisi data, ukuran panjang dan lebar dari foto yang dihasilkan. Pada point cloud
masih terdapat titik yang salah dan tidak beraturan. Untuk menghilangkan noise
pada point cloud dilakukan noise filtering sehingga titik yang tidak beraturan dan
tidak terikat dengan titik lain akan hilang. Setelah filter diterapkan, maka surface
akan terbentuk dari point cloud akan tetapi permukaan yang terbentuk masih belum
rapi dan rata sehingga perlu dilakukan proses penghalusan. Pada proses ini,
digunakan parameter smoothing tipe sharp, yang tetap menjaga orientasi permukaan
dan menjaga agar fitur tetap tajam seperti terdapat sudut pada tepi bangunan. Karena
data hasil pengolahan masih berupa point cloud, untuk mendapatkan hasil berupa
DSM maka titik- titik dari point cloud tadi yang masih memiliki jarak antar titiknya
akan dilakukan interpolasi untuk mendapatkan surface padat yang memiliki
informasi ketinggian pada seluruh titiknya. Metode yang digunakan pada proses
interpolasi ini adalah IDW (Inverse Distance Weighting) karena memperhitungkan
jarak untuk mendapatkan nilai bobot untuk interpolasi pada titik yang berlubang,
jarak yang dimaksud adalah jarak titik sampel terhadap blok yang akan diestimasi
dan metode ini direkomendasikan dari manual Pix4D untuk area yang terdapat
bangunan. Untuk mengetahui hasil akhir pengolahan dapat dilihat pada Gambar III-
27 dan Gambar III-28.

Gambar III-27 Hasil orthomosaik

67
Ketinggian

Gambar III-28 Hasil DSM

III.3.2 Penapisan
Pada pembuatan DTM, diperlakukan tahapan penapisan (filtering) untuk
menghilangkan unsur bangunan dan tumbuhan dari data pointcloud DSM, sehingga
menghasilkan nilai ketinggian dari unsur tanah secara langsung (bare earth). Pada
proses filtering menggunakan data point cloud hasil dari proses sebelumnya. Ketika
membuka data point cloud, data tersebut masih belum terklasifikasi sehingga
tahapan selanjutnya adalah melakukan klasifikasi ground point dengan tujuan
menentukan point cloud yang termasuk ke dalam klasifikasi ground point.
Penentuan klasifikasi ground point dilakukan secara otomatis untuk
mempermudah klasifikasi dengan menggunakan software Global Mapper. Pada
tahap klasifikasi parameter base bin size dimasukkan nilai 4 meter yang berarti akan
dilakukan pengecekan tiap kotak dengan panjang lebar 4 meter. Semakin besar nilai
yang dimasukkan akan mempengaruhi hasil yang didapatkan, jika nilai semakin
kecil maka pengecekan kotak akan dilakukan dengan sangat rapat tetapi hasilnya
tidak sesuai yang diharapkan. Setelah dilakukan trial and error, didapatkan nilai 4
meter karena mempunyai tingkat akurasi dan tingkat kedetailan yang bagus. Kriteria
lain yang digunakan adalah menentukan area tanah di atas. Data yang dianggap
tanah merupakan data yang memiliki ketinggian terkecil pada kotak 4 meter tadi,
dan jika ada data pada rentang tersebut memiliki beda tinggi sebesar 0,6 meter dari
titik referensi maka akan tidak diklasifikasikan sebagai tanah. Data

68
tersebut didapat dari survei lapangan. Sedangkan parameter nilai kelerengan daerah
tersebut adalah 3 derajat yang didapat dari hitungan Global Mapper. Gambar III-29
merupakan parameter yang digunakan dalam klasifikasi.

Gambar III-29 Klasifikasi ground point


Hasil dari klasifikasi dengan menggunakan klasifikasi otomatis masih
menunjukkan perbedaan dengan kondisi sesungguhnya bila dibandingkan dengan
interpretasi dari orthofoto sehingga dilakukan klasifikasi secara manual dengan
interpretasi foto udara untuk menentukan area ground point. Gambar III-30
merupakan hasil dari klasifikasi.

Gambar III-30 Hasil klasifikasi ground point

Setelah klasifikasi tanah selesai maka selanjutnya adalah membuat elevation


grid dengan menggunakan data point cloud yang sudah terklasifikasi ground point
dan disimpan dalam format .tiff agar dapat dibuka pada software AutoCad nanti.
Gambar III-31 merupakan hasil filtering yang terbentuk dari klasifikasi ground
point.

69
Ketinggian

Gambar III-31 Hasil filtering

III.4 Tahapan Pemodelan Jalur SUTET


Tahapan pemodelan jalur SUTET pertama kali adalah penentuan lokasi titik
SUTET dengan menggunakan acuan Peraturan Menteri ESDM No. 18 Tahun 2015
mengenai ruang bebas dan jarak minimum agar nantinya SUTET yang dibuat
memenuhi standar yang ditentukan. Untuk mengetahui langkah pembuatan model
jalur SUTET dapat dilihat pada Gambar III-32.
Peraturan
Penentuan
Menteri ESDM
koordinat lokasi
Nomor 18
sebaran SUTET
Tahun 2015

Pemodelan Pemodelan
SUTET secara SUTET secara
vertikal horizontal

Perhitungan nilai
Pembuatan buffer
sag konduktor
ruang bebas
maksimal
horizontal
berdasarkan span

Pembuatan
template draft Pembuatan ROW
model sag SUTET
konduktor

Pengukuran sudut
Pembuatan profil
memanjang DSM belok antar as
tower
dan DTM

Pembuatan Penentuan tipe


menara SUTET tower yang
pada profil digunakan
memanjang

Pemasangan Model SUTET


template draft sag secara
sesuai jarak basic horizontal
span

Pembuatan zona
ruang bebas
vertikal minimum
sesuai kategori

70
Model SUTET
secara vertikal

Gambar III-32 Diagram alir tahapan pemodelan SUTET

71
III.4.1 Pemodelan SUTET secara horizontal
Pemodelan SUTET secara horizontal ini menggunakan acuan ruang bebas
horizontal dan untuk penentuan lokasi titik SUTET berdiri dilakukan secara manual
dengan melakukan interpretasi pada orthofoto. Untuk penentuan titik pada
penelitian ini, titik SUTET disimbolkan berupa titik (point) yang akan diletakkan
pada area persawahan dan berusaha menghindari daerah pemukiman agar jarak
bebas horizontal terpenuhi dan juga memperhatikan jarak antar titik tidak melebihi
dari 500 meter, karena untuk SUTET 500 kV sirkuit ganda jarak maksimal yang
diperbolehkan tidak lebih dari 500 meter. Untuk mengetahui apakah titik yang
dibuat tersebut memenuhi jarak bebas horizontal, titik tersebut dibuat lingkaran di
mana lingkaran tersebut memiliki nilai jari- jari 17 meter sesuai dengan peraturan
ruang bebas horizontal. Pada Gambar III-33 merupakan salah satu titik SUTET
yang akan dibuat serta lingkaran radius jarak bebas.

Gambar III-33 Lingkaran jarak bebas horizontal

Selanjutnya adalah menghitung sudut belok antara titik SUTET yang satu
dengan yang lainnya untuk menentukan tipe tower yang digunakan serta luasan
tapak tower. Pada Gambar III-34 dan Gambar III-35 merupakan contoh sudut belok
yang terbentuk dari garis centerline dari titik SUTET 1 dan 2 memiliki sudut belok
sebesar 2°0’41”.

72
Gambar III-34 Sudut belok tower

Gambar III-35 Sudut belok tower

Setelah itu dilakukan pembuatan tapak tower yang luasannya ditentukan


oleh sudut belok antara tower yang satu dengan sesudahnya dan pembuatan ROW
dilakukan dengan cara melakukan offset dari centerline yang menghubungkan satu
menara ke menara yang lain sebesar 17 meter di sebelah kanan dan kiri sesuai
dengan peraturan. Gambar III-36 merupakan pemodelan jalur SUTET secara
horizontal.

Gambar III-36 Model jalur SUTET secara horizontal

73
III.4.2 Pemodelan SUTET secara vertikal
a. Pembuatan sagging
Pada penentuan ruang bebas vertikal diperlukan perhitungan sagging
untuk menentukan nilai lengkungan maksimal suatu konduktor ke arah tanah, untuk
melakukan perhitungan sagging ditentukan dahulu jarak basic span dan tipe
konduktor yang digunakan kemudian akan dibuat template untuk masing- masing
sagging berdasarkan jarak span. Template yang akan digunakan adalah template
dengan basic span 350 meter dan 400 meter karena jarak antara tower SUTET yang
direncanakan mendekati kedua basic span tersebut. Hasil dari perhitungan excel
adalah berupa koordinat x dan y dan pada pembuatannya jarak antar satu titik ke
titik yang lain memiliki interval masing-masing titik 50 meter. Untuk perhitungan
dapat dilihat pada Lampiran E. Setelah melakukan perhitungan dan mendapatkan
hasil berupa koordinat sesuai dengan salah satu basic span, dilakukan pembuat
sketsa lengkungan dengan menggunakan Autocad. Gambar III-37 merupakan hasil
penggambaran sketsa lengkungan pada basic span 350 m.

Gambar III-37 Lengkungan basic span template 350 m

b. Pembuatan surface dan profil memanjang


Pembuatan surface dilakukan dengan menggunakan data DSM dan DTM
dengan format .tiff pada aplikasi Autocad Civil 3D dan dilanjutkan dengan
melakukan allignment pada lokasi titik- titik SUTET yang direncanakan dengan
tujuan membuat STA dan centerline pada titik tersebut agar berhubungan dan dapat
membentuk profil memanjang. Gambar III-38 merupakan surface yang terbentuk
beserta hasil allignment.

74
Gambar III-38 Hasil surface

Selanjutnya pembuatan profil memanjang, dari data allignment dan surface


DEM. Profil memanjang ini digunakan untuk acuan lokasi SUTET berdiri dan
untuk ruang bebas vertikal. Skala yang digunakan adalah vertikal 1:2,5 dan
horizontal 1:1 dalam satuan meter dengan pertimbangan untuk memperlihatkan
tingkat detail dari surface tersebut dan ukuran kertas yang digunakan dalam layout
nanti. Gambar III-39 merupakan contoh potongan profil memanjang dari DSM.

Gambar III-39 Hasil potongan profil memanjang

c. Pembuatan menara SUTET dan ruang bebas vertikal


Pembuatan menara berdasarkan dari titik yang telah dibuat sebelumnya
secara horizontal, aturan untuk tinggi menara adalah 35 meter, tetapi tinggi menara
yang dibuat untuk layout disini memiliki ketinggian 50 meter dan terdapat informasi
selisih jarak dari titik 0 yang merupakan tinggi menara 35 meter. Tinggi menara
dibuat lebih tinggi agar ketika jarak dan ruang bebas minimum vertikal

75
tidak terpenuhi, maka ujung lengkungan kabel ditempatkan pada menara yang lebih
tinggi dari 35 meter sesuai dengan kebutuhan. Menara didesain berdiri diatas area
DTM karena DTM mengindikasikan ketinggian dari tanah langsung. Setelah
pembuatan menara maka memasang template sagging sesuai dengan basic span
yang akan digunakan. Dari titik yang sudah direncanakan menara 1 ke menara 2
memiliki jarak 405 meter, berarti akan digunakan template 400 meter karena
nilainya yang mendekati. Apabila sudah terpasang maka dilakukan offset untuk
identifikasi ruang bebas vertikal berdasarkan kriteria seperti bangunan dan
tumbuhan memiliki ruang bebas 9 meter dari lengkungan maksimal konduktor,
daerah terbuka 12.5 meter dan lapangan umum 18 meter dan digunakan warna yang
berbeda agar mudah untuk identifikasi. Gambar III-40 merupakan contoh hasil
desain secara vertikal.

Gambar III-40 Desain tower dan sagging

III.5 Tahapan Analisis Ruang Bebas Minimum


III.5.1 Tahapan analisis ruang bebas minimum horizontal
Pada tahapan ini, digunakan data orhtofoto untuk interpretasi sebagai acuan
dalam penentuan ruang bebas dan koordinat titik as menara SUTET yang
direncanakan. Titik as tersebut kemudian dilakukan buffer sebesar 17 meter sesuai
dengan peraturan dan zona di dalam buffer tersebut merupakan ruang bebas
minimum secara horizontal. Gambar III-41 merupakan hasil dari buffer 17 meter as
menara SUTET.

76
Gambar III-41 Tahapan analisis buffer ruang bebas horizontal

Setelah dilakukan buffer sebesar17 meter dari as menara SUTET dilakukan


interpretasi dengan orthofoto apakah area buffer tersebut terdapat objek seperti
rumah maupun pepohonan untuk mengetahui apakah ruang bebas minimum
horizontal terpenuhi. Kemudian dihitung jarak objek terdekat ke as menara SUTET.

III.5.2 Tahapan analisis ruang bebas minimum.


Pada tahapan ini, hasil pemodelan SUTET yang telah dibuat akan dianalisis
jarak ruang bebas minimum vertikal. Pemodelan SUTET dapat dilihat pada Gambar
III-42 dan III-43.

Gambar III-42 Pemodelan secara vertikal

77
Gambar III-43 Pemodelan secara horizontal

Gambar III-42 dan III-43 merupakan model menara SUTET secara vertikal
maupun horizontal, garis berwarna merah merupakan permukaan tanah sedangkan
yang berwarna coklat adalah permukaan tanah yang masih terdapat objek bangunan
maupun tumbuhan. Untuk garis lengkungan biru merupakan lengkungan konduktor
SUTET sedangkan lengkungan yang ada di bawahnya merupakan ruang bebas yang
tidak boleh dilewati permukaan ketinggian DSM sesuai dengan kategorinya.
Kategori ruang bebas dibagi menjadi tiga yaitu warna kuning untuk bangunan dan
tumbuhan dengan jarak 9 meter, daerah terbuka berwarna hijau dengan jarak 12,5
meter dan lapangan terbuka sebesar 18 meter dari objek ke lengkungan konduktor
dengan warna hitam.
Apabila terdapat DSM yang menembus ruang bebas maka kemudian
dilakukan interpretasi pada model horizontal untuk mengetahui objek yang berada
di bawah lengkungan konduktor sehingga dapat menentukan termasuk ke kategori
mana objek tersebut dimasukkan ke dalam ruang bebas vertikal untuk mengetahui
titik tersebut aman apakah tidak. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Bab IV
mengenai analisis ruang bebas dan jarak bebas minimum.

III.6 Tahapan Verifikasi Kebijakan Peraturan Daerah


Hasil dari koordinat lokasi perencanaan SUTET yang telah dibuat akan
dilakukan verifikasi dengan peraturan daerah Kabupaten Semarang mengenai aspek
zonasi. Untuk peraturan daerah yang digunakan adalah peraturan daerah Kabupaten
Semarang nomor 6 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Semarang tahun 2011-2031.
Pada peraturan daerah tersebut terdapat peraturan mengenai pengembangan
jaringan transmisi tenaga listrik termasuk mengenai zonasi untuk pengembangan
jaringan transmisi tenaga listrik berupa SUTET 150 kV maupun SUTET 500 kV.

78
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem jaringan energi terdapat pada pasal
49 huruf yang berbunyi “peraturan zonasi untuk jaringan transmisi tenaga listrik
disusun dengan memperhatikan ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang bebas di
sepanjang jalur transmisi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Pada pasal 49 huruf b memiliki arti jika kebijakan peraturan daerah mengenai
SUTET harus memperhatikan ketentuan ruang bebas di sepanjang jalur dengan
ketentuan perundang-undangan, sehingga untuk dilakukan verifikasi terhadap
peraturan daerah tersebut dilakukan pengecekan kembali terhadap peraturan menteri
ESDM nomor 18 tahun 2015 mengenai ruang bebas dan jarak bebas minimum
pada SUTET sebagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada hasil koordinat lokasi perencanaan SUTET yang telah dibuat akan
dilakukan plotting ke peta RTRW Kabupaten Semarang. Sebelum dilakukan proses
plotting, terlebih dahulu menyamakan sistem proyeksi yang digunakan yaitu UTM
zone 49 S. Setelah sistem proyeksi yang digunakan sama, titik koordinat hasil
perencanaan saling dihubungkan sehingga membentuk jalur yang kemudian
dilakukan buffer pada jalur tersebut sebesar 17 meter sesuai ruang bebas horizontal
pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 18 Tahun 2015 yang dapat dilihat pada
Gambar III-44.

Gambar III-44 Hasil buffer pada jalur perencanaan

Setelah proses buffer selesai dilakukan plotting ke peta RTRW untuk


mengetahui daerah yang terkena dampak perencanaan SUTET pada lokasi
perencanaan. Kemudian untuk mengetahui luasan area yang terdampak pada
perencanaan tersebut dilakukan proses overlay intersect dari area yang

79
bertampalan. Hasil plotting buffer jalur SUTET pada peta RTRW dan area yang
terdampak dapat dilihat pada Gambar III-45 dan Gambar III-46.

Gambar III-45 Hasil sampel plotting jalur rencana SUTET pada peta RTRW

(a) overlay RTRW dengan jalur rencana (b) area terdampak


Gambar III-46 Overlay model jalur SUTET dengan RTRW

Setelah melakukan overlay, selanjutnya mencari luasan area yang


bertampalan dengan membuka atribut pada konten hasil overlay. Gambar III-47
merupakan atribut luasan area terdampak hasil overlay dalam satuan meter.

Gambar III-47 Atribut luasan area terdampak ROW SUTET

III.7 Tahapan Validasi dan Analisis Ketelitian


Validasi dilakukan dengan membandingkan data hasil pengolahan dengan
data yang dianggap lebih teliti. Data yang akan dilakukan validasi yaitu koordinat
dari orthofoto dan koordinat ICP hasil penukuran GPS. Validasi dilakukan dengan

80
menggunakan beberapa sampel, selain itu dilakukan uji statistik untuk mengetahui
tingkat kualitas data yang digunakan apakah layak untuk penelitian ini.
III.7.1 Tahapan uji normalitas data
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui data yang digunakan telah
memenuhi persyaratan normalitas sehingga dapat dipakai dalam statistik
parametrik. Pada penelitian ini, metode yang digunakan untuk uji normalitas adalah
Shapiro-Wilk karena sebaran data yang digunakan sampel kurang dari 50 untuk
setiap variabel. Variabel yang digunakan berjumlah 6 yaitu koordinat X, Y, Z dari
orthofoto dan koordinat X, Y, Z dari ICP. Uji normalitas akan dilakukan pada
masing- masing variabel. Berikut Tabel III-2 merupakan variabel yang digunakan
untuk uji normalitas.

Tabel III-2 Variabel uji normalitas

X_ICP Y_ICP Z_ICP X_Orhtofoto Y_Orhtofoto Z_Orhtofoto


436008,415 9196627,944 491,634 436008,423 9196627,799 491,501
435276,355 9196135,767 492,510 435276,138 9196135,782 492,488
433654,435 9195943,742 491,360 433654,390 9195943,665 491,279

Sebelum melakukan uji normalitas, diperlukan hipotesis terlebih dahulu.


Adapun hipotesis yang digunakan sebagai berikut:
Ho : Data tidak berdistribusi normal
Ha : Data berdistribusi normal
Setelah dibentuk hipotesis maka harus dibentuk syarat dari uji normalitas tersebut.
Adapun syarat uji normalitas adalah sebagai berikut:
1. Syarat pertama yakni jika nilai sig > 0,05 dapat diartikan Ho ditolak, Ha
diterima.
2. Syarat kedua yakni jika nilai sig < 0,05 dapat diartikan Ho diterima, Ha
ditolak.
Hasil dari uji normalitas dapat dilihat pada Gambar III-48.

81
Gambar III-48 Report uji normalitas Shapiro-Wilk

III.7.2 Tahapan uji korelasi


Sebelum dilakukan uji bivariate perlu menentukan hipotesis nol dan
hipotesis alternatif terlebih dahulu. Tujuannya untuk mengetahui hubungan berarti
atau tidak antar dua variabel yang dihubungkan, variabel dalam penelitian ini yaitu
koordinat X, Y, Z orthofoto dan koordinat X, Y, Z ICP. Hipotesis nol dan hipotesis
alternatif pada uji bivariate ini, yaitu:
Ho : Tidak ada hubungan antara variabel 1 dan variabel2
Ha : Ada hubungan antara variabel1 dan variabel2

III.7.3 Tahapan uji t


Uji ini menggunakan metode Paired Sample t-Test (untuk data terdistribusi
normal). Sebelum dilakukan pengolahan uji t, diperlukan pembentukan hipotesis
yang akan diuji pada uji t. Hipotesis yang akan diuji sebagai berikut:
Ho : Tidak terdapat perbedaan signifikan antara kedua data
Ha : Terdapat perbedaan signifikan antara kedua data
Pada uji t, setelah dibentuk hipotesis maka diperlukan pembentukan syarat
mengenai tingkat signifikansi yang akan dihasilkan. Syarat tersebut sebagai berikut:

a. Jika probabilitas atau signifikansi > 0,05, Ho diterima.


b. Jika probabilitas atau signifikansi < 0,05, Ho ditolak.

Hasil uji t dapat dilihat pada Gambar III-49.

82
Gambar III-49 Report hasil Paired Samples Test

III.8 Tahapan Penyajian Peta Hasil Pemodelan


Hasil model perencanaan SUTET ini akan disajikan dalam bentuk peta baik
untuk model secara vertikal dan model secara horizontal. Pertama adalah
menentukan ukuran peta yang ingin disajikan, yaitu ukuran A3 dengan skala
1:4.000 untuk model horizontal dan 1:1.600 untuk model vertikal, kemudian
dilanjutkan dengan membuat batas tepi peta dan informasi peta. Informasi peta yang
disajikan akan dibagi menjadi 5 bagian port. Untuk port yang pertama berisi
informasi bidang persamaan, yang kedua berisi model SUTET secara vertikal,
ketiga berisi informasi tepi termasuk legenda, keempat adalah informasi untuk
SUTET dan yang kelima berisi model SUTET secara horizontal. Untuk mengetahui
lebih jelas mengenai pembagian port peta dapat dilihat Gambar III-50.

Gambar III-50 Pembagian port layout

Bidang persamaan merupakan suatu garis yang mempunyai informasi


ketinggian dari bidang elipsoid, nilai tingginya menyesuaikan dengan ketinggian
surface DSM maupun DTM, dan skala yang digunakan adalah 1:1.600 dalam
satuan milimeter. Bidang persamaan dapat dilihat pada Gambar III-51.

83
Gambar III-51 Bidang persamaan pada port pertama

Pada port kedua memuat profil memanjang DSM maupun DTM juga
menara SUTET dan lengkungan kabelnya yang merupakan hasil dari pemodelan
secara vertikal. Gambar III-52 merupakan informasi yang terdapat pada port kedua.

Gambar III-52 Informasi port kedua

Untuk port ketiga terdapat informasi tepi yang berisi judul, logo, legenda,
serta skala yang digunakan. Gambar III-53 merupakan informasi tepi.
Yang keempat adalah informasi mengenai SUTET seperti nomor SUTET
jarak span, jarak komulatif, sudut belok, elevasi tower dari elipsoid, tipe tower,
elevasi titik DTM dan weight span yang merupakan jarak antara menara dengan
lendutan maksimal kabel pada tower tersebut. Untuk lebih detail dapat dilihat pada
Gambar III-54.

84
Gambar III-53 Informasi tepi

Gambar III-54 Informasi SUTET

Selanjutnya adalah pada port kelima, berisi pemodelan secara horizontal


yang disesuaikan penempatan titik SUTET dari port kedua dan port kelima dan
sebagai bahan untuk interpretasi obstacle pada DSM dengan melihat pada model
horizontal yang telah disesuaikan posisinya. Hasil akhir penyajian peta dapat dilihat
pada Gambar III-55.

85
Gambar III-55 Hasil akhir peta

85
HASIL DAN ANALISIS

IV.1 Hasil dan Analisis Foto Udara


Pada penelitian ini dihasilkan sebanyak 1931 foto udara hasil dari 5 misi
terbang. Jumlah foto yang dihasilkan dipengaruhi oleh parameter yang direncanakan
sebelum UAV melakukan take off, antara lain sidelap, overlap, altitude, luas
area serta ukuran sensor kamera. Semakin besar nilai overlap dan sidelap semakin
banyak foto yang dihasilkan dan juga semakin tinggi untuk tinggi terbangnya
semakin sedikit foto yang dihasilkan. Gambar IV-1 merupakan contoh hasil dari
akuisisi data foto udara.

Gambar IV-1 Sampel hasil akuisisi data foto udara

Akuisisi data foto udara penelitian ini menggunakan drone Phantom 4 yang
memiliki resolusi kamera 12 Megapixel sehingga menghasilkan dimensi panjang
4000 piksel dan lebar 3000 piksel. Untuk resolusi spasial yang dihasilkan sebesar
4,12 cm tiap pikselnya yang dihasilkan dari pengaturan software perencanaan misi
terbang seperti tinggi terbang dan spesifikasi kamera seperti panjang fokal dan
ukuran sensor dari kamera. Untuk mengetahui tingkat visualisasi foto dapat dilihat
pada Gambar IV-2.
Dari Gambar IV-2 terlihat bahwa tingkat visualisasi foto dapat dinilai baik
karena detail dari suatu objek masih terlihat jelas dan mudah untuk dikenali seperti
pada gap antar rumah yang terlihat pada foto dengan perbesaran 100% dan

86
kemudian dilakukan perbesaran hingga 1000% gap tersebut masih terlihat jelas dan
tidak terlihat pecah.

(a) Perbesaran 30% (b) Perbesaran 100%

(c) Perbesaran 500% (d) Perbesaran 1000%


Gambar IV-2 Tingkat visualisasi hasil foto udara

Selain tingkat resolusi foto, foto udara yang digunakan pada penelitian ini
dikategorikan baik secara visual karena semua foto memiliki pencahayaan yang
bagus sehingga objek terlihat jelas secara merata baik bentuk maupun karakter
warna dari objek tersebut, tidak terhalang oleh kabut serta asap, tidak mengalami
blur, tidak terjadi distorsi foto yang signifikan, apabila terdapat distorsi dapat
diketahui dengan melihat daerah pinggir foto yang terlihat melengkung dan foto
udaranya adalah vertikal untuk semua foto apabila foto yang digunakan miring
(oblique) maka akan terjadi relief displacement. Sebelum dilakukan pengambilan
foto udara dilakukan kalibrasi pada drone yang bermaksud untuk mengantisipasi

87
terjadi kesalahan pengambilan foto seperti kalibrasi untuk kamera serta kompas
yang dapat berakibat juga pada keluarnya drone pada rencana terbang sehingga foto
udara tidak dapat terproses. Untuk mengetahui gambaran mengenai apakah foto
udara yang digunakan layak dan dapat dilanjutkan pada langkah pemrosesan dapat
dilihat pada Gambar IV-3 dimana warna hijau menunjukkan tidak terjadi kesalahan
pada foto udara yang berdampak pada foto yang tidak terproses dan berakibat
terjadinya lubang data pada hasil akhir.

Gambar IV-3 Hasil pengecekan foto udara

IV.2 Hasil dan Analisis Koordinat GCP dan ICP


Pada sub bab ini akan disajikan hasil pengukuran koordinat GCP dan ICP
yang telah ditransformasi ke dalam sistem proyeksi UTM zona 49S. Pengamatan
GPS untuk akuisisi data koordinat GCP memiliki tujuan untuk mendapat koordinat
yang digunakan untuk keperluan orthorektifikasi koordinat foto udara. Metode yang
dilakukan dalam pengamatan GPS menggunakan metode statik dengan waktu
pengamatan 60 menit per titik. Waktu tersebut ditentukan berdasarkan jarak antara
baseline titik GCP dan ICP dengan titik CORS UNDIP di Tembalang, akan tetapi
data yang dihasilkan dari CORS UNDIP terdapat banyak sinyal yang putus maka
titik referensi yang digunakan berpindah ke titik CORS CSEM BIG stasiun Kota
Semarang. Koordinat hasil pengolahan GCP dan ICP disajikan pada Tabel IV-1.
Tabel IV-1 Koordinat GCP dan ICP hasil pengolahan

Nama Titik Koordinat Y (m) Koordinat X (m) Elevevasi (m)

CSEM 9227612,974 431178,902 37,729

GCP1 9196587,436 436087,075 491,654

88
Tabel IV-1 Koordinat GCP dan ICP hasil pengolahan (lanjutan)

Nama Titik Koordinat Y (m) Koordinat X (m) Elevevasi (m)

GCP2 9196131,715 435389,662 492,038

GCP3 9195819,678 434696,353 490,915

GCP4 9195644,691 434244,143 492,111

GCP5 9196086,342 433391,566 491,222

ICP1 9196627,944 436008,423 491,634

ICP2 9196135,767 435276,138 492,510

ICP3 9195943,742 433654,390 491,360

Adapun nilai Strength of Figure atau kekuatan jaringan dari metode


pengamatan GPS yang digunakan dan perhitungan dengan persamaan 2.1 yang
��𝑒 (𝐴�𝐴)−1 adalah 15. Kemudian
telah dibahas pada Bab II didapatkan nilai dari ����
parameternya berjumlah 15 yang didapat dari 3 x jumlah baseline yang terbentuk
sesuai dengan persamaan 2.1. Maka nilai Strength of Figure dari jaringan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah 1. Semakin kecil nilai Strenght of Figure dan
mendekati nol maka akan semakin kuat suatu jaringan. Adapun untuk perhitungan
matriks dari Strength of Figure terdapat pada Lampiran B dan untuk mengetahui
sebaran GCP dan ICP pada jalur terbang dapat dilihat pada Gambar IV-4.

Legenda :
: Jalur Terbang
: GCP
: ICP

Gambar IV-4 Sebaran GCP dan ICP pada jalur terbang

89
Tabel IV-2 Report pengolahan GPS

Nama dHt Horizontal Vertical


dN (m) dE (m)
Baseline (m) RMS (m) RMS (m)

CSEM−GCP1 -31025,549 4908,246 453,735 0,011 0,019

CSEM−GCP2 -31481,259 4210,760 454,309 0,011 0,021

CSEM−GCP3 -31793,296 3517,451 453,186 0,011 0,019

CSEM−GCP4 -31968,283 3065,241 454,382 0,008 0,023

CSEM−GCP5 -31526,632 2212,665 453,493 0,012 0,021

CSEM−ICP1 -30985,030 4829,521 453,905 0,006 0,023

CSEM−ICP2 -31477,207 4097,236 454,781 0,007 0,023

CSEM−ICP3 -31669,231 2475,488 453,631 0,012 0,022

Keterangan :
dN (m) : Merupakan selisih ordinat / Northing dari titik GCP hingga
titik CORS dalam satuan meter.
dE (m) : Merupakan selisih ordinat / Easting dari titik GCP hingga
titik CORS dalam satuan meter.
dHt (m) : Merupakan selisih elevasi / Height dari titik GCP hingga
titik CORS dalam satuan meter.
Horizontal RMS (m) : Merupakan kesalahan pada sumbu X dan Y dari titik GCP
mengacu titik CORS dalam satuan meter.
Vertical RMS (m) : Merupakan kesalahan pada sumbu Z dari titik GCP
mengacu titik CORS dalam satuan meter.

Setelah dilakukan pengolahan dengan metode radial. Kemudian dilakukan


post processing dan melakukan adjustment untuk mengetahui hasilnya memenuhi
atau tidak. Dapat dilihat RMS dari masing-masing titik GCP dan ICP terhadap titik
CORS CSEM Semarang. Dari data Tabel IV.2 RMS horizontal paling kecil pada
pengamatan ICP 1 yaitu sebesar 0,006 meter, sementara RMS yang paling besar
pada pengamatan GCP 5 yaitu sebesar 0,012 meter. Sedangkan untuk RMS vertikal

90
paling kecil pada pengamatan GCP 1 dan GCP 3 yaitu sebesar 0,019 m, sedangkan
yang paling besar pada GCP 4 sebesar 0,023 m. Besarnya RMS vertikal terjadi
karena kurangnya waktu pengamatan, karena bergesernya titik referensi yang
digunakan dari CSEM UNDIP yang berjarak 25 kilometer ke CSEM BIG Semarang
menjadi 31 kilometer. Waktu ideal pengamatan untuk jarak baseline 31 kilometer
yang terbentuk adalah 120 menit seperti yang telah dijelaskan pada Bab III
mengenai akuisisi data. Grafik RMS pengolahan GPS disajikan pada Gambar IV-
5.
Kemudian dari hasil pengolahan GPS didapatkan elips kesalahan. Elips
kesalahan menunjukan kesalahan dari pengamatan GPS pada suatu titik yang
divisualisasikan dengan bentuk elips. Berikut Gambar IV-6 merupakan elips
kesalahan dari pengamatan GPS.

Grafik RMS Pengolahan GPS


0,025

0,02

0,015

0,01

0,005

0
GCP1 GCP2 GCP3 GCP4 GCP5 ICP1 ICP2 ICP3

Horisontal Vertikal

Gambar IV-5 Grafik RMS pengolahan GPS

Gambar IV-6 Elips kesalahan pengamatan GPS

91
IV.3 Hasil dan Analisis Orthofoto
Pada sub bab ini akan disajikan mengenai hasil pengolahan dari orthofoto
beserta report dari pengolahan yang diperoleh seperti kesalahan pada memasukkan
GCP serta nilai RMS dari ICP yang digunakan. Gambar IV-6 merupakan hasil dari
pengolahan intial processing.
Gambar IV-7 yang merupakan hasil pengolahan dari intial processing di
mana hasilnya masih berupa point cloud renggang dan jika dilihat masih terdapat
lubang data yang banyak. Kemudian dari pont cloud renggang yang telah terbentuk
harus dilakukan rektifikasi terhadap foto udara. Hal ini akan otomatis berpengaruh
ke posisi sebaran titik-titik point cloud tersebut. Report dari hasil proses rektifikasi
dapat dilihat pada Tabel IV-3.

Gambar IV-7 Hasil point cloud renggang

Tabel IV-3 Report RMSE GCP

Titik Kesalahan Kesalahan Kesalahan Kesalahan Foto


Ikat X [m] Y [m] Z [m] Proyeksi Terverifikasi
[pixel]
GCP1 0,000 -0,000 0,004 0,259 6/6
GCP2 0,000 0,000 0,006 0,742 6/6
GCP3 -0,003 0,006 -0,014 0,776 6/6
GCP4 0,000 -0,004 -0,005 0,622 6/6
GCP5 0,001 0,001 -0,015 0,932 6/6
Rata- -0,000305 0,000535 -0,004614
rata
Jumlah 0,001277 0,003248 0,008795
RMS 0,001313 0,003291 0,009932
Error

92
Pada Tabel IV-3 dapat diketahui bahwa hasil orthorektifikasi pada masing-
masing GCP memiliki nilai kesalahan tidak mencapai 1 piksel dan pada saat proses
rektifikasi premark dari GCP terverifikasi dengan menggunakan 6 foto untuk setiap
GCP. Selain memasukkan GCP, dimasukkan juga ICP sebagai titik cek yang
berfungsi untuk membandingkan hasil ukuran koordinat GPS dengan hasil
orthorektifikasi sesuai dengan lokasi observasi. Berikut hasil dari RMSE ICP
disajikan pada Tabel IV-4.

Tabel IV-4 Report RMSE ICP

Titik Kesalahan Kesalahan Kesalahan Kesalahan Foto


Cek X [m] Y [m] Z [m] Proyeksi Terverifikasi
[pixel]
ICP -0,0445 0,0766 0,0810 0,5327 7/7
ICP1 0,0082 0,1447 0,1333 0,5176 9/9
ICP2 -0,2167 -0,0147 0,0216 0,4013 6/6
Rata- -0,084329 0,068871 0,078634
rata
Jumlah 0,096057 0,065309 0,045618
RMS 0,127821 0,094913 0,090908
Error

Dari Tabel IV-4 dapat diketahui bahwa RMSE dari koordinat X sebesar 12
cm, koordinat Y sebesar 9 cm dan koordinat Z sebesar 9 cm yang menunjukan
bahwa point cloud memiliki ketelitian yang tidak mencapai fraksi milimeter seperti
halnya pengamatan terestris. Untuk proses pengolahan foto udara sebanyak 1931
tidak mengalami suatu kesalahan yang mengakibatkan suatu lubang data karena
kekurangan informasi seperti kurangnya proses pertampalan foto pada masing-
masing blok misi yang bertampalan. Untuk mengetahui jumlah pertampalan foto
dan hasil akhir dari pengolahan dapat dilihat pada Gambar IV-8.
Pada Gambar IV-8 terlihat bahwa jumlah overlap pada foto untuk
menentukan penentuan titik ikat pada waktu pemrosesan menunjukkan warna hijau
terang yang berarti hampir semua area titik ikat didapatkan dari hasil pertampalan
lebih dari 5 foto pada masing- masing titiknya. Besarnya jumlah foto yang
bertampalan pada masing- masing titik ikat tersebut karena dipengaruhi oleh nilai
sidelap dan overlap pada proses perencanaan jalur terbang yang telah disebutkan

93
perencanaan jalur terbangnya pada Bab III. Selanjutnya untuk mengetahui hasil dari
orthofoto dapat dilihat pada Gambar IV-9.

Gambar IV-8 Jumlah pertampalan foto pada pemrosesan

Gambar IV-9 Orthofoto hasil pengolahan

IV.4 Hasil dan Analisis DEM


Pada pembentukan DEM, hasil pont cloud rapat tadi kemudian disimpan ke
bentuk DEM dengan format .tiff. DEM yang terbentuk merupakan DSM, yang
masih memiliki visualisasi dan informasi ketinggian seperti bangunan dan
pepohonan. Hasil DSM yang terbentuk dapat dilihat pada Gambar IV-10.

94
Gambar IV-10 Hasil DSM yang terbentuk

Dari hasil pada Gambar IV-10 dapat diketahui bahwa DSM memiliki titik
terendah 480 meter sedangkan untuk titik tertinggi pada daerah penelitian memiliki
ketinggian 514 meter dari bidang elipsoid. Setelah DSM terbentuk selanjutnya
adalah melakukan filtering untuk menghilangkan objek seperti bangunan dan
pepohonan agar data ketinggian yang terbentuk berasal dari ketinggian tanah saja.
Hasil dari filtering dapat dilihat pada Gambar IV-11.

Gambar IV-11 DTM hasil filtering

95
Dari Gambar IV-10 dapat diketahui DTM yang terbentuk memiliki titik
terendah 480 meter sama dengan data pada DSM sedangkan untuk titik tertinggi
pada DTM memiliki ketinggian menjadi 496 meter dari bidang elipsoid yang berarti
memiliki beda tinggi sebesar 18 meter dari DSM. Untuk perbedaan visual dari DSM
dan DTM dapat dilihat pada Gambar IV-12.

B B

A A

(a) DSM (b) DTM


Gambar IV-12 Perbedaan visual DSM dan DTM

Tampilan visual DSM nampak memiliki objek non tanah seperti bangunan
pepohonan, terlihat seperti yang disajikan pada orthofoto. Sedangkan pada DTM
terlihat area yang terdapat bangunan maupun pepohonan nampak sudah tidak ada
dan terlihat menjadi datar tetapi topografinya terlihat tidak halus karena data
ketinggian DTM didapat dari interpolasi data ketinggian di sekitar area penapisan.
Pada Gambar IV-11 baik DSM dan DTM terdapat suatu garis berwarna
kuning yang akan digunakan untuk mengetahui perbedaan tinggi pada permukaan
DSM dan DTM sepanjang garis A sampai B. Untuk mengetahui perbedaan tinggi
pada permukaan DSM dan DTM tersebut dapat dilihat pada Gambar IV-13.

A B

Gambar IV-13 Sampel perbedaan tinggi permukaan DSM dan DTM

96
Pada Gambar IV-13 grafik berwarna merah menunjukkan permukaan DSM
sedangkan warna hijau menunjukkan permukaan DTM. Dari grafik tersebut dapat
dilihat bahwa terdapat perbedaan tinggi antar permukaan di mana pada permukaan
tersebut tinggi DSM mencapai 502 meter sedangkan untuk DTM mencapai 493
meter.
Selain perbedaan visual, akan dilakukan analisis surface difference pada
software arcGIS yang digunakan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan
tinggi suatu titik pada lokasi yang sama. Data yang digunakan adalah DEM sampel
dan DEM referensi, untuk sampel yang digunakan adalah data DTM sedangkan data
yang digunakan sebagai referensi atau pembanding adalah DSM. Hasil dari sampel
surface difference dapat dilihat pada Gambar IV-14.

Keterangan :
: Daerah yang lebih tinggi dari DSM
: Daerah yang lebih rendah dari DSM

Gambar IV-14 Sampel area surface difference

Pada area yang berwarna biru pada Gambar IV-14 menunjukkan bahwa
permukaan pada area DTM lebih rendah dari pada DSM sedangkan pada warna
hijau menunjukkan bahwa permukaan DTM lebih tinggi dari pada DSM. Untuk data
DTM seharusnya tidak terdapat suatu titik yang lebih tinggi dari DSM, karena DTM
merupakan hasil penapisan dari data DSM. Sedangkan pada penelitian ini ada daerah
DTM lebih tinggi dari area DSM hal itu disebabkan karena perbedaan proses
interpolasi.
Pada proses pembentukan DSM, dilakukan dengan menggunakan software
Pix4D dengan menggunakan data point cloud yang kemudian dilakukan interpolasi

97
inverse distace weighting. Sedangkan pada proses penapisan DSM menjadi DTM
menggunakan software Global Mapper dengan metode binning. Untuk mengetahui
perbedaan tinggi antara DSM dan DTM dilakukan dengan menggunakan sebaran
titik sampel yang dapat dilihat pada Tabel IV-5.
Tabel IV-5 Perbandingan elevasi pada DSM dan DTM

Elevasi Elevasi Area


Koordinat X Koordinat
No DSM DTM ΔH (m) Surface Keterangan
(m) Y (m)
(m) (m) Difference

1 435941 9196664 491,917 491,917 0 Biru Jalan


2 435284 9196062 492,756 492,755 0,001 Biru Jalan
3 434286 9195744 494,738 491,052 3,686 Biru Bangunan
4 433733 9195938 495,92 491,246 4,674 Biru Bangunan
5 434963 9195771 504,193 491,874 12,319 Biru Pohon
6 434178 9195615 507,061 491,805 15,256 Biru Pohon
7 434923 9195549 493,153 493,155 -0,002 Hijau Sawah
8 434047 9195686 491,82 491,823 -0,003 Hijau Sawah
9 433311 9195970 492,333 492,336 -0,003 Hijau Sawah
10 433792 9195747 491,684 491,685 -0,001 Hijau Sawah

Setelah dilakukan pengecekan terhadap lokasi sebaran sampel, dapat


diketahui bahwa terdapat suatu kenaikan permukaan pada DTM. Akan tetapi hasil
dari perbedaan tinggi tersebut hanya mencapai fraksi milimeter. Sedangkan pada
pengecekan pada koordinat yang sama pada DSM dilakukan filtering mengalami
penurunan yang cukup signifikan dan pada titik yang objeknya berupa jalan tidak
mengalami perbedaan tinggi yang signifikan karena hanya terjadi penurunan sebesar
0,001 meter.
Selain dilakukan pengecekan perbedaan tinggi pada permukaan DSM dan
DTM, dilakukan validasi tinggi dengan menggunakan ICP hasil survei GPS. Hasil
validasi dapat dilihat pada Tabel IV-6.

98
Tabel IV-6 Validasi ICP

Nama Elevasi Elevasi Elevasi ΔH DSM ΔH DTM


No
Titik ICP (m) DSM (m) DTM (m) (m) (m)

1 ICP 1 491,634 491,328 491,327 0,306 0,307


2 ICP 2 492,510 492,448 491,447 0,062 0,063
3 ICP 3 491,360 491,203 491,200 0,157 0,160
Jumlah (m) 0,525 0,530
Rata- rata (m) 0,175 0,176

RMSE (m) 0,201 0,203

Pada Tabel IV-6 untuk hasil validasi dengan ICP memililiki RMSE pada
DSM yaitu 0,201 m dan pada DTM 0,203 m. Perbedaan tinggi yang cukup
signifikan terjadi karena pada saat pembuatan point cloud tingkat kepadatannya
diatur pada level medium sehingga mempengaruhi jumlah dan kepadatan point cloud
untuk pemrosesan dan dilakukan filter pada pembuatan DSM dari point cloud.
Proses filter ini menghilangkan point cloud yang tidak memiliki korelasi dengan
point cloud yang lain (noise point cloud).

IV.5 Hasil dan Analisis Pemodelan SUTET


Hasil dari perencanaan lokasi titik SUTET dapat dilihat pada Gambar IV-15
dan untuk koordinat sebaran titik SUTET dapat dilihat pada Tabel IV-7.

Gambar IV-15 Lokasi sebaran titik SUTET

99
Tabel IV-7 Koordinat lokasi perencanaan SUTET

No Nama Koordinat X (m) Koordinat Y (m)


1 T.01 433298,578 9195886,293
2 T.02 433690,083 9195781,200
3 T.03 434065,329 9195666,214
4 T.04 434478,678 9195698,001
5 T.05 434876,288 9195767,252
6 T.06 435215,902 9195997,953
7 T.07 435507,499 9196223,564
8 T.08 435853,617 9196428,464
9 T.09 436186,737 9196674,979

Dari hasil perencanaan SUTET penelitian ini, selanjutnya akan dibahas


mengenai analisis ruang bebas minimum dan jarak bebas minimum baik secara
horizontal maupun vertikal pada sub bab berikutnya.
IV.5.1 Hasil dan analisis ruang bebas minimum dan jarak bebas minimum.
Ketika melakukan perencanaan pembangunan SUTET, ruang bebas
horizontal dan vertikal di sepanjang jalur harus dipastikan bersih dari obyek
berbahaya. Dengan menggunakan orthofoto dan DSM akan terlihat tiang-tiang
pemodelan mana yang berada dekat pemukiman dan apakah obyek-obyek tersebut
masuk ke ruang bebas horizontal dan vertikal. Persyaratan ruang bebas horizontal
dan vertikal SUTET maupun SUTT telah ditetapkan dan telah dibuat
standarisasinya dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 18 tahun 2015 tentang
ruang bebas dan jarak bebas minimum pada Saluran Udara Tegangan Tinggi
(SUTT) dan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET).
Pada penelitian ini SUTET yang digunakan 500 kV sehingga untuk ruang
bebas horizontal memiliki jarak sebesar 17 meter dari as menara sedangkan untuk
ruang bebas vertikal ruang bebas dihitung dari lengkungan konduktor maksimal
pada saat memuai ke objek yang ada di bawahnya berdasarkan kategori. Untuk
ruang bebas vertikal dibagi menjadi tiga yaitu warna kuning untuk bangunan dan
tumbuhan dengan jarak 9 meter, daerah terbuka berwarna hijau dengan jarak 12,5
meter dan lapangan terbuka sebesar 18 meter dari objek ke lengkungan konduktor

100
dengan warna hitam. Gambaran model yang akan dianalisis mengenai ruang
bebasnya dapat dilihat pada Gambar IV-16 sampai Gambar IV-28.

T.01 T.02

Gambar IV-16 Pemodelan menara T.01- T.02

T.02 T.03

Gambar IV-17 Pemodelan menara T.02- T.03

101
Letak tiang maupun kabel menara T.01-T.02-T.03 dikatakan aman dan
memenuhi persyaratan karena tidak terdapat objek yang berbahaya secara
horizontal dan vertikal.

T.03 T.04

Gambar IV-18 Pemodelan menara T.03- T.04

T.03

Gambar IV-19 Jarak objek berbahaya pada menara T.04

Pada menara T.03 terlihat bahwa lokasi SUTET berdekatan dengan sebuah
bangunan pada area pemukiman. Setelah dilakukan pengukuran dari as menara
SUTET terhadap jarak terdekat objek berbahaya berupa bangunan ternyata memiliki
sebesar jarak 36,767 meter dari as menara sehingga lokasi titik SUTET

102
tersebut dapat dikatakan aman horizontal sedangkan untuk kategori vertikal masih
aman karena tidak terdapat penembusan area ruang bebas dari DSM.

T.04 T.05

Gambar IV-20 Pemodelan menara T.04- T.05

T.06
T.05

Gambar IV-21 Pemodelan menara T.05- T.06

103
Pada span antara menara T.05-T.06 terdapat surface dari DSM yang
menembus ruang bebas minimum vertikal berwarna hitam untuk kategori ruang
bebas lapangan umum. Untuk mengetahui objek tersebut dilakukan perhitungan
jarak antara model perencanaan horizontal maupun vertikal. Setelah didapatkan
jarak yang sama selanjutnya dilakukan interpretasi pada model horizontal untuk
mengetahui objek yang menembus ruang bebas. Untuk mengetahui objek yang
berada pada area DSM tersebut dapat dilihat pada Gambar IV-22 sampai Gambar
IV-24.

T.06

Gambar IV-22 Jarak objek berbahaya dari menara T.06 model vertikal

T.06

Gambar IV-23 Jarak objek berbahaya dari menara T.06 model horizontal

104
Gambar IV-24 Objek berbahaya yang terlihat

Setelah mengetahui objek tersebut berupa pohon, maka dimasukkan pada


kategori ruang bebas pohon dan bangunan. Kemudian dilakukan perhitungan jarak
apakah objek tersebut menembus ruang bebas untuk pohon dan bangunan. Gambar
IV-25 merupakan perhitungan jarak antara objek dan ruang bebas.

Gambar IV-25 Jarak objek berbahaya ke ruang bebas

Dari Gambar IV-25 dapat diketahui bahwa jarak antara titik tertinggi DSM
yang diidentifikasi berupa pohon memiliki jarak sebesar 4,47 meter dari ruang
bebas kategori bangunan dan pohon yang berwarna kuning. Apabila jarak tersebut

105
diakumulasikan ke jarak lendutan konduktor memiliki nilai sebesar 13,47 meter dan
berarti dapat dikatakan aman karena memenuhi persyaratan.

T.06 T.07

Gambar IV-26 Pemodelan menara T.06- T.07

T.07 T.08

Gambar IV-27 Pemodelan menara T.07- T.08

106
T.08 T.09

Gambar IV-28 Pemodelan menara T.08- T.09

Untuk lebih jelas dapat di lihat pada Tabel IV-8 hasil analisis menara tiap
segmen, yang menjelaskan tentang hasil secara menyeluruh dari area studi yang
sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 18 tahun 2015 tentang ruang bebas
dan jarak bebas minimum pada Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) dan
Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET).

Tabel IV-8 Hasil analisis ruang bebas minimum vertikal dan horizontal

Jarak Ruang Bebas minimum


Segmen Antara
Menara Vertikal Horizontal

T.01-T.02 405,364 Memenuhi Memenuhi


T.02-T.03 392,466 Memenuhi Memenuhi
T.03-T.04 414,565 Memenuhi Memenuhi
T.04-T.05 403,551 Memenuhi Memenuhi
T.05-T.06 410,558 Memenuhi Memenuhi
T.06-T.07 368,690 Memenuhi Memenuhi
T.07-T.08 402,221 Memenuhi Memenuhi
T.08-T.09 414,388 Memenuhi Memenuhi

107
IV.5.2 Hasil dan analisis kelayakan tower
Untuk mengetahui tower yang telah dibuat tersebut memenuhi standar dari
PLN sendiri dilakukan perhitungan untuk mengetahui sudut yang terbentuk dari
perubahan jalur yang berbelok agar mengetahui tipe tower yang digunakan dan
berpengaruh kepada luasan tapak tower. Dari hasil penelitian dapat dilihat pada
Tabel IV-9 untuk tipe tower pada masing- masing tower.
Tabel IV-9 Tipe tower yang digunakan

Sudut Tipe Luasan


No Nama Tower Sudut Belok
Terbentuk Tower (m)
1. T.01 - - DD 39 x 39
2. T.02 T.01-T.02-T.03 02°00’41” AA 28 x 28
3. T.03 T.02-T.03-T.04 21°26’04” CC 34 x 34
4. T.04 T.03-T.04-T.05 05°28’58” BB 34 x 34
5. T.05 T.04-T.05-T.06 24°18’30” CC 34 x 34
6. T.06 T.05-T06.-T.07 03°32’23” AA 28 x 28
7. T.07 T.06-T.07-T.08 07°06’11” BB 34 x 34
8. T.08 T.07-T.08-T.09 05°52’37” BB 34 x 34
9. T.09 - - DD 39 x 39

Selain itu penentuan posisi tapak tower dilakukan dengan


mempertimbangkan nilai rasio sagging yang merupakan nilai perbandingan antara
weight span dengan wind span. Nilai weight span diukur dari titik berat konduktor
ke konduktor selanjutnya. Rasio sagging memiliki rentang nilai antara 0,5 sampai
1,5 jika diluar dari interval tersebut maka desain SUTET tidak memenuhi standar
PLN. Berikut disajikan pada Tabel IV-10 nilai rasio dari tower hasil pemodelan.

Tabel IV-10 Nilai rasio tower

Weight Wind
𝒘𝒕
No Nama Tower Span (wt) Span (wn) Rasio = 𝒘𝒏
Keterangan
(m) (m)
1. T.01 - - - -
2. T.02 382,454 398,916 0,958 Layak

108
Tabel IV-10 Nilai rasio tower (lanjutan)

Weight Wind
𝒘𝒕
No Nama Tower Span (wt) Span (wn) Rasio = 𝒘𝒏
Keterangan
(m) (m)
3. T.03 420,479 403,503 1,042 Layak
4. T.04 389,291 409,046 0,951 Layak
5. T.05 415,782 407,056 1,021 Layak
6. T.06 394,504 388,217 1,016 Layak
7. T.07 387,124 385,456 1,004 Layak
8. T.08 396,326 409,313 0,968 Layak
9. T.09 - - - -

IV.6 Hasil dan Analisis Verifikasi Pemodelan Terhadap Peraturan Daerah


Verifikasi pemodelan terhadap peraturan daerah yang berlaku digunakan
pasal 49 huruf b untuk peraturan zonasi. Pada pasal tersebut menjelaskan untuk
zonasi SUTET digunakan ruang bebas dan jarak minimum sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan peraturan tersebut berupa peraturan menteri
ESDM nomor 18 tahun 2015 yang berarti pada perencanaan SUTET penelitian ini
memenuhi syarat dari Perda yang berlaku yaitu Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun
2011 Kabupaten Semarang. Selain itu akan dilakukan overlay pada peta RTRW
Kabupaten Semarang dengan ROW SUTET. Untuk mengetahui peta RTRW pada
lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar IV-29.

Gambar IV-29 Peta RTRW lokasi penelitian

109
Sebelum dilakukan overlay terlebih dahulu peta RTRW lokasi penelitian
akan dilakukan validasi mengenai informasi objek pada peta dengan objek yang ada
pada orthofoto yang dapat dilihat pada Tabel IV-11.
Tabel IV-11 Validasi peta RTRW lokasi penelitian

Segmen Peta RTRW lokasi penelitian Orthofoto lokasi penelitian

Segmen 1

Segmen 2

Segmen 3

Dari peta RTRW lokasi penelitian terdapat 3 area Rencana Tata Ruang
Wilayah, yaitu warna kuning pada peta menunjukkan kawasan untuk pemukiman
pedesaan, warna orange menunjukkan kawasan untuk pemukiman perkotaan dan
warna hijau menunjukkan kawasan untuk pertanian tanaman pangan.
110
Pada peta RTRW objek yang berada pada peta tersebut merupakan tata guna
lahan, sedangkan pada orthofoto merupakan tutupan lahan. Setelah dilakukan
validasi, secara visual tidak terdapat perbedaan antara peta RTRW dengan orthofoto
pada Tabel IV-11. Terlihat bahwa tutupan lahan berupa pemukiman sesuai dengan
penggunaannya pada area tata guna lahan peta RTRW. Sedangkan untuk area
pertanian pada waktu pengambilan data, area tersebut diisi dengan tanaman padi
yang homogen dan dapat dimasukkan pada kategori kawasan untuk pertanian
tanaman pangan pada peta RTRW. Sehingga secara aplikatif, antara peta RTRW
dengan orthofoto memiliki kesamaan objek pada waktu akusisi data.
Selanjutnya hasil overlay peta RTRW dengan ROW SUTET dapat dilihat
pada Gambar IV-30.

Gambar IV-30 Overlay peta RTRW dan ROW SUTET

Setelah dilakukan overlay dapat diketahui luasan daerah yang terdampak


ROW SUTET pada area yang bertampalan. Untuk mengetahui luasan daerah yang
terdampak dapat dilihat pada Tabel IV-12.
Tabel IV-12 Luasan ROW SUTET

Luasan Dampak
No Rencana Pola Ruang
(Ha)
1 Kawasan pemukiman pedesaan 0,843
2 Kawasan pemukiman perkotaan 0,566
3 Kawasan pertanian tanaman pangan 9,594

111
IV.7 Hasil dan Analisis Uji Statistik
IV.7.1 Hasil uji normalitas
Uji normalitas dilakukan terhadap 3 titik dengan hasil koordinat orthofoto
dan ICP hasil GPS. Adapun hasil uji normalitas dapat dilihat pada Tabel IV-13.

Tabel IV-13 Hasil uji normalitas

Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
X_ICP .264 3 . .955 3 .590
Y_ICP .278 3 . .940 3 .526
Z_ICP .298 3 . .916 3 .439
X_Orthofoto .264 3 . .955 3 .590
Y_Orthofoto .278 3 . .940 3 .527
Z_Orhtofoto .321 3 . .882 3 .331

IV.7.2 Hasil uji korelasi


Uji korelasi dilakukan terhadap nilai koordinat X, Y dan Z dari orthofoto
dan hasil ICP pengukuran GPS. Uji korelasi ini digunakan untuk mengetahui
hubungan antar variabel yang digunakan dalam penelitian. Hubungan tersebut
mengartikan kerterkaitan antar variabel yang diuji dalam uji korelasi ini. Adapun
hasil uji normalitas dapat dilihat pada Tabel IV-14, IV-15 dan IV-16.

Tabel IV-14 Hasil uji korelasi koordinat X orthofoto dengan ICP

Correlations
X_Orthofoto X_ICP
X_Orthofoto Pearson Correlation 1 1.000**

Sig. (1-tailed) .000

N 3 3

X_ICP Pearson Correlation 1.000** 1


Sig. (1-tailed) .000

N 3 3

**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).

112
Tabel IV-15 Hasil uji korelasi koordinat Y orthofoto dengan ICP

Correlations

Y_Orthofoto Y_ICP
Y_Orthofoto Pearson Correlation 1 1.000**

Sig. (1-tailed) .000

N 3 3
**
Y_ICP Pearson Correlation 1.000 1

Sig. (1-tailed) .000


N 3 3

**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).

Tabel IV-16 Hasil uji korelasi koordinat Z orthofoto dengan ICP

Correlations

Z_Orhtofoto Z_ICP
Z_Orhtofoto Pearson Correlation 1 .998*

Sig. (1-tailed) .018


N 3 3
*
Z_ICP Pearson Correlation .998 1

Sig. (1-tailed) .018


N 3 3
*. Correlation is significant at the 0.05 level (1-tailed).

IV.7.3 Hasil uji t


Uji t digunakan untuk mengetahui apakah terjadi perbedaan antara variabel
dalam obyek pengukuran yang sama. Variabel yang diuji adalah koordinat X,Y, Z
pada orthofoto dengan koordinat X,Y,Z hasil ICP GPS. Hasil uji t dapat dilihat pada
Tabel IV-17.

113
Tabel IV-17 Hasil uji t

Paired Samples Test


Paired Differences
95% Confidence
Sig. (2-
Std. Std. Error Interval of the t df
Mean tailed)
Deviation Mean Difference
Lower Upper
Pair X_Orthofoto -.084667 .117628 .067913 -.376871 .207537 -1.247 2 .339
1 - X_ICP
Pair Y_Orthofoto -.069000 .080299 .046361 -.268475 .130475 -1.488 2 .275
2 - Y_ICP
Pair Z_Orhtofoto -.078667 .055537 .032064 -.216628 .059294 -2.453 2 .134
3 - Z_ICP

IV.7.4 Analisis hasil uji statistik


Berdasarkan hasil uji yang telah didapatkan yakni uji normalitas, uji korelasi
dan uji t dapat dilakukan analisis sebagai berikut.:

1. Hasil uji normalitas yang tertera pada Tabel IV-13 dilakukan terhadap 6
variabel data penelitian koordinat X, Y, Z hasil orthofoto dan koordinat X,
Y, Z hasil ICP. Dari enam variabel tersebut didapatkan nilai sig lebih dari
0,05 untuk masing-masing variabel. Hal ini mengartikan bahwa hasil
tersebut memenuhi syarat pertama yakni data penelitian berdistribusi normal
karena sig > 0,05. Oleh hasil koordinat X, Y dan Z orthofoto maupun ICP
memiliki data yang berdistribusi normal.

2. Hasil uji korelasi terbagi menjadi 3 yakni sebagai berikut:


a. Hasil uji korelasi antara koordinat X orthofoto dengan koordinat X ICP
tertera pada Tabel IV-14 dimana dari pengolahan uji korelasi didapatkan
nilai sig sebesar 0,000. Hal ini berarti nilai 0,000 < 0,05 dimana mengartikan
bahwa Ho ditolak karena nilai sig yang dihasilkan lebih kecil dari pada nilai
sig yang dijadikan sebagai syarat. Apabila Ho ditolak berarti Ha diterima
dimana Ha adalah terdapat hubungan antara koordniat X orthofoto dengan
koordinat X ICP.

114
b. Hasil uji korelasi antara koordinat Y orthofoto dengan koordinat Y ICP
tertera pada Tabel IV-15 dimana dari pengolahan uji korelasi didapatkan
nilai sig sebesar 0,000. Hal ini berarti nilai 0,000 < 0,05 dimana mengartikan
bahwa Ho ditolak karena nilai sig yang dihasilkan lebih kecil dari pada nilai
sig yang dijadikan sebagai syarat. Apabila Ho ditolak berarti Ha diterima
dimana Ha adalah terdapat hubungan antara koordinat Y orthofoto dengan
koordinat Y ICP
c. Hasil uji korelasi antara koordinat Z orthofoto dengan koordinat Z ICP n
tertera pada Tabel IV-16 dimana dari pengolahan uji korelasi didapatkan
nilai sig sebesar 0,018. Hal ini berarti nilai 0,018 < 0,05 dimana mengartikan
bahwa Ho ditolak karena nilai sig yang dihasilkan lebih kecil daripada nilai
sig yang dijadikan sebagai syarat. Apabila Ho ditolak berarti Ha diterima
dimana Ha adalah terdapat hubungan antara Z orthofoto dengan koordinat
Z ICP

3. Hasil uji t yang tertera pada tabel IV-17 dilakukan terhadap keenam
variabel. Dari hasil uji tersebut didapatkan hasil nilai sig pada koordinat X
orhotofoto dan koordinat X ICP sebesar 0,339 sedangkan nilai sig pada
koordinat Y orhotofoto dan koordinat Y ICP sebesar 0,275 dan nilai sig pada
koordinat Z orhotofoto dan koordinat Z ICP 0,134. Ketiga nilai sig hasil
pengolahan menunjukkan nilai yang lebih besar dari 0,05 atau < 0,05. Hal
ini berarti Ho ditolak dan Ha diterima. Jadi ketiga pasang variabel tersebut
menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan.

IV.8 Hasil dan Analisis Uji Ketelitian Peta


Uji ketelitian secara horizontal ditunjukkan dengan nilai CE90 dan vertikal
berdasarkan nilai LE9. Berdasarkan nilai tersebut, maka dapat diketahui skala yang
memenuhi mengacu kepada standar ketelitian peta dasar Peraturan Kepala BIG
Nomor 15 Tahun 2014 yang tertera pada Tabel II10. Untuk mengetahui skala yang
memenuhi standar ketelitian peta dasar tersebut, nilai CE90 dan LE90 hasil hitungan
harus lebih kecil dari nilai yang ada di tabel.
Nilai CE90 dihitung dengan persamaan (2.4) dan LE90 dihitung dengan
persamaan (2.5). Nilai tersebut dapat diketahui apabila nilai RMSE diketahui. Pada

115
penelitian ini, nilai RMSE yang menjadi acuan untuk menentukan nilai CE90 dan
LE90 ini adalah nilai RMSE yang didapatkan dari ICP. Tabel IV-18 merupakan
hasil perhitungan CE90 dan LE90 serta kelas ketelitian peta yang dihasilkan
berdasarkan Peraturan Kepala BIG Nomor 15 Tahun 2014.

Tabel IV-18 Hasil penentuan kelas peta

Ketelitian Peta RBI


Hasil Hasil Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3
Uji Uji Skala Horizontal Vertikal Horizontal Vertikal Horizontal Vertikal
CE90 LE90 CE90 (m) LE90 CE90 (m) LE90 CE90 (m) LE90
(m) (m) (m)

0,241 0,331 1:1000 0,2 0,2 0,3 0,3 0,5 0,5

116
KESIMPULAN

V.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, didapatkan kesimpulan
sebagai berikut:
1. Berdasarkan analisis pemodelan SUTET yang telah dibuat secara horizontal
maupun vertikal tidak ditemukan objek berbahaya yang melanggar ruang
bebas dan memenuhi segala persyaratan dari Peraturan Menteri ESDM
Nomor 18 Tahun 2015 tentang ruang bebas dan jarak bebas minimum pada
SUTET untuk penyaluran tenaga listrik. Untuk jarak objek berbahaya
terdekat terdapat pada span antara T.05 dan T.06 secara vertikal, objek
tersebut berupa pohon yang memiliki jarak ke ruang bebas bangunan dan
tumbuhan sebesar 4,47 meter.
2. Setelah dilakukan verifikasi terhadap Peraturan Daerah Kabupaten
Semarang mengenai aspek zonasi SUTET yang terdapat pada pasal 49 huruf
b, untuk zonasi SUTET digunakan ruang bebas dan jarak bebas minimum
sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku sehingga
kesesuaian perencanaan untuk zonasi telah memenuhi persyaratan. Untuk
hasil overlay terhadap peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Semarang tahun 2011-2031, ROW SUTET yang direncanakan mempunyai
dampak sebesar 0,843 Ha untuk kawasan pemukiman pedesaan, 0,566 Ha
untuk kawasan pemukiman perkotaan, 9,594 Ha untuk kawasan pertanian
tanaman pangan.
3. Hasil validasi dengan menggunakan ICP hasil pengukuran GPS geodetik
menunjukkan bahwa nilai RMSE horizontal untuk orthofoto sebesar 0,158
meter dan untuk DEM memiliki RMSE vertikal sebesar 0,201 meter. Untuk
ketelitian peta yang dihasilkan mempunyai nilai CE90 sebesar 0,239 meter
yang memenuhi persyaratan untuk skala 1:1.000 kelas 2 horizontal dan nilai
LE90 sebesar 0,331 meter yang memenuhi persyaratan untuk skala 1:1.000
kelas 3 vertikal. Dari 6 data yang digunakan sampel berupa koordinat X, Y,
Z orthofoto dan koordinat X, Y, Z ICP dilakukan uji normalitas, uji korelasi
dan uji t metode Paired Sample t Test dan hasilnya semua data terdistribusi
117
normal, terdapat hubungan antara koordinat X orthofoto dengan koordinat X
ICP, koordinat X orthofoto dengan koordinat X ICP, koordinat X orthofoto
dengan koordinat X ICP serta dari ketiga pasang data tersebut tidak
didapatkan perbedaan hasil yang signifikan setelah dilakukan uji t.

V.2 Saran
Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan dari awal hingga akhir,
berikut saran-saran yang dapat dikemukakan untuk penelitian selanjutnya:
1. Diperlukan persiapan yang matang baik dari segi materi pengetahuan,
persiapan dan perencanaan agar didapatkan hasil akuisisi data yang sesuai
harapan.
2. Pada pengamatan GPS, perlu ditentukan secara spesifik titik ikat yang akan
digunakan sehingga tahu jarak baseline yang terbentuk yang berdampak
pada lama pengamatan GPS.
3. Pada pemotretan dengan UAV, tinggi terbang UAV diusahakan serendah
mungkin dan tetap memperhatikan tinggi obstacle agar resolusi yang
didapatkan dapat secara maksimal dan nilai sidelap, overlap dibuat tinggi
agar tidak terjadi lubang data karena kurangnya pertampalan.
4. Apabila pengolahan data foto udara menggunakan software Pix4Dmapper,
maka sebelum melakukan pengambilan data harus membaca buku panduan
dari software tersebut karena akan sangat membantu untuk teknik
pelaksanaan dari pengambilan data hingga ke pengolahan.
5. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, pengolahan dilakukan dengan
menggunakan opsi high agar tidak terjadi penurunan kualitas data dari hasil
report.
6. Untuk penelitian selanjutnya, perlu dilakukan validasi dengan Total Station
untuk mengetahui perbedaan profil memanjang lebih teliti.

118
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, H.Z., Jones, A., Kahar, J. 2011. Survei dengan GPS. PT. Pradnya Paramita:
Jakarta.
Adiatmaja, A.A. 2015. Deteksi Objek Berbahaya Dan Pemodelan 3d Jaringan
Kelistrikan Menggunakan Teknologi Lidar. Tugas Akhir. Fakultas Teknik,
Teknik Geodesi, Universitas Diponegoro. Semarang.
Atkinson, K. 1980. Close Range Photogrammetry and Machine Vision. London:
Whittles Publishing.
Badan Informasi Geospasial. 2015. Peraturan Kepala BIG Nomor 15 tentang
Pedoman Teknis Ketelitian Peta Dasar. Cibinong: Badan Informasi
Geospasial
Badan Pusat Statistik. 2016. Kecamatan Ambarawa dalam Angka Tahun 2016,
BAPPEDA: Kabupaten Semarang.
Dipokusumo, B. 2010. DTM dan Interpolasi. Bandung: ITB
Dwinugraha. A. 2016. Analisis Medan Magnetik Terhadap Operator Yang Bekerja
Di Saluran Transmisi Menggunakan Metode 3-D Elemen Hingga. Tugas
Akhir. Fakultas Teknologi Industri. Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Surabaya
Eisenbeis, H. 2008. UAV Photogrammetry. University of Technology Dresden.
Swiss.
Hadi, B.S. 2007. Dasar-dasar Fotogrammetri. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial
Ekonomi, Pendidikan Geografi, Universitas Negeri Yogyakarta.
Yogyakarta.
Irawan, F. 2012. Penggunaan Fotogramteri Rentang Dekat Sebagai Alat Bantu
Pembuatan AS-Built Drawing. Tugas Akhir. Fakultas Ilmu dan Teknologi
Kebumian, Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika, Institut Teknologi
Bandung. Bandung
Irawati, I. dkk. 2009. Peran Jaringan Energi Kelistrikan Saluran Udara Tegangan
Ekstra Tinggi (SUTET) dalam Pembangunan Perkotaan Berkelanjutan.
Seminar Nasional Perencanaan Wilayah dan Kota. ITS, Surabaya, 29
Oktober 2009: ISBN No. 978-979-98808-2-6
119
Ismail, Y. 2009. Aplikasi Fotogrametri Rentang Dekat Untuk Menentukan Volume
Suatu Objek. Tugas Akhir. Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian,
Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika, Institut Teknologi Bandung.
Bandung
Kentjana, A. N. 2013. Pemetaan Topografi untuk Rencana Jalur Pipa Migas
dengan Metode Fotogrammetri Berbasis Wahana Udara Tanpa Awak
(UAV) (Wilayah Studi : Cepu). Laporan Tugas Akhir. Fakultas Ilmu dan
Teknologi Kebumian, Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika, Institut
Teknologi Bandung. Bandung
Leitch, K. 2002. Close Range Photogrammetric Measurement of Bridge
Deformation. Disertasi New Mexico State University. Meksiko.
Lubis, S,. Suprayogi, A,. Dan Hani’ah. 2013. Kesesuaian Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) dengan Menggunakan Lahan Kecamatan Gayamsari.
Skripsi. Fakultas Teknik, Teknik Geodesi, Universitas Diponegoro.
Semarang
Maune dan Thompson. 2001. Digital Elevation Model Technologies and
Application: The DEM User Manual. American Society for
Photogrammetry and Remote Sensing.
Mustofa, H.A. 2016. Analisis Ketelitian Planimetrik Orthofoto Pada Topografi
Perbukitan Dan Datar Berdasarkan Kuantitas Titik Kontrol Tanah. Tugas
Akhir. Fakultas Teknik, Teknik Geodesi, Universitas Diponegoro.
Semarang.
Nurtrihansyah, I., Cipto, U. 2015. Penentuan Jalur Transimisi SUTET (Saluran
Udara Tegangan Ekstra Tinggi) Menggunakan Metode ANP-Promethee
(Studi kasus : Gardu Induk Pemalang – Gardu Induk Mardirancang).
Jurnal. I. Fakultas Teknik, Teknik Industri, Institut Teknologi Sepuluh
November. Surabaya
Pambudi, L. 2015. Analisis Akurasi Penapisan Dsm Ke Dtm Menggunakan Metode
Simple Morphological Filter Dan Slope Based Filtering. Tugas Akhir.
Fakultas Teknik, Teknik Geodesi, Universitas Diponegoro. Semarang.

120
Prasetyo, Y. 2015. Fotogrammetri Rentang Dekat. Fakultas Teknik, Teknik
Geodesi. Semarang
Peraturan Daerah Kabupaten Semarang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Semarang Tahun 2011 – 2031
Peraturan Menteri Sumber Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia
Nomor 18 Tahun 2015 tentang Ruang Bebas dan Jarak Minimum Pada
Saluran Udara Tegangan Tinggi, Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi,
dan Saluran Udara Tegangan Tinggi Arus Searah Untuk Penyaluran
Tenaga Listrik
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional
Pix4D. 2017. Pix4Dmapper 3.2 User Manual. Pix4D SA: Switzerland
Satyagama, D. 2013. Fotogrammetri Berbasis Wahana Udara Tanpa Awak
(Unmanned Aerial Vehicle) untuk Pembuatan DTM Lanskap Sekitar
Sungai Ciliwung Wilayah Ciawi Jawa Barat. Laporan Tugas Akhir.
Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Jurusan Teknik Geodesi dan
Geomatika, Institut Teknologi Bandung. Bandung
Setiawan, T. F. 2016. Analisis Deformasi dan Volumetrik Menggunakan Metode
Pengamatan 3D unmanned Aerial Vehicle (UAV). Tugas Akhir. Fakultas
Teknik, Teknik Geodesi, Universitas Diponegoro. Semarang.
Tempfli, K. 1991. DTM and Differential Modeling, Dalam Suharyadi, R., Sapta, B.,
Purwanto, T.H., Rosyadi. R.I., Farda, N.M., Wijaya, M.S. (2012): Petunjuk
Praktikum Sistem Informasi Geografis : Pemodelan Spatial, Fakultas
Geografi Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta.
Wolf, P. R. 1993. Elemen Fotogrametri, Gadjah Mada University Press :
Yogyakarta.

Pustaka Dari Internet


DJI. 2017. https://www.dji.com/phantom-4-pro, diakses pada tanggal 10 April
2017

121
Indoatlas. 2015. Perbedaan DEM, DSM dan DTM.
http://indoatlas.net/index.php/2015/06/24/perbedaan-dem-dtm-dan-dsm/,
diakses pada tanggal 20 April 2017.
Lojooblog. 2011. Kesalahan Pada Foto Udara
http://lojooblog.blogspot.co.id/2011/01/kesalahan-pada-foto-udara.html,
diakses pada 20 april 2017.
Nisrina. 2016. Persebaran Titik GCP dan ICP dan Uji Ketelitian Peta Dasar Perka
BIG. http://nisrinaniwarhisanah.blogspot.co.id/2016/10/persebaran-titik-
gcp-dan-icp-dan-uji.html, diakses pada 7 September 2017.

122
LAMPIRAN

123

Anda mungkin juga menyukai