Anda di halaman 1dari 29

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Salah satu kegiatan yang sering dilakukan dalam pekerjaan atau
penelitian hidrografi yaitu survey batimetri. Survey batimetri sendiri secara
umum merupakan pekerjaan pengukuran kedalaman air danau atau dasar
lautan. Dalam mendapatkan datanya, survey batimetri menggunakan
metode pemeruman yaitu penggunaan gelombang akustik untuk
pengukuran bawah air dengan menggunakan alat echosounder. Alat
tersebut mempunyai prinsip memancarkan bunyi dan kemudian gema dari
bunyi tersebut ditangkap kembali untuk mengetahui keberadaan benda-
benda di bawah air. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi, echosounder berkembang dari yang menggunakan singlebeam
hingga sekarang menggunakan multibeam dalam akusisinya
Kemampuan Multibeam Echosounder (MBES) dalam medeteksi
keberadaan dasar bawah air dapat dilakukan dengan memanfaatkan sinyal
akustik sehingga diperoleh bentuk dasar menggunakan serangkaian proses
pengolahan data batimetri. MBES juga memiliki kemampuan dalam
merekam amplitudo dari gelombang suara yang kembali. Amplitudo yang
kembali tersebut telah berkurang karena interaksi dengan medium air laut
dan sedimen dasar laut. Analisa terhadap amplitudo dari hamburan
gelombang akustik yang kembali (backscatter) memungkinkan untuk
mengeksplor informasi mengenai struktur, jenis, dan kekerasan partikel
atau material dasar laut untuk mengidentifikasi jenis sedimen dasar laut.
Sinyal kuat yang kembali menunjukan permukaan yang keras (batuan,
kerikil) dan sinyal yang lemah menunjukan permukaan yang lebih halus
(lanau, lumpur). Hal tersebut karena semakin besar impedansi suatu
medium semakin besar pula koefisien pantulannya (Aditya, 2016).
Kekuatan penetrasi ke dasar laut bergantung pada frekuensi pancaran
akustik (frekuensi lebih rendah menghasilkan penetrasi yang lebih dalam)
dan pada impedansi dasar laut. Ketika sinyal menembus dasar laut,
pembiasan, penyerapan, dan proses hamburan terjadi tergantung dari
komposisi sedimen (Lourton 2010). Identifikasi sinyal backscater
(backscatter) telah dilakukan oleh Brama, 2016 untuk mengukur nilai
intensitas akustik pada wreck dan Aditya, 2015 untuk klasifikasi dasar
perairan dengan metode Angular Response Analysis (ARA) dan Sediment
Tool Analysis (SAT) pada perangkat lunak Caris HIPS/SHIPS 9.0.
Amplitudo yang didapat dari MBES dapat memudahkan dalam
memperoleh data sedimen keseluruhan dari dasar perairan tersebut. Salah
satu caranya dengan membandingkan nilai amplitude dengan hasil coring
sehingga didapat nilai amplitude dari jenis sedimen tersebut. Dengan cara
tersebut dapat di identifikasi kegunaan danrelevansinya dalam menentukan
sedimen secaradengan MBES.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Dalam penulisan ini akan dibahas beberapa hal berkaitan dengan


penentuan objek permukaan laut antara lain:

a. Apakah ektraksi sinyal backscater pada pengolahan pada


perangkat lunak Caris Hips/Sips dapat menginterpretasikan
sedimentasi dibawah permukaan laut

b. Berapa tingkat intensitas objek dibawah permukaan laut


dengan memanfaatkan metode SAT dan ARA dikaitkan dengan
kekerasan material objek

1.3. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah:

a. Mengetahui tingkat intensitas objek dibawah permukaan laut


memanfaatkan gelombang akustik

b. Mengetahui kedalaman, posisi dan estimasi dimensi benda


yang dapat dideteksi dibawah permukaan laut

c. Mempelajari dan mengolah data sinyal backscater melalui


serangkaian proses pengolahan data menggunakan perangkat lunak
Caris Hips/Sips
1.4. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat membantu operator di lapangan


dalam pendeteksian objek dibawah permukaan laut dalam penentuan, jenis
material maupun dimensi maerial yang tertimbun sehingga diharapkan
operator lapangan dapat secara cepat menentukan jenis dasar laut dalam
suatu perairan dengan meminimalisasi perangkat dalam suatu kegiatan
survey.

BAB II
PEMBAHASAN

1. SURVEI INVESTIGASI

1.1. TUJUAN
Untuk memastikan navigasi yang aman perlu dilakukan
deteksi dasar laut yang memungkinan menjadi bahaya untuk
navigasi, baik itu buatan manusia atau alam. Pendeteksian ini
digunakan untuk mendefinisikan benda atau objek apa pun di dasar
laut yang sangat berbeda dari daerah sekitarnya. Benda tersebut
dapat berupa isolated rock pada permukaan dasar laut yang datar
sampai bangkai pesawat maupun kapal. Kegiatan ini disebut dengan
deteksi dasar laut atau yang lebih dikenal dengan sebutan
investigasi bawah laut. Dalam suatu survei investigasi dapat
memanfaatkan bebrapa peralatan dengan metode yang berbeda
deteksi fitur dan memberikan informasi mengenai klasifikasi dasar
laut. Dalam beberapa kasus atau kegunaan deteksi fitur lebih penting
dibandingkan akuisisi batimetri. Umumnya fitur khusus yang telah
diidentifikasi pada Multibeam echosounder atau Singlebeam
Echosunder biasanya akan memerlukan pemeriksaan yang lebih
baik dari posisi dan kedalaman sebenarnya (IHO, 2008). Untuk itu
kemampuan dalam pendeteksian sangat bergantung terhadap
sistem yang digunakan dalam sebuah operasi survei, sebagai contoh
jenis fitur bawah laut dapat dideteksi oleh SSS namun tidak dapat
dideteksi dengan baik oleh MBES, lidar ataupun sistem lain karena
pengaruh keterbatasan algoritma ntuk pendeteksian. (IHO C-13,
2010). Dalam pendeteksian fitur bawah laut sangat erat
hubungannya dengan standar ketelitian dalam survei hidrografi.
Untuk itu dalam memenuhi aspek persyaratan keselamatan
pelayaran dalam suatu area, maka diperlukan suatu standarisasi
keamanan terhadap pelaksanaan survei dilapangan untuk itu dibuat
orde survei yang di buat oleh International Hydrographic
Organization (IHO). Menurut IHO S-44 edisi 2008, orde survei dibagi
menjadi beberapa kriteria antara lain :
a. Ordo Khusus
Ini adalah ordo yang paling ketat dari ordo lainnya dan
penggunaannya ditujukan hanya untuk kedalaman di bawah
lunas kritis. Oleh sebab itu diperlukan penggambaran dasar
laut dan luas tampilannya diusahakan tetap dijaga dan dibuat
kecil. Karena kedalaman di bawah lunas kritis sehingga tidak
mungkin ordo khusus dipakai untuk kedalaman di atas 40
meter. Contoh area survei yang menggunakan ordo khusus
adalah tempat sandar, pelabuhan dan alur pelayaran yang
memiliki kedalaman kritis.
b. Orde 1A
Ordo ini dimaksudkan untuk kedalaman yang cukup
dangkal, kapal yang melewati tempat tersebut harus berhati
hati terhadap tampilan dasar laut baik yang alami maupun
buatan, namun kedalaman di bawah lunas agak sedikit kritis
dibanding dengan ordo khusus. Penggambaran dasar laut
dibutuhkan karena tampilan alami atau buatan di dasar laut
mungkin ada sehingga diharapkan kapal harus hati-hati,
bagaimanapun juga cakupan tampilan dasar laut yang
terdeteksi lebih besar dari orde khusus. Kedalaman yang kritis
di bawah lunas agak berkurang karena kedalaman air
bertambah dan cakupan tampilan yang terdeteksi oleh
penggambaran dasar laut semakin besar yaitu pada daerah
yang memiliki kedalaman lebih dari 40 meter. Survei-survei
yang menggunakan ordo 1a terbatas pada kedalaman kurang
dari 100 meter

c. Orde 1B
Ordo ini dimaksudkan untuk daerah dangkal yang memiliki
kedalaman kurang dari 100 meter di mana gambaran umum dasar
laut dipandang dapat dilalui oleh kapal permukaan untuk transit di
daerah tersebut. Penggambaran dasar laut tidak diperlukan hal ini
berarti bahwa mungkin terdapat beberapa tampilan dasar laut yang
luput walaupun jarak lajur perum maksimum yang diijinkan
membatasi cakupan tampilan tersebut yang memungkinkan ada
area-area yang tak terdeteksi. Ordo ini hanya direkomendasikan
untuk area di mana kedalaman di bawah lunas tidak dianggap
bermasalah. Sebagai contoh pada area dimana karakteristik dasar
laut seperti bangunan buatan manusia dan tampilan alami dasar laut
yang membahayakan kapal permukaan yang lewat di atasnya
rendah.
d. Orde 2
Ordo ini sedikit lebih longgar dan dimaksudkan untuk daerah dimana
kedalaman air dan gambaran umum dasar lautnya dipandang cukup
aman. Penggambaran dasar laut tidak diperlukan. Survei-survei
yang menggunakan ordo 2 direkomendasikan terbatas untuk daerah
yang memiliki kedalaman lebih dari 100 meter karena pada
kedalaman lebih dari 100 meter walaupun terdapat bangunan buatan
atau tampilan alami dasar laut yang cukup besar mempengaruhi
pelayaran permukaan, dipandang tidak mungkin akan terdeteksi oleh
survei ordo 2.
Tabel 1. Standar Minimum Hidrografi
Sumber : IHO S-44 Edisi V. 2008

1.2. PELAKSANAAN
Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam identifikasi
objek bawah laut dibuat pengklasifikasian investigasi berdasarkan
nilai kedalaman objek tersebut berada. adapun kriteria investigasi
dibagi menjadi beberapa, anatara lain :

a. Kedalaman 0 - 40 meter.
Seluruh obyek yang menonjol di dasar laut harus
diinvestigasi sehingga mendapatkan puncak obyek yang dicari.
b. Kedalaman 40 - 90 meter.
Obyek-obyek yang menonjol 1 (satu) meter atau lebih
dari kedalaman sekitarnya harus dilaksanakan investigasi.

c. Kedalaman 90 - 200 meter.


Obyek-obyek yang menonjol 2 % atau lebih dari
kedalaman sekitarnya harus dilaksanakan investigasi.

1.2.1. Metode pelaksanaan Investigasi:


Metode pelaksanaan survei investigasi umumnya
menggunakan lajur investigasi yang sama dengan lajur perum
utama namun dengan spasi lajur yang lebih rapat guna
mendapatkan hasil yang lebih maksimal (100% coverage
area). Adapun beberapa jenis model lajur investigasi antara
lain :

a. Model Bintang (Star Search)


Model ini dilaksanakan dengan bentuk radial
untuk menginvestigasi obyek menonjol di dasar laut.
Pola ini dapat memotong obyek yang yang dicari.
Spasi diatur dengan sudut yang telah ditetapkan.
Keuntungan melaksanakan investigasi menggunakan
metode Star Search yaitu :

1) Waktu lebih singkat dan efisien.


2) Kontur bisa dideklinasi dengan baik.

Kerugian melaksanakan investigasi menggunakan


metode Star Search yaitu pada titik temu (tengah) tiap-
tiap lajur terlalu banyak data yang menumpuk.
30o

30o 30o
15 10
5

30o 30o

Gambar 1. Investigasi metode bintang.

b. Model Kotak Spiral (Spiral Box Search)

Model investigasi ini dapat dilaksanakan jika


kondisi navigasi memungkinkan (cuaca, peralatan
SBN). Lajur investigasi dirancang membentuk suatu
kotak spiral yang dimulai dari tepi luar obyek, masuk ke
dalam hingga ditemukan puncak kedangkalan. Model
ini akan lebih efektif bila menggunakan sonar dan bouy
untuk tanda.
Keuntungan metode investigasi Spiral Box
Searchadalah spasi terbagi secara merata da
kerugiannya yaitu kontur tidak terdeklinasi dengan baik.

15 10
5
Gambar 21. Investigasi metode kotak spiral.

c. Metode Paralel (Rectangular Search).


Metode ini dilaksanakan dengan pola lajur
perum standar (biasa), dengan spasi yang lebih rapat.
Metode ini paling tepat dilaksanakan jika posisi puncak
kedangkalan telah diketahui secara pasti dan cocok
digunakan di laut dalam jika validitas (akurasi) data
kedalaman yang ada masih dipertanyakan.
Keuntungan metode investigasi Rectangular Search
adalah :
1) Bisa mencakup seluruh area dengan
intensif (untuk daerah kedangkalan dengan pola
linier atau memanjang).Spasi terbagi dengan
merata.
2) Kerugianmetode investigasi Rectangular
Searchadalah membutuhkan waktu lebih lama.

15 10
5

Gambar 32. Investigasi metode Pararel.


2. METODE SURVEI INVESTIGASI
Survei investigasi dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa
peralatan yang dapat digunakan dalam investigasi objek bawah laut dengan
tujuan tertentu. metode tersebut berkaitan erat dengan penggunaan
peralatan yang akan digunkan dalam survei investigasi bawah laut. Adapun
metode yang dapat digunakan antara lain :

2.1. PEMARITAN

2.2. SINGLEBEAM ECHOSUNDER (SBES)


Singlebeam echosounder merupakan alat ukur kedalaman air
yang menggunakan pengirim dan penerima sinyal gelombang suara
tunggal. Prinsip kerja singlebeam echosounder yaitu menggunakan
prinsip pengukuran selisih fase pulsa dengan cara menghitung
selisih pemancaran dan penerimaan dari pulsa akustik. Gelombang
akustik dipancarkan dari transduser. Transduser adalah salah satu
bagian dari alat pemeruman yang mengubah energi listrik menjadi
energi mekanik kemudian menghasilkan gelombang akustik.
Gelombang akustik tersebut kemudian merambat melalui air dengan
cepat rambat yang telah diketahui, sampai menyentuh dasar laut dan
kembali lagi ke transduser. Rumus yang digunakan untuk
menghitung kedalaman batimetri menggunakan akustik adalah
sebagai berikut (Djunarsah dan Poerbandono, 2005):
1
𝑑 = . 𝑣. ∆
2
Dimana di adalah kedalaman hasil ukuran, v kecepatan
gelombang akustik yang telah diketahui sebelumnya, dan Δt adalah
selang waktu yang dibutuhkan bagi gelombang akustik yang
dipancarkan untuk memantul kembali ke tansduser (Djunarsah dan
Poerbandono, 2005). Data yang telah diakuisisi tersebut kemudian
akan direkam dalam bentuk digital dengan menggunkan perangkat
lunak pengambilan data (akuisisi).
2.3. MULTIBEAM ECHOSUNDER (MBES)
Multibeam echosunder adalah echosounder yang mememilki
sapuan yang luas yang digunkan dalam pengukuran dasar laut
menggunakan prinsip multibeam (IHO, 2010). Pada awal
perkembangannya MBES merupakan pengembangan dari single
beam echosounder yang menggunakan 1 transmisi beam untuk
menentukan kedalaman. MBES menggunakan pancaran gelombang
suara yang berasal dari transducer yang memiliki kemiringan
berbeda-beda tiap beam, sehingga MBES dapat mengukur
kedalaman bukan dibawah lunas kapal melainkan juga sisi samping
luar dari kapal.

Gambar 4. Sapuan multibeam Echosunder


(Sumber : SHOM Training, 2014)
Lebar tiap beam pada MBES umumnya berada pada kisaran sudut
60° hingga 120° (RAN, 2003). Kedalaman yang diukur oleh MBES
dilaksanakan koreksi terhadap pitch, roll dan heave kapal yang
ditentukan dari kedalaman relatif dari transducer dan sistem
penentuan posisi kapal untuk mendapatkan nilai kedalaman yang
sebenarnya.
Gambar 5. Pola Pancaran beam SBES dan MBES
(Sumber : sdi.com)
MBES bekerja dengan memanfaatkan gelombang akustik
yang merambat di air dengan prinsip dasar yang dimilki oleh sonar.
Dalam perkembangannya MBES memilki dua macam sistem dalam
pemancaran gelombang suara yakni sistem sweep dan swath.
Sistem sweep merupakan sistem MBES yang memancarkan
singlebeam namun dengan multi pancaran.

Gambar 6. Multibeam sistem sweep


(Sumber : Kongsberg, 2017)
Sedangkan dalam sistem swath MBES menggunakan satu
pancaran gelombang yang memilki lebar dan panjang yang
membentuk sebuah kolom (De jong dkk, 2002).
Gambar 7 . Multibeam Sistem swath
(Sumber : RAN, 2003)
Dalam akusisi MBES memerlukan koreksi untuk
mendapatkan nilai sebenarnya terhadap posisi objek yang diukur
sebelum melaksanakan akusisi data. Kalibrasi yang dilakukan antara
lain :
a. Koreksi Offset
Kalibrasi ini merupakan kalibrasi yang dilakukan untuk
melakukan penyesuaian jarak dari sensor-sensor yang
digunakan terhadap “centerline” (titik nol) dari kapal dan
transducer. Proses penyesuaian ini meliputi beberapa
komponen yaitu kapal itu sendiri, antena GPS kapal,
transducer, gyro compass, dan Motion Reference Unit (MRU).

b. Patch Test
Patch Test merupakan suatu kalibrasi yang memiliki
parameter berupa waktu tunggu (time delay), roll, pitch, dan
yaw (Lekkerkerk, dkk, 2006). Patch Test adalah kalibrasi alat
(Motion sensor) akibat pergerakan kapal, karena
keseimbangan kapal sounding sangat penting didalam
pelaksanaan survei, karena dapat dijadikan jaminan dalam
mendapatkan nilai ketelitian (accuracy) sekaligus dapat
dipertanggung jawabkan didalam pengukuran kedalaman laut
(Ramhadani, 2016).
c. Kalibrasi Kecepatan suara
Adanya perbedaan parameter seperti salinitas, suhu
dan tekanan di setiap kolom air laut mengakibatkan adanya
perbedaan kecepatan rambat akustik di setiap kolom tersebut.
Untuk itu dilakukan pengukuran kecepatan rambat akustik
menggunakan alat Sound Velocity Profiler (SVP) atau
menggunakan CTD (Conductivity Temperature and Depth).

2.4. MAGNETOMETER
Magnetometer umumnya digunakan sebagai peralatan survei
geofisika untuk mengetahui kondisi geologi bawah permukaan
berdasarkan sifat kemagnetannya. Magnetometer laut merupakan
instrumen yang digunakan untuk mengukur intensitas medan
magnet di laut. Magnetometer mampu mengukur dan mencatat
penyimpangan medan magnet yang disebabkan oleh adanya bahan
feromagnetik (Camidge et al. 2010). Perbedaan maupun selisih nilai
kemagnetan yang terdapat pada suatu daerah disebut juga dengan
anomali magnetik lokal dengan nilai yang dimiliki lebih tinggi dari
pada nilai regionalnya (Arini et al. 2013). Magnetometer mampu
digunakan untuk mendeteksi obyek seperti pipa, kabel, ranjau
maupun benda logam lainnya.
Penggunaan instrumen magnetometer banyak dimanfaatkan
untuk mengidentifikasi perubahan kemagnetan bumi secara spasial.
Berbeda dengan prinsip akustik, magnetometer tidak
mentransmisikan sinyal namun menghitung variasi kemagnetan
bumi secara pasif (Plets & Dix 2013). Magnetometer mampu
mendeteksi perubahaan medan magnet lokal disebabkan oleh
struktur geologi maupun benda feromagnetik. Perubahan medan
magnet lokal dipengaruhi oleh kemagnetan induksi dan kemagnetan
permanen. Perubahan medan magnet lokal disebut dengan anomali
magnetik. Anomali magnetik yang teramati menerangkan pengaruh
kemagnetan induksi maupun kemagnetan permanen. Pengukuran
variabel kemagnetan permanen jarang dilakukan, sehingga total
anomali magnetik hasil pengamatan ditafsirkan bersumber dari
kemagnetan induksi (Breiner 1999).
Prinsip dasar yang digunakan dalam penentuan nilai anomali
magnetik menggunakan peralatan magnetometer adalah
menggunakan hukum Coloumb (Telford, 1986 & Blakely, 1994) yaitu:
(𝑚1 .𝑚2)
𝐹= ...............................................................................(2.8)
𝜇𝑟 2

Dimana:
𝐹 : Gaya Coloumb (kg.m.s-2),
𝑚1 . 𝑚2 : Besaran kutub magnetik (A.m),
𝑟2 : Jarak antara m1 dan m2 (m),
𝜇 : Permeabilitas medium (A-2.kg.m.s-2).
Sehingga diperoleh nilai intensitas medan magnetik yang
dapat dirumuskan sebagai berikut :
𝐹 𝑚
𝐻 = 𝑚1 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝐻 = 𝜇𝑟 2.............................................................................( 2.9)

Dimana:
𝐻 ∶ intensitas medan magnet (A.𝑚-1)

Suatu objek besi apabila ditempatkan dalam suatu medan


magnet akan terinduksi sehingga intensitas yang akan dihasilkan
sebesar (𝐵):
𝐵 = 𝜇 . 𝐻 + 𝐽 .........................................................................................( 2.10)

Dimana:
𝐵: intensitas total magnetik (nT),
𝜇 : permeabilitas medium (A-2.kg.m.s-2),
𝐽 : besaran magnetisasi per unit volume (nT).

Dari persamaan di atas mengisyaratkan bahwa semakin


besar volume objek besi akan semakin besar intensitas magnetiknya
dan semakin jauh jaraknya maka intensitasnya akan semakin kecil
(Subarsyah & Aryawan, 2009). Sehingga dapat diprediksi besaran
objek yang dapat dideteksi oleh magnetometer berdasarkan
perhitungan diatas :
50000
𝑀= × 𝑊.............................................................................................(2.11)
𝐷3

Dimana
𝑀 =Nilai Intensitas Magnetik (nT)
W = Berat Objek metal dalam ton,
D= Jarak antara alat dan objek
(Sumber : IHO C-13, 2010)
Umumnya benda dengan nilai intensitas magnetik 5nT dapat
dideteksi oleh magnetometer, sehingga rumus diatas dapat
digunakan untuk pendeteksian benda dengan nilai diatas 5nT (IHO
C-13, 2010). Sedangkan untuk pendeteksian tersebut nilai jarak
objek dapat dihitung dengan nilai sebagai berikut :
3
𝐷 = √10000 × 𝑊 .....................................................................(2.12)
Sedangkan untuk mengukur berat target yang terdeteksi oleh
magnetometer dapat menggunakan rumus sebagai berikut
(Dishidros, 2007):
𝐷 3
𝑊 = (40) × 𝑇............................................................................(2.13)

Dimana :
𝑊 = Prediksi berat target ( ton )
𝐷 = Kedalaman ( m )
𝑇 = Anomali Prediksi Target ( nT )

2.5. SIDE SCAN SONAR


Side Scan Sonar (SSS) adalah sebuah sistem peralatan
survey kelautan yang menggunakan teknologi akustik. Dengan
adanya SSSdapat dihasilkan citra dasar laut secara jelas dan
memudahkan surveyor dalam menginterpretasikan kondisi dasar
laut dan objek yang ada. Hasil pencitraan Side Scan Sonar disajikan
dalam bentuk 2 dimensi (2D) (Wisnu, 2016). SSS memiliki 4 fungsi
utama dalam survei hidrografi antara lain (IHO C-13, 2010) :
a. Mendeteksi fitur wreck dan obstruksi yang terdapat
pada lajur perum, meskipun kedalaman sebenarnya tidak
dapat ditentukan oleh SSS.
b. Mendeteksi fitur dasar laut lainnya dimana
penggunaan SSS yang benar dapat mendeteksi objek di
bawah laut dengan ukuran yang sangat kecil, walapun tidak
membahayakan operasi kapal selam maupun peranjauan.
c. Pengumpulan data klasifikasi dasar laut. Pengetahuan
tentang tekstur dasar laut, dikombinasikan dengan sampel
dasar laut, sangat penting untuk digunakan dalam operasi
kapal selam dan peranjauan serta perikanan dan
pengembangan sumber daya kelautan
d. Identifikasi pergerakan dasar laut karena pengaruh
sandwave dan ripple yang menyebabkan bentuk dasar laut
berubah.
Sistem peralatan ini merupakan strategi penginderaan untuk
merekam kondisi dasar laut dengan memanfaatkan sifat media dasar
laut yang mampu memancarkan, memantulkan dan/atau menyerap
gelombang suara. Gelombang suara yang digunakan dalam
teknologi SSS biasanya mempunyai frekuensi antara 100 dan 500
KHz. Pulsa gelombang dipancarkan dalam pola sudut yang lebar
mengarah ke dasar laut, dan gemanya diterima kembali oleh receiver
dalam hitungan detik. Untuk mencari suatu lokasi tertentu,
perekaman perlu mengikuti pola lajur survei tertentu dengan
menggunakan peralatan penentu posisi GPS. SSS mampu membuat
sapuan perekaman dasar laut dari kedua sisi lajur survei. Dalam
kondisi laut yang tenang dan haluan kapal yang lurus, SSS dapat
memberikan gambar atau image yang sangat tajam dan rinci seperti
layaknya sebuah foto.SSS menggunakan prinsip backscatter akustik
dalam mengindikasikan atau membedakan kenampakan bentuk
dasar laut atau objek di dasar laut (Russel, 2001 & Edi, 2009).
Gambar 8. Contoh hasil pencitraan Side Scan Sonar
(Sumber: RAN, 2003)
Dalam prakteknya SSS dapat dioperasikan dengan cara
dipasang dibawah lunas maupun dengan cara ditarik (towfish), akan
tetapi berdasarkan nilai interferensi dari hasil sinyal akustik yang
ditangkap oleh tranducer, penggunaan SSS lebih banyak digunakan
melalui metode towfish untuk mengurangi interferensi nilai noise
yang dihasilkan oleh getaran wahana (kapal). Hasil dari intensitas
sinyal balik yang dihasilkan oleh SSS akan diinterpretasikan melalui
data digital atau kertas
Ukuran minimum target dari hasil deteksi SSSyang dapat
dijangkau bergantung kepada kecepatan kapal, kondisi umum sonar,
aspek reflektifitas target dan kondisi lingkungan dari dasar laut.
Untuk mengukur tinggi objek dasar laut SSS menggunakan jarak
miring yang dapat dihitung dari towfish ke arah bayangan dari objek
tersebut.
Gambar 9 . Prinsip pengukuran tinggi objek pada Side Scan Sonar
(Sumber : RAN, 2003)

S ×h
𝐻= ....................................................................................(2.3)
R +S

Kemampuan SSS dalam pendeteksian fitur bawah laut adalah


sarana peralatan yang sangat diandalkan dalam pendeteksian, akan
tetapi hal tersebut memilki keterbatasan operasional yang
disebabkan karena SSS harus ditarik (towing) oleh sebuah wahana
survei sehingga menyebabkan adanya errordalam penentuan posisi
sebenarnya sebuah objek bawah laut. Kesalahan yang terjadi antara
lain (RAN, 2003) :
a. Ketidakpastian terhadap posisi terhadap titik referensi
kapal.
b. Ketidakpastian terhadap arah kabel yang menarik
towfish pada buritan kapal.
c. Ketidakpastian karena lengkungan saat kabel ditarik.
d. Ketidakpastian terhadap orientasi posisi dari towfish.
e. Ketidakpastian terhadap pengukuran jarak suatu
target.

Kesalahan posisi tersebut dapat direduksi menggunakan bantuan


transponder yang ditempatkan pada towfish (RAN, 2003). Sistem
dengan menggunakan metode towfish tersebut memerlukan koreksi
offset yang harus diukur berdasarkan titik referensi kapal. Koreksi
tersebut terdiri atas 2 hal yakni Slant Corection dan Layback
Corection. Slant Correction adalah koreksi posisi terhadap jarak
suatu objek di dasar laut dengan terhadap towfish dimana posisi
objek dapat berada di sisi atau kanan towfish sehingga dapat diukur
menggunakan prinsip phytagoras (Lubis dkk, 2017).

Gambar 10 . Slant Correction

𝑎2 = 𝑐 2 + 𝑏 2 ..............................................................................(2.4)
Dimana
𝑎 = Koreksi Slant
𝑏 = Tinggi towfish terhadap seabed
𝑐 = Jarak Slant

Sedangkan layback correction adalah jarak horisontal antara alat


penentuan posisi kapal (GPS) terhadap posisi towfish yang bertujuan
untuk menentukan posisi towfish sebenarnya. Pengukuran layback
ini dapat menggunakan rumus phytagoras dalam prakteknya.
Gambar 11. Layback Corection

𝐿𝑏 = 𝑎 + 𝑋...................................................................................(2.4)

𝑋 = √𝐿2 − 𝑑2 − 𝐾........................................................................(2.5)
𝑑3
𝐾= .....................................................................................(2.6)
2𝐿2

Maka nilai Layback adalah


𝑑3
𝐿𝑏 = 𝑎 + √𝐿2 − 𝑑2 − ..............................................................(2.7)
2𝐿2

Dimana
L = Panjang kabel
a = Jarak GPS terhadap towcble
d = Kedalaman towfish
Lb = Panjang Layback
SSS juga memilki keterbatasan dalam akuisisi data dimana
dalam sistem SSS memilki gap pada nadir dimana data akustik tidak
dapat mendeteksi objek pada sisi tersebut, sehingga dalam
akuisisinya dan pengolahannya harus dilaksanakan overlapping lajur
survei untuk mendapatkan data yang lebih baik (IHO C-13, 2010).

2.6. ROV
ROV (Remotely Operated Vehicle) adalah wahana bawah air
yang bertenaga listrik dan dikontrol melalui pusat, dapat bermanuver
sesuai perintah manusia dengan pendorong (thruster) hidrolik atau
elektrik (Hoong, 2010). Di dalam ROV biasanya terdapat CCD
(kamera video) dan lampu pencahayaan. Beberapa instrumen dapat
ditambahkan untuk menambahkan kemampuan ROV seperti
kamera, manipulator, water sampler, CTD ( Conductivity,
Temperature and Depth) (NOAA, 2010). Remote Operation Vehicle
secara luas dikenal sebagai nama umum bagi kapal selam mini yang
kerap digunakan pada industri minyak dan gas lepas pantai. Kapal
selam ini tak berawak, tapi dioperasikan dari kapal lain. ROV memiliki
kamera sehingga dapat menampilkan gambar keadaan bawah laut
secara real time kepada pengendali ROV. Bila dari gambar yang
terlihat menampilkan sesuatu yang dianggap penting untuk diteliti
maka akan lebih banyak lagi sensor yang digunakan untuk
memeriksa keadaan di lokasi tersebut lebih detail lagi.
ROV digunakan untuk mengetahui keadaan ekosistem laut
dalam. Selain itu ROV juga banyak digunakan oleh para pekerja di
pada industri perminyakan untuk mengecek struktur rig yang telah
atau akan dipasang. Pemakaian ROV digunakan baik untuk
kalangan militer, bisnis, komersial, maupun akademis dan riset.
Contoh untuk tujuan komersil di dunia pengeboran minyak dan gas
lepas pantai adalah sebagai berikut:
a. Menyertai para penyelam, untuk meyakinkan bahwa
para penyelam dalam keadaan aman dan siap memberi
bantuan
b. Inspeksi atau pemeriksaan anjungan atau kilang
minyak, dari mulai pemeriksaan visual sampai menggunakan
alat tertentu untuk memonitor efek dari korosi, kesalahan
konstruksi, mencari lokasi keretakan, estimasi biologi untuk
pencemaran
c. Inspeksi Jalur pipa, mengikuti jalur pipa bawah laut
untuk mengecek adanya kebocoran, menentukan perkiraan
umur pipa dan meyakinkan bila instalasi pipa dalam kondisi
baik.
d. Survei, baik visual maupun survei menggunakan
gelombang suara, diperlukan sebelum pemasangan pipa,
kabel, dan fasilitas bawah laut lainnya.
e. Pendukung pengeboran dan konstruksi, dari inspeksi
visual, memonitor pelaksanaan pengeboran dan konstruksi,
sampai melakukan perbaikan-perbaikan jika diperlukan.
f. Memindahkan benda-benda berbahaya di dasar laut,
terutama di sekitar fasilitas bangunan seperti kilang minyak.
ROV terbukti lebih bisa menekan biaya untuk menjaga daerah
tersebut tetap aman dan bersih.
Gambar 4. ROV
Di bidang telekomunikasi ROV digunakan untuk mendukung
pekerjaan pemasangan kabel telekomunikasi bawah laut, selain
memonitor, juga menjaga agar pemasangan kabel sesuai dengan
prosedur sehingga terlindung dari gangguan nelayan (kapal trawler)
dan kemungkinan kapal membuang jangkar. Selain itu dalam bidang
rise ROVdigunakan untuk menginvestigasi perubahan-perubahan
yang terjadi di dasar laut pasca gempa dan tsunami.
ROV bekerja dengan sebuah kontroler yang berada di
permukaan air laut (biasanya dikapal). Operator menggerakan ROV
dan mengatur segala kegiatan yang akan dilakukan oleh ROV
seperti pengambilan sampel air laut, gerakan kamera video dan lain
sebagainya. Antara ROV dan kontroler dihubungkan oleh kabel.
ROV tersusun dari satu set pengapung besar di atas sasis
baja atau aluminium. Pengapung itu biasanya terbuat dari busa
sintetis. Di bagian bawah konstruksi terpasang alat-alat sensor yang
berat. Komposisi ini–komponen ringan di atas dan berat di bawah–
akan menghasilkan pemisahan yang besar antara pusat apung dan
pusat gravitasi. Maka alat ini pun lebih stabil di dasar laut saat
melakukan tugas-tugasnya. ROV memiliki kemampuan manuver
yang tinggi. Kabel tambat berfungsi mengirimkan energi listrik serta
data video dan sinyal. Saat bertugas memasang kabel-kabel listrik
tegangan tinggi, ROV biasanya ditambahkan tenaga
hidrolik. Sistem ROV terdiri atas vehicle (atau sering disebut ROV
itu sendiri), yang terhubung oleh kabel umbilical ke ruangan kontrol
dan operator di atas permukaan air (bisa di kapal, rig atau barge).
Yang paling juga adalah sistem kendali, sistem peluncuran dan
sistem suplai tenaga listrik maupun hidrolik. Melalui kabel umbilical,
tenaga listrik dan hidrolik, juga perintah-perintah, atau sinyal-sinyal
kontrol, disampaikan dari ruang kontrol ke ROV, secara dua arah.
Berdasarkan ukuran, berat, dan kekuatannya, ROV dibagi
menjadi berikut:

a. Micro - ROV tipe mikro memiliki ukuran dan erat yang


sangat kecil. Sekarang beratnya bisa di bawah 3 kg. ROV ini
biasa digunakan untuk membantu penyelam, secara spesifik
untuk mengakses tempat yang tidak bisa dijangkau seperti
gua kevil dan jalur pipa.
b. Mini - ROV tipe ini memiliki berat kurang lebih 15 kg.
ROV tipe mini dapat dikendarai oleh satu orang seperti kapal
kecil.
c. General - tipe ini memiliki kekuatan di bawah 5 HP.
Biasanya dilengkapi unit sonar dan digunakan untuk survey
bawah air. Tipe ini dapat mencapai kedalaman dibawah 1000
meter dan ada juga yang dibuat untuk mencapai kedalaman
7000 meter.
d. Light workclass - tipe ini memiliki kekuatan kira-kira 50
HP. Biasanya memiliki tiga kegunaan. Dibuat dengan bahan
polyethylene, stainless steel atau campuran alumunium. Tipe
ini mampu mencapai kedalaman di bawah 2000 meter.
e. Trenching/burial - tipe ini memiliki kekuatan lebih dari
200 HP dan dapat mencapai kedalaman sampai 6000 meter
(Remotely Operated Vehicle, 2006).

Sistem ROV pada umumnya bekerja diatas wahana apung


seperti kapal, barge, atau rig. Bila sistem ROV dipasang diatas kapal,
maka posisi ROV di bawah laut akan mengacu pada titik referensi di
kapal. Untuk keperluan survei, kapal biasanya menggunakan DGPS
(Differential Global Positioning System) sebagai penentuan posisi
utamanya. Sedangkan untuk posisi di bawah laut, sistem ROV
dilengkapi dengan alat penentuan posisi bawah laut menggunakan
gelombang suara (Acoustic Underwater Positioning). Salah satu
metode ini adalah Ultra Short BaseLine (USBL), yang akan
mengukur jarak, kedalaman, dan azimut ROV terhadap transduser
USBL yang dipasang di kapal. Posisi ROV dan data navigasi lainnya,
dalam sistem koordinat tertentu akan didapat dan melalui perangkat
lunak navigasi tertentu, akan dikirimkan secara real time ke ruang
kontrol ROV.

2.7. AUV
Autonomous Underwater Vehicle (AUV) merupakan wahana
tanpa awak bawah air yang memiliki berbagai kegunaan. AUV dapat
melakukan survey bawah air untuk mengidentifikasi komponen
biologi dan fisika bawah air. AUV dapat melakukan pekerjaan yang
sulit dilakukan penyelam karena batasan kedalaman dan bahaya
yang mengancam nyawa penyelam. Metode yang digunakan untuk
mengidentifikasi sedimen di daerah pantai umumnya dapat merusak
ekosistem dan menghancurkan terumbu. Penggunaan AUV dapat
menjadi jawaban untuk mengidentifikasi kondisi bentik perairan
pantai. Sensor yang dibawa AUV mencakup ADCP, CTD,
echosounder, side scan sonar, dan kamera. Semua sensor ini sangat
berguna untuk melakukan survey di perairan.

AUV digerakan dengan menggunakan motor listrik. Sumber


tenaga yang digunakan untuk menggerakan motor listrik berasal dari
baterai litium dengan durasi antara 24 jam sampai 40 jam. Lamanya
durasi baterai tergantung keperluan survei dan kondisi sekitar seperti
temperature, kecepatan arus laut dan perangkat yang digunakan.
Prinsip kerjanya AUV diturunkan dari kapal induk kemudian motor
listrik yang ada pada alat tersebut menggarakan AUV untuk masuk
kedalam air. Sistem navigasi yang ada pada AUV digunakan untuk
menentukan arah dan posisi survey. Navigasi dan system penggerak
pada AUV dapat dikontrol dari kapal induk. Program yang
dirancangan pada AUV digunakan untuk segala macam keperluan
termasuk dalam keadaan darurat sehingga AUV harus diangkat
kepermukaan laut.. Komunikasi dilakukan dengan menggunakan
frekuensi radio dan wireless local-area network (WLAN), local area
network (LAN) apabila diluar jangkauan tersebut komunikasi
menggunakan satelit
Perangkat survey utama yang ada di AUV adalah multibeam
echo sounder (MBES) yang digunakan untuk mengetahui morfologi
bawah laut, kedalaman air dan reflektifitas bawah permukaan.
Frekuensi yang digunakan untuk MBES antara 100 dan 400 k Hz.
Hasil dari MBES dapat melihat kemiringan dari lereng permukaan
dasar laut dengan baik. Selain MBES ada juga sidescan sonar (SSS)
dan subottom profiler (SBP). SSS dapat memberikan informasi
mengenai kondisi bawah permukaan secara kasar. Fungsi SSS
hampir sama seperti MBES namun memiliki resolusi lebih tinggi.
Frekuensi yang digunakan bervariasi antara 240 Hz, 250 Hz dan
1600 kHz. Dengan menggunakan frekuensi 1600 kHz maka akan
menghasilkan resolusi yang detail namun lebar sapuan (Swath
width) hanya 40 m. SBP dapat memberikan informasi mengenai
reflektifitas bawah permukaan.. Frekuensi yang digunakan SBP
adalah frekuensi tinggi dan frekuensi rendah. Rentang frekuensi
yang digunakan antara 1 Hz sampai 24 kHz. Pada umumnya rentang
frekuensi yang digunakan adalah 1-6 Hz dan 2-12 kHz. Dengan
menggunakan dual frekuensi secara bersamaan maka hasil
rekaman memiliki resolusi yang tinggi dan penetrasi yang dalam.
Sample rate yang digunakan 23 atau 46 ms dan resolusi vertikal 0,3
m. Untuk meningkatkan kualitas data maka dapat dilakukan proses
filtering dan automatic gain control (AGC). Interpretasi kedalaman
yang dihasilkan SBP sekitar 150 m dibawah dasar permukaan laut.
Penetrasi akan maksimal terjadi pada daerah yang lemah seperti
batuan sedimen yang mengandung gas, sedangkan penetrasi akan
terbatas atau tidak ada penetrasi sama sekali di dalam batuan
sedimen padat. Selain perangkat utama tadi AUV juga dilengkapi
dengan kamera, magnetometer, dan CTD.
Sistem navigasi yang digunakan adalah inertial navigation system
(INS) dibantu dengan Doppler velocity log (DVL). INS menenentukan
posisi dan kecepatan menggunakan frekuensi tinggi dari inertial
measurement unit (IMU). Data selain dari INS dapat digunakan untuk
mengupdate data INS. Penentuan posisi dapat diperbaharui dengan
menggunakan data yang bersumber dari GPS permukaan, acoustic
ultrashort baseline (USBL) transponder akustik dan batimetri. Error
untuk penenuan posisi AUV relatif kecil yaitu 0,03 %.
Data hasil survei AUV ditransmisikan secara real time ke
operator yang ada dikapal induk untuk dilakukan interpretasi.
Pengolahan data juga dilakukan untuk menghasilkan digital terrain
model (DTM) dan gambaran backscatter dasar laut dari perekaman
MBES. Data SBP juga dapat dikonversikan dalam bentuk SEG-Y.
Untuk memberikan informasi yang akurat mengenai kedalaman air
dan bentuk dasar laut, data MBS dikorekasi terhadap kedalaman
AUV, ketinggian, kecepatan suara, Pasang surut dan beberapa
faktor yang lain. Data SSS dikoreksi untuk distorsi yang disebebkan
oleh kemiringan dan menghilangkan kolom air.berikut ini merupakan
hasil dari AUV.

Anda mungkin juga menyukai