Anda di halaman 1dari 96

Appendisitis

Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks. Apendiks
disebut juga umbai cacing. Kita sering salah kaprah
dengan mengartikan apendisitis dengan istilah usus
buntu, karena usus buntu sebenarnya adalah sekum.
Organ apendiks pada awalnya dianggap sebagai organ
tambahan yang tidak mempunyai fungsi tetapi saat ini
diketahui bahwa fungsi apendiks adalah sebagai organ
imunologik dan secara aktif berperan dalam sekresi
immunoglobulin (suatu kekebalan tubuh). Organ ini
cukup sering menimbulkan masalah kesehatan dan
peradangan akut apendiks yang memerlukan tindakan
bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumya
berbahaya.

Epidemiologi
Apendisitis paling sering ditemukan pada usia 20
sampai 40 tahun. Penyakit ini jarang ditemukan pada
usia yang sangat muda atau orang tua, dikarenakan
bentuk anatomis apendiks yang berbeda pada usia tersebut.
Penyebab
Kita sering mengasumsikan bahwa apendisitis berkaitan dengan makan biji cabai. Hal ini tidak
sepenuhnya salah. Namun yang mendasari terjadinya apendisitis adalah adanya sumbatan pada
saluran apendiks. Yang menjadi penyebab tersering terjadinya sumbatan tersebut adalah fekalit.
Fekalit terbentuk dari feses (tinja) yang terperangkap di dalam saluran apendiks. Selain fekalit, yang
dapat menyebabkan terjadinya sumbatan adalah cacing atau benda asing yang tertelan. Beberapa
penelitian menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat terhadap timbulnya
apendisitis. Kebiasaan makan makanan rendah serat dapat mengakibatkan kesulitan dalam buang air
besar, sehingga akan meningkatkan tekanan di dalam rongga usus yang pada akhirnya akan
menyebabkan sumbatan pada saluran apendiks.

Gejala Klinis
Gejala utama terjadinya apendisitis adalah adanya nyeri perut.
Nyeri perut yang klasik pada apendisitis adalah nyeri yang
dimulai dari ulu hati, lalu setelah 4-6 jam akan dirasakan
berpindah ke daerah perut kanan bawah (sesuai lokasi apendiks).
Namun pada beberapa keadaan tertentu (bentuk apendiks yang
lainnya), nyeri dapat dirasakan di daerah lain (sesuai posisi
apendiks). Ujung apendiks yang panjang dapat berada pada
daerah perut kiri bawah, punggung, atau di bawah pusar.
Anoreksia (penurunan nafsu makan) biasanya selalu menyertai
apendisitis. Mual dan muntah dapat terjadi, tetapi gejala ini tidak
menonjol atau berlangsung cukup lama, kebanyakan pasien hanya muntah satu atau dua kali. Dapat
juga dirasakan keinginan untuk buang air besar atau kentut. Demam juga dapat timbul, tetapi
biasanya kenaikan suhu tubuh yang terjadi tidak lebih dari 1oC (37,8 – 38,8oC). Jika terjadi
peningkatan suhu yang melebihi 38,8oC. Maka kemungkinan besar sudah terjadi peradangan yang
lebih luas di daerah perut (peritonitis).
Pemeriksaan Tambahan
Pada pemeriksaan laboratorium, yang dapat ditemukan adalah kenaikan dari sel darah putih hingga
sekitar 10.000 – 18.000/mm3. Jika terjadi peningkatan yang lebih dari itu, maka kemungkinan
apendiks sudah mengalami perforasi (pecah).
Pada pemeriksaan radiologi, foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit. Namun
pemeriksaan ini jarang membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis. Ultrasonografi (USG)
cukup membantu dalam penegakkan diagnosis apendisitis (71 – 97 %), terutama untuk wanita hamil
dan anak-anak. Tingkat keakuratan yang paling tinggi adalah dengan pemeriksaan CT scan (93 – 98
%). Dengan CT scan dapat terlihat jelas gambaran apendiks.
Meskipun terdapat beberapa pemeriksaan tambahan seperti diatas yang dapat membantu
menegakkan diagnosis apendisitis, namun gejala klinis sangat memegang peranan yang besar.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan standar untuk apendisitis adalah operasi. Pernah dicoba pengobatan dengan
antibiotik, walaupun sembuh namun tingkat kekambuhannya mencapai 35 %. Pembedahan dapat
dilakukan secara terbuka atau semi-tertutup (laparoskopi). Setelah dilakukan pembedahan, harus
diberikan antibiotika selama 7 – 10 hari.

www.klikdokter.com/userfiles/appendisitis2.jpg

http://images.google.co.id/imgres?
imgurl=http://www.medamet.com/brans/brans_images/laparoskopi_seti_2.jpg&imgrefurl=http://ww
w.medamet.com/brans/brans_images/laparoskopi_seti.htm&usg=__U21H2gBTOG9-
q5m6q0ExGQp4WPc=&h=550&w=975&sz=229&hl=id&start=3&tbnid=kMw8nX4ejCpfZM:&tb
nh=84&tbnw=149&prev=/images%3Fq%3Dlaparoskopi%26gbv%3D2%26hl%3Did%26client
%3Dfirefox-a%26rls%3Dorg.mozilla:en-US:official%26sa%3DG

http://www.medamet.com/brans/brans_images/laparoskopi_seti_2.jpg
http://www.kolonrektum.com/images/laparoskopi_b.jpg

http://www.kompas.com/data/photo/2008/04/16/210458p.jpg
http://www.saglikbakanligi.com/html_files/arshive/2008/subat2008/laparoskopi.jpg

Selasa, 2008 Desember 02


Appendicitis

Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks.
Apendiks disebut juga umbai cacing. Kita sering salah
kaprah dengan mengartikan apendisitis dengan istilah
usus buntu, karena usus buntu sebenarnya adalah
sekum. Organ apendiks pada awalnya dianggap
sebagai organ tambahan yang tidak mempunyai fungsi
tetapi saat ini diketahui bahwa fungsi apendiks adalah
sebagai organ imunologik dan secara aktif berperan
dalam sekresi immunoglobulin (suatu kekebalan
tubuh). Organ ini cukup sering menimbulkan masalah
kesehatan dan peradangan akut apendiks yang
memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah
komplikasi yang umumya berbahaya.

Epidemiologi
Apendisitis paling sering ditemukan pada usia 20
sampai 40 tahun. Penyakit ini jarang ditemukan pada
usia yang sangat muda atau orang tua, dikarenakan
bentuk anatomis apendiks yang berbeda pada usia tersebut.
Penyebab
Kita sering mengasumsikan bahwa apendisitis berkaitan dengan makan biji cabai. Hal ini tidak
sepenuhnya salah. Namun yang mendasari terjadinya apendisitis adalah adanya sumbatan pada
saluran apendiks. Yang menjadi penyebab tersering terjadinya sumbatan tersebut adalah fekalit.
Fekalit terbentuk dari feses (tinja) yang terperangkap di dalam saluran apendiks. Selain fekalit, yang
dapat menyebabkan terjadinya sumbatan adalah cacing atau benda asing yang tertelan. Beberapa
penelitian menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat terhadap timbulnya
apendisitis. Kebiasaan makan makanan rendah serat dapat mengakibatkan kesulitan dalam buang air
besar, sehingga akan meningkatkan tekanan di dalam rongga usus yang pada akhirnya akan
menyebabkan sumbatan pada saluran apendiks.
Gejala Klinis
Gejala utama terjadinya apendisitis adalah adanya nyeri perut.
Nyeri perut yang klasik pada apendisitis adalah nyeri yang
dimulai dari ulu hati, lalu setelah 4-6 jam akan dirasakan
berpindah ke daerah perut kanan bawah (sesuai lokasi apendiks).
Namun pada beberapa keadaan tertentu (bentuk apendiks yang
lainnya), nyeri dapat dirasakan di daerah lain (sesuai posisi
apendiks). Ujung apendiks yang panjang dapat berada pada
daerah perut kiri bawah, punggung, atau di bawah pusar.
Anoreksia (penurunan nafsu makan) biasanya selalu menyertai
apendisitis. Mual dan muntah dapat terjadi, tetapi gejala ini tidak menonjol atau berlangsung cukup
lama, kebanyakan pasien hanya muntah satu atau dua kali. Dapat juga dirasakan keinginan untuk
buang air besar atau kentut. Demam juga dapat timbul, tetapi biasanya kenaikan suhu tubuh yang
terjadi tidak lebih dari 1oC (37,8 – 38,8oC). Jika terjadi peningkatan suhu yang melebihi 38,8oC.
Maka kemungkinan besar sudah terjadi peradangan yang lebih luas di daerah perut (peritonitis).
Pemeriksaan Tambahan
Pada pemeriksaan laboratorium, yang dapat ditemukan adalah kenaikan dari sel darah putih hingga
sekitar 10.000 – 18.000/mm3. Jika terjadi peningkatan yang lebih dari itu, maka kemungkinan
apendiks sudah mengalami perforasi (pecah).
Pada pemeriksaan radiologi, foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit. Namun
pemeriksaan ini jarang membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis. Ultrasonografi (USG)
cukup membantu dalam penegakkan diagnosis apendisitis (71 – 97 %), terutama untuk wanita hamil
dan anak-anak. Tingkat keakuratan yang paling tinggi adalah dengan pemeriksaan CT scan (93 – 98
%). Dengan CT scan dapat terlihat jelas gambaran apendiks.
Meskipun terdapat beberapa pemeriksaan tambahan seperti diatas yang dapat membantu
menegakkan diagnosis apendisitis, namun gejala klinis sangat memegang peranan yang besar.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan standar untuk apendisitis adalah operasi. Pernah dicoba pengobatan dengan
antibiotik, walaupun sembuh namun tingkat kekambuhannya mencapai 35 %. Pembedahan dapat
dilakukan secara terbuka atau semi-tertutup (laparoskopi). Setelah dilakukan pembedahan, harus
diberikan antibiotika selama 7 – 10 hari.
Diposkan oleh www.arwinokwandiclinic.blogspot.com

kumnulan askep hemoroid : http://hidayat2.wordpress.com/tag/sistem-pencernaan/

Selasa, 2008 Mei 13


ASKEP APENDISITIS

ASKEP APENDISITIS
Pengertian
Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga
abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2001).
Apendisitis adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat
sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai
cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh
peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur. (Anonim, Apendisitis, 2007)
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing (apendiks). Infeksi
ini bisa mengakibatkan pernanahan. Bila infeksi bertambah parah, usus buntu itu bisa pecah. Usus
buntu merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan menonjol dari bagian awal usus besar atau
sekum (cecum). Usus buntu besarnya sekitar kelingking tangan dan terletak di perut kanan bawah.
Strukturnya seperti bagian usus lainnya. Namun, lendirnya banyak mengandung kelenjar yang
senantiasa mengeluarkan lendir. (Anonim, Apendisitis, 2007)
Apendisitis merupakan peradangan pada usus buntu/apendiks ( Anonim, Apendisitis, 2007)
Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis terbagi atas 2 yakni :
Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan
timbul striktur lokal. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.
Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul
striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan pada usia
tua.
Anatomi dan Fisiologi Appendiks merupakan organ yang kecil dan vestigial (organ yang tidak
berfungsi) yang melekat sepertiga jari.
Letak apendiks.
Appendiks terletak di ujung sakrum kira-kira 2 cm di bawah anterior ileo saekum, bermuara di
bagian posterior dan medial dari saekum. Pada pertemuan ketiga taenia yaitu: taenia anterior,
medial dan posterior. Secara klinik appendiks terletak pada daerah Mc. Burney yaitu daerah 1/3
tengah garis yang menghubungkan sias kanan dengan pusat.
Ukuran dan isi apendiks.
Panjang apendiks rata-rata 6 – 9 cm. Lebar 0,3 – 0,7 cm. Isi 0,1 cc, cairan bersifat basa mengandung
amilase dan musin.
Posisi apendiks.
Laterosekal: di lateral kolon asendens. Di daerah inguinal: membelok ke arah di dinding abdomen.
Pelvis minor.
Etiologi
Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun terdapat banyak
sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya obstruksi yang terjadi pada lumen
apendiks. Obstruksi pada lumen apendiks ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja
yang keras ( fekalit), hipeplasia jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh,
cancer primer dan striktur. Namun yang paling sering menyebabkan obstruksi lumen apendiks
adalah fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid. (Irga, 2007)
Patofisiologi
Apendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat terlipat atau tersumbat kemungkinan
oleh fekolit (massa keras dari faeces) atau benda asing. Proses inflamasi meningkatkan tekanan
intraluminal, menimbulkan nyeri abdomen atas atau menyebar hebat secara progresif, dalam
beberapa jam terlokalisasi dalam kuadran kanan bawah dari abdomen. Akhirnya apendiks yang
terinflamasi berisi pus.
Manifestasi Klinik
Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari : Mual, muntah dan nyeri yang
hebat di perut kanan bagian bawah. Nyeri bisa secara mendadak dimulai di perut sebelah atas atau
di sekitar pusar, lalu timbul mual dan muntah. Setelah beberapa jam, rasa mual hilang dan nyeri
berpindah ke perut kanan bagian bawah. Jika dokter menekan daerah ini, penderita merasakan nyeri
tumpul dan jika penekanan ini dilepaskan, nyeri bisa bertambah tajam. Demam bisa mencapai 37,8-
38,8° Celsius.
Pada bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh, di semua bagian perut. Pada orang tua dan
wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat dan di daerah ini nyeri tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila
usus buntu pecah, nyeri dan demam bisa menjadi berat. Infeksi yang bertambah buruk bisa
menyebabkan syok. (Anonim, Apendisitis, 2007)
Pemeriksaan diagnostik
Untuk menegakkan diagnosa pada apendisitis didasarkan atas anamnese ditambah dengan
pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya.
Gejala apendisitis ditegakkan dengan anamnese, ada 4 hal yang penting adalah: Nyeri mula-mula di
epigastrium (nyeri viseral) yang beberapa waktu kemudian menjalar ke perut kanan bawah. Muntah
oleh karena nyeri viseral. Panas (karena kuman yang menetap di dinding usus).
Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak sakit, menghindarkan
pergerakan, di perut terasa nyeri.
Pemeriksaan yang lain Lokalisasi.
Jika sudah terjadi perforasi, nyeri akan terjadi pada seluruh perut, tetapi paling terasa nyeri pada
daerah titik Mc. Burney. Jika sudah infiltrat, lokal infeksi juga terjadi jika orang dapat menahan
sakit, dan kita akan merasakan seperti ada tumor di titik Mc. Burney.
Test rektal.
Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa nyeri pada daerah
prolitotomi.
Pemeriksaan laboratorium Leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh
terhadap mikroorganisme yang menyerang.
Pada apendisitis akut dan perforasi akan terjadi lekositosis yang lebih tinggi lagi. Hb (hemoglobin)
nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan apendisitis infiltrat. Urine rutin
penting untuk melihat apa ada infeksi pada ginjal. Pemeriksaan radiologi Pada foto tidak dapat
menolong untuk menegakkan diagnosa apendisitis akut, kecuali bila terjadi peritonitis, tapi kadang
kala dapat ditemukan gambaran sebagai berikut: Adanya sedikit fluid level disebabkan karena
adanya udara dan cairan. Kadang ada fecolit (sumbatan). Pada keadaan perforasi ditemukan adanya
udara bebas dalam diafragma.
Penatalaksanaan
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV
diberikan sampai pembedahan dilakukan. analgesik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan.
Apendektomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk
menurunkan resiko perforasi.
Apendektomi dapat dilakukan dibawah anastesi umum atau spinal dengan insisi abdomen bawah
atau dengan laparoskopi, yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Konsep Asuhan
Keperawatan Sebelum operasi dilakukan klien perlu dipersiapkan secara fisik maupun psikis,
disamping itu juga klien perlu diberikan pengetahuan tentang peristiwa yang akan dialami setelah
dioperasi dan diberikan latihan-latihan fisik (pernafasan dalam, gerakan kaki dan duduk) untuk
digunakan dalam periode post operatif. Hal ini penting oleh karena banyak klien merasa cemas atau
khawatir bila akan dioperasi dan juga terhadap penerimaan anastesi.
Untuk melengkapi hal tersebut, maka perawat di dalam melakukan asuhan keperawatan
harus menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
Pengkajian
 Identitas klien Nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa,
pendidikan, pekerjaan, pendapatan, alamat, dan nomor register.
 Identitas penanggung Riwayat kesehatan sekarang.
 Keluhan utama Klien akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke perut
kanan bawah. Timbul keluhan Nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa jam kemudian
setelah nyeri di pusat atau di epigastrium dirasakan dalam beberapa waktu lalu.
 Sifat keluhan Nyeri dirasakan terus-menerus, dapat hilang atau timbul nyeri dalam waktu
yang lama. Keluhan yang menyertai Biasanya klien mengeluh rasa mual dan muntah, panas.
Riwayat kesehatan masa lalu Biasanya berhubungan dengan masalah kesehatan klien
sekarang Pemeriksaan fisik Keadaan umum Klien tampak sakit ringan/sedang/berat.
 Berat badan Sebagai indicator untuk menentukan pemberian obat.
 Sirkulasi : Klien mungkin takikardia. Respirasi : Takipnoe, pernapasan dangkal.
Aktivitas/istirahat : Malaise. Eliminasi Konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang.
Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada bising usus.
 Nyeri/kenyamanan Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang meningkat berat
dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney, meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas
dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/posisi duduk
tegak.
 Keamanan Demam, biasanya rendah.
 Data psikologis Klien nampak gelisah.
 Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan. Ada perasaan takut. Penampilan yang tidak
tenang.
Diagnosa keperawatan
 Resiko berkurangnya volume cairan berhubungan dengan adanya mual dan muntah.
 Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh.
 Nyeri berhubungan dengan distensi jaringan intestinal.
 Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakitnya berhubungan dengan informasi kurang.
 Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake menurun.
 Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan yang dirasakan
Intervensi keperawatan .
Rencana tujuan dan intervensi disesuaikan dengan diagnosis dan prioritas masalah keperawatan.
1. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan adanya rasa mual dan
muntah, ditandai dengan : Kadang-kadang diare. Distensi abdomen. Tegang. Nafsu
makan berkurang. Ada rasa mual dan muntah.
 Tujuan : Mempertahankan keseimbangan volume cairan dengan
 kriteria : Klien tidak diare. Nafsu makan baik. Klien tidak mual dan muntah.
 Intervensi : Monitor tanda-tanda vital.
Rasional : Merupakan indicator secara dini tentang hypovolemia.
 Monitor intake dan out put dan konsentrasi urine.
Rasional : Menurunnya out put dan konsentrasi urine akan meningkatkan kepekaan/endapan
sebagai salah satu kesan adanya dehidrasi dan membutuhkan peningkatan cairan.
 Beri cairan sedikit demi sedikit tapi sering.
Rasional : Untuk meminimalkan hilangnya cairan.
 Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh, ditandai
dengan : Suhu tubuh di atas normal. Frekuensi pernapasan meningkat. Distensi abdomen.
Nyeri tekan daerah titik Mc. Burney Leuco > 10.000/mm3 Tujuan : Tidak akan terjadi
infeksi dengan kriteria : Tidak ada tanda-tanda infeksi post operatif (tidak lagi panas,
kemerahan).
 Intervensi : Bersihkan lapangan operasi dari beberapa organisme yang mungkin ada melalui
prinsip-prinsip pencukuran.
Rasional : Pengukuran dengan arah yang berlawanan tumbuhnya rambut akan mencapai ke
dasar rambut, sehingga benar-benar bersih dapat terhindar dari pertumbuhan mikro
organisme.
 Beri obat pencahar sehari sebelum operasi dan dengan melakukan klisma.
Rasional : Obat pencahar dapat merangsang peristaltic usus sehingga bab dapat lancar.
Sedangkan klisma dapat merangsang peristaltic yang lebih tinggi, sehingga dapat
mengakibatkan ruptura apendiks.
 Anjurkan klien mandi dengan sempurna.
Rasional : Kulit yang bersih mempunyai arti yang besar terhadap timbulnya mikro
organisme.
 HE tentang pentingnya kebersihan diri klien.
 Rasional : Dengan pemahaman klien, klien dapat bekerja sama dalam pelaksaan tindakan.
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan distensi jaringan intestinal, ditandai
dengan : Pernapasan tachipnea. Sirkulasi tachicardia. Sakit di daerah epigastrum menjalar
ke daerah Mc. Burney Gelisah. Klien mengeluh rasa sakit pada perut bagian kanan bawah.
Tujuan : Rasa nyeri akan teratasi dengan kriteria : Pernapasan normal. Sirkulasi normal.
Intervensi : Kaji tingkat nyeri, lokasi dan karasteristik nyeri.
Rasional : Untuk mengetahui sejauh mana tingkat nyeri dan merupakan indiaktor secara dini untuk
dapat memberikan tindakan selanjutnya.
Anjurkan pernapasan dalam.
Rasional : Pernapasan yang dalam dapat menghirup O2 secara adekuat sehingga otot-otot menjadi
relaksasi sehingga dapat mengurangi rasa nyeri.
Lakukan gate control.
Rasional : Dengan gate control saraf yang berdiameter besar merangsang saraf yang berdiameter
kecil sehingga rangsangan nyeri tidak diteruskan ke hypothalamus.
Beri analgetik.
Rasional : Sebagai profilaksis untuk dapat menghilangkan rasa nyeri (apabila sudah mengetahui
gejala pasti).
Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakitnya berhubungan dengan informasi kurang.
Gelisah. Wajah murung. Klien sering menanyakan tentang penyakitnya. Klien mengeluh rasa
sakit. Klien mengeluh sulit tidur
Tujuan : Klien akan memahami manfaat perawatan post operatif dan pengobatannya.
Intervensi : Jelaskan pada klien tentang latihan-latihan yang akan digunakan setelah operasi.
Rasional : Klien dapat memahami dan dapat merencanakan serta dapat melaksanakan setelah
operasi, sehingga dapat mengembalikan fungsi-fungsi optimal alat-alat tubuh.
Menganjurkan aktivitas yang progresif dan sabar menghadapi periode istirahat setelah operasi.
Rasional : Mencegah luka baring dan dapat mempercepat penyembuhan.
Disukusikan kebersihan insisi yang meliputi pergantian verband, pembatasan mandi, dan
penyembuhan latihan.
Rasional : Mengerti dan mau bekerja sama melalui teraupeutik dapat mempercepat proses
penyembuhan.
Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake menurun. Nafsu makan menurun
Berat badan menurun Porsi makan tidak dihabiskan Ada rasa mual muntah
Tujuan : klien mampu merawat diri sendiri
Intervensi : Kaji sejauh mana ketidakadekuatan nutrisi klien
Rasional : menganalisa penyebab melaksanakan intervensi.
Perkirakan / hitung pemasukan kalori, jaga komentar tentang nafsu makan sampai minimal
Rasional : Mengidentifikasi kekurangan / kebutuhan nutrisi berfokus pada masalah membuat
suasana negatif dan mempengaruhi masukan.
Timbang berat badan sesuai indikasi
Rasional : Mengawasi keefektifan secara diet.
Beri makan sedikit tapi sering
Rasional : Tidak memberi rasa bosan dan pemasukan nutrisi dapat ditingkatkan.
Anjurkan kebersihan oral sebelum makan
Rasional : Mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan
Tawarkan minum saat makan bila toleran.
Rasional : Dapat mengurangi mual dan menghilangkan gas.
Konsul tetang kesukaan/ketidaksukaan pasien yang menyebabkan distres.
Rasional : Melibatkan pasien dalam perencanaan, memampukan pasien memiliki rasa kontrol dan
mendorong untuk makan.
Memberi makanan yang bervariasi
Rasional : Makanan yang bervariasi dapat meningkatkan nafsu makan klien.
Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan yang dirasakan. Kuku nampak kotor
Kulit kepala kotor Klien nampak kotor
Tujuan : klien mampu merawat diri sendiri
Intervensi : Mandikan pasien setiap hari sampai klien mampu melaksanakan sendiri serta cuci
rambut dan potong kuku klien.
Rasional : Agar badan menjadi segar, melancarkan peredaran darah dan meningkatkan kesehatan.
Ganti pakaian yang kotor dengan yang bersih.
Rasional : Untuk melindungi klien dari kuman dan meningkatkan rasa nyaman
Berikan HE pada klien dan keluarganya tentang pentingnya kebersihan diri.
Rasional : Agar klien dan keluarga dapat termotivasi untuk menjaga personal hygiene.
Berikan pujian pada klien tentang kebersihannya.
Rasional : Agar klien merasa tersanjung dan lebih kooperatif dalam kebersihan
Bimbing keluarga / istri klien memandikan
Rasional : Agar keterampilan dapat diterapkan
Bersihkan dan atur posisi serta tempat tidur klien.
Rasional : Klien merasa nyaman dengan tenun yang bersih serta mencegah terjadinya infeksi.
Implementasi
Pelaksanaan adalah pemberian asuhan keperawatan secara nyata berupa serangkaian kegiatan
sistimatis berdasarkan perencanaan untuk mencapai hasil yang optimal. Pada tahap ini perawat
menggunakan segala kemampuan yang dimiliki dalam melaksanakan tindakan keperawatan
terhadap klien baik secara umum maupun secara khusus pada klien post apendektomi. Pada
pelaksanaan ini perawat melakukan fungsinya secara independen, interdependen dan dependen.
Pada fungsi independen adalah mencakup dari semua kegiatan yang diprakarsai oleh perawat itu
sendiri sesuai dengan kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya Pada fungsi interdependen
adalah dimana fungsi yang dilakukan dengan bekerja sama dengan profesi/disiplin ilmu yang lain
dalam keperawatan maupun pelayanan kesehatan, sedangkan fungsi dependen adalah fungsi yang
dilaksanakan oleh perawat berdasarkan atas pesan orang lain.
Evaluasi.
Untuk mengetahui pencapaian tujuan dalam asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada klien
perlu dilakukan evaluasi dengan mengajukan pertanyaan sebagai berikut : Apakah klien dapat
mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh?. Apakah klien dapat terhidar dari bahaya
infeksi?. Apakah rasa nyeri akan dapat teratasi?. Apakah klien sudah mendapat informasi tentang
perawatan dan pengobatannya.
Sumber :
1.Doenges, Marylinn E. (2000), Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Penerbit
Buku Kedokteran, EGC. Jakarta.
2.Henderson, M.A. (1992), Ilmu Bedah Perawat, Yayasan Mesentha Medica, Jakarta.
3.Schwartz, Seymour, (2000), Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
Jakarta. 4.Smeltzer, Suzanne C, (2001), Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Volume 2,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakar

(http://keperawatan-gun.blogspot.com/2008/05/askep-apendisitis.html)

Bedah Laparoskopi
Bedah laparoskopi adalah semua tindakan bedah yang tidak membutuhkan sayatan lebar dalam
melakukan eksplorasinya, tetapi memerlukan alat bantu kamera, monitor dan instrumen-instrumen
khusus melakukan pembedahan melalui layar monitor tanpa melihat dan menyentuh anggota badan
pasien. Bedah laparoskopi merupakan metode baru yang lebih nyaman untuk pasien yaitu bedah
invasif minimal. Sejak pertama kali diperkenalkan teknik pembedahan ini memperlihatkan
keunggulannya dibanding bedah konvensional sehingga berkembang pesat hingga saat ini.

Sejarah Laparoskopi
Membahas bedah laparoskopi tentunya tidak lengkap tanpa mengetahui sejarah berkembangnya
laparoskopi. Keinginan untuk melihat ke dalam rongga perut telah
dimulai sejak awal abad ke-20. Lalu teknik ini semakin
berkembang sejalan dengan berkembangnya instrumen-instrumen
seperti teleskop, jarum khusus, gunting, pinset yang
memungkinkan untuk intervensi dan melihat rongga perut dengan
jelas.
Bedah laparaskopi diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1990, dengan diselenggarakannya
telekonferensi antara Amerika dan masyarakat bedah di Jakarta melalui stasiun televisi swasta.
Diikuti kemudian demonstrasi operasi kolesistektomi (pengangkatan kantung empedu) didua rumah
sakit swasta di Jakarta. Sejak itu bedah laparoskopik berkembang di kota-kota besar di Indonesia.

Keuntungan dan Kerugian


Bedah laparoskopi memiliki banyak keuntungan, tetapi juga
memiliki beberapa keterbatasan. Beberapa keuntungan dari metode
ini adalah
1. Luka operasi yang kecil berkisar antara 2-10 mm sehingga rasa sakit setelah pembedahan
jauh berkurang.
2. Secara kosmetik bekas luka operasi sangat berbeda bermakna dibandingkan dengan parut
luka operasi pasca bedah konvensional. Luka bedah laparoskopi berukuran 2 mm atau
kurang sampai dengan ukuran 10 mm akan hilang atau tersembunyi di daerah pusar, yang
sulit dilakukan dengan bedah konvensional.
3. Karena nyeri setelah pembedahan minimal dan tidak banyak manipulasi pada organ usus
maka masa pulih setelah pembedahan jauh lebih cepat dan masa rawat di rumah sakit
menjadi lebih pendek.
4. Dengan alat yang kecil, segala manufer dan eksplorasi jadi semakin luas dalam rongga
daerah dilakukannya operasi.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, teknik bedah laparoskopi juga memiliki keterbatasan, yaitu
masih mahalnya alat-alat, seperti trokar yang sekali pakai. Namun biaya keseluruhan operasi
menyerupai bedah konvensional karena masa perawatan yang lebih singkat.
Banyaknya keuntungan yang diperoleh pasien dengan teknik bedah laparoskopi menyebabkan
teknik ini lebih diminati dan bersahabat kepada pasien.

Gambar. Posisi instrument pada operasi batu empedu


Perkembangan Laparoskopi
Bedah laparoskopi suatu prosedur operatif dengan cara pendekatan invasivif minimal sarat dengan
teknologi tinggi. Rancang bangun dan rekayasa terus dilakukan pada perlengkapan dan peralatan
bedah laparoskopi untuk kemudahan melakukan prosedur maupun kenyamanan dan keamanan
pasien. Gambran 3 dimensi untuk memberikan citra yang lebih alamiah dan robot asisten yang
dapat diaktifkan dengan suara operator telah menjadi kenyataan. Yang sekarang sedang
dikembangkan adalah tindakan pembedahan yang dilakukan oleh pembedah yang tidak berada di
sisi pasien, di luar, atau jauh dari kamar operasi dikenal dengan sebutan telepresence surgery.
Bedah invasif minimal sekarang merupakan baku emas (gold standar) dari berbagai macam operasi,
seperti kelainan kantung empedu, appendisitis (radang usus buntu) akut dan kronik, kelainan sendi
di bidang orthopaedi, kelainan pada rongga toraks yang dikenal dengan VATS (Video Assisted
Thoracoscopy Surgery ) , kelainan dan penyakit di bidang urologi dan ginekologi (kandungan).

http://www.klikdokter.org/article/detail/100
http://lakshminawasasi.blogspot.com/2008/08/laparoskopik-appendektomi-dikumpulkan.htm
(laparoskopi app)

skip to main | skip to sidebar

Kumpulan Askep
Selamat Datang rekan-rekan sejawat dan teman-teman... Terima kasih atas kunjungannya...
Sabtu, 2009 Maret 21
Askep Thypoid
ASKEP THYPOID

A. KONSEP DASAR

1. Pengertian
Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella Thypi.
Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan
urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella. ( Bruner and Sudart, 1994 ).
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella Thypi
(Arief Maeyer, 1999).
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella thypi dan
salmonella para thypi A,B,C. sinonim dari penyakit ini adalah Typhoid dan paratyphoid
abdominalis, ( Syaifullah Noer, 1996 ).
Typhoid adalah penyakit infeksi pada usus halus, typhoid disebut juga paratyphoid fever, enteric
fever, typhus dan para typhus abdominalis (.Seoparman, 1996).
Typhoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-gejala sistemik yang
disebabkan oleh salmonella typhosa, salmonella type A.B.C. penularan terjadi secara pecal, oral
melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Mansoer Orief.M. 1999).
Dari beberapa pengertian diatasis dapat disimpulkan sebagai berikut, Typhoid adalah suatu penyakit
infeksi usus halus yang disebabkan oleh salmonella type A. B dan C yang dapat menular melalui
oral, fecal, makanan dan minuman yang terkontaminasi.

2. Etiologi
Etiologi typhoid adalah salmonella typhi. Salmonella para typhi A. B dan C. ada dua sumber
penularan salmonella typhi yaitu pasien dengan demam typhoid dan pasien dengan carier. Carier
adalah orang yang sembuh dari demam typhoid dan masih terus mengekresi salmonella typhi dalam
tinja dan air kemih selama lebih dari 1 tahun.

3. Patofisiologi

Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5F yaitu
Food(makanan), Fingers(jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly(lalat), dan melalui Feses.

Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella thypi kepada orang
lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap dimakanan
yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan
kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman salmonella thypi
masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke dalam lambung,
sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus
bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman berkembang
biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotelial
ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan bakterimia, kuman
selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung empedu.
Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan oleh endotoksemia. Tetapi
berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan
penyebab utama demam pada typhoid. Endotoksemia berperan pada patogenesis typhoid, karena
membantu proses inflamasi lokal pada usus halus. Demam disebabkan karena salmonella thypi dan
endotoksinnya merangsang sintetis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang
meradang.

4. Manifestasi Klinik

Masa tunas typhoid 10 – 14 hari

a. Minggu I

pada umumnya demam berangsur naik, terutama sore hari dan malam hari. Dengan keluhan dan
gejala demam, nyeri otot, nyeri kepala, anorexia dan mual, batuk, epitaksis, obstipasi / diare,
perasaan tidak enak di perut.

b. Minggu II

pada minggu II gejala sudah jelas dapat berupa demam, bradikardi, lidah yang khas (putih, kotor,
pinggirnya hiperemi), hepatomegali, meteorismus, penurunan kesadaran.

5. Komplikasi

a. Komplikasi intestinal

1) Perdarahan usus

2) Perporasi usus

3) Ilius paralitik

b. Komplikasi extra intestinal

1) Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), miokarditis, trombosis,


tromboplebitis.

2) Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma uremia hemolitik.

3) Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.

4) Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.

5) Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.

6) Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis.

7) Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningiusmus, meningitis, polineuritis perifer, sindroma


Guillain bare dan sidroma katatonia.
6. Penatalaksanaan
a. Perawatan.
1) Klien diistirahatkan 7 hari sampai demam tulang atau 14 hari untuk mencegah komplikasi
perdarahan usus.

2) Mobilisasi bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya tranfusi bila ada komplikasi
perdarahan.
b. Diet.

1) Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein.

2) Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.

3) Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim.

4. Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7 hari.
c. Obat-obatan.

1) Klorampenikol

2) Tiampenikol

3) Kotrimoxazol

4) Amoxilin dan ampicillin


7. Pencegahan

Cara pencegahan yang dilakukan pada demam typhoid adalah cuci tangan setelah dari toilet dan
khususnya sebelum makan atau mempersiapkan makanan, hindari minum susu mentah (yang belum
dipsteurisasi), hindari minum air mentah, rebus air sampai mendidih dan hindari makanan pedas

8. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan laboratorium, yang terdiri
dari :

a. Pemeriksaan leukosit

Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan
limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan
kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal
bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh
karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.

b. Pemeriksaan SGOT DAN SGPT

SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal setelah
sembuhnya typhoid.

c. Biakan darah

Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah negatif tidak
menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan darah
tergantung dari beberapa faktor :
1) Teknik pemeriksaan Laboratorium

Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini disebabkan
oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik
adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.

2) Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit.

Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan berkurang pada
minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali.

3) Vaksinasi di masa lampau

Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi dalam darah klien,
antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.

4) Pengobatan dengan obat anti mikroba.

Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba pertumbuhan kuman
dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.

d. Uji Widal

Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang
spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat pada
orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi
salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat infeksi
oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :

1) Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).

2) Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman).

3) Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosa,
makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.

Faktor – faktor yang mempengaruhi uji widal :

a. Faktor yang berhubungan dengan klien :

1. Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.

2. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah klien
sakit 1 minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke-5 atau ke-6.

3. Penyakit – penyakit tertentu : ada beberapa penyakit yang dapat menyertai demam typhoid yang
tidak dapat menimbulkan antibodi seperti agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut.
4. Pengobatan dini dengan antibiotika : pengobatan dini dengan obat anti mikroba dapat
menghambat pembentukan antibodi.

5. Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid : obat-obat tersebut dapat menghambat terjadinya


pembentukan antibodi karena supresi sistem retikuloendotelial.

6. Vaksinasi dengan kotipa atau tipa : seseorang yang divaksinasi dengan kotipa atau tipa, titer
aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1
tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu
titer aglutinin H pada orang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.

7. Infeksi klien dengan klinis/subklinis oleh salmonella sebelumnya : keadaan ini dapat mendukung
hasil uji widal yang positif, walaupun dengan hasil titer yang rendah.

8. Reaksi anamnesa : keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap salmonella thypi
karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan typhoid pada seseorang yang pernah tertular
salmonella di masa lalu.

b. Faktor-faktor Teknis

1. Aglutinasi silang : beberapa spesies salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama,
sehingga reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies yang
lain.

2. Konsentrasi suspensi antigen : konsentrasi ini akan mempengaruhi hasil uji widal.

3. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen : ada penelitian yang berpendapat
bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih baik dari suspensi dari
strain lain.

9. Tumbuh kembang pada anak usia 6 – 12 tahun

Pertumbuhan merupakan proses bertambahnya ukuran berbagai organ fisik berkaitan dengan
masalah perubahan dalam jumlah, besar, ukuran atau dimensi tingkat sel. Pertambahan berat badan
2 – 4 Kg / tahun dan pada anak wanita sudah mulai mengembangkan cirri sex sekundernya.

Perkembangan menitik beratkan pada aspek diferensiasi bentuk dan fungsi termasuk perubahan
sosial dan emosi.
a. Motorik kasar

1) Loncat tali

2) Badminton

3) Memukul

4) motorik kasar di bawah kendali kognitif dan berdasarkan secara bertahap meningkatkan irama
dan keleluasaan.
b. Motorik halus

1) Menunjukan keseimbangan dan koordinasi mata dan tangan


2) Dapat meningkatkan kemampuan menjahit, membuat model dan bermain alat musik.
c. Kognitif

1) Dapat berfokus pada lebih dan satu aspek dan situasi

2) Dapat mempertimbangkan sejumlah alternatif dalam pemecahan masalah

3) Dapat membelikan cara kerja dan melacak urutan kejadian kembali sejak awal

4) Dapat memahami konsep dahulu, sekarang dan yang akan datang


d. Bahasa

1) Mengerti kebanyakan kata-kata abstrak

2) Memakai semua bagian pembicaraan termasuk kata sifat, kata keterangan, kata penghubung dan
kata depan

3) Menggunakan bahasa sebagai alat pertukaran verbal

4) Dapat memakai kalimat majemuk dan gabungan


10. Dampak hospitalisasi

Hospitalisasi atau sakit dan dirawat di RS bagi anak dan keluarga akan menimbulkan stress dan
tidak merasa aman. Jumlah dan efek stress tergantung pada persepsi anak dan keluarga terhadap
kerusakan penyakit dan pengobatan.

Penyebab anak stress meliputi ;

a. Psikososial

Berpisah dengan orang tua, anggota keluarga lain, teman dan perubahan peran

b. Fisiologis

Kurang tidur, perasaan nyeri, imobilisasi dan tidak mengontrol diri

c. Lingkungan asing

Kebiasaan sehari-hari berubah

d. Pemberian obat kimia

Reaksi anak saat dirawat di Rumah sakit usia sekolah (6-12 tahun)

a. Merasa khawatir akan perpisahan dengan sekolah dan teman sebayanya

b. Dapat mengekspresikan perasaan dan mampu bertoleransi terhadap rasa nyeri

c. Selalu ingin tahu alasan tindakan

d. Berusaha independen dan produktif


Reaksi orang tua

a. Kecemasan dan ketakutan akibat dari seriusnya penyakit, prosedur, pengobatan dan dampaknya
terhadap masa depan anak

b. Frustasi karena kurang informasi terhadap prosedur dan pengobatan serta tidak familiernya
peraturan Rumah sakit
B. ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

Faktor Presipitasi dan Predisposisi

Faktor presipitasi dari demam typhoid adalah disebabkan oleh makanan yang tercemar oleh
salmonella typhoid dan salmonella paratyphoid A, B dan C yang ditularkan melalui makanan, jari
tangan, lalat dan feses, serta muntah diperberat bila klien makan tidak teratur. Faktor
predisposisinya adalah minum air mentah, makan makanan yang tidak bersih dan pedas, tidak
mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, dari wc dan menyiapkan makanan.
2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa yang mungkin muncul pada klien typhoid adalah :

a. Resti ketidakseimbangan volume cairan dan elektrolit b.d hipertermi dan muntah.

b. Resti gangguan pemenuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak adekuat.

c. Hipertermi b.d proses infeksi salmonella thypi.

d. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan kelemahan fisik.

e. Kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya berhubungan dengan kurang informasi atau


informasi yang tidak adekuat.

3. Perencanaan

Berdasarkan diagnosa keperawatan secara teoritis, maka rumusan perencanaan keperawatan pada
klien dengan typhoid, adalah sebagai berikut :
Diagnosa. 1

Resti gangguan ketidak seimbangan volume cairan dan elektrolit, kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan hipertermia dan muntah.

Tujuan

Ketidak seimbangan volume cairan tidak terjadi

Kriteria hasil

Membran mukosa bibir lembab, tanda-tanda vital (TD, S, N dan RR) dalam batas normal, tanda-
tanda dehidrasi tidak ada

Intervensi
Kaji tanda-tanda dehidrasi seperti mukosa bibir kering, turgor kulit tidak elastis dan peningkatan
suhu tubuh, pantau intake dan output cairan dalam 24 jam, ukur BB tiap hari pada waktu dan jam
yang sama, catat laporan atau hal-hal seperti mual, muntah nyeri dan distorsi lambung. Anjurkan
klien minum banyak kira-kira 2000-2500 cc per hari, kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium
(Hb, Ht, K, Na, Cl) dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian cairan tambahan melalui
parenteral sesuai indikasi.
Diagnosa. 2

Resiko tinggi pemenuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat

Tujuan

Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh tidak terjadi

Kriteria hasil

Nafsu makan bertambah, menunjukkan berat badan stabil/ideal, nilai bising usus/peristaltik usus
normal (6-12 kali per menit) nilai laboratorium normal, konjungtiva dan membran mukosa bibir
tidak pucat.

Intervensi

Kaji pola nutrisi klien, kaji makan yang di sukai dan tidak disukai klien, anjurkan tirah
baring/pembatasan aktivitas selama fase akut, timbang berat badan tiap hari. Anjurkan klien makan
sedikit tapi sering, catat laporan atau hal-hal seperti mual, muntah, nyeri dan distensi lambung,
kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian diet, kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium
seperti Hb, Ht dan Albumin dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antiemetik seperti
(ranitidine).
Diagnosa 3

Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi salmonella thypi

Tujuan

Hipertermi teratasi

Kriteria hasil

Suhu, nadi dan pernafasan dalam batas normal bebas dari kedinginan dan tidak terjadi komplikasi
yang berhubungan dengan masalah typhoid.

Intervensi

Observasi suhu tubuh klien, anjurkan keluarga untuk membatasi aktivitas klien, beri kompres
dengan air dingin (air biasa) pada daerah axila, lipat paha, temporal bila terjadi panas, anjurkan
keluarga untuk memakaikan pakaian yang dapat menyerap keringat seperti katun, kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian obat anti piretik.
Diagnosa 4

Ketidak mampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan kelemahan fisik


Tujuan

Kebutuhan sehari-hari terpenuhi

Kriteria hasil

Mampu melakukan aktivitas, bergerak dan menunjukkan peningkatan kekuatan otot.

Intervensi

Berikan lingkungan tenang dengan membatasi pengunjung, bantu kebutuhan sehari-hari klien
seperti mandi, BAB dan BAK, bantu klien mobilisasi secara bertahap, dekatkan barang-barang yang
selalu di butuhkan ke meja klien, dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian vitamin sesuai
indikasi.
Diagnosa 5

Resti infeksi sekunder berhubungan dengan tindakan invasive

Tujuan

Infeksi tidak terjadi

Kriteria hasil

Bebas dari eritema, bengkak, tanda-tanda infeksi dan bebas dari sekresi purulen/drainase serta
febris.

Intervensi

Observasi tanda-tanda vital (S, N, RR dan RR). Observasi kelancaran tetesan infus, monitor tanda-
tanda infeksi dan antiseptik sesuai dengan kondisi balutan infus, dan kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian obat anti biotik sesuai indikasi.
Diagnosa 6

Kurang pengetahuan tentang penyakit berhubungan dengan kurang informasi atau informasi yang
tidak adekuat

Tujuan

Pengetahuan keluarga meningkat

Kriteria hasil

Menunjukkan pemahaman tentang penyakitnya, melalui perubahan gaya hidup dan ikut serta dalam
pengobatan.

Intervensinya

Kaji sejauh mana tingkat pengetahuan keluarga klien tentang penyakit anaknya, Beri pendidikan
kesehatan tentang penyakit dan perawatan klien, beri kesempatan keluaga untuk bertanya bila ada
yang belum dimengerti, beri reinforcement positif jika klien menjawab dengan tepat, pilih berbagai
strategi belajar seperti teknik ceramah, tanya jawab dan demonstrasi dan tanyakan apa yang tidak di
ketahui klien, libatkan keluarga dalam setiap tindakan yang dilakukan pada klien

4. Evaluasi

Berdasarkan implementasi yang di lakukan, maka evaluasi yang di harapkan untuk klien dengan
gangguan sistem pencernaan typhoid adalah : tanda-tanda vital stabil, kebutuhan cairan terpenuhi,
kebutuhan nutrisi terpenuhi, tidak terjadi hipertermia, klien dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari
secara mandiri, infeksi tidak terjadi dan keluaga klien mengerti tentang penyakitnya.
Diposkan oleh Agung di 02:53 0 komentar
Label: ASKEP

Rabu, 2009 Maret 18


Askep APP
ASKEP APENDISITIS

Pengertian
Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga
abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2001).

Apendisitis adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat
sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai
cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh
peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur. (Anonim, Apendisitis, 2007)

Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing (apendiks). Infeksi
ini bisa mengakibatkan pernanahan. Bila infeksi bertambah parah, usus buntu itu bisa pecah. Usus
buntu merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan menonjol dari bagian awal usus besar atau
sekum (cecum). Usus buntu besarnya sekitar kelingking tangan dan terletak di perut kanan bawah.
Strukturnya seperti bagian usus lainnya. Namun, lendirnya banyak mengandung kelenjar yang
senantiasa mengeluarkan lendir. (Anonim, Apendisitis, 2007)

Apendisitis merupakan peradangan pada usus buntu/apendiks ( Anonim, Apendisitis, 2007)

Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis terbagi atas 2 yakni :
Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan
timbul striktur lokal. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.
Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul
striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan pada usia
tua.

Anatomi dan Fisiologi Appendiks merupakan organ yang kecil dan vestigial (organ yang tidak
berfungsi) yang melekat sepertiga jari.

Letak apendiks.
Appendiks terletak di ujung sakrum kira-kira 2 cm di bawah anterior ileo saekum, bermuara di
bagian posterior dan medial dari saekum. Pada pertemuan ketiga taenia yaitu: taenia anterior,
medial dan posterior. Secara klinik appendiks terletak pada daerah Mc. Burney yaitu daerah 1/3
tengah garis yang menghubungkan sias kanan dengan pusat.
Ukuran dan isi apendiks.
Panjang apendiks rata-rata 6 – 9 cm. Lebar 0,3 – 0,7 cm. Isi 0,1 cc, cairan bersifat basa mengandung
amilase dan musin.

Posisi apendiks.
Laterosekal: di lateral kolon asendens. Di daerah inguinal: membelok ke arah di dinding abdomen.
Pelvis minor.

Etiologi
Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun terdapat banyak
sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya obstruksi yang terjadi pada lumen
apendiks. Obstruksi pada lumen apendiks ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja
yang keras ( fekalit), hipeplasia jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh,
cancer primer dan striktur. Namun yang paling sering menyebabkan obstruksi lumen apendiks
adalah fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid. (Irga, 2007)

Patofisiologi
Apendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat terlipat atau tersumbat kemungkinan
oleh fekolit (massa keras dari faeces) atau benda asing. Proses inflamasi meningkatkan tekanan
intraluminal, menimbulkan nyeri abdomen atas atau menyebar hebat secara progresif, dalam
beberapa jam terlokalisasi dalam kuadran kanan bawah dari abdomen. Akhirnya apendiks yang
terinflamasi berisi pus.

Manifestasi Klinik
Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari : Mual, muntah dan nyeri yang
hebat di perut kanan bagian bawah. Nyeri bisa secara mendadak dimulai di perut sebelah atas atau
di sekitar pusar, lalu timbul mual dan muntah. Setelah beberapa jam, rasa mual hilang dan nyeri
berpindah ke perut kanan bagian bawah. Jika dokter menekan daerah ini, penderita merasakan nyeri
tumpul dan jika penekanan ini dilepaskan, nyeri bisa bertambah tajam. Demam bisa mencapai 37,8-
38,8° Celsius.
Pada bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh, di semua bagian perut. Pada orang tua dan
wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat dan di daerah ini nyeri tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila
usus buntu pecah, nyeri dan demam bisa menjadi berat. Infeksi yang bertambah buruk bisa
menyebabkan syok. (Anonim, Apendisitis, 2007)

Pemeriksaan diagnostik
Untuk menegakkan diagnosa pada apendisitis didasarkan atas anamnese ditambah dengan
pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya.

Gejala apendisitis ditegakkan dengan anamnese, ada 4 hal yang penting adalah: Nyeri mula-mula di
epigastrium (nyeri viseral) yang beberapa waktu kemudian menjalar ke perut kanan bawah. Muntah
oleh karena nyeri viseral. Panas (karena kuman yang menetap di dinding usus).

Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak sakit, menghindarkan
pergerakan, di perut terasa nyeri.

Pemeriksaan yang lain Lokalisasi.


Jika sudah terjadi perforasi, nyeri akan terjadi pada seluruh perut, tetapi paling terasa nyeri pada
daerah titik Mc. Burney. Jika sudah infiltrat, lokal infeksi juga terjadi jika orang dapat menahan
sakit, dan kita akan merasakan seperti ada tumor di titik Mc. Burney.

Test rektal.
Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa nyeri pada daerah
prolitotomi.

Pemeriksaan laboratorium Leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh
terhadap mikroorganisme yang menyerang.
Pada apendisitis akut dan perforasi akan terjadi lekositosis yang lebih tinggi lagi. Hb (hemoglobin)
nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan apendisitis infiltrat. Urine rutin
penting untuk melihat apa ada infeksi pada ginjal.

Pemeriksaan radiologi Pada foto tidak dapat menolong untuk menegakkan diagnosa apendisitis
akut, kecuali bila terjadi peritonitis, tapi kadang kala dapat ditemukan gambaran sebagai berikut:
Adanya sedikit fluid level disebabkan karena adanya udara dan cairan. Kadang ada fecolit
(sumbatan). Pada keadaan perforasi ditemukan adanya udara bebas dalam diafragma.

Penatalaksanaan
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV
diberikan sampai pembedahan dilakukan. analgesik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan.
Apendektomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk
menurunkan resiko perforasi.

Apendektomi dapat dilakukan dibawah anastesi umum atau spinal dengan insisi abdomen bawah
atau dengan laparoskopi, yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif.
Konsep Asuhan Keperawatan Sebelum operasi dilakukan klien perlu dipersiapkan secara fisik
maupun psikis, disamping itu juga klien perlu diberikan pengetahuan tentang peristiwa yang akan
dialami setelah dioperasi dan diberikan latihan-latihan fisik (pernafasan dalam, gerakan kaki dan
duduk) untuk digunakan dalam periode post operatif. Hal ini penting oleh karena banyak klien
merasa cemas atau khawatir bila akan dioperasi dan juga terhadap penerimaan anastesi.

Untuk melengkapi hal tersebut, maka perawat di dalam melakukan asuhan keperawatan harus
menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:

Pengkajian
Identitas klien Nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan,
pekerjaan, pendapatan, alamat, dan nomor register.
Identitas penanggung Riwayat kesehatan sekarang.
Keluhan utama Klien akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke perut kanan
bawah. Timbul keluhan Nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa jam kemudian setelah nyeri di
pusat atau di epigastrium dirasakan dalam beberapa waktu lalu.
Sifat keluhan Nyeri dirasakan terus-menerus, dapat hilang atau timbul nyeri dalam waktu yang
lama. Keluhan yang menyertai Biasanya klien mengeluh rasa mual dan muntah, panas. Riwayat
kesehatan masa lalu Biasanya berhubungan dengan masalah kesehatan klien sekarang Pemeriksaan
fisik Keadaan umum Klien tampak sakit ringan/sedang/berat.
Berat badan Sebagai indicator untuk menentukan pemberian obat.
Sirkulasi : Klien mungkin takikardia. Respirasi : Takipnoe, pernapasan dangkal. Aktivitas/istirahat :
Malaise. Eliminasi Konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang. Distensi abdomen, nyeri
tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada bising usus.
Nyeri/kenyamanan Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang meningkat berat dan
terlokalisasi pada titik Mc. Burney, meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam.
Nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak.
Keamanan Demam, biasanya rendah.
Data psikologis Klien nampak gelisah.
Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan. Ada perasaan takut. Penampilan yang tidak tenang.

Diagnosa keperawatan
Resiko berkurangnya volume cairan berhubungan dengan adanya mual dan muntah.
Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh.
Nyeri berhubungan dengan distensi jaringan intestinal.
Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakitnya berhubungan dengan informasi kurang.
Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake menurun.
Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan yang dirasakan

Intervensi keperawatan .
Rencana tujuan dan intervensi disesuaikan dengan diagnosis dan prioritas masalah keperawatan.
1. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan adanya rasa mual dan muntah, ditandai
dengan : Kadang-kadang diare. Distensi abdomen. Tegang. Nafsu makan berkurang. Ada rasa mual
dan muntah.
Tujuan : Mempertahankan keseimbangan volume cairan dengan
Kriteria Hasil :
 Klien tidak diare.
 Nafsu makan baik.
 Klien tidak mual dan muntah.
Intervensi :
1) Monitor tanda-tanda vital.
Rasional : Merupakan indicator secara dini tentang hypovolemia.
2) Monitor intake dan out put dan konsentrasi urine.
Rasional : Menurunnya out put dan konsentrasi urine akan meningkatkan kepekaan/endapan
sebagai salah satu kesan adanya dehidrasi dan membutuhkan peningkatan cairan.
3) Beri cairan sedikit demi sedikit tapi sering.
Rasional : Untuk meminimalkan hilangnya cairan.

2. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh, ditandai
dengan : Suhu tubuh di atas normal. Frekuensi pernapasan meningkat. Distensi abdomen. Nyeri
tekan daerah titik Mc. Burney Leuco > 10.000/mm3.
Tujuan : Tidak akan terjadi infeksi
Kriteria Hasil : Tidak ada tanda-tanda infeksi post operatif (tidak lagi panas,
kemerahan).
Intervensi :
1) Bersihkan lapangan operasi dari beberapa organisme yang mungkin ada melalui prinsip-prinsip
pencukuran.
Rasional : Pengukuran dengan arah yang berlawanan tumbuhnya rambut akan mencapai ke dasar
rambut, sehingga benar-benar bersih dapat terhindar dari pertumbuhan mikro organisme.
2) Beri obat pencahar sehari sebelum operasi dan dengan melakukan klisma.
Rasional : Obat pencahar dapat merangsang peristaltic usus sehingga bab dapat lancar. Sedangkan
klisma dapat merangsang peristaltic yang lebih tinggi, sehingga dapat mengakibatkan ruptura
apendiks.
3) Anjurkan klien mandi dengan sempurna.
Rasional : Kulit yang bersih mempunyai arti yang besar terhadap timbulnya mikro organisme.
4) HE tentang pentingnya kebersihan diri klien.
Rasional : Dengan pemahaman klien, klien dapat bekerja sama dalam pelaksaan tindakan.
3. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan distensi jaringan intestinal, ditandai dengan :
Pernapasan tachipnea. Sirkulasi tachicardia. Sakit di daerah epigastrum menjalar ke daerah Mc.
Burney Gelisah. Klien mengeluh rasa sakit pada perut bagian kanan bawah.
Tujuan : Rasa nyeri akan teratasi
Kriteria Hasil : Pernapasan normal. Sirkulasi normal.
Intervensi :
1) Kaji tingkat nyeri, lokasi dan karasteristik nyeri.
Rasional : Untuk mengetahui sejauh mana tingkat nyeri dan merupakan indiaktor secara dini untuk
dapat memberikan tindakan selanjutnya.
2) Anjurkan pernapasan dalam.
Rasional : Pernapasan yang dalam dapat menghirup O2 secara adekuat sehingga otot-otot menjadi
relaksasi sehingga dapat mengurangi rasa nyeri.
3) Lakukan gate control.
Rasional : Dengan gate control saraf yang berdiameter besar merangsang saraf yang berdiameter
kecil sehingga rangsangan nyeri tidak diteruskan ke hypothalamus.
4) Beri analgetik.
Rasional : Sebagai profilaksis untuk dapat menghilangkan rasa nyeri (apabila sudah mengetahui
gejala pasti).

4. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakitnya berhubungan dengan informasi kurang.


Gelisah. Wajah murung. Klien sering menanyakan tentang penyakitnya. Klien mengeluh rasa sakit.
Klien mengeluh sulit tidur
Tujuan : Klien akan memahami manfaat perawatan post operatif dan
pengobatannya.
Intervensi :
1) Jelaskan pada klien tentang latihan-latihan yang akan digunakan setelah operasi.
Rasional : Klien dapat memahami dan dapat merencanakan serta dapat melaksanakan setelah
operasi, sehingga dapat mengembalikan fungsi-fungsi optimal alat-alat tubuh.
2) Menganjurkan aktivitas yang progresif dan sabar menghadapi periode istirahat setelah operasi.
Rasional : Mencegah luka baring dan dapat mempercepat penyembuhan.
3) Disukusikan kebersihan insisi yang meliputi pergantian verband, pembatasan mandi, dan
penyembuhan latihan.
Rasional : Mengerti dan mau bekerja sama melalui teraupeutik dapat mempercepat proses
penyembuhan.

5. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake menurun. Nafsu makan menurun Berat
badan menurun Porsi makan tidak dihabiskan Ada rasa mual muntah
Tujuan : klien mampu merawat diri sendiri
Intervensi :
1) Kaji sejauh mana ketidakadekuatan nutrisi klien
Rasional : menganalisa penyebab melaksanakan intervensi.
2) Perkirakan / hitung pemasukan kalori, jaga komentar tentang nafsu makan sampai minimal
Rasional : Mengidentifikasi kekurangan / kebutuhan nutrisi berfokus pada masalah membuat
suasana negatif dan mempengaruhi masukan.
3) Timbang berat badan sesuai indikasi
Rasional : Mengawasi keefektifan secara diet.
4) Beri makan sedikit tapi sering
Rasional : Tidak memberi rasa bosan dan pemasukan nutrisi dapat ditingkatkan.
5) Anjurkan kebersihan oral sebelum makan
Rasional : Mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan
6) Tawarkan minum saat makan bila toleran.
Rasional : Dapat mengurangi mual dan menghilangkan gas.
7) Konsul tetang kesukaan/ketidaksukaan pasien yang menyebabkan distres.
Rasional : Melibatkan pasien dalam perencanaan, memampukan pasien memiliki rasa kontrol dan
mendorong untuk makan.
8) Memberi makanan yang bervariasi
Rasional : Makanan yang bervariasi dapat meningkatkan nafsu makan klien.

6. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan yang dirasakan. Kuku nampak kotor Kulit
kepala kotor Klien nampak kotor
Tujuan : klien mampu merawat diri sendiri
Intervensi :
1) Mandikan pasien setiap hari sampai klien mampu melaksanakan sendiri serta cuci rambut dan
potong kuku klien.
Rasional : Agar badan menjadi segar, melancarkan peredaran darah dan meningkatkan kesehatan.
2) Ganti pakaian yang kotor dengan yang bersih.
Rasional : Untuk melindungi klien dari kuman dan meningkatkan rasa nyaman
3) Berikan HE pada klien dan keluarganya tentang pentingnya kebersihan diri.
Rasional : Agar klien dan keluarga dapat termotivasi untuk menjaga personal hygiene.
4) Berikan pujian pada klien tentang kebersihannya.
Rasional : Agar klien merasa tersanjung dan lebih kooperatif dalam kebersihan
5) Bimbing keluarga / istri klien memandikan
Rasional : Agar keterampilan dapat diterapkan
6) Bersihkan dan atur posisi serta tempat tidur klien.
Rasional : Klien merasa nyaman dengan tenun yang bersih serta mencegah terjadinya infeksi.

Implementasi
Pelaksanaan adalah pemberian asuhan keperawatan secara nyata berupa serangkaian kegiatan
sistimatis berdasarkan perencanaan untuk mencapai hasil yang optimal. Pada tahap ini perawat
menggunakan segala kemampuan yang dimiliki dalam melaksanakan tindakan keperawatan
terhadap klien baik secara umum maupun secara khusus pada klien post apendektomi. Pada
pelaksanaan ini perawat melakukan fungsinya secara independen, interdependen dan dependen.
Pada fungsi independen adalah mencakup dari semua kegiatan yang diprakarsai oleh perawat itu
sendiri sesuai dengan kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya Pada fungsi interdependen
adalah dimana fungsi yang dilakukan dengan bekerja sama dengan profesi/disiplin ilmu yang lain
dalam keperawatan maupun pelayanan kesehatan, sedangkan fungsi dependen adalah fungsi yang
dilaksanakan oleh perawat berdasarkan atas pesan orang lain.

Evaluasi.
Untuk mengetahui pencapaian tujuan dalam asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada klien
perlu dilakukan evaluasi dengan mengajukan pertanyaan sebagai berikut :
1) Apakah klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh?.
2) Apakah klien dapat terhidar dari bahaya infeksi?.
3) Apakah rasa nyeri akan dapat teratasi?.
4) Apakah klien sudah mendapat informasi tentang perawatan dan pengobatannya.

DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marylinn E. (2000), Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien,
Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta.
Henderson, M.A. (1992), Ilmu Bedah Perawat, Yayasan Mesentha Medica, Jakarta.
Schwartz, Seymour, (2000), Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Penerbit Buku
Kedokteran, EGC. Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C, (2001), Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Volume 2,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Diposkan oleh Agung di 23:10 0 komentar
Label: ASKEP

Askep Ca Mamae (Kanker Payudara)


ASKEP KANKER PAYUDARA

1. Pengertian
Kanker payudara adalah sekelompok sel tidak normal pada payudara yang terus tumbuh berupa
ganda. Pada akhirnya sel-sel ini menjadi bentuk bejolan di payudara. Jika benjolan kanker itu tidak
dibuang atau terkontrol, sel-sel kanker bisa menyebar (metastase) pada bagian-bagian tubuh lain.
Metastase bisa terjadi pada kelenjar getah bening (limfe) ketiak ataupun di atas tulang belikat.
Selain itu sel-sel kanker bisa bersarang di tulang, paru-paru, hati, kulit, dan bawah kulit. (Erik T,
2005, hal : 39-40)
Kanker payudara adalah pertumbuhan yang tidak normal dari sel-sel jaringan tubuh yang berubah
menjadi ganas. (http//www.pikiran-rakyat.com.jam 10.00, Minggu Tanggal 29-8-2005, sumber :
Harianto, dkk)

2. Etiologi
Etiologi kanker payudara tidak diketahui dengan pasti. Namun beberapa faktor resiko pada pasien
diduga berhubungan dengan kejadian kanker payudara, yaitu :
1. Tinggi melebihi 170 cm
Wanita yang tingginya 170 cm mempunyai resiko terkena kanker payudara karena pertumbuhan
lebih cepat saat usia anak dan remaja membuat adanya perubahan struktur genetik (DNA) pada sel
tubuh yang diantaranya berubah ke arah sel ganas.
2. Masa reproduksi yang relatif panjang.
1. Menarche pada usia muda dan kurang dari usia 10 tahun.
2. Wanita terlambat memasuki menopause (lebih dari usia 60 tahun)
3. Wanita yang belum mempunyai anak
Lebih lama terpapar dengan hormon estrogen relatif lebih lama dibandingkan wanita yang sudah
punya anak.
4. Kehamilan dan menyusui
Berkaitan erat dengan perubahan sel kelenjar payudara saat menyusui.
5. Wanita gemuk
Dengan menurunkan berat badan, level estrogen tubuh akan turun pula.
6. Preparat hormon estrogen
Penggunaan preparat selama atau lebih dari 5 tahun.
7. Faktor genetik
Kemungkinan untuk menderita kanker payudara 2 – 3 x lebih besar pada wanita yang ibunya atau
saudara kandungnya menderita kanker payudara. (Erik T, 2005, hal : 43-46)

3. Anatomi fisiologi
1. Anatomi payudara
Secara fisiologi anatomi payudara terdiri dari alveolusi, duktus laktiferus, sinus laktiferus, ampulla,
pori pailla, dan tepi alveolan. Pengaliran limfa dari payudara kurang lebih 75% ke aksila. Sebagian
lagi ke kelenjar parasternal terutama dari bagian yang sentral dan medial dan ada pula pengaliran
yang ke kelenjar interpektoralis.
2. Fisiologi payudara
Payudara mengalami tiga perubahan yang dipengaruhi hormon. Perubahan pertama ialah mulai dari
masa hidup anak melalui masa pubertas, masa fertilitas, sampai ke klimakterium dan menopause.
Sejak pubertas pengaruh ekstrogen dan progesteron yang diproduksi ovarium dan juga hormon
hipofise, telah menyebabkan duktus berkembang dan timbulnya asinus.
Perubahan kedua adalah perubahan sesuai dengan daur menstruasi. Sekitar hari kedelapan
menstruasi payudara jadi lebih besar dan pada beberapa hari sebelum menstruasi berikutnya terjadi
pembesaran maksimal. Kadang-kadang timbul benjolan yang nyeri dan tidak rata. Selama beberapa
hari menjelang menstruasi payudara menjadi tegang dan nyeri sehingga pemeriksaan fisik, terutama
palpasi, tidak mungkin dilakukan. Pada waktu itu pemeriksaan foto mammogram tidak berguna
karena kontras kelenjar terlalu besar. Begitu menstruasi mulai, semuanya berkurang.
Perubahan ketiga terjadi waktu hamil dan menyusui. Pada kehamilan payudara menjadi besar
karena epitel duktus lobul dan duktus alveolus berproliferasi, dan tumbuh duktus baru.
Sekresi hormon prolaktin dari hipofisis anterior memicu laktasi. Air susu diproduksi oleh sel-sel
alveolus, mengisi asinus, kemudian dikeluarkan melalui duktus ke puting susu. (Samsuhidajat,
1997, hal : 534-535)

4. Insiden
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa lima besar kanker di dunia adalah kanker
paru-paru, kanker payudara, kanker usus besar dan kanker lambung dan kanker hati. Sementara data
dari pemeriksaan patologi di Indonesia menyatakan bahwa urutan lima besar kanker adalah kanker
leher rahim, kanker payudara, kelenjar getah bening, kulit dan kanker nasofaring (Anaonim, 2004).
Angka kematian akibat kanker payudara mencapai 5 juta pada wanita. Data terakhir menunjukkan
bahwa kematian akibat kanker payudara pada wanita menunjukkan angka ke 2 tertinggi penyebab
kematian setelah kanker rahim. (http//www.pikiran-rakyat.com.jam 10.00, Minggu Tanggal 29-8-
2005, sumber : Harianto, dkk).

5. Patofisiologi
Kanker payudara bukan satu-satunya penyakit tapi banyak, tergantung pada jaringan payudara yang
terkena, ketergantungan estrogennya, dan usia permulaannya. Penyakit payudara ganas sebelum
menopause berbeda dari penyakit payudara ganas sesudah masa menopause (postmenopause).
Respon dan prognosis penanganannya berbeda dengan berbagai penyakit berbahaya lainnya.
Beberapa tumor yang dikenal sebagai “estrogen dependent” mengandung reseptor yang mengikat
estradiol, suatu tipe ekstrogen, dan pertumbuhannya dirangsang oleh estrogen. Reseptor ini tidak
manual pada jarngan payudara normal atau dalam jaringan dengan dysplasia. Kehadiran tumor
“Estrogen Receptor Assay (ERA)” pada jaringan lebih tinggi dari kanker-kanker payudara hormone
dependent. Kanker-kanker ini memberikan respon terhadap hormone treatment (endocrine
chemotherapy, oophorectomy, atau adrenalectomy). (Smeltzer, dkk, 2002, hal : 1589)

6. Gejala klinik
Gejala-gejala kanker payudara antara lain, terdapat benjolan di payudara yang nyeri maupun tidak
nyeri, keluar cairan dari puting, ada perlengketan dan lekukan pada kulit dan terjadinya luka yang
tidak sembuh dalam waktu yang lama, rasa tidak enak dan tegang, retraksi putting, pembengkakan
lokal. (http//www.pikiran-rakyat.com.jam 10.00, Minggu Tanggal 29-8-2005, Harianto, dkk)
Gejala lain yang ditemukan yaitu konsistensi payudara yang keras dan padat, benjolan tersebut
berbatas tegas dengan ukuran kurang dari 5 cm, biasanya dalam stadium ini belum ada penyebaran
sel-sel kanker di luar payudara. (Erik T, 2005, hal : 42)

7. Klasifikasi kanker payudara


1. Tumor primer (T)
1. Tx : Tumor primer tidak dapat ditentukan
2. To : Tidak terbukti adanya tumor primer
3. Tis : Kanker in situ, paget dis pada papila tanpa teraba tumor
4. T1 : Tumor < 2 cm
T1a : Tumor < 0,5 cm
T1b : Tumor 0,5 – 1 cm
T1c : Tumor 1 – 2 cm
5. T2 : Tumor 2 – 5 cm
6. T3 : Tumor diatas 5 cm
7. T4 : Tumor tanpa memandang ukuran, penyebaran langsung ke dinding thorax atau kulit.
T4a : Melekat pada dinding dada
T4b : Edema kulit, ulkus, peau d’orange, satelit
T4c : T4a dan T4b
T4d : Mastitis karsinomatosis

2. Nodus limfe regional (N)


1. Nx : Pembesaran kelenjar regional tidak dapat ditentukan
2. N0 : Tidak teraba kelenjar axila
3. N1 : Teraba pembesaran kelenjar axila homolateral yang tidak melekat.
N2 : Teraba pembesaran kelenjar axila homolateral yang melekat satu sama lain atau melekat pada
jaringan sekitarnya.
N3 : Terdapat kelenjar mamaria interna homolateral

3. Metastas jauh (M)


1. Mx : Metastase jauh tidak dapat ditemukan
2. M0 : Tidak ada metastase jauh
3. M1 : Terdapat metastase jauh, termasuk kelenjar subklavikula

8. Stadium kanker payudara :


1. Stadium I : tumor kurang dari 2 cm, tidak ada limfonodus terkena (LN) atau penyebaran luas.
2. Stadium IIa : tumor kurang dari 5 cm, tanpa keterlibatan LN, tidak ada penyebaran jauh. Tumor
kurang dari 2 cm dengan keterlibatan LN
3. Stadium IIb : tumor kurang dari 5 cm, dengan keterlibatan LN. Tumor lebih besar dari 5 cm tanpa
keterlibatan LN
4. Stadium IIIa : tumor lebih besar dari 5 cm, dengan keterlibatan LN. semua tumor dengan LN
terkena, tidak ada penyebaran jauh
5. Stadium IIIb : semua tumor dengan penyebaran langsung ke dinding dada atau kulit semua tumor
dengan edema pada tangan atau keterlibatan LN supraklavikular.
6. Stadium IV : semua tumor dengan metastasis jauh.
(Setio W, 2000, hal : 285)

9. Pemeriksaan diagnostik
1) Mammagrafi, yaitu pemeriksaan yang dapat melihat struktur internal dari payudara, hal ini
mendeteksi secara dini tumor atau kanker.
2) Ultrasonografi, biasanya digunakan untuk membedakan tumor sulit dengan kista.
3) CT. Scan, dipergunakan untuk diagnosis metastasis carsinoma payudara pada organ lain
4) Sistologi biopsi aspirasi jarum halus
5) Pemeriksaan hematologi, yaitu dengan cara isolasi dan menentukan sel-sel tumor pada peredaran
darah dengan sendimental dan sentrifugis darah.
(Michael D, dkk, 2005, hal : 15-66)

10. Pencegahan
Perlu untuk diketahui, bahwa 9 di antara 10 wanita menemukan adanya benjolan di payudaranya.
Untuk pencegahan awal, dapat dilakukan sendiri. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan sehabis selesai
masa menstruasi. Sebelum menstruasi, payudara agak membengkak sehingga menyulitkan
pemeriksaan.
Cara pemeriksaan adalah sebagai berikut :
1. Berdirilah di depan cermin dan perhatikan apakah ada kelainan pada payudara. Biasanya kedua
payudara tidak sama, putingnya juga tidak terletak pada ketinggian yang sama. Perhatikan apakah
terdapat keriput, lekukan, atau puting susu tertarik ke dalam. Bila terdapat kelainan itu atau keluar
cairan atau darah dari puting susu, segeralah pergi ke dokter.
2. Letakkan kedua lengan di atas kepala dan perhatikan kembali kedua payudara.
3. Bungkukkan badan hingga payudara tergantung ke bawah, dan periksa lagi.
4. Berbaringlah di tempat tidur dan letakkan tangan kiri di belakang kepala, dan sebuah bantal di
bawah bahu kiri. Rabalah payudara kiri dengan telapak jari-jari kanan. Periksalah apakah ada
benjolan pada payudara. Kemudian periksa juga apakah ada benjolan atau pembengkakan pada
ketiak kiri.
5. Periksa dan rabalah puting susu dan sekitarnya. Pada umumnya kelenjar susu bila diraba dengan
telapak jari-jari tangan akan terasa kenyal dan mudah digerakkan. Bila ada tumor, maka akan terasa
keras dan tidak dapat digerakkan (tidak dapat dipindahkan dari tempatnya). Bila terasa ada sebuah
benjolan sebesar 1 cm atau lebih, segeralah pergi ke dokter. Makin dini penanganan, semakin besar
kemungkinan untuk sembuh secara sempurna.
6. Lakukan hal yang sama untuk payudara dan ketiak kanan (www.vision.com jam 10.00, Minggu
Tanggal 29-8-2005, sumber : Ramadhan)

11. Penanganan
Pembedahan
1. Mastektomi parsial (eksisi tumor lokal dan penyinaran). Mulai dari lumpektomi sampai
pengangkatan segmental (pengangkatan jaringan yang luas dengan kulit yang terkena).
2. Mastektomi total dengan diseksi aksial rendah seluruh payudara, semua kelenjar limfe dilateral
otocpectoralis minor.
3. Mastektomi radikal yang dimodifikasi
Seluruh payudara, semua atau sebagian besar jaringan aksial
1) Mastektomi radikal
Seluruh payudara, otot pektoralis mayor dan minor dibawahnya : seluruh isi aksial.
2) Mastektomi radikal yang diperluas
Sama seperti mastektomi radikal ditambah dengan kelenjar limfe mamaria interna.

Non pembedahan
1. Penyinaran
Pada payudara dan kelenjar limfe regional yang tidak dapat direseksi pada kanker lanjut; pada
metastase tulang, metastase kelenjar limfe aksila.
2. Kemoterapi
Adjuvan sistematik setelah mastektomi; paliatif pada penyakit yang lanjut.
3. Terapi hormon dan endokrin
Kanker yang telah menyebar, memakai estrogen, androgen, antiestrogen, coferektomi
adrenalektomi hipofisektomi.
(Smeltzer, dkk, 2002, hal : 1596 - 1600)

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

PENGKAJIAN
Pengkajian mencakup data yang dikumpulkan melalui wawancara, pengumpulan riwayat kesehatan,
pengkajian fisik, pemeriksaan laboratorium dan diagnostik, serta review catatan sebelumnya.
Langkah-langkah pengkajian yang sistemik adalah pengumpulan data, sumber data, klasifikasi data,
analisa data dan diagnosa keperawatan.
Pengumpulan data
Adalah bagian dari pengkajian keperawatan yang merupakan landasan proses keperawatan.
Kumpulan data adalah kumpulan informasi yang bertujuan untuk mengenal masalah klien dalam
memberikan asuhan keperawatan .

Sumber data
Data dapat diperoleh melalui klien sendiri, keluarga, perawat lain dan petugas kesehatan lain baik
secara wawancara maupun observasi.

Data yang disimpulkan meliputi :


Data biografi /biodata
Meliputi identitas klien dan identitas penanggung antara lain : nama, umur, jenis kelamin, agama,
pendidikan, pekerjaan dan alamat.

Riwayat keluhan utama.


Riwayat keluhan utama meliputi : adanya benjolan yang menekan payudara, adanya ulkus, kulit
berwarna merah dan mengeras, bengkak, nyeri.

Riwayat kesehatan masa lalu


Apakah pasien pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya.
Apakah ada keluarga yang menderita penyakit yang sama .

Pengkajian fisik meliputi :


 Keadaan umum
 Tingkah laku
 BB dan TB
 Pengkajian head to toe

Pemeriksaan laboratorium :
 Pemeriksaan darah hemoglobin biasanya menurun, leukosit meningkat, trombosit meningkat jika
ada penyebaran ureum dan kreatinin.
 Pemeriksaan urine, diperiksa apakah ureum dan kreatinin meningkat.

Tes diagnostik yang biasa dilakukan pada penderita carsinoma mammae adalah sinar X,
ultrasonografi, xerora diagrafi, diaphanografi dan pemeriksaan reseptor hormon.

Pengkajian pola kebiasaan hidup sehari-hari meliputi :


Nutrisi
Kebiasaan makan, frekuensi makan, nafsu makan, makanan pantangan, makanan yang disukai,
banyaknya minum. Dikaji riwayat sebelum dan sesudah masuk RS.

Eliminasi
Kebiasaan BAB / BAK, frekuensi, warna, konsistensi, sebelum dan sesudah masuk RS.

Istirahat dan tidur


Kebiasaan tidur, lamanya tidur dalam sehari sebelum dan sesudah sakit.

Personal hygiene
1. Frekuensi mandi dan menggosok gigi dalam sehari
2. Frekuensi mencuci rambut dalam seminggu
3. Dikaji sebelum dan pada saat di RS
Identifikasi masalah psikologis, sosial dan spritual :
 Status psikologis
Emosi biasanya cepat tersinggung, marah, cemas, pasien berharap cepat sembuh, merasa asing
tinggal di RS, merasa rendah diri, mekanisme koping yang negatif.
 Status social
Merasa terasing dengan akibat klien kurang berinteraksi dengan masyarakat lain.
 Kegiatan keagamaan
Klien mengatakan kegiatan shalat 5 waktu berkurang.

Klasifikasi Data
Data pengkajian :
Data subyektif
Data yang diperoleh langsung dari klien dan keluarga, mencakup hal-hal sebagai berikut : klien
mengatakan nyeri pada payudara, sesak dan batuk, nafsu makan menurun, kebutuhan sehari-hari
dilayani di tempat tidur, harapan klien cepat sembuh, lemah, riwayat menikah, riwayat keluarga.

Data obyektif
Data yang dilihat langsung atau melalui pengkajian fisik atau penunjang meliputi : asimetris
payudara kiri dan kanan, nyeri tekan pada payudara, hasil pemeriksaan laboratorium dan diagnostik.

Analisa Data
Merupakan proses intelektual yang merupakan kemampuan pengembangan daya pikir yang
berdasarkan ilmiah, pengetahuan yang sama dengan masalah yang didapat pada klien.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan adanya penekanan massa tumor.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan imobilisasi lengan/bahu.
3. Kecemasan berhubungan dengan perubahan gambaran tubuh.
4. Gangguan harga diri berhubungan dengan kecacatan bedah
5. Resiko infeksi berhubungan dengan luka operasi.
6. Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan serta pengobatan penyakitnya
berhubungan dengan kurangnya informasi.
7. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan intake tidak adekuat.

PERENCANAAN
Perencanaan keperawatan adalah pengembangan dari pencatatan perencanaan perawatan untuk
memenuhi kebutuhan klien yang telah diketahui.
Pada perencanaan meliputi tujuan dengan kriteria hasil, intervensi, rasional, implementasi dan
evaluasi.

1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya penekanan massa tumor
Ditandai dengan :
DS : - Klien mengeluh nyeri pada sekitar payudara sebelah kiri menjalar ke
kanan.
DO : - Klien nampak meringis
- Klien nampak sesak
- Nampak luka di verban pada payudara sebelah kiri
Tujuan : Nyeri teratasi.
Kriteria Hasil :
 Klien mengatakan nyeri berkurang atau hilang
 Nyeri tekan tidak ada
 Ekspresi wajah tenang
 Luka sembuh dengan baik

Intervensi :
1) Kaji karakteristik nyeri, skala nyeri, sifat nyeri, lokasi dan penyebaran.
Rasional : Untuk mengetahui sejauhmana perkembangan rasa nyeri yang dirasakan oleh klien
sehingga dapat dijadikan sebagai acuan untuk intervensi selanjutnya.
2) Beri posisi yang menyenangkan.
Rasional : Dapat mempengaruhi kemampuan klien untuk rileks/istirahat secara efektif dan dapat
mengurangi nyeri.
3) Anjurkan teknik relaksasi napas dalam.
Rasional : Relaksasi napas dalam dapat mengurangi rasa nyeri dan memperlancar sirkulasi O2 ke
seluruh jaringan.
4) Ukur tanda-tanda vital
Rasional : Peningkatan tanda-tanda vital dapat menjadi acuan adanya peningkatan nyeri.
5) Penatalaksanaan pemberian analgetik
Rasional : Analgetik dapat memblok rangsangan nyeri sehingga dapat nyeri tidak dipersepsikan.

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan imobilisasi lengan/bahu.


Ditandai dengan :
DS :
 Klien mengeluh sakit jika lengan digerakkan.
 Klien mengeluh badan terasa lemah.
 Klien tidak mau banyak bergerak.
DO :
 Klien tampak takut bergerak.
Tujuan : Klien dapat beraktivitas
Kriteria Hasil :
 Klien dapat beraktivitas sehari – hari.
 Peningkatan kekuatan bagi tubuh yang sakit.

Intervensi :
1) Latihan rentang gerak pasif sesegera mungkin.
Rasional : Untuk mencegah kekakuan sendi yang dapat berlanjut pada keterbatasan gerak.
2) Bantu dalam aktivitas perawatan diri sesuai keperluan
Rasional : Menghemat energi pasien dan mencegah kelelahan.
3) Bantu ambulasi dan dorong memperbaiki postur.
Rasional : Untuk menghindari ketidakseimbangan dan keterbatasan dalam gerakan dan postur.

3. Kecemasan berhubungan dengan perubahan gambaran tubuh.


Ditandai dengan :
DS :
 Klien mengatakan takut ditolak oleh orang lain.
 Ekspresi wajah tampak murung.
 Tidak mau melihat tubuhnya.
DO :
 Klien tampak takut melihat anggota tubuhnya.
Tujuan : Kecemasan dapat berkurang.
Kriteria Hasil :
 Klien tampak tenang
 Mau berpartisipasi dalam program terapi
Intervensi :
1) Dorong klien untuk mengekspresikan perasaannya.
Rasional : Proses kehilangan bagian tubuh membutuhkan penerimaan, sehingga pasien dapat
membuat rencana untuk masa depannya.
2) Diskusikan tanda dan gejala depresi.
Rasional : Reaksi umum terhadap tipe prosedur dan kebutuhan dapat dikenali dan diukur.

3) Diskusikan tanda dan gejala depresi


Rasional : Kehilangan payudara dapat menyebabkan perubahan gambaran diri, takut jaringan parut,
dan takut reaksi pasangan terhadap perubahan tubuh.
4) Diskusikan kemungkinan untuk bedah rekonstruksi atau pemakaian prostetik.
Rasional : Rekonstruksi memberikan sedikit penampilan yang lengkap, mendekati normal.

4. Gangguan harga diri berhubungan dengan kecacatan bedah


Ditandai dengan :
DS :
 Klien mengatakan malu dengan keadaan dirinya
DO :
 Klien jarang bicara dengan pasien lain
 Klien nampak murung.
Tujuan : Klien dapat menerima keadaan dirinya.
Kriteria Hasil :
 Klien tidak malu dengan keadaan dirinya.
 Klien dapat menerima efek pembedahan.

Intervensi :
1) Diskusikan dengan klien atau orang terdekat respon klien terhadap penyakitnya.
Rasional : membantu dalam memastikan masalah untuk memulai proses pemecahan masalah
2) Tinjau ulang efek pembedahan
Rasional : bimbingan antisipasi dapat membantu pasien memulai proses adaptasi.
3) Berikan dukungan emosi klien.
Rasional : klien bisa menerima keadaan dirinya.
4) Anjurkan keluarga klien untuk selalu mendampingi klien.
Rasional : klien dapat merasa masih ada orang yang memperhatikannya.

5. Resiko infeksi berhubungan dengan luka operasi.


Ditandai dengan :
DS :
 Klien mengeluh nyeri pada daerah sekitar operasi.
DO :
 Adanya balutan pada luka operasi.
 Terpasang drainase
 Warna drainase merah muda
Tujuan : Tidak terjadi infeksi.
Kriteria Hasil :
 Tidak ada tanda – tanda infeksi.
 Luka dapat sembuh dengan sempurna.

Intervensi :
1) Kaji adanya tanda – tanda infeksi.
Rasional : Untuk mengetahui secara dini adanya tanda – tanda infeksi sehingga dapat segera
diberikan tindakan yang tepat.
2) Lakukan pencucian tangan sebelum dan sesudah prosedur tindakan.
Rasional : Menghindari resiko penyebaran kuman penyebab infeksi.
3) Lakukan prosedur invasif secara aseptik dan antiseptik.
Rasional : Untuk menghindari kontaminasi dengan kuman penyebab infeksi.
4) Penatalaksanaan pemberian antibiotik.
Rasional : Menghambat perkembangan kuman sehingga tidak terjadi proses infeksi.

6. Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan serta pengobatan penyakitnya


berhubungan dengan kurangnya informasi.
Ditandai dengan :
DS : Klien sering menanyakan tentang penyakitnya.
DO : Ekspresi wajah murung/bingung.
Tujuan : Klien mengerti tentang penyakitnya.
Kriteria Hasil :
 Klien tidak menanyakan tentang penyakitnya.
 Klien dapat memahami tentang proses penyakitnya dan pengobatannya.

Intervensi :
1) Jelaskan tentang proses penyakit, prosedur pembedahan dan harapan yang akan datang.
Rasional : Memberikan pengetahuan dasar, dimana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan
informasi, dan dapat berpartisipasi dalam program terapi.
2) Diskusikan perlunya keseimbangan kesehatan, nutrisi, makanan dan pemasukan cairan yang
adekuat.
Rasional : Memberikan nutrisi yang optimal dan mempertahankan volume sirkulasi untuk
mengingatkan regenerasi jaringan atau proses penyembuhan.
3) Anjurkan untuk banyak beristirahat dan membatasi aktifitas yang berat.
Rasional : Mencegah membatasi kelelahan, meningkatkan penyembuhan, dan meningkatkan
perasaan sehat.
4) Anjurkan untuk pijatan lembut pada insisi/luka yang sembuh dengan minyak.
Rasional : Merangsang sirkulasi, meningkatkan elastisitas kulit, dan menurunkan ketidaknyamanan
sehubungan dengan rasa pantom payudara.
5) Dorong pemeriksaan diri sendiri secara teratur pada payudara yang masih ada. Anjurkan untuk
Mammografi.
Rasional : Mengidentifikasi perubahan jaringan payudara yang mengindikasikan terjadinya /
berulangnya tumor baru.

7. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan intake yang tidak


adekuat
Ditandai dengan :
DS :
 Klien mengeluh nafsu makan menurun
 Klien mengeluh lemah.
DO :
 Setengah porsi makan tidak dihabiskan
 Klien nampak lemah.
 Nampak terpasang cairan infus 32 tetes/menit.
 Hb 10,7 gr %.
Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria Hasil :
 Nafsu makan meningkat
 Klien tidak lemah
 Hb normal (12 – 14 gr/dl)
Intervensi :
1) Kaji pola makan klien
Rasional : Untuk mengetahui kebutuhan nutrisi klien dan merupakan asupan dalam tindakan
selanjutnya.
2) Anjurkan klien untuk makan dalam porsi kecil tapi sering
Rasional : dapat mengurangi rasa kebosanan dan memenuhi kebutuhan nutrisi sedikit demi sedikit.
3) Anjurkan klien untuk menjaga kebersihan mulut dan gigi.
Rasional : agar menambah nafsu makan pada waktu makan.
4) Anjurkan untuk banyak makan sayuran yang berwarna hijau.
Rasional : sayuran yang berwarna hijau banyak mengandung zat besi penambah tenaga.
5) Libatkan keluarga dalam pemenuhan nutrisi klien
Rasional : partisipasi keluarga dpat meningkatkan asupan nutrisi untuk kebutuhan energi.

Implementasi
Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan dimana rencana keperawatan
dilaksanakan : melaksanakan intervensi/aktivitas yang telah ditentukan, pada tahap ini perawat siap
untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas yang telah dicatat dalam rencana perawatan klien.
Agar implementasi perencanaan dapat tepat waktu dan efektif terhadap biaya, pertama-tama harus
mengidentifikasi prioritas perawatan klien, kemudian bila perawatan telah dilaksanakan, memantau
dan mencatat respons pasien terhadap setiap intervensi dan mengkomunikasikan informasi ini
kepada penyedia perawatan kesehatan lainnya. Kemudian, dengan menggunakan data, dapat
mengevaluasi dan merevisi rencana perawatan dalam tahap proses keperawatan berikutnya

Evaluasi
Tahapan evaluasi menentukan kemajuan pasien terhadap pencapaian hasil yang diinginkan dan
respons pasien terhadap dan keefektifan intervensi keperawatan kemudian mengganti rencana
perawatan jika diperlukan.
Tahap akhir dari proses keperawatan perawat mengevaluasi kemampuan pasien ke arah pencapaian
hasil.

Daftar Pustaka
Doenges M., (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta
Dixon M., dkk, (2005), Kelainan Payudara, Cetakan I, Dian Rakyat, Jakarta.
Mansjoer, dkk, (2000), Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jakarta
Sjamsuhidajat R., (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta
Tapan, (2005), Kanker, Anti Oksidan dan Terapi Komplementer, Elex Media Komputindo, Jakarta.
Diposkan oleh Agung di 23:02 0 komentar
Label: ASKEP

Askep Infeksi Saluran Kemih


ASKEP INFEKSI SALURAN KEMIH

Pengertian
Infeksi saluran kemih adalah suatu istilah umum yang dipakai untuk mengatakan adanya invasi
mikroorganisme pada saluran kemih. (Agus Tessy, Ardaya, Suwanto, 2001).Infeksi saluran kemih
dapat mengenai baik laki-laki maupun perempuan dari semua umur baik pada anak-anak remaja,
dewasa maupun pada umur lanjut. Akan tetapi, dari dua jenis kelamin ternyata wanita lebih sering
dari pria dengan angka populasi umu, kurang lebih 5 – 15 %.
Infeksi saluran kemih pada bagian tertentu dari saluran perkemihan yang disebabkan oleh bakteri
terutama scherichia coli ; resiko dan beratnya meningkat dengan kondisi seperti refluks
vesikouretral, obstruksi saluran perkemihan, statis perkemiha, pemakaian instrumen uretral baru,
septikemia. (Susan Martin Tucker, dkk, 1998)
Infeksi traktus urinarius pada pria merupakan akibat dari menyebarnya infeksi yang berasal dari
uretra seperti juga pada wanita. Namun demikian, panjang uretra dan jauhnya jarak antara uretra
dari rektum pada pria dan adanya bakterisidal dalam cairan prostatik melindungi pria dari infeksi
traktus urinarius. Akibatnya UTI paa pria jarang terjadi, namun ketika gangguan ini terjadi kali ini
menunjukkan adanya abnormalitas fungsi dan struktur dari traktus urinarius.

Etiologi
 Bakteri (Eschericia coli)
 Jamur dan virus
 Infeksi ginjal
 Prostat hipertropi (urine sisa)

Anatomi Fisiologi
Sistem perkemihan atau sistem urinaria terdiri atas, dua ginjal yang fungsinya membuang limbah
dan substansi berlebihan dari darah, dan membentuk kemih dan dua ureter, yang mengangkut kemih
dari ginjal ke kandung kemih (vesika urinaria) yang berfungsi sebagai reservoir bagi kemih dan
urethra. Saluran yang menghantar kemih dari kandung kemih keluar tubuh sewaktu berkemih.
Setiap hari ginjal menyaring 1700 L darah, setiap ginjal mengandung lebih dari 1 juta nefron, yaitu
suatu fungsional ginjal. Ini lebih dari cukup untuk tubuh, bahkan satu ginjal pun sudah mencukupi.
Darah yang mengalir ke kedua ginjal normalnya 21 % dari curah jantung atau sekitar 1200
ml/menit. Masing-masing ginjal mempunyai panjang kira-kira 12 cm dan lebar 2,5 cm pada bagian
paling tebal. Berat satu ginjal pada orang dewasa kira-kira 150 gram dan kira-kira sebesar kepalang
tangan. Ginjal terletak retroperitoneal dibagian belakang abdomen. Ginjal kanan terletak lebih
rendah dari ginjal kiri karena ada hepar disisi kanan. Ginjal berbentuk kacang, dan permukaan
medialnya yang cekung disebut hilus renalis, yaitu tempat masuk dan keluarnya sejumlah saluran,
seperti pembuluh darah, pembuluh getah bening, saraf dan ureter.
Panjang ureter sekitar 25 cm yang menghantar kemih. Ia turun ke bawah pada dinding posterior
abdomen di belakang peritoneum. Di pelvis menurun ke arah luar dan dalam dan menembus
dinding posterior kandung kemih secara serong (oblik). Cara masuk ke dalam kandung kemih ini
penting karena bila kandung kemih sedang terisi kemih akan menekan dan menutup ujung distal
ureter itu dan mencegah kembalinya kemih ke dalam ureter.
Kandung kemih bila sedang kosong atau terisi sebagian, kandung kemih ini terletak di dalam pelvis,
bila terisi lebih dari setengahnya maka kandung kemih ini mungkin teraba di atas pubis. Peritenium
menutupi permukaan atas kandung kemih. Periteneum ini membentuk beberapa kantong antara
kandung kemih dengan organ-organ di dekatnya, seperti kantong rektovesikal pada pria, atau
kantong vesiko-uterina pada wanita. Diantara uterus dan rektum terdapat kavum douglasi.
Uretra pria panjang 18-20 cm dan bertindak sebagai saluran untuk sistem reproduksi maupun
perkemihan. Pada wanita panjang uretra kira-kira 4 cm dan bertindak hanya sebagai system
Perkemihan. Uretra mulai pada orifisium uretra internal dari kandung kemih dan berjalan turun
dibelakang simpisis pubis melekat ke dinding anterior vagina. Terdapat sfinter internal dan external
pada uretra, sfingter internal adalah involunter dan external dibawah kontrol volunter kecuali pada
bayi dan pada cedera atau penyakit saraf.

Patofisiologi
Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran kemih dapat melalui :
a. Penyebaran endogen yaitu kontak langsung daro tempat terdekat.
b. Hematogen.
c. Limfogen.
d. Eksogen sebagai akibat pemakaian alat berupa kateter atau sistoskopi.
Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya infeksi saluran kemih yaitu :
1. Bendungan aliran urine.
1) Anatomi konginetal.
2) Batu saluran kemih.
3) Oklusi ureter (sebagian atau total).
2. Refluks vesi ke ureter.
3. Urine sisa dalam buli-buli karena :
1) Neurogenik bladder.
2) Striktur uretra.
3) Hipertropi prostat.
4. Gangguan metabolik.
1) Hiperkalsemia.
2) Hipokalemia
3) Agamaglobulinemia.
5. Instrumentasi
1) Dilatasi uretra sistoskopi.
6. Kehamilan
1) Faktor statis dan bendungan.
2) PH urine yang tinggi sehingga mempermudah pertumbuhan kuman.

Infeksi tractus urinarius terutama berasal dari mikroorganisme pada faeces yang naik dari perineum
ke uretra dan kandung kemih serta menempel pada permukaan mukosa. Agar infeksi dapat terjadi,
bakteri harus mencapai kandung kemih, melekat pada dan mengkolonisasi epitelium traktus
urinarius untuk menghindari pembilasan melalui berkemih, mekanisme pertahan penjamu dan
cetusan inflamasi.
Inflamasi, abrasi mukosa uretral, pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap, gangguan status
metabolisme (diabetes, kehamilan, gout) dan imunosupresi meningkatkan resiko infeksi saluran
kemih dengan cara mengganggu mekanisme normal.
Infeksi saluran kemih dapat dibagi menjadi sistisis dan pielonefritis. Pielonefritis akut biasanya
terjadi akibat infeksi kandung kemih asendens. Pielonefritis akut juga dapat terjadi melalui infeksi
hematogen. Infeksi dapat terjadi di satu atau di kedua ginjal.
Pielonefritis kronik dapat terjadi akibat infeksi berulang, dan biasanya dijumpai pada individu yang
mengidap batu, obstruksi lain, atau refluks vesikoureter.
Sistitis (inflamasi kandung kemih) yang paling sering disebabkan oleh menyebarnya infeksi dari
uretra. Hal ini dapat disebabkan oleh aliran balik urine dari uretra ke dalam kandung kemih (refluks
urtrovesikal), kontaminasi fekal, pemakaian kateter atau sistoskop.
Uretritis suatu inflamasi biasanya adalah suatu infeksi yang menyebar naik yang digolongkan
sebagai general atau mongonoreal. Uretritis gnoreal disebabkan oleh niesseria gonorhoeae dan
ditularkan melalui kontak seksual. Uretritis nongonoreal ; uretritis yang tidak berhubungan dengan
niesseria gonorhoeae biasanya disebabkan oleh klamidia frakomatik atau urea plasma urelytikum.
Pielonefritis (infeksi traktus urinarius atas) merupakan infeksi bakteri piala ginjal, tobulus dan
jaringan intertisial dari salah satu atau kedua ginjal. Bakteri mencapai kandung kmih melalui uretra
dan naik ke ginjal meskipun ginjal 20 % sampai 25 % curah jantung; bakteri jarang mencapai ginjal
melalui aliran darah ; kasus penyebaran secara hematogen kurang dari 3 %.

Macam-macam ISK :
1) Uretritis (uretra)
2) Sistisis (kandung kemih)
3) Pielonefritis (ginjal)

Gambaran Klinis :
Uretritis biasanya memperlihatkan gejala :
1) Mukosa memerah dan oedema
2) Terdapat cairan eksudat yang purulent
3) Ada ulserasi pada urethra
4) Adanya rasa gatal yang menggelitik
5) Good morning sign
6) Adanya nanah awal miksi
7) Nyeri pada saat miksi
8) Kesulitan untuk memulai miksi
9) Nyeri pada abdomen bagian bawah.

Sistitis biasanya memperlihatkan gejala :


1) Disuria (nyeri waktu berkemih)
2) Peningkatan frekuensi berkemih
3) Perasaan ingin berkemih
4) Adanya sel-sel darah putih dalam urin
5) Nyeri punggung bawah atau suprapubic
6) Demam yang disertai adanya darah dalam urine pada kasus yang parah.

Pielonefritis akut biasanya memperihatkan gejala :


1) Demam
2) Menggigil
3) Nyeri pinggang
4) Disuria
Pielonefritis kronik mungkin memperlihatkan gambaran mirip dengan pielonefritis akut, tetapi
dapat juga menimbulkan hipertensi dan akhirnya dapat menyebabkan gagal ginjal.

Komplikasi :
1) Pembentukan Abses ginjal atau perirenal
2) Gagal ginjal
Pemeriksaan diagnostik
Urinalisis
1) Leukosuria atau piuria terdapat > 5 /lpb sedimen air kemih
2) Hematuria 5 – 10 eritrosit/lpb sedimen air kemih.
Bakteriologis
1) Mikroskopis ; satu bakteri lapangan pandang minyak emersi.
102 – 103 organisme koliform/mL urin plus piuria.2)Biakan bakteri
2) Tes kimiawi; tes reduksi griess nitrate berupa perubahan warna pada uji carik.

Pengobatan penyakit ISK


1) Terapi antibiotik untuk membunuh bakteri gram positif maupun gram negatif.
2) Apabila pielonefritis kroniknya disebabkan oleh obstruksi atau refluks, maka diperlukan
penatalaksanaan spesifik untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.
3) Dianjurkan untuk sering minum dan BAK sesuai kebutuhan untuk membilas microorganisme
yang mungkin naik ke uretra, untuk wanita harus membilas dari depan ke belakang untuk
menghindari kontaminasi lubang urethra oleh bakteri faeces.

Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


Pengkajian
Dalam melakukan pengkajian pada klien ISK menggunakan pendekatan bersifat menyeluruh yaitu :
Data biologis meliputi :
1) Identitas klien
2) Identitas penanggung
Riwayat kesehatan :
1) Riwayat infeksi saluran kemih
2) Riwayat pernah menderita batu ginjal
3) Riwayat penyakit DM, jantung.

Pengkajian fisik :
1) Palpasi kandung kemih
2) Inspeksi daerah meatus
a) Pengkajian warna, jumlah, bau dan kejernihan urine
b) Pengkajian pada costovertebralis

Riwayat psikososial :
 Usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan
 Persepsi terhadap kondisi penyakit
 Mekanisme kopin dan system pendukung
 Pengkajian pengetahuan klien dan keluarga
1) Pemahaman tentang penyebab/perjalanan penyakit
2) Pemahaman tentang pencegahan, perawatan dan terapi medis

Diagnosa Keperawatan
1) Infeksi yang berhubungan dengan adanya bakteri pada saluran kemih.
2) Perubahan pola eliminasi urine (disuria, dorongan, frekuensi, dan atau nokturia) yang
berhubungan dengan ISK.
3) Nyeri yang berhubungan dengan ISK.
4) Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit,
metode pencegahan, dan instruksi perawatan di rumah.

Perencanaan
1. Infeksi yang berhubungan dengan adanya bakteri pada saluran kemih
Tujuan : Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam pasien
memperlihatkan tidak adanya tanda-tanda infeksi.
Kriteria Hasil :
1) Tanda vital dalam batas normal
2) Nilai kultur urine negative
3) Urine berwarna bening dan tidak bau

Intervensi :
1) Kaji suhu tubuh pasien setiap 4 jam dan lapor jika suhu diatas 38,50 C
Rasional :
Tanda vital menandakan adanya perubahan di dalam tubuh
2) Catat karakteristik urine
Rasional :
Untuk mengetahui/mengidentifikasi indikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang
diharapkan.
3) Anjurkan pasien untuk minum 2 – 3 liter jika tidak ada kontra indikasi
Rasional :
Untuk mencegah stasis urine
4) Monitor pemeriksaan ulang urine kultur dan sensivitas untuk menentukan respon terapi.
Rasional :
Mengetahui seberapa jauh efek pengobatan terhadap keadaan penderita.
5) Anjurkan pasien untuk mengosongkan kandung kemih secara komplit setiap kali kemih.
Rasional :
Untuk mencegah adanya distensi kandung kemih
6) Berikan perawatan perineal, pertahankan agar tetap bersih dan kering.
Rasional :
Untuk menjaga kebersihan dan menghindari bakteri yang membuat infeksi uretra

2. Perubahan pola eliminasi urine (disuria, dorongan frekuensi dan atau nokturia) yang
berhubunganm dengan ISK.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam klien dapat
mempertahankan pola eliminasi secara adekuat.
Kriteria :
1) Klien dapat berkemih setiap 3 jam
2) Klien tidak kesulitan pada saat berkemih
3) Klien dapat bak dengan berkemih
Intervensi :
1) Ukur dan catat urine setiap kali berkemih
Rasional :
Untuk mengetahui adanya perubahan warna dan untuk mengetahui input/out put
2) Anjurkan untuk berkemih setiap 2 – 3 jam
Rasional :
Untuk mencegah terjadinya penumpukan urine dalam vesika urinaria.
3) Palpasi kandung kemih tiap 4 jam
Rasional :
Untuk mengetahui adanya distensi kandung kemih.
4) Bantu klien ke kamar kecil, memakai pispot/urinal
Rasional :
Untuk memudahkan klien di dalam berkemih.
5) Bantu klien mendapatkan posisi berkemih yang nyaman
Rasional :
Supaya klien tidak sukar untuk berkemih.

3. Nyeri yang berhubungan dengan ISK


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam pasien merasa
nyaman dan nyerinya berkurang.
Kriteria Hasil :
1) Pasien mengatakan / tidak ada keluhan nyeri pada saat berkemih.
2) Kandung kemih tidak tegang
3) Pasien nampak tenang
4) Ekspresi wajah tenang

Intervensi :
1) Kaji intensitas, lokasi, dan factor yang memperberat atau meringankan nyeri.
Rasional :
Rasa sakit yang hebat menandakan adanya infeksi
2) Berikan waktu istirahat yang cukup dan tingkat aktivitas yang dapat di toleran.
Rasional :
Klien dapat istirahat dengan tenang dan dapat merilekskan otot-otot
3) Anjurkan minum banyak 2-3 liter jika tidak ada kontra indikasi
Rasional :
Untuk membantu klien dalam berkemih
4) Berikan obat analgetik sesuai dengan program terapi.
Rasional :
Analgetik memblok lintasan nyeri
4. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit,
metode pencegahan, dan instruksi perawatan di rumah.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien tidak memperlihatkan tanda-tanda gelisah.
Kriteria hasil :
1) Klien tidak gelisah
2) Klien tenang

Intervensi :
1) Kaji tingkat kecemasan
Rasional :
Untuk mengetahui berat ringannya kecemasan klien
2) Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya
Rasional :
Agar klien mempunyai semangat dan mau empati terhadap perawatan dan pengobatan
3) Beri support pada klien
Rasional :
4) Beri dorongan spiritual
Rasional :
Agar klien kembali menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan YME.Beri support pada klien
5) Beri penjelasan tentang penyakitnya
Rasional :
Agar klien mengerti sepenuhnya tentang penyakit yang dialaminya.

Pelaksanaan
Pada tahap ini untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas-aktivitas yang telah dicatat dalam
rencana perawatan pasien. Agar implementasi/ pelaksanaan perencanaan ini dapat tepat waktu dan
efektif maka perlu mengidentifikasi prioritas perawatan, memantau dan mencatat respon pasien
terhadap setiap intervensi yang dilaksanakan serta mendokumentasikan pelaksanaan perawatan
(Doenges E Marilyn, dkk, 2000)

Evaluasi
Pada tahap yang perlu dievaluasi pada klien dengan ISK adalah, mengacu pada tujuan yang hendak
dicapai yakni apakah terdapat :
1. Nyeri yang menetap atau bertambah
2. Perubahan warna urine
3. Pola berkemih berubah, berkemih sering dan sedikit-sedikit, perasaan ingin kencing, menetes
setelah berkemih.
Diposkan oleh Agung di 22:08 0 komentar
Label: ASKEP

Askep Efusi Pleura


ASKEP EFUSI PLEURA

A. KONSEP DASAR

1. Pengertian

Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari dalam kavum pleura
diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat berupa cairan transudat atau cairan

eksudat ( Pedoman Diagnosis danTerapi / UPF ilmu penyakit paru, 1994, 111).

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya masalah


a. Anatomi
Paru-paru terletak pada rongga dada. Masing-masing paru berbentuk kerucut. Paru
kanan dibagi oleh dua buah fisura kedalam tiga lobus atas, tengah dan bawah. Paru kiri
dibagi oleh sebuah tisuda ke dalam dua lobus atas dan bawah (John Gibson, MD, 1995,
121).
Permukaan datar paru menghadap ke tengah rongga dada atau kavum
mediastinum. Pada bagian tengah terdapat tampuk paru-paru atau hillus paru-paru
dibungkus oleh selaput yang tipis disebut Pleura (Syaifudin B.AC , 1992, 104).
Pleura merupakan membran tipis, transparan yang menutupi paru dalam dua
lapisan : Lapisan viseral, yang dekat dengan permukaan paru dan lapisan parietal
menutupi permukaan dalam dari dinding dada. Kedua lapisan tersebut berlanjut pada
radix paru. Rongga pleura adalah ruang diantara kedua lapisan tersebut.

b. Fisiologi
Sistem pernafasan atau disebut juga sistem respirasi yang berarti “bernafas lagi”
mempunyai peran atau fungsi menyediakan oksigen (O 2) serta mengeluarkan carbon
dioksida (CO2) dari tubuh. Fungsi penyediaan O2 serta pengeluaran CO2 merupakan
fungsi yang vital bagi kehidupan.
Proses respirasi berlangsung beberapa tahap antara lain :
1) Ventilasi
Adalah proses pengeluaran udara ke dan dari dalam paru. Proses ini terdiri atas 2
tahap :
Inspirasi yaitu pergerakan udara dari luar ke dalam paru. Inspirasi terjadi dengan
adanya kontraksi otot diafragma dan interkostalis eksterna yang menyebabkan
volume thorax membesar sehingga tekanan intra alveolar menurun dan udara
masuk ke dalam paru.
Ekspirasi yaitu pergerakan udara dari dalam ke luar paru yang terjadi bila otot-otot
expirasi relaxasi sehingga volume thorax mengecil yang secara otomatis menekan
intra pleura dan volume paru mengecil dan tekanan intra alveola menurun sehingga
udara keluar dari paru.
2) Pertukaran gas di dalam alveol dan darah.
3) Transport gas
Yaitu perpindahan gas dari paru ke jaringan dan dari jaringan ke paru dengan
bantuan darah (aliran darah).
4) Pertukaran gas antara darah dengan sel-sel jaringan.Metabolisme penggunaan O 2 di
dalam sel serta pembuatan CO2 yang juga disebut pernafasan seluler. (Alsagaff H,
Abdul Moekty, 1995, 15).
Permukaan rongga pleura berbatasan lembab sehingga mudah bergerak satu ke yang
lainnya (John Gibson, MD, 1995, 123). Dalam keadaan normal seharusnya tidak ada
rongga kosong diantara kedua pleura karena biasanya hanya terdapat sekitar 10-20 cc
cairan yang merupakan lapisan tipis serosa yang selalu bergerak secara teratur
(Soeparman, 1990, 785). Setiap saat jumlah cairan dalam rongga pleura bisa menjadi
lebih dari cukup untuk memisahkan kedua pleura, maka kelebihan tersebut akan
dipompa keluar oleh pembuluh limfatik (yang membuka secara langsung) dari rongga
pleura ke dalam mediastinum. Permukaan superior dari diafragma dan permukaan
lateral dari pleura parietis disamping adanya keseimbangan antara produksi oleh pleura
parietalis dan absorbsi oleh pleura viseralis . Oleh karena itu ruang pleura disebut
sebagai ruang potensial. Karena ruang ini normalnya begitu sempit sehingga bukan
merupakan ruang fisik yang jelas. (Guyton dan Hall, Ege,1997, 607).

c. Etiologi
Berdasarkan jenis cairan yang terbnetuk, cairan pleura dibagi menjadi transudat,
eksudat dan hemoragis
1) Transudat dapat disebabkan oleh kegagalan jantung kongestif (gagal jantung kiri),
sindroma nefrotik, asites (oleh karena sirosis kepatis), syndroma vena cava
superior, tumor, sindroma meig.
2) Eksudat disebabkan oleh infeksi, TB, preumonia dan sebagainya, tumor, ifark paru,
radiasi, penyakit kolagen.
3) Effusi hemoragis dapat disebabkan oleh adanya tumor, trauma, infark paru,
tuberkulosis.
4) Berdasarkan lokasi cairan yang terbentuk, effusi dibagi menjadi unilateral dan
bilateral. Efusi yang unilateral tidak mempunyai kaitan yang spesifik dengan
penyakit penyebabnya akan tetapi effusi yang bilateral ditemukan pada penyakit-
penyakit dibawah ini :Kegagalan jantung kongestif, sindroma nefrotik, asites,
infark paru, lupus eritematosus systemic, tumor dan tuberkolosis.

d. Patofisiologi
Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan di dalam rongga pleura. Jumlah
cairan di rongga pleura tetap, karena adanya tekanan hidrostatis pleura parietalis
sebesar 9 cm H2O. Akumulasi cairan pleura dapat terjadi apabila tekanan osmotik
koloid menurun misalnya pada penderita hipoalbuminemia dan bertambahnya
permeabilitas kapiler akibat ada proses keradangan atau neoplasma, bertambahnya
tekanan hidrostatis akibat kegagalan jantung dan tekanan negatif intra pleura apabila
terjadi atelektasis paru (Alsagaf H, Mukti A, 1995, 145).
Effusi pleura berarti terjadi pengumpulan sejumlah besar cairan bebas dalam kavum
pleura. Kemungkinan penyebab efusi antara lain (1) penghambatan drainase limfatik
dari rongga pleura, (2) gagal jantung yang menyebabkan tekanan kapiler paru dan
tekanan perifer menjadi sangat tinggi sehingga menimbulkan transudasi cairan yang
berlebihan ke dalam rongga pleura (3) sangat menurunnya tekanan osmotik kolora
plasma, jadi juga memungkinkan transudasi cairan yang berlebihan (4) infeksi atau
setiap penyebab peradangan apapun pada permukaan pleura dari rongga pleura, yang
memecahkan membran kapiler dan memungkinkan pengaliran protein plasma dan
cairan ke dalam rongga secara cepat (Guyton dan Hall , Egc, 1997, 623-624).
2. Dampak Masalah
a. Dampak masalah terhadap individu
Sebagaimana penderita penyakit yang lain, pada pasien effusi pleura akan mengalami
suatu perubahan baik bio, psiko sosial dan spiritual yang akan selalu menimbulkan
dampak yang diakibatkan oleh proses penyakit atau pengobatan dan perawatan. Pada
umumnya Px dengan effusi pleura akan tampak sakit, suara nafas menurun adanya
nyeri pleuritik terutama pada akhir inspirasi, febris, batuk dan yang lebih khas lagi
adalah adanya sesak nafas, rasa berat pada dada akibat adnya akumulasi cairan di
kavum pleura.
b. Dampak masalah terhadap keluarga
Pada umumnya keluarga pasien akan merasa dituntut untuk selalu menjaga dan
memenuhi kebutuhan pasien. Apabila ada salah satu anggota keluarga yang sakit
sehingga keluarga pasien akan memberi perhatian yang lebih pada pasien. Keluarga
menjadi cemas dengan keadaan pasien karena mungkin sebagai orang awam keluarga
pasien kurang mengerti dengan kondisi pasien dan tentang bagaimana perawatannya.
Lamanya perawatan pasien banyaknya biaya pengobatan merupakan masalah bagi
pasien dan keluarganya terlebih untuk keluarga dengan tingkat ekonomi yang rendah.
Secara langsung peran pasien sesuai statusnya pun akan mengalami perubahan bahkan
gangguan selama pasien dirawat di rumah sakit.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
Pemberian Asuhan Keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan
hubungan kerjasama dengan klien, keluarga atau masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan
yang optimal (Canpernito, 2000,2).
Perawat memerlukan metode ilmiah dalam melakukan proses terapeutik tersebut yaitu
proses keperawatan. Proses keperewatan dipakai untuk membantu perawat dalam melakukan
praktek keperawatan secara sistematis dalam mengatasi masalah keperawatan yang ada, dimana
keempat komponennya saling mempengaruhi satu sama lain yaitu : pengkajian, perencanaan,
implementasi dan evaluasi yang membentuk suatu mata rantai (Budianna Keliat, 1994,2).
1. Pengkajian
Pengumpulan Data
Data-data yang dikumpulkan atau dikaji meliputi :
a. Identitas Pasien
Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin, alamat
rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai, status pendidikan
dan pekerjaan pasien.
b. Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong pasien mencari
pertolongan atau berobat ke rumah sakit. Biasanya pada pasien dengan effusi pleura
didapatkan keluhan berupa sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri pleuritik akibat
iritasi pleura yang bersifat tajam dan terlokasilir terutama pada saat batuk dan bernafas
serta batuk non produktif.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dengan effusi pleura biasanya akan diawali dengan adanya tanda-tanda seperti
batuk, sesak nafas, nyeri pleuritik, rasa berat pada dada, berat badan menurun dan
sebagainya. Perlu juga ditanyakan mulai kapan keluhan itu muncul. Apa tindakan yang
telah dilakukan untuk menurunkan atau menghilangkan keluhan-keluhannya tersebut.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan apakah pasien pernah menderita penyakit seperti TBC paru,
pneumoni, gagal jantung, trauma, asites dan sebagainya. Hal ini diperlukan untuk
mengetahui kemungkinan adanya faktor predisposisi.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit-penyakit
yang disinyalir sebagai penyebab effusi pleura seperti Ca paru, asma, TB paru dan lain
sebagainya.
f. Riwayat Psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya serta
bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang dilakukan terhadap dirinya.
g. Pengkajian Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Adanya tindakan medis dan perawatan di rumah sakit mempengaruhi
perubahan persepsi tentang kesehatan, tapi kadang juga memunculkan persepsi
yang salah terhadap pemeliharaan kesehatan. Kemungkinan adanya riwayat
kebiasaan merokok, minum alkohol dan penggunaan obat-obatan bisa menjadi
faktor predisposisi timbulnya penyakit.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Dalam pengkajian pola nutrisi dan metabolisme, kita perlu melakukan
pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui status nutrisi pasien,
selain juga perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan selama
MRS pasien dengan effusi pleura akan mengalami penurunan nafsu makan akibat
dari sesak nafas dan penekanan pada struktur abdomen. Peningkatan metabolisme
akan terjadi akibat proses penyakit. pasien dengan effusi pleura keadaan umumnya
lemah.
3) Pola eliminasi
Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai kebiasaan ilusi
dan defekasi sebelumdan sesudah MRS. Karena keadaan umum pasien yang lemah,
pasien akan lebih banyak bed rest sehingga akan menimbulkan konstipasi, selain
akibat pencernaan pada struktur abdomen menyebabkan penurunan peristaltik otot-
otot tractus degestivus.
4) Pola aktivitas dan latihan
Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang terpenuhi dan Px
akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitas minimal. Disamping itu pasien juga
akan mengurangi aktivitasnya akibat adanya nyeri dada. Dan untuk memenuhi
kebutuhan ADL nya sebagian kebutuhan pasien dibantu oleh perawat dan
keluarganya.
5) Pola tidur dan istirahat
Adanya nyeri dada, sesak nafas dan peningkatan suhu tubuh akan
berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dan istitahat, selain itu akibat
perubahan kondisi lingkungan dari lingkungan rumah yang tenang ke lingkungan
rumah sakit, dimana banyak orang yang mondar-mandir, berisik dan lain
sebagainya.
6) Pola hubungan dan peran
Akibat dari sakitnya, secara langsung pasien akan mengalami perubahan
peran, misalkan pasien seorang ibu rumah tangga, pasien tidak dapat menjalankan
fungsinya sebagai seorang ibu yang harus mengasuh anaknya, mengurus suaminya.
Disamping itu, peran pasien di masyarakatpun juga mengalami perubahan dan
semua itu mempengaruhi hubungan interpersonal pasien.
7) Pola persepsi dan konsep diri
Persepsi pasien terhadap dirinya akan berubah. Pasien yang tadinya sehat,
tiba-tiba mengalami sakit, sesak nafas, nyeri dada. Sebagai seorang awam, pasien
mungkin akan beranggapan bahwa penyakitnya adalah penyakit berbahaya dan
mematikan. Dalam hal ini pasien mungkin akan kehilangan gambaran positif
terhadap dirinya.
8) Pola sensori dan kognitif
Fungsi panca indera pasien tidak mengalami perubahan, demikian juga
dengan proses berpikirnya.
9) Pola reproduksi seksual
Kebutuhan seksual pasien dalam hal ini hubungan seks intercourse akan
terganggu untuk sementara waktu karena pasien berada di rumah sakit dan kondisi
fisiknya masih lemah.
10) Pola penanggulangan stress
Bagi pasien yang belum mengetahui proses penyakitnya akan mengalami
stress dan mungkin pasien akan banyak bertanya pada perawat dan dokter yang
merawatnya atau orang yang mungkin dianggap lebih tahu mengenai penyakitnya.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Sebagai seorang beragama pasien akan lebih mendekatkan dirinya kepada
Tuhan dan menganggap bahwa penyakitnya ini adalah suatu cobaan dari Tuhan.
h. pemeriksaan fisik
1) Status Kesehatan Umum
Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan pasien secara
umum, ekspresi wajah pasien selama dilakukan anamnesa, sikap dan perilaku
pasien terhadap petugas, bagaimana mood pasien untuk mengetahui tingkat
kecemasan dan ketegangan pasien. Perlu juga dilakukan pengukuran tinggi badan
berat badan pasien.
2) Sistem Respirasi
Inspeksi pada pasien effusi pleura bentuk hemithorax yang sakit mencembung, iga
mendatar, ruang antar iga melebar, pergerakan pernafasan menurun. Pendorongan
mediastinum ke arah hemithorax kontra lateral yang diketahui dari posisi trakhea
dan ictus kordis. RR cenderung meningkat dan Px biasanya dyspneu.
Fremitus tokal menurun terutama untuk effusi pleura yang jumlah cairannya > 250
cc. Disamping itu pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang
tertinggal pada dada yang sakit.
Suara perkusi redup sampai peka tegantung jumlah cairannya. Bila cairannya tidak
mengisi penuh rongga pleura, maka akan terdapat batas atas cairan berupa garis
lengkung dengan ujung lateral atas ke medical penderita dalam posisi duduk. Garis
ini disebut garis Ellis-Damoisseaux. Garis ini paling jelas di bagian depan dada,
kurang jelas di punggung.
Auskultasi Suara nafas menurun sampai menghilang. Pada posisi duduk cairan
makin ke atas makin tipis, dan dibaliknya ada kompresi atelektasis dari parenkian
paru, mungkin saja akan ditemukan tanda-tanda auskultasi dari atelektasis
kompresi di sekitar batas atas cairan. Ditambah lagi dengan tanda i – e artinya bila
penderita diminta mengucapkan kata-kata i maka akan terdengar suara e sengau,
yang disebut egofoni (Alsagaf H, Ida Bagus, Widjaya Adjis, Mukty Abdol,
1994,79)
3) Sistem Cardiovasculer
Pada inspeksi perlu diperhatikan letak ictus cordis, normal berada pada ICS –
5 pada linea medio claviculaus kiri selebar 1 cm. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mengetahui ada tidaknya pembesaran jantung. Palpasi untuk menghitung frekuensi
jantung (health rate) dan harus diperhatikan kedalaman dan teratur tidaknya denyut
jantung, perlu juga memeriksa adanya thrill yaitu getaran ictus cordis. Perkusi
untuk menentukan batas jantung dimana daerah jantung terdengar pekak. Hal ini
bertujuan untuk menentukan adakah pembesaran jantung atau ventrikel kiri.
Auskultasi untuk menentukan suara jantung I dan II tunggal atau gallop dan adakah
bunyi jantung III yang merupakan gejala payah jantung serta adakah murmur yang
menunjukkan adanya peningkatan arus turbulensi darah.
4) Sistem Pencernaan
Pada inspeksi perlu diperhatikan, apakah abdomen membuncit atau datar, tepi
perut menonjol atau tidak, umbilicus menonjol atau tidak, selain itu juga perlu di
inspeksi ada tidaknya benjolan-benjolan atau massa.
Auskultasi untuk mendengarkan suara peristaltik usus dimana nilai normalnya 5-35
kali permenit. Pada palpasi perlu juga diperhatikan, adakah nyeri tekan abdomen,
adakah massa (tumor, feces), turgor kulit perut untuk mengetahui derajat hidrasi
pasien, apakah hepar teraba, juga apakah lien teraba. Perkusi abdomen normal
tympanik, adanya massa padat atau cairan akan menimbulkan suara pekak (hepar,
asites, vesika urinarta, tumor).
5) Sistem Neurologis
Pada inspeksi tingkat kesadaran perlu dikaji Disamping juga diperlukan
pemeriksaan GCS. Adakah composmentis atau somnolen atau comma. refleks
patologis, dan bagaimana dengan refleks fisiologisnya. Selain itu fungsi-fungsi
sensoris juga perlu dikaji seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan
dan pengecapan.
6) Sistem Muskuloskeletal
Pada inspeksi perlu diperhatikan adakah edema peritibial, palpasi pada kedua
ekstremetas untuk mengetahui tingkat perfusi perifer serta dengan pemerikasaan
capillary refil time. Dengan inspeksi dan palpasi dilakukan pemeriksaan kekuatan
otot kemudian dibandingkan antara kiri dan kanan.
7) Sistem Integumen
Inspeksi mengenai keadaan umum kulit higiene, warna ada tidaknya lesi pada
kulit, pada Px dengan effusi biasanya akan tampak cyanosis akibat adanya
kegagalan sistem transport O2. Pada palpasi perlu diperiksa mengenai kehangatan
kulit (dingin, hangat, demam). Kemudian texture kulit (halus-lunak-kasar) serta
turgor kulit untuk mengetahui derajat hidrasi seseorang.
i. Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan medis dan laboratorium
1. Pemeriksaan Radiologi
Pada fluoroskopi maupun foto thorax PA cairan yang kurang dari 300 cc tidak bisa
terlihat. Mungkin kelainan yang tampak hanya berupa penumpukkan kostofrenikus.
Pada effusi pleura sub pulmonal, meski cairan pleura lebih dari 300 cc,
frenicocostalis tampak tumpul, diafragma kelihatan meninggi. Untuk memastikan
dilakukan dengan foto thorax lateral dari sisi yang sakit (lateral dekubitus) ini akan
memberikan hasil yang memuaskan bila cairan pleura sedikit (Hood Alsagaff,
1990, 786-787).
2. Biopsi Pleura
Biopsi ini berguna untuk mengambil specimen jaringan pleura dengan melalui
biopsi jalur percutaneus. Biopsi ini digunakan untuk mengetahui adanya sel-sel
ganas atau kuman-kuman penyakit (biasanya kasus pleurisy tuberculosa dan tumor
pleura) (Soeparman, 1990, 788).
j. Pemeriksaan Laboratorium
Dalam pemeriksaan cairan pleura terdapat beberapa pemeriksaan antara lain :
a. Pemeriksaan Biokimia
Secara biokimia effusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat yang perbedaannya
dapat dilihat pada tabel berikut :

Transudat Eksudat
Kadar protein dalam effusi 9/dl < style=""> > 3
Kadar protein dalam effusi < style=""> > 0,5
Kadar protein dalam serum
Kadar LDH dalam effusi (1-U) < style=""> > 200
Kadar LDH dalam effusi < style=""> > 0,6
Kadar LDH dalam serum
Berat jenis cairan effusi < style=""> > 1,016
Rivalta Negatif Positif

Disamping pemeriksaan tersebut diatas, secara biokimia diperiksakan juga cairan


pleura :
- Kadar pH dan glukosa. Biasanya merendah pada penyakit-penyakit infeksi,
arthritis reumatoid dan neoplasma
- Kadar amilase. Biasanya meningkat pada paulercatilis dan metastasis
adenocarcinona (Soeparman, 1990, 787).

b. Analisa cairan pleura


- Transudat : jernih, kekuningan
- Eksudat : kuning, kuning-kehijauan
- Hilothorax : putih seperti susu
- Empiema : kental dan keruh
- Empiema anaerob : berbau busuk
- Mesotelioma : sangat kental dan berdarah

c. Perhitungan sel dan sitologi


Leukosit 25.000 (mm3):empiema
Banyak Netrofil : pneumonia, infark paru, pankreatilis, TB paru
Banyak Limfosit : tuberculosis, limfoma, keganasan.
Eosinofil meningkat : emboli paru, poliatritis nodosa, parasit dan jamur
Eritrosit : mengalami peningkatan 1000-10000/ mm3 cairan tampak kemorogis,
sering dijumpai pada pankreatitis atau pneumoni. Bila
erytrosit > 100000 (mm3 menunjukkan infark paru, trauma
dada dan keganasan.
Misotel banyak : Jika terdapat mesotel kecurigaan TB bisa disingkirkan.
Sitologi : Hanya 50 - 60 % kasus- kasus keganasan dapat ditemukan sel ganas.
Sisanya kurang lebih terdeteksi karena akumulasi cairan
pleura lewat mekanisme obstruksi, preamonitas atau
atelektasis (Alsagaff Hood, 1995 : 147,148)
d. Bakteriologis
Jenis kuman yang sering ditemukan dalam cairan pleura adalah pneamo
cocclis, E-coli, klebsiecla, pseudomonas, enterobacter. Pada pleuritis TB kultur
cairan terhadap kuman tahan asam hanya dapat menunjukkan yang positif sampai
20 % (Soeparman, 1998: 788).

Analisa Data
Setelah semua data dikumpulkan, kemudian dikelompokkan dan dianalisa sehingga
dapat ditemukan adanya masalah yang muncul pada penderita effusi pleura. Selanjutnya
masalah tersebut dirumuskan dalam diagnosa keperawatan.
2. Diagnosa Keperawatan
Penentuan diagnosa keperawatan harus berdasarkan analisa data sari hasil
pengkajian, maka diagnosa keperawatan yang ditemukan di kelompokkan menjadi diagnosa
aktual, potensial dan kemungkinan. (Budianna Keliat, 1994,1)
Beberapa diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan effusi pleura
antara lain :
1. Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru
sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam rongga pleura (Susan Martin Tucleer,
dkk, 1998).
2. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Sehubungan
dengan peningkatan metabolisme tubuh, pencernaan nafsu makan akibat sesak nafas
sekunder terhadap penekanan struktur abdomen (Barbara Engram, 1993).
3. Cemas sehubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan
(ketidakmampuan untuk bernafas).
4. Gangguan pola tidur dan istirahat sehubungan dengan batuk yang menetap dan sesak
nafas serta perubahan suasana lingkungan Barbara Engram).
5. Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari sehubungan dengan keletihan (keadaan
fisik yang lemah) (Susan Martin Tucleer, dkk, 1998).
6. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan sehubungan dengan kurang
terpajang informasi (Barbara Engram, 1993)
3. Perencanaan
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan, dibuat rencana tindakan untuk mengurangi,
menghilangkan dan mencegah masalah klien.(Budianna Keliat, 1994, 16)
1. Diagnosa Keperawatan I
Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru
sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura.
Tujuan : Pasien mampu mempertahankan fungsi paru secara normal
Kriteria hasil : Irama, frekuensi dan kedalaman pernafasan dalam batas normal, pada
pemeriksaan sinar X dada tidak ditemukan adanya akumulasi cairan, bunyi nafas
terdengar jelas.
Rencana tindakan :
a. Identifikasi faktor penyebab.
Rasional : Dengan mengidentifikasikan penyebab, kita dapat menentukan jenis
effusi pleura sehingga dapat mengambil tindakan yang tepat.
b. Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, laporkan setiap perubahan yang
terjadi.
Rasional : Dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, kita
dapat mengetahui sejauh mana perubahan kondisi pasien.
c. Baringkan pasien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi duduk, dengan kepala
tempat tidur ditinggikan 60 – 90 derajat.
Rasional : Penurunan diafragma memperluas daerah dada sehingga ekspansi paru
bisa maksimal.
d. Observasi tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah, RR dan respon pasien).
Rasional : Peningkatan RR dan tachcardi merupakan indikasi adanya penurunan
fungsi paru.
e. Lakukan auskultasi suara nafas tiap 2-4 jam.
Rasional : Auskultasi dapat menentukan kelainan suara nafas pada bagian paru-
paru.
f. Bantu dan ajarkan pasien untuk batuk dan nafas dalam yang efektif.
Rasional : Menekan daerah yang nyeri ketika batuk atau nafas dalam. Penekanan
otot-otot dada serta abdomen membuat batuk lebih efektif.
g. Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian O 2 dan obat-obatan serta foto
thorax.
Rasional : Pemberian oksigen dapat menurunkan beban pernafasan dan mencegah
terjadinya sianosis akibat hiponia. Dengan foto thorax dapat dimonitor kemajuan
dari berkurangnya cairan dan kembalinya daya kembang paru.
2. Diagnosa Keperawatan II
Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh sehubungan
dengan peningkatan metabolisme tubuh, penurunan nafsu makan akibat sesak nafas.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil : Konsumsi lebih 40 % jumlah makanan, berat badan normal dan hasil
laboratorium dalam batas normal.
Rencana tindakan :
a. Beri motivasi tentang pentingnya nutrisi.
Rasional : Kebiasaan makan seseorang dipengaruhi oleh kesukaannya,
kebiasaannya, agama, ekonomi dan pengetahuannya tentang pentingnya nutrisi
bagi tubuh.
b. Auskultasi suara bising usus.
Rasional : Bising usus yang menurun atau meningkat menunjukkan adanya
gangguan pada fungsi pencernaan.
c. Lakukan oral hygiene setiap hari.
Rasional : Bau mulut yang kurang sedap dapat mengurangi nafsu makan.
d. Sajikan makanan semenarik mungkin.
Rasional : Penyajian makanan yang menarik dapat meningkatkan nafsu makan.
e. Beri makanan dalam porsi kecil tapi sering.
Rasional : Makanan dalam porsi kecil tidak membutuhkan energi, banyak selingan
memudahkan reflek.
f. Kolaborasi dengan tim gizi dalam pemberian di’it TKTP
Rasional : Di’it TKTP sangat baik untuk kebutuhan metabolisme dan pembentukan
antibody karena diet TKTP menyediakan kalori dan semua asam amino esensial.
g. Kolaborasi dengan dokter atau konsultasi untuk melakukan pemeriksaan laboratorium
alabumin dan pemberian vitamin dan suplemen nutrisi lainnya (zevity, ensure,
socal, putmocare) jika intake diet terus menurun lebih 30 % dari kebutuhan.
Rasional : Peningkatan intake protein, vitamin dan mineral dapat menambah asam
lemak dalam tubuh.
3. Diagnosa Keperawatan III
Cemas atau ketakutan sehubungan dengan adanya ancaman kematian yang
dibayangkan (ketidakmampuan untuk bernafas).
Tujuan : Pasien mampu memahami dan menerima keadaannya sehingga tidak terjadi
kecemasan.
Kriteria hasil : Pasien mampu bernafas secara normal, pasien mampu beradaptasi
dengan keadaannya. Respon non verbal klien tampak lebih rileks dan
santai, nafas teratur dengan frekuensi 16-24 kali permenit, nadi 80-90
kali permenit.
Rencana tindakan :
a. Berikan posisi yang menyenangkan bagi pasien. Biasanya dengan semi fowler.
Jelaskan mengenai penyakit dan diagnosanya.
Rasional : pasien mampu menerima keadaan dan mengerti sehingga dapat diajak
kerjasama dalam perawatan.
a. Ajarkan teknik relaksasi
Rasional : Mengurangi ketegangan otot dan kecemasan
b. Bantu dalam menggala sumber koping yang ada.
Rasional : Pemanfaatan sumber koping yang ada secara konstruktif sangat
bermanfaat dalam mengatasi stress.
c. Pertahankan hubungan saling percaya antara perawat dan pasien. Rasional :
Hubungan saling percaya membantu proses terapeutik
d. Kaji faktor yang menyebabkan timbulnya rasa cemas.
Rasional : Tindakan yang tepat diperlukan dalam mengatasi masalah yang dihadapi
klien dan membangun kepercayaan dalam mengurangi kecemasan.
e. Bantu pasien mengenali dan mengakui rasa cemasnya.
Rasional : Rasa cemas merupakan efek emosi sehingga apabila sudah
teridentifikasi dengan baik, perasaan yang mengganggu dapat diketahui.
4. Diagnosa Keperawatan IV
Gangguan pola tidur dan istirahat sehubungan dengan batuk yang menetap dan nyeri
pleuritik.
Tujuan : Tidak terjadi gangguan pola tidur dan kebutuhan istirahat terpenuhi.
Kriteria hasil : Pasien tidak sesak nafas, pasien dapat tidur dengan nyaman tanpa
mengalami gangguan, pasien dapat tertidur dengan mudah dalam waktu
30-40 menit dan pasien beristirahat atau tidur dalam waktu 3-8 jam per
hari.
Rencana tindakan :
a. Beri posisi senyaman mungkin bagi pasien.
Rasonal : Posisi semi fowler atau posisi yang menyenangkan akan memperlancar
peredaran O2 dan CO2.
b. Tentukan kebiasaan motivasi sebelum tidur malam sesuai dengan kebiasaan pasien
sebelum dirawat.
Rasional : Mengubah pola yang sudah menjadi kebiasaan sebelum tidur akan
mengganggu proses tidur.
c. Anjurkan pasien untuk latihan relaksasi sebelum tidur.
Rasional : Relaksasi dapat membantu mengatasi gangguan tidur.
d. Observasi gejala kardinal dan keadaan umum pasien.
Rasional : Observasi gejala kardinal guna mengetahui perubahan terhadap kondisi
pasien.

5. Diagnosa Keperawatan V
Ketidakmampuan melaksanakan aktivitas sehari-hari sehubungan dengan keletihan
(keadaan fisik yang lemah).
Tujuan : Pasien mampu melaksanakan aktivitas seoptimal mungkin.
Kriteria hasil : Terpenuhinya aktivitas secara optimal, pasien kelihatan segar dan
bersemangat, personel hygiene pasien cukup.
Rencana tindakan :
a. Evaluasi respon pasien saat beraktivitas, catat keluhan dan tingkat aktivitas serta
adanya perubahan tanda-tanda vital.
Raasional : Mengetahui sejauh mana kemampuan pasien dalam melakukan
aktivitas.
a. Bantu Px memenuhi kebutuhannya.
Rasional : Memacu pasien untuk berlatih secara aktif dan mandiri.
b. Awasi Px saat melakukan aktivitas.
Rasional : Memberi pendidikan pada Px dan keluarga dalam perawatan
selanjutnya.
c. Libatkan keluarga dalam perawatan pasien.
Rasional : Kelemahan suatu tanda Px belum mampu beraktivitas secara penuh.
d. Jelaskan pada pasien tentang perlunya keseimbangan antara aktivitas dan istirahat.
Rasional : Istirahat perlu untuk menurunkan kebutuhan metabolisme.
e. Motivasi dan awasi pasien untuk melakukan aktivitas secara bertahap.
Rasional : Aktivitas yang teratur dan bertahap akan membantu mengembalikan
pasien pada kondisi normal.

6. Diagnosa Keperawatan VI
Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan sehubungan dengan
kurangnya informasi.
Tujuan : Pasien dan keluarga tahu mengenai kondisi dan aturan pengobatan.
Kriteria hasil :
a. Px dan keluarga menyatakan pemahaman penyebab masalah.
b. PX dan keluarga mampu mengidentifikasi tanda dan gejala yang memerlukan
evaluasi medik.
c. Px dan keluarga mengikuti program pengobatan dan menunjukkan perubahan pola
hidup yang perlu untuk mencegah terulangnya masalah.
Rencana tindakan :
a. Kaji patologi masalah individu.
Rasional : Informasi menurunkan takut karena ketidaktahuan. Memberikan
pengetahuan dasar untuk pemahaman kondisi dinamik dan pentingnya intervensi
terapeutik.
b. Identifikasi kemungkinan kambuh atau komplikasi jangka panjang.
Rasional : Penyakit paru yang ada seperti PPOM berat, penyakit paru infeksi dan
keganasan dapat meningkatkan insiden kambuh.
c. Kaji ulang tanda atau gejala yang memerlukan evaluasi medik cepat (contoh, nyeri
dada tiba-tiba, dispena, distress pernafasan).
Rasional : Berulangnya effusi pleura memerlukan intervensi medik untuk
mencegah, menurunkan potensial komplikasi.
d. Kaji ulang praktik kesehatan yang baik (contoh, nutrisi baik, istirahat, latihan).
Rasional : Mempertahankan kesehatan umum meningkatkan penyembuhan dan
dapat mencegah kekambuhan.

4. Pelaksanaan
Implementasi merupakan pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat terhadap
pasien. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan rencana keperawatan
diantaranya :
Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi ; ketrampilan
interpersonal, teknikal dan intelektual dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi
yang tepat, keamanan fisik dan psikologis klien dilindungi serta dokumentasi intervensi dan
respon pasien.
Pada tahap implementasi ini merupakan aplikasi secara kongkrit dari rencana intervensi
yang telah dibuat untuk mengatasi masalah kesehatan dan perawatan yang muncul pada
pasien (Budianna Keliat, 1994,4).
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan, dimana evaluasi adalah
kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dengan melibatkan pasien, perawat dan
anggota tim kesehatan lainnya.
Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk menilai apakah tujuan dalam rencana keperawatan
tercapai dengan baik atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang (US. Midar H, dkk,
1989).
Kriteria dalam menentukan tercapainya suatu tujuan, pasien :
a. Mampu mempertahankan fungsi paru secara normal.
b. Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
c. Tidak terjadi gangguan pola tidur dan kebutuhan istirahat terpenuhi.
d. Dapat memenuhi kebutuhan perawatan diri sehari-hari untuk mengembalikan aktivitas
seperti biasanya.
e. Menunjukkan pengetahuan dan gejala-gejala gangguan pernafasan seperti sesak nafas,
nyeri dada sehingga dapat melaporkan segera ke dokter atau perawat yang merawatnya.
f. Mampu menerima keadaan sehingga tidak terjadi kecemasan.
g. Menunjukkan pengetahuan tentang tindakan pencegahan yang berhubungan dengan
penatalaksanaan kesehatan, meliputi kebiasaan yang tidak menguntungkan bagi
kesehatan seperti merokok, minum minuman beralkohol dan pasien juga menunjukkan
pengetahuan tentang kondisi penyakitnya.

DAFTAR PUSTAKA

Al sagaff H dan Mukti. A, Dasar – Dasar Ilmu Penyakit Paru, Airlangga University Press,
Surabaya ; 1995
Carpenito, Lynda Juall, Diagnosa keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik Edisi 6, Penerbit Buku
Kedokteran EGC,;1995
Carpenito, Lynda Juall, Rencana Asuhan dan Dokumentasi keperawatan Edisi 2, Penerbit Buku
Kedokteran EGC ; 1995
Engram, Barbara, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume I, Penerbit Buku
Kedokteran EGC ; 1999
Ganong F. William, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 17, Jakarta EGC ; 1998
Gibson, John, MD, Anatomi Dan Fisiologi Modern Untuk Perawat, Jakarta EGC ; 1995
Keliat, Budi Anna. Proses Keperawatan, Arcan Jakarta ; 1991
Laboratorium Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR, Dasar – Dasar Diagnostik Fisik Paru, Surabaya;
1994
Lismidar,proses keperawatan H,dkk, Proses keperawatan, AUP, 1990
Marrilyn. E. Doengus, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3 Jakarta EGC ; 1999
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo, Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/UPF Ilmu Penyakit
Paru, Airlangga University Press; 1994
B.AC,Syaifudin, Anatomi dan fisiologi untuk perawat, EGC; 1992
Soeparman A. Sarwono Waspadji, Ilmu Penyakit Dalam jilid II ; 1990
Susan Martin Tucker, Standar Perawatan Pasien, Jakarta EGC ; 1998
Soedarsono, Guidelines of Pulmonology, Surabaya ; 2000
Diposkan oleh Agung di 18:50 0 komentar
Label: ASKEP

Askep DM
DIABETES MELITUS

A. Konsep Dasar

1. Definisi

Diabetes Mellitus ( DM ) adalah penyakit metabolik yang kebanyakan herediter, demham tanda –

tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya gejala klinik akut ataupun

kronik, sebagai akibat dari kuranganya insulin efektif di dalam tubuh, gangguan primer terletak

pada metabolisme karbohidrat yang biasanya disertai juga gangguan metabolisme lemak dan

protein. ( Askandar, 2000 ).

Gangren adalah proses atau keadaan yang ditandai dengan adanya jaringan mati atau

nekrosis, namun secara mikrobiologis adalah proses nekrosis yang disebabkan oleh infeksi.
( Askandar, 2001 ).

Gangren Kaki Diabetik adalah luka pada kaki yang merah kehitam-hitaman dan

berbau busuk akibat sumbatan yang terjadi di pembuluh darah sedang atau besar di

tungkai. ( Askandar, 2001).

2. Anatomi Fisiologi

Pankreas merupakan sekumpulan kelenjar yang panjangnya kira – kira 15 cm, lebar 5

cm, mulai dari duodenum sampai ke limpa dan beratnya rata – rata 60 – 90 gram.

Terbentang pada vertebrata lumbalis 1 dan 2 di belakang lambung.

Pankreas merupakan kelenjar endokrin terbesar yang terdapat di dalam tubuh baik

hewan maupun manusia. Bagian depan ( kepala ) kelenjar pankreas terletak pada lekukan

yang dibentuk oleh duodenum dan bagian pilorus dari lambung. Bagian badan yang

merupakan bagian utama dari organ ini merentang ke arah limpa dengan bagian ekornya

menyentuh atau terletak pada alat ini. Dari segi perkembangan embriologis, kelenjar

pankreas terbentuk dari epitel yang berasal dari lapisan epitel yang membentuk usus.

Pankreas terdiri dari dua jaringan utama, yaitu :

(1). Asini sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum.

(2). Pulau Langerhans yang tidak tidak mengeluarkan sekretnya keluar, tetapi menyekresi insulin
dan glukagon langsung ke darah.
Pulau – pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pamkreas tersebar di seluruh
pankreas dengan berat hanya 1 – 3 % dari berat total pankreas. Pulau langerhans berbentuk ovoid
dengan besar masing-masing pulau berbeda. Besar pulau langerhans yang terkecil adalah 50 ,
sedangkan yang terbesar 300 , terbanyak adalah yang besarnya 100 – 225 . Jumlah semua pulau
langerhans di pankreas diperkirakan antara 1 – 2 juta.
Pulau langerhans manusia, mengandung tiga jenis sel utama, yaitu :
(1). Sel – sel A ( alpha ), jumlahnya sekitar 20 – 40 % ; memproduksi glikagon yang
manjadi faktor hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai “ anti insulin like
activity “.
(2). Sel – sel B ( betha ), jumlahnya sekitar 60 – 80 % , membuat insulin.
(3). Sel – sel D ( delta ), jumlahnya sekitar 5 – 15 %, membuat somatostatin.
Masing – masing sel tersebut, dapat dibedakan berdasarkan struktur dan sifat pewarnaan. Di bawah
mikroskop pulau-pulau langerhans ini nampak berwarna pucat dan banyak mengandung pembuluh
darah kapiler. Pada penderita DM, sel beha sering ada tetapi berbeda dengan sel beta yang normal
dimana sel beta tidak menunjukkan reaksi pewarnaan untuk insulin sehingga dianggap tidak
berfungsi.
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 untuk insulin manusia. Molekul
insulin terdiri dari dua rantai polipeptida yang tidak sama, yaitu rantai A dan B. Kedua rantai ini
dihubungkan oleh dua jembatan ( perangkai ), yang terdiri dari disulfida. Rantai A terdiri dari 21
asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin dapat larut pada pH 4 – 7 dengan titik
isoelektrik pada 5,3. Sebelum insulin dapat berfungsi, ia harus berikatan dengan protein reseptor
yang besar di dalam membrana sel.
Insulin di sintesis sel beta pankreas dari proinsulin dan di simpan dalam butiran berselaput yang
berasal dari kompleks Golgi. Pengaturan sekresi insulin dipengaruhi efek umpan balik kadar
glukosa darah pada pankreas. Bila kadar glukosa darah meningkat diatas 100 mg/100ml darah,
sekresi insulin meningkat cepat. Bila kadar glukosa normal atau rendah, produksi insulin akan
menurun.
Selain kadar glukosa darah, faktor lain seperti asam amino, asam lemak, dan hormon
gastrointestina merangsang sekresi insulin dalam derajat berbeda-beda. Fungsi metabolisme utama
insulin untuk meningkatkan kecepatan transport glukosa melalui membran sel ke jaringan terutama
sel – sel otot, fibroblas dan sel lemak.
3. Etiologi
a. Diabetes Melitus
DM mempunyai etiologi yang heterogen, dimana berbagai lesi dapat
menyebabkan insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang
peranan penting pada mayoritas DM. Faktor lain yang dianggap sebagai kemungkinan
etiologi DM yaitu :
1. Kelainan sel beta pankreas, berkisar dari hilangnya sel beta sampai kegagalan sel
beta melepas insulin.
2. Faktor – faktor lingkungan yang mengubah fungsi sel beta, antara lain agen yang
dapat menimbulkan infeksi, diet dimana pemasukan karbohidrat dan gula yang
diproses secara berlebihan, obesitas dan kehamilan.
3. Gangguan sistem imunitas. Sistem ini dapat dilakukan oleh autoimunitas yang
disertai pembentukan sel – sel antibodi antipankreatik dan mengakibatkan
kerusakan sel - sel penyekresi insulin, kemudian peningkatan kepekaan sel beta
oleh virus.
4. Kelainan insulin. Pada pasien obesitas, terjadi gangguan kepekaan jaringan terhadap
insulin akibat kurangnya reseptor insulin yang terdapat pada membran sel yang
responsir terhadap insulin.
b. Gangren Kaki Diabetik
Faktor – faktor yang berpengaruh atas terjadinya gangren kaki diabetik dibagi
menjadi endogen dan faktor eksogen.
Faktor endogen : a. Genetik, metabolik
b. Angiopati diabetik
c. Neuropati diabetik
Faktor eksogen : a. Trauma
b. Infeksi
c. Obat

4. Patofisiologis
a. Diabetes Melitus
Sebagian besar gambaran patologik dari DM dapat dihubungkan dengan salah
satu efek utama akibat kurangnya insulin berikut:
1. Berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel – sel tubuh yang mengakibatkan naiknya
konsentrasi glukosa darah setinggi 300 – 1200 mg/dl.
2. Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak yang menyebabkan
terjadinya metabolisme lemak yang abnormal disertai dengan endapan kolestrol
pada dinding pembuluh darah.
3. Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh.
Pasien – pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan
kadar glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi sesudah makan. Pada
hiperglikemia yng parah yang melebihi ambang ginjal normal ( konsentrasi glukosa
darah sebesar 160 – 180 mg/100 ml ), akan timbul glikosuria karena tubulus – tubulus
renalis tidak dapat menyerap kembali semua glukosa. Glukosuria ini akan
mengakibatkan diuresis osmotik yang menyebabkan poliuri disertai kehilangan sodium,
klorida, potasium, dan pospat. Adanya poliuri menyebabkan dehidrasi dan timbul
polidipsi. Akibat glukosa yang keluar bersama urine maka pasien akan mengalami
keseimbangan protein negatif dan berat badan menurun serta cenderung terjadi polifagi.
Akibat yang lain adalah astenia atau kekurangan energi sehingga pasien menjadi cepat
telah dan mengantuk yang disebabkan oleh berkurangnya atau hilangnya protein tubuh
dan juga berkurangnya penggunaan karbohidrat untuk energi.
Hiperglikemia yang lama akan menyebabkan arterosklerosis, penebalan membran
basalis dan perubahan pada saraf perifer. Ini akan memudahkan terjadinya gangren.
b. Gangren Kaki Diabetik
Ada dua teori utama mengenai terjadinya komplikasi kronik DM akibat
hiperglikemia, yaitu teori sorbitol dan teori glikosilasi.
1. Teori Sorbitol
Hiperglikemia akan menyebabkan penumpukan kadar glukosa pada sel dan
jaringan tertentu dan dapat mentransport glukosa tanpa insulin. Glukosa yang
berlebihan ini tidak akan termetabolisasi habis secara normal melalui glikolisis,
tetapi sebagian dengan perantaraan enzim aldose reduktase akan diubah menjadi
sorbitol. Sorbitol akan tertumpuk dalam sel / jaringan tersebut dan menyebabkan
kerusakan dan perubahan fungsi.
2. Teori Glikosilasi
Akibat hiperglikemia akan menyebabkan terjadinya glikosilasi pada semua
protein, terutama yang mengandung senyawa lisin. Terjadinya proses glikosilasi pada
protein membran basal dapat menjelaskan semua komplikasi baik makro maupun
mikro vaskular.
Terjadinya Kaki Diabetik (KD) sendiri disebabkan oleh faktor – faktor
disebutkan dalam etiologi. Faktor utama yang berperan timbulnya KD adalah
angiopati, neuropati dan infeksi. Neuropati merupakan faktor penting untuk
terjadinya KD. Adanya neuropati perifer akan menyebabkan terjadinya gangguan
sensorik maupun motorik. Gangguan sensorik akan menyebabkan hilang atau
menurunnya sensasi nyeri pada kaki, sehingga akan mengalami trauma tanpa terasa
yang mengakibatkan terjadinya ulkus pada kaki gangguan motorik juga akan
mengakibatkan terjadinya atrofi otot kaki, sehingga merubah titik tumpu yang
menyebabkan ulsetrasi pada kaki pasien. Angiopati akan menyebabkan terganggunya
aliran darah ke kaki. Apabila sumbatan darah terjadi pada pembuluh darah yang lebih
besar maka penderita akan merasa sakit tungkainya sesudah ia berjalan pada jarak
tertentu. Manifestasi gangguan pembuluh darah yang lain dapat berupa : ujung kaki
terasa dingin, nyeri kaki di malam hari, denyut arteri hilang, kaki menjadi pucat bila
dinaikkan. Adanya angiopati tersebut akan menyebabkan terjadinya penurunan
asupan nutrisi, oksigen ( zat asam ) serta antibiotika sehingga menyebabkan luka
sulit sembuh ( Levin,1993). Infeksi sering merupakan komplikasi yang menyertai
KD akibat berkurangnya aliran darah atau neuropati, sehingga faktor angiopati dan
infeksi berpengaruh terhdap penyembuhan atau pengobatan dari KD.

5. Klasifikasi
Wagner ( 1983 ) membagi gangren kaki diabetik menjadi enam tingkatan , yaitu :
Derajat 0 : Tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh dengan kemungkinan
disertai kelainan bentuk kaki seperti “ claw,callus “.
Derajat I : Ulkus superfisial terbatas pada kulit.
Derajat II : Ulkus dalam menembus tendon dan tulang.
Derajat III : Abses dalam, dengan atau tanpa osteomielitis.
Derajat IV : Gangren jari kaki atau bagian distal kaki dengan atau tanpa selulitis.
Derajat V : Gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai.
Sedangkan Brand (1986) dan Ward (1987) membagi gangren kaki menjadi dua golongan :
1. Kaki Diabetik akibat Iskemia ( KDI )
Disebabkan penurunan aliran darah ke tungkai akibat adanya makroangiopati
( arterosklerosis ) dari pembuluh darah besar ditungkai, terutama di daerah betis.
Gambaran klinis KDI :
- Penderita mengeluh nyeri waktu istirahat.
- Pada perabaan terasa dingin.
- Pulsasi pembuluh darah kurang kuat.
- Didapatkan ulkus sampai gangren.
2. Kaki Diabetik akibat Neuropati ( KDN )
Terjadi kerusakan syaraf somatik dan otonomik, tidak ada gangguan dari sirkulasi.
Klinis di jumpai kaki yang kering, hangat, kesemutan, mati rasa, oedem kaki, dengan
pulsasi pembuluh darah kaki teraba baik.

6. Dampak masalah
Adanya penyakit gangren kaki diabetik akan mempengaruhi kehidupan individu dan keluarga.
Adapun dampak masalah yang bisa terjadi meliputi :
a. Pada Individu
Pola dan gaya hidup penderita akan berubah dengan adanya penyakit ini,
Gordon telah mengembangkan 11 pola fungsi kesehatan yang dapat digunakan untuk
mengetahui perubahan tersebut.
1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada pasien gangren kaki diabetik terjadi perubahan persepsi dan tata
laksana hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gangren kaki
diabetuk sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan
kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan yang
lama, oleh karena itu perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah dimengerti
pasien.
2. Pola nutrisi dan metabolisme
Akibat produksi insulin tidak adekuat atau adanya defisiensi insulin maka
kadar gula darah tidak dapat dipertahankan sehingga menimbulkan keluhan sering
kencing, banyak makan, banyak minum, berat badan menurun dan mudah lelah.
Keadaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan
metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan penderita.
3. Pola eliminasi
Adanya hiperglikemia menyebabkan terjadinya diuresis osmotik yang
menyebabkan pasien sering kencing (poliuri) dan pengeluaran glukosa pada urine
( glukosuria ). Pada eliminasi alvi relatif tidak ada gangguan.
4. Pola tidur dan istirahat
Adanya poliuri, nyeri pada kaki yang luka dan situasi rumah sakit yang
ramai akan mempengaruhi waktu tidur dan istirahat penderita, sehingga pola tidur
dan waktu tidur penderita mengalami perubahan.
5. Pola aktivitas dan latihan
Adanya luka gangren dan kelemahan otot – otot pada tungkai bawah
menyebabkan penderita tidak mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari secara
maksimal, penderita mudah mengalami kelelahan.
6. Pola hubungan dan peran
Luka gangren yang sukar sembuh dan berbau menyebabkan penderita malu
dan menarik diri dari pergaulan.
7. Pola sensori dan kognitif
Pasien dengan gangren cenderung mengalami neuropati / mati rasa pada
luka sehingga tidak peka terhadap adanya trauma.
8. Pola persepsi dan konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita
mengalami gangguan pada gambaran diri. Luka yang sukar sembuh, lamanya
perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien
mengalami kecemasan dan gangguan peran pada keluarga ( self esteem ).
9. Pola seksual dan reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi
sehingga menyebabkan gangguan potensi sek, gangguan kualitas maupun ereksi,
serta memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme.
10. Pola mekanisme stres dan koping
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, perasaan tidak
berdaya karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif
berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat menyebabkan
penderita tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang konstruktif /
adaptif.
11. Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta luka
pada kaki tidak menghambat penderita dalam melaksanakan ibadah tetapi
mempengaruhi pola ibadah penderita.

b. Dampak pada keluarga


Dengan adanya salah satu anggota keluarga yang sakit dan dirawat di rumah sakit
akan muncul bermacam –macam reaksi psikologis dari kelurga, karena masalah
kesehatan yang dialami oleh seorang anggota keluarga akan mempengaruhi seluruh
anggota keluarga. Waktu perawatan yang lama dan biaya yang banyak akan
mempengaruhi keadaan ekonomi keluarga dan perubahan peran pada keluarga karena
salah satu anggota keluarga tidak dapat menjalankan perannya.

B. Asuhan keperawatan
Dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien gangren kaki diabetik hendaknya
dilakukan secara komperhensif dengan menggunakan proses keperawatan.
Proses keperawatan adalah suatu metode sistematik untuk mengkaji respon manusia
terhadap masalah-masalah dan membuat rencana keperawatan yang bertujuan untuk mengatasi
masalah – masalah tersebut. Masalah-masalah kesehatan dapat berhubungan dengan klien
keluarga juga orang terdekat atau masyarakat. Proses keperawatan mendokumentasikan
kontribusi perawat dalam mengurangi / mengatasi masalah-masalah kesehatan.
Proses keperawatan terdiri dari lima tahapan, yaitu : pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah utama dan dasar utama dari proses keperawatan yang
mempunyai dua kegiatan pokok, yaitu :
a. Pengumpulan data
Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu dalam
menentukan status kesehatan dan pola pertahanan penderita , mengidentifikasikan,
kekuatan dan kebutuhan penderita yang dapt diperoleh melalui anamnese,
pemeriksaan fisik, pemerikasaan laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya.
1. Anamnese
a. Identitas penderita
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat,
status perkawinan, suku bangsa, nomor register, tanggal masuk rumah sakit
dan diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Adanya rasa kesemutan pada kaki / tungkai bawah, rasa raba yang menurun,
adanya luka yang tidak sembuh – sembuh dan berbau, adanya nyeri pada
luka.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Berisi tentang kapan terjadinya luka, penyebab terjadinya luka serta upaya
yang telah dilakukan oleh penderita untuk mengatasinya.
d. Riwayat kesehatan dahulu
Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit – penyakit lain yang ada
kaitannya dengan defisiensi insulin misalnya penyakit pankreas. Adanya
riwayat penyakit jantung, obesitas, maupun arterosklerosis, tindakan medis
yang pernah di dapat maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh
penderita.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Dari genogram keluarga biasanya terdapat salah satu anggota keluarga yang
juga menderita DM atau penyakit keturunan yang dapat menyebabkan
terjadinya defisiensi insulin misal hipertensi, jantung.
f. Riwayat psikososial
Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang dialami
penderita sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga terhadap
penyakit penderita.
2. Pemeriksaan fisik
a. Status kesehatan umum
Meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara, tinggi badan, berat
badan dan tanda – tanda vital.
b. Kepala dan leher
Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran pada leher, telinga
kadang-kadang berdenging, adakah gangguan pendengaran, lidah sering
terasa tebal, ludah menjadi lebih kental, gigi mudah goyah, gusi mudah
bengkak dan berdarah, apakah penglihatan kabur / ganda, diplopia, lensa mata
keruh.
c. Sistem integumen
Turgor kulit menurun, adanya luka atau warna kehitaman bekas luka,
kelembaban dan shu kulit di daerah sekitar ulkus dan gangren, kemerahan
pada kulit sekitar luka, tekstur rambut dan kuku.
d. Sistem pernafasan
Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada. Pada penderita DM mudah
terjadi infeksi.
e. Sistem kardiovaskuler
Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau berkurang,
takikardi/bradikardi, hipertensi/hipotensi, aritmia, kardiomegalis.
f. Sistem gastrointestinal
Terdapat polifagi, polidipsi, mual, muntah, diare, konstipasi, dehidrase,
perubahan berat badan, peningkatan lingkar abdomen, obesitas.
g. Sistem urinary
Poliuri, retensio urine, inkontinensia urine, rasa panas atau sakit saat
berkemih.
h. Sistem muskuloskeletal
Penyebaran lemak, penyebaran masa otot, perubahn tinggi badan, cepat lelah,
lemah dan nyeri, adanya gangren di ekstrimitas.
i. Sistem neurologis
Terjadi penurunan sensoris, parasthesia, anastesia, letargi, mengantuk, reflek
lambat, kacau mental, disorientasi.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah :
a. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah meliputi : GDS > 200 mg/dl, gula darah puasa >120 mg/dl
dan dua jam post prandial > 200 mg/dl.
b. Urine
Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine. Pemeriksaan dilakukan
dengan cara Benedict ( reduksi ). Hasil dapat dilihat melalui perubahan warna
pada urine : hijau ( + ), kuning ( ++ ), merah ( +++ ), dan merah bata ( +++
+ ).
c. Kultur pus
Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik yang sesuai
dengan jenis kuman.
b. Analisa Data
Data yang sudah terkumpul selanjutnya dikelompokan dan dilakukan analisa
serta sintesa data. Dalam mengelompokan data dibedakan atas data subyektif dan data
obyektif dan berpedoman pada teori Abraham Maslow yang terdiri dari :
1. Kebutuhan dasar atau fisiologis
2. Kebutuhan rasa aman
3. Kebutuhan cinta dan kasih sayang
4. Kebutuhan harga diri
5. Kebutuhan aktualisasi diri
Data yang telah dikelompokkan tadi di analisa sehingga dapat diambil
kesimpulan tentang masalah keperawatan dan kemungkinan penyebab, yang dapat
dirumuskan dalam bentuk diagnosa keperawatan meliputi aktual, potensial, dan
kemungkinan.
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon individu, keluarga atau
komunitas terhadap proses kehidupan/ masalah kesehatan. Aktual atau potensial dan kemungkinan
dan membutuhkan tindakan keperawatan untuk memecahkan masalah tersebut.
Adapun diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien gangren kaki diabetik adalah sebagai
berikut :
1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan melemahnya / menurunnya aliran darah
ke daerah gangren akibat adanya obstruksi pembuluh darah.
2. Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan adanya gangren pada ekstrimitas.
3. Gangguan rasa nyaman ( nyeri ) berhubungan dengan iskemik jaringan.
4. Keterbatasan mobilitas fisik berhubungan dengan rasa nyeri pada luka.
5. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
makanan yang kurang.
6. Potensial terjadinya penyebaran infeksi ( sepsis ) berhubungan dengan tingginya kadar
gula darah.
7. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya.
8. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi.
9. Gangguan gambaran diri berhubungan dengan perubahan bentuk salah satu anggota
tubuh.
10. Ganguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri pada luka di kaki.

3. Perencanaan
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan, maka intervensi dan aktivitas keperawatan
perlu ditetapkan untuk mengurangi, menghilangkan, dan mencegah masalah keperawatan penderita.
Tahapan ini disebut perencanaan keperawatan yang meliputi penentuan prioritas, diagnosa
keperawatan, menetapkan sasaran dan tujuan, menetapkan kriteria evaluasi dan merumuskan
intervensi dan aktivitas keperawatan.
a. Diagnosa no. 1
Gangguan perfusi berhubungan dengan melemahnya/menurunnya aliran darah ke
daerah gangren akibat adanya obstruksi pembuluh darah.
Tujuan : mempertahankan sirkulasi perifer tetap normal.
Kriteria Hasil : - Denyut nadi perifer teraba kuat dan reguler
- Warna kulit sekitar luka tidak pucat/sianosis
- Kulit sekitar luka teraba hangat.
- Oedema tidak terjadi dan luka tidak bertambah parah.
- Sensorik dan motorik membaik
Rencana tindakan :
1. Ajarkan pasien untuk melakukan mobilisasi
Rasional : dengan mobilisasi meningkatkan sirkulasi darah.
2. Ajarkan tentang faktor-faktor yang dapat meningkatkan aliran darah :
Tinggikan kaki sedikit lebih rendah dari jantung ( posisi elevasi pada waktu
istirahat ), hindari penyilangkan kaki, hindari balutan ketat, hindari penggunaan
bantal, di belakang lutut dan sebagainya.
Rasional : meningkatkan melancarkan aliran darah balik sehingga tidak terjadi
oedema.
3. Ajarkan tentang modifikasi faktor-faktor resiko berupa :
Hindari diet tinggi kolestrol, teknik relaksasi, menghentikan kebiasaan merokok,
dan penggunaan obat vasokontriksi.
Rasional : kolestrol tinggi dapat mempercepat terjadinya arterosklerosis, merokok
dapat menyebabkan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah, relaksasi untuk
mengurangi efek dari stres.
4. Kerja sama dengan tim kesehatan lain dalam pemberian vasodilator, pemeriksaan
gula darah secara rutin dan terapi oksigen ( HBO ).
Rasional : pemberian vasodilator akan meningkatkan dilatasi pembuluh darah
sehingga perfusi jaringan dapat diperbaiki, sedangkan pemeriksaan gula darah
secara rutin dapat mengetahui perkembangan dan keadaan pasien, HBO untuk
memperbaiki oksigenasi daerah ulkus/gangren.

b. Diagnosa no. 2
Ganguan integritas jaringan berhubungan dengan adanya gangren pada ekstrimitas.
Tujuan : Tercapainya proses penyembuhan luka.
Kriteria hasil : 1.Berkurangnya oedema sekitar luka.
2. pus dan jaringan berkurang
3. Adanya jaringan granulasi.
4. Bau busuk luka berkurang.
Rencana tindakan :
1. Kaji luas dan keadaan luka serta proses penyembuhan.
Rasional : Pengkajian yang tepat terhadap luka dan proses penyembuhan akan
membantu dalam menentukan tindakan selanjutnya.
2. Rawat luka dengan baik dan benar : membersihkan luka secara abseptik
menggunakan larutan yang tidak iritatif, angkat sisa balutan yang menempel pada
luka dan nekrotomi jaringan yang mati.
Rasional : merawat luka dengan teknik aseptik, dapat menjaga kontaminasi luka
dan larutan yang iritatif akan merusak jaringan granulasi tyang timbul, sisa
balutan jaringan nekrosis dapat menghambat proses granulasi.
3. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian insulin, pemeriksaan kultur pus
pemeriksaan gula darah pemberian anti biotik.
Rasional : insulin akan menurunkan kadar gula darah, pemeriksaan kultur pus
untuk mengetahui jenis kuman dan anti biotik yang tepat untuk pengobatan,
pemeriksaan kadar gula darahuntuk mengetahui perkembangan penyakit.

c. Diagnosa no. 3
Ganguan rasa nyaman ( nyeri ) berhubungan dengan iskemik jaringan.
Tujuan : rasa nyeri hilang/berkurang
Kriteria hasil : 1.Penderita secara verbal mengatakan nyeri berkurang/hilang .
2. Penderita dapat melakukan metode atau tindakan untuk
mengatasi atau mengurangi nyeri .
3. Pergerakan penderita bertambah luas.
4. Tidak ada keringat dingin, tanda vital dalam batas normal.
( S : 36 – 37,5 0C, N: 60 – 80 x /menit, T : 100 – 130
mmHg, RR : 18 – 20 x /menit ).
Rencana tindakan :
1. Kaji tingkat, frekuensi, dan reaksi nyeri yang dialami pasien.
Rasional : untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami pasien.
2. Jelaskan pada pasien tentang sebab-sebab timbulnya nyeri.
Rasional : pemahaman pasien tentang penyebab nyeri yang terjadi akan mengurangi
ketegangan pasien dan memudahkan pasien untuk diajak bekerjasama dalam
melakukan tindakan.
3. Ciptakan lingkungan yang tenang.
Rasional : Rangasanga yang berlebihan dari lingkungan akan memperberat rasa
nyeri.
4. Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi.
Rasional : Teknik distraksi dan relaksasi dapat mengurangi rasa nyeri yang
dirasakan pasien.
5. Atur posisi pasien senyaman mungkin sesuai keinginan pasien.
Rasional : Posisi yang nyaman akan membantu memberikan kesempatan pada otot
untuk relaksasi seoptimal mungkin.
6. Lakukan massage dan kompres luka dengan BWC saat rawat luka.
Rasional : massage dapat meningkatkan vaskulerisasi dan pengeluaran pus
sedangkan BWC sebagai desinfektan yang dapat memberikan rasa nyaman.
7. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik.
Rasional : Obat –obat analgesik dapat membantu mengurangi nyeri pasien.

d. Diagnosa no. 4
Keterbatasan mobilitas fisik berhubungan dengan rasa nyeri pada luka di kaki.
Tujuan : Pasien dapat mencapai tingkat kemampuan aktivitas yang optimal.
Kriteria Hasil : 1. Pergerakan paien bertambah luas
2. Pasien dapat melaksanakan aktivitas sesuai dengan kemampuan
( duduk, berdiri, berjalan ).
3. Rasa nyeri berkurang.
4. Pasien dapat memenuhi kebutuhan sendiri secara bertahap sesuai
dengan kemampuan.
Rencana tindakan :
1. Kaji dan identifikasi tingkat kekuatan otot pada kaki pasien.
Rasional : Untuk mengetahui derajat kekuatan otot-otot kaki pasien.
2. Beri penjelasan tentang pentingnya melakukan aktivitas untuk menjaga kadar gula
darah dalam keadaan normal.
Rasional : Pasien mengerti pentingnya aktivitas sehingga dapat kooperatif dalam
tindakan keperawatan.
3. Anjurkan pasien untuk menggerakkan/mengangkat ekstrimitas bawah sesui
kemampuan.
Rasional : Untuk melatih otot – otot kaki sehingg berfungsi dengan baik.
4. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhannya.
Rasional : Agar kebutuhan pasien tetap dapat terpenuhi.
5. Kerja sama dengan tim kesehatan lain : dokter ( pemberian analgesik ) dan tenaga
fisioterapi.
Rasional : Analgesik dapat membantu mengurangi rasa nyeri, fisioterapi untuk
melatih pasien melakukan aktivitas secara bertahap dan benar.

e. Diagnosa no. 5
Gangguan pemenuhan nutrisi ( kurang dari ) kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake makanan yang kurang.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi
Kriteria hasil : 1. Berat badan dan tinggi badan ideal.
2. Pasien mematuhi dietnya.
3. Kadar gula darah dalam batas normal.
4. Tidak ada tanda-tanda hiperglikemia/hipoglikemia.
Rencana Tindakan :
1. Kaji status nutrisi dan kebiasaan makan.
Rasional : Untuk mengetahui tentang keadaan dan kebutuhan nutrisi pasien
sehingga dapat diberikan tindakan dan pengaturan diet yang adekuat.
2. Anjurkan pasien untuk mematuhi diet yang telah diprogramkan.
Rasional : Kepatuhan terhadap diet dapat mencegah komplikasi terjadinya
hipoglikemia/hiperglikemia.
3. Timbang berat badan setiap seminggu sekali.
Rasional : Mengetahui perkembangan berat badan pasien ( berat badan merupakan
salah satu indikasi untuk menentukan diet ).
4. Identifikasi perubahan pola makan.
Rasional : Mengetahui apakah pasien telah melaksanakan program diet yang
ditetapkan.
5. Kerja sama dengan tim kesehatan lain untuk pemberian insulin dan diet diabetik.
Rasional : Pemberian insulin akan meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam
jaringan sehingga gula darah menurun,pemberian diet yang sesuai dapat
mempercepat penurunan gula darah dan mencegah komplikasi.

f. Diagnosa no. 6
Potensial terjadinya penyebaran infeksi ( sepsis) berhubungan dengan tinggi kadar
gula darah.
Tujuan : Tidak terjadi penyebaran infeksi (sepsis).
Kriteria Hasil : 1. Tanda-tanda infeksi tidak ada.
2. Tanda-tanda vital dalam batas normal ( S : 36 – 37,5 0C )
3. Keadaan luka baik dan kadar gula darah normal.
Rencana tindakan :
1. Kaji adanya tanda-tanda penyebaran infeksi pada luka.
Rasional : Pengkajian yang tepat tentang tanda-tanda penyebaran infeksi dapat
membantu menentukan tindakan selanjutnya.
2. Anjurkan kepada pasien dan keluarga untuk selalu menjaga kebersihan diri selama
perawatan.
Rasional : Kebersihan diri yang baik merupakan salah satu cara untuk mencegah
infeksi kuman.
3. Lakukan perawatan luka secara aseptik.
Rasional : untuk mencegah kontaminasi luka dan penyebaran infeksi.
4. Anjurkan pada pasien agar menaati diet, latihan fisik, pengobatan yang ditetapkan.
Rasional : Diet yang tepat, latihan fisik yang cukup dapat meningkatkan daya
tahan tubuh, pengobatan yang tepat, mempercepat penyembuhan sehingga
memperkecil kemungkinan terjadi penyebaran infeksi.
5. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antibiotika dan insulin.
Rasional : Antibiotika dapat menbunuh kuman, pemberian insulin akan
menurunkan kadar gula dalam darah sehingga proses penyembuhan.

g. Diagnosa no. 7
Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya.
Tujuan : rasa cemas berkurang/hilang.
Kriteria Hasil : 1. Pasien dapat mengidentifikasikan sebab kecemasan.
2. Emosi stabil., pasien tenang.
3. Istirahat cukup.
Rencana tindakan :
1. Kaji tingkat kecemasan yang dialami oleh pasien.
Rasional : Untuk menentukan tingkat kecemasan yang dialami pasien sehingga
perawat bisa memberikan intervensi yang cepat dan tepat.
2. Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan rasa cemasnya.
Rasional : Dapat meringankan beban pikiran pasien.
3. Gunakan komunikasi terapeutik.
Rasional : Agar terbina rasa saling percaya antar perawat-pasien sehingga pasien
kooperatif dalam tindakan keperawatan.
4. Beri informasi yang akurat tentang proses penyakit dan anjurkan pasien untuk ikut
serta dalam tindakan keperawatan.
Rasional : Informasi yang akurat tentang penyakitnya dan keikutsertaan pasien dalam
melakukan tindakan dapat mengurangi beban pikiran pasien.
5. Berikan keyakinan pada pasien bahwa perawat, dokter, dan tim kesehatan lain selalu
berusaha memberikan pertolongan yang terbaik dan seoptimal mungkin.
Rasional : Sikap positif dari timkesehatan akan membantu menurunkan kecemasan
yang dirasakan pasien.
6. Berikan kesempatan pada keluarga untuk mendampingi pasien secara bergantian.
Rasional : Pasien akan merasa lebih tenang bila ada anggota keluarga yang
menunggu.
7. Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman.
Rasional : lingkung yang tenang dan nyaman dapat membantu mengurangi rasa
cemas pasien.

h. Diagnosa no. 8
Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan, dan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan : Pasien memperoleh informasi yang jelas dan benar tentang penyakitnya.
Kriteria Hasil : 1. Pasien mengetahui tentang proses penyakit, diet, perawatan dan
pengobatannya dan dapat menjelaskan kembali bila ditanya.
2. Pasien dapat melakukan perawatan diri sendiri berdasarkan
pengetahuan yang diperoleh.
Rencana Tindakan :
1. Kaji tingkat pengetahuan pasien/keluarga tentang penyakit DM dan gangren.
Rasional : Untuk memberikan informasi pada pasien/keluarga, perawat perlu
mengetahui sejauh mana informasi atau pengetahuan yang diketahui
pasien/keluarga.
2. Kaji latar belakang pendidikan pasien.
Rasional : Agar perawat dapat memberikan penjelasan dengan menggunakan kata-
kata dan kalimat yang dapat dimengerti pasien sesuai tingkat pendidikan pasien.
3. Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan pada pasien
dengan bahasa dan kata-kata yang mudah dimengerti.
Rasional : Agar informasi dapat diterima dengan mudah dan tepat sehingga tidak
menimbulkan kesalahpahaman.
4. Jelasakan prosedur yang kan dilakukan, manfaatnya bagi pasien dan libatkan pasien
didalamnya.
Rasional : Dengan penjelasdan yang ada dan ikut secra langsung dalam tindakan
yang dilakukan, pasien akan lebih kooperatif dan cemasnya berkurang.
5. Gunakan gambar-gambar dalam memberikan penjelasan ( jika ada /
memungkinkan).
Rasional : gambar-gambar dapat membantu mengingat penjelasan yang telah
diberikan.

i. Diagnosa no. 9
Gangguan gambaran diri berhubungan dengan perubahan bentuk salah satu anggota
tubuh.
Tujuan : Pasien dapat menerima perubahan bentuk salah satu anggota tubuhnya secar
positif.
Kriteria Hasil : - Pasien mau berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan. Tanpa
rasa malu dan rendah diri.
- Pasien yakin akan kemampuan yang dimiliki.
Rencana tindakan :
1. Kaji perasaan/persepsi pasien tentang perubahan gambaran diri berhubungan dengan
keadaan anggota tubuhnya yang kurang berfungsi secara normal.
Rasional : Mengetahui adanya rasa negatif pasien terhadap dirinya.
2. Lakukan pendekatan dan bina hubungan saling percaya dengan pasien.
Rasional : Memudahkan dalm menggali permasalahan pasien.
3. Tunjukkan rasa empati, perhatian dan penerimaan pada pasien.
Rasional : Pasien akan merasa dirinya di hargai.
4. Bantu pasien untuk mengadakan hubungan dengan orang lain.
Rasional : dapat meningkatkan kemampuan dalam mengadakan hubungan dengan
orang lain dan menghilangkan perasaan terisolasi.
5. Beri kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan perasaan kehilangan.
Rasional : Untuk mendapatkan dukungan dalam proses berkabung yang normal.
6. Beri dorongan pasien untuk berpartisipasi dalam perawatan diri dan hargai
pemecahan masalah yang konstruktif dari pasien.
Rasional : Untuk meningkatkan perilaku yang adiktif dari pasien.

j. Diagnosa no.10
Gangguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri pada luka di kaki.
Tujuan : Gangguan pola tidur pasien akan teratasi.
Kriteria hasil : 1. Pasien mudah tidur dalam waktu 30 – 40 menit.
2. Pasien tenang dan wajah segar.
3. Pasien mengungkapkan dapat beristirahat dengan cukup.
Rencana tindakan :
1. Ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang.
Rasional : Lingkungan yang nyaman dapat membantu meningkatkan
tidur/istirahat.
2. Kaji tentang kebiasaan tidur pasien di rumah.
Rasional : mengetahui perubahan dari hal-hal yang merupakan kebiasaan pasien
ketika tidur akan mempengaruhi pola tidur pasien.
3. Kaji adanya faktor penyebab gangguan pola tidur yang lain seperti cemas, efek
obat-obatan dan suasana ramai.
Rasional : Mengetahui faktor penyebab gangguan pola tidur yang lain dialami dan
dirasakan pasien.
4. Anjurkan pasien untuk menggunakan pengantar tidur dan teknik relaksasi .
Rasional : Pengantar tidur akan memudahkan pasien dalam jatuh dalam tidur,
teknik relaksasi akan mengurangi ketegangan dan rasa nyeri.
5. Kaji tanda-tanda kurangnya pemenuhan kebutuhan tidur pasien.
Rasional : Untuk mengetahui terpenuhi atau tidaknya kebutuhan tidur pasien
akibat gangguan pola tidur sehingga dapat diambil tindakan yang tepat.

4. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah tahap pelaksananan terhadap rencana tindakan keperawatan yang
telah ditetapkan untuk perawat bersama pasien. Implementasi dilaksanakan sesuai dengan
rencana setelah dilakukan validasi, disamping itu juga dibutuhkan ketrampilan interpersonal,
intelektual, teknikal yang dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat
dengan selalu memperhatikan keamanan fisik dan psikologis. Setelah selesai implementasi,
dilakukan dokumentasi yang meliputi intervensi yang sudah dilakukan dan bagaimana
respon pasien.

5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatan evaluasi ini
adalah membandingkan hasil yang telah dicapai setelah implementasi keperawatan dengan
tujuan yang diharapkan dalam perencanaan.
Perawat mempunyai tiga alternatif dalam menentukan sejauh mana tujuan tercapai:
1. Berhasil : prilaku pasien sesuai pernyatan tujuan dalam waktu atau tanggal yang
ditetapkan di tujuan.
2. Tercapai sebagian : pasien menunujukan prilaku tetapi tidak sebaik yang ditentukan dalam
pernyataan tujuan.
3. Belum tercapai. : pasien tidak mampu sama sekali menunjukkan prilaku yang diharapakan
sesuai dengan pernyataan tujuan.
Diposkan oleh Agung di 18:33 0 komentar
Label: ASKEP
Askep Luka Bakar
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN LUKA BAKAR

Definisi
Luka bakar (combustio/burn) adalah cedera (injuri) sebagai akibat kontak langsung atau terpapar
dengan sumber-sumber panas (thermal), listrik (electrict), zat kimia (chemycal), atau radiasi
(radiation) .

Insiden
Perawatan luka bakar mengalami perbaikan/kemajuan dalam dekade terakhir ini, yang
mengakibatkan menurunnya angka kematian akibat luka bakar. Pusat-pusat perawatan luka bakar
telah tersedia cukup baik, dengan anggota team yang menangani luka bakar terdiri dari berbagai
disiplin yang saling bekerja sama untuk melakukan perawatan pada klien dan keluarganya.
Di Amerika kurang lebih 2 juta penduduknya memerlukan pertolongan medik setiap tahunnya untuk
injuri yang disebabkan karena luka bakar. 70.000 diantaranya dirawat di rumah sakit dengan injuri
yang berat.
Luka bakar merupakan penyebab kematian ketiga akibat kecelakaan pada semua kelompok umur.
Laki-laki cenderung lebih sering mengalami luka bakar dari pada wanita, terutama pada orang tua
atau lanjut usia ( diatas 70 th).

Etiologi
Luka bakar dikategorikan menurut mekanisme injurinya meliputi :

Luka Bakar Termal


Luka bakar thermal (panas) disebabkan oleh karena terpapar atau kontak dengan api, cairan panas
atau objek-objek panas lainnya.

Luka Bakar Kimia


Luka bakar chemical (kimia) disebabkan oleh kontaknya jaringan kulit dengan asam atau basa kuat.
Konsentrasi zat kimia, lamanya kontak dan banyaknya jaringan yang terpapar menentukan luasnya
injuri karena zat kimia ini. Luka bakar kimia dapat terjadi misalnya karena kontak dengan zat-zat
pembersih yang sering dipergunakan untuk keperluan rumah tangga dan berbagai zat kimia yang
digunakan dalam bidang industri, pertanian dan militer. Lebih dari 25.000 produk zat kimia
diketahui dapat menyebabkan luka bakar kimia.

Luka Bakar Elektrik


Luka bakar electric (listrik) disebabkan oleh panas yang digerakan dari energi listrik yang
dihantarkan melalui tubuh. Berat ringannya luka dipengaruhi oleh lamanya kontak, tingginya
voltage dan cara gelombang elektrik itu sampai mengenai tubuh.

Luka Bakar Radiasi


Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe injuri ini seringkali
berhubungan dengan penggunaan radiasi ion pada industri atau dari sumber radiasi untuk keperluan
terapeutik pada dunia kedokteran. Terbakar oleh sinar matahari akibat terpapar yang terlalu lama
juga merupakan salah satu tipe luka bakar radiasi.

Faktor Resiko
Data yang berhasil dikumpulkan oleh Natinal Burn Information Exchange menyatakan 75 % semua
kasus injuri luka bakar, terjadi didalam lingkungan rumah. Klien dengan usia lebih dari 70 tahun
beresiko tinggi untuk terjadinya luka bakar.

Efek Patofisiologi Luka Bakar


1. Pada Kulit
Perubahan patofisiologik yang terjadi pada kulit segera setelah luka bakar tergantung pada luas dan
ukuran luka bakar. Untuk luka bakar yang kecil (smaller burns), respon tubuh bersifat lokal yaitu
terbatas pada area yang mengalami injuri. Sedangkan pada luka bakar yang lebih luas misalnya 25
% dari total permukaan tubuh (TBSA : total body surface area) atau lebih besar, maka respon tubuh
terhadap injuri dapat bersifat sistemik dan sesuai dengan luasnya injuri. Injuri luka bakar yang luas
dapat mempengaruhi semua sistem utama dari tubuh, seperti :

2. Sistem kardiovaskuler
Segera setelah injuri luka bakar, dilepaskan substansi vasoaktif (catecholamine, histamin, serotonin,
leukotrienes, dan prostaglandin) dari jaringan yang mengalmi injuri. Substansi-substansi ini
menyebabkan meningkatnya permeabilitas kapiler sehingga plasma merembes (to seep) kedalam
sekitar jaringan. Injuri panas yang secara langsung mengenai pembuluh akan lebih meningkatkan
permeabilitas kapiler. Injuri yang langsung mengenai memberan sel menyebabkan sodium masuk
dan potassium keluar dari sel. Secara keseluruhan akan menimbulkan tingginya tekanan osmotik
yang menyebabkan meningkatnya cairan intracellular dan interstitial dan yang dalam keadaan lebih
lanjut menyebabkan kekurangan volume cairan intravaskuler. Luka bakar yang luas menyebabkan
edema tubuh general baik pada area yang mengalami luka maupun jaringan yang tidak mengalami
luka bakar dan terjadi penurunan sirkulasi volume darah intravaskuler. Denyut jantung meningkat
sebagai respon terhadap pelepasan catecholamine dan terjadinya hipovolemia relatif, yang
mengawali turunnya kardiac output. Kadar hematokrit meningkat yang menunjukan
hemokonsentrasi dari pengeluaran cairan intravaskuler. Disamping itu pengeluaran cairan secara
evaporasi melalui luka terjadi 4-20 kali lebih besar dari normal. Sedangkan pengeluaran cairan yang
normal pada orang dewasa dengan suhu tubuh normal perhari adalah 350 ml. (lihat tabel 1)
Tabel 1 : Rata-rata output cairan perhari untuk orang dewasa
Rute Jumlah (ml) pada suhu normal
Urin
Insensible losses:
• Paru
• Kulit
Keringat
Feces 1400
350
350
100
100
Total : 2300
Sumber : Adapted form A.C. Guyton, Textbook of medical physiology, 7th ed. (Philadelphia: WB.
Saunder Co., 1986) p. 383

Keadaan ini dapat mengakibatkan penurunan pada perfusi organ. Jika ruang intravaskuler tidak diisi
kembali dengan cairan intravena maka shock hipovolemik dan ancaman kematian bagi penderita
luka bakar yang luas dapat terjadi.
Kurang lebih 18-36 jam setelah luka bakar, permeabilitas kapiler menurun, tetapi tidak mencapai
keadaan normal sampai 2 atau 3 minggu setelah injuri. Kardiac outuput kembali normal dan
kemudian meningkat untuk memenuhi kebutuhan hipermetabolik tubuh kira-kira 24 jam setelah
luka bakar. Perubahan pada kardiak output ini terjadi sebelum kadar volume sirkulasi intravena
kembali menjadi normal. Pada awalnya terjadi kenaikan hematokrit yang kemudian menurun
sampai di bawah normal dalam 3-4 hari setelah luka bakar karena kehilangan sel darah merah dan
kerusakan yang terjadi pada waktu injuri. Tubuh kemudian mereabsorbsi cairan edema dan diuresis
cairan dalam 2-3 minggu berikutnya.
3. Sistem Renal dan Gastrointestinal
Respon tubuh pada mulanya adalah berkurangnya darah ke ginjal dan menurunnya GFR
(glomerular filtration rate), yang menyebabkan oliguri. Aliran darah menuju usus juga berkurang,
yang pada akhirnya dapat terjadi ileus intestinal dan disfungsi gastrointestia pada klien dengan luka
bakar yang lebih dari 25 %.
4. Sistem Imun
Fungsi sistem immune mengalami depresi. Depresi pada aktivitas lymphocyte, suatu penurunan
dalam produksi immunoglobulin, supresi aktivitas complement dan perubahan/gangguan pada
fungsi neutropil dan macrophage dapat terjadi pada klien yang mengalami luka bakar yang luas.
Perubahan-perubahan ini meningkatkan resiko terjadinya infeksi dan sepsis yang mengancam
kelangsungan hidup klien.

5. Sistem Respiratori
Dapat mengalami hipertensi arteri pulmoner, mengakibatkan penurunan kadar oksigen arteri dan
“lung compliance”.
a. Smoke Inhalation.
Menghisap asap dapat mengakibatkan injuri pulmoner yang seringkali berhubungan dengan injuri
akibat jilatan api. Kejadian injuri inhalasi ini diperkirakan lebih dari 30 % untuk injuri yang
diakibatkan oleh api.
Manifestasi klinik yang dapat diduga dari injuri inhalasi meliputi adanya LB yang mengenai wajah,
kemerahan dan pembengkakan pada oropharynx atau nasopharynx, rambut hidung yang gosong,
agitasi atau kecemasan, tachipnoe, kemerahan pada selaput hidung, stridor, wheezing, dyspnea,
suara serak, terdapat carbon dalam sputum, dan batuk. Bronchoscopy dan Scaning paru dapat
mengkonfirmasikan diagnosis.
Patofisiologi pulmoner yang dapat terjadi pada injuri inhalasi berkaitan dengan berat dan tipe asap
atau gas yang dihirup.
b. Keracunan Carbon Monoxide.
CO merupakan produk yang sering dihasilkan bila suatu substansi organik terbakar. Ia merupakan
gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, yang dapat mengikat hemoglobin 200 kali lebih
besar dari oksigen. Dengan terhirupnya CO, maka molekul oksigen digantikan dan CO secara
reversibel berikatan dengan hemoglobin sehingga membentuk carboxyhemoglobin (COHb).
Hipoksia jaringan dapat terjadi akibat penurunan secara menyeluruh pada kemampuan pengantaran
oksigen dalam darah. Kadar COHb dapat dengan mudah dimonitor melalui kadar serum darah.
Manifestasi dari keracunan CO adalah sbb (lihat tabel 2) :
Tabel 2 : Manifestasi klinik keracunan CO (Carbon Monoxida)
Kadar CO (%) Manifestasi Klinik
5 – 10
11 – 20
21 – 30
31 – 40
41 – 50
> 50 Gangguan tajam penglihatan
Nyeri kepala
Mual, gangguan ketangkasan
Muntah, dizines, sincope
Tachypnea, tachicardia
Coma, mati
Diambil dari Cioffi W.G., Rue L.W. (1991). Diagnosis and treatment of inhalation injuries. Critical
Care Clinics of North America, 3(2), 195.

Klasifikasi Beratnya Luka Bakar


1. Faktor yang mempengaruhi berat ringannya luka bakar
Beberapa faktor yang mempengaruhi berat-ringannya injuri luka bakar antara lain kedalaman luka
bakar, luas luka bakar, lokasi luka bakar, kesehatan umum, mekanisme injuri dan usia
Berikut ini akan dijelaskan sekilas tentang faktor-faktor tersebut di atas:
a. Kedalaman luka bakar
Kedalaman luka bakar dapat dibagi ke dalam 4 kategori (lihat tabel 3) yang didasarkan pada elemen
kulit yang rusak.

Tabel 3 : Kedalaman Luka Bakar


1. Superficial (derajat I), dengan ciri-ciri sbb:
• Hanya mengenai lapisan epidermis.
• Luka tampak pink cerah sampai merah (eritema ringan sampai berat).
• Kulit memucat bila ditekan.
• Edema minimal.
• Tidak ada blister.
• Kulit hangat/kering.
• Nyeri / hyperethetic
• Nyeri berkurang dengan pendinginan.
• Discomfort berakhir kira-kira dalam waktu 48 jam.
• Dapat sembuh spontan dalam 3-7 hari.

2. Partial thickness (derajat II), dengan ciri sbb.:


• Partial tihckness dikelompokan menjadi 2, yaitu superpicial partial thickness dan deep partial
thickness.
• Mengenai epidermis dan dermis.
• Luka tampak merah sampai pink
• Terbentuk blister
• Edema
• Nyeri
• Sensitif terhadap udara dingin
• Penyembuhan luka :
 Superficial partial thickness : 14 - 21 hari
 Deep partial thickness : 21 - 28 hari
(Namun demikian penyembuhannya bervariasi tergantung dari kedalaman dan ada tidaknya
infeksi).

3. Full thickness (derajat III)


• Mengenai semua lapisan kulit, lemak subcutan dan dapat juga mengenai permukaan otot, dan
persarafan dan pembuluh darah.
• Luka tampak bervariasi dari berwarna putih, merah sampai dengan coklat atau hitam.
• Tanpa ada blister.
• Permukaan luka kering dengan tektur kasar/keras.
• Edema.
• Sedikit nyeri atau bahkan tidak ada rasa nyeri.
• Tidak mungkin terjadi penyembuhan luka secara spontan.
• Memerlukan skin graft.
• Dapat terjadi scar hipertropik dan kontraktur jika tidak dilakukan tindakan preventif.

4. Fourth degree (derajat IV)


• Mengenai semua lapisan kulit, otot dan tulang.
b. Luas luka bakar
Terdapat beberapa metode untuk menentukan luas luka bakar meliputi (1) rule of nine, (2) Lund and
Browder, dan (3) hand palm. Ukuran luka bakar dapat ditentukan dengan menggunakan salah satu
dari metode tersebut. Ukuran luka bakar ditentukan dengan prosentase dari permukaan tubuh yang
terkena luka bakar. Akurasi dari perhitungan bervariasi menurut metode yang digunakan dan
pengalaman seseorang dalam menentukan luas luka bakar.
Metode rule of nine mulai diperkenalkan sejak tahun 1940-an sebagai suatu alat pengkajian yang
cepat untuk menentukan perkiraan ukuran / luas luka bakar. Dasar dari metode ini adalah bahwa
tubuh di bagi kedalam bagian-bagian anatomic, dimana setiap bagian mewakili 9 % kecuali daerah
genitalia 1 % (lihat gambar 1).
Pada metode Lund and Browder merupakan modifikasi dari persentasi bagian-bagian tubuh
menurut usia, yang dapat memberikan perhitungan yang lebih akurat tentang luas luka bakar (lihat
gambar 2 atau tabel 2).
Selain dari kedua metode tersebut di atas, dapat juga digunakan cara lainnya yaitu mengunakan
metode hand palm. Metode ini adalah cara menentukan luas atau persentasi luka bakar dengan
menggunakan telapak tangan. Satu telapak tangan mewakili 1 % dari permukaan tubuh yang
mengalami luka bakar.

c. Lokasi luka bakar (bagian tubuh yang terkena)


Berat ringannya luka bakar dipengaruhi pula oleh lokasi luka bakar. Luka bakar yang mengenai
kepala, leher dan dada seringkali berkaitan dengan komplikasi pulmoner. Luka bakar yang
menganai wajah seringkali menyebabkan abrasi kornea. Luka bakar yang mengenai lengan dan
persendian seringkali membutuhkan terapi fisik dan occupasi dan dapat menimbulkan implikasi
terhadap kehilangan waktu bekerja dan atau ketidakmampuan untuk bekerja secara permanen. Luka
bakar yang mengenai daerah perineal dapat terkontaminasi oleh urine atau feces. Sedangkan luka
bakar yang mengenai daerah torak dapat menyebabkan tidak adekwatnya ekspansi dinding dada dan
terjadinya insufisiensi pulmoner.

d. Kesehatan umum
Adanya kelemahan jantung, penyakit pulmoner, endocrin dan penyakit-penyakit ginjal, khususnya
diabetes, insufisiensi kardiopulmoner, alkoholisme dan gagal ginjal, harus diobservasi karena semua
itu akan mempengaruhi respon klien terhadap injuri dan penanganannya.
Angka kematian pada klien yang memiliki penyakit jantung adalah 3,5 - 4 kali lebih tinggi
dibandingkan klien luka bakar yang tidak menderita penyakit jantung. Demikian pula klien luka
bakar yang juga alkolism 3 kali lebih tinggi angka kematiannya dibandingkan klien luka bakar yang
nonalkoholism. Disamping itu juga klien alkoholism yang terkena luka bakar masa hidupnya akan
lebih lama berada di rumah sakit, artinya penderita luka bakar yang juga alkoholism akan lebih
lama hari rawatnya di rumah sakit.

e. Mekanisme injuri
Mekanisme injury merupakan faktor lain yang digunakan untuk menentukan berat ringannya luka
bakar. Secra umum luka bakar yang juga mengalami injuri inhalasi memerlukan perhatian khusus.
Pada luka bakar elektrik, panas yang dihantarkan melalui tubuh, mengakibatkan kerusakan jaringan
internal. Injury pada kulit mungkin tidak begitu berarti akan tetapi kerusakan otot dan jaringan
lunak lainnya dapat terjad lebih luas, khususnya bila injury elektrik dengan voltage tinggi. Oleh
karena itu voltage, tipe arus (direct atau alternating), tempat kontak, dan lamanya kontak adalah
sangat penting untuk diketahui dan diperhatikan karena dapat mempengaruhi morbiditi.
Alternating current (AC) lebih berbahaya dari pada direct current (DC). Ini seringkali berhubungan
dengan terjadinya kardiac arrest (henti jantung), fibrilasi ventrikel, kontraksi otot tetani, dan fraktur
kompresi tulang-tulang panjang atau vertebra.
Pada luka bakar karena zat kimia keracunan sistemik akibat absorbsi oleh kulit dapat terjadi.

f. Usia
Usia klien mempengaruhi berat ringannya luka bakar. Angka kematiannya (Mortality rate) cukup
tinggi pada anak yang berusia kurang dari 4 tahun, terutama pada kelompok usia 0-1 tahun dan
klien yang berusia di atas 65 th.
Tingginya statistik mortalitas dan morbiditas pada orang tua yang terkena luka bakar merupakan
akibat kombinasi dari berbagai gangguan fungsional (seperti lambatnya bereaksi, gangguan dalam
menilai, dan menurunnya kemampuan mobilitas), hidup sendiri, dan bahaya-bahaya lingkungan
lainnya. Disamping itu juga mereka lebih rentan terhadap injury luka bakar karena kulitnya menjadi
lebih tipis, dan terjadi athropi pada bagian-bagian kulit lain. Sehingga situasi seperti ketika mandi
dan memasak dapat menyebabkan terjadinya luka bakar.

2. Kategori berat luka bakar menurut ABA


Perkumpulan Luka Bakar America (American Burn Asociation/ABA) mempublikasikan petunjuk
tentang klasifikasi beratnya luka bakar. Perkumpulan itu mengklasifikasikan beratnya luka bakar ke
dalam 3 kategori, dengan petunjuknya seperti tampak dalam tabel berikut :

Tabel 4 : Petunjuk klasifikasi beratnya luka bakar menurut ABA


Luka Bakar Berat
• 25 % pada orang dewasa
• 25 % pada anak dengan usia kurang dari 10 tahun
• 20 % pada orang dewasa dengan usia lebih dari 40 tahun
• Luka mengenai wajah, mata, telinga, lengan, kaki, dan perineum yang
• mengakibatkan gangguan fungsional atau kosmetik atau menimbulkan disabiliti.
• LB karena listrik voltage tinggi
• Semua LB dengan yang disertai injuri inhalasi atau truma yang berat.

Luka Bakar Sedang


• 15-25 % mengenai orang dewasa
• 10-20 % pada anak usia kurang dari 10 tahun
• 10-20 % pada orang dewasa usia lebih dari 40 tahun
• <>

Luka Bakar Ringan


• <>
• <> 10 th
• <> 40 th
• Tidak ada resiko gangguan kosmetik atau fungsional atau disabiliti.
Dari American Burn Association. (1984). Guidelines for service standars and severity classification
in the treatment of burn injury. Bulletin of the American College of Surgeons, 69(10), 24-28.

Management
Berbagai macam respon sistem organ yang terjadi setelah mengalami luka bakar menuntut perlunya
pendekatan antar disiplin. Perawat bertanggung jawab untuk mengembangkan rencana perawatan
yang didasarkan pada pengkajian data yang merefleksikan kebutuhan fisik dan psikososial klien dan
keluarga atau orang lain yang dianggap penting.
Diagnosa keperawatan, tujuan dan intervensinya dapat dilihat pada rencana perawatan di halaman
lainnya. Secara klinis klien luka bakar dapat dibagi kedalam 3 fase, yaitu : 1) Fase emergent dan
resusitasi 2) Fase acut dan 3) Fase Rehabilitasi. Berikut ini akan diuraikan sekilas tentang fase tsb.:
1. Fase Emergent (Resusitasi)
Fase emergensi dimulai pada saat terjadinya injury dan diakhiri dengan membaiknya permeabilitas
kapiler, yang biasanya terjadi pada 48-72 jam setelah injury. Tujuan utama pemulihan selama fase
ini adalah untuk mencegah shock hipovolemik dan memelihara fungsi dari organ vital. Yang
termasuk ke dalam fase emergensi adalah (a) perawatan sebelum di rumah sakit, (b) penanganan di
bagian emergensi dan (c) periode resusitasi. Hal tersebut akan dibahas berikut ini :
a. Perawatan sebelum di rumah sakit (pre-hospital care)
Perawatan sebelum klien dibawa ke rumah sakit dimulai pada tempat kejadian luka bakar dan
berakhir ketika sampai di institusi pelayanan emergensi. Pre-hospital care dimulai dengan
memindahkan/menghindarkan klien dari sumber penyebab LB dan atau menghilangkan sumber
panas (lihat tabel).

Tabel 5 : Petunjuk perawatan klien luka bakar sebelum di rumah sakit


1. Jauhkan penderita dari sumber LB
• Padamkan pakaian yang terbakar
• Hilangkan zat kimia penyebab LB
• Siram dengan air sebanyak-banyaknya bila karena zat kimia
• Matikan listrik atau buang sumber listrik dengan menggunakan objek yang kering dan tidak
menghantarkan arus (nonconductive)
2. Kaji ABC (airway, breathing, circulation):
• Perhatikan jalan nafas (airway)
• Pastikan pernafasan (breathibg) adekwat
• Kaji sirkulasi
3. Kaji trauma yang lain
4. Pertahankan panas tubuh
5. Perhatikan kebutuhan untuk pemberian cairan intravena
6. Transportasi (segera kirim klien ka rumah sakit)
Diambil dari Trunkey, D.D. (1983). Transporting the critically burned patient. In T.L. Wachtel, et al.
(Eds): Current Topics In Burn Care, Rockville, MD: Aspen Publications.

b. Penanganan dibagian emergensi


Perawatan di bagian emergensi merupakan kelanjutan dari tindakan yang telah diberikan pada
waktu kejadian. Jika pengkajian dan atau penanganan yang dilakukan tidak adekuat, maka pre
hospital care di berikan di bagian emergensi. Penanganan luka (debridemen dan pembalutan)
tidaklah diutamakan bila ada masalah-masalah lain yang mengancam kehidupan klien, maka
masalah inilah yang harus diutamakan
(1) Penanganan Luka Bakar Ringan
Perawatan klien dengan LB ringan seringkali diberikan dengan pasien rawat jalan. Dalam membuat
keputusan apakah klien dapat dipulangkan atau tidak adalah dengan memperhatiakn antara lain 1)
kemampuan klien untuk dapat menjalankan atau mengikuti intruksi-instruksi dan kemampuan
dalam melakukan perawatan secara mandiri (self care), 2) lingkungan rumah. Apabila klien mampu
mengikuti instruksi dan perawatan diri serta lingkungan di rumah mendukung terjadinya pemulihan
maka klien dapat dipulangkan.
Perawatan di bagian emergensi terhadap luka bakar minor meliputi : menagemen nyeri, profilaksis
tetanus, perawatan luka tahap awal dan pendidikan kesehatan.
a) Managemen nyeri
Managemen nyeri seringkali dilakukan dengan pemberian dosis ringan morphine atau meperidine
dibagian emergensi. Sedangkan analgetik oral diberikan untuk digunakan oleh pasien rawat jalan.
b) Profilaksis tetanus
Petunjuk untuk pemberian profilaksis tetanus adalah sama pada penderita LB baik yang ringan
maupun tipe injuri lainnya. Pada klien yang pernah mendapat imunisasi tetanus tetapi tidak dalam
waktu 5 tahun terakhir dapat diberikan boster tetanus toxoid. Untuk klien yang tidak diimunisasi
dengan tetanus human immune globulin dan karenanya harus diberikan tetanus toxoid yang pertama
dari serangkaian pemberian imunisasi aktif dengan tetanus toxoid.
c) Perawatan luka awal
Perawatan luka untuk LB ringan terdiri dari membersihkan luka (cleansing) yaitu debridemen
jaringan yang mati; membuang zat-zat yang merusak (zat kimia, tar, dll); dan
pemberian/penggunaan krim atau salep antimikroba topikal dan balutan secara steril. Selain itu juga
perawat bertanggung jawab memberikan pendidikan tentang perawatan luka di rumah dan
manifestasi klinis dari infeksi agar klien dapat segera mencari pertolongan. Pendidikan lain yang
diperlukan adalah tentang pentingnya melakukan latihan ROM (range of motion) secara aktif untuk
mempertahankan fungsi sendi agar tetap normal dan untuk menurunkan pembentukan edema dan
kemungkinan terbentuknya scar. Dan perlunya evaluasi atau penanganan follow up juga harus
dibicarakan dengan klien pada waktu itu.
d) Pendidikan / penyuluhan kesehatan
Pendidikan tentang perawatan luka, pengobatan, komplikasi, pencegahan komplikasi, diet, berbagai
fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat yang dapat di kunjungi jika memmerlukan bantuan dan
informasi lain yang relevan perlu dilakukan agar klien dapat menolong dirinya sendiri.
(2) Penanganan Luka Bakar Berat.
Untuk klien dengan luka yang luas, maka penanganan pada bagian emergensi akan meliputi
reevaluasi ABC (jalan nafas, kondisi pernafasan, sirkulasi ) dan trauma lain yang mungkin terjadi;
resusitasi cairan (penggantian cairan yang hilang); pemasangan kateter urine; pemasangan
nasogastric tube (NGT); pemeriksaan vital signs dan laboratorium; management nyeri; propilaksis
tetanus; pengumpulan data; dan perawatan luka.
Berikut adalah penjelasan dari tiap-tiap penanganan tersebut, yakni sebagai berikut.
a) Reevaluasi jalan nafas, kondisi pernafasan, sirkulasi dan trauma lain yang mungkin terjadi.
Menilai kembali keadaan jalan nafas, kondisi pernafasan, dan sirkulasi unutk lebih memastikan ada
tidaknya kegawatan dan untuk memastikan penanganan secara dini. Selain itu melakukan
pengkajian ada tidaknya trauma lain yang menyertai cedera luka bakar seperti patah tulang, adanya
perdarahan dan lain-lain perlu dilakukan agar dapat dengan segera diketahui dan ditangani.
b) Resusitasi cairan (penggantian cairan yang hilang)
Bagi klien dewasa dengan luka bakar lebih dari 15 %, maka resusitasi cairan intravena umumnya
diperlukan. Pemberian intravena perifer dapat diberikan melaui kulit yang tidak terbakar pada
bagian proximal dari ekstremitas yang terbakar. Sedangkan untuk klien yang mengalami luka bakar
yang cukup luas atau pada klien dimana tempat-tempat untuk pemberian intravena perifer terbatas,
maka dengan pemasangan kanul (cannulation) pada vena central (seperti subclavian, jugular
internal atau eksternal, atau femoral) oleh dokter mungkin diperlukan.
Luas atau persentasi luka bakar harus ditentukan dan kemudian dilanjutkan dengan resusitasi cairan.
Resusitasi cairan dapat menggunakan berbagai formula yang telah dikembangkan seperti pada tabel
6 tentang formula resusitasi cairan berikut.

Tabel 6 : Formula resusitasi cairan yang digunakan dalam perawatan luka bakar
24 jam pertama 24 jam kedua
Formula Elektrolit Koloid Dextros Elektrolit Koloid Dextros
Evans Normal saline
1 ml/kg/% 1 ml/kg/% 2000 ml 0,5 kebutuhan 24 jam I 0,5 kebutuhan 24 jam I 2000 ml
Brooke RL
1,5 ml/kg/% 0,5 ml/kg/% 2000 ml 0,5-0,75 kebutuh-an 24 jam I 0,5-0,75 kebutuh-
an 24 jam I 2000 ml
Modifi-kasi Brooke RL
2 ml/kg/% 0,3-0,5 ml/kg/%
Parkland RL
4 ml/kg/% 0,3-0,5 ml/kg/% 2000 ml
Diambil dari Rue, L.W. & Cioffi, W.G. (1991). Resuscitation of thermally injured patients. Critical
Care Nursing Clinics of North America, 3(2),185; and Wachtel & Fortune (1983), Fluid
resuscitation for burn shock. In T.L. Wachtel et al (Eds.), Current topic in burn care (p. 44).
Rockville,MD: Aspen Publisher, Inc.

Periode resuscitasi dimulai dengan tindakan resusitasi cairan dan diakhiri bila integritas kapiler
kembali mendekati keadaan normal dan perpindahan cairan yang banyak mengalami penurunan.
Resusitasi cairan dimulai untuk meminimalkan efek yang merusak dari perpindahan cairan. Tujuan
resuscitasi cairan adalah untuk mempertahankan ferfusi organ vital serta menghindari komlikasi
terapi yang tidak adekuat atau berlebihan. Terdapat beberapa formula yang digunakan untuk
menghitung kebutuhan cairan seperti tampak dalam tabel diatas.
Banyaknya/jumlah cairan yang pasti didasarkan pada berat badan klien dan luasnya injury luka
bakar. Faktor lain yang menjadi pertimbangan meliputi adalah adanya inhalasi injuri, keterlambatan
resusitasi awal, atau kerusakan jaringan yang lebih dalam. Faktor-faktor ini cenderung
meningkatkan jumlah/banyaknya cairan intravena yang dibutuhkan untuk resusitasi adekuat di atas
jumlah yang telah dihitung. Dengan pengecualian pada formula Evan dan Brooke, cairan yang
mengandung colloid tidak diberikan selama periode ini karena perubahan-perubahan pada
permeabilitas kapiler yang menyebabkan kebocoran cairan yang banyak mengandung protein
kedalam ruang interstitial, sehingga meningkatkan pembentukan edema. Selama 24 jam kedua
setelah luka bakar, larutan yang mengandung colloid dapat diberikan, dengan dextrose 5% dan air
dalam jumlah yang bervariasi.
Sangat penting untuk diingat bahwa senmua formula resusitasi yang ada hanyalah sebagai alat
bantu dan harus disesuaikan dengan respon fisiologis klien. Keberhasilan atau keadekuatan
resusitasi cairan pada orang dewasa ditandai dengan stabilnya vital signs, adekuatnya output urine,
dan nadi perifer yang dapat diraba.
c) Pemasangan kateter urine
Pemasangan kateter harus dilakukan untuk mengukur produksi urine setiap jam. Output urine
merupakan indikator yang reliable untuk menentukan keadekuatan dari resusitasi cairan.
d) Pemasangan nasogastric tube (NGT)
Pemasangan NGT bagi klien LB 20 % -25 % atau lebih perlu dilakukan untuk mencegah emesis
dan mengurangi resiko terjadinya aspirasi. Disfungsi ganstrointestinal akibat dari ileus dapat terjadi
umumnya pada klien tahap dini setelah luka bakar. Oleh karena itu semua pemberian cairan melalui
oral harus dibatasi pada waktu itu.
e) Pemeriksaan vital signs dan laboratorium
Vital signs merupakan informasi yang penting sebagai data tambahan untuk menentukan adekuat
tidaknya resuscitasi.
Pemeriksaan laboratorium dasar akan meliputi pemeriksaan gula darah, BUN (blood ures nitrogen),
creatini, elektrolit serum, dan kadar hematokrit. Kadar gas darah arteri (analisa gas darah), COHb
juga harus diperiksa, khususnya jika terdapat injuri inhalasi. Tes-tes laboratorium lainnya adalah
pemeriksaan x-ray untuk mengetahui adanya fraktur atau trauma lainnya mungkin perlu dilakukan
jika dibutuhkan. Monitoring EKG terus menerus haruslah dilakukan pada semua klien dengan LB
berat, khususnya jika disebabkan oleh karena listrik dengan voltase tinggi, atau pada klien yang
mempunyai riwayat iskemia jantung atau dysrhythmia.
f) Management nyeri
Penanganan nyeri dapat dicapai melalui pemberian obat narcotik intravena, seperti morphine.
Pemberian melalui intramuskuler atai subcutan tidak dianjurkan karena absorbsi dari jaringan lunak
tidak cukup baik selama periode ini bila hipovolemia dan perpindhan cairan yang banyak masih
terjadi. Demikian juga pemberian obat-obatan untuk mengatasi secara oral tidak dianjurkan karena
adanya disfungsi gastrointestial.
g) Propilaksis tetanus
Propilaksis tetanus pada klien LB adalah sama, baik pada luka bakar berat maupun luka bakar yang
ringan.
h) Pengumpulan data
Pengumpulan data merupakan tanggung jawab yang sangat penting bagi team yang berada di ruang
emergensi. Kepada klien atau yang lainnya perlu ditanyakan tentang kejadian kecelakaan LB
tersebut. Informasi yang diperlukan meliputi waktu injuri, tingkat kesadaran pada waktu kejadian,
apakah ketika injuri terjadi klien berada di ruang tertutup atau terbuka, adakah truma lainya, dan
bagaimana mekanisme injurinya. Jika klien terbakar karena zat kimia, tanyak tentang zat kimia apa
yang menjadi penyebabnya, konsentrasinya, lamanya terpapar dan apakah dilakuak irigari segera
setelah injuri. Sedangkan jika klien menderita LB karena elektrik, maka perlu ditanyakan tentang
sumbernya, tipe arus dan voltagenya yang dapat digunakan untuk menentukan luasnya injuri.
Informasi lain yang diperlukan adalah tentang riwayat kesehatan klien masa lalu seperti kesehatan
umum klien. Informasi yang lebih khusus adalah berkaitan dengan penyakit-penyakit jantung,
pulmoner, endokrin dan penyakit ginjal karena itu semua mempunyai implikasi terhadap treatment.
Disamping itu perlu pula diketahui tentang riwayat alergi klien, baik terhadap obat maupun yang
lainnya.
i) Perawatan luka
Luka yang mengenai sekeliling ekstremitas dan torak dapat mengganggu sirkulasi dan respirasi,
oleh karena itu harus mendapat perhatian. Komplikasi ini lebih mudah terjadi selama resusitasi, bila
cairan berpindah ke dalam jaringan interstitial berada pada puncaknya. Pada LB yang mengenai
sekeliling ekstremitas, maka meninggikan bagian ekstremitas diatas jantung akan membantu
menurunkan edema dependen; walaupun demikian gangguan sirkulasi masih dapat terjadi. Oleh
karena pengkajian yang sering terhadap perfusi ekstremitas bagian distal sangatlah penting untuk
dilakukan.
Escharotomy merupakan tindakan yang tepat untuk masalah gangguan sirkulasi karena LB yang
melingkari bagian tubuh. Seorang dokter melaukan insisi terhadap eschar yang akan
mengurangi/menghilangkan konstriksi sirkulasi. Umumnya dilakukan ditempat tidur klien dan
tanpa menggunakan anaetesi karena eschar tidak berdarah dan tidak nyeri. Namun jaringan yang
masih hidup dibawah luka dapat berdarah. Jika perfusi jaringan adekuat tidak berhasil, maka dapat
dilakukan fasciotomy. Prosedur ini adalah menginsisi fascia, yang dilakukan di ruang operasi
dengan menggunakan anestesi.
Demikian juga, escharotomy dapat dilakukan pada luka bakar yang mengenai torak untuk
memperbaiki ventilasi. Setelah dilakukan tindakan escharotomy, maka perawat perlu melakukan
monitoring terhadap perbaikan ventilasi.

Perawatan luka dibagian emergensi terdiri-dari penutupan luka dengan sprei kering, bersih dan baju
hangat untuk memelihara panas tubuh. Klien dengan luka bakar yang mengenai kepala dan wajah
diletakan pada posisi kepala elevasi dan semua ekstremitas yang terbakar dengan menggunakan
bantal sampai diatas permukaan jantung. Tindakan ini dapat membantu menurunkan pembentukan
edema dependent. Untuk LB ringan kompres dingin dan steril dapat mengatasi nyeri. Kemudian
dibawa menuju fasilitas kesehatan.

2. Fase Akut
Fase akut dimulai ketika pasien secara hemodinamik telah stabil, permeabilitas kapiler membaik
dan diuresis telah mulai. Fase ini umumnya dianggap terjadi pada 48-72 jam setelah injuri.
Fokus management bagi klien pada fase akut adalah sebagai berikut : mengatasi infeksi, perawatan
luka, penutupan luka, nutrisi, managemen nyeri, dan terapi fisik.
a. Mengatasi infeksi
Sumber-sumber infeksi pada klien dengan luka bakar meliputi autocontaminasi dari:
• Oropharynx
• Fecal flora
• Kulit yg tidak terbakar dan
• Kontaminasi silang dari staf
• Kontaminasi silang dari pengunjung
• Kontaminasi silang dari udara
Kegiatan khusus untuk mengatasi infeksi dan tehnik isolasi harus dilakukan pada semua pusat-pusat
perawatan LB. Kegiatan ini berbeda dan meliputi penggunaan sarung tangan, tutp kepala, masker,
penutup kaki, dan pakaian plastik. Membersihkan tangan yang baik harus ditekankan untuk
menurunkan insiden kontaminasi silang diantara klien. Staf dan pengunjung umumnya dicegah
kontak dengan klien jika ia menderita infeksi baik pada kulit, gastrointestinal atau infeksi saluran
nafas.
b. Perawatan luka
Perawatan luka diarahkan untuk meningkatkan penyembuhan luka. Perawatan luka sehari-hari
meliputi membersihkan luka, debridemen, dan pembalutan luka.
1) Hidroterapi
Membersihkan luka dapat dilakukan dengan cara hidroterapi. Hidroterapi ini terdiri dari merendam
(immersion) dan dengan shower (spray). Tindakan ini dilakukan selama 30 menit atau kurang untuk
klien dengan LB acut. Jika terlalu lama dapat meningkatkan pengeluaran sodium (karena air adalah
hipotonik) melalui luka, pengeluaran panas, nyeri dan stress. Selama hidroterapi, luka dibersihkan
secara perlahan dan atau hati-hati dengan menggunakan berbagai macam larutan seperti sodium
hipochloride, providon iodine dan chlorohexidine. Perawatan haruslah mempertahankan agar
seminimal mungkin terjadinya pendarahan dan untuk mempertahankan temperatur selama prosedur
ini dilakukan. Klien yang tidak dianjurkan untuk dilakukan hidroterapi umumnya adalah mereka
yang secara hemodinamik tidak stabil dan yang baru dilakukan skin graft. Jika hidroterapi tidak
dilakukan, maka luka dapat dibersihkan dan dibilas di atas tempat tidur klien dan ditambahkan
dengan penggunaan zat antimikroba.
2) Debridemen
Debridemen luka meliputi pengangkatan eschar. Tindakan ini dilakukan untuk meningkatkan
penyembuhan luka melalui pencegahan proliferasi bakteri di bagian bawah eschar. Debridemen luka
pada LB meliputi debridemen secara mekanik, debridemen enzymatic, dan dengan tindakan
pembedahan.
a) Debridemen mekanik
Debridemen mekanik yaitu dilakukan secara hati-hati dengan menggunakan gunting dan forcep
untuk memotong dan mengangkat eschar. Penggantian balutan merupakan cara lain yang juga
efektif dari tindakan debridemen mekanik. Tindakan ini dapat dilakukan dengan cara menggunakan
balutan basah ke kering (wet-to-dry) dan pembalutan kering kepada balutan kering (wet-to-wet).
Debridemen mekanik pada LB dapat menimbulkan rasa nyeri yang hebat, oleh karena itu perlu
terlebih dahulu dilakukan tindakan untuk mengatasi nyeri yang lebih efektif.
b) Debridemen enzymatic
Debridemen enzymatik merupakan debridemen dengan menggunakan preparat enzym topical
proteolitik dan fibrinolitik. Produk-produk ini secara selektif mencerna jaringan yang necrotik, dan
mempermudah pengangkatan eschar. Produk-prduk ini memerlukan lingkungan yang basah agar
menjadi lebih efektif dan digunakan secara langsung terhadap luka. Nyeri dan perdarahan
merupakan masalah utama dengan penanganan ini dan harus dikaji secara terus-menerus selama
treatment dilakukan.
c) Debridemen pembedahan
Debridemen pembedahan luka meliputi eksisi jaringan devitalis (mati). Terdapat 2 tehnik yang
dapat digunakan : Tangential Excision dan Fascial Excision. Pada tangential exccision adalah
dengan mencukur atau menyayat lapisan eschar yang sangat tipis sampai terlihat jaringan yang
masih hidup. sedangkan fascial excision adlaah mengangkat jaringan luka dan lemak sampai fascia.
Tehnik ini seringkali digunakan untuk LB yang sangat dalam.
3) Balutan
a) Penggunaan penutup luka khusus
Luka bakar yang dalam atau full thickness pada awalnya dilakukan dengan menggunakan zat/obat
antimikroba topikal. Obat ini digunakan 1 - 2 kali setelah pembersihan, debridemen dan inspeksi
luka. Perawat perlu melakukan kajian terhadap adanya eschar, granulasi jaringan atau adanya
reepitelisasi dan adanya tanda-tanda infeksi. Umumnya obat-obat antimikroba yang sering
digunakan tampak pada tabel dibawah. Tidak ada satu obat yang digunakan secara umum, oleh
karena itu dibeberapa pusat pelayanan luka bakar ada yang memilih krim silfer sulfadiazine sebagai
pengobatan topikal awal untuk luka bakar.

Tabel Obat-Obatan Antimokroba Topical Yang Digunakan Pada Luka Bakar (Luckmann, Sorensen,
1993:2004)
Obat Spektrum Antimikroba Penggunaan Efek Samping Perawatan
Krim Silver Sulfadia-zine 1%
Mafenide acetate
Larutan Mafenide acetate 5%
Silver nitrate 5% Spektrum luas, termasuk jamur
Spektrum luas, Mempunyai aktivitas terhadap jamur meskipun sedikit.
Spektrum luas
Spektrum luas 2x/hari,tebal 1/16 inci.
Tak usah dibalut.
2x/hari,1/16 inci.
Tdk usah dibalut.
Balutan tipis diperlukan dan dibasahi dengan- larutan untuk luka
Balutan yang tebal diperlukan dan dibasahi dg larutan untuk luka Leukopenia setelah 2-3 hari
pamakaian.
Ruam pada otot
Hyperchloremic metabolisme acidosis dari diuresis bicarbonat karena hambatan anhydrase
carbonic.
Menimbulkan rasa nyeri.
Pruritus.
Ruam pada kulit
Kolonisasi jamur.
Hyponatremia
Hypochloremia
Hypokalemia
Hypocalcemia Kaji efek samping.
Kaji keadekuatan managemen nyeri. Jika nyeri dan rasa tak nyaman berlanjut, maka perlu
dipertimbangkan penggunaan topikal lainnya.
Gunakan secara hati-hati pada klien dengan gagal ginjal.
Kaji efek samping
Kaji keadekuatan managemen nyeri.
Cek serum elektrolit setiap hari.
Penetrasi terhadap eschar buruk.

b) Metode terbuka dan tertutup


Luka pada LB dapat ditreatmen dengan menggunakan metode/tehnik belutan baik terbuka maupun
tertutup. Untuk metode terbuka digunakan/dioleskan cream antimikroba secara merata dan
dibiarkan terbuka terhadap udara tanpa dibalut. Cream tersebut dapat diulang penggunaannya sesuai
kebutuhan, yaitu setiap 12 jam sesuai dengan aktivitas obat tersebut. kelebihan dari metode ini
adalah bahwa luka dapat lebih mudah diobservasi, memudahkan mobilitas dan ROM sendi, dan
perawatan luka menjadi lebih sederhana/mudah. Sedangkan kelemahan dari metode ini adalah
meningkatnya kemungkinan terjadinya hipotermia, dan efeknya psikologis pada klien karena
seringnya dilihat.
Pada perawatan luka dengan metode tertutup, memerlukan bermacam-macam tipe balutan yang
digunakan. Balutan disiapkan untuk digunakan sebagai penutup pada cream yang digunakan. Dalam
menggunakan balutan hendaknya hati-hati dimulai dari bagian distal kearah proximal untuk
menjamin agar sirkulasi tidak terganggu. Keuntungan dari metode ini adalah mengurangi evavorasi
cairan dan kehilangan panas dari permukaan luka , balutan juga membantu dalam debridemen.
Sedangkan kerugiannya adalah membatasi mobilitas menurunkan kemungkinan efektifitas exercise
ROM. Pemeriksaan luka juga menjadi terbatas, karena hanya dapat dilakukan jika sedang
mengganti balutan saja.

c. Penutupan luka
1) Penutupan Luka Sementara
Penutupan luka sementara sering digunakan sebagai pembalut luka. Pada tabel dibawah
diperlihatkan berbagai macam penutup luka baik yang biologis, biosintetis, dan sintetis yang telah
tersedia. Setiap produk penutup luka tersebut mempunyai indikasi khusus. Karakteristik luka
(kedalamannya, banyaknya eksudat, lokasi luka pada tubuh dan fase penyembuhan/pemulihan) serta
tujuan tindakan/pengobatan perlu dipertimbangkan bila akan memilih penutup luka yang lebih
tepat.
Tabel : Penutup Luka Sementara yang digunakan pada Luka Bakar
Categori/Contoh Penjelasan Indikasi Perhatian Perawatan
Biologic
Amnion
Allograft
homograft
Xenograft
heterograft Membran amnion yang dibuat dari placenta manusia
Diambil dari kulit manusia yang telah meninggal dunia dalam 24 jam setelah kematiannya. Untuk
melindungi luka bakar partial thickness
Untuk melindungi granulasi jaringan.
Untuk membersihkan exudat luka
Untuk menutupi eksisi luka dan untuk menguji daya penerimaan terhadap penggunaan aoutograft
Untuk meningkatkan penyembuhan luka bersih dan luka superficial-partial thickness Penutup luka
diganti setiap 48 jam dengan amnion.
Observasi eksudat luka dan tanda-tanda infeksi yang mungkin menunjukan adanya infeksi pada
allograft/xenograft
Xenograft diatas jaringan granulasi diganti setiap 2-5 hari.
Untuk luka superficial, pastikan luka selalu bersih.
Lanjutan
Categori/Contoh Penjelasan Indikasi Perhatian Perawatan
Biosintetis
Biobrane (Winthrop Pharmaceutical , New York City)
Integra (Marion-Merrel Dow, Inc., Kansas City) Benang nylon samapai membran karet silikon yang
mengandung colagen Balutan tempat donor
Meningkatkan penyembuhan luka superficial-partial thiskness bersih.
Untuk digunakan terhadap eksisi luka. Keamanan sekitar kulit yang menggunakan sutura, staples,
dan sutura dan kemudian dibungkus dengan pembalut. Pembalut bagia luar ini dapat
diangkat/diganti dalam 48 jam untuk mengecek/ mengetahui menempelnya Biobrane. Bila telah
menempel/menyambung maka sutura, staples dapat diangkat. Dan biarkan biobrane terekpose
dengan udara
Tempat donor baru dan penyembuhan tempat donor pada kaki memerlukan penyokong selama
ambulasi
Kaji tanda-tanda infeksi dan bagian perifer luka.
i
2) Pencangkokan kulit
Pencangkokan kulit yang berasal dari bagian kulit yang utuh dari penderita itu sendiri (autografting)
adalah pembedahan dengan mengangkat lapisan kulit tipis yang masih utuh dan kemudian
digunakan pada luka bakar yang telah dieksisi. Prosedur ini dilakukan di ruang operasi dengan
pemberian anaetesi.
Perawatan post operasi autograft meliputi: mengkaji perdarahan dari tempat donor; memperbaiki
posisi dan immobilisasi tempat donor; perawatan tempat donor; perawatan khusus autograft (seperti
: cultur epitel autograft)
a) Menkaji Perdarahan
Perdarahan pada autograft dapat menghalangi / mencegah / mengganggu keberhasilan
menempelnya kulit yang dicangkok (graft) pada eksisi luka dan dapat mengakibatkan lepasnya
graft. Bila terdapat sedikit darah atau serum dapat dibersihkan dengan cara memutar ( dg
menggunakan cotton swab steril) dari arah tengah graft menuju keperifer. Jika jumlahnya cukup
banyak , maka dapat dilakukan aspirasi darah/serum dengan menggunakan spuit dan jarum yang
kecil.
b) Pengaturan Posisi dan Immobilisasi
Autograft harus immobilisasi setelah pembedahan, umumnya selama 3-7 hari. Periode waktu
immobilisasi tersebut memungkinakan waktu autogratt menempel dan tertanam pada dasar luka.
Immobilisasi dapat dilakukan dengan berbagai cama. Mengatur posisi yang tepat, traksi, splint,
dapat digunakan untuk mencegah pergerakan yang tidak diinginkan dan lepasnya graft. Perawat
juga harus melakukan berbagai macam tindakan untuk mengurangi bahaya immobilisasi.
c) Perawatan Tempat Donor
Berbagai macam tipe balutan dapat diguakan untuk menutup tempat donor, dan ini tergantung pada
ukuran , lokasi dan kondisi batas kulit atau jaringan. Tindakan perawatan juga tergantung pada tipe
balutan yang digunakan. Jika balutan dilakukan dengan menggunakan sutura dan staples maka
dapat diangkat pada 3-4 hari setelah pembedahan.
Meskipun terdapat perbedaan dalam tindakan perawatan , namun luka pada tempat donor
memerlukan tindakannya memerlukan ketelitian yang sama untuk penyembuhan dan mencegah
infeksi. Jika tempat donor mengalami infeksi, maka balutan harus diangkat secara hati-hati dan
dibersihkan. Kemudian luka harus selalu dibersihkan dan digunakan obat antibakteri. Bila tempat
donor membai/sembuh maka losion lubrikasi dapat digunakan untuk melunakan dan menghilangkan
rasa gatal. Tempat donor tersebut dapat digunakan kembali bila telah terjadi penyembuhan secara
lengkap.
d. Nutrisi
Mempertahankan intake nutrisi yang adekuat selama fase akut sangatlah penting untuk
meningkatkan penyembuhan luka dan pencegahan infeksi. BMR (basal metabolik rate) mungkin
40-100% lebih tinggi dari keadaan normal, tergantung pada luasnya luka bakar. Respon ini
diperkirakan berakibat pada hypotatamus dan adrenal yang menyebebkan peningkatan produksi
panas. Metabolik rate menurun bila luka telah ditutup. Selain itu metabolisme glukosa berubah
setelah mengalami luka bakar, mengakibatkan hiperglikemia . Rendahnya kadar insulin selama fase
emergent menghambat aktifitas insulin dengan meningkatkan sirkuasi catecholamine, dan
meningkatkan glukoneogenesis selama fase akut yang semuanya mempunyai implikasi terhadap
terjadinya hiperglikemia pada klien luka bakar.
Dukungan nutrisi yang agresif diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat guna
meningkatkan penyembuhan dan mencegah efek katabolisme yang tidak diharapkan.
Formula yang digunakan untuk menghitung kebutuhan energi, dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu
berat badan, jenis kelamin, usia, luasnya luka bakar dan aktifitas atau injuri. Formulasinya adalah
sebagai berikut:
(25 kcal x berat badan (kg) + (40 kcal x % luka bakar) = kcal/hari.
Dukungan nutrisi yang agresif umumnya diindikasikan untuk klien luka bakar dengan 30 % atau
lebih, secara klinis memerlukan tindakan operasi multiple, perlunya penggunaan ventilator
mekanik, status mental dan status nutrisi yang buruk pada saat belum mengalami luka bakar.
Adapun metode pemberian nutrisi dapat meliputi diet melalui oral, enteral tube feeding, periperal
parenteral nutrition, total parenteral nutrisi, atau kombinasi.
e. Managemen nyeri
Faktor fisiologis yang yang dapat mempengaruhi nyeri meliputi kedalaman injuri, luasnya dan
tahapan penyembuhan luka. Untuk tipe luka bakar partial thickness dan pada tempat donor akan
terasa sangat nyeri akibat stimulasi pada ujung-ujung saraf. Berlawanan halnya dengan luka bakar
full thickness yang tidak mengalami rasa nyeri karena ujung-ujung superficial telah rusak. namun
demikian ujung-ujung saraf pada yang terletak pada bagian tepi dari luka akan sangat sensitif.
Faktor-faktor psikologis yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap nyeri adalah
kecemasan, ketakutan dan kemampuan klien untuk menggunakan kopingnya. Sedangkan faktor-
faktor sosial meliputi pengalaman masa lalu tentang nyeri, kepribadian, latar belakang keluarga, dan
perpisahan dengan keluarga dan rumah. Dan perlu diingat bahwa persepsi nyeri dan respon terhadap
stimuli nyeri bersifat individual oleh karena itu maka rencana penanganan perawatan dilakukan
secara individual juga.
Pendekatan yang lebih sering digunakan untuk mengatasi rasa nyeri adalah dengan menggunakan
zat-zat farmakologik. Morphine, codein, meperidine adalah nanalgetik narkotik yang sering
digunakan untuk mengatasi nyeri yang berkaitan dengan LB dan treatmennya. Obat-obat
farmakologik lainnya yang dapat digunakan meliputi analgesik inhalasi seperti nitrous oxide, dll.
Obat antiinflamasi nonsteroid juga dianjurkan untuk mengatasi nyeri ringan sampai sedang.
Sedangkan tindakan Nonfarmakologik yang digunakan untuk mengatasi rasa nyeri yang berkaitan
dengan luka bakar meliputi hipnotis, guided imagery, terapi bermain, tehnik relaksasi, distraksi, dan
terapi musik. Tindakan ini efektif untuk menurunkan kecemasan dan menurunkan persepsi terhadap
rasa nyeri dan seringali digunakan bersamaan dengan penggunaan obat-obat farmakologik.

f. Terapi fisik
Mempertahankan fungsi fisik yang optimal pada klien dengan injuri LB merupakan tantangan bagi
team yang melakukan perawatan LB. Perawat harus bekerja secara teliti dengan fisioterapist dan
occupational terapist untuk mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan rehabilitasi klien LB. Program-
program exercise, ambulasi, aktifitas sehari-hari harus diimplementasikan secara dini pada
pemulihan fase acutsampai perbaikan fungsi secara maksimal dan perbaikan kosmetik.
Kontraktur luka dan pembentukan scar (parut) merupakan dua masalah utama pada klien LB.
Kontraktur akibat luka dapat terjadi pada luka yang luas. Lokasi yang lebih mudah terjadinya
kontraktur adalah tangan, kepala, leher, dan axila.
Tindakan-tindakan yang digunakan untuk mencegah dan menangani kontraktur meliputi terapi
posisi, ROM exercise, dan pendidikan pada klien dan keluarga.
1) Posisi Terapeutik
Tabael dibawah ini merupakan daftar tehnik-tehnik posisi koreksi dan terapeutik untuk klien dengan
LB yang mengenai bagian tubuh tertentu selama periode tidak ada aktifitas (inactivity periode) atau
immobilisasi. Tehnik-tehnik posisi tersebut mempengaruhi bagian tubuh tertentu dengan tepat untuk
mengantisipasi terjadinya kontraktur atau deformitas.
Tabel : Posisi terapeutik Pada Klien Luka Bakar
Lokasi LB Posisi Terapeutik Tehnik Posisi
Leher
Anterior
Keliling
Posterior/tdk simetris
Bahu/axila
Siku
Lengan
pergelangan tangan
metacrpal
sendi interpalangeal (MCP)
Sendi proximal dan distal interpalangeal (PIP/DIP)
Ibu jari
ruang antar jari-jari
Paha
Lutut
Pergelangan kaki Ekstensi
Netral ke ekstensi
Netral
Abduksi lengan 90-110 derajat
Ekstensi lengan
Ekstensi pergelangan tangan
MCP pleksi 90 derajat
Ekstensi PIP/DIP
Abduksi ibu jari
Abduksi jari-jari
Ekstensi paha
Ekstensi lutu
Netral Tanpa bantal
Bantal kecil/gulungan sprei kecil dibawah cervical untuk meningkatkan ekstensi leher.
Lakukan splinting (dibelat/dibidai)
Hand splint
Hand splint
Hand splint
hand splint dengan abduksi ibu jari
Supine dengan kepala datar dengan tempat tidur dan kaki ekstensi
Posisi prone
Supine dengan lutut ekstensi

2) Exercise
Latihan ROM aktif dianjurkan segera dalam pemulihan pada fase akut untuk mengurangi edema
dan mempertahankan kekuatan dan fungsi sendi. Disamping itu melakukan kegiatan/aktivitas
sehari-hari (ADL) sangat efektif dalam mempertahankan fungsi dan ROM. Ambulasi dapat juga
mempertahankan kekuatan dan ROM pada ekstremitas bawah dan harus dimulai bila secara
fisiologis klien telah stabil. ROM pasif termasuk bagian dari rencana tindakan pada klien yang tidak
mampu melakukan latihan ROM aktif.

3) Pembidaian (Splinting)
Splint digunakan untuk mempertahankan posisi sendi dan mencegah atau memperbaiki kontraktur.
Terdapat dua tipe splint yang seringkali digunakan, yaitu statis dan dinamis. Statis splint merupakan
immobilisasi sendi. Dilakukan pada saat immobilisasi, selama tidur, dan pada klien yang tidak
kooperatif yang tidak dapat mempertahankan posisi dengan baik. Berlainan halnya dengan dinamic
splint. Dinamic splint dapat melatih persendian yang terkena.

4) Pendidikan
Pendidikan pada klien dan keluarga tentang posisi yang benar dan perlunya melakukan latihan
secara kontinue. Petunjuk tertulis tentang berbagai posisi yang benar, tentang splinting/pembidaian
dan latihan rutin dapat mempermudah proses belajar klien dan dapat menjadi lebih kooperatif.

g. Mengatasi Scar
Hipertropi scar sebagai akibat dari deposit kolagen pada luka bakar yang menyembuh. Beratnya
hipertropi scar tergantung pada beberapa faktor antara lain kedalaman LB, ras, usia, dan tipe
autograft. Metode nonoperasi untuk meminimalkan hipertropi scar adalah dengan terapi tekanan
(pressure therapy). Yaitu dengan menggunakan pembungkus dan perban/pembalut elastik (elastic
wraps and bandages).
Sedangkan tindakan pembedahan untuk mengatasi kontraktur dan hipertropi scar meliputi :
1) Split-thickness dan full-thickness skin graft
2) Skin flaps
3) Z-plasties
4) Tissue expansion.

3. Fase Rehabilitasi
Fase rehabilitasi adalah fase pemulihan dan merupakan fase terakhir dari perawatan luka bakar.
Penekanan dari program rehabilitasi penderita luka bakar adalah untuk peningkatan kemandirian
melalui pencapaian perbaikan fungsi yang maksimal. Tindakan-tindakan untuk meningkatkan
penyembuhan luka, pencegahan atau meminimalkan deformitas dan hipertropi scar, meningkatkan
kekuatan dan fungsi dan memberikan support emosional serta pendidikan merupakan bagian dari
proses rehabilitasi.
Perhatian khusus aspek psikososial
Rehabilitasi psikologis adalah sama pentingnya dengan rehabilitasi fisik dalam keseluruhan proses
pemulihan. Banyak sekali respon psikologis dan emosional terhadap injuri luka bakar yang dapat
diidentifikasi, mulai dari “ketakutan sampai dengan psikosis” . Respon penderita dipengaruhi oleh
usia, kepribadian (personality), latar belakang budaya dan etnic, luas dan lokasi injuri, dan
akibatnya pada body image. Disamping itu, berpisah dari keluarga dan teman-teman, perubahan
pada peran normal klien dan tanggungjawabnya mempengaruhi reaksi terhadap trauma LB.
Fokus perawatan adalah pada upaya memaksimalkan pemulihan psikososial klien melalui intervensi
yang tepat. (lihat Rencana Perawatan).
Terdapat 4 tahap respon psikososial akibat trauma LB yang ditandai oleh Lee sebagai berikut:
impact; retreat or withdrawal (kemunduran atau menarik diri); acknowledgement (menerima) dan
reconstructive (membangun kembali).

a. Impact.
Periode impact terjadi segera setelah injuri yang ditandai oleh shock, tidak percaya (disbelieve),
perasaan overwhelmed. Klien dan keluarga mungkin menyadari apa yang terjadi tetapi kopingnya
pada waktu itu buruk. Pada penelitian yang telah dilakukan mengindikasikan bahwa keluarga
dengan klien yang sakit kritis mempunyai kebutuhan untuk kepastian (assurance), kebutuhan untuk
dekat dengan anggota keluarga yang lain dan kebutuhan akan informasi. Lebih spesifik lagi
keluarga ingin mengetahui kapan anggota keluarganya dapat ditangani, apa yang akan dilakukan
terhadap klien/anggota keluarganya, fakta-fakta tentang perkembangan/kemajuan klien, dan
mengapa tindakan/prosedur dilakukan terhadap klien.

b. Retreat or withdrawal (kemunduran atau menarik diri)


Kemunduran (retreat) ditandai oleh represi, menarik diri (withdrawal), pengingkaran/penolakan
(denial) dan supresi.

c. Acknowledgement (menerima)
Fase ketiga adalah menerima, dimulai bila klien menerima injuri dan perubahan gambaran tubuh
(body image). Selama fase ini klien dapat mengambil manfaat dari pertemuanya dengan klien luka
bakar lainnya, baik dalam kontak perorangan maupun dengan kelompok.
d. Reconstructive (membangun kembali)
Fase terakhir adalah fase rekonstruksi, dimulai bila klien dan keluarga menerima keterbatasan yang
ada akibat injuri dan mulai membuat perencanaan masa datang.

Proses Keperawatan Luka Bakar


A. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dari proses keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan
data baik data subyektif maupun data obyektif. Data subyektif diperoleh berdasarkan hasil
wawancara baik dengan klien ataupun orang lain, sedangkan data obyektif diperoleh berdasarkan
hasil observasi dan pemeriksaan fisik.
1. Data biografi
Langkah awal adalah melakukan pengkajian terhadap data biografi klien yang meliputi nama, usia,
jenis kelamin, pekerjaan, ras, dan lain-lain. Setelah pengkajian data biografi selanjutnya dilakukan
pengkajian antara lain pada :

2. Luas luka bakar


Untuk menentukan luas luka bakar dapat digunakan salah satu metode yang ada, yaitu metode “rule
of nine” atau metode “Lund dan Browder”, seperti telah diuraikan dimuka.

3. Kedalaman luka bakar


Kedalaman luka bakar dapat dikelompokan menjadi 4 macam, yaitu luka bakar derajat I, derajat II,
derajat III dan IV, dengan ciri-ciri seperti telah diuraikan dimuka.

4. Lokasi/area luka
Luka bakar yang mengenai tempat-tempat tertentu memerlukan perhatian khusus, oleh karena
akibatnya yang dapat menimbulkan berbagai masalah. Seperti, jika luka bakar mengenai derah
wajah, leher dan dada dapat mengganggu jalan nafas dan ekspansi dada yang diantaranya
disebabkan karena edema pada laring . Sedangkan jika mengenai ekstremitas maka dapat
menyebabkan penurunan sirkulasi ke daerah ekstremitas karena terbentuknya edema dan jaringan
scar. Oleh karena itu pengkajian terhadap jalan nafas (airway) dan pernafasan (breathing) serta
sirkulasi (circulation) sangat diperlukan. Luka bakar yang mengenai mata dapat menyebabkan
terjadinya laserasi kornea, kerusakan retina dan menurunnya tajam penglihatan.
Lebih lanjut data yang akan diperoleh akan sangat tergantung pada tipe luka bakar, beratnya luka
dan permukaan atau bagian tubuh yang terkena luka bakar. Data tersebut melipuri antara lain pada
aktivitas dan istirahat mungkin terjadi penurunan kekuatan otot, kekakuan, keterbatasan rentang
gerak sendi (range of motion / ROM) yang terkena luka bakar, kerusakan massa otot. Sedangkan
pada sirkulasi kemungkinan akan terjadi shok karena hipotensi (shok hipovolemia) atau shock
neurogenik, denyut nadai perifer pada bagian distal dari ekstremitas yang terkena luka akan
menurun dan kulit disekitarnya akan terasa dingin. Dapat pula ditemukan tachikardia bila klien
mengalami kecemasan atau nyeri yang hebat. Gangguan irama jantung dapat terjadi pada luka bakar
akibat arus listrik. Selain itu terbentuk edema hampir pada semua luka bakar. Oleh karena itu
pemantauan terhadap tanda-tanda vital (suhu, denyut nadi, pernafasan dan tekanan darah) penting
dilakukan.
Data yang berkaitan dengan respirasi kemungkinan akan ditemukan tanda dan gejala yang
menunjukan adanya cidera inhalasi, seperti suara serak, batuk, terdapat partikel karbon dalam
sputum, dan kemerahan serta edema pada oropharing, lring dan dapat terjadi sianosis. Jika luka
mengenai daerah dada maka pengembangan torak akan terganggu. Bunyi nafas tambahan lainnya
yang dapat didengar melalui auskultasi adalah cracles (pada edema pulmoner), stridor (pada edema
laring) dan ronhi karena akumulasi sekret di jalan nafas.
Data lain yang perlu dikaji adalah output urin. Output urin dapat menurun atau bahkan tidak ada
urin selama fase emergen. Warna urine mungkin tampak merah kehitaman jika terdapat mioglobin
yang menandakan adanya kerusakan otot yang lebih dalam. sedangkan pada usus akan ditemukan
bunyi usus yang menurun atau bahkan tidak ada bunyi usus, terutama jika luka lebih dari 20 %.
Oleh karena itu maka dapat pula ditemukan keluhan tidak selera makan (anoreksia), mual dan
muntah.
5. Masalah kesehatan lain
Adanya masalah kesehatan yang lain yang dialami oleh klien perlu dikaji. Masalah kesehatan
tersebut mungkin masalah yang dialami oleh klien sebelum terjadi luka bakar seperti diabetes
melitus, atau penyakit pembuluh perifer dan lainnya yang akan memperlambat penyembuhan luka.
Disamping itu perlu pula diwaspadai adanya injuri lain yang terjadi pada saat peristiwa luka bakar
terjadi seperti fraktur atau trauma lainnya. Riwayat alergi perlu diketahui baik alergi terhadap
makanan, obat-obatan ataupun yang lainnya, serta riwayat pemberian imunisasi tetanus yang lalu.

6. Data Penunjang
a. Sel darah merah (RBC): dapat terjadi penurunan sel darah merah (Red Blood Cell) karena
kerusakan sel darah merah pada saat injuri dan juga disebabkan oleh menurunnya produksi sel
darah merah karena depresi sumsum tulang.
b. Sel darah putih (WBC): dapat terjadi leukositosis (peningkatan sel darah putih/White Blood Cell)
sebagai respon inflamasi terhadap injuri.
c. Gas darah arteri (ABG): hal yang penting pula diketahui adalah nilai gas darah arteri terutama
jika terjadi injuri inhalasi. Penurunan PaO2 atau peningkatan PaCO2.
d. Karboksihemoglobin (COHbg) :kadar COHbg (karboksihemoglobin) dapat meningkat lebih dari
15 % yang mengindikasikan keracunan karbon monoksida.
e. Serum elektrolit :
1) Potasium pada permulaan akan meningkat karena injuri jaringan atau kerusakan sel darah merah
dan menurunnya fungsi renal; hipokalemiadapat terjadi ketika diuresis dimulai; magnesium
mungkin mengalami penurunan.
2) Sodium pada tahap permulaan menurun seiring dengan kehilangan air dari tubuh; selanjutnya
dapat terjadi hipernatremia.
f. Sodium urine :jika lebih besar dari 20 mEq/L mengindikasikan kelebihan resusitasi cairan,
sedangkan jika kurang dari 10 mEq/L menunjukan tidak adekuatnya resusitasi cairan.
g. Alkaline pospatase : meningkat akibat berpindahnya cairan interstitial/kerusakan pompa sodium.
h. Glukosa serum : meningkat sebagai refleksi respon terhadap stres.
i. BUN/Creatinin : meningkat yang merefleksikan menurunnya perfusi/fungsi renal, namun
demikian creatinin mungkin meningkat karena injuri jaringan.
j. Urin : adanya albumin, Hb, dan mioglobin dalam urin mengindikasikan kerusakan jaringan yang
dalam dan kehilangan/pengeluaran protein. Warna urine merah kehitaman menunjukan adanya
mioglobin
k. Rontgen dada: Untuk mengetahui gambaran paru terutama pada injuri inhalasi.
l. Bronhoskopi: untuk mendiagnosa luasnya injuri inhalasi. Mungkin dapat ditemukan adanya
edema, perdarahan dan atau ulserasi pada saluran nafas bagian atas
m. ECG: untuk mengetahui adanya gangguan irama jantung pada luka bakar karena elektrik.
n. Foto Luka: sebagai dokumentasi untuk membandingkan perkembangan penyembuhan luka bakar.

Diagnosa dan Intervensi Keperawatan:


Diagnosa/masalah kolaborasi Tujuan & criteria hasil Intervensi Rasionalisasi
Fase Eemergensi (E)
1. Defisit volume cairan b.d. pe- ningkatan permeabi-litas kapiler dan perpin-dahan cairan dari
ruang intravaskuler ke ruang interstitial Klien akan memperli-hatkan perbaikan keseimbangan
cairan, yang ditandai oleh :
• Tidak kehausan
• Mukosa mulut/bibir lembab
• Output urine : 30-50 cc/jam
• Sensori baik
• Denyut nadi : <> • Kaji terjadinya hi-povolemia tiap 1 jam selama 36 jam
• Ukur/timbang berat badan setiap hari.
• Monitor dan doku-mentasikan intake dan output setiap jam
• Berikan replace-ment cairan dan elektrolit melalui intra vena sesuai program.
• Monitor serum elektrolit dan hematokrit. • Perpindahan cair- an dapat menye-babkan hipovo-
lemia
• Berat badan me-rupakan indek yg akurat keseim-bangan cairan.
• Output urine me-rupakan pengu-kuran yg efektif terhadap keber-hasilan resusitasi cairan.
• Cairan intravena dipergunakan un tuk memperbaiki volume cairan.
• Hiperkalemia dan peningkatan hematokrit merupakan hal yang sering terjadi.
Lanjutan
Diagnosa/masalah kolaborasi Tujuan & criteria hasil Intervensi Rasionalisasi
Masalah Kolaborasi
(Fase Emergensi)
2. Potensial illeus paralitik b.d. stress akibat injury.
Masalah Kolaborasi
(Fase Emergensi)
3. Potensial gagal ginjal b.d. adanya hemachromagen dalam urine karena luka bakar yang dalam
Perawat akan memoni-tor bunyi usus normal aktif, adanya distensi
abdomen, produksi flatus dan gerakan usus normal.
Perawat akan memoni-tor adanya hemachro-magen dalam urine & output urine adekuat : 75-100
cc/hari • Kaji kebutuhan untuk pemasangan NGT.
• Kaji fungsi usus :
 Auskultasi bu-nyi usus tiap 4 jam
 Observasi dis-tensi abdomen
• Monitor output gaster, jumlah, warna dan ada-nya darah serta pH.
• Monitor dan doku-mentasikan output urine setiap jam & warna urine.
• Pastikan aliran ka-teter urine dalam keadaan baik.
• Berikan cairan intravena sesuai program
• Siapkan sampel urine untuk peme-riksaan kadar myo-globin/hemoglobin sesuai program • Illeus
umumnya terjadi pada luka bakar > 20 - 25%
• Bunyi usus mengindikasikan adanya peristal-tik.
• Distensi abdomen menunjukan ter-jadinya illeus
• Pengeluaran cair-an dari gaster memerlukan re-placement cair-an. Ulkus pada gaster sering ter-
jadi pada luka bakar berat.
• Urine akan berwarna merah atau coklat gelap jika terdapat hemachromagen
• Kateter dapat tersumbat oleh hemachromagen.
• Hemachromagen akan terbilas atau keluar dari tubuh.
• Memberikan informasi tentang resiko gagal ginjal.
Lanjutan
Diagnosa/masalah kolaborasi Tujuan & kriteria hasil Intervensi Rasionalisasi
(Fase Akut) & (Emergensi)
4. Gangguan pertukaran gas b.d. keracunan carbonmo-noxida, kerusakan paru akibat pabas. Klien
akan menunjukan perbaikan pertukaran gas, yang ditandai oleh :
• Respirasi 16-24 kali/menit tanpa upaya
• PaO2 > 90 mmHg
• PaCO2 : 35-45 mm-Hg
• SaO2 > 95%
• Suara nafas kedua paru bersih. • Kaji tanda-tanda respiratori distres yang ditandai oleh:
 Gelisah, bing-ung (confuse)
 Terdapat upaya nafas,
 Tachypnea,
 Dyspnea,
 Tachicardia,
 Kadar PaO2 dan SaO2 menurun
 Cyanosis
• Monitor kadar gas darah arteri dan COHb sesuai permintaan dokter
• Monitor kadar SaO2 secara kontinu
• Berikan oksigen seuai program
• Ajarkan pasien penggunaan spirometri.
• Tinggikan tempat tidur bagian kepala.
• Monitor kebutuhan untuk pema-sangan intubasi endotraheal. • Gangguan pertu-karan gas dapat
megakibatkan respiratori distres karena hypokse-mia.
• Memberikan data tentang efektifi-tas respirasi/ oksigenasi.
• Memberikan data oksigenasi non-invasif.
• Menurunkan hi-poksemia
• Mendorong untuk bernafas dalam.
• Mempermudah ekspansi paru
• Intubasi mungkin diperlukan untuk memelihara oksi-genasi
Lanjutan
Diagnosa/masalah kolaborasi Tujuan & kriteria hasil Intervensi Rasionalisasi
(E, A)
5. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d. edema trahea, menurunnya fungsi ciliar paru akibat injuri
inhalasi
(E, A)
6. Perubahan perfusi jaringan perifer b.d. konstriksi akibat luka bakar. Bersihan jalan nafas klien
akan efektif, yang ditandai oleh:
• Suara nafas bersih
• Sekresi pulmoner bersih sampai putih
• Monbilisasi sekreai pulmoner efektif
• Respirasi tanpa upa-ya
• Respirasi rate:16-24 kali/mnt
• Tidak ada ronchi, whezing, stridor
• Tidak ada dispnea
• Tidak ada sianosis.
Perfusi perifer klien akan menjadi adekuat, yang ditandai oleh:
• Denyut nadai dapat diraba melalui palpa-si/Dopler
• Capilari refill pada kulit yang tidak ter-bakar <>
• Tidak ada kebal
• Tidak terjadi pening-katan rasa nyeri pada waktu melakukan latihan ROM • Ajarkan klien un-tuk
batuk dan ber-nafas dalam setiap 1-2 jam selama 24 jam, kemudian se-tiap 2-4 jam, saat terjaga.
• Letakan peralatan suction oral dalam jangkaun klien un-tuk digunakan sen-diri oleh klien.
• Lakukan endotra-cheal suction jika diperlukan, dan monitor serta doku-mentasikan karak-teristik
sputumnya.
• Lepaskan semua perhiasan & pakai-an yg kencang/ sempit
• Batasi penggunaan cuff tekanan darah yang dapat menye-babkan konstriksi pada ekstremitas.
• Monitor denyut arteri melalui pal-pasi atau dengan Dopler setiap jam selama 27 jam.
• Kaji Capilary refill pada kulit yang tak terbakar pada bagi-an ekstremitas yg terkena. •
Mempermudah dalam member-sihkan saluran nafas bagian atas.
• mendorong klien untuk member-sihkan sendiri sekresi oral dan sputum.
• Menghilangkan sekresi dari sa-luran nafas bagi-an atas. Warna, konsistensi, bau dan banyaknya
dapat mengindi-kasikan adanya infeksi.
• Dapat membaha-yakan sirkulasi sebagai akibat terjadinya edema.
• Dapat menurun-kan aliran arteri dan venous return.
• Menurnkan/menghilangkan hipok-semia
• Capilary refil menjadi meman-jang & gangguan sirkulasi.
Lanjutan
Diagnosa/masalah kolaborasi Tujuan & kriteria hasil Intervensi Rasionalisasi
(E, A)
7. Hypotermia b.d. kehi-langan jaringan epitel dan fluktuasi suhu udara. Klien akan memp
Diposkan oleh Agung di 13:00 1 komentar
Label: ASKEP
Posting Lama
Langgan: Entri (Atom)

http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/28a94bcece35575524f7503cd079d98401d7bc9c.pdf
(teknik laparoskopi)

Anda mungkin juga menyukai