Anda di halaman 1dari 93

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Untuk perusahaan perseorangan, ekuitas sering disebut modal. Untuk
perseroan, istilah ekuitas (ekuitas pemegang saham atau stockholders’ equity) lebih
merefleksi makna yang ingin dikandungnya. Istilah modal sering digunakan pula
sebagai padan kata equity walaupun modal lebih dekat maknanya dengan istilah
capital. Karena ekuitas mengandung unsur pemilikan (ownership), untuk organisasi
nonprofit ekuitas disebut sebagai aset bersih (net assets) untuk menghindari kesan
adanya pemilikan (Suwardjono, 2010:513).
Karena konsep kesatuan usaha yang memisahkan antara manajemen dan
pemilikan, informasi tentang ekuitas pemegang saham menjadi sangat penting
karena hal tersebut menunjukan hubungan antara perusahaan (perseroan) dengan
pemegang saham. Dari sudut pemegang saham, ekuitas pemegang saham
merupakan hak atas kekayaan atau nilai yang tertanam dalam perseroan. Kalau
dipandang dari sudut kesatuan usaha, ekuitas pemegang saham merupakan “utang”
perseroan kepada para pemegang saham. Oleh karena itu, ekuitas pemegang saham
dapat juga dipandang sebagai gambaran hubungan yuridis antar perseroan dan
pemegang saham. Dengan kedudukannya yang demikian persoalannya adalah
bagaimana melaporkan atau menyajikan informasi elemen ini agar hubungan
tanggung jawab yuridis dapat dipertahankan (Suwardjono, 2010:513).
Karena konsep kesatuan usaha menuntut artikulasi antar statment keuangan,
tidak terdapat masalah sematik atau definisional dalam pembahasan ekuitas seperti
halnya elemen pendapatan, biaya, dan laba. Teori ekuitas yang bersifat sematik
adalah teori sudut pandang atau teori entitas. Teori ini sangat erat kaitannya dengan
laba, sehingga teori ini pasti dibahas pada pembahasan makalah tentang laba. Oleh
karena itu, teori tentang ekuitas pemegang saham dalam makalah ini berfokus pada
bagaimana informasi ekuitas pemegang saham beserta perubahannya disajikan
dalam statment keuangan. Ekuitas pemegang saham itu sendiri terdiri atas dua
komponen penting yaitu modal setoran (paid-in atau contributed capital) dan laba

1
ditahan (retained earnings). Sebagai pasangan modal setoran, laba ditahan dapat
disebut sebagai modal bentukan atau ciptaan (earned capital) (Suwardjono,
2010:513).
Berdasarkan pembahasan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk
mengambil judul makalah mengenai ekuitas.

1.2. Identifikasi Masalah


Identifikasi masalah dalam pembuatan makalah ini adalah:
1. Apa pengertian ekuitas ?
2. Apa itu teori ekuitas, teori proprietary, teori entitas, teori ekuitas residual, teori
enterprise, teori dana, dan posisi FASB akan teori-teori tersebut ?
3. Apa saja komponen ekuitas pemegang saham ?
4. Apa tujuan penyajian ekuitas ?
5. Apa perbedaan modal setoran dan laba ditahan ?
6. Apa pengertian modal yuridis dan besarnya modal yuridis ?
7. Apa pengertian modal setoran lain ?
8. Bagaimana perubahan modal setoran, pemesanan saham, obligasi terkonversi,
saham prioritas terkonversi, dividen saham, karakteristik dividen saham,
kapitalisasi atas dasar nilai nominal, kapitalisasi atas dasar harga saham, hak
beli saham, opsi saham, opsi saham non imbalan, opsi saham Imbalan dan
waran ?
9. Bagaimana penurunan modal setoran, saham treasuri, konsep satu-transaksi,
dan konsep dua-transaksi ?
10. Bagaimana perubahan laba ditahan, penyesuaian periode lalu, koreksi
kesalahan, koreksi sebagai penyesuai laba ditahan, koreksi sebagai penyesuai
modal setoran lain, koreksi sebagai komponen statment laba rugi, perubahan
akuntansi, penyesuaian retroaktif, penyesuaian sekarang, penyesuaian
sekarang dan prospektif, aplikasi dalam standar, kuasi-reorganisasi, pengaruh
defisit terhadap kreditor ?
11. Bagaimana penyajian modal pemegang saham, urutan penyerapan rugi, dan
urutan menerima distribusi aset ?

2
12. Bagaimana perincian laba ditahan, perincian atas dasar sumber, dan perincian
atas dasar tujuan penggunaan ?
13. Apa itu laba komprehensif, laba kinerja sekarang, laba semua-termasuk, alasan
mendasar, konsep pemanfaatan asset, dan konsep aset kapital ?
14. Bagaimana penyajian laba komprehensif ? .

1.3. Tujuan Penulisan


Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian ekuitas.
2. Untuk mengetahui teori ekuitas, teori proprietary, teori entitas, teori ekuitas
residual, teori enterprise, teori dana, dan posisi FASB akan teori-teori tersebut.
3. Untuk mengetahui komponen ekuitas pemegang saham.
4. Untuk mengetahui tujuan penyajian ekuitas.
5. Untuk mengetahui perbedaan modal setoran dan laba ditahan.
6. Untuk mengetahui pengertian modal yuridis dan besarnya modal yuridis.
7. Untuk mengetahui pengertian modal setoran lain.
8. Untuk mengetahui perubahan modal setoran, pemesanan saham, obligasi
terkonversi, saham prioritas terkonversi, dividen saham, karakteristik dividen
saham, kapitalisasi atas dasar nilai nominal, kapitalisasi atas dasar harga
saham, hak beli saham, opsi saham, opsi saham non imbalan, opsi saham
Imbalan dan waran.
9. Untuk mengetahui penurunan modal setoran, saham treasuri, konsep satu-
transaksi, dan konsep dua-transaksi.
10. Untuk mengetahui perubahan laba ditahan, penyesuaian periode lalu, koreksi
kesalahan, koreksi sebagai penyesuai laba ditahan, koreksi sebagai penyesuai
modal setoran lain, koreksi sebagai komponen statment laba rugi, perubahan
akuntansi, penyesuaian retroaktif, penyesuaian sekarang, penyesuaian
sekarang dan prospektif, aplikasi dalam standar, kuasi-reorganisasi, pengaruh
defisit terhadap kreditor.
11. Untuk mengetahui penyajian modal pemegang saham, urutan penyerapan rugi,
dan urutan menerima distribusi aset.

3
12. Untuk mengetahui perincian laba ditahan, perincian atas dasar sumber, dan
perincian atas dasar tujuan penggunaan.
13. Untuk mengetahui laba komprehensif, laba kinerja sekarang, laba semua-
termasuk, alasan mendasar, konsep pemanfaatan asset, dan konsep aset kapital.
14. Untuk mengetahui penyajian laba komprehensif.

1.4. Kegunaan Penulisan


Adapun kegunaan yang dapat diperoleh dari pembuatan makalah ini adalah
sebagai berikut:
a. Kegunaan Teoritis
Makalah ini diharapkan menjadi bahan rujukan bagi penulis lain ketika akan
membuat makalah dengan judul yang sama.
b. Kegunaan Praktis
Makalah ini diharapkan menjadi tambahan pengetahuan bagi para pengamat
ekuitas, dan manajer perusahaan dalam konteks pengetahuan mengenai konsep
ekuitas perusahaan.

4
BAB II
EKUITAS

2.1. Pengertian Ekuitas


FASB Statment of Financial Accounting Concepts No.6 mendefinisikan
ekuitas sebagai “hak sisa terhadap aktiva suatu entitas setelah dikurangi hutang’.
Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa dua karakteristik ekuitas adalah
sebagai berikut:
1. Ekuitas sama dengan aktiva neto, yaitu selisih antara aktiva perusahaan dengan
hutang perusahaan.
2. Ekuitas dapat bertambah atau berkurang karena kenaikan atau penurunan aktiva
neto yang berasal dari sumber bukan pemilik (pendapatan dan biaya) maupun
investasi oleh pemilik atau distribusi kepada pemilik (Chariri & Gozali,
2001:231)
Pengertian ekuitas menurut Rudianto adalah kewajiban perusahaan kepada
pemegang saham (pemilik) perusahaan. Ekuitas merupakan salah satu unsur dari
laporan posisi keuangan perusahaan yang menunjukan salah satu sumber aset yang
dimiliki sebuah badan usaha, yaitu dari pemilik perusahaan dan dari akumulasi laba
yang diperoleh selama beberapa tahun. Secara umum antara satu entitas lainnya
akan memiliki komposisi ekuitas yang tidak jauh berbeda, yang berdeda hanyalah
jumlahnya. Ekuitas yang dimiliki sebuah entitas umumnya terdiri dari:
1. Modal saham
2. Laba Ditahan
3. Agio Saham (Rudianto, 2012:48).
Menurut Horngren, ekuitas pemilik adalah jumlah aktiva yang tersisa
setelah dikurangi kewajiban (Horngren, 1997:48). Sedangkan menurut Reeve dkk
Ekuitas pemilik adalah hak pemilik terhadap aset perusahaan (Reeve dkk, 2011:
G6).
Menurut Sofyan Syafri Harahap Equity adalah suatu hak yang tersisa atas
aktiva suatu lembaga (entity) setelah dikurangi kewajibannya. Dalam perusahaan,

5
equity adalah modal pemilik. Definisi ini cenderung mengaut proprietory theory
(Harahap, 2012:213).
Menurut Standar Akuntansi Keuangan (2002) pasal 49, Ekuitas adalah hak
residual atas aktiva perusahaan setelah dikurangi semua kewajiban. Ekuitas
didefinisikan sebagai hak residual untuk menunjukan bahwa ekuitas bukan
kewajiban. Ini berarti juga bahwa ekuitas bukan pengorbanan sumber ekonomi
masa mendatang (Suwardjono, 2010:514).
Godfrey, Hodgson, dan Holmes (1997) membedakan ekuitas dan kewajiban
atas dasar kriteria berikut:
A. Hak-hak masing-masing pihak atas penyelesaian klaim
Atas dasar konsep kesatuan usaha, kreditor dan pemegang saham sama-sama
mempunyai klaim atau hak untuk dilunasi atas dana yang ditanamkan dalam
perusahaan. Ada 2 karaktersitik yang melekat pada hak kreditur, yaitu
1. Penyelesaian klaim mereka pada tanggal tertentu melalui transfer asset.
2. Prioritas diatas pemilik dalam penyelesaian klaim mereka dalam hal likuidasi.
Jadi intinya:
 Klaim kreditor terbatas jumlahnya dan harus diselesaikan pada tanggal
tertentu.
 Klaim pemegang saham merupakan jumlah residual dan tidak harus
diselesaikan atau dilunasi pada tanggal tertentu (Suwardjono, 2010:514).
B. Hak penggunaan aset dalam operasi
Hak kreditor dan pemilik (pemegang saham) juga berbeda dalam hal
penggunaan asset. Perbedaanya adalah:
 Kreditor tidak mempunyai akses dan kendali dalam penggunaan aset
perusahaan. Mereka juga tidak memiliki hak dalam pengambilan keputusan
operasi perusahaan secara langsung.
 Pemilik mempunyai akses, hak dan autoritas untuk menjalankan perusahaan
dan menggunakan atau mengendalikan aset (Suwardjono, 2010:514).

6
C. Substansi ekonomik perjanjian
Substansi ekonomik perjanjian antara kreditor dengan perusahaan berbeda
dengan antara pemegang saham dan perusahaan dalam hal resiko terhadap rugi.
Perbedaanya adalah:
 Kreditor diprioritaskan dalam penuntasan kewajibannya sehingga resiko
mereka lebih kecil dibanding pemegang saham
 Pemegang saham menanggung segala resiko yang berkaitan dengan operasi
perusahaan.
Oleh karena itu hak kreditur berbeda dengan hak pemegang saham:
 Kreditor berhak atas pelunasan.
 Pemegang saham berhak atas pembagian laba (residual).
Jadi secara substansi ekonomi dapat disimpulkan bahwa:
 Kreditor menanggung risiko lebih kecil dan dengan demikian mendapat
imbalan tetap berupa bunga dan pokok pinjaman.
 Pemegang saham menanggung risoko lebih besar sehingga berhak atas
kembalian (rate of return) yang bervariasi melalui pembagian laba
(participatiom in profits) (Suwardjono, 2010:515).

2.2. Teori Ekuitas


Teori ekuitas adalah teori yang menjelaskan sudut pandang yang digunakan
dalam akuntansi berkaitan dengan penyusunan dan penyajian laporan keuangan.
Dengan kata lain, penyusunan dan penyajian laporan keuangan sangat tergantung
pada sudut pandang yang digunakan yaitu siapa yang dianggap paling
berkepentingan terhadap laporan keuangan. Oleh karena itu, teori ini membahas
pihak yang dianggap paling dominan dan menjadi sudut pandang dalam pelaporan
keuangan. Pemakaian sudut pandang yang berbeda dapat menghasilkan format
pelaporan yang berbeda pula (Ghozali & Cahriri, 2007:272).

2.2.1 Teori Proprietary


Pada awalnya teori ini muncul sebagai perwujudan dari sistem pembukuan
berpasangan. Teori ini memusatkan perhatiannya kepada pemilik. Jadi dalam

7
akuntansi, tujuan perusahaan, jenis modal, makna rekening, dan lain-lain semuanya
dilihat dari sudut pandang pemilik. Dengan demikian tujuan perusahaan adalah
meningkatkan kemakmuran pemilik (Ghozali & Cahriri, 2007:272). Persamaan
akuntansi yang digunakan:
Aktiva-hutang = modal
Aktiva merupakan kekayaan pemilik, sementara hutang merupakan
kewajiban pemilik. Kepemilikan dianggap sebagai nilai bersih dari perusahaan
untuk pemilik. Ketika usaha baru dimulai, nilai ini sama dengan investasi pemilik.
Selama berjalannya usaha maka nilai perusahaan sama dengan investasi awal
ditambah akumulasi laba bersih setelah dikurangi prive untuk pemilik. Jadi teori
proprietary manganut wealth concept (Ghozali & Cahriri, 2007:272).
Teori Proprietary sangat cocok diterapkan untuk organisasi perusahaan
perseorangan dan firma oleh karena dalam bentuk organisasi ini ada hubungan
personal antara manajemen perusahaan dengan pemilik perusahaan. Hal ini
disebabkan laba bersih atau net income ditambahkan setiap periode ke rekening
modal pemilik walaupun perhitungan laba bersih tidak mengukur kenaikan bersih
perusahaan (Ghozali & Cahriri, 2007:272).
Teori Proprietary tidak dapat langsung digunakan untuk bentuk perusahaan
perseroan terbatas seperti halnya untuk perusahaan perseorangan dan firma. Namun
demikian, dalam praktek banyak yang menandang bahwa total modal saham yang
diinvestasikan dan laba ditahan dianggap sebagai kekayaan bersih pemilik dan hal
ini mengimplikasi teori proprietary yaitu memasukan semua item yang
mempengaruhi pemilik selama periode itu kecuali pengambilan dividen dan
transaksi modal (Ghozali & Cahriri, 2007:273).
Teori Proprietary banyak mempengaruhi praktek-praktek akuntansi
maupun terminologi akuntansi perusahaan perseroan terbatas. Sebagai misal, laba
bersih suatu perusahaan sering dianggap sebagai laba bersih bagi pemilik. Lebih
jauh lagi laporan keuangan harus menunjukan pada earning per share atau book
value per share. Pengertian laba bersih bagi pemilik dapat diinterpretasikan sebagai
sisa laba berish yang dialokasikan kepada modal pemilik dan book value per share
menurut pendekatan entitas (Ghozali & Cahriri, 2007:273).

8
Oleh karena sudut pandang yang digunakan adalah pemilik, maka
pengukuran dengan menggunakan current value dipandang lebih relevan
dibandingkan historical cost (Ghozali & Cahriri, 2007:273).

2.2.2. Teori Entitas (Kesatuan Usaha)


Teori entitas muncul untuk mengatasi kelemahan yang melekat pada teori
proprietary. Kenyataan menunjukan bahwa perkembangan kegiatan usaha
menyebabkan perusahaan menjadi unit usaha yang berdiri sendiri terpisah dari
identitas pemilik. Hal ini berarti terdapat pemisahan antara kepentingan pribadi
pemilik dengan kepentingan perusahaan. Dengan demikian transaksi/kejadian yang
dicatat dan dipertanggungjawabkan adalah transaksi yang melibatkan perusahaan.
Perusahaan dianggap bertindak atas nama dan kepentingannya sendiri terpisah dari
pemilik (Ghozali & Cahriri, 2007:274). Teori entitas didasarkan atas persamaan
akuntansi:
Aktiva = Hutang + Modal
Elemen yang ada pada sisi kanan persamaan sering disebut hutang, tetapi
sesungguhnya adalah ekuitas dengan hak yang berbeda di dalam perusahaan.
Perbedaan utama antara hutang dan ekuitas pemilik adalah hak kreditur dapat
dinilai secara independen dari penilaian yang lain jika perusahaan dalam keadaan
solvent, sedangkan hak pemegang saham atau pemilik diukur dari penilaian aktiva
yang diinvestasikan ditambah laba yang diinvestasikan kembali. Namun demikian,
hak pemegang saham untuk menerima dividen dan bagian aktiva jika dilikuidasi
adalah hak sebagai pemegang saham bukan hak sebagai pemilik aktiva khusus
(Ghozali & Cahriri, 2007:274).
Teori entitas cocok diterapkan untuk organisasi yang berbentuk perseroan
terbatas (corporate), tetapi juga relevan untuk perusahaan lain yang memiliki
eksistensi yang terpisah dari individu pemilik. Teori ini sangat relevan untuk
penyususnan laporan keuangan konsolidasi, walaupun dalam kaitan ini entitas
ekonomi lebih relevan sebagai entitas akuntansi dibandingkan entitas legalnya
(Ghozali & Cahriri, 2007:275).

9
Perbedaan antara teori proprietary dan teori entitas menimbulkan perbedaan
dalam melakukan penilaian aktiva. Dengan teori proprietary, aktiva harus dinilai
dengan nilai sekarang oleh karena ekuitas pemilik dianggap sebagai kekayaan
bersih. Dengan teori entitas perusahaan tidak berhubungan dengan nilai sekarang
oleh karena penekanannya adalah akuntabilitas cost kepada pemilik atau pemegang
saham lainnya. Dengan demikian dasar pengukuran yang relevan adalah historical
cost (Ghozali & Cahriri, 2007:275).

2.2.3. Teori Ekuitas Residual


Seorang teoritis akuntansi William paton (1962) menyatakan bahwa ekuitas
residual merupakan salah satu jenis ekuitas dalam kerangka teori entitas. Dalam
pandangan teori entitas, pemegang saham memiliki ekuitas di perusahaan seperti
pemegang ekuitas lainnya, tetapi pemegang saham tidak dianggap sebagai pemilik.
Paton menekankan pada hubungan khusus residual equity holders. Perubahan
dalam penilaian aktiva, perubahan dalam laba bersih dan laba ditahan, dan
perubahan di dalam hak pemegang ekuitas lainnya semua tercermin di dalam
residual equity pemegang saham biasa. Walaupun ekuitas kreditur, pemegang
saham preferen, dan pemegang saham biasa harus dikelompokan secara terpisah
dan semuanya merupakan ekuitas dalam konsep teori ekuitas (Ghozali & Cahriri,
2007:277)
Jadi teori ekuitas residual merupakan pandangan antara teori proprietary dan
teori entitas. Dalam pandangan ini persamaan akuntansinya menjadi:
Aktiva-Ekuitas Khusus= Ekuitas Residual
Ekuitas khusus meliputi klaim kreditur dan ekuitas pemegang saham
preferen. Namun demikiam pada kasus khusus dimana kerugian begitu besar
sehingga perusahaan mengalami kebangkrutan, ekuitas pemegang saham biasa
dapat hilang dan pemegang saham preferen atau pemegang obligasi menjadi
pemegang ekuitas residual. Tujuan pendekatan ekuitas residual adalah memberikan
informasi yang lebih baik kepada pemegang saham biasa dalam rangka
pengambilan keputusan investasi. Dalam perusahaan going concern, nilai sekarang
dari modal saham biasa tergantung dari ekspektasi dividen di masa datang. Dividen

10
di masa datang tergantung dari ekspektasi total penerimaan dikurangi kewajiban
kontraktual, pembayaran kepada pemegang ekuitas khusus (Ghozali & Cahriri,
2007:278).
Pemegang saham biasa umunya dianggap memiliki ekuitas residual di
dalam laba perusahaan dan di dalam aktiva bersih pada saat likuidasi. Oleh karena
laporan keuangan umunya disusun tidak dalam rangka likuidasi, maka informasi
yang disajikan dalam kaitannya dengan ekuitas residual harus berguana untuk
memprediksi dividen masa datang bagi pemegang saham biasa. Laporan laba rugi
dan laporan laba ditahan harus menunjukan laba yang tersedia bagi pemegang
ekuitas residual setelah semua kewajiban dipenuhi, termasuk dividen kepada
pemegang saham preferen. Ekuitas pemegang saham biasa di neraca harus
dipisahkan dari ekuitas pemegang saham preferen dan pemegang ekuitas khusus
lainnya. Laporan aliran kas harus juga menunjukan kas yang tersedia bagi
perusahaan untuk pembayaran deviden saham biasa dan tujuan lainnya (Ghozali &
Cahriri, 2007:278).

2.2.4. Teori Enterprise


Teori enterprise suatu perusahaan merupakan konsep yang lebih luas
dibandingkan teori entitas, tetapi kurang terdefinisi dengan baik dalam skope
maupun aplikasinya. Di dalam teori entitas, perusahaan dipandang sebagai unit
ekonomi terpisah yang dioperasikan dalam rangka memeberikan manfaat bagi
pemegang saham, sedangkan dalam teori emterprise, perusahaan dipandang sebagai
lembaga sosial yang diopersikan dalam rangka memberikan manfaat bagi banyak
pihak yang berkepentingan. Dalam arti luas, pihak-pihak yang berkepentingan
meliputi pemegang saham, kreditur, pegawai, konsumen, pemerintah, dan
masyarakat secara umum. Jadi bentuk luas dari teori enterprise dapat dipandang
sebagai teori akuntansi sosial (Ghozali & Cahriri, 2007:278).
Konsep ini cocok diterapkan untuk perusahaan skala besar dan modern dan
memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan pengaruh dari tindakannya kepada
beberapa kelompok dan masyarakat secara keseluruhan. Dari aspek akuntansi hal
ini berarti tanggungjawab pelaporan keuangan tidak hanya kepada pemegang

11
saham dan kreditur semata, tetapi lebih luas kepada semua kelompok lain yang
berkepentingan dan masyarakat keseluruhan. Perusahaan berskala besar tidak
beroperasi semata untuk kepentingan pemegang saham saja, tetapi untuk semua
pihak yang berkepentingan. Pegawai lewat serikat buruh menggunakan data
akuntansi untuk mengajukan klaim kenaikan gaji. Konsumen dan badan regulasi
lainnya berkepntingan terhadap kewajaran perubahan harga dan pemerintah
berkepntingan terhadap pengaruh perubahan harga terhadap keadaan ekonomi
makro, konsep income yang paling relevan dengan teori enterprise adalah laporan
keuangan nilai tambah yaitu laporan keuangan yang menunjukan kontribusi pihak-
pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan di dalam menghasilkan nilai
tambah perusahaan (Ghozali & Cahriri, 2007:279).

2.2.5. Teori Dana (Fund)


Teori dana mengabaikan asumsi hubungan personal dalam teori proprietary
dan asumsi personifikasi perusahaan sebagai unit ekonomi dan legal secara artifisial
dalam teori entitas. Menurut teori dana, unit aktivitas operasi merupakan dasar
akuntansi. Unit aktivitas operasi ini disebut dana yang meliputi sekelompok aktiva
dan kewajiban dan restriksi atau batasan-batasan yang menggambarkan fungsi atau
aktivitas ekonomi (Ghozali & Cahriri, 2007:279). Teori dana berdasarkan pada
persamaan akuntansi sbb:
Aktiva = Restriksi Aktiva
Aktiva menggambarkan jasa prospektif kepada dana atau unit operasi.
Hutang merupakan restriksi aktiva khusus atau umum dari dana. Modal yang
diinvestasikan mencerminkan restriksi legal atau financial untuk menggunakan
aktiva (Ghozali & Cahriri, 2007:279)
Konsep teori dana banyak digunakan di sektor pemerintahan dan lembaga
nir laba. Di dalam pemerintahan dana yang umunya digunakan meliputi dana umum
(general fund), dana pendapatan khusus (special revenue fund), dana proyek
(capital project fund), dana pelunasan hutang jangka panjang (debt service fund).
Setiap dana ini mempunyai restriksi penggunaan yang diatur dalam undang-undang
atau peraturan pemerintah lainnya. Masing-masing dana dipertanggungjawabkan

12
sendiri-sendiri sehingga masing-masing memiliki pembukuan debit kredit sendiri
dan memiliki neraca dalam laporan perubahan saldo dana (Gozali & Chariri,
2007:279).

2.2.6. Posisi FASB


Financial Accounting Standard Board (FASB) sangat jelas mengadopsi
teori ekuitas residual ketika berhubungan dengan ekuitas pemilik yang menyatakan
hak residual pada aktiva suatu entitas yang tersisa setelah dikurangi hutang.
Pandangan ini sejalan dengan tujuan akuntansi yang dinyatakan oleh FASB yaitu
menyediakan informasi khususnya kepada investor, atau lebih khusus, kepada
pemegang saham biasa (Gozali & Chariri, 2007:280).
FASB juga mengakui bahwa pendekatan ini menimbulkan masalah jika
berkaitan dengan hybrid securities atau saham yang memiliki karakteristik ganda
yaitu sebagain hutang dan sebagian saham seperti pada hutang obligasi yang
dikonversi. Persoalannya adalah bagaimana memisahkan dan mengungkapkan
saham yang memiliki dua karakteristik ini (Gozali & Chariri, 2007:280).

2.3. Komponen Ekuitas Pemegang Saham


Dari segi riwayat terjadinya dan sumbernya, ekuitas pemegang saham
diklasifikasi atas dasar dua komponen penting yaitu modal setoran dan laba ditahan.
Modal setoran dipecah menjadi modal saham (capital stock) sebagai modal yuridis
(legal capital) dan modal setoran tambahan (additional paid-in capital), dan
komponen lain yang merefleksi transaksi pemilik (misalnya saham treasuri atau
modal sumbangan) (Suwardjono, 2010:515). Gambar 2.1 melukiskan komponen
modal ekuitas pemegang saham dan pos-pos yang mempengaruhinya (sumber
perubahan).

13
Gambar 2.1
Ekuitas Pemegang Saham dan Komponenya

Ekuitas Pemegang saham

Modal
Modal Setoran Bentukan atau lain-lain
Laba Ditahan

Modal Yuridis
Modal Setoran - Laba atau rugi
atau
Lain - Dividen
Modal Saham
- Rekapitalisasi
- Defisit

- Penerbitan
- koreksi
- Premium modal
saham baru
saham
- Perubahan
- Kapitalisasi laba Akuntansi
Penjualan saham
ditahan
treasury
-Dividen saham
-Penyeraan defisit
-Konversi
-deklarasi dividen
obligasi atau
likuidasi
saham istimewa
terkonversi -Restrukturisasi
Kapital
- Stock
Subscription -Revaluasi aset

Sumber: Suwardjono, 2010:515

Komponen lain-lain terdiri atas pos-pos yang tidak tepat dimasukan dalam
komponen modal setoran lainnya atau laba ditahan tetapi sering diklasifikasikan
sebagai pos ekuitas pemegang saham. Pos-pos ini misalnya adalah untung

14
penahanan belum terealisasi (unrealized holding gains), penyesuaian kapital belum
terealisasi lainnya, selisih revaluasi, dan hak pemegang saham minoritas
(Suwardjono, 2010:516).
Dalam berbagai literatur:
 Modal setoran disebut juga invested capital, original capital, atau bahkan
original investment.
 Modal yuridis (legal capital) sering disebut sebagai formal capital, restricted
capital, stated capital, atau capital stock.
 Modal setoran lain sering disebut secara spesifik sebagai paid in surplus,
unrestricted capital, paid in capital in excess of capital stock, capital in excess
of Par (stated value) capital surplus, atau stock premium (Suwardjono,
2010:516).
Sedangkan Menurut (Harahap:2012) dalam perusahaan perseroan, nilai
modal ini merupakan modal pemiliknya sendiri. Sementara itu, dalam perusahaan
perseroan perlu dibedakan antara modal setor dengan modal karena pendapatan
(retained earning). Dividen hanya dibayar dari laba ditahan bukan dari modal setor.
Modal setor atau contributet capital dapat dibagi menjadi: modal statuter (legal
capital) dan modal lainnya. Modal statuter adalah jumlah batas kewajiban pemilik.
Modal statuter ini dinilai sebesar harga pari atau harga nominal. Disamping modal
statuter ini, ada lagi modal lainnya seperti agio saham, modal donasi, modal dari
pengeluaran kembali treasury stock, stock option, dan sebagainya. Di indonesia
mungkin juga harus dimasukan kenaikan modal akibat revaluasi (Harahap, 2012:
213-214). Berikut ini penjelas beberapa akun/komponen yang terdapat dalam
modal:
1. Laba Ditahan
Laba ditahan terdiri dari laba tahunan, penyesuaian atau koreksi tahun
sebelumnya, dan besaran dividen. Komponen berikutnya dari modal saham ini
adalah laba rugi yang belum direalisasi. Dalam bebrapa hal perubahan aset
perusahaan tidak dilaporkan di laba rugi, tetapi langsung dilaporkan di neraca,
misalnya rugi dari perubahan surat berharga jangka panjang, laba rugi dari
transaksi luar negeri dalam mata uang asing (Harahap, 2012:214).

15
2. Cadangan (Reserve)
Dalam laporan keuangan di indonesia sering kita melihat istilah cadangan ini
dan terlihat salah dalam menggunakannya. Dalam arti umum cadangan berarti
sesuatu yang disimpan untuk maksud tertentu. Dalam akuntansi sering juga
dianggap sebagai pos penilaian atau taksiran kewajiaban, misalnya cadangan
piutang ragu-ragu, cadangan penghapusan, cadangan utang pajak, dan lain
sebagainya. Pengertian dalam akuntansi yang sebaiknya, cadangan merupakan
laba ditahan yang ditetapkan untuk maksud tertentu, jadi tidak boleh digunakan
untuk tujuan lain. Atau bisa juga istilah cadangan ini digunakan untuk
menjelaskan dana tertentu yang dicadangkan dan diperuntukan bagi maksud
tertentu. Misalnya cadangan untuk membayar obligasi, cadangan dana untuk
membeli aktiva tetap, dan sebagainya. Kalau ini yang dimaksud, maka cadangan
ini harus dimasukan ke dalam pos harta dan dikelompokan sebagai aktiva tidak
lancar. Fungsinya seperti kas atau bank yang dibatasi penggunaanya untuk
maksud tertentu (Harahap, 2012:214).
3. Pengakuan dan Penilaian Modal
Transaksi modal dapat dibagi dua, transaksi modal dan transaksi yang berkaitan
dengan laba. Transaksi golongan pertama menyangkut transaksi langsung dari
pemilik dengan perusahaan, misalnya pembayaran atau pengambilan modal.
Golongan kedua mnyangkut transaksi yang berkaitan dengan laba, misalnya
transaksi laba rugi, koreksi tahun lalu dan sebagainya.
Penilaian terhadap transaksi modal ini sama dengan penilaian terhadap pada
harta dan kewajiban yaitu berdasarkan harga pasar pada saat terjadinya transaksi.
Dalam hal ini pencatatan modal saham harus dipisahkan nilai parinya dengan
nilai jualnya. Laba ditahan dicatat sebagai akumulasi laba dari tahun-tahun
sebelumnya (Harahap, 2012:214).
Dalam Ghozali dan Chariri (2007) dijelaskan bahwa ekuitas pemegang
saham terdiri dari Modal Setoran, Laba Ditahan, dan Penyesuaian Modal Belum
Terealisasi. Modal Seroran mencangkup modal yuridis dan modal setoran lainya.
Modal yuridis yang dihitung berdasarkan nilai nominal saham menunjukan aktiva

16
neto yang tidak dapat didistribusikan ke pemegang saham. Kelebihan nilai diatas
nilai nominal diakui sebagai agio saham (Ghozali & Chariri, 2007:271).
Laba ditahan terdiri dari laporan laba/rugi, penyesuaian periode
sebelumnya, dan dividen. Oleh karena Laporan Laba Rugi merupakan bagian dari
laba ditahan, maka dapat dikatan bahwa ada hubungan saling terkait atau artikulasi
antara laporan laba rugi dan neraca (Ghozali dan Chariri, 2007:272).

2.4. Tujuan Penyajian Ekuitas


Pada umunya tujuan pelaporan informasi ekuitas pemegang saham adalah:
1. Menyediakan informasi kepada yang berkepentingan tentang efisiensi dan
kepengurusan manajemen.
2. Menyediakan informasi tentang riwayat serta prospek investasi pemilik dan
pemegang ekuitas lainnya.
3. Menyediakan informasi tentang kewajiban yuridis perseroan terhadap para
pemegang saham dan pihak lainnya (Suwardjono, 2010:516).
Untuk memenuhi tujuan tersebut, informasi yang harus disampaikan
tentang ekuitas pemegang saham tersebut minimal adalah:
1. Sumber ekuitas pemegang saham beserta riwayatnya
2. Peraturan yuridis yang membatasi pembagian dividen dan pengembalian modal
setoran kepada pemegang saham.
3. Priritas beberapa golongan pemegang saham atau pemegang ekuitas lainnya
(urutan proteksi) (Suwardjono, 2010:516).

2.5. Pembedaan Modal Setoran dan Laba Ditahan


Ditinjau dari sumber, ada beberapa komponen yang membentuk ekuitas
pemegang saham, yaitu:
1. Jumlah rupiah yang disetorkan oleh pemegang saham
2. Laba ditahan yang merupakan sisa laba setelah pembagian dividen
3. Jumlah rupiah yang timbul akibat apresiasi/revaluasi aset fisis tertentu
4. Jumlah rupiah donasi dari pihak non pemegang saham
5. Sumber lainnya (Suwardjono, 2010:517).

17
Laba ditahan pada dasarnya terbentuk dari akumulasi laba yang dipindahkan
dari akun Ikhtisar Laba Rugi (Income Summay). Begitu saldo laba ditutup ke laba
ditahan, sebenarnya saldo laba tersebut telah lebur menjadi elemen modal
pemegang saham yang sah. Laba ditahan menunjukan sejumlah hak atas seluruh
jumlah rupiah aset bukan hak atas jenis aset tertentu. Dengan demikian untuk
mengukur seluruh hak pemegang saham atas asset, maka laba ditahan harus
digabungkan dengan modal setoran (seluruh hak pemegang saham atas aset = Laba
ditahan + modal setoran) (Suwardjono, 2010:517).
Pembedaan anatara dua bagian elemen ekuitas pemegang saham sangat
penting.
 Dari segi administrasi keuangan
Laba ditahan merupakan indikator daya melaba (earning power) sehingga laba
ditahan harus selalu dipisahkan dengan modal setoran, meskipun jumlah
akhirnya ditotal untuk membentuk ekuitas pemegang saham (ekuitas pemegang
saham = modal setoran + laba ditahan).
 Pembedaan dari segi Yuridis
Modal setoran merupakan dana dasar (basic fund) yang harus tetap
dipertahankan untuk menunjukan perlindungan bagi pihak lain. Dana ini hanya
dapat ditarik kembali dalam likuidasi atau dalam keadaan luar biasa lainnya.
Laba ditahan adalah jumlah rupiah yang secara yuridis dapat digunakan untuk
pembagian dividen (Suwardjono, 2010:517).
Paton dan Littelon (1970) berargumen bahwa jumlah rupiah modal setoran
tidak menunjukan secara khusus tujuan penggunaan jumlah rupiah tersebut. Jumlah
tersebut hanyalah menunjukan hak atau kesepakatan (commitments). Atas dana
yang ditanamkan pihak penyedia dana (pemegang saham). Oleh karena itu
perubahan dalam modal setoran harus dibatasi hanya untuk transaksi antara
perseroan dengan pemegang saham (pemilik). Pada saat kesepakatan terjadi, aset
masuk ke badan usaha dan hak atas aset (modal setoran) timbul. Walaupun
demikian, perubahan dalam aset yang berkaitan dengan transaksi modal adalah
terpisah dan sangat berbeda dengan pemerolehan atau pelepasan aset yang terjadi
karena transaksi operasi dalam rangka mencapai tujuan perseroan. Hal ini didasari

18
juga oleh konsep kesatuan usaha. Jadi, perubahan aset akibat transaski modal
hendaknya tidak dikaitkan dengan perubahan aset akibat transaksi operasi (kegiatan
menciptakan laba). Yang dimaksud transaksi operasi dan transaksi modal adalah:
 Transaksi operasi adalah perubahan aset akibat penggunaan aset untuk tujuan
produktif (for productive effect).
 Transaski modal adalah perubahan aset dalam rangka pemerolehan dana (for
financial effect) (Suwardjono, 2010:517-518).

2.6. Modal Yuridis


Modal setoran dibedakan menjadi modal yuridis dan modal setoran lain
(agio/premium modal saham). Modal yuridis timbul karena ketentuan hukum yang
mengharuskan bahwa harus ada sejumlah rupiah yang harus dipertahankan dalam
rangka perlindungan terhadap pihak lain. Bentuk ketentuan ini adalah bahwa saham
harus mempnuyai nilai nominal atau nilai minimum yang dinyatakan untuk
menunjukan hak yuridis. Modal yuridis merupakan jumlah rupiah minimal yang
harus disetor oleh investor sehingga membentuk modal yuridis (legal capital)
(Suwardjono, 2010:518).
Ada juga aturan yang menetapkan bahwa saham tidak dapat dijual dibawah
nilai tertentu yang menjadi batas nilai yuridis sehingga tidak dikenal adanya diskon
modal saham. Tujuan penyajian modal yuridis ini adalah untuk memberi informasi
kepada para pemegang ekuitas lainnya tentang batas perlindungan investasinya.
Jadi walaupun secara akuntansi yang menganut konsep kesatuan usaha, pemisahan
ini tidak mempunyai makna ekonomik yang cukup berarti, secara yuridis
pemisahan ini dianggap cukup penting dan harus diungkapkan dalam pelaporan
keuangan (Suwardjono, 2010:518).
Akuntansi menganggap pengungkapan modal yuridis tersebut tidak penting
karena akuntasi lebih menekankan pada jumlah rupiah yang benar-benar disetor
pemegang saham sebagai jumlah rupiah kontrak antara perseroan dengan pemegang
saham. Dalam hal perusahaan berjalan terus, pengungkapan modal yuridis
kemudian akan berfungsi semata-mata untuk menunjukan batas jumlah aset yang
dapat didistribsikan kepada pemegang saham baik dalam bentuk dividen maupun

19
likuidasi modal dan dianggap hal ini memberi informasi terhadap batas
perlindungan bagi kreditor (Suwardjono, 2010:518).

2.6.1. Besarnya Modal Yuridis


Dalam hal saham bernilai nominal (par stock), modal yuridis dapat sama
dengan jumlah yang dikenal dengan nama modal saham (capital stock). Modal
saham menunjukan jumlah rupiah perkalian antara cacah saham beredar dengan
nilai nominal per saham. Jumlah ini merupakan jumlah rupiah yang secara yuridis
menjadi hak pemegang saham walaupun dalam transaksi pembelian saham jumlah
rupiah yang disetor/dibayarkan melebihi modal yuridis tersebut (Suwardjono,
2010:518).
Modal saham ini juga merupakan batas tanggungjawab pemegang saham
dan batas kerugian pribadi yang harus ditanggung pemegang saham. Artinya dalam
hal terjadi likuidasi pemegang saham tidak dapat menuntut pembagian kekayaaan
atas dasar modal yang disetor (kecuali ada sisa untuk itu). Sebalinya, dalam hal
hasil penjualan aset dalam likuidasi tidak dapat menutup seluruh utang perseroan,
pemegang saham tidak dapat diminta untuk menutup utang lebih dari modal atau
modal yang telah disetor kecuali pemegang saham bertindak sebagai direksi
(Suwardjono, 2010:519).

2.7. Modal Setoran Lain


Nominal saham sering dianggap bukan merupakan harga efektif saham,
sehingga secara akuntansi penentuan nilai nominal saham sebenarnya tidak
bermakna ekonomik. Dalam hal tertentu, nilai nominal saham lebih merupakan alat
untuk pemerataan distribusi pemilikan dari pada untuk menunjukan nilai saham itu
sendiri. Karena tidak bermakna ekonomik, saham dapat diterbitkan tanpa nilai
nominal (non par stock). Ada dua alasan penerbitan saham tanpa nilai nominal
yaitu (1) untuk menghindari utang bersyarat dalam hal saham terjual dibawah harga
nominal dan (2) tidak ada hubungan antara nilai nominal dengan harga pasar saham
(Suwardjono, 2010:519).

20
Namun demikian, penerbitan saham tanpa nilai nominal ini dapat
menimbulkan persoalan khususnya dalam hal perusahaan dilikuidasi karena akan
sulit untuk menentukan dasar pembagian kekayaan perusahaan. Disamping itu
perlindungan bagi kreditor menjadi tidak jelas karena seakan-akan tidak ada batas
jumlah rupiah yang dapat dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk dividen
dan likuidasi modal. Yang lebih tidak menguntungkan lagi bagi kreditor dan pihak
berkepentingan lainnya adalah bahwa saham tanpa nilai nominal dijual dengan
harga yang sangat rendah semata-mata untuk tujuan penggeseran pemilikan atau
mempengaruhi harga saham. Oleh karena itu beberapa negara memberlakukan
ketentuan bahwa perseroan menyatakan nilai saham minimum yang disebut dengan
nilai nyataan (stated value). Saham tidak dapat diterbitkan kalau dijual dengan
harga dibawah nilai nyataan. Nilai nyataan akan berfungsi sebagai modal yuridis
(Suwardjono, 2010:519).
Walaupun praktik akuntansi dalam kenyataanya memecah modal setoran
menjadi modal saham dan modal setoran lain, modal saham sebenarnya tidak harus
menunjukan modal yuridis karena modal saham dapat berbeda jumlahnya dengan
modal yuridis. Berapapun besaranya modal yuridis, modal ini harus dipisahkan
dengan yang lain. Pemisahan semacam ini semata-mata merupakan tradisi dan
dipengaruhi oleh konsep yang disebut trust-fund theory yang pada prinsipnya
menyatakan bahwa harus ada batas jumlah rupiah maksimum yang dapat
didistribusikan secara yuridis kepada pemegang saham dalam kondisi perusahaan
berjalan normal kecuali dalam hal perusahaan dilikuidasi. Jumlah maksimum ini
tidak harus sama dengan modal saham (Suwardjono, 2010:519).
Modal yuridis dapat diubah sewaktu-waktu tanpa harus menerbitkan saham
baru. Modal yuridis juga dapat berubah akibat transfer antar sumber dana sehingga
terkadang sulit untuk menentukan berapakah modal yuridis perusahaan yang
sebenarnya sebagai informasi kepada pihak yang berkepentingan. Pengungkapan
modal yuridis tidak diperlukan kecuali untuk perusahaan yang baru berdiri. Dalam
perusahaan besar yang labanya berkembang, modal yuridis biasanya merupakan
sebagian kecil dari total ekuitas pemegang saham. Dalam keadaan seperti ini,
jumlah rupiah dividen tahun berjalan dan masa mendatang tidak akan bergantung

21
pada jumlah modal yuridis. Justru seluruh modal pemegang saham (termasuk laba
ditahan) akan berlaku sebagai perlindungan (buffer) bagi kreditor. Sebenarnya,
kreditor akan lebih mendasarkan keputusannya pada total sumber ekonomik
perusahaan, kemampuan memperoleh laba, dan kebijakan keuangan perusahaan
daripada pada modal yuridis (Suwardjono, 2010:520).
Pendapat ini sejalan dengan gagaasan Paton & Littleton yang menyatakan
bahwa modal saham dan modal setoran lain merupakan komponen yang harus
dianggap sebagai satu kesatuan dan jumlah rupiahnya harus ditotal untuk
menunjukkan modal setoran total. Akan tetapi, harus dibedakan dengan tegas antara
modal setoran dengan laba ditahan. Selanjutnya ditegaskan bahwa secara ekonomik
bukanlah modal yuridis yang menjadi batas perlindungan tetapi justru laba
ditahanlah yang merupakan penyangga umum (general purpose buffer) untuk
segala kemungkinan rugi dan hal-hal bersyarat lainnya (Suwardjono, 2010:520).
Pasal 42 Undang-undang No 1 Tahun 1995 menetapkan bahwa saham tanpa
nilai nominal tidak dapat diterbitkan. Ketentuan ini sebenarnya dimaksudkan untuk
menentukan modal yuridis. Nilai nominal merupakan jumlah rupiah minimal yang
harus disetor investor sehingga membentuk modal yuridis (Suwardjono, 2010:520).
Paton dan Littelon (1970) menegaskan bahwa perseroan merupakan
kesatuan usaha maupun kesatuan hukum. Sifat ganda ini menjadikan akuntansi
mempunyai fungsi ganda yaitu menyajikan data ekonomik sekaligus
mencerminkan aspek yuridis yang sebenarnya. Fungsi ganda ini menimbulkan
masalah pelaporan ekuitas pemegang saham karena konsep kesatuan usaha dan
konsep hukum sangat berbeda. Dari segi hukum ada tendensi untuk memandang
ekuitas pemegang saham sebagai jumlah rupiah tertentu yang menjadi batas
penarikan kembali dana yang ditanamkan oleh pemegang saham tanpa
memeperhatikan setoran yang sesungguhnya. Dari segi akuntansi yang menganut
substansi dari pada bentuk, memandang ekuitas pemegang saham adalah seluruh
jumlah yang secara ekonomik tertanam di perusahaan termasuk laba ditahan
(Suwardjono, 2010:520).
Selanjutnya Paton dan Littleton berargumen bahwa penggunaan lapora
perseroan untuk kepentingan pengelolaan dan keuangan adalah lebih sering

22
dibandingkan untuk kepentingan yuridis dan bahwa penggunaan yang lebih sering
harus lebih menentukan bentuk penyajian dari pada penggunaan yang hanya
kadang-kadang (insidental). Akan tetapi, hal ini tidak berarti mengurangi arti
penting laporan dari sudut pandang yuridis. Dengan demikian, modal saham yuridis
(legal capital) dapat saja disajikan sebagai suatu rincian dibawah judul “modal
setoran total”. Oleh karena itu, neraca akan menjadi kurang informatif kalau
komponen-komponen modal setoran dipisahkan tetapi tidak ditunjukan totalnya
(Suwardjono, 2010:520-521).
Dengan dasar pemikiran diatas, transfer dari modal setoran ke laba ditahan
tanpa alasan yang kuat adalah penyimpangan dari penalaran yang valid. Ini berarti
bahwa modal tidak dapat digunakan sebagai sumber laba ditahan. Demikian juga,
tidak sebagainpundari jumlah rupiah laba ditahan dapat dimasukan sebagai modal
setoran kecuali jumlah rupiah tersebut telah diubah menjadi modal dengan proses
kapitalisasi yuridis atau telah berubah karena transaksi modal yang dibahas
dibawah ini (Suwardjono, 2010:521).

2.8. Perubahan Modal Setoran


Tansaksi, kejadian, atau keadaan dapat menyebabkan perubahan dalam
modal setoran, modal setoran lain, dan laba ditahan baik secara individual maupun
bersamaan. Tujuan utama perekayasaan akuntansi modal setoran ini adalah untuk
membedakan secara tegas antara perubahan akibat transaksi operasi dan perubahan
akibat transaksi modal. Dalam hal kenaikan modal setoran, pembedaan ini
bermanfaat untuk mencegah memperlakukan kenaikan akibat transaksi modal
sebagai laba sehingga timbul kesan adanya jumlah yang tersedia untuk pembagian
dividen. Berbagai sumber yang dapat mengubah modal setoran dengan berbagai
masalah teoretisnya adalah:
a. Pemesanan saham (stock subscriptions)
b. Obligasi terkonversi atau berhak-tukar (convertible bonds)
c. Saham istimewa terkonversi atau berhak-tukar (convertible stock)
d. Dividen saham (stock dividends)
e. Hak beli saham, opsi, dan waran (stock rights, options, and warrant)

23
f. Saham treasuri (treasury stocks) (Suwardjono, 2010:521).

2.8.1. Pemesanan Saham


Pada umumnya, pada saat perseroan didirikan atau pada saat melakukan
penawaran publik perdana (initial public offering atau IPO), perusahaan telah
menetapkan apa yang disebut modal dasar (authorized capital stocks). Dengan
autorisasi tersebut perusahaan akan mencetak sertifikat saham. Sertifikat saham
yang telah dicetak ini akan menjadi apa yang disebut saham dalam portepel
(unissued stock). Bila saham telah terjual dan pembeli telah membayar penuh
kesepakatannya, sertifikat saham diserahkan kepada pembeli, sehingga secara fisis
saham dalam portepel akan berkurang. Atas dasar konsep kesatuan usaha, jumlah
rupiah yang diterima perusahaan (kas atau aset lainnya) akan menimbulkan atau
diimbangi dengan modal setoran (Suwardjono, 2010:521-522).
Pada umumnya, investor yang berminat membeli saham perusahaan harus
memesan (to subscribe) lebih dahulu saham yang akan dibeli dengan harga sesuai
dengan kesepakatan pada saat pemesanan. Secara konseptual, ekuitas pemegang
saham bersifat seperti kewajiban. Oleh karena itu, jumlah rupiah saham pesanan
dapat diakui sebagai modal setoran hanya apabila kedua syarat berikut dipenuhi:
1. Jumlah rupiah yang disepakati dalam pemesanan merupakan klaim yuridis bagi
perusahaan terhadap pemesan dan tidak dapat dibatalkan.
2. Harga pemesanan tersebut akan ditagih penerbit dalam perioda yang cukup pasti
dan tidak terlalu lama (Suwardjono, 2010:522).
Syarat (1) menuntut bahwa kesepakatan pemesan merupakan kontrak yang
mengikat sehingga menimbulkan piutang pesanan saham (stock sobscription
receivable) bagi penerbit yang kalau tidak dipenuhi maka penerbit dapat menuntut
secara yuridis untuk dilunasi. Dengan kata lain, pemesanan merupakan
kesanggupan yang definitif dan bukan sekadar untuk keperluan administratif
belaka. Klaim untuk menerima uang yang tidak dapat dibatalkan dilandasi oleh
konsep hak-kewajiban tak bersyarat (unconditional right of offsset) yang
menyatakan bahwa pihak berkontrak pertama tidak mempunyai kewajiban apapun
sebelum pihak kedua memenuhi apa yang menjadi hak pihak pertama. Dalam hal

24
ini, piutang yang tidak dapat dibatalkan merupakan aset bagi penerbit sehingga
modal setoran sebagai “kewajiban” dapat diakui (Suwardjono, 2010:522).
Syarat (2) diperlukan agar hak-kewajiban tak bersyarat tidak berlaku
sehingga kontrak tidak bersifat eksekutori. Jadi, bila tidak ada kepastian tentang
pelaksanaan transaksi penerbitan maka pemesanan tersebut jelas tidak dapat diakui
sebagai modal setoran. Dengan kata lain, kalau ada kesanggupan yang sah untuk
menginvestaskan dana ke perusahaan dari pihak pemesan dan ada jaminan yang
cukup pasti bahwa pemesan akan menyetorkan jumlah rupiah pemesanannya pada
saat yang dijanjikan maka sebenarnya ada cukup alasan untuk mengakui pemesanan
tersebut sebagai modal setoran walaupun tidak secara penuh (dicatat sebagai modal
saham pesanan atau (capital stocks subscribed). Dalam pelaporan, piutang pesanan
saham dikontrakan terhadap modal saham pesanan untuk melanjutkan modal
setoran yang sesungguhnya. Selisihnya dengan sendirinya merupakan jumlah
rupiah yang benar-benar telah disetor (Suwardjono, 2010:522).

2.8.2. Obligasi Terkonversi


Dalam hal tertentu, perusahaan menerbitkan obligasi dengan karekteristik
bahwa obligasi tersebut dapat ditukarkan dengan saham biasa atas kehendak
pemegang obligasi dalam perioda konversi tertentu. Kalau hak tukar tersebut
digunakan (exercised), yang terjadi adalah perubahan status kewajiban menjadi
modal setoran. Masalah teoretisnya adalah menentukan jumlah rupiah yang dapat
dianggap sebagai modal setoran sehingga modal saham dan kelebihan diatas modal
saham (kalau ada) dapat ditentukan (Suwardjono, 2010:523). Dalam hal ini, ada
dua nilai yang dapat digunakan sebagai basis kapitalisasi yaitu:
1. Nilai buku (book value) atau nilai bawaan (carrying value) obligasi pada saat
penukaran.
2. Harga pasar obligasi atau harga pasar saham (mana yang paling obyektif).
Dasar pertama mereklasifikasi nilai buku menjadi modal saham dan
premium atau diskon modal saham tergantung kasusnya. Dengan demikian, tidak
ada untung atau rugi yang diakui pada saat transaksi pertukaran tersebut. Esensi
transaksi tersebut hanyalah mengubah status jumlah rupiah utang menjadi modal

25
pemegang saham. Pendekatan didasari konsep kesatuan usaha (business entity
concept) karena kreditor dan pemegang saham mempunyai kedudukan yang sama
sebagai investor dengan kepentingan yang sama. Oleh karena itu, pertukaran
tersebut tidak mempunyai substansi ekonomik sehingga tidak dapat menimbulakan
untung atau rugi (Suwardjono, 2010:523).
Alasan yang lain adalah bahwa pada saat obligasi diterbitkan, semua
penerimaan kas diperlakukan sebagai utang. Artinya, tidak dipisahkan jumlah
rupiah yang melekat pada obligasi sebagai obligasi biasa dan pada hak tukar. Hak
tukar dianggap melekat pada obligasi sehingga tidak dapat diukur secara pasti
nilainya. Karena hak tukar tidak dapat diukur dengan pasti, nilai buku obligasi
murni juga tidak dapat diukur dengan pasti, sehingga laba atau rugi tidak dapat
ditentukan kalau harga pasar obligasi dapat ditentukan. Jadi, kepraktisan dan
objektivitas pengukuran tidak menghendaki pengakuan untung dan rugi
(Suwardjono, 2010:523).
Pendekatan kedua memperlakukan selisih antara harga pasar obligasi atau
saham dengan nilai buku obligasi sebagai untung atau rugi. Cara ini dilandasi oleh
konsep kesatuan pemilik (proprietary concept). Perubahan dalam penilaian obligasi
dianggap mempunyai pengaruh terhadap modal pemegang saham. Akan tetapi,
karena harga pasar obligasi merefleksi pula nilai hak tukar, nilai hak tukar harus
ditaksir dan dikeluarkan dari nilai pasar obligasi. Nilai pasar obligasi murni ini
kemudian ditandingkan dengan nilai buku obligasi untuk menentukan laba atau rugi
yang tepat. Secara konseptual, pengakuan laba atau rugi tidak valid karena konversi
ini merupakan transaksi modal bukan operasi. Secara teoretis, transaksi modal tidak
menimbulkan pendapatan, laba, atau rugi (Suwardjono, 2010:523-524).

2.8.3. Saham Prioritas Terkonversi


Pengukuran jumlah rupiah yang harus diakui sebagai modal setoran dapat
menggunakan cara seperti pada obligasi terkonversi. Dengan pendekatan pertama,
nilai nominal saham prioritas plus porsi premium/diskun ditransfer ke modal
pemegang saham dan premium/diskun modal pemegang saham biasa. Tidak ada
untung atau rugi yang diakui pada saat konversi tersebut. Ini berarti bahwa jumlah

26
rupiah yang mula-mula diterima pada saat menerbitkan saham prioritas dianggap
sebagai modal setoran mula-mula untuk saham biasa. Perlu dicatat bahwa jumlah
rupiah ini bukan merupakan nilai likuidasi saham prioritas karena nilai likuidasi
saham prioritas adalah sebesar nilai nominalnya. Itulah sebabnya porsi
premium/diskun juga ikut ditransfer. Kalau porsi premium tidak ditransfer dan
semua saham prioritas dikonversi menjadi saham biasa maka akan terjadi
kejanggalan karena akan terdapat premium saham prioritas padahal tidak ada saham
prioritas yang beredar. Konversi ini semata-mata menandai perubahan status atau
hak dua golongan pemegang saham. Perubahan ini sering disertai penerbitan
sertifikat saham biasa baru dan penarikan sertifikat saham prioritas atau istimewa
(Suwardjono, 2010:524).
Pendekatan kedua juga dapat diterapkan. Kalau ada selisih antara harga
pasar baik saham biasa maupun saham prioritas, selisih tersebut harus dikompensasi
ke atau dari laba ditahan. Pendekatan ini mengisyaratkan diterimanya konsep
kesatuan usaha karena laba ditahan dianggap sebagai ekuitas perusahaan yang
terpisah atau independen. Ini berarti harga pasar saham biasa yang diperhitungkan
dianggap tidak merefleksi hak yang melekat pada laba ditahan. Laba ditahan
dianggap sebagai penyangga bila ada selisih harga antara dua sekuritas yang
dipertukarkan. Cara ini juga dilandasi oleh pendekatan dua transaksi (two
transaction approach) yaitu konversi dianggap sebagai transaksi penebusan
kembali saham prioritas (sehingga sebagian dari harga penebusan yang melebihi
nilai buku dianggap sebagai distribusi laba ditahan) dan transaksi penjualan saham
biasa baru dengan harga pasar yang berlaku. Karena hak tukar melekat pada saham
prioritas pada waktu diterbikan, perlakuan konversi sebagai satu transaksi (one
transaction approach) seperti pendekatan pertama akan lebih logis (Suwardjono,
2010:524).
Argumen lain yang mendukung harga pasar sebagai dasar penilaian modal
setoaran adalah bahwa konversi tersebut mempunyai substansi ekonomik tidak
semata-mata formalitas. Setelah konversi berarti perusahaan menjadi bebas dari
kewajiban membayar dividen secara tetap. Ini berarti likuiditas perusahaan
bertambah dan akan mengurangi risiko pemegang saham biasa. Penggunaan harga

27
pasar juga pararel dengan transaksi pertukaran untuk potensi jasa atau aset yang
tidak sejenis (dissimilar) yang menggunakan harga pasar sebagai dasar penentuan
cost-nya (Suwardjono, 2010:524).

2.8.4. Dividen Saham


Dividen saham adalah distribusi dividen dalam bentuk saham yang sejenis
dengan saham yang mula-mula diterbitkan. Bila distribusi dividen saham tidak
disertai dengan kapitalisasi laba ditahan, dividen saham akan menyerupai
pemecahan saham (stock split). Pemecahan saham adalah penurunan nominal (atau
nilai nyataan/stated value) per saham dengan cara menukar tiap satu saham yang
beredar dengan dua atau lebih saham baru yang nilai nominal per sahamnya
merupakan pecahan dari nilai nominal saham semula. Bila perusahaan
mendistribusi dividen saham 20% tanpa disertai kapitalisasi, perusahaan
sebenarnya telah menurunkan nominal per saham menjadi 100/120 dari nilai
nominal semula (Suwardjono, 2010:525).
Pembagian dividen saham tanpa kapitalisasi laba ditahan sama saja dengan
mempertahankan klasifikasi ekuitas atas dasar sumber. Karena tidak ada
kapitalisasi laba ditahan, masalah penilaian tidak timbul. Dari sudut pandang
perusahaan, yang terjadi adalah saham beredar menjadi lebih banyak tanpa ada
perubahan rupiah modal setoran dan laba ditahan sehingga nominal per lembar
saham akan turun. Perusahaan tidak perlu melakukan penjurnalan apapun dan
cukup mengungkapkan informasi dalam penjelasan atas statement keuangan
(Suwardjono, 2010:525).
Bila reklasifikasi ekuitas yang menjadi tujuan pembagian dividen saham
dan nominal per saham dipertahankan, tambahnya saham yang beredar bukan lagi
merupakan pemecahan nominal saham tetapi benar-benar meruakan dividen saham.
Pembagian dividen saham ini akan menimbulkan masalah penilaian untuk
kapitalisasai laba ditahan dan masalah pengungkapan yang memadai. Penilaian
untuk menentukan kapitalisasi laba ditahan dapat menggunakan dasar nominal
saham atau harga pasar saham atau dasar lainnya bergantung pada karakteristik atau
tujuan pembagian dividen saham (Suwardjono, 2010:525).

28
2.8.4.1. Karakteristik Dividen Saham
Bagi pemegang saham, dividen saham bukan merupakan pendapatan atau
laba. Berbagai teori atau argumen diajukan untuk menjelaskan mengapa dividen
saham bukan merupakan laba bagi penerimanya (Suwardjono, 2010:525).
Dari sudut pandang kesatuan usaha, dividen saham bukan merupakan
pembagian laba karena tidak ada penurunan aset perusahaan atau kenaikan utang
perusahaan. Hal ini berbeda dengan dividen kas jelas merupakan pendapatan bagi
penerima karena ada transfer kemakmuran (wealth) ke pemegang saham
(Suwardjono, 2010:525).
Bila dividen saham dipandang sebagai pendapatan in natura karena
menaikkan nilai investasi, pendapatan tersebut belum terrealisasi bila belum dijual
oleh penerimanya. Investasi naik karena dividen saham dapat dijual atau kalau tidak
dijual penerima berhak menerima dividen tunai di masa datang atas saham tersebut
(Suwardjono, 2010:525).
Argumen lain didasarkan atas konsep kesatuan usaha. Dengan konsep ini,
laba ditahan dipandang sebagai bagian dari modal pemegang saham. Kalau
perusahaan memperoleh laba maka modal pemegang saham juga akan naik dengan
jumlah yang sama. Ini berarti kemakmuran pemegang saham juga naik (biasanya
ditandai dengan naiknya harga saham di pasar modal) (Suwardjono, 2010:525).
Oleh karena itu, dividen saham atau dividen kas sebenarnya bukan
merupakan pendapatan atau laba bagi pemegang saham karena pada saat dividen
tersebut dibagikan kemakmuran pemegang saham tidak bertambah lagi. Dividen
kas hanya berfungsi sebagai konfirmasi bahwa kemakmuran pemegang saham
benar-benar telah naik secara objektif sebelum dividen. Kalau laba ditahan
dianggap sebagai ekuitas yang terpisah sehingga ekuitas pemegang saham hanya
terdiri atas modal setoran, dividen saham atau kas merupakan pendapatan atau laba
bagi pemegang saham karena mereka memperoleh sesuatu yang sebelumnya tidak
dipunyai. Dividen saham akan menaikkan modal setoran dengan cara transfer dari
ekuitas perusahaan ke ekuitas pemegang saham (Suwardjono, 2010:526).
Dari sudut pandang kesatuan pemilik, dividen saham bukan merupakan laba
bagi penerimanya. Alasannya adalah bahwa laba perseroan juga merupakan laba

29
pemilik. Oleh karena itu, dividen kas dianggap sebagai pengambilan atau prive oleh
pemilik dari sesuatu yang memang sudah menjadi haknya.sehingga tidak ada
tambahan kemakmuran. Dividen sahan juga bukan merupakan laba tetapi sekedar
reklasifikasi ekuitas (Suwardjono, 2010:526).
Karena sudut pandang akuntansi adalah kesatuan usaha, apakah dividen
saham merupakan pendapatan bagi pemegang saham sebenarnya bukan masalah
yang relevan. Yang relevan bagi perusahaan adalah apakah dividen saham
dipandang sebagai reklarifikasi ekuitas dan bila demikian bagaimana kapitalisasi
diukur. Kapitalisasi dapat didasarkan atas (1) nilai nominal atau nilai nyataan
dividen yang dibagi, (2) nilai pasar dividen yang dibagi/diterbitkan, dan (3) modal
setoran per saham sebelum dividen saham (Suwardjono, 2010:526).

2.8.4.2. Kapitalisasi Atas Dasar Nilai Nominal


Kalau tujuan penyajian informasi modal pemegang saham adalah untuk
menunjukkan modal yuridis (legal capital), kapitalisasi dividen saham haruslah
hanya sebesar nilai nominal atau nyataannya. Jumlah ini sebesarnya merupakan
jumlah minimal yang harus dikapitalisasi untuk memenuhi ketentuan yuridis
(Suwardjono, 2010:526).
Alasan pendukung kapitalisasi hanya sebesar nilai yuridis adalah dividen
saham bukan merupakan pendapatan dan mengkapitalisasi sebesar harga pasar
memberi kesan bahwa dividen tersebut merupakan pendapatan yang di reinvestasi
kedalam perusahaan. Alasan lain yang dianggap cukup kuat adalah bahwa harga
pasar menggambarkan harga seluruh ekuitas pemegang saham (modal setoran dan
laba ditahan). Jadi sangat tidak logis mentransfer jumlah yang merefleksi elemen
modal setoran dan laba ditahan ke modal setoran itu sendiri (Suwardjono,
2010:526).
Bila modal yuridis baru ingin ditunjukkan tanpa melakukan kapitalisasi
resmi, dapat ditempuh apa yang disebut klasifikasi ganda (dual classification).
Modal saham yuridis baru ditunjukkan dalam catatan kaki sementara di neraca
ditunjukkan bagian laba ditahan yang dikapitalisasi (Suwardjono, 2010:527).

30
2.8.4.3. Kapitalisasi Atas Dasar Harga Saham
Walaupun dividen saham berbeda dengan dividen kas, sebagai dividen
keduanya dianggap sebagai distribusi ke pemilik. Oleh karena itu, dividen saham
dapat dipandang sebagai pengganti dividen kas karena dividen saham mempunyai
nilai. Paling tidak, pemegang saham dapat menjual saham tersebut kalau dividen
kas yang diharapkan dan investasi semula tidak berubah. Nilai tersebut diukur atas
dasar harga saham. Dengan demikian, harga pasar merupakan dasar yang tepat
untuk menentukan kapitalisasi. Berbagai dasar pikiran mendukung hal ini
(Suwardjono, 2010:527).
A. Laba ditahan pada dasarnya adalah reinvestasi dari pemegang saham tanpa
tindakan pernyataan resmi. Dividen saham merupakan sarana untuk menyatakan
kebersediaan pemegang saham secara resmi untuk menanamkan modal (dengan
dividen saham sebagai bukti) dalam perusahaan. Jumlah yang ditanamkan
tentunya adalah sebesar harga pasar saham dimata pemegang saham karena
pemegang saham dapat menjual dividen saham untuk mendapatkan kas.
B. Transaksi dividen saham dapat dianggap terdiri atas dua transaksi yaitu
pembagian dividen kas dan penerbitan saham baru dengan harga sebesar dividen
kas tersebut. Oleh karena itu, dividen saham akan mengurangi laba ditahan
sebesar harga pasar saham dan reinvestasi akan menyebabkan modal setoran
naik dengan jumlah yang sama.
C. Dari kacamata perusahaan, jumlah rupiah dividen saham adalah cost kesempatan
penjualan saham baru ke pasar modal. Artinya besarnya kapitalisasi adalah
sebesar jumlah rupiah seandainya saham baru dijual di pasar dan tidak dibagikan
sebagai dividen saham.
D. Penggunaan harga pasar (bukan hanya nilai nominal) juga mengurangi kesan
keliru para pemegang saham bahwa masih tersedia laba ditahan yang dapat
didistribusi lagi baik dalam bentuk dividen saham atau kas (Suwardjono,
2010:527).
Kritik terhadap argumen ini adalah bahwa keduanya didasarkan pada
keadaan yang memang tidak terjadi. Lebih dari itu, kalau persentasi dividen saham
cukup tinggi, harga saham akan cukup terpengaruh sehingga kapitalisasi harus

31
dibatasi hanya sejumlah modal yuridis (nominal saham). Masalahnya adalah
seberapa banyak dividen saham dianggap cukup besar. Seperti pedoman umum
penggunaan metoda ekuitas, pembagian dividen saham diatas 20% dianggap cukup
berpengaruh (substantial influence) terhadap harga saham sehingga kapitalisasi
dibatasi hanya sebesar nilai nominal (Suwardjono, 2010:527).
Kritik lainnya adalah kalau memang dividen saham bukan merupakan
pendapatan bagi penerimanya, tidak layaknya untuk memperlakukan sebagai
pendapatan karena akan menciptakan ilusi yang keliru bagi pemegang saham
(Suwardjono, 2010:528).
Alasan lain yang menolak penggunaan harga pasar saham adalah alasan
pendukung penggunaan nilai yuridis. Harga pasar sebenarnya mereflesi ekuitas
pemegang saham total dalam perusahaan yaitu modal setoran plus laba ditahan. Jadi
sangat tidak logis mentransfer jumlah yang merefleksi elemen modal setoran dan
laba ditahan ke modal setoran itu sendiri. Bahkan untuk mempertahankan keutuhan
modal yuridis, kapitalisasi tidak diperlukan dan informasi mengenai dividen saham
cukup dilaporkan melalui catatan kaki atau pengungkapan lainnya (Suwardjono,
2010:528).
Pendekatan dua transaksi menjadi valid kalau pemegang saham mempunyai
opsi untuk menerima dividen kas atau menerima jumlah yang sama dalam bentuk
sejumlah saham yang dihitung atas dasar harga pasar saham (Suwardjono,
2010:528).

2.8.5. Hak Beli Saham


Hak beli saham adalah hak yang diberikan bagi pemegang saham lama untuk
membeli sejumlah saham saham (proporsional dengan pemilikan). Hal ini biasanya
dimaksudkan untuk mempertahankan pemilikan pemegang saham lama. Pada
umumnya hak beli saham umurnya tidak lama dan harga beli saham dengan hak
beli tersebut biasanya lebih rendah dari harga pasar saham bersangkutan. Oleh
karena itu, hak beli saham sering dianggap mempunyai harga pasar sehingga timbul
pendapat bahwa hak beli tersebut dikapitalisasi. Harga pasar hak beli saham ini

32
adalah sebesar selisih harga pasar saham dengan harga yang harus dibayar
pemegang saham yang mempunyai hak beli saham (Suwardjono, 2010:528).
Bila deviden saham dapat dikapitalisasi maka hak beli saham juga dapat
dikapitalisasi karena hak beli saham dapat dianggap sebagai deviden saham dengan
nilai sebesar harga pasar hak beli saham. Jumlah ini dikapitalisasi ke modal setoran
lain. Argumen ini dibantah dengan alasan bahwa kapitalisasi hak beli saham
menjadi modal setoran adalah tidak logis karena tidak ada sumber ekonomik yang
disetorkan oleh pemegang saham dan tidak ada saham baru yang diterbitkan
(Suwardjono, 2010:528).

2.8.6. Opsi Saham


Opsi merupakan instrumen yang digolongkan sebagai sekuritas turunan
saham atau derivatif saham. Opsi disebut turunan karena harus ada sekuritas yang
melandasi atau menjadi basis. Secara umum opsi dapat diartikan sebagai klaim
untuk membeli atau menjual saham tertentu yang sengaja diciptakan oleh investor
untuk dijual kepada investor lain. Terdapat dua macam opsi yaitu call dan put. Opsi
call memberi hak kepada pemegang saham untuk membeli sejumlah saham dengan
harga tertentu setiap saat sebelum hak tesebut habis pada tanggal tertentu.
Sedangkan opsi put memberi hak kepada pemegang saham untuk menjual sejumlah
saham dengan harga tertentu setiap saat sebelum hak tersebut habis pada tanggal
tertentu. Opsi dijual oleh penerbit dengan harga tertentu (Suwardjono, 2010:529).
Dalam arti khusus, opsi saham adalah semacam kontrak yang memberi hak
kepada karyawan perusahaan (termasuk manajer atau pemimpin) untuk membeli
saham perusahaan dalam jangka waktu tertentu dengan harga yang tertentu pula.
Pada umumnya harga pengambilan (excercise price) dibawah harga pasar saham
yang bersangkutan atau harga yang ditawarkan kepada pihak lain. Kebijakan
semacam ini sering disebut dengan program opsi saham karyawan (emlpoyee stock
option plan atau ESOP). Opsi saham ini biasanya di gunakan sebagai sarana untuk
meningkatkan loyalitas dan motivasi karyawan dengan menjadikan mereka pemilik
perusahaan dan untuk menambah penghasilan karyawan (sebagai kompensasi
tambahan). Banyaknya saham yang dapat dibeli dan harga opsi dapat ditentukan

33
pada saat hak opsi diberikan atau bergantung pada beberapa kejadian di masa
mendatang seperti pertumbuhan perusahaan dan perubahan harga saham
(Suwardjono, 2010:529).
Dalam hal opsi saham karyawan, ada kalanya harga pengambilan begitu
rendahnya dibanding harga pasar sehingga selisihnya dapat dipandang sebagai
kompensasi atau imbalan jasa karyawan (Suwardjono, 2010:529).

2.8.6.1. Opsi Saham Non Imbalan


Ada kalanya program opsi saham diluncurkan bukan untuk tujuan
meningkatkan kompensasi karyawan tetapi untuk meningkatkan status karyawan
sebagai pemilik perusahaan dan membantu perusahaan menambah dana. Program
opsi saham yang memang tidak dimaksudkan untuk menambah penghasilan
karyawan tidak dapat dikatagorikan sebagai kompensasi tambahan sehingga harus
diakui sebagai biaya. Namun pendapat umum menyatakan bahwa opsi saham pada
dasarnya mengandung unsur kompensasi tambahan kepada karyawan. Manfaat
yang diperoleh karyawan yang mengambil opsi, atau membeli saham, dengan harga
opsi yang lebih rendah dari harga pasar saham bersangkutan merupakan elemen
kompensasi seandainya elemen tersebut dapat diakui sebagai biaya dalam
menghitung laba baik dalam periode opsi saham diberikan atau dalam periode
manfaat tersebut telah terealisasi atau dinikmati karyawan (Suwardjono, 2010:529).
Tujuan yang terkandung dalam program opsi saham memang sulit untuk
dijadikan dasar untuk menentukan apakah opsi saham bersifat kompensasi atau non
kompensasi. Opsi saham dapat dikategorikan sebagai non imbalan/non kompensasi
kalau keempat karakteristik program opsi saham berikut dipenuhi :
1. Hampir seluruh karyawan penuh (full time) yang memenuhi kualifikasi jabatan
terbatas boleh berpartisipasi dalam program opsi saham
2. Karyawan mempuyai hak membeli saham dalam jumlah yang sama atau atas
dasr persentase tertentu dari gaji atau upah
3. Jangka waktu opsi tidak terlalu lama
4. Harga saham tidak terlalu rendah dibandingkan dengan harga pasar saham atau
harga yang ditawarkan kepada pihak lain (Suwardjono, 2010:529-530).

34
Harus diasumsi pula bahwa pemberian hak opsi tersebut tidak mempunyai
konsekuensi bagi karyawan untuk melaksanakan kewajiban atau pekerjaan
tambahan. Pada umumnya kalau opsi saham tersebut non imbalan, harga saham
atau harga pengambilan ditentukan sama dengan harga saham pada saat opsi
diberikan. Dengan demikian pada saat tersebut karyawan dianggap tidak menerima
manfaat atau penghasilan tambahan karena karyawan akan membayar jumlah yang
sama dengan jumlah yang harus dibayar oleh non karyawan untuk saham
bersangkutan di pasar saham (Suwardjono, 2010:530).
Kalau ternyata karyawan memperoleh manfaat karena harga saham lebih
rendah dari harga pasar pada saat opsi diambil maka manfaat tersebut dapat
dipandang sebagai untung akibat spekulasi karyawan dan bukan sebagai
penghasilan tambahan untuk jasa yang diberikan karyawan. Pada saat opsi saham
ditawarkan tidak ada tambahan modal setoran. Pada saat opsi saham diambil modal
setoran akan bertambah sebesar harga saham. Pada saat itu seakan-akan perusahaan
menjual dan menerbitkan saham baru (Suwardjono, 2010:530).

2.8.6.2. Opsi Saham Imbalan


Kalau program opsi saham tidak memenuhi kriteria sebagai opsi saham non
imbalan, tentunya opsi saham tersebut merupakan opsi saham imbalan. Misalnya
saja, opsi saham ditawarkan hanya kepada para eksekutif tertentu bukan pada
seluruh karyawan. Kalau banyaknya saham dan harga pengambilan sudah diketahui
pada saat opsi ditawarkan maka kompensasi dapat diukur pada saat itu atas dasar
selisih harga pasar dan harga pengambilan. Akan tetapi kalau cacah saham dan
harga pengambilan tergantung pada hal-hal yang akan terjadi di masa mendatang,
kompensasi yang diperhitungkan dan diakui sebagai biaya biasanya adalah selisih
harga pengambilan dan harga pasar pada tanggal pengukuran (measurement date).
Tanggal pengukuran alteratif ini akan ditentukan berdasarkan tanggal yang
informasi berikut diketahui lebih dulu :
1. Banyaknya saham yang dapat dibeli oleh karyawan.
2. Harga pengambilan .

35
Tidak brarti bahwa karyawan harus mengambil opsi pada tanggal tersebut
(Suwardjono, 2010:530).
Alasan pengukuran biaya pada saat opsi ditawarkan atau pada tanggal
alternatif adalah :
a) Pada tanggal tersebut kompensasi dapat diukur dengan cukup pasti baik bagi
perusahaan maupun karyawan.
b) Harga pada tanggal tersebut dapat dianggap merupakan harga kesepakatan bagi
kedua belah pihak sehingga jumlah rupiahnya objektif.
c) Selesih harga pada tanggal penawaran opsi tetap dapat dianggap sebagai kos
untuk mencapai tujuan penerbitan opsi.
d) Keputusan untuk mengambil opsi saham ada ditangan karyawan sehingga
perubahan harga saham bukan merupkan cos perusahaan (Suwardjono,
2010:530-531).
Dalam program opsi saham imbalan, begitu opsi diambil perusahaan
menerima kas atau aset lainnya dan potensi jasa karyawan. Potensi jasa karyawan
ini bersifat seperti gaji dibayar dimuka sehigga merupakan aset perusahaan. Secara
umum jurnal untuk mencatat transaksi opsi saham adalah sebagai berikut
(Suwardjono, 2010:531):

Kas (atau aset lain)………………………….Rp XXXX


Potensi jasa karyawan ……………………...Rp XXXXX
Modal saham………………………………Rp XXXXXX
Agio modal saham ………………………..Rp XXXXXX

Secara teoritis kos potensi jasa karyawan harus disebar menjadi biaya ke
periode – periode yang menikmati jasa tersebut. Secara intuitif kos potensi jasa ini
adalah selisih antara harga saham dan harga pengambilan pada tanggal pengukuran.
Akan tetapi secara teoritis terdapat berbagai alternatif pengukuran dan tanggal
pengakuannya beserta argumen yang melandasi. Pembahasan mendalam mengenai
hal ini adalah diluar konteks pembahasan modal setoran ini (Suwardjono,
2010:531).

36
2.8.7. Waran
Perusahaan dapat juga menjual hak beli saham (rights) kepada non
pemegang saham dengan menjual kupon pembelian saham atau waran. Dalam
PSAK No. 41, IAI mendefinisikan waran sebagai berikut:

Waran adalah efek yang diterbitkan oleh suatu perusahaan yang memberi
hak kepada pemegangnya untuk memesan saham dari perusahaan tersebut
pada harga dan jangka waktu tertentu (pasal 03).

Pemegang waran dapat membeli sejumlah saham dengan mengembalikan


waran tersebut dan membayar sejumlah uang kas tertentu. Waran berbeda dengan
hak beli saham dan opsi saham dalam beberapa aspek yaitu :
1. Waran diterbitkan oleh perusahaan sedangkan hak beli saham (call dan put)
diterbitkan oleh investor (baik individual maupun institusional).
2. Jangka waktu opsi waran biasanya lebih lama (dapat tahunan) dari pada jangka
waktu opsi hak beli saham.
3. Waran dijual atau diterbitkan kepada umum (bukan kepada pemegang saham
atau karyawan perusahaan) dan biasanya hal ini menjadi syarat bagi pembeli
4. Saham dijual dengan harga tertentu atau tunai (tidak gratis).
5. Harga pembelian saham total (harga waran plus tambahan kas) pada saat
pengambilan opsi biasanya melebihi harga pasar saham pada saat waran
ditawarkan
6. Bila hak opsi tidak diambil kos waran tidak dapat ditarik kembali oleh
pemengang waran
7. Waran dapat diterbitkan menyertai penerbitan surat utang (obligasi)
(Suwardjono, 2010:531-532).
Karena terdapat aliran masuk dana, jumlah rupiah yang diterima dari
penjualan kupon saham dapat diakui dan dikategorikan sebagai modal setoran baik
sebagai modal saham atau modal setoran lain (agio saham) (Suwardjono,
2010:532).

37
Persoalan teoritis timbul bila waran dijual sebagai bonus atau “pemanis”
(sweetener) penjualan surat berharga lain misalnya obligasi atau saham prioritas.
Sebagai contoh setiap pembelian 10 lembar obligasi atau 1 lot saham prioritas akan
mendapat 1 waran. Persoalannya apakah jumlah uang yang diterima perusahaan
dialokasi seluruhnya ke obligasi atau saham prioritas bersangkutan atau sebagian
dialokasikan ke waran sebagai setoran saham biasa. Keputusan tentang hal ini akan
mempengaruhi klasifikasi model setoran (Suwardjono, 2010:532).
Pedukung pemisahan beragumen bahwa sekuritas dan waran mempunyai
nilai terpisah karena terjadinya nilai bersal dari sumber yang berbeda. Nilai pasar
obligasi atau saham prioritas terbentuk dari kekuatan pasar yang berkaitan dengan
tingkat bunga. Nilai pasar waran terbentuk dari presepsi investor tentang
kemampuan perusahaan menghasilkan laba di masa datang. Sementara itu,
penentang alokasi berdasarkan argumennya pada objektivitas penentuan nilai
karena pada ummnya harga pasar masing – masing sekuritas tersebut tidak tersedia
dipasar. Jadi dapat dikataka pula bahwa argumen untuk menolak alokasi adalah
kepraktisan (Suwardjono, 2010:532).
Pertimbangan tentang pemisahan kos juga didasarkan pada karakteristik
waran tersebut yaitu apakah bersifat lepas, lekat atau bebas. Waran lepas adalah
waran yang diterbitkan menyertai sekuritas utama dan dapat diperdagangkan secara
terpisah dari sekuritas tersebut. Waran lekat adalah waran yang melekat pada
sekuritas sebagai satu kesatuan sehingga tidak dapat di perdagangkan secara
independen. Waran bebas adalah waran yang diterbitkan sendiri bukan sebagai
penyerta atau pemanis sekuritas tertentu (Suwardjono, 2010:532).
Kalau suatu sekuritas (obligasi atau saham prioritas) di terbitkan dengan
waran lepas, pemegang waran pada dasaranya mempunyai dua macam sekuritas.
Tindakan yang bersangkutan dengan salah satu jenis sekuritas adalah independen
terhadap tindakan yang berkaitan dengan sekuritas yang lain. Oleh karena itu
perlakuan yang masuk akal adalah mengalokasi kos untuk menentukan harga
masing – masing sekuritas. Hal yang sama juga berlaku pada penerbit. Kalu kupon
saham bersifat melekat, maka obligasi atau saham prioritas akan mempunyai sifat

38
seperti sekuritas terkonveksi. Berkaitan dengan masalah diatas maka PSAK No 41
telah menetapkan perlakuan akuntansi untuk berbagai jenis waran sebagai berikut.
Jumlah rupiah hasil peneribitan sekuritas (utang atau ekuitas) yang disertai waran
lepas dialokasikan ke sekuritas dan waran atas dasar nilai wajar masing-masing
komponen pada saat penerbitannya. Jumlah rupiah yang melekat pada waran
dilaporkan sebagai modal setoran lainnya dan jumlah rupiah yang melekatpada
sekuritas dilaporkan sebagai kewajiban atau ekuitas sesuai dengan karakteristiknya
(pasal 15).
Apabila waran diambil, jumlah rupiah yang melekat pada waran dikapitalisasi ke
modal saham dan agio saham (bila ada). Apabila waran tidak diambil sampai masa
opsi berakhir, jumlah rupiah tercatat waran tetap diperlakukan sebagai modal
setoran lain (pasal 16).
Seluruh jumlah rupiah hasil penerbitan sekuritas (utang atau ekuitas) yang disertai
waran lekat diakui seluruhnya sebagai kewajiban atau ekuitas sesuai dengan
karakteristiknya (pasal 17).
Penerbitan waran bebas diperlakukan sebagai modal setoran lain sebesar jumlah
rupiah hasil penerbitan tersebut. Bila waran bebas diterbitkan secara cuma-cuma,
tidak diberlakukan penaksiran nilai waran untuk diakui sebagai modal setoran lain
(pasal 18-19) (Suwardjono, 2010:533).

2.9. Penurunan Modal Setoran


Berbagai sumber perubahan modal setoran yang dibahas biasanya bersifat
menaikan atau menambah modal setoran. Pada umumnya lebih banyak faktor yang
bersifat menaikan modal setoran daripada yang menurunkan modal setoran.
Alasannya adalah begitu modal disetor dan tertanam dalam perusahaan maka modal
tersebut akan menjadi investasi permanen dalam perusahaan. Kalaupun pemegang
saham mau melepas investasinya, maka pemegang saham akan menjualnya ke pasar
saham sehingga apa yang dilakukan pemegang saham tidak mempegaruhi operasi
ataupun posisi keuanagn perusahaan (Suwardjono, 2010:533).
Modal setoran tidak akan berkurang kecuali adanya pembayaran atau
pembagian deviden yang dapat dikatagorikan sebagai deviden likuidasi atau

39
penarikan kembali saham yang beredar secara permanen. Paton dan Littleton (1970)
sangat menegaskan bahwa perubahan karena transaksi modal harus dibedakan
secara tegas dengan perubahan karea transaksi operasi. Oleh karena itu semua
transaksi yag berkaitan denagn penarikan kembali saham atau likuidasi modal tidak
ada kaitannya dengan untung atau rugi. Dengan kata lain, untung atu rugi tidak
timbul dari transaksi penarikan kembali saham (Suwardjono, 2010:533-534).
Dengan dasar pemikiran ditas, “untung” atau “rugi” yang berasal dari
transaksi saham perseroan sendiri setelah tanggal penerbitan harus dikatkan dengan
ekuitas pemegang saham khususnya laba ditahan bukan sebagai elemen statments
laba rugi (Suwardjono, 2010:534).
Jadi, perlakuan atas saham yang ditarik kembali harus sejalan dengan
sifatnyasebagai ekuitas pemegang saham. Kalau saham bersangkutan dapat
diterbitkan kembali, saham dengan jumlah rupiah sebesar yang dibayarkan untuk
penarikan kembali tersebut harus diperlakukan sebagai kontra modal setoran dan
laba ditahan bukannya sebagai aset. Kalau saham bersangkutan tidak dapat di
terbitkan kembali, jumlah rupiah yang dibayarkan harus dibebankan ke modal
saham sampai sejumlah yang mula-mula di kredit, sisanya kemudian dibebankan
ke premium modal saham sampai sejumlah yang tidak melebihi bagian premium
mula- mula yang di kredit, kalau masih terdapat sisa, kelebiham tersebut harus di
bebankan ke laba ditahan. Kalau terjadi untung dalam penebusan saham maka
untung tersebut harus di kreditkan ke premium modal saham karena jumlah tersebut
pada hakikatnya mempunyai karakteristik seperti kontribusi modal dalam bentuk
donasi atau pembebasan utang (Suwardjono, 2010:534).
Pembelian kembali saham beredar oleh perseroan sebenarnya bermakna
penarikan aset yang diinvestasikan oleh pemegang saham yang bersangkutan.
Akibatnya struktur modal berubah sesuai dengan jumlah aset yang ditarik kembali
tersebut. Akan tetapi karena perlakuan akhir terhadap saham yang ditebus kembali
tersebut mungkin tidak pasti maka perlu dibuat ketentuan tentang perlakuan
sementara terhadap saham yang ditarik kembali tersebut (Suwardjono, 2010:534).
Paton dan Littleton (1970) menegaskan bahwa ditinjau dari segi penilaian
pasar (market valuation) terhadap perusahaan, tidak ada alasan untuk menganggap

40
bahwa baik perseroan (mewakili mereka yang masih memegang saham) maupun
pemegang saham yang mengembalikan haknya ( yang menyerahkan sahamnya)
memperoleh laba efektif, atau menderita rugi efektif dalam transaksi modal
tersebut. Kalau harga yang dibayarkan untuk tiap saham yang ditarik kembali lebih
rendah dari pada kos saham pada saat penarikan kembali tersebut, maka dapat
dianggap bahwa penilaian pasar terhadap perusahaan secara keseluruhan (atas dasar
nilai likuidasi pada saat itu) adalah lebih rendah dari pada jumlah rupiah yang
tercatat untuk aset seperti kas, piutang dan kos aset lainnya. Demikian pula kalau
harga yang dibayarkan untuk saham yang ditarik kembali lebih tinggi dari pada nilai
bukunya ini berarti bahwa penilaian pasar pada saat itu memperhitungkan adanya
apresiasi aset yang tercatat maupun aset tak berwujud lainnya yang tidak tercatat.
Hal ini bukan berarti bahwa akuntansi perseroan yang mendasarkan diri pada kos
historis adalah keliru atau tidak sesuai dengan kenyataan. Yang perlu ditekankan
adalah bahwa penilaian pasar tidak menjadi aalasan kuat untuk merevisi ekuitas
modal pemegang saham tanpa adanya transaksi modal (Suwardjono, 2010:534-
535).

2.9.1. Saham Treasuri


Transaksi yang jelas akan mengurangi modal setoran adalah penarikan
kembali untuk sementara menjadi saham treasuri. Beberapa alasan perusahaan
melakuka penarikan kembali saham sebagai saham terasuri adalah :
1. Saham tersebut akan diterbitkan kembali kepada karyawan dalam program opsi
saham. Dengan penggunaan saham treasuri dalam program opsi saham. Proporsi
pemilikan saham yang masih beredar tidak berkurang dibandingakan kalau
digunakan saham baru.
2. Saham tersebut akan digunakan untuk membeli perusahaan lain dalam transaksi
penggabungan usaha (Suwardjono, 2010:535).
Masalah teoritis yang melekat pada transaksi saham treasuri adalah:
1. Penentuan jumlah rupiah yang harus dianggap sebagai pengurangan modal
setoran dan laba ditahan.

41
2. Pengungkapan pengaruhnya terhadap modal yuridis bila saham treasuri dijual
kembali.
Mengenai hal ini ada dua pendekatan yaitu konsep satu trasaksi atau konsep dua
transaksi (Suwardjono, 2010:535).

2.9.1.1. Konsep Satu-Transaksi


Konsep ini juga disebut dengan metode kos karena jumlah rupiah total yang
dibayarkan dianggap seakan–akan merupakan kos pembelian saham treasuri.
Disebut satu transaksi karena pembelian saham terasuri dan penjualannya kembali
dianggap sebagai satu transaksi. Artinya, pembelian dan penjualan dianggap
sebagai kesatuan transaksi untuk mencapai tujuan yang diinginkan dengan transaksi
saham treasuri tersebut (Suwardjono, 2010:535).
Kalau sahan treasuri ini dijual kembali dengan harga diatas kos maka
jelaslah bahwa selisihnya akan menambah agio saham atau mengurangi disagio
saham. Denga kata lain selisih dibebankan ke modal setoran lain. Dengan cara ini
modal saham (yuridis) akan tetap terpelihara seperti semula (Suwardjono,
2010:535).
Namun, bila saham treasuri dijual kembali dengan harga dibawah kos,
bagaimanakah kedudukan selisihnya? Sebagai contoh: seksi ekuitas modal
pemengang saham dalam neraca suatu perusahaan pada 1 januari 2005
menunjukkan modal saham Rp. 1.000.000 dan agio saham Rp. 200.000. Dalam
tahun 2005 perusahaan mempeoleh kembali 25 % sahamnya sebagai saham treasuri
dengan harga Rp. 400.000 dan kemudian saham tersebut diterbitkan kembali
dengan harga Rp.340.000 bagaimana perlakuan terhadap selisih rugi Rp. 60.000?
Apakah sebagai likuidasi modal setoran atau pembagian deviden? (Suwardjono,
2010:536).
Alternatif pertama adalah memperlakukan seluruh selisih (60.000) sebagai
pengembalian modal setoran dan karenanya harus didebet ke premium atau diskon
saham sekelas. Jika dalam hal premium atau diskon saham yang sekelas sudah habis
maka selisih tersebut akan dibebankan ke laba ditahan. Dasar pemikiran yang
medukung perlakuan ini adalah bahwa substansi lebih penting daripada bentuk

42
(konsep dasar substance over from). Substansi transaksi saham treasuri adalah
transfer antara pemegang saham yang satu ke yang lain dengan perusahaan sebagai
agen dan cacah saham yang beredar tidak berubah. Secara teoritis distribusi modal
setoran ke pemegang saham yang tidak mengubah cacah saham yang beredar tidak
selayaknya mempengaruhi laba ditahan (Suwardjono, 2010:536).
Alternatif kedua dilandasi oleh tujuan mempertahankan modal saham atau
modal yuridis. Jumlah rupiah selisih dipecah secara proposional atas dasar modal
saham dan agio saham sebelum penarikan saham treasuri. Kemudian jumlah yang
berkaitan dengan agio saham dibebankan ke agio saham tetapi yang berkaitan
dengan modal saham dibebankan di laba ditahan. Dengan demikian modal saham
(modal yuridis) tetap utuh. Landasan perlakuan ini adalah peraturan hukum yang
mengharuskan modal saham dipertahankan keutuhannya (Suwardjono, 2010:536).
Contoh pemecahan selisih dilakukan dengan cara sebagai berikut :
Komponen
Pemecahan selisih untuk Perlakuan
modal Jumlah rupiah
25% dibebankan ke:
setoran
Modal saham Rp. 1000.000,- 250.000/300.000*Rp. Laba ditahan
60.000 = Rp. 50.000
Agio saham RP. 200.000,- 50.000/300.000*Rp. Agio saham
60.000 = Rp. 10.000
Alternatif ketiga membebankan seluruh selisih ke laba ditahan. Alasan
perlakuan ini semata – mata kepraktisan dan konservatisma. Alasan teoritisnya
adalah kalau pembelian dan penjualan dianggap sebagai satu transaksi maka esensi
selisih tersebut adalah distribusi asset (semacam dividen) kepada beberapa
pemegang saham secara selektif. Modal saham harus tetap dipertahankan
keutuhannya. Alasan lain karena laba ditahan harus dipandang sebagai penyangga
umum bila tujuan tertentu harus dicapai (dalam hal ini misalnya mempertahankan
keutuhan modal saham) (Suwardjono, 2010:536).
Seperti telah dibahas Paton dan Littleton, apabila saham terasuri tidak
segera dijual maka kos pembelian tersebut tidak dapat dianggap sebagai asset, tetapi
akan diklasifikasikan sebagai pengurang ekuitas pemegang saham secara

43
keseluruhan. Biasanya saham treasury merupakan komponen paling bawah dalam
rincian seksi ekuitas pemegang saham. Keberatan terhadap penyajian seperti ini
adalah penyajian tersebut dapat memberi kesan yang salah tentang besarnya ekuitas
pemegang saham khususnya apabila saham treasuri tersebut akhirnya dianggap
likuidasi saham atau dijual dengan harga yang jauh di bawah kos (Suwardjono,
2010:537).

2.9.1.2. Konsep Dua-Transaksi


Pemerolehan kembali saham sebagai saham treasuri dianggap sebagai
likuidasi ekuitas pemegang saham sedangkan penjualan kembali saham treasuri
dianggap sebagai penerbitan saham baru. Konsep ini disebut dengan pendekatan
nilai nominal karena harga penarikan atau penjualan kembali ditandingkan dengan
nilai nominal. Selisihnya, baik dalam penarikan atau penjualan dikompensasikan
ke modal setoran lain seluruhnya atau sebatas porsi modal setoran lain mula-mula
dan selisihnya dikompensasikan ke laba ditahan (Suwardjono, 2010:537). Contoh
jurnalnya adalah sebagai berikut :
Pada saat penarikan :
Modal saham ……………………………………… 250.000
Agio saham ……………………………………….. 150.000
Kas …………………………………………………. 400.000
Pada saat penjualan :
Kas ……………………………………………….. 340.000
Modal saham ………………………………………. 250.000
Agio saham ………………………………………… 90.000
Hasil akhir cara diatas akan sama dengan alternatif pertama dalam pendekatan satu-
transaksi. Dapat juga transaksi diatas dicatat sebagai berikut:
Pada saat penarikan:
Modal saham ……………………………………… 250.000
Agio saham (50.000 mula – mula + 10.000)……….. 60.000
Laba ditahan ……………………………………….. 90.000
Kas …………………………………………………. 400.000

44
Pada saat penjualan:
Kas.............................................................................340.000
Modal Saham.......................................................... 250.000
Agio Saham (jumlah semula) ......................................50.000
Laba Ditahan................................................................ 40.000
Hasil akhir cara diatas akan sama dengan alternatif kedua dalam pendekatan satu-
transaksi. Dapat juga transaksi diatas dicatat sebagai berikut:
Pada saat penarikan:
Modal Saham.............................................................250.000
Agio Saham (mula-mula)............................................50.000
Laba Ditahan..............................................................100.000
Kas..........................................................................400.000
Pada saat Penjualan :
Kas............................................................................340.000
Modal Saham.........................................................250.000
Agio Saham (jumlah semula)................................ 50.000
Laba Ditahan............................................................40.000
Cara diatas bertujuan untuk mempertahankan keutuhan ekuitas pemegang
saham. Laba ditahan akan berkurang sebesar Rp. 60.000 dan jumlah ini sama
dengan selisih antara cos pemerolehan (Rp. 400.000) dan harga jual saham (Rp.
340.000), dengan demikian hasil akhir akan sama dengan alternatif ketiga dalam
konsep satu transaksi (Suwardjono, 2010:537-538).
Memang dari segi teknis dan konsep sebenarnya tidak ada perbedaan yang
cukup material antara konsep satu-transaksi dan konsep dua-transaksi. Perbedaan
sebenarnya justru terletak pada tujuan pemerolehan kembali saham tersebut. Kalau
tujuannya adalah untuk menjual kembali saham treasuri kepada karyawan atau
pihak khusus lainnya, konsep satu transaksi akan lebih relevan. Akan tetapi, bila
tujuan pemerolehan kembali adalah untuk membeli saham para pemengang saham
yang tidak setuju dengan kebijakan perusahaan atau untuk melikuidasi jenis saham
tertentu maka pendekatan dua transaksi akan lebih mengena karena hal terakhir ini

45
cenderung bermakna likuidasi atau memutus hubungan kepemilikan (Suwardjono,
2010:538).
APB Opinion no 6 memberi keleluasaan untuk memilih cara kedua atau
ketiga diatas.Pengaruh bersih dari standar ini adalah diperbolehkannya kapitalisasi
laba ditahan dalam transaksi pembelian dan penjulan saham treasuri khususnya
kalau harga pembelian lebih tinggi dari pada modal setoran mula-mula
(Suwardjono, 2010:538).

2.10. Perubahan Laba Ditahan


Kalau pemisahan antara transaksi modal dan transaksi operasi harus tetap
dipertahankan, hanya terdapat 2 faktor utama yang mempengaruhi besarnya laba
ditahan yaitu laba atau rugi periodik dan pembagian deviden. Laba yang
dipindahkan dari akun laba rugi adalah laba yang merupakan selesih seluruh elemen
transaksi operasi dalam arti luas yang disebut laba komprehesif. Transaksi lain yang
dapat mempengaruhi laba ditahan adalah transaksi yang tergolong dalam transaksi
modal yang diuraikan dalam pembahasan perubahan modal setoran. Pengaruh
beberapa transaksi diatas langsung dimasukkan dalam laba ditahan dan tidak
melalui statment laba rugi periode terjadinya transaksi tersebut karena merupakan
transaksi modal (Suwardjono, 2010:539).
Sebagai ketentuan umum, selain karena pos-pos transaksi modal diatas, laba
ditahan dalam suatu periode hanya berubah karena laba atau rugi operasi (dalam
arti luas) dan pembagian dividen. Namun demikian, terdapat beberapa hal yang
dapat menyebabkan laba ditahan pada suatu periode berubah selain karena transaksi
modal tetapi karena transaksi khusus yaitu:
1. Penyesuaian periode yang lalu (prior period adjustments).
2. Koreksi kesalahan dalam laporan keuangan sebelumnya.
3. Pengaruh perubahan akuntansi (accounting changes).
4. Kuasi reorganisasi (quasi-reorganization) (Suwardjono, 2010:539).

46
2.10.1. Penyesuaian Periode Lalu
Penyesuaian ini sering juga disebut dengan penyesuaian susulan (catch-up
adjustment). Penyesuaian periode lalu adalah perlakuan terhadap suatu jumlah
rupiah yang mempengaruhi operasi periode masa lalu (yang baru ditemukan atau
baru dapat diakui dalam periode sekarang) bukan sebagai pengurang atau
penambah perhitungan laba tahun sekarang (masuk dalam statment laba/rugi tahun
sekarang atau berjalan) tetapi sebagai penyesuai tehadap laba ditahan awal periode
sekarang. Perlakukan semacam ini dimaksudkan untuk menjadikan laba ditahan
awal periode sekarang menunjukan saldo semestinya seandainya jumlah rupiah
tersebut telah diakui dalam periode yang lalu (Suwardjono, 2010:539).
Sebagai contoh perusahaan yang pada periode lalu dituntut untuk mengganti
rugi sejumlah uang tertentu karena dituduh melanggar hak paten perusahaan lain.
Sampai akhir periode yang lalu perkara tuntutan ini belum diputuskan pengadilan
karena belum dapat dipastikan apakah perusahaan bersalah dan juga tidak ada
kepastian tentang jumlah yang akhirnya dibayarkan. Baru dalam periode sekarang
dapat dipastikan bahwa perusahaan benar-benar dinyatakan salah dan harus
membayar ganti rugi sejumlah tertentu. Jumlah tersebut jelas harus diakui dan
merupakan rugi bagi perusahaan. Persoalanya adalah apakah jumlah rugi tersebut
diperlakukan sebagai penyesuaian periode lalu (laba diatahan awal tahun) atau
sebagai pengurang pendapatan tahun sekarang? Dengan kata lain apakah rugi
tersebut diakui sebagai penyesuaian terhadap laba bersih periode yang lalu ketika
peristiwa yang menyebabkan rugi tersebut terjadi atau apakah rugi tersebut diakui
sebagai elemen penentuan laba periode sekarang ketika peristiwa yang menguatkan
atau memastikan terjadi (ketika kepastian tentang status dan jumlah telah diperoleh)
(Suwardjono, 2010:539-540).
Beberapa pendapat ada yang mendukung dan ada yang menolak perlakuan
rugi tersebut sebagai penyesuaian periode lalu, pihak yang mendukung beragumen
sebagai berikut:
1. Laba akan menjadi lebih berarti kalau rugi yang timbul akibat kejadian masa lalu
dilaporkan sebagai elemen laba rugi periode yang bersangkutan dan bukan
sebagai elemen laba rugi periode sekarang. Memasukkannya sebagai elemen

47
laba rugi periode sekarang akan menimbulkan distorsi pelaporan laba periode
sekarang.
2. Pelakuan semacam ini menggambarkan penerapan penandingan pendapatan dan
biaya yang tepat (Suwardjono, 2010:540).
Sementara pihak yang menolak penyesuaian periode lalu mengajukan
argumen sebagai berikut:
1. Semua pendapatan, untung, biaya, dan rugi yang berkaitan dengan kegiatan
menghasilkan pendapatan harus dilaporkan dalam statement laba rugi. Dengan
cara ini statment laba rugi selama beberapa periode akan menyajikan riwayat
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Kalau rugi diperlakukan
sebagai penyesuaian periode lalu (penyesuaian akun laba ditahan awal) maka
jumlah tersebut tidak akan pernah masuk dalam riwayat laba perusahaan ini
berarti daya melaba jangka panjang tidak dapat digambarkan secara lengkap.
2. Pemakai laporan kemungkinan besar tidak akan pernah mengetahui bahwa rugi
tertentu pernah dialami oleh perusahaan kalau jumlah tersebut tidak dimasukkan
dalam statement laba rugi. Ini berarti bahwa pemakai kurang mendapat
informasi tentang kejadian yang mempengaruhi daya melaba (Suwardjono,
2010:540).
Paton dan Littleton termasuk pihak yang menolak penyesuaian periode lalu
dengan argumen bahwa statment laba rugi harus memuat semua perubahan yang
bersangkutan dengan pengelolaan asset. Perubahan ini harus secara tegas dibedakan
dengan perubahan karena keputusan pendanaan atau transaksi modal. Dalam hal
pemanfaatan asset, tidak perlu dibedakan apakah aset tersebut berupa aset fisis atau
bukan. Yang terpenting adalah perubahan asset tersebut berkaitan dengan kegiatan
operasi perusahaan (Suwardjono, 2010:541).
FASB menganut gagasan Paton dan Littleton diatas dan menetapkan secara
umum bahwa jumlah rupiah yang berkaitan dengan periode lalu harus diperlakukan
sebagai komponen statment laba rugi sekarang kecuali syarat-syarat tertentu
dipenuhi. Suatu jumlah rupiah baru dapat diperlakukan sebagai penyesuaian
periode lalu kalau jumlah rupiah tersebut:

48
1. Dapat diidentifikasi secara tegas sebagai akibat atau dapat dikaitkan langsung
dengan kegiatan-kegiatan bisnis dalam periode tertentu masa lalu.
2. Tidak timbul akibat peristiwa ekonomik yang terjadi setelah tanggal statment
keuangan periode yang lalu. Artinya peristiwa yang menimbulkan jumlah rupiah
telah terjadi di masa lalu, hanya tidak pasti jumlahnya, atau waktu mengikatnya
bagi perusahaan.
3. Sangat bergantung pada ketetapan pihak selain manajemen. Artinya, jumlah dan
kepastian mengikatnya tidak berada dibawah pengendalian atau keputusan
manajemen.
4. Tidak dapat ditaksir atau diantisipasi secara layak sebelum adanya ketetapan
tersebut (Suwardjono, 2010:541).
Terjadinya jumlah rupiah yang memenuhi keempat syarat diatas biasanya
jarang sekali sehingga praktis penyesuaian periode lalu tidak pernah dilakukan.
Pada umumnya penyesuaian periode lalu berkaitan dengan masalah ketidakpastian
dimasa lalu tentang suatu kejadian atau jumlah dalam peristiwa yang sangat khusus
(misalnya perkara tuntutan ganti rugi seperti dicontohkan diatas). Ketidakpastian
semacam ini dalam akuntansi biasanya digolongkn dalam apa yang disebut dengan
kebergantungan rugi. Rugi bergantung dapat diakui dalam perioda timbulnya
kemungkinan asalkan dipenuhi kedua kriteria pengakuan tersebut:
1. Informasi yang tersedia sebelum penerbitan statment keuangan menunjukan
dengan cukup pasti bahwa pada tanggal laporan keuangan aset perusahaan sudah
terpengaruh/berkurang atau kewajiban telah timbul. Secara implisit harus cukup
pasti pula bahwa akan terjadi peristiwa tertentu di masa mendatang yang
menegaskan atau menguatkan adanya rugi tersebut
2. Jumlah rupiah pengaruh atau rugi tersebut dapat ditaksir secara layak
(Suwardjono, 2010:541).
Secara singkat dapat dikatakan bahwa untuk dapat mengakui rugi bersyarat maka
kejadiannya harus cukup pasti dan jumlah rupiahnya dapat ditaksir dengan layak.
Keempat syarat penyesuaian periode lalu merupakan kecualiaan dari
ketentuan umum yang menyatakan bahwa semua pos rugi atau laba yang diakui
dalam suatu periode (termasuk pengakuan rugi bersyarat) harus merupakan pos

49
dalam penentuan laba periode. Dengan demikian rugi yang berkaitan dengan
periode lalu teteapi baru diakui dalam periode sekarang harus tetap dimasukan
dalam statment laba rugi bukan sebagai penyesuaian periode lalu (penyesuaian
terhadap laba ditahan awal). Tentu saja kalau jumlahnya material, hal tersebut harus
dilaporkan secara terpisah dalam statment laba rugi atau perlu ada pengungkapan
yang memadai (Suwardjono, 2010:542).
Pertimbangan mengenai apakah suatu jumlah rupiah diperlakukan sebagai
penyesuaian periode lalu atau komponen laba rugi periode berjalan tentunya tidak
dapat diterpakan untuk penyesuaian yang sifatnya rutin sebagai konsekuensi logis
proses auntansi yang menganut asas akrual. Koreksi kesalahan dan pengaruh
perubahan akuntansi berikut ini sebenarnya merupakan masalah yang erat
kaitannya dengan masalah penyesuaian periode lalu (Suwardjono, 2010:542).

2.10.2. Koreksi Kesalahan


Sistem akuntansi biasanya sudah dirancang dengan cukup cermat sehingga
kesalahan dalam pencatatan akan segera dapat dideteksi sehingga dapat dilakukan
koreksi. Dalam hal tertentu, kesalahan tidak segera diketahui dan baru ketahuan
beberapa waktu atau bahkan beberapa periode setelah statement keuangan disusun
dan diterbitkan. APB Opinion nomor 20 paragraf 13 mendefinisikan kesalahan
sebagai berikut :
Errors in financial statements result from mathematical mistakes, mistakes
in application of accounting principles, or oversight or misue of facts that existed
at the time the financial statements were prepared
Jadi, untuk dapat disebut kesalahan, suatu jumlah rupiah harus berasal dari
kesalahan hitung, kesalahan aplikasi, atau penerapan prinsip akuntansi, atau
kekhilafan atau kekeliruan menggunakan fakta yang tersedia dalam penyusunan
laporan keuangan. APB membedakan antara kesalahan dengan perubahan taksiran
atau perubahan akuntansi. Perubahan taksiran muncul dari adanya informasi atau
perkembangan baru yang berarti dari tilikan yang lebih baik atau pertimbangan
yang lebih mantap. Untuk disebut kesalahan, harus ada unsur kekhilafan atau salah
pakai informasi (Suwardjono, 2010:542).

50
Misalnya saja kesulitan dalam memecah kos menjadi biaya dan bagian yang
ditunda pembebanannya pada akhir periode membuka kemungkinan untuk
melakukan koreksi di kemudian hari terhadap asset dan laba yang sebelumnya telah
dilaporkan. Juga dapat terbukti bahwa setelah beberapa periode ternyata depresiasi
telah dibebankan terlalu besar bila dibandingkan dengan kenyataan yang sekarang
dialami. Hal ini berarti bahwa nilai buku asset telah dilaporkan terlalu rendah dan
perhitungan laba pada masa yang lalu juga menjadi terlalu rendah ditinjau dari segi
fakta yang sekarang diperoleh. Demikian juga, kalau terbukti bahwa beban
depresiasi telah ditentukan terlalu kecil sehingga depresiasi akumulasian
kemungkinan tidak mencapai jumlah rupiah yang dapat menutup kos asset pada
saat diberhentikan maka ini berarti bahwa saldo asset telah dilaporkan terlalu besar
pula. Yang manapun dari situasi di atas, suatu koreksi diperlukan segera setelah
cukup bukti bahwa kesalahan telah terjadi (Suwardjono, 2010:543).
Tidak seperti nasi yang telah menjadi bubur, kalau laba suatu periode telah
ditentukan atas dasar fakta yang obyektif pada waktu itu maka tidak berarti bahwa
laba tersebut tidak dapat diperbaiki bila terbukti ada kesalahan. Kenyataan bahwa
buku besar biaya dan pendapatan pada tahun-tahun yang lalu telah ditutup tidaklah
menutup kemungkinan untuk merevisi kembali angka-angka laba yang telah
dilaporkan sebelumnya dan untuk melaporkan koreksi yang ternyata diperlukan
dengan adanya fakta baru di kemudian hari (Suwardjono, 2010:535).

2.10.2.1. Koreksi Sebagai Penyesuai Laba Ditahan


Menurut pandangan ini penyesuaian yang diperlukan terhadap laba yang
pernah dilaporkan harus dilakukan langsung terhadap akun laba ditahan untuk
semua kasus kecuali untuk koreksi-koreksi yang jumlahnya tidak terlalu besar
(material) sehingga tidak mengganggu pelaporan laba normal. Ini berarti koreksi
tidak tampak dalam statment laba rugi (Suwardjono, 2010:543).
Pendekatan ini disarankan dalam APB nomer 20 paragraf 36 yang
menyatakan bahwa kesalahan dalam statement keuangan periode sebelumnya harus
diperlakukan sebagai penyesuian periode lalu. Laba ditahan awal periode berjalan
disesuaikan dengan jumlah rupiah pengaruh kumulatif kesalahan terhadap

51
perhitungan laba periode-periode sebelumnya dan kalau statemen komparatif
disajikan, pengaruh retroaktif kesalahan harus ditunjukkan dalam statment
keuangan periode-periode yang terpengaruh. Perlakuan semacam ini sebenarnya
hanya berlaku untuk kesalahan yang memenuhi ketentuan umum dalam SFAS No.
16 paragraf 1 yang dibahas sebelumnya (Suwardjono, 2010:543).
Metode ini dapat diterima dari sudut pandang neraca saja dan tidak
mengganggu kenormalan atau keutuhan (integrity) beberapa statemen laba rugi
berikutnya. Di lain pihak, prosedur ini tidak layak karena riwayat laba yang pernah
dilaporkan menjadi tidak lengkap dan besar kemungkinan angka laba dapat
menyesatkan (Suwardjono, 2010:543).
Pengaruh koreksi dapat ditunjukkan dalam statment laba rugi komprehensif
sebagai penambah atau pengurang (modifier) angka laba bersih atau angka
manapun yang akhirnya toh akan ditambahkan ke (atau dikurangkan terhadap) laba
ditahan. Letak yang tepat penyesuaian koreksi tidaklah merupakan masalah yang
penting asalkan ada pengungkapan yang jelas tentang hal tersebut dalam statment
laba rugi. Tentu saja tidak dikehendaki untuk memasukkan pengaruh koreksi dalam
klasifikasi pendapatan operasi atau biaya operasi berjalan (periode sekarang) karena
jumlah rupiah koreksi berkaitan dengan perhitungan laba dalam periode-periode
sebelumnya (Suwardjono, 2010:544).
Telah ditekankan berkali-kali bahwa daya melaba jangka panjang adalah
informasi yang sangat penting bagi investor. Dengan demikian, akan sangat
membantu dalam hal ini untuk memasukkan dalam statemen laba rugi tahunan tidak
hanya pengukur hasil (laba) periode berjalan yang setepat-tepatnya tetapi juga
pengukur koreksi laba statment terdahulu setepat-tepatnya. Melaporkan koreksi
atas dasar fakta yang ditemukan kemudian sama sekali tidak berarti tidak
mempercayai atau menghargai perhitungan sebelumnya. Masa datang tidak selalu
dapat diprediksi dengan tepat. Oleh karena itu, sebenarnya tidak perlu diadakan
revisi akun-akun nominal yang telah ditutup dan juga tidak perlu menyusun kembali
lapora keuangan periode-periode yang lalu dengan revisi yang menyeluruh
(retroactive restatement). Hal ini dilandasi oleh argument bahwa perhitungan laba
bersih tahunan bukanlah harga mati dan penyajian statment laba rugi secara

52
komprehensif (menyajikan laba normal, dan luarbiasa serta koreksi) dan secara
serial akan menggambarkan riwayat laba sesuai dengan kenyataan. Perlakuan
pengaruh koreksi seperti ini sebenarnya mudah dan logis (Suwardjono, 2010:544).

2.10.2.2. Koreksi Sebagai Penyesuai Modal Setoran Lain


Paton dan Littleton (1970) menegaskan bahwa koreksi yang berkaitan
dengan penggunaan asset (asset utilization) dalam periode-periode yang lalu
dengan alasan apapun hendaknya dipisahkan dengan premium modal saham.
Premium modal saham merupakan komponen modal setoran dan kalau pemisahan
antara modal setoran dan modal operasi (laba) harus tetap dipertahankan maka
tidaklah tepat untuk menggunakan modal setoran untuk menyerap koreksi atas laba
yang pernah dilaporkan kecuali kalau :
(1) Laba bersih tahun berjalan dan laba ditahan telah habis.
(2) Penyesuaian yang mempengaruhi modal setoran tersebut mendapat
persetujuan pemegang saham.
(3) Laba ditahan yang diakumulasi setelah penyesuaian modal tersebut diberi
tanggal. Artinya, laba ditahan yang dilaporkan kemudian diperoleh dari operasi
setelah penyesuaian tersebut (perusahaan dianggap baru mulai atau fresh start)
(Suwardjono, 2010:544).
Jadi, sangatlah tidak tepat memperlakukan koreksi dengan cara
menggabungkan semua penyesuaian dalam statment perubahan laba ditahan dan
terpisah dengan statment laba rugi. Penyajian seperti itu cenderung mengacaukan
antara koreksi laba yang pernah dilaporkan dengan penyesuaian modal pemegang
saham yang tidak ada sangkut pautnya dengan proses pemanfaatan asset
(Suwardjono, 2010:545).

2.10.2.3. Koreksi sebagai Komponen Statment Laba Rugi


Statemen laba rugi kumulatif (serial komparatif) yang didasarkan atas
statment-statment terdahulu harus menunjukkan laba (atau rugi) komprehensif
sepanjang riwayat perusahaan sampai tanggal sekarang. Dengan demikian, kalau
koreksi langsung dilakukan dalam akun laba ditahan tanpa ada petunjuk atau

53
penjelasan apapun dalam statment laba rugi, beberapa statment laba rugi yang
pernah diterbitkan tidak dapat memberikan gambaran yang menyeluruh tentang
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Prinsip penyesuaian langsung
ke laba ditahan membuka kemungkinan untuk menimbulkan prosedur yang
mengaburkan atau menyembunyikan pengaruh rugi atau untung luar biasa dengan
akibat timbulnya salah tafsir pada pihak pemegang saham atau pihak lain yang
berkepentingan. Statment laba rugi harus menyatakan laba seperti apa adanya
termasuk rugi atau untung akibat koreksi. Masalahnya adalah bagaimana
melaporkan koreksi dalam statment laba rugi? Hal ini akan dibahas dalam seksi
penyajian laba (Suwardjono, 2010:545).

2.10.3. Perubahan Akuntansi


Karena alasan tertentu suatu perusahaan mungkin melakukan kebijakan
yang mempunyai pengaruh terhadap konsistensi dalam proses akuntansi dan
pelaporan keuangan yang disebut dengan perubahan akuntansi. Ada tiga macam
perubahan akuntansi yaitu :
(1) Perubahan prinsip atau metode akuntansi (change in accounting principle or
method).
(2) Perubahan taksiran akuntansi (change in accounting estimate).
(3) Perubahan kesatuan pelaporan (change in the reporting entity) (Suwardjono,
2010:545).
Jumlah rupiah laba dan asset berkaitan yang mula-mula dilaporkan dalam
statemen keuangan periode yang lalu sebelum adanya perubahan tentunya akan
berbeda dengan jumlah rupiah seandainya perubahan tersebut telah dilakukan
dalam periode yang lalu dan bukan dalam periode sekarang atau berjalan. Salah
satu elemen yang terpengaruh adalah laba periode yang lalu (Suwardjono,
2010:545).
Masalah perekayasaan yang bersangkutan dengan hal ini adalah untuk
periode mana saja pengaruh kumulatif perubahan harus diakui. Ada tiga alternatif
atau metode yang diusulkan yaitu penyesuaian retroaktif (retroactive adjustment),

54
penyesuaian sekarang (current adjusment), dan penyesuaian sekarang dan
prospektif (current and prospective adjustment) (Suwardjono, 2010:546).

2.10.3.1. Penyesuaian Retroaktif


Metode ini mengakui kumulatif perubahan dalam laba periode yang lalu
sebagai penyesuaian periode lalu. Ini berarti saldo awal akun laba ditahan periode
sekarang disesuaikan dengan pengaruh kumulatif tersebut dan laporan-laporan
periode sebelumnya disusun kembali sesuai dengan perubahan tersebut
(Suwardjono, 2010:546).
Pendukung penyesuaian retroaktif mengajukan argument seperti pendukung
penyesuaian periode lalu. Riwayat laba perusahaan yang sebenarnya selama
beberapa periode menjadi tidak menggambarkan laba yang konsisten cara
penghitungannya sehingga analisis statment keuangan dapat menyesatkan
pengambilan keputusan. Dengan kata lain, prinsip akuntansi harus diterapkan
secara konsisten dalam statment keuangan komparatif. Menggunakan prinsip yang
berbeda untuk pos yang sama dalam statment keuangan komparatif dapat
menimbulkan interpretasi yang salah mengenai kecenderungan (trend) atau analisis
lainnya. Prinsip akuntansi harus sama antara periode sekarang dan beberapa periode
sebelumnya. Jadi, kalau terjadi perubahan akuntansi, statment keuangan periode
yang lalu harus disusun kembali untuk mrefleksi prinsip akuntansi yang baru
(Suwardjono, 2010:546).

2.10.3.2. Penyesuaian Sekarang


Metode ini mengakui seluruh pengaruh perubahan dalam laba periode yang
lalu sebagai komponen dalam menghitung laba periode sekarang (periode
terjadinya perubahan). Perlakuan ini didasari oleh beberapa gagasan. Pertama,
semua pos yang mempengaruhi laba perusahaan harus dilaporkan melalui statment
laba rugi. Argumen ini sejalan dengan gagasan tentang perlunya pemisahan yang
tegas antara transaksi operasi dan transaksi modal. Kedua, pada umumnya
perubahan akuntansi cukup sering terjadi sehingga tidak praktis untuk selalu
mengadakan revisi statment keuangan periode-periode sebelumnya. Ketiga,

55
pengungkapan yang jelas dalam pelaporan laba periode sekarang sudah cukup
memadai untuk mengungkapkan pengaruh perubahan tersebut sehingga
kemungkinan pembaca laporan akan melewatkan informasi perubahan dapat
diatasi. Keempat, penyusunan kembali statment keuangan periode lalu dapat
menuunkan keyakinan publik terhadap statment keuangan dan dapat
membingungkan pemakai. Akhirnya, karena serangkaian statment masa lalu telah
disusun atas dasar prinsip akuntansi berterima umum, mereka harus dianggap final
kecuali untuk perubahan entitas pelaporan atau untuk koreksi kesalahan
(Suwardjono, 2010:546).

2.10.3.3. Penyesuaian Sekarang dan Prospektif


Metode ini menyebar pengaruh kumulatif perubahan dalam laba periode
yang lalu ke periode sekarang dan beberapa periode mendatang yang sesuai.
Perlakuan ini dilandasi oleh argumen bahwa perubahan akuntansi merupakan suatu
hal yang tidak dapat dihindari dalam proses akuntansi yang bersifat memenuhi
kebutuhan yang berkembang. Dalam banyak hal, perubahan akuntansi tidak
menyangkut jumlah yang cukup material untuk mengharuskan revisi statemen
keuangan. Lagipula, manfaat tambahan yang diperoleh dengan revisi tidak sepadan
kos perevisian tersebut. Oleh karena itu, cara terbaik adalah melakukan perubahan
akuntansi dan menerapkan metode tersebut mulai dari periode perubahan dan
seterusnya tanpa perlu mengadakan revisi terhadap apa yang sudah terjadi
walaupun pengungkapan yang memadai tentang perubahan tetap diperlukan
(Suwardjono, 2010:547).

2.10.3.4. Aplikasi dalam Standar


Karena setiap metode di atas mempunyai keunggulan dan kelemahan
masing-masing, ketentuan umum yang digariskan dalam standar pada umunya
merupakan kompromi dari ketiga perlakukan diatas bergantung pada sifat dan jenis
perubahan akuntansinya. Jadi, beberapa perubahan akuntansi mengikuti perlakuan
tertentu dan beberapa perubahan lain mengikuti perlakuan yang lain. Berikut ini

56
adalah pedoman umum yang diberikan dalam APB No. 20 untuk memperlakukan
berbagai perubahan akuntansi (Suwardjono, 2010:547).
 Perubahan Prinsip atau Metode Akuntansi
Perubahan ini misalnya adalah pergantian metode depresiasi dari persentase
nilai buku ke garis lurus atau sebaliknya. Perubahan dapat disebabkan oleh
terbitnya standar baru yang menetapkan penggunaan metode tertentu atau
menolak sama sekali metode tertentu. Misalnya saja, pelaporan sewa guna yang
harus menggunakan metode kapitalisasi untuk sewa guna yang memenuhi
kriteria kapitalisasi padahal sebelum adanya standar tersebut perusahaan
menggunakan metode sewa guna operasi. Perubahan peraturan pajak dapat
memicu perusahaaan untuk mengganti metode akuntansi. Misalnya, di amerika,
diperbolehkannya menggunakan metode MTKP dalam penilaian sediaan untuk
penentuan laba kena pajak membuat banyak perusahaan mengubah metode
penetuan kos sediaan dari MPKP ke MTKP (Suwardjono, 2010:547).
Dalam hal ini APB Opinion No 20 menganut penyesuaian sekarang
memperlakukan perubahan metode akuntansi. APB berargumen bahwa
konsistensi dalam penggunaan metode antar periode akan meningkatkan
manfaat statment keuangan. Perusahaan dapat mengganti metode akuntansi
kalau memang metode baru lebih baik dan efektif untuk melaporkan kejadian
yang masih akan tetap berlangsug di masa datang. Tentu saja perusahaan harus
memberi justifikasi yang kuat akan manfaat metode baru. Akan tetapi, metode
lama yang hanya diterapkan untuk suatu kejadian yang khusus atau tidak
berulang tidak selayaknya diganti (Suwardjono, 2010:547). Secara teknis,
perlakukan tersebut dilaksanakan sebagai berikut:
a. Statment keuangan beberapa periode sebelum perubahan disertakan dalam
perlaporan seperti apa adanya untuk tujuan perbandingan.
b. Pengaruh kumulatif perubahan terhadap laba ditahan awal periode sekarang
dilaporkan dalam statement laba rugi periode sekarang ( terjadinya
perubahan).

57
c. Pengaruh penggunaan metode baru terhadap laba sebelum pos luar biasa dan
terhadap laba bersih (termasuk EPS) untuk periode pergantian metode perlu
diungkapkan.
d. Laba sebelum pos-pos luar biasa dan laba bersih (termasuk EPS) yang
dihitung secara pro forma atas dasar metode baru harus ditunjukkan dalam
statement laba rugi untuk periode-periode yang disajikan seakan akan prinsip
baru telah diterapkan untuk periode periode tersebut (Suwardjono, 2010:548).
 Perubahan Taksiran Akuntansi
Perubahan ini dapat terjadi sebagai akibat ditemukannya fakta baru atau
informasi baru atau akibat pengalaman tambahan yang diperoleh perusahaan
bersangkutan dengan taksiran tertentu. Contoh klasik adalah perubahan
taksiran umur fasilitas fisis setelah perusahaan menggunakannya dalam
beberapa periode akuntansi. Hal yang perlu dicatat adalah perubahan semacam
ini bukan merupakan kesalahan statement keuangan periode sebelumnya.
Untuk dapat dikatakan kesalahan, penyebab perubahan tersebut harus
memenuhi pengertian kesalahan seperti yang didefinisi dalam perbahasan
kesalahan. Perubahan taksiran biasanya berbeda dengan perubahan akuntansi.
Misalnya, pengurangan umur ekonomik suatu fasilitas fisis merupakan
perubahan taksiran sedangkan penggantian dari metode garis lurus ke metode
lain merupakan perubahan akuntansi walaupun kedua perubahan tersebut
mungkin menghasilkan jumlah rupiah dan pengaruh perubahan yang sama
terhadap laba (Suwardjono, 2010:549).
APB Opinion No. 20 paragraf 31 menentukan bahwa perubahan estimasi
diperlakukan sebagai penyesuaian sekarang dan prospektif yaitu pengaruh
perubahan diakui (1) pada periode perubahan kalau perubahan hanya
mempengaruhi periode tersebut atau (2) pada periode perubahan dan
mendatang kalau perubahan mempengaruhi kedua periode tersebut. Juga
ditetapkan bahwa perubahan estimasi hendaknya tidak diperlakukan sebagai
penyesuaian retroaktif atau pelaporan pro forma untuk periode lalu
Alasan perlakuan tersebut adalah perubahan estimasi merupakan hal yang
sering terjadi karena memang sifat yang melekat dalam akuntansi yang

58
memungkinkan digunakannya angka taksiran. Kalau selalu diadakan
penyesuian retroaktif, kepercayaan masyarakat terhadap statement keuangan
dapat berkurang (Suwardjono, 2010:549).
 Perubahan Kesatuan / Subjek Pelaporan
Perubahan entitas pelaporan berarti perubahan organisasi atau lingkup
kesatuan usaha yang dilaporkan dalam statement keuangan. APB membatasi
perubahan entitas pelaporan pada hal-hal sebagai berikut :
1. Penyajian statement keuangan konsolidasian atau gabungan sebagai ganti
statement perusahaan secara individual.
2. Perubahan grup perusahaan anak yang dimasukan dalam statement
keuangan konsolidasian.
3. Perubahan grup perusahaan-perusahaan yang membentuk statement
keuangan (Suwardjono, 2010:549).
Termasuk pula sebagai perubahan entitas adalah kombinasi bisnis yang
dipertanggung jelaskan dengan metode penyatuan kepentingan. Ketentuan
perlakuan ini mengikuti penyesuaian retroaktif. Alasannya adalah perubahan
seperti itu jarang terjadi sehingga manfaat penyusunan kembali statement
keuangan sebelumnya masih dianggap cukup memadai dibandingkan dengan
kerepotannya. Disamping itu, perubahan semacam ini biasanya menyangkut
perubahan yang besar sehingga kesalahan dalam pengambilan keputusan dapat
mempunyai dampak ekonomi yang luas sehingga konsistensi dan statement
yang cukup teliti perlu disampaikan para pengambil keputusan (Suwardjono,
2010:550).

2.10.4. Kuasi-reorganisasi
Kuasi organisasi biasanya dilakukan dalam hal terjadinya suatu defisit.
PSAK No. 51 Pasal 9 mendeskripsikan pengertian kuasi-reorganisasi sebagai
berikut:

59
Kuasi-reorganisasi adalah reorganisasi, tanpa melalui reorganisasi secara hukum
yang dilakukan dengan menilai kembali akun-akun aktiva dan kewajiban pada nilai
wajar dan mengeliminasi saldo defisit.

Selanjutnya ditegaskan bahwa kuasi-reorganisasi merupakan prosedur


akuntansi yang mengatur perusahaan untuk merestrukturisasi ekuitasnya dengan
menghilangkan defisit dan menilai kembali seluruh asset dan kewajbannya, tanpa
melalui reorganisasi secara hukum. Dengan mekanisme ini, diharapkan perusahaan
dapat meneruskan usahanya secara lebih baik seperti baru mulai (fresh start)
dengan modal yuridis baru tanpa dibebani defisit (Suwardjono, 2010:550).
Paton dan Littleton (1970) menyebutkan bahwa kalau terjadi defisit, tidak
perlu segera diserap oleh modal setoran. Defisit dapat dianggap sebagai kontra
jumlah modal setoran dengan harapan operasi perusahaan di masa mendatang dapat
menutup atau menghilangkan defisit tersebut. Akan tetapi, kalau defisit tersebut
berkelanjutan dan perusahaan terus mendapat rugi, tidak ada jalan lain kecuali
mengadakan kuasi-reorganisasi agar secara yuridis perusahaan dianggap sehat dan
dapat membagi dividen. Proses kuasi-reorganisasi biasanya terdiri atas langkah-
langkah berikut :
1. Aset dan kewajiban perusahaan dinilai kembali atas dasar nilai pasar atau nilai
wajar pada saat reorganisasi.
2. Modal setoran lain atau agio saham (paid in capital in excess of par) harus
ditentukan jumlahnya sehingga cukup besar untuk menutup defisit. Bila sudah
cukup besar maka defisit dapat langsung dikompensasi dengan agio modal
saham ini. Kalau tidak cukup, nominal saham atau nilai yuridis saham harus
diturunkan atau dimintakan kesediaan dari pemegang saham untuk menutup
defisit dengan mendonasikan sebagian modal sahamnya (ini berarti sebagian
modal saham dilikuidasi tanpa kompensasi apapun kepada pemegang saham).
3. Saldo debit laba ditahan (defisit) dieliminasi dengan cara mendebit
agio/premium modal saham (Suwardjono, 2010:550).
Setelah kuasi-reorganisasi, laba ditahan tentunya akan bersaldo nol dan
mungkin masih terdapat sisa agio modal saham. Statment keuangan untuk tahun

60
terjadinya kuasi-reorganisasi harus mengungkapkan rincian jumlah yang
membentuk struktur modal yang baru (misalnya hasil penilaian kembali asset dan
kewajiban, agio/premium yang diciptakan, dan besarnya defisit yang diserap). Laba
ditahan sebelum reorganisasi tidak dapat diteruskan lagi dan laba ditahan dalam
neraca setelah reorganisasi harus diberi tanggal. Artinya, harus ditunjukkan bahwa
kalau terjadi laba ditahan maka laba ditahan tersebut terbentuk setelah tanggal
reorganisasi. Pengungkapan ini harus dilakukan sampai informasi tersebut tidak
cukup signifikan untuk diungkapkan. Accounting Research Buletin (ARB) No. 46
Paragraf 2 menyebutkan bahwa pemberian tanggal tersebut harus berlangsung
paling tidak 10 tahun kecuali keadaan menjustifikasi untuk mengungkapkan hal
tersebut kurang dari waktu tersebut (Suwardjono, 2010:551).
Dewan Standar Akuntansi menegaskan bahwa kuasi-reorganisasi bukan
sekedar cara untuk menyajikan kembali posisi keuangan yang lebih baik tetapi juga
cara untuk menyelamatkan perusahaan yang terbebani defisit yang material padahal
perusahaan tersebut memiliki prospek yang baik. Kalau prospek memang tidak
baik, defisit merupakan kegagalan perusahaan dan kepailitan merupakan hal yang
tidak dapat dihindari. Oleh karena itu Dewan Standar Akuntansi menetapkan
syarat-syarat perusahaan yang dapat melakukan kuasi-reorganisasi yaitu (PSAK
No. 51, Pasal 11):
(a) Perusahaan mengalami defisit dalam jumlah yang material.
(b) Perusahaan harus memiliki status kelancaran usaha dan memiliki prospek yang
baik pada saat kuasi-reorganisasi dilakukan.
(c) Perusahaan tidak sedang menghadapi permohonan kepailitan.
(d) Tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku.
(e) Saldo ekuitas sesudah kuasi-reorganisasi harus positif (Suwardjono,
2010:551).

2.10.4.1. Pengaruh Defisit terhadap Kreditor


Setiap defisit akan mengurangi batas perlindungan (margin of protection)
yang sebelumnya dinikmati oleh kreditor perseroan dan tingkat pengurangan ini
akan menjadi makin berpengaruh kalau defisit semakin besar. Kalau laba ditahan

61
jumlahnya cukup untuk menyerap rugi tertentu maka tidak akan timbul defisit
ditinjau dari segi neraca meskipun posisi kreditor menjadi kurang terjamin
dibandingkan dengan posisi sebelum terjadinya rugi. Kalau rugi melebihi laba
ditahan jaminan kreditor mula-mula yang berupa ekuitas pemegang saham menjadi
berkurang. Kalau sebagian ekuitas pemegang saham telah disisihkan sebagai agio
saham cukup untuk menyerap sisa rugi, maka jaminan penyangga bagi kreditor
akan terpengaruh juga. Kalau modal saham yuridis harus dikurangi untuk
membentuk agio yang cukup untuk menyerap defisit maka jelaslah ada pengerutan
elemen jaminan penyangga total mula-mula (original margin) yang menjadi dasar
utama kepercayaan kreditor dalam menanamkan dananya (Suwardjono, 2010:551-
552).
Proses pengurangan modal saham yuridis untuk menyerap defisit akan
mendekatkan posisi perusahaan pada garis batas yang menandai timbulnya hak
kreditor yaitu hak yang berkaitan dengan kesulitan keuangan (insolvency) debitor.
Arti pentingnya proses kuasi-reorganisasi akan sangat berpengaruh terhadap
kreditor bilamana ada petunjuk bahwa defisit secara berangsur-angsur menjadikan
jaminan penyangga bagi kreditor habis. Itulah sebabnya Dewan Standar Akuntansi
menetapkan bahwa hanya perusahaan yang prospeknya baik dapat melakukan
kuasi-reorganisasi (Suwardjono, 2010:552).
Yang jelas kuasi-reorganisasi tidak akan dilakukan kalau laba ditahan masih
dapat menyerap defisit. Bila kuasi-reorganisasi dilakukan padahal masih terdapat
laba ditahan, kuasi-reorganisasi semacam ini dapat menimbulkan distribusi asset
sebagai dividen padahal sebenarnya asset tersebut merupakan jaminan bagi kreditor
untuk pinjaman yang ditanamkan. Dengan kata lain, perusahaan mengumumkan
deviden dengan membebankannya terhadap modal pemegang saham yang menjadi
batas perlindungan kreditor (Suwardjono, 2010:552).
Kuasi-reorganisasi yang memenuhi syarat tidak dengan sendirinya
merugikan kreditor. Seperti juga pemegang saham, kreditor akan lebih dirugikan
oleh adanya rugi daripada oleh fleksibilitas penyesuaian modal. Akan tetapi,
dengan cara pengungkapan yang bagaimanapun, membiarkan laba ditahan tetap

62
utuh sementara rugi diserap dengan modal setoran merupakan perlakuan yang
menyesatkan bagi semua pihak yang berkepentingan (Suwardjono, 2010:552).

2.11. Penyajian Modal Pemegang Saham


Urutan penyajian kewajiban dan modal pemegang saham dalam neraca
sebenarnya menggambarkan urutan perlindungan dalam kondisi perusahaan
mengalami defisit dan dalam kondisi perusahaan dilikuidasi. Dalam terjadi defisit,
urutan penyajian menggambarkan urutan penyerapan rugi (sequence of charges)
sedangkan dalam kondisi likuidasi urutan penyajian menggambarkan urutan
perlindungan yuridis (legal sequence of protection) bagi para penyedia dana dalam
hal terjadi likuidasi. Jadi, berbagai hak atas asset disajikan atas dasar urutan siapa
dahulu yang memikul rugi dalam hal terjadi defisit dan siapa dahulu menerima
distribusi asset dalam hal terjadi likuidasi (Suwardjono, 2010:552).

2.11.1. Urutan Penyerapan Rugi


Secara umum yang telah dikorbankan (expired) menjadi biaya akan diserap
melalui aliran pendapatan kotor. Hal ini berkaitan pada umumnya dengan
pengakuan biaya atas dasar konsumsi manfaat (consumption of benefit) dalam
kondisi operasi normal. Dalam hal terjadi pengorbanan kos akibat hilangnya
manfaat menjadi rugi, rugi tersebut akan diserap dahulu melalui laba bersih dan
hanya dalam keadaan yang sangat khusus maka kos tersebut dapat diserapkan oleh
kelompok modal pemegang saham. Jadi, urutan penyerapan biaya, rugi, dan rugi
luar biasa (sequence of charges) dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Pendapatan kotor. Pos ini menyerap semua biaya dan rugi dan debit/beban
(charges) yang berasal dari transaksi nonpemilik.
2. Laba bersih. Hal ini akan terjadi pendapatan kotor tidak cukup untuk menutup
semua kos terhabiskan (expired cost) baik yang berasal dari konsumsi manfaat
maupun hilangnya manfaat (misalnya rugi luar biasa). Bila digunakan
pendekatan laba komprehensif, laba bersih akan menjadi laba komprehensif.
3. Laba ditahan. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila laba bersih periode
berjalan tidak cukup untuk menyerap suatu rugi tertentu atau rugi luar biasa.

63
4. Premium modal saham. Bagian modal ini baru dapat menyerap rugi kalau laba
ditahan dan laba ditahan telah habis untuk menyangga suatu rugi. Dengan kata
lain, modal saham harus tetap dijaga keutuhannya sampai premium modal saham
benar-benar telah habis.
5. Modal saham. Bila keutuhan modal yuridis telah terpengaruh secara
substansial, kebijakan untuk melakukan kuasi-reorganisasi atau bahkan likuidasi
perusahaan mungkin diperlukan (Suwardjono, 2010:553).
Urutan penyerapan rugi seperti diatas sebenarnya merupakan asumsi atau
tradisi semata-mata walaupun hal tersebut dapat dikuatkan dalam bentuk standar
akuntansi. Hal ini didasarkan pada pikiran bahwa berbagai dana yang ditanamkan
menjadi aset perusahaan akan lebur menjadi begitu lumatnya menjadi satu kesatuan
aset. Jika demikian, rugi timbul akibat keseluruhan kegiatan yang didanai dari
berbagai sumber. Oleh karena itu, sebenarnya tidak mungkin lagi menyatakan
bahwa rugi berkaitan dengan sumber dana tertentu (laba bersih, laba ditahan, atau
modal) (Suwardjono, 2010:553).
Walaupun demikian, atas dasar sifat pendanaan (financing dan operasi
perusahaan serta penekanan konsep kontinuitas, cukup valid untuk menganggap
bahwa dalam kelompok modal pemegang saham, modal saham atau yuridis adalah
bagian terakhir (residual) dalam kaitannya dengan penyerapan rugi (Suwardjono,
2010:553).
Penempatan laba bersih di atas laba ditahan untuk menyerap rugi dilandasi
oleh alasan untuk mencegah kecenderungan manajemen untuk melaporkan rugi
secara terpisah dari statment laba-rugi dan langsung membebankan ke kelompok
modal pemegang saham. Alasan tersebut juga menjadi argumen untuk
memunculkan konsep laba komprehensif. Dengan konsep ini, semua rugi dalam
bentuk dan jenis apapun dimasukkan dalam statment laba-rugi tahun terjadinya atau
tahun dapat diakuinya rugi tersebut (Suwardjono, 2010:554).
Urutan penyerapan rugi seperti diatas juga dapat diapndang sebagai urutan
menikmati untung. Dengan demikian, semua untung luar biasa (selain yang timbul
akibat transaksi saham perusahaan) harus dimasukkan sebagai unsur dalam
mengukur laba bersih sebelum dipindahkan ke laba ditahan. Kalau laba luar biasa

64
langsung ditambahkan ke laba ditahan dikhawatirkan bahwa pengaruhnya terhadap
laba akan terlewatkan. Oleh karena itu, tidak selayaknyalah kalau untung langsung
ditambahkan ke laba ditahan atau premium modal saham tanpa melalui statment
laba-rugi (Suwardjono, 2010:554).

2.11.2. Urutan Menerima Distribusi Aset


Urutan perlindungan menunjukan siapa yang harus didahulukan dalam
menerima distribusi aset atau siapa yang menanggung segala akibat dalam kasus
perusahaan dilikuidasi. Urutan ini menjadi basis penyajian untuk kewajiban dan
ekuitas pemegang saham. Ditinjau dari segi ini, urutan perlindungan dapat
dikemukakan sebagai berikut:
1. Karyawan dan Pemerintah.
Pihak ini dapat dipandang sebagai kreditor yang diprioritaskan yaitu karyawan
dengan hak atas gaji dan pemerintah dengan hak atas pajak terhutang.
2. Kreditor berjaminan (Guaranteed creditors)
Pihak ini adalah pemegang obligasi atau kreditor lain yang haknya dijamin
dengan hak sita (liens) atas aset tertentu.
3. Kreditor tak berjaminan (unguaranteed creditors).
Pihak ini terdiri atas para kreditor yang tidak dijamin yang terrefleksi dalam
utang usaha atau utang wesel baik jangka pendek maupun jangka panjang.
4. Pemegang saham Prioritas
Pihak ini dilindungi oleh laba ditahan sebagai penyangga modal saham atau
yuridis.
5. Pemegang saham biasa
Pihak ini merupakan pemegang hak atas sisa kekayaan (residual interest) yang
berarti bahwa pemegang saham biasa harus menagggung lebih dahulu rugi atau
defisit (Suwardjono, 2010:554).
Dengan urutan perlindungan seperti diatas, pemegang modal saham biasa
adalah yang paling akhir dilindungi alias tidak ada perlindungan sama sekali. Modal
saham biasa ini merupakan hak atas kekayaan yang terbuka terhadap resiko dan
paling terpengaruh terhadap hasil kegiatan perusahaan, baik hasil yang

65
menguntungakan maupun yang merugikan. Meskipun demikian, dalam perusahaan
yang besar yang pemgang saham biasanya berkedudukan seperti kreditor yaitu
menyediakan dana tanpa mengurus langsung penggunaan dana tersebut, tentu saja
cukup beralasan untuk menganggap bahwa ada semacam perlindungan berupa
prospek perusahaan yang cerah disamping tanggung jawab yang terbatas pada
modal yang disetor. Tanpa harapan atau perlindungan ini tentunya akan sedikit
yang bersedia menjadi pemegang saham biasa (Suwardjono, 2010:556).
Perlindungan diatas secara umum juga menjadi basis penyajian kewajiban
dan ekuitas dalam neraca. Jadi, cukup beralasanlah kalau kewajiban disajikan lebih
dahulu baru kemudian ekuitas pemegang saham (Suwardjono, 2010:556).
Hubungan antara urutan penyerapan rugi dan urutan perlindungan yang terrefleksi
dalam penyajian di neraca dilukiskan dalam gambar di bawah ini.
Gambar 2.2
Penyajian Secara Umum Kewajiban dan Ekuitas dalam Neraca
Dan Hubungannya Dengan Urutan Perlindungan

Kewajiban

Modal saham istimewa


Agio saham istimewa
Urutan Penyerapan Rugi Urutan
Perlindungan
Modal saham biasa
Agio saham biasa

Laba ditahan

2.12. Perincian Laba Ditahan


Bila komponen-komponen tertentu yang berasal dari transaksi operasi
dilaporkan langsung ke laba ditahan, laba ditahan dapat disajikan dan dirinci atas
dasar sumber. Terdapat pula kebiasaan bahwa laba ditahan disajikan dengan

66
memerincinya atas dasar tujuan (by purposes) dengan cara yang disebut apropriasi
(appropriation) dan pembatasan (restriction) (Suwardjono, 2010:555).

2.12.1. Perincian Atas Dasar Sumber


Dengan dasar ini, laba ditahan dapat dirinci menjadi laba ditahan yang
berasal dari operasi normal atau rutin dan yang berasal dari laba luar biasa. Dapat
saja pembedaan antara kedua sumber laba ditahan tersebut dipertajam. Namun,
sebenarnya tidak cukup beralasan untuk memecah kembali jumlah rupiah bersih
laba periodic atas dasar klasifikasi sumber bilamana statment laba-rugi telah
memuat semua faktor yang menentukan laba bersih (pendekatan laba
komprehensif) dan laba komprehensif ini telah ditransfer ke laba ditahan menjadi
bagian dari ekuitas pemegang saham. Jadi, bila perubahan akibat transaksi operasi
dipisahkan secara tegas dengan transaksi modal, statment laba-rugi telah merefleksi
sumber laba ditahan sehingga perincian laba ditahan akan percuma (Suwardjono,
2010:555-556).

2.12.2. Perincian Atas Dasar Tujuan Penggunaan


Dalam praktik, perincian ini ditunjukkan dengan adanya pos cadangan
jaminan sosial, laba ditahan terbatas (restricted retained earnings), dan cadangan
umum. Perincian semacam itu sebenarnya sama saja dengan mengaitkan laba
ditahan dengan aset tertentu (asset imputation). Artinya, dalam aset apa saja laba
ditahan terikat. Klasfikasi ini mendasarkan pada tujuan penggunaan laba ditahan
sebagaimana ditunjukkan oleh komponen aset yang terkait (Suwardjono,
2010:556).
Dalam hal tertentu mungkin ada petunjuk untuk mengatakan bahwa laba
ditahan terikat dalam aset lancar. Misalnya saja, dalam satu periode telah terjadi
kenaikan modal kerja neto dan tidak terjadi transaksi lain kecuali transaksi operasi
yang menimbulkan laba dalam periode tersebut. Dalam hal ini, terdapat cukup
alasan untuk mengatakan bahwa laba ditahan pada saat itu tertanam dalam
tambahan modal kerja. Dalam kasus lain mungkin dapat dibuktikan bahwa jumlah
rupiah laba ditahan terikat dalam kas atau pos aset lancar lain. Sejalan dengan

67
pikiran tersebut, kalau terjadi tambahan fasilitas fisis tanpa diimbangi dengan
terjadinya pinjaman baru, modal baru, atau berkurangnya modal kerja, terdapat pula
cukup alasan untuk menyatakan bahwa laba ditahan telah tertanam dalam aset tetap
(Suwardjono, 2010:556).
Perincian semacam itu sebenarnya tidak perlu dan tidak mempunyai
manfaat informasional karena statment aliran kas telah mengandung informasi
tersebut. Jadi, penyertaan statment laporan aliran kas lebih memenuhi tujuan
pelaporan daripada perincian resmi dalam laba ditahan dengan sebutan misalnya
“cadangan ekspansi” (Suwardjono, 2010:556).
Ada kalanya, dalam rangka kebijakan dividen, perusahaan yang mempunyai
rencana membagi dividen menyisihkan laba ditahan menjadi “cadangan pembagian
dividen” sebelum mengumumkan dividen. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa
dividen tersebut harus dibayar dengan kas. Penyisihan tersebut sebenarnya tidak
menjamin bahwa kas tersedia untuk keperluan tersebut. Contoh yang sangat
popouler adalah banyaknya perseroan amerika yang mampu membayar dividen
selama periode depresi pada awal-awal tahun 30an karna adanya akumulasi laba
selama periode ledakan (boom) kegiatan ekonomi pada tahun tahun 20an. Jadi
sebenarnya tidak benar untuk beranggapan bahwa dividen yang dibayar pada
periode berjalan adalah berasal dari laba yang diperoleh pada periode tersebut. Oleh
karena itu, Paton dan Littleton (1970) menegaskan bahwa penyisihan laba ditahan
sebenarnya tidak bermakna (meaning ful) (Suwardjono, 2010:556).
Selanjutnya dinyatakan bahwa penyisihan hanya akan bermakna bila di sisi
aset disisihkan benar-benar sejumlah rupiah untuk tujuan penyisihan tersebut.
Misalnya, disisihkannya laba ditahan untuk jaminan sosial mungkin akan
bermanfaat kalau sejumlah kas disisihkan untuk keperluan tersebut. Akan tetapi,
penyisihan kas itu sendiri sebenarnya sudah cukup untuk menunjukkan bahwa aset
tidak dapat digunakan untuk keperluan selain yang telah ditetapkan sehingga laba
ditahan tidak perlu disisihkan. Penyisihan laba ditahan akan berlebihan secara
informasional (Suwardjono, 2010:556-557).
Penyisihan laba ditahan sebagai cadangan khusus akan cenderung memberi
gambaran yang menyesatkan kepada para pembaca statment keuangan. Istilah

68
“cadangan” memberi kesan sebagai dana kas atau semacamnya yang disihkan
(dihimpun) untuk tujuan khusus. Pada kenyataannya, biasanya tidak ada dana (kas
dan aset lainnya) yang benar-benar dipisahkan yang jumlahnya sama dengan
jumlah “cadangan” laba ditahan yang dibentuk bahkan kadang-kadang tidak pernah
atau akan terjadi investasi atau pengeluaran dana seperti yang disebut dengan nama
cadangan laba ditahan tersebut. Jadi, pencadangan semacam itu akan percuma saja
(Suwardjono, 2010:557).
Paton dan Littleton beragumen bahwa tidak diperlukannya perincian Laba
ditahan karena laba ditahan pada dasarnya tidak lebih daripada sebagai bagian hak
pemegang saham atas dana yang tertanam dalam seluruh aset sebagai kesatuan
sehingga tidak diperlukan perincian laba ditahan. Jumlah rupiah laba ditahan tidak
dapat diidentifikasi atas dasar ke jenis aset apa jumlah rupiah tersebut terikat.
Seperti juga modal setoran, laba ditahan terikat dalam aset sebagai satu kesatuan.
Ini berarti bahwa setiap bentuk klasifikasi laba ditahan atas dasar untuk apa jumlah
rupiah laba ditahan digunakan dalam perusahaan adalah bersifat hipotesis belaka
dan sama sekali tidak bermakna (Suwardjono, 2010:557).
Bentuk lain penyisihan adalah untuk tujuan penyerapan kemungkinan rugi
atau ketidakpastian lainnya (contingencies). Penyisihan ini juga tidak bermakna
karena pada dasarnya total jumlah rupiah laba ditahan dapat dipandang sebagai
penyangga atau cadangan umum (general purpose buffer). Kalau memang terdapat
suatu tuntutan ganti rugi atau klaim yang suatu saat memang harus dipenuhi maka
jumlah rupiahnya (bila perlu ditaksir) harus ditunjukkan sebagai kewajiban. Kalau
ketidakpastian tersebut tidak lebih dari sekedar kemungkinan dan khususnya
apabila jumlah rupiah kerugiannya tidak dapat ditentukan maka suatu catatan kaki
akan cenderung lebih informative daripada penyisihan laba ditahan (Suwardjono,
2010:557).
Proses penyisihan laba ditahan hendaknya tidak dikacaukan dengan proses
akuntansi untuk pengukuran laba. Dengan demikian masalah cadangan laba ditahan
harus dibedakan secara tegas dengan masalah teoritis yang berkaitan dengan akun-
akun “cadangan” utang (misalnya diskun utang obligasi), “cadangan” aset
(misalnya depresiasi akumulasian), cadangan kerugian piutang, dan akun-akun

69
cadangan lainnya sebagai kontra-akun asset atau kewajiban (Suwardjono,
2010:557).

2.13. Laba Komprehensif


Perubahan akibat transaksi operasi atau transaksi nonpemilik harus
dibedakan dan dipisahkan secara tegas dengan perubahan akibat transaksi pemilik,
semua perubahan akibat transaksi operasi harus dilaporkan melalui statment laba-
rugi (Suwardjono, 2010:557).
Pos-pos operasi dalam arti luas sebagai lawan pos-pos transaksi nonpemilik
meliputi pos-pos operasi utama, pos-pos tambahan, dan pos-pos yang sifatnya
khusus atau luar biasa tetapi berasal dari transaksi nonpemilik. Masalah teoritis
dalam hal ini adalah pos-pos mana saja yang disajikan melalui statment laba-rugi
dan pos-pos mana saja yang dilaporkan melalui statment laba ditahan. Dalam hal
ini, ada dua pendekatan yang dapat dianut yaitu kinerja sekarang atau normal
(current atau normal performance approach) dan semua termasuk atau surplus
bersih (all-inclusive atau clean surplus approach) (Suwardjono, 2010:558).

2.13.1. Laba Kinerja Sekarang


Pendekatan ini hanya memasukkan ke dalam statment laba-rugi pos-pos
operasi yang dianggap bertalian dengan tahun berjalan dan penggunaan asset
(sumber ekonomik) untuk mencapai tujuan utama. Pendekatan ini meenekankan
makna periode sekarang atau berjalan (current) dan operasi (operating) dalam arti
sempit (Suwardjono, 2010:558). Pendukung pendekatan ini mengajukan beberapa
argumen sebagai berikut:
1. Laba harus mengukur efisiensi penggunaan sumber ekonomik untuk periode
berjalan sehingga laba harus bebas dari hal-hal yang mengaburkan efisiensi.
Efisiensi, yang diukur atas dasar kembalian atas aset (return on assets),
merupakan angka penting untuk memprediksi kemampuan laba masa datang.
2. Laba merupakan pengukur kinerja manajemen. Oleh karenanya, laba haruslah
angka yang benar-benar merupakan hasil penggunaan sumber ekonomik yang
ada dalam batas-batas pengendalian manajemen. Faktor-faktor yang terjadi di

70
luar kendali manajemen harus dikeluarkan dari perhitungan laba. Ini berarti, laba
yang harus disajikan dalam statment laba-rugi adalah laba yang berasal dari
operasi normal.
3. Laba harus dapat digunakan untuk melakukan perbandingan antar perioda dan
antar perusahaan secara bermakna. Hal ini hanya dapat dilakukan kalau angka
laba hanya berisi pos-pos yang bersifat operasi dan rutin.
4. Karena fiksasi fungsional (functional fixation) pembaca statment laba-rugi yang
hanya melihat angka akhir, pemasukan pos-pos luar biasa dalam statment laba-
rugi dapat menyesatkan pemakai (Suwardjono, 2010:558).

2.13.2. Laba Semua-Termasuk


Pendekatan ini menekankan pemisahan secara tegas transaksi operasi dalam
arti luas dan transaksi modal. Dengan kata lain, yang diperhitungkan sebagai laba
dan disajikan melalui statment laba-rugi adalah semua pos akibat transaksi
nonpemilik. Pendekatan ini dilandasi oleh konsep dasar kontinuitas usaha yang
memandang statment laba-rugi merupakan penggalan aliran operasi (pendapatan
dan biaya) dalam jangka panjang. Untuk dapat memprediksi kemampuan melaba
jangka panjang, statment laba-rugi tidak dapat berdiri sendiri tetapi harus disajikan
sebagai serangkaian statment laba-rugi sepanjang umur perusahaan. Dengan
demikian, laporan laba-rugi periodik (tahunan) harus memuat pos-pos yang tidak
normal (regular) atau luar biasa. Tidak ada pos selain yang berasal dari transaksi
pemilik langsung masuk atau menerobos ke statment laba ditahan (Suwardjono,
2010:558-559).
Sebagai contoh, pengaruh kumulatif perubahan akuntansi misalnya tidak
selayaknya dilaporkan sebagai penyesuai laba ditahan. Paton dan Littleton (1970)
berkebaratan terhadap perlakuan seperti itu. Memang sebagian atau seluruh
pengaruh tersebut sebenarnya telah terhimpun beberapa periode sebelumnya dan
baru diketahui akibatnya dalam periode berjalan sehingga keliatan logis bahwa
jumlah tersebut disesuaikan terhadap laba ditahan. Akan tetapi, perlakuan semacam
itu sama saja dengan menyembunyikan riwayat tentang kemampuan perusahaan
menghasilkan laba jangka panjang (Suwardjono, 2010:559).

71
2.13.3. Alasan Mendasar
Paton dan Littleton (1970) mengajukan argumen mendasar dalam
mendukung pendekatan laba semua-termasuk yaitu konsep pemanfaatan aset (asset
utilization). Konsep ini memandang bahwa manajemen mengelola aset sebagai satu
kesatuan. Dari segi pemanfaatan, sebenarnya tidak dapat dipisahkan antara aset
keuangan dan aset tetap sehingga keduanya mempunyai pengaruh yang sama
terhadap laba. Lawan dari konsep pemanfaatan aset adalah konsep aset kapital
(capital asset). Konsep ini membedakan aset kapital (yang terdiri atas aset tetap
fisis) dan aset lainnya sehingga pengaruh transaksi aset kapital (terutama yang luar
biasa) terhadap laba harus berbeda dengan transaksi aset lainnya. Berikut ini
dibahas argumen Patton dan Littleton mengenai pemanfaatan aset (Suwardjono,
2010:559).

2.13.3.1. Konsep Pemanfaatan Asset


Statemen laba-rugi harus menyajikan secara efektif semua akibat dari
pemanfaatan aset yang diserahkan sepenuhnya kepada manajemen. Pemisahan laba
menjadi normal dan tidak normal dalam dua statment akan cenderung mengalihkan
pusat perhatian pemakai secara tidak semestinya ke laba normal dan dengan
demikian secara tidak sadar mengurangi perhatian pembaca akan keefektifan
manajemen secara keseluruhan. Misalnya saja, kalau laba normal yang dilaporkan
melalui statment laba-rugi sudah memuaskan, kemungkinan pembaca akan
melalaikan sama sekali arti pentingnya suatu penghapusan fasilitas fisis yang sudah
ketinggalan zaman sebelum waktunya dihentikan yang langsung dibebankan ke
laba ditahan. Pembaca mungkin kelewatan untuk menanyakan apakah laba yang
dilaporkan pada tahun-tahun sebelumnya memang sudah benar kalau manajemen
cukup jeli dalam mengantisipasi perubahan teknologi. Paton dan Littleton
menegaskan bahwa pemecahan yang paling logis adalah membaca serangkaian
statment laba rugi komprehensif periode periode sebelumnya (Suwardjono,
2010:559).
Manajemen mengelola aset yang dipercayakan kepadanya. Memang ada
berbagai cara untuk memanfaatkan aset. Penggunaan aset yang utama adalah untuk

72
menghasilkan barang atau jasa untuk mendatangkan laba. Dalam hal ini, aset atau
sumber ekonomik akan berkurang dengan terjadinya kos produksi, biaya, dan rugi,
serta akan bertambah dengan terjadinya pendapatan, laba, dan untung luar biasa.
Penggunaan aset yang kedua adalah untuk dijadikan jaminan kontrak utang atau
pendanaan dan untuk alat pelunasan kontrak tersebut. Dalam hal ini, aset akan
berkurang dengan dibayarnya utang dan dikembalikannya modal dan akan
bertambah dengan adanya pinjaman atau modal baru. Karena perbedaan mendasar
ini, perubahan akibat pemanfaatan aset untuk tujuan yang berbeda ini harus
dipisahkan dengan tegas dan jelas tetapi harus tetap dalam kategori perubahan
akibat transaksi operasi (nonpemilik). Dengan kata lain, perubahan tersebut harus
dilaporkan melalui statment laba-rugi (Suwardjono, 2010:560).
Membatasi statment laba-rugi hanya menyajikan laba normal sama saja
dengan mengeluarkan sebagian perubahan akibat pemanfaatan aset untuk tujuan
produktif. Pemisahaan tersebut mempunyai akibat pembebanan langsung ke laba
ditahan perubahan aset yang sebenarnya merupakan transaksi operasi yaitu
transaksi pemanfaatan aset untuk tujuan produktif. Pemisahaan tersebut
mengurangi manfaat pelaporan yang menunjukkan keefektifan manajemen dalam
memanfaatkan aset dan berkuranglah fungsi statment laba-rugi yang sebenarnya
(Suwardjono, 2010:560).
Bukan berarti bahwa informasi tentang laba normal tidak penting. Yang
menjadi masalah adalah usaha untuk mengungkapkan hal tersebut tidak harus
menggunakan cara yang malahan dapat menimbulkan salah interpretasi akibat
tersembunyinya pos-pos yang mempunyai pengaruh operasi perusahaan dalam
jangka panjang. Di samping itu, perlakuan akuntansi terhadap rugi dan untung luar
biasa hendaknya tidak didasarkan atas kehendak atau selera manajemen tetapi lebih
didasarkan atas pertanyaan tentang apakah perubahan aset berkaitan dengan
transaksi operasi dalam menyelenggarakan perusahaan ataukah berkaitan dengan
transaksi modal (Suwardjono, 2010:560).
Memang ada perbedaan antara biaya dan rugi (expenses and losses), dan
antara laba dan untung luar biasa (income and special gains) tetapi juga ada
kesamaannya (similarities) yang mendasar yaitu semuanya merupakan perubahan

73
akibat pemanfaatan aset untuk tujuan produktif. Bagi para pemakai statment
keuangan, justru kesamaan mendasarlah yang lebih penting daripada perbedaannya.
Kemungkinan kesalahan interpretasi akan lebih besar dalam pelaporan terpisah
daripada dalam pelaporan komprehensif (Suwardjono, 2010:560).
Kekhawatiran bahwa pemakai akan salah interpretasi kalau laba normal
tidak ditonjolkan tidak beralasan lagi. Bukan zamannya lagi bahwa statment
keuangan harus disusun untuk orang awam yang hanya membaca sambil lalu angka
pada baris terakhir statment laba-rugi dan tidak lebih dari itu. Yang diperlukan
sekarang adalah statment keuangan yang memungkinkan untuk ditelaah dan
dianalis oleh ahli yang mempunyai pengetahuan tentang kegiatan bisnis dan
ekonomik serta bersedia untuk belajar dengan cukup tekun (willing to study the
information with reasonable diligence). Dalam kenyataannya, para investor lebih
bergantung pada hasil analisis para ahli atau analis profesional daripada pada hasil
keputusannya sendiri yang didasarkan atas interpretasi yang naif terhadap statment
keuangan perseroan (Suwardjono, 2010:560).

2.13.3.1. Konsep Aset Kapital


Sebagai lawan konsep pemanfaatan aset, konsep ini membedakan fungsi
aset lancar dan aset tetap. Dengan demikian, perubahan aset tetap karena penjualan
atau penghentian berbeda dengan perubahan karena pemanfaatan aset untuk
menciptakan laba (melalui depresiasi) sehingga laba atau rugi pemberhentian aset
harus dilaporkan terpisah sebagai penyesuai laba ditahan. Laba atau rugi ini
dipandang sebagai transaksi modal karena dianggap modal pemegang saham
tertanam dalam aset tetap. Ini berarti jenis aset fisis tertentu sebagai potensi jasa
dianggap berbeda dengan aset lainnya sehingga rugi atau laba yang melekat pada
jenis aset tertentu dapat dilaporkan terpisah dari perubahan aset yang berkaitan
langsung dengan biaya dan pendapatan (Suwardjono, 2010:561).
Namun Paton dan Littleton (1970) menyangkal konsep di atas. Secara
konseptual, laba atau rugi yang berkaitan dengan pemanfaatan aset tetap tidak
berbeda dengan laba atau rugi yang berkaitan dengan pengelolaan aset lancar.
Lagipula, tidak ada alasan kuat untuk mengaitkan aset tetap fisis dengan kontribusi

74
modal oleh investor karena jenis aset tertentu secara umum tidak dapat ditelusuri
dengan pasti asal sumber dananya. Dengan kata lain, jumlah rupiah dana melekat
dan campur jadi satu (commingled) dalam aset secara keseluruhan. Dengan dasar
pikiran ini, tidaklah dapat dibenarkan untuk menggolongkan laba atau rugi tertentu
sebagai ”rugi kapital” (capital loss) yang sebenarnya tidak lebih daripada laba atau
rugi biasa lantaran pemanfaatan aset (Suwardjono, 2010:561).
Lebih lanjut dikemukakan bahwa atas dasar konsep kontinuitas usaha,
fluktuasi periodik dalam pendapatan, biaya, dan laba bersih tidak dapat dihilangkan
atau diratakan atas dasar kehendak manajemen walaupun sampai tingkat tertentu
fluktuasi tersebut dapat diantisipasi oleh manajemen yang tajam dalam melihat
masa depan. Apapun jadinya, manajemen hanya dapat mengharapkan untuk berbuat
lebih baik di masa mendatang. Namun, kenyataan yang merefleksi kebijakan pada
masa yang lalu harus tetap ditunjukkan dengan jelas seperti apa adanya kepada
pemakai yang menggantungkan diri pada statment keuangan. Oleh karena itu,
pemakai harus diyakinkan bahwa serangkaian statment laba-rugi beberapa perioda
yang lalu dapat mengungkapkan seluruh kemampuan manajemen dalam
memanfaatkan (the administration or utilization of assets) yang dipercayakan
kepadanya. Jadi, kebijakan masa yang lalu yang ternyata keliru setelah adanya fakta
yang baru dan relevan akan diakui secara jujur dan pengaruhnya akan dilaporkan
dengan jelas di statment laba-rugi dan bukannya disembunyikan sebagai penyesuai
laba ditahan (Suwardjono, 2010:561).
Uraian di atas melandasi pendekatan laba semua-termasuk yaitu bahwa
semua faktor penentu dalam pengukuran laba periodik dalam arti luas termasuk
faktor luar biasa dan tidak rutin harus dilaporkan dalam statment laba-rugi sebelum
hasil bersihnya dipindahkan ke kelompok modal pemegang saham di neraca.
Berikut ini adalah argumen yang diajukan oleh Hendriksen dan Van Breda (1992,
halaman. 327) dan sumber lainnya yang mendukung pendekatan laba semua –
termasuk dalam menyajikan statement laba rugi (Suwardjono, 2010:561).
1. Secara teknis, penggunggungan laba tahunan selama umur perusahaan harus
sama dengan laba total perusahaan. Bukti empiris menunjukan bahwa rugi-rugi
luar biasa yang terjadi sepanjang umur perusahaan pada umunya melebihi

75
untung-untung luar biasa. Oleh karena itu, bila pos-pos luar biasa dikeluarkan
dari perhitungan laba tahunan, akan terjadi penyajian lebih (overstatement) laba
tahunan sepanjang beberapa tahun.
2. Pengeluaran pos-pos non pemilik dari perhitungan laba memberi kesempatan
kepada manajamen untuk melakukan manipulasi atau manajamen laba. Bukti
empiris menunjukan karena berbagai alasan manajamen memang melakukan
manajamen laba (earnings manajamen)
3. Tidak selalu mudah untuk menentukan apakah suatu pos bersifat operasi atau
non operasi, reguler / tak reguler, normal atau tak normal dan biasa atau luar
biasa. Dalam banyak hal pemisahan hal tersebut lebih didasarkan pada
pertimbangan subjek dan arbitrer. Dengan pendekatan semua – termasuk,
penentuan laba periodik akan menjadi lebih obyektif karena tidak diperlukan
pertimbangan personal (personal judgments) untuk menentukan pos-pos mana
masuk statement laba rugi dan pos-pos mana masuk statement laba ditahan.
4. Dengan memasukan semua pos-pos yang berasal dari transaksi non pemilik dan
dengan pengungkapan yang layak, pemakai laporan yang mempunyai
keleluasaan untuk mereklasifikasi dan menentukan sendiri laba antara yang
dianggap berpaut dan bermanfaat pemanggilan keputusan.
5. Berkaitan dengan argumen tiga, pengertian operasi perusahaan harus
diinterpretasi dalam perspektif yang luas tidak terbatas pada kegiatan produksi
dan penjualan produk utama. Apa yang dianggap sebagai non operasi atau luar
biasa untuk perusahaan yang satu dapat menjadi hal yang sangat rutin atau biasa
bagi perusahaan yang lain. Bila jumlah rupiah dipakai sebagai dasar untuk
memisahkan antara operasi/biasa dan non operasi/luar biasa, dapat terjadi suatu
pos yang dilaporkan sebagai operasi untuk periode tertentu (masuk statement
laba rugi) akan menjadi non operasi untuk periode lainnya (masuk statement laba
ditahan). Jadi, pemisahan semacam itu akan menimbulkan inkonsistensi
pelaporan laba (Suwardjono, 2010:562).
Atas dasar argumen-argumen di atas, FASB menganut pendekatan laba
semua termasuk secara penuh dalam penentuan dan penyajian laba hal ini
terrefleksi dalam pendefinisian laba komprehensif sebagai salah satu elemen

76
statement keuangan. Laba komprehensif didefinisi sebagai perubahan ekuitas
selama periode yang berasal dari sumber-sumber non pemilik (Suwardjono,
2010:562).

2.14. Penyajian Laba Komprehensif


Laba komprehensif merupakan salah satu elemen statment keuangan. Laba
komprehensif didefinisi sebagai perubahan ekuitas selama perioda yang berasal dari
sumber-sumber nonpemilik. Dengan dianutnya pendekatan laba semua-termasuk
atau laba komprehensif, masalahnya adalah bagaimana menyajikan komponen-
komponen pembentuk laba komprehensif dan bagaimana penyajian dalam statment
laba-rugi. Berikut ini memuat komponen-komponen pembentuk statment laba-rugi
(Suwardjono, 2010:563).
Gambar 2.3
Komponen-Komponen Pembentuk Statemen Laba-Rugi
1. Seksi operasi utama (major operating activities section) :
a. Penjualan atau pendapatan (sales or revenues)
b. Kos barang terjual (cost of goods sold)
c. Biaya penjualan (selling expenses)
d. Biaya administrative atau umum (administrative or general expenses)
2. Seksi operasi tambahan (secondary or auxiliary activities section) :
a. Pendapatan lainnya dan untung (other revenues and gains)
b. Biaya lainnya dan rugi (other expenses and losses)
3. Pajak penghasilan (income taxes)
4. Operasi hentian / taklanjutkanan (discontinued operations)
5. Pos-pos luar biasa / ekstraordiner (extraordinary items)
6. Pengaruh kumulatif perubahan prinsip akuntansi (cumulative effects of changes
in accounting principles)
7. Pengaruh kumulatif perubahan estimate / taksiran (cumulative effects of
changes in accounting estimates)
8. Perubahan ekuitas nonpemilik lainnya (other nonowner changes in equity)
termasuk pos-pos penerobos.

77
Dengan pendekatan semua termasuk, FASB memperluas cakupan laba yang
meliputi apa yang sebelumnya disebut dengan pos-pos penerobos (bypassing
items). Pos-pos penerobos adalah pos-pos yang dilaporkan langsung dalam
statement laba ditahan tanpa melalui statement laba rugi. Contoh pos-pos ini antara
lain adalah laba menahan/penahanan atau laba fluktuasi harga belum terealisasi
(unrealized holding gains) dan penyesuaian penjabaran mata uang asing (foreign
currency transaction adjustments). Selain kedua pos ini, FASB juga mengantisipasi
adanya pos-pos lain yang merepresentasi perubahan ekuitas non pemilik yang harus
dilaporkan melalui statement laba rugi (Suwardjono, 2010:563).
Pada nomor 6 dan 7 dalam komponen-komponen pembentuk statemen
laba-rugi juga dikategori sebagai komponen perubahan ekuitas nonpemilik dan
keduanya disebut pengaruh kumulatif perubahan akuntansi atau penyesuaian
kumulatif akuntansi (cumulative accounting adjustments) sehingga pos-pos selain
yang masuk dalam kategori ini disebut dengan perubahan ekuitas nonpemilik
lainnya (other nonowner changes in equity). Karena pada nomor 1 sampai 8
semuanya masuk dalam statment laba-rugi, angka bersih yang diperoleh disebut
oleh FASB dengan laba komprehensif (comprehensive income). Tujuan
dimasukkannya nomor 8 dalam statment laba-rugi adalah untuk mencegah
penyembunyian atau penghilangan (omissions) secara diskresioner pos-pos laba
atau rugi tertentu dari statment laba-rugi. Dengan kata lain, tujuannya adalah
mencegah penyalahgunaan (abuse) (Suwardjono, 2010:564).
Sebelum SFAC Nomor 6 diterbitkan, komponen yang masuk dalam
statement laba rugi semua-termasuk hanyalah komponen 1-7 dan angka bersihnya
disebut laba bersih (net income). Dalam SFAC Nomor 6, Komponen 6 dan 7
dikeluarkan dari laba bersih dan dilaporkan sebagai perubahan ekuitas nonpemilik
dan angka bersih yang diperoleh dari nomor 1 sampai 5 disebut dengan laba periode
(earnings) dan laba periode setelah nomor 6 dan 7 disebut laba periode bersih (net
earnings) atau tetap laba bersih. Bila terjadi rugi, laba komprehensif menjadi rugi
komprehensif. Laba komprehensif dapat disebut pula perubahan ekuitas
nonpemilik total (total nonowner changes in equity) (Suwardjono, 2010:564).

78
Terdapat dua pendekatan penyusunan statment laba-rugi untuk menyajikan
nomor 1 sampai 8. Pendekatan satu-statemen (one-statement approuch)
menyajikan kedelapan komponen tersebut dalam satu statment yang diberi judul
statment laba-rugi dan laba-rugi komprehensif (statement of income and
comprehensive income). Pendekatan dua-statemen memisahkan pelaporan
komponen 1 sampai 7 dalam statment laba-rugi (statement of income) dan
menyajikan pengaruh komponen 8 terhadap laba perioda bersih dalam statment
laba-rugi komprehensif (statement of comprehensive income). Untuk memberi
gambaran secara lengkap konsep laba komprehensif, gambar 2.4 dihalaman
berikutnya menyajikan contoh penyusunan statement laba rugi dengan pendekatan
dua statement. (Suwardjono, 2010:564).
Berikut ini adalah contoh Penyajian Statment Laba-Rugi Komprehensif
Pendekatan Dua Statment:
Gambar 2.4
Penyajian Statment Laba-Rugi Komprehensif Pendekatan Dua Statment

PT ABC
Statment Laba-Rugi
Untuk Tahun Berakhir 31 Desember 200X
(dalam rupiah)
Pendapatan / Penjualan 51.680.000
Kos barang terjual (28.430.000)
Laba kotor penjualan 23.250.000
Biaya penjualan dan administratif (12.500.000)
Laba dari operasi utama 10.750.000
Pendapatan lainnya dan untung 1.630.000
Biaya lainnya dan rugi (795.000) 835.000
Laba dari operasi berlanjut, sebelum pajak 9.915.000
Pajak penghasilan (2.225.000)

79
Laba dari operasi berlanjut 7.690.000
(income from continuing operations)
Operasi hentian, setelah pajak (290.000)
Laba sebelum pos ekstraordiner dan pengaruh 7.400.000
kumulatif perubahan akuntansi
Pos-pos ekstraordiner, setelah pajak 150.000
Laba perioda (earnings) 7.550.000
Pengaruh kumulatif perubahan akuntansi, setelah pajak 365.000
Laba perioda bersih (net earnings) / laba bersih 7.915.000

PT ABC
Statment Laba-Rugi Komprehensif
Untuk Tahun Berakhir 31 Desember 200X
(dalam rupiah)
Laba perioda bersih 7.915.000
Perubahan ekuitas nonpemilik lainnya:
Penyesuaian penjabaran mata uang asing 314.500
Untung belum terealisasi atas sekuritas 56.500 371.000
Laba komprehensif 8.286.000

Biaya bunga (interest expenses) dimasukkan dalam komponen biaya


lainnya dan rugi. Angka bersih setelah biaya lainnya dan rugi serta pajak
penghasilan disebut laba dari operasi berlanjut (income from continuing operatios).
Jadi, komponen 1 sampai 3 disebut komponen operasi (dalam arti luas) dan
membentuk laba dari operasi berlanjut. Hal ini berarti bahwa pos-pos dalam
komponen pendapatan lainnya dan untung atau biaya lainnya dan rugi tidak
dipandang sebagai pos-pos nonoperasi. Oleh karena itu, pos-pos dalam komponen
4 sampai 8 sering disebut pos-pos takregular atau takteratur (irregular items).
Pengertian takregular menjadi masalah bila dikaitkan dengan makna takumum atau
takbiasa (unusual) dan luar biasa atau ekstraordiner (extraordinary). Persoalannya
adalah kapan suatu pos harus dikategori sebagai komponen 2, 5, atau lainnya. Bila

80
masuk komponen 5, apakah pos tersebut takbiasa atau luar biasa. Kriteria unutk
mengklasifikasi suatu kejadian atau transaksi yang membentuk pos-pos luar biasa
yaitu :
a. ketakbiasaan (unusual nature)
b. ketakseringan keterjadian (infrequency of occurence)
c. materialitas (materiality) (Suwardjono, 2010:565).
Untuk mengkategori suatu kejadian atau transaksi ke dalam pos luar biasa,
ketiga karakteristik tersebut harus dipenuhi. Ketakbiasaan berarti bahwa kejadian
atau transaksi yang melandasi suatu pos mempunyai tingkat keabnormalan yang
tinggi dan harus jelas-jelas merupakan jenis yang sama sekali tidak berkaitan atau
hanya berkaitan secara insidental dengan kegiatan perusahaan dalam konteks
lingkungan beroperasinya perusahaan. Ketakseringan keterjadian/terjadinya berarti
bahwa kejadian atau transaksi yang melandasi suatu pos merupakan jenis yang
bukan harapan umum atau yang tidak diantisipasi akan terjadi di masa datang dalam
konteks lingkungan beroperasinya perusahaan (Suwardjono, 2010:566).
Materialitas berarti bahwa kejadian atau transaksi yang melandasi suatu pos
harus diklasifikasi secara terpisah sebagai pos luar biasa hanya kalau jumlah yang
terlibat material dalam kaitannya dengan atau relatif terhadap angka laba sebelum
pos luar biasa, kecenderungan (trend) laba periode sebelum pos luar biasa, atau
ukuran materialitas yang lain (Suwardjono, 2010:566). Bila suatu pos material
tetapi hanya memenuhi kriteria a atau b, tidak dapat diklasifikasi sebagai pos luar
biasa. Hal ini dinyatakan dalam APBO No. 30 paragraf 23 sebagai berikut:
Certain gains and losses should not be reported as extraordinary items
because thet are usual in nature or may be expected to recur as a consequence of
customary and continuing business activities.
Contoh pos-pos yang dapat dimasukkan dalam kategori ini misalnya adalah
penghapusan piutang, sediaan, serta kos riset dan pengembangan; untung atau rugi
penjabaran valuta asing termasuk akibat devaluasi atau revaluasi; untung atau rugi
pelepasan segmen bisnis; untung atau rugi penjualan aset fisis; efek pemogokan;
dan penyesuaian akrual atas kontrak jangka panjang. Intinya, pos-pos material yang
tak biasa atau taksering, tetapi tidak keduanya, masuk dalam kategori ini. Mereka

81
dilaporkan dalam seksi/komponen terpisah di atas pos ekstraordiner. Dapat juga
dilaporkan dalam seksi operasi tambahan kalau jumlahnya tidak material
(Suwardjono, 2010:566).
Secara umum dapat disimpulkan bahwa pos-pos takregular dilaporkan
seperti pada contoh di atas. Pos-pos material yang tidak memenuhi kriteria
ekstraordiner dilaporkan terpisah antara seksi operasi hentian dan seksi pos
ekstraordiner. Di bawah ini melukiskan kaidah keputusan untuk menyajikan semua
pos atau komponen pembentuk statemen laba-rugi komprehensif (Suwardjono,
2010:567).

82
Gambar 2.5
Pedoman Penyajian Pos-Pos Pembentuk Statment Laba-Rugi

pos utama
(1) seksi operasi utama

ya

Regular Utama
? atau

tambahan
(2) seksi operasi tambahan
tidak

Selain (4) operasi hentian


Komponen (5) (6) perubahan prinsip akuntansi
Jenis?
(7) perubahan estimasi akuntansi

Komponen (5) (8) perubahan ekuitas

tidak
Material
?

ya
Takbiasa atau tak sering
Dilaporkan terpisah sebelum
pos-pos luar biasa
Takbiasa
&
Takbiasa & taksering
tak (5) pos-pos luar biasa

83
Dalam PSAK No.1, Dewan Standar Akuntansi menetapkan bahwa statemen
laba-rugi harus disajikan sedemikian sehingga mengungkapkan berbagai unsur
kinerja keuangan yang bermanfaat bagi pemakainya. Oleh karena itu, statemen
laba-rugi minimal harus menyajikan dan menonjolkan hal-hal berikut :
a. pendapatan
b. laba atau rugi usaha
c. biaya pinjaman
d. bagian dari laba atau rugi perusahaan terafiliasi dan terasosiasi yang
diperlakukan dengan metode ekuitas
e. pajak penghasilan
f. laba atau rugi dari aktivitas normal perusahaan
g. pos luar biasa
h. hak minoritas
i. laba atau rugi bersih perioda berjalan (Suwardjono, 2010:568).
Ketentuan tersebut bersifat umum dan berlaku untuk perusahaan jasa,
perdagangan, maupun pemanufakturan. Butir b sebenarnya adalah laba antara
setelah pendapatan atau butir a dikurangi dengan biaya-biaya usaha. PSAK no 1
menetapkan bahwa penyajian biaya-biaya usaha dapat menggunakan klasifikasi
(format) atas dasar sifat biaya atau fungsi biaya (Suwardjono, 2010:568).
IAI sendiri tidak secara eksplisit menentukan apa saja yang harus masuk
dalam statment laba-rugi. Jadi, tidak ada ketentuan yang tegas tentang penyajian
statement laba rugi sehingga dapat ditentukan apakah statement laba rugi versi IAI
mengikuti konsep laba semua-termasuk versi FASB (laba komprehensif) atau
konsep laba semua-masuk versi pra-SFAC atau konsep yang lain. Yang jelas, versi
laba komprehensif memasukkan ke dalam statment laba-rugi semua komponen
perubahan ekuitas nonpemilik. Dalam ’Komponen-Komponen Pembentuk
Statemen Laba-Rugi’ di atas, komponen 1 sampai 7 pada dasarnya merupakan
komponen perubahan ekuitas nonpemilik sedangkan komponen 8 merupakan
komponen perubahan ekuitas nonpemilik selain 1 sampai 7 sehingga disebut other
nonowner changes in equity. Termasuk dalam komponen 8 adalah pos-pos
penerobos yang masuk pula dalam statemen laba-rugi komprehensif. Telah

84
disinggung alasan pemasukan pos-pos ini adalah untuk mengantisipasi
perkembangan masa datang dan untuk menghindari penyalahgunaan dalam bentuk
manajemen laba (Suwardjono, 2010:568). Namun demikian, faktor atau perubahan
ini dapat menimbulkan masalah penyajian. FASB menyatakan hal ini sebagai
berikut :
Those factors sometimes may conflict or appear to conflict. For example,
an all inclusive income statement is intended, among other things, to avoid
discretionary omissions of losses (or gains) from an income statement, there by
avoiding presentation of more (or less) favorable report of performance or
stewardship than is justified. However, because income statements also are used as
a basis for estimating future performance and assessing future cash flow prospects,
arguments have been advanced urging exclusion of unusual or nonrecurring gains
and losses that might reduce the usefulness of an income statement for any one year
for predictive purposes.
Jadi, di satu pihak statement laba rugi harus menunjukan kinerja periode dan
di lain pihak statement laba rugi harus memasukan pos-pos untuk menghindari
penyalahgunaan. Itulah sebabnya FASB memperluas konsep semua-termasuk (all
in inclusive) dengan membedakan dan menciptakan konsep laba periode (earnings),
laba bersih periode (net earnings) dan laba komprehensif (comprehensive income)
(Suwardjono, 2010:569).
Dalam PSAK no.25, IAI mengenalkan konsep laba atau rugi dari aktivitas
normal yang dalam PSAK no.1 disebut sebagai laba atau rugi usaha. Konsep ini
sama dengan konsep FASB yang disebut laba dari operasi berlanjut. PSAK no.25
juga mengenalkan konsep laba atau rugi untuk perioda berjalan yang merupakan
angka bersih dari komponen berikut:
a. laba atau rugi dari aktivitas normal, dan
b. pos luar biasa (Suwardjono, 2010:569).
Dari uraian dalam PSAK no.25 dapat dikatakan bahwa laba atau rugi untuk
perioda berjalan setara dengan konsep laba perioda (earnings) yang dikemukakan
FASB. Dapat dikatakan demikian karena komponen operasi hentian (operasi yang
tidak dilanjutkan) dalam PSAK no.25 dapat diperlakukan sebagai pos aktivitas

85
normal atau pos luar biasa bergantung pada kondisi yang melingkupi (Suwardjono,
2010:569).
Konsep aktivitas normal yang digunakan IAI tampaknya digunakan untuk
menunjuk apa yang oleh FASB disebut komponen regular sehingga yang tidak
masuk dalam komponen aktivitas normal dapat disebut sebagai komponen
takregular. Walaupun demikian, pengertian pos luar biasa menurut PSAK no.25
tampaknya lebih luas daripada pengertian menurut FASB. Hal ini terlihat dari
ketentuan bahwa komponen operasi hentian dan perubahan estimasi akuntansi
dimungkinkan untuk dilaporkan sebagai pos luar biasa (pasal 20 dan 28).
Berikut ini merupakan ringkasan perlakuan terhadap komponen-komponen
takregular dalam PSAK no.25 dan cara penyajiannya.
Gambar 2.6
Komponen-Komponen Takregular dalam PSAK no.25 dan Penyajiannya

Komponen Perlakuan dan Penyajian

Pos luar biasa Komponen laba-rugi. Disajikan setelah laba


yang berasal dari kegiatan normal perusahaan
ditambah pengungkapan dalam catatan kaki
mengenai hakikat dan pertimbangan
keputusan
Operasi hentian Komponen laba-rugi. Ditambah
pengungkapan
(yang tidak dilanjutkan) dalam catatan kaki mengenai hakikat dan
pertimbangan keputusan.
Tidak memenuhi kriteria luar biasa : disajikan
sebagai pos dalam kegiatan normal.
Memenuhi kriteria luar biasa : disajikan
sebagai pos luar biasa.
Ada unsur ketidakpastian : disajikan sebagai
pos kebergantungan (contingencies)

86
Perubahan estimasi akuntansi Komponen laba-rugi. Disajikan dalam
perioda terjadinya dan perioda akan datang
atau prospektif (bila perlu) ditambah
pengungkapan dalam catatan kaki mengenai
hakikat perubahan. Disajikan dalam
klasifikasi yang sama dengan yang digunakan
sebelumnya untuk estimasi yang
bersangkutan.
Kesalahan mendasar Penyesuai laba ditahan dengan kewajiban
penyesuaian retrospektif bila dipandang
praktis ditambah pengungkapan dalam
catatan kaki tentang hakikat dan informasi
lain yang berpaut.
Komponen laba-rugi bila kesalahan tidak
mendasar.
Perubahan kebijakan akuntansi Penyesuai laba ditahan secara retrospektif
atau prospektif ditambah pengungkapan
tentang alasan perubahan dan informasi lain
yang berpaut.

Karena ada pos-pos penerobos, IAI tidak menerapkan konsep penyusunan


statment laba-rugi semua-termasuk secara penuh. Dengan kata lain, laba bersih
(angka akhir) dalam statment laba-rugi versi IAI tidak dapat dikatakan sebagai laba
komprehensif penuh. Dalam PSAK no.25 tidak dibahas atau dikenal yang disebut
efek kumulatif perubahan akuntansi yang harus dilaporkan dalam statemen laba-
rugi berjalan (currently) sebagai alternatif perlakuan. Pendekatan semacam ini
disebut dengan current atau catch-up method sebagaimana dicontohkan dalam
Penyajian Statemen Laba-Rugi Komprehensif Pendekatan Dua Statment di atas.
Walaupun demikian, PSAK no.25 memperlakukan perubahan estimasi akuntansi
sebagai komponen statemen laba-rugi (Suwardjono, 2010:569-570).

87
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari pembahasan yang telah dipaparkan di bab 2 adalah sebagai
berikut:
1. Konsep kesatuan usaha memisahkan secara fisis dan konseptual antara
manajemen dan pemilik. Ekuitas pemegang saham (ekuitas) menggambarkan
hubungan yuridis antara perseroan dengan para pemegang saham. Ekuitas
pemegang saham terdiri atas dua komponen penting yaitu modal setoran dan
laba ditahan. Modal setoran dipecah menjadi modal yuridis dan modal setoran
lain (Suwardjono, 2010:570).
2. Teori ekuitas terdiri dari : teori proprietary, teori entitas, teori ekuitas residual,
teori enterprise, teori dana, dan posisi FASB adalah menganut teori ekuitas
residual.
3. Ekuitas didefinisikan secara sintatik sebagai hak residual atas aset perusahaan
setelah dikurangi semua kewajiban. Ekuitas terpaksa didefinisi secara sintatik
bukan sematik karena keperluan untuk mempertahankan artikulasi statment
keuangan. Ekuitas mengandung makna pemilikan. Oleh karena itu, untuk
organisasi nonbisnis ekuitas sering disebut aset bersih (Suwardjono,
2010:571).
4. Ekuitas berbeda dengan kewajiban dalam 3 hal yaitu hak atas penyelesaian
klaim, hak penggunaan aset, dan substansi perjanjian (yuridis). Walaupun
demikian, atas dasar konsep kesatuan usaha kreditor dan investor dipandang
sebagai pihak luar perusahaan yang terpisah dari manajemen (Suwardjono,
2010:571).
5. Modal setoran perlu dibedakan dengan laba ditahan karena modal setoran
merupakan suatu bentuk kontrak yuridis yang harus dipertahankan
keutuhannya sedangkan laba ditahan merupakan modal yang tercipta atau
terhimpun karena pemanfaat aset. Modal setoran merupakan perubahan aset
dalam rangka pendanaan (transaksi modal) sedangkan laba ditahan merupakan

88
perubahan aset dalam rangka produksi (tansaksi operasi) (Suwardjono,
2010:571).
6. Kontrak yang sesungguhnya antara pemegang saham dan perseroan ditunjukan
oleh keseluruhan dana yang disetor (modal setoran) tanpa memperhatikan
adanya modal yuridis atau modal saham yang sering dianggap sebagai batas
perlindungan bagi pihak lain. Pemisahan dan pelaporan modal yuridis tidak
menjadi masalah secara teknis. Akan tetapi, secara konseptual modal yuridis
dan modal setoran lain harus ditotal untuk menunjukan modal setoran yang
harus dibedakan dengan laba ditahan. Dari segi akuntansi, yang mendasarkan
diri pada konsep dasar substansi di atas bentuk, ekuitas pemegang saham
adalah seluruh jumlah yang secara ekonomik tertanam dalam perseoran
termasuk laba ditahan (Suwardjono, 2010:571).
7. Modal setoran dapat bertambah karena pemesanan saham, konversi status
obligasi, konversi status saham istimewa, dividen saham, dan hak beli saham.
Transaksi yang menyangkut hal-hal tersebut merupakan transaksi modal
sehingga tidak melibatkan sama sekali laba atau rugi meskipun dalam beberapa
kasus dapat melibatkan laba ditahan. Modal setoran dapat berkurang karena
saham treasuri. Masalah yang berkaitan dengan saham treasuri adalah (1)
penentuan jumlah rupiah yang harus dianggap mempengaruhi modal setoran
dalam laba ditahan dan (2) pengungkapan pengaruhnya terhadap modal yuridis
bila saham treasuri dijual kembali. Dua konsep dapat diterapkan yaitu konsep
satu-transaksi (single transaction) dan dua transasksi (two transaction)
(Suwardjono, 2010:571).
8. Beberapa pos yang mempunyai potensi untuk mempengaruhi laba ditahan dan
dilaporkan sebagai penyesuai laba ditahan adalah penyesuaian periode lalu,
koreksi kesalahan, pengaruh perubahan akuntansi, dan kuasi reorganisasi.
Secara umum, perubahan akibat ketiga komponen pertama diperlakukan
sebagai transaksi operasi sehingga dilaporkan dalam statment laba rugi. Kuasi
reorganisasi akan mempengaruhi laba ditahan secara langsung (Suwardjono,
2010:571).

89
9. Kuasi reorganisasi dilakukan apabila terdapat defisit yang cukup besar tetapi
perusahaan masih berjalan baik dan mempengaruhi prospek yang baik pula.
Hal ini dilakukan untuk mengatasi keadaan yang disebut bankrut secara teknis
sehingga perusahaan bebas dari kemungkinan bankrut atau pailit secara hukum
yang mengarah ke likuidasi (Suwardjono, 2010:571).
10. Penyusunan kembali struktur ekuitas pemegang saham melalui kuasi-
reorganisasi menempatkan perusahaan dalam posisi baru berdiri (fresh start).
Statment keuangan untuk tahun terjadinya kuasi-reorganisasi harus
mengungkapan rincian jumlah yang membentuk struktur model yang baru.
Laba ditahan sebelum reorganisasi tidak dapat diteruskan lagi dan laba ditahan
dalam neraca setelah reorganisasi harus diberi tanggal mulai terbentuknya
(tanggal reorganisasi). Kuasi reorganisasi hanya dapat dilakukan kalau syarat-
syarat tertentu dipenuhi (Suwardjono, 2010:572).
11. Tradisi penyusunan kewajiban dan ekuitas dalam neraca sebenarnya didasari
oleh dua konsep urutan penting yaitu urutan penyerapan rugi dan urutan
perlindungan. Urutan penyerapan rugi menggambarkan komponen apa yang
lebih dahulu menyerap rugi sampai pihak nama (ekuitas atau kewajiban) yang
akan terpengaruh. Urutan perlindungan berkaitan dengan siapa yang akhirnya
harus menanggung rugi seandainya perusahaan dilikuidasi. Dengan demikian,
urutan perlindungan menunjukan siapa yang harus didahulukan untuk
menerima distribusi aset bila perusahaan dilikuidasi (Suwardjono, 2010:572).
12. Seluruh jumlah rupiah laba ditahan secara konseptual dapat dipandang sebagai
perlindungan atau penyangga umum (general pupose buffer) untuk berbagai
tujuan dan perlindungan. Oleh karena itu, sedikit atau tidak ada manfaatnya
kebiasaan atau tradisi untuk memerinci laba ditahan atas dasar tujuan (by
purposes) atau atas dasar sumber (by sources). Jumlah rupiah laba ditahan
melekat pada berbagai aset sebagai satu kesatuan. Laba ditahan tidak dapat
dikaitkan dengan aset tertentu (Suwardjono, 2010:572).
13. Pemisahan yang tegas antara transaski operasi (nonpemilik) dan transaski
pemilik yang berakibat pemisahan secara tegas antara modal setoran dan laba
ditahan mempunyai konsekuensi bahwa segala perubahan yang berkaitan

90
dengan operasi dalam arti luas dilaporkan dalam statment laba rugi. Hal ini
menjadi landasan penyajian laba dengan pendekatan semua-termasuk sebagai
lawan pendekatan kinerja sekarang (Suwardjono, 2010:572).
14. Alasan mendasar dianutnya pendekatan penyajian laba semua-termasuk adalah
konsep menanfaat aset. Statment laba-rugi harus menyajukan secara efektif
semua akibat dari pemanfaatan aset yang diserahkan sepenuhnya kepada
manajemen. Pemisahan laba menjadi normal dan tidak normal dalam dua
statment (laba-rugi dan laba ditahan) akan cenderung mengalihkan pusat
perhatian pemakai secara tidak semestinya ke laba normal dan dengan
demikian secara tidak sadar mengurangi perhatian pembaca akan keefektifan
manajemen secara keseluruhan (Suwardjono, 2010:572).
15. Pendekatan kinerja sekarang dilandasi oleh kekhawatiran akan adanya fiksasi
fungsional. Bila pendekatan kinerja sekarang dianut, beberapa komponen akan
dilaporkan sebagai komponen perubahan laba ditahan. Komponen tersbut
antara lain operasi hentian, pos-pos luar biasa, pengaruh kumulatif perubahan
akuntansi, dan koreksi mendasar (Suwardjono, 2010:572).
16. Pendekatan semua termasuk dilandasi oleh konsep kontinuitas usaha serta
upaya dan hasil yang menegaskan bahwa statment laba-rugi harus memuat
semua perubahan ekuitas kecuali yang berasal dari transaki dengan pemilik.
Perubahan ekuitas harus dipisahkan dengan tegas menjadi ekuitas yang berasal
dari transaki modal dan transaksi operasi. Laba ditahan hanya akan berisi laba
komprehensif yang dipindah dari statment laba-rugi dan berbagai komponen
transaski modal seperti dividen dan saham treasuri (Suwardjono, 2010:572).
17. FASB menganut pendekatan semua-termasuk secara penuh dengan
mengenalkan apa yang disebut laba komprehensif. Dalam pendekatan semua-
termasuk, pos-pos penerobos masih dilaporkan dalam statment perubahan laba
ditahan. Dalam laba komprehensif, pos-pos penerobos dilaporkan melalui
statment laba rugi. Laba komprehensif dapat disajikan dengan pendekatan satu-
statment atau dua-statment. IAI belum secara penuh mengadopsi konsep laba
komprehensif. Hal ini terrefleksi dalam ketentuan-ketentuan PSAK No.25
(Suwardjono, 2010:573).

91
3.2. Saran
3.2.1. Saran Teoritis
Bagi penulis selanjutnya yang akan melakukan pembuatan makalah yang
sama diharapkan melakukan pembuatan makalah dengan pembahasan yang lebih
jelas dan lengkap, misalnya saja dengan mencantumkan lebih banyak referensi.

3.2.2. Saran Praktis


Berdasarkan penarikan kesimpulan yang didapatkan dari hasil pembahasan
pada Bab II, maka saran yang diberikan penulis adalah bagi para pengamat ekuitas
dan manajer perusahaan agar lebih paham mengenai teori akuntansi mengenai
ekuitas, agar dalam parktik nyata tidak ada kesalahan dalam penafsiran teroritis
mengenai ekuitas.

92
DAFTAR PUSTAKA

Chariri, Anis & Ghozali, Imam. 2001. Teori Akuntansi. Semarang : Badan Penerbit
Universitas Diponogoro.

Gozali, Imam & Cahriri, Anis. 2007. Teori Akuntansi. Semarang : Badan Penerbit
Universitas Diponogoro.

Harahap, Sofyan Syafri. 2012. Teori Akuntansi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Horngren dkk. 1997. Akuntansi di Indonesia. Jakarta : Salemba Empat.

Reeve dkk. 2011. Pengantar Akuntansi. Jakarta : Salemba Empat.

Rudianto. 2012. Pengantar Akuntansi: Konsep dan Teknik Penyusunan Laporan


Keuangan. Jakarta : Erlangga.

Suwardjono. 2010. Teori Akuntansi Perekayasaan Pelaporan Keuangan.


Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.

93

Anda mungkin juga menyukai