PENDAHULUAN
1
ditahan (retained earnings). Sebagai pasangan modal setoran, laba ditahan dapat
disebut sebagai modal bentukan atau ciptaan (earned capital) (Suwardjono,
2010:513).
Berdasarkan pembahasan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk
mengambil judul makalah mengenai ekuitas.
2
12. Bagaimana perincian laba ditahan, perincian atas dasar sumber, dan perincian
atas dasar tujuan penggunaan ?
13. Apa itu laba komprehensif, laba kinerja sekarang, laba semua-termasuk, alasan
mendasar, konsep pemanfaatan asset, dan konsep aset kapital ?
14. Bagaimana penyajian laba komprehensif ? .
3
12. Untuk mengetahui perincian laba ditahan, perincian atas dasar sumber, dan
perincian atas dasar tujuan penggunaan.
13. Untuk mengetahui laba komprehensif, laba kinerja sekarang, laba semua-
termasuk, alasan mendasar, konsep pemanfaatan asset, dan konsep aset kapital.
14. Untuk mengetahui penyajian laba komprehensif.
4
BAB II
EKUITAS
5
equity adalah modal pemilik. Definisi ini cenderung mengaut proprietory theory
(Harahap, 2012:213).
Menurut Standar Akuntansi Keuangan (2002) pasal 49, Ekuitas adalah hak
residual atas aktiva perusahaan setelah dikurangi semua kewajiban. Ekuitas
didefinisikan sebagai hak residual untuk menunjukan bahwa ekuitas bukan
kewajiban. Ini berarti juga bahwa ekuitas bukan pengorbanan sumber ekonomi
masa mendatang (Suwardjono, 2010:514).
Godfrey, Hodgson, dan Holmes (1997) membedakan ekuitas dan kewajiban
atas dasar kriteria berikut:
A. Hak-hak masing-masing pihak atas penyelesaian klaim
Atas dasar konsep kesatuan usaha, kreditor dan pemegang saham sama-sama
mempunyai klaim atau hak untuk dilunasi atas dana yang ditanamkan dalam
perusahaan. Ada 2 karaktersitik yang melekat pada hak kreditur, yaitu
1. Penyelesaian klaim mereka pada tanggal tertentu melalui transfer asset.
2. Prioritas diatas pemilik dalam penyelesaian klaim mereka dalam hal likuidasi.
Jadi intinya:
Klaim kreditor terbatas jumlahnya dan harus diselesaikan pada tanggal
tertentu.
Klaim pemegang saham merupakan jumlah residual dan tidak harus
diselesaikan atau dilunasi pada tanggal tertentu (Suwardjono, 2010:514).
B. Hak penggunaan aset dalam operasi
Hak kreditor dan pemilik (pemegang saham) juga berbeda dalam hal
penggunaan asset. Perbedaanya adalah:
Kreditor tidak mempunyai akses dan kendali dalam penggunaan aset
perusahaan. Mereka juga tidak memiliki hak dalam pengambilan keputusan
operasi perusahaan secara langsung.
Pemilik mempunyai akses, hak dan autoritas untuk menjalankan perusahaan
dan menggunakan atau mengendalikan aset (Suwardjono, 2010:514).
6
C. Substansi ekonomik perjanjian
Substansi ekonomik perjanjian antara kreditor dengan perusahaan berbeda
dengan antara pemegang saham dan perusahaan dalam hal resiko terhadap rugi.
Perbedaanya adalah:
Kreditor diprioritaskan dalam penuntasan kewajibannya sehingga resiko
mereka lebih kecil dibanding pemegang saham
Pemegang saham menanggung segala resiko yang berkaitan dengan operasi
perusahaan.
Oleh karena itu hak kreditur berbeda dengan hak pemegang saham:
Kreditor berhak atas pelunasan.
Pemegang saham berhak atas pembagian laba (residual).
Jadi secara substansi ekonomi dapat disimpulkan bahwa:
Kreditor menanggung risiko lebih kecil dan dengan demikian mendapat
imbalan tetap berupa bunga dan pokok pinjaman.
Pemegang saham menanggung risoko lebih besar sehingga berhak atas
kembalian (rate of return) yang bervariasi melalui pembagian laba
(participatiom in profits) (Suwardjono, 2010:515).
7
akuntansi, tujuan perusahaan, jenis modal, makna rekening, dan lain-lain semuanya
dilihat dari sudut pandang pemilik. Dengan demikian tujuan perusahaan adalah
meningkatkan kemakmuran pemilik (Ghozali & Cahriri, 2007:272). Persamaan
akuntansi yang digunakan:
Aktiva-hutang = modal
Aktiva merupakan kekayaan pemilik, sementara hutang merupakan
kewajiban pemilik. Kepemilikan dianggap sebagai nilai bersih dari perusahaan
untuk pemilik. Ketika usaha baru dimulai, nilai ini sama dengan investasi pemilik.
Selama berjalannya usaha maka nilai perusahaan sama dengan investasi awal
ditambah akumulasi laba bersih setelah dikurangi prive untuk pemilik. Jadi teori
proprietary manganut wealth concept (Ghozali & Cahriri, 2007:272).
Teori Proprietary sangat cocok diterapkan untuk organisasi perusahaan
perseorangan dan firma oleh karena dalam bentuk organisasi ini ada hubungan
personal antara manajemen perusahaan dengan pemilik perusahaan. Hal ini
disebabkan laba bersih atau net income ditambahkan setiap periode ke rekening
modal pemilik walaupun perhitungan laba bersih tidak mengukur kenaikan bersih
perusahaan (Ghozali & Cahriri, 2007:272).
Teori Proprietary tidak dapat langsung digunakan untuk bentuk perusahaan
perseroan terbatas seperti halnya untuk perusahaan perseorangan dan firma. Namun
demikian, dalam praktek banyak yang menandang bahwa total modal saham yang
diinvestasikan dan laba ditahan dianggap sebagai kekayaan bersih pemilik dan hal
ini mengimplikasi teori proprietary yaitu memasukan semua item yang
mempengaruhi pemilik selama periode itu kecuali pengambilan dividen dan
transaksi modal (Ghozali & Cahriri, 2007:273).
Teori Proprietary banyak mempengaruhi praktek-praktek akuntansi
maupun terminologi akuntansi perusahaan perseroan terbatas. Sebagai misal, laba
bersih suatu perusahaan sering dianggap sebagai laba bersih bagi pemilik. Lebih
jauh lagi laporan keuangan harus menunjukan pada earning per share atau book
value per share. Pengertian laba bersih bagi pemilik dapat diinterpretasikan sebagai
sisa laba berish yang dialokasikan kepada modal pemilik dan book value per share
menurut pendekatan entitas (Ghozali & Cahriri, 2007:273).
8
Oleh karena sudut pandang yang digunakan adalah pemilik, maka
pengukuran dengan menggunakan current value dipandang lebih relevan
dibandingkan historical cost (Ghozali & Cahriri, 2007:273).
9
Perbedaan antara teori proprietary dan teori entitas menimbulkan perbedaan
dalam melakukan penilaian aktiva. Dengan teori proprietary, aktiva harus dinilai
dengan nilai sekarang oleh karena ekuitas pemilik dianggap sebagai kekayaan
bersih. Dengan teori entitas perusahaan tidak berhubungan dengan nilai sekarang
oleh karena penekanannya adalah akuntabilitas cost kepada pemilik atau pemegang
saham lainnya. Dengan demikian dasar pengukuran yang relevan adalah historical
cost (Ghozali & Cahriri, 2007:275).
10
di masa datang tergantung dari ekspektasi total penerimaan dikurangi kewajiban
kontraktual, pembayaran kepada pemegang ekuitas khusus (Ghozali & Cahriri,
2007:278).
Pemegang saham biasa umunya dianggap memiliki ekuitas residual di
dalam laba perusahaan dan di dalam aktiva bersih pada saat likuidasi. Oleh karena
laporan keuangan umunya disusun tidak dalam rangka likuidasi, maka informasi
yang disajikan dalam kaitannya dengan ekuitas residual harus berguana untuk
memprediksi dividen masa datang bagi pemegang saham biasa. Laporan laba rugi
dan laporan laba ditahan harus menunjukan laba yang tersedia bagi pemegang
ekuitas residual setelah semua kewajiban dipenuhi, termasuk dividen kepada
pemegang saham preferen. Ekuitas pemegang saham biasa di neraca harus
dipisahkan dari ekuitas pemegang saham preferen dan pemegang ekuitas khusus
lainnya. Laporan aliran kas harus juga menunjukan kas yang tersedia bagi
perusahaan untuk pembayaran deviden saham biasa dan tujuan lainnya (Ghozali &
Cahriri, 2007:278).
11
saham dan kreditur semata, tetapi lebih luas kepada semua kelompok lain yang
berkepentingan dan masyarakat keseluruhan. Perusahaan berskala besar tidak
beroperasi semata untuk kepentingan pemegang saham saja, tetapi untuk semua
pihak yang berkepentingan. Pegawai lewat serikat buruh menggunakan data
akuntansi untuk mengajukan klaim kenaikan gaji. Konsumen dan badan regulasi
lainnya berkepntingan terhadap kewajaran perubahan harga dan pemerintah
berkepntingan terhadap pengaruh perubahan harga terhadap keadaan ekonomi
makro, konsep income yang paling relevan dengan teori enterprise adalah laporan
keuangan nilai tambah yaitu laporan keuangan yang menunjukan kontribusi pihak-
pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan di dalam menghasilkan nilai
tambah perusahaan (Ghozali & Cahriri, 2007:279).
12
sendiri-sendiri sehingga masing-masing memiliki pembukuan debit kredit sendiri
dan memiliki neraca dalam laporan perubahan saldo dana (Gozali & Chariri,
2007:279).
13
Gambar 2.1
Ekuitas Pemegang Saham dan Komponenya
Modal
Modal Setoran Bentukan atau lain-lain
Laba Ditahan
Modal Yuridis
Modal Setoran - Laba atau rugi
atau
Lain - Dividen
Modal Saham
- Rekapitalisasi
- Defisit
- Penerbitan
- koreksi
- Premium modal
saham baru
saham
- Perubahan
- Kapitalisasi laba Akuntansi
Penjualan saham
ditahan
treasury
-Dividen saham
-Penyeraan defisit
-Konversi
-deklarasi dividen
obligasi atau
likuidasi
saham istimewa
terkonversi -Restrukturisasi
Kapital
- Stock
Subscription -Revaluasi aset
Komponen lain-lain terdiri atas pos-pos yang tidak tepat dimasukan dalam
komponen modal setoran lainnya atau laba ditahan tetapi sering diklasifikasikan
sebagai pos ekuitas pemegang saham. Pos-pos ini misalnya adalah untung
14
penahanan belum terealisasi (unrealized holding gains), penyesuaian kapital belum
terealisasi lainnya, selisih revaluasi, dan hak pemegang saham minoritas
(Suwardjono, 2010:516).
Dalam berbagai literatur:
Modal setoran disebut juga invested capital, original capital, atau bahkan
original investment.
Modal yuridis (legal capital) sering disebut sebagai formal capital, restricted
capital, stated capital, atau capital stock.
Modal setoran lain sering disebut secara spesifik sebagai paid in surplus,
unrestricted capital, paid in capital in excess of capital stock, capital in excess
of Par (stated value) capital surplus, atau stock premium (Suwardjono,
2010:516).
Sedangkan Menurut (Harahap:2012) dalam perusahaan perseroan, nilai
modal ini merupakan modal pemiliknya sendiri. Sementara itu, dalam perusahaan
perseroan perlu dibedakan antara modal setor dengan modal karena pendapatan
(retained earning). Dividen hanya dibayar dari laba ditahan bukan dari modal setor.
Modal setor atau contributet capital dapat dibagi menjadi: modal statuter (legal
capital) dan modal lainnya. Modal statuter adalah jumlah batas kewajiban pemilik.
Modal statuter ini dinilai sebesar harga pari atau harga nominal. Disamping modal
statuter ini, ada lagi modal lainnya seperti agio saham, modal donasi, modal dari
pengeluaran kembali treasury stock, stock option, dan sebagainya. Di indonesia
mungkin juga harus dimasukan kenaikan modal akibat revaluasi (Harahap, 2012:
213-214). Berikut ini penjelas beberapa akun/komponen yang terdapat dalam
modal:
1. Laba Ditahan
Laba ditahan terdiri dari laba tahunan, penyesuaian atau koreksi tahun
sebelumnya, dan besaran dividen. Komponen berikutnya dari modal saham ini
adalah laba rugi yang belum direalisasi. Dalam bebrapa hal perubahan aset
perusahaan tidak dilaporkan di laba rugi, tetapi langsung dilaporkan di neraca,
misalnya rugi dari perubahan surat berharga jangka panjang, laba rugi dari
transaksi luar negeri dalam mata uang asing (Harahap, 2012:214).
15
2. Cadangan (Reserve)
Dalam laporan keuangan di indonesia sering kita melihat istilah cadangan ini
dan terlihat salah dalam menggunakannya. Dalam arti umum cadangan berarti
sesuatu yang disimpan untuk maksud tertentu. Dalam akuntansi sering juga
dianggap sebagai pos penilaian atau taksiran kewajiaban, misalnya cadangan
piutang ragu-ragu, cadangan penghapusan, cadangan utang pajak, dan lain
sebagainya. Pengertian dalam akuntansi yang sebaiknya, cadangan merupakan
laba ditahan yang ditetapkan untuk maksud tertentu, jadi tidak boleh digunakan
untuk tujuan lain. Atau bisa juga istilah cadangan ini digunakan untuk
menjelaskan dana tertentu yang dicadangkan dan diperuntukan bagi maksud
tertentu. Misalnya cadangan untuk membayar obligasi, cadangan dana untuk
membeli aktiva tetap, dan sebagainya. Kalau ini yang dimaksud, maka cadangan
ini harus dimasukan ke dalam pos harta dan dikelompokan sebagai aktiva tidak
lancar. Fungsinya seperti kas atau bank yang dibatasi penggunaanya untuk
maksud tertentu (Harahap, 2012:214).
3. Pengakuan dan Penilaian Modal
Transaksi modal dapat dibagi dua, transaksi modal dan transaksi yang berkaitan
dengan laba. Transaksi golongan pertama menyangkut transaksi langsung dari
pemilik dengan perusahaan, misalnya pembayaran atau pengambilan modal.
Golongan kedua mnyangkut transaksi yang berkaitan dengan laba, misalnya
transaksi laba rugi, koreksi tahun lalu dan sebagainya.
Penilaian terhadap transaksi modal ini sama dengan penilaian terhadap pada
harta dan kewajiban yaitu berdasarkan harga pasar pada saat terjadinya transaksi.
Dalam hal ini pencatatan modal saham harus dipisahkan nilai parinya dengan
nilai jualnya. Laba ditahan dicatat sebagai akumulasi laba dari tahun-tahun
sebelumnya (Harahap, 2012:214).
Dalam Ghozali dan Chariri (2007) dijelaskan bahwa ekuitas pemegang
saham terdiri dari Modal Setoran, Laba Ditahan, dan Penyesuaian Modal Belum
Terealisasi. Modal Seroran mencangkup modal yuridis dan modal setoran lainya.
Modal yuridis yang dihitung berdasarkan nilai nominal saham menunjukan aktiva
16
neto yang tidak dapat didistribusikan ke pemegang saham. Kelebihan nilai diatas
nilai nominal diakui sebagai agio saham (Ghozali & Chariri, 2007:271).
Laba ditahan terdiri dari laporan laba/rugi, penyesuaian periode
sebelumnya, dan dividen. Oleh karena Laporan Laba Rugi merupakan bagian dari
laba ditahan, maka dapat dikatan bahwa ada hubungan saling terkait atau artikulasi
antara laporan laba rugi dan neraca (Ghozali dan Chariri, 2007:272).
17
Laba ditahan pada dasarnya terbentuk dari akumulasi laba yang dipindahkan
dari akun Ikhtisar Laba Rugi (Income Summay). Begitu saldo laba ditutup ke laba
ditahan, sebenarnya saldo laba tersebut telah lebur menjadi elemen modal
pemegang saham yang sah. Laba ditahan menunjukan sejumlah hak atas seluruh
jumlah rupiah aset bukan hak atas jenis aset tertentu. Dengan demikian untuk
mengukur seluruh hak pemegang saham atas asset, maka laba ditahan harus
digabungkan dengan modal setoran (seluruh hak pemegang saham atas aset = Laba
ditahan + modal setoran) (Suwardjono, 2010:517).
Pembedaan anatara dua bagian elemen ekuitas pemegang saham sangat
penting.
Dari segi administrasi keuangan
Laba ditahan merupakan indikator daya melaba (earning power) sehingga laba
ditahan harus selalu dipisahkan dengan modal setoran, meskipun jumlah
akhirnya ditotal untuk membentuk ekuitas pemegang saham (ekuitas pemegang
saham = modal setoran + laba ditahan).
Pembedaan dari segi Yuridis
Modal setoran merupakan dana dasar (basic fund) yang harus tetap
dipertahankan untuk menunjukan perlindungan bagi pihak lain. Dana ini hanya
dapat ditarik kembali dalam likuidasi atau dalam keadaan luar biasa lainnya.
Laba ditahan adalah jumlah rupiah yang secara yuridis dapat digunakan untuk
pembagian dividen (Suwardjono, 2010:517).
Paton dan Littelon (1970) berargumen bahwa jumlah rupiah modal setoran
tidak menunjukan secara khusus tujuan penggunaan jumlah rupiah tersebut. Jumlah
tersebut hanyalah menunjukan hak atau kesepakatan (commitments). Atas dana
yang ditanamkan pihak penyedia dana (pemegang saham). Oleh karena itu
perubahan dalam modal setoran harus dibatasi hanya untuk transaksi antara
perseroan dengan pemegang saham (pemilik). Pada saat kesepakatan terjadi, aset
masuk ke badan usaha dan hak atas aset (modal setoran) timbul. Walaupun
demikian, perubahan dalam aset yang berkaitan dengan transaksi modal adalah
terpisah dan sangat berbeda dengan pemerolehan atau pelepasan aset yang terjadi
karena transaksi operasi dalam rangka mencapai tujuan perseroan. Hal ini didasari
18
juga oleh konsep kesatuan usaha. Jadi, perubahan aset akibat transaski modal
hendaknya tidak dikaitkan dengan perubahan aset akibat transaksi operasi (kegiatan
menciptakan laba). Yang dimaksud transaksi operasi dan transaksi modal adalah:
Transaksi operasi adalah perubahan aset akibat penggunaan aset untuk tujuan
produktif (for productive effect).
Transaski modal adalah perubahan aset dalam rangka pemerolehan dana (for
financial effect) (Suwardjono, 2010:517-518).
19
likuidasi modal dan dianggap hal ini memberi informasi terhadap batas
perlindungan bagi kreditor (Suwardjono, 2010:518).
20
Namun demikian, penerbitan saham tanpa nilai nominal ini dapat
menimbulkan persoalan khususnya dalam hal perusahaan dilikuidasi karena akan
sulit untuk menentukan dasar pembagian kekayaan perusahaan. Disamping itu
perlindungan bagi kreditor menjadi tidak jelas karena seakan-akan tidak ada batas
jumlah rupiah yang dapat dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk dividen
dan likuidasi modal. Yang lebih tidak menguntungkan lagi bagi kreditor dan pihak
berkepentingan lainnya adalah bahwa saham tanpa nilai nominal dijual dengan
harga yang sangat rendah semata-mata untuk tujuan penggeseran pemilikan atau
mempengaruhi harga saham. Oleh karena itu beberapa negara memberlakukan
ketentuan bahwa perseroan menyatakan nilai saham minimum yang disebut dengan
nilai nyataan (stated value). Saham tidak dapat diterbitkan kalau dijual dengan
harga dibawah nilai nyataan. Nilai nyataan akan berfungsi sebagai modal yuridis
(Suwardjono, 2010:519).
Walaupun praktik akuntansi dalam kenyataanya memecah modal setoran
menjadi modal saham dan modal setoran lain, modal saham sebenarnya tidak harus
menunjukan modal yuridis karena modal saham dapat berbeda jumlahnya dengan
modal yuridis. Berapapun besaranya modal yuridis, modal ini harus dipisahkan
dengan yang lain. Pemisahan semacam ini semata-mata merupakan tradisi dan
dipengaruhi oleh konsep yang disebut trust-fund theory yang pada prinsipnya
menyatakan bahwa harus ada batas jumlah rupiah maksimum yang dapat
didistribusikan secara yuridis kepada pemegang saham dalam kondisi perusahaan
berjalan normal kecuali dalam hal perusahaan dilikuidasi. Jumlah maksimum ini
tidak harus sama dengan modal saham (Suwardjono, 2010:519).
Modal yuridis dapat diubah sewaktu-waktu tanpa harus menerbitkan saham
baru. Modal yuridis juga dapat berubah akibat transfer antar sumber dana sehingga
terkadang sulit untuk menentukan berapakah modal yuridis perusahaan yang
sebenarnya sebagai informasi kepada pihak yang berkepentingan. Pengungkapan
modal yuridis tidak diperlukan kecuali untuk perusahaan yang baru berdiri. Dalam
perusahaan besar yang labanya berkembang, modal yuridis biasanya merupakan
sebagian kecil dari total ekuitas pemegang saham. Dalam keadaan seperti ini,
jumlah rupiah dividen tahun berjalan dan masa mendatang tidak akan bergantung
21
pada jumlah modal yuridis. Justru seluruh modal pemegang saham (termasuk laba
ditahan) akan berlaku sebagai perlindungan (buffer) bagi kreditor. Sebenarnya,
kreditor akan lebih mendasarkan keputusannya pada total sumber ekonomik
perusahaan, kemampuan memperoleh laba, dan kebijakan keuangan perusahaan
daripada pada modal yuridis (Suwardjono, 2010:520).
Pendapat ini sejalan dengan gagaasan Paton & Littleton yang menyatakan
bahwa modal saham dan modal setoran lain merupakan komponen yang harus
dianggap sebagai satu kesatuan dan jumlah rupiahnya harus ditotal untuk
menunjukkan modal setoran total. Akan tetapi, harus dibedakan dengan tegas antara
modal setoran dengan laba ditahan. Selanjutnya ditegaskan bahwa secara ekonomik
bukanlah modal yuridis yang menjadi batas perlindungan tetapi justru laba
ditahanlah yang merupakan penyangga umum (general purpose buffer) untuk
segala kemungkinan rugi dan hal-hal bersyarat lainnya (Suwardjono, 2010:520).
Pasal 42 Undang-undang No 1 Tahun 1995 menetapkan bahwa saham tanpa
nilai nominal tidak dapat diterbitkan. Ketentuan ini sebenarnya dimaksudkan untuk
menentukan modal yuridis. Nilai nominal merupakan jumlah rupiah minimal yang
harus disetor investor sehingga membentuk modal yuridis (Suwardjono, 2010:520).
Paton dan Littelon (1970) menegaskan bahwa perseroan merupakan
kesatuan usaha maupun kesatuan hukum. Sifat ganda ini menjadikan akuntansi
mempunyai fungsi ganda yaitu menyajikan data ekonomik sekaligus
mencerminkan aspek yuridis yang sebenarnya. Fungsi ganda ini menimbulkan
masalah pelaporan ekuitas pemegang saham karena konsep kesatuan usaha dan
konsep hukum sangat berbeda. Dari segi hukum ada tendensi untuk memandang
ekuitas pemegang saham sebagai jumlah rupiah tertentu yang menjadi batas
penarikan kembali dana yang ditanamkan oleh pemegang saham tanpa
memeperhatikan setoran yang sesungguhnya. Dari segi akuntansi yang menganut
substansi dari pada bentuk, memandang ekuitas pemegang saham adalah seluruh
jumlah yang secara ekonomik tertanam di perusahaan termasuk laba ditahan
(Suwardjono, 2010:520).
Selanjutnya Paton dan Littleton berargumen bahwa penggunaan lapora
perseroan untuk kepentingan pengelolaan dan keuangan adalah lebih sering
22
dibandingkan untuk kepentingan yuridis dan bahwa penggunaan yang lebih sering
harus lebih menentukan bentuk penyajian dari pada penggunaan yang hanya
kadang-kadang (insidental). Akan tetapi, hal ini tidak berarti mengurangi arti
penting laporan dari sudut pandang yuridis. Dengan demikian, modal saham yuridis
(legal capital) dapat saja disajikan sebagai suatu rincian dibawah judul “modal
setoran total”. Oleh karena itu, neraca akan menjadi kurang informatif kalau
komponen-komponen modal setoran dipisahkan tetapi tidak ditunjukan totalnya
(Suwardjono, 2010:520-521).
Dengan dasar pemikiran diatas, transfer dari modal setoran ke laba ditahan
tanpa alasan yang kuat adalah penyimpangan dari penalaran yang valid. Ini berarti
bahwa modal tidak dapat digunakan sebagai sumber laba ditahan. Demikian juga,
tidak sebagainpundari jumlah rupiah laba ditahan dapat dimasukan sebagai modal
setoran kecuali jumlah rupiah tersebut telah diubah menjadi modal dengan proses
kapitalisasi yuridis atau telah berubah karena transaksi modal yang dibahas
dibawah ini (Suwardjono, 2010:521).
23
f. Saham treasuri (treasury stocks) (Suwardjono, 2010:521).
24
ini, piutang yang tidak dapat dibatalkan merupakan aset bagi penerbit sehingga
modal setoran sebagai “kewajiban” dapat diakui (Suwardjono, 2010:522).
Syarat (2) diperlukan agar hak-kewajiban tak bersyarat tidak berlaku
sehingga kontrak tidak bersifat eksekutori. Jadi, bila tidak ada kepastian tentang
pelaksanaan transaksi penerbitan maka pemesanan tersebut jelas tidak dapat diakui
sebagai modal setoran. Dengan kata lain, kalau ada kesanggupan yang sah untuk
menginvestaskan dana ke perusahaan dari pihak pemesan dan ada jaminan yang
cukup pasti bahwa pemesan akan menyetorkan jumlah rupiah pemesanannya pada
saat yang dijanjikan maka sebenarnya ada cukup alasan untuk mengakui pemesanan
tersebut sebagai modal setoran walaupun tidak secara penuh (dicatat sebagai modal
saham pesanan atau (capital stocks subscribed). Dalam pelaporan, piutang pesanan
saham dikontrakan terhadap modal saham pesanan untuk melanjutkan modal
setoran yang sesungguhnya. Selisihnya dengan sendirinya merupakan jumlah
rupiah yang benar-benar telah disetor (Suwardjono, 2010:522).
25
pemegang saham. Pendekatan didasari konsep kesatuan usaha (business entity
concept) karena kreditor dan pemegang saham mempunyai kedudukan yang sama
sebagai investor dengan kepentingan yang sama. Oleh karena itu, pertukaran
tersebut tidak mempunyai substansi ekonomik sehingga tidak dapat menimbulakan
untung atau rugi (Suwardjono, 2010:523).
Alasan yang lain adalah bahwa pada saat obligasi diterbitkan, semua
penerimaan kas diperlakukan sebagai utang. Artinya, tidak dipisahkan jumlah
rupiah yang melekat pada obligasi sebagai obligasi biasa dan pada hak tukar. Hak
tukar dianggap melekat pada obligasi sehingga tidak dapat diukur secara pasti
nilainya. Karena hak tukar tidak dapat diukur dengan pasti, nilai buku obligasi
murni juga tidak dapat diukur dengan pasti, sehingga laba atau rugi tidak dapat
ditentukan kalau harga pasar obligasi dapat ditentukan. Jadi, kepraktisan dan
objektivitas pengukuran tidak menghendaki pengakuan untung dan rugi
(Suwardjono, 2010:523).
Pendekatan kedua memperlakukan selisih antara harga pasar obligasi atau
saham dengan nilai buku obligasi sebagai untung atau rugi. Cara ini dilandasi oleh
konsep kesatuan pemilik (proprietary concept). Perubahan dalam penilaian obligasi
dianggap mempunyai pengaruh terhadap modal pemegang saham. Akan tetapi,
karena harga pasar obligasi merefleksi pula nilai hak tukar, nilai hak tukar harus
ditaksir dan dikeluarkan dari nilai pasar obligasi. Nilai pasar obligasi murni ini
kemudian ditandingkan dengan nilai buku obligasi untuk menentukan laba atau rugi
yang tepat. Secara konseptual, pengakuan laba atau rugi tidak valid karena konversi
ini merupakan transaksi modal bukan operasi. Secara teoretis, transaksi modal tidak
menimbulkan pendapatan, laba, atau rugi (Suwardjono, 2010:523-524).
26
rupiah yang mula-mula diterima pada saat menerbitkan saham prioritas dianggap
sebagai modal setoran mula-mula untuk saham biasa. Perlu dicatat bahwa jumlah
rupiah ini bukan merupakan nilai likuidasi saham prioritas karena nilai likuidasi
saham prioritas adalah sebesar nilai nominalnya. Itulah sebabnya porsi
premium/diskun juga ikut ditransfer. Kalau porsi premium tidak ditransfer dan
semua saham prioritas dikonversi menjadi saham biasa maka akan terjadi
kejanggalan karena akan terdapat premium saham prioritas padahal tidak ada saham
prioritas yang beredar. Konversi ini semata-mata menandai perubahan status atau
hak dua golongan pemegang saham. Perubahan ini sering disertai penerbitan
sertifikat saham biasa baru dan penarikan sertifikat saham prioritas atau istimewa
(Suwardjono, 2010:524).
Pendekatan kedua juga dapat diterapkan. Kalau ada selisih antara harga
pasar baik saham biasa maupun saham prioritas, selisih tersebut harus dikompensasi
ke atau dari laba ditahan. Pendekatan ini mengisyaratkan diterimanya konsep
kesatuan usaha karena laba ditahan dianggap sebagai ekuitas perusahaan yang
terpisah atau independen. Ini berarti harga pasar saham biasa yang diperhitungkan
dianggap tidak merefleksi hak yang melekat pada laba ditahan. Laba ditahan
dianggap sebagai penyangga bila ada selisih harga antara dua sekuritas yang
dipertukarkan. Cara ini juga dilandasi oleh pendekatan dua transaksi (two
transaction approach) yaitu konversi dianggap sebagai transaksi penebusan
kembali saham prioritas (sehingga sebagian dari harga penebusan yang melebihi
nilai buku dianggap sebagai distribusi laba ditahan) dan transaksi penjualan saham
biasa baru dengan harga pasar yang berlaku. Karena hak tukar melekat pada saham
prioritas pada waktu diterbikan, perlakuan konversi sebagai satu transaksi (one
transaction approach) seperti pendekatan pertama akan lebih logis (Suwardjono,
2010:524).
Argumen lain yang mendukung harga pasar sebagai dasar penilaian modal
setoaran adalah bahwa konversi tersebut mempunyai substansi ekonomik tidak
semata-mata formalitas. Setelah konversi berarti perusahaan menjadi bebas dari
kewajiban membayar dividen secara tetap. Ini berarti likuiditas perusahaan
bertambah dan akan mengurangi risiko pemegang saham biasa. Penggunaan harga
27
pasar juga pararel dengan transaksi pertukaran untuk potensi jasa atau aset yang
tidak sejenis (dissimilar) yang menggunakan harga pasar sebagai dasar penentuan
cost-nya (Suwardjono, 2010:524).
28
2.8.4.1. Karakteristik Dividen Saham
Bagi pemegang saham, dividen saham bukan merupakan pendapatan atau
laba. Berbagai teori atau argumen diajukan untuk menjelaskan mengapa dividen
saham bukan merupakan laba bagi penerimanya (Suwardjono, 2010:525).
Dari sudut pandang kesatuan usaha, dividen saham bukan merupakan
pembagian laba karena tidak ada penurunan aset perusahaan atau kenaikan utang
perusahaan. Hal ini berbeda dengan dividen kas jelas merupakan pendapatan bagi
penerima karena ada transfer kemakmuran (wealth) ke pemegang saham
(Suwardjono, 2010:525).
Bila dividen saham dipandang sebagai pendapatan in natura karena
menaikkan nilai investasi, pendapatan tersebut belum terrealisasi bila belum dijual
oleh penerimanya. Investasi naik karena dividen saham dapat dijual atau kalau tidak
dijual penerima berhak menerima dividen tunai di masa datang atas saham tersebut
(Suwardjono, 2010:525).
Argumen lain didasarkan atas konsep kesatuan usaha. Dengan konsep ini,
laba ditahan dipandang sebagai bagian dari modal pemegang saham. Kalau
perusahaan memperoleh laba maka modal pemegang saham juga akan naik dengan
jumlah yang sama. Ini berarti kemakmuran pemegang saham juga naik (biasanya
ditandai dengan naiknya harga saham di pasar modal) (Suwardjono, 2010:525).
Oleh karena itu, dividen saham atau dividen kas sebenarnya bukan
merupakan pendapatan atau laba bagi pemegang saham karena pada saat dividen
tersebut dibagikan kemakmuran pemegang saham tidak bertambah lagi. Dividen
kas hanya berfungsi sebagai konfirmasi bahwa kemakmuran pemegang saham
benar-benar telah naik secara objektif sebelum dividen. Kalau laba ditahan
dianggap sebagai ekuitas yang terpisah sehingga ekuitas pemegang saham hanya
terdiri atas modal setoran, dividen saham atau kas merupakan pendapatan atau laba
bagi pemegang saham karena mereka memperoleh sesuatu yang sebelumnya tidak
dipunyai. Dividen saham akan menaikkan modal setoran dengan cara transfer dari
ekuitas perusahaan ke ekuitas pemegang saham (Suwardjono, 2010:526).
Dari sudut pandang kesatuan pemilik, dividen saham bukan merupakan laba
bagi penerimanya. Alasannya adalah bahwa laba perseroan juga merupakan laba
29
pemilik. Oleh karena itu, dividen kas dianggap sebagai pengambilan atau prive oleh
pemilik dari sesuatu yang memang sudah menjadi haknya.sehingga tidak ada
tambahan kemakmuran. Dividen sahan juga bukan merupakan laba tetapi sekedar
reklasifikasi ekuitas (Suwardjono, 2010:526).
Karena sudut pandang akuntansi adalah kesatuan usaha, apakah dividen
saham merupakan pendapatan bagi pemegang saham sebenarnya bukan masalah
yang relevan. Yang relevan bagi perusahaan adalah apakah dividen saham
dipandang sebagai reklarifikasi ekuitas dan bila demikian bagaimana kapitalisasi
diukur. Kapitalisasi dapat didasarkan atas (1) nilai nominal atau nilai nyataan
dividen yang dibagi, (2) nilai pasar dividen yang dibagi/diterbitkan, dan (3) modal
setoran per saham sebelum dividen saham (Suwardjono, 2010:526).
30
2.8.4.3. Kapitalisasi Atas Dasar Harga Saham
Walaupun dividen saham berbeda dengan dividen kas, sebagai dividen
keduanya dianggap sebagai distribusi ke pemilik. Oleh karena itu, dividen saham
dapat dipandang sebagai pengganti dividen kas karena dividen saham mempunyai
nilai. Paling tidak, pemegang saham dapat menjual saham tersebut kalau dividen
kas yang diharapkan dan investasi semula tidak berubah. Nilai tersebut diukur atas
dasar harga saham. Dengan demikian, harga pasar merupakan dasar yang tepat
untuk menentukan kapitalisasi. Berbagai dasar pikiran mendukung hal ini
(Suwardjono, 2010:527).
A. Laba ditahan pada dasarnya adalah reinvestasi dari pemegang saham tanpa
tindakan pernyataan resmi. Dividen saham merupakan sarana untuk menyatakan
kebersediaan pemegang saham secara resmi untuk menanamkan modal (dengan
dividen saham sebagai bukti) dalam perusahaan. Jumlah yang ditanamkan
tentunya adalah sebesar harga pasar saham dimata pemegang saham karena
pemegang saham dapat menjual dividen saham untuk mendapatkan kas.
B. Transaksi dividen saham dapat dianggap terdiri atas dua transaksi yaitu
pembagian dividen kas dan penerbitan saham baru dengan harga sebesar dividen
kas tersebut. Oleh karena itu, dividen saham akan mengurangi laba ditahan
sebesar harga pasar saham dan reinvestasi akan menyebabkan modal setoran
naik dengan jumlah yang sama.
C. Dari kacamata perusahaan, jumlah rupiah dividen saham adalah cost kesempatan
penjualan saham baru ke pasar modal. Artinya besarnya kapitalisasi adalah
sebesar jumlah rupiah seandainya saham baru dijual di pasar dan tidak dibagikan
sebagai dividen saham.
D. Penggunaan harga pasar (bukan hanya nilai nominal) juga mengurangi kesan
keliru para pemegang saham bahwa masih tersedia laba ditahan yang dapat
didistribusi lagi baik dalam bentuk dividen saham atau kas (Suwardjono,
2010:527).
Kritik terhadap argumen ini adalah bahwa keduanya didasarkan pada
keadaan yang memang tidak terjadi. Lebih dari itu, kalau persentasi dividen saham
cukup tinggi, harga saham akan cukup terpengaruh sehingga kapitalisasi harus
31
dibatasi hanya sejumlah modal yuridis (nominal saham). Masalahnya adalah
seberapa banyak dividen saham dianggap cukup besar. Seperti pedoman umum
penggunaan metoda ekuitas, pembagian dividen saham diatas 20% dianggap cukup
berpengaruh (substantial influence) terhadap harga saham sehingga kapitalisasi
dibatasi hanya sebesar nilai nominal (Suwardjono, 2010:527).
Kritik lainnya adalah kalau memang dividen saham bukan merupakan
pendapatan bagi penerimanya, tidak layaknya untuk memperlakukan sebagai
pendapatan karena akan menciptakan ilusi yang keliru bagi pemegang saham
(Suwardjono, 2010:528).
Alasan lain yang menolak penggunaan harga pasar saham adalah alasan
pendukung penggunaan nilai yuridis. Harga pasar sebenarnya mereflesi ekuitas
pemegang saham total dalam perusahaan yaitu modal setoran plus laba ditahan. Jadi
sangat tidak logis mentransfer jumlah yang merefleksi elemen modal setoran dan
laba ditahan ke modal setoran itu sendiri. Bahkan untuk mempertahankan keutuhan
modal yuridis, kapitalisasi tidak diperlukan dan informasi mengenai dividen saham
cukup dilaporkan melalui catatan kaki atau pengungkapan lainnya (Suwardjono,
2010:528).
Pendekatan dua transaksi menjadi valid kalau pemegang saham mempunyai
opsi untuk menerima dividen kas atau menerima jumlah yang sama dalam bentuk
sejumlah saham yang dihitung atas dasar harga pasar saham (Suwardjono,
2010:528).
32
adalah sebesar selisih harga pasar saham dengan harga yang harus dibayar
pemegang saham yang mempunyai hak beli saham (Suwardjono, 2010:528).
Bila deviden saham dapat dikapitalisasi maka hak beli saham juga dapat
dikapitalisasi karena hak beli saham dapat dianggap sebagai deviden saham dengan
nilai sebesar harga pasar hak beli saham. Jumlah ini dikapitalisasi ke modal setoran
lain. Argumen ini dibantah dengan alasan bahwa kapitalisasi hak beli saham
menjadi modal setoran adalah tidak logis karena tidak ada sumber ekonomik yang
disetorkan oleh pemegang saham dan tidak ada saham baru yang diterbitkan
(Suwardjono, 2010:528).
33
pada saat hak opsi diberikan atau bergantung pada beberapa kejadian di masa
mendatang seperti pertumbuhan perusahaan dan perubahan harga saham
(Suwardjono, 2010:529).
Dalam hal opsi saham karyawan, ada kalanya harga pengambilan begitu
rendahnya dibanding harga pasar sehingga selisihnya dapat dipandang sebagai
kompensasi atau imbalan jasa karyawan (Suwardjono, 2010:529).
34
Harus diasumsi pula bahwa pemberian hak opsi tersebut tidak mempunyai
konsekuensi bagi karyawan untuk melaksanakan kewajiban atau pekerjaan
tambahan. Pada umumnya kalau opsi saham tersebut non imbalan, harga saham
atau harga pengambilan ditentukan sama dengan harga saham pada saat opsi
diberikan. Dengan demikian pada saat tersebut karyawan dianggap tidak menerima
manfaat atau penghasilan tambahan karena karyawan akan membayar jumlah yang
sama dengan jumlah yang harus dibayar oleh non karyawan untuk saham
bersangkutan di pasar saham (Suwardjono, 2010:530).
Kalau ternyata karyawan memperoleh manfaat karena harga saham lebih
rendah dari harga pasar pada saat opsi diambil maka manfaat tersebut dapat
dipandang sebagai untung akibat spekulasi karyawan dan bukan sebagai
penghasilan tambahan untuk jasa yang diberikan karyawan. Pada saat opsi saham
ditawarkan tidak ada tambahan modal setoran. Pada saat opsi saham diambil modal
setoran akan bertambah sebesar harga saham. Pada saat itu seakan-akan perusahaan
menjual dan menerbitkan saham baru (Suwardjono, 2010:530).
35
Tidak brarti bahwa karyawan harus mengambil opsi pada tanggal tersebut
(Suwardjono, 2010:530).
Alasan pengukuran biaya pada saat opsi ditawarkan atau pada tanggal
alternatif adalah :
a) Pada tanggal tersebut kompensasi dapat diukur dengan cukup pasti baik bagi
perusahaan maupun karyawan.
b) Harga pada tanggal tersebut dapat dianggap merupakan harga kesepakatan bagi
kedua belah pihak sehingga jumlah rupiahnya objektif.
c) Selesih harga pada tanggal penawaran opsi tetap dapat dianggap sebagai kos
untuk mencapai tujuan penerbitan opsi.
d) Keputusan untuk mengambil opsi saham ada ditangan karyawan sehingga
perubahan harga saham bukan merupkan cos perusahaan (Suwardjono,
2010:530-531).
Dalam program opsi saham imbalan, begitu opsi diambil perusahaan
menerima kas atau aset lainnya dan potensi jasa karyawan. Potensi jasa karyawan
ini bersifat seperti gaji dibayar dimuka sehigga merupakan aset perusahaan. Secara
umum jurnal untuk mencatat transaksi opsi saham adalah sebagai berikut
(Suwardjono, 2010:531):
Secara teoritis kos potensi jasa karyawan harus disebar menjadi biaya ke
periode – periode yang menikmati jasa tersebut. Secara intuitif kos potensi jasa ini
adalah selisih antara harga saham dan harga pengambilan pada tanggal pengukuran.
Akan tetapi secara teoritis terdapat berbagai alternatif pengukuran dan tanggal
pengakuannya beserta argumen yang melandasi. Pembahasan mendalam mengenai
hal ini adalah diluar konteks pembahasan modal setoran ini (Suwardjono,
2010:531).
36
2.8.7. Waran
Perusahaan dapat juga menjual hak beli saham (rights) kepada non
pemegang saham dengan menjual kupon pembelian saham atau waran. Dalam
PSAK No. 41, IAI mendefinisikan waran sebagai berikut:
Waran adalah efek yang diterbitkan oleh suatu perusahaan yang memberi
hak kepada pemegangnya untuk memesan saham dari perusahaan tersebut
pada harga dan jangka waktu tertentu (pasal 03).
37
Persoalan teoritis timbul bila waran dijual sebagai bonus atau “pemanis”
(sweetener) penjualan surat berharga lain misalnya obligasi atau saham prioritas.
Sebagai contoh setiap pembelian 10 lembar obligasi atau 1 lot saham prioritas akan
mendapat 1 waran. Persoalannya apakah jumlah uang yang diterima perusahaan
dialokasi seluruhnya ke obligasi atau saham prioritas bersangkutan atau sebagian
dialokasikan ke waran sebagai setoran saham biasa. Keputusan tentang hal ini akan
mempengaruhi klasifikasi model setoran (Suwardjono, 2010:532).
Pedukung pemisahan beragumen bahwa sekuritas dan waran mempunyai
nilai terpisah karena terjadinya nilai bersal dari sumber yang berbeda. Nilai pasar
obligasi atau saham prioritas terbentuk dari kekuatan pasar yang berkaitan dengan
tingkat bunga. Nilai pasar waran terbentuk dari presepsi investor tentang
kemampuan perusahaan menghasilkan laba di masa datang. Sementara itu,
penentang alokasi berdasarkan argumennya pada objektivitas penentuan nilai
karena pada ummnya harga pasar masing – masing sekuritas tersebut tidak tersedia
dipasar. Jadi dapat dikataka pula bahwa argumen untuk menolak alokasi adalah
kepraktisan (Suwardjono, 2010:532).
Pertimbangan tentang pemisahan kos juga didasarkan pada karakteristik
waran tersebut yaitu apakah bersifat lepas, lekat atau bebas. Waran lepas adalah
waran yang diterbitkan menyertai sekuritas utama dan dapat diperdagangkan secara
terpisah dari sekuritas tersebut. Waran lekat adalah waran yang melekat pada
sekuritas sebagai satu kesatuan sehingga tidak dapat di perdagangkan secara
independen. Waran bebas adalah waran yang diterbitkan sendiri bukan sebagai
penyerta atau pemanis sekuritas tertentu (Suwardjono, 2010:532).
Kalau suatu sekuritas (obligasi atau saham prioritas) di terbitkan dengan
waran lepas, pemegang waran pada dasaranya mempunyai dua macam sekuritas.
Tindakan yang bersangkutan dengan salah satu jenis sekuritas adalah independen
terhadap tindakan yang berkaitan dengan sekuritas yang lain. Oleh karena itu
perlakuan yang masuk akal adalah mengalokasi kos untuk menentukan harga
masing – masing sekuritas. Hal yang sama juga berlaku pada penerbit. Kalu kupon
saham bersifat melekat, maka obligasi atau saham prioritas akan mempunyai sifat
38
seperti sekuritas terkonveksi. Berkaitan dengan masalah diatas maka PSAK No 41
telah menetapkan perlakuan akuntansi untuk berbagai jenis waran sebagai berikut.
Jumlah rupiah hasil peneribitan sekuritas (utang atau ekuitas) yang disertai waran
lepas dialokasikan ke sekuritas dan waran atas dasar nilai wajar masing-masing
komponen pada saat penerbitannya. Jumlah rupiah yang melekat pada waran
dilaporkan sebagai modal setoran lainnya dan jumlah rupiah yang melekatpada
sekuritas dilaporkan sebagai kewajiban atau ekuitas sesuai dengan karakteristiknya
(pasal 15).
Apabila waran diambil, jumlah rupiah yang melekat pada waran dikapitalisasi ke
modal saham dan agio saham (bila ada). Apabila waran tidak diambil sampai masa
opsi berakhir, jumlah rupiah tercatat waran tetap diperlakukan sebagai modal
setoran lain (pasal 16).
Seluruh jumlah rupiah hasil penerbitan sekuritas (utang atau ekuitas) yang disertai
waran lekat diakui seluruhnya sebagai kewajiban atau ekuitas sesuai dengan
karakteristiknya (pasal 17).
Penerbitan waran bebas diperlakukan sebagai modal setoran lain sebesar jumlah
rupiah hasil penerbitan tersebut. Bila waran bebas diterbitkan secara cuma-cuma,
tidak diberlakukan penaksiran nilai waran untuk diakui sebagai modal setoran lain
(pasal 18-19) (Suwardjono, 2010:533).
39
penarikan kembali saham yang beredar secara permanen. Paton dan Littleton (1970)
sangat menegaskan bahwa perubahan karena transaksi modal harus dibedakan
secara tegas dengan perubahan karea transaksi operasi. Oleh karena itu semua
transaksi yag berkaitan denagn penarikan kembali saham atau likuidasi modal tidak
ada kaitannya dengan untung atau rugi. Dengan kata lain, untung atu rugi tidak
timbul dari transaksi penarikan kembali saham (Suwardjono, 2010:533-534).
Dengan dasar pemikiran ditas, “untung” atau “rugi” yang berasal dari
transaksi saham perseroan sendiri setelah tanggal penerbitan harus dikatkan dengan
ekuitas pemegang saham khususnya laba ditahan bukan sebagai elemen statments
laba rugi (Suwardjono, 2010:534).
Jadi, perlakuan atas saham yang ditarik kembali harus sejalan dengan
sifatnyasebagai ekuitas pemegang saham. Kalau saham bersangkutan dapat
diterbitkan kembali, saham dengan jumlah rupiah sebesar yang dibayarkan untuk
penarikan kembali tersebut harus diperlakukan sebagai kontra modal setoran dan
laba ditahan bukannya sebagai aset. Kalau saham bersangkutan tidak dapat di
terbitkan kembali, jumlah rupiah yang dibayarkan harus dibebankan ke modal
saham sampai sejumlah yang mula-mula di kredit, sisanya kemudian dibebankan
ke premium modal saham sampai sejumlah yang tidak melebihi bagian premium
mula- mula yang di kredit, kalau masih terdapat sisa, kelebiham tersebut harus di
bebankan ke laba ditahan. Kalau terjadi untung dalam penebusan saham maka
untung tersebut harus di kreditkan ke premium modal saham karena jumlah tersebut
pada hakikatnya mempunyai karakteristik seperti kontribusi modal dalam bentuk
donasi atau pembebasan utang (Suwardjono, 2010:534).
Pembelian kembali saham beredar oleh perseroan sebenarnya bermakna
penarikan aset yang diinvestasikan oleh pemegang saham yang bersangkutan.
Akibatnya struktur modal berubah sesuai dengan jumlah aset yang ditarik kembali
tersebut. Akan tetapi karena perlakuan akhir terhadap saham yang ditebus kembali
tersebut mungkin tidak pasti maka perlu dibuat ketentuan tentang perlakuan
sementara terhadap saham yang ditarik kembali tersebut (Suwardjono, 2010:534).
Paton dan Littleton (1970) menegaskan bahwa ditinjau dari segi penilaian
pasar (market valuation) terhadap perusahaan, tidak ada alasan untuk menganggap
40
bahwa baik perseroan (mewakili mereka yang masih memegang saham) maupun
pemegang saham yang mengembalikan haknya ( yang menyerahkan sahamnya)
memperoleh laba efektif, atau menderita rugi efektif dalam transaksi modal
tersebut. Kalau harga yang dibayarkan untuk tiap saham yang ditarik kembali lebih
rendah dari pada kos saham pada saat penarikan kembali tersebut, maka dapat
dianggap bahwa penilaian pasar terhadap perusahaan secara keseluruhan (atas dasar
nilai likuidasi pada saat itu) adalah lebih rendah dari pada jumlah rupiah yang
tercatat untuk aset seperti kas, piutang dan kos aset lainnya. Demikian pula kalau
harga yang dibayarkan untuk saham yang ditarik kembali lebih tinggi dari pada nilai
bukunya ini berarti bahwa penilaian pasar pada saat itu memperhitungkan adanya
apresiasi aset yang tercatat maupun aset tak berwujud lainnya yang tidak tercatat.
Hal ini bukan berarti bahwa akuntansi perseroan yang mendasarkan diri pada kos
historis adalah keliru atau tidak sesuai dengan kenyataan. Yang perlu ditekankan
adalah bahwa penilaian pasar tidak menjadi aalasan kuat untuk merevisi ekuitas
modal pemegang saham tanpa adanya transaksi modal (Suwardjono, 2010:534-
535).
41
2. Pengungkapan pengaruhnya terhadap modal yuridis bila saham treasuri dijual
kembali.
Mengenai hal ini ada dua pendekatan yaitu konsep satu trasaksi atau konsep dua
transaksi (Suwardjono, 2010:535).
42
(konsep dasar substance over from). Substansi transaksi saham treasuri adalah
transfer antara pemegang saham yang satu ke yang lain dengan perusahaan sebagai
agen dan cacah saham yang beredar tidak berubah. Secara teoritis distribusi modal
setoran ke pemegang saham yang tidak mengubah cacah saham yang beredar tidak
selayaknya mempengaruhi laba ditahan (Suwardjono, 2010:536).
Alternatif kedua dilandasi oleh tujuan mempertahankan modal saham atau
modal yuridis. Jumlah rupiah selisih dipecah secara proposional atas dasar modal
saham dan agio saham sebelum penarikan saham treasuri. Kemudian jumlah yang
berkaitan dengan agio saham dibebankan ke agio saham tetapi yang berkaitan
dengan modal saham dibebankan di laba ditahan. Dengan demikian modal saham
(modal yuridis) tetap utuh. Landasan perlakuan ini adalah peraturan hukum yang
mengharuskan modal saham dipertahankan keutuhannya (Suwardjono, 2010:536).
Contoh pemecahan selisih dilakukan dengan cara sebagai berikut :
Komponen
Pemecahan selisih untuk Perlakuan
modal Jumlah rupiah
25% dibebankan ke:
setoran
Modal saham Rp. 1000.000,- 250.000/300.000*Rp. Laba ditahan
60.000 = Rp. 50.000
Agio saham RP. 200.000,- 50.000/300.000*Rp. Agio saham
60.000 = Rp. 10.000
Alternatif ketiga membebankan seluruh selisih ke laba ditahan. Alasan
perlakuan ini semata – mata kepraktisan dan konservatisma. Alasan teoritisnya
adalah kalau pembelian dan penjualan dianggap sebagai satu transaksi maka esensi
selisih tersebut adalah distribusi asset (semacam dividen) kepada beberapa
pemegang saham secara selektif. Modal saham harus tetap dipertahankan
keutuhannya. Alasan lain karena laba ditahan harus dipandang sebagai penyangga
umum bila tujuan tertentu harus dicapai (dalam hal ini misalnya mempertahankan
keutuhan modal saham) (Suwardjono, 2010:536).
Seperti telah dibahas Paton dan Littleton, apabila saham terasuri tidak
segera dijual maka kos pembelian tersebut tidak dapat dianggap sebagai asset, tetapi
akan diklasifikasikan sebagai pengurang ekuitas pemegang saham secara
43
keseluruhan. Biasanya saham treasury merupakan komponen paling bawah dalam
rincian seksi ekuitas pemegang saham. Keberatan terhadap penyajian seperti ini
adalah penyajian tersebut dapat memberi kesan yang salah tentang besarnya ekuitas
pemegang saham khususnya apabila saham treasuri tersebut akhirnya dianggap
likuidasi saham atau dijual dengan harga yang jauh di bawah kos (Suwardjono,
2010:537).
44
Pada saat penjualan:
Kas.............................................................................340.000
Modal Saham.......................................................... 250.000
Agio Saham (jumlah semula) ......................................50.000
Laba Ditahan................................................................ 40.000
Hasil akhir cara diatas akan sama dengan alternatif kedua dalam pendekatan satu-
transaksi. Dapat juga transaksi diatas dicatat sebagai berikut:
Pada saat penarikan:
Modal Saham.............................................................250.000
Agio Saham (mula-mula)............................................50.000
Laba Ditahan..............................................................100.000
Kas..........................................................................400.000
Pada saat Penjualan :
Kas............................................................................340.000
Modal Saham.........................................................250.000
Agio Saham (jumlah semula)................................ 50.000
Laba Ditahan............................................................40.000
Cara diatas bertujuan untuk mempertahankan keutuhan ekuitas pemegang
saham. Laba ditahan akan berkurang sebesar Rp. 60.000 dan jumlah ini sama
dengan selisih antara cos pemerolehan (Rp. 400.000) dan harga jual saham (Rp.
340.000), dengan demikian hasil akhir akan sama dengan alternatif ketiga dalam
konsep satu transaksi (Suwardjono, 2010:537-538).
Memang dari segi teknis dan konsep sebenarnya tidak ada perbedaan yang
cukup material antara konsep satu-transaksi dan konsep dua-transaksi. Perbedaan
sebenarnya justru terletak pada tujuan pemerolehan kembali saham tersebut. Kalau
tujuannya adalah untuk menjual kembali saham treasuri kepada karyawan atau
pihak khusus lainnya, konsep satu transaksi akan lebih relevan. Akan tetapi, bila
tujuan pemerolehan kembali adalah untuk membeli saham para pemengang saham
yang tidak setuju dengan kebijakan perusahaan atau untuk melikuidasi jenis saham
tertentu maka pendekatan dua transaksi akan lebih mengena karena hal terakhir ini
45
cenderung bermakna likuidasi atau memutus hubungan kepemilikan (Suwardjono,
2010:538).
APB Opinion no 6 memberi keleluasaan untuk memilih cara kedua atau
ketiga diatas.Pengaruh bersih dari standar ini adalah diperbolehkannya kapitalisasi
laba ditahan dalam transaksi pembelian dan penjulan saham treasuri khususnya
kalau harga pembelian lebih tinggi dari pada modal setoran mula-mula
(Suwardjono, 2010:538).
46
2.10.1. Penyesuaian Periode Lalu
Penyesuaian ini sering juga disebut dengan penyesuaian susulan (catch-up
adjustment). Penyesuaian periode lalu adalah perlakuan terhadap suatu jumlah
rupiah yang mempengaruhi operasi periode masa lalu (yang baru ditemukan atau
baru dapat diakui dalam periode sekarang) bukan sebagai pengurang atau
penambah perhitungan laba tahun sekarang (masuk dalam statment laba/rugi tahun
sekarang atau berjalan) tetapi sebagai penyesuai tehadap laba ditahan awal periode
sekarang. Perlakukan semacam ini dimaksudkan untuk menjadikan laba ditahan
awal periode sekarang menunjukan saldo semestinya seandainya jumlah rupiah
tersebut telah diakui dalam periode yang lalu (Suwardjono, 2010:539).
Sebagai contoh perusahaan yang pada periode lalu dituntut untuk mengganti
rugi sejumlah uang tertentu karena dituduh melanggar hak paten perusahaan lain.
Sampai akhir periode yang lalu perkara tuntutan ini belum diputuskan pengadilan
karena belum dapat dipastikan apakah perusahaan bersalah dan juga tidak ada
kepastian tentang jumlah yang akhirnya dibayarkan. Baru dalam periode sekarang
dapat dipastikan bahwa perusahaan benar-benar dinyatakan salah dan harus
membayar ganti rugi sejumlah tertentu. Jumlah tersebut jelas harus diakui dan
merupakan rugi bagi perusahaan. Persoalanya adalah apakah jumlah rugi tersebut
diperlakukan sebagai penyesuaian periode lalu (laba diatahan awal tahun) atau
sebagai pengurang pendapatan tahun sekarang? Dengan kata lain apakah rugi
tersebut diakui sebagai penyesuaian terhadap laba bersih periode yang lalu ketika
peristiwa yang menyebabkan rugi tersebut terjadi atau apakah rugi tersebut diakui
sebagai elemen penentuan laba periode sekarang ketika peristiwa yang menguatkan
atau memastikan terjadi (ketika kepastian tentang status dan jumlah telah diperoleh)
(Suwardjono, 2010:539-540).
Beberapa pendapat ada yang mendukung dan ada yang menolak perlakuan
rugi tersebut sebagai penyesuaian periode lalu, pihak yang mendukung beragumen
sebagai berikut:
1. Laba akan menjadi lebih berarti kalau rugi yang timbul akibat kejadian masa lalu
dilaporkan sebagai elemen laba rugi periode yang bersangkutan dan bukan
sebagai elemen laba rugi periode sekarang. Memasukkannya sebagai elemen
47
laba rugi periode sekarang akan menimbulkan distorsi pelaporan laba periode
sekarang.
2. Pelakuan semacam ini menggambarkan penerapan penandingan pendapatan dan
biaya yang tepat (Suwardjono, 2010:540).
Sementara pihak yang menolak penyesuaian periode lalu mengajukan
argumen sebagai berikut:
1. Semua pendapatan, untung, biaya, dan rugi yang berkaitan dengan kegiatan
menghasilkan pendapatan harus dilaporkan dalam statement laba rugi. Dengan
cara ini statment laba rugi selama beberapa periode akan menyajikan riwayat
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Kalau rugi diperlakukan
sebagai penyesuaian periode lalu (penyesuaian akun laba ditahan awal) maka
jumlah tersebut tidak akan pernah masuk dalam riwayat laba perusahaan ini
berarti daya melaba jangka panjang tidak dapat digambarkan secara lengkap.
2. Pemakai laporan kemungkinan besar tidak akan pernah mengetahui bahwa rugi
tertentu pernah dialami oleh perusahaan kalau jumlah tersebut tidak dimasukkan
dalam statement laba rugi. Ini berarti bahwa pemakai kurang mendapat
informasi tentang kejadian yang mempengaruhi daya melaba (Suwardjono,
2010:540).
Paton dan Littleton termasuk pihak yang menolak penyesuaian periode lalu
dengan argumen bahwa statment laba rugi harus memuat semua perubahan yang
bersangkutan dengan pengelolaan asset. Perubahan ini harus secara tegas dibedakan
dengan perubahan karena keputusan pendanaan atau transaksi modal. Dalam hal
pemanfaatan asset, tidak perlu dibedakan apakah aset tersebut berupa aset fisis atau
bukan. Yang terpenting adalah perubahan asset tersebut berkaitan dengan kegiatan
operasi perusahaan (Suwardjono, 2010:541).
FASB menganut gagasan Paton dan Littleton diatas dan menetapkan secara
umum bahwa jumlah rupiah yang berkaitan dengan periode lalu harus diperlakukan
sebagai komponen statment laba rugi sekarang kecuali syarat-syarat tertentu
dipenuhi. Suatu jumlah rupiah baru dapat diperlakukan sebagai penyesuaian
periode lalu kalau jumlah rupiah tersebut:
48
1. Dapat diidentifikasi secara tegas sebagai akibat atau dapat dikaitkan langsung
dengan kegiatan-kegiatan bisnis dalam periode tertentu masa lalu.
2. Tidak timbul akibat peristiwa ekonomik yang terjadi setelah tanggal statment
keuangan periode yang lalu. Artinya peristiwa yang menimbulkan jumlah rupiah
telah terjadi di masa lalu, hanya tidak pasti jumlahnya, atau waktu mengikatnya
bagi perusahaan.
3. Sangat bergantung pada ketetapan pihak selain manajemen. Artinya, jumlah dan
kepastian mengikatnya tidak berada dibawah pengendalian atau keputusan
manajemen.
4. Tidak dapat ditaksir atau diantisipasi secara layak sebelum adanya ketetapan
tersebut (Suwardjono, 2010:541).
Terjadinya jumlah rupiah yang memenuhi keempat syarat diatas biasanya
jarang sekali sehingga praktis penyesuaian periode lalu tidak pernah dilakukan.
Pada umumnya penyesuaian periode lalu berkaitan dengan masalah ketidakpastian
dimasa lalu tentang suatu kejadian atau jumlah dalam peristiwa yang sangat khusus
(misalnya perkara tuntutan ganti rugi seperti dicontohkan diatas). Ketidakpastian
semacam ini dalam akuntansi biasanya digolongkn dalam apa yang disebut dengan
kebergantungan rugi. Rugi bergantung dapat diakui dalam perioda timbulnya
kemungkinan asalkan dipenuhi kedua kriteria pengakuan tersebut:
1. Informasi yang tersedia sebelum penerbitan statment keuangan menunjukan
dengan cukup pasti bahwa pada tanggal laporan keuangan aset perusahaan sudah
terpengaruh/berkurang atau kewajiban telah timbul. Secara implisit harus cukup
pasti pula bahwa akan terjadi peristiwa tertentu di masa mendatang yang
menegaskan atau menguatkan adanya rugi tersebut
2. Jumlah rupiah pengaruh atau rugi tersebut dapat ditaksir secara layak
(Suwardjono, 2010:541).
Secara singkat dapat dikatakan bahwa untuk dapat mengakui rugi bersyarat maka
kejadiannya harus cukup pasti dan jumlah rupiahnya dapat ditaksir dengan layak.
Keempat syarat penyesuaian periode lalu merupakan kecualiaan dari
ketentuan umum yang menyatakan bahwa semua pos rugi atau laba yang diakui
dalam suatu periode (termasuk pengakuan rugi bersyarat) harus merupakan pos
49
dalam penentuan laba periode. Dengan demikian rugi yang berkaitan dengan
periode lalu teteapi baru diakui dalam periode sekarang harus tetap dimasukan
dalam statment laba rugi bukan sebagai penyesuaian periode lalu (penyesuaian
terhadap laba ditahan awal). Tentu saja kalau jumlahnya material, hal tersebut harus
dilaporkan secara terpisah dalam statment laba rugi atau perlu ada pengungkapan
yang memadai (Suwardjono, 2010:542).
Pertimbangan mengenai apakah suatu jumlah rupiah diperlakukan sebagai
penyesuaian periode lalu atau komponen laba rugi periode berjalan tentunya tidak
dapat diterpakan untuk penyesuaian yang sifatnya rutin sebagai konsekuensi logis
proses auntansi yang menganut asas akrual. Koreksi kesalahan dan pengaruh
perubahan akuntansi berikut ini sebenarnya merupakan masalah yang erat
kaitannya dengan masalah penyesuaian periode lalu (Suwardjono, 2010:542).
50
Misalnya saja kesulitan dalam memecah kos menjadi biaya dan bagian yang
ditunda pembebanannya pada akhir periode membuka kemungkinan untuk
melakukan koreksi di kemudian hari terhadap asset dan laba yang sebelumnya telah
dilaporkan. Juga dapat terbukti bahwa setelah beberapa periode ternyata depresiasi
telah dibebankan terlalu besar bila dibandingkan dengan kenyataan yang sekarang
dialami. Hal ini berarti bahwa nilai buku asset telah dilaporkan terlalu rendah dan
perhitungan laba pada masa yang lalu juga menjadi terlalu rendah ditinjau dari segi
fakta yang sekarang diperoleh. Demikian juga, kalau terbukti bahwa beban
depresiasi telah ditentukan terlalu kecil sehingga depresiasi akumulasian
kemungkinan tidak mencapai jumlah rupiah yang dapat menutup kos asset pada
saat diberhentikan maka ini berarti bahwa saldo asset telah dilaporkan terlalu besar
pula. Yang manapun dari situasi di atas, suatu koreksi diperlukan segera setelah
cukup bukti bahwa kesalahan telah terjadi (Suwardjono, 2010:543).
Tidak seperti nasi yang telah menjadi bubur, kalau laba suatu periode telah
ditentukan atas dasar fakta yang obyektif pada waktu itu maka tidak berarti bahwa
laba tersebut tidak dapat diperbaiki bila terbukti ada kesalahan. Kenyataan bahwa
buku besar biaya dan pendapatan pada tahun-tahun yang lalu telah ditutup tidaklah
menutup kemungkinan untuk merevisi kembali angka-angka laba yang telah
dilaporkan sebelumnya dan untuk melaporkan koreksi yang ternyata diperlukan
dengan adanya fakta baru di kemudian hari (Suwardjono, 2010:535).
51
perhitungan laba periode-periode sebelumnya dan kalau statemen komparatif
disajikan, pengaruh retroaktif kesalahan harus ditunjukkan dalam statment
keuangan periode-periode yang terpengaruh. Perlakuan semacam ini sebenarnya
hanya berlaku untuk kesalahan yang memenuhi ketentuan umum dalam SFAS No.
16 paragraf 1 yang dibahas sebelumnya (Suwardjono, 2010:543).
Metode ini dapat diterima dari sudut pandang neraca saja dan tidak
mengganggu kenormalan atau keutuhan (integrity) beberapa statemen laba rugi
berikutnya. Di lain pihak, prosedur ini tidak layak karena riwayat laba yang pernah
dilaporkan menjadi tidak lengkap dan besar kemungkinan angka laba dapat
menyesatkan (Suwardjono, 2010:543).
Pengaruh koreksi dapat ditunjukkan dalam statment laba rugi komprehensif
sebagai penambah atau pengurang (modifier) angka laba bersih atau angka
manapun yang akhirnya toh akan ditambahkan ke (atau dikurangkan terhadap) laba
ditahan. Letak yang tepat penyesuaian koreksi tidaklah merupakan masalah yang
penting asalkan ada pengungkapan yang jelas tentang hal tersebut dalam statment
laba rugi. Tentu saja tidak dikehendaki untuk memasukkan pengaruh koreksi dalam
klasifikasi pendapatan operasi atau biaya operasi berjalan (periode sekarang) karena
jumlah rupiah koreksi berkaitan dengan perhitungan laba dalam periode-periode
sebelumnya (Suwardjono, 2010:544).
Telah ditekankan berkali-kali bahwa daya melaba jangka panjang adalah
informasi yang sangat penting bagi investor. Dengan demikian, akan sangat
membantu dalam hal ini untuk memasukkan dalam statemen laba rugi tahunan tidak
hanya pengukur hasil (laba) periode berjalan yang setepat-tepatnya tetapi juga
pengukur koreksi laba statment terdahulu setepat-tepatnya. Melaporkan koreksi
atas dasar fakta yang ditemukan kemudian sama sekali tidak berarti tidak
mempercayai atau menghargai perhitungan sebelumnya. Masa datang tidak selalu
dapat diprediksi dengan tepat. Oleh karena itu, sebenarnya tidak perlu diadakan
revisi akun-akun nominal yang telah ditutup dan juga tidak perlu menyusun kembali
lapora keuangan periode-periode yang lalu dengan revisi yang menyeluruh
(retroactive restatement). Hal ini dilandasi oleh argument bahwa perhitungan laba
bersih tahunan bukanlah harga mati dan penyajian statment laba rugi secara
52
komprehensif (menyajikan laba normal, dan luarbiasa serta koreksi) dan secara
serial akan menggambarkan riwayat laba sesuai dengan kenyataan. Perlakuan
pengaruh koreksi seperti ini sebenarnya mudah dan logis (Suwardjono, 2010:544).
53
penjelasan apapun dalam statment laba rugi, beberapa statment laba rugi yang
pernah diterbitkan tidak dapat memberikan gambaran yang menyeluruh tentang
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Prinsip penyesuaian langsung
ke laba ditahan membuka kemungkinan untuk menimbulkan prosedur yang
mengaburkan atau menyembunyikan pengaruh rugi atau untung luar biasa dengan
akibat timbulnya salah tafsir pada pihak pemegang saham atau pihak lain yang
berkepentingan. Statment laba rugi harus menyatakan laba seperti apa adanya
termasuk rugi atau untung akibat koreksi. Masalahnya adalah bagaimana
melaporkan koreksi dalam statment laba rugi? Hal ini akan dibahas dalam seksi
penyajian laba (Suwardjono, 2010:545).
54
penyesuaian sekarang (current adjusment), dan penyesuaian sekarang dan
prospektif (current and prospective adjustment) (Suwardjono, 2010:546).
55
pengungkapan yang jelas dalam pelaporan laba periode sekarang sudah cukup
memadai untuk mengungkapkan pengaruh perubahan tersebut sehingga
kemungkinan pembaca laporan akan melewatkan informasi perubahan dapat
diatasi. Keempat, penyusunan kembali statment keuangan periode lalu dapat
menuunkan keyakinan publik terhadap statment keuangan dan dapat
membingungkan pemakai. Akhirnya, karena serangkaian statment masa lalu telah
disusun atas dasar prinsip akuntansi berterima umum, mereka harus dianggap final
kecuali untuk perubahan entitas pelaporan atau untuk koreksi kesalahan
(Suwardjono, 2010:546).
56
adalah pedoman umum yang diberikan dalam APB No. 20 untuk memperlakukan
berbagai perubahan akuntansi (Suwardjono, 2010:547).
Perubahan Prinsip atau Metode Akuntansi
Perubahan ini misalnya adalah pergantian metode depresiasi dari persentase
nilai buku ke garis lurus atau sebaliknya. Perubahan dapat disebabkan oleh
terbitnya standar baru yang menetapkan penggunaan metode tertentu atau
menolak sama sekali metode tertentu. Misalnya saja, pelaporan sewa guna yang
harus menggunakan metode kapitalisasi untuk sewa guna yang memenuhi
kriteria kapitalisasi padahal sebelum adanya standar tersebut perusahaan
menggunakan metode sewa guna operasi. Perubahan peraturan pajak dapat
memicu perusahaaan untuk mengganti metode akuntansi. Misalnya, di amerika,
diperbolehkannya menggunakan metode MTKP dalam penilaian sediaan untuk
penentuan laba kena pajak membuat banyak perusahaan mengubah metode
penetuan kos sediaan dari MPKP ke MTKP (Suwardjono, 2010:547).
Dalam hal ini APB Opinion No 20 menganut penyesuaian sekarang
memperlakukan perubahan metode akuntansi. APB berargumen bahwa
konsistensi dalam penggunaan metode antar periode akan meningkatkan
manfaat statment keuangan. Perusahaan dapat mengganti metode akuntansi
kalau memang metode baru lebih baik dan efektif untuk melaporkan kejadian
yang masih akan tetap berlangsug di masa datang. Tentu saja perusahaan harus
memberi justifikasi yang kuat akan manfaat metode baru. Akan tetapi, metode
lama yang hanya diterapkan untuk suatu kejadian yang khusus atau tidak
berulang tidak selayaknya diganti (Suwardjono, 2010:547). Secara teknis,
perlakukan tersebut dilaksanakan sebagai berikut:
a. Statment keuangan beberapa periode sebelum perubahan disertakan dalam
perlaporan seperti apa adanya untuk tujuan perbandingan.
b. Pengaruh kumulatif perubahan terhadap laba ditahan awal periode sekarang
dilaporkan dalam statement laba rugi periode sekarang ( terjadinya
perubahan).
57
c. Pengaruh penggunaan metode baru terhadap laba sebelum pos luar biasa dan
terhadap laba bersih (termasuk EPS) untuk periode pergantian metode perlu
diungkapkan.
d. Laba sebelum pos-pos luar biasa dan laba bersih (termasuk EPS) yang
dihitung secara pro forma atas dasar metode baru harus ditunjukkan dalam
statement laba rugi untuk periode-periode yang disajikan seakan akan prinsip
baru telah diterapkan untuk periode periode tersebut (Suwardjono, 2010:548).
Perubahan Taksiran Akuntansi
Perubahan ini dapat terjadi sebagai akibat ditemukannya fakta baru atau
informasi baru atau akibat pengalaman tambahan yang diperoleh perusahaan
bersangkutan dengan taksiran tertentu. Contoh klasik adalah perubahan
taksiran umur fasilitas fisis setelah perusahaan menggunakannya dalam
beberapa periode akuntansi. Hal yang perlu dicatat adalah perubahan semacam
ini bukan merupakan kesalahan statement keuangan periode sebelumnya.
Untuk dapat dikatakan kesalahan, penyebab perubahan tersebut harus
memenuhi pengertian kesalahan seperti yang didefinisi dalam perbahasan
kesalahan. Perubahan taksiran biasanya berbeda dengan perubahan akuntansi.
Misalnya, pengurangan umur ekonomik suatu fasilitas fisis merupakan
perubahan taksiran sedangkan penggantian dari metode garis lurus ke metode
lain merupakan perubahan akuntansi walaupun kedua perubahan tersebut
mungkin menghasilkan jumlah rupiah dan pengaruh perubahan yang sama
terhadap laba (Suwardjono, 2010:549).
APB Opinion No. 20 paragraf 31 menentukan bahwa perubahan estimasi
diperlakukan sebagai penyesuaian sekarang dan prospektif yaitu pengaruh
perubahan diakui (1) pada periode perubahan kalau perubahan hanya
mempengaruhi periode tersebut atau (2) pada periode perubahan dan
mendatang kalau perubahan mempengaruhi kedua periode tersebut. Juga
ditetapkan bahwa perubahan estimasi hendaknya tidak diperlakukan sebagai
penyesuaian retroaktif atau pelaporan pro forma untuk periode lalu
Alasan perlakuan tersebut adalah perubahan estimasi merupakan hal yang
sering terjadi karena memang sifat yang melekat dalam akuntansi yang
58
memungkinkan digunakannya angka taksiran. Kalau selalu diadakan
penyesuian retroaktif, kepercayaan masyarakat terhadap statement keuangan
dapat berkurang (Suwardjono, 2010:549).
Perubahan Kesatuan / Subjek Pelaporan
Perubahan entitas pelaporan berarti perubahan organisasi atau lingkup
kesatuan usaha yang dilaporkan dalam statement keuangan. APB membatasi
perubahan entitas pelaporan pada hal-hal sebagai berikut :
1. Penyajian statement keuangan konsolidasian atau gabungan sebagai ganti
statement perusahaan secara individual.
2. Perubahan grup perusahaan anak yang dimasukan dalam statement
keuangan konsolidasian.
3. Perubahan grup perusahaan-perusahaan yang membentuk statement
keuangan (Suwardjono, 2010:549).
Termasuk pula sebagai perubahan entitas adalah kombinasi bisnis yang
dipertanggung jelaskan dengan metode penyatuan kepentingan. Ketentuan
perlakuan ini mengikuti penyesuaian retroaktif. Alasannya adalah perubahan
seperti itu jarang terjadi sehingga manfaat penyusunan kembali statement
keuangan sebelumnya masih dianggap cukup memadai dibandingkan dengan
kerepotannya. Disamping itu, perubahan semacam ini biasanya menyangkut
perubahan yang besar sehingga kesalahan dalam pengambilan keputusan dapat
mempunyai dampak ekonomi yang luas sehingga konsistensi dan statement
yang cukup teliti perlu disampaikan para pengambil keputusan (Suwardjono,
2010:550).
2.10.4. Kuasi-reorganisasi
Kuasi organisasi biasanya dilakukan dalam hal terjadinya suatu defisit.
PSAK No. 51 Pasal 9 mendeskripsikan pengertian kuasi-reorganisasi sebagai
berikut:
59
Kuasi-reorganisasi adalah reorganisasi, tanpa melalui reorganisasi secara hukum
yang dilakukan dengan menilai kembali akun-akun aktiva dan kewajiban pada nilai
wajar dan mengeliminasi saldo defisit.
60
terjadinya kuasi-reorganisasi harus mengungkapkan rincian jumlah yang
membentuk struktur modal yang baru (misalnya hasil penilaian kembali asset dan
kewajiban, agio/premium yang diciptakan, dan besarnya defisit yang diserap). Laba
ditahan sebelum reorganisasi tidak dapat diteruskan lagi dan laba ditahan dalam
neraca setelah reorganisasi harus diberi tanggal. Artinya, harus ditunjukkan bahwa
kalau terjadi laba ditahan maka laba ditahan tersebut terbentuk setelah tanggal
reorganisasi. Pengungkapan ini harus dilakukan sampai informasi tersebut tidak
cukup signifikan untuk diungkapkan. Accounting Research Buletin (ARB) No. 46
Paragraf 2 menyebutkan bahwa pemberian tanggal tersebut harus berlangsung
paling tidak 10 tahun kecuali keadaan menjustifikasi untuk mengungkapkan hal
tersebut kurang dari waktu tersebut (Suwardjono, 2010:551).
Dewan Standar Akuntansi menegaskan bahwa kuasi-reorganisasi bukan
sekedar cara untuk menyajikan kembali posisi keuangan yang lebih baik tetapi juga
cara untuk menyelamatkan perusahaan yang terbebani defisit yang material padahal
perusahaan tersebut memiliki prospek yang baik. Kalau prospek memang tidak
baik, defisit merupakan kegagalan perusahaan dan kepailitan merupakan hal yang
tidak dapat dihindari. Oleh karena itu Dewan Standar Akuntansi menetapkan
syarat-syarat perusahaan yang dapat melakukan kuasi-reorganisasi yaitu (PSAK
No. 51, Pasal 11):
(a) Perusahaan mengalami defisit dalam jumlah yang material.
(b) Perusahaan harus memiliki status kelancaran usaha dan memiliki prospek yang
baik pada saat kuasi-reorganisasi dilakukan.
(c) Perusahaan tidak sedang menghadapi permohonan kepailitan.
(d) Tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku.
(e) Saldo ekuitas sesudah kuasi-reorganisasi harus positif (Suwardjono,
2010:551).
61
jumlahnya cukup untuk menyerap rugi tertentu maka tidak akan timbul defisit
ditinjau dari segi neraca meskipun posisi kreditor menjadi kurang terjamin
dibandingkan dengan posisi sebelum terjadinya rugi. Kalau rugi melebihi laba
ditahan jaminan kreditor mula-mula yang berupa ekuitas pemegang saham menjadi
berkurang. Kalau sebagian ekuitas pemegang saham telah disisihkan sebagai agio
saham cukup untuk menyerap sisa rugi, maka jaminan penyangga bagi kreditor
akan terpengaruh juga. Kalau modal saham yuridis harus dikurangi untuk
membentuk agio yang cukup untuk menyerap defisit maka jelaslah ada pengerutan
elemen jaminan penyangga total mula-mula (original margin) yang menjadi dasar
utama kepercayaan kreditor dalam menanamkan dananya (Suwardjono, 2010:551-
552).
Proses pengurangan modal saham yuridis untuk menyerap defisit akan
mendekatkan posisi perusahaan pada garis batas yang menandai timbulnya hak
kreditor yaitu hak yang berkaitan dengan kesulitan keuangan (insolvency) debitor.
Arti pentingnya proses kuasi-reorganisasi akan sangat berpengaruh terhadap
kreditor bilamana ada petunjuk bahwa defisit secara berangsur-angsur menjadikan
jaminan penyangga bagi kreditor habis. Itulah sebabnya Dewan Standar Akuntansi
menetapkan bahwa hanya perusahaan yang prospeknya baik dapat melakukan
kuasi-reorganisasi (Suwardjono, 2010:552).
Yang jelas kuasi-reorganisasi tidak akan dilakukan kalau laba ditahan masih
dapat menyerap defisit. Bila kuasi-reorganisasi dilakukan padahal masih terdapat
laba ditahan, kuasi-reorganisasi semacam ini dapat menimbulkan distribusi asset
sebagai dividen padahal sebenarnya asset tersebut merupakan jaminan bagi kreditor
untuk pinjaman yang ditanamkan. Dengan kata lain, perusahaan mengumumkan
deviden dengan membebankannya terhadap modal pemegang saham yang menjadi
batas perlindungan kreditor (Suwardjono, 2010:552).
Kuasi-reorganisasi yang memenuhi syarat tidak dengan sendirinya
merugikan kreditor. Seperti juga pemegang saham, kreditor akan lebih dirugikan
oleh adanya rugi daripada oleh fleksibilitas penyesuaian modal. Akan tetapi,
dengan cara pengungkapan yang bagaimanapun, membiarkan laba ditahan tetap
62
utuh sementara rugi diserap dengan modal setoran merupakan perlakuan yang
menyesatkan bagi semua pihak yang berkepentingan (Suwardjono, 2010:552).
63
4. Premium modal saham. Bagian modal ini baru dapat menyerap rugi kalau laba
ditahan dan laba ditahan telah habis untuk menyangga suatu rugi. Dengan kata
lain, modal saham harus tetap dijaga keutuhannya sampai premium modal saham
benar-benar telah habis.
5. Modal saham. Bila keutuhan modal yuridis telah terpengaruh secara
substansial, kebijakan untuk melakukan kuasi-reorganisasi atau bahkan likuidasi
perusahaan mungkin diperlukan (Suwardjono, 2010:553).
Urutan penyerapan rugi seperti diatas sebenarnya merupakan asumsi atau
tradisi semata-mata walaupun hal tersebut dapat dikuatkan dalam bentuk standar
akuntansi. Hal ini didasarkan pada pikiran bahwa berbagai dana yang ditanamkan
menjadi aset perusahaan akan lebur menjadi begitu lumatnya menjadi satu kesatuan
aset. Jika demikian, rugi timbul akibat keseluruhan kegiatan yang didanai dari
berbagai sumber. Oleh karena itu, sebenarnya tidak mungkin lagi menyatakan
bahwa rugi berkaitan dengan sumber dana tertentu (laba bersih, laba ditahan, atau
modal) (Suwardjono, 2010:553).
Walaupun demikian, atas dasar sifat pendanaan (financing dan operasi
perusahaan serta penekanan konsep kontinuitas, cukup valid untuk menganggap
bahwa dalam kelompok modal pemegang saham, modal saham atau yuridis adalah
bagian terakhir (residual) dalam kaitannya dengan penyerapan rugi (Suwardjono,
2010:553).
Penempatan laba bersih di atas laba ditahan untuk menyerap rugi dilandasi
oleh alasan untuk mencegah kecenderungan manajemen untuk melaporkan rugi
secara terpisah dari statment laba-rugi dan langsung membebankan ke kelompok
modal pemegang saham. Alasan tersebut juga menjadi argumen untuk
memunculkan konsep laba komprehensif. Dengan konsep ini, semua rugi dalam
bentuk dan jenis apapun dimasukkan dalam statment laba-rugi tahun terjadinya atau
tahun dapat diakuinya rugi tersebut (Suwardjono, 2010:554).
Urutan penyerapan rugi seperti diatas juga dapat diapndang sebagai urutan
menikmati untung. Dengan demikian, semua untung luar biasa (selain yang timbul
akibat transaksi saham perusahaan) harus dimasukkan sebagai unsur dalam
mengukur laba bersih sebelum dipindahkan ke laba ditahan. Kalau laba luar biasa
64
langsung ditambahkan ke laba ditahan dikhawatirkan bahwa pengaruhnya terhadap
laba akan terlewatkan. Oleh karena itu, tidak selayaknyalah kalau untung langsung
ditambahkan ke laba ditahan atau premium modal saham tanpa melalui statment
laba-rugi (Suwardjono, 2010:554).
65
menguntungakan maupun yang merugikan. Meskipun demikian, dalam perusahaan
yang besar yang pemgang saham biasanya berkedudukan seperti kreditor yaitu
menyediakan dana tanpa mengurus langsung penggunaan dana tersebut, tentu saja
cukup beralasan untuk menganggap bahwa ada semacam perlindungan berupa
prospek perusahaan yang cerah disamping tanggung jawab yang terbatas pada
modal yang disetor. Tanpa harapan atau perlindungan ini tentunya akan sedikit
yang bersedia menjadi pemegang saham biasa (Suwardjono, 2010:556).
Perlindungan diatas secara umum juga menjadi basis penyajian kewajiban
dan ekuitas dalam neraca. Jadi, cukup beralasanlah kalau kewajiban disajikan lebih
dahulu baru kemudian ekuitas pemegang saham (Suwardjono, 2010:556).
Hubungan antara urutan penyerapan rugi dan urutan perlindungan yang terrefleksi
dalam penyajian di neraca dilukiskan dalam gambar di bawah ini.
Gambar 2.2
Penyajian Secara Umum Kewajiban dan Ekuitas dalam Neraca
Dan Hubungannya Dengan Urutan Perlindungan
Kewajiban
Laba ditahan
66
memerincinya atas dasar tujuan (by purposes) dengan cara yang disebut apropriasi
(appropriation) dan pembatasan (restriction) (Suwardjono, 2010:555).
67
pikiran tersebut, kalau terjadi tambahan fasilitas fisis tanpa diimbangi dengan
terjadinya pinjaman baru, modal baru, atau berkurangnya modal kerja, terdapat pula
cukup alasan untuk menyatakan bahwa laba ditahan telah tertanam dalam aset tetap
(Suwardjono, 2010:556).
Perincian semacam itu sebenarnya tidak perlu dan tidak mempunyai
manfaat informasional karena statment aliran kas telah mengandung informasi
tersebut. Jadi, penyertaan statment laporan aliran kas lebih memenuhi tujuan
pelaporan daripada perincian resmi dalam laba ditahan dengan sebutan misalnya
“cadangan ekspansi” (Suwardjono, 2010:556).
Ada kalanya, dalam rangka kebijakan dividen, perusahaan yang mempunyai
rencana membagi dividen menyisihkan laba ditahan menjadi “cadangan pembagian
dividen” sebelum mengumumkan dividen. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa
dividen tersebut harus dibayar dengan kas. Penyisihan tersebut sebenarnya tidak
menjamin bahwa kas tersedia untuk keperluan tersebut. Contoh yang sangat
popouler adalah banyaknya perseroan amerika yang mampu membayar dividen
selama periode depresi pada awal-awal tahun 30an karna adanya akumulasi laba
selama periode ledakan (boom) kegiatan ekonomi pada tahun tahun 20an. Jadi
sebenarnya tidak benar untuk beranggapan bahwa dividen yang dibayar pada
periode berjalan adalah berasal dari laba yang diperoleh pada periode tersebut. Oleh
karena itu, Paton dan Littleton (1970) menegaskan bahwa penyisihan laba ditahan
sebenarnya tidak bermakna (meaning ful) (Suwardjono, 2010:556).
Selanjutnya dinyatakan bahwa penyisihan hanya akan bermakna bila di sisi
aset disisihkan benar-benar sejumlah rupiah untuk tujuan penyisihan tersebut.
Misalnya, disisihkannya laba ditahan untuk jaminan sosial mungkin akan
bermanfaat kalau sejumlah kas disisihkan untuk keperluan tersebut. Akan tetapi,
penyisihan kas itu sendiri sebenarnya sudah cukup untuk menunjukkan bahwa aset
tidak dapat digunakan untuk keperluan selain yang telah ditetapkan sehingga laba
ditahan tidak perlu disisihkan. Penyisihan laba ditahan akan berlebihan secara
informasional (Suwardjono, 2010:556-557).
Penyisihan laba ditahan sebagai cadangan khusus akan cenderung memberi
gambaran yang menyesatkan kepada para pembaca statment keuangan. Istilah
68
“cadangan” memberi kesan sebagai dana kas atau semacamnya yang disihkan
(dihimpun) untuk tujuan khusus. Pada kenyataannya, biasanya tidak ada dana (kas
dan aset lainnya) yang benar-benar dipisahkan yang jumlahnya sama dengan
jumlah “cadangan” laba ditahan yang dibentuk bahkan kadang-kadang tidak pernah
atau akan terjadi investasi atau pengeluaran dana seperti yang disebut dengan nama
cadangan laba ditahan tersebut. Jadi, pencadangan semacam itu akan percuma saja
(Suwardjono, 2010:557).
Paton dan Littleton beragumen bahwa tidak diperlukannya perincian Laba
ditahan karena laba ditahan pada dasarnya tidak lebih daripada sebagai bagian hak
pemegang saham atas dana yang tertanam dalam seluruh aset sebagai kesatuan
sehingga tidak diperlukan perincian laba ditahan. Jumlah rupiah laba ditahan tidak
dapat diidentifikasi atas dasar ke jenis aset apa jumlah rupiah tersebut terikat.
Seperti juga modal setoran, laba ditahan terikat dalam aset sebagai satu kesatuan.
Ini berarti bahwa setiap bentuk klasifikasi laba ditahan atas dasar untuk apa jumlah
rupiah laba ditahan digunakan dalam perusahaan adalah bersifat hipotesis belaka
dan sama sekali tidak bermakna (Suwardjono, 2010:557).
Bentuk lain penyisihan adalah untuk tujuan penyerapan kemungkinan rugi
atau ketidakpastian lainnya (contingencies). Penyisihan ini juga tidak bermakna
karena pada dasarnya total jumlah rupiah laba ditahan dapat dipandang sebagai
penyangga atau cadangan umum (general purpose buffer). Kalau memang terdapat
suatu tuntutan ganti rugi atau klaim yang suatu saat memang harus dipenuhi maka
jumlah rupiahnya (bila perlu ditaksir) harus ditunjukkan sebagai kewajiban. Kalau
ketidakpastian tersebut tidak lebih dari sekedar kemungkinan dan khususnya
apabila jumlah rupiah kerugiannya tidak dapat ditentukan maka suatu catatan kaki
akan cenderung lebih informative daripada penyisihan laba ditahan (Suwardjono,
2010:557).
Proses penyisihan laba ditahan hendaknya tidak dikacaukan dengan proses
akuntansi untuk pengukuran laba. Dengan demikian masalah cadangan laba ditahan
harus dibedakan secara tegas dengan masalah teoritis yang berkaitan dengan akun-
akun “cadangan” utang (misalnya diskun utang obligasi), “cadangan” aset
(misalnya depresiasi akumulasian), cadangan kerugian piutang, dan akun-akun
69
cadangan lainnya sebagai kontra-akun asset atau kewajiban (Suwardjono,
2010:557).
70
luar kendali manajemen harus dikeluarkan dari perhitungan laba. Ini berarti, laba
yang harus disajikan dalam statment laba-rugi adalah laba yang berasal dari
operasi normal.
3. Laba harus dapat digunakan untuk melakukan perbandingan antar perioda dan
antar perusahaan secara bermakna. Hal ini hanya dapat dilakukan kalau angka
laba hanya berisi pos-pos yang bersifat operasi dan rutin.
4. Karena fiksasi fungsional (functional fixation) pembaca statment laba-rugi yang
hanya melihat angka akhir, pemasukan pos-pos luar biasa dalam statment laba-
rugi dapat menyesatkan pemakai (Suwardjono, 2010:558).
71
2.13.3. Alasan Mendasar
Paton dan Littleton (1970) mengajukan argumen mendasar dalam
mendukung pendekatan laba semua-termasuk yaitu konsep pemanfaatan aset (asset
utilization). Konsep ini memandang bahwa manajemen mengelola aset sebagai satu
kesatuan. Dari segi pemanfaatan, sebenarnya tidak dapat dipisahkan antara aset
keuangan dan aset tetap sehingga keduanya mempunyai pengaruh yang sama
terhadap laba. Lawan dari konsep pemanfaatan aset adalah konsep aset kapital
(capital asset). Konsep ini membedakan aset kapital (yang terdiri atas aset tetap
fisis) dan aset lainnya sehingga pengaruh transaksi aset kapital (terutama yang luar
biasa) terhadap laba harus berbeda dengan transaksi aset lainnya. Berikut ini
dibahas argumen Patton dan Littleton mengenai pemanfaatan aset (Suwardjono,
2010:559).
72
menghasilkan barang atau jasa untuk mendatangkan laba. Dalam hal ini, aset atau
sumber ekonomik akan berkurang dengan terjadinya kos produksi, biaya, dan rugi,
serta akan bertambah dengan terjadinya pendapatan, laba, dan untung luar biasa.
Penggunaan aset yang kedua adalah untuk dijadikan jaminan kontrak utang atau
pendanaan dan untuk alat pelunasan kontrak tersebut. Dalam hal ini, aset akan
berkurang dengan dibayarnya utang dan dikembalikannya modal dan akan
bertambah dengan adanya pinjaman atau modal baru. Karena perbedaan mendasar
ini, perubahan akibat pemanfaatan aset untuk tujuan yang berbeda ini harus
dipisahkan dengan tegas dan jelas tetapi harus tetap dalam kategori perubahan
akibat transaksi operasi (nonpemilik). Dengan kata lain, perubahan tersebut harus
dilaporkan melalui statment laba-rugi (Suwardjono, 2010:560).
Membatasi statment laba-rugi hanya menyajikan laba normal sama saja
dengan mengeluarkan sebagian perubahan akibat pemanfaatan aset untuk tujuan
produktif. Pemisahaan tersebut mempunyai akibat pembebanan langsung ke laba
ditahan perubahan aset yang sebenarnya merupakan transaksi operasi yaitu
transaksi pemanfaatan aset untuk tujuan produktif. Pemisahaan tersebut
mengurangi manfaat pelaporan yang menunjukkan keefektifan manajemen dalam
memanfaatkan aset dan berkuranglah fungsi statment laba-rugi yang sebenarnya
(Suwardjono, 2010:560).
Bukan berarti bahwa informasi tentang laba normal tidak penting. Yang
menjadi masalah adalah usaha untuk mengungkapkan hal tersebut tidak harus
menggunakan cara yang malahan dapat menimbulkan salah interpretasi akibat
tersembunyinya pos-pos yang mempunyai pengaruh operasi perusahaan dalam
jangka panjang. Di samping itu, perlakuan akuntansi terhadap rugi dan untung luar
biasa hendaknya tidak didasarkan atas kehendak atau selera manajemen tetapi lebih
didasarkan atas pertanyaan tentang apakah perubahan aset berkaitan dengan
transaksi operasi dalam menyelenggarakan perusahaan ataukah berkaitan dengan
transaksi modal (Suwardjono, 2010:560).
Memang ada perbedaan antara biaya dan rugi (expenses and losses), dan
antara laba dan untung luar biasa (income and special gains) tetapi juga ada
kesamaannya (similarities) yang mendasar yaitu semuanya merupakan perubahan
73
akibat pemanfaatan aset untuk tujuan produktif. Bagi para pemakai statment
keuangan, justru kesamaan mendasarlah yang lebih penting daripada perbedaannya.
Kemungkinan kesalahan interpretasi akan lebih besar dalam pelaporan terpisah
daripada dalam pelaporan komprehensif (Suwardjono, 2010:560).
Kekhawatiran bahwa pemakai akan salah interpretasi kalau laba normal
tidak ditonjolkan tidak beralasan lagi. Bukan zamannya lagi bahwa statment
keuangan harus disusun untuk orang awam yang hanya membaca sambil lalu angka
pada baris terakhir statment laba-rugi dan tidak lebih dari itu. Yang diperlukan
sekarang adalah statment keuangan yang memungkinkan untuk ditelaah dan
dianalis oleh ahli yang mempunyai pengetahuan tentang kegiatan bisnis dan
ekonomik serta bersedia untuk belajar dengan cukup tekun (willing to study the
information with reasonable diligence). Dalam kenyataannya, para investor lebih
bergantung pada hasil analisis para ahli atau analis profesional daripada pada hasil
keputusannya sendiri yang didasarkan atas interpretasi yang naif terhadap statment
keuangan perseroan (Suwardjono, 2010:560).
74
modal oleh investor karena jenis aset tertentu secara umum tidak dapat ditelusuri
dengan pasti asal sumber dananya. Dengan kata lain, jumlah rupiah dana melekat
dan campur jadi satu (commingled) dalam aset secara keseluruhan. Dengan dasar
pikiran ini, tidaklah dapat dibenarkan untuk menggolongkan laba atau rugi tertentu
sebagai ”rugi kapital” (capital loss) yang sebenarnya tidak lebih daripada laba atau
rugi biasa lantaran pemanfaatan aset (Suwardjono, 2010:561).
Lebih lanjut dikemukakan bahwa atas dasar konsep kontinuitas usaha,
fluktuasi periodik dalam pendapatan, biaya, dan laba bersih tidak dapat dihilangkan
atau diratakan atas dasar kehendak manajemen walaupun sampai tingkat tertentu
fluktuasi tersebut dapat diantisipasi oleh manajemen yang tajam dalam melihat
masa depan. Apapun jadinya, manajemen hanya dapat mengharapkan untuk berbuat
lebih baik di masa mendatang. Namun, kenyataan yang merefleksi kebijakan pada
masa yang lalu harus tetap ditunjukkan dengan jelas seperti apa adanya kepada
pemakai yang menggantungkan diri pada statment keuangan. Oleh karena itu,
pemakai harus diyakinkan bahwa serangkaian statment laba-rugi beberapa perioda
yang lalu dapat mengungkapkan seluruh kemampuan manajemen dalam
memanfaatkan (the administration or utilization of assets) yang dipercayakan
kepadanya. Jadi, kebijakan masa yang lalu yang ternyata keliru setelah adanya fakta
yang baru dan relevan akan diakui secara jujur dan pengaruhnya akan dilaporkan
dengan jelas di statment laba-rugi dan bukannya disembunyikan sebagai penyesuai
laba ditahan (Suwardjono, 2010:561).
Uraian di atas melandasi pendekatan laba semua-termasuk yaitu bahwa
semua faktor penentu dalam pengukuran laba periodik dalam arti luas termasuk
faktor luar biasa dan tidak rutin harus dilaporkan dalam statment laba-rugi sebelum
hasil bersihnya dipindahkan ke kelompok modal pemegang saham di neraca.
Berikut ini adalah argumen yang diajukan oleh Hendriksen dan Van Breda (1992,
halaman. 327) dan sumber lainnya yang mendukung pendekatan laba semua –
termasuk dalam menyajikan statement laba rugi (Suwardjono, 2010:561).
1. Secara teknis, penggunggungan laba tahunan selama umur perusahaan harus
sama dengan laba total perusahaan. Bukti empiris menunjukan bahwa rugi-rugi
luar biasa yang terjadi sepanjang umur perusahaan pada umunya melebihi
75
untung-untung luar biasa. Oleh karena itu, bila pos-pos luar biasa dikeluarkan
dari perhitungan laba tahunan, akan terjadi penyajian lebih (overstatement) laba
tahunan sepanjang beberapa tahun.
2. Pengeluaran pos-pos non pemilik dari perhitungan laba memberi kesempatan
kepada manajamen untuk melakukan manipulasi atau manajamen laba. Bukti
empiris menunjukan karena berbagai alasan manajamen memang melakukan
manajamen laba (earnings manajamen)
3. Tidak selalu mudah untuk menentukan apakah suatu pos bersifat operasi atau
non operasi, reguler / tak reguler, normal atau tak normal dan biasa atau luar
biasa. Dalam banyak hal pemisahan hal tersebut lebih didasarkan pada
pertimbangan subjek dan arbitrer. Dengan pendekatan semua – termasuk,
penentuan laba periodik akan menjadi lebih obyektif karena tidak diperlukan
pertimbangan personal (personal judgments) untuk menentukan pos-pos mana
masuk statement laba rugi dan pos-pos mana masuk statement laba ditahan.
4. Dengan memasukan semua pos-pos yang berasal dari transaksi non pemilik dan
dengan pengungkapan yang layak, pemakai laporan yang mempunyai
keleluasaan untuk mereklasifikasi dan menentukan sendiri laba antara yang
dianggap berpaut dan bermanfaat pemanggilan keputusan.
5. Berkaitan dengan argumen tiga, pengertian operasi perusahaan harus
diinterpretasi dalam perspektif yang luas tidak terbatas pada kegiatan produksi
dan penjualan produk utama. Apa yang dianggap sebagai non operasi atau luar
biasa untuk perusahaan yang satu dapat menjadi hal yang sangat rutin atau biasa
bagi perusahaan yang lain. Bila jumlah rupiah dipakai sebagai dasar untuk
memisahkan antara operasi/biasa dan non operasi/luar biasa, dapat terjadi suatu
pos yang dilaporkan sebagai operasi untuk periode tertentu (masuk statement
laba rugi) akan menjadi non operasi untuk periode lainnya (masuk statement laba
ditahan). Jadi, pemisahan semacam itu akan menimbulkan inkonsistensi
pelaporan laba (Suwardjono, 2010:562).
Atas dasar argumen-argumen di atas, FASB menganut pendekatan laba
semua termasuk secara penuh dalam penentuan dan penyajian laba hal ini
terrefleksi dalam pendefinisian laba komprehensif sebagai salah satu elemen
76
statement keuangan. Laba komprehensif didefinisi sebagai perubahan ekuitas
selama periode yang berasal dari sumber-sumber non pemilik (Suwardjono,
2010:562).
77
Dengan pendekatan semua termasuk, FASB memperluas cakupan laba yang
meliputi apa yang sebelumnya disebut dengan pos-pos penerobos (bypassing
items). Pos-pos penerobos adalah pos-pos yang dilaporkan langsung dalam
statement laba ditahan tanpa melalui statement laba rugi. Contoh pos-pos ini antara
lain adalah laba menahan/penahanan atau laba fluktuasi harga belum terealisasi
(unrealized holding gains) dan penyesuaian penjabaran mata uang asing (foreign
currency transaction adjustments). Selain kedua pos ini, FASB juga mengantisipasi
adanya pos-pos lain yang merepresentasi perubahan ekuitas non pemilik yang harus
dilaporkan melalui statement laba rugi (Suwardjono, 2010:563).
Pada nomor 6 dan 7 dalam komponen-komponen pembentuk statemen
laba-rugi juga dikategori sebagai komponen perubahan ekuitas nonpemilik dan
keduanya disebut pengaruh kumulatif perubahan akuntansi atau penyesuaian
kumulatif akuntansi (cumulative accounting adjustments) sehingga pos-pos selain
yang masuk dalam kategori ini disebut dengan perubahan ekuitas nonpemilik
lainnya (other nonowner changes in equity). Karena pada nomor 1 sampai 8
semuanya masuk dalam statment laba-rugi, angka bersih yang diperoleh disebut
oleh FASB dengan laba komprehensif (comprehensive income). Tujuan
dimasukkannya nomor 8 dalam statment laba-rugi adalah untuk mencegah
penyembunyian atau penghilangan (omissions) secara diskresioner pos-pos laba
atau rugi tertentu dari statment laba-rugi. Dengan kata lain, tujuannya adalah
mencegah penyalahgunaan (abuse) (Suwardjono, 2010:564).
Sebelum SFAC Nomor 6 diterbitkan, komponen yang masuk dalam
statement laba rugi semua-termasuk hanyalah komponen 1-7 dan angka bersihnya
disebut laba bersih (net income). Dalam SFAC Nomor 6, Komponen 6 dan 7
dikeluarkan dari laba bersih dan dilaporkan sebagai perubahan ekuitas nonpemilik
dan angka bersih yang diperoleh dari nomor 1 sampai 5 disebut dengan laba periode
(earnings) dan laba periode setelah nomor 6 dan 7 disebut laba periode bersih (net
earnings) atau tetap laba bersih. Bila terjadi rugi, laba komprehensif menjadi rugi
komprehensif. Laba komprehensif dapat disebut pula perubahan ekuitas
nonpemilik total (total nonowner changes in equity) (Suwardjono, 2010:564).
78
Terdapat dua pendekatan penyusunan statment laba-rugi untuk menyajikan
nomor 1 sampai 8. Pendekatan satu-statemen (one-statement approuch)
menyajikan kedelapan komponen tersebut dalam satu statment yang diberi judul
statment laba-rugi dan laba-rugi komprehensif (statement of income and
comprehensive income). Pendekatan dua-statemen memisahkan pelaporan
komponen 1 sampai 7 dalam statment laba-rugi (statement of income) dan
menyajikan pengaruh komponen 8 terhadap laba perioda bersih dalam statment
laba-rugi komprehensif (statement of comprehensive income). Untuk memberi
gambaran secara lengkap konsep laba komprehensif, gambar 2.4 dihalaman
berikutnya menyajikan contoh penyusunan statement laba rugi dengan pendekatan
dua statement. (Suwardjono, 2010:564).
Berikut ini adalah contoh Penyajian Statment Laba-Rugi Komprehensif
Pendekatan Dua Statment:
Gambar 2.4
Penyajian Statment Laba-Rugi Komprehensif Pendekatan Dua Statment
PT ABC
Statment Laba-Rugi
Untuk Tahun Berakhir 31 Desember 200X
(dalam rupiah)
Pendapatan / Penjualan 51.680.000
Kos barang terjual (28.430.000)
Laba kotor penjualan 23.250.000
Biaya penjualan dan administratif (12.500.000)
Laba dari operasi utama 10.750.000
Pendapatan lainnya dan untung 1.630.000
Biaya lainnya dan rugi (795.000) 835.000
Laba dari operasi berlanjut, sebelum pajak 9.915.000
Pajak penghasilan (2.225.000)
79
Laba dari operasi berlanjut 7.690.000
(income from continuing operations)
Operasi hentian, setelah pajak (290.000)
Laba sebelum pos ekstraordiner dan pengaruh 7.400.000
kumulatif perubahan akuntansi
Pos-pos ekstraordiner, setelah pajak 150.000
Laba perioda (earnings) 7.550.000
Pengaruh kumulatif perubahan akuntansi, setelah pajak 365.000
Laba perioda bersih (net earnings) / laba bersih 7.915.000
PT ABC
Statment Laba-Rugi Komprehensif
Untuk Tahun Berakhir 31 Desember 200X
(dalam rupiah)
Laba perioda bersih 7.915.000
Perubahan ekuitas nonpemilik lainnya:
Penyesuaian penjabaran mata uang asing 314.500
Untung belum terealisasi atas sekuritas 56.500 371.000
Laba komprehensif 8.286.000
80
masuk komponen 5, apakah pos tersebut takbiasa atau luar biasa. Kriteria unutk
mengklasifikasi suatu kejadian atau transaksi yang membentuk pos-pos luar biasa
yaitu :
a. ketakbiasaan (unusual nature)
b. ketakseringan keterjadian (infrequency of occurence)
c. materialitas (materiality) (Suwardjono, 2010:565).
Untuk mengkategori suatu kejadian atau transaksi ke dalam pos luar biasa,
ketiga karakteristik tersebut harus dipenuhi. Ketakbiasaan berarti bahwa kejadian
atau transaksi yang melandasi suatu pos mempunyai tingkat keabnormalan yang
tinggi dan harus jelas-jelas merupakan jenis yang sama sekali tidak berkaitan atau
hanya berkaitan secara insidental dengan kegiatan perusahaan dalam konteks
lingkungan beroperasinya perusahaan. Ketakseringan keterjadian/terjadinya berarti
bahwa kejadian atau transaksi yang melandasi suatu pos merupakan jenis yang
bukan harapan umum atau yang tidak diantisipasi akan terjadi di masa datang dalam
konteks lingkungan beroperasinya perusahaan (Suwardjono, 2010:566).
Materialitas berarti bahwa kejadian atau transaksi yang melandasi suatu pos
harus diklasifikasi secara terpisah sebagai pos luar biasa hanya kalau jumlah yang
terlibat material dalam kaitannya dengan atau relatif terhadap angka laba sebelum
pos luar biasa, kecenderungan (trend) laba periode sebelum pos luar biasa, atau
ukuran materialitas yang lain (Suwardjono, 2010:566). Bila suatu pos material
tetapi hanya memenuhi kriteria a atau b, tidak dapat diklasifikasi sebagai pos luar
biasa. Hal ini dinyatakan dalam APBO No. 30 paragraf 23 sebagai berikut:
Certain gains and losses should not be reported as extraordinary items
because thet are usual in nature or may be expected to recur as a consequence of
customary and continuing business activities.
Contoh pos-pos yang dapat dimasukkan dalam kategori ini misalnya adalah
penghapusan piutang, sediaan, serta kos riset dan pengembangan; untung atau rugi
penjabaran valuta asing termasuk akibat devaluasi atau revaluasi; untung atau rugi
pelepasan segmen bisnis; untung atau rugi penjualan aset fisis; efek pemogokan;
dan penyesuaian akrual atas kontrak jangka panjang. Intinya, pos-pos material yang
tak biasa atau taksering, tetapi tidak keduanya, masuk dalam kategori ini. Mereka
81
dilaporkan dalam seksi/komponen terpisah di atas pos ekstraordiner. Dapat juga
dilaporkan dalam seksi operasi tambahan kalau jumlahnya tidak material
(Suwardjono, 2010:566).
Secara umum dapat disimpulkan bahwa pos-pos takregular dilaporkan
seperti pada contoh di atas. Pos-pos material yang tidak memenuhi kriteria
ekstraordiner dilaporkan terpisah antara seksi operasi hentian dan seksi pos
ekstraordiner. Di bawah ini melukiskan kaidah keputusan untuk menyajikan semua
pos atau komponen pembentuk statemen laba-rugi komprehensif (Suwardjono,
2010:567).
82
Gambar 2.5
Pedoman Penyajian Pos-Pos Pembentuk Statment Laba-Rugi
pos utama
(1) seksi operasi utama
ya
Regular Utama
? atau
tambahan
(2) seksi operasi tambahan
tidak
tidak
Material
?
ya
Takbiasa atau tak sering
Dilaporkan terpisah sebelum
pos-pos luar biasa
Takbiasa
&
Takbiasa & taksering
tak (5) pos-pos luar biasa
83
Dalam PSAK No.1, Dewan Standar Akuntansi menetapkan bahwa statemen
laba-rugi harus disajikan sedemikian sehingga mengungkapkan berbagai unsur
kinerja keuangan yang bermanfaat bagi pemakainya. Oleh karena itu, statemen
laba-rugi minimal harus menyajikan dan menonjolkan hal-hal berikut :
a. pendapatan
b. laba atau rugi usaha
c. biaya pinjaman
d. bagian dari laba atau rugi perusahaan terafiliasi dan terasosiasi yang
diperlakukan dengan metode ekuitas
e. pajak penghasilan
f. laba atau rugi dari aktivitas normal perusahaan
g. pos luar biasa
h. hak minoritas
i. laba atau rugi bersih perioda berjalan (Suwardjono, 2010:568).
Ketentuan tersebut bersifat umum dan berlaku untuk perusahaan jasa,
perdagangan, maupun pemanufakturan. Butir b sebenarnya adalah laba antara
setelah pendapatan atau butir a dikurangi dengan biaya-biaya usaha. PSAK no 1
menetapkan bahwa penyajian biaya-biaya usaha dapat menggunakan klasifikasi
(format) atas dasar sifat biaya atau fungsi biaya (Suwardjono, 2010:568).
IAI sendiri tidak secara eksplisit menentukan apa saja yang harus masuk
dalam statment laba-rugi. Jadi, tidak ada ketentuan yang tegas tentang penyajian
statement laba rugi sehingga dapat ditentukan apakah statement laba rugi versi IAI
mengikuti konsep laba semua-termasuk versi FASB (laba komprehensif) atau
konsep laba semua-masuk versi pra-SFAC atau konsep yang lain. Yang jelas, versi
laba komprehensif memasukkan ke dalam statment laba-rugi semua komponen
perubahan ekuitas nonpemilik. Dalam ’Komponen-Komponen Pembentuk
Statemen Laba-Rugi’ di atas, komponen 1 sampai 7 pada dasarnya merupakan
komponen perubahan ekuitas nonpemilik sedangkan komponen 8 merupakan
komponen perubahan ekuitas nonpemilik selain 1 sampai 7 sehingga disebut other
nonowner changes in equity. Termasuk dalam komponen 8 adalah pos-pos
penerobos yang masuk pula dalam statemen laba-rugi komprehensif. Telah
84
disinggung alasan pemasukan pos-pos ini adalah untuk mengantisipasi
perkembangan masa datang dan untuk menghindari penyalahgunaan dalam bentuk
manajemen laba (Suwardjono, 2010:568). Namun demikian, faktor atau perubahan
ini dapat menimbulkan masalah penyajian. FASB menyatakan hal ini sebagai
berikut :
Those factors sometimes may conflict or appear to conflict. For example,
an all inclusive income statement is intended, among other things, to avoid
discretionary omissions of losses (or gains) from an income statement, there by
avoiding presentation of more (or less) favorable report of performance or
stewardship than is justified. However, because income statements also are used as
a basis for estimating future performance and assessing future cash flow prospects,
arguments have been advanced urging exclusion of unusual or nonrecurring gains
and losses that might reduce the usefulness of an income statement for any one year
for predictive purposes.
Jadi, di satu pihak statement laba rugi harus menunjukan kinerja periode dan
di lain pihak statement laba rugi harus memasukan pos-pos untuk menghindari
penyalahgunaan. Itulah sebabnya FASB memperluas konsep semua-termasuk (all
in inclusive) dengan membedakan dan menciptakan konsep laba periode (earnings),
laba bersih periode (net earnings) dan laba komprehensif (comprehensive income)
(Suwardjono, 2010:569).
Dalam PSAK no.25, IAI mengenalkan konsep laba atau rugi dari aktivitas
normal yang dalam PSAK no.1 disebut sebagai laba atau rugi usaha. Konsep ini
sama dengan konsep FASB yang disebut laba dari operasi berlanjut. PSAK no.25
juga mengenalkan konsep laba atau rugi untuk perioda berjalan yang merupakan
angka bersih dari komponen berikut:
a. laba atau rugi dari aktivitas normal, dan
b. pos luar biasa (Suwardjono, 2010:569).
Dari uraian dalam PSAK no.25 dapat dikatakan bahwa laba atau rugi untuk
perioda berjalan setara dengan konsep laba perioda (earnings) yang dikemukakan
FASB. Dapat dikatakan demikian karena komponen operasi hentian (operasi yang
tidak dilanjutkan) dalam PSAK no.25 dapat diperlakukan sebagai pos aktivitas
85
normal atau pos luar biasa bergantung pada kondisi yang melingkupi (Suwardjono,
2010:569).
Konsep aktivitas normal yang digunakan IAI tampaknya digunakan untuk
menunjuk apa yang oleh FASB disebut komponen regular sehingga yang tidak
masuk dalam komponen aktivitas normal dapat disebut sebagai komponen
takregular. Walaupun demikian, pengertian pos luar biasa menurut PSAK no.25
tampaknya lebih luas daripada pengertian menurut FASB. Hal ini terlihat dari
ketentuan bahwa komponen operasi hentian dan perubahan estimasi akuntansi
dimungkinkan untuk dilaporkan sebagai pos luar biasa (pasal 20 dan 28).
Berikut ini merupakan ringkasan perlakuan terhadap komponen-komponen
takregular dalam PSAK no.25 dan cara penyajiannya.
Gambar 2.6
Komponen-Komponen Takregular dalam PSAK no.25 dan Penyajiannya
86
Perubahan estimasi akuntansi Komponen laba-rugi. Disajikan dalam
perioda terjadinya dan perioda akan datang
atau prospektif (bila perlu) ditambah
pengungkapan dalam catatan kaki mengenai
hakikat perubahan. Disajikan dalam
klasifikasi yang sama dengan yang digunakan
sebelumnya untuk estimasi yang
bersangkutan.
Kesalahan mendasar Penyesuai laba ditahan dengan kewajiban
penyesuaian retrospektif bila dipandang
praktis ditambah pengungkapan dalam
catatan kaki tentang hakikat dan informasi
lain yang berpaut.
Komponen laba-rugi bila kesalahan tidak
mendasar.
Perubahan kebijakan akuntansi Penyesuai laba ditahan secara retrospektif
atau prospektif ditambah pengungkapan
tentang alasan perubahan dan informasi lain
yang berpaut.
87
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari pembahasan yang telah dipaparkan di bab 2 adalah sebagai
berikut:
1. Konsep kesatuan usaha memisahkan secara fisis dan konseptual antara
manajemen dan pemilik. Ekuitas pemegang saham (ekuitas) menggambarkan
hubungan yuridis antara perseroan dengan para pemegang saham. Ekuitas
pemegang saham terdiri atas dua komponen penting yaitu modal setoran dan
laba ditahan. Modal setoran dipecah menjadi modal yuridis dan modal setoran
lain (Suwardjono, 2010:570).
2. Teori ekuitas terdiri dari : teori proprietary, teori entitas, teori ekuitas residual,
teori enterprise, teori dana, dan posisi FASB adalah menganut teori ekuitas
residual.
3. Ekuitas didefinisikan secara sintatik sebagai hak residual atas aset perusahaan
setelah dikurangi semua kewajiban. Ekuitas terpaksa didefinisi secara sintatik
bukan sematik karena keperluan untuk mempertahankan artikulasi statment
keuangan. Ekuitas mengandung makna pemilikan. Oleh karena itu, untuk
organisasi nonbisnis ekuitas sering disebut aset bersih (Suwardjono,
2010:571).
4. Ekuitas berbeda dengan kewajiban dalam 3 hal yaitu hak atas penyelesaian
klaim, hak penggunaan aset, dan substansi perjanjian (yuridis). Walaupun
demikian, atas dasar konsep kesatuan usaha kreditor dan investor dipandang
sebagai pihak luar perusahaan yang terpisah dari manajemen (Suwardjono,
2010:571).
5. Modal setoran perlu dibedakan dengan laba ditahan karena modal setoran
merupakan suatu bentuk kontrak yuridis yang harus dipertahankan
keutuhannya sedangkan laba ditahan merupakan modal yang tercipta atau
terhimpun karena pemanfaat aset. Modal setoran merupakan perubahan aset
dalam rangka pendanaan (transaksi modal) sedangkan laba ditahan merupakan
88
perubahan aset dalam rangka produksi (tansaksi operasi) (Suwardjono,
2010:571).
6. Kontrak yang sesungguhnya antara pemegang saham dan perseroan ditunjukan
oleh keseluruhan dana yang disetor (modal setoran) tanpa memperhatikan
adanya modal yuridis atau modal saham yang sering dianggap sebagai batas
perlindungan bagi pihak lain. Pemisahan dan pelaporan modal yuridis tidak
menjadi masalah secara teknis. Akan tetapi, secara konseptual modal yuridis
dan modal setoran lain harus ditotal untuk menunjukan modal setoran yang
harus dibedakan dengan laba ditahan. Dari segi akuntansi, yang mendasarkan
diri pada konsep dasar substansi di atas bentuk, ekuitas pemegang saham
adalah seluruh jumlah yang secara ekonomik tertanam dalam perseoran
termasuk laba ditahan (Suwardjono, 2010:571).
7. Modal setoran dapat bertambah karena pemesanan saham, konversi status
obligasi, konversi status saham istimewa, dividen saham, dan hak beli saham.
Transaksi yang menyangkut hal-hal tersebut merupakan transaksi modal
sehingga tidak melibatkan sama sekali laba atau rugi meskipun dalam beberapa
kasus dapat melibatkan laba ditahan. Modal setoran dapat berkurang karena
saham treasuri. Masalah yang berkaitan dengan saham treasuri adalah (1)
penentuan jumlah rupiah yang harus dianggap mempengaruhi modal setoran
dalam laba ditahan dan (2) pengungkapan pengaruhnya terhadap modal yuridis
bila saham treasuri dijual kembali. Dua konsep dapat diterapkan yaitu konsep
satu-transaksi (single transaction) dan dua transasksi (two transaction)
(Suwardjono, 2010:571).
8. Beberapa pos yang mempunyai potensi untuk mempengaruhi laba ditahan dan
dilaporkan sebagai penyesuai laba ditahan adalah penyesuaian periode lalu,
koreksi kesalahan, pengaruh perubahan akuntansi, dan kuasi reorganisasi.
Secara umum, perubahan akibat ketiga komponen pertama diperlakukan
sebagai transaksi operasi sehingga dilaporkan dalam statment laba rugi. Kuasi
reorganisasi akan mempengaruhi laba ditahan secara langsung (Suwardjono,
2010:571).
89
9. Kuasi reorganisasi dilakukan apabila terdapat defisit yang cukup besar tetapi
perusahaan masih berjalan baik dan mempengaruhi prospek yang baik pula.
Hal ini dilakukan untuk mengatasi keadaan yang disebut bankrut secara teknis
sehingga perusahaan bebas dari kemungkinan bankrut atau pailit secara hukum
yang mengarah ke likuidasi (Suwardjono, 2010:571).
10. Penyusunan kembali struktur ekuitas pemegang saham melalui kuasi-
reorganisasi menempatkan perusahaan dalam posisi baru berdiri (fresh start).
Statment keuangan untuk tahun terjadinya kuasi-reorganisasi harus
mengungkapan rincian jumlah yang membentuk struktur model yang baru.
Laba ditahan sebelum reorganisasi tidak dapat diteruskan lagi dan laba ditahan
dalam neraca setelah reorganisasi harus diberi tanggal mulai terbentuknya
(tanggal reorganisasi). Kuasi reorganisasi hanya dapat dilakukan kalau syarat-
syarat tertentu dipenuhi (Suwardjono, 2010:572).
11. Tradisi penyusunan kewajiban dan ekuitas dalam neraca sebenarnya didasari
oleh dua konsep urutan penting yaitu urutan penyerapan rugi dan urutan
perlindungan. Urutan penyerapan rugi menggambarkan komponen apa yang
lebih dahulu menyerap rugi sampai pihak nama (ekuitas atau kewajiban) yang
akan terpengaruh. Urutan perlindungan berkaitan dengan siapa yang akhirnya
harus menanggung rugi seandainya perusahaan dilikuidasi. Dengan demikian,
urutan perlindungan menunjukan siapa yang harus didahulukan untuk
menerima distribusi aset bila perusahaan dilikuidasi (Suwardjono, 2010:572).
12. Seluruh jumlah rupiah laba ditahan secara konseptual dapat dipandang sebagai
perlindungan atau penyangga umum (general pupose buffer) untuk berbagai
tujuan dan perlindungan. Oleh karena itu, sedikit atau tidak ada manfaatnya
kebiasaan atau tradisi untuk memerinci laba ditahan atas dasar tujuan (by
purposes) atau atas dasar sumber (by sources). Jumlah rupiah laba ditahan
melekat pada berbagai aset sebagai satu kesatuan. Laba ditahan tidak dapat
dikaitkan dengan aset tertentu (Suwardjono, 2010:572).
13. Pemisahan yang tegas antara transaski operasi (nonpemilik) dan transaski
pemilik yang berakibat pemisahan secara tegas antara modal setoran dan laba
ditahan mempunyai konsekuensi bahwa segala perubahan yang berkaitan
90
dengan operasi dalam arti luas dilaporkan dalam statment laba rugi. Hal ini
menjadi landasan penyajian laba dengan pendekatan semua-termasuk sebagai
lawan pendekatan kinerja sekarang (Suwardjono, 2010:572).
14. Alasan mendasar dianutnya pendekatan penyajian laba semua-termasuk adalah
konsep menanfaat aset. Statment laba-rugi harus menyajukan secara efektif
semua akibat dari pemanfaatan aset yang diserahkan sepenuhnya kepada
manajemen. Pemisahan laba menjadi normal dan tidak normal dalam dua
statment (laba-rugi dan laba ditahan) akan cenderung mengalihkan pusat
perhatian pemakai secara tidak semestinya ke laba normal dan dengan
demikian secara tidak sadar mengurangi perhatian pembaca akan keefektifan
manajemen secara keseluruhan (Suwardjono, 2010:572).
15. Pendekatan kinerja sekarang dilandasi oleh kekhawatiran akan adanya fiksasi
fungsional. Bila pendekatan kinerja sekarang dianut, beberapa komponen akan
dilaporkan sebagai komponen perubahan laba ditahan. Komponen tersbut
antara lain operasi hentian, pos-pos luar biasa, pengaruh kumulatif perubahan
akuntansi, dan koreksi mendasar (Suwardjono, 2010:572).
16. Pendekatan semua termasuk dilandasi oleh konsep kontinuitas usaha serta
upaya dan hasil yang menegaskan bahwa statment laba-rugi harus memuat
semua perubahan ekuitas kecuali yang berasal dari transaki dengan pemilik.
Perubahan ekuitas harus dipisahkan dengan tegas menjadi ekuitas yang berasal
dari transaki modal dan transaksi operasi. Laba ditahan hanya akan berisi laba
komprehensif yang dipindah dari statment laba-rugi dan berbagai komponen
transaski modal seperti dividen dan saham treasuri (Suwardjono, 2010:572).
17. FASB menganut pendekatan semua-termasuk secara penuh dengan
mengenalkan apa yang disebut laba komprehensif. Dalam pendekatan semua-
termasuk, pos-pos penerobos masih dilaporkan dalam statment perubahan laba
ditahan. Dalam laba komprehensif, pos-pos penerobos dilaporkan melalui
statment laba rugi. Laba komprehensif dapat disajikan dengan pendekatan satu-
statment atau dua-statment. IAI belum secara penuh mengadopsi konsep laba
komprehensif. Hal ini terrefleksi dalam ketentuan-ketentuan PSAK No.25
(Suwardjono, 2010:573).
91
3.2. Saran
3.2.1. Saran Teoritis
Bagi penulis selanjutnya yang akan melakukan pembuatan makalah yang
sama diharapkan melakukan pembuatan makalah dengan pembahasan yang lebih
jelas dan lengkap, misalnya saja dengan mencantumkan lebih banyak referensi.
92
DAFTAR PUSTAKA
Chariri, Anis & Ghozali, Imam. 2001. Teori Akuntansi. Semarang : Badan Penerbit
Universitas Diponogoro.
Gozali, Imam & Cahriri, Anis. 2007. Teori Akuntansi. Semarang : Badan Penerbit
Universitas Diponogoro.
Harahap, Sofyan Syafri. 2012. Teori Akuntansi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
93