Anda di halaman 1dari 56

MAKALAH TENTANG EKUITAS

02:38 by bayutube86 0 comments


Makalah ini membahas tentang Ekuitas dalam hubungannya dengan
Perekonomian Indonesia.
Pengertian|Definisi Ekuitas
Ekuitas adalah modal yang diinvestasikan dalam suatu usaha (ekuitas dalam
akuntansi merupakan penambahan dari profit selama tahun2 berjalan dengan
modal mula-mula) dan
Rumus akuntansi : Asset=Kewajiban+Ekuitas
Investasi ekuitas umumnya berhubungan dengan pembelian dan menyimpan
saham stok pada suatu pasar modal oleh individu dan dana dalam mengantisipasi
pendapatan dari deviden dan keuntungan modal sebagaimana nilai saham
meningkat. Hal tersebut juga kadang kadang berkaitan dengan akuisisi saham
(kepemilikan) dengan turut serta dalam suatu perusahaan swasta (tidak tercatat di
bursa) atau perusahaan baru ( suatu perusahaan sedang dibuat atau baru dibuat).
Ketika investasi dilakukan pada perusahaan yang baru, hal itu disebut sebagai
investasi modal ventura dan pada umumnya dimengerti mempunyai risiko lebih
besar dari pada investasi situasi-situasi dimana saham tercatat di bursa dilakukan.
(Wikipedia)
Karena artikulasi harus dipertahankan, ekuitas tidak didefinisi secara semantik
tetapi secara sintaktik. Ekuitas didefinisikan sebagai hak residual atas aktiva
perusahaan setelah dikurangi semua kewajiban. Ekuitas didefinisikan sebagai hak
residual untuk menunjukkan bahwa ekuitas bukan kewajiban. Godfrey, Hodgson,
dan Holmes (1997) membedakan ekuitas dan kewajiban atas dasar tiga kriteria,
yaitu hak-hak masing-masing pihak atas penyelesain klaim, hak penggunaan aset
dalam operasi, serta substansi ekonomik perjanjian.
Atas dasar konsep kesatuan usaha, kreditor dan pemegang saham sama-sama
mempunyai klaim atau hak untuk dilunasi atas dana yang ditanamkan di
perusahaan. Tetapi terdapat dua kharakteristik yang melekat pada hak kreditor,
yaitu (a) penyelesaian klaim mereka pada tanggal tertentu melalui transfer aset,
dan (b) prioritas diatas pemilik dalam penyelesaian klaim mereka dalam hal
likuidasi. Hak kreditor dan pemegang saham juga berbeda dalam hal penggunaan
aset.
Ekuitas pemegang saham diklasifikasikan menjadi dua komponen penting yaitu
modal setoran dan laba ditahan. Modal setoran dipecah menjadi modal saham
sebagai modal yuridis dan modal setoran tambahan, dan komponen lain yang
merefleksi transasksi pemilik. komponen lain-lain terdiri atas pos-pos yang tidak
tepat dimasukkan dalam komponen modal setoran lainnya atau laba ditahan tetapi
sering diklasifikasikan sebagai pos ekuitas pemegang saham.

TUJUAN
Pada umumnya, tujuan pelaporan informasi ekuitas pemegang saham adalah
menyediakan informasi kepada yang berkepentingan tentang efesiensi dan
kepengurusan manajemen. Tujuan yang lain adalah menyediakan informasi
tentang riwayat serta prospek investasi pemilik dan pemegang ekuitas lainnya,
serta merupakan tanggung jawab yuridis pemilik. Untuk memenuhi tujuan
tersebut, informasi yang harus disampaikan berkaitan tentang ekuitas pemegang
saham tersebut minimal adalah sumber ekuitas, pembatasan pembagian dividen
dan likuidasi, batas perlindungan dan urutan penyerapan rugi.
PEMBEDAAN MODAL SETORAN DAN LABA DITAHAN
Pembedaan antara dua komponen ekuitas pemegang saham merupakan hal yang
sangat penting. Dari segi administrasi keuangan, laba ditahan merupakan indikator
daya melaba sehingga laba ditahan harus dipisahkan dengan modal setoran
meskipin jumlah akhirnya ditotal untuk membentuk ekuitas pemegang saham.
Pembedaan juga penting secara yuridis karena modal setoran merupakan dana
dasar yang harus tetap dipertahankan untuk menunjukkan perlindungan pada
pihak lain, sedangkan laba ditahan adalah jumlah rupiah yang secara yuridis dapat
digunakan untuk pembagian deviden.
MODAL YURIDIS
Sebagai pasangan laba ditahan, modal setoran dibedakan menjadi modal yuridis
dan modal setoran lain. Modal yuridis timbul karena adanya ketentuan hukum
yang mengharuskan bahwa harus ada sejumlah rupiah yang harus dipertahankan
dalam rangka perlindungan kepada pihak lain. Bentuk dari peraturan ini adalah
adanya nilai nominal atau nilai minimum. Besarnya modal yuridis bergantung
pada karakteristik saham (bernominal, takbernominal/bernilai nyataan,
takbernominal/takbernilai nyataan).
PERUBAHAN MODAL SETORAN
Tujuan utama perekayasaan akuntansi modal setoran adalah untuk membedakan
secara tegas antara perubahan akibat transaksi operasi. Berbagai sumber yang
dapat mengubah modal storan dengan berbagai masalah teoritisnya adalah:
Pemesanan saham
Pada saat perusahaan didirikan atau melakukan penawaran publik perdana,
perusahaan telah menetapkan apa yang disebut modal dasar. Dengan autorisasi
tersebut perusahaan akan mencetak sertifikat saham. Bila saham telah terjual dan
pembeli telah membayar penuh kesepakatannya, sertifikat saham akan diserahkan
kepada pembeli. Berdasar konsep kesatuan usaha, jumlah rupiah yang diterima
perusahaan akan menimbulkan atau diimbangi dengan modal setoran.

Pada umumnya investor yang berminat membeli saham perusahaan harus


memesan terlebih dahulu saham yang dibeli dengan harga yang sesuai. Yang
menjadi masalah adalah apakah jumlah rupiah saham pesanan tersebut telah dapat
diakui sebagai modal setoran?
Jumlah rupiah saham pesanan dapat diakui sebagai modal setoran hanya apabila
memenuhi dua syarat, yaitu tidak dapat dibatalkan, dan pelunasan tidak terlalu
lama.
Obligasi terkonversi
Dalam hal tertentu perusahaan menerbitkan obligasi dengan kharakteristik dapat
ditukarkan dengan saham biasa. Kalau hak tukar dari obligasi tersebut digunakan
oleh pemegang obligasi akan timbul perubahan status kewajiban menjadi modal
storan. Masalah teoritisnya adalah pada saat hak diambil, berapakah jumlah rupiah
yang diakui sebagai modal setoran?
Untuk mengatasi masalah tersebut terdapat beberapa alternatif yang dapat
digunakan sebagai basis kapitalisasi, yaitu nilai bawaan obligasi, harga pasar
obligasi, dan harga pasar saham.
Saham prioritas terkonversi
Saham prioritas atau saham istimewa menjadi saham biasa atas kehendak
pemegang saham. Masalah yang ada sama dengan masalah yang muncul pada
obligasi terkonversi, yaitu Pada saat hak diambil, berapakah jumlah rupiah yang
diakui sebagai modal setoran? Dalam mengatasi permasalahan tersebut terdapat
dua alternatif yang dapat digunakan, yaitu Pendekatan satu-transaksi, dan
pendekatan dua-transaksi.
Deviden saham
Dividen saham adalah distribusi dividen dalam bentuk saham yang sejenis dengan
saham yang mula-mula diterbitkan. Permasalahan yang muncul akibat pembagian
deviden saham adalah bila dikapitalisasi, berapakah jumlah rupiah yang
dikapitalisasi menjadi modal setoran? Untuk mengatasinya, alternatif
penyelesaian yang digunakan terdiri atas dasar nilai nominal, dan atas dasar nilai
pasar saham.
Hak beli saham
Hak beli saham adalah hak yang diberikan bagi pemegang saham lama untuk
membeli sejumlah saham. Harga pasarhak beli ini adalah sebesar selisih harga
pasar saham dengan harga yang harus dibayar pemegang saham yang mempunyai
hak beli saham. Hal yang menjadi permasahan adalah perlukah jumlah rupiah ini
dikapitalisasi.
Bila dividen saham dapat dikapitalisasi maka hak beli saham juga dapat
dikapitalisasi, karena hak beli saham dapat dianggap sebagai dividen saham

dengan nilai sebesar harga pasar hak beli saham. Jumlah ini dikapitalisasi ke
modal setoran lain. Namun argument ini dibantah dengan alasan bahwa
kapitalisasi hak beli saham menjadi modal setoran adalah tidak logis karena tidak
ada sumber ekonomik yang disetorkan oleh pemegang saham dan tidak ada saham
baru yang diterbitkan.
Opsi saham
Opsi merupakan instrumen yang dapat digolongkan sebagai sekuritas turunansaham berupa hak untuk membeli atau menjual sejumlah saham. Opsi diterbitkan
atau ditulis oleh investor dan dijual kepada investor lain. Terdapat dua macam
opsi yaitu call dan put. Opsi call adalah opsi yang memberi hak kepada pemegang
opsi untuk membeli saham dengan harga tertentu selama perioda tertentu. Orang
membeli bila mengharapkan harga saham menaik. Sedangkan opsi put adalah opsi
yang memberi hak kepada pemegang opsi untuk menjual saham dengan harga
tertentu selama perioda tertentu. Orang membeli opsi bila mengharapkan harga
saham menurun
Warran
Dalam PSAK No. 41, IAI mendefinisi warran sebagai efek yang diterbitkan oleh
suatu perushaan yang memberi hak kepada pemegangnya untuk memesan saham
dari perusahaan tersebut pada harga dan jangka waktu tertentu. Pemegang warran
dapat membeli sejumlah saham dengan mengambalikan warran tersebut dan
membayar sejumah kas tertentu. Terdapat beberapa kharakteritik dari warran,
yaitu (1) berbeda dengan hak beli saham atau opsi, (2) terdapat beberapa jenis:
lepas, lekat, dan bebas, (3) perlakuan akuntansi berbeda untuk tiap jenis, dan (4)
isu akuntansi: Bila opsi diambil, apakah harga opsi dipisahkan dengan harga
sekuritas terkait.
Saham treasuri
Saham treasuri adalah penarikan kembali saham yang beredar untuk sementara
dan kemudian diterbitkan kembali. Beberapa alasan perusahaan melakukan
penarikan kembali antara lain saham tersebut akan diterbitkan kembai kepada
karyawan dalam program opsi saham, serta saham tersebut akan digunakan untuk
membeli perusahaan lain dalam transaski penggabungan usaha.
Masalah teoritis yang melekat pada transaksi saham treasuri adalah (1) penentuan
jumlah rupiah yang harus dianggap sebagai pengurangan modal setoran dan laba
ditahan, (2) pengungkapan pengaruhnya terhadap modal yuridis bila saham
treasuri dijual kembali. Mengenai hal tersebut, terdapat dua pendekatan atau
konsep yang dapat diterapkan yaitu konsep satu-transaksi dan konsep duatransaksi
PERUBAHAN LABA DITAHAN

Kalau pemisahan antara transaksi modal dan transaski operasi harus tetap
dipertahankan, hanya terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi besarnya
laba ditahan yaitu laba atau rugi priodik. Transaksi lain yang dapat mempengaruhi
laba ditahan adalah transaksi yang tergolong dalam transaksi modal. Pengaruh
beberapa transaksi diatas langsung dimasukkan dalam laba ditahan dan tidak
melalui statemen laba-rugi perioda terjadinya transaksi tersebut karena transaksi
tersebut merupakan transaksi modal.
Terdapat beberapa hal lain yang dapat menyebabkan laba ditahan dalam suatu
perioda berubah selain karena transaksi modal, tetapi karena transaksi khusus,
yaitu penyesuaian perioda-lalu, koreksi kesalahan dalam laporan keuangan
sebelumnya, pengaruh perubahan akuntansi, dan kuasi-reorganisasi.
PENYAJIAN MODAL PEMEGANG SAHAM
Urutan penyajian kewajiban dan modal pemegang saham dalam neraca
sebenarnya menggambarkan urutan perlindunga dalam kondisi perusahaan
mengalami defisit dan dalam kondisi perusahaan dilikuidasi. Dalam terjadi defisit,
urutan penyajian menggambarkan urutan penyerapan rugi, sedangkan dalam
kondisi likuidasi urutan penyajian menggambarkan urutan perlindungan yuridis.
Secara umum kos yang telah dikorbankan menjadi biaya akan diserap melalui
aliran pendapatan kotor. Dalam hal terjadi pengorbanan kos akibat hilangnya
manfaat menjadi rugi, rugi tersebut akan diserap terlebih dahulu melalui laba
bersih dan hanya dalam keadaan yang sangat khusus maka kos tersebut dapat
diserapkan oleh kelompok modal pemegang saham. Urutan penyerapan biaya,
rugi, dan rugi luar biasa adalah: (1) pendapatan kotor, (2) laba bersih, (3) laba
ditahan, (4) premium modal saham, dan (5) modal saham. Urutan penyrapan rugi
tersebut sebenarnya merupakan asumsi atau tradisi semata-mata walaupun hal
tersebut dapat dikuatkan dalam bentuk standar akuntansi.
Urutan perlindungan menunjukkan siapa yang harus didahulukan dalam menerima
distribusi asset atau siapa yang menanggung segala akibat dalam kasus
perusahaan dilikuidasi. Urutan perlindungan tersebut adalah (1) karyawan dan
pemerintah, (2) kreditor berjaminan, (3) kreditor takberjaminan, (4) pemegang
saham prioritas, dan (5) pemegang saham biasa.
PERINCIAN LABA DITAHAN
Bila komponen-komponen tertentu yang berasal dari transaksi operasi dilaporkan
langsung ke laba ditahan, laba ditahan dapat disajikan dan dirinci atas dasar
sumber (by resources), dan ada pula kebiasaan bahwa laba ditahan disajikan
dengan merincinya atas dasar tujuan (by purposes) dengan cara yang disebut
apropriasi dan pembatasan. Masalah teoritisnya adalah, adakah manfaat merinci
laba ditahan atas dasar tujuan, misalnya dengan memecahnya menjadi cadangan,
peruntukan (appropriated), dan bebas (unappropriated)?

LABA KOMPREHENSIF
Perubahan akibat transaksi operasi atau transaksi nonpemilik harus dibedakan dan
dipisahkan secara tegas dengan perubahan akibat transaski pemilik,semua
perubahan akibat transaski operasi harus dilaporkan melalui statemen laba-rugi.
Ps-pos operasi dalam ari luas sebagai lawan pos-pos transaski nonpemilik
meliputipos-pos operasi utama, pos-pos tambahan, dan pos-pos yang sifatnya
khusus atau luar biasa tetapi berasal dari transasksi nonpemilik.
Masalah teoritis yang ada adalah pos-pos mana saja yang dapat dilaporkan melalui
statemen laba ditahan. Terdapat dua pendekatan untuk mengatasi permasalahan
tersebut, yaitu pendekatan kinerja sekarang atau normal, dan pendekatan semuatermasuk atau surplus bersih.
FASB menganut pendekatan semua-termasuk secara penuh dengan mengenalkan
apa yang disebut laba komprehensif. Dalam pendekatan semua-termasuk pospos
penerobos masih dilaporkan dalam statemen perubahan laba ditahan, pos-pos
penerobos itu sendiri adalah pos-pos yang dilaporkan langsung dalam statemen
laba ditahan tanpa melalui statemen laba rugi. Penyajian laba komprehensif dapat
dilakukan dengan pendekatan satu-statemen atau dua-statemen.
http://cafe-ekonomi.blogspot.com/2009/09/makalah-tentang-ekuitas.html
Diposkan oleh Yohana Anestasia , di 03:03
BY YOHANA ANESTASIA

Konsep Ekuitas
Dalam Perspektif Syariah
Pendahuluan
Konsep kepemilikan-terutama proporsi hak pemilik terhadap suatu entitas
ekonomi-memang merupakan perbincangan yang menarik dalam relasinya dengan
Indonesia sebagai negara yang sedang mengalami krisis akhir-akhhir ini. Berbagai
pandangan kritis yang menggugat pandangan distribusi kepemilikan entitas
ekonomi dalam agenda diskusi para pakar marak terjadi. Opini beberapa pakar
tersebut diantaranya mensinyalir bahwa masih banyak terdapat kesenjangan dalam
berbagai segmentermasuk diantaranya distribusi kepemilikan entitas ekonomi
yang ikut mengerosi fundamen perekonomian nasional.
Masih dalam konteks tersebut, menarik untuk disimak komentar Peter F.
Gontha tentang bursa efek Nasional dalam sebuah harian yang mengatkan bahwa
belum terdapat sebuah regulasi dalam bursa efek yang mengatur proporsi
kepemilikan saham untuk orientasi keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Bahkan secara faktual, indonesia merupakan negara satu-satunya didunia yang
pasar modalnya masih depenuhi oleh perusahaan go-public dengan proporsi
penguasaan saham dalam struktur kepemilikan dikuasai oleh satu orang atau
kelompok usaha sampai sebesar 70% dari total jumlah saham. Bandingkan
misalnya dengan singapura sebagai negara yang dikenal ekonominya telah
menginternalisasikan efiesiensi sedemikian rupa, di mana penguasaan saham
terbesar dalam bursa efeknya hanya berkisar antara 24,9%, itupun dengan
pengawasan yang ketat.
Persoalan ini tentu saja merupakan fokus pengkritisan yang cukup menggelitik
bagi masyarakat yang sudah semakin well-informed dan menuntut terhadap
eksistensi entitas-entitas ekonomi yang mapan. Transpormasi kultural dalam

jejaring komunitas era kesejagatan turut pula menstilmutan tendensi untuk


mengartikulasikan pelan-pelan universal keadilan, egalitarian dan keterbukaan,
yang selama ini diposisikan secara inferior. Kecenderungan seperti ini tentunya
perlu segera disambut dengan strategi penyikapan secara lebih konkrit, responsif
dan antisipasif terhadap problem masyarakat dengan memprioritaskan issue-issue
yang rentan konflik sosial; misalnya oligopoly penguasaan atas harta milik yang
didominasi segelintir orang. Dalam hal ini, dunia keilmuan dan akademis sebagai
komponen masyarakat yang selayaknya tanggap terhadap berbagai simptom
fenomena sosial bertanggungjawab untuk memberikan kontribusi aktifnya, baik
dalam tataran teoritis maupun implementatif.
Dalam konteks modernitas sekarang ini, akuntansi sebagai disiplin ilmu
dan praktik terbentuk dan berkembang sebagai praktik sosial di tengah
masyarakat. Akuntansi sebagai ilmu pengetahuan sosial yang di satu pihak telah
begitu bermanfaat dalam memberikan kontribusi pragmatisnya dalam kehidupan,
namun disisi lain telah sekian lama pula teralienasi dari mode sosialnya.
Akuntansi kapitalis dibentuk di atas seperangkat asumsi filosofi tentang
pengetahuan, kemanusiaan dan realitas sosial sebagaimana ilmu-ilmu
pengetahuan modern dibentuk, sarat dengan budaya ilmiyah yang disertakan
objektifitas, penjarakan serta kuantifikasi. sosok ilmu yang disampaikan dalam
bahasa numerik, hadir dalam angka-angka beku, dan memandang manusia secara
sederhana sebagai species yang murni rasional untuk memaksimalkan utilitasnya,
memang menghadirkan segenap pesona "kemodernan gaya komoditas
kebudayaan istan. Kebudayaan ilmiyah dan modern yang telah memproduk
akuntansi sedemikian, pada gilirannya turut mencetak cara pandang akuntansi
yang melulu memotret realitas secara sepihak, dalam analisis ilmiah
berdasarkan dokumentasi moneter dan angka-angka.
Namun jauh menembus batas-batas penampakan realitas, tidak dapat dipungkiri
bahwa masih begitu dalam dunia bawah, yang sejauh berada dalam batas sekatsekat angka, akuntansi gagal mengekspresikan kepermukaan. Banyak pakar
akuntansi yang sadar terhadap indikasi ini kemudian mencoba keluar dari tabir
kemodernan dan mengolah kembali pemahaman keilmuannnya dengan berbagai

paradigma baru yang lebih menyentuh esoterisme keilmuan. Dan menarik untuk
dicermati, bahwa sisi lain dari perspektif yang sebelumnya samar-yaitu gejalagejala manusiawi tentang etik, nilai dan bahkan ideologi menjadi lebih
teraksentuasi dalam dialetika pemikiran. Tetapi memang terlalu terburu bila
kemudian berharap pemikiran alternatif sejenis dapat dijadikan komoditas baru
khas gaya berfikir modern dan memang secara karakteristik ide-ide semacam
ini tidaklah reproduktif dan populer. Namun minimal, para seniman akuntansi
dapat berharap bahwa gagasan-gagasan seperti ini dapat dijadikan katarsis untuk
merambah wilayah-waliayah eksotis ilmu pengatahian yang selama ini tidak
tersentuh.
Keseluruhan narasi ini akhirnya membentuk kerangka di luar kemodernan
sebuah kerangkan yang diorentasikan terhadap fokus pembicaraan pada satu
bagian dari akuntansi- yakni akuntansi ekuitas- dengan penelaahan kritis
menggunakan model pembahasan yang sedikit keluar dari penjara keilmiahan
era modernitas. Diskursus yang mencoba membahas kembali secara kritis
akuntansi ekuitas sebagai konsep kepemilikan dengan menampilkan sisi-sisi
gelap yang lain yang selama ini luput terpotret oleh angka-angka. Konsep
kepemilikan sebagai konsep yang disatu pihak sarat dengan muatan nilai-nilai etis
karena menyangkut hubungan antar individu dalam kolektivitas, yang tentu saja,
tidak dapat begitu saja direpresentasikan secara objektivitas dalam bahasa
numerik. Dan sacara bersamaan. Konsep ini juga sangat politis dan berpontensi
konflik karena menyangkut dominasi, arogansi, dan nafsu manusiawi atas objekobjek yang dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia yang pada
dasarnya serakah. Sebuah problem pelik sebagaimana pernyataan bijak Ghandi,
dunia cukup luas untuk mencukupi kebutuhan manusia tetapi sekali tidak
memadai bagi keserakahan kita.

Konsep Ekuitas dalam Ilmu Akuntansi


1. Pengertian dan teori Ekuitas

Berkaitan dengan persoalan konsep kepemilikan, akuntansi sebagai suatu disiplin


sesungguhnya telah memiliki persepsi tentang konsep hak kepemilikan yang
definitif. Pandangan akuntansi tentang konsep kepemilikan entintas ekonomi
secara eksplisit tertuang dalam PSAK no.21 yang mengulas tentang akuntansi
ekuitas. Didalam PSAK no.21 tersebut dinyatakan definisi ekuitas sebagai
berikut: ekuitas merupakan bagian hak pemilik dalam perusahaan yaitu selisih
antara aktiva dan kewajiban yang ada, dan dengan demikian tidak merupakan
ukuran nilai jual perusahaan tersebut (IAI 1995,21.2)
Definisi ekuitas di atas diturunkan dari persamaan dasar akuntansi sebagai
berikut :
Assets = Liabilities = Owners equities
Di dalam PSAK No.21 terdapat berbagai pembatasan konsep dan penjelasan
tentang tata cara disclosure ekuitas yang diasumsikan dapat memenuhi tujuan dari
PSAK No.21. Tujuan pelaporan akuntansi ekuitas dari PSAK no.21 tersebut
secara eksplisit adalah sebagai berikut; Ekuitas sebagai bagian hak pemilik dalam
perusahaan harus dilaporkan sedemikian rupa sehinggga informasi mengenai
sumbernya secara jelas dan disajikan sesuai dengan peraturan perundangan dan
akta pendirian yang berlaku (IAI 1995,21.1-21.2)
Bertolak dari definisi ekuitas di atas, dapat dicermati bahwa terdapat beberapa
aspek yang menjadi pokok perhatian PSAK NO.21 terhadap akuntansi ekuitas;
yaitu pada tersedianya informasi tentang sumber-sumber ekuitas serta
tersajikannya informasi tentang ekuitas tersebut secara wajar sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku. Dengan demikian, definisi ekuitas dan di
dalam akuntansi berusaha untuk netral tanpa mempertimbangkan aspek-aspek
normatif-etis hak kepemilikan suatu entitas ekonomi. Sumber adanya ekuitas
hanya dicantumkan sejauh perilakunya sebagai sumber ekonomi secara
impersonal, tanpa merunut lebih jauh pada intensitasnya personalitas maupun
emosionalitas.

Gagasan tentang teori ekuitas sesungguhnya berasal dari upaya untuk


memasukkan logika dalam memandang dan menjelaskan persamaan dasar
akuntansi. Penjelasan-penjelasan logis tersebut memuat basis perspektif yang
berbeda terhadap tinjauannya atas persamaan dasar akuntansi sehingga
mendeverisikan beberapa model teori ekuitas yang berbeda pula. Selanjutnya,
penjelasan logis persamaan akuntansi dari berbagai perspektif tersebut akan
menghasilkan suatu model teori ekuitas yang merupakan sebentuk penyikapan
implisit terhadap ekuitas perusahaan secara teoritis, dimana yang telah dikenal
antara lain adalah propriety Theory, Entity Theory, Residual Equity Theory,
Enterprise Theory, dan Fund Theory.
Sejauh sampai definisi verbalnya, konsepsi teoritis tentang kepemilikan dalam
ekuitas bukanlah suatu pernyataan yang mengekpresikan nilai normatif apa pun
secara ekplisit. Akuntansi konvensional memposisikan ekuitas sebagai suatu hak
residual atas kekayaan perusahaan yang kuantitasnya tidak diperoleh dari hasil
pengukuran secara tersendiri.
Pengertian ekuitas sebagai kepentingan residual tersebut ditegaskan oleh APB
sebagai pendifinisian dalam konteks terminologi sumber-sumber dan kewajibankewajiban ekonomi. Sehingga pengertiannya harus dipandang dalam konteks
tersebut. Penjelasan atas hal ini diuraikan dalam APB statement no.4.
Karena kuantitas ekuitas yang dilaporkan dalam neraca adalah jumlah yang
tergantung pada pengukuran aktiva dan kewajiban,dan bukan merupakan hasil
pengukuran secara tersendiri, jumlah ekuitas yang tercantum dalam neraca tidak
merepresentasikan current market value ataupun subjective value perusahaan
untuk pemiliknya, jumlah nilai keseluruhan (aggregate) perusahaan bagi
pemiliknya tidak dapat diukur melalu penilaian aktiva dalam kewajiban sehingga
angka ekuitas yang dilaporkan tidak dapat menginformasikan current value dari
hak-hak pemiliknya. Biasanya karena hanya faktor kebetulan bila jumlah ekuitas
keseluruhan sama dengan jumlah nilai pasar keseluruhannya (aggregat market
value) dari saham perusahaan atau jumlah yang dapat diperoleh dengan pelepasan

seluruh aktiva bersih perusahaan baik satu per satu atau keseluruhan dengan
asumsi kondisi kelangsungan usaha.
2. Komponen dan Tujuan Laporan Ekuitas
Sumber-sumber ekuitas pada dasarnya terdiri dari dua jenis, yaitu berasal dari
investasi pemilik dan hasil usaha perusahaan, sedangkan pembatasannya terdiri
dari pembatasan secara hukum dan pembatasan yang berasal dari kemampuan
perusahaan. Sumber-sumber ekuitas dan batasan-batasan terhadap hak pemilik
tersebut selanjutnya berfungsi sebagai dasar klasifikasi pelaporan komponenkomponen ekuitas yang terdiri dari setoran pemilik yang sering kali disebut
modal, saldo laba, dan unsur-unsur yang lain. Secara lebih tegas, PSAK
menggariskan pengungkapan ekuitas minimal harus secara jelas mengelompokkan
komponen-komponen ekuitas sebagai modal disetor, saldo laba, selisih penilaian
kembali aktiva tetap, dan modal donasi.
Ekuitas dalam entitas bisnis timbul dari hak kepemilikan atau
ekuevalennya. Hak tersebut meliputi suatu relasi antara perusahaan dengan
pemiliknya sebagai pemilik'. Hak-hak pemilik perusahaan ini sangat variatif
bentuknya. Walaupun demikian, apa yang menjadi pokus para akuntan secara
umum tentang konsep ekuitas adalah sama; yakni hak-hak yang berkenaan dengan
pembagian kekayaan perusahaan. Hak terakhir terhadap pembagian aktivia
perusahaan pada saat likuidasi, serta hak-hak kepemilikan yang melekat dengan
asumsi perusaaan sebagai going concern.
Menurut tuanakotta, tujuan penyajian ekuitas pemilik dalam ikhtisarikhtisar keuangan adalah berkaitan dengan pengungkapan hak-hak ekonomis
tersebut. Hal ini dijelaskan secara mendetail dalam PSAK No.21 sebagai berikut:
Ekuitas sebagai bagian hak pemilik dalam perusahaan harus dilaporkan
sedemikian rupa sehingga memberikan informasi mengenai sumbernya secara
jelas dan disajikan sesuai dengan peraturan perundangan dan akta pendirian
yang berlaku. FASB menambahkan bahwa ekuitas harus merepresentasikan
sumber-sumber distribusi dari perusahaan terhadap pemiliknya, baik dalam bentuk
dividen tunai maupun distribusi aktiva-aktiva yang lain. karakteristik esensial dari

pelaporan ekuitas dengan demikian berpusat pada bentuk-bentuk dan kondisi


yangn menyertai transfer aktiva dari perusahaan terhadap pemiliknya.
Dari pernyatan tentang tujuan pelaporan ekuitas dalam PSAK no.21 dapat
dismpulkan bahwa terdapat dua hal pokok yang menjadii fokus pelaporan, yaitu
pertama sumber ekuitas, menyatakan bahwa titik pandang terhadap sumber
ekuitas secara imperatif mensyaratkan perlunya klasifikasi atas hak-hak
kepemilikan dan pelaporannya dalam neraca disebabkan karena relevansi
pelaporan ekuitas untuk merefleksikan fakta bahwa pihak-pihak dengan berbagai
hak kepemilikannya masing-masing dalam perusahaan memiliki perbedaan klaim
dalam konteks penerimaan dividen atau pembayaran kembali modal pemilik.
Selain itu, hal ini disesuaikan pula dengan kebutuhan pengambilan keputusan
pemakai laporan apabila terdapat indikasi pembatasan-pembatasan baik formal
maupun informal, misalnya pembatasan oleh hukum atau pembatasan lainnya
terhadap kapabilitas perusahaan untuk membagikan atau menggunakan ekuitas.
Fakta pokok kedua adalah bahwa pelaporan ekuitas dalam neraca tidak
menginformasikan secara tersendiri, tetapi justru memperlakukan hukum sebagai
kerangka pembatas tata cara pelaporan ekuitas dalam neraca. Jumlah ekuitas yang
dilaporkan dalam neraca bukanlah peraturan perundangan yang menetapkan hak
seseorang atau suatu entitas terhadap kekayaan perusahaan secara otomatis,
melainkan hanya perhitungan residual atas kekayaan perusahaan. Pada beberapa
kasus empiris misalnya, perusahaan lebih berhak menahan ekuitas untuk
kepentingan reinvestasi daripada hak seseorang atau suatu entitas untuk
mematerialkan klaimnya atas ekuitas perusahaan tersebut
3. Sifat dan Batasan Konsep Ekuitas
Perhatian lebih akuntansi terhadap sumber dan pembatasan-pembatasan
ekuitas sesungguhnya adalah persoalan yang erat terkait dengan sifat dari ekuitas
itu sendiri. Pada umumnya sifat ekuitas dibedakan secara internal dan eksternal.
Sifat-sifat tersebut dibedakan secara internal diantara klaim hak-hak kepemilikan
dalam perusahaan-yaitu antara hak preferensi dan hak biasa- dan secara eksternal

antara hak kepemilikan (equities) dengan kewajiban perusahaan (liabilities).


Secara garis besar pembedaan tersebut berlaku dalam hal-hal berikut :
1. Hak-hak prioritas yang dimiliki oleh equity holders
2. Tingkat kepastian mengenai jumlah yang akan diterima oleh equity
holders
3. Waktu jatuh tempo pelunasan hak-hak terakhir
Dalam keadaan normal, terdapat pembedaan prioritas yang tegas antara kreditur,
pemegang saham preferen, dan pemegang saham biasa. Para kreditur dibedakan
secara jelas dengan pemegang saham dalam hal prioritas klaim terhadap
perusahaan pada saat likuidasi. Pemegang saham preferen memiliki hak untuk
didahulukan daripada pemegang saham biasa. Namun demikian, pemegang saham
adalah residual claimants dalam hubungannya dengan klaim para kreditur.
Terdapat jaminan kepastian yang lebih besar dalam hal jumlah pembayaran dan
waktu pelunasan terhadap kreditur dibandingkan dengan pemegang saham, dalam
konteks pembayaran klaim. Klaim pembayaran oleh kreditur adalah pokok utang
ditambah dengan bunga, dimana jumlah yang harus dibayarkan dan waktu
pembayarannya biasanya telah ditentukan sebelumnya. Ekuitas sendiri bukanlah
merupakan kewajiban absolut perusahaan yang harus diselesaikan dengan
pemegang saham karena pemegang saham menanggung sejumlah risiko
ketidakpastian sebagai pemilik perusahaan. Pembayaran return pemegang saham
berupa dividen memuat ketidakpastian dalam hal jumlah maupun waktu
pembayaran, dimana lazimnya tergantung pada jumlah laba yang direalisasikan
atau dapat direalisasikan, jumlah laba yang ditahan dan tersedianya dana oleh
perusahaan, sementara dalam hal waktu tidak dibatasi oleh pembayaran eksplisit
yang mengikat.
Dalam beberapa tahun terakhir, kreasi instrumen-instrumen finansial bersamaan
dengan praktik-praktik investasi yang semakin inovatif telah mengaburkan
perbedaan yang tegas dan sederhana antara ekuitas dan kewajiban. Para akuntan

harus mempelajari persoalan praktik-praktik dan instrumen finansial beserta


perlakuan akuntansinya secara lebih komprehensif dan canggih untuk dapat
membedakan keduanya secara tegas. Sehubungan dengan hal ini, terdapat
beberapa penjelas oleh PSAK mengenai instrumen-instrumen keuangan yang
dapat dilaporkan sebagai ekuitas di mana beberapa batasannya adalah sebagai
berikut ;
1. Bila pemegang instrumen keuangan tidak memiliki hak keuangan masa
depan pada penerbit instrumen, namun berhak secara proposional atas
dividen atau distribusi berlandaskan ekuitas.
2. Instrumen keuangan tersebut tidak mengandung pemaksaan pelaksanaan
kewajiban keuangan pada saat perusahaan berada dalam kondisi kurang
menggembirakan.
3. Instrumen keuangan tersebut tidak tergolong dalam kelompok kewajiban.
Pembedaan antara ekuitas dan kewajiban lebih dari sekedar persoalan bentuk
penyajian di neraca, tetapi juga menyangkut pengaruhnya pada parameterparameter penilaian kesehatan dan kinerja perusahaan. Sebagai contoh; ketika
suatu instrumen finansial diklasifikasikan sebagai kewajiban atau sebagai ekuitas,
penggolongan tersebut akan berdampak terhadap isi neraca, rasio aktiva terhadap
ekuitas (asset to equity ratio) serta rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity
ratio). Lebih jauh lagi, pengaruh pengklasifikasian sebagai kewajiban atau ekuitas
mempengaruhi pula penilaian terhadap pendapatan. Penghasilan (income) secara
konvensional didefinisikan sebagai bagian dari perubahan ekuitas dalam satu
periode tertentu, dan bukan sebagai hasil transaksi dengan pemilik dari instrumen
ekuitas perusahaan. Pendapatan adalah hasil dari modal ekuitas (return on on
equity capital) dan digolongkan sebagai arus masuk lebih dari jumlah yang
dibutuhkan untuk mengelola modal. Tanpa adanya pembedaan yang tegas antara
klaim kreditur atau klaim pemilik, penilaian pendapatan atau hasil investasi dari
modal ekuitas (return on equity capital) mustahil untuk dilakukan jika penilaian
pendapatan semacam ini tidak berjalan. Penilaian kontribusi perusahan pada

kesejahteraan pemegang saham (shareholder welfare) sebagai salah satu


parameter instrumen evaluasi kinerja manajemen tidak dapat dilakukan pula.
4. Konsep Ekuitas Kapitalisme
Ketika istilah penguasaan dalam kapitalisme menjadi penting, maka simbolisasi
logika kekuasaan; yaitu hak milik, menjadi sangat penting pula. Ini terletak dalam
hak penolakannya yang konsisten dengan sebentuk pemaksaan regulasi secara
halus yang membedakan kapitalisme dengan rezim-rezim lainnya sebagaimna
telah diulas sebelumnya. Suatu makna harta milik yang penting, walau sering
terabaikan, adalah bahwa para pemilik dapat secara legal menolak mengizinkan
milik-milik mereka dipakai oleh orang lain. Aspek vital dari uang atau komoditas
kapital sebagian milik pribadi tidak terletak pada hak para pemiliknya untuk
memakainya sekehendak hati, tetapi untuk tidak menggunakannya jika memang
dikehendaki oleh pemilknya (heilbroner 1991,23). Hak inilah yang
memungkinkan para kapital mendominasi lingkungan niaga dan produksi yang
berada dalam wewenangnya.
Inilah sesungguhnya tema sentral dari kapitalisme, institusi hak milik privat yang
menjamin bahwa setiap orang memiliki hak untuk mencapai komoditas ekonomi
dan sumber dayanya melalui cara-cara legal, mengadakan perjanjian sehubungan
dengan penggunaannya, serta melakukan perniagaan. Konsep kepemilikan dalam
kapitalisme akhirnya tidak pernah beranjak dari penafsirannya yang puritan;
orientasi kepentingan individu dimana setiap individu memiliki hak mutlak atas
harta kekayaan yang dimilikinya dan diusahakan, baik ketika hak ini dipandang
sebagai hak yang diturunkan secara alamiah atau berdasarkan hukum kodrat,
maupun dari pandangan yang menganggap hak tersebut timbul dari pemberlakuan
suatu hukum, baik normatif maupun positif.
Thorstein veblen adalah orang yang pertama yang menarik perhatian umum
dengan pendapatnya tentang perubahan penting yang terjadi terhadap hakekat
milik pada awal abad XX, suatu perubahan yang menuntut pembelaan terhadap
milik (macpherson 1989,145-158). Dengan timbulnya perusahaan dan sistem
keuangan modern yang berbeda dengan milik yang secara langsung produktif,

pada dasarnya telah timbul hak atas suatu penghasilan yang dibuahkan oleh jerih
payah dan kecerdikan orang-orang lain, dan oleh setumpuk pengetahuan serta
teknologi yang sesungguhnya merupakan harta persedian bersama seluruh
masyarakat. Gabungan para pemilik pabrik yang sekarag produktifyang
mencakup teknologi yang berkembang dimasyarakatdengan cara menghentikan
operasinya, mereka dapat memaksakan kehendak atau membuat keterampilan
kerja masyarakaat menjadi tidak laku. Dan menurut kebiasaannya, mereka akan
terus melakukan hal itu sampai pada taraf yang cukup jauh.

C. Ekuitas dalam Paradigma Syariah Islam


1. Keterbatasan dan problem normatif konsep ekuitas
Penyikapan akuntansi terhadap problem normatif pranata milik secara
konvensional adalah dengan menempatkan dirinya pada posisi status quo.
Akuntansi ekuitas menyatakan bahwa pelaporan ekuitas adalah sebatas
pengungkapan hak-hak ekonomis pemilik yang terkait dengan perusahaan dan
terikat oleh peraturan perundangan yang berlaku. Sehingga bukan merupakan
regulasi yang mengikat secara tersendiri (Tuanakotta 19986, 174-175). Dari
perspektif akuntansi konvensional, ekuitas adalah pernyataan simbolis
kepemilikan yang netral, dimana ia adalah instrumen pembawa definisi klaim
kepemilikan yang akan dilegitimasi secara tersendiri oleh dan tergantung pada
peraturan perundangan yang berlaku. Akuntansi tidak bertanggungjawab terhadap
legitimasi etis dari klaim kepemilikan.
Terdapat dua kemungkinan cara pandang terhadap akuntansi ekuitas dalam
posisinya yang seperti ini. Cara pandang pertama dapat terjadi dengan jalan seolah
ekuitas adalah sebuah pranata yang sama sekali netral dan instrumental. Ia
merupakan nilai residual dari perhitungan aktiva dikurangi kewajiban perusahaan
sehingga legitimasinya terletak pada terdapatnya selisih antara aktiva dan
kewajiban. Dengan demikian, ia hanya menjadi representasi turunan dari pranata

milik dalam bahasa ekonomis dan numerik, dimana pranata sesungguhnya adalah
undang-undang yang mengikatnya yang merepresentasikan klaim kepemilikan.
Ada dua keberatan pokok yang ditujukan pada legitimasi dari pernyataan
netralisasi dari ekuitas yang membebaskannya dari pertanggungjawaban etis
tersebut. Pertama, persamaan akuntansi yang menghasilkan definitif ekuitas
sebagai nilai residu bermaksud menjelaskan arti ekuitas dengan persamaan
identitaas, bukan suatu penjelasan definitif, terlebih lagi substantif. Secara
filosofis ia tidak berbentuk suatu legitimasi teoritis-etis yang ingin
mempertanyakan tentang dasar ontologis, epistomologis, serta aksiologis dari
eksistensi ekuitas. Ini dapat dianalogikan dengan contoh berikut; suatu persamaan
4-1=3 dapat disebut sebagai persamaan identitas tetapi tidak menjelaskan apap
pun tentang apakah substansi dari simbol 3 itu ketika, misalnya 4-1 dinisbahkan
Atau dengan cara lain, bagaimana dampak eksistensi 3 terhadap sisi persamaan
yang lain dan konteks tempat ia ada? Dengan cara sama, ekuitas tidak dapat
dijelaskan hanya dengan pernyataan bahwa ia merupakan hasil residu dari aktiva
dikurangi kewajiban perusahaan karena sesungguhnya ia (aktiva-kewajiban dan
ekuitas) bukan merupakan persamaan identitas.
Persoalan tersebut seharusnya terbantah karena ekuitas tidak dapat dijelaskan
dengan cara demikian, sebab persamaan akuntansi (aktiva-kewajiban=ekuitas)
bukan merupakan persamaan identitas biasa. Sebagaimana diketahui, ketika sudut
pandang akuntansi telah diterapkan dalam persamaan maka perubahan unsurunsur persamaan akuntansi akan berdampak pada perubahan orientasi dan
perilaku akuntansinya. Sebagai contoh, penjelmaan ekuitas dalam persamaan
dasar sebagai stocholder equities akan berbeda secara radikal dengan bentuk
proprietorship. Artinya, apa yang bermakna dalam konteks sosiologis, yang
berarti membutuhkan legitimasi etis, adalah perwujudan ekuitas dalam persamaan
yang faktual. Persamaan dasar tidak butuh legitimasi etis, karena ia selalu berbeda
dalam kondisi noninstrumental. Hal ini cukup membuktikan bahwa ekuitas
bukanlah suatu identitas biasa.

Keberatan kedua, ketika suatu instrumen atau pranata cukup aplikatif untuk
menjadi netral, dalam arti dapat eksplotasi untuk dan oleh nilai apapun, maka
ketika itu pula ia menjadi identik dengan nilai yang harus dilegitimasi dengan
argumentasi dengan argumentasi teoritis-etis. Sebuah instrumen hanya dapat
bermakna sejauh ia berada dalam tataran instrumentalnya, yakni dalam kondisi
praktik manusiawi yang terkait dalam konteks tertentu. Artinya, ia menjadi berarti
ketika ia memiliki nilai dan tujuan yang bernilai untuk diupayakan yang
menjadikan dirinya dalam keadaan instrumentalnya karena ia akan kehilangan
maknanya. Dan adalah hal yang mustahil bila ini dimaksudkan untuk subjek
akuntansi ekuitas yang berpengaruh luas pada realitas sosial, minimal dalam
konteks ekonomis. Dengan demikian, netralitas akuntansi ekuitas sampai batas
tertentu tetap bernilai, tetap merupakan posisi yang memiliki posisi. Posisi ini
selanjutnya akan mengimperasikan sejumlah konsekuensi, adalah wajar bila perlu
legitimasi.
2. Konsep ekuitas dalam pandangan syariat Islam
Konsep kepemilikan dalam islam merupakan suatu konsep dengan metafora
amanah (triyuwono 1995:2000) dimana seseorang yang memiliki suatu barang
pada haekatnya memperoleh suatu titipan yang diamanatkan kepadanya untuk
dimanfaatkan sebaik-baiknya. Karakteristiknya diuraikan oleh Mannan sebagai
berikut :kekhasana konsep islam mengenai hak milik pribadi terletak pada
kenyataan bahwa dalam Islam, Legitimasi hak milik tergantung pada moral yang
dikaitkan padanya, seperti juga jumlah matematika tergantung pada tanda
aljabar yang dikaitkan padanya. Dalam hal ini, lagi-lagi Islam berbeda dengan
kapitalisme dan komunisme, karena tidak satupun dari keduanya itu yang
berhasil dalam menempatkan individu selaras dalam suatu mosaik sosial. Hak
milik pribadi merupakan dasar kapitalisme, sedang penghapusannya merupakan
sasaran pokok ajaran sosialisme.
Sementara itu, nalar juga memberikan gagasan bahwa individu yang menciptakan
suatu benda juga bertanggungjawab atas wujud benda itu sebagai pemiliknya; ia
memiliki klaim penuh atasnya. Sebagaimana individu memiliki kebebasan

bertindak berkenaan dengan dirinya, ia juga memiliki klaim yang tak terbantah
atas apa saja yang diciptakannya. Atas pertimbangan ini, kepemilikan sebagai
hasil kerja seseorang dan bentuknya yang disadari olehnya, dianggap sebagai hal
yang natural dan logis.
Kedua konsep diatas merupakan doktrin etis Islam; yaitu Tuhan sebagai pemilik
Mutlak atas segala sesuatu (QS Ali Imran,189). Sementara manusia hanya
menjadi wakilnya di bumi (QS Al-Baqarah 30). Dari premis pertama tersebut
selanjutnya dapat ditarik premis kedua bahwa manusia dalam kehidupan sosial
yang ada, memiliki suatu klaim kepemilikan, baik yang bersifat individual
maupun kolektif. Dari premis awal pula, logika menetapkan bahwa produsen
suatu barang dinisbahkan sebagai pemiliknya. Atau dengan kata lain, seorang
manusia yang memiliki diri otentik diamanatkan sebagai pemilik kerjanya
maupun produk kerjanya. Ini merupakan salah satu asal usul kepemilikan
insaniah; yaitu pertama, kerja kreatif. Kerja kreatif dapat dianggap sebagai sumber
kepemilikan, yang tercangkup oleh dan sesuai dengan nalar sedemikian hingga
tidak perlu ada paradoks atau paralelisme (bahesti 1992, 14-15). Kerja kreatif
menciptakan nilai konsumsi baru dan meningkatkan kualitas dan kuantitas nilai
konsumsi keseluruhan yang ada. Tingkatan kepemilikan individu atas komoditas
yang diproduksinya dapat diukur oleh kontribusinya dalam proses produksi
tersebut. Dalam hal ini, kerja produktif yang dimaksud mencakup baik aktivitas
langsung maupun tidak langsung yang memberikan tambahan bersih pada
kuantitas dan kualitas barang.
Kedua; dalam konteks lainnya, ada bentuk kepemilikan yang berbeda dengan
yang pertama, yaitu ketika dijumpai perolehan yang berasal dari alam tanpa perlu
mengolah atau memodifikasinya. Dalam hal ini, apa yang dilakukan
sesungguhnya adalah kerja konsumsi dimana tindakan itu tidak dapat disebut
sebagai aktivitas ekonomi atau aktivitas produktif. Persoalan seperti ini
mengharuskan bahwa selain produksi, terdapat kepemilikan lainnya yang disebut
perolehan (acquisition), yang dalam terminologi fiqh atau yurisprudenci syariah
memiliki nama lain hiazat, yang ringkasnya berarti kepemilikan atas sesuatu
(bahesti 1992,19-21). Manusia memalii hiazat memiliki bagiannya atau apa yang

menjadi miliknya, tidak menjadi soal apakah hiazat tersebut merupakan asal-usul
kepemilikan atau mendahuli prevalensinya. Manusia dipandang sebagai pengatur
alam, memiliki hak memanfaatkan atau mengeksplotasikannya, tentu saja dengan
cara-cara yang baik. Seluruh manusia adalah pengatur alam, sementara masingmaasing individu memiliki jatah rizkinya sendiri sehingga ia berhak
berpartisipasi dalam praktek hiazat guna memperoleh keuntungan dari karunia
alam. Hiazat mengandung arti menjadikan sesuatu sebagai milik atau mengambil
kendali atas sesuatu. Jadi hiazat adalah perolehan jatah seseorang dari asset
keseluruhan.
Kepemilikan oleh individu terhadap alam ada bersama orang lain dalam bentuk
kepemilikan kolektif. Sifat kepemilikan demikian disebut musya (bahesti 1992,
21-22). Dalam hukum islam terdapat dua bentuk kepemilikan kolektif yang
dipertahankan (bahesti 1992, 22-25). Satu bentuk adalah kepemilikan masyarakat,
yang melalui hiazat, kepemilikan individu dimunculkan. Sementara itu, bentuk
lainnya muncul sebagai kepemilikan kolektif yang bersifat tetap. Pandangan
tersebut menganggap bahwa milik masyarakat tidak sama dengan milik bersama.
Yang pertama berarti kepemilikan atas kekayaan atau sumber-sumber ekonomi
yang eksistensinya berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat secara
keseluruhan, sementara yang kedua adalah kepemilikan kolektif yang belum
direalisasi sebagai milik individu. Dinyatakan dalam salah satu hadits:
kepemilikan manusia terbagi dalam tiga barang: api, air, dan padang rumput.
Kesimpulan yang dapat diambil dari pernyataan hadits ini adalah bahwa dalam hal
ini kepemilikan masyarakat, semua orang dapat memanfaatkannya tanpa menjadi
pemilik kekayaan tersebut.
Berkaitan dengan kepemilikan individu, walaupun diperoleh melalui cara-cara
yang sah, tidak begitu saja menjadi halal pula kecuali telah dikeluarkan bagian
hak kolektifnya dari kepemilikan individu. Islam menempati posisi unik dalam hal
ini dengan mendasarkan diri pada kerangka etis keseimbangan di mana dalam hak
seseorang atas kekayaan secara bersamaan terselip pula azasi hak orang lain.(QS
Al-Anam 141)

Sebagaimana dinyatakan oleh ayat diatas, zakat adalah representasi azas


keseimbangan hak kepemilikan dalam islam. Substansi zakat bukan sekedar
kewajiban individu terhadap masyarakat, tetapi lebih dari itu, ia merupakan hak
masyarakat atas individu secara langsung. Segera ketika seseorang memperoleh
sejumlah akumulasi kekayaan tertentu, bersamaan dengan itu terbit pula hak
masyarakat atasnya.
Konsep demikian lebih tegas daripada konsep liberal yang menempatkan
kepedulian sosial dalam kerangkan kewajiban kemanusiaan. Hal ini sekaligus juga
menjawab problem penempatan hak kolektif di atas hak individu terhadap
kekayaan seperti dalam sosialisme marxis. Bahwa secara natural memang akan
selalu ada golongan yang lebih mampu dari golongan yang lain, namun ini tidak
menyebabkan kelebihan tersebut harus disamakan, atau sebaliknya harus
dibebaskan dengan pembatasan yang bersifat sekunder.

Berangkat dari kerangka ini, A.M.Saefuddin kemudian menyarikan nilai-nilai


dasar kepemilkan dalam Islam (munief 1997,67-69). Nilai-nilai dasar tersebut
ditambah dengan point 4 yang merupakan interpretasi penjelasan sebelumnya
tentang zakat sebagai hak kolektif :
1. pemilikan terletak pada pemilikan kemanfaatanya dan bukan penguasaan
mutlak terhadap sumber-sumber ekonomi. Hal ini tertuang dalam aturanaturan syariah dalam bentuk yang ketat; seseorang yang tidak mengolah
dan memproduksi manfaat dari sumber-sumber ekonomi yang
diamanatkan Allah swt kepadanya akan kehilangan haknya atas sumbersumber ekonomi tersebut.
2. Pemilikan terbatas sepanjang umur hidup seseorang. Apabila dia
meninggal dunia, kepemilkan harus disitribusikan kepada ahli warisnya
menurut ketentuan syariah.

3. Pemilikan perorangan tidak diperbolehkan terhadap sumber-sumber yang


menyangkut kepentingan umum atau menyangkut hajat hidup orang
banyak. Yang dimaksud dalam katagori ini adalah barang tambang,
minyak bumi dan kebutuhan pokok manusia pada waktu dan kondisi
tertentu; termasuk di dalamnya sumber-sumber air minum, hutan, udara,
dan ruang angkasa.
4. Dalam kepemilikan perorangan yang sah, masih terdapaat klaim
kepemilikan kolektif dalam bagiannya itu yang dapat menjadikaannya
tidak sah bila tidak terbagi. Untuk mensahkannya perlu dikeluarkan dahulu
hak dari sebagian orang yang lain sesuai tata cara syariah.

Syariah sebagai hukum positif selanjutnya menetapkan dan mengatur konsep


kepemilikan pribadi tersebut sebagai berikut : (munif 1997, 73-76)
1. Ketentuan pertama menegaskan bahwa syariah tidak mengizinkan
kepemilikan kekayaan yang tidak dimanfaatkan.
2. Ketentuan kedua mencakup ketentuan syariah mengenai perilaku
pemilik kekayaan pribadi dimana ia harus membayar zakat
sebanding dengan kekayaan yang dimilikinya. Bagi yang tidak
mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya atau tidak bisa
bekerja, tidak wajib mengeluarkan zakat.
3. Ketentuan ketiga memberikan tekanan terhadap penggunaan yang
berfaedah dari harta benda di jalan Allah, yang berarti semua hal
yang bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan dan
mendatangkan kemakmuran serta kesejahteraan bersama.
4. Ketentuan keempat terkait dengan ketentuan sebelumnya, di mana
penekanannya terhadap harta benda yang berfaedah berarti pula
membebankan kewajiban kepada pemilik harta benda itu untuk

menggunakannya sedemikian rupa sehingga tidak mendatangkan


kerugian bagi orang lain atau masyarakat.
5. Ketentuan kelima menekankan legalitas yang mengatur perilaku
pemilik harta benda. Seluruh tindakan untuk memperoleh dan
memanfaatkaan harta benda tidak diperbolehkan melalui cara-cara
yang melanggar syariat.
6. Ketentuan keenam mensyaratkan pemilik harta benda untuk
memanfaatkan kepemilikannya secara seimbang; dengan tidak
boros maupun kikir.
7. Ketentuan ketujuh menegaskan penggunaan harta benda dengan
menjamin kemanfaatannya sesuai hak pemilik.
8. Ketentuan terakhir merupakan ketentuan yang mengatur
pengawasan dan pembagian harta karena kematian pemiliknya
untuk kepentingan yang ditinggalkan melalui hukum waris.

Berangkat dari prinsip-prinsip dasar kepemilikan dalam islam serta aturan-aturan


syariah yang mengatur konsep kepemilikan, dalam konteks pemilikan saranasarana produksi, Islam menekankan pertanggungjawaban personal di antara
anggota-anggota organisasi bisnis. Ini menyebabkan organisasi organisasi bisnis
yang sebenarnya. Dalam Islam, suatu organisasi bisnis dipandang sebagia kontrak
dalam dua atau lebih individu bersepakat untuk memberikan baik modal maupun
tenaga kerja pada suatu usaha bersama. )gambling dan karim 1991, 35)
Konsep kepemilikan secara syariah akhirnya dapat disimpulkan merupakan satu
konsep yang berusaha untuk menyeimbangkan kebebasan individu dengan
kepentingan masyarakat yang secara spesifik terkait erat dengan nilai etis yang
berangkat dari nilai-nilai dasar Islam. Inilah kekhasan dari paradigma kepemilikan
syariah sekaligus kesulitan tersendiri dalam penerapannya. Keseimbangan yang
dicita-citakan dalam konsep kepemilkan menurut paradigma Islam seringkali

bersifat normatif dan ideal hingga sukar diterjemahkan dalam bentuk yang lebih
material. Untuk menjamin terlaksananya nilai-nilai etis yang berlaku dalam
konsep kepemilikan syariah. Sejauh institusi-institusi tersebut masih bersifat
elestis; dalam arti bahwa masyarakat luas kurang memiliki akses terhadap
mekanisme syura hingga dapat menghasilkan keputusan yang berpihak pada
masyarakat, maka implementasi konsep kepemilikan yang seimbang tetap akan
sulit terwujud. Sebagaimana teori-teori kepemilikan liberal yang memberikan
legitimasi etis pada kerakusaan rezim kapitalisme; teori kepemilikan syariah dapat
pula terjebak dalam posisi lebih buruk; memberikan legitimasi etis terhadap
konsep kepemilikan yang diatur secara otoritier oleh negara dengan pembenaran
atas nama tuhan.
Apabila pelaksanaan konsep kepemilikan syariah ternyata tidak didukung
secara institusional oleh kelengkapan pranata-pranata syariah, maka dapat terjadi
perwujudan nilai-nilai etis Islam dalam konsep kepemilikan hanya mengandalkan
kepatuhan personal seorang muslim terhadap khaliqnya. Jika ini yang terjadi,
paradigma islam tidak akan dapat dibahasakan secara komunal karena masyarakat
sebagai kolektifas tidak memiliki kepanjangan tangan melalui institusi-institusi
untuk mengendalikan dan memastikan bahwa aturan-aturan syariah telah
ditegakkan. Secara pragmatis, doktrin-doktrin etis memang sering kali harus
berhadapan dengan fakta empiris. Mengharapkan semata-mata pengawasan
langsung dari Allah swt sebagai hakim yang muthlak tentu saja merupakan utopis
asketis luar biasa yang dapat mengakibatkan kesewenang-wenangan terhadap
kemanusiaan, otomatis mengibiri keagungan Islam

4. Komparatif interpretatif konsep ekuitas


1. Asumsi dan pokok bahasan ekuitas
Secara umum, pokok pembahsan yang ingin dijawab, timbul dari kerangka
fundamen asumsi-asumsi yang tersusun sebelumnya pada uraian tentang latar
belakang pemulisan. Asumsi-asumsi tersebut sangat penting sebagai basis

pertanyaan-pertanyaan yang muncul kemudian. Sebagaimana telah diuraikan


dalam alur pemikiran sebelumnya, asumsi-asumsi berikut mungkin terasa kurang
lazim bila mengacu pada figur akuntansi kapitalis. Namun demikian,
penjelasannya akan tetap didasari atas argumentatisi logis sebagaimana telah
diuraikan pada latar belakang penulisan. Asumsi-asumsi tersebut secara beruntun
dijabarkan sebagai berikut:
1. Akuntansi tidak bebas nilai sehingga secara implisit mengandung karakterkarakter subjektif yang inherin.
2. Konsep ekuitas adalah salah satu metafor yang merupakan simbol konsep
kepemilikan dalam bahsa akuntansi yang niscaya tidak dapat bebas nilai
pula.
3. Beberapa tinjauan para pakar berakhir pada kesimpulan bahwa konsep
kepemilikan dalam akuntansi banyak dipengaruhi oleh ide kapitalisme.
4. Aktiva dan kewajiban sebagai komponen penyusunan persamaan
akuntansi yang membentuk Teori Ekuitas diasumsikan sebagai given dan
tetap.
2. Analisa Kepemilikan dalam Ekuitas Kapitalis
Batasan-batsan definitif sebagai bagian hak pemilik dalam perusahaan
sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya pada akhirnya menyertakan beberepa
konsekuensi etis yang membuka ruang dialetik untuk perdebatan pemikiran.
Morgan-seorang pakar akuntansi alternatif-pernah menyatakan bahwa teori dan
praktik akuntansi pada dasarnya dapat dipandang sebagai sebuah metafor yang
mewakili ide-ide tertentu dari fakta dan realitas (morgan 1988).
Dengan logika deduktif, akuntansi ekuitas dapat dipandang dengan cara lain
sebagai metafor klaim kepemilikan dalam bahasa numerik. Lebih jauh lagi,
akuntansi ekuitas sebagai metafor klaim kepemilikan berarti mengukuhkan pada
dirinya sebuah pranata milik yang harus mendasarkan diri dan dimapankan oleh
legitimasi etis tertentu. Ini adalah pokok pikiran yang linear dengan elaborasi

sebelumnya; bahwa setiap pranata milik memerlukan teori pembenar dengan cara
mana hak kepemilikan dipahamkan sebagai pranara pribadi sejauh terdapat
keyakinan umum bahwa hal tersebut adalah lebih asasi.
Problem normatif yang kemudian timbul dari terbukanya diskursus etis ini adalah
apa yang disebut dalam katagori-katagori bahasa foilosofis sebagai problem apanya (ontologi) dan bagaimanya (epistemologi) konsep kepemilikan dalam ekuitas.
Dengan kata lain, akuntansi ekuitas sebaagi simbolisasi nilai tertentu tentang
klaim kepemilikan harus dapat dilacak secara sistimatis menuju preposisi etisnya,
dan kemudian dijelaskan korelasi dan proses berlakunya hingga menjadi sebuah
pernyataan aksidental yang diskrit. Sebagai sebuah pranata milik yang
memapankan suatu proposisi dan konsepsi tertentu tentang klaim kepemilikan,
ekuitas menjadi metafor dari suatu substansi yang harus mampu secara
argumentatif menjawab problem ini untuk secara etis sah menyatakan dirinya
sebagai pranata milik.
3. Ekuitas dan Hakikat Kepemilikan
Pengertian tentang milik tidak pernah permanen sepanjang sejarah peradaban.
Dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan dan suksesi berbagai aspek sosialbudaya masyarakat yang berdimensi kompleks, pranata serta persepsi orang
tentang realitas material selalu berubah pula. Terjadinya perubahan tersebut sangat
terkait dengan perubahan-perubahan tujuan masyarakat atau golongan tertentu
yang dominan yang diharapkan dapat dilayani oleh pranataa milik.
Hal ini pada akhirnya mengakibatkan pengertian tentang kepemilkian sangat
korelatif dengan konteks kulturnya, spasial, dan kesejarahannya.
Pada saat harapan-harapan mengalami perubahan, problem kepemilikan mulai
berkembang menjadi permasalahan yang kontroversial. Soalnya bukan saja
tentang bagaimanakah seharusnya pranata milik itu ditetapkan, tetapi juga
perdebatan mengenai hakikat pranata milik itu sendiri.begitu setiap orang
memiliki harapan yang berbeda-beda, maka tentu saja mereka akan melihat faktafakta tentang pranata buatan manusia yang menciptakan dan melestarikan relasi

tertentu antara orang-orang, dan itulah sesungguhnya hakikat milik yang tidak
akan pernah dapat disimplikasikan dalam sebuah penjelasan yang defintif. Pranata
dibuat dan dimapankan untuk tujuan tertentu, baik untuk mengabdi pada
kebutuhan-kebutuhan manusia yang dianggap esensial, yaitu yang akan
mendeterminasi-sekurang-kurangnya batas-batas itu-apakah pranata itu,maupun
untuk memenuhi kebutuhan golongan yang dari waktu ke waktu telah membuat
atau mengubahnya ke dalam bentuk tertentu.
Ide orang tentang kepemilikan dapat dikatakan adalah akibat sekaligus sebab dari
apakah sebenarnya problem tentang kepemilikan tersebut pada konteks tertentu.
Gagasan mereka tentunya memiliki relasi tertentu-meski tidak selalu merupakan
analog yang persisten-dengan realitas yang sesungguhnya eksis. Dan perubahanperubahan terhadap realitas sebagian memang disebabkan pula oleh perubahan ide
dan pandangan orang mengenai hal tersebut. Ini berarti bahwa kepemilikan adalah
suatu pranata sekaligus suaru gagasan, dimana keduanya selalu dalam keadaan
saling berpengaruh satu sama lain sepanjang perkembangannya.
Bersamaan dengan suatu komunitas-baik berdasarkan adat, konsensus, atau
hukum-membuat suatu pembedaan antara milik dan sekedar memiliki harta benda
fisik, maka secara otomatis dapat diartikan bahwa masyarakatnya sesungguhnya
telah menerima secara implisit milik sebagai suatu hak. Memiliki suatu pemilikan
adalah memiliki hak, dalam arti suatu klaim yang bersifat memaksa terhadap
suatu utilitas atau manfaat atas sesuatu. Apa ynag membedakan antara harta milik
dengan sekedar pemilikan sementara adalah bahwa milik itu merupakan suatu
klaim yang dapat dipaksakan oleh masyarakat atau negara, oleh adat, atau sebuah
konsensus maupun hukum.
Sebagai suatu klaim yang bersifat memaksa, tidak berarti bahwa semua ahli teori
telah sepakat secara etis mengenai implementasi pemaksaan hak milik oleh suatu
perangkat hukum. Sebaliknya, bahkan seorang pakar liberal pun menegaskan
bahwa rangkaian hak yang ada- yaitu klaim-klaim yang dapat dipaksakan-tidaklah
secara moral niscaya benar, dan bahwa serangkaian hak-hak yang lain hatus
diresmikan. Dengan berbuat demikian, mereka beranggapan bahwa serangkaian

klaim yang saling beroposisi harus dapat dibuat menjadi hal yang dapat
dipaksakan pula untuk menjaga harmoni antara hak dan kewajiban.
Klaim kepemilikan tidaklah berlandaskan pada ancaman semata-mata.ancaman
paksaan hanya ditampilkan sebagai instrumen yang dianggap perlu untuk
menjamin suatu hak yang bersifat azasi, walaupun perdebatan tentang tingkatan
kualitatif azasi dalam bahasa individu vs bahasa kolektif sampai saat ini masih
berlangsung dalam porsi intensif antara berbagai perspektif pemikiran. Milik
dianggap sebagai suatu hak bukan karena milik adalah klaim yang dapat
dipaksakan, legitimasi paling populer terhadap setiap pranata milik, yaitu bahwa
milik harus merupakan klaim yang dapat dipaksakan, disebabkan karena milik
perlu merealisasikan alam fundamental manusia. Milik berperan demikian, yaitu
merupakan klaim yang dapat dipaksakan, hanya karena dan sejauh teori etika
yang unggul beranggapan bahwa hal itu adalah hak manusiawi yang sudah
seharusnya ada. Dengan kualifikasi ini, anggapan bahwa kepemilikan adalah suatu
hak tidak berarti menyetujui pula suatu sistem tertentu mengenai kepemilikan
sebagai benar,dan telah merumuskan hak aktual sebagai klaim yang dapat
dipaksakan secara aktual pula.
Implikasi logis dari definitif kepemilikan sebagai suatu klaim yang dapat
dipaksakan akan mengarahkan terminologi kepemilikan secara sosiologis dalam
hubungan politik antar personil. Kepemilikan adalah suatu fenomena politik,
dimana terdapat suatu hubungan interaksi yang kohesif dalam afinitas motif-motif
yang saling berbeda antar pribadi-pribadi. Setiap sistem milik adalah suatu sistem
hak dari setiap pribadi dalam hubungannya dengan pribai-pribadi yang lain. Ini
tampak jelas dalam permasalahan milik pribadi modern; yakni hak seseorang
untuk mengesampingkan orang lain dari sesuatu atau untuk tidak dikesampingkan
dari sesuatu, dimana hal ini berlaku pula pada setiap bentuk milik bersama.
Gagasan tentang suatu klaim yang dapat dipaksakan pada akhirnya niscaya
bersifat politis karena harus didasari oleh motif-motif atau nilai normatif individu
yang berbeda-beda yang diperjuangkan oleh masing-masing orang sehingga perlu
ada suatu perangkat pemaksa tertentu untuk menjamin harmonisasi interaksi
antar-individu ini.

4. Urgensi Teori-Teori dalam Ekuitas


Ketika kepemilikan berkembang menjadi permasalahan yang kontroversial, pada
saat itu pula mulai timbul tuntutan kritis terhadap lembaga dan pranata-pranata
milik. Problem yang paling umum adalah bahwa lembaga atau pranata-pranata
milik selalu dianggap memerlukan legitimasi berdasarkan tujuan sosial atau
tujuan yang lebih menusiawi secara azazi. Alasannyaa tercakup dalam dua fakta
yangn telah diuraikan sebelumnya mengenai hakikat milik; pertama, bahwa milik
adalah suatu hak dalam arti suatu klaim yang dapat dipaksakan, dan kedua, bahwa
meskipun sifat klaim yang dapat dipaksakan tersebut membuat hak kepemilikan
menjadi hak menurut hukum, namun karakter yang dapat dipaksakan itu sendiri
tergantung pada keyakinan suatu masyarakat bahwa hak tersebut adalah hak
moral. artinya, milik tidak dipandang sebagai suatu hak karena dapat dipaksakan,
tetapi milik adalah klaim yangn dapat dipaksakan sejauh milik tersebut dipandang
sebagai hak yang manusiawi. Ini adalah cara lain untuk mengatakan bahwa setiap
lembaga milik memerlukan teori pembenar sebagai legitimasi etis. Hak menurut
hukum haruslah didasarkan atas keyakinan umum bahwa hal itu adalah sesuatu
yang bersifat lebih azazi. Jika kepemilikan tidak memiliki legitimasi seperti itu,
maka milik bukanlah sesuatu yang substansi dan tidak akan dapat bertahan
sebagai klaim yang dapat dipaksakan. Jika milik tidak memperoleh pembenaran,
maka ia tidak dapat dikatakan sebagai milik.
Terdapat semacam konsensus perhatian terhadap karakter umum berbagai teori
pembenar, teori-teori legitimasi yang meningkat dalam gradasi-gradasi kualitatif
milik atas sarana-sarana hidup yang paling dasar sampai ke tingkat yang lain;
yaitu milik atas sarana-sarana hidup yang menghasilkan keperluan-keperluan
untuk kehidupan. Puncak legitimasi pranata milik, tetapi kehidupan manusiawi
secara penuh, suatu kehidupan wajar, sebagaimana dikatakan oleh para filsuf
idealis mulai plato sampai T.H. Green, atau minimal sebagaimana diringkaskan
oleh parta filsuf utilitarianis seperti J.S.Mill sebagai kehidupan yang
menguntungkan. Namun demikian, dengan sedikit perhatian yang lebih cermat,
para pemikir yang serius segera dapat melihat bahwa hak-hak atas apa yang

diperlukan untuk menghasilkan pranata-pranata kehidupan bahkan adalah lebih


penting.
Tidak diragukan lagi, hak atas komoditas yang diperlukan untuk mempertahankan
hidup dalam arti tertentu adalah yang paling azasi. Misalnya tanpa milik atas
kehidupan makan sehari-hari, maka milik jenis lain apapun tidak akan berguna
sama sekali. Tertadap jenis-jenis kepemilikan lain yang lebih berpengaruh secara
luas, misalnya milik dalam bentuk tanah dan modal. Barang-barang tersebut,
bilamana disertai dengan kerja seseorang, membawa serta suatu kekuatan untuk
dalam taraf tertentu mengendalikan kehidupan orang lain. Milik yang berbentuk
alat-alat produksi lebih memerlukan legitimasi daripada milik biasa dalam bentuk
komoditas komsumsi untuk hidup dengan argumen ini, meskipun teori-teori milik
itu mungkin bermula dari suatu pembenaran tehadap milik yang berbentuk
barang-barang konsumsi, namun teori-teori tersebut kemudian berkembang
semakin kompleks menjadi problem pembenaran (atau serangan) terhadap milik
dalam bentuk tanah, modal, dan tenaga kerja. Hal inilah-potensi untuk
mempengaruhi kehidupan -orang lain-yang mengarahkan diskursus tentang
legitimasi milik memasuki wilayah-wilayah etis.
Suatu sistem hak atas milik adalah suatu sarana yang digunakan oleh masyarakat
dalam usahanya untuk melaksanakan tujuan para warganya, atau sebagian tujuan
dari para warganya. Namun demikian, permasalahan yang timbul seiring
perkembangan kompleksitas hak milik melampaui hak-hak atas kebutuhan primer
mengarahkan diskursus kepemilikan menjadi perdebatan yang tidak pernah putus.
Setiap sistem milik cendrung berubah berdasarkan momentumnya sendiri, dengan
membawa konsekuensi yang berbeda daripada yang dimaksudkan pada awalnya.
Sementara terjadi seperti itu, sistem tersebut sangat mungkin memerlukan
penyesuain kembali agar segala deviasi dari tujuan semula dapat dikoreksi.
Usaha-usaha reformulasi seperti inilah yang dapat ditelaah kemudian sebagai
pengembangan berbagai alternatif teori pembenar konsep kepemilikan.
Pergumulan dialetis, bahkan oposif, berbagai gaya pemikiran tentang milik tak
pelak telah membuka ruang untuk mengedepankan pula klaim-klaim ideologis

dari masing-masing pendapat karena pengaruh latar belakang ide para


penggagasnya. Dan tepat pada titik ini, setiap pemikiran tidak pernah menjadi
bebas ideologis.

4. Penutup
Berdasarkan ekspolarasi dasar-dasar teori, dilanjutkan dengan elaborasi yang
cukup sistematis, serta diakhiri dengan analisis komparatif interpretatif
berdasarkan bukti-bukti pendukung yang didapat, maka beberapa point penting
yang diperoleh dari seluruh analisis tersebut dipaparkan sebagai kesimpulan
sebagaimana dibawah ini.
Disiplin ilmu akuntansi bukanlah ilmu atau instrumen yang nnetral (value-free),
namun merupakan disiplin (dan praktik) yang sarat dengan muatan nilai dan
ideologi yang berinteraksi saling mempengaruhi dengan realitas sosial. Secara
makro akuntansi dipengaruhi oleh sistem ideologi di mana akuntansi itu
dipraktekkan, dan secara makro juga dipengaruhhi oleh bentuk organisasi. Faktorfaktor akuntansi selanjutnya akan dipengaruhi oleh akuntansi, termasuk
mempengaruhi perilaku manusia.
Teori ekuitas merupakan bagian yang tidak dipisahkan dari disiplin akuntansi.
Teori ini akan mewarnai bentuk akuntansi itu sendiri, termasuk informasi
akuntansi yang disajikan. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari disiplin
akuntansi, teori ekuitas juga tidak steril dari basis nilai normatif dan ideologi
tertentu yang melingkupinya. Dengan basis parameter moneternya, teori ekuitas
sebagai perwujudan kepemilikan memaparkan informasi ekonomi-kuantitatif yang
konsekuensinya akan mempengaruhi perilaku dari pengguna informasi tersebut.
Hak kepemilikan sendiri yang dalam realisasinya berpeluang memiliki peran
sebagai regulator, sebagai kekuatan sosial, sekaligus institusi pemaksa,
memerlukan legitimasi teoritis-etis sebagai dasar perannya itu. Ekuitas pada titik
ini memerlukan sebentuk teori legitimasi etis. Teori-teori legitimasi etis konsep

kepemilikan yang berkembang dalam muatannya dicirikan pula oleh nilai-nilai


ideologis dan paradigma ideologi yang mendasarinya.
Bentuk-bentuk normatif konsep kepemilikan diderivasi dari berbagai paradigma
yang berakar dalam epistimologi ideologi kapitalis, syariah. Berbagai paradigma
konsep kepemilikan tersebut dapat diperbandingkan guna memperoleh
pemahaman hak kepemilikan dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Konsep
kepemililkan paradigma kapitalis bercirikan kebebasan atas realisasi kepemilikan
privat, konsep kepemilikan paradigma syariah menampilkan prinsip
keseimbangan antara hak privat dan hak kolektif dalam hak kepemilikan. Dalam
konteks akuntansi kapitalis, konsep kepemilikan dalam teori ekuitas yang berlaku
umum dipengaruhi oleh aspek-aspek ideologi yang sangat terkait dengan dasardasar konsep kepemilikan dalam epistemologi kapitalisme.
Konsepkonsep kepemilikan dari berbagai paradigma terutama paradigma syariah
diproyeksikan secara deduktif menjadi hipotesis formulasi teori ekuitas yang
berdasarkan paradigma-paradigma tersebut. Hasil formulasi teori ekuitas dari
berbagai paradigma yang berbeda mengimplikasikan konsekuensi yang berbedabeda pula, yang masih harus diteliti lebih lanjut kelebihan dan kekuatannya
masing-masing, serta peluang realisasinya dalam lapangan empiris.

DAFTAR PUSTAKA

Accounting Principles Board of AICPA,1971, APB Statement No.04. AICPA Inc.


Arrington, C.E dan J.R Francis, 1989, " Letting the Chat Out of the Bag:
Decontruntion, Privilege, and Accounting Reseach", Accounting, organization and
Society, Vol. 14, Ns 1/23, 1-28

Ash Shiddieqy, 1976, T.M., Pedoman Zakat, Bulan Bintang, Jakarta


Ash-Shadar, Muh. Baqir, 1994, Falsafatuna-Pandangan Muhammad Baqir AshShadar terhadap berbagai Aliran Filsafat Dunia, Ter. M.N. Mufid bin Ali, Mizan,
cet 4. Bandung.

Baydon, nabil dan Roger Willer, 1994, Islamic Accounting Theory, The AANZ
Annual conference, 3-6 Juni, Australia.

Behesti, M.H., 1988, Kepemilikan dalam Islam, diterjemahkan oleh Lukman


Hakim dan Ahsin M. Pustaka Hidayah, Jakarta

Belkaoui, Ahmed, 1981, Accounting Theory, hercourt Brave Jovanovich, Inc,


New York.

Dillard, Dudley, 1987, " Kapitalisme" dalam M.D Rahardjo, LPE3S, Jakarta
Durkhem, Emil, 1986, Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, terj, Taufiq
Abdullah dan A.C. Van der Leeden, yayasan obor Indonesia, Jakarta.

Gaffiikin, M.J.R, 1996, " Accounting for now and the Future". Accounting;past
present, and future seminar, STIE Malangkuceswara, Malang.

Gambling, Trevor, and R.A. Abdul Karim, 1991, Business and accounting Rthics
in Islam, Manshell Publishing Ltd, London

Ghozali, Imam, 1996, " Perkembangan Paradigma penelitian Akuntansi", media


Akuntansi, no 13, 46-49

Heilbroner, Robert L., 1991, Hakekat dan Logika Kapitalisma, terj. Hartono
Hadikusumo, LP3ES, Jakarta.

IAI, 1995, Standar Akuntansi keuangan, Salemba Empat, Jakarta.


Larrain, Jorge, 1996, Konsep Ideologi, terj oleh Ryadi gunawan, LKPSM,
Yogyakarta.
Macpherson, C>B, 1989, Pemikiran Dasar Hak Milik, Cet I, Terj. C. Woekirsari
dan Haryono, YLBHI, Jakarta.

Munief, H., 1997," Analisa Perbandingan Konsep kepemilikan dalam Akuntansi


Modern dan Akuntansi Syariah," Skripsi. Jurusan Akuntansi fakultas Ekonomi
universitas Padjadjaran, Bandung.

Safri Harahap, Sofyan, 2001, " Menuju Perumusan Teori Akuntansi Islam"
November 2001, Pustaka Quantum, Jakarta.

Sawarjuwono, Tjiptohadi, 1995," Aplikasi Nilai-nilai Islam ke dalam Standar


Akuntansi Keuangan, perlukah?", media Akuntansi, 08, 52-57

Triyuwono, Iwan, 1996, " Teori Akuntansi berhadapan nilai-nilai Islam", Journal
Kebudayaan dan peradaban-Ulumul Qur'an, no. 5, 44-60

Triyuwono, Iwan, 2000, Organisasi dan Akuntansi Syariah: Implementasi nilai


keadilan dalam format metafor amanah, journal Akuntansi dan Auditing
Indonesia Vol 4, no 1, 1-34

Wibisana, M. Yusuf, 1989." Akuntansi Sosial: Evolusi dalam sejarah Akuntansi".


Media Akuntansi, 4, 45-49

Efisiensi vs Ekuitas
Dengan Tejvan Pettinger pada tanggal 30 November 2010 di ekonomi

Sebuah masalah besar dalam ilmu ekonomi adalah trade off antara efisiensi dan
ekuitas.

Efisiensi berkaitan dengan produksi yang optimal dan alokasi


sumber daya yang diberikan faktor-faktor produksi yang ada.
Lihat: Berbagai jenis efisiensi

Ekuitas berkaitan dengan bagaimana sumber daya yang


didistribusikan ke seluruh masyarakat.

1. Ekuitas vertikal berkaitan dengan pendapatan relatif dan


kesejahteraan seluruh penduduk misalnya kemiskinan Relatif
ketika orang memiliki kurang dari 50% dari pendapatan rata-

rata. Ekuitas vertikal berkaitan dengan bagaimana sumber daya


yang cukup didistribusikan dan dapat menyiratkan tarif pajak
yang lebih tinggi untuk berpenghasilan tinggi.
2. Ekuitas horizontal mengobati setiap orang dalam situasi yang
sama yang sama. misalnya setiap orang mendapatkan 15.000
harus membayar tarif pajak yang sama.

Konsep efisiensi dapat diartikan kurangnya ekuitas.


Sebagai contoh, Charge Komunitas (pajak Poll) dianggap ekonomis efisien karena
pajak tidak merusak perilaku ekonomi. (Misalnya tidak mengurangi insentif untuk
bekerja). Namun, dengan membuat jutawan membayar pajak yang sama sebagai
pensiunan miskin, itu dianggap tidak adil.
Sebuah pajak pada rokok dapat dikatakan untuk meningkatkan efisiensi sosial .
Pajak membuat orang membayar biaya sosial merokok. Namun, pajak rokok juga
sangat regresif. Dibutuhkan% lebih besar dari pendapatan dari berpenghasilan
rendah.
Efisiensi Pareto yang bersangkutan dengan menciptakan situasi di mana kita tidak
dapat membuat dari salah satu pihak lebih baik tanpa membuat pihak lain lebih
buruk.
Sebagai contoh, sebuah negara dapat mengabdikan 60% dari PDB untuk
pembuatan persenjataan. Dalam melakukan ini, mereka dapat mencapai teknis dan
efisiensi produktif dan menghasilkan di perbatasan kemungkinan mereka
produksi. Karena itu dari perspektif ini mereka efisien. Tapi, seperti ekonomi
mungkin memiliki banyak kesenjangan, dengan porsi besar penduduk berjuang
untuk memiliki cukup untuk makan.
Bank talangan dan Ekuitas.

Dari satu perspektif kita dapat mengatakan bailing out bank merupakan kebutuhan
ekonomi karena mencegah keruntuhan kepercayaan di sistem perbankan. Dengan
bailing out bank, kita mengaktifkan perekonomian yang lebih produktif efisien.
Namun, dari perspektif lain tampaknya tidak adil bahwa pemerintah
memungkinkan bankir untuk mempertahankan pekerjaan membayar tinggi
sementara mereka menerapkan pemotongan bagi pekerja berpenghasilan rendah.
Peningkatan Ketimpangan dan Peningkatan Pertumbuhan.

Kadang-kadang, kebijakan ekonomi menciptakan situasi di mana semua orang


menjadi lebih baik (meningkat pendapatan riil di seluruh populasi). Namun,
mereka yang berpenghasilan tinggi mendapatkan kenaikan lebih besar% dalam

pendapatan riil. Hasilnya adalah bahwa semua orang menjadi lebih baik, namun,
ada juga ketimpangan pendapatan yang lebih besar. Oleh karena itu, beberapa
orang mungkin merasa bahwa mereka muncul relatif lebih buruk dibandingkan
dengan orang lain dalam masyarakat.
Ini adalah peningkatan kesejahteraan ekonomi pareto tetapi juga peningkatan
ketidaksetaraan.
Titik akhir adalah bahwa ada tidak harus menjadi trade off antara kesetaraan dan
efisiensi. Peningkatan efisiensi, umumnya harus membuat perekonomian lebih
baik. Tidak ada alasan mengapa peningkatan efisiensi telah menyebabkan
ketimpangan. Hal ini kompatibel untuk meningkatkan efisiensi dan pemerataan
dalam masyaraka

Ekuitas dan pertumbuhan ekonomi


Sementara pertumbuhan ekonomi ini tidak berarti diabaikan dalam
perdebatan perubahan iklim dan pembangunan, ada dua isu yang luas
untuk dipertimbangkan, salah satu yang menerima perhatian secara
signifikan lebih dari yang lain.
Isu pertama berkaitan dengan intensitas energi dari pertumbuhan
ekonomi: itu adalah mapan dan diterima bahwa cara di mana kita
menghasilkan pertumbuhan ekonomi harus berubah. Pertumbuhan
ekonomi, singkatnya, akan dipisahkan dari intensitas energi jika masa
depan adalah untuk menjadi karbon makmur dan rendah. Ada upaya
yang meningkat untuk melukis gambaran yang lebih jelas dari
'ekonomi hijau', serta untuk menggambarkan jalur untuk tiba di sana.
Para Laporan UNEP pada ekonomi hijau berfungsi sebagai contoh yang
baik.
Isu kedua adalah tentang ekuitas. Mungkin framing yang paling umum
dari pertumbuhan rendah karbon daun utuh tujuan memaksimalkan

pertumbuhan ekonomi, seringkali dengan asumsi bahwa ini adalah


bentuk terbaik dari pengurangan kemiskinan. Namun, ada alasan
untuk khawatir bahwa tingkat saat decoupling intensitas energi dari
pertumbuhan tidak terjadi cukup cepat untuk menghindari perubahan
iklim yang berbahaya, seperti Tim Jackson berpendapat. Selain itu, ada
alasan untuk menantang pernyataan bahwa memaksimalkan
pertumbuhan memaksimalkan pengurangan kemiskinan, sebagai
Donaldson dan Cornia menunjukkan kertas. Pertumbuhan memiliki
peran penting untuk bermain. Namun kapasitas redistributif negara,
serta penggunaan dari hasil pertumbuhan, terutama di bidang
kebijakan sosial, adalah kunci untuk mengurangi kesenjangan antara
kaya dan miskin. Apa yang tidak bisa hilang dari pertimbangan penting
dari ekuitas adalah kebutuhan untuk kebijakan sosial yang dapat
mengurangi kesenjangan, dan berkontribusi dalam mengurangi emisi
karbon.
Menuju ekonomi hijau: jalur untuk pembangunan berkelanjutan dan
pemberantasan kemiskinan
(Perserikatan Bangsa-Bangsa [PBB] Lingkungan Program, 2011)
Makalah ini menyajikan pentingnya dan relevansi ekonomi hijau.
Ini menggambarkan ekonomi hijau sebagai salah satu yang
menghasilkan manusia meningkatkan kesejahteraan dan sosial
ekuitas, sedangkan secara signifikan mengurangi envir ...
Pertumbuhan kemakmuran tanpa? Langkah-langkah untuk ekonomi
yang berkelanjutan
(T. Jackson / Komisi Pembangunan Berkelanjutan, 2009)
Laporan ini mencoba untuk menjelaskan apakah negara bisa
makmur tanpa benar-benar mencapai pertumbuhan yang
berkelanjutan. Ini juga pertanyaan apakah manfaat dari
pertumbuhan ekonomi terus masih lebih besar daripada ...
Pertumbuhan yang baik untuk siapa, kapan, bagaimana? Pertumbuhan
ekonomi dan pengurangan kemiskinan dalam kasus luar biasa
(JA Donaldson (ed) / Elsevier Science, 2008)
Makalah ini berusaha untuk mengidentifikasi jalur untuk
pengurangan kemiskinan lainnya dari pertumbuhan ekonomi. Ini
berfokus pada kasus-kasus luar biasa di mana faktor-faktor
politik, sosial atau ekonomi tertentu menjelaskan pola
economi ...

Distribusi pendapatan di bawah rezim baru di Amerika Latin yang


tersisa
(G. Cornia / Routledge Taylor dan Francis Group, 2010)
Tulisan ini membahas faktor-faktor yang telah menyebabkan
penurunan ketidaksetaraan pendapatan yang telah terjadi
selama 2002-2007 di negara Amerika Latin dengan latar
belakang peningkatan yang stabil yang selama ...

http://www.eldis.org/go/topics/resource-guides/climate-change/keyissues/tackling-poverty-in-a-changing-climate/equity-and-economic-growth

efisiensi ekonomi
Efisiensi adalah salah satu konsep yang paling penting untuk digunakan dalam
Anda Level Ekonomi program. Ada beberapa arti dari istilah - tapi mereka
umumnya berhubungan dengan seberapa baik suatu perekonomian
mengalokasikan sumber daya yang langka untuk memenuhi kebutuhan dan
keinginan konsumen. Pastikan Anda tahu definisi Anda dengan baik, dapat
menggambarkan mereka menggunakan diagram yang sesuai dan dapat
menerapkannya pada situasi tertentu
Statis Efisiensi
Efisiensi statis ada pada suatu titik waktu dan berfokus pada berapa banyak output
dapat diproduksi sekarang dari saham yang diberikan sumber daya dan apakah
produser pengisian harga untuk konsumen yang cukup mencerminkan biaya
faktor-faktor produksi digunakan untuk memproduksi barang atau layanan. Ada
dua jenis utama dari efisiensi statis

Efisiensi alokatif
Efisiensi alokatif dicapai ketika nilai tempat pada konsumen barang atau jasa
(tercermin dalam harga mereka bersedia membayar) sama dengan biaya sumber
daya yang digunakan dalam produksi. Kondisi yang diperlukan adalah harga yang
= biaya marjinal. Bila kondisi ini dipenuhi, kesejahteraan ekonomi total
dimaksimalkan.

Pareto didefinisikan efisiensi alokatif sebagai situasi di mana tak seorang pun
bisa dibuat lebih baik tanpa membuat orang lain setidaknya senilai off.
Dalam monopoli, suatu bisnis dapat menjaga harga di atas biaya marjinal dan
meningkatkan total pendapatan dan laba sebagai hasilnya. Dengan asumsi bahwa
perusahaan monopoli dan perusahaan yang kompetitif memiliki biaya yang sama,
hilangnya kesejahteraan di bawah monopoli ditunjukkan oleh kerugian bobot mati
dari surplus konsumen dibandingkan dengan harga yang kompetitif dan output.
Ini ditampilkan dalam diagram di bawah ini.

Hal ini dapat diilustrasikan dengan menggunakan batas kemungkinan produksi semua titik yang terletak pada PPF dapat dikatakan allocatively efisiensi karena
kita tidak dapat menghasilkan lebih dari satu produk tanpa mempengaruhi jumlah
dari semua produk lain yang tersedia. Titik A adalah allocatively efisien - tapi
pada B kita dapat meningkatkan produksi baik barang dengan memanfaatkan
sumber daya yang ada penuh atau meningkatkan efisiensi produksi.

Efisiensi Produktif
Efisiensi produktif mengacu pada biaya sebuah perusahaan produksi dan dapat
diterapkan baik untuk jangka pendek dan panjang. Hal ini dicapai ketika output
yang dihasilkan pada total biaya minimum rata-rata (AC). Sebagai contoh kita
dapat mempertimbangkan apakah bisnis adalah menghasilkan dekat dengan titik
rendah jangka panjang kurva biaya total rata-rata nya. Ketika ini terjadi
perusahaan adalah memanfaatkan sebagian besar ekonomi skala yang tersedia.

Efisiensi produktif ada ketika produsen meminimalkan pemborosan sumber daya


dalam proses produksi mereka.
Trade-off antara efisiensi dan ekuitas
Sering ada trade-off antara efisiensi ekonomi dan pemerataan. Efisiensi berarti
bahwa semua barang atau jasa yang dialokasikan untuk seseorang (ada satu pun
yang tersisa). Ketika keseimbangan pasar adalah efisien, tidak ada cara untuk
mengalokasikan barang atau jasa tanpa menyakiti seseorang kekhawatiran
Ekuitas distribusi sumber daya. Dan pasti terkait dengan konsep keadilan dan
keadilan sosial. Pasar mungkin telah mencapai efisiensi maksimum tapi kita
mungkin prihatin bahwa "manfaat" dari aktivitas pasar secara tidak adil dibagi.
Efisiensi Sosial
Tingkat sosial yang efisien konsumsi output dan atau terjadi ketika manfaat
marjinal biaya sosial marjinal = sosial. Pada titik ini kita memaksimalkan
kesejahteraan ekonomi sosial. Kehadiran eksternalitas berarti bahwa tingkat
optimal konsumsi swasta / produksi sering berbeda dari optimal sosial.

Dalam diagram di atas tingkat output optimal sosial terjadi di mana biaya marjinal
manfaat sosial marjinal = sosial (titik B). Seorang produser swasta tidak
memperhitungkan eksternalitas produksi negatif mungkin memilih untuk
memaksimalkan keuntungan mereka sendiri pada titik A (dimana biaya marjinal
swasta = manfaat marjinal swasta). Ini perbedaan antara biaya pribadi dan sosial
dari produksi dapat menyebabkan kegagalan pasar.

. Berinvestasi terbesar Web sumber daya Masuk | Daftar

Rumah

Kamus

Artikel

Tutorial

Ujian Prep

Forex

Pasar

Simulator

Ujung Keuangan

Alat Gratis

Akronim

Istilah-istilah

Pilih Kategori A
Enter Searc

Efisiensi Ekonomi

Filed Under Ekonomi , Teori Keuangan

Email
Cetak
Tanggapan

Definisi 'Efisiensi Ekonomi'


Sebuah istilah luas yang menyiratkan keadaan ekonomi di
mana sumber daya secara optimal setiap dialokasikan
untuk melayani setiap orang dengan cara yang terbaik dan
meminimalkan limbah dan inefisiensi. Ketika ekonomi
secara ekonomi efisien, setiap perubahan yang dibuat
untuk membantu satu orang akan membahayakan lain.
Dalam hal produksi, barang yang diproduksi di biaya
terendah mungkin mereka, karena merupakan variabel
input produksi.
Read more: http://translate.googleusercontent.com/translate_c?
hl=id&prev=/search%3Fq%3Defficiency%2Bin%2Beconomy%26hl
%3Did%26client%3Dfirefox-a%26rls%3Dorg.mozilla:id:official%26biw
%3D1366%26bih%3D665%26prmd
%3Dimvns&rurl=translate.google.co.id&sl=en&u=http://www.investop
edia.com/terms/e/economic_efficiency.asp&usg=ALkJrhhoRWAtpE1AVp
6vDLPgO-V9nbvILg#ixzz1iJnFqBu3
EFISIENSI EKONOMI: Darwinisme Sosial,
oleh Jay Hanson, www.dieoff.com
(Izin untuk mencetak ulang secara eksplisit diberikan.)

"Ada asumsi dalam ekonomi bahwa sistem pasar menangani alokasi sumber daya
secara efisien kecuali jika terbukti sebaliknya."
- PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN ENERGI, Thomas H. Tietenberg
"Semua ini terinspirasi oleh prinsip - yang cukup benar dalam dirinya sendiri -.
Bahwa dalam kebohongan besar selalu ada kekuatan tertentu kredibilitas"

- Mein Kampf, Adolf Hitler

DEFINISI
Ketika seorang insinyur menggunakan kata "efisien", itu berarti
"penggunaan yang efisien" - sebuah konsep fisik - yaitu, mendapatkan
output untuk input yang paling sedikit. [1] Namun, ketika seorang
ekonom menggunakan kata "efisien", itu berarti "distribusi yang
efisien" - sebuah konsep politik - yaitu, Darwinisme Sosial.
Efisiensi ekonomi berarti bahwa "orang benar" (mereka yang mampu
membelinya) akan mendapatkan "barang dan jasa yang benar"
(apapun yang mereka inginkan). Efisiensi ekonomi mengalokasikan
sumber daya untuk orang-orang yang paling sukses untuk memperoleh
kekuasaan sosial. Di dunia ideal ekonom, yang kaya makin kaya dan
yang miskin makin miskin.

HASIL TAK TERELAKKAN


Jika seseorang dapat berpikir seperti seorang insinyur (ilmuwan sosial
akan kesulitan melakukan ini), kita dapat menyimpulkan dari prinsip
pertama, sejarah, dan pengamatan bahwa sebuah masyarakat yang
didasarkan pada "efisiensi ekonomi" akan crash dan dieoff. Berikut
caranya:
1) Kunjungi departemen astronomi. Di universitas lokal Anda
dan memverifikasi bahwa bumi memang bulat. Semua bidang yang
terbatas, sehingga bumi adalah terbatas. Oleh karena itu, Anda dapat
menyimpulkan bahwa Bumi sumber energi adalah terbatas juga "saham energi" yang terbatas (misalnya, minyak) dan "aliran energi"
yang terbatas (misalnya, angin).
2) Kunjungi departemen fisika dan memverifikasi bahwa.:
Energi adalah kapasitas untuk melakukan pekerjaan (energi
tidak ada = tidak ada pekerjaan). Dengan demikian,
perekonomian global adalah 100 persen tergantung pada energi
- itu selalu telah, dan akan selalu. Ada NO pengecualian
terhadap hukum-hukum termodinamika.

Hukum termodinamika pertama memberitahu kita bahwa baik modal


maupun tenaga kerja atau teknologi dapat "menciptakan" energi.
Sebaliknya, energi yang tersedia harus dihabiskan untuk mengubah saham
energi yang ada, atau untuk mengalihkan aliran energi yang ada menjadi
energi tersedia lebih.

Hukum termodinamika kedua memberitahu kita bahwa energi yang


terbuang pada setiap langkah dalam proses ekonomi. Mesin yang benarbenar melakukan pekerjaan dalam perekonomian kita ("mesin panas" yang
disebut, seperti mesin diesel) menghabiskan lebih dari 50 persen dari
energi yang terkandung dalam bahan bakar mereka.
Sumber daya energi harus menghasilkan lebih banyak energi daripada
yang mereka konsumsi, jika tidak mereka disebut "tenggelam" (ini dikenal
sebagai prinsip "bersih energi"). Tentang 735 joule energi yang dibutuhkan
untuk mengangkat 15 kg minyak 5 meter keluar dari tanah hanya untuk
mengatasi gravitasi - dan semakin tinggi lift, semakin besar kebutuhan
energi. Minyak yang paling terkonsentrasi dan paling mudah diakses
adalah diproduksi pertama, setelah itu, lebih banyak energi dan lebih lanjut
diperlukan untuk menemukan dan memproduksi minyak. Pada titik
tertentu, lebih banyak energi yang dihabiskan untuk mencari dan
memproduksi minyak dibandingkan energi pulih - dan "sumber daya"
telah menjadi "tenggelam".
3) Kunjungi ekologi (atau biologi populasi) departemen. Dan
memverifikasi bahwa "overshoot", "kecelakaan", dan "dieoff" yang
umum di alam. Dieoff terjadi ketika hewan kehabisan stok energi
(makanan). H. sapiens berjalan keluar dari saham energi (bahan bakar
fosil pertama, dan kemudian makanan).
Sekarang bahwa Anda telah menyimpulkan skenario dieoff dari ilmu
pengetahuan, hidupkan TV Anda dan mengamati bahwa "dieoff" sudah
berlangsung di Rusia dan Afrika.
Satu-satunya pertanyaan yang tersisa adalah ketika akan "dieoff"
datang ke lokasi di dekat Anda? Banyak pakar industri harapkan dalam
waktu kurang dari sepuluh tahun. Beberapa mengatakan itu adalah di
sini sudah. Lihat http://dieoff.com/synopsis.htm

THE POLITIK DARI EFISIENSI EKONOMI


"Efisiensi Ekonomi" berarti "anarki ekonomi" (tidak ada peraturan
pemerintah). Para ekonom secara harfiah menganjurkan "Darwinisme
Sosial" - survival of the fittest ekonomis - sisanya dapat menderita dan
mati. Dalam kata-kata peraih Nobel Ekonomi Milton Friedman:
"Pinochet telah mendukung sepenuhnya ekonomi pasar bebas sebagai
masalah prinsip Chili adalah sebuah keajaiban ekonomi.." [2]
Meskipun penganjur pertama dari Darwinisme Sosial Friedman adalah
Friar Dominika St Thomas Aquinas (1224-1274), [3] ekonom Inggris

Thomas Malthus (1766-1834) adalah yang pertama untuk benar-benar


memahami dan merekam dunia nyata implikasi Thomistik Filsafat:

"Seorang pria yang lahir ke dalam dunia yang sudah dimiliki, jika dia tidak
bisa mendapatkan nafkah dari orang tuanya pada siapa dia memiliki
permintaan yang adil, dan jika masyarakat tidak mau kerjanya, tidak
memiliki klaim hak untuk porsi terkecil dari makanan, dan, pada
kenyataannya, tidak memiliki bisnis yang akan di mana ia adalah Pada
perjamuan besar alam tidak ada penutup kosong baginya.. Dia mengatakan
dia akan pergi, dan cepat akan mengeksekusi order sendiri, jika dia tidak
bekerja pada belas kasih beberapa tamu-tamunya. Jika tamu bangun dan
membuat ruang bagi dirinya, penyusup lainnya langsung tampil menuntut
bantuan yang sama Laporan ketentuan untuk semua yang datang,. mengisi
lorong dengan banyak pengadu. Urutan dan harmoni pesta adalah
terganggu, banyak bahwa sebelum memerintah berubah menjadi
kelangkaan, dan kebahagiaan para tamu dihancurkan oleh tontonan
kesengsaraan dan ketergantungan dalam setiap bagian dari aula, dan oleh
membosankan riuh dari mereka, yang adil marah tidak menemukan
ketentuan yang mereka telah diajarkan untuk berharap. Para tamu belajar
terlambat kesalahan mereka, di counter-acting mereka perintah tegas untuk
semua penyusup, yang dikeluarkan oleh nyonya besar perayaan itu, yang,
berharap bahwa semua tamu harus memiliki banyak, dan mengetahui dia
tidak bisa memberikan untuk nomor terbatas, manusiawi menolak untuk
mengakui pendatang segar saat mejanya sudah penuh. " [4]
Berikut adalah contoh terbaru dari Filsafat Thomistik Malthus
(Darwinisme Sosial) oleh ekonom Bank Dunia dan mantan Kepala
terkenal Keuangan AS Lawrence H. Summers Sekretaris:

"Saya pikir logika ekonomi di balik pembuangan beban limbah beracun di


negara upah terendah adalah sempurna ... karena penghasilan yang akan
diperoleh dari peningkatan morbiditas" rendah. Dia menambahkan bahwa
"negara-negara berpenduduk jarang di Afrika yang jauh underpolluted;
kualitas udara mereka mungkin jauh tidak efisien rendah dibandingkan ke
Los Angeles ...." [5]
Dengan menggunakan kata-kata sehari-hari dengan cara yang
istimewa, ekonom membajak normatif "merasa baik" istilah untuk keji
mereka "merasa buruk" agenda politik: Darwinisme Sosial. Ekonom
dapat menggunakan kedua definisi secara bersamaan dalam rangka
untuk "merasa baik" tentang politik mereka, sementara menipu orang
lain - yang merupakan contoh bagus berbohong kepada diri sendiri
dalam rangka untuk memberitahu lebih banyak kebohongan

meyakinkan kepada orang lain. Ekonom memberikan contoh terbaik


tentang bagaimana hewan berevolusi sebagai "predator sosial" puncak
daripada "insinyur" puncak (ekonom tidak tahu apa-apa tentang dunia
nyata - dan mereka tidak peduli).

"POLITIK EFISIENSI"
Realitas agenda politik para ekonom adalah campuran penasaran
politik dan efisiensi: "efisiensi politik". Ekonom dilatih untuk percaya
bahwa "uang" tidak ada hubungannya dengan politik dan hanya
merupakan media pertukaran. Tetapi bahkan pengamat biasa dapat
melihat bahwa uang adalah kekuatan sosial karena "memberdayakan"
orang untuk membeli dan melakukan hal-hal yang mereka inginkan termasuk membeli dan melakukan orang lain: politik.
Jika pengusaha memiliki kebebasan untuk membayar pekerja kurang
"kekuasaan politik", maka mereka akan mempertahankan kekuasaan
politik untuk diri mereka sendiri. Uang adalah, dalam kata,
"pemaksaan", dan "efisiensi ekonomi" adalah benar dipandang sebagai
konsep politik yang dirancang untuk menghemat daya sosial bagi
mereka yang memilikinya - untuk membuat politik kuat, bahkan lebih
kuat, dan politik lemah, bahkan lebih lemah.
Para ekonom telah mengadopsi istilah dan definisi normatif istimewa
untuk membuat mereka pembohong yang lebih baik. Memang, bagi
ekonom, berbohong adalah mudah dan otomatis. Ini adalah cara hidup:

"Para ekonom telah menjadi wabah berbahaya seperti kelinci, pir berduri atau
kodok ekonom telah menjadi budaya kodok tebu Canberra, mengalir atas lanskap
dan membahayakan spesies asli segudang.. Tidak hanya ekonomi tetapi juga
kesehatan mental akan sangat baik jika kita bisa mengangkat kabut kebingungan
pada hal-hal ekonomi Langkah pertama adalah untuk mengambil ekonom dari
alas mereka dan melihat mereka sebagai keingintahuan mereka.. Langkah pertama
untuk mengurangi kekuasaan mereka adalah untuk mengurangi legitimasi mereka.
Bagaimana ini akan dicapai ? Pertama, curahan ekonom 'harus, sebagai masalah
prinsip, harus dipenuhi dengan tawa, cemoohan, paternalisme jinak Mereka harus
berhenti untuk dipekerjakan sebagai komentator media.. Dalam jangka panjang
mereka harus berhenti untuk dipekerjakan. Biarkan mereka akan dipensiunkan
Kepunahan dan mati adalah akhir yang layak untuk profesi yang singkat busuk ke
inti.. "
- Dr Evan Jones, Departemen Ekonomi, Universitas Sydney
REFERENSI

[1] Efisiensi energi adalah persentase dari masukan energi total yang
tidak bekerja berguna dalam sistem konversi energi.
[2] Cite di Newsweek, Jan, 1982.
RINGKASAN: Jadi apa yang rekor untuk seluruh rezim Pinochet? Antara
1972 dan 1987, GNP per kapita jatuh 6,4 persen. Dalam konstan 1993
dolar per kapita Chile PDB lebih dari $ 3.600 pada tahun 1973. Bahkan
sebagai sebagai akhir 1993, bagaimanapun, ini telah pulih hanya $
3.170. Hanya lima negara Amerika Latin tidak buruk dalam PDB per
kapita selama era Pinochet (1974-1989). Dan pembela dari rencana
Chicago menyebut ini sebagai sebuah "keajaiban ekonomi."
Baca lebih lanjut tentang utopia Darwinis Sosial Milton Friedman di
http://www.lakota.clara.net/myths/economy.html
[3] "Terutama penting adalah 'gambaran singkat dari masing-masing
orang saling menguntungkan berasal dari pertukaran Seperti yang ia
katakan dalam Summa.:' Aquinas membeli dan menjual tampaknya
telah dilembagakan untuk saling menguntungkan kedua belah pihak,
karena salah satu kebutuhan sesuatu milik yang lain, dan sebaliknya
'"[hal. 10, PIKIRAN EKONOMI SEBELUM ADAM SMITH, oleh Murray
N. Rothbard, Edward Elgar, 1995;
http://www.amazon.com/exec/obidos/ASIN/1852789611/brainfood.a ]
Politik bebas St Thomas Aquinas 'perdagangan akhirnya
disempurnakan tiga ratus tahun kemudian oleh Bapa Jesuit Luis Molina
(1535-1600): "Jika pedagang yang membayar dan menerima harga
pasar, membuat keuntungan, ini semua benar, dan jika mereka
menderita kerugian, ini adalah nasib buruk atau hukuman karena
ketidakmampuan, asalkan keuntungan atau kerugian yang dihasilkan
dari kerja dihalangi dari mekanisme pasar meskipun tidak jika
mengakibatkan, misalnya, dari penetapan harga oleh otoritas publik
atau masalah monopoli. " [Hlm 98-99, SEJARAH EKONOMI ANALISIS,
Joseph Schumpeter, George Allen, 1954;
http://www.amazon.com/exec/obidos/ASIN/0195105591/brainfood.a ]
Hari ini, para murid religius St Thomas adalah ekonom neoklasik:
"wawasan kunci Adam Smith adalah bahwa kedua belah pihak untuk
pertukaran bisa mendapatkan keuntungan dan bahwa, selama
kerjasama bersifat sukarela, pertukaran tidak akan terjadi kecuali
kedua belah pihak tidak menguntungkan. " - Penerima Nobel ekonom
Milton Friedman [hal 2, GRATIS UNTUK MEMILIH, Milton dan Rose
Friedman; Panen, 1980;
http://www.amazon.com/exec/obidos/ASIN/0156334607/brainfood.a ]

Tentu saja, Friedman yang salah di sini. Semuanya Smith menulis


berasal dari skolastik dan Physiokrat. Secara khusus, ideologi
"perdagangan bebas" berasal dari St Thomas. Para industrialis awal
hampir tidak bisa menjual ajaran agama Katolik ke Protestan, sehingga
mereka digunakan Smith sebagai "penjudi" bagi teologi Katolik. Seperti
yang mungkin diharapkan dari disiplin didirikan sepenuhnya pada
kebohongan, mahasiswa ekonomi bahkan tidak diajarkan sejarah sejati
disiplin mereka!
Program religius seluruh ekonom neoklasik disajikan baik dalam
MENCAPAI UNTUK HEAVEN ON EARTH, oleh Robert Nelson;
Rowman & Littlefield, 1993;
http://www.amazon.com/exec/obidos/ASIN/0822630249/brainfood.a
[4] AN ESAI TENTANG PRINSIP PENDUDUK, edisi 2, Thomas
Malthus
[5] Memo Tanggal: 12 Desember 1991

UNTUK: Distribusi
FR: Lawrence Summers H.
Perihal: PMP
'Dirty' Industri: Hanya antara kau dan aku, tidak seharusnya Bank
Dunia akan mendorong migrasi LEBIH dari industri kotor ke negaranegara berkembang [Negara Kurang Dikembangkan]? Saya bisa
memikirkan tiga alasan:
1) Pengukuran biaya pencemaran merusak kesehatan
tergantung pada penghasilan yang akan diperoleh dari peningkatan
morbiditas dan mortalitas. Dari sudut pandang ini sejumlah tertentu
dari polusi merusak kesehatan harus dilakukan di negara dengan biaya
terendah, yang akan menjadi negara dengan upah terendah. Saya pikir
logika ekonomi di balik pembuangan beban limbah beracun di negara
upah terendah adalah sempurna dan kita harus menghadapi itu.
2) Biaya polusi cenderung non-linear sebagai awal peningkatan
polusi mungkin memiliki biaya yang sangat rendah. Aku selalu
meskipun bahwa di bawah-penduduk negara-negara di Afrika jauh
DALAM-tercemar, kualitas udara mereka mungkin jauh tidak efisien
rendah dibandingkan ke Los Angeles atau Meksiko City. Hanya
menyedihkan fakta bahwa polusi begitu banyak yang dihasilkan oleh
industri non-tradable (transportasi, pembangkit listrik) dan bahwa
biaya transportasi unit limbah padat begitu tinggi mencegah

perdagangan dunia meningkatkan kesejahteraan polusi udara dan


limbah.
3) Permintaan untuk lingkungan bersih untuk alasan estetis dan
kesehatan cenderung memiliki elastisitas pendapatan yang sangat
tinggi. Keprihatinan atas agen yang menyebabkan satu dalam
perubahan juta pada kemungkinan kanker prostat jelas akan jauh lebih
tinggi di negara di mana orang bertahan untuk mendapatkan kanker
prostat daripada di negara di mana bawah 5 kematian adalah 200 per
seribu. Juga, banyak dari keprihatinan atas debit atmosfer industri
adalah tentang partikulat mengganggu visibilitas. Pembuangan ini
mungkin memiliki dampak kesehatan yang sangat sedikit langsung.
Jelas perdagangan barang yang mewujudkan keprihatinan polusi
estetika bisa meningkatkan kesejahteraan. Sementara produksi mobile
konsumsi udara yang cukup adalah non-tradable.

Pengertian Efisiensi Ekonomi Konvensional dan EfisiensiEkonomi Syariah


1.3.1. Pengertian Efisiensi Ekonomi Konvensional
Kebanyakan ahli ekonomi menggunakan efisiensi Pareto, sebagai tujuanefisiensi
mereka. Menurut ukuran ini dari kesejahteraan sosial, suatu situasiadalah optimal

hanya jika tidak ada individu dapat dibuat lebih baik tanpamembuat orang lain
lebih buruk. Kondisi ideal ini hanya dapat dicapai jika empatkriteria dipenuhi.
Rata-rata marginal substitusi dalam konsumsi harus identik untuk semua
konsumen ( tidak ada konsumen dapat dibuat lebih baik tanpamembuat konsumen
yang lain lebih buruk). Rata-rata transformasi di dalam produksi harus identik
untuk semua produk ( adalah mustahil meningkatkan produksi setiap barang baik
tanpa mengurangi produksi dari barang-barang yanglain) Biaya sumber daya
marginal harus sama dengan produk pendapatanmarginal untuk semua proses
produksi (produk fisik marginal dari suatu faktor
14harus sama dengan semua perusahaan yang memproduksi suatu barang) Rataratamarginal substitusi konsumsi harus sama dengan rata-rata marginal
transformasidalam produksi. (proses produksi harus sesuai dengan keinginan
konsumen) Adasejumlah kondisi-kondisi yang, kebanyakan ahli ekonomi setuju,
boleh tidak efisien meliputi: struktur pasar yang tidak sempurna ( seperti
monopoli,monopsoni, oligopoli, oligopsoni, dan persaingan monopolistik) alokasi
faktor tidak efisien ( lihat dasar-dasar teori produksi), kegagalan pasar dan
eksternalitas (lihat juga biaya sosial), diskriminasi harga (lihat juga skimming
harga), penuruanan biaya rata-rata jangka panjang (lihat monopoli alami),
beberapa jenis pajak dan tariff. Untuk menentukan apakah suatu aktivitas sedang
menggerakkanekonomi ke arah efisiensi Pareto, dua uji kompensasi yang telah
dikembangkan,setiap perubahan pada umumnya membuat sebagian orang lebih
baik selagimembuat orang yang lain tidak lebih buruk, maka uji ini menanyakan
apa yangakan terjadi jika pemenang mengganti kompensasi kepada yang
kalah.Menggunakan kriteria Kaldor suatu aktivitas akan memberi kontribusi
untuk Pareto optimal jika jumlah maksimum pemenang siap membayar lebih
besar dari jumlah minimum yang siap diterima oleh yang kalah.Di bawah kriteria
Hick, suatu aktivitas akan memberi kontribusi untuk Pareto optimal jika sejumlah
maksimum yang kalah disiapkan untuk menawarkankepada pemenang dalam
rangka mencegah perubahan yang kurang dari sejumlahminimum pemenang
disiapkan untuk menerima sebagai uang suap untuk membatalkan perubahan. Uji
kompensasi Hick melihat dari sudut pandang yangkalah, sedangkan uji
kompensasi Kaldor melihat dari sudut pandang pemenang.Jika kedua kondisi
dapat memuaskan yang kalah maupun yang menang maka
15 baik pemenang maupun yang kalah akan setuju bahwa aktivitas yang
diusulkanakan menggerakkan ekonomi ke arah Pareto optimal. Ini adalah dikenal
sebagaiefisiensi Kaldor-Hicks atau kriteria Scitovsky.
1.3.2.Pengertian Efisiensi Ekonomi Syariah
Efisiensi dalam pengertian Optimum Pareto yang netral nilai dan
ekuilibriummodern juga tidak muncul dalam literatur Islam. Ini tidak berarti
bahwa konsepefisiensi tidak dikenal. Konsep ini telah diidentifikasi dalam

beberapa pengertian.Salah satunya adalah dalam pengertian usaha untuk


melakukannya yang terbaik.Rasulullah saw. Menjunjung tinggi kualitas dengan
menekankan ihsan kebaikan)dan itqan (kesempurnaan). Beliau
mengatakan,Allah telah mewajibkan kamuuntuk berbuat baik (ihsan) dalam
segala hal, dan bahwa Allah menyukai orangyang melakukan pekerjaan, ia
melakukannya dengan sempurna. Upaya untuk merealisasikan ihsan dapat
melengkapi usaha melakukan itqan, dan keduanya bersama-sama dapat membantu
mewujudkan penggunaan sumber-sumber dayamanusia dan alam dengan cara
yang paling efisien dan adil. Efisiensi juga perludalam berbagai konteks
sementara sumber-sumber daya tidak boleh disia-siakanatau disalahgunakan
karena adanya pertanggungjawaban kepada Tuhan. Menurutsalah satu nasihat Abu
Yusuf kepada Harun ar-Rasyid, yang didasarkan padahadits, pertanggungjawaban
ini berlaku bagi semua sumber daya, termasuk usiamanusia, ilmu, kekayaan, dan
semua kemampuan fisiknya. Pertanggungjawabanini menuntut bahwa sumbersumber daya dipergunakan untuk membantumemaksimalkan kesejahteraan
manusia. Pertanggungjawaban ini berlaku bagisumber-sumber daya, tidak
pandang apakah itu SDM atau SDA, langka ataumelimpah, mengandung biaya
atau gratis (Zarqa,1980:4).
16Dengan demikian, penggunaan sumber-sumber daya yang paling efisiendalam
ilmu ekonomi konvensioanl dapat didefinisikan menurut Optimum
Pareto,sementara dalam suatu perekonomian Islam akan ditentukan berdasarkan
maqashid.
Setiap penggunaan yang menggagalkan realisasi
maqashid
harusdipandang sebagai kesia-siaan dan inefisiensi (Faridi,1983:40).
Sebagaicontohnya, dalam ilmu ekonomi konvensional, konsep Optimum
Paretomembolehkan penghancuran kelebihan output jika hal ini memungkinkan
pelaku bisnis menahan penurunan labanya tanpa membuat konsumen menjadi
lebih buruk (kondisinya) karena naiknya harga. Namun, cara seperti ini tidak
dapatditerima dalam paradigma Islam karena perilaku seperti ini tidak hanya
akanmerusak sumber-sumber daya yang telah disediakan oleh Allah sebagai suatu
bentuk amanah melainkan juga menimbulkan ketidakadilan kepada
parakonsumen. Meskipun usaha mempertahankan harga pada tingkat sekarang
tidak dapat dibuat menjadi lebih bermanfaat jika kelebihan output tersebut tidak
dihancurkan, harga akan turun atau kelebihan itu dapat dibagikan kepada orangorang miskin. Begitu juga, waktu dan energi yang dipergunakan untuk shalat dan
berpuasa akan tampak sia-sia jika dipandang menurut kerangka
materialisme,karena hal itu akan menyebabkan, meskipun tidak selalu, penurunan
outputsehingga menghambat maksimalisasi output dan laba. Namun, jika
dipandang darisudut kontribusi si kaya yang akan dapat menciptakan
character building

dan peningkatan spiritual serta kesejahteraan manusia, maka shalat dan


puasasesungguhnya memiliki keunggulan positif. Barangkali karena alasan ini,
danalasan lain, seperti yang ditunjukkan sebelumnya bahwa salah satu
qaidah ushul
membolehkan penetapan suatu pengorbanan privat yang lebih sempit untuk
17mendapatkan kemaslahatan public yang lebih besar. Umumnya para
ulamamemandang bahwa syariat, dengan strategi dan nilai-nilai moral yang
disediakanuntuk menanamkan nilai-nilai ini secara efektif dalam masyarakat,
bukan sajaakan membantu menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi semua,
melainkan jugamendorong kemajuan manusia. Al-Mawardi mengindikasikan
bahwa ajaran-ajaran Islam telah terbukti menjadi fondasi yang solid bagi
peningkatan danstabilitas di dunia. Ibnu Khaldun juga menekankan bahwa sebuah
negara tidak dapat mencapai kemajuan dan kekuatan kecuali dengan menerapkan
syariat(Chapra, 2001:61)

Anda mungkin juga menyukai