RAJA LIMBUNG
SEABAD PERJALANAN SAWIT di INDONESIA
Diterbitkan oleh :
SAWIT WATCH
bersama
TEMPO INSTITUTE
Tim Penulis:
Jakarta
April 2012
ii Raja Limbung
Penulis: Mardiyah Chamim, Dwi Setyo Irawanto, Yusi Avianto Pareanom, Zen Hae, Irfan
Budiman
Tim Sawit Watch: Jefri Saragih, Achmad Surambo, Bondan A., Ari Munir, Edi Sutrisno,
Eep Saepulloh, Mansuetus Alsy Hanu
Pengantar
SALAH satu perdebatan yang panas, terus menerus, dari satu ruang
ke ruang lain, dan belum berhenti sampai sekarang adalah kebun
sawit. Selama dua dekade yang meriah itu, luas kebun sawit meledak
dari beberapa ribu hektar di tahun 1989 menjadi 9,4 juta hektar pada
2011 – diperkirakan mendekati 10 juta hektar Maret 2012 ini, yang
terkonsentrasi terutama di tiga provinsi: Sumatera Utara, Riau, dan
Kalimantan Barat. Jika dilihat di atas peta Indonesia, kebun sawit 20
tahun lalu hanyalah noktah-noktah kecil di Sumatera Timur (baca
Sumatra Utara), lalu mekar melebar – seperti tetesan tinta Cina di kertas
koran—menjadi gumpalan-gumpalan raksasa yang memadati hampir
seluruh pantai timur dan sedikit pantai barat Sumatera, Kalimantan
(terutama di bagian barat, tengah, dan sepanjang perbatasan dengan
Malaysia Timur), Sulawesi (barat dan tengah), serta belakangan di
bagian selatan Papua.
Baik ‘pemuja’-nya dan penghujatnya merentang dari kelompok
kademisi, pengambil kebijkan, sampai ke masyarakat bawah.
Jika harimau dikenal sebagai Raja Hutan, barangkali kelapa sawit
iv Raja Limbung
pantas diberi gelar Raja Kebun. Tak ada tanaman kebun (bahkan
tegakan hutan sekali pun) yang mampu menandingi nilai hasil panen
kebun sawit – setidaknya ampai saat ini demikian kata pemujanya.
Jika guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Pengembangan
kebun besar (baca sawit) tidak bisa dilepaskan dari kolonisasi,
eksploitasi, dan marjinalisasi terhadap bumiputra (baca masyarakat
adat, buruh kebun, dan petani sawit). Dahulu kita kenal Onderneming
dengan Hak Erpacht-nya dan Domain Verklaring, sekarang pun
kita mengenal Perkebunan Besar dengan Hak Guna Usaha (HGU)-
nya dan Hak Menguasai Negara HMN). Konteksnya berbeda, tetapi
substansi kolonisasi, eksploitasi, dan marjinalisasi demikian kata
penghujatnya.
Bagaimana keluar dari para pemuja dan penghujat sawit ini. Bila
kita lihat literatur tulisan, maka hampir semua literatur yang muncul
tentang persawitan agaknya juga membawa semangat kedua kutub
tersebut: memuja atau menghujat. Pengkutuban yang begitu tajam
hingga ke tingkat akar rumput membuat hampir semua konflik
persawitan punya dimensi vertikal maupun horisontal, sehingga sulit
diselesaikan.
Menjawab pertanyaan diatas, menurut saya, perlu ada buku
yang mampu melihat seluruh sisi pro dan kontra itu secara jernih,
jujur dan akurat. Kejernihan dan kejujuran bukan hanya penting
untuk membuatnya diakui, tapi lebih penting dari itu: agar dapat
dipercaya sebagai rujukan untuk pengambilan kebijakan persawitan di
masa datang. Untuk itu, semangat yang ada adalah semangat untuk
mengkomunikasikan saling pengertian, demi kemaslahatan orang
banyak. Hal ini dapat dicapai dengan metode dan tradisi penulisan
jurnalistik yang komprehensif, netral dan berimbang. Selain itu,
buku tersebut harus melakukan validasi yang kuat, narasumber yang
berimbang dan wilayah reportase yang dianggap mewakili seluruh
persoalan persawitan. Pastinya, menimbang keterbatasan resources yang
dimiliki.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia v
Abetnego Tarigan
Direktur Eksekutif
Sawit Watch
vi Raja Limbung
Sawit,
di Negeri Penuh Paradoks
Mardiyah Chamim
Direktur Eksekutif
Tempo Institute
xii Raja Limbung
Daftar Isi
Pengantar iii
Sawit,
Kisah Epik
Perkebunan Indonesia
2 Raja Limbung
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 3
Bab 1
Sawit,
Kisah Epik
Perkebunan Indonesia
sawit belakangan ini. Ada beragam topik yang lazim muncul dalam
perdebatan mengenai sawit, antara lain problem lingkungan dan
konflik kepemilikan lahan.
Problem lingkungan biasanya terkait dengan karakter sawit
yang monokultur dan menuntut lahan yang masif. Kebun sawit tidak
seperti hutan tropis alami yang memberi ruang pada keragaman
makhluk untuk hidup berdampingan di ekosistem yang sama.
Demi hasil panen yang maksimum, makhluk lain tak boleh
ada di areal kebun sawit. Aktivitas pembukaan lahan dengan
luasan masif, penebangan pohon-pohon, mau tak mau menggusur
sumber makanan dan habitat hidup berbagai binatang. Mereka pun
tersingkir pelahan. Beberapa perusahaan bahkan melakukan jurus
ekstrem untuk “memurnikan” kebun sawit, yakni dengan memburu
serta membantai monyet, gajah, ular, dan orang utan. Padahal, jelas-
jelas monyet, orang utan, gajah, anggrek, juluran rotan, aneka rupa
jamur, herba berkhasiat obat, dan kawan-kawan binatangnya adalah
penduduk asli hutan.
Kasus lingkungan ini, antara lain, diwakili temuan adanya
pembantaian orang utan demi ekspansi kebun sawit di Kalimantan
Timur. Kehebohan bermula pada November 2011, saat tumpukan
tulang-belulang orang utan ditemukan di area kebun sawit milik PT
Prima Citra Selaras di Kecamatan Muara Ancalong, Kutai Timur.
Penelusuran Majalah TEMPO (26 Desember 2011) menunjukkan,
perusahaan sawit PT Khaleda sengaja merekrut penduduk lokal
untuk memburu dan membantai monyet dan orang utan. Dua
makhluk ini dianggap sebagai hama yang merugikan perusahaan
pemilik kebun.
Berikutnya, topik panas di seputar perkebunan sawit adalah
konflik kepemilikan lahan atau tenurial. Inilah persoalan kronis,
yang menumpuk dan menumpuk selama puluhan tahun, yang siap
meledak di ratusan titik di wilayah Indonesia.
6
Produksi Minyak Sawit Indonesia dan Malaysia (dalam ton)
Sumber: FAOSTAT
Raja Limbung
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 7
Tak kalah aneh, setengah abad berlalu sejak 1960, pemerintah dan
para politikus Dewan Perwakilan Rakyat tidak juga menempatkan
persoalan agraria sebagai agenda legislasi dengan urgensi tinggi.
Perlu dicatat pula bahwa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) Nomor IX Tahun 2001, memberi mandat kepada pemerintah
untuk membentuk tim ad hoc yang bertugas menyelesaikan gunung
konflik agraria. Entah bagaimana nasib dan kejelasan mandat ini.
Sebuah paradoks getir untuk sebuah negeri agraris.
Nah, sejauh UU Pokok Agraria belum tergantikan, ada
baiknya para penguasa merujuk kembali spirit utama dalam
produk legislasi tersebut. Undang-undang ini jelas menyebutkan
batasan kepemilikan lahan, ketentuan hak guna usaha, hak pakai,
hak ulayat, dan hak memungut hasil hutan. Semangat reformasi
dan perlindungan pada rakyat jelas terasa dalam undang-undang
ini. Adalah tugas parlemen dan pemerintah untuk secara serius
membuat revisi perundangan dan produk turunanya yang secara
jelas mengatur teknis kepemilikan tanah, air, dan ruang udara
seperti dimaksud Undang-Undang Pokok Agraria.
Akibat ketiadaan beleid yang tegas, maka setiap instansi terkait
memiliki kebijaksanaan sendiri-sendiri dalam konteks pertanahan.
Kementerian Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, birokrasi di
pemerintahan pusat dan daerah kerap menerbitkan regulasi yang
tumpang-tindih dan bertabrakan. Semua peraturan, celakanya,
membawa semangat mendewakan investasi yang dijiwai Undang-
Undang Penanaman Modal Asing (Nomor 1/1967) dan Undang-
Undang Pokok-Pokok Kehutanan (Nomor 5/1967). Posisi rakyat hanya
sebagai aktor figuran tak penting, yang harus bersedia mengalah jika
investor datang melirik lokasi. Walhasil, konflik sengketa lahan pun
menjadi penyakit kronis berat yang siap meledak kapan saja.
“Ledakan” paling mutakhir dan memicu kontroversi dahsyat
adalah konflik kepemilikan lahan di tiga tempat, yakni di Register
45 (Kabupaten Mesuji, Propinsi Lampung), Desa Sri Tanjung
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 9
Mesuji adalah
Kasus Mesuji adalah contoh gamblang alarm serius,
betapa pemerintah--dengan segenap wake up call, agar
aparatusnya--cenderung memihak pemilik negeri ini tidak
modal dan meminggirkan masyarakat. menyandang
Pengusaha, tentu tidak semua, lihai predikat “Raja
menciptakan dan memanfaatkan situasi Limbung”,
yang timpang itu. Izin dan Hak Guna Usaha produsen sawit
(HGU), misalnya, diperjualbelikan. Pindah terbesar di
tangan kepemilikan HGU akhirnya berujung dunia yang
pada gejolak di antara pemilik resmi lahan, kebesarannya
yakni penduduk lokal. Dan, alih-alih justru membikin
membangun hubungan yang sehat dengan luka di negeri
penduduk, perusahaan “menyewa” satuan sendiri. Ironis.
12 Raja Limbung
Tahap paling kritis dalam pembukaan perkebunan sawit (deforestasi) pada tahap ini ban-
yak hewan yang kehilangan habitatnya.
Sumber: Dok, Sawit Watch
18 Raja Limbung
Indonesia kini adalah 1,1 juta hektare per tahun. “Tapi, bisa jadi
penurunan deforestasi ini karena dua hal. Pertama, areal hutan
memang sudah sempit. Kedua, mungkin sudah banyak yang
berubah jadi lahan sawit,” kata Hadi Daryanto.
Deforestasi adalah konsekuensi tak terhindarkan dari kebun
sawit yang semakin gigantis. Komposisi ekologi pasti terjadi. Wajah
hutan rimba tropis, ibu keanekaragaman hayati, sudah jauh berganti
tersebab agresivitas ekspansi sawit.
Keanekaragaman hayati, yang selama ini menjadi kebanggaan
hutan Indonesia, bersaing dengan keragaman hayati di hutan
Amazon, Brazil, perlahan tergerus. Situasi makin miris karena
belakangan muncul suara-suara yang mengusulkan legitimasi kebun
sawit masuk dalam kategori ‘hutan’. Pertimbangannya, kebun sawit
juga memiliki kanopi atau tajuk yang rimbun, sebagai peredam emisi
karbon.
Usulan memasukkan kebun sawit dalam kategori hutan langsung
disambut kontroversi. Kritik dari para aktivis lingkungan menderas.
“Hutan bukan hanya perkara kanopi atau
tudung yang melingkupi satu area,” kata
“Saya tak bisa Norman Jiwan, dari Sawit Watch. Ada plasma
lagi membuat nutfah, keanekaragaman hayati, dan berjuta
kalung rotan. fungsi ekosistem yang belum sepenuhnya
Mana bisa? diketahui dalam menjaga keseimbangan alam.
Rotan sudah Belum lagi jika dipertimbangkan manfaat
tak ada lagi di ekonomi yang diambil penduduk di areal
hutan,” kata hutan dari “kekayaan biodiversitas”, misalnya
Jahan, dari Suku madu hutan, rotan, dan aneka rupa tanaman
Dayak Muluy, berkhasiat obat yang ada di dalam hutan.
Kabupaten “Keragaman kekayaan seperti ini tidak ada di
Passer, kebun sawit,” kata Norman Jiwan.
Kalimantan
Timur Begitu kebun sawit dibuka, hutan yang
rimbun segera berganti dengan deretan pohon
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 23
sawit yang seragam dan rata. Tak ada lagi rotan, madu, yang bisa
menyangga ekonomi subsisten penduduk di wilayah hutan yang
berubah menjadi kebun sawit. “Saya tak bisa lagi membuat kalung
rotan. Mana bisa? Rotan sudah tak ada lagi di hutan,” kata Jahan,
dari Suku Dayak Muluy, Kabupaten Passer, Kalimantan Timur.
Norman khawatir, jika kebun sawit diresmikan sebagai hutan,
maka laju ekspansi kebun sawit bakal kian agresif. Pengusaha dan
pemerintah boleh jadi semakin gesit memangkas hutan untuk disulap
menjadi kebun sawit. La, kan, sawit juga ‘hutan’, begitu alasan yang
kira-kira bakal sering muncul.
Selagi dunia berdebat soal kebun sawit layak disebut sebagai
hutan atau tidak, ekspansi sawit terus berderap di berbagai wilayah
dunia. Brazil, Malaysia, Indonesia, adalah negara-negara yang
menjadi darling kesayangan para investor sawit dari seantero jagat.
Permintaan dunia pun terus meningkat. Tahun 2009, total konsumsi
sawit dunia mencapai 45,3 juta ton. Setahun kemudian, angka ini
naik menjadi 46,9 juta ton minyak sawit dan bagian terbanyak
dipasok oleh Indonesia.
Indonesia, sebagai wilayah dengan lanskap yang ideal bagi
pertumbuhan sawit, menjadi sasaran ekspansi. Pada 2007, United Nations
on Environments Programme (UNEP) melaporkan bahwa perkebunan
sawit adalah sebab utama deforestasi di Indonesia dan Malaysia. Hutan
nusantara yang di tahun 70 dan 80-an dilanda gelombang penebangan
liar, illegal logging, memasuki dekade 90-an dan 2000-an menghadapi
tantangan yang tak kalah dahsyat : ekspansi kebun sawit.
Tak terhindarkan lagi, areal hutan belantara, ekosistem kompleks
dengan jutaan ekosistem kecil, menyempit hari demi hari. Padahal,
setiap ekosistem ini butuh waktu sampai ratusan tahun untuk
tumbuh sempurna. Keberadaan mereka pun memiliki kontribusi
pada keseimbangan ekosistem yang besar, yakni alam semesta.
Kemusnahan sebuah ekosistem jelas berdampak pada kesehatan
ekosistem alam secara keseluruhan.
24 Raja Limbung
ton tandan sawit yang sudah diolah menjadi CPO (crude palm oil).
Pengolahan yang ekstra intensif mampu menggenjot panen sampai
7-10 ton CPO saban tahun, seperti yang telah dibuktikan kebun-
kebun yang ada di Malaysia.
Ekstensifikasi vs Intensifikasi
Seratus tahun perjalanan kebun sawit di Indonesia adalah riwayat
yang layak ditengok dan direnungkan. Adakah sawit telah memberi
manfaat optimum bagi petani dan rakyat, khususnya kelompok
masyarakat adat yang berumah di hutan? Mengapa di berbagai daerah
justru muncul penolakan perkebunan emas hijau ini? Mengapa kilau
sawit meninggalkan trauma bagi banyak komunitas adat di hutan-
hutan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua?
Pada Oktober 2011, dilaporkan ada 101 kelompok masyarakat
menolak perkebunan sawit di Mentawai, Sumatera Utara. Total
ada 34 ribu hektare lahan di Kecamatan Sipora Utara dan Sipora
Selatan yang sedang digadang-gadang akan diubah menjadi kebun
sawit. Persoalannya, di kawasan ini ada permukiman penduduk,
lahan pertanian produktif, dan juga aneka rupa kebun. Walhasil,
tak kurang dari 101 kelompok masyarakat mengajukan surat
kepada Pemerintah Propinsi Sumatera Utara, agar tak mengizinkan
perubahan Sipora menjadi kebun sawit.
Sederet pertanyaan segera muncul. Mengapa penolakan demi
penolakan, protes demi protes, tetap terjadi? Jika sawit adalah
komoditi yang dahsyat, seharusnya masyarakat luas merindukan dan
menyambutnya dengan antusias dan tangan terbuka. Tapi, kisah di
lapangan sering kali tampak suram. Mengapa? Pertanyaan inilah
yang seharusnya menjadi bahan renungan para pengambil kebijakan.
Harus diakui, road map yang bervisi jauh ke depan belum tampak
dalam perjalanan sawit di negeri ini. Masterplan Percepatan dan
Pengembangan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025, yang baru
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 29
Pekerja mengangkat buah kelapa sawit ke dalam truk, Luwu Timur, Sulawesi
Selatan.
Sumber: TEMPO/ Tommy Satria
Sejumlah pekerja menyortir kelapa sawit yang akan dikirim ke pabrik CPO di
kawasan PTPN VIII di Cigudeg, Bogor
Sumber: TEMPO/ Arie Basuki
36 Raja Limbung
bukan kerja yang enteng. Upah yang rendah sering kali memaksa
buruh mengambil brondol (rontokan tandan sawit) yang jatuh. Tapi,
ini tindakan yang berisiko. Satpam kerap mengadukan buruh yang
memungut brondol ke polisi, dengan tuduhan mencuri sawit milik
perkebunan.
Yang lebih mengenaskan lagi adalah nasib buruh perempuan dan
anak-anak. Relis Yanthi Panjaitan, dari Jurnal Kajian Perkebunan,
meneliti kondisi buruh perempuan di perkebunan sawit di Sumatera
Utara, pada 2010. Menurut riset ini, 90 persen buruh laki-laki selalu
mengajak istri dan anaknya saat mendapat order memanen kebun
sawit.
Buruh panen, dengan upah Rp 39 ribu per hari, bertugas
memanen 75 tandan (sekitar 1500 kilogram) dalam sehari. Beban ini
tak mungkin dikerjakan sendirian, sehingga sang buruh mengajak
serta istri dan anak.
Persoalannya, selain tak diupah, buruh perempuan dan anak-anak
tidak dilengkapi alat keselamatan kerja apa pun. Sepatu boot, sarung
tangan plastik, dan helm hanya disediakan untuk buruh utama. Istri
dan anak yang cuma berstatus tenaga pembantu tidak dilengkapi
alat apa pun. Akibatnya, kerap dilaporkan terjadi kecelakaan kerja,
mulai dari tertimpa tandan sampai tertimpa pisau pemotong (egrek)
tandan sawit. Mirna, buruh di sebuah kebun sawit di Langkat, adalah
salah satu korban yang tertimpa pisau egrek. Pisau tajam itu jatuh
tepat di leher Mirna, hingga dia meninggal.
Celaka memang. Tak ada perlindungan hukum dan kesehatan
apa pun buat istri dan anak si buruh. Status mereka hanyalah tenaga
pembantu. Mereka bukan karyawan, mereka tak tergabung dalam
serikat pekerja, dan tak punya asuransi apa pun.
Penelitian Relis Yanthi juga menyebutkan bahwa buruh
perempuan kerap diterjunkan untuk pekerjaan berisiko, misalnya
pemumpukan dan penyemprotan pestisida. Tugasnya, mencampur
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 37
Timur, menemani perjalanan kami. Yusi Avianto, Zen Hae, dan Irfan
Budiman kemudian membantu penulisan hasil reportase lapangan.
Harus kami akui, yang kami temui di lapangan jauh lebih kompleks
dibanding diskusi-diskusi di ruangan berpendingin di Jakarta. Satu dua
pekan turun di lapangan, apa daya, tidak mungkin sanggup memotret
persoalan di lapangan secara komprehensif. Oleh karenanya, dengan
rendah hati, kami mengakui bahwa buku ini masih jauh dari sempurna.
Tidak jarang kami merasa ‘tersedak’ oleh begitu banyaknya detil laporan
dari lapangan. Oleh karena itu, kami mohon maaf kepada tim reporter
yang bekerja keras penggali bahan, juga kepada para narasumber di
lapangan, bahwa pada akhirnya kami tidak sanggup menghadirkan
seluruh kejadian di lapangan.
Buku ini pastilah tidak bisa mewakili Buku ini
keseluruhan yang terjadi pada bentang alam pastilah tidak
dunia sawit di negeri ini, apalagi dalam kurun bisa mewakili
waktu satu tahun. Memotret satu abad keseluruhan
perjalanan kebun sawit di Indonesia dalam yang terjadi
sebuah buku, harus kami akui, adalah target pada bentang
yang super ambisius. alam dunia sawit
Yang kami bisa hadirkan dalam buku di negeri ini,
ini hanyalah serpihan-serpihan mozaik apalagi dalam
kondisi lapangan, titik demi titik yang kami kurun waktu
tampilkan adalah jukstaposisi, yang mudah- satu tahun.
mudahan sanggup memberi perspektif dan Memotret satu
gambaran umum. Harapan kami, buku ini abad perjalanan
menjadi pembuka bagi penulisan buku-buku kebun sawit di
dan riset-riset yang lebih mendalam mengenai Indonesia dalam
sawit di Indonesia, demi mendapatkan sebuah buku,
pemahaman yang lebih baik. harus kami akui,
adalah target
yang super
ambisius.
46 Raja Limbung
Bab 2
Bab 2
Raja yang Buta,
Lumpuh, dan Limbung
Pembukaan
Ijin Usaha Proses
Lahan Tanam
Sebelumnya, minyak yang diperas dari buah kelapa sawit ini hanya
digunakan secara terbatas untuk pelumas mesin atau, paling banter,
bahan baku lilin.
Sawit memasuki babak baru di awal abad 20. Ketika itu minyak
sawit didaratkan secara besar-besaran sebagai bahan baku industri
sabun dan mentega. Margarine Unie, pabrik mentega Belanda,
mengapalkan minyak sawit dari Asahan (Aceh) dan Teluk Betung
(Lampung) menuju Pelabuhan Rotterdam. Pada waktu yang hampir
bersamaan, Lever Brothers di Inggris juga mendatangkan minyak
sawit dari Afrika Tengah ke Pelabuhan London untuk bahan
campuran produksi sabun.
Sejak itu, Rotterdam dan London merupakan pintu masuk
utama minyak sawit ke Eropa, sampai sekarang. Kedua perusahaan
yang kemudian bergabung sebagai Unilever dan menjelma menjadi
raksasa dunia itu juga merupakan salah satu konsumen terbesar
minyak sawit hingga hari ini. Di tangan Unilever, minyak sawit –
yang di tempat asalnya, Afrika, hanya diolah untuk campuran sup,
saus atau bahan obat (minyak sawit asli yang berwarna jingga kaya
akan karoten, sangat baik untuk kesehatan mata)— berhasil ‘disulap’
menjadi salah satu bahan baku industri pangan dan kosmetika yang
vital.
Hingga setengah abad kemudian, minyak sawit masih terbatas
digunakan sebagai bahan baku industri mentega dan sabun.
Permintaannya memang terus merangkak naik, tapi dalam grafik
yang relatif datar. Bintangnya masih belum berpijar benderang.
Bintang itu baru bersinar terang pada awal 1970-an. Ketika itu
para penggiat industri berhasil ‘menetralkan’ CPO dari kandungan
asam-lemak-bebas, yang membikin minyak teroksidasi dan jadi
tengik. Minyak sawit mentah yang berasa agak pahit dicuci,
dikeringkan dan disaring, kemudian didinginkan. Hasilnya: sebagian
minyak membeku dalam suhu ruang dan sebagian lagi tetap cair.
Minyak yang cair dan jernih itulah yang kemudian digunakan sebagai
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 55
empat kali lipat luas kebun kelapa sawit di seluruh dunia. Dalam
sepuluh tahun terakhir, kebun kedelai di Brasil saja terus masih
merangkak naik dari 18 juta hektare menjadi 24 juta hektare. Ini
merupakan tingkat pembukaan kebun yang tak kalah masif dengan
kelapa sawit di Indonesia.
Namun, perluasaan yang membabi buta seperti itu menimbulkan
tanda tanya besar: di mana kebun-kebun itu dibangun? Di tanah
negara? Di lahan bekas hutan yang memang dicadangkan untuk
konversi?
Tahun 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meluncurkan
megaproyek Kalimantan Border Oil Palm: pembangunan kebun
kelapa sawit raksasa seluas 1,8 juta hektare yang akan memagari
perbatasan Indonesia dengan Malaysia dan Brunei. Untunglah,
setahun kemudian, proyek yang menerabas sejumlah wilayah taman
nasional ini ‘dijadwalkan’ kembali – namun sejumlah selentingan
mengabarkan pemerintah belum menghapuskan sama sekali rencana
tersebut.
Di luar kawasan pencadangan yang bermasalah itu, pembangunan
kebun sawit di Indonesia agaknya harus berhadapan dengan tanah-
tanah yang telah memiliki ’status’ – entah itu tanah milik petani,
milik masyarakat adat, atau lahan bekas kawasan hutan. Tak jarang,
kebun-kebun baru itu harus dibangun dengan sejumlah konflik
tanah yang meletup belakangan dan memakan korban (Baca: Berebut
’Sepetak’ Tanah Demi Minyak Sawit Mentah).
dari 7,8 juta hektare luas kebun sawit nasional, separuhnya (3,9 juta
hektare) dimiliki perusahaan besar. Urutan kedua ditempati kebun
rakyat yang menguasai 3,3 juta hektare (42 persen) kebun sawit, dan
sisanya, dimiliki BUMN.
Masalahnya, data pengusaan kebun sawit tak menggambarkan
kekuatan ekonomi para pemainnya. Meskipun menguasai kebun
dalam jumlah kolosal (42 persen), nasib petani sawit masih sangat
bergantung kepada perusahaan besar atau pemilik pabrik pengolahan.
Berbeda dengan petani karet, petani sawit tak sepenuhnya dapat
menikmati kenaikan harga dan permintaan pasar internasional.
Berbeda dengan biji kopi atau getah karet yang dapat diolah
kapan saja, awet disimpan bahkan dalam tempo berbulan-bulan atau
bertahun-tahun, sawit memerlukan pengolahan yang cepat. Dalam
tempo 24 jam setelah dipanen, buah kelapa sawit harus segera diolah
agar kandungan minyaknya (rendemen) tak merosot.
Selain itu, menyimpan buah sawit akan meningkatkan konsentrasi
asam lemak bebas (ALB). Minyak CPO dengan kandungan ALB
lebih dari lima persen lazimnya akan ditolak pasar lelang, dan harus
dijual ke pasar bebas. Siap-siap saja harganya akan jeblok. Aturan
umum yang berlaku saat ini: buah sawit tak boleh menginap, harus
diproses paling lambat 24 jam setelah dipanen.
Rule of thumb ini melahirkan serentetan persoalan yang tidak
mudah diatasi oleh petani kecil. Pertama, pabrik pengolahan harus
dibangun tidak jauh dari kantong-kantong perkebunan. Masalahnya,
investasi pabrik pengolahan kelapa sawit sangat mahal – umumnya
tidak terjangkau kantung petani. Satu pabrik pengolahan kecil
dengan kapasitas pengolahan 30 ton tandan buah segar (TBS) per
jam memerlukan investasi lebih dari Rp 300 miliar. Belum lagi, untuk
memasok kebutuhan bahan baku bagi pabrik sekecil itu, diperlukan
kebun sawit antara 6.000 – 9.000 hektare. Berapa banyak petani
harus disatukan untuk mendapatkan kebun seluas itu?
72 Raja Limbung
Riwayat Elaeis
di Kepulauan
Kelapa
74 Raja Limbung
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 75
Bab 3
Riwayat Elaeis
di Kepulauan Kelapa
Masa Kolonial
Menjelang akhir abad ke-19, VOC mengubah haluan bisnis mereka.
Ia ingin menjadi korporasi besar penghasil tanaman komersial
dunia. Perubahan strategi ini kemudian dituangkan dalam Undang-
Undang Agraria (Agrarische wet) pada 1870 yang menandai mulainya
era perkebunan di Hindia Belanda.
Sejatinya, kelapa sawit sudah langsung ditanam pada tahun
kedatangannya di Muara Enim, lalu dilanjutkan di Musi Hulu setahun
berikutnya, dan di Belitung pada 1890. Hanya saja, perkembangannya
seret karena para pemilik kebun malas-malasan
“Karena menggarapnya. Kelapa sawit dinilai tak cukup
perkebunan di menguntungkan di zaman itu. Bisa dimaklumi
Sumatra sulit karena saat itu sawit memang masih asing.
mendapatkan Gampangnya, kalau yang dicari sekadar minyak
tenaga bakal penggoreng lauk, di Nusantara sudah
penggarap, tersedia jutaan kelapa. Untuk apa mengandalkan
ratusan ribu tanaman baru yang buahnya tak menarik?
orang dari Namun, pemerintah kolonial tak putus
Jawa, Bali, asa. Pada tahun-tahun berikutnya mereka terus
Nusa Tenggara membantu penanaman sawit di sepanjang
didatangkan. Pantai Timur Sumatera. Awalnya kebun-
Mereka inilah kebun dimiliki oleh perseorangan. Tapi, para
yang kemudian pemilik tak sanggup memegangnya lebih lama
dikenal sebagai karena harga produk perkebunan yang selalu
kuli kontrak.” melonjak naik turun. Modal mereka terlalu
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 77
Pekerja berkerja di lahan pembibitan kelapa sawit milik Perusda Benuo Taka &
CV Tenera di Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur.
Sumber: TEMPO/ Lourentius
82 Raja Limbung
guna usaha sampai 20-30 tahun lagi.” Jamal, yang bersaksi dalam
film dokumenter berjudul “Suara dari Perkebunan Sawit” itu tidak
sendirian. Ada ratusan, mungkin ribuan kisah serupa di seluruh
negeri, yang tertimbun gemerlap nilai nominal kebun sawit.
Warga lokal dijanjikan pekerjaan di perkebunan, dibangunkan
infrastuktur, dan sekian fasilitas lainnya. Bila bujukan tak mempan,
tekanan menyusul datang. Pada masa Orde Baru, ketika pemerintah
begitu berkuasa, para penolak pembukaan kebun segera saja dianggap
pembangkang, subversif, membahayakan pembangunan. Risikonya,
hidup yang bersangkutan tidak nyaman lagi, bahkan bisa terancam.
Sementara itu, dengan janji-janji pula pemerintah mengajak
warga di daerah miskin dan surplus tenaga kerja seperti di Jawa,
Bali, dan Nusa Tenggara menjadi pekerja di proyek PIR-Trans. Para
transmigran ini pun tak tahu-menahu dari mana asal-muasal tiap
kapling lahan (2 hektare) yang dijanjikan kepada mereka. “Kami tak
tahu kalau lahan yang diberikan kepada kami itu dulunya adalah
hutan, kebun, rumah, tempat tidur, atau kakus orang lain,” kata
Soeprapto, transmigran dari Jawa Tengah, yang sejak tahun 1980-an
menjadi petani sawit dan tinggal di Passer, Kalimantan Timur.
Dengan gebrakan dua arah ini, pemerintah dapat mengatasi
persoalan kelangkaan lahan dan tenaga kerja bagi proyek sawit.
Namun, jurus tipu-tipu dan pendekatan kekuasaan ini justru
melahirkan masalah baru, yaitu bibit-bibit konflik yang masih kuat
baranya sampai sekarang. Di mana-mana meletup sengketa antara
warga lokal dan peserta transmigrasi, antara pemilik tanah dan
pengelola kebun, antara transmigran dan orang perkebunan. Bahkan,
konflik juga melebar ke sesama warga lokal, karena ada yang pro dan
kontra dengan kehadiran kebun sawit.
Di kawasan Danau Sembuluh, Kabupaten Seruyan, Kalimantan
Tengah, misalnya, batas kepemilikan lahan selama puluhan tahun
sebelumnya bisa dikenali dengan tanaman yang berdiri di atasnya.
Keluarga A menanam karet sementara keluarga B menanam
buah-buahan, begitu yang aman sentosa terjadi selama berbilang
84 Raja Limbung
Fasilitas dan infrastruktur yang memadahi diperlukan dalam memanen tandan sawit
Sumber: Dok Sawit Watch
86 Raja Limbung
94 Raja Limbung
Bab 4
Sadhumuk Batuk,
Sanyari Bumi
96 Raja Limbung
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 97
Bab 4
Sadhumuk Batuk,
Sanyari Bumi
Saat ini, mencari tanah seluas 6 sampai 9 ribu hektare jelas sangat
sulit, bahkan di Kalimantan sekali pun. Jika satu kepala keluarga
memiliki 2 hektare lahan, maka dibutuhkan 3.000-4.500 petani
yang sepakat bersatu untuk memanfaatkan pabrik pengolah CPO
kecil itu. Bukan tugas yang mudah.
Lahan semakin terbatas. Tuhan tak lagi menciptakan tanah.
Perkebunan sawit yang baru dibuka lima tahun terakhir di Kalimantan
Barat, misalnya, paling mentok luasnya hanya seluas 3 ribu hektare.
Karena kebun tak cukup untuk memasok kebutuhan satu pabrik,
kebun-kebun kecil ini terpaksa bergabung dengan pabrik milik
kebun lain. Dusun Sebindang, misalnya, terkepung oleh dusun-
dusun lain di sekitarnya yang lahannya sudah dialihfungsikan sebagai
kebun sawit. Desakan untuk membuat Sebindang seragam dengan
yang lain itulah yang akhirnya memicu gesekan sesama warga.
Yang mencemaskan, angka konflik sepertinya terus meningkat
di Tanah Air. Sepanjang 2010, misalnya, muncul 660 kasus konflik
100 Raja Limbung
Perkebunan Inti Rakyat (PIR) kelapa sawit di Desa Muara Mahat, Riau.
Sumber: TEMPO/ Wahyu Dhyatmika
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 105
kira-kira juga Rp 300 miliar, modal awal yang harus dikeluarkan untuk
membuat kebun dan pabrik sudah sebesar Rp 600 miliar.
Dengan hitung-hitungan seperti itu, tak mengherankan bila
perusahaan perkebunan lebih memilih jalan yang murah. Apa itu?
Menipu petani dengan dengan bantuan aparat pemerintah atau
langsung main serobot begitu saja.
Bagi Ali Badri, misalnya, penyerobotan tanah bukan hal baru.
Warga Desa Runtu, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan
Tengah, ini pertama kali merasakan pengalaman pahit kehilangan
lahan pada 1991.
Ketika itu, perusahaan berinisial AAL membuka kebun sawit di
desanya. Dua puluh lima hektare ladangnya, plus rumah, dicaplok
begitu saja oleh perusahaan. Memang, ia tak mempunyai surat
kepemilikan resmi atas tanah itu. Tapi, ia sudah bertahun-tahun
menanaminya dengan pisang dan kelapa. Menurut adat Runtu,
tanah yang diolah seorang warga—walau hanya ditanami sebatang
pohon—menjadi hak penggarapnya. Ali lalu mengajukan gugatan,
dan pada 2005 ia mendapatkan lahan ganti rugi seluas 7 hektare.
Namun, pada 2008 Ali kembali menghadapi masalah serupa.
Pada suatu hari, sebuah buldoser datang dan parkir di lahan milik
almarhum ayah Ali, Haji Hermansyah. Si pengemudi alat berat
bilang bahwa ia diperintah oleh Hasanudin, Kepala Desa Runtu.
Ali pun bergegas menemui Hasanudin. Yang disebut terakhir ini
berkata bahwa ia mendapat perintah dari perusahaan berinisial SSS
untuk meratakan lahan itu. Ali jelas protes karena merasa belum
pernah diajak bicara. Maka, Ali kemudian mendatangi lagi kepala
desa guna meminta tanda tangan untuk Kelompok Tani Usaha
Mandiri yang terdiri atas 49 orang anak-cucu Haji Hermansyah
sebagai bukti penguasaan tanah. Si kepala desa menolak tanda
tangan dengan alasan tanah itu masuk Hak Guna Operasi PT SSS.
Beberapa hari kemudian, buldoser PT SSS datang lagi. Di
kebun sedang ada Suriansah—adik Ali—-dan anaknya, Hendra.
106 Raja Limbung
bisa dinikmati hanyalah panen satu hektare. Tapi, karena lokasi kebun
penduduk atau kebun plasma berada jauh dari pabrik, pemanenan
mereka dinomorduakan. Karena tandan buah segar mereka gagal
mencapai pabrik dalam waktu 24 jam, harganya jatuh, dari semula Rp
1.500 per tandan menjadi Rp 800 atau bahkan Rp 500. Praktek-praktek
semacam inilah yang membuat sebagian warga kapok bersawit ria.
Pengalaman Husniati, warga Runtu, Sembuluh, Kalimantan
Tengah, agak berbeda. Sejak terjadi banyak penyerobotan tanah
di Runtu, ia menanami lahannya dengan sawit. Siasat ini berhasil,
lahannya aman. Ia juga ikut program Income Generating Activity
(IGA), bagian dari program pemberdayaan masyarakat dari sebuah
perusahaan perkebunan sawit. Dalam program ini warga mendapat
pinjaman sebesar Rp 4 juta per hektare tanpa bunga untuk membeli
bibit dan pupuk sawit. “Jika sudah panen, sawit wajib dijual ke
perusahaan, dengan dipotong 30 persen untuk membayar utang,”
kata Husniati.
Husniati bekerja keras hingga berhasil menambah kebun
sawitnya sampai 7 hektare. Ia juga ikut IGA lagi. Yang mengganjal
hatinya adalah harga jual sawitnya ke perusahaan. “Kalau harga
pasaran turun, harga sawit dari kami langsung diturunkan, tapi
kalau harga lagi naik mereka diam-diam saja,” ujarnya.
“Itu Cuma
Kampanye Hitam!”
130 Raja Limbung
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 131
Bab 5
“Itu Cuma
Kampanye Hitam!”
Jika kita membuka lahan 500 ribu hektare per tahun, dengan
setiap keluarga petani mengelola 2 hektare, maka paling tidak bisa
250 ribu tambahan tenaga kerja baru tiap tahun.
Manajemen satu atap akan ada pilot project atau berlaku nasional?
Bukan pilot project. Pola manajemen satu atap ini menggantikan
pola lama. Ya, namanya bermitra itu kalau sudah diawali
dengan khawatir, ya tidak bisa jalan. Kalau diawali dengan tidak
percaya, bentuk kemitraan apa pun, tidak ada hasilnya. Kalau saya
dari situ mulainya. Namanya bermitra, ya, harus saling percaya. Itu
dulu yang pertama.
Sudah otomatis, saya punya kebun di sini, pabriknya di sini,
tidak mungkin dia pergi ke tempat atau pabrik lain yang lokasinya
lebih jauh. Dan inilah yang menjadikan, kenapa manajemen satu
atap itu solusi atas bentuk pengkhianatan ke dalam atas kerjasama
PIR selama ini.
panen. Dua minggu sekali panen. Tentu ini bicara ketika kebunnya
telah memasuki masa berbuah. Sebelum itu ya masa berjuang
menanam. Tidak ada yang dihasilkan dari masa membangun, itu di
mana pun. Kita bicara pada tatanan yang sudah produksi.
Perkiraan Rp 1 juta per hektare itu menggunakan pola lama.
Kalau pola baru diterapkan, malah akan lebih tinggi lagi karena
produktivitas meningkat. Rata-rata petani memiliki 2 hektare. Itu
karena harga sawit yang bagus. Soal harga sekarang sedang turun, itu
biasa, namanya juga komoditi ekspor. Sawit ini bukan tanaman yang
di kota, dia di remote area. Di mana saja sawit bisa ditanam di remote
area. Kedua, di mana ada sawit, di situ pasti ada perkembangan
daerah. Itu yang harus dilihat. Tidak ada daerah sawit yang tidak
berkembang. Pasti terjadi pertumbuhan ekonomi di areal kebun.
Lain dengan pabrik karet, yang dibangun di kota. Sementara
karetnya ada di kebun. Pabrik coklat juga demikian, jadi semua bahan
baku diangkut ke kota. Sawit tidak bisa. Semua harus dibangun di
sekitar kebun, di pedesaan. Sehingga berputarlah roda ekonomi.
Karena setiap minggu, setiap dua minggu terjadi dana yang bergulir
di situ sekitar Rp 5 miliar tiap 2 atau 3 minggu untuk pembayaran
tandan sawit hasil panen petani. Maka terjadilah pengembangan
desa. Artinya, pengaruh sawit sangat besar di dalam perekonomian
kita.
Kisah
Danau Sentarum
148 Raja Limbung
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 149
Bab 6
Kisah
Danau Sentarum
USAT meringis. Lelaki paruh baya itu terus meraung dan memegangi
hidungnya. Darah segar deras mengucur. Di hadapannya, Bantin,
berdiri pongah.
Bantin, dia anak kandung Usat. Bau arak yang menyengat
meruap dari mulut pemuda berusia 30 tahunan itu. Hujan
makian dalam bahasa Iban, bahasa lokal di Kapuas Hulu, juga
tersembur. Usat tak berdaya. Dia digotong sejumlah orang yang
segera melarikannya dengan sepeda motor ke rumah mantri
kesehatan di pusat desa Sungai Tembaga, Empanang, Kapuas
Hulu, Kalimantan Barat.
Sembam, Kepala Dusun Sebindang, Sungai Tembaga,
mengisahkan peristiwa nahas pada tengah malam Jumat, 14 Mei
2010 itu. Saat itu sejumlah penduduk sedang berkumpul membahas
rencana kehadiran perkebunan sawit di daerah mereka. Sebindang,
dusun mereka, adalah satu dari tiga dusun di Sungai Tembaga yang
sebagian besar penduduknya menolak keras kehadiran perkebunan
kelapa sawit. Dua dusun lainnya adalah Batu Pansap dan Semayos.
150 Raja Limbung
Seorang anak menyebrangi danau Sentarum menggunakan kapal boat, Kalbar, 14/05:
Foto: TEMPO/Aditia Noviansyah
152 Raja Limbung
Si Jangguk
Jackson Jangguk namanya. Dia adalah Kepala Desa Kekurak,
Kecamatan Badau, yang setuju hutan-hutan di desanya ditanami
sawit. “Lebih baik menjauh dari dia,” kata Ilah, aktivis LSM Riak
Bumi Pontianak, yang mendampingi tim penulis menjelajah Badau,
Suhaid, dan Empanang.
Terlambat. Mobil Toyota pick up dua kabin, yang kami tumpangi
rupanya menjadi pusat perhatian Jangguk dan kawan-kawannya.
Ketika mengisi bahan bakar tak jauh dari tempat orang-orang itu
berkumpul, Jangguk menghampiri mobil kami. Dia menunggangi
sepeda motor berpelat nomor merah. Matanya tertutup penuh
kacamata hitam. Sergahnya, “Dari mana kalian?
Kenapa motret-motret? Dari LSM hah?”
Kami
Sepagi itu, dari mulut Jangguk sudah meruap
membisu.
bau alkohol. Kami tak ada yang menjawab. Saya
Sebelum
mencoba menoleh ke belakang mobil. Di kejauhan
kembali ke
terlihat beberapa orang yang berkumpul dengan
warung kopi
Jangguk seolah menunggu perintah. Ilah mulai
itu, Jangguk
membuka suara dan menjelaskan singkat dalam
menendang
bahasa Iban, bahwa kami bukan dari LSM. Jangguk
pintu mobil
tidak mau tahu.
kami. Duk.
“Babi kalian Dia mulai memainkan gas sepeda motor
semua,” sebelum melarikannya dengan gegas. Setelah
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 153
berjarak sekitar 100 meter di depan mobil kami, dia memutar arah,
berbalik mendatangi kami kembali. “Cepat kalian angkat kaki dari
sini sebelum mendapatkan penyakit,” katanya.
Kami membisu. Sebelum kembali ke warung kopi itu, Jangguk
menendang pintu mobil kami. Duk. “Babi kalian semua,” katanya.
Jangguk dikenal sebagai jagoan di seantero Badau, Empanang hingga
di Kecamatan Lanjak. Hobinya menyabung ayam.
Manajemen PT Sinar Mas Agro Resources & Technology (Smart)
memberangkatkan Jangguk dan beberapa kepala desa setempat
menuju Riau, awal 2010. Layaknya studi banding, rombongan
Jangguk melihat-lihat kebun sawit yang dikelola Smart di Riau.
“Kami bawa mereka studi banding ke Riau. Ada yang dari pemerintah
daerah, ada juga tokoh masyarakat,” kata Bernard Ho, Manajer
Umum PT Smart. “Ada yang berubah sikapnya terhadap sawit, ada
yang tidak.”
Smart, anak perusahaan Grup Sinar Mas, adalah milik keluarga
taipan Eka Tjipta Widjaja. “Kami perkebunan sawit yang pertama
yang masuk ke Kapuas Hulu, sekitar 2005-2006,” kata Bernard.
Ada sembilan perusahaan perkebunan sawit dengan total lahan 165
ribu hektare yang ada dalam kendali Smart. Termasuk di antaranya,
yang paling luas, adalah PT Kapuas Indo Farm dan PT Kartika
Prima Cipta.
Tokoh masyarakat Batu Pansap, Hendrikus Derawan bercerita,
sehari setelah menghardik dan memaki-maki kami di Badau itu,
Jangguk datang ke rumahnya. “Saya bilang kepada Jangguk: kamu
jangan mengganggu desa saya, urus saja desa kamu sendiri,” kata
Derawan.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 165
Bab 7
Kerontang dan Banjir
Kerontang di musim kemarau, banjir bandang di musim hujan bahkan di areal perkebunan
sawit
Sumber: Dok. Sawit Watch
172 Raja Limbung
Memang tidak adil jika perkebunan sawit dicap hanya bisa memicu
dampak negatif bagi lingkungan. Kebun sawit bukan mustahil
juga memiliki dampak positif bagi lingkungan dan bukan hanya
ekonomi. Di Brazil, misalnya, Rhett Butler, pendiri dan editor laman
lingkungan Mangobay.com yakin bahwa perkebunan sawit justru
bisa memperbaiki kualitas hutan Amazon yang tergerus kerusakan.
Menurut Butler, lahan di sekitar Amazon banyak yang terdegradasi
akibat digunakan sebagai areal peternakan skala besar.
Nah, lahan yang telantar bekas areal peternakan inilah yang
mestinya dialihfungsikan sebagai perkebunan sawit. Butler yakin,
180 Raja Limbung
Air sungai bewarna hitam dan keruh akibat pemakaian pupuk dan pestisida berlebih
Sumber: Dok. Sawit Watch
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 183
TULANG-belulang terhampar di
atas meja laboratorium Universitas
Mulawarman, Samarinda. Ada
tengkorak, tulang lengan, taring, dan
jari. Semuanya sekitar sepuluh tulang
dan tak ada yang utuh. Warnanya
memutih. “Ini kerangka orang utan
dewasa,” kata Yaya Rayadin, peneliti
orang utan, yang menunjukkan tulang
itu kepada Tempo, Senin pekan lalu. Warnanya yang putih, kata
Yaya, pertanda ia dikubur tak begitu dalam. “Dikubur sekitar
lima bulan lalu,” ujar Yaya.
Usia orang utan itu sekitar 30 tahun. Tubuhnya tambun
dan bobotnya saat hidup diperkirakan mencapai 120 kilogram.
Namun ada yang aneh dari tulang-belulang itu. Di tulang
lengan terdapat bekas sabetan benda tajam. Tulang jemarinya
juga tak utuh, terputus-putus. “Orang utan ini tewas dibunuh,”
kata Yaya menyimpulkan.
Yaya menerima sepuluh tulang tersebut dari Kepolisian
Resor Kutai Timur, Kalimantan Timur. Polisi hendak
memastikan tulang itu adalah orang utan. Jika benar, ia akan
184 Raja Limbung
(Mustafa S.)
192 Raja Limbung
Bab 8
Bab 8
Serasa Hilang Pijakan
Melalui upacara adatnya, Suku Dayak Muluy bertahan dari ekspansi perkebunan sawit.
Sumber: Dok. Sawit Watch
204 Raja Limbung
Perang Tanding
RSPO vs ISPO
206 Raja Limbung
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 207
Kolom
Perang Tanding
RSPO vs ISPO
Oleh Mansuetus Alsy Hanu
tahun 2008, banyak petani di Jambi yang masuk rumah sakit jiwa
lantaran bangkrut. Tak terhitung betapa banyak anak yang harus
putus sekolah saat itu.
Celakanya, sistem penetapan harga TBS yang ada saat ini lebih
berpihak kepada pemilik pabrik, bukan petani. Ini tampak dari
keputusan pemerintah yang membebankan sebagian biaya pengolahan
limbah pabrik, penerangan pabrik dan ongkos pengangkutan CPO
kepada petani. Mestinya, beban tersebut jadi tanggungan pemilik
pabrik pengolahan. Beban potongan yang dikenal sebagai ’indeks K’
ini memangkas penerimaan petani hingga
Rp 350 – 400 untuk tiap kilogram TBS “Buruh merupakan
yang mereka panen. aktor penting
ISPO memang mengatur soal TBS, dalam peningkatan
tapi demi kepentingan pabrik. Salah satu produksi sawit
prinsip dalam ISPO menyebut bahwa yang membuat
TBS yang diterima ’harus sesuai dengan Indonesia menjadi
persyaratan yang telah ditetapkan’. produsen minyak
Sementara itu RSPO mengatur agar sawit nomor
pabrik harus berlaku adil dan transparan satu di dunia.
terhadap petani. Bukan itu saja, RSPO Pemerintah bangga
bahkan secara rinci mengatur tata-cara dengan gelar ini,
penghitungan harga, prosedur penetapan tapi lupa: aktor
harga, termasuk aturan grading di dalam penting itu jarang
pabrik. diperhatikan.”
“Buruh merupakan aktor penting
dalam peningkatan produksi sawit yang
membuat Indonesia menjadi produsen minyak sawit nomor satu di
dunia. Pemerintah bangga dengan gelar ini, tapi lupa: aktor penting
itu jarang diperhatikan.”
Selain memperbaiki nasib petani, paham pembangunan
berkelanjutan mestinya juga meningkatkan martabat dan
kesejahteraan buruh. Berbeda dengan petani yang punya modal lahan,
214 Raja Limbung
Epilog
Menatap Zaman Baru
dari 100 miliar liter pada 2009 menjadi 192 miliar liter (2018).
Kebutuhan akan gula, jagung dan bijian-bijian untuk minyak bakar
akan semakin meningkat dan ini akan melonjakkan harga bahan
bapangan.
Namun, bukan manusia namanya jika tak teruji dalam
ketangguhan daya survival. Krisis, di mana pun, selalu membawa
peluang baru. Perkebunan, agribisnis, untuk pangan maupun biofuels
adalah janji masa depan.
FAO juga mengakui kenaikan harga bahan pangan sebagai
sumber energi dapat pula menjadi kesempatan. Ini peluang bagi
negara-negara miskin dengan banyak lahan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Tentu hal ini baru bisa terwujud dengan
syarat infrastruktur cukup baik dan sistem perdagangan cukup adil,
lokal maupun global.
Rekomendasi,
Kembalikan Marwah Sawit
Tak ada satu pun yang sanggup mengingkari potensi dahsyat sawit.
Serapan tenaga kerja, devisa, pertumbuhan ekonomi, bisa disumbang
oleh kebun sawit. Posisi Indonesia sebagai episentrum penghasil sawit
dunia juga menjadikan negara ini semakin strategis.
Persoalannya, marwah sawit di negeri
ini ternoda oleh banyak hal. Sawit, yang Gunung
seharusnya berpamor gemilang, dicemari persoalan
rasa benci. Padahal, bukan sawitnya benar membuat
yang bermasalah, melainkan cara si manusia martabat sawit
pengelolanya. Juga cara dan keberpihakan jadi anjlok: kasus
pemerintah yang lebih condong pada sengketa tanah
pemodal raksasa dan mengalahkan petani tak kunjung
biasa di posisi pojokan. putus, buruh
yang dibayar
Marwah sawit mestilah dikembalikan
murah, risiko
pada posisinya sebagai berkah, bukan
kerusakan
kutukan alam. Gunung persoalan membuat
lingkungan,
martabat sawit jadi anjlok: kasus sengketa
ketiadaan
tanah tak kunjung putus, buruh yang
perlindungan
dibayar murah, risiko kerusakan lingkungan,
buruh perempuan
ketiadaan perlindungan buruh perempuan
dan anak, sampai
dan anak, sampai kriminalisasi petani
kriminalisasi
tersebar di berbagai kebun dari Sumatera
petani tersebar di
sampai Papua. Apa yang disampaikan dalam
berbagai kebun
buku ini hanyalah sepenggal informasi.
dari Sumatera
Masih teramat banyak problem di lapangan,
sampai Papua.
yang telah menjadi jerami kering dan siap
dibakar atau terbakar. Kisah gemerlap sawit
dengan mudah terancam runtuh oleh timbunan jerami kering ini.
Biasanya, respon pemerintah dan pengusaha selalu bernada
defensif saat noda-noda marwah sawit itu dikemukakan. Mantan
232 Raja Limbung
Profil Lembaga
SAWIT WATCH
Perkumpulan Sawit Watch adalah sebuah organisasi
non pemerintah di Indonesia berbasis keanggotaan
individu yang bertujuan menstop laju ekspansi
sistem perkebunan besar kelapa sawit. Sejak 1998,
Seketariat telah membangun jaringan yang terdiri
lebih dari 50 mitra lokal yang menangani langsung
lebih dari 75 masyarakat (sekitar 40.000 kepala
keluarga) terkena dampak perkebunan kelapa sawit diseluruh
Indonesia. Sekretariat Perkumpulan Sawit Watch (15 staf) di Bogor
telah membangun kemitraan dengan perwakilan individu-individu
di Indonesia dan juga di Eropa. Sampai dengan tahun 2009 anggota
Perkumpulan sawit watch berjumlah 135 orang. anggota ini tersebar
utamanya di Indonesia terdiri pekebun, buruh kebun, masyarakat
adat, aktivis ngo, wakil rakyat , guru, dan pengajar di perguruan
tinggi.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 243
TEMPO INSTITUTE
TEMPO Institute adalah organisasi nirlaba,
independen, yang didirikan sejak tahun 2003 dan
bernaung di bawah payung organisasi Yayasan 21 Juni
1994. Bidang kegiatannya adalah pengembangan
kapasitas sumber daya manusia dalam bidang
penulisan, jurnalistik, dan pengelolaan media.
Semenjak berdirinya Tempo Institute telah melakukan sekian
banyak kegiatan pelatihan jurnalistik, Workshop menulis, maupun
berbagai macam kegiatan diskusi, seminar dan penelitian yang
berhubungan dengan Jurnalisme maupun kesadaran sosial
244 Raja Limbung