Anda di halaman 1dari 258

Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia i

RAJA LIMBUNG
SEABAD PERJALANAN SAWIT di INDONESIA

Diterbitkan oleh :

SAWIT WATCH
bersama
TEMPO INSTITUTE

Tim Penulis:

Mardiyah Chamim, Dwi Setyo Irawanto,


Yusi Avianto Pareanom, Zen Hae, Irfan Budiman

Jakarta
April 2012
ii Raja Limbung

Raja Limbung, Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia

Penulis: Mardiyah Chamim, Dwi Setyo Irawanto, Yusi Avianto Pareanom, Zen Hae, Irfan
Budiman

Penyunting: Mardiyah Chamim, Dwi Setyo Irawanto

Tim Sawit Watch: Jefri Saragih, Achmad Surambo, Bondan A., Ari Munir, Edi Sutrisno,
Eep Saepulloh, Mansuetus Alsy Hanu

Tim Tempo Institute:


Jurnalis: Retno Sulistyawati (Jakarta), Ramidi (Sumatra Utara), Istiqomatul (Sumatra
Selatan), Rusdi Mathari, Dwi Setyo Irawanto (Kalimantan Barat), Mardiyah Chamim
(Kalimantan Timur), M. Reza Maulana, Dwidjo U. Maksum (Kalimantan Tengah),
Monang Soetana (Sumatra Utara)

Periset: Bramantya Basuki, David Ardhian, Said Abdullah

Fotografer: Aditya Noviansyah, Dokumentasi TEMPO

Desain Isi: Risdi


Desain cover dan ilustrasi komik: Bondan Winarno

16 x 24 cm, xiv + 244 hlm


ISBN: 987-602-19607-0-7

Buku ini diterbitkan atas kerjasama:

SAWIT WATCH TEMPO INSTITUTE INSISTPress


Perumahan Bogor Baru Blok C1 Kebayoran Center Blok A11-A15 Jl. Kaliurang Km18, Paduku-
No 10. Bogor. Jawa Barat. 16127 Jl Kebayoran Baru, Mayestik, han Sempu. Dusun Sambirejo.
Indonesia. Jakarta 12240 Kec. Pakem. Kab. Sleman,
Telp: (0251) 8352171 Telp: 021-7255625 Yogyakarta. 55582
Fax: (0251) 8352047 Faks: 021-7255645 Telp: (0274) 8594 244
Web.: www. sawitwatch.or.id Web: www.tempo-institute.org Fax: (0274) 896 403.
Email : info@sawitwatch.or.id Email: tempo.institute@gmail.com Web: www. insist.or.id
Email : press@insist.or.id
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia iii

Pengantar

SALAH satu perdebatan yang panas, terus menerus, dari satu ruang
ke ruang lain, dan belum berhenti sampai sekarang adalah kebun
sawit. Selama dua dekade yang meriah itu, luas kebun sawit meledak
dari beberapa ribu hektar di tahun 1989 menjadi 9,4 juta hektar pada
2011 – diperkirakan mendekati 10 juta hektar Maret 2012 ini, yang
terkonsentrasi terutama di tiga provinsi: Sumatera Utara, Riau, dan
Kalimantan Barat. Jika dilihat di atas peta Indonesia, kebun sawit 20
tahun lalu hanyalah noktah-noktah kecil di Sumatera Timur (baca
Sumatra Utara), lalu mekar melebar – seperti tetesan tinta Cina di kertas
koran—menjadi gumpalan-gumpalan raksasa yang memadati hampir
seluruh pantai timur dan sedikit pantai barat Sumatera, Kalimantan
(terutama di bagian barat, tengah, dan sepanjang perbatasan dengan
Malaysia Timur), Sulawesi (barat dan tengah), serta belakangan di
bagian selatan Papua.
Baik ‘pemuja’-nya dan penghujatnya merentang dari kelompok
kademisi, pengambil kebijkan, sampai ke masyarakat bawah.
Jika harimau dikenal sebagai Raja Hutan, barangkali kelapa sawit
iv Raja Limbung

pantas diberi gelar Raja Kebun. Tak ada tanaman kebun (bahkan
tegakan hutan sekali pun) yang mampu menandingi nilai hasil panen
kebun sawit – setidaknya ampai saat ini demikian kata pemujanya.
Jika guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Pengembangan
kebun besar (baca sawit) tidak bisa dilepaskan dari kolonisasi,
eksploitasi, dan marjinalisasi terhadap bumiputra (baca masyarakat
adat, buruh kebun, dan petani sawit). Dahulu kita kenal Onderneming
dengan Hak Erpacht-nya dan Domain Verklaring, sekarang pun
kita mengenal Perkebunan Besar dengan Hak Guna Usaha (HGU)-
nya dan Hak Menguasai Negara HMN). Konteksnya berbeda, tetapi
substansi kolonisasi, eksploitasi, dan marjinalisasi demikian kata
penghujatnya.
Bagaimana keluar dari para pemuja dan penghujat sawit ini. Bila
kita lihat literatur tulisan, maka hampir semua literatur yang muncul
tentang persawitan agaknya juga membawa semangat kedua kutub
tersebut: memuja atau menghujat. Pengkutuban yang begitu tajam
hingga ke tingkat akar rumput membuat hampir semua konflik
persawitan punya dimensi vertikal maupun horisontal, sehingga sulit
diselesaikan.
Menjawab pertanyaan diatas, menurut saya, perlu ada buku
yang mampu melihat seluruh sisi pro dan kontra itu secara jernih,
jujur dan akurat. Kejernihan dan kejujuran bukan hanya penting
untuk membuatnya diakui, tapi lebih penting dari itu: agar dapat
dipercaya sebagai rujukan untuk pengambilan kebijakan persawitan di
masa datang. Untuk itu, semangat yang ada adalah semangat untuk
mengkomunikasikan saling pengertian, demi kemaslahatan orang
banyak. Hal ini dapat dicapai dengan metode dan tradisi penulisan
jurnalistik yang komprehensif, netral dan berimbang. Selain itu,
buku tersebut harus melakukan validasi yang kuat, narasumber yang
berimbang dan wilayah reportase yang dianggap mewakili seluruh
persoalan persawitan. Pastinya, menimbang keterbatasan resources yang
dimiliki.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia v

Apakah buku kerjasama antara Sawit Watch dan Tempo


Institute berjudul ‘Raja Limbung - Seabad Perjalanan Sawit di
Indonesia’ adalah jawaban dari harapan-harapan diatas? Pembacalah
yang menjadi hakimnya. Apakah buku yang terbit ini jernih, jujur
dan akurat berkenaan dunia persawitan Indonesia, atau malah
menambahkan keruwetan yang ada, pembaca pulalah hakimnya.
Lepas dari itu semua, Saya mengapresiasi dan mengucapkan terima
kasih kepada tim baik dari Sawit Watch atau Tempo Institute atas kerja-
kerja yang ada, serta berbagai pihak lain. Buku ini telah masuk ke ruang
publik, maka terserah publik juga responnya. Selamat menikmati buku
ini.

Abetnego Tarigan
Direktur Eksekutif
Sawit Watch
vi Raja Limbung

Sawit,
di Negeri Penuh Paradoks

Indonesia negeri kaya. Sejak kecil kita tumbuh dengan memuja


keberlimpahan alam pertiwi seperti dalam syair lagu Rayuan Pulau
Kelapa. Lagu yang menutup siaran resmi layar TVRI saban malam.
Nyiur melambai, mengiringi gunung, lembah, lautan, dan daratan
di segala penjuru. Emas, tembaga, nikel, minyak, sawit, karet,
semua ada.
Indonesia negeri sarat paradoks. Negeri kaya ini seolah berjalan
tanpa rencana yang jauh menjangkau ke masa depan. Tak ada
kesadaran bahwa keberlimpahan itu pasti akan menipis dan berakhir.
Alih-alih memiliki sense of urgency dan keberpihakan pada rakyat
luas, sumber daya alam cenderung diobral dan dikelola sembrono.
Walhasil, sumber daya alam yang melimpah itu, ironisnya, kerap
menorehkan luka dan disharmoni sosial. Berkah dan kutukan alam
yang kaya, celakanya, sering hanya berjarak tipis.
Paradoks pekat melingkupi sawit. Komoditas yang satu ini
memiliki pamor yang begitu cemerlang. Dia membawa janji sebagai
sumber energi zaman baru, biofuel. Elaeis guinensis, nama ilmiahnya,
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia vii

juga menjanjikan “tiket” menuju kedaulatan ekonomi. Tiket yang


bukannya mustahil dikejar. Syaratnya, sawit dikelola dengan benar:
proses perizinan yang transparan dan akuntabel, memajukan petani
sebagai ujung tombak, menghormati hak ulayat, ramah lingkungan,
dan memperlakukan buruh dengan baik.
Yang juga tak kalah penting, pengelolaan sawit juga mutlak
diiringi ikhtiar memupuk dan menumbuhkan industri hilir. Agar
negeri ini tak hanya jadi persinggahan untuk menguras bahan baku.
Agar negeri ini juga menuai keuntungan dari pengolahan produk
turunan yang punya nilai tambah tinggi. Jurus yang seharusnya
juga diterapkan untuk semua sumber daya alam yang dimiliki
Indonesia seperti minyak, rotan, karet, emas, tembaga, dan lain
sebagainya.
Minyak sawit telah terbukti sebagai komoditas yang ampuh.
Berbagai produk, mulai dari sampo di kepala sampai kuteks di
jempol kaki, membutuhkan minyak sawit sebagai campuran bahan
baku. Isi tas belanjaan, termasuk di mall supermewah di seluruh
penjuru dunia, semuanya membutuhkan minyak sawit. Tak heran
bila nilai ekonomis sawit bakal terus melaju seiring bumi yang makin
tua dengan cadangan bahan bakar fosil yang kian menipis. Sawit pun
makin berkilau bagaikan emas hijau.
Anehnya, sebetulnya tidak aneh karena inilah konsekuensi logis
dari pengelolaan yang kurang visioner, sawit yang berpotensi dahsyat
itu menyisakan timbunan persoalan. Konflik kepemilikan lahan,
terpinggirkannya masyarakat adat, biodiversitas hutan tergerus,
kriminalisasi petani, adalah ekses ekstra serius yang timbul meletup
di sana-sini. Ekses-ekses yang mutlak harus dibenahi dan diurai satu
demi satu, dengan jernih dan obyektif, jika tak ingin sawit terus
membawa disharmoni sosial dalam berbagai level.
Akhir tahun 2011, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan
laporan adanya korban berjatuhan di perkebunan sawit di Mesuji,
wilayah perbatasan Lampung dan Sumatera Selatan. Penduduk
viii Raja Limbung

yang berbilang tahun memperjuangkan haknya dipaksa berhadapan


dengan perusahaan yang mengerahkan pasukan keamanan, baik
yang swasta maupun aparat TNI dan Polri.
Simpang-siur jumlah korban yang jatuh dan, sampai buku ini
ditulis, awal Januari 2012, kejadian sesungguhnya masih ditelusuri
Tim Gabungan Pencari Fakta yang diketuai Wakil Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana. Laporan resmi
Dan, yang patut secara serius kita soroti bersama bukanlah
berapa jumlah korban yang jatuh di Mesuji. Sebab satu nyawa
hilang pun sudah terlalu banyak. Lebih dari sekadar soal statistik,
Mesuji membawa pesan yang tegas, yakni pentingnya membenahi
keruwetan praktik pengelolaan sumber daya alam, perkebunan
maupun pertambangan. Ini adalah teriakan, lonceng panggilan,
yang amat serius kepada pemimpin negeri ini untuk segera berbenah.
Jangan lagi mengabaikan tumpukan persoalan.
Berbilang tahun pula para pejabat yang terkait, baik dari
Kementerian Kehutanan atau Kementerian Pertanian, cenderung
mengelak adanya gunung konflik dalam dunia persawitan di
Indonesia. Alasan yang kerap ditampilkan adalah: “Indonesia
menjadi korban black campaign persaingan sawit dunia. Sawit dari
Indonesia sering diisukan tidak ramah lingkungan, merusak hutan,
dan mengabaikan hak-hak petani. Padahal, semua itu semata-mata
karena persaingan global.”
Alasan para pejabat tadi mungkin ada benarnya. Amerika
dan beberapa negara di Eropa, misalnya, sedang mengembangkan
produk perkebunan (jagung, kanola, bunga matahari) yang
diharapkan bisa menyaingi sawit. Namun, sejauh ini keunggulan
minyak sawit, baik dari segi efisiensi maupuan kegunaan, masih jauh
melampaui komoditas perkebunan yang lain. Walhasil, sawit dan
berbagai produk turunannya masih berada di atas angin dalam peta
persaingan global.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia ix

Tapi, lepas dari perkara persaingan, tragedi Mesuji dan perburuan


orang utan adalah bukti tak terelakkan. Tragedi ini adalah tamparan
bagi pemerintah dan khususnya para pejabat terkait. Apa yang kerap
dituding sebagai black campaign itu memang ada benarnya. Mesuji
dan perburuan orang utan adalah konfirmasi telak bahwa ada banyak
hal yang keliru dalam pengelolaan perkebunan sawit di Indonesia.
Suatu hal yang patut menjadi bahan refleksi untuk menata langkah
ke depan.
Buku “Raja Limbung - Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia”
ini adalah kerja sama Sawit Watch dan Tempo Institute. Sebagai
keluarga baru dari Grup TEMPO yang didedikasikan untuk
pengembangan kapasitas jurnalistik, kami merasa senang sekali
mendapat kepercayaan dari Sawit Watch untuk mewujudkan buku
penting ini. Tujuan kami, buku ini sanggup mendorong pihak-pihak
terkait untuk membenahi sektor perkebunan sawit dengan lebih
serius, mendorong terbitnya regulasi yang berpihak pada petani dan
Indonesia dalam arti yang lebih luas.
Teramat sayang jika pengembangan sawit sebagai komoditas
yang menjanjikan, dengan posisi Indonesia sebagai produsen terbesar
di dunia, harus diwarnai dengan kepahitan yang ditanggung petani
dan masyarakat. Kami yakin, dunia juga berkepentingan terhadap
sustainabilitas dan perbaikan perkebunan sawit di Indonesia. Sebab,
bersama Malaysia, Indonesia adalah pemasok utama komoditas yang
amat strategis dan dibutuhkan dunia ini.
Harus kami akui, menulis buku ini sama sekali tidak mudah.
Butuh waktu lama bagi kami untuk mengunyah gunungan informasi,
riset pustaka, dan informasi yang didapat saat tim jurnalis turun ke
lapangan. Beberapa kali kami perlu mengambil napas, berdiskusi
dengan narasumber terkait, untuk mendapatkan perspektif yang
lebih memadai.
Tim kami tak jarang merasa seperti tersesat di antara labirin
informasi dunia persawitan. Setiap soal membutuhkan perhatian
x Raja Limbung

tersendiri. Karakter kebun sawit yang masih muda berbeda dengan


kebun yang sudah melewati usia 20-30 tahun. Di kebun yang masih
muda, sawit belum bertandan dan petani belum bisa menuai hasil.
Di kebun yang sudah tua, petani butuh dana peremajaan yang tidak
sedikit. Labirin yang paling membikin pusing kepala tentunya adalah
sengketa kepemilikan lahan, izin hak guna usaha yang berpindah-
pindah tangan, dan juga relasi antara petani plasma dan perusahaan
yang timpang. Setiap persoalan terkait dengan persoalan lain, kadang
dalam jalinan yang susah diurai. Itulah pekerjaan rumah raksasa
yang harus dikerjakan semua pemangku kepentingan: petani, NGO,
pemerintah, dan juga pengusaha. Tak bisa lagi kita hanya pasrah dan
menyerahkan segalanya kepada pemerintah.
Lebih dari setahun lebih buku ini berproses, terutama tersendat
kesibukan kedua lembaga, Sawit Watch maupun Tempo Institute.
Akhirnya, pada awal 2012 ini, dengan kerendahan hati, buku ini
sampai juga di tangan pembaca. Kami mengakui bahwa buku ini
jauh dari sempurna. Buku ini sekadar jendela untuk membuka pintu
menuju dilakukannya riset dan laporan yang lebih mendalam dan
komplet mengenai dunia sawit di Indonesia.
Kami berterimakasih kepada semua pihak yang mewujudkan
terbitnya buku ini. Terimakasih kepada Sawit Watch, terutama pada
Abetnego Tarigan, Norman Jiwan, Jefri Saragih, Ahmad Surambo,
Mansetus Alsy Hanu, Eep Saefulloh, Ronal, dan Bondan Andriyanu,
yang telah mempercayai TEMPO Institute sebagai mitra menulis
dan menerbitkan buku yang penting ini. Terimakasih juga untuk
terus bersabar selama proses pengumpulan bahan, penulisan, dan
penyuntingan.
Terimakasih juga kami sampaikan kepada manajemen TEMPO,
terutama Bapak Bambang Harymurti, Bapak Toriq Hadad, dan
Ibu Diah Purnomowati, yang memberi keleluasaan bagi TEMPO
Institute untuk mengembangkan divisi riset dan publikasi. Divisi
ini berjalan seiring dengan pengembangan divisi lain di TEMPO
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia xi

Institute, yakni pengembangan kualitas jurnalistik yang diwujudkan


dalam berbagai program.
Terimakasih pula untuk tim yang terlibat aktif dalam pembuatan
buku ini, yakni Dwi Setyo Irawanto, Yusi Pareanom, Zen Hae, Irfan
Budiman, Istiqomatul Hayati, Ramidi, Dwidjo Maksum, Reza
Maulana, Retno Sulistyowati, Rusdi Mathari, Retno Sulistyowati,
David Ardhian, dan Said Abdullah. Terimakasih juga kepada
Bramantya Basuki sebagai periset, Maya Wuysang dan Vinna (Sawit
Watch) sebagai tim pendukung administratif.
Kami berharap semoga kerjasama berlanjut secara lebih
produktif, untuk Indonesia yang lebih baik.
Terimakasih dan selamat membaca.

Mardiyah Chamim
Direktur Eksekutif
Tempo Institute
xii Raja Limbung

Daftar Isi

Pengantar iii

Sawit, di Negeri Penuh Paradoks vi

Bab 1 Sawit, Kisah Epik Perkebunan Indonesia 1


Elaies, Yang Datang dari Afrika 12
Orang Utan, Ekologi, dan Ketahanan Pangan 18
Ekstensifikasi Versus Intensifikasi 28
Pemihakan Buruh, Kerikil Tajam Itu 33
Hutan Luas, Milik Siapa 37
Memotret Situasi Lapangan 43

Bab 2 Raja yang Buta, Lumpuh, dan Limbung 47


Raja Yang Buta 53
Raja Yang Lumpuh 64
Raja yang Limbung 69
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia xiii

Bab 3 Riwayat Elaeis di Kepulauan Kelapa 73


Masa Kolonial 76
Masa Awal Kemerdekaan dan Orde Lama 79
Awal Penggenjotan Produksi 80
Pengadaan Lahan dan Bibit Konflik 82
Gelombang Deras Swasta 84
Nasib Kebun Rakyat 88
Jepitan Penguasa dan Pengusaha 89
Moratorium dan Lahan Baru 91

Bab 4 Sadhumuk Batuk, Sanyari Bumi 95


Korban Jiwa, Atas Nama Elaeis 101
Lahan Berganti Tuan 103
Janji Manis Berakhir Tragis 108
“Mencuri” di Ladang Sendiri 111
HGU Sepanjang Masa 113
Koperasi Untuk Siapa? 114
Boks 1: Patgulipat di Tanah Ulayat 118
Boks 2: Bara Sengketa Kebun Sawit 124

Bab 5 Kampanye Hitam dan Meraih Kepercayaan 129

Bab 6 Kisah Danau Sentarum 147


Si Jangguk 152
Kota Texas di Kapuas 153
Lebah, Arwana, dan Betutu 158
Dikepung Lautan Sawit 163

Bab 7 Kerontang dan Banjir 167


Boks 3: Pembantaian Berkedok Sayembara 183
Boks 4: Terjebak di Rimba Sawit 189
xiv Raja Limbung

Bab 8 Serasa Hilang Pijakan 193


Tak Ada Tempat Buat Makam Keramat 199
Tercerabut dari Akar 201

Perang Tanding RSPO vs ISPO 205

Epilog: Menatap Zaman Baru 217


Perut Versus Tanki Mesin 220
Janji Sang Elaeis 224
Rekomendasi, Kembalikan Marwah Sawit 231
Bab 1
PROLOG

Sawit,
Kisah Epik
Perkebunan Indonesia
2 Raja Limbung
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 3

Bab 1
Sawit,
Kisah Epik
Perkebunan Indonesia

SAWIT adalah kisah epik dalam sejarah perkebunan Indonesia.


Jejaknya menjangkau dan mempengaruhi berbagai sendi kehidupan
masyarakat luas. Bukan hanya dari segi ekonomi, tapi juga lingkungan,
sosial, budaya, dan juga politik. Sebagai eksportir terbesar di dunia,
19,5 juta ton per tahun berdasar data resmi 2010, posisi komoditas
kelapa sawit tak pelak lagi amat penting bagi Indonesia dan tentunya
bagi dunia.
Buku “Raja Limbung - Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia” ini
adalah hasil kerja sama Sawit Watch dan TEMPO Institute. Buku
ini berusaha mengulas kisah pahit-manis yang hadir bersama seratus
tahun perjalanan perkebunan sawit di Indonesia. Meskipun kami
sadar betul bahwa buku ini tak bisa dan tak mungkin mengungkap
tuntas perjalanan sawit yang teramat kompleks. Namun, bolehlah
buku ini dianggap sebagai jendela awal untuk menyimak bentang
alam dan segenap keruwetan persoalan dunia persawitan.
Perbincangan mengenai sawit semakin penting seiring terjadinya
berbagai letupan kasus lingkungan dan konflik agraria di perkebunan
4 Raja Limbung

Tumbuhan Kelapa Sawit, De Indische Bodem, 1926


Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 5

sawit belakangan ini. Ada beragam topik yang lazim muncul dalam
perdebatan mengenai sawit, antara lain problem lingkungan dan
konflik kepemilikan lahan.
Problem lingkungan biasanya terkait dengan karakter sawit
yang monokultur dan menuntut lahan yang masif. Kebun sawit tidak
seperti hutan tropis alami yang memberi ruang pada keragaman
makhluk untuk hidup berdampingan di ekosistem yang sama.
Demi hasil panen yang maksimum, makhluk lain tak boleh
ada di areal kebun sawit. Aktivitas pembukaan lahan dengan
luasan masif, penebangan pohon-pohon, mau tak mau menggusur
sumber makanan dan habitat hidup berbagai binatang. Mereka pun
tersingkir pelahan. Beberapa perusahaan bahkan melakukan jurus
ekstrem untuk “memurnikan” kebun sawit, yakni dengan memburu
serta membantai monyet, gajah, ular, dan orang utan. Padahal, jelas-
jelas monyet, orang utan, gajah, anggrek, juluran rotan, aneka rupa
jamur, herba berkhasiat obat, dan kawan-kawan binatangnya adalah
penduduk asli hutan.
Kasus lingkungan ini, antara lain, diwakili temuan adanya
pembantaian orang utan demi ekspansi kebun sawit di Kalimantan
Timur. Kehebohan bermula pada November 2011, saat tumpukan
tulang-belulang orang utan ditemukan di area kebun sawit milik PT
Prima Citra Selaras di Kecamatan Muara Ancalong, Kutai Timur.
Penelusuran Majalah TEMPO (26 Desember 2011) menunjukkan,
perusahaan sawit PT Khaleda sengaja merekrut penduduk lokal
untuk memburu dan membantai monyet dan orang utan. Dua
makhluk ini dianggap sebagai hama yang merugikan perusahaan
pemilik kebun.
Berikutnya, topik panas di seputar perkebunan sawit adalah
konflik kepemilikan lahan atau tenurial. Inilah persoalan kronis,
yang menumpuk dan menumpuk selama puluhan tahun, yang siap
meledak di ratusan titik di wilayah Indonesia.
6
Produksi Minyak Sawit Indonesia dan Malaysia (dalam ton)

Sumber: FAOSTAT
Raja Limbung
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 7

Pada masa Orde Baru, kegelisahan petani


dalam sengketa lahan nyaris tak pernah Tak kalah
terungkap lantaran pendekatan represif aneh, setengah
pemerintahan Soeharto. Protes sedikit, pasukan abad berlalu
tentara diturunkan, intimidasi digeber, dan si sejak 1960,
petani bisa terancam tuduhan subversif makar. pemerintah
“Bos saya dekat dengan tentara, terutama dan para
Kopassus. Ketika ada gejolak di kebun, langsung politikus Dewan
saja tentara diterjunkan. Bawa pistol itu biasa Perwakilan
kalau kami inspeksi ke kebun dan bertemu Rakyat
petani,” demikian penuturan seorang kawan tidak juga
yang enggan disebut identitasnya. “Akhirnya, menempatkan
saya capek dan mundur dari perkebunan sawit persoalan
itu,” kata kawan yang kemudian banting setir agraria sebagai
menjadi aktivis LSM ini. agenda legislasi
Itu kisah nyata di zaman Orde Baru. Kini, dengan urgensi
di masa reformasi, pendekatan represif secara tinggi
formal telah ditinggalkan. Masyarakat sipil
belajar terorganisir, dan pers jauh lebih bebas.
Rakyat pun mulai berani bersikap, menjajal posisi tawar kepada
pemerintah, dan menuntut hak yang lama terabaikan. Dan, bagaikan
bara dalam sekam, sengketa kepemilikan lahan ini siap menjadi
bahan bakar utama yang memaksa masyarakat berhadapan dengan
perusahaan dan aparat keamanan.
Undang-Undang Peraturan Dasar tentang Pokok-Pokok
Agraria, Nomor 5, 1960, satu-satunya perundangan yang mengatur
pertanahan, sayangnya, tak pernah dilirik serius oleh penguasa.
Mungkin lantaran beleid ini diterbitkan pemerintahan Presiden RI
Sukarno di masa Orde Lama yang membikin alergi pejabat Orde
Baru. Tapi, perlu kita catat bahwa sampai kini tak ada satu pun
statemen pemerintah yang secara sah menggugurkan UU Pokok
Agraria tersebut.
8 Raja Limbung

Tak kalah aneh, setengah abad berlalu sejak 1960, pemerintah dan
para politikus Dewan Perwakilan Rakyat tidak juga menempatkan
persoalan agraria sebagai agenda legislasi dengan urgensi tinggi.
Perlu dicatat pula bahwa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) Nomor IX Tahun 2001, memberi mandat kepada pemerintah
untuk membentuk tim ad hoc yang bertugas menyelesaikan gunung
konflik agraria. Entah bagaimana nasib dan kejelasan mandat ini.
Sebuah paradoks getir untuk sebuah negeri agraris.
Nah, sejauh UU Pokok Agraria belum tergantikan, ada
baiknya para penguasa merujuk kembali spirit utama dalam
produk legislasi tersebut. Undang-undang ini jelas menyebutkan
batasan kepemilikan lahan, ketentuan hak guna usaha, hak pakai,
hak ulayat, dan hak memungut hasil hutan. Semangat reformasi
dan perlindungan pada rakyat jelas terasa dalam undang-undang
ini. Adalah tugas parlemen dan pemerintah untuk secara serius
membuat revisi perundangan dan produk turunanya yang secara
jelas mengatur teknis kepemilikan tanah, air, dan ruang udara
seperti dimaksud Undang-Undang Pokok Agraria.
Akibat ketiadaan beleid yang tegas, maka setiap instansi terkait
memiliki kebijaksanaan sendiri-sendiri dalam konteks pertanahan.
Kementerian Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, birokrasi di
pemerintahan pusat dan daerah kerap menerbitkan regulasi yang
tumpang-tindih dan bertabrakan. Semua peraturan, celakanya,
membawa semangat mendewakan investasi yang dijiwai Undang-
Undang Penanaman Modal Asing (Nomor 1/1967) dan Undang-
Undang Pokok-Pokok Kehutanan (Nomor 5/1967). Posisi rakyat hanya
sebagai aktor figuran tak penting, yang harus bersedia mengalah jika
investor datang melirik lokasi. Walhasil, konflik sengketa lahan pun
menjadi penyakit kronis berat yang siap meledak kapan saja.
“Ledakan” paling mutakhir dan memicu kontroversi dahsyat
adalah konflik kepemilikan lahan di tiga tempat, yakni di Register
45 (Kabupaten Mesuji, Propinsi Lampung), Desa Sri Tanjung
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 9

(Kabupaten Mesuji, Lampung), dan Desa Sodong (Kecamatan


Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan). Konflik
di ketiga lokasi itu, seperti halnya ratusan konflik agraria yang terjadi
di berbagai wilayah lain di Indonesia, tenggelam di tengah hiruk-
pikuk berita korupsi dan politik di panggung elite nasional. Panas
bara konflik di Mesuji baru tampil di permukaan setelah sekelompok
penduduk Mesuji mengadukan nasibnya kepada Dewan Perwakilan
Rakyat RI, awal Desember 2011.
Sesuai laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mesuji,
sengketa kepemilikan lahan di Register 45 - Mesuji ini telah
berlangsung sejak 1997. Akarnya adalah perbedaan luasan
perkebunan menurut perusahaan, PT Silva Inhutani, dan yang
percayai penduduk. Menurut PT Silva, luas lahan mereka adalah 43
ribu hektare, sedangkan penduduk merujuk pada Besluit Residen
Lampung Distrik Nomor 249 yang menyebut luasan lahan PT
Silva adalah 33 ribu hektare. Selisih 10 ribu hektare inilah yang
dianggap mengambil tanah adat masyarakat. Warga yang marah
dan tidak puas mengajukan protes selama bertahun-tahun.
Alih-alih ditanggapi dengan baik, protes penduduk ditanggapi
perusahaan dengan mendahulukan pendekatan keamanan.
Penggusuran permukiman penduduk dilakukan beberapa kali,
termasuk dengan mengerahkan polisi dan tentara. Pada 6 November
2010, di tengah penggusuran gubuk warga, Made Aste dan Nyoman
Sumarte terkena tembakan. Made Aste, 38 tahun, meninggal dalam
perjalanan ke rumah sakit.
Kematian Made Aste tidak membikin pendekatan keamanan
kendor. Tim Terpadu bentukan PT Silva, terdiri dari aparat
keamanan dan pengamanan swakarsa, terus beraksi. Penggusuran
(yang kemudian dipoles menjadi “penertiban”) dilakukan di berbagai
lokasi dan waktu. Pada 8 September 2011, ratusan rumah penduduk
dirubuhkan dengan alat berat. Tak kurang dari 600 orang anggota
Tim Terpadu dikerahkan untuk mengusir penduduk dari area
10 Raja Limbung

Register 45. Penduduk pun terpaksa mengungsi.


Situasi kian memanas. Penduduk Mesuji mengadu kepada Komisi
III - Dewan Perwakilan Rakyat dengan didampingi Mayor Jenderal
TNI (Purnawirawan) Saurip Kadi. Sejak itulah kasus Mesuji menjadi
sorotan nasional. Pemerintah pun bereaksi dengan membentuk TGPF
yang diketuai Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny
Indrayana.
Mesuji tidak sendirian. Dalam berbagai kasus konflik tenurial,
pemerintah cenderung memihak pengusaha, atas nama investasi
wilayah. Protes petani kerap dibungkam dengan pendekatan
keamanan. Tragedi Mesuji secara gamblang menggambarkan
hubungan timpang antara pemerintah, pengusaha, dan penduduk
lokal.
Temuan TGPF memastikan adanya sengketa lahan di ketiga
lokasi, yakni di Register 45 - Mesuji, Desa Sri Tanjung, dan Desa
Sodong. Pelanggaran hak asasi manusia terjadi di ketiga tempat.
Korban jiwa yang telah diverifikasi TGPF, antara 2010 - 2011,
adalah satu orang di Register 45, 1 orang di Desa Sri Tanjung, dan
7 orang di Desa Sodong (1 dari pihak penduduk, 6 orang dari pihak
pengamanan swakarsa perkebunan).
Meskipun rincian berbeda, sengketa pertanahan yang muncul di
perkebunan memiliki aktor yang mirip. Para aktor tersebut adalah
pejabat pemberi izin di berbagai lini, pengusaha, aparat keamanan
(polisi atau tentara), dan pengamanan swakarsa. Biasanya, para calo
atau spekulan tanah turut memperparah situasi dengan jual-beli
tanah dan perizinan yang boleh jadi adalah obyek sengketa.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 11

Grafik : Kurva Konflik di Register 45, Penduduk Mesuji vs PT Silva


Inhutani (Sumber : Laporan Resmi TGPF, Januari 2012)

Mesuji adalah
Kasus Mesuji adalah contoh gamblang alarm serius,
betapa pemerintah--dengan segenap wake up call, agar
aparatusnya--cenderung memihak pemilik negeri ini tidak
modal dan meminggirkan masyarakat. menyandang
Pengusaha, tentu tidak semua, lihai predikat “Raja
menciptakan dan memanfaatkan situasi Limbung”,
yang timpang itu. Izin dan Hak Guna Usaha produsen sawit
(HGU), misalnya, diperjualbelikan. Pindah terbesar di
tangan kepemilikan HGU akhirnya berujung dunia yang
pada gejolak di antara pemilik resmi lahan, kebesarannya
yakni penduduk lokal. Dan, alih-alih justru membikin
membangun hubungan yang sehat dengan luka di negeri
penduduk, perusahaan “menyewa” satuan sendiri. Ironis.
12 Raja Limbung

keamanan, termasuk polisi dan tentara, untuk


“Minyak membangun tembok tebal yang memisahkan
nabati lain, dirinya dengan masyarakat.
misalnya
Relasi timpang itulah, antara lain, yang
dari kedelai,
seharusnya membuat Indonesia segera mengambil
jarak, kanola,
langkah reflektif. Mari kenali, pahami, dan
dan bunga
mari bersama membenahi dunia sawit dan
matahari,
komoditas alam secara menyeluruh. Mesuji adalah
tak sanggup
alarm serius, wake up call, agar negeri ini tidak
menandingi
menyandang predikat “Raja Limbung”, produsen
kilau sawit”
sawit terbesar di dunia yang kebesarannya justru
membikin luka di negeri sendiri. Ironis.
Seruan reflektif itulah tujuan buku ini ditulis. Buku ini
adalah sedikit kontribusi Sawit Watch dan Tempo Institute untuk
mendudukkan perkara yang rumit di seputar perkebunan sawit.
Meskipun, sekali lagi kami akui, buku ini masih jauh dari memadai
dalam menyuguhkan kompleksitas wajah seabad perkebunan sawit
di Indonesia.

Elaeis, Yang Datang dari Afrika
pemerintah untuk membereskan duri-duri tajam yang menghadang
prospek industri sawit. Duri itu, antara lain, adalah tumpang-tindih
kepemilikan lahan, perizinan yang campur-aduk, dan marjinalisasi
peran penduduk lokal. Undang-Undang Agraria yang komprehensif
seharusnya menjadi program utama demi memperlancar MP3EI ini.
Begitu pula program serius mengurai tumpang-tindih kepemilikan
lahan dan perizinan yang sudah telanjur dikeluarkan.
Secara umum, pertumbuhan produktivitas sawit Indonesia,
menurut data MP3EI, cukup bagus, yakni 7,8 persen per tahun.
Bandingkan dengan Malaysia yang produktivitas sawitnya tumbuh
4,2 persen per tahun. Perbedaan ini tentu suatu soal wajar mengingat
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 13

Buah kelapa sawit di Semboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur,


Sumber: Tempo/Rully Kesuma
14 Raja Limbung

luasan lahan Indonesia lebih luas dibanding Malaysia.


Pada skala global, posisi sawit kian hari kian penting. Saat ini
Indonesia memasok 43 persen dari kebutuhan sawit dunia. Tak
diragukan lagi, di masa mendatang harga minyak ajaib ini akan terus
meroket seiring dengan variasi penggunaan minyak sawit yang kian
beragam, mulai dari minyak goreng, biofuel (campuran bahan bakar
pesawat atau avtur, bensin, atau solar untuk aneka jenis kendaraan),
pelumas mesin, margarin, sabun, sampai campuran bahan kosmetik.
Tandan sawit, mulai dari tempurung, daging buah, sampai
inti buahnya (disebut kernel) semuanya memiliki nilai ekonomi.
Minyak sawit memang ajaib dan serba guna. Hampir semua raksasa
global produsen bahan-bahan kebutuhan sehari-hari, seperti
Procter & Gambler, Unilever, Kraft, Nestle, Johnson & Johnson,
membutuhkan pasokan minyak sawit, termasuk dari Indonesia.
Barang kebutuhan sehari-hari, untuk keperluan membikin kinclong
rambut sampai ujung kaki, sampo, lipstik, sampau kuteks kuku,
semua membutuhkan minyak sawit.
Walhasil, pengusaha berbondong-bondong melirik si Elaeis sp.
Buku teknik bertanam sawit, skala kecil maupun masif, menjadi salah
satu buku laris di toko-toko buku. Para pengusaha (individu atau
korporasi, lokal maupun multinasional) berlomba meluaskan areal
kebun hingga makin luas, luas, dan luas. Sejauh mata memandang,
deretan pokok-pokok sawitlah yang memadati lahan di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, dan belakangan juga merambah daratan
Papua.
Gurihnya kue ekonomi yang dibawa sawit, harapannya, menetes
deras kepada para petani di lapangan. Apalagi, klaim yang selalu
digembar-gemborkan pemerintah adalah bahwa 42 persen lahan
kebun sawit dimiliki petani skala kecil (dengan lahan 2 hektare).
Mereka berafiliasi sebagai petani plasma yang terhubung dengan
perusahaan perkebunan besar, milik negara atau swasta, yang
berperan sebagai perkebunan inti.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 15

Anehnya, sebagian petani kecil yang memiliki 42 persen lahan


sawit, ternyata tidak menikmati gurihnya sawit secara luar biasa.
Pendapatan petani, di daerah yang dikunjungi tim penulis buku
ini, bervariasi dari Rp 600 ribu - 1,5 juta per bulan, tergantung
fluktuasi panen dan harga sawit di pasaran. Bukan jumlah yang besar
untuk komoditas sedahsyat sawit. Rantai yang panjang, mulai dari
penyetoran tandan ke pabrik, sortasi tandan, sampai sistem penentuan
harga tandan mentah sawit (CPO - crude palm oil), sering kali tidak
memihak petani. Lagipula, praktik di lapangan membuktikan, dua
hektare lahan belum cukup efisien untuk membuat kebun memberi
hasil optimal.
Gurihnya kue sawit terdistribusi dalam format piramida yang
runcing dan menguntungkan perusahaan, investor besar, pemilik
pabrik CPO, dan uragan besar perkebunan. Ada dua faktor utama
yang membuat petani kecil susah menangguk untung besar. Faktor
pertama, investasi kebun sawit lumayan besar (mulai dari pupuk,
pemeliharan, tenaga kerja, sampai perlunya pabrik pengolah tandan
yang harus ada di dekat kebun) dan panen sawit baru bisa dinikmati
pada tahun kelima. Faktor kedua, karakter sawit yang harus diolah
secara cepat, 48 jam setelah panen, agar kadar minyak tidak merosot.
Tidak seperti karet atau kopi yang bisa disimpan dalam waktu
lama, dibawa ke kota ketika harga pas, sawit mesti diproses segera.
Sifat inilah yang membuat petani kerap tidak berdaya menghadapi
fluktuasi harga pasar.
Nasib petani kecil, yang tak lain adalah 42 persen pemilik
lahan sawit, adalah kisah dengan beragam wajah. Tidak seluruhnya
sekinclong seperti yang digambarkan tayangan iklan CSR (corporate
social responsibility) perkebunan sawit.
“Banyak hal yang tidak beres dalam rantai perkebunan sawit di
Indonesia,” kata Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Sawit Watch.
“Pemerintah tidak memihak pada petani kecil.”
Ambil contoh soal pupuk. Perkebunan besar mendapat
16 Raja Limbung

begitu banyak insentif modal, subsidi pupuk, bahkan termasuk


pengerahan aparat untuk pembebasan tanah. Namun, petani kecil
harus mengerahkan daya upaya sendiri demi pupuk yang cukup.
“Itu pun pasokan di pasar kerap terganggu sehingga petani jadi
kelimpungan,” kata Abetnego. Anehnya, perkebunan skala besar,
BUMN atau swasta, tak pernah mengalami kesulitan pasokan
pupuk. “Itu saja sudah menjelaskan bahwa pemerintah lebih suka
memfasilitasi pemodal besar. Petani kecil, silakan berjuang sendiri,”
kata Abetnego.
“Sesungguhnya, para petani skala kecil itulah ujung tombak
sektor sawit,” kata Abetnego. Para petani inilah yang menyetor tandan
sawit segar hasil panen ke pabrik milik perkebunan besar, swasta atau
BUMN. Tanpa setoran tandan sawit dari petani, produktivitas sawit
secara keseluruhan bakal anjlok. Para petani kecil ini harus bekerja
ekstra keras, mulai dari babat alas pembersihan lahan, lalu menanam
dengan benih yang bagus, dan harus “berpuasa” menunggu 4 sampai
5 tahun sebelum sawit bertandan.
Beberapa petani, yang ditemui tim penulis di berbagai wilayah
di Kalimantan dan Sumatera, menyatakan untung panen yang
mereka nikmati berkisar di Rp 600 ribu - 1,5 juta per bulan untuk
satu kapling lahan (dua hektare). Itu pun kalau musim sedang bagus.
Jika musim tidak sedang bersahabat, ada hama kumbang atau hujan
badai yang merontokkan brondol tandan, maka panen juga suram.
Belum lagi jika ternyata benih sawit yang mereka tanam ternyata
jelek, maka tandan sawit yang ditunggu bertahun-tahun tak bakal
muncul.
Benar, ada banyak faktor yang mempengaruhi kualitas panen
kebun sawit. Kepemilikan lahan yang terbatas sehingga pengolahan
tidak optimum, kualitas benih, intensitas pemupukan, proses
pengolahan pascapanen, akses menuju pabrik pembelian CPO,
tanaman yang sudah uzur dan harus diremajakan lagi dengan
ongkos ekstra mahal, dan lain sebagainya.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 17

Tahap paling kritis dalam pembukaan perkebunan sawit (deforestasi) pada tahap ini ban-
yak hewan yang kehilangan habitatnya.
Sumber: Dok, Sawit Watch
18 Raja Limbung

Praktis, untuk bisa untung besar,


Indonesia luasan kebun juga harus berskala masif.
memang Itulah sebabnya, pemerintah merilis
berjuluk Raja program “Manajemen Perkebunan Satu
Sawit. Namun, Atap” yang menyatukan pengolahan
sayang, sang raja lahan-lahan sawit dalam satu manajemen
tampak nyata perusahaan. Sayangnya, laporan di lapangan
belum tahu menyebutkan, sistem manajemen satu atap
betul bagaimana ini justru tidak efisien dan memberatkan
memperlakukan petani. “Masak, kami harus ikut membayar
tahtanya seluruh biaya kantor perkebunan, termasuk
ikut menanggung gaji satpam dan sekretaris
yang begitu banyak? Pantas saja kalau sistem
manajemen satu atap membikin kami cuma punya penghasilan paling
banyak Rp 400 ribu sebulan,” kata seorang petani di Kabupaten
Passer, Kalimantan Timur.
Begitulah, wajah kinclong kelapa sawit memiliki beragam sisi.
Tak hanya manis sebagai sumber pendapatan petani dan negara,
sawit juga memiliki sisi yang getir. Efek lingkungan, nasib buruh,
tumpang-tindih regulasi, timbunan konflik kepemilikan tanah,
sampai kebun yang sudah uzur adalah labirin persoalan yang
melingkupi sawit.
Indonesia memang berjuluk Raja Sawit. Namun, sayang, sang
raja tampak nyata belum tahu betul bagaimana memperlakukan
tahtanya (baca : “Raja yang Limbung, Lumpuh, dan Buta).

Orang Utan dan Hutan Kita


Mari sejenak menengok perjalanan hutan kita. Hutan yang disebut
“ine” atau ibu oleh masyarakat Suku Dayak Muluy, Kalimantan Timur.
Kisah hutan, ibu dan sumber segala sumber daya alam, di negeri ini
tak lepas dari pasang-surut politik dan pergulatan penguasa.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 19

Eksploitasi bermula pada pemerintah kolonial Hindia Belanda.


Para penakluk samudera ini paham betul potensi kekayaan alam
nusantara. Kebun kopi, teh, kapas, cengkeh, lada, karet, tebu,
dan belakangan sawit dikembangkan secara masif di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi. Kuli kontrak dikerahkan dari Jawa, Bali,
Nusa Tenggara. Panennya dibawa dengan kapal-kapal membelah
samudera, diperjual-belikan di kota-kota pelabuhan Eropa, dan
hasilnya untuk membangun peradaban di Belanda.
Memasuki masa kemerdekaan, berbagai perkebunan ini menjadi
sasaran nasionalisasi. Konon, hasil karet dan sawit yang melimpah
pada saat itu, antara lain, dibelikan sebuah gedung mewah dan
bersejarah di Washington, Amerika Serikat, pada 1953. Gedung
yang kemudian dijadikan sebagai Kedutaan Besar RI.
Sayangnya, kedisiplinan mengelola kebun tidak ikut serta diambil
alih dari Belanda. Sawit dan karet terbengkalai. Gonjang-ganjing
republik muda mengalihkan perhatian dan fokus pada pengolahaan
sumber daya alam. Polarisasi dunia, barat-timur, kapitalis-komunis,
menyibukkan pemerintahan hingga akhirnya Orde Lama tumbang
pada 1965.
Berikutnya, tiba zaman pemerintahan
Presiden Soeharto, rezim Orde Baru “Keanekaragaman
resmi dimulai pada 1967. Udara hayati, yang
berganti. Investasi asing menjadi raja. selama ini
Pertambangan, perkebunan, dibuka
menjadi
lebar. Lalu, di sinilah, 1970-an, bermula
lakon deforestasi secara dramatis. Izin
kebanggaan
pengusaha hak pengusahaan hutan hutan Indonesia,
(HPH), dengan siklus tebang 35 tahun, bersaing dengan
tahun diobral kepada pengusaha yang keragaman
dekat dengan Soeharto. Raja-raja hayati di hutan
kayu, antara lain Prajogo Pangestu dan Amazon, Brazil,
Bob Hasan, menemu masa kejayaan. perlahan tergerus.”
20 Raja Limbung

Penebangan hutan besar-besaran terjadi. Sedikitnya 0,9 juta hektare


hutan berubah gundul saban tahun.
Periode ini diwarnai dengan illegal logging, pembalakan liar,
yang luar biasa. Kayu-kayu jenis terbaik, ulin, jati, meranti, dengan
diameter lebih dari satu meter, tumbang leluasa. Gelondongan
kayu dari rimba tropis Borneo dan Sumatera mengalir memenuhi
permintaan dari berbagai penjuru dunia. Kebakaran hutan massif,
pada 1989-1989, di Kalimantan dan Sumatera, tak sanggup
menghentikan laju deforestasi.
Lalu datang gonjang-ganjing politik di 1998. Orde Baru
tumbang. Tapi laju pemusnahan hutan jauh dari berhenti. Situasi
bahkan semakin parah. Hadi Daryanto, Direktur Jenderal Bina
Produksi Kementerian Kehutanan, menyebutkan bahwa periode
terburuk deforestasi terjadi pada rentang 1999-2004. “Saat republik
ini menerapkan desentralisasi,” kata Hadi dalam sebuah wawancara
dengan tim penulis. “Menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada),
obral perizinan cenderung meningkat,” kata Hadi menambahkan.
Kaitan antara pilkada dan obral izin ini diteliti tim Robin Burgess,
peneliti London School of Economic (LSE), dalam sebuah paper
berjudul “The Political Economy of Deforestation in the Tropics”,
Januari 2011. Burgess dan kawan-kawan mendokumentasikan
dan menganalisis data-data yang terkait dengan dinamika politik,
terutama pilkada, dengan statistik perizinan HPH.
Burgess menulis, “We document a ‘political logging cycle’ where local
governments become more permissive vis a vis logging in the years leading up to
elections.” Menurut Burgess dan kawan-kawan, deforestasi meningkat
42 persen pada setahun sebelum pilkada. Angka deforestasi di area
ini turun 36 persen pada tahun pelaksanaan pilkada.
Laju deforestasi di area hutan konversi, menurut riset Burgess,
meningkat 40 persen setahun sebelum pilkada dan melonjak lagi
sampai 57 persen setahun setelah pilkada.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 21

Benar, desentralisasi memang membawa semangat demokratisasi


ke seluruh nusantara yang patut dipuji. Seluruh kewenangan
pemerintah yang tadinya terpusat di Jakarta dialihkan ke daerah,
perubahan yang signifikan. Walikota dan bupati menjadi aktor
penting, termasuk dalam pemberian izin pembukaan lahan untuk
HPH di bawah 100 ribu hektare. “Nah, di masa inilah terjadi
deforestasi hutan yang paling arah, sampai 3,8 juta hektare per
tahun,” kata Hadi Daryanto.
Mengapa demikian? Hadi Daryanto menjelaskan bahwa
pemberian izin di level daerah sering bertabrakan dengan izin yang
sudah diberikan oleh pusat. Tidak ada check and recheck. Tidak jarang,
izin HPH yang diberikan bupati justru berada di areal hutan lindung
yang terlarang untuk HPH. “Pernah ada kasus, seorang penguasaha
mendapat izin 55 ribu hektare, ternyata yang legal cuma 7 hektare
atau hanya 12 persen. Sisanya masuk area yang ilegal,” katanya.
Kesemrawutan ini berdampak luar biasa. Perubahan sistem
pemerintahan yang drastis ini harus dibayar mahal dangan degradrasi
lingkungan yang luar biasa. “Di Uni Sovyet, prestroika berujung pada
Balkanisasi. Di Indonesia, desentralisasi berdampak pada deforestasi
yang dahsyat,” kata Hadi.
Undang-Undang Otonomi Daerah mengalami amandemen pada
2004. Kewenangan pemberian izin pembukaan hutan HPH oleh
kepala daerah dikembalikan kepada pusat. Namun, izin pembukaan
kebun dan tambang tetap ada di tangan bupati dan masih kerap
menimbulkan konflik sampai kini. Protes masyarakat yang berujung
rusuh di Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat, pada awal 2012, adalah
contoh konflik yang dipicu obral perizinan tambang. Kisah serupa
juga terjadi pada dunia kehutanan dan perkebunan.
Setelah kewenangan pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan
(HPH) dikembalikan pada pusat pada tahun 2004, menurut
Hadi, laju deforestasi memang menurun. Catatan FAO (Food
and Agricultural Organization) menunjukkan, laju deforestasi di
22 Raja Limbung

Indonesia kini adalah 1,1 juta hektare per tahun. “Tapi, bisa jadi
penurunan deforestasi ini karena dua hal. Pertama, areal hutan
memang sudah sempit. Kedua, mungkin sudah banyak yang
berubah jadi lahan sawit,” kata Hadi Daryanto.
Deforestasi adalah konsekuensi tak terhindarkan dari kebun
sawit yang semakin gigantis. Komposisi ekologi pasti terjadi. Wajah
hutan rimba tropis, ibu keanekaragaman hayati, sudah jauh berganti
tersebab agresivitas ekspansi sawit.
Keanekaragaman hayati, yang selama ini menjadi kebanggaan
hutan Indonesia, bersaing dengan keragaman hayati di hutan
Amazon, Brazil, perlahan tergerus. Situasi makin miris karena
belakangan muncul suara-suara yang mengusulkan legitimasi kebun
sawit masuk dalam kategori ‘hutan’. Pertimbangannya, kebun sawit
juga memiliki kanopi atau tajuk yang rimbun, sebagai peredam emisi
karbon.
Usulan memasukkan kebun sawit dalam kategori hutan langsung
disambut kontroversi. Kritik dari para aktivis lingkungan menderas.
“Hutan bukan hanya perkara kanopi atau
tudung yang melingkupi satu area,” kata
“Saya tak bisa Norman Jiwan, dari Sawit Watch. Ada plasma
lagi membuat nutfah, keanekaragaman hayati, dan berjuta
kalung rotan. fungsi ekosistem yang belum sepenuhnya
Mana bisa? diketahui dalam menjaga keseimbangan alam.
Rotan sudah Belum lagi jika dipertimbangkan manfaat
tak ada lagi di ekonomi yang diambil penduduk di areal
hutan,” kata hutan dari “kekayaan biodiversitas”, misalnya
Jahan, dari Suku madu hutan, rotan, dan aneka rupa tanaman
Dayak Muluy, berkhasiat obat yang ada di dalam hutan.
Kabupaten “Keragaman kekayaan seperti ini tidak ada di
Passer, kebun sawit,” kata Norman Jiwan.
Kalimantan
Timur Begitu kebun sawit dibuka, hutan yang
rimbun segera berganti dengan deretan pohon
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 23

sawit yang seragam dan rata. Tak ada lagi rotan, madu, yang bisa
menyangga ekonomi subsisten penduduk di wilayah hutan yang
berubah menjadi kebun sawit. “Saya tak bisa lagi membuat kalung
rotan. Mana bisa? Rotan sudah tak ada lagi di hutan,” kata Jahan,
dari Suku Dayak Muluy, Kabupaten Passer, Kalimantan Timur.
Norman khawatir, jika kebun sawit diresmikan sebagai hutan,
maka laju ekspansi kebun sawit bakal kian agresif. Pengusaha dan
pemerintah boleh jadi semakin gesit memangkas hutan untuk disulap
menjadi kebun sawit. La, kan, sawit juga ‘hutan’, begitu alasan yang
kira-kira bakal sering muncul.
Selagi dunia berdebat soal kebun sawit layak disebut sebagai
hutan atau tidak, ekspansi sawit terus berderap di berbagai wilayah
dunia. Brazil, Malaysia, Indonesia, adalah negara-negara yang
menjadi darling kesayangan para investor sawit dari seantero jagat.
Permintaan dunia pun terus meningkat. Tahun 2009, total konsumsi
sawit dunia mencapai 45,3 juta ton. Setahun kemudian, angka ini
naik menjadi 46,9 juta ton minyak sawit dan bagian terbanyak
dipasok oleh Indonesia.
Indonesia, sebagai wilayah dengan lanskap yang ideal bagi
pertumbuhan sawit, menjadi sasaran ekspansi. Pada 2007, United Nations
on Environments Programme (UNEP) melaporkan bahwa perkebunan
sawit adalah sebab utama deforestasi di Indonesia dan Malaysia. Hutan
nusantara yang di tahun 70 dan 80-an dilanda gelombang penebangan
liar, illegal logging, memasuki dekade 90-an dan 2000-an menghadapi
tantangan yang tak kalah dahsyat : ekspansi kebun sawit.
Tak terhindarkan lagi, areal hutan belantara, ekosistem kompleks
dengan jutaan ekosistem kecil, menyempit hari demi hari. Padahal,
setiap ekosistem ini butuh waktu sampai ratusan tahun untuk
tumbuh sempurna. Keberadaan mereka pun memiliki kontribusi
pada keseimbangan ekosistem yang besar, yakni alam semesta.
Kemusnahan sebuah ekosistem jelas berdampak pada kesehatan
ekosistem alam secara keseluruhan.
24 Raja Limbung

Pengganti ekosistem yang beragam itu adalah perkebunan


sawit, hutan monokultur yang (atau sengaja dirancang) super
egoistis. Kebun sawit tak membolehkan aneka biodiversitas hidup
di dalamnya. Anggrek, rotan, paku-pakuan, aneka semak berkhasiat
obat, bahkan rumput tak boleh hidup di areal kebun sawit. Gajah,
harimau, banteng, orang utan, monyet, ular semuanya harus minggir.
Lebah madu, beruang, ayam hutan, juga harus tergusur. Jika nekat
tumbuh dan hidup beranak-pinak di areal kebun, maka herbisida,
pestisida, bahkan senapan pemburu bakal beraksi tanpa ampun.
Kasus yang menggemparkan dan membikin hati miris menimpa
orang utan (Pongo pymaeus mario) di hutan Kutai Kartanegara,
Kalimantan Timur. Spesies langka yang dilindungi ini terpojok
lantaran ekspansi kebun sawit milik PT Khaleda Agroprima Malindo,
anak perusahaan Metro Kajang Holdings Bhd. Kasus ini terangkat,
awal Desember 2011, setelah Markas Besar Kepolisian RI mendapat
laporan ditemukannya tulang-belulang orang utan yang mati babak-
belur akibat disiksa habis-habisan.
Pada awal 2006, perusahaan asal Malaysia ini mengantongi izin
membabat 16 ribu hektare lahan hutan itu menjadi kebun sawit.
Arealnya menjangkau kawasan hutan yang, malangnya, adalah
habitat bagi 200-an ekor orang utan. Si Pongo yang terdesak,
hutannya hilang, mulai mencari makan pucuk-pucuk pohon sawit.
PT Khaleda dengan agresif melibatkan penduduk lokal Desa Puan
Cepak untuk berburu orang utan. Setiap ekor orang utan yang tewas
ditukar dengan upah tak seberapa, hanya Rp 1 juta.
Maka, terjadilah pembantaian yang mengenaskan. Tubuh
tambun orang utan pun diburu, ditombak sampai koyak. Setelah
tewas, orang utan itu mereka bopong, dikumpulkan dengan monyet
hasil buruan, lalu disusun berjejer dan difoto sebelum dikuburkan di
area perkebunan (Majalah TEMPO, 26 Desember 2011).
.Tak hanya orang utan yang harus minggir demi perkebunan
sawit. Sebagai tanaman berkarakter monokultur, kebun sawit
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 25

menuntut lahan yang masif, sampai ribuan hektare. Pohonnya


juga rakus, mengisap nutrisi dan unsur hara secara kuat. Pupuk
yang dibutuhkan juga mesti berskala besar. Laman http://www.
pemupukan.info/2008/10/pupuk-part-06-dosis-pupuk-tablet.
html menunjukkan, satu hektare kebun sawit, dengan populasi
143 pohon, umur di atas 5 tahun, membutuhkan pupuk 750
kilogram. Bandingkan dengan kebun karet yang tiap hektare-nya
membutuhkan 120 kilogram pupuk sejenis.
Guyuran bahan kimia bukan hanya pupuk, tapi juga herbisida
dan pestisida. Tak boleh ada rumput, semak, juga belalang yang
mengganggu pertumbuhan sawit. Nah, limbah herbisida dan
pestisida inilah yang tak jarang dilaporkan mengalir ke badan sungai
di sekitar kebun. Film dokumenter “Suara dari Perkebunan Sawit”,
produksi Sawit Watch, misalnya, menayangkan kesaksian seorang
mantan karyawan perkebunan sawit skala besar di Sumatera. “Saya
bertugas membuang sisa pestisida ke sungai di malam hari, supaya
penduduk tidak tahu,” katanya. Film itu juga menampilkan gejala
kerusakan yang diakibatkan guyuran zat kimia di sungai yang ada
di sekitar perkebunan sawit. Sumber air mengering, ikan tak lagi
banyak dijumpai, anak balita lebih rentan pada penyakit, dan tanah
sekitar tak lagi sesubur dahulu.
Layaknya tambang emas, sawit tak boleh diganggu. Dia harus
tumbuh kokoh perkasa dan sentosa. Akarnya harus tangguh dan
rakus menjangkau sumber air sampai puluhan kilometer, tak peduli
itu berarti merampas air yang disediakan alam untuk makhluk hidup
yang lain. Di Danau Sentarum, Kapuas Hulu, Kalimantan Tengah,
misalnya, penduduk mulai mengeluhkan musim kering yang lebih
panjang sejak sawit banyak ditanam di sekitar Sungai Kapuas. Ikan
betutu, andalan Kapuas, tak lagi banyak terperangkap jaring nelayan.
Kabupaten Passer, Kalimantan Timur, punya kisah serupa. “Dulu
kami menggali sumur itu gampang. Nggak sampai lima meter, air
sudah muncul,” kata Abdullah, penduduk Passer. “Sekarang, sumur
harus digali sampai 10-15 meter sampai ketemu sumber air.”
26 Raja Limbung

Derap laju ekspansi sawit juga membawa


“Evolusi bisnis ancaman lain. “Ketahanan pangan menjadi
perkebunan sawit rentan karena semua ingin bersawit-ria,” kata
praktis tak jauh Ahmad Surambo, Sawit Watch. Perjalanan
berkembang ke berbagai lokasi, terutama di kawasan
dibanding masa Sumatera Utara dan Sumatera Barat,
Hindia Belanda: menunjukkan adanya gelombang petani
masukkan minyak yang mengubah sawah mereka menjadi
sawit mentah kebun sawit. Wilayah yang dulunya adalah
ke dalam drum, lumbung beras, tempat hamparan padi
bawa dengan menguning, berangsur berganti menjadi
kapal menuju deretan pohon sawit. Praktis, tak ada insentif
Eropa. Urusan apa pun dari pemerintah untuk petani yang
pengolahan lebih bersetia menanam padi dan tanaman pangan
lanjut, biar saja lainnya. “Ini gejala yang memprihatinkan
diurus pebisnis di dan mengancam ketahanan pangan kita,”
negara lain.” kata Ahmad Surambo.
Fenomena perubahan iklim yang
kian kencang, ditandai bencana seperti
banjir, topan, badai, tsunami, membuat ancaman gagal panen kian
nyata. Berbagai negara pun sibuk merancang strategi menguatkan
ketahanan pangan. Mempertahankan sawah, memberi subssidi pada
petani yang mau berjibaku menanam pagi, misalnya, adalah jurus
yang dipilih berbagai negara. Namun, hal itu tidak berlaku bagi
Indonesia. “Petani tak bisa disalahkan karena, toh, tidak ada insentif
apa pun untuk menanam padi. Mereka pun memilih mengkonversi
sawahnya menjadi kebun sawit,” kata Surambo. Seharusnya,
dia melanjutkan, “Jika pemerintah serius membenahi persoalan
ketahanan pangan, maka dilema konversi lahan sawah ini harus
dicarikan jalan keluarnya.”
Bagi pemerintah, kebun sawit memang punya janji keuntungan
yang lebih menggiurkan dibanding sawah padi. Satu hektare kebun
sawit, menampung 120-an pohon sawit, siap menghasilkan 3-6
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 27

Ekspansi lahan perkebunan sawit dengan ekstensifikasi.


Sumber: Dok. Sawit Watch
28 Raja Limbung

ton tandan sawit yang sudah diolah menjadi CPO (crude palm oil).
Pengolahan yang ekstra intensif mampu menggenjot panen sampai
7-10 ton CPO saban tahun, seperti yang telah dibuktikan kebun-
kebun yang ada di Malaysia.

Ekstensifikasi vs Intensifikasi
Seratus tahun perjalanan kebun sawit di Indonesia adalah riwayat
yang layak ditengok dan direnungkan. Adakah sawit telah memberi
manfaat optimum bagi petani dan rakyat, khususnya kelompok
masyarakat adat yang berumah di hutan? Mengapa di berbagai daerah
justru muncul penolakan perkebunan emas hijau ini? Mengapa kilau
sawit meninggalkan trauma bagi banyak komunitas adat di hutan-
hutan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua?
Pada Oktober 2011, dilaporkan ada 101 kelompok masyarakat
menolak perkebunan sawit di Mentawai, Sumatera Utara. Total
ada 34 ribu hektare lahan di Kecamatan Sipora Utara dan Sipora
Selatan yang sedang digadang-gadang akan diubah menjadi kebun
sawit. Persoalannya, di kawasan ini ada permukiman penduduk,
lahan pertanian produktif, dan juga aneka rupa kebun. Walhasil,
tak kurang dari 101 kelompok masyarakat mengajukan surat
kepada Pemerintah Propinsi Sumatera Utara, agar tak mengizinkan
perubahan Sipora menjadi kebun sawit.
Sederet pertanyaan segera muncul. Mengapa penolakan demi
penolakan, protes demi protes, tetap terjadi? Jika sawit adalah
komoditi yang dahsyat, seharusnya masyarakat luas merindukan dan
menyambutnya dengan antusias dan tangan terbuka. Tapi, kisah di
lapangan sering kali tampak suram. Mengapa? Pertanyaan inilah
yang seharusnya menjadi bahan renungan para pengambil kebijakan.
Harus diakui, road map yang bervisi jauh ke depan belum tampak
dalam perjalanan sawit di negeri ini. Masterplan Percepatan dan
Pengembangan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025, yang baru
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 29

diluncurkan pemerintah Mei 2011, menyoroti kelapa sawit dalam 4


halaman strategi pengembangan. Termasuk dalam strategi MP3EI
ini adalah membenahi infrastruktur dan membangun industri hilir
yang memberi nilai tambah bagi sawit. Sebuah rencana mulia, yang
ditunggu realisasinya di lapangan.
Menumbuhkan industri hilir, tentu saja tidak mudah. Butuh
strategi pembangunan yang terpadu, visioner, termasuk dalam
penyediaan infrastruktur penunjang. Sayangnya, pemerintah, dan
investor swasta, selama ini lebih suka memilih jalan gampang lagi
cepat menuai hasil, yakni fokus pada sektor hulu. Buka lahan, tanam
sawit, panen, jual tandan segar: beres. Tak perlu ribet memikirkan
riset, inovasi produk, membuka pasar yang membutuhkan kerja
keras. Perilaku inilah yang selama seratus tahun terjadi di lapangan.
Evolusi bisnis perkebunan sawit praktis tak jauh berkembang
dibanding masa Hindia Belanda: masukkan minyak sawit mentah ke
dalam drum, bawa dengan kapal menuju Eropa. Urusan pengolahan
lebih lanjut, menjadi oleochemical, margarin,
biar saja diurus pebisnis di negara lain. Nafsu meluaskan
“Faktanya, selama ini tak ada itu yang lahan, jurus
namanya pengembangan industri hilir. ekstensifikasi,
Semuanya fokus pada industri hulu, jual memang
CPO saja,” kata Jefri Saragih, juga dari mendominasi
Sawit Watch. Akibatnya, nilai tambah dari perkembangan
sawit --seperti yang juga terjadi pada lusinan sawit di
sumber daya alam lainnya--tidak mengalir Indonesia. Lahan
ke Indonesia. Negeri ini kembali mengimpor terus meluas
hasil-hasil olahan minyak sawit dan kernel dan meluas, tak
(minyak inti sawit) yang harganya berlipat- peduli harus
lipat dibanding harga CPO. melahap areal
hutan dan
Berhubung jurus instan lebih menggoda,
pertanian pangan
membuka lahan perkebunan pun tak bisa
yang produktif.
dibendung. Ekstensifikasi perkebunan sawit
30 Raja Limbung

menjadi-jadi. Di berbagai daerah, di pojok-pojok hutan, masyarakat


diiming-iming melepas lahannya kepada perkebunan sawit. “Mereka
bilang, kalau punya kebun sawit, maka kau akan bisa menyekolahkan
anak bahkan sampai ke luar negeri, beli mobil, punya rumah bagus,”
kata Danu, petani sawit di Riau.
Kisah serupa banyak dijumpai di daerah-daerah lain. Bahkan
di daerah yang sebetulnya tidak cocok sebagai pengembangan
perkebunan sawit. Misalnya, di wiayah hutan yang dihuni Suku
Dayak Muluy, Passer, Kalimantan Timur. Lahan di daerah ini cukup
terjal dengan kemiringan di atas 30 persen. Infrastruktur jalan pun
tak memadai. Jarak dari pabrik pengolah CPO pun cukup jauh,
dengan jalanan berliku berjarak lebih dari 40 kilometer. Namun, toh,
penduduk tak henti ditawari melepas lahan untuk dijadikan kebun
sawit. “Cicilan kredit motor akan dilunasi kalau penduduk mau lepas
lahan. Tapi, tak bisa. Ini lahan punya adat, hak ulayat,” kata Jahan,
50 tahun, Kepala Suku Dayak Muluy.
Nafsu meluaskan lahan, jurus ekstensifikasi, memang
mendominasi perkembangan sawit di Indonesia. Lahan terus meluas
dan meluas, tak peduli harus melahap areal hutan dan pertanian
pangan yang produktif. Strategi ini berbeda dengan pendekatan
negara lain yang lebih sadar bahwa lahan terbatas dan wajib dikelola
optimal.
Data-data berbicara tentang lemahnya optimalisasi lahan di
negeri ini. Produktivitas lahan sawit di Indonesia, menurut data
MP3EI yang dikutip dari analisis USDA (United State of Department
of Agriculture), rata-rata adalah 3,6 ton per hektare lahan. Angka ini
jauh di bawah perkebunan sawit Malaysia yang bisa mencapai 4,6
ton per hektare, bahkan ada yang mencapai 7 ton per hektare.
Padahal, ada banyak jurus intensifikasi yang bisa ditempuh.
Pertama, soal kualitas benih sawit. Analisis MP3EI membenarkan
bahwa penggunaan benih yang bermutu rendah turut mendorong
rendahnya produktivitas kebun. Riset menunjukkan, benih yang
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 31

bagus sanggup mendongkrak panen hingga 47 persen. Namun,


sayangnya, akses petani mendapatkan benih yang bagus kerap kali
dibatasi dan menjadi monopoli perusahaan besar. “Kalau pemerintah
serius, mestinya ada program khusus mengenai penyebaran benih
yang bagus kepada petani secara luas,” kata Ahmad Surambo.
Jurus kedua adalah peremajaan atau revitalisasi kebun,
merobohkan sawit yang sudah uzur dan menggantinya dengan
tanaman baru. Sebagian besar kebun di Sumatera dan Kalimantan
sudah berusia 25 tahun, produktivitas mulai redup. Laju
produktivitas tandan sawit sudah melambat.
Apa daya, kunjungan tim penulis ke berbagai lokasi di Sumatera
dan Kalimantan menunjukkan program revitalisasi terlampau mahal
dijangkau petani. Satu hektare lahan membutuhkan dana revitalisasi
Rp 70-80 juta, dengan skema kredit dari bank BUMN yang diangsur
selama 15 tahun. Jadi, dua hektare lahan membutuhkan Rp 140-160
juta dana revitalisasi. Termasuk dalam perhitungan dana ini adalah
pembangunan jalan di sekitar kebun menuju pabrik. “Dari mana kami
bisa membayar angsuran untuk utang sebesar itu,” kata Soeprapto,
pengurus Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) di Kabupaten Passer,
Kalimantan Timur. “Apalagi, ada masa 4-5 tahun sebelum tanaman
sawit revitalisasi bisa berbuah. Selama belum berbuah, dari mana
kami bisa makan dan mencicil utang?”
Idealnya, menurut Soeprapto, para petani dibiarkan
merancang sendiri kebutuhan revitalisasi. “Kami bisa, kok,
bekerja lebih keras menggarap sendiri pembersihan lahan. Tak
perlu tenaga buruh, supaya biaya lebih murah,” katanya. Menurut
perhitungan SPKS, petani bisa merevitalisasi lahan dengan dana
Rp 30-40 juta per hektare, separo dari patokan yang ditetapkan
bank dan pemerintah. “Lagipula, jalan di area perkebunan sudah
ada kami bikin sejak lama. Kenapa kami harus dibebani lagi
dengan pembangunan jalan di sekitar kebun?”
Sengkarut peremajaan ini tak kunjung putus. Pemerintah dan
32 Raja Limbung

bank berkukuh dengan formula kredit pinjaman revitalisasi yang


mahal. Petani pun berkeras tak mau merevitalisasi dengan skema
yang teramat mahal. “Kalau tetap macet begini, dampaknya akan
terasa lima tahun ke depan,” menurut Mansuetus Alsy Hanu,
Sawit Watch. “Saat itu, kebanyakan kebun sudah lewat 30 tahun,
produktivitas semakin turun, ekspor CPO pasti juga merosot.”
Jurus ketiga yang dituntut intensifikasi, tak bisa dihindari,
adalah perbaikan infrastruktur. Tandan sawit harus diolah di pabrik
CPO kurang dari 48 jam setelah panen. Lewat dari itu, kadar minyak
dan kualitas CPO yang dihasilkan bakal turun. Jalanan yang buruk,
jumlah pabrik yang belum memadai, membuat truk pembawa
tandan sawit segar sering kali terhambat dalam antrean panjang.
Infrastruktur pelabuhan pun masih menjadi persoalan,
seperti digarisbawahi oleh Maruli Sitompoel, mantan eksekutif
di perkebunan sawit milik Grup Astra International. Pelabuhan
Kumai, Kalimantan Tengah, kerap kali kewalahan di masa puncak
panen sawit. Kapasitas gudang penyimpan tak
“Persoalannya, memadai. Akibatnya, CPO harus menunggu
selain tak 3-4 hari di pelabuhan sebelum akhirnya
diupah, buruh diangkut kapal menuju berbagai penjuru
perempuan dan dunia.
anak-anak tidak Maruli membandingkan kekurangan
dilengkapi alat infrastruktur ini dengan kondisi Malaysia.
keselamatan Negeri tetangga ini serius membangun dan
kerja apa pun. menyiapkan pelabuhan di berbagai titik. Inilah
Sepatu boot, kunci strategis yang siap membawa CPO
sarung tangan ke berbagai pelabuhan mancanegara dalam
plastik, dan waktu cepat, saat CPO masih segar dan belum
helm hanya teroksidasi. “Ini yang tidak dimiliki Indonesia,”
disediakan kata Maruli Sitompoel. Akibatnya, minyak
untuk buruh sawit dari Malaysia lebih punya keunggulan
utama” kompetitif dibanding produk Indonesia..
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 33

Pemihakan Buruh, Kerikil Tajam Itu


Satu abad perjalanan perkebunan sawit, sayangnya, tidak
menunjukkan wajah yang segar dan inovatif. Bukan hanya soal
infrastruktur dan industri hilir yang beku. Lebih dari itu, seabad
perjalanan kebun sawit adalah cermin pola relasi rakyat, negara, dan
pemerintahan. Zaman kolonial, pendudukan Jepang, maupun di era
Republik Indonesia kini. “Dari perjalanan ini, jika tak ada perubahan
kebijakan yang signifikan, kita bisa memperkirakan perjalanan sawit
di masa mendatang di Indonesia,” kata Jefri Saragih.
Pada masa kolonial, ratusan ribu kuli kontrak didatangkan
dari Jawa untuk menggarap kebun sawit di Sumatera. Permintaan
minyak sawit dari Eropa ketika itu sudah melonjak, sehingga jumlah
perkebunan sawit di Hindia Belanda berlipat dari 10 menjadi 64
kebun hanya dalam 15 tahun (periode 1925-1940). Pabrik-pabrik
margarin dan sabun di Eropa adalah pasar utama sawit dari Hindia
Belanda. Kuli kontrak dari pelosok desa di Jawa tak punya pilihan
selain mematuhi kehendak Ndoro Tuan Kebun.
Relasi buruh-majikan dalam perkebunan sawit ini juga belum
banyak berubah. Kuli kontrak di masa kolonial diupah yang amat
sangat murah. Lalu, mereka diberi kesenangan semu berupa aneka
pertunjukan erotis, dengan mengerahkan kuli kontrak perempuan,
sebagai ronggeng yang pemuas hasrat seksual para majikan maupun
sesama kuli. Akibatnya, para kuli pun terjerat hutang dan kemiskinan
yang seolah tanpa putus. Akibatnya, sampai dua tiga generasi, status
buruh perkebunan terus melekat.
Pada zaman modern kini, saat Indonesia sudah 65 tahun
merdeka, situasi yang dihadapi buruh tak jauh berbeda. Buruh di
perkebunan, seperti tampak dalam film “Suara dari Perkebunan
Sawit”, hanya bergaji Rp 600 ribu. “Jam kerja saya dari pukul 6 pagi
sampai pukul 6 sore,” kata si buruh yang diwawancarai. Dua belas
jam bekerja, mulai dari membersihkan kebun, memupuk tanaman,
memanen tandan sawit, mengangkut sawit ke atas truk, sama sekali
34 Raja Limbung

buruh perempuan perkebunan sawit


Sumber: Dok, Sawit Watch
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 35

Pekerja mengangkat buah kelapa sawit ke dalam truk, Luwu Timur, Sulawesi
Selatan.
Sumber: TEMPO/ Tommy Satria

Sejumlah pekerja menyortir kelapa sawit yang akan dikirim ke pabrik CPO di
kawasan PTPN VIII di Cigudeg, Bogor
Sumber: TEMPO/ Arie Basuki
36 Raja Limbung

bukan kerja yang enteng. Upah yang rendah sering kali memaksa
buruh mengambil brondol (rontokan tandan sawit) yang jatuh. Tapi,
ini tindakan yang berisiko. Satpam kerap mengadukan buruh yang
memungut brondol ke polisi, dengan tuduhan mencuri sawit milik
perkebunan.
Yang lebih mengenaskan lagi adalah nasib buruh perempuan dan
anak-anak. Relis Yanthi Panjaitan, dari Jurnal Kajian Perkebunan,
meneliti kondisi buruh perempuan di perkebunan sawit di Sumatera
Utara, pada 2010. Menurut riset ini, 90 persen buruh laki-laki selalu
mengajak istri dan anaknya saat mendapat order memanen kebun
sawit.
Buruh panen, dengan upah Rp 39 ribu per hari, bertugas
memanen 75 tandan (sekitar 1500 kilogram) dalam sehari. Beban ini
tak mungkin dikerjakan sendirian, sehingga sang buruh mengajak
serta istri dan anak.
Persoalannya, selain tak diupah, buruh perempuan dan anak-anak
tidak dilengkapi alat keselamatan kerja apa pun. Sepatu boot, sarung
tangan plastik, dan helm hanya disediakan untuk buruh utama. Istri
dan anak yang cuma berstatus tenaga pembantu tidak dilengkapi
alat apa pun. Akibatnya, kerap dilaporkan terjadi kecelakaan kerja,
mulai dari tertimpa tandan sampai tertimpa pisau pemotong (egrek)
tandan sawit. Mirna, buruh di sebuah kebun sawit di Langkat, adalah
salah satu korban yang tertimpa pisau egrek. Pisau tajam itu jatuh
tepat di leher Mirna, hingga dia meninggal.
Celaka memang. Tak ada perlindungan hukum dan kesehatan
apa pun buat istri dan anak si buruh. Status mereka hanyalah tenaga
pembantu. Mereka bukan karyawan, mereka tak tergabung dalam
serikat pekerja, dan tak punya asuransi apa pun.
Penelitian Relis Yanthi juga menyebutkan bahwa buruh
perempuan kerap diterjunkan untuk pekerjaan berisiko, misalnya
pemumpukan dan penyemprotan pestisida. Tugasnya, mencampur
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 37

pestisida dengan air dalam dosis yang tepat.


Lalu, tabung pestisida 22 kilogram itu harus “Kepemilikan
dipanggul sambil disemprotkan di areal tanah yang
seluas satu hektare. Lagi-lagi, tanpa ada tanpa ditandai
perlindungan. Tak ada kacamata khusus, tak sertifikat, harus
ada sepatu boot, tak ada sarung tangan, tak menyerah
ada pula masker. pada program
pemerintah.
Supriati, misalnya, bekerja sebagai
“Jika menolak,
buruh penyemprot pestisida di sebuah
orang tua kami
perkebunan di Serdang Bedagai. Pada 1999,
dipanggil ke
tanpa mengetahui dirinya sedang hamil,
kantor Koramil,”
Supriati terus saja melakukan pekerjaan rutin.
kata Syahroni.
Akhirnya, sang anak lahir dengan bobot jauh
di bawah normal, yakni hanya 7,5 ons.
Tragedi seperti yang dialami Supriati dan
Mirna, menurut Relis Yanthi, tak terhitung banyaknya. Pembenahan
mutlak dibutuhkan. Sebab, pada keringat, air mata, dan darah buruh
inilah produktivitas industri sawit bersandar.

Hutan Luas, Milik Siapa


Mari kembali menengok perjalanan sawit. Kali ini kita kembali ke
masa pendudukan Jepang, 1942-1945. Kebun sawit peninggalan
Belanda jadi terbengkalai. Jepang tak peduli pada sawit karena punya
prioritas lain, yakni tanaman pangan demi memasok kebutuhan
perang. Puluhan kebun sawit dibiarkan merana tak terurus. Situasi
yang terus berlanjut sampai Indonesia merdeka dan pemerintahan
Soekarno berjalan. Pemerintahan Soekarno mengabaikan roda
ekonomi dan lebih disibukkan dengan pertikaian politik.
Pada awal Orde Baru, prospek kebun sawit belum juga cerah.
Maklumlah, dasawarsa 70-an adalah zamannya booming minyak
bumi. Bonanza minyak bermunculan. Barisan pengusaha dan pejabat
38 Raja Limbung

masih dininabobokkan oleh banjir cadangan minyak yang seakan


tiada akhir. Sikap yang terbukti salah besar.
Kebun sawit baru tancap gas di era 1980-an, itu pun setelah Bank
Dunia campur tangan mengelontorkan utang kepada Indonesia.
Pengembangan kelapa sawit yang dipilih berpola PIR (Perkebunan
Inti Rakyat) secara simultan di 12 provinsi, terutama di Sumatera,
Kalimantan, dan Sulawesi.
Pengadaan lahan secara masif ini juga punya kisah tragis
tersendiri. Intimidasi, melawan pembangunan adalah subversif,
tudingan PKI, dan juga kriminalisasi diarahkan bagi siapa saja yang
melawan. Mayoritas penduduk memahami lahan mereka ‘dipinjam’
oleh negara dan tanah akan dikembalikan setelah Hak Guna Usaha
(HGU) berakhir. “Kenyataannya, setelah HGU memperpanjang
masa berlaku HGU sampai 20-30 tahun lagi,” kata Jamal, penduduk
Passer, Kalimantan Timur. “Kami bingung, hutan itu milik siapa?”
Proyek masif pembukaan 31 kebun, di 12 propinsi, ini didanai
utang dari Bank Dunia melalui program Nucleus Estates Smallholder
(NES). Secara singkat program ini sering disebut juga dengan PIR-
NES atau PIR-BUN. Bank Rakyat Indonesia berperan sebagai
penyalur kredit bank untuk petani-petani sawit di 12 provinsi itu.
Persoalannya, Sumatera-Kalimantan-Sulawesi begitu luas.
Infrastruktur masih amat miskin. Hampir seluruh wilayah masih
berupa rimba belantara. Petani penggarap kebun di wilayah itu tak
mencukupi. Apa daya?
Soeharto tak kekurangan akal. Maka, jika di masa kolonial
ada kuli kontrak, pemerintah Orde Baru menggelar program
transmigrasi. Ratusan ribu orang Jawa, Bali, Nusa Tenggara,
diberangkatkan menuju hutan-hutan gung liwang-liwung di Sumatera-
Kalimantan-Sulawesi. Atas nama pembangunan, buldozer, tentara,
polisi, dikerahkan demi memuluskan program transmigrasi dan
pembukaan kebun-kebun secara masif di luar Pulau Jawa ini.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 39

Dua hektare kebun dijanjikan untuk setiap keluarga yang menjadi


transmigran. Para transmigran inilah mitra perkebunan, calon pemilik
lahan, pertani, sekaligus buruh penggarap lahan kebun sawit. Migrasi
besar-besaran pun terjadi. Sebuah fenomena sosial yang layak menjadi
obyek riset, terutama mengenai dampak sosiologisnya berbilang
dasawarsa kemudian.
Program PIR yang nyawanya digerakkan tenaga ratusan ribu
transmigran memang mampu mendongkrak luasan kebun dan
produksi sawit Indonesia. Namun, ada harga sosial yang harus
dibayar. Gesekan konflik kerap terjadi, bahkan
sisa bara apinya kadang masih dirasakan sampai
kini. “Kami tidak
tahu bahwa
Para transmigran tidak paham bahwa
lahan kebun
mereka dijanjikan lahan yang sejatinya adalah
dan rumah
milik orang lain, baik perorangan maupun
kami tadinya
komunitas adat. “Kami tidak tahu bahwa lahan
adalah rumah,
kebun dan rumah kami tadinya adalah rumah,
tempat tidur,
tempat tidur, kamar mandi, atau kakus milik
kamar mandi,
orang lain,” kata Soepardjo, transmigran dari
atau kakus
Jawa Tengah. “Kami cuma tahu bahwa itu
milik orang
program pemerintah. Kami manut saja,” kata
lain,” kata
Soepardjo yang kini menjadi anggota Serikat
Soepardjo,
Petani Kelapa Sawit (SPKS) di Kabupaten
transmigran
Passer, Kalimantan Timur. Menurut Soepardjo,
dari Jawa
lahan yang diberikan kepada transmigran ini
Tengah.
pun bukan lahan yang siap pakai. Mereka harus
bekerja keras, babat alas, dan tirakat bertahun-
tahun sebelum sawit bisa dipanen. “Tahun
keempat atau kelima, baru bisa panen,” kata Soepardjo, “Tak sedikit
teman yang putus asa di tengah jalan dan menjual kapling mereka.”
Penduduk lokal juga mengalami luka sosial dalam berbagai
bentuk. Kepemilikan tanah, yang memang tanpa ditandai sertifikat
40 Raja Limbung

apa pun, harus menyerah pada program pemerintah. “Jika menolak,


orang tua kami dipanggil ke kantor Koramil,” kata Syahroni, warga
di Kabupaten Passer, Kalimantan Timur. “Lahan kami, hutan dan
isinya, dianggap cuma kotoran burung. Terserah negara mau diapain.
Kami tak bisa menolak.” Menurut Syahroni, tidak sedikit penduduk
yang menolak menyerahkan tanah diberi label “PKI” dan dikucilkan
dari pergaulan sosial oleh kepala desa.
Kelak, setelah reformasi dan jatuhnya Soeharto pada 1998, luka
sosial yang terjadi di awal program transmigrasi ini tampil dalam wajah
yang lain. Menurut Soepardjo, sebagian penduduk lokal ada yang
mengklaim lahan garapan transmigran. “Lahannya diambil alih begitu
saja. Transmigran tak bisa berbuat apa-apa, meskipun surat kepemilikan
jelas menunjukkan bahwa lahan itu milik dia,” katanya. “Kalau sudah
begini, kami pun tak bisa berbuat apa-apa.”
Luka sosial yang terjadi bukan hanya lantaran kesembronoan
konsep program transmigrasi. Ada banyak persoalan lain yang
tak kalah serius, yakni karut-marut perizinan dan tak adanya
penghormatan pada hak ulayat. Berawal dari pendekatan militeristik
Orde Baru, segala hal yang menyangkut pembangunan adalah
urusan negara. Partisipasi masyarakat, penghormatan hak rakyat, tak
diberi tempat. Menteri dan pejabat terkait ramai-ramai mengobral
surat izin, baik dengan format HPH (hak pengusahaan hutan), HTI
(hutan tanaman industri). Hutan dibagi dalam kapling-kapling milik
pengusaha.
Lebih kacau lagi, bagi-bagi kapling tersebut menjadi makin
ruwet dengan pencatatan investasi dan sistem agraria yang kacau.
Izin diperjualbelikan dari satu tangan ke tangan lain, dari satu
perusahaan ke perusahaan lain. Kepemilikan saham dan berbagai
formula derivatnya kian membikin rumit situasi.
Lahan kritis dan terbengkalai, sebagai contoh. Pemerintah
mengklaim di seluruh Indonesia tersedia sedikitnya 9 juta hektare
lahan kritis. Lahan itulah yang diimbau dijadikan area ekspansi kebun
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 41

sawit. Tapi, persoalannya, “Lahan kritis mana yang dimaksud? Status


kepemilikannya pasti bermasalah dan tak bisa begitu saja dijadikan
kebun,” kata Jefri Saragih. Biasanya, menurut Jefri, lahan dibiarkan
tak terawat dan menjadi gundul lantaran ada sengketa kepemilikan.
Warisan pendekatan bagi-bagi kapling ala Orde Baru, ditambah
kekacauan perizinan, pencatatan lahan, dan sistem agraria ini
berbuntut panjang. Sepanjang 2010, misalnya, muncul 660
kasus konflik agraria di kawasan perkebunan kelapa sawit di seluruh
Indonesia, dengan tiga nyawa melayang. Jumlah kasus ini nyaris tiga
kali lipat bila dibandingkan tahun 2009 yang sebanyak 240 kasus.
Celaka memang, aneka konflik agraria hampir selalu diiringi
tindakan kriminalisasi penduduk. Warga yang memperjuangkan
hak-haknya di tengah perkebunan sawit diseret polisi. Mereka
yang mempersoalkan kepemilikan tanah, atau menolak hadirnya
perkebunan sawit, diajukan ke meja hijau dengan tudingan
menghambat investasi.
Pada 2010, tercatat 130 orang Warga yang
dikriminalisasi lantaran perkebunan naik memperjuangkan
dari 112 orang pada 2009. “Kami di hak-haknya di
Sawit Watch sering sekali mendampingi tengah perkebunan
kelompok masyarakat, memediasi sawit diseret polisi.
perundingan dengan perusahaan, mencari Mereka yang
jalan keluar sengketa kepemilikan. Banyak mempersoalkan
yang menemui jalan buntu,” kata Jefri. kepemilikan
Salah satu biang keladi berbagai
tanah, atau
persoalan ini adalah justru pada produk
menolak hadirnya
legislasi. Undang-Undang Perkebunan
perkebunan
Nomor 18, Tahun 2004, tentang
sawit, diajukan
Perkebunan, jelas memihak kepentingan
ke meja hijau
pengusaha. Pasal 21, misalnya, menyatakan
dengan tudingan
larangan orang menggangggu perkebunan.
menghambat
Kemudian, di pasal 47, menyebutkan
investasi.
42 Raja Limbung

bahwa pelanggar pasal 21 akan dikenai pidana maksimum dengan


hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar. Anehnya, tidak
ada ketentuan yang berlaku bagi pengusaha atau perkebunan yang
melanggar hak rakyat. Konflik di Mesuji, antara lain, adalah ekses
dari ayat yang hanya berpihak pada pemodal ini.
Undang-undang Perkebunan yang bermasalah ini pun digugat.
Lima petani mengajukan gugatan uji materi pasal 21 dan 47, UU
Perkebunan tersebut, pada Mahkamah Konstitusi. Akhirnya, setelah
setahun berproses, gugatan tersebut dimenangkan oleh Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi. Senin, 19 September 2011, Mahkamah
resmi memutuskan menghapus kedua pasal bermasalah tersebut.
Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan kedua pasal tersebut
inkonstitusional karena bertentangan dengan semangat Undang-
Undang Dasar 1945.
Satu kerikil sudah dilalui, hambatan legislasi sudah disingkirkan.
Namun, realita di lapangan masih membutuhkan bukti atas
dihapusnya pasal monster itu. Ratusan perkara kriminalisasi petani,
yang sudah dan sedang diproses di pengadilan, menuntut realisasi
penghapusan kedua ayat ini.
Seratus tahun adalah rentang waktu yang panjang. Namun,
sayangnya, pengembangan sawit di Indonesia tidak disertai jeda
refleksi dan pembenahan mendalam. Moratorium penebangan
hutan pada 2010, sesungguhnya adalah momentum yang bagus.
Sayang, langkah ini tidak disertai pembenahan yang signifikan.
Konflik kepemilikan, perizinan yang tumpang tindih, tidak kunjung
diurai. Benang kusut tetap dan makin kusut meskipun moratorium
diumumkan. “Kesannya cuma basa-basi pemerintah di dunia
internasional,” kata Norman Jiwan.
Kesan basa-basi juga tak bisa dihapus manakala kita menyimak
Masterplan Percepatan dan Pengembangan Ekonomi Indonesia
2011-2025. Dokumen itu tidak menyebutkan perlunya membenahi
sistem perburuhan, penyelesaian konflik lahan, atau memperjelas
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 43

peta kepemilikan lahan dan perizinan yang tumpang tindih. Padahal,


penyelesaian konflik dan meluruskan perizinan yang tumpang-
tindih inilah kunci utama intensifikasi kebun sawit di Indonesia.
Tanpa itu, luka-luka yang dibawa perkebunan masif sawit akan terus
membayangi perjalanan emas hijau ini.

Memotret Situasi Lapangan


Satu abad perjalanan kebun sawit adalah jejak yang penting. Riwayat
satu abad sawit di Indonesia itulah yang ingin dihadirkan dalam buku
ini. Sawit Watch, lembaga swadaya masyarakat yang cukup kredibel,
mengajak kami, TEMPO Institute, untuk memetakan perjalanan
sawit di Indonesia. Sebuah ajakan yang menantang bagi TEMPO
Institute, sebagai sayap grup penerbitan TEMPO, yang berfokus pada
pengembangan jurnalistik. Kami pun menyambut ajakan Sawit Watch.
Lazimnya, buku mengenai sawit cenderung terbagi dalam dua
kubu. Pertama, kubu pemerintah dan pengusaha yang semata-mata
menyuguhkan fakta ekonomi. Kedua, kubu LSM yang berfokus pada
sisi negatif. Buku ini bertujuan sebagai penyeimbang kedua kubu
tersebut.
Kami berupaya menghadirkan kedua sisi sebisa mungkin secara
seimbang. Bagaimana pun, sawit memiliki nilai ekonomi yang telah
menggerakkan roda ekonomi berbagai wilayah dan Indonesia secara
keseluruhan. Namun, ekspansi sawit juga menyisakan trauma,
penderitaan, dan konflik di berbagai daerah.
Tim Sawit Watch dan TEMPO Institute bersama merancang
konsep buku ini. Kedua lembaga ini memiliki kompetensi yang bisa
diandalkan. Sawit Watch adalah lembaga swadaya masyarakat yang
cukup kredibel dan terjun di lapangan memantau perkembangan
sawit, mulai dari Aceh sampai Papua, secara intensif. TEMPO
Institute, sayap baru Grup Tempo Inti Media yang berdedikasi pada
pengembangan jurnalisme, didukung tim jurnalis yang diharapkan
44 Raja Limbung

mampu menghadirkan suara-suara dari perkebunan sawit secara


komprehensif.
Serial diskusi, dengan mengundang berbagai narasumber, pun
dilakukan berulang kali. Akademisi, birokrat, ekonom, juga wakil
masyarakat di sekitar perkebunan dihadirkan untuk membahas sawit
dari berbagai sisi.
Kami juga menurunkan sejumlah reporter dan peneliti di berbagai
wilayah, yakni di beberapa lokasi di Sumatera dan Kalimantan.
Kolaborasi jurnalis, peneliti, dan aktivias LSM di lapangan ini bagi
kami adalah sebuah pelajaran baru. Kami menikmati mengamati
dan saling berbagi canda, pengetahuan, dan pengalaman. Meskipun
harus kami akui, kolaborasi ini belum dilengkapi dengan perencanaan
kerja yang matang. “Akibatnya, banyak akrobat di sana-sini,” kata
Dwi Setyo Irawanto, jurnalis senior yang terlibat dalam tim ini.
Di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, kami menurunkan
Istiqomatul Hayati yang ditemani Bondan Andriyanu dari Sawit
Watch. Di Serdang Bedagai dan Labuan Batu, Sumatera Utara,
jurnalis Ramidi dan Monang Soetana terjun ke lapangan, keduanya
ditemani Ahmad Surambo dari Sawit Watch.
Lalu, di Kapuas Hulu, jurnalis Rusdi Mathari dan fotografer Aditya
turun didampingi Ari Munir dari Sawit Watch. Dwidjo Maksum turun
ke Danau Sembuluh, Kalimantan Tengah, bersama Eep Syaifulloh
dari Sawit Watch. Reza Maulana menuju Pangkalan Bun, Kalimantan
Tengah, bersama Edi Sutrisno dari Sawit Watch. Dwi Setyo Irawanto
terjun ke Sanggau, Kalimantan Barat, bersama Jefri Saragih dari Sawit
Watch. Retno Sulistyowati dan Bram Basuki membantu wawancara dan
riset pustaka.
Tim terakhir, yakni Mardiyah Chamim, David Ardhian, dan
Said Abdullah menghabiskan sepuluh hari di Kabupaten Passer,
Kalimantan Timur. Mansuetus Alsy Hanu dari Sawit Watch, Among
dari Padi Indonesia, dan Isal Wardhana dari Walhi Kalimantan
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 45

Timur, menemani perjalanan kami. Yusi Avianto, Zen Hae, dan Irfan
Budiman kemudian membantu penulisan hasil reportase lapangan.
Harus kami akui, yang kami temui di lapangan jauh lebih kompleks
dibanding diskusi-diskusi di ruangan berpendingin di Jakarta. Satu dua
pekan turun di lapangan, apa daya, tidak mungkin sanggup memotret
persoalan di lapangan secara komprehensif. Oleh karenanya, dengan
rendah hati, kami mengakui bahwa buku ini masih jauh dari sempurna.
Tidak jarang kami merasa ‘tersedak’ oleh begitu banyaknya detil laporan
dari lapangan. Oleh karena itu, kami mohon maaf kepada tim reporter
yang bekerja keras penggali bahan, juga kepada para narasumber di
lapangan, bahwa pada akhirnya kami tidak sanggup menghadirkan
seluruh kejadian di lapangan.
Buku ini pastilah tidak bisa mewakili Buku ini
keseluruhan yang terjadi pada bentang alam pastilah tidak
dunia sawit di negeri ini, apalagi dalam kurun bisa mewakili
waktu satu tahun. Memotret satu abad keseluruhan
perjalanan kebun sawit di Indonesia dalam yang terjadi
sebuah buku, harus kami akui, adalah target pada bentang
yang super ambisius. alam dunia sawit
Yang kami bisa hadirkan dalam buku di negeri ini,
ini hanyalah serpihan-serpihan mozaik apalagi dalam
kondisi lapangan, titik demi titik yang kami kurun waktu
tampilkan adalah jukstaposisi, yang mudah- satu tahun.
mudahan sanggup memberi perspektif dan Memotret satu
gambaran umum. Harapan kami, buku ini abad perjalanan
menjadi pembuka bagi penulisan buku-buku kebun sawit di
dan riset-riset yang lebih mendalam mengenai Indonesia dalam
sawit di Indonesia, demi mendapatkan sebuah buku,
pemahaman yang lebih baik. harus kami akui,
adalah target
yang super
ambisius.
46 Raja Limbung
Bab 2

Raja yang Buta,


Lumpuh, dan Limbung
48 Raja Limbung
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 49

Bab 2
Raja yang Buta,
Lumpuh, dan Limbung

SATU ABAD setelah perjalanan budidaya sawit, Indonesia mencatat


sejarah baru: menjadi ‘Raja’ alias produsen terbesar sawit di muka
bumi. Tahun 2010, Negeri Rayuan Pulau Kelapa ini menghasilkan
22 juta ton minyak sawit mentah atau hampir separuh dari total
produksi dunia, sekaligus melampaui Malaysia yang semula merajai
pasar. Dengan pembukaan kebun-kebun baru yang terus berderap
dan cadangan lahan yang sulit ditandingi, dominasi Indonesia atas
pasar minyak sawit dunia agaknya sulit dikejar negara mana pun di
seluruh jagat.
Menjadi pemain besar dunia dalam soal komoditas, bukan hal
baru bagi Indonesia yang dibekali sumber daya alam melimpah.
Selama ini, kita dikenal sebagai produsen kakao nomor satu dunia,
penghasil getah karet alam nomor dua dunia, dan termasuk lima
besar dunia dalam produksi kopi.
Kelapa sawit bukan sekadar kakao, karet, atau kopi. Daya
magnet sawit jauh lebih kuat. Berbeda dengan ketiga komoditas itu,
permintaan terhadap minyak sawit terus melonjak, berlipat secepat
50 Raja Limbung

deret ukur. Data Oil World menunjukkan, dalam dua dasawarsa


terakhir, konsumsi minyak sawit melonjak tiga kali lipat lebih dari 15
juta ton (1991) hingga mendekati 47 juta ton (2011). Di masa depan,
permintaan akan terus berlipat. Pada 2050 kelak, tingkat konsumsi
dunia diperkirakan mencapai 90 - 250 juta ton, tergantung apakah
manusia menemukan sumber minyak nabati yang lebih murah atau
tidak (Trends in Agricultural Economics Vol-3, 2010).
Lonjakan permintaan yang kian deras itu disebabkan karena
penggunaan minyak sawit yang semakin beragam. Selain menjadi
salah satu bahan baku utama dalam industri pangan dan produk
perawatan tubuh, belakangan minyak sawit diincar untuk bahan
bakar biologi yang dianggap lebih ‘ramah’ lingkungan. Beroperasinya
pabrik biodisel Neste, raksasa energi Finlandia, dengan kapasitas satu
juta ton per tahun di Singapura pada 2009 lalu, merupakan salah
satu penanda dimulainya era kelapa sawit sebagai sumber energi
masa depan.
“Kilang” minyak sawit Neste Singapura akan segera disusul
proyek biodisel Wilmar International yang kini tengah dibangun di
Riau. Sinar Mas juga sedang menyelesaikan mega proyek biodisel
berbahan baku sawit dengan kapasitas tiga juta ton.
Dan di atas semua itu, pemerintah Amerika Serikat berambisi
membangun kompleks industri biodisel raksasa berkapasitas
superkolosal: 100 juta ton per tahun, di Negara Bagian Washington.
Meskipun tak dirancang khusus berbahan baku sawit, tapi pemilihan
lokasi pabrik di pantai barat Amerika ini diyakini merupakan strategi
Amerika untuk lebih banyak menyerap minyak kelapa sawit yang
kini tengah dikembangkan di Amerika Latin (Kolombia, Ekuador,
Peru), kawasan Pasifik (Papua Nugini), bahkan Indonesia dan
Malaysia. Keempat proyek raksasa (Neste, Wilmar, Sinar Mas dan
biodisel AS) ini akan menjadi cikal bakal tulang punggung pabrik
bahan bakar biologi berbahan baku sawit di dunia.
Pemakaian bahan bakar biologi dinilai lebih aman karena hanya
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 51

Pembukaan
Ijin Usaha Proses
Lahan Tanam

Minyak Proses Panen


Sawit Pengolahan
52 Raja Limbung

mendaur ulang karbon yang sebelumnya telah beredar di atmosfir,


melalui proses fotosintesa. Ini berbeda dengan pembakaran fosil
(BBM, gas, batubara) yang membebaskan karbon yang sebelumnya
‘tidur’ jutaan tahun ke udara sehingga meningkatkan suhu bumi.
Kekhawatiran akan bahaya emisi karbon dan kelangkaan bahan
bakar fosil telah mendorong dunia mencari dan menggunakan bahan
bakar biologi, secara bertahap.
Masyarakat Uni Eropa, misalnya, bertekad mengganti 10 persen
kebutuhan bahan bakar yang digunakan untuk transportasi dengan
biofuels, pada 2020. Sejak 2011, hampir semua pesawat KLM airlines
telah terbang menggunakan avtur biologi sebagai bahan bakar.
Cina juga tak mau kalah. Negara berpenduduk terbesar dunia ini
menargetkan mengganti 15 persen minyak solarnya dengan bahan
bakar biologi, juga pada 2020. India bahkan lebih maju lagi: pada
2012, satu dari lima liter minyak solar harus berasal dari biofuels.
Meskipun dikenal sebagai negara yang boros dan lapar energi,
Amerika Serikat juga tak ketinggalan. Undang-Undang Energi
Amerika yang baru mewajibkan sumber energi negara itu harus
dipasok oleh sedikitnya 36 miliar galon biofuels, pada 2022.
Selama ini, bahan bakar biologi dikenal dalam dua bentuk:
bioethanol sebagai pengganti bensin, dan biodiesel untuk menggantikan
minyak solar. Bioetanol biasanya dibuat dari produk pertanian
berkarbohidrat tinggi, seperti tebu dan singkong, sedangkan biodisel
dari minyak nabati seperti sawit, kedelai, jarak, biji matahari atau
kanola. Dari berbagai bahan baku tersebut, minyak sawit dianggap
paling sesuai dengan tuntutan masa depan karena produktivitasnya
paling tinggi. Tiap hektare kebun sawit yang dikelola baik dapat
menghasilkan 4-6 ton CPO per tahun --bahkan delapan sampai10
ton, dengan perlakuan khusus—sedangkan kebun kedelai paling
banter hanya memproduksi 500 kilogram per hektare per tahun.
Minyak nabati lain sulit bersaing dengan sawit, terutama karena
memerlukan lahan yang lebih luas.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 53

Dengan karaker irit lahan dan produktivitas tinggi, kelapa sawit


akan menjadi salah satu harapan umat manusia menghadapi krisis
energi, di masa depan. Berbeda dengan bahan bakar fosil yang bakal
habis, minyak sawit dapat terus dipanen asal kebunnya dirawat dan
diremajakan. Di masa depan, menguasai produksi minyak sawit
barangkali sama vitalnya seperti menguasai minyak bumi pada era
1970-an. Dengan kelapa sawit, Indonesia memiliki kesempatan
mendominasi perekonomian – mungkin sama seperti OPEC
mendikte dunia, pada masa jayanya dulu.
Pohon Tandan Biji

Pertanyaannya, apakah potensi sebesar itu akan menjadi


kenyataan? Lebih penting lagi, apakah manfaat ekonomi sebesar itu
dapat dinikmati tanpa mengorbankan hak-hak masyarakat lokal dan
keselamatan lingkungan? Inilah pertanyaan
terbesar pengembangan industri dan kebun
kelapa sawit Indonesia saat ini, dan di masa
“Tanpa strategi
datang. Tulisan berikut ini menjelaskan ironi
yang visioner…
posisi Indonesia, si raja sawit yang tak sanggup
ekspansi kebun
mengelola kekayaannya untuk semaksimal
sawit di negeri
mungkin kemakmuran rakyat.
ini bukan
mustahil bakal
membahayan
Raja Yang Buta ketahanan
Hampir seabad lalu, minyak sawit memasuki
pangan seperti
sejumlah pelabuhan di Eropa dengan
di zaman
‘label’ baru: sebagai bahan baku industri.
kolonial dulu.”
54 Raja Limbung

Sebelumnya, minyak yang diperas dari buah kelapa sawit ini hanya
digunakan secara terbatas untuk pelumas mesin atau, paling banter,
bahan baku lilin.
Sawit memasuki babak baru di awal abad 20. Ketika itu minyak
sawit didaratkan secara besar-besaran sebagai bahan baku industri
sabun dan mentega. Margarine Unie, pabrik mentega Belanda,
mengapalkan minyak sawit dari Asahan (Aceh) dan Teluk Betung
(Lampung) menuju Pelabuhan Rotterdam. Pada waktu yang hampir
bersamaan, Lever Brothers di Inggris juga mendatangkan minyak
sawit dari Afrika Tengah ke Pelabuhan London untuk bahan
campuran produksi sabun.
Sejak itu, Rotterdam dan London merupakan pintu masuk
utama minyak sawit ke Eropa, sampai sekarang. Kedua perusahaan
yang kemudian bergabung sebagai Unilever dan menjelma menjadi
raksasa dunia itu juga merupakan salah satu konsumen terbesar
minyak sawit hingga hari ini. Di tangan Unilever, minyak sawit –
yang di tempat asalnya, Afrika, hanya diolah untuk campuran sup,
saus atau bahan obat (minyak sawit asli yang berwarna jingga kaya
akan karoten, sangat baik untuk kesehatan mata)— berhasil ‘disulap’
menjadi salah satu bahan baku industri pangan dan kosmetika yang
vital.
Hingga setengah abad kemudian, minyak sawit masih terbatas
digunakan sebagai bahan baku industri mentega dan sabun.
Permintaannya memang terus merangkak naik, tapi dalam grafik
yang relatif datar. Bintangnya masih belum berpijar benderang.
Bintang itu baru bersinar terang pada awal 1970-an. Ketika itu
para penggiat industri berhasil ‘menetralkan’ CPO dari kandungan
asam-lemak-bebas, yang membikin minyak teroksidasi dan jadi
tengik. Minyak sawit mentah yang berasa agak pahit dicuci,
dikeringkan dan disaring, kemudian didinginkan. Hasilnya: sebagian
minyak membeku dalam suhu ruang dan sebagian lagi tetap cair.
Minyak yang cair dan jernih itulah yang kemudian digunakan sebagai
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 55

minyak goreng, sedangkan yang beku dipakai untuk bahan baku


margarin, sabun dan industri oleokimia. Minyak goreng dari kelapa
sawit yang telah dinetralisir dari ‘asam-lemak-bebas’ dikenal lebih
stabil ketimbang minyak kelapa (biasa) yang lebih cepat tengik.
Sejak diproduksi menjadi minyak goreng, kelapa sawit dengan
cepat menjadi idola warga dunia, terutama penduduk negara
berkembang, seperti Cina, Indonesia, India, Malaysia, Pakistan,
Thailand, Nigeria, Bangladesh, bahkan negara penghasil kedelai
terbesar dunia, Brasil. Lebih dari separuh pasokan kelapa sawit
dunia diproduksi negara-negara ini. Kadar lemak jenuh minyak
sawit (saturated fat -- dan karena itu lebih berbahaya bagi kesehatan)
memang lebih banyak ketimbang minyak kanola atau biji matahari.
Namun, minyak sawit lebih disukai penduduk negara berkembang
karena harganya lebih terjangkau.
Data Dana Moneter Internasional (IMF), misalnya,
menunjukkan pada Juli 2009, harga minyak kelapa sawit di pasar
dunia mencapai US$ 602 per ton, sedangkan minyak kedelai US$
751 atau 25 persen lebih mahal. Minyak biji matahari lebih mahal
lagi: hampir dua kali lipat harga minyak sawit, atau persisnya US$
1.022 per ton. Bagi penduduk Asia, selisih harga minyak sawit
dengan minyak lain lebih besar lagi. Minyak sawit yang dihasilkan
tanah Asia tak memerlukan biaya angkutan yang mahal, tidak
seperti minyak kedelai yang harus dikapalkan dari Brasil atau
minyak biji matahari yang mesti diboyong dari Eropa Timur.
Data negara-negara konsumen dan produsen tersebut tampak
bahwa pasar utama minyak goreng sawit adalah negara-negara
dengan jumlah penduduk yang kolosal. Karakter negara konsumen
ini umumnya: cepat berbiak dan, pada umumnya, miskin. Ini
menimbulkan keprihatinan baru: pasokan minyak sawit harus dijaga
agar ketahanan pangan warga miskin dunia tidak tergoncang.
Indonesia, sebagai Raja Sawit, sangat bisa menentukan merah-
biru harga pasar sawit dunia. Terutama karena hampir tak ada
56 Raja Limbung

minyak pengganti yang terjangkau seperti


Penurunan sawit. Penurunan pasokan sawit dari
pasokan sawit Indonesia bukan hanya berarti mendongkrak
dari Indonesia harga minyak nabati dunia tapi juga bisa
bukan hanya mengguncang ketahanan pangan, terutama
berarti di Asia dan Afrika.
mendongkrak
Peran minyak sawit kian strategis
harga minyak
mengingat fungsinya sebagai bahan baku
nabati dunia
utama sejumlah konglomerasi kelas berat.
tapi juga bisa
Unilever, perusahaan pengolah bahan pangan
mengguncang
terbesar dunia yang juga membuat barang-
ketahanan
barang kebutuhan rumah tangga, tiap tahun
pangan,
melahap 1,5 juta ton minyak sawit atau
terutama di Asia
sekitar tiga persen dari total produksi dunia.
dan Afrika.
Selain untuk membuat sabun Lux, Unilever
membutuhkan minyak sawit untuk produksi
margarin (Blue Band, Flora, Bertolli), sup (Knorr), es krim (Walls,
Ben&Jerry’s), serta barang-barang perawatan tubuh seperti shampo
(Dove, Timotei), dan pelembab kulit Vaseline.
Minyak sawit juga merupakan bahan baku penting di sejumlah
raksasa industri deterjen seperti Procter&Gambler. Perusahaan
Amerika Serikat ini melahap sekitar satu persen produksi minyak
sawit dunia. Industri makanan Nestle, dari Swiss, mengkonsumsi
setengah persen produksi sawit sejagat. Begitu pula industri makanan
Kraft, yang sama dengan Nestle kira-kira melahap setengah persen
produksi minyak sawit dunia.
Kendati tak menggunakan minyak sawit sebagai minyak
goreng, konsumen Eropa dan Amerika Serikat juga merupakan
pelahap minyak sawit yang rakus. Di negara-negara maju, minyak
sawit digunakan sebagai bahan baku industri pangan dan perawatan
tubuh, mulai dari pembuatan mentega, mayonnaise, pasta gigi, sabun,
butter, selai kacang hingga kripik kentang. Minyak sawit juga dipakai
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 57

sebagai bahan baku campuran di pabrik-pabrik pastry, biskuit,


kembang gula, jagung panggang, es krim, lipstick, krim pelembab
kulit, pencukur jenggot, kue coklat dan menjadi saus mie instan.
Pokoknya, minyak sawit dibutuhkan untuk barang kebutuhan dari
ujung rambut sampai ujung kaki.
Survei World Wildlife Fund (WWF),
lembaga penyelamatan satwa liar mencatat, satu Di negara-
dari sepuluh produk konsumsi yang dipajang negara maju,
di supermarket di dunia menggunakan minyak minyak sawit
kelapa sawit. Seperempat dari isi tas belanjaan digunakan
yang ditenteng orang di Paris, London, New sebagai bahan
York, Tokyo atau kota-kota besar lain di dunia, baku industri
hampir bisa dipastikan mengandung minyak pangan dan
kelapa sawit dari Sumatera atau Kalimantan. perawatan
Minyak sawit membuat sabun dan shampo tubuh, mulai
lebih lembut, lebih ‘krimi’, sedangkan minyak- dari pembuatan
inti-sawit (palm kernel oil - PKO) membuat mentega,
batangan coklat jadi renyah. Sifat PKO yang mayonnaise,
beku dalam suhu ruang tapi lumer pada suhu pasta gigi,
tubuh menjadikan kue coklat begitu mudah sabun, butter,
leleh begitu dikulum di mulut. selai kacang
Demam sawit dalam industri pangan dan hingga kripik
produk perawatan tubuh membuat permintaan kentang.
atas minyak sawit terus membumbung. Data
Departemen Pertanian Amerika Serikat
(USDA) menunjukkan permintaan minyak sawit melonjak dengan
laju rata-rata 2,5 juta ton atau sekitar 10 persen per tahun. Dan
karena sebagian besar ‘pemakan’ minyak sawit merupakan warga
bumi yang miskin dan cepat berbiak, kelangkaan atas pasokan sawit
dikhawatirkan akan mengguncangkan ketahanan pangan dunia.
Sejarah membuktikan, ekspansi kebun kopi, tembakau, cengkeh,
dan tebu yang dilakukan VOC, penguasa Hindia Belanda, pada abad
58 Raja Limbung

17 telah membuat sebagian wilayah Jawa kelaparan. Sawah dan


kebun jagung milik penduduk dikonversi membabi-buta menjadi
aneka kebun, hasilnya dikuras dan dibawa ke Rotterdam dan
pelabuhan-pelabohan di Eropa lainnya. Tanpa strategi yang visioner,
yang menjadi tuntutan mutlak di tengah kompleksitas fenomena
pemanasan global, ekspansi kebun sawit di negeri ini bukan mustahil
bakal membahayan ketahanan pangan seperti di zaman kolonial
dulu.
Celakanya, ancaman di sektor pangan itu kini juga diikuti
dengan ancaman di sektor energi. Dalam dua dasawarsa mendatang,
daratan Eropa saja diperkirakan membutuhkan lebih dari 50 juta
ton biodisel tiap tahun. Ini setara dengan dua setengah kali produksi
CPO Indonesia saat ini atau tiga perempat total produksi minyak
nabati (minyak sawit, kedelai, biji matahari,
Indonesia kanola, jarak, dan lain-lain), di seluruh penjuru
merupakan bumi. Kira-kira diperlukan ekspansi kebun
satu-satunya kelapa sawit baru seluas 15 juta hektare –
harapan atau hampir dua kali kebun kelapa sawit yang
sumber minyak ditanam Indonesia dalam 40 tahun terakhir
sawit masa – hanya untuk memenuhi kebutuhan biodisel
depan karena Eropa saja.
cadangan Lalu, bagaimana dan di mana kebun
lahannya kelapa sawit akan ditanam di muka bumi
‘membuncah’, ini untuk memenuhi lonjakan kebutuhan
iklimnya cocok, tersebut? Dalam Commodity Intelegence
tenaga kerja Report (8 Oktober 2010), para analis
terjangkau pertanian USDA tak ada punya jawaban
(kalau tak lain kecuali Indonesia. Menurut para analis
boleh dibilang tersebut, Indonesia merupakan satu-satunya
murah) dan harapan sumber minyak sawit masa depan
prasarananya karena cadangan lahannya ‘membuncah’,
mencukupi. iklimnya cocok, tenaga kerja terjangkau (kalau
tak boleh dibilang murah) dan prasarananya
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 59

mencukupi. Selain itu, Indonesia telah membuktikan diri mampu


menjadi pengelola kebun sawit komersial yang sukses dan memiliki
sejarah stabilitas politik dan ekonomi yang teruji.
Sejak beberapa tahun terakhir, sejumlah perusahaan perkebunan
besar dunia memang mulai merambah Afrika. Benua yang menjadi
tempat kelahiran tanaman kelapa sawit ini diharapkan dapat tujuan
ekspansi kebun setelah ladang di Malaysia sudah habis ditanami.
Pembukaan kebun baru di Indonesia pun melambat karena
menghadapi banyak hambatan perizinan.
Afrika agaknya memang menawarkan sejumlah harapan baru.
Studi Bank Dunia menyebut daerah Sub-Sahara Afrika masih
menyisakan sekitar 200 juta hektare lahan (sekitar 20 kali luas kebun
sawit di Indonesia) yang cocok untuk perkebunan. Catatan kantor
berita Reuters juga menunjukkan harga tanah di kawasan itu masih
tergolong murah, sekitar US$ 7.000 per hektare (Rp 7.000 per meter
persegi). Pemerintahan di sejumlah negara Afrika menawarkan sistem
sewa sampai puluhan tahun. Pemerintah Liberia, misalnya, awal
tahun 2010 meneken perjanjian sewa dengan berbagai perusahaan
investor kebun sawit.
Tak mengherankan jika sejumlah perusahaan perkebunan
ramai-ramai menyerbu Afrika. Sime Darby, misalnya, sejak 2009
mengembangkan kebun sawit seluas 220.000 hektare di Liberia.
Selain itu, pemilik konsesi kebun sawit terbesar dunia asal Malaysia itu
dikabarkan telah menyiapkan investasi senilai US$ 2,5 miliar untuk
membangun kebun seluas 300.000 hektare di Kamerun. Seperti tak
mau ketinggalan dengan pesaingnya, Golden Agri Resources, induk
perusahaan Sinar Mas yang terdaftar di bursa Singapura, tahun
2010 lalu juga mengumumkan perjanjian dengan perusahaan lokal
Liberia untuk mengembangkan kebun sawit seluas 125.000 hektare
(Reuters, 29 April 2011).
Daftar perusahaan perkebunan yang tengah berebut nasib di
Afrika masih dapat diperpanjang. Yang masuk dalam daftar antara
60 Raja Limbung

lain Olam International (Singapura) yang akan membangun 300.000


hektare kebun sawit dan karet di Gabon. Kemudian ada pula ZTE
Agribusiness (China) yang berambisi membangun satu juta hektare
kebun kelapa sawit di Kongo.
Peminat kebun sawit di Afrika bukan hanya perusahaan kelas
Asia tapi juga sejumlah raksasa multinasional dunia, mulai dari
Equatorial Palm Oil (Inggris), Herakles Farm (AS), Friel Green
(Jerman), SIAT (Belgia), Feronia (Kanada), Eni (Italia). Bahkan
Unilever selama ini menjadi konsumen terbesar kelapa sawit, juga
telah mengembangkan dua kebun sawit besar di Ghana. Belakangan,
dengan alasan ingin lebih fokus kepada bisnis inti (pabrikasi), usaha
kebun ini dijual Unilever kepada Wilmar Internasional (Singapura).
Hanya saja, ada catatan yang mesti jadi perhatian. Ternyata
upaya ekspansi ke ‘kempung halaman’ tanaman kelapa sawit ini tak
banyak membuahkan hasil. Afrika bukan tempat yang ramah bagi
‘anaknya’ sendiri. Data Food and Agricultural Organization (FAO)
menunjukkan kebun kelapa sawit di Nigeria, produsen kelapa sawit
terbesar di Afrika, hanya mampu menghasilkan dua ton tandan buah
segar (TBS) per hektare per tahun atau sekitar sepertiga dari kebun
di Indonesia.
Ada beberapa sebab. Menurut catatan FAO miskinnya
produktivitas kebun sawit di Afrika disebabkan karena kualitas
bibit yang rendah. Selain itu, musim kering yang sangat panjang
yang membuat kelapa sawit yang selalu kehausan itu kekurangan
air. “Afrika bukan tanah impian untuk kelapa sawit,” kata Gert
Vandersmissen, Direktur Operasi Siat Group (Belgia) yang beroperasi
di Gabon kepada Reuters, 29 April 2011. “Kami sudah berada di sini
30 tahun, untungnya sangat kecil, ongkosnya mahal,” lanjutnya.
Karena itu, tak bisa tidak, satu-satunya tambatan harapan
adalah Indonesia, negara yang menurut klaim Badan Pertanahan
Nasional memiliki sembilan juta hektare ’tanah terlantar’ yang siap
dikembangkan menjadi kebun produktif. Sebuah klaim yang layak
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 61

diuji validitasnya, mengingat data kepemilikan lahan dan perizinan


yang tumpang-tindih.
Pengembangan kebun sawit di Indonesia terbukti jauh lebih
menguntungkan ketimbang di Afrika. Menurut survey kantor berita
Reuters, rata-rata biaya produksi CPO di Asia Tenggara mencapai
US$ 300 per ton. Sementara itu, di Indonesia, dengan ongkos buruh
dan biaya tanah yang murah, biaya produksi bisa ditekan hingga US$
250 per ton (Departemen Pertanian Amerika Serikat: Commodity
Intelligence Report, 8 Oktober 2010). Dengan harga rata-rata US$
800, maka tingkat keuntungan bisnis dari industri minyak sawit
pada 2010, misalnya, mencapai US$ 500 per ton. Bayangkan, berapa
keuntungan yang bisa ditarik seluruh pengusaha sawit nasional
(termasuk para petani), dengan total produksi hingga 22 juta ton
CPO pada 2010.
Barangkali itu sebabnya, selama 40 tahun, terutama periode
seperempat bagian yang terakhir, perluasan kebun sawit di Indonesia
melaju dahsyat. Kecepatannya amat mengerikan. Antara 1967 -
2000, kebun sawit di Indonesia meluas hingga 15 kali lipat, dari
2.000 kilometer persegi menjadi 30.000 kilometer persegi (tiga
juta hektare). Sebelum 2000, rezeki sawit memang masih kalah
berkilau dari rezeki kayu logging, legal maupun illegal. Namun
setelah pemerintah menggelar operasi besar-besaran illegal logging –
dan hutan yang bisa dibabat makin sulit ditemukan— kebun sawit
mulai mendapat perhatian ekstra. Dalam sepuluh tahun terakhir,
luas kebun sawit telah melebar lagi tiga kali lipat hingga menjadi
10 juta hektare – atau setara dengan luas negara Korea Selatan atau
Portugal, atau sepertiga dari luas seluruh negara Malaysia.
Angka luas kebun sawit memang terus menjadi bahan kontroversi.
Angka resmi Direktorat Jendral Perkebunan Departemen Pertanian
hanya menyebut luas 7,8 juta hektare. Taksiran analis di Departemen
Pertanian Amerika Serikat menyebutkan luas kebun sawit yang telah
dibuka di Indonesia hingga 2010 memang hanya 7,7 juta hektare.
62 Raja Limbung

Tapi selain itu, masih ada sekitar 6,5 - 7


Rencananya, juta hektare lagi izin usaha kebun sawit
hingga 2015 yang telah diterbitkan tapi belum dibuka.
pemerintah Sejumlah LSM yang mengumpukan data
menargetkan dari dinas perkebunan di setiap daerah
tambahan seluas sampai pada angka yang lain: luas kebun
empat juta hektar sawit Indonesia pada 2010 mendekati
lagi, khusus angka 10 juta hektare.
untuk produksi
Luas kebun sawit yang dahsyat itu
biodisel saja. Ini
masih akan terus ditambah. Pemerintah
belum seberapa
pernah menyatakan bahwa dari survei
dibandingkan
disimpulkan bahwa lahan yang cocok
dengan target
untuk kebun kelapa sawit mencapai 24,5
ekspansi yang
juta hektare. Rencananya, hingga 2015
dicanangkan
pemerintah menargetkan tambahan
daerah.
seluas empat juta hektare lagi, khusus
untuk produksi biodisel saja. Ini belum
seberapa dibandingkan dengan target
ekspansi yang dicanangkan daerah. Seluruh datanya dikumpulkan,
seluruh provinsi di Indonesia menargetkan perluasan kebun sawit
hingga 20 juta hektare, 80 persen di antaranya di Sumatera dan
Kalimantan. Provinsi Riau saja, misalnya, menargetkan perluasan
hingga tiga juga hektare.
Salah satu propinsi yang paling hot mengembangkan kebun
kelapa sawit adalah Kalimantan Barat. Dari 337 perusahaan
perkebunan besar yang beroperasi di wilayah ini, 325 perushaan di
antaranya mengembangkan kebun sawit. Pejabat Dinas Perkebunan
Provinsi Kalimantan Barat menyatakan wilayah ini memang cocok
untuk pengembangan sawit karena curah hujan yang tinggi. Menurut
pejabat yang tak mau disebut namanya terang-terangan ini, semua
investasi kebun besar yang masuk ke Kalbar, hanya mau menanam
sawit. “Tidak ada yang mau tanam karet karena curah hujan di Kalbar
terlalu tinggi untuk karet. Jika curah hujan terlampau tinggi, hari
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 63

panen jadi berkurang dan karet gampang terjangkit jamur putih,”


katanya.
Menurut Peraturan Daerah No 5 tahun 2004 tentang Rencana
Tata Ruang dan Wilayah Kalbar, dari wilayah provinsi seluas 14,7 juta
hektare itu, sekitar 42 persen (6,1 juta hektare) ditetapkan sebagai
kawasan pertanian lahan kering. Dari jumlah tersebut, 3,5 juta
hektare di antaranya dicadangkan untuk lahan perkebunan, dengan
komposisi: kebun sawit 1,5 juta hektare, karet 1,2 juta hektare,
kelapa 300 ribu hektare dan sisanya untuk perkebunan lada, kakao,
kopi, tebu, pinang, jarak pagar, cengkeh. Namun nyatanya, luas
kebun sawit di Kalbar sudah jauh melampaui kuota yang ditetapkan.
Data Dinas Perkebunan Kalbar menunjukan, hingga awal 2010, izin
pengembangan kebun sawit yang telah diterbitkan mencapai, aneh
bin ajaib, mencapai 3,6 juta ha -- lebih dari dua kali lipat dari jatah
Tata Ruang. Dan dari jumlah ini tak sampai 600.000 hektare yang
sudah mengantungi sertifikat Hak Guna Usaha.
Di Kabupaten Ketapang, misalnya, jatah lahan untuk
pengembangan kebun sawit sampai 2025 di Ketapang hanyalah 305.00
hektare. Tapi sampai 2009, izin kebun sawit yang telah diterbitkan di
kabupetan ini luar biasa: 1.081.000 ha. Di Kabupaten Landak juyga
setali tiga uang. Jatah kebun sawit sampai 2025 hanya 142.000 ha,
tapi sampai akhir 2009, izin yang sudah diterbitkan telah mencapai
496.000 (empat kali lipat).
Ekspansi kebun besar-besaran untuk memenuhi tuntutan
permintaan yang terus menguat, bukanlah hal yang istimewa. Perluasan
kebun kelapa sawit bukan satu-satunya. Dulu, setengah abad lalu,
ketika minyak kedelai sedang naik daun, Brasil dan Amerika Serikat
juga ngebut membuka lahan untuk kebun kedelai. Selama 60 tahun
dari 1940-2000, luas kebun kedelai di Brasil bertambah puluhan ribu
kali lipat dari 700 hektare menjadi 18 juta hektare.
Kini, kebun kedelai di Brasil, Amerika Serikat, Argentina dan
China sudah mencapai lebih dari 80 juta hektare – atau lebih dari
64 Raja Limbung

empat kali lipat luas kebun kelapa sawit di seluruh dunia. Dalam
sepuluh tahun terakhir, kebun kedelai di Brasil saja terus masih
merangkak naik dari 18 juta hektare menjadi 24 juta hektare. Ini
merupakan tingkat pembukaan kebun yang tak kalah masif dengan
kelapa sawit di Indonesia.
Namun, perluasaan yang membabi buta seperti itu menimbulkan
tanda tanya besar: di mana kebun-kebun itu dibangun? Di tanah
negara? Di lahan bekas hutan yang memang dicadangkan untuk
konversi?
Tahun 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meluncurkan
megaproyek Kalimantan Border Oil Palm: pembangunan kebun
kelapa sawit raksasa seluas 1,8 juta hektare yang akan memagari
perbatasan Indonesia dengan Malaysia dan Brunei. Untunglah,
setahun kemudian, proyek yang menerabas sejumlah wilayah taman
nasional ini ‘dijadwalkan’ kembali – namun sejumlah selentingan
mengabarkan pemerintah belum menghapuskan sama sekali rencana
tersebut.
Di luar kawasan pencadangan yang bermasalah itu, pembangunan
kebun sawit di Indonesia agaknya harus berhadapan dengan tanah-
tanah yang telah memiliki ’status’ – entah itu tanah milik petani,
milik masyarakat adat, atau lahan bekas kawasan hutan. Tak jarang,
kebun-kebun baru itu harus dibangun dengan sejumlah konflik
tanah yang meletup belakangan dan memakan korban (Baca: Berebut
’Sepetak’ Tanah Demi Minyak Sawit Mentah).

Raja Yang Lumpuh


Sejauh ini, sebagian besar minyak kelapa sawit dijual ke luar negeri
dalam bentuk CPO, hanya sebagian kecil saja yang diekspor sebagai
produk olahan lanjutan (minyak goreng atau bahan baku oleokimia).
Data rata-rata ekspor dari 2005-2007 menunjukkan 55 persen
produk kelapa sawit diekspor dalam bentuk CPO, hanya 45 persen
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 65
66 Raja Limbung

yang merupakan produk olahan. Sebagai


“… rendahnya perbandingan, Malaysia mengekspor
produktivitas tiga dari setiap empat ton minyak kelapa
juga disebabkan sawitnya dalam bentuk produk olahan,
karena kualitas hanya satu ton yang masih dalam bentuk
kebun kita minyak sawit mentah CPO.
payah. Sebagian Ekspor dalam bentuk produk
besar kebun kita olahan bukan sekadar menjanjikan ‘nilai
tak dibangun dan tambah’. Lebih dari itu juga menjamin
dirawat dengan ketahanan pasar. Harga produk olahan
memenuhi cenderung lebih tahan goncangan
tuntutan kultur ketimbang bahan mentah seperti CPO.
teknis yang Basis pasar produk olahan lebih luas
semestinya.” ketimbang pasar CPO, yang terbatas
pada beberapa industri tertentu.
Sesungguhnya, ekspor dalam
bentuk barang mentah atau setengah-jadi merupakan persoalan
klasik komoditas perkebunan kita, bukan hanya kelapa sawit.
Negeri ini masih dimanjakan alam, merasa cukup hanya dengan
menjual komoditas mentah yang miskin nilai tambah. Karet alam,
misalnya, dijual dalam bentuk barang setengah jadi yang disebut
RSS (ribbed smoke sheet) atau standard indonesian rubber (SIR). Hanya
sebagian kecil (kurang dari 30 persen) yang diolah dan diekspor
sebagai ban kendaraan atau peralatan rumah tangga. Begitu juga
kopi, teh maupun bijih cokelat. Barangkali hanya perkebunan tebu
yang menjual barang jadi (yaitu refine sugar, gula putih), tapi itu pun
hanya untuk pasar lokal.
Sebagai produsen barang setengah jadi, perusahaan perkebunan,
termasuk kelapa sawit, tak punya cukup ruang untuk mengembangkan
pasar. Tanpa memasuki area penghasil end product, maka diferensiasi
produk terbatas hanya itu-itu saja. Yang bisa diusahakan, paling
banter, hanyalah menjaga agar produk kelapa sawit tetap berada di
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 67

kelas mutu terbaik sehingga harganya tidak anjlok.


CPO, misalnya, harus dijaga agar kandungan asam lemak bebas
di bawah lima persen agar tetap diterima panitia lelang. Lantaran
jurus diferensiasi dan segmentasi tak mungkin digunakan, strategi
untuk memenangkan persaingan hanya bisa dilakukan melalui
siasat pengendalian harga. Perusahaan kelapa sawit harus mati-
matian menekan harga pokok, mengorbankan kesejahteraan buruh
dan penghormatan pada hak milik komunitas adat, agar tetap bisa
bersaing di pasar internasional.
Uniknya, dalam usaha perkebunan, ’harga pokok’ tak begitu
saja bisa dipangkas karena ada norma-norma teknis yang musti
dipenuhi. Pemberian pupuk, misalnya, harus tetap taat dosis (taat
jumlah, waktu, dan cara pemberian), tak boleh dihemat atau disunat
meskipun harga pasar lagi jeblok. Penyiraman, pembersihan gulma
dan perawatan lain juga musti dikerjakan sesuai prosedur, kendati
panen buruk. Artinya, mau panen atau tidak, mau harga baik atau
anjlok; ongkos pupuk, biaya pemeliharaan (termasuk gaji pekerja)
harus tetap dibayar. Dengan kata lain: usaha perkebunan kelapa
sawit, sebagaimana usaha perkebunan lain di dunia, didominasi
beban biaya tetap (fixed cost) yang lumayan besar.
Dengan karakter fixed cost yang dominan, ikhtiar menekan harga
pokok hanya bisa dicapai melalui peningkatan produktivitas, sambil
tetap menjaga agar kualitas produk tidak melorot. Jika produktivitas
naik, biaya per unit produk lebih murah sehingga perusahaan
memiliki peluang memenangkan pertarungan pasar.
Nah, justru di situlah persoalan sawit Indonesia. Meskipun angka
produksi sudah menapat gelar ‘juara dunia’ tapi dari sisi produktivitas
(kemampuan menghasilkan produk per satuan lahan) masih jauh di
bawah Malaysia. Indonesia mencetak 22 juta ton CPO dari 10 juta
hektare kebun sawit (alias 2,2 ton CPO per hektare), sedangkan
Malaysia mencetak 18 juta ton dari hanya sekitar 4 juta hektare (4,5
ton CPO per hektare). Kebun terbaik di Malaysia dilaporkan dapat
68 Raja Limbung

menghasilkan delapan ton CPO per hektare per tahun, sedangkan


kebun terbaik Indonesia hanya mencetak enam ton CPO per hektare
per tahun.
Meskipun, tanah kita subur –hingga, seperti kata kelompok
musik Koes Ploes, tongkat kayu pun bisa jadi tanaman-- sumber
air dan sinar matahari melimpah ruah, sepanjang kita tak berhasil
mendorngkrak produktivtas, kita tidak mungkin dapat bersaing
dengan minyak sawit luar negeri. Meskipun total produksi minyak
sawit kita nomor satu di dunia, Indonesia seperti raja yang lumpuh
karena tak bisa ikut berperang menentukan harga dan memainkan
pasokan.
Rendahnya produktivitas kebun kita disebabkan oleh banyak
hal, salah satunya karena karena mayoritas kebun sawit di Indonesia
masih berusia muda. Ekspansi kebun secara besar-besaran baru
dilakukan dalam 15-10 tahun terakhir. Artinya, meskipun telah
dipanen, sebagian besar kebun Indonesia belum memasuki ‘usia paling
produktif’ yakni 10-20 tahun -- usia ketika kelapa sawit memberikan
panen terbaik. Analis USDA bahkan menaksir seperempat dari
kebun sawit Indonesia (sekitar 1,75 juta hektare) belum memasuki
usia ‘dewasa’.
Selain itu, rendahnya produktivitas juga disebabkan karena
kualitas kebun kita payah. Sebagian besar kebun kita tak dibangun
dan dirawat dengan memenuhi tuntutan kultur teknis yang
semestinya. Sebagian besar kebun kelapa sawit, terutama kebun
milik petani mandiri, dibangun dengan bibit yang belakangan
terbukti tidak menghasilkan buah. Atau pun jika menghasilkan
buah, rendemennya sangat kecil (bibit dura). Satu-satunya cara untuk
mendongkark produktivtas saat ini adalah membongkar tanaman
lama yang tak produktif dan menggantikannya dengan yang baru
alias diremajakan.
Namun persoalannya, peremajaan besar-besaran membutuhkan
biaya tak sedikit. Untuk menanam kembali satu hektare kelapa
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 69

sawit dan merawatnya hingga bisa menghasilkan dibutuhkan biaya


sedikitnya Rp 75 juta tiap hektare. Jika kebun sawit Indonesia
diremajakan sepertiganya saja, kebutuhan dana investasinya bisa
mencapai angka kolosal: Rp 150 triliun.
Pemerintah bukan tak mendorong tumbuhnya industri hilir –
agar daya saing kita tak hanya terletak pada produktivitas kebun,
tapi juga diferensiasi produk dan segementasi pasar. Sejak 2011
pemerintah memberi insentif dengan menerbitkan aturan tarif
pajak ekspor baru: ekspor CPO dikenai tarif maksimal 25 persen,
sedangkan produk olahan hanya lima persen. Menurut Direktur
Jendral Industri Pertanian dan Kimia, Departemen Perindustrian
Benny Wachjudi aturan ini akan efektif tahun 2013 ketika ekspor
industri hilir minyak sawit ditargetkan mencapai 70 persen dari
seluruh ekspor produk sawit.
Kebijakan pajak progresif ini ditentang Gapki (Gabungan
Petani Kelapa Sawit Indonesia) melalui ketuanya Fadhil Hasan. “Itu
melemahkan daya saing kita, sekaligus mergikan petani,” katanya
kepada Jakarta Post, 25 Juni 2011. Menurut Fadhil pajak progresif
terbukti gagal mendorong tumbuhnya industri hilir sawit maupun
menstabilkan harga di pasar domestik. Ia memberi contoh, pada
1998-1999 pajak ekspor CPO pernah mencapai puncak tarif 60
persen, toh gagal mendorong industri hilir. Kenaikan tarif pajak
eskpor selama ini, menurut Fadhil, malah menyuburkan praktik
penyelundupan.

Raja yang Limbung


Pada awal pengembangannya (antara 1960-1980), kebun sawit
Indonesia lebih banyak dikelola Badan Usaha Milik Negara (baca
: Riwayat Pengembangan Sawit di Negeri Pulau Kelapa). Namun
beberapa tahun belakangan, perusahaan besar swasta mengambil
alih posisi tersebut. Data Direktorat Jendral Pekebunan menyebut
70 Raja Limbung
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 71

dari 7,8 juta hektare luas kebun sawit nasional, separuhnya (3,9 juta
hektare) dimiliki perusahaan besar. Urutan kedua ditempati kebun
rakyat yang menguasai 3,3 juta hektare (42 persen) kebun sawit, dan
sisanya, dimiliki BUMN.
Masalahnya, data pengusaan kebun sawit tak menggambarkan
kekuatan ekonomi para pemainnya. Meskipun menguasai kebun
dalam jumlah kolosal (42 persen), nasib petani sawit masih sangat
bergantung kepada perusahaan besar atau pemilik pabrik pengolahan.
Berbeda dengan petani karet, petani sawit tak sepenuhnya dapat
menikmati kenaikan harga dan permintaan pasar internasional.
Berbeda dengan biji kopi atau getah karet yang dapat diolah
kapan saja, awet disimpan bahkan dalam tempo berbulan-bulan atau
bertahun-tahun, sawit memerlukan pengolahan yang cepat. Dalam
tempo 24 jam setelah dipanen, buah kelapa sawit harus segera diolah
agar kandungan minyaknya (rendemen) tak merosot.
Selain itu, menyimpan buah sawit akan meningkatkan konsentrasi
asam lemak bebas (ALB). Minyak CPO dengan kandungan ALB
lebih dari lima persen lazimnya akan ditolak pasar lelang, dan harus
dijual ke pasar bebas. Siap-siap saja harganya akan jeblok. Aturan
umum yang berlaku saat ini: buah sawit tak boleh menginap, harus
diproses paling lambat 24 jam setelah dipanen.
Rule of thumb ini melahirkan serentetan persoalan yang tidak
mudah diatasi oleh petani kecil. Pertama, pabrik pengolahan harus
dibangun tidak jauh dari kantong-kantong perkebunan. Masalahnya,
investasi pabrik pengolahan kelapa sawit sangat mahal – umumnya
tidak terjangkau kantung petani. Satu pabrik pengolahan kecil
dengan kapasitas pengolahan 30 ton tandan buah segar (TBS) per
jam memerlukan investasi lebih dari Rp 300 miliar. Belum lagi, untuk
memasok kebutuhan bahan baku bagi pabrik sekecil itu, diperlukan
kebun sawit antara 6.000 – 9.000 hektare. Berapa banyak petani
harus disatukan untuk mendapatkan kebun seluas itu?
72 Raja Limbung

Saat ini memang berkembang sejumlah pabrik rakitan, dalam


skala supermini. Sejumlah perusahaan permesinan menawarkan
pabrik pengolahan sawit dengan kapasitas hanya satu ton TBS per
jam. Namun, nilai investasi untuk produksi supermini masih terbilang
elit atau kelas atas: paling kurang Rp 2 miliar, dan memerlukan
pasokan bahan baku dari kebun paling kecil 300 hektare.
Itung-itungan ini menunjukkan bahwa pengembangan sawit
secara mandiri hampir mustahil dilakukan oleh ‘petani biasa’.
Menurut Suez salah seorang petani sawit mandiri yang cukup sukses
di Kabupaten Sanggau, Kalbar, ada dua syarat utama agar petani
sawit berhasil. Pertama, memiliki lahan minimal tujuh hektare, dan
kedua: ladangnya dekat dengan jalan besar yang bisa dilalui truk
pengangkut tadan. “Kalau jauh dari jalan, lupakan saja,” kata Suez,
“Habis duit kita untuk membayar biaya angkutan.”
Suez memulai ‘karier’ sebagai petani mandiri pada 2004 mulai
tanam mandiri. Meskipun pada tahun 2007 sejumlah pokok sawitnya
sudah bisa dipanen, hingga tahun 2009 Suez mengaku belum bisa
menikmati uang sawit. “Hasil panen habis untuk menutup biaya
perawatan,” katanya. Pada tahun keempat, Suez harus membayar
sejumlah pengeluaran besar: membeli pupuk, membayar ongkos
tenaga kerja untuk merawat kebun dan membeli racun rumput.
Tahun kelima, ketika panen sudah lumayan pun, hasilnya belum
bisa dinikmati karena Suez harus mulai membangun jaringan jalan
di dalam area kebun. “Jadi sampai sekarang belum ada hasilnya,”
katanya.
Bab 3

Riwayat Elaeis
di Kepulauan
Kelapa
74 Raja Limbung
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 75

Bab 3
Riwayat Elaeis
di Kepulauan Kelapa

Kelapa sawit, Elaeis guineensis, masuk ke Hindia Belanda pada 1869.


Produksinya baru benar-benar digenjot dalam empat dekade terakhir ini.
Siapa yang menikmati gurihnya?

Saat ini Indonesia adalah produsen sekaligus pengekspor minyak


kelapa sawit mentah terbesar di dunia. Pada 2010, minyak sebanyak
22 juta ton dihasilkan dari kebun seluas 7,8 juta hektare (ha) yang
tersebar di 22 provinsi di Tanah Air. Dari produksi ini, sebanyak
17,1 juta ton (48 persen produksi dunia) diekspor dan menghasilkan
devisa sekitar US$ 14,1 miliar. Melihat angka-angka ini, mungkin
sulit dipercaya bahwa kelapa sawit pernah berpuluh tahun dipandang
sebelah mata.
Kelapa sawit didatangkan pada 1869 oleh maskapai dagang
Belanda Vereneging Ost Indische Compagnie (VOC) dari Afrika,
tepatnya Bourbon, Mauritania. VOC atau Kompeni tampaknya
“bosan” jika hanya memperdagangkan rempah-rempah Nusantara
ke Eropa. Secara bertahap VOC membawa beberapa tanaman luar
untuk dibudidayakan di Hindia: teh, kopi, tebu, kelapa sawit, dan
masih banyak lagi. Niatan utama VOC tentunya menggemukkan
pundi-pundinya sendiri, dan budidaya tanaman impor itu pun
kebanyakan melalui tanam paksa, tapi satu hal yang tak bisa
76 Raja Limbung

dimungkiri adalah betapa kerasannya semua tanaman pendatang ini


di rumah baru mereka.
VOC membawa empat bibit kelapa sawit ke Hindia. Begitu tiba
di Jawa, bibit-bibit ini ditanam di Kebun Raya Bogor. Mereka inilah
yang selanjutnya menjadi leluhur seluruh tanaman kelapa sawit yang
sekarang tegak di Indonesia dan Malaysia.

Masa Kolonial
Menjelang akhir abad ke-19, VOC mengubah haluan bisnis mereka.
Ia ingin menjadi korporasi besar penghasil tanaman komersial
dunia. Perubahan strategi ini kemudian dituangkan dalam Undang-
Undang Agraria (Agrarische wet) pada 1870 yang menandai mulainya
era perkebunan di Hindia Belanda.
Sejatinya, kelapa sawit sudah langsung ditanam pada tahun
kedatangannya di Muara Enim, lalu dilanjutkan di Musi Hulu setahun
berikutnya, dan di Belitung pada 1890. Hanya saja, perkembangannya
seret karena para pemilik kebun malas-malasan
“Karena menggarapnya. Kelapa sawit dinilai tak cukup
perkebunan di menguntungkan di zaman itu. Bisa dimaklumi
Sumatra sulit karena saat itu sawit memang masih asing.
mendapatkan Gampangnya, kalau yang dicari sekadar minyak
tenaga bakal penggoreng lauk, di Nusantara sudah
penggarap, tersedia jutaan kelapa. Untuk apa mengandalkan
ratusan ribu tanaman baru yang buahnya tak menarik?
orang dari Namun, pemerintah kolonial tak putus
Jawa, Bali, asa. Pada tahun-tahun berikutnya mereka terus
Nusa Tenggara membantu penanaman sawit di sepanjang
didatangkan. Pantai Timur Sumatera. Awalnya kebun-
Mereka inilah kebun dimiliki oleh perseorangan. Tapi, para
yang kemudian pemilik tak sanggup memegangnya lebih lama
dikenal sebagai karena harga produk perkebunan yang selalu
kuli kontrak.” melonjak naik turun. Modal mereka terlalu
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 77

Buah kelapa sawit setelah penyerbukan buatan, De Indische Bodem, 1926


78 Raja Limbung

cekak untuk mengatasi situasi ini sehingga kebun-kebun berpindah


tangan ke perkebunan besar yang didukung pendanaannya oleh
bank-bank di Eropa.
Bisa dibilang, pengusahaan kelapa sawit secara komersial benar-
benar baru dilakukan pada 1911 di Sungai Liput, Aceh, dan Pulu
Radja, Asahan. Pengelolanya seorang Belgia bernama Hallet, yang
layak mendapatkan sebutan Bapak Industri Kelapa Sawit di Indonesia.
Kebun di Aceh berada di bawah perusahaan Sungai Liput Cuultur
Maatschappij sementara yang di Sumatera Utara dijalankan oleh
Huilleries de Sumatera-RCMA.
Selain dua kebun tersebut, selanjutnya berdiri juga beberapa
perusahaan perkebunan lain di Sumatra seperti Oliepalmen Cultuur
di Tanah Itam Ulu, Seumadam Cuultur Maatschappij, Palmbolmen
Cuultur Maatschappij di Tanjung Genteng, Medang Ara Cuultur
Maatschappij, dan Huilleries de Deli. Selanjutnya, Pantai Timur
Sumatera, utamanya Deli menjadi sentra produksi.
Hindia Belanda pun menjadi pemain dan eksportir minyak sawit
mentah terbesar di dunia. Kapal-kapal tak berhenti mengangkut
minyak dari Aceh, Asahan, Lampung dan Malaka (Malaysia) menuju
Rotterdam, Belanda. Kala itu, konsumen terbesar adalah pabrik-
pabrik margarin dan sabun di Eropa.
Terus naiknya permintaan minyak kelapa sawit ditandai dengan
bertambahnya jumlah perkebunan dari tahun ke tahun. Bila pada
1925 hanya tercatat 10 perkebunan Hindia Belanda, pada 1940
jumlahnya sudah mencapai 64. Karena perkebunan di Sumatra sulit
mendapatkan tenaga penggarap, ratusan ribu orang dari Jawa, Bali,
Nusa Tenggara didatangkan. Mereka inilah yang kemudian dikenal
sebagai kuli kontrak.
Masuknya Jepang ke Hindia Belanda pada 1941 adalah awal
masa merana perkebunan. Jepang sempat mendirikan Noyen Renggo
Kai (NRK) yang berpusat di Medan sebagai pengelola seluruh
perkebunan di pesisir timur Sumatera.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 79

Kemudian, peran pengatur diserahkan ke Shonan Gomu


Kumiai yang berkantor di Singapura. Saat itu, hasil kebun seperti
minyak sawit dan karet dikirim ke Jepang sebagai bahan industri
perang. Tapi, pengiriman dengan cepat surut karena kapal-kapal
pengangkut Jepang banyak yang ditembak musuh di perairan Selat
Malaka. Akibatnya hasil perkebunan menumpuk di gudang. Situasi
ini mendorong Jepang mengalihkan perhatiannya. Sejumlah besar
kebun sawit dibabat, diganti kebun tanaman pangan seperti padi
dan ganyong. Kebun-kebun lainnya dibiarkan tak terawat, terlantar,
dan kembali menjadi hutan.

Masa Awal Kemerdekaan dan Orde Lama


Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, nasib kebun sawit masih
tak menentu. Kebun yang kondisinya tak terawat diperebutkan
oleh sesama laskar. Pada 1947, tentara Belanda mengambil alih dan
kemudian menyerahkannya kembali kepada perusahaan-perusahaan
asing yang menjadi pemilik sebelum Perang Dunia II pecah. Namun,
kondisi kebun-kebun tersebut sebagian rusak berat. Dari 66 kebun,
hanya 44 yang bisa direhabilitasi. Sisanya, sekitar 10 persen dari areal
perkebunan juga diduduki rakyat setempat.
Pada 1957, nasionalisasi besar-besaran dilakukan pemerintah
Indonesia terhadap perusahaan-perusahaan asing, tak terkecuali
perusahaan perkebunan kelapa sawit. Langkah ini tak serta-merta
mendatangkan perbaikan pada industri kelapa sawit karena banyak
petani penggarap yang langsung meminta kebun menjadi hak milik
mereka. Pada saat yang bersamaan, marak pula gangguan dari
gerombolan-gerombolan bersenjata.
Maka, sejak awal kemerdekaan sampai berakhirnya Orde Lama,
praktis minyak yang didapat dari kebun kelapa sawit hanyalah
“beberapa tong”. Masa kejayaan minyak sawit yang dibawa dengan
kapal-kapal VOC menuju pelabuhan Rotterdam tinggal cerita lama.
80 Raja Limbung

Awal Penggenjotan Produksi


Pada 1970-an, pemerintah Orde Baru mulai merehabilitasi lahan-
lahan kelapa sawit. Perkebunan negara menjadi motor produksi.
Namun, perkembangan secara keseluruhan relatif statis. Tidak ada
penambahan lahan yang signifikan, sementara penggarapnya terbatas
pada perkebunan-pekebunan besar di Pulau Sumatera wilayah utara
dan sedikit di selatan. Perkebunan rakyat belum muncul sama sekali.
Kurang diliriknya perkebunan sawit tak lepas dari era
bonanza minyak bumi yang sempat dinikmati Indonesia pada
1970-an. Bahkan, sampai 1979 usaha kelapa sawit masih menjadi
usaha perkebunan-perkebunan besar. Kegiatan mereka praktis
merehabilitasi lahan lama, belum mencakup pengembangan lahan.
Pada 1979, luas perkebunan sawit di Indonesia sebesar 257 ribu
hektare, semuanya merupakan usaha perkebunan besar dengan 70
persennya di antaranya (atau 176 ribu hektare) milik perkebunan
negara. Luas kebun kelapa sawit masih kalah jauh dibandingkan
dengan karet (2.384 ribu hektare), kelapa (2,579 hektare), bahkan
juga kopi (624 ribu hektare) pada tahun yang sama.
Pada 1980, pengembangan kelapa sawit mulai menginjak gas
dengan dikembangkannya pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat) bukaan
baru dan PIR Lokal secara simultan di 12 provinsi. Proyek sebanyak
31 buah ini didanai oleh Bank Dunia melalui program Nucleus Estates
Smallholder (NES) sehingga kebijakan periode ini sering disebut
juga dengan PIR-NES. Dana untuk mendorong pembangunan di
pedalaman ini disalurkan Bank Dunia melalui BRI.
Prinsip PIR adalah kemitraan antara perkebunan besar dan
petani rakyat yang saling menguntungkan. PBN/PTP berperan
sebagai perusahaan inti sementara petani rakyat sebagai plasma
dengan kepemilikan lahan 2 hektare per kepala keluarga. Dengan
cara ini, diharapkan petani mempunyai kebun yang produktif
yang bisa membuat hidup mereka lebih sejahtera. Kebijakan ini
menjadikan luas kebun kelapa sawit menjadi 231.535 ha (terdiri atas
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 81

Pekerja berkerja di lahan pembibitan kelapa sawit milik Perusda Benuo Taka &
CV Tenera di Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur.
Sumber: TEMPO/ Lourentius
82 Raja Limbung

162.781 ha kebun plasma dan 67.754 ha kebun inti), hampir dua


kali lipat dibandingkan luas kebun yang ada sejak masa penjajahan
sampai 1969. Namun, laju pertambahan ini belum sesuai dengan
yang diharapkan. Rupanya, Perusahaan Negara (PN) Perkebunan
tak banyak bisa membebaskan lahan dan mendatangkan pekerja,
dua hal yang menjadi syarat utama usaha perkebunan.
Pada 1986, agar “sawitisasi” makin laju di daerah, pemerintah
menggabungkan proyek PIR-Bun dengan transmigrasi sehingga
lahirlah PIR-Trans pada 1986. “Merger” proyek ini terbukti dapat
menggenjot pembangunan kebun-kebun sawit baru, terutama di
Kalimantan (juga di sebagian Sumatera, kecuali Sumatera Utara
yang sejak zaman kolonial sudah memiliki tradisi berkebun sehingga
memiliki banyak petani mandiri). Proyek ini dilakukan di 11 provinsi
dengan 50 unit PIR-Trans, kebun yang dibuka seluas 566.346 ha
(kebun inti 167.702 ha, kebun plasma 398.644 ha). Jumlah ini hampir
dua kali lipat seri proyek PIR sebelumnya.
“Ironisnya, Dalam skema ini, yang didapuk sebagai inti
cara-cara adalah perusahaan perkebunan swasta.
“hajar dulu
urusan lain Pengadaan Lahan dan Bibit Konflik
belakangan”
Program PIR-Trans terbukti berhasil menambah
untuk
luas lahan kebun sawit di Indonesia. Tapi,
pengadaan
dari mana lahan ini sebetulnya didapatkan?
lahan seperti
Awalnya, perkebunan besar dengan dukungan
yang terjadi
penuh pemerintah membujuk para tetua adat
di Sembuluh
di daerah-daerah agar bersedia menyerahkan
menjadi modus
tanah ulayat yang dimiliki komunitas adat.
operandi
sebagian “Mulanya dibilang kepada bapak kami
perkebunan dulu, tanah kami dipinjam dengan Hak Guna
besar di Usaha (HGU) selama 20 tahun,” kata Jamal,
Indonesia.” penduduk Riau. “Tapi, setelah 20 tahun,
pemegang HGU bisa memperpanjang hak
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 83

guna usaha sampai 20-30 tahun lagi.” Jamal, yang bersaksi dalam
film dokumenter berjudul “Suara dari Perkebunan Sawit” itu tidak
sendirian. Ada ratusan, mungkin ribuan kisah serupa di seluruh
negeri, yang tertimbun gemerlap nilai nominal kebun sawit.
Warga lokal dijanjikan pekerjaan di perkebunan, dibangunkan
infrastuktur, dan sekian fasilitas lainnya. Bila bujukan tak mempan,
tekanan menyusul datang. Pada masa Orde Baru, ketika pemerintah
begitu berkuasa, para penolak pembukaan kebun segera saja dianggap
pembangkang, subversif, membahayakan pembangunan. Risikonya,
hidup yang bersangkutan tidak nyaman lagi, bahkan bisa terancam.
Sementara itu, dengan janji-janji pula pemerintah mengajak
warga di daerah miskin dan surplus tenaga kerja seperti di Jawa,
Bali, dan Nusa Tenggara menjadi pekerja di proyek PIR-Trans. Para
transmigran ini pun tak tahu-menahu dari mana asal-muasal tiap
kapling lahan (2 hektare) yang dijanjikan kepada mereka. “Kami tak
tahu kalau lahan yang diberikan kepada kami itu dulunya adalah
hutan, kebun, rumah, tempat tidur, atau kakus orang lain,” kata
Soeprapto, transmigran dari Jawa Tengah, yang sejak tahun 1980-an
menjadi petani sawit dan tinggal di Passer, Kalimantan Timur.
Dengan gebrakan dua arah ini, pemerintah dapat mengatasi
persoalan kelangkaan lahan dan tenaga kerja bagi proyek sawit.
Namun, jurus tipu-tipu dan pendekatan kekuasaan ini justru
melahirkan masalah baru, yaitu bibit-bibit konflik yang masih kuat
baranya sampai sekarang. Di mana-mana meletup sengketa antara
warga lokal dan peserta transmigrasi, antara pemilik tanah dan
pengelola kebun, antara transmigran dan orang perkebunan. Bahkan,
konflik juga melebar ke sesama warga lokal, karena ada yang pro dan
kontra dengan kehadiran kebun sawit.
Di kawasan Danau Sembuluh, Kabupaten Seruyan, Kalimantan
Tengah, misalnya, batas kepemilikan lahan selama puluhan tahun
sebelumnya bisa dikenali dengan tanaman yang berdiri di atasnya.
Keluarga A menanam karet sementara keluarga B menanam
buah-buahan, begitu yang aman sentosa terjadi selama berbilang
84 Raja Limbung

generasi. Batas-batas lahan saling dihormati meskipun tak ada bukti


kepemilikan hitam di atas putih, apalagi sertifikat HGU yang izinnya
mesti didapatkan dari berbagai instansi.
Kisah langsung berubah begitu kebun sawit dibuka secara masif
melalui program PIR-Trans Batas-batas menjadi kabur sehingga
salim klaim muncul berulang kali yang ujung-ujungnya adalah
bentrok sesama warga. Yang memprihatinkan, ketika warga sudah
saling bertikai, perusahaan swasta dengan enak main garap lahan
warga yang belum jelas proses ganti ruginya. “Konflik kepemilikan
seperti ini yang biasa kami advokasi di lapangan,” kata Eep Syaifulloh,
aktivis Sawit Watch.
Ironisnya, cara-cara “hajar dulu urusan lain belakangan” untuk
pengadaan lahan seperti yang terjadi di Sembuluh menjadi modus
operandi sebagian perkebunan besar di Indonesia.

Gelombang Deras Swasta


Selama 1977-1990, Perkebunan Besar Swasta (PBS) sudah melirik
sawit karena mereka beroleh fasilitas kredit PBSN (Perkebunan Besar
Swasta Nasional) I-III. Hanya saja, ketertarikan mereka belum total.
Mereka lebih tertarik kepada sumber ekonomi yang lebih basah,
yaitu pembalakan logging, legal maupun tak legal.
Banyak izin kebun sawit pada masa itu disalahgunakan pengusaha
swasta untuk membabat hutan. Meskipun demikian, menurut data
Direktorat Jenderal Perkebunan, pada 1990 luas kebun sawit secara
nasional sudah mencapai 1,126 juta ha (291 ribu ha perkebunan
rakyat, 372 ribu ha PBN, dan 463 ribu ha PBS).
Pada 1990-an, penebangan hutan di Indonesia mulai surut.
Pohon semakin jarang sementara desakan publik untuk penghentian
pembalakan liar pun semakin kencang. Swasta melihat lahan kosong
bekas hutan sebagai peluang. Bila sebelumnya swasta ibarat hanya
mencelupkan kaki, kini mereka ingin terjun total ke sektor sawit.
Hal ini tak lepas dari fakta bahwa hasil yang didapatkan PTPN
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 85

Fasilitas dan infrastruktur yang memadahi diperlukan dalam memanen tandan sawit
Sumber: Dok Sawit Watch
86 Raja Limbung

Perkebunan kelapa sawit, Wotu, Luwu Timur, Sulawesi Selatan.


Sumber: TEMPO/ Tommy Satria
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 87

melalui sawit terbukti cukup menggiurkan.


Maka, hektare demi hektare lahan pun dibuka. Selama 1990-
1997, setiap tahun rata-rata terjadi penambahan luas areal tanam 200
ribu hektare, sebagian besar terjadi pada perkebunan swasta. Para
pemain besar di industri ini adalah Astra Agro Lestari, Asian Agri,
SMART, Bakrie Sumatera Plantation, London Sumatra Indonesia
(Lonsum), dan Indo Agri. Di samping mereka, masih banyak lagi
perusahaan lain yang lebih kecil kapasitas pabriknya.
Pada 1997, luas kebun sawit secara keseluruhan mencapai 2,5
juta hektare. Seperti yang sudah-sudah, lahan yang dipakai pun
sebagian diperoleh dengan cara-cara yang kurang terpuji, yang
umum adalah penyerobotan tanah warga.
Namun, minat swasta nasional deras ini direm krisis keuangan
pada 1997. Sejumlah grup besar yang mulai merintis usaha sawit
seperti Indofood (melalui Bintang Menado Oil dan Salim Ivomas),
Bakrie (Sumatra Plantation), Lonsum, dan Astra kolaps. Nilai utang
valas membengkak dan bank pendukung mereka seperti Bank BCA,
Perniagaan, dan Universal diambil alih pemerintah.
Tahun 1997 juga menandai awal masuknya investor Malaysia
di sektor kelapa sawit Indonesia. Mereka masuk dengan membuka
kebun baru maupun mengakuisisi perkebunan yang ada. Masuknya
pengusaha Malaysia disambut oleh pengusaha Indonesia sebagai
jurus bertahan hidup. Salim Group, misalnya, melepas kebun
sawitnya sebagai bagian dari setoran aset kepada BPPN yang telah
menyehatkan BCA. Kebun ini kemudian dibeli oleh kelompok usaha
asal Malaysia Kumpulan Guthrie. Bakrie dan Astra juga terpaksa
menggandeng perusahaan dari Malaysia agar usaha kebun sawitnya
tidak mandek.
Sejak saat itu, dimulailah era merajanya kebun-kebun Malaysia di
tanah Indonesia. Selain Kumpulan Guthrie, dari Malaysia juga muncul
Golden Hope (belakangan merger dengan Guthrie membentuk Sime
Darby) dan IOI milik sejumlah petinggi politik Malaysia.
88 Raja Limbung

Pada 2004, misalnya, pengusaha Malaysia Robert Kuok Hock-


Nien membeli sebagian besar saham PT Pan London Sumatera
Plantation, perusahaan yang menguasai 20,94 persen saham PT PP
London Sumatera Tbk. (Lonsum). Kuok mengakuisisi saham Pan
London Sumatera Plantation milik Andre Pribadi, adik dari pemilik
Grup Napan, Henry Pribadi. Era ini diikuti masuknya sejumlah
perkebunan asing, seperti CDC (Inggris), Wilmar dan Cargill
(Amerika Serikat) serta sejumlah perusahaan Belgia.
Gencarnya investor asing masuk tak lepas dari diterbitkannya
UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Peraturan
Presiden RI No. 111 tahun 2007 yang salah satu isi utamanya adalah
pasal-pasal yang mengatur kelonggaran kepemilikan asing sampai
95 persen. Bukan itu saja, dalam Pasal 22 UU ini, pengusaha asing
juga dapat mengajukan Hak Guna Usaha sampai 95 tahun sekaligus.
Beberapa LSM selanjutnya mengajukan Uji Materi atas undang-
undang yang kontroversial tersebut ke Mahkamah Konsitusi.
Akhirnya, Mahkamah Konstitusi mencabut Pasal 22 yang mengatur
HGU, tapi aturan kepemilikan modal asing sampai 95 persen masih
dipertahankan.
Seiring waktu, komposisi kepemilikan perkebunan besar swasta
nasional maupun asing berubah-ubah karena ada akuisisi, tukar
guling, dan sejenisnya. Namun, yang pasti, saat ini perkebunan sawit
milik asing (PMA) hampir sama luasnya dengan kebun sawit milik
perusahaan besar nasional.

Nasib Kebun Rakyat


Pada 2006 Indonesia berhasil menyalip Malaysia sebagai produsen
minyak kelapa sawit Pada 2006 Indonesia berhasil menyalip Malaysia
sebagai produsen minyak kelapa sawit mentah dunia. Sejak saat itu,
posisi Indonesia tak tergoyahkan. Namun, apakah hal ini berdampak
pada kesejahteraan petani rakyat?
Sesungguhnya, seiring makin banyaknya lahan dibuka di banyak
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 89

tempat, petani juga mendapatkan kesempatan mengembangkan


kebun plasmanya. Dana pengembangan kebun bisa didapatkan
melalui Koperasi Primer untuk Para Anggotanya (KPPA) pada 1996.
Pola ini memang mendorong pertumbuhan kebun sawit rakyat, tapi
lajunya kalah jauh dibandingkan pertumbuhan perusahaan besar
swasta.
Karena keterbatasan modal, teknologi dan akses pasar, jarang
ada petani yang dapat membangun kebun sawit secara mandiri.
Masyarakat dan peladang tradisional juga belum mengembangkan
kebun sawit karena komoditas ini perlu investasi besar. Berbeda
dengan karet, sawit harus ditanam secara masal dan butuh pabrik
pengolahan karena buahnya cepat rusak. Tandan sawit yang musti
cepat diolah membutuhkan jaringan transportasi hingga ke pelosok
kebun.
Ringkasnya, sawit memerlukan pabrik di dekat kebun. Kerumitan
tak berhenti sampai di sini. Sebuah pabrik
pengolah minyak sawit mentah kecil, dengan
kapasitas 30 ton TBS (tandan buah segar)/ “Ketika konflik
jam, perlu dipasok kebun seluas minimal pecah, warga
6.000 ha, modal tunai sekitar Rp 700 miliar, dan petani bisa
serta jaringan jalan yang masuk ke urat menjumpai
kebun. Lagi-lagi, berbeda dengan karet yang sekian nasib
dapat diusahakan secara kecil-kecilan dan buruk, mulai
perorangan, kebun sawit membutuhkan tak dipenuhinya
modal besar yang tak mungkin disediakan hak-hak mereka,
petani kecil. penculikan,
penganiayaan,
bahkan nyawa
Jepitan Penguasa dan Pengusaha
melayang.
Ketika menyediakan lahan murah bagi Sementara itu, si
pemilik modal, pemerintah sebetulnya sudah pengusaha masih
berusaha membagi kue sawit untuk rakyat bisa lenggang
dengan mewajibkan pola Perkebunan Inti kangkung.”
90 Raja Limbung

Rakyat bagi usaha besar swasta yang mau masuk ke perkebunan.


Kebijakan ini dinamai Kemitraan Swadaya. Dengan pola ini, petani
menyediakan lahan yang oleh pemodal ditanami sawit. Setelah sawit
bisa dipanen, atau dalam waktu 48 bulan, kebun dibagi menurut
pola yang disepakati sebelumnya, sebagian untuk inti (perusahaan,
pemilik modal), sebagian lainnya untuk plasma (petani, pemilik
tanah). Petani plasma berkewajiban menjual kelapa sawitnya kepada
pabrik milik perusahaan yang didirikan di dekat kebun.
“Pola yang disepakati sebelumnya” perlu digarisbawahi karena
di sinilah biasanya konflik-konflik persawitan bermula. Yang bikin
petani terpojok, hampir dalam setiap konflik penguasa atau birokrat
di di daerah berpihak kepada pengusaha. Hal ini biasanya terjadi
karena kepala daerah “berutang budi” kepada para pengusaha
yang memberikan dana politik, sekalipun sebetulnya mereka juga
punya “utang suara” kepada para pemilih, termasuk petani. Dalam
kasus-kasus ini, tampaknya utang dana lebih berat timbangannya
ketimbang utang suara.
Ketika konflik pecah, warga dan petani bisa menjumpai sekian
nasib buruk, mulai tak dipenuhinya hak-hak mereka, penculikan,
penganiayaan, bahkan nyawa melayang. Sementara itu, si pengusaha
masih bisa lenggang kangkung. Contoh penguasaha yang tak
tersentuh ini adalah Abdul Rasyid, bos Tanjung Lingga Group dan
juga mantan anggota MPR Utusan Daerah dari Kalimantan Tengah.
Aksi pembalakan liar, juga penganiayaan, yang diduga dilakukan
sang bos kayu ini didokumentasikan dalam puluhan laporan resmi
dan film dokumenter berbagai lembaga lingkungan.
Environmental Investigation Agency (EIA) dan Telapak, LSM
terkemuka dalam penelusuran kejahatan kehutanan, menyebut
dugaan keterlibatan Abdul Rasyid dalam berbagai aksi pembalakan
liar, terutama pada akhir 1990-an dan awal 2000. Menurut EIA dan
Telapak, dalam press release Mei 2008, bisnis illegal logging Abdul
Rasyid memberinya keuntungan Rp 30 triliun per tahun (www.
cuttingedge-ap.info/latest/indonesia-redd-developments).
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 91

Pada 2000, Abdul Rasyid diduga terlibat dalam penculikan


peneliti EIA - Telapak. Investigasi yang dilakukan segera
menempatkan nama Rasyid dalam daftar pembalak liar versi
Kementerian Kehutanan. Stephen McDonell, wartawan abc.net.au
juga mewawancarai Abi Kusno, jurnalis independen, yang menuliskan
laporan mengenai illegal logging di Pangkalan Bun, Kalimantan
Tengah. Abi Kusno dianiaya segerombolan lelaki, dengan parang,
tombak, dan botol asam cuka keras. Ada 17 luka di sekujur tubuhnya.
“Saya yakin ini dalangnya Abdul Rasyid,”
kata Abi Kusno. “Saya orang lokal, jadi saya
tahu persis siapa yang membalak hutan di “Kami khawatir,
situ. Penduduk setempat juga selalu memberi konflik bakal
informasi kepada saya tentang aktivitas makin kencang
mereka,” katanya melanjutkan (www.abc. terjadi. Soalnya,
net.au/4corners/content/2002/timber_mafia/ banyak lahan
interviews_kusno.html). warga yang
dianggap terlantar
Meskipun, anehnya, tak ada proses
sedikit saja
penyidikan dan apalagi persidangan buat
langsung dicaplok
Rasyid. Bahkan, pada April 2008, Abdul
sekalipun mungkin
Rasyid menghadiri acara peresmian
sedang disiapkan
perkebunan sawit milik Lingga Group, yang
untuk kepentingan
juga dihadiri Gubernur Kalimantan Tengah
yang lain,” kata
Teras Narang.
Abetnego Tarigan,
Direktur Eksekutif
Moratorium dan Lahan Baru Sawit Watch.
Dengan produksi 22 juta ton minyak kelapa
sawit mentah pada tahun lalu, Indonesia
sebetulnya sudah sulit disaingi siapa pun. Namun, angka ini
tampaknya masih ingin digenjot lebih dahsyat lagi. Untuk 2020,
misalnya, target yang dipatok adalah 40 juta ton.
Target itu di satu sisi sah-sah saja. Persoalannya, untuk
meningkatkan produksi pengusaha Indonesia lebih condong kepada
92 Raja Limbung

ekspansi ketimbang intensifikasi lahan. Bila pola ini dipertahankan,


laju ekspansi lahan kelapa sawit bisa mencapai 450 ribu hektare per
tahunnya. Ini bukan kabar yang menggembirakan, utamanya pada
keberlangsungan hutan kita.
Laju ekspansi ini sebetulnya sudah coba direm dengan moratorium
penebangan hutan selama dua tahun mulai akhir 2010. Langkah ini
dilakukan bukan untuk gagah-gagahan, melainkan dengan jualan
oksigen melalui skema REDD (reduced emissions from deforestation and
forest degradation) Indonesia mendapatkan dana dari Norwegia sampai
US$ 1 miliar selama kurun 7-8 tahun sejak perjanjian diteken. Dana
ini adalah bentuk dukungan negara Skandinavia ini atas tekad
Indonesia mengurangi emisi atau buangan zat asam arang (CO2)
sampai 26 persen pada 2020.
Di lapangan, pemerintah daerah dan berbagai intansi terkait,
menerjemahkan moratorium secara berbeda lain lagi dengan
kehendak resmi pemerintah pusat. Sebelum tanggal moratorium
jatuh, pengusaha sekuat tenaga, bahkan mungkin kalap,
membebaskan lahan. “Kami khawatir, konflik bakal makin kencang
terjadi. Soalnya, banyak lahan warga yang dianggap terlantar sedikit
saja langsung dicaplok sekalipun mungkin sedang disiapkan untuk
kepentingan yang lain,” kata Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif
Sawit Watch.
Bila dengan moratorium saja pelanggaran di lapangan masih
terjadi, skenario yang kurang menggembirakan untuk lingkungan
dan ekonomi rakyat bakal menanti setelah moratorium diangkat.
Sawit memang komoditas yang penting bagi perekonomian
Indonesia. Namun, yang menikmati harum dan gurihnya hanya
kalangan terbatas. Sebagian besar petani rakyat dan warga sekitar
perkebunan besar yang seharusnya bisa sejahtera karena komoditas
unggulan ini justru menjadi pihak yang paling sering dirugikan
dengan pertumbuhan kebun yang kian menggila. Selama puluhan
tahun, maraknya kebun sawit sejalan dengan tumbuhnya konflik di
sana-sini. Sumatera dan Kalimantan sudah merasakan imbas pahit
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 93

dari agresivitas ekspansi sawit.


Kini sawit merambah tapal batas baru: Papua. Menurut
data Direktorat Jenderal Perkebunan, luas kebun kelapa sawit
di Papua pada 2009 sudah mencapai 33.946 hektare (15.939
hektare perkebunan rakyat, 12.707 ha perkebunan negara, dan
5.300 perkebunan swasta). Angka-angka ini akan cepat berubah
komposisinya pada tahun-tahun mendatang. Akan gurih jika angka-
angka lain yang menyertai peningkatan luas lahan dan produksi per
tahun adalah kesejahteraan petani dan warga di sekitarnya.


94 Raja Limbung
Bab 4

Sadhumuk Batuk,
Sanyari Bumi
96 Raja Limbung
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 97

Bab 4
Sadhumuk Batuk,
Sanyari Bumi

Pabrik di dekat kebun adalah mutlak karena tandan sawit harus


segera diproses. Hanya saja, pabrik kecil berkapasitas 30 ton tandan
buah segar (TBS) per jam memerlukan kebun setidaknya 6.000 hektare.
Pengadaan lahan pun banyak berujung pada konflik.

Made Aste, 38 tahun, adalah saksi betapa harga sepotong tanah


petani. Nyawanya melayang di tengah memanasnya konflik di
Register 45, Kabupaten Mesuji, Propinsi Lampung.
Made tidak sendiri. Ada ratusan, mungkin ribuan petani yang
tak segan menyongsong senjata aparat keamanan, demi membela
sepotong tanah, Pertikaian dengan kekerasan, bahkan dalam
beberapa kasus sampai berakhir dengan hilangnya nyawa, adalah
kisah yang kerap terdengar beriringan setiap kali perkebunan kelapa
sawit dibuka. Apalagi, seperti pada peristiwa Kecamatan Mesuji,
Lampung, langkah investasi dan perizinan awal perkebunan sawit
sering diwarnai korupsi berjamaah oleh pejabat berbagai instansi.
Sudah tentu, rakyat yang menjadi korban pun menjerit dan berjuang
merebut kembali haknya.
Bagi banyak orang Indonesia berlaku prinsip sadhumuk bathuk,
sanyari bumi ditohi tekan pati (sejari kepala, sejengkal tanah, dibela
sampai mati). Prinsip yang terkenal saat Pangeran Diponegoro
memerangi Belanda. Sang Pangeran tak rela Belanda menyerobot
98 Raja Limbung

tanah makam leluhurnya. Kehormatan, harga diri, dan ikatan dengan


leluhur ikut terampas bersama tanah yang diserobot. Maka, pecahlah
Perang Diponegoro pada 1825-1830.
Zaman berganti. Namun prinsip sadhumuk bathuk sanyari bumi
tak jauh bergeser. Meski tidak sampai perang, sengketa tanah
di masa kini pun kerap berakhir tragis. Masuk penjara, bertaruh
nyawa, pun rela dijalani. Sengketa tanah lantaran kebun sawit pun
menjadi kian kompleks, karena di kalangan masyarakat sering terjadi
perpecahan. Seperti dalam kasus di atas, ada warga menolak karena
melihat kehadiran kelapa sawit tak membawa manfaat sementara ada
warga lain yang menganggapnya peluang memajukan kehidupan
perekonomian mereka.
Konflik pecah karena satu fakta keras, kebun sawit membutuhkan
lahan yang sangat luas. Watak buah sawit mengharuskannya segera
diproses sehingga pabrik pun mesti dibangun di dekat kebun.
Persoalannya, untuk satu pabrik kecil (paling kecil, malah) dengan
kapasitas 30 ton TBS (tandan buah segar) per jam, diperlukan kebun
6.000-9.000 hektare untuk dapat beroperasi secara optimal. Investasi
mesin untuk pabrik kecil ini pun sama sekali tidak murah, yakni Rp
300 miliar.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 99

Sumber; Data Sawit Watch

Saat ini, mencari tanah seluas 6 sampai 9 ribu hektare jelas sangat
sulit, bahkan di Kalimantan sekali pun. Jika satu kepala keluarga
memiliki 2 hektare lahan, maka dibutuhkan 3.000-4.500 petani
yang sepakat bersatu untuk memanfaatkan pabrik pengolah CPO
kecil itu. Bukan tugas yang mudah.
Lahan semakin terbatas. Tuhan tak lagi menciptakan tanah.
Perkebunan sawit yang baru dibuka lima tahun terakhir di Kalimantan
Barat, misalnya, paling mentok luasnya hanya seluas 3 ribu hektare.
Karena kebun tak cukup untuk memasok kebutuhan satu pabrik,
kebun-kebun kecil ini terpaksa bergabung dengan pabrik milik
kebun lain. Dusun Sebindang, misalnya, terkepung oleh dusun-
dusun lain di sekitarnya yang lahannya sudah dialihfungsikan sebagai
kebun sawit. Desakan untuk membuat Sebindang seragam dengan
yang lain itulah yang akhirnya memicu gesekan sesama warga.
Yang mencemaskan, angka konflik sepertinya terus meningkat
di Tanah Air. Sepanjang 2010, misalnya, muncul 660 kasus konflik
100 Raja Limbung

Bersama dengan masyarakat melakukan pemetaan lahan-lahan yang berpotensi konflik


Sumber: Dok. Sawit Watch
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 101

agraria di kawasan perkebunan kelapa sawit yang antara lain memakan


korban jiwa tiga orang. Jumlah kasus ini nyaris tiga kali lipat bila
dibandingkan tahun 2009 yang sebanyak 240 kasus. Sementara itu,
jumlah kriminalisasi warga yang menolak perkebunan sawit naik
dari 112 orang pada 2009 menjadi 130 orang lebih pada 2010.

Korban Jiwa, Atas Nama Elaeis


Sebelum moratorium penebangan hutan diberlakukan pada akhir
2010, beberapa pihak sudah memprediksi bahwa besar kemungkinan
konflik meningkat selama moratorium. Kecemasan ini terbukti.
Kasus terbaru dan sangat memprihatinkan terjadi di Desa Sungai
Todong, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI),
Sumatera Selatan pada 21 April 2011 lalu. Akibat perebutan lahan
yang terjadi antara warga desa dan PT Sumber Wangi Alam (SWA),
tujuh orang tewas, dua dari warga dan lima sisanya adalah petugas
satuan pengamanan SWA.
Bentrokan dipicu kemarahan warga yang
menganggap SWA memanen kebun sawit “Warga masih
yang masih bersifat lahan sengketa. Ada mengenang
300-an hektare lahan yang masih berstatus peristiwa
quo, menunggu proses kesepakatan antara itu dengan
PT SWA dengan warga. Namun, pada hari traumatis
naas itu, sekelompok karyawan dan petugas karena polisi
satpam PT SWA berkukuh memanen tandan selain merusak
sawit di lahan sengketa. rumah juga
melayangkan
Penduduk pun terbit emosi. Mereka
pukulan,
mencegat rombongan karyawan dan buruh
tamparan, dan
SWA. Pertikaian ini mengakibatkan dua
tendangan,
warga tewas. Kemarahan warga pun makin
bahkan
menjadi sehingga akhirnya mereka datang
terhadap kaum
dalam jumlah yang lebih besar—dibantu
perempuan”
warga desa-desa lain—menyerbu kantor
102 Raja Limbung

SWA dengan berbagai senjata, termasuk pistol rakitan. Lima satpam


SWA tewas sebagai akibatnya. Total, tujuh nyawa melayang akibat
konflik ini (http://beritadaerah.com/article/sumatra/38535).
Sumatera Selatan memang salah satu titik rawan konflik kebun
sawit di Indonesia. Selain di OKI, konflik juga terjadi Banyuasin,
Musi Rawas, Musi Banyuasi, Ogan Komering Ulu (OKU), dan Lahat.
Jumlah petani yang dinyatakan sebagai penjahat kriminal juga tidak
main-main, 36 orang dalam empat tahun terakhir. Ringkasnya, 81
perusahaan perkebunan di provinsi ini semuanya memiliki sengketa
lahan dengan penduduk setempat. Luas lahan yang dipersengketakan
sebesar 83 ribu hektare, atau 11 persen dari luas keseluruhan provinsi.
Korban jiwa tak hanya jatuh pada 2011. Pada 2007, dua petani
di Desa Rambai, OKI, juga menemui ajal gara-gara mempertahankan
tanah mereka, sementara seorang petugas keamanan perusahaan PT
Persada Sawit Mas juga tewas.
Warga Rambai yang menolak kebun sawit juga diciduk dan
dijadikan pesakitan, dituding mengganggu perkebunan dan
melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 18, Tahun 2004, tentang
Perkebunan. Ancaman bagi para pengganggu, seperti diatur dalam
pasal 47 undang-undang yang sama, ini adalah hukuman maksimal 5
tahun --belakangan kedua pasal ini dicabut oleh Mahkamah Konstitusi
dalam proses judicial review.
Kembali pada kasus Dewa Rambai, salah satu yang diciduk
adalah Nursiha, seorang ibu rumah tangga yang juga petani padi
sonor di lahan gambut warisan keluarga besarnya. Seperti warga
yang lain, Nursiha tak paham kenapa tiba-tiba lahan warisan orang
tua mereka digarap begitu saja oleh PT Persada. Setelah unjuk
rasa demi unjuk rasa, aksi perusakan oleh warga yang jengkel, dan
penangkapan warga—yang membuat salah seorang tewas di tahanan,
bentrokan besar pun pecah setelah pamong setempat mengeluarkan
pernyataan yang menyakitkan warga berkenaan dengan kepemilikan
lahan masyarakat.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 103

Dua pekan kemudian, polisi mulai menyerbu perkampungan


Rambai. Warga masih mengenang peristiwa itu dengan traumatis
karena polisi selain merusak rumah juga melayangkan pukulan,
tamparan, dan tendangan, bahkan terhadap kaum perempuan.
Nursiha, 30 tahun, ibu empat anak, yang saat itu sedang
menunggu rumah juga langsung dibawa ke kantor polisi. Selanjutnya,
ia dituduh ikut terlibat dalam pembunuhan centeng PT Persada
dan di pengadilan divonis tiga tahun penjara. Kuasa hukumnya,
Lembaga Bantuan Hukum Palembang, mengajukan banding dan di
pengadilan tinggi hukuman turun menjadi satu setengah tahun.

Lahan Berganti Tuan


Sengketa lahan adalah jenis konflik yang paling sering muncul di
lapangan. Ironisnya, pemicu konflik ini sangat mungkin bersumber
dari pemerintah sendiri. Peraturan yang tidak konsisten dan berpihak
pada investasi jangka pendek kerap menjadi sebab.
Pada 2007, terbit Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 yang
menyatakan bahwa setiap perusahaan di sebuah provinsi bisa memiliki
100 ribu hektare kebun, ini peningkatan luar biasa karena sebelumnya
perusahaan hanya dibolehkan memiliki 20 ribu hektare. Tapi, ada
syaratnya. Jika dalam tiga tahun pembebasan tanah pemegang izin
tidak mencapai lebih dari 50 persen, izin usahanya akan dicabut. Bisa
ditebak, semua perusahaan akhirnya berpacu
membebaskan lahan, dengan segala cara. 
“Peraturan
Persoalannya, ongkos membebaskan tanah
yang tidak
mahal luar biasa. Ambil contoh pedalaman
konsisten
Kalimantan. Hitungan kasar, harga satu meter
dan berpihak
persegi adalah Rp 5 ribu atau Rp 50 juta per
pada investasi
hektare. Untuk membebaskan lahan setidaknya
jangka pendek
6 ribu hektare, sebuah perusahaan perkebunan
kerap menjadi
harus merogoh kocek sampai Rp 300 miliar.
sebab.”
Bila ditambah biaya pembangunan pabrik yang
104 Raja Limbung

Perkebunan Inti Rakyat (PIR) kelapa sawit di Desa Muara Mahat, Riau.
Sumber: TEMPO/ Wahyu Dhyatmika
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 105

kira-kira juga Rp 300 miliar, modal awal yang harus dikeluarkan untuk
membuat kebun dan pabrik sudah sebesar Rp 600 miliar.
Dengan hitung-hitungan seperti itu, tak mengherankan bila
perusahaan perkebunan lebih memilih jalan yang murah. Apa itu?
Menipu petani dengan dengan bantuan aparat pemerintah atau
langsung main serobot begitu saja.
Bagi Ali Badri, misalnya, penyerobotan tanah bukan hal baru.
Warga Desa Runtu, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan
Tengah, ini pertama kali merasakan pengalaman pahit kehilangan
lahan pada 1991.
Ketika itu, perusahaan berinisial AAL membuka kebun sawit di
desanya. Dua puluh lima hektare ladangnya, plus rumah, dicaplok
begitu saja oleh perusahaan. Memang, ia tak mempunyai surat
kepemilikan resmi atas tanah itu. Tapi, ia sudah bertahun-tahun
menanaminya dengan pisang dan kelapa. Menurut adat Runtu,
tanah yang diolah seorang warga—walau hanya ditanami sebatang
pohon—menjadi hak penggarapnya. Ali lalu mengajukan gugatan,
dan pada 2005 ia mendapatkan lahan ganti rugi seluas 7 hektare.
Namun, pada 2008 Ali kembali menghadapi masalah serupa.
Pada suatu hari, sebuah buldoser datang dan parkir di lahan milik
almarhum ayah Ali, Haji Hermansyah. Si pengemudi alat berat
bilang bahwa ia diperintah oleh Hasanudin, Kepala Desa Runtu.
Ali pun bergegas menemui Hasanudin. Yang disebut terakhir ini
berkata bahwa ia mendapat perintah dari perusahaan berinisial SSS
untuk meratakan lahan itu. Ali jelas protes karena merasa belum
pernah diajak bicara. Maka, Ali kemudian mendatangi lagi kepala
desa guna meminta tanda tangan untuk Kelompok Tani Usaha
Mandiri yang terdiri atas 49 orang anak-cucu Haji Hermansyah
sebagai bukti penguasaan tanah. Si kepala desa menolak tanda
tangan dengan alasan tanah itu masuk Hak Guna Operasi PT SSS.
Beberapa hari kemudian, buldoser PT SSS datang lagi. Di
kebun sedang ada Suriansah—adik Ali—-dan anaknya, Hendra.
106 Raja Limbung

Ketika pertanyaan Suriansah dan anaknya tak diladeni, mereka


naik pitam dan memukul sopir buldoser. Setelah itu mereka
meninggalkan tempat. Langkah ini rupanya keliru karena tanpa
kehadiran mereka buldoser bebas bergerak meratakan pohon
rambutan, duren, pisang yang selama ini mereka tanam. Setelah
buron beberapa hari, Suriansah dan Hendra ditangkap dan dikenai
pasal pengeroyokan dan akhirrnya dijatuhi hukuman enam bulan
penjara oleh Pengadilan Negeri Pangkalan Bun.
Perusahan induk usaha SSS sebetulnya sudah menemui Ali dan
menawarkan membeli tanah dan mempekerjakannya di perusahaan.
Tawaran itu ditolak Ali. “Saya tidak mau menjadi penonton di rumah
sendiri,” kata Ali.
Ali lantas disodori tawaran yang lebih menggiurkan, kontraktor
tunggal di Runtu. Membayangkan prospek yang bagus sebagai
kontraktor, Ali sedikit goyah. Keesokan harinya dia mendatangi
kantor induk perusahaan SSS di Sungai Rangit, Kumai, sekitar 20
kilometer tenggara Pangkalan Bun. Namun dua ekspatriat yang
menawari Ali tidak menunjukkan batang hidung mereka.
Ternyata, yang digelar adalah skenario penangkapan. Begitu
keluar kantor, Ali diciduk polisi dan langsung ditahan. Dia dituding
merugikan perusahaan Rp 7 juta sehari. Dalam persidangan, hakim
Pengadilan Negeri Pangkalan Bun menjatuhinya hukuman penjara
10 bulan. Ayah dua anak ini bebas pada 25 Maret 2009.
Di Kalimantan Tengah, kasus penyerobotan tanah yang menonjol
yang menyebabkan jatuh korban jiwa terjadi pada 2005. Di Desa
Runtu, Arut Selatan, Kotawaringin Barat, PT Mitra Mendawai Sejati
(MMS) membuka lahan setahun sebelumnya. MMS adalah anak
perusahaan Tanjung Lingga Grup, perusahaan kayu yang bisnisnya
menggurita hingga ke luar Kalimantan, yang dimiliki oleh Abdul
Rasyid, mantan anggota MPR Fraksi Utusan Daerah.
Warga Runtu protes karena merasa tanah mereka diserobot.
Mereka memang tidak memiliki sertifikat tanah, tapi memegang
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 107

surat tanah buatan kepala desa tahun 1960. Menurut Undang


Undang Pokok Agraria, surat semacam ini sudah sah sebagai buki
kepemilikan. Apalagi, warga juga menanam pohon di sana. Menurut
hukum adat, sekalipun hanya sebatang yang ditanam, lahan menjadi
pemilik si penanam.
Warga mulai berunjuk rasa pada Desember 2004. Tampil
kemudian Muhamad Hasanudin sebagai ujung tombak perlawanan.
Namun, pada awal 2005, Hasanudin pindah haluan dengan
memihak perusahaan. Saat itu ia baru saja terpilih sebagai kepala
desa, dengan dibantu dana MMS tanpa diketahui warga.
Bentrokan pecah pada 26 Mei 2005. Ratusan warga ingin
bertanya kepada Hasanudin mengapa penggusuran lahan oleh PT
MMS diizinkan. Unjuk rasa berlangsung di kamp PT MMS di dekat
Bukit Sintang, sekitar 15 kilometer dari pusat desa. Keinginan warga
dijawab dengan tembakan peringatan oleh enam anggota Brigade
Mobil. Tembakan ini justru marah dan menyerang aparat dan petugas
MMS. Petugas yang kalah jumlah kabur meninggalkan tiga buldoser
dan satu pucuk senapan serbu.
Barang sitaan itu kemudian dijadikan senjata warga bernegosiasi.
Barang-barang itu mereka tahan di tempat pengolahan aspal milik
Departemen Pekerjaan Umum, sekitar 5 kilometer dari Jalan Lintas
Provinsi. Seratusan warga menjaga lokasi itu. Malamnya, mereka
mengutus tiga warga untuk mengambil genset. Di perjalanan dari
desa, mereka dicegat anggota Brimob yang memukuli mereka
dengan popor senjata. Seorang penduduk bisa meloloskan dan
memberitahukan kejadian tersebut kepada warga yang berjaga.
Sekitar pukul 19.50, warga langsung berangkat dengan enam
truk menuju lokasi pemukulan. Namun, pasukan bersenjata sudah
menunggu. Orang-orang yang baru turun dari truk pertama langsung
dipukuli. Polisi juga melepaskan tembakan. Truk pertama dan kedua
rusak parah, dan truk lainnya memilih balik kanan dan menyelamatkan
diri dari tembakan. Sebanyak 43 orang ditangkap dan diangkut ke
Kantor Kepolisian Resor Kotawaringin Barat di Pangkalan Bun. Tiga
108 Raja Limbung

orang warga luka parah akibat tembakan. Satu di antaranya, Edon


tewas.
Sehari kemudian diadakan kesepakatan antara warga dan
Musyarawah Pimpinan Daerah Kotawaringin Barat. Kesepakatan
itu mewajibkan polisi melepas seluruh warga yang ditahan, warga
mengembalikan alat berat yang disita, dan PT MMS tidak menggarap
lahan sampai ada kesepakatan dengan warga.
Tapi, sampai tulisan ini dibuat, lahan masih
Sekalipun terus digarap PT MMS.
transmigran
punya sertifikat Di Kalimantan, selain lahan warga, yang
tanah, sering diserobot perusahaan perkebunan
penggusuran sawit adalah lahan milik transmigran. Posisi
tetap terjadi. transmigran yang lemah—karena tak selalu
Caranya bisa disambut dengan tangan terbuka oleh warga
beragam, mulai asli—membuat penyerobotan dilakukan lebih
dari menanami semaunya. Sekalipun transmigran punya
lahan milik sertifikat tanah, penggusuran tetap terjadi.
transmigran, Caranya bisa beragam, mulai dari menanami
bisa pula lahan milik transmigran, bisa pula sangat
sangat kasar kasar semisal hutan karet milik transmigran
semisal hutan dibakar. “Kami tak bisa berbuat apa-apa kalau
karet milik ada kejadian seperti itu menimpa kawan-
transmigran kawan kami,” kata Soeprapto, warga asli
dibakar. Jawa Tengah yang bertransmigrasi ke Passer,
Kalimantan Timur, pada 1980-an.

Janji Manis Berakhir Tragis


Perpindahan lahan petani ke perusahaan perkebunan tidak selalu
terjadi dengan cara penyerobotan. Ada cara lain yang tidak sekasar
itu, tapi pada akhirnya tak kurang menyesakkan, yaitu penipuan
lahan. Cara ini biasanya berlangsung melalui skema Perkebunan Inti
Rakyat, perkebunan inti plasma, dan berbagai variasinya.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 109

Biasanya, kebun yang sudah dijanjikan kepada petani seringkali


tak memenuhi syarat: dibagikan tidak tepat waktu, luasnya tak
seperti yang disepakati, kondisinya tak terawat, jauh dari areal pabrik
sehingga ongkos transpor jadi mahal, berasal dari tanah petani, atau
tak jelas batas-batasnya. Konflik juga muncul karena nilai kredit
tiba-tiba melonjak, dan janji-janji perusahaan seperti pembangunan
infrastruktur dan fasilitas sosial hanya berakhir pada omongan belaka.
“Petani yang kebagian buntut tidak enak, bisa terjerat utang, konflik
tanah, dan berbagai persoalan lain,” kata Eep Syaifulloh, aktivis Sawit
Watch yang banyak terjun di wilayah Kalimantan.
Dahulu, dalam proyek PIR-Trans, pola yang berlaku umum
adalah pola lima. Petani menyerahkan lima hektar lahan untuk
kemudian menerima dua hektar kebun sawit siap panen. Tiga hektar
yang diserahkan kepada perusahaan (kala itu PTPN) dianggap
sebagai biaya pengganti pembangunan kebun. Selain itu, petani juga
harus mengganti biaya perawatan selama sawit belum menghasilkan.
Biaya perawatan ini dibebankan sebagai kredit atau pinjaman yang
dicicil petani melalui pemotongan hasil panen. Biasanya, 30 persen
hasil panen dibayarkan kembali ke perusahaan sebagai cicilan
pinjaman. Dulu, tahun 1980-an, besar kredit ini hanya sekitar Rp 9
juta per “kapling” atau per dua hektar.
Amantius, 75 tahun, petani sawit Desa Kasai Rantau, Kecamatan
Kembayan, Sanggau, Kalimantan Barat, punya pengalaman pahit
dengan pola lima tersebut. Keluarga besarnya menyerahkan 25 ha
ladang untuk dijadikan kebun sawit dalam proyek PIR-BUN PTPN
XIII pada 1985 di Kembayan. Kala itu, dengan pola pembagian 5,5-
2 (pola lima), mereka mandapatkan empat kapling seluas delapan
hektar.
Pada program yang kedua, tahun 1997, keluarga Amantius
mengaku menyerahkan kembali 88 hektare ladang keluarganya, untuk
mendapatkan sekitar 17 kapling, tetap dengan pola lima. “Tapi, sampai
kini keluarga kami tidak pernah mendapatkan hak 17 kapling itu,” kata
Amantius.
110 Raja Limbung

Menurut Amantius, nama keluarga mereka ”dicatut” pihak lain


sehingga ada sejumlah nama baru yang menjadi peserta plasma di
PTPN, tanpa menyerahkan tanah. Menurut Amantius, dari 146 petani
Dusun Rantau yang namanya telah ditetapkan oleh Bupati Sanggau
sebagai petani plasma kebun sawit PTPN, tiba-tiba membengkak
menjadi 258 petani. Tiba-tiba sejumlah nama baru, yang tidak
dikenal, yang tidak pernah ada di Dusun Rantau, terdaftar sebagai
petani plasma. “Entah, bagaimana caranya itu. Mereka nyelonong
masuk,” kata Amantius.
Akibatnya, hingga sekarang, 14 tahun setelah program petani
plasma dibuka pada 1997, Amantius tak pernah menerima kapling
yang dijanjikan. Justru dia pernah ditangkap karena dituduh
memanen sawit di kebunnya sendiri. “Sepertinya ada orang yang
memanen sawit dan mengaku-ngaku saya dan memanen sawit di
kebun, yang sebetulnya memang milik saya,” kata Amantius.
Pola lima pun tanpa kesepakatan petani diubah menjadi pola
tujuh, artinya jatah petani makin kecil lagi. Ketika kapling diterima
petani bentuknya tidak semuanya kebun siap panen tapi hutan
dengan kayu-kayu besar. Sudah begitu, kapling diserahkan dalam
bentuk hamparan, tanpa batas-batas yang jelas. Menurut Amantius,
perusahaan sengaja melakukan adu domba terhadap keluarga. Ia
sendiri mengaku berkelahi dengan abangnya sendiri gara-gara sawit.
Saat ini, tak ada lagi pemodal swasta yang mau berbagi dengan
pola lima. Kebanyakan yang berlaku saat ini adalah pola tujuh, atau
bahkan sepuluh, yaitu serahkan 10 ha dapat dua ha. Beban kredit
pun bukan hanya Rp 9 juta melainkan Rp 34-35 juta per ha atau
sekitar Rp 70 juta per kapling. Akibatnya, meskipun telah dicicil
bertahun-tahun, utang tak kunjung lunas.
Warga Sungai Tembaga, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat,
misalnya, punya pengalaman tidak enak soal pola sepuluh tersebut.
Penghasilan dari dua hektare lahan yang menjadi milik mereka masih
dipotong biaya pemeliharaan seperti ongkos pupuk, upah pekerja,
ongkos angkut dan sebagainya. Akibatnya, penghasilan bersih yang
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 111

bisa dinikmati hanyalah panen satu hektare. Tapi, karena lokasi kebun
penduduk atau kebun plasma berada jauh dari pabrik, pemanenan
mereka dinomorduakan. Karena tandan buah segar mereka gagal
mencapai pabrik dalam waktu 24 jam, harganya jatuh, dari semula Rp
1.500 per tandan menjadi Rp 800 atau bahkan Rp 500. Praktek-praktek
semacam inilah yang membuat sebagian warga kapok bersawit ria.
Pengalaman Husniati, warga Runtu, Sembuluh, Kalimantan
Tengah, agak berbeda. Sejak terjadi banyak penyerobotan tanah
di Runtu, ia menanami lahannya dengan sawit. Siasat ini berhasil,
lahannya aman. Ia juga ikut program Income Generating Activity
(IGA), bagian dari program pemberdayaan masyarakat dari sebuah
perusahaan perkebunan sawit. Dalam program ini warga mendapat
pinjaman sebesar Rp 4 juta per hektare tanpa bunga untuk membeli
bibit dan pupuk sawit. “Jika sudah panen, sawit wajib dijual ke
perusahaan, dengan dipotong 30 persen untuk membayar utang,”
kata Husniati.
Husniati bekerja keras hingga berhasil menambah kebun
sawitnya sampai 7 hektare. Ia juga ikut IGA lagi. Yang mengganjal
hatinya adalah harga jual sawitnya ke perusahaan. “Kalau harga
pasaran turun, harga sawit dari kami langsung diturunkan, tapi
kalau harga lagi naik mereka diam-diam saja,” ujarnya.

“Mencuri” di Ladang Sendiri


Selain ada cerita pengambilalihan lahan, di Kalimantan juga muncul
cerita soal penelantaran lahan. Hal inilah yang dialami masyarakat
Kecamatan Beduwai, Sanggau, Kalimantan Barat. Hidup mereka
yang semula tenang menjadi berantakan.
Saryoso, 56 tahun, alias Pak Thole adalah transmigran asal Klaten,
Jawa Tengah, yang tinggal di Beduwai. Ia bercerita bahwa dulunya ia
juga termasuk pendukung program pembukaan perkebunan sawit di
desanya. “Sampai rentetan peristiwa buruk menimpa saya,” katanya
memulai kisah.
112 Raja Limbung

Sawit mulai masuk ke Beduwai pada 1999 melalui PT Karya


Mufakat Lestari, milik Adelin Lis, pengusaha kayu asal Medan yang
sempat diseret ke pengadilan tapi kemudian bebas. Kala itu, KML—
yang sudah mengantongi izin lokasi seluas 4 ribu hektare—membujuk
warga untuk menyerahkan lahan dengan janji membangun jalan dan
fasilitas umum lain serta menyediakan lapangan kerja.
KML berjanji bahwa dalam empat tahun seluruh kebun akan
selesai dikerjakan. Ladang-ladang yang kurang terurus dan tidak
produktif akan menjadi kebun dan menghasilkan minyak kelapa sawit
mentah yang harganya tinggi. Bagi mereka yang mau menyerahkan
tanah garapan 5,5 hektare akan mendapatkan kembali dua hektare
kebun yang siap berbuah.
Mendengar janji-janji yang manis itu, sebagian besar penduduk
Beduwai tertarik. “Kami ramai-ramai menyerahkan tanah ladang,
sumber makanan dan hidup kami selama ini,” kata Saryoso. Lahan
luas, dengan pokok-pokok karet yang sudah ditoreh, sudah bisa
dipanen getahnya pun diserahkan kepada KLM karena warga
berharap kemajuan segera mampir.
Namun, setelah bertahun-tahun, warga Beduwai tak kunjung
merasakan hasilnya. Dari empat ribu ha tanah yang diserahkan
warga, ternyata hanya 280 ha yang ditanami. Selebihnya dibiarkan
terlantar. Ladang-ladang yang dulu menjadi sumber penghasilan
petani malah menjadi semak belukar. Di lahan yang sudah ditanami,
buah sawit memang sudah bisa dipanen sejak 2004, tetapi petani
tak mendapatkan bagian. Masalah menjadi kian parah ketika pada
2006 pemilik KML, Adelin Lis, mulai tersangkut beberapa perkara
hukum.
Karena kebun kian ditelantarkan perusahaan, warga berinisiatif
mengambil alih. Mereka mulai merawat lagi kebun sawit. Mereka
juga minta agar izin KML dicabut. Mereka sempat bertemu dengan
bupati. Yang terakhir ini menyarankan agar kebun dikembalikan ke
perusahaan. Tapi, warga berkukuh. Akibatnya, mereka ditangkap
dan diperlakukan seperti kriminal.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 113

Bagi Saryoso, tuduhan pencurian yang dialamatkan ke warga


menggelikan karena lahan-lahan itu semula milik mereka yang
kemudian ditelantarkan KML. Sewaktu panen, mereka juga memberi
tahu ke kantor KML dan kantor-kantor pemerintahan yang lain.
Sejak Januari 2008, ada perusahan baru masuk ke Beduwai,
yang mengantongi izin 15 ribu hektare. Warga mulai ketakutan lagi
menggarap lahan terlantar karena perusahaan ini selalu menempatkan
satuan pengamanan baik polisi maupun tentara di lapangan. Kebun
yang sempat digarap warga diambil alih. Perusahaan ini juga main
gusur atau bahkan ladang milik warga. Baru setelah warga lapor ke
gubernur, perluasan lahan sawit dihentikan. Hingga buku ini ditulis,
perjuangan masyarakat Beduwai mendapatkan hak mereka masih
berlanjut.

HGU Sepanjang Masa


Salah satu sumber utama konflik di sektor sawit adalah Hak Guna
Usaha atau HGU. Dahulu, sewaktu kebun “milik” inti dibuka,
yang dipakai sejatinya adalah lahan milik warga. Lahan ini dipinjam
untuk satu musim atau 25 tahun. Tapi, lahan-lahan ini ternyata
disertifikatkan oleh perusahaan dengan status Hak Guna Usaha
berjangka 35 tahun. HGU ini bisa diperpanjang 60 tahun lagi
sehingga totalnya menjadi 95 tahun. Teorinya, kalau HGU sudah
habis masanya, tanah milik adat itu akan menjadi tanah negara.
Celakanya, oleh perusahaan, tanah yang “dipinjam” dari tanah
adat ini malah kemudian diperjualbelikan. Kebun-kebun jatuh ke
tangan “orang-orang asing” yang tak dikenal petani. Keberadaan
mereka hanya diketahui melalui papan nama yang nongkrong di
depan kebun.
Warga Kembayan di Sanggau, Kalimantan Barat, sudah
merasakan telaknya akal-akalan ini. Pada 1985, mereka menyerahkan
718 hektare tanah untuk program PIR-Trans. Dari lahan seluas ini,
yang kembali hanya 243 hektare. Sisanya tak jelas menguap ke mana.
114 Raja Limbung

Untuk yang 243 ha pun, mereka masih menanggung kredit. Sejak


1990. Warga mulai berteriak dan akhirnya mengajukan gugatan,
tapi sidang yang digelar selama 1991-1993 tak menghasilkan vonis
yang jelas.
Warga Kembayan juga baru tahu bahwa ternyata PTPN yang
membuka kebun sawit di lokasi mereka baru mempunyai HGU yang
terbit pada 2002. Artinya, sebelum itu PTPN mereka menggarap
kebun yang ilegal. Lebih celaka lagi, jika pun ada niat baik PTPN
untuk mengembalikan tanah adat ke warga begitu HGU selesai masa
berlakunya, warga mesti bersabar lebih lama lagi. “Berdasar berbagai
pengalaman di berbagai tempat ini, warga kapok menyerahkan tanah
mereka ke perusahaan sawit,” kata Jefri Saragih dari Sawit Watch.

Koperasi Untuk Siapa?


Pada 1998, pemerintah menerbitkan kebijakan baru yaitu KKPA
atau Kredit Koperasi Primer untuk Anggota. Bagi perusahaan
perkebunan inti, skim permodalan dalam KKPA ini sangat
menguntungkan. Mereka sama sekali tak perlu lagi mengeluarkan
modal dalam membangun kebun plasma
karena sudah ditanggung oleh KPPA dan risiko
“Koperasi, kegagalan pelaksanaan KKPA seluruhnya
yang dalam ditanggung oleh petani.
kacamata
Koperasi menjadi jembatan penting antara
pemerintah
perusahaan dan petani. Jika dalam pola PIR,
dapat
perusahaan besar perkebunan berhubungan
mewakili
langsung dengan banyak petani, kini mereka
kepentingan
cukup berurusan dengan pengurus koperasi.
petani, justru
Celakanya, sebagian pengurus koperasi
menjadi
cenderung gampang diajak main mata demi
kepanjangan
keuntungan perusahaan.
tangan
perusahaan.” Dalam PIR, perusahaan ikut menanggung
risiko kredit yang ditunggak petani, tapi
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 115

dengan KKPA bisa lepas tangan atas risiko kredit. Perusahaan


hanya menjadi perantara kredit antara bank dengan koperasi
petani – mirip dengan peran pengembang dalam KPR (kredit
kepemilikan rumah). Dengan kata lain, KKPA adalah insentif
dari pemerintah untuk ekspansi perkebunan secara besar-besaran
di Indonesia. Perusahaan bisa mendapatkan kredit lunak dengan
mengatasnamakan rakyat sementara risiko bisnisnya tak lagi
mereka tanggung.
“Oleh karenanya, sekalipun di permukaan koperasi adalah kabar
baik, pada prakteknya malah semakin menyusahkan petani,” kata
Abetnego Tarigan, Direktur Sawit Watch. Mereka tetap menanggung
biaya pembukaan lahan, biaya sarana produksi pertanian seperti bibit,
pupuk dan pestisida, serta biaya pembinaan sehingga jeratan utang
pun datang. Sementara itu, lahan yang mereka serahkan sebagai aset
produksi nyaris tidak dihitung.
Dalam KKPA, individu petani “dihilangkan” dan diganti
koperasi. Kredit bagi petani diteken koperasi, lahan kebun juga
diserahkan kepada koperasi, bukan petani sebagai individu
pemilik lahan. Akibatnya, petani tak tahu lagi di mana kapling
yang menjadi kebunnya berada. Di sejumlah daerah, kepemilikan
komunal semacam ini acap memicu pertengkaran tambahan: petani
tak mampu membagi kerja secara adil, siapa giliran memupuk,
membersihkan rumput, atau memanen. Konflik horisontal lain
terjadi ketika dengan KKPA di satu desa, perusahaan mengonversi
lahan desa tetangga tanpa permisi.
Koperasi, yang dalam kacamata pemerintah dapat mewakili
kepentingan petani, justru menjadi kepanjangan tangan perusahaan.
Koperasi cuma jadi “tukang stempel” yang melegitimasi pelbagai
keputusan menyangkut nasib petani seperti soal harga TBS, jumlah
kredit yang ditanggung petani, nilai biaya perawatan tanaman, dan
seterusnya. Keberpihakan koperasi kepada pengusaha ini tak lepas
dari fakta bahwa pengurus koperasi digaji dan diberi honor oleh
perusahaan inti.
116 Raja Limbung

Persekongkolan perusahaan dan pengurus koperasi kadang bisa


sedemikian jauh. Mulai dari penggelapan dana petani yang tersimpan
di koperasi, kongkalikong pengolahan tandan segar, sampai siasat
kebijakan perusahaan yang merugikan petani.
Laporan www.antarariau.com, 20 Oktober 2010, memberitakan
kekisruhan yang terjadi di Desa Lubuk Batu Tinggal, Kecamatan
Lubuk Batu Jaya, Indragiri Hulu, Riau. Petani menduga kuat PT
Inti Indosawit dan pengurus teras KUD Tani Bahagia telah memakai
Rp 1,7 miliar uang petani di KUD Tani Bahagia, dengan berbagai
rekayasa kegiatan fiktif. “Banyak pengeluaran yang janggal dan di
luar pengetahuan kami,” kata Nasrullah, Kepala Desa Lubuk Batu
Tinggal. Kasus ini menjadi perhatian luas di Riau. Wartawan Antara
yang meminta keterangan pada PT Inti Indosawit hanya mendapat
tanggapan, “Ini urusan internal yang sedang dibahas KUD dengan
petani.”
Kritik terhadap KKPA sebetulnya sudah muncul sejak beberapa
tahun yang lalu. Pada 2002, di Jambi, Bupati Bantanghari A. Fatah
sudah melontarkan pernyataan bahwa petani dirugikan dengan pola
ini dan perusahaan mendapatkan keuntungan ganda.
Para petani sawit sendiri sudah makin berani menyuarakan
keberatan mereka. Pada Maret 2011, misalnya, Serikat Petani
Kelapa Sawit (SPKS) menolak pemberlakuan pola KKPA atas sekitar
900.000 hektar kebun plasma, yang akan diremajakan di sejumlah
daerah.
Menurut SPKS, melalui KKPA produktivitas sawit petani petani
plasma yang selama ini hanya 4 ton per hektare bisa meningkat. Tapi,
petani akan sulit mengontrol volume hasil sawit dalam kebunnya
sendiri serta jumlah pendapatan yang semestinya mereka peroleh
karena pengelolaan kebun dilaksanakan perusahaan inti.
Dengan pola KKPA, petani memperoleh hasil 30 saja persen dari
lahan garapan. Bila mereka punya lahan 2 hektar, misalnya, paling
banyak yang bisa mereka peroleh sewaktu panen hanyalah Rp 500
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 117

ribu karena terpangkas pembayaran kredit, biaya lingkungan, dan


pengangkutan sawit. KKPA juga menjadikan petani selalu terikat
dengan utang yang kemungkinan baru lunas setelah 30 tahun.
118 Raja Limbung

Patgulipat di Tanah Ulayat

Pembebasan lahan warga di tiga desa di Mesuji, Lampung, tak


beres. Ada fulus ke pejabat.
***

SENAPAN menyalak berulang-ulang.


Di tengah rimba sawit Sritanjung,
Mesuji, Lampung, yang senyap, suara
itu terdengar oleh Mamat dari jarak
satu kilometer. Pria 46 tahun itu
segera menghambur ke luar rumah.
Menyalakan sepeda motor, ia lantas
memacunya menuju muasal suara:
palang pintu pertama blok O kebun
sawit PT Barat Selatan Makmur
Investindo.
Menjelang zuhur pada Kamis, 10 November, itu tak cuma
Mamat yang menunggang sepeda motor menuju sumber suara.
Di tengah jalan, ia disalip Zaelani, sepupunya, yang menunggang
Honda Revo. Zaelani sempat melambaikan tangan. “Dia bilang
mau mencari anaknya,” kata Mamat ketika ditemui dua pekan
lalu. Ia juga ingat, ketika itu jalanan licin sisa hujan semalam.
“Tapi Zaelani naik motor mengebut. Wuss….”
Itulah terakhir kali Mamat berjumpa dengan Zaelani
hidup-hidup. Sesampai di pintu PT Barat Selatan, Mamat
melihat Zaelani terkapar dengan batok kepala pecah ditembus
peluru. Di sana ia melihat pula puluhan polisi dan marinir
bersitegang dengan penduduk tiga desa, yakni Sritanjung,
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 119

Kagungan Dalam, dan Nipah Kuning. Warga meminta aparat


menyerahkan dua pemuda Sritanjung bernama Gani dan Yanto
yang disangka disandera.
Aparat berkeras tak menahan kedua pemuda itu. Tiba-
tiba… dor! Zaelani terjengkang. Saksi mata dari warga
mengatakan Zaelani tewas di atas sepeda motornya ketika
hendak berputar arah menuju jalan pulang. Menurut Kepala
Kepolisian Daerah Lampung Brigadir Jenderal Jodie Rooseto,
polisi menembak karena penduduk hendak menyerang petugas
dan merusak bangunan perusahaan.
Belakangan, Gani dan Yanto diketahui berada di tengah
kebun sawit ketika bentrokan terjadi. Sepeda motor Gani yang
diseret petugas keamanan dari tepi kebun sawit ke pos Brigade
Mobil yang tak jauh dari kantor perusahaan memancing
kecurigaan warga. Mereka menduga Gani dan Yanto ditahan
setelah memanen sawit di lahan yang diklaim perusahaan.
Padahal, kata Mamat, kebun itu merupakan lahan penduduk
karena PT Barat Selatan tak tuntas membayar ganti rugi
sejak 1994. Sengketa panjang klaim kepemilikan pun terbuka
kembali.
***

Lima belas tahun lalu, PT Barat Selatan mengantongi izin


Badan Pertanahan Nasional Lampung Utara (dimekarkan
menjadi Tulang Bawang pada 1997, lalu disapih lagi menjadi
Mesuji pada 2008) untuk membuka lahan sawit sekitar 17
ribu hektare di tiga desa sekaligus: Sritanjung, Kagungan
Dalam, dan Nipah Kuning. Dalam surat bernomor
PLU.22/46-IL/1994 itu disebutkan, dari lahan seluas 17 ribu
hektare ini, 10 ribu hektare akan dimanfaatkan untuk kebun
120 Raja Limbung

inti yang dikelola perusahaan. Sisanya, 7.000 hektare, untuk


kebun plasma yang diurus rakyat.
Menurut Ajar Etikana, warga Sritanjung, perusahaan baru
membayar ganti rugi separuh dari lahan kebun inti seluas
10 ribu hektare. “Artinya, sisanya masih milik masyarakat,”
ujarnya. Persoalan makin rumit karena, setelah kebun inti
diukur ulang, ada kelebihan lahan seluas 2.455 hektare.
Perusahaan, kata Ajar, tak pernah menebus kelebihan lahan
ini kepada masyarakat. Ajar juga menuding PT Barat Selatan
hingga kini tak pernah membangun kebun plasma di lahan
7.000 hektare.
Di sisi lain, pada 1995, Badan Pertanahan menerbitkan izin
lokasi perkebunan seluas 6.628 hektare untuk PT Lampung
Inter Pertiwi, yang lahannya juga terletak di ketiga desa itu.
Perusahaan ini dimiliki secara patungan oleh pengusaha Tjandra
Lumenta dan Global Formation, perusahaan Malaysia. Bukan
kebetulan, pemilik PT Lampung Inter Pertiwi dan PT Barat
Selatan orang yang sama. Tjandra Lumenta ditambah Hentje
Lumenta serta Global Formation tercatat sebagai pemilik dalam
akta PT Barat Selatan.
PT Lampung Inter Pertiwi tak mengeluarkan duit banyak
untuk menebus lahan warga. Musababnya, Bupati Tulang
Bawang saat itu, Santori Hasan, menerbitkan surat bupati
bernomor 310/500/01/TB/1997 yang ditujukan kepada PT
Lampung. Dalam suratnya, Santori mengatakan PT Lampung
tak perlu membayar seluruh ganti rugi karena, dari 6.268
hektare itu, 3.467,75 hektare merupakan tanah rekognisi atau
tanah negara.
Santori hanya meminta PT Lampung menyetor Rp 20 ribu
ke kas negara untuk setiap hektare lahan. Perusahaan lantas
menyetor Rp 69,35 juta untuk 3.467,75 hektare lahan
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 121

ke Bank Pembangunan Daerah Lampung pada 18 September


1997. Dua tahun sebelumnya, Desa Fajar Baru, tak jauh dari
Sritanjung, juga melepaskan 800 hektare lahan. Fajar Baru
merupakan desa transmigrasi yang lahannya semestinya tak
boleh dilepas untuk perusahaan.
Di sinilah kejanggalan yang lain. Dalam dokumen
daftar penerima ganti rugi di wilayah Kagungan Dalam,
nomor urut 47 hingga 56 diisi pejabat Lampung Utara
ketika itu. Nama Santori Hasan tertera di nomor 56.
Dokumen itu tak bertanggal, tapi diperkirakan dibikin
pada 1994-1996, ketika Santori masih menjabat Sekretaris
Daerah Lampung Utara--ia ditunjuk menjadi Bupati Tulang
Bawang pada 1997. Meski di urutan 56, Santori menerima
ganti rugi terbesar, yakni Rp 3,077 miliar, setelah melepas
lahan seluas 2.897,985 hektare.
Di atas Santori, dari nomor 47 hingga 55, secara
berturut-turut terdapat nama M. Syaifullah A., Mulki
Adewie, Suhatman, Ismail Yazid, Mulyadi, Saleh Mulyono,
Dahri Djayaputra, Maderoni, dan Sukarlan H.S. Berdasarkan
penelusuran, M. Syaifullah A. atau M. Syaifullah Achry
adalah Kepala Kantor Pertanahan Lampung Utara ketika
itu. Saleh Mulyono menjabat Camat Mesuji. Maderoni
adalah Kepala Desa Kagungan Dalam. Sedangkan Sukarlan
H.S. menjabat Asisten I Sekretaris Wilayah Kabupaten
Lampung Utara.
Secara berturut-turut pula mereka masing-masing
menerima ganti rugi yang besarnya sama: Rp 181,6 juta. Duit
itu mereka terima setelah melepas lahan yang luasnya persis
sama pula, 171,035 hektare. Dijumlahkan dengan luas lahan
yang dilepas Santori, luas lahan penerima ganti rugi nomor
urut 47 hingga 56 mencapai 4.268,785 hektare. Angka itu
122 Raja Limbung

berbeda tipis dengan total luas lahan rekognisi ditambah lahan


di Fajar Baru yang 4.267,75 hektare.
Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia Mukri Priatna menduga di
sanalah patgulipat terjadi. Menyatakan seolah-olah lahan
penduduk tak bertuan sehingga perusahaan membayar ganti
rugi lebih sedikit di satu bidang lahan, pejabat Lampung Utara
mengambil keuntungan di bidang lahan sebelahnya. Tak jauh
berbedanya angka lahan rekognisi plus lahan di Fajar Baru
dengan luas lahan yang dibebaskan Santori dan kawan-kawan,
kata Mukri, “Adalah indikasi persekongkolan.”
PT Barat Selatan membantah masih ada persoalan dalam
pembebasan lahan di tiga desa tadi. Menurut Mayor Jenderal
Purnawirawan Ali Fathan, yang mengaku sebagai penasihat di
PT Barat Selatan sejak insiden Sritanjung terjadi pada November
lalu, perusahaan telah membayar seluruh ganti rugi kepada
masyarakat dan pemerintah daerah saat itu. “Kalau ada markup
dan sebagainya, itu urusan mereka. Semua disetor melalui bank
ke rekening pemerintah,” kata anggota Dewan Perwakilan
Rakyat periode 1999-2004 dari Fraksi TNI/Polri itu.
Adapun Santori Hasan mengatakan tak terlibat secara aktif
dalam penyelesaian sengketa antara warga dan perusahaan
ketika itu. Soal uang ganti rugi, ia juga menyangkal pernah
menerimanya. “Dana itu langsung disetor ke pemerintah
daerah. Demi Allah, saya tidak pernah menerima dan tidak
pernah tahu,” kata Santori, yang menjabat anggota Dewan
Perwakilan Daerah periode 2004-2009.
Ia meminta Tempo menanyakan hal ini kepada pejabat
Badan Pertanahan Nasional Lampung ketika itu. Tapi sebagian
besar pejabat sudah pensiun dan ada yang meninggal. M.
Syaifullah Achry, bekas Kepala Badan Pertanahan Nasional
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 123

Lampung Utara yang aktif terlibat pembebasan tanah ulayat


di tiga desa itu, tak lagi berkantor.

Anton Septian (Jakarta),


Nurochman Arrazie (Mesuji, Bandar Lampung)
124 Raja Limbung

Bara Sengketa Kebun Sawit

TRAGEDI Mesuji secara gamblang


menggambarkan hubungan timpang
antara pemerintah, perusahaan
perkebunan, dan penduduk lokal.
Pemerintah--dengan segenap
aparatusnya--cenderung memihak
pemilik modal dan, sebaliknya,
meminggirkan masyarakat sekitar.
Perusahaan juga serupa. Jangankan
mendekati penduduk, perusahaan
malah membangun benteng untuk memisahkan diri dengan
warga sekitar.
Ketegangan demi ketegangan terjadi, buntutnya mudah
diterka: konflik yang menelan korban. Di perbatasan Sumatera
Selatan dan Lampung itu, sengketa pecah akibat tiga kasus
ketimpangan hubungan tadi. Pertama, kasus pengelolaan lahan
adat di area kawasan Hutan Tanaman Industri Register 45 Way
Buaya, Desa Gunung Batu, pada Februari 2006. Sengketa ini
mendidih ketika Made Asta tewas pada 6 November 2009.
Tidak terlihat usaha keras pemerintah memperbaiki
hubungan tak serasi itu. Dalam kondisi begitu, tak sampai
dua tahun kemudian, pecah lagi sengketa tanah lahan sawit
seluas 1.533 hektare antara warga Desa Sungai Sodong dan PT
Sumber Wangi Alam. Korban bertambah: dua petani dan lima
petugas perkebunan tewas. Yang terakhir, November 2011,
sengketa tanah lahan sawit seluas 17 ribu hektare antara warga
Desa Sritanjung dan Nipah Kuning dengan PT Barat Selatan
Makmur Investindo berujung pada kematian Zaini.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 125

Bila dirunut, akar masalah adalah korupsi dan kolusi


yang mendarah-daging sejak Orde Baru. Izin perkebunan
kelapa sawit bisa terbit dengan membayar uang sogok.
Majalah ini menemukan dokumen yang mencatat pemberian
dana untuk para pejabat di wilayah itu--lengkap dengan
tanda tangan mereka--pada saat proses pembebasan lahan
1997. Korupsi berombongan ini menyebabkan penyiapan
lahan tidak dilakukan dengan prosedur yang benar. Sering
kali izin penggunaan lahan tumpang-tindih. Saling klaim
lahan antarperusahaan perkebunan biasa terjadi, juga antara
perusahaan dan penduduk, dan itu seperti timbunan bara
dalam sekam.
Solusi tak bisa diharapkan datang dari pemerintah. Aturan
hukum selama ini terlalu menguntungkan pengusaha. Undang-
Undang Perkebunan Nomor 18 Tahun 2004 memberikan
legalitas kuat kepada perusahaan perkebunan untuk menguasai
tanah rakyat, yang umumnya tidak dilengkapi sertifikat
kepemilikan. Undang-undang yang sama juga memberikan
ruang kepada perkebunan untuk melakukan tindakan keras
terhadap petani lokal yang dicap sebagai perambah hutan.
Dengan kekuasaan yang diberikan undang-undang itu,
perkebunan tak merasa perlu membangun hubungan baik
dengan masyarakat. Mereka memegang legalitas formal
sebagai pemilik izin--walau itu diperoleh melalui praktek
ilegal.
Langkah berikutnya juga keliru: perusahaan ”merekrut”
aparat kepolisian dan militer untuk menyelesaikan konflik
dengan masyarakat. Perusahaan perkebunan juga membentuk
pengamanan swakarsa. Padahal, dengan kewajiban
melaksanakan corporate social responsibility alias CSR, mereka
seharusnya bisa membangun hubungan yang lebih sehat,
126 Raja Limbung

misalnya menyediakan lahan untuk dikelola masyarakat


sekitar.
Sepak terjang tercela perusahaan itu perlu mendapat
perhatian tim investigasi pemerintah pimpinan Wakil Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana. Dalam
tragedi Mesuji, pejabat yang diduga korup dalam pemberian
izin perkebunan sawit harus diserahkan kepada aparat hukum.
Perusahaan perkebunan yang terbukti melakukan kejahatan
ekonomi dan pelanggaran hak asasi manusia seyogianya
dicabut izin usahanya.
Sangat penting juga memastikan jumlah korban jiwa.
Soal ini urgen karena tragedi Mesuji telah mendarat di wilayah
politik. Pemutaran video kekerasan Mesuji--yang diduga kuat
telah mendapat “bumbu” beberapa adegan “palsu”--di Dewan
Perwakilan Rakyat merupakan contoh tindakan politik itu.
Tentu saja rekayasa video itu, jika benar, bisa mengundang
konsekuensi hukum. Tapi, sebelum mengurus video, lebih
baik pemerintah mencegah bibit kekerasan serupa di banyak
tempat lain. Ada 3.000 kasus sengketa perusahaan sawit
dengan masyarakat, menurut Sawit Watch, lembaga nirlaba
pemantau persoalan perkebunan sawit.
Pemerintah juga wajib meninggikan kemakmuran rakyat
dan produksi secara seimbang dalam usaha di lapangan agraria
ini, sesuai dengan amanat Undang-Undang Pokok Agraria
Tahun 1960 yang masih berlaku. Reformasi agraria merupakan
program yang mesti dijalankan.
Program menata kepemilikan lahan--yang dicanangkan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak awal
pemerintahannya--semestinya tidak berhenti pada seremoni
penyerahan sertifikat oleh Presiden di Istana Bogor tahun lalu.
Yang lebih penting, Peraturan Pemerintah tentang Reformasi
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 127

Agraria perlu segera diterbitkan. Tanpa itu, bara sengketa di


perkebunan setiap saat siap berkobar menjadi api besar yang
berbahaya.
128 Raja Limbung

Tumpukan kelapa sawit


di perkebunan daerah
Perbaungan, Medan,
Sumatera Utara.
Sumber: TEMPO/
Hendra Suhara
Bab 5

“Itu Cuma
Kampanye Hitam!”
130 Raja Limbung
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 131

Bab 5
“Itu Cuma
Kampanye Hitam!”

Sawit, sebagai bagian keluarga palma, memang mudah


dipahami. Tapi, urusan menjadi lain ketika dia menjadi bagian
dari ekologi global, dengan interaksi sosial-ekonomi yang
kompleks. Sawit berubah menjadi gambar mozaik yang rumit.
Keping demi keping berbicara dengan beragam kepentingan,
termasuk interes modal yang luar biasa.
Retno Sulistyowati, anggota tim penulis, berbincang
dengan Achmad Mangga Barani, mantan Direktur Jenderal
Perkebunan Departemen Pertanian, pada pertengahan 2011.
Pada periode jabatannya, 2006 - 2010, dia dianggap berhasil
menggenjot produksi sawit nasional sehingga pada 2008
produksi sawit Indonesia melampaui Malaysia. Program
revitalisasi perkebunan juga termasuk program unggulan
yang digagas oleh Achmad.
Kendati Achmad sudah resmi pensiun, perbincangan ini
berguna untuk lebih memahami sawit dan posisi pemerintah
dalam mozaik ini. “Banyak black campaign bahwa minyak
132 Raja Limbung

sawit itu merusak lingkungan, merusak habitat orang utan,


dan lain sebagainya. Bersama dengan Malaysia, kita menangkal
kampanye hitam seperti itu,” kata Achmad Mangga Barani.
Pernyataan Achmad menunjukkan tipikal sikap pejabat
pemerintah, juga sebagian besar pengusaha dan masyarakat
luas. Saban kali ada kritik tentang praktik perkebunan sawit,
muncul reaksi defensif bahwa kritik itu adalah bagian dari
kampanye hitam demi persaingan global.

“Sampai hari ini pasar minyak sawit itu mencapai 33,2


persen dari total minyak nabati dunia. Pemasoknya
cuma Indonesia dan Malaysia. Jadi, posisi kita cukup
bagus. Kalau dari sisi permintaan pasar internasional,
tidak ada masalah. Yang jadi persoalan adalah adanya
persyaratan yang bermacam-macam, terutama dari segi
lingkungan”.
- Achmad Mangga Barani,
mantan Direktur Jenderal Perkebunan
Departemen Pertanian,

Benar, bisa jadi persaingan global telah berbuntut black


campaign pada pamor sawit kita. Namun, kasus Mesuji
yang dikuatkan temuan Tim Gabungan Pencari Fakta, 2012,
membuktikan bahwa sebagian besar kritik yang mendera
sawit bukan sekadar omong kosong. Pemerintah, harus
diakui, telah terlalu lama menutup mata dan menganggap
protes dari lapangan adalah sekadar ‘black campaign’, sebuah
sikap yang patut kita tuntut untuk diubah dan dibenahi.
Tanpa pembenahan mendasar pada pengelolaan
perkebunan sawit, mustahil tercapai pertumbuhan
produksi sawit yang berkualitas. “Rekomendasi saya, kita
harus saling memupuk kepercayaan antara pemerintah,
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 133

petani, dan pengusaha mitra,” kata Achmad. Membangun


kepercayaan, kita tahu, bukan semudah membalik telapak
tangan. Kepercayaan juga sesuatu yang tak datang begitu
saja, tapi harus diupayakan. Respek pada petani, respek pada
pengusaha mitra, dan serius meluruskan perizinan yang
tumpang tindih adalah syarat mutlak.

Berikut ini percakapan dengan Achmad Mangga Barani:



Sebetulnya, bagaimana posisi dan proyeksi persawitan Indonesia
dalam peta persaingan global?
Jika kita membicarakan pasar, kita harus melihat ke mana arah
minyak sawit yang kita kembangkan. Sementara ini kita masih
mengutamakan konsumsi minyak nabati dibanding untuk energi
atau biofuel. Di masa mendatang, kita akan mengembangkan
dengan variasi yang lebih banyak, lebih seimbang antara energi dan
makanan.
Sampai hari ini pasar minyak sawit itu mencapai 33,2 persen dari
total minyak nabati dunia. Pemasoknya cuma Indonesia dan Malaysia.
Jadi, posisi kita cukup bagus. Kalau dari sisi permintaan pasar
internasional, tidak ada masalah. Yang jadi persoalan adalah adanya
persyaratan yang bermacam-macam, terutama dari segi lingkungan.

Sumbangan sawit terhadap perekonomian negara, termasuk


penentuan pajak ekspor atau PE?
Sawit itu sudah menyumbangkan devisa negara US$ 14 miliar
tahun 2009. Sektor ini juga menyumbangkan PE sekitar Rp 13
triliun. Pemasukan dari pajak ini yang antara lain digunakan untuk
subsidi harga minyak goreng dalam negeri. Tapi sumbangan yang
paling penting adalah membuka lapangan kerja. Ini sektor yang pro
poor dan pro job untuk mengurai kemiskinan, dan sekarang ditambah
lagi lingkungan.
134 Raja Limbung

Jika kita membuka lahan 500 ribu hektare per tahun, dengan
setiap keluarga petani mengelola 2 hektare, maka paling tidak bisa
250 ribu tambahan tenaga kerja baru tiap tahun.

Peta persaingan dengan Malaysia?


“Sampai hari ini
Kita menjadikan Malaysia sebagai
pasar minyak sawit
mitra, partner, bukan saingan. Sebagai
itu mencapai 33,2
sesama produsen besar, kita bermitra
persen dari total
sehingga kita punya posisi tawar yang
minyak nabati
lebih besar dalam persaingan global.
dunia. Pemasoknya
Tiap enam bulan kita ketemu, mengatur
cuma Indonesia dan
strategi bagaimana supaya kita
Malaysia. Jadi, posisi
memenangkan sawit ini.
kita cukup bagus. Kalau
dari sisi permintaan Kita saling mendukung strategi
pasar internasional, pemasaran. Kita juga bersama-sama
tidak ada masalah. melakukan perlawanan kalau ada black
Yang jadi persoalan campaign, yang menjelekkan sawit di
adalah adanya dunia internasional. Seperti diketahui,
persyaratan yang sekarang ini banyak black campaign bahwa
bermacam-macam, minyak sawit itu merusak lingkungan,
terutama dari segi merusak habitat orang utan, dan lain
lingkungan”. sebagainya. Bersama dengan Malaysia,
- Achmad Mangga kita menangkal kampanye hitam seperti
Barani, itu.
mantan Direktur
Jenderal Perkebunan Sepertinya tudingan dunia lebih
Departemen Pertanian, mengarah ke Indonesia ketimbang
Malaysia?
Ya. Itu karena kita masih
memperluas, sedangkan Malaysia sudah tidak lagi ekspansi kebun.
Bukan berarti Malaysia tidak kena imbas. Hanya saja, Indonesia
dianggap tidak ramah lingkungan di dalam penanaman dan
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 135

pengusahaan karena masih banyak yang dalam tahap menanam.


Malaysia tidak lagi memperlua area perkebunan dan lebih fokus
di peningkatan produktivitas. Lahannya sudah tidak ada. Mereka
cukup dengan 4,8 juta hektare saja, tapi dengan produktivitas bagus.
Itu sebabnya, produksi sawit Malaysia tidak pernah lagi
melampaui produksi Indonesia. Kita berpeluang tumbuh dua kali
lipat dibanding Malaysia. Posisi saat ini kebun kita total seluas 7,6
juta hektare.

Apa yang membuat produktivitas perkebunan Malaysia lebih


baik?
Sistemnya kan berbeda. Kebun di Malaysia dimiliki perusahaan
besar dengan standar yang ketat. Sedangkan perkebunan di Indonesia
dimiliki pengusaha dan petani, 46 persen perkebunan kita dimiliki
petani. Itulah yang sering jadi masalah karena standar pengelolaan
berbeda-beda. Di Malaysia, kepemilikan petani hanya 2-3 persen
saja.

Bagaimana dengan road map sawit nasional?


Sudah ada road map mengenai sawit yang disusun bersama-sama
dengan berbagai instansi terkait. Gambarannya, pada tahun 2020,
kita punya areal sekitar 10 juta hektare dengan produksi sekitar 40
juta ton CPO. Itulah yang kita gunakan untuk minyak makan dan
mengarah di sektor energi.
Tidak mungkin 40 juta ton itu terserap total seluruhnya untuk
minyak makan. Pasar lokal, kita membutuhkan sekitar 4 juta ton CPO
untuk minyak makan. Dunia membutuhkan minyak nabati 127 juta
ton sampai tahun 2008. Perkiraannya, pada 2020, kebutuhan minyak
sawit dunia mencapai 140-an juta ton. Ini belum termasuk kebutuhan
sawit untuk energi. Pendeknya, pasar semakin tidak terbatas.
136 Raja Limbung

Untuk mencapai 10 juta hektare pada 2020, perlu berapa


hektare pembukaan perkebunan setiap tahun?
Lahan itu sudah hampir dimiliki oleh pengusaha dan petani.
Tinggal waktu menanam yang bertahap. Soal lahan sudah nggak ada
masalah lagi. Sudah dimiliki perusahaan dan petani. Yang menjadi
masalah, kapan mereka harus menanam, atau kapan kegiatan tanam
dilakukan.
Harapan kami, pada tahun 2020 areal itu sudah ditanami semua.
Setiap tahun rata-rata realisasinya penanaman baru 500 ribu hektare.
Bukan targetnya sebesar itu.

Belum jelas Kalo dikaitkan dengan moratorium, apakah


juga, kan, apa pengembangan lahan bisa terganggu?
yang hendak Tidak ada kaitannya dengan moratorium
dimoratorium. sebenarnya. Wong, izin lahan sudah dikasih.
Hanya Lahan sudah dikuasai perusahaan dan petani.
dikatakan lahan Moratorium, kan, untuk ke depan.
gambut dan Hal ini yang saya selalu ingin jelaskan.
hutan primer Moratorium itu apa sih? Berlaku untuk apa?
dilarang dibuka. Itu harus jelas. Sampai hari ini belum ada
Gambut yang kejelasan. Jadi, sejauh ini kita jalan aja, sesuai
mana yang dengan ketentuan yang sudah ada.
dilarang? Yang
Belum jelas juga, kan, apa yang hendak
ketebalannya
dimoratorium. Hanya dikatakan lahan gambut
lebih dari tiga
dan hutan primer dilarang dibuka. Gambut
meter? Belum
yang mana yang dilarang? Yang ketebalannya
jelas. Kita hanya
lebih dari tiga meter? Belum jelas. Kita hanya
menggunakan
menggunakan yang kurang dari tiga meter
yang kurang
yang boleh ditanami.
dari tiga meter
yang boleh
ditanami.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 137

Sejauh ini bagaimana kesepakatan interdepartemen?


Belum ada, belum selesai. Itu kan baru berlaku 2011 (wawancara
dilakukan pada awal 2011 - Red). Semuanya masih dalam pembahasan
pemerintah. Mengganggukah moratorium? Tunggu dulu. Jika yang
dimoratorium adalah lahan gambut di atas 3 meter, itu artinya tidak
ada pengaruhnya terhadap perkebunan. Karena selama ini yang
dibuka adalah yang di bawah 3 meter.
Begitu juga dengan larangan membuka hutan primer. Yang
mana yang dimaksud hutan primer? Harus jelas dulu.

Bagaimana inspeksi pemerintah atau pihak berwenang terhadap


pelaksanaan penanaman sawit di lahan gambut?
Memang betul tugas pemerintah mengawasi penggunaan
gambut, terutama pemerintah daerah. Karena dia yang memberi
izin. Bodoh kalau ada pengusaha perkebunan yang menanam di
lahan gambut yang lebih tebal dari 3 meter. Di mana tumbuhnya
akar? Bagaimana akar mau memegang tanah, terutama kalau sawit
sudah tumbuh besar, usia 10 tahun, 20 tahun?

Lingkungan menjadi isu global dan keras sekali tuntutannya?


Bagaimana mengatasi persoalan ini?
Nggak ada masalah. Kita kan semua prosedur juga mengikuti
kaidah lingkungan kok. Tidak ada sedikit pun ayat di UU Perkebunan
yang menyebut bahwa bangunlah perkebunan tanpa memperhatikan
lingkungan, babat semua hutan. Tidak ada itu.
Sudah sejak awal, UU Perkebunan berwawasan lingkungan.
Soal ada yang melakukannya, itu soal sanksi dan penegakan hukum.
Orang jahat. Jadi, jangan karena ada orang jahat, kemudian orang
perkebunan dianggap melanggar semua. Pemerintah berwenang
mengawasi, mulai dari pusat, provinsi, kabupaten, semua bertugas
mengawasi.
138 Raja Limbung

Bagaimana peranan lembaga terkait seperti Kementerian


Lingkungan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian
Kehutanan?
Yang bertanggung jawab itu yang memberi izin. Kalau kami
yang mengeluarkan izin, maka kamilah yang bertanggung jawab atas
izin yang dikeluarkan itu. Tapi, kan tidak demikian. Izin perkebunan
semuanya dari bupati dan kepala daerah.
Kalau yang dibuka adalah hutan, baru izinnya kepada
Kementerian Kehutanan. Lagipula, tidak semuanya ditanam di areal
hutan. Ada di areal buddidaya, ada di penggunaan lain-lain. Ada di
hutan konversi. Nah, nanti kalau masuk ke hutan konversi, baru ada
campur tangan dari Departemen Kehutanan. Selama penanaman di
areal budidaya, itu kewenangan kepala daerah.

Pada program revitalisasi kebun sawit, apakah melibatkan dana


APBN? Sejauh mana efektivitasnya?
Tidak ada. Revitalisasi perkebunan itu dana perbankan. APBN
hanya menjadi motor, yakni dalam hal memberikan subsidi bunga.
Untuk kebun kelapa sawit, dikenakan 7 persen saja. Selisih bunga
dengan rate pasar dibayar pemerintah. Itu saja.
Evaluasi sementara, program revitalisasi perkebunan ini berjalan,
tapi tidak secepat yang kita inginkan. Bagaimana pun bank menjaga
bisnis dan perputaran uangnya. Pemerintah juga tidak bisa memaksa
bank BUMN. Mereka punya sistem sendiri yang independen.
Perbankan mempersyaratkan cukup berat, misalnya petani
harus memiliki sertifikat dan surat-surat tanah yang jelas. Justru itu kan
kelemahan petani kita : permasalahan hak tanah. Sekarang yang sudah
revitalisasi mencapai 135 ribu hektare pada 2007-2010. Itu luasan yang
cukup besar juga sih. Tapi target kita lebih besar lagi, yakni 1,5 juta
hektare.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 139

Bank pelaksana bank pemerintah semua?


Ada juga bank swasta. Ini ada 13 bank pelaksana. Tapi kelihatannya
yang agresif memang pemerintah juga. Mandiri dan BRI yang lebih
dominan. Swasta misalnya, Agro Bank, Bank Niaga. Tapi kembali
lagi, ini kan uangnya bank. Tidak bisa kita memaksakan mereka.

Seberapa target pertumbuhan yang diharapkan dari program


revitalisasi perkebunan sawit?
Begini, kita ingin, dengan revitalisasi, rakyat menjadi mayoritas.
Tapi pengembangan sawit itu bukan dari revitalisasi saja. Masih
banyak kegiatan lain yang mendukung itu. Yang besar malah
sebenarnya swadaya masyarakat. Tidak pusing dengan bank. Dia
sendiri yang menanam. Nggak usah pakai skema perbankan.
Swadaya itu lebih besar daripada yang menggunakan fasilitas
pemerintah. Jadi yang menikmati fasilitas pemerintah betul-betul
yang rakyat miskin. Yang ikut pemerintah itu kan petani yang nggak
ada uangnya saja. Kalau dia ada uang, ngapain pakai uang bank yang
prosedurnya sulit.

Kenyataannya di lapangan memang program revitalisasi yang


menggunakan dana bank ini seret dan amat sulit?
Apa saja yang melibatkan bank memang sulit. Kecuali, ini
berbeda, dulu kita punya program, uang pemerintah yang disimpan
di bank. Silahkan bank sebagai jembatan penyalur saja. Kalau skema
ini, saya bisa paksa bank untuk menyalurkan dana itu.
Tapi, nggak bisa seperti itu. Pertanyaannya, dari mana uangnya
pemerintah? Dulu itu kita pinjam dari Bank Dunia. Sekarang tidak
ada lagi. Kredit semacam itu berhenti, sejak tahun 1990-an tidak
ada lagi. Sekarang ini yang dipakai adalah uang bank, seratus persen
risiko ditanggung bank.
140 Raja Limbung

Skema kredit peremajaan tanaman yang ditawarkan bank Rp


40 juta per hektare. Padahal, perhitungan petani cuma butuh
Rp 15-25 juta per hektare. Akibatnya, petani merasa dipaksa
berutang jauh di atas kemampuan. Bagaimana ini?
Masih bagus bank mau nawarin kredit Rp 40 juta. Standar kami
pun Rp 23 juta per hektare, di beberapa tempat, itu pun nggak
dikasih oleh bank.

Bagaimana dengan program manajemen satu atap?


Kita kan mempelajari sejarah masa lalu. Kita punya Perkebunan
Inti Rakyat dan Perkebunan Inti Plasma, masing-masing ada plus
minus. Ternyata, terjadi penurunan setelah manajemen diserahkan
kepada petani. Kebun yang dipelihara dan tidak dipelihara jelas
berbeda hasilnya. Perkebunan inti bisa menghasilkan 18-20 ton
sawit, sementara kebun petani hanya menghasilkan 10 ton per
hektare.
Dari situlah kita belajar, kenapa tidak disatukan saja
manajemennya? Konsep inti-plasma tetap digunakan, tetapi
manajemen disatukan sehingga produktivitas tidak lagi ada perbedaan.
Seharusnya, sistem manajemen satu atap ini menguntungkan petani.
Kan, dia naik produksinya.

Banyak petani mengeluhkan penetapan harga tandan buah


segar (TBS) yang memasukkan indeks K? Bisa dijelaskan?
TBS ini ditentukan pemerintah daerah setelah melalui rapat
bersama dengan swasta dan wakil petani, setiap bulan. Jadi TBS itu
harga bersama.
Indeks K adalah biaya operasional pabrik yang dibebankan dalam
penentuan harga. Harga CPO berapa, inti sawit atau kernel berapa,
ini diurai dalam rumus harga yang disepakati. Ada penyusutan nilai
juga. Itulah komponen yang diterima petani, karena dia memang
berawal tanpa modal apa-apa.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 141

Dalam konsep manajemen satu atap, petani juga harus


menanggung. Namanya juga bermitra. Kan ada pembelian pupuk,
pestisida, pemeliharaan, dan lain-lain yang memang harus dibebankan
kepada petani.

Manajemen satu atap akan ada pilot project atau berlaku nasional?
Bukan pilot project. Pola manajemen satu atap ini menggantikan
pola lama. Ya, namanya bermitra itu kalau sudah diawali
dengan khawatir, ya tidak bisa jalan. Kalau diawali dengan tidak
percaya, bentuk kemitraan apa pun, tidak ada hasilnya. Kalau saya
dari situ mulainya. Namanya bermitra, ya, harus saling percaya. Itu
dulu yang pertama.
Sudah otomatis, saya punya kebun di sini, pabriknya di sini,
tidak mungkin dia pergi ke tempat atau pabrik lain yang lokasinya
lebih jauh. Dan inilah yang menjadikan, kenapa manajemen satu
atap itu solusi atas bentuk pengkhianatan ke dalam atas kerjasama
PIR selama ini.

Apa yang Anda maksud dengan “pengkhianatan”?


Pada banyak kasus, perani tidak menjual tandan sawit ke
perusahaan inti. Dengan manajemen terpisah, petani bisa pergi jual ke
tempat lain. Sebenarnya hal itu dilakukan untuk menghindari bayar
utang terhadap inti. Kelemahan inilah yang kita perbaiki. Sehingga
semua menikmati kerugian. Pabrik di sini yang berkapasitas 30 ton
TBS tidak terpenuhi. Karena sebagian produksi kebun mitra dijual
di luar pabrik.

Mengapa petani menjual sawit ke tempat lain? Mungkin harga


TBS di pabrik tersebut terlalu murah?
Bukan. Harga ditetapkan sama-sama. Yang berbeda adalah:
kalau petani menjual tandan sawit ke pabrik milik perkebunan inti,
142 Raja Limbung

maka hasil yang dia terima harus dipotong angsuran pembayaran


utang. Sementara di pabrik lain dia tidak kena potongan utang
30 persen. Kenapa? Karena kebun itu dulu perusahaan inti yang
membangun.
Jadi ini ada dua pabrik berjalan. Yang satu tidak terlibat
membangun kebun. Kalau dijual ke pabrik tersebut, petani akan
menerima utuh. Berbeda bila menjual ke inti, dipotong biaya plasma
yang kemarin. Dari harga 10 dia terima cuma 7. Begitulah, memang
banyak orang yang tidak setia membayar utang.

Bukankah sertifikat dipegang oleh perkebunan inti dan bisa


dijaminkan untuk mendapat utang oleh perusahaan?
Memang sertifikat dipegang selama belum lunas utangnya. Itu
dipegang oleh bank, bukan oleh perusahaan. Bank pemberi pinjaman.
Nanti kalau sudah lunas, baru sertifikat diambil.

Apakah ada jaminan bahwa sertifikat akan kembali ke petani,


tidak diambil oleh pengusaha? Banyak kasus pengusaha tidak
mengembalikan sertifikat petani...
Pasti kembali, wong tanahnya dia. Kembali lagi, perusahaan
tidak akan kembalikan sertifikat petani, kalau petani tidak melunasi
utangnya. Jadi kadangkala kita hanya menuduh. Coba tanya ke
petani, dia sudah lunasi utang belum. Itu aturan umumnya.

Ekspektasi masyarakat terhadap sawit besar sekali, bahwa ini


salah satu penyokong perekonomian nasional. Tapi, sejauh
mana sawit menyejahterakan petani?
Sangat. Tidak ada komoditi pertanian yang lebih memberikan
hasil dari ini. Tidak ada petani yang memiliki jaminan pendapatan
setiap bulan. Ini petani sawit mempunyai pendapatan bulanan. Satu
juta hektare, minimal dapat Rp 1 juta. Sawit kan tiap bulan pasti
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 143

panen. Dua minggu sekali panen. Tentu ini bicara ketika kebunnya
telah memasuki masa berbuah. Sebelum itu ya masa berjuang
menanam. Tidak ada yang dihasilkan dari masa membangun, itu di
mana pun. Kita bicara pada tatanan yang sudah produksi.
Perkiraan Rp 1 juta per hektare itu menggunakan pola lama.
Kalau pola baru diterapkan, malah akan lebih tinggi lagi karena
produktivitas meningkat. Rata-rata petani memiliki 2 hektare. Itu
karena harga sawit yang bagus. Soal harga sekarang sedang turun, itu
biasa, namanya juga komoditi ekspor. Sawit ini bukan tanaman yang
di kota, dia di remote area. Di mana saja sawit bisa ditanam di remote
area. Kedua, di mana ada sawit, di situ pasti ada perkembangan
daerah. Itu yang harus dilihat. Tidak ada daerah sawit yang tidak
berkembang. Pasti terjadi pertumbuhan ekonomi di areal kebun.
Lain dengan pabrik karet, yang dibangun di kota. Sementara
karetnya ada di kebun. Pabrik coklat juga demikian, jadi semua bahan
baku diangkut ke kota. Sawit tidak bisa. Semua harus dibangun di
sekitar kebun, di pedesaan. Sehingga berputarlah roda ekonomi.
Karena setiap minggu, setiap dua minggu terjadi dana yang bergulir
di situ sekitar Rp 5 miliar tiap 2 atau 3 minggu untuk pembayaran
tandan sawit hasil panen petani. Maka terjadilah pengembangan
desa. Artinya, pengaruh sawit sangat besar di dalam perekonomian
kita.

Kira-kira berapa hektare lahan minimum yang mesti dimiliki


petani untuk dapat hidup standar?
Dalam pola yang baru ini kita minta 4 hektare. Dulu tahun
1980-an kita hitung dengan lahan 2 hektare sudah cukup untuk
menghidupi keluarga, karena kebutuhan petani terbatas. Dulu
mereka cukup naik sepeda. Sekarang naik motor. Sekarang
kebutuhannya sudah berbeda. Mereka butuh menyekolahkan anak
ke perguruan tinggi, dulu cukup SD.
144 Raja Limbung

Apa strategi untuk meningkatkan kepemilikan petani?


Itulah, mengapa kita, kan tanah liar masih banyak. Itu sebabnya,
sejak 2009, setiap perkebunan besar tidak boleh 100 persen memiliki
kebun. Harus ada disisihkan lahan 20 persen untuk petani.
Setiap penyerahan lahan oleh pemda, izin kebun, itu sudah
ditulis 20 persen untuk petani. Lahan 20 persen itu dibangun dengan
revitalisasi. Jadi pasti terjadi. Ada uangnya. Ada kreditnya. Itulah
perubahan yang dilakukan, menyangkut luas areal dan manajemen.
Perkiraannya, dengan pola ini petani bisa memperoleh
penghasilan Rp 5-6 juta per bulan, setara dengan pegawai
menengah. Sejak mulai program revitalisasi tahun 2007 konsep
pemberian lahan 4 hektare ini berjalan. Ini bagian dari manajemen
satu atap revitalisasi perkebunan.

Menurut Anda, terkait refleksi satu abad perjalanan sawit di


Indonesia, apa yang harus diperbaiki?
Ada tiga hal utama yang menjadi rekomendasi kami, yaitu:
Pertama, saling memupuk kepercayaan antara pemerintah,
petani, dan pengusaha mitra. Karena sawit ini tidak mungkin
dikembangkan tanpa pengusaha. Kalau tidak ada pabrik, tidak
ada pembeli, bagaimana? Tidak mungkin petani yang membangun
pabrik. Pasti pengusaha. Koperasi? Koperasi mana yang bisa?
Investasi untuk membangun pabrik itu sedikitnya Rp 80 miliar
untuk kapasitas 50-60 ton TBS.
Sawit berbeda dengan karet yang bisa dibeli koperasi baru
dijual ke kota. Tidak perlu pabrik di kebun. Ada petani yang tidak
bermitra dengan pengusaha. Dia bisa saja survive. Dia bisa jual TBS-
nya ke mana-mana. Tapi petani inilah yang paling menderita atas
naik-turunnya harga. Kalau harga naik, petani langsung menikmati
kenaikan harga. Beda dengan petani mitra yang terikat harga TBS
selama sebulan. Sebaliknya, kalau turun harga, petani independen
pula yang paling kena dampak duluan. Petani mitra belum kena
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 145

penurunan harga. Intinya, masing-masing ada untung ruginya.


Manajemen satu atap tidak diwajibkan oleh pemerintah. Petani
mau manajemen sendiri, silahkan saja. Bebas. Tapi, kami sampaikan
dalam aturan, bahwa manajemen satu atap ini pilihan yang
menguntungkan. Pemerintah berkewajiban memberi informasi.
Kedua, Ke depan, basis sebaiknya tidak cuma CPO. Industri
ke depan jangan cuma CPO. Kita mulai masuk pada industri hilir
lainnya. Sehingga nanti nilai ekspor kita tidak tergantung pada harga
CPO. Tapi pada derivat yang kita sudah hasilkan. Saat ini prosentase
antara CPO dengan derivat masih 50:50 persen. Diharapkan, dalam
10 tahun ke depan, paling tidak tinggal 20 persen dalam bentuk
CPO. Kalau hanya CPO itu kan bahan baku biasa. Kita kan mau
industri yang lebih maju, supaya harga lebih baik.
Ketiga, pembangunan cluster industri, yakni dalam satu lokasi
kita membangun berbagai macam derivat produk sawit. Saat ini telah
ada tiga cluster berbasis sawit yang sekarang
sedang dirancang. Pertama di Medan yakni Ke depan,
di Semangke, kedua di Dumai, dan ketiga basis sebaiknya
di Maloi - Kalimantan Timur, ketiganya tidak cuma
dilengkapi pelabuhan ekspor. Ini akan CPO. Industri
berkembang menjadi satu kluster industri. ke depan
Selama ini pelabuhan ekspor sawit kita jangan cuma
hanya dua, yakni di Belawan dan Dumai. Ini CPO. Kita
dikeluhkan oleh para pengusaha bagaimana mulai masuk
antrian yang panjang di situ menyebabkan pada industri
biaya mahal. Dengan tiga pelabuhan ekspor hilir lainnya.
baru ke depan di tiga kluster tadi. Progres, Sehingga nanti
sekarang sudah mulai. Di Sumatera Utara nilai ekspor
sarana awal sudah terbangun seluruhnya. kita tidak
Tinggal nanti 2011 membangun industri tergantung
derivatnya. Industri dasarnya sudah. Di situ pada harga
ada pabrik TBS yang menghasilkan produk CPO
untuk bahan baku powerplant, airnya di situ,
146 Raja Limbung

untuk perumahan, perkantoran, dan pabrik. Itu semua akan selesai


tahun 2010. tahun berikutnya industri masuk. Pabrik beroperasi 1-2
tahun, sekitar 2013-2014 sudah menjadi betul-betul industri yang
berbasis sawit. Dibangun PTPN III Sumatera Utara sebagai lead,
perusahaan negara. Dumai sudah jalan, tinggal nambah beberapa
investasi. Pengembangan dari yang ada sebelumnya.
Bab 6

Kisah
Danau Sentarum
148 Raja Limbung
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 149

Bab 6
Kisah
Danau Sentarum

Sepenggal laporan perjalanan ke areal Danau Sentarum. Nafsu ekspansi


kebun sawit terus menderas, tarik-ulur dengan kebutuhan masyarakat
menjaga alam, sumber kehidupan sehari-hari.

USAT meringis. Lelaki paruh baya itu terus meraung dan memegangi
hidungnya. Darah segar deras mengucur. Di hadapannya, Bantin,
berdiri pongah.
Bantin, dia anak kandung Usat. Bau arak yang menyengat
meruap dari mulut pemuda berusia 30 tahunan itu. Hujan
makian dalam bahasa Iban, bahasa lokal di Kapuas Hulu, juga
tersembur. Usat tak berdaya. Dia digotong sejumlah orang yang
segera melarikannya dengan sepeda motor ke rumah mantri
kesehatan di pusat desa Sungai Tembaga, Empanang, Kapuas
Hulu, Kalimantan Barat.
Sembam, Kepala Dusun Sebindang, Sungai Tembaga,
mengisahkan peristiwa nahas pada tengah malam Jumat, 14 Mei
2010 itu. Saat itu sejumlah penduduk sedang berkumpul membahas
rencana kehadiran perkebunan sawit di daerah mereka. Sebindang,
dusun mereka, adalah satu dari tiga dusun di Sungai Tembaga yang
sebagian besar penduduknya menolak keras kehadiran perkebunan
kelapa sawit. Dua dusun lainnya adalah Batu Pansap dan Semayos.
150 Raja Limbung

Malam itu Unja, pendukung perkebunan sawit, mengundang


penduduk Sebindang ke rumahnya untuk membicarakan rencana
kehadiran perkebunan sawit. Arak dihidangkan. Cawan demi
cawan arak ditenggak tetamu. Pembicaraan juga semakin memanas.
Mereka terbelah, ada yang setuju, sebagian yang lain menolak. Usat
dan Bantin, bapak dan anak, juga berbeda kubu. “Usat tak setuju,
sebaliknya Bantin setuju sawit,” kata Sembam.
Menjelang tengah malam, hawa kian panas. Perbincangan
semakin meninggi. Lalu, tiba-tiba, bak, buk..! Pemuda berbadan tegap
itu melayangkan tinju keras ke hidung bapaknya. Darah membasahi
baju dan menggenangi cawan arak di depannya. Pertemuan bubar.
Lelaki berusia 50 tahunan itu dilarikan ke rumah mantri kesehatan
Sungai Tembaga. Bantin pergi entah ke mana. “Daerah kami rawan.
Anak bisa berantem dengan orang tuanya hanya gara-gara sawit,”
kata Sembam.
Keesokan harinya, dia membawa berita ada pembunuhan di
Upak, desa yang berjarak sekitar 10 kilometer di sebelah utara Sungai
Tembaga. Belum jelas siapa yang membunuh tapi menurut Sembam
pemicunya juga kebun sawit. Ketegangan kerap dipicu agresivitas
perusahaan membebaskan lahan untuk kebun.
Wawan Hermawan, Kepala Perlindungan Dinas Perkebunan
Kalimantan Barat, menegaskan bahwa tidak ada pemaksaan apa
pun kepada masyarakat untuk menyerahkan lahan mereka kepada
perkebunan sawit. “Sekarang bukan zaman Orde Baru lagi,” kata
Wawan.
Dia menyesalkan kampanye berbagai LSM yang menyebutkan
perkebunan sawit menimbulkan dampak sosial negatif, lalu diekspos
ke mana-mana. Kata dia, kampanye itu sama saja dengan menjual
bangsa sendiri. “Padahal belum tentu benar, karena semua proses
pengadaan lahan sesuai undang-undang,” kata Wawan.
Faktanya, menurut Pastor Robert, setiap kali akan dilakukan
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 151

Seorang anak menyebrangi danau Sentarum menggunakan kapal boat, Kalbar, 14/05:
Foto: TEMPO/Aditia Noviansyah
152 Raja Limbung

sosialisasi, pihak perusahaan hanya selalu mengikutsertakan aparat


Muspika seperti aparat dari kecamatan, Koramil dan Polsek. “Mereka,
aparat itu, hanya mendapatkan bayaran sebesar Rp 50 ribu-Rp 100
ribu untuk sekali pertemuan,” kata Robert. Bagi masyarakat yang
sekian lama mengalami trauma kekerasan Orde Baru, kehadiran
polisi dan tentara dalam pertemuan itu sama saja dengan pemaksaan
untuk setuju pada tawaran perusahaan.

Si Jangguk
Jackson Jangguk namanya. Dia adalah Kepala Desa Kekurak,
Kecamatan Badau, yang setuju hutan-hutan di desanya ditanami
sawit. “Lebih baik menjauh dari dia,” kata Ilah, aktivis LSM Riak
Bumi Pontianak, yang mendampingi tim penulis menjelajah Badau,
Suhaid, dan Empanang.
Terlambat. Mobil Toyota pick up dua kabin, yang kami tumpangi
rupanya menjadi pusat perhatian Jangguk dan kawan-kawannya.
Ketika mengisi bahan bakar tak jauh dari tempat orang-orang itu
berkumpul, Jangguk menghampiri mobil kami. Dia menunggangi
sepeda motor berpelat nomor merah. Matanya tertutup penuh
kacamata hitam. Sergahnya, “Dari mana kalian?
Kenapa motret-motret? Dari LSM hah?”
Kami
Sepagi itu, dari mulut Jangguk sudah meruap
membisu.
bau alkohol. Kami tak ada yang menjawab. Saya
Sebelum
mencoba menoleh ke belakang mobil. Di kejauhan
kembali ke
terlihat beberapa orang yang berkumpul dengan
warung kopi
Jangguk seolah menunggu perintah. Ilah mulai
itu, Jangguk
membuka suara dan menjelaskan singkat dalam
menendang
bahasa Iban, bahwa kami bukan dari LSM. Jangguk
pintu mobil
tidak mau tahu.
kami. Duk.
“Babi kalian Dia mulai memainkan gas sepeda motor
semua,” sebelum melarikannya dengan gegas. Setelah
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 153

berjarak sekitar 100 meter di depan mobil kami, dia memutar arah,
berbalik mendatangi kami kembali. “Cepat kalian angkat kaki dari
sini sebelum mendapatkan penyakit,” katanya.
Kami membisu. Sebelum kembali ke warung kopi itu, Jangguk
menendang pintu mobil kami. Duk. “Babi kalian semua,” katanya.
Jangguk dikenal sebagai jagoan di seantero Badau, Empanang hingga
di Kecamatan Lanjak. Hobinya menyabung ayam.
Manajemen PT Sinar Mas Agro Resources & Technology (Smart)
memberangkatkan Jangguk dan beberapa kepala desa setempat
menuju Riau, awal 2010. Layaknya studi banding, rombongan
Jangguk melihat-lihat kebun sawit yang dikelola Smart di Riau.
“Kami bawa mereka studi banding ke Riau. Ada yang dari pemerintah
daerah, ada juga tokoh masyarakat,” kata Bernard Ho, Manajer
Umum PT Smart. “Ada yang berubah sikapnya terhadap sawit, ada
yang tidak.”
Smart, anak perusahaan Grup Sinar Mas, adalah milik keluarga
taipan Eka Tjipta Widjaja. “Kami perkebunan sawit yang pertama
yang masuk ke Kapuas Hulu, sekitar 2005-2006,” kata Bernard.
Ada sembilan perusahaan perkebunan sawit dengan total lahan 165
ribu hektare yang ada dalam kendali Smart. Termasuk di antaranya,
yang paling luas, adalah PT Kapuas Indo Farm dan PT Kartika
Prima Cipta.
Tokoh masyarakat Batu Pansap, Hendrikus Derawan bercerita,
sehari setelah menghardik dan memaki-maki kami di Badau itu,
Jangguk datang ke rumahnya. “Saya bilang kepada Jangguk: kamu
jangan mengganggu desa saya, urus saja desa kamu sendiri,” kata
Derawan.

Kota Texas di Kapuas


Badau, sebuah kecamatan di Kapuas Hulu. Hutan yang dulu lebat
wingit di wilayah ini telah berganti dengan perkebunan sawit.
154 Raja Limbung

Kawasan Kelapa sawit di kawasan Suku Iban, Kalbar, 14/05:


Foto/Aditia Noviansyah
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 155

Menyusuri jalan antara pusat kota Badau hingga ke Sungai Tembaga


di Empanang, sekitar 30 menit, hamparan sawit seolah tak habis-
habis. Semuanya terbuka, semuanya seragam. Pokok-pokok sawit
berjajar lurus.
Sesekali tampak sisa-sisa pohon yang tumbang dan membusuk.
Traktor dan eskavator sibuk menguruk tanah. Truk-truk berukuran
sedang, hilir-mudik mengangkut bibit sawit dan pupuk. Bukit
diratakan.
“Masyarakat Badau memang mengharapkan ada perkebunan
sawit dan lokasinya juga sesuai dengan aturan. Yang menolak itu
hanya LSM-LSM,” kata Camat Badau, Achmad Salafuddin. Dia tak
menjelaskan lebih lanjut ihwal ini. “Silakan temui saja mereka,”
katanya.
Luas Kecamatan Badau mencapai 70,8 kilometer persegi atau
sekitar 0,23% dari luas Kabupaten Kapuas Hulu. Ada sembilan desa
dan 21 dusun di kecamatan itu. Jumlah penduduknya lima ribuan
jiwa. Mayoritas penduduknya beragama Katolik. Mata pencarian
mereka berladang dan bertani. Hanya sebagian kecil yang berdagang
dan beternak.
Hingga 2008, Badau memiliki ladang dan lahan pertanian
seluas 2.045 hektare dengan hasil produksi sekitar 1.000 ton per
tahun. Hasil perkebunan penduduk yang terutama adalah lada dan
karet yang diurus oleh sekitar 500 orang. ”Hasil tanaman kebun dan
pertanian di jual langsung ke Malaysia,” kata Joni Mawang, sesepuh
di Kampung Janting.
Penduduk menerapkan sistem berladang begiliran: setiap kepala
keluarga mengelola lima hektare dengan rotasi penggarapan lima
hingga tujuh bulan. Periodenya, untuk waktu tebang dilakukan
selama dua pekan pada saat membuka ladang, menanam di waktu
masuk musim penghujan, dan panen di bulan Februari-Maret.
Lewat cara itulah, sebagian besar penduduk Badau mencukupi
156 Raja Limbung

kebutuhan hidup. Kebanyakan dari mereka juga tinggal di rumah


betang, rumah panggung panjang, yang dihuni beberapa keluarga
keluarga. Bentuknya mirip ruko-ruko di perkotaan. Satu rumah
betang bisa dihuni hingga 40 kepala keluarga.
Sebelum kehadiran kebun-kebun sawit, Badau dijuluki sebagai
Kota Texas. Pendatang (sebagian besar buruh sawit) datang dari
berbagai kota seperti dari Jakarta, Surabaya, Semarang, dan lain
sebagainya. Di sini banyak tempat hiburan malam yang menyediakan
minuman keras dan pelacur. Perkelahian juga sering terjadi di sana.
Warung-warung makan dengan menu daeri berbagai daerah, kios-
kios yang menyediakan ponsel berikut pulsanya, bengkel-bengkel
mobil, dan vulkanisir. Semuanya serba ada.
Pasokan listri berasal dari Malaysia. Begitu pula barang
kebutuhan sehari-hari yang dijual di toko-toko. Para pedagang
membeli ke Serawak setiap pekan dengan melintasi pos perbatasan
lalu menjualnya kembali di Badau. Sisa kejayaan masa illegal logging
tampak sesekali saat mobil mewah melintas, seperti Mercedes atau
Pajero.
Jauh sebelum heboh soal perkebunan kelapa sawit, Badau
memang pernah menjadi pusat persinggahan sopir-sopir truk
pengangkut gelondongan kayu selundupan. Kayu-kayu itu diangkut
dari Batang Lupar, Badau, dan Empanang menuju Malaysia, yang
hanya berjarak sekitar 10 kilometer dari pusat Kecamatan Badau.
“Rumah makan saya, dulu, selalu penuh dengan pembeli,” kata
Ina, pemilik warung di Badau. “Sekarang sepi. Hanya saat akhir pekan,
buruh perkebunan sawit pulang ke Lanjak, mereka mampir makan.”
Kini kejayaan illegal logging telah berlalu. Jalanan rusak tak
terawat. Jarak tempuh Lanjak-Badau, yang dulu hanya 30 menit kini
butuh tiga atau empat jam. Lewat jalan yang rusak total itulah, setiap
hari truk-truk pengangkut pupuk dan bibit sawit milik perusahaan
perkebunan.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 157

Pertumbuhan Masyarakat Iban, Kalbar, 14/05: Foto/Aditia Noviansyah


158 Raja Limbung

Lebah, Arwana, dan Betutu


Jika ingin cepat menjangkau Kapuas Hulu, maka pesawat ringan
bisa mengantar Anda dengan jarak tempuh 1,5 jam dari Pontianak.
Jadwal penerbangannya tak tentu. Ongkosnya Rp 600 ribu sekali
terbang.
Melalui darat, jarak yang ditempuh
“Tak hanya kurang lebih 700 kilometer dan memakan
budidaya ikan waktu sehari semalam. Itu pun dengan syarat:
dan lebah tidak hujan karena jalan yang menghubungkan
madu yang Pontianak dan Putussibau sebagian besar tidak
bakal terancam beraspal. Untuk menggunakan perahu, speed
sedimentasi boat dan sebagainya, bersiaplah menempuh
lantaran sawit, jarak sekitar 850 kilometer.
fungsi Sentarum
Jumlah penduduk di kabupaten yang
dalam daur
berbatasan langsung dengan wilayah Serawak,
hidrologi
Malaysia ini mencapai 220 ribu jiwa. Mereka
pun bakal
tersebar di 25 kecamatan, empat kelurahan,
terganggu.”
208 desa dan 547 dusun. Sebagian besar dari
mereka bekerja di ladang dan pertanian, dan
nelayan di sungai Kapuas. Hanya sebagian
kecil yang bekerja di pertambangan batubara, berdagang, dan
menjadi pegawai negeri.
Dari Pemda Kapuas Hulu diperoleh keterangan, persoalan
utama kabupaten itu adalah pengangguran selain kemiskinan.
Dulu, sebelum 2007, masyarakat Kapuas Hulu banyak yang
bekerja di dalam hutan, membalak kayu illegal logging. Penghasilan
yang diterima taka banyak, Rp 40-50 ribu per hari. Banyak dari
mereka kemudian meninggalkan pekerjaan di sektor lain termasuk
perkebunan, perikanan dan pertanian.
Masalah muncul, ketika penebangan kayu gelap itu mulai
dihentikan. Dampaknya sebagian penduduk Kapuas Hulu juga
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 159

mulai kehilangan pekerjaan dan pendapatan. Itu terutama terjadi di


wilayah-wilayah yang kawasan hutannya sekarang mulai ditanami
bibit sawit, seperti di wilayah Suhais, Semitau, Batang Lupar, Badau
dan Empanang.
Pemerintah daerah lalu mencari solusi, antara lain dengan
mengembangkan sektor perkebunan dan pertambangan. Awalnya
masyarakat didorong membuka perkebunan karet. Melalui berbagai
program pemberdayaan, pemerintah kabupaten menyerahkan bibit
karet cuma-cuma kepada masyarakat.
Pemerintah juga bermaksud mengembangkan wilayah Kapuas
Hulu menjadi kawasan konservasi: membangun berlandaskan
mandat konservasi sumber daya alam. Itu meliputi hampir 60 persen
dari seluruh luas kabupaten, termasuk di dalamnya Danau Sentarum,
danau terbesar di Kalimantan dan terunik di dunia. Danau itu
ditetapkan sebagai kawasan taman nasional sejak 1999 melalui SK
Menhut Nomor 34/Kpts-II/1999.
Danau ini memang unik. Sekali setahun, terutama pada saat
musim kemarau, Sentarum bisa kering total dan bisa dilintasi
kendaraan seperti sepeda motor. Di musim hujan, ia berfungsi sebagai
penampung air yang menjaga ekosistem di sekitarnya hingga daerah
aliran Sungai Kapuas.
Dengan daya tampung air sekitar 63 miliar kubik, menurut World
Wide Fund Kalimantan Barat, Taman Nasional Danau Sentarum,
adalah permata ekosistem dengani ratusan jenis fauna. Antara lain,
mamalia 147 jenis (hampir 64% mamalia di Kalimantan terdapat
di Sentarum), 31 jenis reptil salah satunya buaya katak (Crocodylus
raninus) yang di Asia dinyatakan punah sejak 500 tahun lalu, 310
jenis burung, dan 265 jenis ikan yang jenis ikannya lebih banyak dari
semua jenis ikan air tawar di seluruh benua Eropa.
Dari danau seluas 132 hektare itulah sebagian penduduk di
Kapuas Hulu menggantungkan kehidupan ekonomi mereka. Selain
160 Raja Limbung

sebagai sarana untuk mengangkut barang-barang dagangan, mereka


juga membudidayakan berbagai ikan tawar. Tidak mengherankan,
jika Kapuas Hulu menjadi kabupaten penghasil ikan air tawar yang
cukup besar bagi provinsi Kalimantan Barat. Setidaknya 60 persen
ikan air tawar yang ditangkap di Kalimantan Barat berasal dari
bagian hulu sungai Kapuas. Kira-kira setengahnya dihasilkan dari
Danau Sentarum.
Data Dinas Pertanian dan Irigasi Kabupaten Kapuas Hulu
menunjukkan, pada 2003 total hasil tangkapan ikan air tawar dari
Sentarum mencapai 1916 ton, termasuk arwana dan toman. Dua
jenis ikan itu menjadi primadona penduduk. Setahun sekali mereka
memanen toman dan bisa mengantongi uang sekitar Rp 18 juta.
“Kami menyebutnya ikan tabungan karena masyarakat biasa
memanen, satu atau satu setengah tahun. Bisa mengumpulkan uang
banyak. Bisa bikin rumah beli barang dan sebagainya,” kata Roni
Mulyadi, eks Kepala Dusun Batu Rawan, Keboyan, Simbau.
Di Suhaid, penduduk setempat memanfaatkan air sungai Suhaid
dari Danau Sentarum untuk keperluan budi daya ikan arwana. Di
sana ada sekitar 100 tambak ikan arwana milik masyarakat dengan
nilai investasi mencapai Rp 200 miliar.
Belakangan, Bupati Kapuas Hulu, Abang Tambul bermaksud
mengembangkan daerahnya menjadi perkebunan sawit seluas 1,6
juta hektare. Tujuannya untuk mengundang investor agar mau
berinvestasi di Kapuas Hulu, karena hingga 2003 tidak ada investor
yang masuk ke Kapuas Hulu. Termasuk yang diundang, siapa lagi,
adalah pengusaha perkebunan sawit.
Pada 2009, tercatat sudah ada sekitar 300 ribu hektare lahan di
Kapuas Hulu yang disetujui menjadi perkebunan sawit. Salah satunya
milik PT Smart, anak perusahaan Grup Sinar Mas itu, yang akan
mengembangkan perkebunan sawit seluas 160 ribu hektare hingga
2014 mendatang. Tambul berharap, saat sawit sudah mulai panen
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 161

sekitar 4-5 tahun mendatang, pendapatan penduduk akan naik.


Kapuas Hulu akan menjadi kabupaten primadona di Kalimantan
Barat.
Penduduk dipersilakan saja jika ingin menanam karet. “Tapi, untuk
pengembangan lebih luas lagi hingga kini belum ada investor yang
berminat untuk karet. Yang berminat untuk kebun sawit banyak,”
kata Tambul. Ada lima perusahaan perkebunan kelapa sawit yang
mengelilingi kawasan Danau Sentarum, yakni PT Khatulistiwa Agro
Abadi (17 ribu hektare) dan PT Kartika Prima Cipta (18 ribu hektare).
Jumlah itu akan terus bertambah, karena sudah ada sembilan
perusahaan yang telah mengantongi izin dan siap beroperasi di sekitar
Sentarum. Perusahaan-perusahaan itu adalah PT Nusantara Mukti
Sentosa, PT Bukit Prima Plantindo, PT Aneka Prima Pendopo, PT
Plantana Razsindo, PT Setia Arto Mulia, PT Sawit Karunia Seriang,
PT Sumber Sawit Sintang, PT Kirana Mega Tara, dan PT Mandala
Agrisindo Perkasa.
Ekspansi sawit di kawasan Sentarum ini tentu memicu kerisauan.
Ekosistem di danau yang unik ini dikhawatirkan terganggu. Sebagian
species mungkin telah hilang tanpa kita sadari.
Ikan betutu, misalnya, salah satu andalan Kapuas selain
Arwana. Harga betutu ini bisa Rp 100 ribu per kilogram. Ruswandi,
nelayan di Sungai Suhaid, bercerita sekali panen ikan betutu ia bisa
mengantongi Rp 5 juta. Tapi, itu dulu. “Setelah masuk sawit, sungai
menjadi keruh. Ikan betutu sulit ditangkap, begitu juga uli atau
udang,” kata Ruswandi.
Tak hanya betutu yang hilang. Keramba dan bubu ikan juga
tak lagi disinggahi ikan. Lebah madu juga mulai jarang. Pohon
tinggi gagah, tempat madu bersarang, sudah banyak yang ditebang.
Ruswandi tak tahu, apakah sawit yang menyebabkan ikan-ikan
jarang berseliweran di Sungai Suhaid. Bisa saja ikan-ikan memang
sudah tergerus penangkapan besar-besaran selama ini.
162 Raja Limbung

Syamsuri, aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi)


Kalimantan Barat, yakin bahwa keberadaan kebun sawit memang
jadi persoalan lingkungan. Sisa-sisa penggunaan pupuk pestisida
oleh perkebunan sawit terbawa ke Danau Sentarum. “Itu berbahaya
bagi air Sentarum dan ekosistemnya,” kata Syamsuri.
Tudingan itu dibantah oleh Yanti, seorang pekerja di bagian
pemupukan perkebunan sawit yang ada di Suhaid. “Itu ketakutan
orang-orang kolam,” kata Yanti. Orang-orang kolam, yang dimaksud
Yanti, adalah para penangkar ikan arwana. Masalahnya kata dia,
jarak antara perkebunan sawit dengan kolam-kolam penangkaran
dan Danau Sentarum lumayan jauh. “Tak mungkin pupuk turun
karena pemupukan sawit tergantung takaran dan diserap akarnya.
Buktinya sampai sekarang tidak ada ikan yang mati,” kata Yanti.
Bernard, dari Smart membenarkan pendapat Yanti. “Sekarang ini,
yang dipakai adalah pupuk organik, yang relatif tidak mengganggu
lingkungan.”
Budi Suryansyah, Kepala Seksi Wilayah II Semitau Taman
Nasional Danau Sentarum, menjelaskan bahwa akibat negatif
perkebunan sawit memang belum terlihat dan terasa. Dampak akan
terasa jika kebun sawit sudah berumur tahunan. Perkebunan sawit
di bagian hulu dan perbukitan di seputar Danau Sentarum, menurut
Budi, dapat menimbulkan sedimentasi dan merusak ekonomi
masyarakat nelayan di kawasan itu. “Sudah diprediksi, sedimentasi
yang terjadi mencapai 25 sentimeter per meter, tumbuhan di
sekitarnya akan melakukan invasi serta menutup permukaan danau,”
katanya.
Tak hanya budidaya ikan dan lebah madu yang bakal terancam
sedimentasi lantaran sawit, fungsi Sentarum dalam daur hidrologi
pun bakal terganggu. Budi tak bisa membayangkan jika Sentarum
kehilangan fungsinya. Air dari Sungai Kapuas tidak akan tertampung
di danau, melainkan langsung ke sungai. “Saat itulah bencana banjir
mengintai wilayah di sekitar Sentarum,” kata Budi.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 163

Dikepung Lautan Sawit


“Empu kami dulu mati dibunuh, dia dikubur di
danau dekat hutan. Bangau namanya, itu burung “Empat
tapi bukan burung. Untuk mengingat jasanya, tahun
hutan itu dihibahkan kepada anak cucu. Hutan itu mendatang
tidak boleh diganggu,” kata Sukarna, pensiunan ketika
polisi pamong praja di Sungai Tembaga. Hutan sawit-sawit
terlarang seperti ini sesungguhnya cukup banyak itu sudah
di kawasan tepian Danau Sentarum. dipanen, bisa
Namun, bukan pengusaha namanya jika tak saja konflik
gigih. Mereka dengan segenap akal, mencoba akan makin
meluluhkan hati penduduk, membeli lahan dan terbuka,”
menukar hutan dengan sawit. Joni Mawang, bekas kata
Patih Kampung Janting, Badau, menegaskan Derawan.
bahwa warganya semua menolak perkebunan
sawit. Sistemnya tidak adil jika dibandingkan
dengan perkebunan sawit di Malaysia, begitu kata Joni
Joni tahu bahwa di Malaysia, ada dividen yang diberikan
perusahaan kepada masyarakat dan pekerja. Hal itu tidak berlaku di
Indonesia. Upah yang dibayarkan kepada pekerja juga relatif lebih
besar dibandingkan dengan upah pekerja sawit di Kapuas Hulu yang
hanya Rp 39 ribu per hari. Di perkebunan kelapa sawit Malaysia,
bahkan pekerja yang sudah tua tetap digaji dan diberikan asuransi
150 ringgit per bulan.
Masyarakat, menurut Joni Mawang, juga trauma dengan
kehadiran investor sawit. Sebelumnya sudah ada dua perusahaan
perkebunan kelapa sawit yang datang membuka hutan di wilayah
Kampung Janting. “Dua perusahaan itu hanya mengambil kayu
dengan alasan bangkrut,” kata Joni.
Agresivitas ekspansi kebun sawit terus melaju. Menurut
Syamsuri, dari Walhi Kalbar, bahkan ada sebuah desa yang
164 Raja Limbung

semua lahannya sudah tergadaikan kepada perkebunan sawit tapi


penduduknya tidak tahu. Itulah Desa Sungai Tembaga, Empanang.
“Desa itu semuanya sudah menjadi milik perusahaan. Persoalannya
hanya tunggu waktu, mau melakukan pendekatan dengan cara kasar
atau pendekatan dengan perusahaan karena
secara de facto, hutan dan lahan mereka sudah
Masyarakat, punya perusahaan,” kata Syamsuri.
menurut Joni Hendrikus Derawan, tokoh
Mawang, juga masyarakat Empanang, mengakui bahwa
trauma dengan tanah mereka memang sudah tergadai.
kehadiran Dari seluruh dusun yang ada di Empanang,
investor sawit. kata dia hanya tinggal Empakang, Batu
Sebelumnya Ampar, Semayus, Batu Pansap, Sebindan
sudah ada dua yang menolak perkebunan sawit. “Dusun
perusahaan kami sudah terkepung. Seperti pulau
perkebunan di tengah lautan sawit. Tapi warga
kelapa sawit yang masih belum tidak tahu, tanah ini sudah
datang membuka digadaikan oleh Pemda ke perusahaan,
hutan di wilayah termasuk tanah rumah yang saya tempati
Kampung sekarang,” kata Derawan.
Janting. “Dua
perusahaan itu Derawan tidak bisa membayangkan,
hanya mengambil apa yang akan terjadi jika warga tahu soal
kayu dengan itu. Jika tak segera dicarikan solusi, letupan
alasan bangkrut,” persoalan ini hanya tinggal soal waktu.
kata Joni. “Empat tahun mendatang ketika sawit-
sawit itu sudah dipanen, bisa saja konflik
akan makin terbuka,” kata Derawan. Baku
pukul Bantin-Usat, bukan mustahil, bakal kian sering. Sebuah alarm
serius bagi pemerintah setempat.


Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 165

Sentarum terkepung sawit


Sumber Dok. Sawit Watch
166 Raja Limbung
Bab 7

Kerontang dan Banjir


168 Raja Limbung
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 169

Bab 7
Kerontang dan Banjir

Mega perkebunan sawit memicu perubahan lingkungan yang dramatis. Air


tanah tersedot, habibat yang sebelumnya damai tenteram jadi terganggu.
Orang utan, juga manusia, kena dampak.

KEGUNDAHAN dan kejengkelan luar biasa memuncak di ujung


batok kepala seorang petani di Kalimantan Barat. Air yang semula
begitu mudah ditemukan, juga menghilang. Kerontang adalah
pemandangan biasa. Padahal, di masa lalu, petani di sana dan juga
masyarakat di sana, teramat mudah menemukan air. Sungai di sana
masih dalam sehingga debitnya terjaga. “Kalau pun musim kemarau
datang, air masih bisa ditemukan di badan sungai-sungai kecil,” kata
Ruswandi.
Pemandangan mengerikan pun terjadi. Kawasan tempat petani
tinggal itu sebenarnya memiliki curah hujan tinggi. Saat kemarau
datang, tanah mereka pecah-pecah, kering kerontang, dan penuh
debu. Sungai-sungai menciut lebarnya karena airnya mendadak
berkurang. Kini, untuk mencari air mereka membutuhkan bor untuk
membuat sungai. Namun, harganya yang mahal membuat mereka
hanya bisa menggantungkan harapan.
Di kawasan lainnya, yakni di Kabupaten Sanggau, Kalimantan
Barat, cerita tak jauh berbeda. Adalah Bapa Fritz, seorang pendeta
170 Raja Limbung

asal Eropa yang telah lama menetap di sebuah paroki di sana.


Belakangan, desanya mengalami perubahan yang teramat radikal.
Di saat musim panas, sungai ini tak beda dengan kondisi jalan yang
tidak beraspal. Kering dan berdebu.
Tak lama setelah perkebunan sawit muncul di sana, yakni pada
dekade 1980-an, wajah di sana berubah. “Dua atau tiga tahun
setelah perkebunan sawit dimulai, selama musim kemarau sungai
menjadi kering, betul-betul kering. Tidak ada satu tetes air
pun yang tersisa,” kata Fritz, seperti dikutip dalam laporan “Losing
Ground”, terbitan Sawit Watch.
Bapa Fritz tidak sekadar berucap. Selama lebih dari 25 tahun,
dia mengukur ketinggian air di lebih dari dua belas sumur di
paroki gereja yang telah dibangun dengan bantuan pribadi
darinya. Dari tahun ke tahun, terlihat permukaan air kian mendekati
permukaan air. Dengan kata lain, terus merangsek ke atas.
Pada tahun 1983 , saat perkebunan sawit pertama muncul –
permukaan air mendekati permukaan tanah dan menurun menjadi
2.5 meter di bawah permukaan tanah setelah perkebunan dirikan,
kemudian naik menjadi 1.5 meter di bawah permukaan tanah,
dan terakhir satu meter di bawah permukaan tanah.
Sebaliknya saat musim hujan datang, semua berbalik. Air di
sungai-sungai berlimpah tak keruan. Tak jarang meluber hingga ke
pinggir sungai dan menggenangi daerah-daerah yang lebih rendah.
Sudah pasti ada yang tidak beres dalam hal drainase. Munculnya,
perkebunan sawit di daerah sekitar membuat perubahan yang drastis
terhadap ekosistem. Siklus hidrologi --air hujan diserap tanah, disesap
akar dan dedaunan, diminum hewan, masuk ke sungai atau badan
air, lalu menguap naik ke udara, uap terkumpul menjadi awan yang
akan turun sebagai hujan--sedikit banyak mengalami perubahan.
Daya serap tanah dan pepohonan telah berkurang lantaran rimba
lebat telah berganti menjadi kebun monokultur sawit.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 171

Kerontang di musim kemarau, banjir bandang di musim hujan bahkan di areal perkebunan
sawit
Sumber: Dok. Sawit Watch
172 Raja Limbung

Perubahan drainase akibat dari bergantinya ekosistem secara


radikal juga terjadi di beberapa daerah yang mengalami pembukaan
hutan untuk kepentingan perkebunan sawit. Satu contoh yang terjadi
adalah di Tamiang, Nanggroe Aceh Darussalam.
Masih ingat banjir besar di sana pada 2006 lalu? Sebanyak 360
ribu orang terpaksa kehilangan tempat tinggal di Tamiang ketika itu.
Korban meninggal dunia juga tidak sedikit, yakni 70 orang. Bencana
ini kian menggenapkan duka penduduk di sana setelah sebelumnya
disapu gelombang tsunami pada akhir 2004.
Berbeda dengan gelombang tsunami yang tiba-tiba datang dari
samudera, banjir di Tamiang ini murni karena kesalahan manusia
dalam mengelola alamnya. Lagi-lagi sebabnya diduga adalah
akibat keberadaan perkebunan kelapa sawit di sana. Sejak 1990-
an, setidaknya ada lima perusahaan perkebunan sawit yang dengan
agresif membuka lahan di Aceh Timur. Sungai Tamiang, badan air
yang penting, bahkan dikitari perkebunan dalam jarak yang berisiko
membahayakan fungsi drainase sungai tersebut.
Menurut Dinas Tanaman Pangan Pertanian dan Hortikultura,
Kementerian Pertanian, kemungkinan ada kaitan antara
pengembangan perkebunan dengan banjir. Perkebunan kelapa
sawit adalah penyebab utama terjadinya banjir di Aceh Tamiang
dan menyarankan untuk mengonversi beberapa perkebunan
menjadi hutan untuk mencegah terjadinya banjir lebih lanjut.
Selama pembangunan perkebunan, semua vegetasi dibersihkan
dari lahan dan daya serap lahan berkurang karena meningkatnya
pembangunan jalan besar dan jalan setapak, pemadatan tanah
karena alat-alat berat serta musnahnya aktivitas hewan tanah.
Beberapa ahli hidrologi dunia mengakui bahwa keadaan tersebut
bisa meningkatkan aliran air permukaan dan akibatnya terjadi
banjir yang meningkat selama musim hujan, sementara aliran air
cenderung berkurang selama musim kemarau.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 173

Penyebab terjadinya kekeringan sungai adalah karena


perusahaan menggali saluran air dari atau ke perkebunan. Hal itu
untuk memastikan agar pohon-pohon kelapa sawit tidak terkena
banjir. Namun, saluran air sering kali dibangun langsung dengan
memotong aliran sungai atau sungai kecil sehingga mengganggu
aliran air yang dulunya bisa diakses oleh masyarakat.
***

WAJAH sawit memang rumit. Ada lapis demi lapis persoalan di


sana. Di saat negeri ini bergiat dengan luar biasa untuk menjadi
penghasil sawit terbesar di dunia, menjadikan sawit sebagai tambang
emas baru, kenyataannya perkebunan yang satu ini menimbulkan
banyak masalah.
Benar, bukan hanya perkebunan sawit yang patut disalahkan
dalam soal degradasi hutan. Pada 1980-1990an, illegal logging,
pembalakan liar telah secara agresif menelan areal hutan. Pada
1998-1999 juga terjadi kebakaran hutan massal di Kalimantan dan
Sumatera, ini juga periode penting yang menandai laju deforestasi.
Lalu, memasuki 2000-an, laju ekspansi sawit mulai menggantikan
posisi illegal logging sebagai biang keladi deforestasi di negeri ini.
174 Raja Limbung

Peta titik panas kebakaran hutan berdasarkan pantauan satelit


NOAA. Sumber: Sawit Watch

Salah satu karakter khas sawit adalah monokultur. Tak boleh


ada keragaman hayati seperti yang kita temui di dalam lazimnya
hutan tropis yang lebat. Yang ada hanyalah deretan pokok sawit,
berdiri teratur dengan kerapatan tertentu. Ibarat tarian, sawit
adalah tari poco-poco. Semua langkah teratur. Nah, di dalam kebun
sawit, tumbuhan dan hewan yang tidak berkepentingan – anggrek,
aneka jamur, tanaman merambat, herba berkhasiat obat, monyet,
gajah, orang utan, banteng, ayam bekisar – masuk kategori hama
pengganggu. Jika perlu, mereka harus diburu dan dimusnahkan.
Bahkan, tanpa perlu diburu, pembukaan lahan secara masif otomatis
membikin habitat hidup hewan dan tumbuhan berubah. Tak sedikit
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 175

binatang, misalnya orang utan, banteng,


macan, yang kehilangan rumah tinggal, Di dalam kebun
kehilangan makanan hingga mereka sawit, tumbuhan
menyingkir dan akhirnya mati. dan hewan yang
tidak berkepentingan
Kisah tragis yang belakangan
– anggrek, aneka
banyak disorot adalah pembantaian
jamur, tanaman
orang utan (Pongo pymaeus mario) di
merambat, herba
hutan Kutai Kartanegara, Kalimantan
berkhasiat obat,
Timur. Spesies langka yang dilindungi
monyet, gajah,
ini terpojok lantaran ekspansi kebun
orang utan, banteng,
sawit milik PT Khaleda Agroprima
ayam bekisar –
Malindo, anak perusahaan Metro
masuk kategori
Kajang Holdings Bhd. Kasus ini
hama pengganggu.
terangkat, awal Desember 2011,
Jika perlu, mereka
setelah Markas Besar Kepolisian RI
harus diburu dan
mendapat laporan ditemukannya
dimusnahkan.
tulang-belulang orang utan yang
mati babak-belur akibat disiksa habis-
habisan (TEMPO, 26 Desember 2011).
Laman berita BBC News menyebut sedikitnya 750 ekor orang utan
di Kalimantan tewas diburu pada 2008-2009.
Bukan salah pohon sawit tentu saja. Sejak belum dikembangkan
menjadi komoditas untuk perkebunan, sawit sudah dikenal memiliki
sifat yang rakus air. Akibatnya, sistem tata air pun terganggu. Sungai-
sungai mengering, danau-danau menyusut, air tanah pun menguap.
Tanah merekah adalah pemandangan biasa saat musim kemarau.
Selain itu, tajuk sawit dan longgar dan sistem perakarannya yang
tidak seketat hutan hujan tropik basah membuat air hujan langsung
meluncur memukul tanah menyebabkan erosi. Daerah sawit adalah
kawasan yang gampang kehilangan butiran air subur. Ada beberapa
pentunjuk kebun-kebun sawit lebih cepat tandus ketimbang wilayah
lain.
176 Raja Limbung

Butir-butir tanah yang terseret kemudian meluncur ke sungai,


menjadikan air keruh, badan sungai cepat dangkal karena terjadinya
pengendapan, dan air sungai menjadi “subur”. Banyaknya makanan
itulah yang kemudian mendorong ledakan organisme yang cenderung
bersifat hama, misalnya eceng gondok.
Akibatnya kebutuhan oksigen di dalam air terus meningkat
lantaran ledakan organisme itu. Alhasil, hal ini berdampak pada
penghuni sungai yang lebih dulu tinggal di sana. Ikan-ikan yang dulu
nyaman hidup sungai-sungai dan danau di Kalimantan terganggu.
Mereka kehabisan oksigen.
Itu hanya sedikit dampak negatif yang ditimbulkan perkebunan
sawit. Bila diperinci lebih jauh, setidaknya terdapat enam dampak
perkebunan sawit bagi lingkungan hidup di Indonesia. Dengan luas
lahan perkebunan sawit yang sudah mencapai 7,4 juta hektare, dampak
negatif perkebunan sawit akan terus meluas seiring bertambahnya
areal perkebunan.
Masalah pertama tentu saja soal kabut asap. Saat perkebunan
sawit akan dibuka, pembakaran lahan dengan api telah menjadi salah
satu metode untuk membersihkan lahan sebelum ditanami sawit.
Semakin tinggi tingkat ekspansi lahan, makin tebal kabut yang
dihasilkan.
Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan
Kalimantan Tengah merupakan kawasan yang tinggi ekspansinya.
Semakin tinggi pembukaan lahan (land clearing), kabut asap pun
semakin tinggi dan pekat. Penyakit pun segera berdatangan, satu
yang pasti adalah munculnya penyakit infeksi saluran pernapasan
akut.
Alih fungsi kawasan merupakan faktor terbesar yang
menyebabkan rusaknya kemampuan hutan sebagai kawasan penyerap
air, penyimpan air, dan mendistribusikan secara alamiah. Dari sini,
dapat disimpulkan terdapat hubungan erat antara intensitas banjir
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 177

yang meningkat dengan meningkatnya luas wilayah perkebunan


sawit. Akibat lain adalah semakin sulitnya akses terhadap air bersih
karena perusahaan sawit menguasai lahan tempat sumber air.
Pembukaan perkebunan kelapa sawit juga berkontribusi pada
pemanasan global dan perubahan iklim. Pembukaan lahan melalui
pembakaran lahan dan konversi kawasan hutan dan rawa gambut
telah menjadikan Indonesia sebagai negara penyumbang emisi CO2
terbesar ketiga di dunia.
Dampak terakhir adalah penurunan drastis keanekaragaman
hayati. Penurunan ini dikarenakan dikembangkannya model
penanaman monokultur dalam skala besar. Karenanya jumlah spesies
endemik semakin menurun. Burung pun enggan datang ke sana.
Menurut artikel yang dimuat di Journal of Conservation Biology,
Desember 2008, hanya seperenam dari spesies hewan yang hidup di
hutan yang bisa bertahan hidup di kebun sawit.
***

TIDAK kalah berbahaya adalah penggunaan bahan kimia untuk


mendukung sistem perkebunan intensifikasi. Untuk memelihara
perkebunan sawit di Indonesia, diperlukan 2,5 juta ton pupuk dan
1,5 juta liter pestisida secara reguler. Pemakaian bahan kimia ini
menurunkan tingkat kesuburan tanah dan kualitas air di sekitar
wilayah perkebunan menurun.
Dampak yang langsung terasa adalah petani madu yang terancam
tercabut sertifikat organiknya karena sawit menggunakan pestisida.
“Sementara lebah terbang dengan radius sampai 60 kilometer,” kata
Budi Suryansyah, Kepala Seksi Wilayah II Semitau Taman Nasional
Danau Sentarum.
Dampak bagi manusia? Itu yang paling parah, praktek
pembuangan limbah oleh pabrik CPO secara langsung ke sungai
di sekitar pabrik masih terus terjadi. Seorang tenaga kesehatan di
178 Raja Limbung

Sanggau menemukan bahwa di daerah-daerah sawit lebih banyak


ditemukan bayi dengan berak darah. Kuat dugaan, ini terjadi akibat
dari residu pestisida dan insektisida yang larut ke badan sungai.
Mantri Darto, namanya. Dia bukan dokter tapi tenaga medis yang
paling manjur di Sanggau, Kalimantan Barat. Dia membuka praktek
di Bodok, di tanah kelahirannya, sejak 1987. Untuk mendongkrak
kompetensinya, Pak Mantri masuk kembali ke bangku kuliah. Saat
ini dia tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat
semester akhir pada Universitas Muhamadiyah Pontianak.
Di garasi rumah, kliniknya kirip toko obat – yang tidak ada
di Bodok. Di belakang mejanya berjajar kota-kotak obat seperti
dijajakan di toko obat. Sore hari dengan celana kolor dan kaos oblong
dia melayani pasien. Rileks sekali. Dahinya lebar, tapi wajahnya yang
cerah dan mulutnya yang selalu tersenyum membuatnya seperti awet
muda.
Menurut Darto, dalam lima tahun terakhir, beberapa bayi
mengeluarkan lendir darah saat mengalami diare. Aneh. Kejadian
ini, menurut keterangan para sesepuh di seantero wilayah Sanggau,
tak pernah dijumpai di Sanggau. “Terakhir mereka ingat, kejadian
ini pernah ada sebelum tahun 1995,” kata Darto.
“Coba kalau Pak Mantri menduga bahwa ini dikarenakan
mau teliti adanya konsentrasi herbisida dan pestisida yang
kandungan digunakan secara masif dan intensif dalam
air Kali Beji perkebunan sawit. “Tapi ini belum berupa
itu, pasti kesimpulan ilmiah. Saya baru meneliti untuk
banyak bahan skripsi saya,” katanya sambil prihatin.
bahan- Riset awal yang dilakukan Pak Mantri perlu
bahan kimia ditindaklanjuti serius, oleh siapa pun yang peduli,
berbahaya,” demi mencegah hal-hal yang lebih buruk.
kata Pak Menurut Pak Mantri, ada satu sungai, Kali
Mantri. Beji, yang menjadi pusat konsentrasi herbisida
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 179

dan pestisida. Dua perkebunan besar diduga membuang pupuk dan


pestisida ke badan air sungai itu. “Coba kalau mau teliti kandungan
air Kali Beji itu, pasti banyak bahan-bahan kimia berbahaya,”
katanya.
Puskesmas Sanggau juga punya banyak cerita. Sejak lima tujuh
atau delapan tahun terakhir, sejak rezeki sawit muncul banyak orang
Bodok yang terkena berbagai penyakit. Satu di antaranya, serangan
hipertensi. Ini biasalah. Gaya hidup. Orang kepingin serba cepat,
serba instan. “Masak juga begitu, orang makin senang pakai bumbu
masak yang sudah jadi,” kata Mantri Darto.
Ancaman lain bahaya penularan virus HIV - AIDS, sindrom
rontoknya kekebalan tubuh. Pengusaha, buruh, pedagang datang
silih berganti, kebun yang sepi, dan semakin banyak tempat
hiburan bermunculan, adalah ramuan yang tepat untuk penyubur
perilaku seks tak aman. Apalagi tak ada penyuluhan di kebun-kebun
mengenai bahaya HIV-AIDS. “Memang belum ada data yang bisa
dijadikan pegangan,” kata Mantri Darto mengakui. “Tapi, kalau
melihat gejala-gejala yang saya temui di lapangan, infeksi menular
seksual meningkat, HIV-AIDS pun akan meningkat.”
***

Memang tidak adil jika perkebunan sawit dicap hanya bisa memicu
dampak negatif bagi lingkungan. Kebun sawit bukan mustahil
juga memiliki dampak positif bagi lingkungan dan bukan hanya
ekonomi. Di Brazil, misalnya, Rhett Butler, pendiri dan editor laman
lingkungan Mangobay.com yakin bahwa perkebunan sawit justru
bisa memperbaiki kualitas hutan Amazon yang tergerus kerusakan.
Menurut Butler, lahan di sekitar Amazon banyak yang terdegradasi
akibat digunakan sebagai areal peternakan skala besar.
Nah, lahan yang telantar bekas areal peternakan inilah yang
mestinya dialihfungsikan sebagai perkebunan sawit. Butler yakin,
180 Raja Limbung

jika dikelola dengan baik dan sadar aspek lingkungan, maka


perkebunan sawit mendatangkan manfaat luar biasa. “Bahkan bisa
menjadi penyelamat Amazon,” kata Butler. Namun, penulis ini
memberi catatan, bukan perkebunan skala besar yang bisa menjadi
solusi. “Perkebunan sawit skala kecil, dimiliki petani biasa, yang
dikelola dengan benar,” tulisnya.
Resep Butler yang terkesan simpel ini bukan tak pernah dicoba
di Indonesia. Negeri ini memiliki 30 juta hektare lahan kritis yang
tersebar di berbagai wilayah nusantara. Idealnya, lahan kritis kering
kerontang inilah yang digunakan untuk ekspansi sawit. Hutan sebisa
mungkin tidak disulap menjadi kebun sawit. Tapi, jurus ini tetap
sulit dilaksanakan. “Lahan kritis di Indonesia ini tak jelas petanya,
ada di mana dan punya siapa,” kata Abetnego Tarigan, Direktur
Sawit Watch. “Angka 30 juta hektare itu rinciannya bagaimana juga
belum jelas. Ayo, pemerintah, tunjukkan petanya pada kami,” kata
Abetnego.
Maroeli Sitompul, mantan eksekutif di PT Astra Agro Lestari,
juga berpendapat serupa. “Kebanyakan lahan kritis itu adalah lahan
sengketa. Tidak bisa begitu saja ditanami sawit kalau tak ingin jadi
perkara,” katanya. Lagi-lagi, persoalan tenurial dan tumpang-tindih
perizinan menjadi problem besar dalam hal ini.
Begitulah, wajah perkebunan sawit memang kompleks. Sikap
yang semata-mata menolak kebun sawit, atas nama menjaga
lingkungan, juga terkesan naif. Desakan kebutuhan dunia, nilai sawit
yang ajaib dan multifungsi, serta janji kue ekonomi yang dibawa
sawit terlalu besar untuk dinafikan begitu saja.
Formula perkebunan sawit yang sustainable, yang ramah
lingkungan, dan menghormati peran petani tetap terus dinantikan.
Gerakan ini, antara lain, muncul dalam bentuk dorongan
internasional perkebunan sawit yang lebih ramah lingkungan dan
sustainable dalam bentuk Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO).
Petani, bankir, produsen, konsumen, NGO, dan wakil pemerintahan
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 181

berdiskusi dalam forum ini. Meskipun, harus diakui, jalan panjang


menuju wajah perkebunan sawit yang ideal masih teramat panjang
dan butuh kerja keras.
182 Raja Limbung

Air sungai bewarna hitam dan keruh akibat pemakaian pupuk dan pestisida berlebih
Sumber: Dok. Sawit Watch
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 183

Pembantaian Berkedok Sayembara

Polisi menangkap sembilan tersangka pembunuh orang utan


di Kalimantan Timur. Setiap mayat orang utan dihargai Rp 1
juta. Kasus terungkap setelah tim dari Markas Besar Kepolisian
diterjunkan mengusut pembantaian ini.
***

TULANG-belulang terhampar di
atas meja laboratorium Universitas
Mulawarman, Samarinda. Ada
tengkorak, tulang lengan, taring, dan
jari. Semuanya sekitar sepuluh tulang
dan tak ada yang utuh. Warnanya
memutih. “Ini kerangka orang utan
dewasa,” kata Yaya Rayadin, peneliti
orang utan, yang menunjukkan tulang
itu kepada Tempo, Senin pekan lalu. Warnanya yang putih, kata
Yaya, pertanda ia dikubur tak begitu dalam. “Dikubur sekitar
lima bulan lalu,” ujar Yaya.
Usia orang utan itu sekitar 30 tahun. Tubuhnya tambun
dan bobotnya saat hidup diperkirakan mencapai 120 kilogram.
Namun ada yang aneh dari tulang-belulang itu. Di tulang
lengan terdapat bekas sabetan benda tajam. Tulang jemarinya
juga tak utuh, terputus-putus. “Orang utan ini tewas dibunuh,”
kata Yaya menyimpulkan.
Yaya menerima sepuluh tulang tersebut dari Kepolisian
Resor Kutai Timur, Kalimantan Timur. Polisi hendak
memastikan tulang itu adalah orang utan. Jika benar, ia akan
184 Raja Limbung

digunakan sebagai barang bukti di pengadilan. Tulang itu


ditemukan terkubur di area kebun sawit milik PT Prima Citra
Selaras di Kecamatan Muara Ancalong, Kutai Timur. Orang
utan itu diduga dibunuh pada 27 Mei 2011. “Pelakunya sudah
kami tangkap Kamis dua pekan lalu,” kata Kepala Satuan
Reserse Kriminal Polres Kutai Timur Ajun Komisaris Sugeng
Subagyo kepada Tempo.
Mereka adalah Tajar, 60 tahun, Tulil (56), dan Rahman
(57). Polisi masih mengejar Ijul, tersangka lain yang keburu
kabur. Menurut Sugeng, keempat karyawan PT Prima ini
melihat orang utan itu sedang mengudap tunas sawit yang
baru ditanam di area perkebunan. Mereka lalu menangkap,
menombak, serta menebas orang utan itu dengan parang.
“Mereka merekam adegan itu lewat telepon seluler,” ujar
Sugeng. Video rekaman itu juga dijadikan barang bukti untuk
menjerat mereka.
Peristiwa serupa terjadi di perkebunan sawit PT Sabhantara
Rawi Santosa, Desa Jukaya, Kecamatan Muara Wahau, Kutai
Timur. Mandor kebun dan anak buahnya, yang oleh polisi
diinisialkan Li, 32 tahun, dan Ta, 21 tahun, ditangkap akhir
November lalu karena dituduh membunuh orang utan. Kepada
polisi, keduanya berkukuh hanya mengikat orang utan yang
mereka tangkap di area kebun pada Juli lalu. Namun bukti
tulang orang utan yang polisi temukan berkata lain. “Mereka
menyiksa satu ekor orang utan hingga mati,” kata Sugeng.
***

Alangkah gembiranya Imam Muhtarom dan Mujiyanto


menerima sebuah kabar pada pertengahan tahun lalu.
Widiyanto, kepala kebun PT Khaleda Agroprima Malindo,
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 185

perusahaan perkebunan kelapa sawit, menawarkan pekerjaan


kepada kedua pria berusia 32 tahun itu. Syaratnya, mereka
harus punya anjing pemburu. “Kami ditawari menjadi tim
pemburu monyet dan orang utan,” kata Imam, yang biasa
dipanggil Gondrong, kepada Tempo.
Syarat itu tentu saja gampang mereka penuhi. Selama
ini, Mujiyanto punya 12 ekor anjing. Gaji yang ditawarkan
pun menggiurkan. Per orang diupah Rp 1,2 juta tiap bulan.
Ini masih upah mentah, belum bonus. Monyet yang mereka
bunuh akan dihargai Rp 200 ribu per ekor. Harga orang utan
lebih mahal. “Satu mayat orang utan dibayar Rp 1 juta,” ujar
Imam.
Tak sampai dua pekan setelah tawaran itu, perburuan
dimulai. Menurut Imam, ada dua tim lain yang seperti mereka,
berburu orang utan atas perintah PT Khaleda. Pembagian
“wilayah kerja” diatur sesuai dengan kebun sawit seluas 16
ribu hektare di Kecamatan Muara Kaman, Kutai Kartanegara,
Kalimantan Timur, yaitu wilayah tengah, selatan, dan utara.
Imam dan Mujiyanto berburu di wilayah selatan, di Desa Puan
Cepak.
Perburuan mereka mirip seperti berburu babi hutan. Ke-
12 anjing mereka lepas saat melihat ada orang utan. Anjing-
anjing itu kemudian menyerang orang utan. Di tengah
pergumulan itu, Imam melepaskan tembakan: dor. Imam
memang selalu membawa senapan angin saat berburu untuk
menembak orang utan.
Setelah tewas, orang utan itu mereka bopong, dikumpulkan
dengan monyet hasil buruan, lalu disusun berjejer dan difoto
sebelum dikuburkan di area perkebunan. Imam sendiri, sebagai
ketua tim, ikut berpose di depan barisan bangkai
186 Raja Limbung

tersebut. Foto yang kemudian dicetak tersebut diserahkan


kepada Widiyanto sebagai bukti. ”Jumlah orang utan dan
monyet di foto itu nanti dihitung untuk upah kami,” kata Imam.
Foto-foto inilah yang mengungkap aksi keji Imam dan
kawan-kawannya. Seorang karyawan perkebunan pada
September lalu menyerahkan foto itu kepada Center of
Orangutan Protection (COP), lembaga yang sejak empat tahun
lalu dibentuk untuk melindungi orang utan. COP membentuk
tim investigasi dan menemukan 18 kerangka orang utan di
area perkebunan di Desa Puan Cepak. “Temuan itu kami
laporkan kepada polisi,” kata Area Manager COP Kalimantan
Timur Arfiana Khairunnisa.
Pada 19 November lalu, polisi menangkap Imam dan
Mujiyanto. Imam mengaku baru membunuh dua ekor orang
utan. Dari keterangan mereka, polisi mencokok Widiyanto
dan Phuah Chuan Hum, Manajer Kebun Senior PT Khaleda.
Sedangkan General Manager PT Khaleda yang juga warga
negara Malaysia, Aru Mugem Samugem, kini jadi buron. Kedua
pejabat perkebunan ini diduga memberi perintah pembantaian
puluhan orang utan.
Penyidik menyita dua bundel kertas berisi 20 faktur
pembayaran perburuan orang utan, yang mencantumkan
Rp 25 juta tiap fakturnya, dari kantor mereka. “Namun
faktur ini tidak bisa menjadi acuan jumlah orang utan yang
dibantai,” kata Kepala Polres Kutai Kartanegara Ajun
Komisaris Besar I Gusti Kade Budi Harryarsana. Sembilan
tersangka kini meringkuk di ruang tahanan dan dijerat dengan
Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya dengan ancaman lima tahun penjara dan denda
Rp 100 juta.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 187

Mengungkap pembantaian orang utan itu sendiri bukan


perkara gampang. Pengungkapan di Desa Puan Cepak butuh
waktu satu bulan sejak kasus ini diadukan ke polisi. Padahal
bukti sangat banyak dan transparan. Media massa juga
ramai memberitakan kasus ini. Sumber Tempo menyebutkan
kemandekan itu terjadi antara lain karena salah satu komisaris
PT Khaleda yang dimiliki pengusaha Malaysia itu adalah
seorang purnawirawan jenderal polisi.
Pembantaian itu mulai diusut serius setelah Markas Besar
Kepolisian mengirim tim investigasi khusus dari Jakarta untuk
menangani kasus ini. Para tersangka ditangkap, dan kasus-
kasus pembantaian orang utan di kawasan lain juga mulai
dibuka lagi. Menurut sumber Tempo, kedatangan tim juga untuk
mengusut siapa saja yang menjadi beking di balik pembantaian
tersebut. Tapi Direktur Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse
Kriminal Brigadir Jenderal Anas Yusuf menyanggah kabar
bahwa kedatangan timnya untuk membereskan urusan beking-
membeking itu. “Kami hanya mensupervisi Polda Kalimantan
Timur dalam kasus ini,” katanya kepada Tempo.
***
Pemilik kebun sawit menganggap orang utan sebagai hama
karena sering memakan daun sawit muda yang berusia di
bawah satu tahun yang baru ditanam. Menurut Arfiana
Khairunnisa, daun sawit muda sebenarnya bukan makanan
utama orang utan. “Mereka terpaksa memakannya,” katanya.
Orang utan kini kehabisan makanan utama, seperti dedaunan,
buah, madu, dan semut, untuk bertahan hidup. Semua
makanan itu menghilang seiring dengan meluasnya kebun
sawit secara sangat cepat di area yang dulunya hutan habitat
orang utan itu.
188 Raja Limbung

Arfiana dan timnya tak lantas puas dengan ditangkapnya


para pembunuh orang utan tersebut. Ia menduga masih banyak
kasus pembantaian orang utan yang belum terungkap di area
kebun sawit. Media asing, misalnya, menurut dia, pernah
menghitung sekitar 700 orang utan dibantai setiap tahun di
Indonesia. Jumlah orang utan yang dibantai di Pulau Borneo
ini diduga mencapai puluhan ekor sejak awal tahun lalu.
Penduduk setempat tak tahu bahwa membunuh orang
utan itu melanggar hukum. Bagi mereka, membunuh orang
utan, kata Arfiana, sama dengan membunuh babi hutan karena
hewan itu dianggap hama kebun. “Pengelola kebun sawit
memanfaatkan ketidaktahuan ini dengan mengupah pemburu
dengan kedok sayembara menangkap orang utan,” ujarnya.
Imam alias Gondrong mengaku sama sekali tak tahu
bahwa membunuh hewan hutan itu melanggar hukum. Saat
direkrut sebagai karyawan kebun, ia tak pernah mendapat
penjelasan soal itu. Niatnya hanya mengabdi pada perusahaan
sawit agar digaji dan bisa menghidupi istri dan dua anaknya.
Ia tak pernah membayangkan bahwa membunuh orang utan
bakal mengantarkannya ke ruang tahanan. “Kalau tahu
(dilarang), ngapain saya kerja begini,” katanya.
Juru bicara PT Khaleda, Mirhan, menyatakan para tersangka
itu hanya pura-pura tak mengerti bahwa membunuh orang utan
dilarang. Perusahaan, kata Mirhan, justru membuat kebijakan
melarang pembunuhan orang utan. Perintah perusahaan kepada
para pemburu itu, ujar Mirhan, hanya mengusir orang utan dari
area perkebunan, bukan malah membunuhnya. “Pembantaian
orang utan itu tak pernah ada,” ujarnya.

Mustafa Silalahi (Jakarta), Firman Hidayat (Samarinda)


Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 189

Terjebak di Rimba Sawit

SEJAUH mata memandang, hanya


ada hamparan kebun sawit di Desa
Puan Cepak, Kabupaten Kutai
Kartanegara, Kalimantan Timur.
Kawasan yang diselingi perbukitan
itu memang cepat berubah. Lima
tahun lalu, sebagian desa itu masih
dipenuhi hutan. Kini, bukan hanya
kebun sawit, pabrik crude palm oil
pun sudah gagah berdiri di sudut desa itu sejak setahun lalu.
Kebun sawit di desa itu dimiliki PT Khaleda Agroprima
Malindo, anak perusahaan Metro Kajang Holdings Bhd, milik
pengusaha asal Malaysia. Tak tanggung-tanggung, mereka
mengantongi izin membabat 16 ribu hektare lahan hutan itu
menjadi kebun sawit. Penanaman dilakukan sejak 2007. “Kami
sudah panen sawit satu kali,” kata juru bicara PT Khaleda,
Mirhan, kepada Tempo.
Perusahaan ini mulai disorot setelah polisi menetapkan
status tersangka kepada General Manager PT Khaleda, Aru
Mugem Samugem; Phuah Chuan Hum, manajer kebun
senior; dan kepala kebun Widiyanto. Mereka dituduh
memerintahkan pembantaian orang utan yang masuk ke
perkebunan itu sejak tahun lalu. Phuah, warga negara
Malaysia, dan Widiyanto sudah ditahan di Kepolisian
Resor Kutai Kartanegara sejak dua pekan lalu. Sedangkan
Aru kabur dari Pulau Borneo itu. “Polisi sudah melibatkan
Interpol untuk mengejarnya,” kata Kepala Satuan Reserse
Kriminal Ajun Komisaris Sugeng Subagyo kepada Tempo.
190 Raja Limbung

Kondisi yang sama terjadi di Desa Jukaya, Kecamatan Muara


Wahau, Kutai Timur. Hutan di sana sudah disulap menjadi lahan
sawit yang dikelola PT Sabhantara Rawi Santosa. Di Kecamatan
Muara Ancalong, Kutai Timur, idem ditto. PT Prima Citra Selaras
mengelola lahan hutan di sana menjadi perkebunan sawit. Kedua
perusahaan ini bernasib sama dengan PT Khaleda: karyawannya
ditahan karena dituduh membantai orang utan.
Peneliti dari Universitas Mulawarman, Yaya Rayadin,
menyebutkan saat ini ada sekitar 200 ekor orang utan yang
terjebak di sekitar area kebun sawit milik tiga perusahaan
tersebut. Perkebunan itu, kata dia, dulunya adalah habitat
asli orang utan. Pengelola kebun tidak menyediakan kawasan
konsesi khusus bagi para orang utan itu. “Mereka semakin
terdesak hingga mencari makan di kebun sawit,” ujarnya.
Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Timur Chairil Anwar
menyebutkan, akibat pembantaian orang utan ini, pihaknya
sedang memetakan kembali luas hutan di Kalimantan Timur.
Pada 2001, Dinas mencatat luas hutan 14,6 juta hektare,
sementara total luas provinsi itu 19 juta hektare. Perusahaan
sawit itu menggunakan izin area penggunaan lain (APL), yaitu
izin mengelola hutan menjadi kebun sawit. Tentang mereka
menyerobot hutan lindung dan konservasi, Chairil belum bisa
menjawab. “Kami belum bisa memastikannya,” katanya.
Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari menebar
ancaman. Ia menyebutkan akan langsung menghukum
perusahaan yang ketahuan membantai orang utan. “Izin
perkebunannya akan kami cabut,” ujarnya. Sesuai dengan
semangat otonomi daerah, perusahaan tak perlu capek-capek
ke Kementerian Kehutanan di Jakarta demi mendapatkan izin
mengelola kebun sawit. “Izinnya ada di Bupati,” kata Chairil.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 191

Perkara menghukum ini yang sulit. Sejauh ini, polisi


menyimpulkan pembantaian orang utan itu merupakan
inisiatif individu karyawan, bukan kebijakan perusahaan.
Polisi masih kekurangan bukti. Apalagi Undang-Undang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
tidak mengatur spesifik hukuman terhadap perusahaan yang
terlibat pembantaian hewan langka.

(Mustafa S.)
192 Raja Limbung
Bab 8

Serasa Hilang Pijakan


194 Raja Limbung
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 195

Bab 8
Serasa Hilang Pijakan

“Dulu pengetahuan kami ada di pohon-pohon besar, sangat mudah mencari


arah di hutan. Sekarang semua ditumbuhi pohon-pohon sawit, bagaimana
mungkin kami tidak salah arah. Baris-baris dan jaraknya sama,
batangnya sama, pohon sama. Kami dulu tidak kesasar, bisa lihat pohon,
bisa memberi arah. Kalau sekarang, ke mana-mana sawit merata semua.”
(Friends of Earth, Hilangnya Tempat Berpijak)

Pengakuan itu disampaikan seorang pemuka suku Talang


Mamak, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau, dalam sebuah
riset. Friends of Earth, LSM jaringan WALHI, yang menggelar riset
tentang dampak perkebunan kelapa sawit bagi masyarakat pada
Juli 2006. Pengakuan seperti ini, tentu saja, bukan khas milik suku
Talang Mamak. Rasa terasing itu muncul di berbagai masyarakat
adat ketika mereka mesti berhadapan dengan ekspansi besar-besaran
perkebunan sawit.
Musnahnya hutan berarti pula sirnanya sumber pengetahuan
masyarakat. “Biasanya, kami mencari rotan di hutan. Bikin kalung,
tas, gelang, keranjang dari rotan. Sekarang tak ada lagi,” kata Jahan,
dari Suku Dayak Muluy, Passer, Kalimantan Timur. “Sekarang
juga susah cari tanaman buat obat,” katanya. Tabib, sikerei, master
tanaman herbal tradisional berkhasiat obat, kehilangan harta karun
mereka : yakni ribuan spesies tanaman hutan yang punya daya
hidup dan daya sembuh.
196 Raja Limbung

Tanah dan hutan, bagi masyarakat adat, adalah perpustakaan


dan sumber hidup, tempat memperoleh dan menyimpan kembali
pengetahuan lokal dan memori kultural selama berbilang generasi.
“Hutan itu seperti ibu bagi kami,” kata Jahan.
Agresivitas ekspansi sawit pun mengerus kekayaan kosa kata
taksonomi. Aneka kosa kata yang berhubungan dengan perladangan
atau perburuan, nama tumbuhan obat, tanaman buah, aneka
serangga dan binatang lainnya, ikut lenyap. Para sesepuh mungkin
masih ingat kosa kata itu, tapi mereka tidak bisa lagi menunjukkan
benda atau tradisi rujukannya.
Industri perkebunan sawit mengubah secara besar-besaran pola
pemanfaatan lahan secara tradisional (polikultur) menjadi perkebunan
monokultur. Ladang di pinggir hutan secara turun-temurun dikelola
untuk berbagai kepentingan; untuk tanaman tahunan, seperti karet,
kopi, atau damar, digabung dengan tanaman musiman seperti
jagung, padi, buah, dan sayur. Masuk ke jantung hutan, budidaya
tanaman lebih variatif, mulai dari rotan, buah asam, lebah madu,
dan berbagai tanaman obat. Begitu hutan berubah menjadi kebun
sawit yang monokultur, segala isi hutan harus hilang. Segenap sistem
argofrestri dalam komunitas adat jadi berubah.
Masyarakat adat juga kehilangan kendali atas tanah ulayat,
seperti telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya. Penelitian
berjudul Losing Ground, Friends of Earth, 2006, menyoroti hilangnya
jati diri akibat kehilangan kedaulatan tanah ulayat ini. Komunitas
adat yang menyerahkan tanah dan tenaga untuk perkebunan kelapa
sawit pada saat yang sama kehilangan bagian inti identitas mereka
sebagai masyarakat adat. “Mereka seolah pohon yang tercerabut
dari akarnya,” kata Norman Jiwan, dari Sawit Watch, yang banyak
mendampingi kemelut yang dialami masyarakat adat.
“Menjadi buruh lebih sulit dan berat dibanding dulu, saat kami
tinggal di hutan, bertanam dan menjala ikan,” kata seorang buruh.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 197
198 Raja Limbung

Reaksi masyarakat adat yang krisis identitas lantaran kehilangan


lahan ini bermacam-macam. Sebagian warga adat Hibun dan Jangkan
di Kalimantan Barat, misalnya, memilih menjadi pekerja tambang
emas skala kecil. “Ini kerja berat. Apalagi, kami menggunakan bahan
berbahaya seperti merkuri untuk memroses biji emas,” kata Serinus
dari Sei Kodang. “Tapi, ini satu-satunya cara kami bertahan hidup.”
Survival of the fittest menjadi teramat berat. Tak terkecuali bagi
penduduk komunitas adat yang memilih sebagai buruh perkebunan.
Menurut data Walhi Kalimantan Tengah (2004), penduduk Sembuluh
yang bekerja di perkebunan sawit sebagai sopir, pengawas, bagian
pembibitan, penanaman, panen, atau pemupukan. “Menjadi buruh
lebih sulit dan berat dibanding dulu, saat kami tinggal di hutan,
bertanam dan menjala ikan,” kata seorang buruh.
Jam kerja buruh perkebunan sawit dimulai pukul 7 pagi sampai
pukul 2 siang. Mereka bekerja dengan status Buruh Harian Lepas
(BHL) dengan upah Rp 18.300 per hari.  Dalam satu minggu bekerja
selama 7 hari, non stop. Libur hanya ada di perayaan hari besar dan
Ahad. Jika masuk kerja saban hari, tanpa absen, dalam sebulan buruh
sawit menerima upah Rp 549.000.
Ada juga warga yang tak mau larut sebagai sekrup dalam
mesin besar sawit. Sebagian masyarakat adat mencoba berjuang
untuk mendapatkan kembali tanah mereka, sebuah upaya yang
kerap berujung pada proses kriminalisasi. Mereka berhadapan
dengan aparat hukum, pengadilan, penjara, juga dianiaya centeng
dan preman yang disewa perusahaan.
Praktik yang lazim terjadi, perusahaan menjanjikan pola
kerjasama perkebunan Plasma-Inti kepada masyarakat yang
menyerahkan lahannya untuk perkebunan sawit. Di Kalimantan
Barat, misalnya, setiap kepala keluarga diwajibkan menyerahkan
tanah seluas 7,5 hektare untuk perkebunan kelapa sawit. Lima hektare
dikelola oleh perusahaan, 2 hektare oleh penduduk bersangkutan.
Pada kenyataannya, dua hektare kebun sawit tidak bisa mencukupi
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 199

kebutuhan hidup, terutama 4-5 tahun sebelum sawit laik dipanen.


Satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah menjadi buruh
perkebunan sawit. Ini juga jalan untuk merawat hubungan baik
dengan perusahaan.
Perubahan drastis pun terjadi. Mereka yang tadinya berjiwa
merdeka di hutan, dengan beragam aktivitas, kini terkungkung
sebagai petani plasma atau buruh perkebunan sawit. Kreativitas
serta-merta menyusut. Dulu mereka lihai mengubah tanaman hutan
menjadi karya bernilai ekonomi, seperti gelang rotan, tikar pandan,
atau menenun kain tradisional. Kini, mereka mengandalkan hidup
pada sawit dan menunggu upah dari perusahaan.

Tak Ada Tempat Buat Makam Keramat


Janjinya, perusahaan menjaga hutan dan tak mengusik tempat
keramat. Apa daya, janji tinggal janji tanpa bukti. “Empat lokasi
kuburan nenek moyang kami diratakan dengan buldozer,” kata
Buhari.
“Empu kami dulu mati dibunuh, dia dikubur di danau dekat
hutan. Bangau namanya, itu burung tapi bukan burung. Untuk
mengingat jasanya, hutan itu dihibahkan kepada anak cucu. Hutan
itu tidak boleh diganggu,” kata Sukarna, pensiunan polisi pamong
praja di Sungai Tembaga, Kapuas Hulu Kalimantan Barat.
Hutan terlarang, tempat leluhur dihormati, tempat ritual yang
menguatkan ikatan komunitas adat, seperti ini cukup banyak di
kawasan tepian Danau Sentarum. Begitu juga di tempat-tempat
lain di pelosok Kalimantan. Tapi, satu demi satu tempat keramat
seperti ini digusur. Tak ada ruang bagi romantisme masa lalu, begitu
anggapan para juragan sawit, di tengah gegap gempita emas hijau
komoditas sawit.
Maka, tradisi penghormatan kepada nenek-moyang seolah
kehilangan pijakan. Tempat-tempat keramat, makam kuno, area
200 Raja Limbung

Buhari menunjukan lahan Samihin yang dijadikan perkebunan sawit


Sumber: Dok. Sawit Watch
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 201

persembahan, yang dulu tersembunyi wingit di labirin hutan telah


digusur dan dibakar saat pembersihan lahan (land clearing).
Data Sawit Watch menunjukkan berbagai penggusuran
makam keramat di Kalimantan. Pada 1996 masyarakat Sedawak,
Kalimantan Barat, protes karena kuburan nenek moyang mereka
dibuldozer PT Golden Hope. Sementara pada 1999, masyarakat
dari Jempang, Muara Pahu dan Bongan, Kalimantan Timur,
mengeluhkan penghancuran kuburan nenek moyang mereka oleh
perusahaan London Sumatera Plantation.
Pada 2000, Buhari dari masyarakat Samihim di Kalimantan
Selatan menyampaikan di depan para pejabat di Jakarta. Sejak
1994, menurut Buhari, perusahaan kelapa sawit mulai membangun
perkebunan mereka di lahan warga Samihim. Janjinya, perusahaan
menjaga hutan dan tak mengusik tempat keramat. Apa daya, janji
tinggal janji tanpa bukti. “Empat lokasi kuburan nenek moyang
kami diratakan dengan buldozer,” kata Buhari.
Kisah pahit senada terjadi di Desa
Terusan, kawasan Manis Mata, Kalimantan
Barat. Perusahaan sawit merusak makam
“Ada yang
nenek moyang masyarakat adat dan ladang
nawarin sepeda
seluas 100 hektare. Kisah terus berlanjut.
motor. Ada
Pada 2006, 150 makam nenek moyang di
yang janji
desa Engkadik Pade, Kalimantan Barat,
membangun
diterabas buldozer saat land clearing kebun
jalan,” kata
sawit.
Jinan, dari
Suku Dayak
Muluy, Passer,
Tercerabut dari Akar Kalimantan
Timur. “Kami
Kehadiran perkebunan sawit pun bukan
tak mau karena
hanya mendatangkan dampak fisik, tapi
hutan itu hidup
juga mengancam keberadaan lembaga adat.
kami.”
Perusahaan sawit kerap memanfaatkan
202 Raja Limbung

lembaga adat untuk mempengaruhi warga agar penguasaan tanah


lebih mudah. Caranya, mereka mendekati para kepala adat dan
memberi mereka aneka hadiah dan janji. “Ada yang nawarin sepeda
motor. Ada yang janji membangun jalan,” kata Jinan, dari Suku
Dayak Muluy, Passer, Kalimantan Timur. “Kami tak mau karena
hutan itu hidup kami.”
Keterlibatan lembaga adat dalam perkara pembebasan lahan,
dalam berbagai kadar, telah merusak tatatan sosial. “Seharusnya,
lembaga adat adalah tempat untuk penyelesaian konflik horizontal.
Sayangnya, karena intervensi perusahaan dan kepentingan komersial,
sebagian masyarakat adat telah kehilangan fungsi itu,” kata Norman
Jiwan.
Jika lembaga adat kian rapu, generasi muda di area
perkebunan sawit juga punya kisah tersendiri. Mereka yang tidak
bisa bertani memilih bekerja di kota lain atau bahkan di luar negeri.
Gadis-gadis Suku Dayak Bidayuh, misalnya, lebih suka menjadi
pramuniaga di kota atau menjadi pelayan kafe di sepanjang jalan
Trans Kalimantan Highway.
Kafe dan bar karaoke menjamur di perkotaan, di sekitar pabrik
kelapa sawit dan kompleks pertambangan. Tetapi, tempat-tempat
ini hanya kedok bagi usaha prostitusi yang melayani pelanggan
yang bekerja di perkebunan, pabrik, dan pertambangan. Tak heran
bisa Mantri Darto, di Kecamatan Sanggau, Kalimantan Barat,
mendeteksi adanya peningkatan kasus infeksi menular seksual di
area perkebunan sawit. “Bukan tidak mungkin, kasus HIV-AIDS
juga meningkat,” katanya.
Kepergian generasi ke kota untuk mencari pekerjaan membuat
mereka kian tercerabut dari tanah leluhur. Sementara yang bertahan
makin terpisah oleh adat dan budaya. Industrialisasi kebun sawit,
yang serba masif dan seragam, telah menggantikan tempat ritual
adat-istiadat.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 203

Melalui upacara adatnya, Suku Dayak Muluy bertahan dari ekspansi perkebunan sawit.
Sumber: Dok. Sawit Watch
204 Raja Limbung

Yang juga turut punah bersama derap sawit ini adalah


keterampilan membuat perahu. Warga Danau Sembuluh, Kabupaten
Seruyan, Kalimantan Tengah, selama berbilang generasi dikenal
sebagai pembuat perahu yang ulung. Mereka membuat jukung,
perahu, dari kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) yang kokoh. Pembeli
perahu datang dari berbagai penjuru tanah air lantaran begitu sohor
indah dan kuatnya perahu buatan pengrajin Sembuluh.
Celaka, seiring derasnya illegal logging dan pembukaan
hutan untuk perkebunan sawit, kayu ulin menjadi langka.
Para pengrajin tak lagi bisa memproduksi perahu tradisional.
Perlahan, keterampilan membikin perahu pun hilang. Kini,
Danau Sembuluh tak lagi bisa membanggakan diri sebagai
kawasan pengrajin perahu nomor wahid.
Kolom

Perang Tanding
RSPO vs ISPO
206 Raja Limbung
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 207

Kolom
Perang Tanding
RSPO vs ISPO
Oleh Mansuetus Alsy Hanu

Enam tahun setelah RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil)


lahir, persawitan Indonesia dikejutkan munculnya ISPO (Indonesian
Sustainable Palm Oil). Keduanya sama-sama menginginkan
pembangunan industri persawitan yang berkelanjutan. Keduanya
mendorong agar perkebunan sawit menjaga kesehatan lingkungan,
menghormati hak-hak buruh dan masyarakat lokal.
Bedanya, RSPO lahir sebagai forum bersama sekelompok pemain
raksasa sawit, mulai dari konsumen, pekebun, pedagang, bank, hingga
LSM -- sedangkan ISPO digagas oleh Pemerintah Indonesia. RSPO
mengembangkan standar pengelolaan kebun sawit lestari selama
bertahun-tahun, melalui proses rembug terbuka yang melibatkan
seluruh stakeholder sawit, termasuk petani, buruh dan masyarakat
adat. Sementara itu, ISPO mengandalkan penyusunan standar oleh
lembaga resmi, yakni pemerintah, perusahaan perkebunan, dan satu
komisi yang disebut sebagai Komisi Minyak Sawit Berkelanjutan
Indonesia.
208 Raja Limbung

Menilik anggotanya, RSPO yang berpusat di Swiss itu memang


didominasi oleh sejumlah perusahaan kelas dunia, di antaranya
Unilever dan Nestle (dua konsumen terbesar produk minyak sawit
asal Eropa), Cargill (pedagang minyak sawit terbesar dunia dari
Amerika Serikat) dan Wilmar Internasional (salah satu pekebun
sawit terbesar dunia yang terdaftar di bursa Singapura). Dengan
anggota perusahaan-perushaan multinasional kelas berat itu, tak
mengherankan jika RSPO seringkali dituding sebagai alat kapitalis
yang mewakili kepentingan ’Barat’. Forum bersama yang dikenal
rewel dalam memegang prinsip kelestarian itu kerap dianggap sebagai
bentuk dominasi asing untuk menekan negara produsen. Ketika
Unilever (kini menjabat Presiden RSPO) dan Nestle menghentikan
pembelian CPO dari Sinar Mas yang dituduh melalaikan keselamatan
lingkungan, tahun 2010 lalu, label RSPO sebagai lembaga yang
mempersulit akses perusahaan nasional ke pasar Eropa, justru
semakin kental.
Meskipun dianggap mengibarkan kepentingan ’Barat’, kehadiran
RSPO kala itu sulit dihindari karena lembaga ini merupakan satu-
satunya ’tiket masuk’ ke pasar Eropa – satu dari tiga besar pasar
minyak sawit dunia selain China dan India. Minyak sawit yang lolos
sertifikasi RSPO mendapat iming-iming harga premium di atas harga
pasar. Selain itu, di masa depan, Eropa bertekat untuk hanya membeli
produk sawit berkelanjutan. Belanda, misalnya, telah menetapkan
batas waktu tahun 2015 untuk mengkonsumsi 100 persen minyak
sawit yang telah disertifikasi.
Namun sulit pula dibantah, Eropa bukanlah pasar utama minyak
sawit Indonesia. Sejauh ini, hanya 10 persen CPO kita yang masuk
ke Eropa -- sebagian besar lainnya masih mendarat ke negara-negara
Asia, yang belum menerapkan prinsip dan kriteria RSPO. Dari sudut
pandang pasar, mudah dipahami jika banyak yang menilai ISPO
dilahirkan sebagai upaya ’tandingan’ terhadap sertifikasi RSPO.
Indonesia seperti ingin menyatakan bahwa sebagai produsen sawit
terbesar dunia kita tak ingin didekte, bahwa kita menganut standar
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 209
210 Raja Limbung

pengelolaan kebun sawit berkelanjutan ciptaan kita sendiri. Toh,


kalaupun Eropa menolak ISPO, kita punya pasar yang sangat besar
di Asia -- ngapain mesti repot menuruti kebawelan Eropa, begitulah
kira-kira logikanya.
Untuk memperkuat posisi ISPO, pemerintah menetapkan standar
ini sebagai pedoman pembangunan perkebunan sawit berkelanjutan
yang sifatnya mandatory alias wajib dilaksanakan semua perusahaan
sawit yang beroperasi di Indonesia. Pemerintah memasang target pada
2012 nanti, ada 15 – 20 perusahaan yang telah disertifikasi ISPO.
Untuk menangkis tudingan miring Barat, pemerintah menyatakan
bahwa ISPO dibentuk demi ’keamanan investasi’ dengan proses
sertifikasi, sama seperti RSPO.
Kelahiran dua standar, ISPO dan RSPO, ini tentu memicu
kebingungan, terutama di kalangan terbawah: petani dan buruh
kelapa sawit, serta masyarakat adat. Mereka bertanya-tanya, standar
mana yang harus dipilih? Masyarakat adat, yang biasa memanfaatkan
forum RSPO untuk mengajukan keberatan dan complain atas
pelanggaran perkebunan sawit, misalnya, kini tak tahu kemana harus
menyalurkan keluhannya. Masyarakat sipil yang ingin mendorong
reformasi di perkebunan sawit seringkali tidak tahu mesti berkliblat
kemana.
Kedua standar itu boleh jadi mirip satu sama lain, namun
telaah yang lebih dalam menunjukkan perbedaan beberapa prinsip
mendasar. Telaah dilakukan dengan sudut pandang bahwa standar
pembangunan berkelanjutan haruslah mengangkat martabat petani,
buruh dan masyarakat adat yang selama ini digusur kemandirian,
kedaulatan dan kesejahteraannya atas nama pembangunan
perkebunan kelapa sawit skala besar.
Sejumlah konflik yang terus meredak dalam perkebunan kelapa
sawit besar, baik berupa demonstrasi, aksi pendudukan lahan,
keributan seputar harga tandan buah segar, hingga penangkapan
dan bahkan insiden penembakan petani oleh aparat kepolisian
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 211

menunjukkan satu hal: sistem perkebunan kelapa sawit yang ada


saat ini sudah tak layak lagi bagi kehidupan rakyat sebuah negera
merdeka. Petani, buruh kebun dan masyarakat adat memerlukan
pembaruan sistem yang telah bercokol sejak
zaman kolonial ini. Salah satu tuntutan Sejumlah konflik
mendasar adalah pembagian peran yang yang terus
tegas: perusahaan besar hanya bergerak meredak dalam
di sektor hilir (industri pengolahan, perkebunan
pengembangan produk), dan menyerahkan kelapa sawit
sektor hulu (penghasil bahan baku) kepada besar, baik berupa
petani. demonstrasi,
Meskipun kedua standar sertifikasi itu aksi pendudukan
mustahil dapat mengakomodasi tuntutan lahan, keributan
dasar tersebut, setidaknya ISPO dan RSPO seputar harga
dapat mendorong tata kelola perkebunan tandan buah
yang berkeadilan. Artinya, pembangunan segar, hingga
perkebunan skala besar masih dibolehkan penangkapan dan
asal memenuhi kaidah pembangunan bahkan insiden
berkelanjutan. Pertanyaannya, apakah penembakan
keduanya memenuhi jaminan pembangunan petani oleh
kebun untuk petani sesuai standar, aparat kepolisian
transparansi dan penentuan besaran kredit menunjukkan
dan pola kemitraan. satu hal: sistem
perkebunan
Kenyataan di lapangan menunjukkan,
kelapa sawit yang
petani plasma kerap tak mendapat haknya.
ada saat ini sudah
Petani memang menerima kebun, tapi
tak layak lagi
jumlahnya lebih ciut dari jatah semestinya,
bagi kehidupan
mutunya jelek (tak terawat) atau kerapkali
rakyat sebuah
penyerahannya molor bertahun-tahun
negera merdeka
melebihi batas waktu yang ditetapkan.
Petani plasma di Desa Pias, Kecamatan
Long Kali, misalnya, rugi besar gara-gara PTPN XIII gagal
212 Raja Limbung

menyerahkan kebun yang layak. Padahal, biaya pembangunan


kebun yang tidak layak ini harus ditanggung petani dalam
bentuk kredit bank senilai biaya pembangunan kebun yang layak.
Kejadian serupa juga terjadi di kebun PT. KGP dan PT. BKP di
Sanggau, Kalimantan Barat, serta dan PT. TBS di Kuansing, Riau.
Di Kecamatan Long Ikis, Kabupaten Paser (Kaltim) dan Parindu,
Kabupaten Sanggau (Kalbar), petani plasma yang mengikuti
program replanting (peremajaan) harus menanggung kredit yang
besarnya ditentukan sepihak oleh perusahaan tanpa melibatkan
petani peserta. Pendeknya, tak ada transparansi. Petani plasma
merasa dipermainkan, dan dikibuli.
Untuk menghadapi persoalan itu, ISPO sama sekali tak
menyebut soal transparansi satuan biaya perkebunan kepada petani.
Prinsip-prinsip ISPO hanya mengatur partisipasi masyarakat
serta alternatif bentuk dan besarnya ganti rugi tanah. Selain itu,
dalam hal standar kebun, ISPO hanya berpatokan pada peraturan
perundangan yang mewajibkan pembangunan teknis budidaya dan
pabrik pengolahan kelapa sawit, sehingga membuka kemungkinan
perusahaan membangun kebun petani dengan mutu di bawah
standar.
Sebaliknya, RSPO mengatur soal transparansi secara spesifik
dengan menyebutkan nama data dan informasi yang harus diberikan
kepada petani atau kelembagaan petani, antara lain, kontrak atau
MOU, sertifikat hak milik/surat tanah, rekaman terkini utang dan
pembayaran, potongan dan biaya, tata cara penghitungan harga
TBS, serta pelibatan petani dalam ketentuan utang dan prosedur
pembayarannya. Dalam hal pembangunan kebun petani, RSPO
mengatur partisipasi publik sehingga petani dapat menegosiasikan
kebun yang tak sesuai standar.
Soal lain yang sering menjadi sumber konflik antara petani
plasma dengan inti adalah harga TBS (tandan buah segar), yang
menjadi ’nyawa’ petani. Ketika harga kelapa sawit anjlok tajam
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 213

tahun 2008, banyak petani di Jambi yang masuk rumah sakit jiwa
lantaran bangkrut. Tak terhitung betapa banyak anak yang harus
putus sekolah saat itu.
Celakanya, sistem penetapan harga TBS yang ada saat ini lebih
berpihak kepada pemilik pabrik, bukan petani. Ini tampak dari
keputusan pemerintah yang membebankan sebagian biaya pengolahan
limbah pabrik, penerangan pabrik dan ongkos pengangkutan CPO
kepada petani. Mestinya, beban tersebut jadi tanggungan pemilik
pabrik pengolahan. Beban potongan yang dikenal sebagai ’indeks K’
ini memangkas penerimaan petani hingga
Rp 350 – 400 untuk tiap kilogram TBS “Buruh merupakan
yang mereka panen. aktor penting
ISPO memang mengatur soal TBS, dalam peningkatan
tapi demi kepentingan pabrik. Salah satu produksi sawit
prinsip dalam ISPO menyebut bahwa yang membuat
TBS yang diterima ’harus sesuai dengan Indonesia menjadi
persyaratan yang telah ditetapkan’. produsen minyak
Sementara itu RSPO mengatur agar sawit nomor
pabrik harus berlaku adil dan transparan satu di dunia.
terhadap petani. Bukan itu saja, RSPO Pemerintah bangga
bahkan secara rinci mengatur tata-cara dengan gelar ini,
penghitungan harga, prosedur penetapan tapi lupa: aktor
harga, termasuk aturan grading di dalam penting itu jarang
pabrik. diperhatikan.”
“Buruh merupakan aktor penting
dalam peningkatan produksi sawit yang
membuat Indonesia menjadi produsen minyak sawit nomor satu di
dunia. Pemerintah bangga dengan gelar ini, tapi lupa: aktor penting
itu jarang diperhatikan.”
Selain memperbaiki nasib petani, paham pembangunan
berkelanjutan mestinya juga meningkatkan martabat dan
kesejahteraan buruh. Berbeda dengan petani yang punya modal lahan,
214 Raja Limbung

buruh sawit hanya mengandalkan tenaga untuk mendapatkan upah:


mencangkul, memungut brondolan, memupuk, menyemprotkan
pestisida, menggotong tandan sawit, dan sebagainya. Di balik setiap
sukses perusahaan sawit mencetak laba, selalu ada ratusan atau
ribuan buruh yang telah bekerja keras.
Buruh merupakan aktor penting dalam peningkatan produksi
sawit yang membuat Indonesia menjadi produsen minyak sawit
nomor satu di dunia. Pemerintah bangga dengan gelar ini, tapi
pemerintah lupa: aktor penting itu jarang diperhatikan. Setiap
perkebunan sawit memiliki begitu banyak buruh-harian-lepas atau
tenaga kontrak yang upahnya di bawah standar, kesehatannya tak
dijamin dan hidupnya kapiran.
Dalam hal buruh, ISPO mengatur soal keselamatan dan kesehatan
kerja, pelarangan diskriminasi dan pemanfaatkan pekerja anak-anak.
Selain itu, ISPO mengharuskan perusahaan agar memiliki sarana
untuk kesejahteraan pekerja seperti perumahan, poliklinik, sarana
ibadah, pendidikan dan olah raga. Namun ISPO tak menyinggung
sedikitpun soal status buruh-harian-lepas yang tak mendapatkan
perlindungan dari perusahaan. ISPO juga menetapkan standar upah
buruh kebun sebatas dengan upah minimum regional (UMR).
ISPO juga tak menyinggung penyelesaian perselisihan kerja
yang amat menentukan nasib buruh. Jika terjadi konflik, buruh
lazimnya tak diberi ruang untuk berdialog. Karena posisi tawarnya
rendah, umumnya mereka diintimidasi atau bahkan dipecat.
Puluhan buruh sawit di PT. Tapian Nadengan di Kecamatan Muara
Wahau, Kutai Timur, misalnya, dipecat gara-gara berdemonstrasi
menuntut upah yang di bawah UMR.
Dalam soal buruh pun, sekali lagi RSPO lebih maju ketimbang
ISPO. Dalam salah satu kriteria disebut bahwa upah karyawan
harus selalu memenuhi paling tidak standar minimum industri dan
’memenuhi kebutuhan hidup yang layak’. Kondisi kerja dan upah
buruh-harian-lepas juga harus ’sesuai perjanjian yang ditetapkan
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 215

secara transparan dan tanpa paksa’. Sementara itu, dalam hal


perselisihan kerja: ’mekanisme penyelesaian perselisihan harus dibuat
lewat kesepakatan terbuka dengan pihak yang terkena dampak’.
Selain petani dan buruh, masih ada satu elemen penting yang
mestinya menjadi perhatian penuh pembangunan kebun sawit yang
berkelanjutan: masyarakat adat. Sejak dulu sampai sekarang, konflik
antara perusahaan dan masyarakat adat, terus terjadi. Di antaranya
konflik antara masyarakat Anak Nagari Rantau Pasaman, Sumbar,
dengan PT. Anam Koto yang merampas tanah hak milik masyarakat
atau PT. Global yang merampas hak masyarakat adat dayak di
Sanggau, Kalbar.
Izin lokasi yang diberikan pemerintah, terkadang tumpang
tindih dengan kawasan masyarakat. Hadirnya perusahaan besar
seolah-olah kemudian menghilangkan hak kehidupan masyarakat
adat yang sangat bergantung kepada hasil hutan dan hasil ladang.
Tak jarang, tanpa sosialisasi perusahaan begitu saja membuka kebun
tanpa mendapatkan persetujuan masyarakat. Jika masyarakat
melawan, perusahaan tak segan-segan menggunakan aparat untuk
menangkapi rakyat. Di Biru Maju, Kalteng, misalnya, PT. BAS
menggunakan polisi dan tentara untuk ’mengamankan’ pembukaan
lahan.
Celakanya, ISPO tak mengatur soal perampasan lahan,
pembukaan kebun yang tak disetujui masyarakat atau kriminalisasi
publik. ISPO hanya mengatur proses dialog jika ada sengketa
tanah dan mengatur kompensasi. Dalam beberapa kasus, petani
tak memerlukan kompensasi, tapi: adanya lahan kelola yang dapat
diolah secara mandiri. Jika musyawarah mentok, ISPO mengatur
penyelesaian sengketa harus melalui jalur hukum. Di sinilah soalnya:
masyarakat biasanya tak memiliki alat bukti hak milik, karena
kawasan tersebut merupakan wilayah kelola adat. Di lain pihak,
perusahaan memiliki alat bukti berupa Ijin Usaha Perkebunan dari
Pemerintah.
216 Raja Limbung

Sementara itu RSPO dengan tegas menetapkan bahwa


penanaman kebun hanya bisa dilakukan dengan persetujuan
masyarakat lokal. RSPO juga menggunakan prinsip FPIC (Free Prior
Inform Concern) yang bermakna masyarakat memilki hak untuk
mendapatkan informasi sebelum sebuah proyek investasi dilakukan.
Berdasarkan informasi tersebut, publik secara bebas tanpa tekanan
dapat menyatakan setuju atau menolak.
Sulit dibantah, dengan paparan di atas, harus diakui RSPO
lebih komprehensif ketimbang ISPO yang lemah dalam melindungi
hak-hak minimum petani kelapa sawit, buruh dan masyarakat adat.
Padahal, ISPO yang didaku pemerintah sebagai amanat UUD 1945
mestinya punya standar yang tinggi dalam melindungi hak-hak
warga negara. Mestinya, pemerintah dan pengusaha perkebunan
lebih tanggap dalam memenuhi tuntutan masyarakat sekaligus
memperbaiki praktik perkebunan.
Boleh jadi, pemenang pertarungan sertifikasi ini akan ditentukan
konsumen. Pasar Asia yang ’lebih longgar’ mungkin bisa menerima
sertifikasi ISPO. Namun, tanpa komitmen kepada petani, buruh
dan masyarakat sulit bagi ISPO untuk menggaet dukungan publik.
Terlebih lagi, prinsip keberlanjutan dari produk kelapa sawit yang
disertifikasi ISPO akan tetap dipertanyakan.
Epilog

Menatap Zaman Baru


218 Raja Limbung
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 219

Epilog
Menatap Zaman Baru

Zaman terus bergerak, bergegas. Pada Oktober 2011, jumlah


penduduk dunia telah mencapai 7 miliar jiwa. Ini berarti dua kali
lipat jumlah penduduk dunia setengah abad silam. Tak lama lagi,
tak sampai tiga dasawarsa, pada 2050, bumi diperkirakan disesaki
9 miliar manusia. Sudah tentu tantangan yang dihadapi dunia bakal
kian kompleks.
Pangan adalah salah satu tantangan paling serius yang dihadapi
dunia kini dan esok. Era pangan murah dan berlimpah segera--bahkan
telah lama--usai. Populasi manusia yang membengkak menuntut
produksi pangan mutlak digenjot secara signifikan. Laporan Food
and Agriculture Organization (FAO) dalam How to Feed The World in
2050 menunjukkan, produksi sereal dan biji-bijian, misalnya, harus
dapat didongkrak dari dua milar ton saat ini menjadi tiga miliar ton
per tahun. Produksi daging harus berlipat dari 200 juta ton menjadi
470 juta ton per tahun.
Ini bukan perkara mudah mengingat areal lahan pertanian kian
sempit dan mengalami penurunan kualitas unsur hara. Gambaran
220 Raja Limbung

makin tak menentu jika kita memasukkan variabel perubahan iklim


yang membikin cuaca berayun ekstrim dan bencana alam lebih sering
terjadi. Petani, nelayan, tak lagi mudah membaca musim hanya
berbekal kesiur angin dan cahaya bintang.
Produktivitas pertanian juga menjadi masalah. Setengah abad
lalu, produktivitas pertanian tumbuh tiga persen per tahun dengan
resep revolusi hijau. Tapi, kini produktivitas itu hanya tinggal
separuhnya. Untuk pertama kalinya sejak 1960, produktivitas beras
dan gandum (bahan makanan pokok dunia) melaju lebih lambat
ketimbang pertumbuhan jumlah penduduk (The Economist dalam
Special Report: The 9-Billion People Question, 24 Februari 2011).
Walhasil, dalam skenario FAO, kenaikan produksi dari perluasan
kebun (ekstensifikasi) hanya menyumbang 20 persen dari total
kebutuhan pangan dunia. Sisanya 80 persen diharapkan datang dari
kenaikan produktivitas (intensifikasi).
Harapan memang ada, yakni bersandar pada teknologi
intensifikasi pangan, termasuk teknik rekayasa genetika (genetically
modified organism – GMO). Namun, tak semua ahli optimistik tentang
prospek teknologi pangan. Laju deret ukur kebutuhan pangan
terlalu cepat untuk diimbangi laju deret hitung pasokan pangan.
Hal ini terutama karena di masa depan, yang tak lama lagi datang,
pangan bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan perut tetapi juga
untuk memenuhi kebutuhan energi lantaran sumur-sumur minyak
sudah kering. Bahan pangan juga akan disulap menjadi biofuels demi
mengisi tanki-tanki bensin kendaraan. Perang perebutan pasokan
energi bagi perut manusia dan tanki mesin tak terelakkan.

Perut Versus Tanki Mesin


Bumi makin uzur. Pelipatan jumlah penduduk yang disertai
pelambanan produktivitas bahan pangan, diperparah dengan krisis
energi, memaksa dunia bersiaga menghadapi krisis pangan.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 221

Kelompok negara-negara dengan perekonomian terbesar, G-20,


misalnya, telah menempatkan pangan dalam daftar ’top priority’.
Dalam World Economic Forum di Davos, Swiss, 2011, sebanyak 17
perusahaan kelas kakap dunia menyerukan
’visi baru pertanian’. The Gates Foundation,
yayasan amal terkaya dunia yang selama Gambaran suram
ini bergiat pada masalah kesehatan, kini bukan hanya
mulai mengarahkan keprihatinan mereka bersumber pada
dalam hal ketersediaan pangan: bagaimana keterbatasan
mengurangi jumlah warga dunia yang pangan. Salah
terpaksa tidur dengan perut kosong. satu sumber
pesimisme para
Tanda-tanda krisis pangan tampak ahli terletak pada
jelas dalam empat tahun terakhir ketika ini : biofuels.
harga komoditas pertanian melonjak lebih Kian hari
dari dua kali lipat. Sebagian dari lompatan semakin banyak
ini memang didorong sejumlah persoalan saja bahan
temporer seperti kekeringan di Rusia dan pangan yang
Argentina, banjir besar di Kanada dan tidak masuk ke
Pakistan, kebijakan larangan ekspor negara perut manusia,
produsen untuk mengamankan pasokan melainkan
di dalam negeri, dan permainan spekulan. ditelan oleh
Namun tak ada yang membantah, lonjakan tanki-tanki
ini merupakan sinyal bahwa era pangan bensin dan habis
murah telah lewat. Zaman baru yang lebih dibakar untuk
kompetitif, dengan ketersediaan pangan memutar mesin.
yang terbatas, bakal (atau sudah) datang.
Dulu, lebih dari setengah abad lalu,
ancaman krisis pangan diatasi dengan temuan teknologi (bibit
unggul, pupuk, irigasi, pemberantasan hama – sekumpulan temuan
teknologi pertanian yang belakangan kita sebut sebagai ‘revolusi
hijau’). Kini, harapan yang sama juga digantungkan pada temuan
teknologi. Rekayasa genetika (genetically modified organism - GMO),
komposisi pupuk cerdas, sistem pertanian vertikal atau bahkan
222 Raja Limbung

pertanian tanpa tanah, telah memberi secercah harapan. Namun,


harus diakui, kali ini para ahli tak terlalu optimistik. Teknologi baru
untuk melipatgandakan produksi pertanian akan terus ditemukan,
tapi kebutuhan pangan di masa datang tetap sulit dikejar.
Gambaran suram bukan hanya bersumber pada keterbatasan
pangan. Salah satu sumber pesimisme para ahli terletak pada ini :
biofuels. Kian hari semakin banyak saja bahan pangan yang tidak
masuk ke perut manusia, melainkan ditelan oleh tanki-tanki bensin
dan habis dibakar untuk memutar mesin. Di masa depan, persaingan
antara lambung manusia dan tanki mesin untuk memperebutkan
bahan pangan tak dapat dielakkan.
Selain butuh makan, lonjakan penduduk dunia juga menuntut
pelipatan penyediaan sumber energi. Selama 30 tahun terakhir,
konsumsi energi dunia naik hampir dua kali lipat. United States Energy
Information Adminstration (US-EIA) menaksir, rata-rata konsumsi
energi dunia merayap naik dengan laju dua persen per tahun. Pada
dua dasawarsa mendatang, konsumsi energi dunia diperkirakan akan
mencapai 762 exajoules (kira-kira setara 211.500 TWh/terawatts jam),
atau tumbuh 40 persen lebih dari 538 exajoules pada 2010.
Sejauh ini, sebagian besar kebutuhan energi masih dipasok
oleh bahan bakar fosil (minyak, batubara, dan gas). Namun karena
jumlahnya terus merosot dan makin mahal, peran bahan bakar
fosil terus menurun. Menurut EIA, pada 2005 sumber energi fosil
menyumbang 86 persen kebutuhan energi dunia. Angka ini turun
menjadi 81 persen pada 2010.
Kelak, ketika sumber energi fosil semakin terbatas dan mahal,
dunia harus mencari alternatif energi dari sumber yang terbarukan,
seperti air, angin, geotermal, sinar matahari, dan biofuels. Dan di
antara pelbagai alternatif ini, biofuels merupakan pilihan yang paling
mudah, murah (investasinya rendah) dan gampang dipindah ke
tempat yang membutuhkan (transferrable).
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 223

Ketika sumber energi lain semakin mahal dan langka, dunia


akan mencari sumber energi baru. Salah satunya adalah sumberdaya
produk pertanian seperti kelapa sawit, tebu, singkong, jarak maupun
jagung membuka harapan baru bahwa sumber energi tak akan
pernah kering. Komoditas tersebut dapat diproses menjadi biodisel
atau bioetanol secara efisien. Dan berbeda dengan bahan bakar fosil
yang akan habis ditambang tanpa bisa diganti, produk pertanian
dapat terus dipanen asal terus dipelihara dan diremajakan.
Maka, perebutan pasokan perut umat manusia dan tanki mesin
pun tak terelakkan. Dalam pertemuan tingkat ahli para ahli pangan
di Roma, Oktober 2009, FAO menegaskan bahwa penggunaan
bahan pangan menjadi biofules akan mengancam ketahanan pangan
dunia.
Pada rentang 2000-2008, produksi biofuels dengan bahan
baku komoditas pertanian telah melonjak tiga kali lipat. Biofuels
kini menyumbang dua persen dari konsumsi bahan bakar dunia
untuk transportasi. Pada 2007-2008 saja, ada 110 juta ton biji-
bijian (atau sekitar 10 persen dari total produksi dunia) yang diolah
menjadi ethanol dan habis dibakar untuk menggerakkan mesin.
FAO menduga, produksi ethanol ini mendorong peningkapan harga
jagung, gandum, dan kedelai. Relasi antara pasar dan harga sumber
energi fosil dan bahan pangan kini semakin dekat.
Studi FAO juga menunjukkan, pemakaian bahan pangan
untuk biofuels akan melipatgandakan jumlah penderita kurang
gizi, terutama di Afrika dan Asia Selatan. Ada tambahan kurang
gizi sebasar 3 juta anak di Afrika dan 1,7 juta anak di Asia. dalam
dua puluh tahun terakhir, dari 1990 hingga 2009, jumlah penderita
kelaparan dan kurang gizi justru meningkat dari 842 juta menjadi
lebih dari 1 miliar orang (FAO, How to Feed The World in 2050).
Menurut perhitungan OECD (Organization for Economic Co-
operation and Development) dan FAO, produksi biofuels dunia akan
meningkat hampir dua kali lipat dalam sepuluh tahun mendatang,
224 Raja Limbung

dari 100 miliar liter pada 2009 menjadi 192 miliar liter (2018).
Kebutuhan akan gula, jagung dan bijian-bijian untuk minyak bakar
akan semakin meningkat dan ini akan melonjakkan harga bahan
bapangan.
Namun, bukan manusia namanya jika tak teruji dalam
ketangguhan daya survival. Krisis, di mana pun, selalu membawa
peluang baru. Perkebunan, agribisnis, untuk pangan maupun biofuels
adalah janji masa depan.
FAO juga mengakui kenaikan harga bahan pangan sebagai
sumber energi dapat pula menjadi kesempatan. Ini peluang bagi
negara-negara miskin dengan banyak lahan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Tentu hal ini baru bisa terwujud dengan
syarat infrastruktur cukup baik dan sistem perdagangan cukup adil,
lokal maupun global.

Janji Sang Elaeis


Sawit, Elaeis sp, banyak pihak menganggap, bisa menjadi ‘dewa
penyelamat’ krisis pangan masa depan. Sawit yang jauh lebih
produktif (enam ton minyak per hektare, bandingkan dengan ladang
kedelai yang menghasilkan 500 kg minyak per hektare). Konsentrasi
sawit untuk biofuels akan mengamankan porsi jagung dan kedelai
hanya untuk makanan.
Dan, harapan tentang sawit itu hanya ada di Indonesia. Laporan
Departemen Amerika menyatakan, Indonesia punya iklim yang
sangat cocok untuk pengembangan sawit dan lahan pun masih
tersedia. Afrika, sebagai tanah leluhur sawit, sebetulnya mencoba
mengembangkan perkebunan sawit. Tapi, di Afrika produktivitas
kebun sawit hanya seperempat dibanding di Indonesia.
Indonesia juga ideal sebagai rumah bagi sawit. Ongkos produksi
sawit di negeri ini tergolong murah dan menggiurkan. Survei Reuters
(2011) menyebutkan, ongkos produksi sawit di negara Asia Tenggara
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 225

Mengangkut hasil panen


Sumber: Dok. Sawit Watch
226 Raja Limbung

(terutama Indonesia) adalah US$ 300 per ton. Ongkos produksi


luasan yang sama di Afrika bisa mencapai US$ 600-800 per ton.
Marjin keuntungan tentu lebih menguntungkan berkebun sawit
di Asia Tenggara, terutama Indonesia. Dengan harga sawit yang kini
di level US$ 1000-1200 per ton, ruang laba bisa mencapai sedikitnya
US$ 500 per ton. Harga sawit pun tak mungkin turun mengingat krisis
minyak bukan omong koson. Krisis demi krisis di Timur Tengah pun
dengan mudah melambungkan harga minyak di atas US 100 per barel.
Selama ini sumbangan sektor perkebunan terhadap perekonomian
nasional tak bisa dimungkiri. Perkebunan merupakan salah satu
jagoan penyerap tenaga kerja, baik bagi masyarakat sekitar maupun
bagi mereka yang datang dari tempat-tempat yang jauh. Kebun tebu
di Lampung dan Sumatera Selatan, misalnya, setiap tahun menjadi
lahan kehidupan bagi puluhan ribuan buruh tebang tebu dari desa-
desa miskin di Jawa.
Tahun 2007 ketika luas kebun kelapa sawit Indonesia baru 6,8
juta hektar, Departemen Pertanian menyebut jumlah tenaga kerja
pada komoditas ini mencapai 3,3 juta orang. Tahun 2010, dengan
luas kebun berlipat hingga hampir 10 juta hektar, jumlah pekerja
di perkebunan dan pabrik pengolah kelapa sawit diperkirakan telah
melonjak hingga lebih dari empat juta orang. Ini setara dengan
jumlah pegawai negeri sipil yang bekerja di seluruh Indonesia.
Usaha perkebunan juga dapat diandalkan sebagai ’pusat
pertumbuhan’ di daerah. Sesuai wataknya yang memerlukan bentang
lahan luas, perkebunan biasa dibangun pada kawasan terpencil yang
belum berkembang – di tanah-tanah kosong yang terisolir, dengan akses
buruk atau terbatas. Berangsur-angsur, usaha perkebunan meniupkan
roh kehidupan bagi daerah di sekitarnya: jaringan jalan dibangun,
pemukiman pekerja muncul, kampung-kampung tumbuh, pasar
berdiri. Singkatnya: roda perekonomian pun berputar. Di mana-mana di
pelbagai pelosok negeri, usaha perkebunan telah menjadi pionir, motor
dan sekaligus magnet kehidupan di tempat-tempat terpencil.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 227

Yang juga tak bisa dianggap remeh: peran usaha perkebunan


sebagai ’tambang’ devisa. Tahun 2010 lalu, misalnya, Indonesia
mengekspor 15,5 juta ton minyak kelapa sawit (CPO). Dengan
harga rata-rata di atas US$ 1.000 per ton CPO, devisa yang dijaring
sudah melampaui US$ 15 miliar, sekaligus menempatkan minyak
kelapa sawit sebagai penjala devisa terbesar di sektor non-migas. Ini
belum menghitung devisa yang dijala dari karet, kakao, teh, lada,
pala, dan juga kopi.
Di masa depan, ekspansi kebun akan semakin sulit karena
lahan baru yang bisa dibuka akan semakin terbatas. Seiring
dengan melambannya perluasan kebun, peran perkebunan sebagai
spon penyerap tenaga kerja dan pembuka isolasi daerah tak akan
sekencang sekarang. Peran tersebut hanya dapat dipertahankan
jika perkebunan tak lagi sekadar mamasok bahan mentah seperti
sekarang, tapi sekaligus mengolahnya menjadi barang jadi. Lapangan
kerja dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi tidak lagi dimotori oleh
pembukaan kebun baru, tapi pendirian pabrik-pabrik pada industri
pengolahan komoditas perkebunan. Seiring dengan perkembangan
perkebunan ke arah hilir, perannya sebagai sumber devisa juga akan
semakin terdongkrak.
Selama ini, sebagian besar hasil perkebunan kita jual ke pasar
ekspor dalam bentuk barang setengah jadi atau bahan baku industri.
Hasil dari kebun kelapa sawit, misalnya, kita jual dalam bentuk
minyak kelapa sawit mentah alias crude palm oil (CPO). Begitu juga
getah karet, yang diekspor dalam bentuk lembaran karet (RSS, ribbed
smoke sheet) atau standard indonesian rubber (SIR), serta kakao dalam
bubuk kakao. Agar sampai ke tangan konsumen, bahan-bahan ini
masih memerlukan proses pengolahan lanjutan yang sangat panjang.
Minyak kelapa sawit, misalnya. Agar dapat diolah menjadi bahan
baku margarin, sabun atau es krim, CPO harus melalui sejumlah
proses: dinetralisir (dibebaskan dari asam lemak bebas), dicuci (agar
warnanya jadi jernih) dan diberi ‘deodoran’ (agar tidak bau tengik).
228 Raja Limbung

Setelah dinetralisir, dicuci dan diberi pewangi (biasa disebut sebagai


RBDPO alias refined, bleached, deodorized palm oil), minyak sawit masih
harus melalui proses fraksinasi, agar kandungan kimiawinya terpisah,
dan disesuaikan dengan kebutuhan industri selanjutnya.
Sebagian besar dari proses yang makan ongkos, sekaligus punya
nilai tambah itu, dilakukan di luar negeri, di negara-negara yang
justru tidak punya kebun sawit, seperti Belanda, Inggris, Singapura,
atau Amerika Serikat . Negara-negara inilah yang menikmati
gurihnya kue industri hilir minyak sawit melalui pabrik-pabrik pasta
gigi, sabun, shampoo, cokelat bar, butter, margarin, kripik kentang,
es krim, jagung panggang, kembang gula, lipstick, berbagai produk
kosmetik, hingga biodisel. Karena itu, meskipun separuh dari isi tas
belanjaan yang ditenteng orang di Paris, Milan, New York, London,
Tokyo, dan kota-kota besar dunia lainnya.
Lalu, bagaimana nasib Sumatera atau Kalimantan, episentrum
sawit dunia? Sayangnya, bagian rezeki yang jatuh ke pangkuan
Indonesia tidak seberapa lantaran kita hanya fokus pada produksi
tandan sawit mentah. Tak ada industri hilir yang membawa nilai
tambah dikembangkan serius di sini.
Itu pula yang terjadi dengan karet, juga kakao. Sebagian besar
ekspor lembaran karet kita diolah di China dan AS untuk kemudian
dijual lagi dalam bentuk produk olahan ke Jepang. Sebagai negara
yang tak punya kebun karet, Amerika Serikat justru menikmati
sebagian besar kue perdagangan karet dunia melalui industri
pengolahan karet gulung, karet plat, dan sebagainya.
Pada 2010, hampir satu abad setelah jatuh bangun
mengembangkannya, Indonesia mencetak rekor sebagai penghasil
CPO terbesar dunia, melampaui Malaysia yang selama ini merajai
pasar. Dengan produksi 22 juta ton, kebun yang terus meluas, dan
cadangan lahan yang tak tertandingi, dominasi Indonesia atas produksi
minyak sawit agaknya sulit dikejar negara manapun di seluruh jagat.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 229

Menjadi pemain besar dunia dalam satu komoditas, bukan hal


baru bagi kita. Selama ini, Indonesia dikenal sebagai produsen kakao
nomor satu dunia, dan nomor dua untuk karet. Namun kelapa sawit
bukan sekadar kakao atau karet. Berbeda dengan kakao dan karet,
permintaan terhadap minyak sawit terus berlipat eksponensial,
seiring dengan pemanfaatannya yang kian beragam.
Lima puluh tahun lalu, minyak sawit hanya diolah untuk
campuran sabun dan margarine, tapi kini CPO dipakai pada hampir
semua industri yang memerlukan edible oil (minyak nabati yang dapat
dimakan). Tuntutan kesehatan membuat industri pangan dunia
mengganti pemakaian bahan baku berkholesterol dengan minyak
yang lebih sehat, tapi tetap ekonomis -- dan untuk itu, pilihannya
jatuh pada kelapa sawit. Kini, ribuan produk makanan memakai
CPO sebagai bahan dasar, mulai dari margarin, butter, keripik
kentang, mie instan, jagung panggang, berbagai biskuit, pastry,
mayonnaise, saos dan bumbu-bumbuan, bahkan juga kembang gula,
kue cokelat dan es krim. Itu belum menghitung pemakaian minyak
sawit sebagai bahan baku industri kosmetika seperti sampo, gincu,
sabun, pelembab, pasta gigi, dan berbagai produk perawatan tubuh.
Kelangkaan dan kekhawatiran dunia akan bahaya emisi
karbon dari bahan bakar fosil, makin mempercepat laju permintaan
terhadap minyak kelapa sawit. Untuk mengurangi emisi karbon
yang menyebabkan kenaikan suhu bumi, seluruh dunia kini sedang
bersiap mengganti bahan bakar fosil dengan biofuels, secara bertahap.
Masyarakat Uni Eropa bertekad untuk mengganti 10 persen dari
kebutuhan bahan bakar transportasi pada 2020, dengan biofuels.
Hampir semua pesawat KLM airlines hari ini telah menggunakan
avtur biofuels sebagai bahan bakar.
Tak hanya Eropa. Cina juga menargetkan mengganti 15 persen
kebutuhan minyak solarnya dengan bahan bakar biologi. India
bahkan lebih maju lagi: pada 2012 mendatang, satu dari lima liter
minyak solar yang digunakan di negara tersebut, harus berasal
230 Raja Limbung

dari biofuels. Dalam dua dasawarsa mendatang, daratan Eropa


diperkirakan membutuhkan lebih dari 50 juta ton biofuels setiap
tahun -- setara dengan dua setengah kali produksi CPO Indonesia
saat ini. Diperlukan ekspansi kebun kelapa sawit baru seluas 10
juta hektar untuk memenuhi kebutuhan Eropa tersebut. Ini belum
termasuk permintaan Amerika Serikat yang diperkirakan mencapai
35 miliar galon biofuels lebih, pada 2022.
Potensi luar bisa kelapa sawit akan menjadi salah satu harapan
dunia untuk menghadapi krisis pangan, sekaligus krisis energi, di masa
depan. Berbeda dengan bahan bakar fosil yang akan habis, minyak
kelapa sawit dapat terus dipanen sepanjang kebun-kebunnya dirawat
dan diremajakan. Dengan permintaan pasar yang terus berlipat, harga
minyak kelapa sawit pun akan terus menanjak. Menguasai kelapa
sawit di masa depan, barangkali sama pentingnya dengan menguasai
minyak bumi pada era 1970-an. Dengan kelapa sawit, Indonesia
punya kesempatan untuk mendominasi perekonomian – mungkin
sama seperti OPEC mendikte dunia, pada masa jayanya dulu.
Selain itu, kebun kelapa sawit juga dapat diandalkan sebagai
’pusat pertumbuhan’ di daerah. Sesuai wataknya yang memerlukan
bentang lahan luas, perkebunan biasa dibangun pada kawasan
terpencil yang belum berkembang – di tanah-tanah kosong yang
terisolir, dengan akses buruk atau terbatas. Berangsur-angsur, usaha
perkebunan meniupkan roh kehidupan bagi daerah di sekitarnya:
jaringan jalan dibangun, pemukiman pekerja muncul, kampung-
kampung tumbuh, pasar berdiri. Daerah Bagan Batu (Riau) yang
dulu hutan belantara ‘gung liwangliwung’, misalnya, kini telah
menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi yang pesat di
pelosok Provinsi Riau. Singkatnya: roda perekonomian pun berputar.
Di mana-mana di pelbagai pelosok negeri, usaha perkebunan telah
menjadi pionir, motor dan sekaligus magnet kehidupan di tempat-
tempat terpencil.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 231

Rekomendasi,
Kembalikan Marwah Sawit
Tak ada satu pun yang sanggup mengingkari potensi dahsyat sawit.
Serapan tenaga kerja, devisa, pertumbuhan ekonomi, bisa disumbang
oleh kebun sawit. Posisi Indonesia sebagai episentrum penghasil sawit
dunia juga menjadikan negara ini semakin strategis.
Persoalannya, marwah sawit di negeri
ini ternoda oleh banyak hal. Sawit, yang Gunung
seharusnya berpamor gemilang, dicemari persoalan
rasa benci. Padahal, bukan sawitnya benar membuat
yang bermasalah, melainkan cara si manusia martabat sawit
pengelolanya. Juga cara dan keberpihakan jadi anjlok: kasus
pemerintah yang lebih condong pada sengketa tanah
pemodal raksasa dan mengalahkan petani tak kunjung
biasa di posisi pojokan. putus, buruh
yang dibayar
Marwah sawit mestilah dikembalikan
murah, risiko
pada posisinya sebagai berkah, bukan
kerusakan
kutukan alam. Gunung persoalan membuat
lingkungan,
martabat sawit jadi anjlok: kasus sengketa
ketiadaan
tanah tak kunjung putus, buruh yang
perlindungan
dibayar murah, risiko kerusakan lingkungan,
buruh perempuan
ketiadaan perlindungan buruh perempuan
dan anak, sampai
dan anak, sampai kriminalisasi petani
kriminalisasi
tersebar di berbagai kebun dari Sumatera
petani tersebar di
sampai Papua. Apa yang disampaikan dalam
berbagai kebun
buku ini hanyalah sepenggal informasi.
dari Sumatera
Masih teramat banyak problem di lapangan,
sampai Papua.
yang telah menjadi jerami kering dan siap
dibakar atau terbakar. Kisah gemerlap sawit
dengan mudah terancam runtuh oleh timbunan jerami kering ini.
Biasanya, respon pemerintah dan pengusaha selalu bernada
defensif saat noda-noda marwah sawit itu dikemukakan. Mantan
232 Raja Limbung

Warga sekitar mengais-ngais sisa panen


Sumber: Dok. Sawit Watch
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 233

Direktur Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian Achmad


Mangga Barani, misalnya, menyebut berbagai noda tadi sekadar
kampanye hitam dunia. Dunia yang tak rela atas dominasi Indonesia
dalam persawitan global. “Kami tanggulangi dengan menggandeng
Malaysia, dalam kerjasama menanggulangi berbagai kampanye
hitam itu,” kata Achmad dalam sebuah wawancara
Peta berubah sejak terbukanya dua kasus besar, yakni kasus
Mesuji dan pembantaian orang utan di hutan Kalimantan demi
ekspansi kebun sawit. Dua kasus itu membuktikan bahwa hilangnya
marwah sawit di negeri ini bukan sekadar kampanye hitam. Bukan
sekadar permainan kompetitor global di area energi biofuels, tapi
berbagai kejadian yang mengenaskan itu memang nyata terjadi di
sudut-sudut perkebunan sawit kita.
Penelusuran Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mesuji
membuktikan adanya pelanggaran hak petani oleh pengusaha
pemilik perkebunan. Celakanya, pengusaha berkolusi dengan
pemerintah dan aparat keamanan, mengabaikan dan memelintir
regulasi. Kasus seperti ini terjadi dalam berbagai variasi di seluruh
Indonesia. Catatan Sawit Watch menyebut pada 2010 terdapat 660
kasus sengketa pertanahan, meningkat dari tahun sebelumnya yang
240 kasus. Kriminalisasi petani juga meningkat dari 112 (pada 2009)
menjadi 130 kasus (pada 2010).
Nah, sekarang terpulang pada kita, akankah negeri ini serius
membenahi dan mengembalikan marwah sawit? Tentu demi
Indonesia yang lebih baik, demi kesejahteraan petani dan masyarakat
luas. Bukan hanya demi keuntungan sesaat segelintir pengusaha,
pejabat, dan aparat keamanan.
Pembenahan yang serius, dengan menimbang sense of urgency
keterbatasan lahan dan kualitas lingkungan. Tanpa pembenahan serius,
ekspansi sawit secara membabi-buta hanya akan meninggalkan luka
sosial. Jerami kering di berbagai wilayah yang harus kita bayar dengan
harga yang ekstrem, yakni menjadi Raja Limbung, Buta, dan Lumpuh.
234 Raja Limbung

Pemerintah bukannya tak punya skenario grand design


pembenahan sawit. Para pengambil keputusan cukup jeli
menempatkan sawit sebagai komoditas strategis, bahkan mungkin
menjadi salah satu penentu nasib dunia energi di masa mendatang.
Masterplan Percepatan dan Pengembangan Ekonomi Indonesia
(MP3EI) 2011-2025, menempatkan kelapa sawit sebagai salah satu
sektor penting yang akan digenjot habis-habisan.
Rencana MP3EI adalah menggemukkan pundi-pundi pendapatan
negara dari sawit. Caranya, dengan ekstensifikasi meluaskan kebun
di berbagai area, membangun pelabuhan, jalan-jalan penghubung,
rel kereta api, menumbuhkan industri hilir, serta meremajakan
kebun dengan bibit bagus, dan mempromosikan penggunaan pupuk
berkualitas.
Namun, skenario gemilang MP3EI tampak melupakan
persoalan utama yang menjadi sumber kanker persawitan Indonesia.
MP3EI tidak sedikit pun menyiratkan strategi membasmi kanker itu
secara tuntas. Visi dan misi MP3EI nyata betul hanya menimbang
pertumbuhan fisik, yang diwakili dengan rel kereta, pabrik CPO, dan
pelabuhan ekspor. Persoalan yang lebih subtil dilupakan, mungkin
lantaran membutuhkan kerja keras dan komitmen nyata pada rakyat
dan petani kecil. Padahal, perkara kualitatif, bukan sekadar statistik,
itulah yang menentukan kualitas persawitan di negeri ini.
Berdasar berbagai persoalan yang diuraikan dalam bab-bab
sebelumnya, setidaknya ada tiga hal utama yang harus menjadi
target pembenahan serius. Ketiganya harus dilakukan secara paralel,
oleh berbagai kementerian dan lembaga teknis di berbagai lini.
Masyarakat sipil, akademisi, NGO, dan media, pun hendaknya
mengawasi dengan rinci apa yang terjadi di lapangan. Supaya input
perbaikan juga berdasar riset dan observasi yang riil dan faktual.
Jangan lagi hanya bergerak melaporkan ketika persoalan sudah
meledak parah dan susah dikendalikan.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 235

Adapun tiga hal utama yang harus dibenahi tersebut adalah:


1. Benahi Konflik Tenurial
Konflik tenurial di sekitar perkebunan, tak bisa diingkari, adalah
episentrum konflik dan silang sekngarut persoalan perkebunan
di Indonesia. Tumpang tindih kepemilikan tanah, surat izin
bertabrakan, bukan kisah baru di jagat perkebunan. Sertifikat
resmi pun tak jarang tak berpengaruh apa pun, penyerobot
(perusahaan atau individu) bisa beraksi leluasa, terutama jika
didukung kolusi dengan pemerintah dan aparat hukum.
Konflik tenurial pun mewujud dalam spektrum –jenis
sengketa maupun wilayah sebaran konflik—yang luas. Ambil
contoh di Kalimantan Barat. Menurut Peraturan Daerah
No 5 tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah
Kalimantan Barat, dari wilayah provinsi seluas 14,7 juta hektar
itu, sekitar 42 persen (6,1 juta hektar) ditetapkan sebagai
kawasan pertanian lahan kering.
Dari jumlah tersebut, 3,5 juta hektar di antaranya
dicadangkan untuk lahan perkebunan, dengan komposisi: kebun
sawit 1,5 juta hektar, karet 1,2 juta hektar, kelapa 300 ribu
hektar dan sisanya untuk perkebunan lada, kakao, kopi, tebu,
pinang, jarak pagar, dan cengkeh. Kenyataannya, luas kebun
sawit di Kalbar sudah jauh melampaui kuota yang ditetapkan.
Data Dinas Perkebunan Kalbar menunjukan, hingga awal
2010, izin pengembangan kebun sawit yang telah diterbitkan,
aneh bin ajaib, mencapai 3,6 juta hektare. Ini berarti lebih dari
dua kali lipat dari jatah Tata Ruang Provinsi Kalimantan Barat.
Lebih ajaib lagi, dari 3,6 juta hektare tersebut, tak sampai
600.000 hektare (hanya 17 persen) yang sudah mengantungi
sertifikat Hak Guna Usaha.
Kasus Mesuji, yang juga berawal dari sengketa kepemilikan
tanah, seharusnya menjadi alarm yang serius bagi pemerintah.
236 Raja Limbung

Tak boleh lagi persoalan ini ditunda-tunda tanpa penyelesaian


yang jelas. Tanpa bebenah sungguh-sungguh di bidang perizinan
dan kepemilikan tanah, dunia persawitan di negeri ini akan terus
dihantui kanker ganas yang siap menyebar tak terkendali dan
berdampak fatal.

2. Benahi Struktur Perkebunan


Deretan angka hasil survei ini cukup menarik. Ada sesuatu yang
patologis tentang perkebunan sawit yang tercermin di deretan
angka ini. Mari bersama kita tengok: survei Reuters (2011)
tentang ongkos produksi sawit di Asia dan Afrika.
Ongkos produksi sawit di negara Asia Tenggara (terutama
Indonesia) adalah US$ 300 per ton. Ongkos produksi luasan
yang sama di Afrika bisa mencapai US$ 600-800 per ton.
Artinya, berdasar survei itu, ongkos produksi sawit di Indonesia
bisa separo atau hampir sepertiga ongkos produksi di Afrika.
Dengan harga sawit yang saat ini rata-rata US$ 500 per ton,
marjin sawit paling moderat US$ 500 per ton. Bayangkan,
berapa keuntungan yang bisa ditarik seluruh pengusaha sawit
nasional (termasuk para petani), dengan total produksi hingga
22 juta ton CPO pada 2010.
Benar, ilustrasi ongkos produksi dan marjin tadi mesti
kita cerna dengan catatan bahwa ini gambaran yang sangat
simplistik. Tapi, setidaknya hal itu menjelaskan mengapa para
juragan sawit –investor perkebunan dan atau pabrik pengguna
produk sawit—tergiur berkebun sawit di Indonesia.
Barangkali ongkos produksi yang murah itu yang
menyebabkan, selama 40 tahun, terutama periode seperempat
bagian yang terakhir, perluasan kebun sawit di Indonesia melaju
dalam kecepatan yang fantastik. Antara 1967 - 2000, kebun
sawit di Indonesia meluas hingga 15 kali lipat, dari 2.000
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 237

kilometer persegi menjadi 30.000 kilometer persegi (tiga juta


hektare).
Sebelum tahun 2000, rezeki sawit memang masih kalah
berkilau dibanding rezeki penebangan kayu ilegal. Namun
setelah pemerintah menggelar operasi besar-besaran illegal
logging –dan hutan yang bisa dibabat makin sulit ditemukan—
kebun sawit mulai mendapat perhatian ekstra. Dalam sepuluh
tahun terakhir, luas kebun sawit telah melebar lagi tiga kali lipat
hingga menjadi 10 juta hektare – atau setara dengan luas negara
Korea Selatan atau Portugal, atau sepertiga dari luas seluruh
negara Malaysia.
Angka luas kebun sawit memang terus menjadi bahan
kontroversi. Angka resmi Direktorat Jendral Perkebunan
Departemen Pertanian hanya menyebut luas 7,8 juta hektar.
Taksiran analis di Departemen Pertanian Amerika Serikat
menyebutkan luas kebun sawit yang telah dibuka di Indonesia
hingga 2010 memang hanya 7,7 juta hektar. Tapi selain itu,
masih ada sekitar 6,5 - 7 juta hektar lagi izin usaha kebun sawit
yang telah diterbitkan tapi belum dibuka. Sejumlah LSM yang
mengumpukan data dari dinas perkebunan di setiap daerah
sampai pada angka yang lain: luas kebun sawit Indonesia pada
2010 mendekati angka 10 juta hektar.
Luas kebun sawit yang dahsyat itu masih akan terus
ditambah. Pemerintah pernah menyatakan bahwa dari survei
disimpulkan bahwa lahan yang cocok untuk kebun kelapa
sawit mencapai 24,5 juta hektar. Rencananya, hingga 2015
pemerintah menargetkan tambahan seluas empat juta hektar
lagi, khusus untuk produksi biodisel saja. Ini belum seberapa
dibandingkan dengan target ekspansi yang dicanangkan
daerah. Seluruh datanya dikumpulkan, seluruh provinsi di
Indonesia menargetkan perluasan kebun sawit hingga 20 juta
hektar, 80 persen di antaranya di Sumatera dan Kalimantan.
238 Raja Limbung

Provinsi Riau saja, misalnya, menargetkan perluasan hingga


tiga juga hektar.
Salah satu propinsi yang paling hot mengembangkan kebun
kelapa sawit adalah Kalimantan Barat. Dari 337 perusahaan
perkebunan besar yang beroperasi di wilayah ini, 325 perusahaan
di antaranya mengembangkan kebun sawit. Pejabat Dinas
Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat menyatakan wilayah ini
memang cocok untuk pengembangan sawit karena curah hujan
yang tinggi. Menurut pejabat yang tak mau disebut namanya
terang-terangan ini, semua investasi kebun besar yang masuk ke
Kalimantan Barat, hanya mau menanam sawit. “Tidak ada yang
mau tanam karet karena curah hujan di Kalbar terlalu tinggi
untuk karet. Jika curah hujan terlampau tinggi, hari panen jadi
berkurang dan karet gampang terjangkit jamur putih,” katanya.
Agaknya bukan hanya urusan jamur putih yang membuat
investor lebih terpikat sawit ketimbang karet. Marjin laba sawit
yang super gurih itulah yang menjadi faktor utama. Marjin
gurih yang didorong ongkos produksi murah. Harga tanah dan
upah buruh yang murah atau sengaja dibikin murah. Perizinan
mulur-mungkret semau pemiik uang. Industri hilir mandeg.
Petani skala kecil, 2 hektare, tak punya daya tawar terhadap
perkebunan inti. Seluruh struktur yang mengukuhkan komposisi
timpang, yang tercermin dalam ongkos produksi yang rendah
itu tadi.
Pada 2007, berkongsi dengan ADM Asia Pacific, Wilmar
Internasional membeli lima ‘land bank’ di Kalimantan yang
sudah berizin kelapa sawit seluas 85.000 hektar dengan harga
USD 5,8 juta atau setara dengan Rp 50 miliar. Ini berarti hanya
Rp 50 juta per 85 hektar – tidak sampai sejuta untuk tiap
hektare tanah. Bayangkan, betapa murah tanah dan hutan kita,
tak peduli bahwa ada masyarakat adat, ada komunitas lokal, ada
ekosistem yang kompak yang tadinya hidup dari hutan itu.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 239

Patologi yang tersirat dari ongkos produksi US$ 300 per


ton sawit layak dibedah lebih obyektif. Perlu riset lebih lanjut
tentang rantai sosio-ekonomi yang pah buruh, hubungan
ketenagaan dengan pemilik modal, relasi petani plasma
dan perkebunan inti, juga rantai penyerapan tandan buah
segar sawit yang tidak optimal, seperti diulas pada bab-bab
sebelumnya.
Idealnya, ada kajian serius dan komprehensif (sosio-
ekonomi-lingkungan) yang membenahi ketimpangan struktur
perkebunan sawit ini. Titik mana saja yang tidak fair dan
harus dibenahi, penghargaan pada lahan, petani, buruh, dan
seluruh rantai yang terkait mutlak dilakukan. Manajemen satu
atap, misalnya, adalah salah satu langkah membenahi struktur
perkebunan sawit. Tapi, adakah sejauh ini pola itu sudah ideal?
Belum. Banyak hal perlu disorot dan dibikin efisien.
Pembenahan struktur perkebunan sawit ini boleh jadi akan
menggenjot harga produksi sawit Indonesia. Yang tadinya
US$ 300 per ton mungkin saja membengkak hingga jadi US$
400 per ton. Daya saing Indonesia boleh jadi sedikit menurun,
marjin yang dinikmati pengusaha menciut, tapi keberlanjutan
masa depan lebih terjaga. Masyarakat luas, terutama petani dan
buruh, bisa tersenyum lebih lebar.

3. Benahi Pengelolaan Lingkungan


Degradasi kualitas lingkungan adalah satu dosa perkebunan
sawit yang paling susah disangkal. Areal yang tadinya hutan,
dengan jutaan makhluk hidup di dalamya, berubah menjadi
kebun monokultur yang egoistik. Orang utan, anggrek, rotan,
aneka herba berkhasiat obat, harus menyingkir dari kebun. Tak
ada keanekaragaman hayati di dalamnya. Semuanya serba sawit,
yang berjajar rapi bagai tentara berbaris saat apel pagi hari.
240 Raja Limbung

Pertarungan dagang masa depan, tak bisa tidak, akan


melibatkan teknologi dan sensitivitas lingkungan. Dunia akan
semakin dikepung sense of urgency pentingnya mengelola
lingkungan sambil tetap menjaga pasokan kebutuhan pangan
dan energi bagi dunia. Label eco friendly pada sawit, seperti yang
telah terbukti dengan aneka produk makanan organik saat ini,
akan menggaet nilai tambah.
Walhasil, jika ingin membawa marwah pada sawit, maka
perkebunan sawit harus dirancang dengan prinsip-prinsip yang
lebih ramah lingkungan. Umpamanya, setiap 100 hektare kebun
sawit harus diseling dengan kantong (enclave) hutan konservasi.
Area hutan konservasi ini mungkin tidak terlalu luas, bisa 10-20
hektare, yang dibiarkan tumbuh sebagai hutan, lengkap dengan
danau buatan sebagai reservoir air dan habitat bagi ekosistem hutan.
Fungsi enclave hutan di sela perkebunan sawit ini beragam.
Dia bisa dipandang sebagai sedikit upaya penyeimbang kebun
monokultur yang masif. Kantong hutan ini juga berfungsi
sebagai penjaga siklus hidrologi, dengan pepohonan kokoh,
tanah penyimpan air, dan mungkin sebentuk danau untuk
menjaga kelembaban sekita. Terjaganya siklus hidrologi ini
otomatis juga menjaga kesuburan perkebunan sawit yang ada di
sekitar kantong hutan. Harga tandan pasti lebih mahal lantaran
kualitas terjaga. Kebun dan kantong hutan akan saling menjaga.
Fungsi lainnya, kantong hutan ini bisa dikembangkan sebagai
area ekowisata yang menarik, yang membawa pesan bahwa agribisnis
tak selamanya rakus tanpa batas. Label eco friendly bisa dipasang
dan harga pun meningkat. Sama seperti halnya kayu jati yang tak
lagi tumbuh di hutan liar (karena sudah nyaris habis ditebang) dan
kini ditanam di perkebunan jati yang ramah lingkungan. Label eco
friendly membikin si jati bernilai ganda-berganda.
Pada akhirnya, apabila tiga pembenahan utama tadi
dilakukan dengan serius, kita bisa berharap pada kembalinya
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 241

marwah perkebunan sawit. Tiga rekomendasi utama itu adalah:


pembenahan sengkarut kepemilikan tanah dan perizinan,
pembenahan struktur biaya perkebunan hingga lebih adil,
serta penghormatan pada lingkungan. Ini semua memang
melibatkan pembenahan sungguh-sungguh dalam tata kelola
pemerintahan (terkait pemberian izin, sertifikasi lahan, dan
supervisi pengelolaan perkebunan), menyehatkan iklim bisnis
(investor yang tak main suap sana-sini), dan civil society yang
kuat. Yang terakhir ini termasuk petani dan buruh yang kritis
memperjuangkan haknya, riset komprehensif dari para akademisi
tentang dunia persawitan, serta NGO dan media yang kompeten
memantau apa yang terjadi di lapangan.
Sawit memang sebuah kisah epik di negeri ini. Seratus tahun
perjalanannya menyisakan pekerjaan rumah menggunung,
yang sangat layak kita perjuangkan. Bumi dan isinya layak
diperlakukan dengan respek. Hanya dengan begitu, alam akan
membalas dengan sepadan dan bahkan jauh lebih baik.
242 Raja Limbung

Profil Lembaga

SAWIT WATCH
Perkumpulan Sawit Watch adalah sebuah organisasi
non pemerintah di Indonesia berbasis keanggotaan
individu yang bertujuan menstop laju ekspansi
sistem perkebunan besar kelapa sawit. Sejak 1998,
Seketariat telah membangun jaringan yang terdiri
lebih dari 50 mitra lokal yang menangani langsung
lebih dari 75 masyarakat (sekitar 40.000 kepala
keluarga) terkena dampak perkebunan kelapa sawit diseluruh
Indonesia. Sekretariat Perkumpulan Sawit Watch (15 staf) di Bogor
telah membangun kemitraan dengan perwakilan individu-individu
di Indonesia dan juga di Eropa. Sampai dengan tahun 2009 anggota
Perkumpulan sawit watch berjumlah 135 orang. anggota ini tersebar
utamanya di Indonesia terdiri pekebun, buruh kebun, masyarakat
adat, aktivis ngo, wakil rakyat , guru, dan pengajar di perguruan
tinggi.
Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia 243

TEMPO INSTITUTE
TEMPO Institute adalah organisasi nirlaba,
independen, yang didirikan sejak tahun 2003 dan
bernaung di bawah payung organisasi Yayasan 21 Juni
1994. Bidang kegiatannya adalah pengembangan
kapasitas sumber daya manusia dalam bidang
penulisan, jurnalistik, dan pengelolaan media.
Semenjak berdirinya Tempo Institute telah melakukan sekian
banyak kegiatan pelatihan jurnalistik, Workshop menulis, maupun
berbagai macam kegiatan diskusi, seminar dan penelitian yang
berhubungan dengan Jurnalisme maupun kesadaran sosial
244 Raja Limbung

Anda mungkin juga menyukai