Anda di halaman 1dari 124

BUKU AJAR

MATA KULIAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN


AGAMA HINDU

Penulis:

I KETUT NYANADEVA NATIH


NYOMAN METTA N. NATIH

PROGRAM PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS INDONESIA
TAHUN 2017 - 2018
KATA PENGANTAR

Nasakah-naskah yang dihimpun menjadi satu buku ini, pada mulanya


merupakan naskah-naskah ceramah dan seminar agama Hindu yang kami berikan di
beberapa tempat, baik di Jakarta maupun di luar Jakarta. Naskah-naskah tersebut
telah berulang-ulang diperbaiki dan diketik ulang disesuaikan dengan bentuk
himpunan yang saling berhubungan sampai dengan yang terakhir ini.
Materi naskah-naskah ini sekaligus kami pakai landasan dasar penanaman
kehinduan di kalangan mahasiswa kami, baik di Universitas Indonesia maupun di
beberapa universitas lainnya di Jakarta, tempat kami mengajar agama Hindu.
Misalnya di Universitas Indonesia, kami mengajar agama Hindu dan Buddha sejak
tahun 1967. Semenjak itu, kami berusaha mencari-cari bahan untuk dijadikan dasar
utama pengertian dan pemahaman agama Hindu (dan Buddha) yang universal. Hal
itu kami cari karena memang karakter kedua agama ini sangat universal sehingga
sangat bervariasi pelaksanaannya di seluruh dunia. Bahkan di Indonesia saja
pelaksanaannya sangat bervariasi.
Munculnya beraneka ragam variasi tersebut tidak saja disebabkan oleh
beraneka ragamnya suku-suku bangsa Indonesia, tetapi juga disebabkan oleh lokasi
mereka. Umat Hindu (dan Buddha) tinggal begitu tersebar di seluruh pulau dan
kepulauan Indonesia. Keadaan itu mempengaruhi terhadap penyiapan dan pemakaian
sarana, lokasi, waktu dan sebagainya (desa, kala, dan patra) dalam melaksanakan
ritual atau upacara-upacara keagamaan.
Parisada Hindu Dharma Indonesia, sebagai lembaga umat Hindu telah
berusaha membuat pokok-pokok dasar yang dianjurkan dipergunakan sebagai
pedoman dasar. Hal itu ditempuh untuk menghindari hambatan dan kendala yang
mungkin muncul di kalangan umat pada saat-saat melaksanakan kegiatan-kegiatan
keagamaan. Tentu tidak harus persis seperti di Bali pelaksanaannya karena alasan
seperti yang telah kami kemukakan tadi. Apalagi usaha
penyeragaman dalam segala bidang tidak mungkin bisa terjadi. Lagi pula usaha-
usaha kearah itu memang sulit, sukar, dan memang tidak perlu. Kecuali kesia-siaan
saja dipanen.
Oleh karena itulah, kami akhirnya dapat menjelaskan bahwa ada karakter
tertentu agama Hindu (dan Buddha) yang menyebabkan survivel dan merambahnya
Hindu sepanjang masa dan zaman. Sejak 6000SM sampai sekarang Hindu terus dan
tetap hidup berkembang merambah seluruh permukaan bumi dengan corak, warna,
wujud, gaya, dan sebagainya yang bervariasi. Sesuai dengan nama panggilan aslinya
‘sanatanadharma’ (agama yang kekal abadi) memang Hindu tanpa awal dan tanpa
akhir. Justru karena itulah Hindu terus dan terus hidup bertumbuh kembang
mengikuti pertumbuhkembangan budaya manusia di mana pun mereka berada dan
bermukim.
Pada kesempatan ini, dengan rendah hati kami mengucapkan angayubhagya
kepada para leluhur, para dewa samudaya, dan Sang Hyang Widi Wasa/ Tuhan Yang
Maha Esa. Begitu juga terima kasih tidak terkira kami sampaikan kepada Ibu Ketut
Geniki yang sangat sabar dan tekun mendampingi kami sejak 1958; juga kepada
semua putra-putri dan menantu serta cucu kami yang sangat kami kasihi dan sayangi.
Walaupun sekecil apa pun makna dan nilai buku ini di tenagh-tengah buku-
buku Hindu yang telah ada dan yang akan ada di persada Indonesia, kiranya pada
tempatnya kami berdoa dengan harapan semoga buku kecil ini ada manfaatnya bagi
siapa pun yang tekun mendalami Hindu atau pun yang ingin mengetahui tentang
agama Hindu. Untuk kesempurnaannya sangat diharapkan bantuan semua pihak
terutama para pembaca yang budiman dan bijaksana. Semoga pikiran yang baik
datang dari segala penjuru.

Jakarta, Agustus 2016

0
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..........................................


INTRODOKSI ...........................................
BAB I KARAKTER AGAMA HINDU …………………….....…………………1
1.1 Istilah Hindu …………………………………….....…………….. 1
1.2 Karakter agama Hindu …………………………………....………1
1.3 Istadevata dan adikara ………………………………………. 4

BAB II PERKEMBANGAN AGAMA HINDU………………………………. 9


2.1 Sejarah Perkembangan Agama Hindu di India ………….……. 9
2.2 Sejarah Perkembangan Agama Hindu di Indonesia ………….26

BAB III KONSEP KETUHANAN DALAM AGAMA HINDU ………………39


3.1 Konsep Ketuhan Menurut Veda ……………………………… 39
3.2 Agama Veda-Upanisad: Konsep Ketuhanan (Atman-Brahman 40
3.3 Kedudukan Para Dewa ……………………………………….. 45
3.4 Aspek Immanen dan Transendental Tuhan …………………... 50
3.5 Iswara dan Penciptaan ……………………………….……… ..52

BAB IV SUMBER DAN RUANG LINGKUP AGAMA HINDU ……………..57


4.1 Pengantar ………………………………………………....………57
4.2 Sumber Agama Hindu …………………………....………………58
4.3 Ruang Lingkup Agama Hindu ………………………………..70

BAB V SIMBOL DALAM AGAMA HINDU ……………………………… 79


5.1 Pengantar ………………………………………………....……79
5.2 Makna dan Hakikat Simbol dalam Agama Hindu …….....…… 79
5.3 Beberapa Contoh Simbol dalam Agama Hindu ………........… 81

1
BAB VI FILSAFAT HINDU: SISTEM DAN PERKEMBANGANNYA …… 84
6.1 Umur Veda …………………………………………………. 84
6.2 Kedudukan Veda bagi Umat Hindu ………………………… 85
6.3 Pembagian Kesusastraan Veda ……………………………… 86
6.4 Kitab-kitab Samhita ………………………………….……… 87
6.5 Kitab-kitab Brahmana …………………………………..…… 88
6.6 Kitab-kitab Aranyaka ………………………………….……. 88

BAB VII SISTEM KALENDER DAN TAHUN HINDU DI INDIA ……...……94


7.1 Kalender …………………………………………………..……94
7.2 Tahun Hindu di India ……………………………………..……97

BAB VIII HARI RAYA SUCI AGAMA HINDU ………………......……………100

8.0 Pendahuluan ...............................................................................100

8.1 Hari Raya Siwaratri ....................................................................101

8.2 Hari Raya Nyepi .........................................................................106

8.3 Hari Raya Galungan dan Kuningan ............................................121

1
0
1
1
0
2
1
0
7
1
3
0

2
BAB I
KARAKTER AGAMA HINDU

1.1 Istilah Hindu


Nama hindu sebenarnya tidak asli. Nama ini, diberikan oleh orang-orang
(para imigran) yang datang di India sejak berabad-abad yang lalu. Mereka datang di
India melalui celah-celah (pass) Kayber, di barat daya (north-western) pegunungan
Himalaya. Kata hindu hanya berarti: orang-orang yang mendiami lembah Sungai
Indus (Indus valley). Kemudian, keyakinan (faith, sraddha) yang dianut oleh mereka
itu dikenal sebagai Hinduisme (agama Hindu).
Sebenarnya istilah ekspresi yang biasanya dipakai dalam kitab suci di India
untuk Hinduisme, adalah vaidikadharma dan sanatanadharma, yang berarti: agama
atau Veda-veda dan agama yang kekal abadi (faith ethernal). Kitab suci Veda berisi
sumber otoritas untuk ajaran Hindu, yang kemudian dalam sejarah perkembangannya
menerima tambahan-tambahan dan interpretasi dalam literatur-literatur agama yang
ditulis baik dalam bahasa Sanskerta, maupun dalam bahasa-bahasa lainnya.
Kebenaran Veda ini, adalah kekal abadi, karena berisi ajaran-ajaran realitas spiritual
(spiritual reality).

1.2 Karakter Agama Hindu

Sesungguhnya setiap agama mempunyai karakter, sifat atau ciri. Karakter


itulah yang merupakan pola dasar proses perkembangan agama tersebut dalam
perjalanan sejarah penyebarannya ke seluruh penjuru dunia. Karakter tersebut
menjadi ciri khas sebuah agama, dan sekaligus menjadi barometer pembanding antar
agama di kawasan dunia ini.
Agama Hindu, sebagai agama besar dan paling tua di dunia, juga mempunyai
karakter tersendiri. Karakter itulah yang menyebabkan agama Hindu memungkinkan
dirinya mengalami variasi dalam proses perjalanan sejarah panjang yang pernah
dilaluinya sepanjang zaman (sejak 6000 BC). Adalah suatu

3
kenyataan bahwa tersebarnya keberadaan agama Hindu di seluruh dunia sangat
beraneka ragam, jadi sangat bervariasi. Tidak ada keseragamannya dalam segala
bidang apa pun. Keseluruhan pelaksanaan kegiatannya diwarnai oleh keaneragaman
budaya penganutnya di mana pun agama tersebut dianut. Keadaan seperti itu sangat
mengundang pertanyaan ‘mengapakah demikian?’. Misalnya hari suci atau hari raya
Hindu yang dirayakan umatnya tidak sama di permukaan bumi ini. Segabai contoh,
umat Hindu di India (bahkan umat Hindu keturunan India di mana pun mereka
bermukim), merayakan hari raya seperti : Dipavali, Durgapuja atau Navaratri, Holi,
Tahun Baru Telugu, Vasanta Pancami. Sedangkan di Indonesia umat Hindu
merayakan hari raya atau hari suci seperti : Sivaratri, Nyepi, Pagerwesi, Galungan –
Kuningan, dan Saraswati. Hari raya Sivaratri dan Nyepi dirayakan setahun sekali,
sedangkan hari raya Pagerwesi dan lain-lainnya itu dirayakan setiap 210 hari. Begitu
juga aspek yang lainnya juga sangat bervariasi. Mengapakah begitu?

1.2.1 Landasan pijakan agama Hindu

Sesungguhnya, hal yang menyebabkan para peneliti yang mempelajari


agama Hindu, sangat terpesona terhadap tradisi Hindu, adalah keanekaragamannya.
Dalam perjalanan perkembangan sejarah kehidupan agama Hindu, - yang usianya
telah mencapai ribuan tahun ( a.l.: menurut Tilak yang menggunakan cara astronomi
Rg Veda, veda yang tertua, dikomposisi sejak tahun 6000 SM), - kemudian lahir dan
berkembang banyak sekte agama, dan aliran filsafat yang muncul dari agama Hindu.

Kita akan menemukan berbagai macam ajaran, praktek agama, dan beraneka
ragam cara dan jenis pemujaan yang dilaksanakan oleh para penganutnya di mana
pun agama Hindu itu hidup dan berkembang. Keanekaragaman seperti itulah yang
sangat mempesonakan para cendekiawan yang mempelajari agama Hindu. Oleh
karena itu, timbullah pertanyaan di hati mereka, bahkan di hati kita juga,
"Mengapakah demikian? Tidakkah bisa diseragamkan?"
Sebenarnya pasti ada 'sesuatu' di dalam agama Hindu (Hinduism) yang
menyebabkan agama Hindu bisa tetap hidup mengikuti irama zaman yang dilaluinya,
sejak 6000 SM sampai dengan sekarang, bahkan dengan masa yang akan datang.

4
Berbeda halnya dengan agama-agama kuno yang pernah hidup dan berkembang di
dunia ini yang bersamaan dengan agama Hindu saat itu. Misalnya: agama Yunani
Kuno, Mesir, Mesopotamya, Babylonia, Asyria dan lain-lainnya.
Kita mengetahui dalam sejarah, bahwa agama-agama kuno itu kemudian satu
per satu berguguran di muka bumi ini. Jadi, agama Hindu sudah sempat menyaksikan
gugurnya agama-agama kuno yang pernah hidup sejaman dengannya seperti: agama
Mesopotamya, Babylonia, Syria, Persia, Mesir, dan Yunani Kuno itu.
Adapun agama-agama kuno itu satu per satu berguguran di muka bumi akibat
karakternya tidak bisa mengikuti irama perubahan dan perkembangan yang terjadi di
alam ini. Berbeda halnya dengan agama Hindu. Agama Hindu kendatipun usianya
sangat tua (80 abad), namun masih tetap hidup subur dan jaya dipermukaan bumi ini.
Apakah yang menyebabkannya?
Adalah sangat menarik, seandainya kini kita melihat di sekeliling kita,
agama-agama yang seumur dan sezaman dengan agama Hindu, seperti tersebut tadi.
Jika kita pergi ke Itali dan Yunani misalnya, maka kita akan bertanya dalam hati kita,
"Di manakah agama dan peradaban Roma dan Yunani kuno? Apakah kita dapat
melihat agama kuno itu di Yunani dan Italia sekarang?"
Berbeda halnya jika seandainya kita pergi ke India --(yang juga dapat kita
temukan di Bali sampai sekarang) - ternyata agama dan budaya India kuno masih
tetap hidup sampai saat sekarang. Walaupun di sana-sini kita menemukan adanya
perubahan-perubahan, perkembangan, bahkan penyim pangan-penyimpangan, namun
pada dasarnya masih tertanam subur 'harta karun' spiritual yang berlimpah-limpah.
Tidak seperti di Yunani dan Italia. Mengapa demikian keadaannya? Pertanyaan ini
dari tadi muncul namun belum juga bertemu jawabannya.
Sesungguhnya jawabannya sangat sederhana, yakni : bahwa salah satu
penyebab, mengapa agama Hindu masih tetap hidup berkembang dari zaman 6000
BC sampai sekarang, bahkan sampai masa-masa yang akan datang, adalah karena
dasar atau landasan berpijak agama Hindu tidak berada pada material lines, tetapi
pada spiritual lines. Jadi, landasan pijakan di atas spritual lines itulah yang
menjadikan agama Hindu tetap hidup subur sepanjang masa. Dengan landasan itu,
agama Hindu mampu menyesuaikan dirinya dengan irama perkembangan dan
perubahan alam semesta ini. Itu berarti, bahwa di belahan bumi mana saja agama
Hindu hidup, agama tersebut akan mampu hidup berkembang subur menyesuaikan

5
dirinya dengan lingkungannya. Landasan spirirtual lines itu , sebagai tempat berpijak
agama Hindu, sangat universal, sangat umum; bahkan dari landasan pijakan yang
universal itulah muncul karakter agama Hindu yang juga sangat umum.

1.3 Istadewata dan adhikara


Pada dasarnya, agama Hindu memiliki dua macam karakter: pertama, ajaran
mengenai konsep bentuk Tuhan yang dapat dipilih (ista devata), dan kedua, ajaran
tentang spiritual yang juga bisa dipilih (adhikara).

Pertama, dari ajaran dasar istadevata ini, ialah kebebasan yang diberikan oleh
agama Hindu kepada para pemeluknya, umat Hindu, untuk memilih bentuk Tuhan, --
yang telah diterangkan dalam kitab-kitab suci, personal God atau
impersonal God,-- yang ingin mereka puja, sesuai dengan kesenangan dan
kemantapan hati nuraninya ( atmanastusthi, atau atmatusthi) Di sini juga ada
keunikan, sehingga Max Muller, --yang banyak menyelidiki Hinduisme pada abad
ke-19-- sangat terpesona terhadap bentuk-bentuk pemujaan dewa-dewa dalam agama
Hindu atau Hinduism. Menurut Max Muller, bahwa Hinduisme bukan agama
polytheisme.
Jika seandainya di dalam agama Hindu (Hinduism), terdapat seseorang yang
telah memilih satu Dewa tertentu untuk dipuja, sesuai dengan apa yang tercantum di
dalam kitab sucinya, maka dewa-dewa yang lainnya secara otomatis menjadi "sub
atau bagian" Dewa yang dipuja. Kedudukan para dewa lainnya langsung berada di
bawah kedudukan Dewa yang dipujanya. Jadi, bentuk pemujaan seperti ini, sangat
berlainan dengan bentuk polytheisme, yakni kedudukan antara dewa yang dipuja
dengan para dewa lainnya masih sejajar dan sama, bahkan masih ada kompetisi
kekuatan di antara para dewa tersebut.
Sehubungan dengan itu Max Muller kemudian menyebut agama Hindu
(Hinduism) sebagai agama Henotheism. Tetapi, menurut pandangan saya, istilah
"isme" di dalam studi agama-agama, sesungguhnya hanya dapat dipergunakan
oleh para sarjana Barat. Hal itu disebabkan, karena istilah "isme" ini sulit diterapkan
pada agama Hindu, karena sifat keunikan agama Hindu itu sendiri.Seandainya kita
menerima bentuk henotheism Max Muller, maka hal itu juga dijadikan bahan
argumentasi,- maka sekelompok indolog lainnya, seperti Prof. Murti, -- yang

6
mengatakan bahwa agama Hindu (Hinduism) adalah pantheism ( semua reality
adalah divine ).
Kedua, ajaran adhikara, memberikan kebebasan kepada penganut agama
Hindu untuk memilih disiplin, tatasusila dan tatacara yang sesuai dengan budaya,
kemampuan dan kesenangan serta kemantapan hati nuraninya (atmatusthi) . Jadi,
bagaimana caranya melaksanakan pemujaan dan dengan sarana apa saja yang dipakai
untuk pemujaan itu, adalah terserah kepada atmanastusthi mereka. Kemudian dalam
perkembangannya di daerah-daerah tertentu (misalnya di Bali/Indonesia) disebut:
desa, kala, dan patra atau tempat, waktu dan keadaan.
Menurut pandangan saya, kedua konsep ini muncul dari pandangan umat
Hindu, bahwa kitab suci Veda itu bersifat apaurushya (tidak dibuat oleh manusia),
dan nitya (kekal abadi). Kita dapati Veda itu melalui revalations atau sruti (wahyu)
yang diterima oleh para Maharesi Namun, oleh karena keadaan kita yang masih
belum sempurna (belum jivanmukti) inilah yang mengakibatkan interpretasi kita
terhadap Veda belum sempurna. Hal itulah yang membuat agama Hindu (Hinduism)
terdiri dari berbagai aliran filsafat, bahkan berbagai aliran sekte dan agama, yang
mampu hidup bertahan sejak zaman India kuno Sampai-sampai bentuk pemujaan
animistic dapat kita temukan bersamaan dengan bentuk monotheistic dan monistic
yang sangat tinggi. Agama Hindu berpendirian, bahwa setiap bentuk pemujaan
dianggap sebagai satu langkah maju yang sangat berguna untuk menuju keadaan
yang lebih tinggi.
Bahkan, setiap bentuk pemujaan itu dipandang dengan toleran dan pengertian
yang sangat mendalam. Agama Hindu tidak memaksa akan adanya keseragaman
bentuk pikiran dan cara berpikir serta dalam praktek. Agama Hindu menyadari,
bahwa setiap manusia memiliki pikiran, ucapan dan tindakan yang beraneka ragam,
bahkan menyadari bahwa setiap manusia berada pada tingkat perkembangan spiritual
yang berbeda.Sehubungan dengan itu, Mahatma Gandhi mengatakan (Journal Young
India, 8-4-1926) bahwa, " Hinduism adalah sebuah organisme hidup, yang dapat
berkembang dan juga mati, dan merupakan subjek hukum Nature (Tuhan). Akarnya
begitu besar dan kuat, yang sudah tumbuh pada pohon yang besar, dengan cabang
dan ranting yang tidak terhitung jumlahnya. Perubahan musim mempengaruhinya:
dia mempunyai musim gugur, musim panas, musim dingin, dan musim bunga".

7
Dengan kata lain, Max Muller mengatakan, bahwa agama Hindu mempunyai
kamar untuk setiap agama , dan agama Hindu merangkul mereka dengan toleran.
Begitu juga, Dr. K. M. Sen mengatakan, bahwa definisi agama Hindu (Hinduism)
menghadirkan kesulitan lain. Agama Hindu (Hinduism) lebih menyerupai sebatang
pohon, yang tumbuh perlahan-lahan, daripada sebuah bangunan megah yang
dibangun oleh arsitek besar, pada saat tertentu dan dalam satu waktu tertentu pula
Lain daripada itu, agama Hindu tidak menekankan faith-nya (keyakinannya) kepada
seorang resi atau nabi. Hal itu dikarenakan bahwa menurut agama Hindu, jalan
menuju Tuhan sangat luas pada vision yang terus-menerus dan experience pada
Tuhan yang tanpa henti-hentinya. Tuhan ada tanpa awal dan akhir.
Sehubungan dengan itu, Savepalli Radhakrisnam menulis ("The Hindu View
of Live, Macmillan, New York, 1973, hlm.55), " Hinduism lebih merupakan suatu
cara hidup daripada suatu bentuk pemikiran. Ketika dia memberikan kebebasan
mutlak dalam dunia pemikiran, agama Hindu menekankan satu etika dan disiplin".
Seterusnya dia melanjutkan, bahwa agama Hindu tidak menekankan pada bidang
kecocokan interpretasi agama, tetapi pada satu spiritual dan ethika dalam
kehidupan.

Jadi, terlihat agama Hindu (Hinduism) terdiri atas banyak sekte dan ideologi.
Namun, semua sekte itu dianggap sebagai interpretasi yang berbeda atas satu Reality
yang sama, serta sekte-sekte itu pada hakikatnya adalah cara yang bebeda untuk
mencapai goal atau tujuan yang sama Dengan kata lain, bahwa keanekaragaman itu
bukan bentuk akhir (final) agama Hindu (Hinduism), tetapi semua bentuk atau sekte
itu adalah laksana untaian sebuah persatuan dan kesatuan. Kesatuan (unity) itu dapat
kita temukan dalam nilai-nilai dan tujuan
(goal) terakhir yaitu moksa, serta beberapa konsep filsafat mereka yang sama,
misalnya: karma, samsara, dan sebainya, yang dianut oleh semua aliran dan sekte
yang beraneka ragam itu.
Jadi, walaupun beraneka ragam tetapi tujuannya sama Contoh berikut ini
semua akan menjelaskan, mengapa konsep filsafat yang kelihatannya bertolak
belakang, seperti monism-nya (hanya Tuhan yang real) Sankara, dan dualism-nya
"kapan hamba akan dapat menyembah kaki-Mu) aliran Bhakti, tidak

8
menimbulkan konflik kekerasan. Sumber kesatuan (unity) lainnya yang dalam bahasa
filsafatnya disebut caritra, conduct atau charackter (perilaku atau karakter). Sudah
juga adanya persetujuan tentang kode-kode etika dan nilai-nilai atas perilaku.
Oleh sebab itu, untuk menerangkan prinsip-prinsip agama Hindu (Hinduism)
kepada orang yang belum familiar dengan agama Hindu, merupakan usaha yang sulit
dan tidak mudah. Salah satu penyebabnya, adalah banyaknya istilah dalam agama
Hindu (Hinduism), yang sulit dicarikan sinonimnya dalam bahasa Eropa/Indonesia.
Hampir semua penulis tentang agama Hindu (Hinduism), dengan terpaksa harus
menunjukkan bahwa dharma dan agama itu tidak sama, mandira itu bukan 'gereja'
Hindu, jati yang telah diterjemahkan menjadi 'kasta' pun tidak begitu mantap (sreg)
bagi penulis-penulis agama Hindu (Hinduism). Satu kata, begitu penting bagi filsafat
Hindu, misalnya kata sadhana tidak ada persamaannya dalam bahasa Inggris. Dengan
karakter istadevata dan adikara tersebut, agama Hindu merangkul semua tradisi dan
budaya penganutnya setempat. Hal itu yang menimbulkan keanekaragaman bentuk
dan cara pelaksanaan upacara keagamaan di seluruh dunia. Bahkan di dalam Manawa
Dharmasastra atau Manusmrti dicantumkan bahwa sumber hukum agama Hindu ada
lima : Vedasruti, Vedasmrti, sila, acara, dan atmatusthi, yang diserap di Indonesia
menjadi tiga : desa, kala dan patra.

9
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA HINDU

2.1 Sejarah Perkembangan Agama Hindu di India

Beberapa sarjana indolog sepakat membagi sejarah agama Hindu di India


menjadi lima periode, yaitu sbb.:
2.1.1 Periode Veda, dari tahun yang belum bisa dipastikan, 6000 SM sampai
tahun 600 SM
2.1.2 Periode Itihasa (Wiracarita), 600 SM - 200 M
2.1.3 Periode Sutra dan perkembangan sistematik filsafat Hindu, yang mulai
dari awal tahun Masehi
2.1.4 Periode Scholastic, tahun 1200 M - abad ke- 19 M
2.1.5 Periode Modern, berawal dari abad 19 M

2.1.1 Periode Veda / Mantra ( 6000 SM -- 600 SM)

Periode Vedic, mewakili zaman kedatangan bangsa Aryan ke India, dan


setelah menetap di daerah baru tersebut, secara perlahan-lahan mereka
mengembangkan kebudayaan dan peradabannya. Hasil kesusasteraan yang terpenting
pada zaman itu, ada tiga macam yang kemudian dikomposisikan sbb.:
1) Mantra samhita: (a) Rg Veda samhita, (b) Yajur Veda Samhita, (c) Sama
Veda Samhita, dan (d) Athtarva Veda Samhita.
2) Brahmana
3) Aranyaka dan Upanisad

2.1.1.1 Mantra Samhita

Kitab samhita terdiri dari empat Veda: Reg, Yajur, Sama dan Atharva Veda
SamhitaKitab Rig Veda terdiri dari 10 buku (mandala), dan 1028 hymne (termasuk
11 suplementacy), dan 10.552 stanza (sloka). Kitab Yajur Veda Samhita, terbagi atas
40 bab, dan 1975 stanza (sloka) dan unit-unit prosa. Kitab Samaveda Samhita, terdiri
atas 1875 stanza (sloka), dan dibagi atas dua bagian. Terakhir kitab Atharva Veda

10
Samhita, terbagi atas 20 buku: terdiri dari 730 hymne, 5987 stanza dan unit-unit
prosa.
Dari empat samhita (himpunan) itu, yang paling tua usianya ialah Reg Veda
Samhita. .Di dalam Yajur Veda Samhita, yang berisi koleksi hymne, hampir semua
verse diambil dari Reg Veda Samhita (kecuali 75 verse/sloka), dan hymne-hymne ini
diatur atas beberapa nada atau lagu (chanda) khusus.
Sedangkan Atharva Veda Samhita, yang berisi hymne-hymne dan magical
formula, tidak saja berbeda dengan Reg Veda Samhita, tetapi juga mewakili satu
tingkatan pikiran yang lebih primitif (Macdonald, Religion and Philosophy of Veda,
hlm.31).

2.1.1.2 Brahmana

Kitab Brahmana adalah kitab yang ditulis dalam bentuk prosa, untuk
menerangkan arti suci berbagai upacara yang berbeda. Menurut Macdonald (Ibid.,
hlm: 31), dikatakan bahwa kitab-kitab Brahmana mewakili aktivitas intelektual suatu
zaman yang semua aktivitas dipusatkan pada upacara.
Sehubungan dengan itu, Prof. S. N. Dagsupta (History of Indian Philosophy,
Vo.1, hlm: 13) mengatakan, bahwa spekulasi pikiran yang bebas adalah pembantu
(subordinated) upacara, dan hasilnya merupakan satu produksi suatu upacara yang
sangat mengherankan sistem simbolik.

2.1.1.3 Aranyaka dan Upanisad

Kitab-kitab Aranyaka, adalah kitab 'hutan' yang mewakili satu pemindahan


perfomance upacara ke satu meditasi, dan dari simbol tertentu.Dalam hal ini,
Dasgupta menyarankan, karena upacara-upacara yang rumit tidak bisa dilaksanakan
di dalam hutan, yang disebabkan karena kurangnya bahan-bahan yang diperlukan
untuk upacara-upacara tersebut, maka kitab-kitab Aranyaka digubah/disusun oleh
para wanaprasthin (mereka yang mengundurkan diri dari masyarakat lalu pergi ke
hutan), dan lebih memusatkan dirinya pada meditasi, ketimbang pada upacara (Ibid).
Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa unsur-unsur filsafat yang terdapat dalam

11
samhita-samhita, membentuk satu jembatan antara upacara kitab-kitab Brahmana
dan filsafat kitab-kitab Upanisad.
Kitab-kitab Upanisad, adalah ajaran rahasia yang merupakan bagian
Aranyaka, dan berisi dasar ajaran-ajaran filsafat India. Upanisad juga disebut sebagai
Vedanta, karena Upanisad timbul dari akhir Veda. Jumlah Upanisad yang ada,
sekitar 200 buah, namun Muktika Upanisad menyebutkan hanya 108 buah Upanisad.
Di antaranya yang sangat penting antara lain: Isa Upanisad Kena Upanisad, Katha
Upanisad, Prasna Upanisad, Mundaka Upanisad, Mandukya Upanisad, Taitriya
Upanisad, Chandogya Upanisad, Brhadaranyaka Upanisad, Kausitaki Upanisad,
Mahanarayana Upanisad, dan Maitreyi Upanisad.
Veda, termasuk Mantra Samhita, Brahmana, Aranyaka dan Upanisad,
termasuk golongan Sruti atau revelation. Setiap Samhita ( Rg, Yajur, Sama, dan
Atharva) memiliki Brahmana dan Aranyaka/ Upanisad Bentuk Veda yang berlainan
dengan Sruti, adalah Smrti atau recollection. Smrti, adalah hasil karya manusia dan
mengambil sumber dari Sruti. Smrti, merupakan tafsir terhadap vedasruti.
Periode Smrti, secara kasar berkisar dari tahun 600 SM sampai tahun 1200
M, semenjak beberapa Purana (yang juga dianggap Smrti) mulai dikomposisikan
sampai pada abad ke-13 M. Dalam periode Smrti, kita menemukan perkembangan:
Vedangga, Upaveda, Purana, Ithihasa. Di samping itu, dalam periode ini, juga
terjadi perkembangan Sutra-sutra sekte bhakti seperti: Vaisnavism, Saivism, dan
Saktism, serta sistem filsafat Hindu.
Vedangga terdiri dari enam bidang: kalpa (ceremonial /upacara), siksa
(phonetic), chanda (prosody / metre, lagu), wyakarana (grammar / tatabahasa),
nirukta (etimology), dan jyotisa (astrology).
Sedangkan Kalpa Sutra, terdiri dari tiga jenis teks: Srauta Sutra, membahas
tentang upacara (sacrificialrites), hya Sutra, membahas upacara domestik (domestic
ceremonies), dan Dharma Sutra membahas sifat-sifat sosial dan tugas-tugas
individu.Karena Kalpa Sutra merupakan bentuk Vedangga, maka ada tiga macam
Kalpasutra yang berbeda, sebagai apendiks Veda yang berbeda juga. Namun, hanya
dalam Yajurveda ketiga teks itu disebutkan. Tidak ada Dharmasutra yang berasal
dari Atharvavedayang masih ada pada saat ini, walaupun beberapa Dharmasutra
milik kitab ini telah disebutkan dalam kitab Mahabhasya-nya Patanjali.

12
Vasistha Dharmasutra dikatakan sebagai milik Rg Veda, dan Gautama
Dharmasutra milik Samaveda. Dharmasutra yang lainnya yang juga terkenal antara
lain: Visnu, Yajnavalkya, Baudhayana dan Apastamba adalah milik Yajurveda
Manusmrti muncul dalam bentuknya sekarang pada zaman jauh sesudah
sutra-sutra tersebut, namun istilah 'manu' sudah dikenal semenjak zaman
dharmasutra. Sedangkan Manusmrti menyebutkan Dharmasutra - dharmasutra yang
lebih tua seperti: Atri, Vasistha, Gautama, dan Saunaka.

2.1.2 Periode Itihasa atau Wiracarita ( 600 SM - 200 M )

Perkembangan itihasa, -Ramayana dan Mahabharata-,termasuk smrti dari


periode tua (600 SM - 200 M). Di dalam kitab itihasa kitab-kitab kuno dan
legenda-legenda, manusia dikisahkan begitu bagus, dan sangat mendalam, sehingga
itihasa (epik) ini merupakan Veda bagi kaum awam, yang boleh disebut 'veda
terapan'. Jadi ajaran Upanisad dibawa ke rumah-rumah bagi kaum awam, dalam
satu bentuk yang nyata, yang mudah dimengerti, dihayati, dan dipahami, karena
pengetahuan yang dahulunya bersifat sangat rahasia dan hanya dimiliki oleh
beberapa golongan dapat diketahui oleh kaum awam.
Itihasa atauWiracarita yang sering disebut epik berisi geneologi raja-raja,
kisah-kisah yang berasal dari berbagai sumber dan petunjuk yang berbeda.
Kemungkinan besar, bahwa inti itihasa / wiracarita atau epik-epik itu sudah ada
sebelum epik atau itihasa / wiracarita itu disusun dalam bentuk kitab-kitab yang
seperti sekarang kita ketahui.
Kitab Taitriya Aranyaka menyebutkan kata Vyasa dan Visampayana, tetapi
tidak sebagai penulis. Panini menyebutkan, istilah atau kata mahabharata tetapi
tidak sebagai epik. Beliau juga menyebutkan Vasudeva, Arjuna, dan Yuddhisthira
(kedua yang pertama) sebagai dewa.
Mengenai usia Ramayana, para sarjana umumnya setuju mengatakan.
bahwa itihasa atau epik tersebut lebih tua dari Mahabharata. Bab I dan VIII dalam
Ramayana, dipandang sebagai bab-bab tambahan dari zaman kesudahannya.
Mahabharata dan Ramayana mempunyai bentuk-bentuk versi yang berbeda

13
menurut daerah. Seperti halnya Mahabharata, Ramayana juga udah ada sebelum
berbentuk sebagai satu komposisi yang populer seperti sekarang.
Kitab Bhagavadgita membentuk satu bagian dari buku epik Mahabharata.
Bhagavadgita yang berisi 18 bab, yang terdiri atas 720 stanza (sloka), masih tetap
menjadi satu sumber inspirasi untuk perkembangan banyak aliran filsafat Hindu,
dan juga pada pergerakan modern Hinduisme. Beberapa sarjana berpendapat,
bahwa isi Bhagavadgita bersifat allegorical, sedang beberapa sarjana lainnya
menemukan di dalam Bhagavadgita satu dasar filsafat perbuatan dalam kehidupan.
Namun, yang jelas Bhagavadgita telah menjadi satu sumber dasar aliran Vedanta
dan bahkan sampai sekarang tetap menjadi kitab yang paling bertpengaruh di dalam
masyarakat Hindu.
Periode Smrti, termasuk periode disusunnya Purana-purana. Beberapa
sarjana menempatkan abad ke-4 Masehi sebagai tahun tertua pengkomposisian
purana. Beberapa Purana bahkan dikomposisi pada abad ke 14 Masehi. Purana-
purana, seperti epik-epik, membahas penciptaan (creation), pralaya, dan creation
kembali, geneologi para dewa, zaman-zaman Manu, dan geneologi para raja. Hal
itu disebut sebagai pancalaksana atau lima karakter purana. Secara tradisi, ada 18
purana yang dimasukkan sebagai Mahapurana. Beberapa purana membawa tanda-
tanda sektarianism dan dibagi menjadi tiga jenis menurut sifanya, yaitu: Visnu,
Siva, dan Brahma. Dengan demikian purana-purana itu dibagi menjadi tiga
kelompok : Vaisnava purana, Saivapurana, danSaktapurana.
Periode Smrti juga disamakan dengan karakter perkembangan sekte-sekte
bhakti Vaisnavism dan savism. Visnu dan Siva yang merupakan dewa-dewa minor
dalam vedicliterature kuno, namun kini menjadi sangat penting. Sekte-sekte bhakti
itu menunjukkan bentuk pengaruh keagamaan non-Aryan.
Vaisnavism memasukkan pemujaan kepada Krsna-Vasudewa di dalam
sektenya. Bersamaan dengan itu, kemungkinan besar bahwa bentuk yoni yang
terdapat pada sebuah setempel tanah liat di Harappa adalah bentuk Siwa. Para
sarjana berpendapat bahwa pemujaan lingga pada Saivisme berasal dari unsur
Dravida. Yang jelas, bahwa Siva dan Visnu menjadi sangat penting daan menonjol
setelah peroide Weda (Vedic periode).
Begitu juga konsep tentang Siwa dan Wisnu menjadi kian bertambah kaya,
melalui pengidentitasan-Nya dengaan dewa-dewa Vedic lainnya. Misalnya,

14
Narayana diidentitaskan dengan Visnu, Rudra dengan Siva. Akhirnya Vaisnavism
dan Sivaism terangkat menjadi sangat penting pada abad ke-7 dan ke-8 Masehi.
Alvar pada Vaisnavism dan Nayanmar pada Saivism memperkaya tradisinya
dengan mistik melalui hymne-hymne atau seloka bhakti mereka.Kesepuluh Alvar
adalah santo, para rahib/resi Vaisnavism yang hidup di India Selatan. Kata 'mystic
Alvar-alvar menunjukkan pengaruh buku suci Weda, hanya mereka berkiblat atau
beracu kepada mythological mysticism purana-purana.
Para Alvar juga mengkomposisi kitab agama-agama yang menyediakan
tatacara upacara pemujaan kepada Wisnu. Betapa pentingnya kehidupan dan ajaran
para Alvar sangat terasa, karena mereka merupakan sumber inspirasi untuk
perkembangan Vasistadvaita bagi Ramanujja dan juga berpengaruh besar terhadap
aliran filsafat itu dibawah pimpinan para filosof (philosopher-philosopher) pasca
/post Ramanuja, terutama Vedanta Desika.
Kitab Nalayiradivya Prabhandam, adalah sebuah kumpulan ucapan-ucapan
para Alvar, yang dianggap sangat suci di daerah-daerah Tamil dan dianggap sama
kedudukannya dengan Weda oleh kaum Vaisnava di daerah Tamil. Bahkan sampai
sekarang verse-verse, sloka-sloka, syair-syair kitab tersebut selalu dibacakan pada
setiap upacara-upacara suci.
Hasil karya yang paling bagus di kalngan Sivaisme adalah hymne-hymne,
puja, sthawa, brahma, mantra, pemujaan kepada 63 Nayanmar. Hymne-hymne
Tamil kepada tiga Nayanmar besar: Appar, Sambandar,dan Sundarar membentuk
Thevaram, kitab pertama dari 12 kitab suci yang disebut Tirumarai (kitab suci).
Tirumarai ke-18 adalah Tiruvacagam salah satu Nayanmar, Manivavagar. Hasil-
hasil karya para Naayanmar itu disebut Dravida sruti, dan dianggap sangat suci
oleh sebagian besar Siavit.
Saiva Siddhanta, adalah salah satu kitab theologi Tamil Sivaism yang
sistematik. Kitab itu berkembang pada awal pertama pertengahan abad ke-13.
Sivajnana Bondham, sebuah kitab Tamil yang ditulis oleh Meykandar,
adalah kitab pertama yang mencoba membuat satu bahasan yang sistematik tentang
Sivaisme. Berikutnya mnncul Sivajnana Siddhiyar yang juga sangat penting dalam
Sivaisme.
Kemudian kitab-kitab itu diikuti oleh 8 kitab yang bersifat mendukung apa
yang ditulis oleh Umapathi Sivacarya. Tamil Sivaisme lebih theistic dalam

15
pandangan mereka, sedangkan Kashmira Sivaism yang berkembang pada abad ke-
9, mempunyai sifat pandangan yang monistic.
Karya-karya dasar aliran Sivaism Kashmir adalahsbb.:(a)Agama Sastra,
menurut kepercayaan ditulis oleh Vasugupta, berisi 77 Sivasutra, yang mengajarkan
jalan mencapai moksa dan komentar-komentar; (b) Spanda sastra, menurut tradisi
ditulis oleh Kallata,membentuk komentar pendek atas Sivasastra-sastra; dan (c)
Pratyabhijnana sastra, yang dikomposisi oleh Somananda.

2.1.3 Periode Sutra dan perkembangan sistem fifsafat Hindu (awal Masehi)

Sistem-sistem filsafat India mulai berkembang pada awal abad-abad


Masehi. Kitab-kitab sistematik berbagai aaliran disuguhkan dalam bentuk yang
berurut dan logika memakai bentuk aphorism yang disebut sutra (syair, sloka).
Kitab-kitab itu dijadikan penuntun yang dipergunakan oleh para pengikut aliran
filsafat tertentu, supaya mereka mampu mempertahankan dan memahami doktrin-
doktrin utama tersebut.
Adapun keenam sistem filsafat yang disajikan dalam bentuk sutra-sutra itu:
(1) Nyaya sutra, (2) Vaisesika sutra, (3) Samkhya sutra, (4) Yoga sutra, (5)
Mimamsa sutra, dan (6) Vedanta sutra. Dari sutra-sutra tersebut, secara perlahan-
lahan muncul aliran filsafat yang kuat, melalui komentar-komentar yang intensip
dan sub-subkomentar. Kemudian dalam perjalanan waktu sejarah perkembangan
yang dilaluinya, keenam sistem yang saling berbeda itu, akhirnya masing-masing
berpasang-pasangan, menjadi tiga pasang: (1) Nyaya-Vaisesika, (2) Samkhya-Yoga,
dan (3) Mimamsa-Vedanta.
Namun, yang perlu disimak dalam pasangan-pasangan tersebut, bahwa
pasangan antara Mimamsa dan Vedanta ternyata tidak begitu erat, tidak begitu
harmonis dan mesra. Berbeda halnya dengan pasangan yang terjadi antara sistem
Nyaya dan Vaisesika dan antara Samkhya dan Yoga.
Hubungan dan percampuran antara kedua pasangan sistem itu (Nyaya-
Vaisesika, dan Samkhya-Yoga), saling memberi dan saling menerima. Misalnya:
(1) Nyaya memberikan sistem logika kepada Vaisesika, dan sebaliknya Vaisesika
memberikan struktur metapfisik kepada Nyaya. (2) Samkhya menyediakan prinsip-

16
prinsip metafisik kepada Yoga, sebaliknya Yoga menyediakan delapan jalan yoga
(astanggayoga) kepada Samkhya sebagai praktek untuk mencapai moksa atau
nirwana. Sedangkan Vedanta menerima beberapa kitab-kitab komentar Mimamsa,
namun perbedaan dan ketidaksamaan serta ketidaksetujuan di antara kedua sistem
filsafat itu nampak lebih nyata dan menonjol. Dari keenam sistem filsafat tersebut,
ternyata karakter aliran Nyaya yang sangat nyata: dari aliran Nyaya adalah cara uji
yang sangat teliti atas satu objek, sumber dan keberlakuan pengetahuan.

2.1.3.1 Sistem Nyaya

Kitab Nyayasutra yang utama karya Gautama, ditulis sekitar abad ke-3 SM.
Ada beberapa komentar kitab itu yang ditulis oleh Vatsyayana pada awal abad ke-4
M: Udyotkara, pada abad ke-7 dan Udayana pada abad ke-10. Di samping itu,
Nyaya Kusumanjali karya Udayaana, juga merupakan hasil karya yang penting.
Kitab Nyaya Kusumanjali itu menunjukkan bukti-bukti logika untuk
mempertahankan adanya Tuhan di dalam bentuk suguhan sistematik untuk pertama
kalinya.
Aliran Nyaya baru, dikenal sebagai Navya Nyaya, dimulai dengan Gangesa
Upadhyaya karya Mithila pada abad ke-13 Masehi. Agak berbeda dengan aliran
Nyaya yang mengutamakan episthemologi dan methaphisika, aliran baru itu (Navya
Nyaya) mengutamakan epistemologi untuk menguji keempat pramana: pratiaksa
(sense perception), anumana (inference), upamana (analogy), dan sabda (scriptural
testimony). Di samping itu perlu juga disebutkan tafsir / komentar karya Gangesa
Upadhyaya oleh Ragunath Siromani (tahun 1500 M), Mathura Bhattachaarya
(tahun 1580 M), dan Gadadara (tahun 1650 M).

2.1.3.2 Sistem Vaisesika

Sistem Vaisesika mengambil nama dari 'visesa' (particulary) yang


membahas arti particular. Sistem itu mengutamakan pembedaan objek pengetahuan
(padartha), sebagai perbedaan dengan Nyaya yang mengutamakan analisis jalan /
cara pengetahuan (pramana). Yang membentuk dasar aliran Vaisesika sutra, ialah

17
Kanada. Adapun karya-karya aliran Vaisesika yang terpenting antara lain:
Padarthadharma Samgraha karya Prasasta pada abad ke-4 M, Nyaya Kandali karya
Sridhara (abad ke-10 M), dan Apasakara karya Snkhara Mirsa (abad ke-15 M).

2.1.3.3 Sistem Samkhya

Aliran Samkhya terkenal berkat teorinya tentang evolusi permanen


katagorinya yaitu purusa dan prakrti, yang mempunyai tiga guna(kualitas): sattva,
rajas, dan tamas. Triguna itu berpartisipasi dalaam tingkatan yang berbeda
sebagaai prakrti dibagi menjadi 24 kategori: mahat, buddhi, ahamkara, manas,
lima alat persepsi, lima alat perbuatan, lima sub elemen, dan lima gross elemen.
Biasanya semua kategori itu diterima oleh aliran filsafat lainnya , bahkan
dipakai dalam sistem aliran mereka. Hasil karya Kapila tentang Samkhya sutra,
sangat utama dalam aliran tersebut. Karya-karya aliran itu yang juga penting
diketahui : Samkhya Karikanya karya Iswara Krisna, Tattwa Kamudhi karya
Vacaspati Mirsa (abad ke-10), Vrti dan vrti Bhasya atas Samkhya sutra karya
Aniruddha (abad ke-15), dan Vijnana Bhiksu (abad ke-16).

2.1.3.4 Siatem filsafat Yoga

Aliran filsafat Yoga dikembangkan oleh Patanjali. Dalam mengembangkan


aliran itu Patanjali dilatarbelakangi oleh aliran Samkhya Menurut aliran Samkhya,
ultimate entities, prakrti dan purusa, berbeda dan memiliki perbedaan karakter
secara total. Prakrti terdiri dari triguna dan bersifat aktip. Purusa tidak mempunyai
triguna dan sifatnya diam.
Samsara terjadi ketika sifat dasar perbedaan itu dilupakan dan dianggap
keduanya sama (identik). Adapun identisasi yang salah itu terjadi tatkala ada
perubahan buddhi danpurusa. Sekarang purusa tidak berhasil menyadari bahwa
transformasinya buddhi adalah merupakan bagian prakrti. Kemudian moksa baru
bisa akan dialami, bila keadaan bingung seperti itu telah berakhir. Untuk menuju
pencapaian ke pengalaman moksa itulah yoga menyediakan jalan yang mengacu
kesempurnaan itu. Jalan yang mengacu ke arah kesempurnaan guna tercapainya
moksa tersebut ada delapan tangga atau disiplin. Kedelapan disiplin yoga itu

18
disebut asthanggayoga: (1) yama, (2) nyama, (3) asana, (4) pranayama, (5)
pratyara, (6) dharana, (7) dhyana, dan (8) samadhi.

2.1.3.5 Sistem filasafat Mimamsa


Masalah yang diutamakan di dalam aliran purva mimamsa adalah
investigasi atas dharma (tugas), sebagai disebutkan di dalam Weda. Aliran filsafat
purvamimamsa menganggap bahwa Weda kekal abadi. Weda bukan buatan
manusia atau apauruseya,namun ciptaan Tuhan.
Weda menjanjikan satu bentuk sangat indah, bahagia di alam yang lain;
menurut mimamsa bentuk nan indah itulah yang disebut moksa. Selanjutnya,
menurut aliran mimamsa, bahwa kehidupan dikontrol oleh satu hukum yaitu apurva
(tenaga tak terlihat) yang berhubungan dengan perbuatan untk menghasilkan akibat
(consequence). Seandainya perbuatan baik dilakukan, seperti juga disebut di dalam
Weda, maaka seseorang akan menikmati buahnya dan itulah sammum bonum,
tujuan akhir seseorang. Jadi, mimamsa menekankan perbuatan, berbeda dengan
samkhya yang menekankan intelektual.
Mimamsa sutra karya Jaimini merupakan kitab mimamsa yang paling
utama, yang ditulis tahun 200 SM. Adapun komentar yang penting atas sutra itu:
Sabara Bashya oleh Prabhakara dan Kumarila. Dari situ timbul dua aliran baru
mimamsa yang tidak sama, keduanya berbeda satu dengan lainnya. Perbedaannya
itu di bidang masalah epistemologi tertentu.

2.1.3.6 Sistem Vedanta


Purvamimamsa karya Jaimini sangt erat hubungannya dengan karmakanda
atau bagian Weda yang membahas karma (perbuatan). Sedangkan Uttaramimamsa
karya Badarayana (200 SM) erat hubungannya dengan jnanakanda, atau bagian
keagamaan dan filsfaat Weda terutama Upanisad. Kedua kitab tersebut sama-sama
menggunakan dasar isi Weda secara lengkap.
Kitab Badarayana Sutras juga disebut sebagai Brahmanasutraskarena membahas
doktrin Brahman. Brahma sutras terdiri dari 555 verse / seloka, isinya
mensistematikkan ajaran-ajaran Upanisadic, yang terdiri dari ide-ide yang begitu
tinggi, maaka dirasakan sangat memerlukan banyak komnetar / tafsir.

19
Perbedaan sistem-sistem Vedanta, Advaita, Visistadvita dan Dvaita, timbul
disebabkan oleh karena adanya perbedaan komentar / tafsir: Sankara, Ramanuja, dan
Madhva atas prasthanatraya, yaitu Upanisad, Brahmasutra dan Bagavadgita.
Sankhara biasanya dikatakan hidup pada abad ke –8 (788 - 820 M),
Kebangkitan kembali filsafat monistik dimulai dalam Mandukya Karika karya
Gaudapada, sebuah komentar /tafsir terhadap Mandukya Upanisad. Ajaran
Gaudapada itu mencapai Sankara melalui Govinda yang merupakan gurunya
Sankara, dan Govinda adalah murid Gaudapada. Ajaran utama filsafaat Advaita yang
diajarkan oleh Sankara, adalah bahwa ultimate dan Absolute Reality (Tuhan) adalah
satu, walaupun nampak berbeda-beda dalam berbagai bentuk. Kalimat Upanisadic "
That Are Thou / Tat twam asi dan ‘jamak (banyak) itu tidak ada', diartikan oleh aliran
itu bahwa ultimate Reality (Tuhan) adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Sankara menulis komentar/ tafsir atas Upanisad, Brahma sutras, dan
Bhagavadgita. Ketiga kitab itu merupakan kitab utama bagi semua aliran Vedanta.
Komentar/tafsir Sankara atas Brahmasutra membangkitkan komentar lainnya.
Anadagiri, seorang pengikut Sankara, menulis satu komentar atas Brah-masutra
Bhasya-nya Sankara yang bernama Nyaya Nirnaya.
Komentar /tafsir penting yang lainnya adalah komentar /tafsir yang ditulis
oleh Vacaspathi Misra (abad ke-10) yang bernama Bhamati. Naiskarmya Siddhi
karya Suresvara (abad 9) adalah komentar /tafsir bebas atas filsafat Sankara.
Advaita adalah satu aliran filsafat yang hidup dengan pengikut yang sangat besar.
Ajaran nondual Sankara tidak memberikaan dampat yang saaangat besar terhadap
elemen theistik Hindu. Keinginan untuk membahas elemen theistik membnagkitkan
kembali theisme dalam Hinduisme.
Ramanuja (tahun 1017 M) berusaha untuk menunjukkan satu bahasan yang
sistematik tentang theisme dalam Hinduisme dan aliran filsafat visitadvaita
terbentuk. Doktrin-doktrin Ramanuja berdasarkan atas itihasa/epik (Ramayana dan
Mahabharata), purana-purana, pancaratras dan tulisan-tulisan para Alvar sebagai
tambahan atas Prasthanatraya. Karakter Visistadvaita yang menonjol adalah
konsep atas erality (Tuhan). Sedang menguatkan kesatuan ultimate dengan
Absolute (Tuhan), dia mengizinkan perbedaan melalui metode-metodenya
(prakaras) tanpa menambahkan satu fundamental perbedan di dalam reality
(Tuhan) sendiri.

20
Visistadvaita menerima tiga tattva yang kekal : matter (acit), jiwa individu
(cit), dan Tuhan (Isvara). Matter dan self (jiwa) sangat bergantung pada Tuhan.
Ketergantungan itu mirip dengan ketergantungan badan atas jiwa. Menurut aliran
itu, matter dan soul membentuk badan Tuhan dan matter-soul itu didukung oleh
Tuhan untuk tujuan-Nya.
Madva yang erat hubungannya dengan aliran Dvaita hidup pada abad ke-13
dan 14 (1238-1317). Madva menulis 37 kitab di antaranya: Sepuluh monograf
filsafat, Komentari atas sepuluh Upanisad, Komentari atas Bhagavadgita dan
Brahmasutra, Komentari pendek atas tiga bab pertama Rgveda, Satu epitome atas
Mahabharata dalam bentuk verse-verse, dan Catatan pendek atas Brahmasutra
dikenal sebagai Anuvyakyana. Karya itu kemudian dikomentari oleh Jayatirtha,
yang merupakan komentator Madva yang terbaik, di dalam kitab Tattva Prakasika-
nya.
Adapun nama lainnya yang penting juga dalam aliran Dvaita adalah
Vyasaraya (1478 - 1539) yang terkenal atas karya-karyanya: Nyayamrta,
Tarkatandava, dan Tatparya Chandirika. Aliran Dvaita Vedanta menekankan
perbedaan yang absolut antara invidu dan Tuhan. Dalam hal ini juga asal- usul jiwa
individu dan perlunya berkah Tuhan untuk keberhasilan mencapai moksa.
Madva percaya atas lima perbedaan antara eternal entities (pancabheda). Ini
adalah perbedaan-perbedaan yang fundamental, yang tidak dapat dimusnahkan
walau sudah dalam keadaan moksa. Tuhaan adalah berbeda dengan alam semesta.
uhan adalah berbeda dengan jiwa-jiwa. Jiwa adalah berbeda dengan alam semesta.
Masing-maasing jiwa berbeda satu dengan yang lainnya. AAlam semesta terbuaat
dari bermacam-macam entity.
Konsep perbedaan total itu mungkin aksi menyerang aliran advaita yang
dianggap 'menyeret Tuhan ke bawah ke level yang sama dengan manusia' Madhva
dengan tegas menekankan bahwa invidu saangat tergantung pada Tuhan
(paratantra), sedangkan Tuhan bebas tidak tergantung (swatantra) atas jiwa-jiwa.
Jadi mereka (jiwa) tidak bisa diidentitaskan atau menyatu kepada Tuhan.

21
2.1.4 Periode Scholastic (1200 M - 1800 / abad 18 M)

Periode yang berlangsung dari abad ke-13 sampai akhir ad ke-18, menjadi
periode perkembangan semua aliran filsafat India dengan komentar dan
subkomentarnya. Periode itu juga merupakan periode perkembangan sekte-sekte
agama Sivaism, Vaisnavaism, dan Saktism. Di dalam Vaisnavaisme muncul dua
sekte: vadagalai dan tengalai di India Selatan, atas dasar pertanyaan yang berbeda
tentang usaha manusia dan keberkahan Tuhan serta posisi bentuk wanita pada diri
Tuhan, Sri. Yang menonjol dari dua sekte itu , bahwa sekte tenglai mengajarkan
penyerahan diri secara total kepada Tuhan termasuk tanggung jawab seseorang
untuk mencapai moksa.
Ide di belakang ini dijelaskan menlaaalui sebuah analogi seekor kucing
membawa anak kucing (moksa-kucing; markata nyaya). Sedangkan sekte vadagalai
mengajarkan usaha manusia yang tiada henti-hentinya sebagai tambahan atas
keberkahan Tuhan. Analogi yang digunakan di sini adalah sebagai anak kera yang
terus-menerus memeluk ibunya ketika bergerak ke sana kemari (marjala nyaya).
Pada kejadian pertama, anak kucing harus tetap diam; dan pada kejadian
kedua anak kera harus memeluk dan bekerja sama dengan ibunya. Atas pertanyaan
aspek wanita Tuhan, tengalai menjawab , bahwa Sri adalah satu finite self (jiwa
yang terbatas) yang diangkat ke pangkat sebagai istri Tuhan. Sedangkan vadalai
mempertahankan bahwa sri adalah infinite, tidak terbatas, dan uncreated, tidak
terciptakan.
Pergerakan agama pada peruode itu yang lain dipusatkan atas pemujaan
inkarnasi Visnu, pemujaan Siva, dan Sakti (power dan energy keaktipan Tuhan,
dipersonalkan menjadi istri Siva). Dua inkarnasi Visnu, Rama dan Krisna, menjadi
sangat menonjol. Mahabharata, Ramayana dan purana-purana menyediakan tanah
yang subur untuk perkembangan banyak sekte agama. Pemujaan Krisna-Radha
menjadi karakter sekte Ramananda, dan ini menimbulkan banyak subsekte seperti:
Kabirpanthis, Mulakdasis, Raidasis, Senapanthis, dan sebagainya. Tulasidas,
penulis Ramayana versi Hindu (tahun 1574) juga berasal dari sekte Ramananda.
Beberapa saint yang memuja Krisna yang penting disebut di sini adalah
Jnanesvara, Namdev dan Tukaram. Sekte vallabhacaris juga mengajarkan dan

22
mempraktekkan pemujaan Kresna; bentuk pemujaan yang diajarkan oleh sekte ini
adalah bentuk pemujaan yang menggunakan cinta Radha terhadap Krisna.
Sedangkan pihak lain, mereka dari sekte Sahajiya seperti Jayadeva, penulis
kitab Gita Govinda, Candideva dan Vidyapathi mempraktekkan Saktibhava. Di sini
bentuk pemujaan adalah analogi cinta seseorang terhadap temannya yang dia ingin
bersatu dengan kekasihnya.Berlawanan dengan sekte-sekte Vaisnava, sekte-sekte
Siva mempraktekkan asceteism (pertapaan) dan menekankan perlunya menuntun
kehidupan seperti petapa di dalam pencaharian kesadaran spiritual. Sekte-sekte
penting di dalam Saivite adalah: Dandis, Yogis, Singayats, Paramahamsas,
Aghoris, Sannyasis, dan Nagas. Di samping itu ada kelompok sekte terdiri dari :
Dakshinas, Vamacaris, Kanchbians, dan Kararis. Semua sekte itu menentang
adanya sistem kasta yang dipraktekkan oleh masyarakat India. Semua sekte
menerima anggotanya tidak berdasarkan kasta, semuanya berhak menjadi anggota
dan menduduki tempat yang sama. Sebagai satu mommunity pemuja Tuhan,
mereka melihat tidak adanya perbedaan antara seseorang dengan yang lainnya.
Penggunaan atas tindakan asceticism di dalam sekte Sivaite menjurus ke
satu bentuk aksi pamer yogic power dan juga penyiksaan diri sendiri. Hal itu semua
mengakibatkan satu praktek keagamaan yang bersifat kejam dan kadang-kadang
menyangkut praktek upacara korban manusia.
Aspek hitam pergerakan sekte Vaisnava dan Sivaite tersebut membawa
sekte itu ke arah keruntuhan. Namun, tentu di samping aspek hitam itu, keduaa
sekte tersebut mempunyai aspek yang luhur sehingga banyak melahirkan santo-
santo besar agama Hindu di India.

2.5 Periode Modern (berawal dari abad ke-19 M)

Sri Raja Rammohan Roy, dapat dianggap sebagai pelopor pergerakan


modern dalam agama Hindu. Masuknya ilmu teknologi arat dan ideologi Barat
membentuk laatar belakang periode modern. Bersamaan dengan itu datang ajaran-
ajaran Kristen yang menekankan pelayanan masyarakat mereka yang hina.
Teknologi modern membutuhkan satu pola kehidupan sosial yang baru.
Sistem tua tentang adanya kasta di masyarakat India terbukti sangat sulit di dalam

23
pembangunan industri yang menarik semua manusia dari semua kasta. Pendidikan
cara Inggris dengan bahasa Inggris membuka pikiran orang-orang India terhadap
ideologi Barat pada waktu itu. Dalam keadaan seperti itu ajaran Kristen
memberikan pengaruhnya terhadap pikiran intelek India pada waktu itu. Di bawah
pengaruh besar seperti itu, masyarakat Hindu di India mengalami beberapa
benturan. Kaum intelek mulai menyelediki beberapa hal yang di luar tradisi mereka.
Perlahan-lahan cara pandangan idea yang baru itu mempengaruhi pandangan
intelek mereka. Mereka melihat Hinduisme dari satu perspektip baru dan itu
membawa kesatuan bentuk nilai Hindu yng baru. Ketertarikan yang dalam atas
personality Jesus dan nilai prakteknya, banyak kaum Hindu mencoba menemukan
kemiripan nilai-nilai itu di dalam tradisi agamanya sendiri.

Masyarakat Hindu perlu perubahan meningkatnya estenalitas di dalam


praktek agama dan banyak pemimpin agama bangkit untuk menunjukkan pikiran
kaum Hindu, dari eksternalitas ke satu titik inner spiritual. Banyak juga yang
membangkitkan nilai-nilai asli Hindu kembali untuk satu alat untuk membela diri
atas serangan kaum missionaris Kristen yang menjadi agresip menentang filsafat
agama dan bentuk masyarakat India.
Pergerakan Brahma Samaj yang didirikan oleh Raja Rammohan Roy (1772-
1835), dikembangkan oleh Debendranath Tagore (1817-1905), Keshub Chandra
Sen (1838-1884) menghendaki beberapa penghilangan noda-noda evil (bersifat
setan /jelek) yang menjadi benalu dalam struktur masyarakat Hindu di India. Dia
juga berusaha memasukkan harmoni di dalam kehidupan beragama. Pergerakan
Dev Dharma yang didirikan oleh Agnihotri (1850-1929), merupakan cabang
Brahma Samaj. Cabang itu mengajarkan saatu doktrin rasionalistik dan etika
humanisme.
Arya Samaj, didirikan oleh Swami Dayanand Sarasvati (1824-1883)
bergerak menentang kegiatan missionasir Kristen dan mengembalikan nilai-nilai
asli Hindu.
Anne Besant (1847-1930) yang berjuang untuk pergerakan Theosophical
sosciety, membuat pertahanan yang gigih pada Hindusime dan berusaha gigih untuk
mempopulerkan Hinduism melalui kegiatannya yang penuh energi.

24
Swami Ramakrisna Paramamhamsa (1836-1886) dengan baktinya yang
terus-menerus, menciptakan percakapan sederhana dan penggunaan parabel-parabel
yang bersifat sederhana menjadi satu sumber inspirasi banyak umat Hindu di India.
Beliau menekankan kepada pengikutnya saatu spirit renunciation (meninggalkan
keduniawian) daan pelayanan kepada kemanusiaan.
Pengikutnya, Swami Vivekananda (1863-1902), membawa pesan-pesan gurunya ke
seluruh dunia dan mengatakan bahwa Vedanta berisi satu ajaran universal, dan dia
percaya bahwa Vedanta adalah satu antidote (obat anti) menentang materialisme
Barat. Dalam hal itu dia memulai apa yang dikatakan banyak sarjana sebagai
counter attack from the East yang menunjukkan kehebatan Hinduisme tidak hanya
pada masyarakat modern India tetapi juga keseluruh dunia. Jerih payah Swami
Vivekananda berhasil diteruskan oleh sarjana Prof. Radhakrisnan. Integral Yoga-
nya Sri AAurobindo (1872-1950), pesan-pesan spiritual dan ajaran-ajaran Ramana
Maharesi (1879-1855), nature mysticism-nya Rabindranath Tagore (1861-1941)
dan usaha dedikasi agama serta ideals ke dalam politiknya Mahatma Gandhi (1869-
1948), telah membawa ajaran dan pesaan-pesan Hinduism sampai jauh dan meluas
dan berhasil memberikan ide spiritual agama yang begitu kuno itu.
Hinduisme hari ini penuh dengan hidup dan dinamika. Berisi di dalamnya
banyak sekte agama, ahli akademika, beragama sarja Vedantic, bervariasi yogi
daan tentu saja pemimpin-pemimpin agama darisekte orthodoks. Ada satu
kesadaran beragama di antara massa (masyarakat Hindu). Juga ada satu kenginan
kaum intelek untuk mengerti lebih baik tradisi agamanya dan menngunakannya.
Studi pada agama menjadi sangat populer dan diskusi antar agama sering terjadi.
Keinginan masyarakat Hindu yang sangat besar untuk kembali mempelajari agama
mereka dan mempraktekkannya menunjukkan bahwa Hinduisme akan terus kekal
menjadi sumber inspirasi dan pemandu kegiatan mansuia.

2.2 Sejarah perkembangan agama Hindu di Indonesia

Pada zaman pertengahan, ketika Portugis muncul di atas panggung sejarah


Asia Tenggara, ternyata Asia Tenggara telah dibagi menjadi dua wilayah
kebudayaan yangbesar. Wilayah kebudayaan yang pertama, oleh para sarjana

25
Perancis, disebut dengan nama I' Inde Exterieure, yang didominasi oleh penga-ruh
India. Sedangkan wilayah kebudayaan yang kedua, yang terdiri dari Tongking,
Annam dan Cochinchina, didominasi oleh pengaruh China, dengan jatuhnya
kerajaan Hindu Champa pada abad ke-15 M.
Banyak para sarjana mengatakan, bahwa penggunaan istilah-istilah seperti:
"Further India", "Greater India", atau "Little China", sebenarnya kurang tepat.
Karena, istilah sepereti itu bisa membawa kita ke arah kekaburan dan dapat
menimbulkan keberatan yang cukup serius. Memang kenyataanya, daerah-daerah
tersebut banyak mendapat pengaruh India, namun dibalik itu semua sesungguhnya
mereka juga memiliki ciri kebudayaan asli yang sangat kuat. Misalnya, seni dan
arsitektur yang berkembang dengan subur dan indahnya di Angkor, Pagan, Jawa
Tengah, dan kerajaan lama Champa, sangat berbeda dengan seni dan arsitektur
Buddhis dan Hindu di India.
Adapun kunci untuk dapat mengertikan semua hal itu, adalah dengan
mempelajari kebudayaan-kebudayaan asli yang melahirkannya. Di samping itu juga
harus disadari, bahwa semuanya telah berkembang menurut garis-garis ciri khas
keperibadiannya sendiri.Pengaruh-pengaruh India terhadap Asia Tenggara yang
tidak bertalian dengan politik, berbeda prosesnya dengan pengaruh China. Dalam
proses penyerapan pengaruh tersebut oleh masyarakat asli di Asia Tenggara,
ditransformasikan dengan cara yang sama dengan pengaruh Yunani kuno terhadap
Eropah Barat. Proses tersebut bisa sama, karena masyarakat asli Asia Tenggara
yang merasakan rangsangan kebudayaan India itu, bukannlah 'orang-orang liar',
melainkan masyarakat yang telah berperadaban relatif tinggi. Demikian keterangan
yang dikemukakan oleh George Coedes, dalam Les Etats Hinduises et d'Indonesia
(1948: 27).
Seperti apa yang disebutkan, bahwa negara-negara yang telah dihindukan
tersebut ternyata sebagian besar masyarakatnyaa dalam waktu yang cukup panjang
tidak tersentuh sama sekali oleh kebudayaan India. Sebaliknya masyarakat asli Asia
Tenggara menyerap kebudayaan India itu dan mengubahnya dengan
menyalurkannya sejalan dengan pikiran-pikiran dan praktek-praktek kebudayaan
asli.
Dengan demikian, struktur masyarakat secara luas tidak terpengaruh oleh
pengaruh kebudayaan India. Misalnya, sistem kasta yang sangat mendasar dalam

26
masyarakat India, ternyata sangat kecil pengaruhnya terhadap masyarakat asli Asia
Tenggara. Begitu juga kedudukan wanita tetap dipertahankan yakni tetap tinggi,
seperti sebelum masuknya pengaruh kebudayaan India.
Jadi, baik Hinduisme maupun Buddhisme dalam perkembangannya di Asia
Tenggara mengalami penyesuaian disesuaikan dengan agama yang telah mereka
anut sebelum mereka datang.(Hal itu justru bisa terjadi, karena agama Hindu dan
Buddha mempunyai sifat: isthadewata dan adhikara).
Adapaun peradaban Asia Tenggara yang telah dimilikinya pada saat
pengaruh India datang, Coedes telah merangkumnya sebagai berikut:a. Bidang
material : (1) persawahan / perladangan padi dengan irigasi, (2) peternakan sapi dan
kebau, (3) penggunaan logam, dan (4) ahli dalam navigasi b. Bidang sosial :
(1) pentingnya kedudukan wanita dan keturunan garis ibu, -- di India posisi wanita
ditinggikan pada zamannya aliran sakti tumbuh subur, yaitu sekitar abad ke-8 M
dan kitaaa bisa menyaksikan pentingnya kedudukan para wanita dalam kehidupan
sosial dan agama dalam masyarakat sakta di propinsi West Bengal dan Orissa-, dan
(2) organisasi sebagai hasil pertanian dengan irigasi.c. Bidang agama : (1)
animisme, (2) pemujaan nenek moyang dan dewa bumi, (3) lokasi tempat suci di
tempat yang tinggi,--di India hal itu tidak penting, bahkan altar suci orang-orang
India diletakkan di lantai, (4) penguburan dalam guci / gentong
atau dalam dolemen, dan (5) mythology bercampur dengan dualisme cosmogony
gunung laut, mahluk bersayap lawan mahluk dalam air, orang gunung dengan
orang pantai.
Kemudian Krom dalam studinya pada orang Jawa menambah kan hasil
penelitiannya ke dalam daftar Coedes: (1) orkes gamelan, (2) wayang, dan (3)
kerajinan batik. Lebih lanjut, banyak para indolog / indologist berendapat bahwa
istilah Hinduisasi terhadap negara-negara Asia Tenggara sesungguhnya tidak tepat.
Hal itu dinyatakan demikian, karena sebenarnya bukan Hindu saja yang
mempengaruhi Asia Tenggara, tetapi juga Buddhisme. Bahkan, pengaruh
Buddhisme di Asia Tanggara besar sekali, terutama di Burma, Arakan, Kamboja
dan Thailand. Namun, harus disadari, bahwa sangat susah untuk mencari garis
pemisah antara kedua agama itu (Hindu dan Buddha).
Apalagi dalam agama Buddha Tantrayana; bahkan pada abad ke-13 M di
Jawa terdapat pemujaan terhadap Siva Buddha sekali gus. Di samping itu, di setiap

27
negara yang didominasi oleh agama Buddha Theravada, masyarakatnya masih tetap
menggunakan upacara Hindu. Mungkin saja hal seperti itu yang menyebabkan
istilah Hinduisasi masih sering juga digunakan.
Sebenarnya, hubungan perdagangan antara India dan Asia Tenggara, sudah
terjadi sejak zaman prasejarah. Misalnya, dengan ditemukan banyak koloni-koloni
kecil India di pelabuhan-pelabuhan Asia Tenggara. Namun, juga sebaliknya kita
dapat menemukan adanya koloni-koloni dagang Indonesia di pelabuhan-pelabuhan
dagang Bengal dan Coromandel. Hal itu tidak mustahil, karena orang-orang
Indonesia adalah pelaut yang ulung Munculnya kerajaan-kerajaan di Semenanjung
dan di Indonesia, yang kemudian munculnya praktek agama dari India, kesenian
dan adat serta bahasa Sanskerta sebagai bahasa suci. Semua hal itu masih sulit
dipastikan kapan tepatnya dimulai. Sedangkan bahan-bahan yang berasal dari
catatan-catatan China, India dan Eropah masih sulit juga memberikan keterangan
yang pasti. Kitab Jataka yang banyak berisi ceritera-ceritera tentang pelaut Jawa
dan Sumatera. Demikian juga kitab Ramayana. Sylvain Levi juga menyebutkan
kitab berbahasa Pali Niddesa banyak menyebutkan nama-nama tempat di Indonesia.
Catatan-catatan mengenai Indonesia, kebanyakan berasal dari era berkisar
abad ke-5 M. Kutai memakai tulisan Sansekerta, berasal dari raja Mulawarman,
bera pertengahan abad ke-5 M. Patung-patung Buddha bergaya Amaravati
ditemukan di Kedah, Sulawesi. Catatan tertua Cina tentang Indonesia berasal dari
buku riwayat dinasti Han "Tsien-han-shu" yang berkisar abad 206 SM - 24 SM.
Catatan berikutnya bertahun 132 M yang menceritakan Kaisar Han menerima
utusan-utusan yang membawa hadiah dari Raja Ye-tiao yang bernama Tiao-pien.
Istilah China itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Sansekerta oleh para
indolog menjadi Javadvipa, dan rajanya Devavarman. Beregang paga catatan itu
mungkin kita bisa menarik kesimpulan bahwa pada tahun itu sudah ada proses
Hinduisasi di Indonesia.

Adapun sebab-sebab penyebaran kebudayaan India ke Asia Tenggara, tidak


mudah diketahui. Sehubungan dengan itu ada dua teori untuk menentukan nya.
Teori yang pertama mengatakan, bahwa orang Kalingga karena desakan berdarah
yang dilakukan Asoka pada abad ke-3 SM. Yang kedua mengatakan, adanya
imigrasi yang disebabkan tekanan-tekanan yang dilakukan oleh dinasti Kushana

28
pada abad ke-1 M. Kedua teori itu masih belum diterima oleh semua sarjana
Sementara itu hipotesis Coedes mengatakan, bahwa tidak ada imigrasi besar-
besaran, namun yang ada adalah hubungan perdagangan. Terutama pada zamannya
dinasti Kushana. (Silk road, tumbuh subur pada era pemerintahan dinasti Kushana,
terutama pada zamannya Kanishka) Selama dua abad sebelum masehi, India
kehilangan import logam berharga. Kaisar Vespasianus (69 - 70
M) dari Roma menghentikan eksport logamnya ke India. Di sinilah Coedes
mengirakan India berpaling ke Svarnabhumi (dataran Asia Tenggara) dan
Svarnadvipa (Sumatera) yang merupakan tempat emas yang terkenal. Pada zaman
transportasi laut sudah maju, ada kapal berpenumpang 700 orang dengan peralatan
yang mampu berlayar menentang angin. Buddhisme menolong kemajuan kelautan
itu, sebab sebelumnya orang-orang Hindu sangat takut kehilangan kastanya,
seandainya menyeberangi lautan. (Hilangnya kasta seseorang karena mengarungi
lautan juga menyebabkan pemberontakan Sepoy, pemberontakan tentara Inggeris
pada tahun 1835. Salah satu penyebab pemberontakan itu adalah usaha pengiriman
tentara untuk menundukkan Burma dengan jalan laut dari Calcutta).
Maka melalui perdagangan terbawalah kebudayaan India dan kesusastraan
Sansekerta. Menurut Dr. Hall dengan begitu sebenarnya tidak ada imigrasi massal
yang mengubah tipe fisik penduduk. Juga ada laporan orang-orang Cina, bahwa
masyarakatnyalah yang telah mengambil kebudayaan Cina, jadi bukan koloni-
koloni orang India.Adalah sangat langka dokumen-dokumen yang dapat
memperlihatkan yang menyatakan baahwa dari bagian India yang manakah asalnya
pengaruh kebudayaan India itu yang mengalir masuk ke Asia Tenggara / Indonesia
Ho-ling, nama Cina untuk kerajaan kuno di Jawa. Mungkin yang dimaksudkan
adalah Keling, yang juga dipakai di India Selatan, Kalingga.
Orang Batak Karo mempunyai nama-nama marga seperti Chola, Pandya,
Pallawa dan Malaya, semua itu adalah nama-nama India dari bangsa Dravida.
Menngenai aksara atau huruf, Prof. Dr. R.C. Majumdar berpendapat bahwa
inskripsi / prasasti tertua berbahasa Sansekerta di Funan menggunakan tulisan
Kushana. Sehubungan dengan itu N.A. Nilakanta Sastri berpendapat bahwa semua
abjad yang dipakai di Asia Tenggara berasal dari India Selatan; bahkan tulisan
Pallawa mempunyai pengaruh besar.

29
Tetapi Coedes menunjukkan bahwa ada banyak pengaruh Bengali pada
huruf-huruf yang dipakai di Asia Tenggara pada abad-abad ke-8 dan awal abad ke-
9 M. Sementara itu Kalimantan menunjukkan bukti-bukti tertua pengaruh India,
pada tujuh prasasti yang ditemukan di Kuati. Prasasti-prasasti itu bertahun 400 M
yang dkeluarkan oleh Raja Mulawarman, yang menyebutkan kakeknya bernama
Kudungga dan ayahnya bernama Asvavarman. Nama kakeknya ternyata bukan
nama Sansekerta, tetapi masih memakai nama asli Indonesia. Di lembah-lembah
sungai Kapuas dan Mahakam, banyak ditemukan patung-patung Hindu dan Buddha
yang bergaya Gupta.
Sedangkan prasasti yang tertua di Jawa ditemukan dekat Bogor, bertahun
kira-kira 450 M. Prasasti itu dikeluarkan oleh raja Purnawarman dari kerajaan
Tarumanagara, waktu mengadakan upacara Hindu untuk memulai penggalian
irigasi. Nama kerajaannya mengingatkan nama daerah di India Selatan dekat
Tanjung Comorin. Kerajaan itu masih ada sampai pertengahan abad ke-7 M, yang
dinuktikan oleh orang-orang Cina yang mencatat utusan dari To-lo-mo, pada tahun
666-669 M. Diperkirakan 20 tahun kemudian ditaklukkan oleh Srivijaya.
Berkuasanya Sailendra yang beragama Buddha di Jawa Tengah pada abad
ke-8 M, menyebabkan Sivaisme mencari tempat pengungsian di bagian timur pulau
Jawa. Terdapat bukti adanya kerajaan merdeka di sana dalam pertengahan abad itu,
dengan pusatnya di sekitar Malang. Kerajaan itulah yang mendahului kerajaan
Singasari. Ada bangunan-bangunan yang gayanya sama dengan gaya bangunan
Sailendra di Jawa Tengah, tetapi bangunan- bangunan itu diperuntukkan guna
pemujaan Agastya, maharesi Hindu yang menghindukan India Selatan. Dokumen
tertua di Jawaa Timur bertahun sekitar abad itu, ada yang bertahun 760 M,
berbahasa Sansekerta, dan menyebutkan pendirian tempat suci untuk Agastya, di
Dinoyo oleh seorang raja yang berama Gajayana.Kembalinya Sivaisme pada
pertengahan abad ke-9 M dianggap sebagai petunjuk runtuhnya kekuasaan
Sailendra di Jawa Tengah. Kemudian Balitung (898 - 910 M) dalam prasastinya
menyebutkan nama kerajaan Mataram yang untuk pertama kalinya dan dia
merupakan empat raja pertama yang beragama Siva.
Sedangkan pengganti Balitung, Dhaksa (910-919 M) mungkin yang
mendirikan kelompok candi Prambanan, dengann 8 candi terbesarnya
diperuntukkan guna pemujaan Siva. Salah satunya adalah patung Durga yang

30
dikenal sebaagai Loro Jonggrang, "gadis ramping". Sestelah itu Mpu Sendok (929-
947 M) memindahkan kerajaan itu ke Jaawa Timur dengan alasan yang masih
belum diketaaahui dengan pasti oleh para sarjana. Mungkin karena wabah penyakit
dan gempa bumi. Atau mungkin saja karena rasa ketakutan terhadap kekuasaan
Srivijaya yang menuntut wilayah Sailendra di Jawa Tengah. Mpu Sendoklah
sebagai pendiri dinasti baru yang memerintah Jawa Timur sampai tahun 1222 M.
Di memerintaah bersama-sama dengan permaisurinya Rakryan Bawang dan
kemudian penggantinya adalah putrinya, Sri Isanatunggavijaya. Hal itu
menunjukkan kedudukan wanita waktu itu sangat penting dalam masyarakat.
Karena perpindahan itu, banyak lahan pertanian yang belum digarap secara intensip
sehingga ekonomi kerjaan berpaling yakni ditekannkan pada perdangan dengan
luar Jawa: dengan Maluku, Sumatra, dan Semenanjung Melayu. Dalam hal itu Bali
untuk pertama kali memainkan peranan yang penting dalam sejarah Jawa.
Kemudian pada abad ke-10 M seorang raja Bali mengawini putri cucunya Sendok
dan dengan demikian terbuka jalan untuk memasukkan kebudayaan Jawa ke Bali.
Kemudian keturunan Sendok, Dharmawangsa (985 - 1006 M), adalah raja
yang sangat memperhatikan ilmu pengetahuan. Atas perintahnya banyak hukum
Hindu dibukukan dan banyak terjemahan dilakukan dari bahasa Sansekerta ke
bahasa Jawa. Salah satu di antaranya adalah bagian Mahabharata. Pada saat itulah
berkembang kesusastraaan prosa tertua di Indonesia.
Pengganti Dharmawangsa, adalah Airlangga putra raja Bali Dharmodayana,
dari perkawinannya dengan cucunya Sendok. Kesusastraan juga mengalami masa-
masa emas pada zamannya. Salah satu di antaranya adalah Arjuna wiwaha-nya
Mpu Panuluh. Yang mungkin mengumpamakan perkawinannya Airlangga sendiri.
Versi itu diterima dengan populer dan disajikan dalam pentas-pentas Jawa dan
menjadi tema populer dalam wayang. Dalam syair dan wayang susunanya
sepenuhnya bersifat Jawa.
Pada masa itu agama Hindu berdampingan secara damai dengan agama
Buddha. Menurut Prof. Dr. Hall, kedua agama itu sudah menjurus kepenyatuan.
Sivaisme dianggap tingkat pertama pada jalan menuju cahaya kebenaran. Setelah
melalui itu yang bersangkutan siap diberi pelajaran pengetahuan Bud-dhisme yang
lebih tinggi daripada Hindu.

31
Kemudian setelah Airlangga wafat, ia sendiri dipuja sebagai penjelmaan
Visnu di Belahan. Praktek seperti itu menjadi umum oleh keturunannya, yakni
setelah mangkat lalu dipuja dalam bentuk Visnu. Pemujaan nenek moyang adalah
tugas khusus yang dibebankan kepada seorang raja. Pada waktu-waktu tertentu raja
harus melaksanakan upacara yang berhubungan dengan nenek moyang untk
memperkuat posisinya dengan menerima kekuatan-kekuatan magis. Karena itu
banyak kita temukan candi-candi tersebar di Jawa Timur untuk memperingati
seorang raja dalam pakaian Siva, Visnu, Avalokitesvara. Mereka itu semua adalah
pusat-pusat pemujaan nenek moyang dan menujukkan survival pemujaan pre-
Hindu.
Di Bali, agama Hindu terdiri dari tiga aspek: Hindu, Buddha, dan aspek-
aspek prapengaruh India. Selain dengan India, Bali sebenarnya sudah mengadakan
hubungan dengan China sejak dahulu kala. Banyak orang-orang China yang datang
ke Bali, bekerja pada raja-raja Bali sebagai tukang Walaupun tugas kontrak mereka
sebagai tukang sudah selesai, tetapi banyak di antara mereka yang tidak maau
pulang kembali ke negerinya. Mereka memilih lebih baik tinggal menetap terus di
Bali. Kemudian mereka membuka usaha dagamg berbagai macam barang di Bali.
Pengaruh mereka nampak pada seni dan arsitektur di Bali, misalnya: meru, barong,
rumah dan pekarangan dan sebagainya.
Kemudian akhirnya Bali ditaklukkan oleh Majapahit pada tahun 1343 M.
Bathara Maospahit (Maspahit, Majapahit), sampai kini masih dipuja di setiap
merajan, (di altar / pelinggih yang berisi patung kepala menjangan) di Bali.Kitab
Buddhis Manjusri Mulakalpa, bertahun sebelum 920 M, menyebutkan nama Bali
sebagai negeri tempat tinggal kaum barbarian. Sedangkan catatan China abad ke-5 -
6 M menyebutkan P'o-li. Nama Dwa-pa-tan (negeri di timur Kaling), yang
disebutkan pada dinasti Tang (647 M) mungkin Bali. Catatan itu memberikan
informasi bahwa huruf-huruf ditulis di atas daun, mayatnya dibakar di atas
tumpukan kayu api, dihiasi emas, dan dengan emas di mulutnya, dengan segala
macam harum-haruman.
Bukti langsung, adalah lempengan copper (tembaga), bertahun 882-914 M
menyebutkan berdirinya satu pertapaan di Sukawana ( di bukit Penulisan), dan
peletakan dasar sebuah pura untuk bhatara Da Tonta di desa Trunyan. Kedua
tempat itu masih sangat penting bagi umat Hindu di Bali. Bhatara Da Tonta masih

32
dipuja. Prasasti Bali menggunakan tahun Saka. Prasasti-prasasti tua tidak
menyebutkan nama raja. Singhamandava yang disebutkan pasti tempat tinggal raja.
Nama raja disebutkan pertama kalinya pada prasasti tugu batu Sanur 914 M,
namanya Adhipatih Sri Kesari Varma ..., nama istanya Singhadhavala.
Prasasti Seri Singhamandava berikutnya brtahun 915 - 933, berisi nama raja
Sang Ratu Sri Ugrasena. Setelah berjarak 20 tahun, pengganti-penggantinya adalah:
1) Sang Ratu Sri Aji Tabanendra dan isteri Subhadrika (tiga prasasti
bertahun 955).
2) Sang Ratu Sri Chandrabhayasingha (960)
3) Sang Ratu Sri Janasadhu (975)
4) Sri Maharaja Sri Mahadevi (984)

Kecuali yang terakhir, semua raja di atas setelah tahun 955 memakai nama famili
Varmadeva.
Sanur Pillar (Tugu Sanur) setengah berbahasa Bali kuno dan setengahnya
Sansekerta. Melihat tulisan yang dipakai yaitu tulisan pre Nagari atau early Nagari.
Tulisan tersebut dipakai pada tugu-tugunya Soka (abad 3 SM), dan di negara-nrgara
Buddha di Bengal. Jadi tidak sepenuhnya sama dengan tulisan di Jawa Tengah.
Kelihatannya ada hubungaan langsung dengan Bali. Cap-cap di Pejeng (Pejeng clay
seals) kemungkinan besar datangnya dari negeri-negeri Buddha Bengal. Walaupun
ada catatan dari kitab-kitab Jawa, carita Parahyangan yang mencatat raja Sanjaya
(730) menaklukkan Baali, namun jelas ada hubungan langsung antara Bali dengan
India.
Bahasa yang kini disebut 'bahasa Bali kasar', ternyata tidak ada
hubungannya dengan bahasa Jawa. Bahasa ini lebih erat hubungannya dengan
Sumbawa dan Sasak. Dari penggunaan baahasa di pulau Nusa Penida dan desa-desa
yang sulit terjangkau di Bali Utara, ternyata mereka lebih cenderung menggunakan
bahasa Bali kasar. Penggunaan bahasa Jawa kuno, dimulai pada akhir abad ke-10 di
kalangan istana. Penggantian bahasa Bali kuno ke bahasa Jawa kuno, berhubungan
erat dengan perkawinan Sang Ratu Maharani Sri Gunapriyadhamapatni yang
berasal dari Jawa dengan Sang Ratu Maharani Sri Dharmodayana Varmadeva
(989).

33
Dalam prasasti Calculta Stone (1041) dikatakan bahwa
Gunapriyadharmapatni adalah titel yang diberikan oleh ayahnya Mahendradatta
(ibunya Airlangga). Ayahnya Mahendradatta adalah Sri Makutavangsa Vardhana,
cucunya Mpu Sendok, raja Jawa Timur yang pertama. Pada prasasti-prsasti yang
dikeluarkan oleh pasangan itu nama Sang Ratu selalu disebutkan pertama, mungkin
dia lebih penting kedudukannya atau mungkin karena dia putri Jawa.
Patung Durga yang amat cantik diperuntukkan untuk Mahendradatta di
Kutri. Menurut Goris, gambaran patung itu berhubungan dengan ilmu blackmagic
yang dikuasai oleh Gupriya. Jadi ada hubungannya kebenarannya dengan kisah
calon arang (kisah itu mengisahkan bahwa ada perjanjian yakni Udayana boleh
memperistri Gunapriyaa asalkan Udayana tidak kawin lagi. Ketika Udayana tidak
menepati janjinya, maka Gunapriya mempelajari ilmu hitam dan kemudian ia
diusir.
Menurut dugaan gambaran Durga yang cantik itu mungkin saja sama
dengan gambaran di India, yang melambangkan kebesaran kasih sayang ibu kepada
anak-anaknya. Kenapa Gunapriya tidak dipatungkan dalam bentuk yang
menakutkan, seandainya dia dianggap begitu menakutkan
Setelah adanya gap selama 25 tahun, uncul nama raja baru di Bali yaitu
Paduka Haji Anak Wungsu. Prasastinya yang terakhir bertahun 1078. Patung
wanita di pura Penulisan yang bertuliskan Bhatari Mandul mungkin isterinya.
Melihat prasasti-prasasti dan pentingnya gunung Kawi, menunjukkaan bagaimana
besarnya anak Wungsu. Beliau merupakan salah satu raja Bali yang besar.
Monumen-monumen yang berasal dari zamannya sangat kaya dan banyak, tersebar
di daerah-daerah dari sungai Petanu sampai Pakerisan. Adapunraja dan ratu yang
menyusul Anak Wungsu adalah sebagai berikut:
1) Seorang ratu, Paduka Sri Maharaja Sakalendukirana Isanag
unadharmalshmdhara Vijayottunggadevi; namanya disebutkan pada prasasti
Canggi 1098.
2) Paduka Sri Maharaja Sri Suradhipa (1115, 1119), prasasti yang bertahun
1119 menyebutkan nama Bhatara Sri Haji Uganedra Dharmadeva, namun
para sarjana belum tahu pasti siapa dia.
3) Jayasakti (1146-1150)
4) Jayapangus (1178-1181)

34
5) Paduka Sri Maharaja Haji-ra-ajaya dan ibunya Paduka Sri-rta-ya (1200)
6) Paduka Bhatara Guru Sri AAdikunti-ketana dan putranya Sira Bhatara
Paramesvara Sri Wirama dan ratunya Dhanadeviketu (1204)

Tahun 1284 merupakan awalnya satu era baru pada hubungan Bali dan
Jawa. Setelah kehidupannya yaang pendek namun menjadi periode yang sangat
penting dari Gunapriyadharmapatni dan Udayana. Bahasa resmi dan mungkin
bahasa istana dipakai bahasa Jawa. Namun, tidak ada tanda-tanda adanya pengaruh
politik langsung. Agama pada masa itu adalah Siwa dan Buddha. Tetapi ada juga
sekte-sekte kecil lainnya. Misalnya, sekte Ganapatya yang menyembah Gana atau
Ganesa dan Sora yang menyembah surya dan sebagainya. (Patung Ganesa terdapat
di gunung Penulisan, pura Penataran Sasih Pejeng, Pura Pusering Jagat dll).
Sedangkan pemujaan kepada Surya (suryasevana), sampai sekarang kita dapati
pada kebaktian kepada Surya atau Sivaditya.
Sebelum Mpu Kuturan datang di Bali (tahun 1039), di Bali waktu itu telah
terdapat beberapa sekte agama Hindu. Konsep rwabhineda (dualisme) telah dikenal
pula seperti: siang malam, baik buruk, naik turun dan sebagainya. Dalam agama
dikenal Pura Penataran bertempat di hulu desa (kaja), dan Pura Setra di hilir desa
(kelod). Mpu Kuturan datang di Bali dan tinggal di Padang (Padangbai), yang
sekarang pura Silayukti. Ia mengajarkan konsep Trimurti dan membuat Kahyangan
tiga yaitu: Pura Puseh di hulu desa untuk memuja Wisnu, Pura Desa di pusat desa
untuk memuja Brahma, dan Pura Dalem di hilir desa untuk memuja Siwa (Durga).
Adapun raja Bali kuna terakhir, adalah Sri Artasura Ratna Bhumi Banten
(1337-1343), menganut agama Bhairawa, (gama Bhairawa itu pernah berkembang
subur di Singosari), dan berkedudukan di Bedahulu, dengan Patih Pasunggrigis.
Kemudian ditundukkan oleh Majapahit, di bawah pimpinan Gajah Mada pada
tahun 1343. Perbedaan agama Bhairawa yang dianut oleh Astasura dengan agama
yang dianut di Majapahit, yakni Siwa Buddha, menyebabkan raja Artsura disebut
'bedahulu'. Peninggalannya sekarang tertdapat di Pura Kebo Edan di desa Bedulu,
Gianyar.Namun demikian Bali baru aman pada pemerintahan Dalem Ketut
Ngulesir (cucunya Sri Kresna Kepakisan), setelah Pura Dasar di Gelgel dijadikan

35
sebagai pura Pusat kerajaan (sama dengan pura Pusering Jagat pada masa
Bedahulu), dan menjadikan Pura Besakih sebagai pura pusat di seluruh Bali.
Kemudian pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong (1460-1550),
datanglah di Bali Dang Hyang Nirartha (tahun 1480) dengan membawa banyak
perubahan, baik di bidang ketatamasyarakatan maupun agama. Dibidang
ketatamasyarakatan diadakan pembagian golongan secara tegas sbb: 1) keempat
putranya menduduki tempat tertinggi yang disebut brahmana yaitu: (a) kemenuh,
putranya yang ibunya dari Daha, (b) keniten, putranya yang ibunya dari Pasuruan,
(c) manuaba, putranya yang ibunya dari Blambangan, dan (d) Mas, putranya yang
ibunya dari Mas (Gianyar). 2) tempat yang kedua untuk keluarga yang memerintah,
yang disebut ksatrya, dan 3) yang ketiga waisya.
Sedangkan di bidang agama, Dang Hyang Nirartha mengajarkan sistem
Ketuhanan yaitu: Siwa, Sadasiwa, dan Paramasiwa. Paramasiwa adalah Nirguna
Brahma dan Nirguna Brahman adalah Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha
Esa.
Selanjutnya Dang Hyang Nirartha, atau Dang Hyang Dwijendra atau Pedanda
Sakti Wau Rawuh, membangun pelinggih meru untuk memuja Wisnu, gedong anda
untuk memuja Brahma, dan gedong cungkub untuk memuja Siwa (Durga).
Sedangkan pelinggih padmasana untuk memuja Tripurusa.

36
BAB III
KONSEP KETUHANAN DALAM AGAMA HINDU

3.1 Konsep Ketuhanan Menurut Veda

Di India ( dunia Timur ) tidak seperti di Eropa (dunia Barat), yaitu garis
pemisah antara filsafat dan agama sangat tipis. Bahkan sering tidak ada batas
pemisahnya dan saling mengisi satu dengan yang lainnya. Hal itu yang
menyebabkan fisafat India sama dengan agama Hindu, dan sebaliknya agama
Hindu sama dengan filsafat India (dharsana).
Kenyataan seperti itu sangat jelas dalam agama Hindu dan dapat dibuktikan
dalam Veda, kitab suci agama Hindu. Veda berkedudukan sebagai
otoritas mutlak terhadap keenam sistem filsafat orthodok Hindu (saddharsana,
astika dharsana).
Dalam keenam sistem filsafat (saddharsana) itu, Vedalah yang
dijadikan sebagai titik akhir semua perbedaan pendapat filsafat. Bahkan,
definisi Hindu orthodok (astika), yang berbeda dengan Hindu hetherodok
(nastika) dan agama-agama India seperti Buddhisme dan Jainisme, didasari
atas kepercayaan kebenaran kitab Veda.
Hal itu bisa kita lihat dalam kenyataan, bahwa sekte-sekte agama Hindu
tetap rukun atas kemutlakan Weda. Padahal agama Hindu terdiri dari berbagai
cabang yang kemudian merupakan berbagai sekte, akibat menempuh zaman
yang sangat panjang, tidak pernah berkelahi atas kemutlakan Veda. Semuanya
berawal dari Veda dan berakhir pada Veda.
Semuanya menuntut bahwa Veda sebagai otoritas yang selalu benar, karena
mereka percaya bahwa isi Weda adalah Šrekaman atau liputan revelation atau sruti
(wahyu) langsung.
Revelation atau sruti dari Brahman (Tuhan) yang diterima oleh para resi
semenjak zaman yang tidak bisa ditentukan kapan mulai pendapat di atas yang
mengatakan bahwa ajaran-ajaran Veda sangat penting, yang menyebabkan agama
Hindu disebut sebagai vaidika dharma (agama Veda). Jadi konsep Tuhan dalam
agama Hindu adalah konsep Tuhan menurut Veda.

37
3.2 Ajaran-ajaran Veda-Upanisad (Vedic Upanisadic) atau konsep tentang
Tuhan: Ide tentang identitas Self God (Atman - Brahman)

Mempelajari tentang Tuhan melalui inti sari ajaran Veda sesungguhnya


tidak mudah, karena Veda mempunyai metafora dan allegori yang begitu kaya ,
sangat banyak dan bervariasi. Pembagian tema Veda Sruti menjadi tiga
bagian yang masing-masing berbeda (samhita/mantra, brahmana, upanisad),
membuat masalah itu semakin sulit, sebab isi bagian yang satu nampaknya berbeda
dengan bagian yang lainnya. Jadi, seorang pembaca yang tidak
mendalami, yang hanya melihat halaman-halaman Weda, maka nada
polytheistik samhita dan brahmana, yang di dalammnya terdapat sejumlah
dewa dan pemberian sajen kepadanya (dewa-dewa), tampak bagi pembaca itu,
jelas berbeda dengan konsep monoteistik Tuhan Upanisadic.
Banyak sekali elemen-elemen upanisad yang tidak terhitung, mencoba
untuk menjelaskan suatu ajaran yang penting dan mendasar dengan berbagai
cara: Hanya satu Tuhan, tidak ada duanya (Ekam evam advityam)(Chandogya

Universal Being Tuhan itu disebutkan di dalam Upanisad berbeda-beda


seperti: Brahma, Isawara, Paramatma dan sebagainya, yang sesungguhnya
semuanya dapat juga digunakan sebutan God (Tuhan), walaupun masing-
masing mempunyai satu karakter yang tidak dapat dibedakan satu dengan
yang lainnya. Jadi, perbedaan pendapat berbagai bagian Veda itulah yang
menyulitkan bagi kita untuk mempelajari tentang konsep Tuhan di dalam Weda.

Dengan demikian timbullah masalah, yang perlu diteliti dan didalami yakni:
Apakah konsep polytheisnya samhita dan brahmana yang benar, ataukah
konsep monotheisnya Upanisad, yang sesungguhnya benar-benar menyatakan
ide Veda yang sebenarnya. Masalah itulah yang akan dibahas dalam tulisan ini.
Untuk itu kita mencoba melihat, seandainya samhitanya Veda, yang
politheismenya sangat menonjol dapat membawa kita ke satu pemecahan.
Mantram (verse, sloka) gayatri dinyatakan amat penting, karena
mengandung spiritual life (kehidupan sepiritual), baik dalam Weda maupun
dalam beberapa tulisan Sanskerta (Rgv, III,62.10).

38
Di dalam Atharvaveda, gayatri, diterangkan sebagai ilmu Veda
(AV.XIX,712) mengandung inti kehidupan sepiritual (spiritual life). Jadi
Gayatri Veda salah satu elemen Veda yang paling vital. Lebih lanjut
dinyatakan bahwa dalam gayatri mantram terkandung satu universal being
(Tuhan ) menjelmakan diri-Nya dan bersinar sendiri dari manifestasi diri-Nya,
baik di dalam alam ini maupun di dalam alam-alam lainnya, dan Being
(Tuhan) itu juga bersemayam di dalam hati manusia, sebagai penguasa
batin manusia itu sendiri (inner ruler).
Adapun konsep Gayatri atas satu self-luminous universal spirit dan Dia
bersemayam di dalam hati manusia, di kemudian hari dikristalkan di dalam kitab-
kitab Upanishad, yang merupakan bagian kesimpulan Veda, ke dalam
doktrin bahwa Brahman (Tuhan) ada di mana-mana yang sama identitasnya dengan
individual self (atman). Individual self (atman), walaupun nampaknya
terbatas dan tidak sempurna, dalam bentuk akhirnya adalah Divine
(Tuhan/Brahman); karena Dia bersemayam di dalamnya.
Doktrin tentang identitas Atman dan Brahman, pertama kali
diutarakan di dalam Gayatri dan kemudian dikembangkan oleh Upanishad-
Upanishad menjadi pusat ajaran Veda dan Hinduisme pada umumnya. Seperti
mahavakya Upanishad-Upanishad: that thou art (tat tvam asi), I am Brahman
(Aham Brahmasmi)dan sebagainya. Jelas bahwa konsep atman menjadi titik pusat
upanisad-upanisad.

Menurut Upanisad, atman adalah inti sari (inner essence) manusia, substance
yang permanen yang selalu tetap dan stabil, tidak berubah-ubah dari segala macam
perubahan badan, alat-alat indria (sence of organs), dan pikiran. Badan jasmani
manusia bisa berubah-ubah dalam berbagai bentuk.
Begitu juga indra-indra lainnya dapat dihancurkan, juga pikiran ; bahkan dapat
dijadikan dalam keadaan tidak sadar, emosinya, indria, citranya dan
sebagainya dapat dihancurkan.
Tetapi dalam kenyataan Dia (manusia) tidak pernah kehilangan self identity
terhadap dirinya sendiri. Hal itu membuktikan bahwa Dia di dalam dirinya ada satu
relitas yang menyaksikan semua perubahan dan penghancuran itu, tetapi tidak
dipengaruhi oleh mereka. Substance yang permanen itu disebut self (atman). Atman

39
(self) itu tidak hanya inner essance mahluk hidup (kita, manusia), tetapi juga outter
essance of the universe (alam semesta).

Upanishad tidak membuat perbedaan antara with in dan with out. Kita lihat
dalam Kathopanishad: Apa yang within kita juga without. Apa yang
without juga within. Dia yang melihat perbedaan antara apa yang within dan apakah
without, pergi terus-menerus dari satu kematian ke kematian (KU, II, 1.10).
Kalau kita memandang sebagai The Ultimate Methaphysical principle outter
universe, Atman itu disebut sebagai Braahman. Ada perubahan without yang tidak
henti-hentinya di dalam bentuk pergerakan, pertumbuhan, kehancuran dan kema
tian; dan di dalam hati manusia semua perubahan itu ada satu reality yang kekal dan
disebut Brahman.
Lagi, di dalam perubahan yang tidak henti-hentinya within (di dalam) badan
dan pikiran kita satu reality kekal yang disebut Atman, dan kedua pokok pendapat
(principle) itu dipergunakan sebagai hal yang satu dan sama: aikyam atma Brahman
(self itu adalah Brahman) adalah satu ucapan besar (mahavakya) yang digunakan
oleh Upanishad untuk menyimpulkan ajaran Upanishad tersebut.

Tetapi ada satu pertanyaan yang kiranya sulit dijawab, yang dapat kita
tampilkan di sini, seandainya atman yang kekal adalah inti reality maanusia dan
alam semesta (universe), dan bagimana kita harus memnadang phenomena
perubahan dan becoming of changes yang menjadi karakter dunia penglaman kita
sehari-hari. Jawaban Upanishad adalah, hal-hal yang mengalami perubahan dan
tidak berasal dari luar nilai-nilai yang dimiliki sendiri dan tidak mempunyai reality
sendiri.
Jadi perubahan dan becoming (menjadi) itu dianggap tidak benar dan
dianggap sebagai sumber penderitaan. Hanya atman yang tidak terjangkau oleh
perubahan dan penderitaan, tetapi walaupun dia tidak terjangkau oleh perubahan
dan penderitan, Atman dibawah pengaruh satu kebodohan cosmic (avidya),
melupakan sifat aslinya sendiri, dan dengan salah menyamakan dirinya dengan
perubahan fenomena badan dan pikiran.
Yang terakhir itu bukan bagian self sendiri, tetapi kosa-nya self atau
pembungkus atman, misalnya badan dan mental bertanggung jawab atas semua

40
penderitaan mahluk karena atman salah membayangkan milik-milik sifat badan dan
pikiran sebagai sifat-sifatnya sendiri.
Hanya ketika atman berhasil membebaskan diri dari pembungkus-
pembungkus (kosa) itu dengan cara spiritual traening dibawah tuntunan seorang
guru (guru spiritual), bersinar maju di dalam bentuk devine-nya sama dengan
Brahman. Tetapi selama itu tidak terjadi self menderita dari illusion (bayangan
semu) yang merupakan subjek semua evils, ketidaksempurnaan dan keterbatasan
pembungkus luar; jadi membuat dirinya korban penderitaan dan kematian. Tetapi
pada saat yang sama, setiap individu berkeinginan untuk lolos dari penderitaan dan
menentang kematian, itu membuktikan bahwa semua penderitaan bukan sifat self
dan bukan tujuan akhir.
Seandainya ada elemen asing yang memasuki badan kita atau satu duri ke
dalam daging, badan kita langsung bereaksi kepadanya dan mencoba untuk
mengenyahkan, seperti semua orang ingin mengenyahkan kesedihan dan
kesengsaraan kehidupan manusia. Itu menunjukkan bahwa mereka bukan milik self
tetapi elemen asing yang masuk. Itu menyatakan karakter self adalah satu keadaan
yang sempurna dan damai atau bliss (damai mutlak, ananda), bebas mutlak dari
semua penderitaan dan ketidaksempurnaan.
Keadaan yang bahagia mutlak disebutkan dalam berbagai istilah di dalam
Upanishad-Upanishad sebagai: mukti, moksa, kaivalya, apavarga, dan sebagainya
dan pencapaian manusia (caramapurusartha).
Bagaimana caranya mencapai tujuan utama itu? Hanya dengan jalan
menyobek penutup kosmik yang menghalangi pandangan kita (avidya), dan
berhasil menyadari identitas Atman dengan Brahmaan; itulah jawaban yang
diberikan Upanishad atas pertanyaan tersebut.
Ketika seseorang menyadari keidentitasannya itu dia akan tahu kebenaran
sejati. Atman akan bebas dari ketentuan, bebas dari kematian, bebas dari kesedihan,
bebas dari lapar dan haus (ChUI, 1.3). Itulah sebabnya manusia disebutkan di dalam
upanisad-upanisad sebagai putra dan putri "kekal abadi" (amrtsya putrah).
Doktrin kepentingan spiritual identitas antara atman dan Brahman mewakili
inti pandangan spiritual maharesi-maharesi Vedic - Upanisadic dan memberikan
Hinduisme satu karakter khas.

41
Agak menarik dicatat di sini doktrin kuno Upanisadic tentang Atman -
Brahman mempunyai keparalelan dengan mediaval Christian mystic Eckhart:
"untuk mengukur jiwa (soul) kita harus mengukurnya dengan Tuhan, karena dasar
Tuhan dan dasar jiwa (soul) adalah satu dan sama" (To gauge the Soul we must
gauge it with God, for the groud of the God and the Soul are one and the same)
(Aldous Huxley, Perennial Philosophy, 19).
Untuk mengetahui atman (self), kita harus mengetahui Brahman (Tuhan).
Dengan mengetahui Tuhan adalah mengetahui semuanya, karena semua di alam
semesta ini dihadiri oleh Tuhan. "Semua ini diciptakan oleh Tuhan" (Isopanisad).
Jadi ada pertanyaan aneh -- Apa yang diketahui semuanya yang lain diketahui? --
menemukan jawabannya pada jiwa manusia: atmanam Viddhi, diketahui self-mu
sendiri Karena hal itu yang menyebabkan semua kitab-kitab Upanisad dinamakan
Atmavidya, satu studi tentang atman.

3.3 Kedudukan para Dewa dalam Agama Hindu

Sebagai kita ketahui Upanisad-upanisad disebut sebagai Atmavidya, juga


Samhita-samhita, bagian Veda yang pertama dan tertua, dikenal juga sebagai
Devavidya, yaitu satu studi tentang sifat-sifat Dewa. Disebut demikian, karena
samhita merupakan koleksi himne-himne dan persembahyangan yang ditujukan
kepada para /berbagai dewa. Misalnya, sebuah sloka /verseRg.Veda (VIII,28) dan
komentar tradisional atas Veda, menyebutkan 33 dewa antara lain: Indra, Varuna,
Pusa, Agni, dan sebagainya.
Dewa-dewa tersebut dikatakan sebagai super natural dan luminious
(bersinar sendiri). Kenyataannya, kata ‘deva’, diambil dari akar kata Sansekerta
"dev" yang artinya "bersinar". Mereka itu (para dewa), aktif dan menuntun berjenis-
jenis objek alam dan fenomena untuk mampu berfungsi. Perlu dimengerti dalam hal
ini, bahwa Indra adalah dewa hujan, petir, dan badai. Pusa adalah dewi fajar. Agni
adalah dewa api dan sebagainya.
Walau hubungan dewa Vedic itu dengan alam sangat intim (erat
hubungannya), namun dewa bukan personifikasi kekuatan-kekuatan alam, seperti
banyak dimengerti oleh para sarjana. Akan lebih benar, jika para dewa

42
dimengertikan sebagai personalitas yang menguasai berbagai fenomena alam
(abhimana devatas) dan menuntun dewa-dewa.
Persembahyangan yang ditujukan untuk para dewa adalah bersifat kepada
dewa yang lebih berkuasa dari manusia dan mengontrol alam; dan sebagai
personalitas dewa-dewa bersifat pemberkah. Tetapi sebuah pertanyaan langsung
timbul di sini. Bagaimana mungkin adanya banyak dewa seperti yang kita dapatkan
dari Samhita Veda dapat disetujui dengan doktrin dasar Upanisadic, bahwa Brahman
adalah satu dan hanya satu, dan individual atman adalah identik / sama dengannya.
Kalau pertanyaan ini tidak terjawab, maka semua isi Veda menjadi tidak ada artnya
dan berkontradiksi.

Satu contoh jawaban yang khas Hindu, adalah tidak pernah ada polytheisme
yang asli dalam agama Hindu. Apa yang nampak sebagai polytheisme di dalam
verse-verse /sloka-sloka Samhita, adalah benar-benar monotheisme dan hanya
berselimut polytheistik semu/ samaran. Ini membawa kita ke satu pertanyaan yang
lebih mendasar ke dalam sifat adanya para dewa dan status methaphysikanya.
Seandainya kita ambil agama pra Kristen dari klasikal Yunani dan Roma
sebagai contoh yang beanr politheisme tidak sulit bagi kita melihat kenapa
Hinduisme masuk golongan ini. Di dalam polytheisme Yunani dan Roma
perbedaan pokok antara dewaa-dewa daan manusia berbeda dalam hal yang
pertama ialah immortal (kekal, anitya), sedangkan maanusianya tidak; dan manusia
mortal, nitya (tidak kekal) tidak akan mencapai status sebagai dewa. Tetapi dalam
Hinduisme, manusia dan dewa mempunyai nasib yang sama: bahwa mereka,
keduanya diciptakan olel Brahman, Tuhan Maha Pencipta; dan sebagai mahluk
mereka bernasib lahir dan mati.
Seperti manusia biasa, nasib para dewa itu juga ditentukan oleh hukum
karmaphala, hukum sebab akibat. Hukum tersebut berfungsi sebagai awal dan akhir
kedudukan mereka sebagai dewa. Menurut hukum karmapala, kebahagiaan dan
penderitaan seseorang tergantung pada perbuatan baik (punya atau subha karma,
kusala karma), dan perbuatan jelek, jahat (papa, asubhakarma, akusala karma),
yang dilakukan seseorang. Perbuatan baik akan berakibat kebahagiaan, dan
perbuatan jelek / jahat akan berakibat kesedihan, penderitaan.

43
Sekarang seandainya hasil perbuatan baik seseorang begitu besar, sehingga
semua kebahagiaan di dunia ini tidak dapat menyamainya. Ketika badan wadag
orang mati, ia akan lahir sebagai seorang dewa di sorga. Untuk menikmati hasil-
hasil perbuatannya dan tetap di sana, sebagai mahluk dengan kekuatan supernatural
(adikodrati), dan menguasai satu kekuatan alam.
Kebahagiaan yang berlimpah dan kekuatan superhuman menjadi karakter
kehidupan dewa-dewa di sorga. Lagi, seandainya seseorang yang mendapat hasil
perbuatan baik yang tertinggi dengan melakukan bebrapa pertapaan khusus dan
upacara Veda (Yajna) mati, maka dia akan lahir kembali tidak hanya sebagai dewa,
tetapi sebagai raja dewa-dewa yang disebut Indra, dan semua dewa yang lebih kecil
akan menuruti perintahnya. Tetapi kehidupan para dewa itu termasuk Indra akan
berakhir, seandainya hasil perbuatan baiknya sudah habis dinikmatinya dan mereka
akan mati dan kemudian akan lahir kembali dalam bentuk menurut hasil
perbuatannya yang lalu. Lingkaran hidup dan mati itu disebut samsara.
Lingkaran hidup dan mati manusia atau dewa akan terus berputar, selama
mereka belum menyadari identitas mereka dengan Brahman. Adalah sangat
menarik untuk kita catat di sini, bahwa dewa-dewa Vedic tersebut dideklarasikan
sebagai karyawan kosmos (cosmic) yang memegang jabatan tertentu (pada), dan
mempunyai tugas-tugas tertentu. Jadi, istilah Indra, -raja dewa-dewa-, bukan nama
seseorang tetapi nama satu kedudukan / jabatan (Indrapada). Setiap orang yang
mempunyai hasil perbuatan baik mencukupi lahir untuk menjadi seorang Indra, dia
berhak menduduki kedudukan /jabatan tersebut. Tetapi kalau karma baiknya sudah
habis, dia harus meninggalkan kedudukan tersebut, dan Indra lainnya (yang baru)
akan •mengambil
kedudukannya.
Jadi walaupun kedudukan dewa-dewa itu (pada) adalah konstan, namun
individu-individu yang melakukan tugas sebagai Indra, Agni dan sebagainya
yang berubah. Sekarang melihat hal-hal yang tersebut di atas yang khas deva
Vedic, kekekalan dan kemampuan mereka untuk mengangkat dirinya
menjadi dewa-dewa, kita tidak menyebut Vedic polytheisme, sebagai
polytheisme sejati pada agama Yunani dan Roma kuno.
Satu hal yang sangat penting yang kita perhatikan pada dewa-dewa
Vedic, adalah walaupun mereka berkekuatan cukup untuk mengontrol

44
kekuatan-kekuatan alam, mereka tidak pernah dinyatakan sebagai menciptakan
mahluk dan alam. Pencipta di dalam Hinduisme adalah hanya Tuhan Yang Maha
Esa (Iswara), yang Dia sendiri tidak tercipta.
Dewa-dewa / para dewa dalam agama Hindu, agak mirip dengan malaikat-
malaikat dan santo-santo dalam agama Kristen, yang mereka sendiri adalah mahluk
Tuhan pencipta. Dewa Hindu juga mirip dengan santo-santo Kristen dalam hal
pencapaian kedudukan tinggi tersebut, tidak semenjak awal. Para malaikat
diciptakan oleh Tuhan bersamaan waktu penciptaan.

Berbicara secara teknikal malaikat dan saint-saint adalah mahluk semiiternal,


yaitu mereka mempunyai satu awal tetapi tidak punya akhir. Dan juga kemunculan
mahluk-mahluk semiternal itu tidak mempengaruhi dasar monotheisme Kristianiti,
juga adanya berbagai dewa tidak mengganggu teori Tuhan Yang Maha Esa-nya
Upanisad. Tetapi ini, bukan semua cerita tentang dewa-dewa Vedic, dan Hinduisme
pergi lebih dalam dari ini, di dalam menerangkan tentang mereka.
Di antara banyak ragamnya dewa-dewa, terdapat sebuah fondamental unity,
satu unity (kesatuan), yang menahan Hinduisme jatuh ke dalam bentuk
polytheisme. Titik itu dengan jelas diterangkan oleh Swami Vivekananda, seorang
santo agama Hindu, dengan satu perbandingan studi dengan non-Hindu
polytheistic, mithologis (Svami Vivekananda, Hinduism: hlm.324).

Di dalam mithologi-mithologi itu, kata Vivekananda, selalu kita temukan satu


Dewa tertentu berkompetisi/berlomba dengan dewa-dewa lainnya, untuk menjadi
lebih menonjol dan mengambil kedudukan yang lebih tinggi di atas yang lain,
sedang dewa-dewa yang lainnya secara perlahan menjadi bawa-han. Jadi, di dalam
mithologi Yahudi (Jewish), Jehovah menjadi supre (paling tinggi) dari semua
molochos dan molocho-molocho lainnya dilupakan dan menghilang selama-
lamanya. Jehovah menjadi God of gods.
Sama dengan methologi Yunani, Zeus menjadi dewa yang terkemuka dan
mengambil bagian yang terpenting, menjadi God of the universe dan dewa-dewa
lainnya turun menjadi malaikat-malaikat minor. Hal itu nampaknya menjadi proses
umum.

45
Tetapi dalam mithologi Hindu, kita temukan agak berbeda. Dari semua dewa
Vedic salah satu,- yang mana saja,- diangkat ke status omnipoten God (Tuhan Maha
Kuasa) atas semuanya, sewaktu-waktu ketika dia dipuja oleh resi-resi Vedic.

Jadi ketika Indra dipuja, dikatakan bahwa Dialah yang Maha Kuasa, maha
tahu, suprem Lord atas para dewa lainnya, seperti: Varuna, Agni dan sebagainya,
hanya mengikuti perintah-Nya.
Tetapi di dalam buku Veda berikutnya atau kadang-kadang pada buku yang
sama, ketika hymne-hymne ditujukan kepada Varuna dikatakan, bahwa Varuna
adalah yang maha kuasa dan Tuhan Maha Tahu. Sedangkan Indra dan yang lain-
lainnya hanya mengikuti perintah-Nya. Dengan jalan begitu, maka semua dewa
yang lain memiliki posisi sebagai suprem Lord secara bergantian. Menyelidiki
kekhasan dewa-dewa Vedic, Prof. Max Muller tidak mengkarak-terkan
kepercayaan Vedic sebagai polytheisme, memberikan istilah baru
yaituhenotheisme.Tetapi, dengan memberikan nama baru kepada situasi yang baru
itu ternyata tidak memperjelas situasi tersebut. Jadi, dengan penggunaan istilah
henotheism, Max Muller tidak benar-benar menerangkan kenyataan kenapa
berbeda-beda para dewa Vedic, mengatasi satu saama linnya bergantian sampai
menduduki posisi sebagai Tuhan alam semesta. Namun, keterangannya ada di
dalam kitab Veda sendiri. Di sana sudah diterangkan, dalam satu hymne-hymne
Veda: Ekam sat vipra bhahuda vadanti (Rg Veda, I. 164.46). Dia hanya satu, para
resi menyebutnya dengan berbagai nama.
Jadi hanya nama-nama atau konsep-konsep para dewa yang lain tetapi reality.
Berbagai tingkat kekuatan intelektual individu-individu yang berbeda di dalam
mengertikan reality yang satu dan sama menghasilkan satu formasi berjenis-jenis
konsep dewa-dewa. Tetapi di dalam hati berbagai pendapat, satu reality tetap
berkuasa: Dia ada hanya satu, para resi memanggilnya dengan berbagai nama. Dan
hal ini nyata sekali bukan polytheisme. Apa yang nampaknya polytheisme dalam
Samhita Veda, kenyataannya adalah monotheisme.
Lagi pula walaupun bahasa politheisme menarik perhatian kita di dalam
verse-verse, sloka-sloka Samhita, namun mereka membisikkan nada-nada
monotheisme tidak absen di dalamnya, sebagai yang terbukti dari verse, sloka
Gayatri Rg Veda. Harus monotheisme dibagian pertama dan tertua dari Veda,

46
Samhita menjadi harus yang dominan dalam Upanisad ketika resi-resi Upanisadic
secara bersatu mengatakan istilah: Ekam eva advityam. Hanya ada satu Tuhan, tidak
ada duanya.
Teori Tuhan Yang Maha Esa itu adalah ajaran Veda utama dan konsep
ketuhanan Hindu harus diartikan dalam bentuk itu. Hinduisme tidak pernah
menganut agama pure polytjeism (politheisme sejati).

3.4 Aspek-aspek Immanent dan Transcendental Tuhan

Walaupun Tuhan satu dan hanya satu (The God one and only), Veda telah
membagi dua sifat Tuhan yang berbeda yaitu: (1) immanent, dan (2)
transcendental. Di dalam apsek imanentnya, Tuhan dikatakan sebagai: pencipta,
pemelihara, dan pelebur alam semesta (srsti, sthiti, pralaya karta).Konsep Tuhan
sebagai maha pencipta, adalah satu fundamenatal hampir pada semua agama di
dunia dan Hinduism termasuk di dalamnya.
Tetapi satu bentuk yang khas konsep Hindu tentang Tuhan Maha Pencipta,
adalah setelah Tuhan menciptakan alam semesta, Tuhan tidak berada atau berdiri di
luar alam semesta, tetapi Tuhan berada di dalam alam semesta. Konsep Tuhan
tinggal di sorga, di atas alam semesta, dan kadang-kadang turun ke alam semesta
pada waktu krisis, cukup asing bagi pikiran Hindu. Tuhan menurut Hinduisme,
tetap berada di dalam universe / alam semesta bahkan menjadi satu dengannya,
mengontrol dan tetap bersamanya (Bhagavadgita, XV, 13).
Jadi, Tuhan diterangkan oleh kitab suci Hindu sebagai pencipta, intern dan
mengontrol di dalam dunia, atau dalam bahasa Sansekerta antaryamin. Untuk
menghargai pengertian tentang Tuhan dikatakan interatly embedded di dalam
universal, kita perlu mengerti teori Hindu tentang penciptaan, (diskusi secara detail
tentang ini di bahas dalam bagian berikutnya).

Namun, untuk keperluan sekarang ini cukup kita mencatat Tuhan dalam
bentuk imanennya: adalah bentuk personal God, di dalam pemujaan bhakti
Hinduism di kemudian hari diberikan enam sifat yaitu: (1) maha agung, (majesty,
aisvarya), (2) maha kuasa (omnipotence, virya), (3) maha mulia, (glory, yasa), (4)

47
maha cantik/indah, (beauty, sri), (5) maha tahu, (knowledge, jnana), dan (6) maha
adil, (dispassin, vairagya).
Tuhan dalam bentuk imanent dengan sifat-sifat tersebut di atas, dinamakan
juga sebagai Saguna Brahman, dan dapat dipuja serta disembah dalam bentuk
Isvara, seperti disebutkan dalam kitab Upanisad. Walaupun Tuhan berada dalam
alam semesta dan menjadi satu dengannya, namun dalam kenyataannya Tuhan tetap
ada dan Dia di luar jangkauan alam semesta. Jadi, Tuhan selain immanent,(tetap
ada), juga mempunyai hubungan transcendental (di luar pengertian, pikiran)
dengan alam semesta. Tentang itu dikatakan dalam satu hymne/sloka Rg Veda yaitu
Purusa Sukta : "Tuhan menyatu dengan seluruh dunia, dengan seperempat
tubuhnya, sedangkan tiga per empatnya berdiri kekar di langit. Tuhan menyatu
dengan seluruh dunia dengan seperempat tubuh-Nya, sedangkan tiga perempat-Nya
berdiri sebagai kekal di langit (Rg Veda, I, 90.3).

Bahasa ukuran yang digunakan dalam hymne /sloka itu tentu saja
mettaforika, seperti akan kita lihat kemudian, bahwa Tuhan dalam aspek
transcendental di luar jangkauan ukuran manusia dalam istilah kuantitas maupun
kualitas. Tuhan adalah di luar jangkauan alam semesta, aspek transcendental Tuhan
itu disebut Brahman. Tidak hanya di dalam Rg Veda, tetapi juga dalam kitab-kitab
suci Hindu lainnya sudah berkali-kali dijelaskan yaitu Tuhan mempunyai aspek
yang luar jangkauan fenomena (misalnya Brhadaranyaka Upanishad, III, 9.26;
Bhagavagita, X.42, XIV.16-17).
Sekarang, aspek transcendental Tuhan tentu tidak ada satu keterangan
linguistk yang mampu menerangkan tentang Tuhan, Kita ambil dari Upanishad:
Brahman adalah dari di mana pikiran dan perkataan bingung di dalam
pencahariannya (Taittirya Upanisad, II,9.1).

Jadi, segala bentuk komentar-komentar fenomena tentang Brahman


semuanya tidak memberikan pengetahuan yang benar. Juga pikiran konseptual kita
tidak mampu menerangkan tentang Brahman secara positip. Kalau pun mencoba
menerangkan tentang Brahman, kita hanya sampai pada kemampuan menyatakan
"neti-neti", bukan ini (Brhadaranyaka Upanisad,III,9.26).

48
Satu proses yang panjang praktek spiritual (yoga), akan mampu membawa
pikiran kita dari konsep-konsep itu dan mengubah memindahkan reason tak
menentu kita ke dalam suatu keadaan transcendental intuition. Pemindahan keadaan
itu, keadaan pikiran tanpa konsep, dikenal sebagai samadhi di dalam Yoga Sutra-
nya Patanjali, dan dikatakan bahwa pengetahuan tentang sifat dan karakter-karakter
Brahman yang sebenarnya berada dalam keadaan itu.
Di dalam keadaan pengalaman intuitif transcendental (samadhi), Upanisad
menerangkan sifat Brahman sebagai: Sat cit ananda. Tetapi semua pernyataan
kitab-kitab suci itu dan tidak akan mampu menerangkan apa itu Brahman (sifat
Brahman). Dari semua itu kita dapat menyimpulkan pemikiran, bahwa Brahman itu
tidak kosong (sunya), tetapi Dia adalah sumber objek dan pengalaman, dan Dia
adalah satu tanpa duanya.
Brahman kalau dipandang sebagai kreatif energi (sakti) alam, disebut Isvara
dan tidak ada perbedaan di antara ke dua itu Brahman dan Isvara). Isvara adalah
kemungkinan tertinggi pikiran kemanusiaan kita yang terbatas untuk mengetahui
Brahman; di luar jangkauan mental kita, Tuhan berdiri sebagai Transcendental dan
impersonal absolut, yang sukar terjangkau oleh cinta dan pemujaan. (Pada bagian
berikut ini akan dijelaskan tentang Isvara personal God sebagai pencipta,
pemelihara dan pelebur dunia).

3.5 Isvara (Tuhan) dan Penciptaan

Teori Vedic Upanisadic tentang penciptaan (creation) bersandar pada


dua teori yang saling berlawanan: penciptaan exnihilo dan penciptaan bahan-
bahan yang ada di alam semesta.
Menurut teori yang pertama, tidak ada yang ada kecuali Tuhan, sebelum
penciptaan dan Tuhan menciptakan alam semesta dari yang tidak ada (exnihilo)
dengan sifat kreatif keinginan Tuhan. Kita temukan teori penciptaan ini disebutkan
dan ditolak di dalam salah satu Upanisad yang terpenting dan perdebatan yang
digunakan untuk menolak teori tersebut adalah: bahwa
salah satu hal yang tidak pernah diproduksi dari yang tidak ada (kathamasatah
sajjayettiti) (Chandogya Upanisad, VI,2.1-2).
Adapun perdebatan tersebut bersandar pada sebuah pandangan

49
penyebaban dikenal sebagai sat-karya-vadah, di dalam sistem sankhya salah satu
filsafat Hindu. Menurut pandangan itu akibat (karyaa), harus ada (sat) di dalam
bahan penyebab, sebelum dia diproduksi. Seseorang bisa mendapat minyak dari
kacang-kacangan, minyak dikandung dalam kacang-kacangan, sebelum diproses
menjadi minyak. Ribuan usaha untuk memproduksi setetes minyak dari bahan
pasir, tidak kan berhasil, karena pasir tidak mengandung minyak.
Jadi, apa yang disebut produksi atau penciptaan, berarti evolusi suatu benda
yang sudah mengandung bahan-bahan penyebab. Apa yang involved menjadi
envolved, apa yang envolved menjadi denvolved, apa yang laten menjadi patent,
dan inilah yang dimaksud penciptaan (creation), dalam Hindu-ism. Jadi suatu hal
atau benda tidak bisa diciptakan dari hal atau benda yang tidak ada yang juga tidak
mengandung sifat-sifat sebelumnya.
Jadi, mengatakan Tuhan menciptakan dunia dengan ex nihilo, tidak tepat
dengan konsep creation di atas, sehingga lawan teori itu yaitu teori lain tentang
creation (penciptaan) dikemukakan oleh beberapa kosmologis dan filosofis yang
mungkin bisa dikatakan sebagai teori desain dunia.
Menurut teori itu, Tuhan menciptakan alam semesta tidak dari yang tidak
ada, tetapi dari bahan-bahan yang pre-existing, misalnya: atom-atom (paramanu),
ruangan dik), waktu (kala),dan lain-lain, yanng merupakan coval entities yang
sudah ada dengan Tuhan. Bahan-bahantersebut sudah ada sebelum dan di luar
Tuhan, dan Tuhan sebagai satu concious efficient agin, hanya membentuk dan
mendesain dunia ini dari mereka. Di dalam teori tersebut, Tuhan tidak begitu
pencipta sebagai satu desainer dan arsitek alam semesta.
Tetapi Hinduisme menolaak teori itu, sama halnya dengan menolak teori
yang pertama tentang creation. Kelemahan utama teori tersebut, berada di dalam
kenyataan penurunan Tuhan sebagai satu keadaan ketergantungan, keterbatasan,
dan mahluk terbatas. Seorang arsitek harus menggantungkan diri-nya seluruhnya
pada bahan-bahan creationya, dan dia hanya dapat berbuat apa-apa, yang bahan-
bahannya memberi ia kemampuan untuk membuat. Dengan jalan itu Tuhan menjadi
disempitkan oleh bahan-bahan creationnya, dan kemahakuasaan-Nya hilang.
Jadi, walau teori disain menghindari kelemahan teori ex nihilo tentang
penciptaaan, Dia tidak mempertahankan konsep kemahakuasaan Tuhan. Jadi kita

50
tidak bisa diterima sebagai kesimpulan yang memuaskan di dalam menghadapi
masalah penciptaan.
Setelah menolak kedua pandangan di atas, Upanisadic Hinduisme
memberikan teorinya sendiri, tentang penciptaan di dalam bentuk positip. Menurut
Upanisadic Hinduism, Tuhan menciptakan alam semesta tidak dari ketidakadaan
atau tidak dari bahan-bahan yang sudah ada dikatakan Tuhan, tetapi dari dalam
dirinya sendiri. Tuhan adalah bahan-bahan penyebab dan penimbul aktif alam
semesta (abhinna nimittopadana).
Di dalam keadaan empirikal biasa produksi, material cause (upadana
karana) dan efisien cause (nimitta karana), adalah dua hal yang berbeda. Material
cause (bahan penyebab) berada di luar effisience cause (penyebab aktif). Di dalam
hal produksi kendi tanah, tanah liatnya (bahan baku) untuk membuat kendi itu
adalah material cause dan membuat kendi, yang sadar membuat kendi adalah
effisiencee cause setelah kendi terbuat, kendi terus mempunyai satu keadaan yang
bebas dan di luar pembuat kendi. Di sini Isvara dikatakan sebagai effisience cause
dan material cause alam sewmesta, Tuhan menciptakan alam-alam semesta dari
sifat-sifat diri-Nya sendiri. Dia pencipta dan juga bahan ciptaan alam semesta
dalam waktu yang sama.
Jadi, setelah menciptakan alam semesta, Tuhan tidak berdiri di alam
semesta, tetapi menyebabkan dirinya sendiri berada di setiap bagian kecil alam
semesta, sebab Tuhan sendiri menjadi alam semesta: alam semesta adalah satu
extention diri-Nya sendiri, alam semesta adalah satu proyaksion innernature
(prkerti) Tuhan.
Kita petik dari Upanisad: Seperti halnya laba-laba mengeluarkan
benang-benang dari dalam dirinya sendiri dan menarik kembali ke dalam .....
juga demikian Tuhan (aksara) menciptakan alam semesta (Mundaka Upanisad, I,
1.7).
Bentuk lainnya yang menrik dalam teori Hindu tentang penciptaan adalah
bahwa sifat penciptaan dikatakan sebagai kekal tanpa awal dan akhir. Tidak ada
titik yang dapat dibayangkan kapan Tuhan ada sebelum terciptanya alam semesta.
Dunia mempunyai satu awal dan satu akhir.
Tidak bisa kita katakan, bahwa alam semesta diciptakan beberapa ribu tahun
setelah penciptaannya. Tidak pada titik tertentu Tuhan menciptakan alam semesta

51
dan semenjak itu Tuhan beristirahat dengan damai, kecuali kadang-kadang ikut
campur dalam urusan alam semesta.
Energi creasion Tuhan selalu berjalan; Tuhan kekal dalam penciptaan dan
tidak pernah beristirahat. Di dalam Bhagavadgita, Sri Krisna, yang dianggap
sebagai avatara Visnu (Tuhan), satu sekte Hindu mengatakan, " Kalau saya tetap
tidak aktif dalam satu detik waktu, seluruh alam semesta akan hancur menjadi
berkeping-keping" (Bhagavadgita, III,24). Akan tetapi, bagaimana dapat ide
penciptaan yang kekal tanpa awal dan akhir bisa disatukan dengan konsep lingkaran
peleburan alam semesta, atau disebutkan oleh kitab suci Hindu lainnya sebagai
pralaya.
Jawabannya di bawah ini menurut metafisik Hindu alam semesta yang
diciptakan adalah suatu kumpulan-kumpulan getaran (vibrations) yang tetap pada
satu level frekwensi tertentu. Tetapi ada satu periode ketika semua kumpulan
vibrations itu menjadi sangat cair dan mulai kembali dan akhirnya diserapkan
kembali ke dalam Tuhan, dari mana Dia diproyeksikan sebelumnya.
Kumpulan getaran (vibrations) yang tidak bergerak dari alam semesta di
dalam Tuhan itu dikenal sebagai pralaya /peleburan atau cosmic dissolution. Tetapi
harus tidak diartikan sebagai penghancuran mutlak alam semesta. Alam semesta
pralaya, tidak meledak menjadi ketidakadaan mutlak selama-lamanya. Setelah
mencapai level frekwensi terendah alam semesta tetap ada sebagai suatu keadaan
yang tidak terbentuk (humanitested condation).

Segala apa pun yang telah berkembang (evolved) dari Tuhan akan menjadi
satu (involved) kembali di dalam Tuhan. Tetapi setelah satu periode involution
sementara seluruh alam semesta kembali berkembang ke depan pada awal satu
lingkaran yang baru. Proses involution dan evolution alam semesta berjalan ke
belakang dan ke depan seperti ombak samudra dalam kekekalan.

Lagi pula pralaya itu tidak mengambil tempat secara beruntun di semua
bagian alam semesta ini. Satu solar sistem tertentu seperti solar sistem kita
mungkin diserap tetapi ribuan yang lainnya tetap melanjutkan kenyataannya di
dalam kenyataannya masing-masing.

52
Jadi, penciptaan sebagai satu keseluruhan adalah kekal abadi dalam arti
tidak mempunyai awal yang absolut dan akhir yang absolut. Ketika kitab suci
Hindu menggunakan kata 'awal' dan 'akhir' dunia ini, mereka harus diartikan
sebagai awal dan akhir satu lingkaran tertentu tidak lebih dari itu.

53
BAB IV
SUMBER DAN RUANG LINGKUP AGAMA HINDU

4.1 Pengantar

Pada bab terdahulu telah dijelaskan, bahwa agama Hindu, seperti agama-
agama besar lainnya, juga memiliki karakter yang merupakan sifat yang khas dan
mendasar sebagai pembeda dengan agama-agama yang lainnya. Dengan
mengetahui dan memahami karakteristik Hindu itu, sebagai umat Hindu akan
mempunyai pandangan yang luas dan wawasan universal. Pengertian, pengetahuan
dan pemahaman tersebut, akan merupakan dasar wiweka (pengambilan
kebijaksanaan) yang sangat utama, baik di dalam Hinduisme sendiri maupun
ekstern. Di situlah sesungguhnya letak dasar utama ketoleransian Hinduisme.
Keanekaragaman dalam berbagai variasi bisa
berdampingan, bahkan bisa saja saling isi mengisi dalam pertumbuhan dan
perkembangannya.Sementara itu, para sarjana indologi mengatakan, bahwa sumber
data agama Hindu berdasarkan dua faktor: (1) berdasarkan tradisi, yang dihiasi
berbagai methologi, dan (2) berdasarkan sejarah. Faktor yang pertama, sangat
dipengaruhi oleh legenda, metologi, folklore dan kepercayaan secara tradisi.
Sedangkan dasar yang kedua, sejarah, memerlukan fakta-fakta dan pembuktian
sejarah.Dalam sejarah perkembangan agama Hindu sepanjang masa, kedua faktor
itu sangat berperan, dan saling melengkapi. Atas dasar itu, pada bab ini akan
dijelaskan: sumber dan ruang lingkup agama Hindu.

4.2 Sumber agama Hindu

Sesuai dengan karakter, dan dasar sumber datanya, agama Hindu


mempunyai sumber dua macam: (1) sumber yang tertulis, (Vedasruti dan
Vedasmrti), dan (2) sumber yang tidak tertulis (sila, acara, dan atmatusti).
Ketentuan seperti itu dapat kita simak apa yang tersirat pada sloka dalam pustaka
Manawa Dharmasastra (II,6, 1977: 64): Idanim dharma pramananyaha, vedo'khilo
dharmamulam; smrticile ca tadvidam acaraccaivaa sadhunam atmanastutireva ca.

54
Terjemahannya:Seluruh pustaka suci Veda adalah sumber dharma yang pertama,
kemudian Smrti, sila yang terpuji para budiman yang mendalami pustaka suci
Veda, tradisi para orang suci, dan akhirnya kepuasan pribadi.
Menyimak apa yang tersirat dalam sloka itu, dapat kita mengetahui bahwa
sumber hukum dan ajaran agama Hindu ada lima sumber: (1) Vedasruti, (2)
Vedasmrti, (3) sila, (4) acara, dan (5) atmanastusti (atmatusti).
Rincian tersebut tersusun secara kronologi, menurut otoritasnya. Itu berarti
bahwa , sumber hukum atau agama (dharmamulam) yang paling tinggi
kedudukannya adalah : sruti, kemudian berturut-turut smrti, sila, acara dan yang
paling rendah kedudukannya adalah atmanastusti atau atmatusti. Jadi,
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, secara kronologi diurut pencariannya
dimulai dari Vedasruti. Seandainya dalam Vedasruti tidak ditemukan, barulah dicari
di dalam Vedasmrti/Dharmasastra. Demikian seterusnya dicari sampai ditemukan
dalam sumber yang paling kahir. Namun, dalam keseharian tidak tampak yang yang
mendominasi, karena sangat bergantung pada pelaksananya. Setiap bangsa yang
menganut agama Hindu tenatu sangat dipengaruhi oleh acara atau tradisi dan
budayanya.
Oleh karena itu, walaupun nampaknya dalam sloka itu Vedasruti
kedudukannya lebih tinggi dari Vedasmrti atau Dharmasastra, namun keduanya
dianggap sama sebagai sumber dharma. Hal itu dijelaskan pada sloka II.10 (Ibid:
65):Crutistu vedo vijneyo dharmacastram tu vai smrtih;te savarthesvamimamsye
tabhyam dharmohi nirbabhau.Terjemahannya:Yang dimaksud dengan sruti ialah
Veda, dan yang dimaksud dengaan smrti ialah Dharmasastra; kedua pustaka suci
itu tidak boleh diragukan kebenarannya, karena keduanya merupakan sumber
hukum (agama Hindu).
Dalam sloka di atas jelas, bahwa sruti dan smrti sama kedudukannya dalam
menentukan kebenaran. Bahkan, tanpa diragukan lagi. Cara penerimaan
pengetahuan tentang kebenaran seperti itulah yang disebut sabdapramana. Bahkan,
seandainya di antara kedua sumber itu terdapat perbedaan atau pertentangan, maka
kedua-duanya diterima. Jadi, tidak ada penghapusan sloka, atau tidak ada sebuah
sloka tigugurkan oleh sloka yang lainnya. Kedua sloka tersebut diterima apa adanya
(Ibid:II,14,:66).Cruti dvaidham tu yatra syattatra dharmavubhau smrtau; ubhavapi
hitau dharmau samyaguktau mani. Terjemahannya:Seandainya dalam kedua

55
pustaka suci itu terdapat suatu perbedaan, maka keduanya dianggap sebagai hukum,
sebab keduanya telah ditetapkan sebagai hukum (dharma) oleh para bijaksanawan.
Dalam pustaka Sarasamuscaya sloka 37 dan 39, juga diungkapan betapa
hubungan antara Vedasruti dan Vedasmrti sbb.:
Srutirvedah samakhyato dharmasastram tu vai smrti; te
sarvathesvamimamsye tabhyamdharmo vinirbhrtah (SS,37).

Itihasapuranabhyam vedam samupavrmhayet; bibhe


tyalpasrutadavedo mamayam pracrisyati (SS,39).

Terjemahannya:
Ketahuilah, bahwa Sruti adalah Veda, (dan) Smrti sesungguhnya adalah
Dharmasastra; keduanya harus diyakini dan dituruti, agar sempurnalah dalam
dharma itu.Hendakya Veda itu dihayati dengan sempurna melalui itihasa dan
purana; karena pengetahuan yang sedikit itu menakutkan (dinyatakan) janganlah
mendekati saya (SS,37,39).

4.2.1 Weda sruti

Kata veda berasal dari urat kata vid artinya pengetahuan.Oleh orang Inggris
diterjemahkan menjadi Knoledge, dengan huruf 'K'besar. Jadi, Veda berarti ilmu
pengetahuan dalam arti yang sangat luas. Memang Veda, bukan pengetahuan
rohani saja, atau bukan pengetahuan suci saja, melainkan juga

berisi ilmu pengetahuan biasa/duniawi dan ilmiah. Jadi juga berisi ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam pengertian sehari-hari. Dengan demikian, Veda
tidaklah semata-mata yang berbentuk buku itu saja, tetapi mengandung makna buku
abstrak.
Lebih lanjut kata veda yang memakai 'a' panjang, artinya 'kata-kata yang
diucapkan dengan lagu, atau dinyanyikan'. Memang sloka-sloka dalam Veda
digubah dalam bentuk puisi (chanda) dan mempunyai berbagai lagu: gayatri.
Sebab itulah, kemudian sloka-sloka itu lebih dikenal dengan sebutan mantra.
Sedangkan kata sruti, berarti mendengar, atau apa yang didengar. Kata

56
srota artinya telinga. Dengan demikian kata sruti identik dengan kata wahyu.
Memang, para resi menerima dari pendengarnnya (sruti) dari Brahman/Tuhan Yang
Maha Esa, Sang Hyang Widi Wasa. Sruti itu diterima oleh para resi: (1) Grtsamada,
(2) Visvamitra, (3) Vamadeva, (4) Atri, (5) Bharadvaja, (6) Vasistha, (7) Kanva, (8)
Agastya, (9) Narayana, (1)) Prajapati, (11) Hiranyagarbha dan lain-lainnya.
Adapun resi nomor 1 - 7 , termasuk dalam golongan sapta resi yang
menghimpun sloka-sloka Rgveda, mandala II - VIII. Sedangkan Resi Agastya
beserta siswanya menghimpun sloka-sloka Rgveda mandala I. Selanjutnya Resi
Narayana, Prajapati serta Hiranyagarbha, menghimpun sloka-sloka Rgveda
mandala IX - X. Jadi, Rgveda atau Rgvedasamhita, yang merupakan himpunan
sloka (stanza) sejumlah 10.552 mantra, terdiri dari 10 mandala, adalah sruti
(wahyu) yang didengar (diterima) oleh para resi tersebut ( dengan srota atau
telinga) dari Brahman/Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.
Maharesi Manu, membagi veda menjadi dua : sruti dan smrti, yang lebih
lanjut merincinya masing-masing. Begitu juga Vedasruti dibagi menjadi tiga
bagian: (1) mantra, (2) brahmana (karmakanda), dan (3) upanisad / aranyaka
(jnanakanda). Bagian mantra terdiri lagi dari empat macam himpunan (samhita)
: (a) Rgvedasamhita, terdiri dari 10.552 sloka (mantra, stanza); (b)
Samavedasamhita, terdiri dari 1.875 sloka / mantra / stanza; (c)
Yajurvedasamhita, terdiri dari 1.975 mantra (beberapa mantra dalam bnetuk

prosa liris); dan (d) Atharvavedasamhita, terdiri dari 5.987 sloka / mantra / stanza
(beberapa sloka dalam bentuk prosa liris). Jika sloka-sloka keempat veda
(caturveda) itu dijumlahkan semuanya, maka seluruh himpunan mantra atau veda
ada 20.389 mantra (sloka). Rg vedasmhita, merupakan kumpulan mantra yang
paling tua, yang mengandung ajaran umum dalam bentuk pujaan. Kitab ini disusun
berdasarkan 5 resensi: Sakala, Baskala, Asvalayana, Sankhyayana, dan
Mandukeya. Di antara kelima resensi itu, Sakala yang masih utuh dan sempurna.
Seperti telah dikemukakan di depan, Rgvedasamhita terdiri dari 10 mmandala:
mandala 2 - 8 hasil himpunan warga saptaresi, yang berhasil dipelihara oleh para
keluarganya secara oral turun-temurun. Sedangkan mandala (bab) 1, 9 dan 10
merupakan himpunan beberapa resi.Samavedasamhita, himpunan mantra tentang

57
lagu-lagu pemujaan, yang dipetik dari Rgveda. Samaveda terdiri dari 2 bagian:
arcika, mantra pujaan (Rgveda), dan uttracika, himpunan mantra
tambahan.Yajurvedasamhita, himpunan mantra mengenai pokok-pokok yajus,
sebagian besar dipetik dari Rgveda, dan dari sumber lain sebagai mantra
tambahan (prosa). Yajurvesamhita, terdiri dari dua aliran: (a) Krsna
Yajurveda(Yajurveda hitam), mengenai makna yadnya, dan (b) Sukla
yajurveda, (Yajurveda putih), mantra waktu upacara. Juga terdapat pokok-pokok
upacara darsapurnamamasa, upaca bulan purnama dan tilem (bulan
gelap/mati).Atharvavedasamhita, atau Atharvangira, kumpulan mantra petikan
Rgveda.Keempat himpunan itu kemudian terkenal dengan nama caturveda,
bahkan sering hanya tiga himpunan yang ditonjolkan (Rg, Sama dan Yajur) dengan
sebutan triveda. Bagian Brahmana (karmakanda), berisi himpunan puja, sthava,
brahma, yang dipakai dalam upacara yadnya. Setiap mantra (Rg, Sama, Yajur,
Atharva), mempunyai brahmana. Kata 'brahma' artinya doa, puja, sthava, stotra.
Brahmana, juga merupakan penjelasan arti dan makna mantra.Bagian Upanisad
dan Aranyaka (Jnanakanda), merupakan himpunan mantra pembahasan aspek
Ketuhanan. Setiap mantra samhita juga mempunyai upanisad (aranyaka) yang
merupakan rahasia jnana (jnanakanda). Jumlah Upanisad diperkirakan ada 1180
buah buku, namun kebanyakan para sarjana menyetujui adanya 108 buah upanisad.
Perinciannya sbb.:

1) Upanisadnya Rgveda 10 buah: Aitareya, Kausitaki, Nadabindu,


Atmaprabodha, Nirvana, Mudgala, Aksamalika, Tripura, Saughagya, dan
Bahvrca upanisad.
2) Upanisadnya Samaveda, 14 buah: Kena, Chandogya, Aruni, Maitryani,
Vajrasucika, Yogasudamani, Vasudeva, Mahat, Sanyasa, Avyakta, Kondika,
Rudraksajabala, Darsana, Jabali.
3) Upanisadnya Yajurveda :
(a) Yv hitam, 32 buah:Kathavali, Taitriyaka, Brahma, Kaivalya,
Svetasvatara, Garbha, Narayana, Amrtabindu, Asartanada, Katagnirudra,
Kausika, Sarvasara, Sukharahasya, Tejobindu, Dhyanabindu, Yogatattva,
Daksinamurti, Skanda Sariraka, Yoghasikha, Ekaaksara, Aksi, Avadhuta,

58
Katha, Rudrahrdaya, Yogakundalini, Pancabrahma, Pranagnihotra,
Varaha, Kalisandarana, dan Sarasvatirahasya.
(b) Yv putih, 19 buah:Isavasya, Brhadaranyaka, Jabala, Hamsa,
Paramahamsa, Subata, Mantrika, Niralambha, Trisikhibrahmana,
Mandalabrahmana, Advanyataraka, Pingala, Bhiksu, Turiyatita, Adhyatma,
Tarasara, Yajnavalkya, Satyayani, dan Muktika.
4) Upanisadnya Atharvaveda, 31 buah: Prasna, Munduka, Mandukya,
Athavasira, Atharvasikha, Brhajjabala, Nrsimhatapini, Naradaparivrajaka,
Sita, Sarabha, Mahanarayana, Ramarahasya, Ramatapini, Sandilya,
Paramahamsa parivrjaka, Annapurna, Surya, Atma, Pasupata,
Parabrahmana, Tripuratapini, Devi, Bhavana, Brahma, Gamapati,
Mahavakya, Gopalatapini, Krsna, Hayagriva, Dattatreya, dan Garuda
upanisad.

4.2.2 Weda smrti

Seperti telah diuraikan di depan, bahwa Smrti atau dharmasastra juga


dianggap sebagai veda, bahkan sama kedudukannya dengan Vedasruti
(Manavadharmasastra II,10 ).

Sebagai sumber hukum /dharma, smrti mengandung hukum-hukum suci


kuno (sanatana varnasrama dharma), penjelasan ritualia. Jadi, smrti menjelaskan
dan mengembangkan dharma, serta menetapkan hukum yang mengatur kewajiban
pribadi, sosial dan warganegara (dharmanagara). Dalam arti luas, kata 'smrti'
meliputi semua hasil karya sastra Hindu, kecuali Vedasruti.Smrti selalu berubah
mengikuti perkembangan dan perubahan zamannya, sehingga smrti itu berbeda dari
satu zaman ke zaman yang lainnya.Menurut tradisi, smrti merupakan kelompok
veda yang disusun kembali berdasarkan ingatan yang diperoleh dari vedasruti.
Vedasmrti, dibagi menjadi dua kelompok: (1) Vedangga, (merupakan batang tubuh
veda) dan (2) Upaveda(veda tambahan).

59
4.2.2.1 Vedangga

Kelompok Vedangga, disebut batang tubuhnya veda, karena isinya


merupakan penuntun dan penjelasan bagi orang yang mendalami Vedasruti. Jadi,
seperti sebuah "buku pinter" (manual). Dengan mempelajari Vedangga, diharapkan
seseorang dapat mengeti bahasa, makna yang tersirat dalam sloka-sloka.
Sehubungan dengan itu, Vedanggaterdiri dari enam bidang veda: (a) Siksa, (b)
Vyakarana, (c) Chanda, (d) Nirukta, (e) Jyotisa, dan (f) Kalpa.Siksa, berisi uraian
tentang fonologi atau ilmu fonetik dalam bahasa Sanskerta yang dipakai
menggubah Veda. Isinya memuat petunjuk tentang lafal, matra, dan lagu mantra.
Terdapat banyak buku yang menjelaskan tentang fonologi veda tersebut Sarjana di
bidang fonologi Veda: Bhagavan Saunaka, Katyayana, Bharadvaja, Vyasa
(Abyasa), Vasistha dan Yajnavalkya.
Vyakarana, mengandung tatabahasa Sanksterta. Untuk dapat menyimak,
mengertikan dan memahami isi Vedasruti, serta menghayatinya, pemahaman dan
penguasaan tentang ketatabahasaannya (Sanskerta), harus terlebih dahulu
dikuasai.Sudah tentu, sistem fonolgi di atas terlebih dahulu dikuasai.Banyak sarjana
di bidang bahasa Sanekerta: Sakatayana, Panini, Patanjali dan Yaksa. Panini yang
pertama kali mengetahui sistem tatabahasa Sankserta Veda. Kemudian Patanjali
memperkenalkan bahwa bahasa veda adalah bahasa Sanskerta, yang sebelumnya
disebut bahasa dewa (Daivivak).
Chanda, membahas lagu, irama, matra veda. Melalui lagu (chanda) itu,
mantra itu diikat dan dipelihara secara turun-temurun. Dengan lagu itu, sloka-sloka
veda dapat dilestarikan.
Nirukta, berisi tentang etimologi, semantik, dan kosakata. Penulisnyaa:
Bhagavan Yaksa (+800 SM).
Jyotisa, isinya memuat astronomi Hindu, yang sangat dipentingkan dalam
melaksanakan upacara yadnya. Di samping itu juga berisi ilmu pembahasan
peredaran tatasurya, bulan, dan badan ruang angkasa yang mempengaruhi
pelaksanaan yadnya. Bukunya: Jyotisavedangga, dihubungkan dengan Rg dan
Yajurveda.
Kalpa, kelompok vedangga yang terbesar dan utama. Isinya dipetik dari
Brahmana: (a) Sautra, mengenai tatacara yadnya, penebusan dosa yang

60
berhubungan dengan upacara keagamaan; (b) grhya, memuat peraturan tatalaksana
yadnya bagi grahastin (orang yang berumah tangga). Kitab Dharmasutra,
merupakan kitab Kalpa yang terutama, berisi berbagai aspek tentang hidup
bermasyarakat dan bernegara (dharmanagara).

4.2.2.2 Upaveda

Kelompok Upaveda, merupakan veda tambahan, yang mengandung


berbagai disiplin ilmu, antara lain: (a) Itihasa, (b) Purana, (c) Arthasastra, (d)
Ayurveda, dan (e) Gandharvaveda.Itihasa, merupakan veda terapan, mengandung
pokok-pokok ajaran Veda, yang disajikan dalam bentuk cerita kegagahberanian,
kepahlawanan, (viracarita). Ia menyajikan cerita indah, menarik dan bermakna
yang mengandung ajaran agama Hindu yang sangat mendasar. Setiap orang akan
terasuki jiwanya bahkan sampai seluruh darah dan dagingnya. Di sana sini terselip
hukum smrti dan prinsip Veda, yang dilukiskan melalui figur tokoh agung nan
mulia dan luhur. Metode itu ternyata sangat memudahkan kaum awam untuk
memahami dan menghayati ajaran dan filsafat Hindu yang cukup sulit. Sungguh
sangat tepat dan bijaksana metoda yang dipilih oleh Walmiki dan Vyasa, untuk
menerapkan ajaran Veda atau memasyarakatkan veda. Itihasa sering juga disebut
epos yang besar (mahavakya).
Itihasa, terdiri dari dua macam: (a) Ramayana, dan (b) Mahabharata.
Namun, ada juga yang menambah lagi dua, yaitu: (c) Yogavasistha, dan (d)
Harivamsa. Biasa juga disebut Suhritsamhita (pembahasan populer), sedangkan
Vedasruti disebut prabhusamhita (pembahasan serius).Ramayana digubah oleh
Maharesi Valmiki, terdiri dari 7 kanda, yang isinya menceritakan zaman tretayuga.
Ramayana, selesai ditulis sebelum 500 SM. Sedangkan ceritanya, sudah populer
sejak 3.100 SM. Isinya dibagi menjadi 7 kanda: Balakanda, Ayodhyakanda,
Aranyakanda, Kiskindakanda, Sundarakanda, Yuddhakanda, dan Uttarakanda.
Cerita Ramayana itu tersebar dan tersohor di seluruh pelosok dunia, termasuk di
Indonesia.
Mahabharata, menurut tradisi digubah oleh Bhagavan Vyasa (Abyasa),
terdiri dari 18 buku (asthadasaparva), dua buku sisipan: Harivamsa dan
Bhagavadgita. Ceritanya diperkirakan terjadi sejak + 950 SM, namun menurut

61
tradisi kejadian itu pada awal zaman kaliyuga 3101 SM. Mahabharata terdiri dari
18 parva: AAdiparva, Sabhaparva, Vanaparva, Virataparva, Udyogaparva,
Bhismaparva, Dronaparva, Karnaparva, Salyaparvaa, Sauptikaparva, Santiparva,
AAnusasanaparva, AAsvamedhikaparva, sramavasikaparva, Mausalaparva,
Mahaprasthanikaparva, dan Svargarohanaparva.Bhagavan Vyasa (Abyasa), putra
Maharesi Parasara, juga terkenal menyusun kodifikasi caturvedasamhita bersama
dengan siswanya.
Purana, merupakan cerita kuno. Ciri-cirinya mengandung atau
mengungkapkan: sejarah, kosmogoni, penciptaan tahap kedua, silsilah para raja,
dan Manvantara (pancalaksana). Sedangkan menurut VisnupuranaIII.6.24.
kelengkapan purana diukur kandungan isinya meliputi: (1)kosmogoni (cerita
penciptaan alam semesta; (2) pralaya (cerita tanda dan terjadinya kiamat); (3) cerita
silsilah para dewa dan bhatara; (5) cerita silsilah keturunan dinasti Suryavangsa dan
Candravangsa.
Jenis kitab purana ada 18 (Mahapurana): Brahmanda, Brahmavaivarta,
Markandeya, Bhavisya, Vamana, Brahma, Visnu, Narada, Bhagavata, Garuda,
Padma, Varaha, Matsya, Kurma, Lingga, Siva, Skanda, dan Agni. Berdasarkan
sifatnya, purana-purana dikelompokkan menjadi tiga: (a) Satvikapurana (Visnu,
Narada, Bhagavata, Garuda, Padma, dan Varaha); (b) Rajasikapurana (Brahmanda,
Brahmavaivarata, Markandeya, Bhavisya, Vamana, dan Brahma);
(c)Tamasikapurana (Matsya, Kumara, Lingga, Siva, Sakda, dan Agnipurana).
Penulisan purana dimulai pada 500 SM dan mencapai kesempurnaannya pada 600 M,
pada zama Raja Harsa Vardhana memerintah wilayah Aryavarta. Penulis utama
purana, sepanjaang masa yang tiada taranya sampai sekarang adalah Vyasa atau
Krsnadvipayana putra Bhagavan Parasara.
Arthasastra, berisi pokok-pokok ilmu pemerintahan negara dan politik.
Misalnya: Usana, Nitisastra, Sukraniti, dan Astrasastra. Dalam Ramayana dan
Mahabharata, tersirat juga pokok-pokok ajaran Arthasastra. Cabang ilmunya
disebut: Nitisastra, Rajadharma, Dandaniti. Para acarya di bidang politik Hindu:
Bhagavan Brhaspati, Bhagavan Usana, dan Resi Canakya. Penulis lainnya:
Visalaksa, Bharadvaja, Dandin, dan Visnugupta. Adapun jenis Arthasastra yang
digubah di Indonesia:Usana, Nitisara.

62
Ayurveda, isinya mengenai bidang ilmu kedokteran, kesehatan jasmani, dan
rohani. Jadi, memuat fisfasat kehidupan, baik etis maupun medis,sehingga ruang
lingkupnya cukup luas. Kitab ini erat hubungannya dengan kitab-kitab
Dharmasastra dan Purana. Penulisnya: Maharesi Punarvasu. Materi Ayurveda
meliputi 8 bidang: (1) Salya (ilmu bedah), (2) sajkya(ilmu penyakit), (3) kayakitsa
(ilmu usada/obat-obatan), (4) bhutavidya (ilmu psikoterapi), (5) kaumarabhrtya
(ilmu pendidikan anak dan dasar ilmu jiwa anak), (6) agdatantra (ilmu toksikologi),
(7) rasayamatantra (ilmu mujizat), dan (8) vajikaranatantra (ilmu jiwa remaja).
Kitab Yogasara dan Yogasastra, karya Bhagavan Nagarjuna, memuat pokok-pokok
ilmu yoga dikaitkan dengan sistem anatomi, guna pembinaan kesehatan jasmani
rohani. Kitab Kamasastra atau Kamasutra (juga cabang Ayurveda), karya
Bhagavan Vatsyayana, memuat seni cinta dalam kebahagiaan keluarga.
Gandharvaveda, membahas berbagai aspek cabang ilmu seni.

4.2.3 Sila

Kelompok sumber hukum Hindu / dharma yang kedua yang bersifat tidak
tertulis, seperti yang telah dikemukakan di depan adalah sila, acara, dan
atmanastusti. Mengingat sifatnya tidak tertulis, sumber itu sangat ditentukan dan
dipengaruhi oleh masyarakat dan lingkungannya. Jadi, ia mengikuti keadaan dan
perkembangan masyarakatanya, dalam segala bidangnya, geografi, dan keadaan
alam lingkungannya. Dengan demikian, ia selalu berubah berkembang sepanjang
masa dan zaman. Dengan karakter universalnya (istadevata dan adikara) agama
Hindu menerima dan menyesuaikan dirinya dengan ketiga keadaan itu. Karena
itulah pelaksanaan agama Hindu sanga bervariasi. Setiap daerah, wilayah dan etnis
mempunyai varian tersediri, seperti kenyataan yang kita kihat dan kita alami. Justru
kevariasiaannya itulah yang memberi kekuatan agama Hindu selalu bisa hidup
subur sepanjang masa, sejak 6000 SM.
Adapun yang dimaksudkan sila itu adalah contoh-contoh perbuatan, baik
dalam bentuk (manacika, vacika, dan kayika) pikiran, ucapan, maupun laksana,
yang pernah dan telahdikakukan oleh para resi, baik yang berada di India, maupun
yang berada di luar India, seperti di Indonesia, baik pada masa lampau, sekarang
maupun pada masa yang akan datang. Semua contoh sila-sila tersebut, baik yang
tercantum dalam Vedasruti, Vedasmrti, maupun dalam Itihasadan lain-lainnya,

63
merupakan suri tauladan yang seyogyanya patut ditiru dan sebagai cermin
kehidupan umat Hindu di manapun mereka berada. Hal-hal seperti itu, banyak
sekali terdapat di dalam Ramayana, Mahabharata, Bhagavadgita, Sarasamuscaya
dan lain-lainnya. Sila atau etika yang baik dan luhur itulah yang menjadi pegangan
dan pedoman umat Hindu. Misalnya, dalam Bhagavadgita, Krisna memberi contoh
apa yang pernah dilaksanakan oleh raja Janaka, yang seyogyanya ditiru oleh
Arjuna. Jika dirinci, ajaran sila yang tersirat dalam Ramayana, Mahabharata,
Bhagavadgita, Sarasamuscaya, Vrhaspatitattva, dan sebagainya akan ditemukan
'harta karun' nan tak luntur dan berharga itu. (dalam uraian mengenai sila atau etika
Hindu dan pengendalian diri, akan kami uraikan tersendiri nanti).

4.2.4 Acara
Acara adalah tradisi, kebiasaan-kebiasaan yang telah melembaga yang
pernah dilakukan oleh seseorang dan masyarakat, yang kemudian dilakukan, ditiru
pada masa sekarang. Tradisi itu, tentu pada mulanya merupakan contoh-contoh sila,
perbuatan yang baik yang pernah dilakukan oleh seseorang, resi, tokoh agama dan
atau masyarakat pada masa lalu, yang masih relevan untuk dilakukan pasa masa
kini. Mengenai tradisi atau adat istiadat itu banyak sekali ditemukan dalam
masyarakat beragama apapun termasuk masyarakat yang beragama Hindu. Sumber
tradisi itu bermula dan berpangkal pada sila. Bahkan semua aspek kebudayaan, bisa
menjadi sumber dan bahan dasar tradisi suatu orde masyarakat berikutnya.
Karena itu, trdisi itu bisa berkembang dan bertumbuh terus, tergantung pada
daya tarik masyarakatnya.Agama Hindu, sesuai dengan karakternya,
ternyata tradisi itu merupakan pemberi pola dan variasi yang paling dominan.
Makin beraneka ragam kebudayaan masyarakatnya, makin beraneka warna pula
variasi agama Hindu itu. Oleh sebab itu, tidaklah bijaksana kalau umat Hindu
berusaha membedakan dan memisahkan antara agama dan adat atau tradisi. Adalah
sudah demikian rupa variasi agama Hindu, yang ditimbulkan oleh karakternya
sendiri. Justru agama Hindu bisa semarak dan hidup sejak tahun 6000 SM hingga
kini, adalah berkat karakternya, sifatnya, yang bisa
menampung dan menerima kebudayaan, tradisi masyarakatnya. Varian-varian yang
beraneka ragam ada di dunia ini, adalah diakibatkan oleh tradiri tersebut. Semua

64
jenis upacara yadnya yang dilakukan oleh umat Hindu dari etnis Bali misalnya,
adalah merupakan sebuah contoh varian Hindu tersendiri, begitu juga varian Hindu
yang ditimbulkan oleh masyarakat India.Dengan uraian itu, jelas
bahwa acara, sadacara atau tradisi, adat, juga merupakan sumber dan memberi
pola varian-varian Hindu.

4.2.5 Atmanastusti
Atmanastusti atau atmatusti, adalah kepuasan pribadi yang sanga subjektif.
Setiap orang, masyarakat, etnis dan bangsa secara kovensi berkesamaan membuat
satu atmatusti. Berawal dari perseorang, atmatusti itu merupakan hak yang paling
azasai baginya untuk melaksanakan keagamaannya. Hak individu dan martabat
individu sangat dihormati dalam agama Hindu. Hal itu menimbulkan variasi yang
paling kecil dalam agama Hindu. Kemudian, sebagai mahluk sosial ( di samping
sebagai mahluk individu) manusia (dalam hal ini masyarakat Hindu), secara
bersama-bersama membuat satu ketetapan atmatusti yang lebih luas. Begitu
seterusnya, atmatustui terbentuk melalui kelompok-kelpmpok mayarakat, yang
berawal dari perseorangan, keluarga, masyarakat, etnis, bangsa dan seterusnya.
Dalam agama Hindu di Indonesia misalnya, peranan Parisada Hindu Dharma
Indonesia, sebagai majelis agama Hindu yang tertinggi sangat utama. Melalui
mahasabha, pesamuhan agung, dan lokasabha lembaga tersebut menetapkan
berbagai keputusan, sebagai atmatusti secara makro yang diperkirakan memberi
kepuasan masyarakat Hindu di wilayahnya (Indonesia). Atmatusti (dalam arti
sempit/perseorangan) itu, menjadi budaya yang memberi kelonggaran bahkan
kebebasan mutlak terhadap seorang umat Hindu dalam melaksanakan ajaran
agamanya. Justru, atmatusti itulah yang memberikan warna dan merupakan akar
yang sangat mendasar bagi kehidupan agama Hindu itu dalam diri pribadi
penganutnya. Atmatusti itulah yang membentuk religius experient, atau 'keagamaan'
dalam diri setiap individu. Misalnya, dalam sebuah keluarga saja, keagamaan, atau
kadar, pola penghayatan agama itu bervariasi.Atas dasar itulah, munculnya
berbagai cara, jalan atau marga menuju tujuan akhir agama Hindu. Ajaran catur
marga yoga(karma, bahkati, jnana, dan raja marga yoga) itu, pada hakikatnya
bermula dan berpangkal pada atmanastusti atau atmatusti itu. Justru, atmatusti, itu

65
merupakan benih yang menyuburkan kihidupan agama Hindu, Bersama-sama
dengan sila dan acara, ketiga faktor itu memberi kesuburan hidupnya agama Hindu.

4.3 Ruang lingkup agama Hindu

Dharma, juga mempunyai arti agama, maksudnya agama Hindu. Di dalam


dharma itu sendiri terkandung ciri-ciri khas agama Hindu, yang pada hakikatnya
sebagai dasar ajaran agama Hindu dan sekaligus merupakan pokok-pokok atau
ruang lingkup agama Hindu. Unsur-unsur dharma itu menjadi pokok-pokok ajaran
agama Hindu Ketentuan tentang unsur-unsur itu, kita dapat menemukannya di
dalam Atharvaveda (XII, 1.1): satyam brhad rtam ugram diksa, tapo brahma yajna
prthivim dharayanti. (Sesungguhnya satya, rta, diksa, tapa, brahma, dan yajna
yang menyangga dunia). Prithivim dharmana dhritam (bumi / dunia ditegakkan /
disangga oleh dharma: Ath.XII.1-17).Beranjak dari sloka itu, kita dapat penjelasan
dan pengetahuan, bahwa dunia ini disangga oleh dharma. Sebagai penyangga dunia
/ alam semesta, dharma memliki enam buah 'pilar'atau tiang, sehingga alam
semesta /dunia itu berkeadaan mantap, stabil, dan harmonis di atas dharma
(agama).
Mengingat pada mulanya agama Hindu disebut atau disamakan dengan
dharma, maka agama Hindu mempunyai pokok-pokok ajaran yang sangat mendasar
yaitu: satya, rta, diksa, tapa, brahma, dan yajna. Keenam unsur sebagai pokok
dasar itu pada hakikatnya dapat dikatakan sebagai isi pokok agama Hindu, atau
dasar-dasar agama Hindu yang merupakan ruang lingkup agama Hindu.

4.3.1 Satya

Kata 'satya' artinya: 'kebenaran, kejujuran, kesetiaan'. Kata satya yang


berarti 'kebenaran' ada dua macam: (1) kebenaran mutlak, yaitu sifat hakikat Sang
Hyang Widi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, sehingga sama dengan Ketuhanan Yang
Maha Esa; (2) kebenaran mutlak itu, juga merupakan salah satu sifat Tuhan dan
dewa; dan (3) kebenaran dalam arti relatip, dalam kehidupan sehari-hari. Kata
'satya' berarti 'kebenaran atau truth', sama dengan ajaran mengenai kepercayaan
kepada Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.

66
Jadi satya, adalah salah satu aspek ajaran agama Hindu tentang Ketuhanan
dengan segala aspeknya. Kata satya berarti Tuhan (RV, VIII,62.12). Sat atau biasa
ditulisZhat artinya 'Yang Maha Ada. Baik dalam Rgveda maupun Upanisad banyak
ditemukan kata sat. Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari Om tat sat, Sat cit
ananda, Ekam Sat (Om itu adalah Satya,Tuhan bersifat satya, Tuhan bersisat citta
(pikiran), Tuhan bersifat ananda, bahagia,tak terbatas) sangat populer. Sehubungan
dengan itu dikemukakan dua contoh adagium:at cit ananda Brahman artinya
(Sesungguhnya) Tuhan adalah kebenaran, pengetahuan, tak terbatas. Ekam sad
vipra bahudha vadanti, agniyamammatarisvanam ahuh, artinya Tuhan yang Esa,
para arif bijaksana mengatakannya banyak (nama), Agni, Yama, Matarisva .
Janmadhyasya yatah (Tuhan) merupakan asal mula semua ini
Sedangkan pengertian satya sebagai 'kejujuran, kebenaran' dalam kehidupan
sehari-hari adalah kejujuran dan kebenaran dalam kontek dalam masyarakat.
Misalnya, satyavacana, satya mitra dan sejenisnya. Jadi makna dalam arti etika,
sila: jujur, benar . Sifat jujur, benar dan setia merupakan sifat yang terpuji. Karena
itu setiap pikiran, ucapan, dan perbuatan harus dilandasi satya.
Di dalam Veda, satya (kebenaran mutlak) disimbolkan sebagai inti
Ketuhanan. Bahkan para dewa pun dianggap sebagai perwujudan kebenaran
(satya). Savita satyadharma (dewata memiliki kebenaran, keberadaanya sebagai
hukum). Satya (kebenaran) sangat diutamakan dalam agama Hindu (vedic religion).
Satya lebih diutamakan daripada ritus. Doa dan ritus yang benar, lahir dari hidup
yang benar dan hati yang sejati: satyam vadam satyakarman(perkataan yang benar,
perbuatan yang benar). Bahkan atmanpun harus diwujudkan melalui satya
(kebenaran): satyena labhya. Pandangan itulah yang menimbulkan keyakinan
penuh, bahwa: satyam eva jayate na anritam (kebenaran pasti menang, bukan
ketidakbenaran).

4.3.2 Rta

Unsur dharma yang kedua : r t a (baca: rita atau reta); rtasering


diterjemahkan : orde atau lowyaitu hukum (kekal abadi).Rta adalah hukum alam
semesta yang kekal abadi, hukum murni yang bersifat absolut transendental.

67
Sedangkan hukum (rita) yang dijabarkan untuk mengatur manusia, bangsa disebut
dharma. Begitu juga hukum agama yang disebut dharma bersifat relatip, karena
dikaitkan dengan pengalaman manusia setempat. Oleh karena itu, istilah dharma
(sebagai hukum) beraneka ragam, disesuaikan dengan tradisi stempat. Rta, dapat
dilihat dari berbagai segi: (1) aspek rita yang etis, (2) rita sebagai hukum alam
semesta, (3) rita sebagai aspek estetika, (4) rita sebagai ritus, (5) rita sebagai tertib
sosial, dan (6) satya dan rita sebagai Brah-man dan kshatra.

Dalam aspek moral rta dan satya berasal dari satu rumpun dan lahir pada
permulaan yang ada atas kemauan spiritual (Rgv.X,110.1). Rita lebih luas daripada
satya, karena meliputi keadilan, kebaikan, etika (dharma). Ritalah yang
menyebabkan menangnya kebenaran atas kebatilan.Sebagai hukum alam semesta,
rita merupakan hukum alam yang abdi, yang mengatur keterpaduan alam semesta,
dan menghindarkan kekacauan dan ketidakteraturan. Tuhan pun diidentifikasikan
sebagai Rita. Sebagai pengendali rita, Tuhan disebut Ritawan. (Para dewa adalah
Ritawan, dan para dewi adalah Ritawati). Rita dalam fungsinya mencegah
kekacauan, dan sebaliknya menata kesimetrisan dan keharmonisan alam semesta,
rita dapat menimbulkan kemegahan dan keindahan (estetika). Rita menyatupadukan
alam dengan hukum alam, di samping merupakan disiplin hidup melalui aturan
moral, juga disiplin bentuk yang menciptakan keindahan. Dengan menegakkan rita,
semuanya tertib, indah dan baik.
Sebagai ritus, rita menyimbolkan bagian upacara yadnya,
persembahyangan, merupakan kegiatan yang sangat umit, namun bersifat seni.
Bentuk yadnya juga menurut aturan tertentu. Aturan yang diterapkan dalam ritus,
merupakan simbol hukum abadi, termasuk ketentuan kehidupan moral. Rita sebagai
hukum alam semesta dan hukum moral adalah rita yang abadi sebagai ritus yang
berubah menurut waktu, dan perlu diperbaharui agar sesuai dengan keinginan
manusia akan perubahan: Navyo jayatam ritam, biarlah ritus yang baru tumbuh
(Rgv.I,105.15).
Menurut Weda, setiap dewa dinyatakan sebagai pelindung rita, tatanan alam
semesta. Bahkan dewa tertentu, digambarkan sebagai raja, yang menlindungi rita.
Seperti Mitra dan Varuna digambarkan sebagai penegak rita (Rgv.VIII,25.3). Para

68
raja meniru Mitra dan Varuna, yaitu menegakkan hukum (rita) untuk diterapkan
dalam kehidupan sosial. Karena itu, raja disebut kshatra
= kshatrya), pelindung, pembela dan pejuang Dewa yang dianggap kesatria dan
penegak hukum dengan semangat yang tinggi adalah Indra (Rgv.III,46.2). Dengan
kshatra (kekuasaannya), para raja menjadi pelindung masyarakatnya, seperti dewa
(Indra, Vishnu), menggunakan kekuasaannya dalam alam semesta sesuai dengan
rta.
Rta (rita) bukan merupakan suratan takdir. Rita tetap merupakan hukum
abadi dan keadilan abadi. Karena itu, manusia tidak bisa menghindar dari akibat
perbuatannya. Apa yang ditanam, itulah yang akan dipetiknya. Itulah yang
membawa kepada ajaran hukum karma. Dengan menerima ajaranpunarbhawa
(tumimbal lahir), setiap jiwa (atman) akan lahir membawa karmakelahiran
terdahulu (praktana) yang tidak tampak (adrishta), yang menunutun hidupnya
sampai mencapai kebahagiaan atau kesengsaraan, menurut hakikat rita. Dengan
demikian ajaran rta dan dharma merupakan dasar ajaran karma dan karmaphala.
Bahkan rta dan dharma (dalam arti luas) mencakup pengertian hukum (orde) abadi,
ajaran sila, estetika, dan hukum sosial.
Satya dan rta bagaikan Brahman dan kshatra. Satya (dalam arti metafisis
dan moral) dan rta (dalam arti luas meliputi: hukum kosmos, etis, estetis, sosial,
dan ritual), merupakan kepentingan yang lebih mulia dan luhur dalam hidup. Satya
(hidup berlandaskan filosofi agama) dan rta (bersifat moral politis), digambarkan
seperti Brahman dan kshatra.

4.3.3 Diksa

Diksa, artinya penyucian, penasbihan, inisiasi, sakramen. Diksa juga disebut


abhiseka. Dikatakan, bahwa diksa, tapa, brahma, dan yajna merupakan sarana yang
berfungsi untuk mencapai peningkatan kesucian atau spiritual. Diksa dan tapa,
diutamakan guna perwujudan satya (kebenaran mutlak).
Dalam Yajurveda Samhita (XIX,30) diungkapkan bahwa: "dengan
melaksanakan pengabdian (vrata) ia akan mencapai kesucian (diksa); dengan
melaksanakan diksa ia akan mencapai kemuliaan (dakshina); dengan melalui
dakshina ia akan mencapai kehormatan/keyakinan (sraddha); dan dengan melalui

69
sraddha ia akan mencapai kebenaran mutlak (satya).Sesungguhnya diksha bukan
semata-mata merupakan inisiasi formal. Dalam peristiwa itu tersirat satu ajaran
yang sangat mendalam, yaitu adanya hubungan pribadi yang sangat intim antara
guru (acharya) dan murid sishya). Menurut Atharvaveda (XI,5.3) disebutkan,
bahwa dalam pediksaan itu seolah-olah murid berada di dalam diri sang guru,
bagaikan seorang ibu yang sedang mengandung bayi; dan kemudian setelah
menjalani brata atau vrata selama tiga hari, secara simbolis murid (sisya)
dilahirkan menjadi orang yang sangat mulia, dengan disaksikan oleh para dewa.
Itulah sebabnya, pediksaan merupakan transisi dari gelap ke terang, dari
ketidakbenaran ke kebenaran. Jadi diksa merupakan cara untuk melewati tahap-
tahapan kehidupan suci, dari satu tingkat ke tingkat berikutnya, dari satu kebenaran
(truth) ke tingkat kebenaran berikutnya. 'Hamba menuju kebenaran dengan
menghindari ketidakbenaran' (Yvs,1.5).
Dengan demikian, diksha bertujuan untuk menyucikan manusia lahir batin,
agar ia dapat melaksanakan tugas memimpin upacara yadnya (ngeloka palasraya)
dan belajar serta mengajarkan veda. Diksha berfungsi sebagai lembaga inisiasi yang
bersifat formal. Oleh sebab itu, sebelum didiksa ia tidak dibenarkan mempelajari
dan mengajarkan Veda. Setelah didiksa status seseorang berbeda, karena ia telah
berdwijati(lahir untuk kedua kalinya).
Diksha sebagai lembaga formal, kemudian di Indonesia dibatasi
penggunaannya, yakni hanya dilakukan bagi calon pandita, pedanda, resi, empu.
Jadi diksha dilaksanakan hanya untuk penasbihan pandita. Pada mulanya (asli)
diksa dipergunakan secara umum dipakai untuk mencapai tahap-tahap kehidu-pan
suci melalui upacara yadnya. Namun, karena pengkhususan seperti di atas, maka
pengertian sejenis diksha untuk itu disebut samskara, sangaskara, sakramen, yang
lebih populer dengan sebutan pewintenan.

4.3.4 Tapa
Tapa, artinya 'disiplin'. Yang dimaksud dengan tapa dalam Atharvaveda,
adalah pengendalian diri, penguasaan terhadap nafsu, pengendalian panca indrya
dan pikiran. Jadi, berusaha melaksanakan hidup suci. Dengan pengendalian diri itu,
diharapkan terciptanya trikaya parisuddha dalam diri manusia. Bersihnya atau

70
sucinya ketiga bagian tubuh manusia: pikiran (manacika), ucapan (vacika), dan
perbuatan (kayika).
Tapa merupakan usaha nan tak kenal lelah, perjuangan dan kerja keras yang
pantang menyerah, untuk mencapai tingkatan hidup yang lebih tinggi, dan yang
lebih luhur. Jadi, tapa merupakan awal segala sesuatu yang luhur dan mulia.
Kesucian (diksha) hanya dapat dicapai dengan melaksanakan disiplin (vrata atau
brata). Vrata atau brata adalah bentuk tapa. Setiap orang yang sadar, selalu
berusaha membersihkan (visuddha) atau melakukan parisuddha dengan tapa
atauvrata, brata. Istilah prayascita, parisuddha, dan brata sama dengan tapa. Tapa
dapat dilakukan dengan berbagai variasi: upavasa (berpuasa), monabrata (tidak
berbicara), jagra, aturu (tidak tidur), bahkan ada dengan cara penyiksaan diri
dsbnya. Namun, tapa harus dilaksanakan dengan kesadaran.

4.3.5 Brahma

Brahma arti harfiahnya: mantra, puja, stawa, stotra, stuti, doa dan pujian.
Brahma adalah sloka-sloka atau ayat-ayat suci Veda, yang dipergunakan untuk
melaksanakan pemujaan kepada Sang Hyang Widi Wasa/TuhanYang Maha Esa.
Karena itu, Veda disebut buku doa dan ilmu Veda. Brahmacharya artinya kegiatan
untuk menguasai Veda dan ilmu Veda. Brahmana orang yang mencari Brahman
(Jnanayoga),orang yang mengetahui Brahmanatau isi Veda.
Para resi sejak zaman dahulu mengakui betapa kemanjuran gema gaya suci
mantra Veda. Mantra Veda termasuk karya puisi yang sangat tinggi dalam sejarah
umat manusia. Fungsi mantra, brahman, puja itu bergantung pada tujuan
penggunaannya, dan jenis isi yang terkadung dalam mantra itu sendiri. Namun,
pada umumnya gaya suci yang ditimbulkan oleh karena pemujaan mantra itu,
mampu menciptakan suasana tenang, damai dan tenteram di lingkungan dan dalam
diri yang mengucapkannya. Gaya suci dan spiritual itu mampu mempengaruhi diri
pribadi manusia dan mahluk metafisika serta lingkungan wilayah pembacaan
mantra tersebut. Situasi seperti itu akan membantu usaha manusia untuk
menjalankan meditasi mengendalikan pikirannya dan meningkatkan kesadarannya,

71
untuk mencapai kesucian dan tingkatan-tingkatan samadhi, kebijaksanaan dan
pandangan terang.
Sesungguhnya, manusia dapat membersihkan dan menyucikan pikirannya
dengan mengucapkan mantra. Misalnya, dengan mengucapkan mantra atau puja
trisandhya setiap hari, merupakan kegiatan yang sangat berfaedah bagi dirinya lahir
batin, bahkan juga terhadap lingkungannya. Gema dan getaran mantra itu
menimbulkan gaya-gaya suci yang sangat diperlukan untuk menciptakan suasana
tenang, tenteram dan damai. Oleh karena itu, peranan dan kedudukan mantra,
brahman dalam agama Hindu sangat dominan.

4.3.6 Yajna
Kata 'yajna' (Sanskerta) berasal dari urat kata 'yaj', yang artinya
'memuja', atau memberi pengorbanan atau menjadikan suci', mempersembahkan,
bertindak sebagai perantara'. Kata 'yajna' (Rgv.VIII,40.4) berarti 'kurban',
'pemujaan'.
Yajna ialah upacara (Veda) yang mempersembahkan sajen (banten, atau
upakara) kepada para dewa. Upacara itu sangat indah diiringi mantra, nyanyian,
kidung disertai gerakan-gerakan (mudra). Perkembangan selanjutnya upacara kian
besar, sehingga kian menjadi rumit, namun dapat menambah kesemarakan upacara
pemujaan. Oleh karena itu diperlukan para ahli di bidang itu, yaitu kaum brahmana
yang memang menguasai Veda. Kata yajna juga berarti proses, yakni proses
penciptaan alam semesta. Yadnya yang hebat dan besar itu dilakukan oleh
Purusa/Brahman/ Sang Hyang Widi Wasa /TYME saat menciptakan alam semesta
ini.
Yajna mengandung pengertian luas: perbuatan/pengurbanan dalam arti yang
lebih luas, upacara agama/ceromony/samskara. Samskara adalah ritual yang
menyempurnakan, menyucikan badan dan spiritual.
Bhagavadgita mengajarkan bahwa yajna itu sangat penting dan wajib
dilaksanakan oleh setiap orang, terutama bagi mereka yang berumah tangga
(grhastha). Makna yajna (yadnya) adalah melakukan pekerjaan dengan tulus ikhlas,
dan tidak mengikatkan diri serta tidak mengharapkan hasilnya. Jadi, melakukan
pekerjaan tanpa pamrih. Rame ing gawe, sepi ing pamrih. Pada zaman dahulu,

72
Prajapati pun beryadnya untuk menciptakan alam semesta dan isinya termasuk
manusia. Para dewa akan memberikan kesenangan dan keinginan manusia, jika
mereka melaksanakan yadnya. Sebaliknya, ia akan disebut sebagai pencuri, jika ia
hanya mau menikmati pemberian tanpa melakukan yadnya. Dari makanan
muncullah mahluk, dari hujan muncullah makanan, dari yadnya muncullah hujan,
dan dari pekerjaan muncullah yadnya (Bhg.III,8-16).
Dalam Rgveda (X,71) diungkapkan empat cara untuk mencapai tujuan
hidup tertinggi (moksa): (a) bhaktimargha, dengan mengucapkan mantra; (b)
wibhutimargha, dengan cara menyanyikan lagu pujaan (hymne), mantra, stotra;
(c) jnanamargha, dengan ilmu pengetahuan; dan (d) karmamargha, dengan
melakukan yajna. Jadi, menurut Rgveda, yajna merupakan salah satu di antara
empat jalan yang dapat dipergunakan untuk memuja Sang Hyang Widi
Wasa/TYME. (Di Indonesia, keempat cara itu sekaligus dilaksanakan untuk
memuja Sang Hyang Widi Wasa/TYME). Lebih lanjut dinyatakan, bahwa yajna
bagaikan 'kapallaut yang suci' yang akan dapat mengantarkan manusia menuju
tujuannya.
Di dalam Manavadharmasastra disebut rincian panca mahayajna (lima
macam upacara besar): devayajna, rsiyajna, pitriyajna, manusayajna, dan
bhutayajna. (Uraian lebih lanjut tentang itu lihat bab: yadnya).

73
BAB V
SIMBOL (NYASA) DALAM AGAMA HINDU

5.1 Pengantar

'Simbol', adalah suatu kegiatan, gerakan, benda atau yang dibendakan, yang
mengandung makna/arti atau yang mewakili sesuatu Dalam kehidupan sehari-hari,
sejak zaman purba kala sampai pada zaman sekarang, manusia selalu menggunakan
simbol-simbol tersebut kalau mereka berkomunikasi. Justru, kemampuan manusia
menciptakan dan menggunakan simbol-simbol itu untuk berkomunikasilah, yang
membedakan manusia dengan hewan. Manusia berbudaya, karena memiliki pikiran
(tripramana: bayu, sabda, hidep atau manah). Sedangkan hewan tidak memiliki
pikiran/manah (dwipramana: bayu, sabda).
Demikianlah manusia menggunakan berbagai jenis simbol, mulai dengan
tanda 'tambah' ( + ) dan 'kurang' ( - ), gerakan-gerakan, dan kata-kata, sampai pada
'bahasa', khayalan dan aktivitas yang mengandung arti dan interpretasi dalam
berkommunikasi.

5.2 Makna dan hakikat simbol dalam agama Hindu


Agama Hindu berangkat melewati segala kemampuan yang dapat disentuh
dan dialami oleh manusia setiap hari, dalam kehidupannya. Hal itu menyebabkan
semua ekspresi dan komunikasi agama Hindu , hanya dapat disampaikan melalui
simbol (nyasa). Maka dari itu, agama Hindu sangat banyak mempergu nakan
simbol atau lambang, yang disebut nyasa (baca: niyasa). Simbol atau nyasa tersebut
meliputi berbagai poin, misalnya: kata-kata (istilah) keagamaan yang khusus dan
penggunaanya juga secara khusus, kata-kata biasa, objek/benda yang terlihat
(iconography), gerakan khusus (mudra) untuk jenis ritual, musik, gamelan, drama,
tari, lagu dsbnya. Bahkan kombinasi semua yang tersebut di atas dalam
hubungannya dengan persembahyangan. Sebaliknya dalam hal itu 'diam' (silence)
mungkin juga dapat menjadi sebuah simbol.
Nyasa (simbol) itu sangat banyak ragamnya, mulai dari perlambangan jiwa
atau atman sampai pada perlambangan untuk para dewata. Di dalam Veda terdapat

74
berbagai jenis dan bentuk perumpamaan, kias atau simbol tersebut.
Misalnya:kereta, kapal, lembu, sapi, dsbnya. Kadang-kadang 'kereta' dipakai
sebagai perumpamaan untuk mengganti: 'upacara keagamaan'(yadnya), dan badan
jasmani manusia. Jadi, penggunaannya tidak tetap, melainkan selalu berubah. Hal
itu mempengaruhi cara berpikir yang menimbulkan pengaruh besar dalam
pertumbuhkembangan agama Hindu. Penggunannya, sekedar untuk menambah nilai
spiritual atau sifat-sifat kemuliaan atas hal-hal yang akan digambarkan.
Untuk membuat simbol itu dapat dipergunakan beraneka ragam bahan,
antara lain: aksara, warna, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya.
Selanjutnya, untuk memproduksi objek-objek yang memiliki nilai simbolik, para
seniman tidak saja memerlukan teknik penggarapannya, tetapi ia hasur juga berada
dalam suatu keadaan yang sangat khusus (ekstase). Dengan cara melalui suatu
proses transformasi spiritual pada dirinya sendiri, dia (para seniman) juga
mentransformasikan bahan-bahan untuk membuat patung misalnya, menjadi suatu
receptacle of divine power, wadah atau tempat kekuatan Ida Sang Hyang Widi
Wasa/TYME.
Begitu juga kita seyogyanya memahami makna dan hakikat khusus sebuah
arca, pratima, patung atau gambar dan kemudianmengidentifikasikan diri kita
dengan gaya kekuatan di dalammnya. Demikian juga, tatkala kita
mempersembahkan sajen atau banten; kita menggunakan sajen (banten) itu, sebagai
alat untuk menyampaikan life breath ke dalam internal image yang telah
ditransformasikan ke dalam internal vision Ida Sang Hyang Widi Wasa/TYME.

Jadi, dengan melalui simbol atau nyasa dan pengetahuan bagaimana kita
seyogyanya bersikap, kita dapat menyadari kemungkinan dalam subconciusnesskita
sendiri, bahkan memahami kekuatan alam semesta dan mengadakan hubungan
dengan Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.

5.3. Beberapa contoh simbol

a. lingga yoni
Dalam sejarah agama Hindu baik di India maupun di Nusantara (Indonesia)
pemujaan terhadap lingga dan yoni sangat populer. Lingga dan yoni merupakan

75
simbol kekuatan (creative energi) pria dan wanita. Itulah sebabnya, kedua simbol
ini seringkali dipadukan, yakni yoni menjadi dasar tempat lingga itu tegak. Dari
zaman Hindu kuno, lingga tersebut sudah dikenal dan dipuja, sebagai simbol
creative energi Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dalam aspeknya
sebagai Siva.

b. Patung Siva Nataraja


Patung Siva yang sedang menari, sedangkan kakinya berpijak pada seorang
bhuta. Patung ini menggambarkan Siva sedang menari. Tarian yang dilakukan oleh
Siva sebagai Nataraja, merupakan sombol ritme alam semesta. Arca-arca
mendukung kehadiran Tuhan. Dewi Durga yang memerangi kerbau raksasa duduk
di atas sing, mengandung makna bahwa kekuatan-kekuatan alam semesta yang
positip dan juga simbol kemenangan kebajikan atau kebenaran atas
kebatilan/ketidakbenaran. Relief-relief bentuk wanita dan pria yang berpelukan,
melam bangkan penyatuan dua unsur yang berbeda dan mengandung makna proses
regenerasi yang kekal abadi.

c. Suastika
Svastika (keadaan yang baik) merupakan simbol yang juga diyakini oleh
umat Hindu. Svastika mempunyai kekuatan suci yang sangat sakti. Svastika juga
merupakan simbol roda dunia yang melambangkan gerak kosmik dan perputaran
evolusi pada pusat yang tetap. Dalam Brhatsamhita (IV.15) disebutkan bahwa
svastika harus dilukis atau dipasang pada pintu pura. Bahkan sering juga dilukis
pada rumah untuk melindungi keluarga dari kejahatan. (Asal-usul simbol ini masih
menjadi teka-teki para indologis; namun contohnya banyak sekali ditemukan di:
lembah Indus, Mesopotamia, Palestina, Amerika Selatan, dan pulau Easter).

d. Arsitektur suci (pura)


Pura, biasanya didirikan dan dibangun di tempat yang khusus, tempat yang
tertentu, indah dan suci.Pura, adalah ibarat sebuah pintu yang terbuka untuk
berhubungan ke atas dengan leluhur, para dewa, dan Sang Hyang Widi
Wasa/TYME. Karena itu, bentuk luarnya harus dapat membangkitkan perasaan

76
untuk harapan akan bertemu dengan Sang Hyang Widi Wasa. Keindahan objek
menyumbangkan kekuatannya sebagai alat yang sakral/suci. Oranamennya
menolong proses pengundangan kekuatan suci ke dalamnya. Setiap segi
icogographinya memiliki nilai simbolik tersendiri pada satu pemahaman yang lebih
mendalam tentang berbagai aspek kekuatan Sang Hyang Widi Wasa dan berangkat
dari dunia external menuju pemujaan internal. Pada kebanyakan umat Hindu
penempatan dan penyucian arca menjadi satu wadah energi, menjadi satu alat yang
dapat membantu akan keberadaan Sang Hyang Widi Wasa di hadapannya.

e. Senjata Nawasangha (sikep Nawasangha)


Menurut methologi, setiap arah mata angin dikuasai oleh dewa. Bahkan hari
pun dikuasai oleh dewa. Mengingat arah penjuru mata angin ada sembilan, maka
dewa pun ada sembilan (navasangha). Masing-masing dewa tersebut menguasai
setiap penjuru itu dan mempunyai senjata (sikep), sebagai berikut.:

No. Nama Dewa sakti senjata warna tempat


1 Isvara Uma bajra putih purva/ timur
2 Mahesora Laksmi dupa dadu agneya
3 Brahma Sarasvati Gada Merah daksina
4 Rudra Camodi Moksala M muda nairiti
5 Mahadeva Sanci Nagapasa Kuning pascima
6 Sangkara Rodri Angkusa hijau bayavya
7 Visnu Sri Cakra Hitam utara
8 Sambu mahadevi trisula Biru tua Timur laut
9 Siva Uma Padma Pancawarna tengah

77
BAB VI
FILSAFAT HINDU: SISTEM DAN PERKEMBANGANNYA
(Filsafat Veda, dan Brahmana)

6.1 Umur Veda

Para sarjana, hampir semuanya berpendapat bahwa Veda, sebagai kitab suci
agama Hindu, merupakan kitab tertulis yang tertua di antara kitab-kitab tertulis
bangsa Indo European. Walaupun demikian, para sarjana masih belum bisa
menemukan kata sepakat tentang kapan sebenarnya kitab suci itu dibuat.
Banyak di antara para sarjana itu mencoba menerkanya, tetapi terkaannya
selalu gagal, seandainya dibuktikan secara logika. Max Muller, sebagai sarjana
indologi dan bapak ilmu perbandingan agama, menentukan tahun awal
pembentukan kitab suci Veda pada tahun 1200 SM. Sarjana lainnya, Hang,
berpendapat tahun 2400 SM , sebagai awal terbentuknya kitab suci Veda.
Sedangkan Gangadhar Tilak, menentukan tahunnya pada 4000/6000 SM.
Sebagaimana diketahui pada zaman India kuno, orang-orang India tidak
mempunyai kebiasaan meninggalkan atau membuaat catatan (record) yang
menerangkan tahun dan nama penulisnya sangat membanggakan. Hal itu terjadi
pada bidang sastra, politik, maupun dalam bidang agama. Juga kita dapat
mengetahuinya, bahwa mereka tidak menulis hasil ciptaannya. Misalnya, kitab suci
Veda, diturun-temurunkan tidak melalui titab tertulis, tetapi melalui secara lisan,
dari mulut ke mulut, dalam kurun waktu yang tidak mampu kita menerka betapa
lamanya. Namun, umat Hindu yakin, bahwa Veda itu tidak dibuat oleh manusia
(apaurusya).Umat Hindu meyakini (sraddha), bahwa Tuhanlah yang secara
langsung mengajarkan isi Veda itu kepada para resi; atau para resi mendapat wahyu
(sruti) tentang hymne-hymne suci (sloka-sloka) yang terdapat pada kitab suci Veda,
melalui seer (dengan supernatural power) atau adikodrati mereka atau mantradrsta.

6.2 Kedudukan Veda bagi umat Hindu

Pada waktu kitab suci Veda dibentuk, mungkin sekali orang India kuno
belum mempunyai sistem tulis. Jadi, hal itu merupakan suatu hal yang yang luar

78
biasa, yang dilakukan oleh para pemuka dan penekun agama (Brahmana), untuk
mempelajari kitab suci Veda itu. Beliau menekuninya dengan cara yang luar biasa,
mengingat dan mengapalkan semua ajaran Veda dalam ingatannya, dengan cara
yang luar biasa juga, dalam kurun waktu yang lamanya sangat sulit ditentukan,
seandainya kita mencoba menentukannya. Paling sedikit selama 3000 tahun mereka
mempelajari Veda dengan cara seperti itu, yakni secara lisan turun temurun dari
mulut ke mulut.
Seandainya kita mempelajari dan menyimak sejarah India kuno, dengan
jelas sekali kita bisa melihat perubahan-perubahan yang terjadi semenjak zaman
Veda sampai zaman later Vedic. Tetapi kitab Veda selalu merupakan kitab tersuci
bagi umat Hindu dalam setiap zaman. Bahkan, sampai saat kini, semua upacara
dalam kehidupan umat Hindu, seperti: upacara perkawinan (vivahasamskara),
upacara kelahiran (jatakarma samskara), upacara kematian (antyesti samskara),
dan sebagainya, masih tetap dilakukan mengikuti dan menurut petunjuk kitab Veda.
Jadi mantra-mantra, doa-doa suci, yang dipergunakan oleh umat Hindu pada
saat sekarang, umurnya sudah ribuan tahun. Mantra Gayatri misalnya, kita temukan
di antara hymne-hymne (sloka-sloka) yang terdapat dalam Rg Veda, Veda yang
paling tua di antara keempat Veda. Lagi pula, mantra Gayatri tersebut sudah
merupakan mantra yang paling suci di antara semua hymne (sloka) dalam Rg
Veda.Pengaruh Veda, tidak saja kita rasakan sangat kuat dalam kehidupan umat
Hindu sehari-hari, tetapi juga pada karya sastranya, yang lahir pada zaman setelah
zaman Veda Semuanya berdasarkan Veda dan para penulis menerima bahwa hasil
karya mereka berdasarkan kitab suci Veda.
Pada keenam sistem filsafat Hindu (saddharsana) kita temukan bahwa
mereka selalu 'baku hantam' dalam mempertahankan ketenaran ide mereka, bahwa
ide atau filsafat merekalah yang paling setia kepaada kitab suci Veda. Semua
hukum dan peraturan-peraturan yang terdapat di India saat ini juga berdasarkan
Veda Bahkan, pada zaman Inggris menguasai India pun pemerintah Inggris
membuat hukum dan peraturan-peraturan di India berdasarkan kitab suci Veda.
Misalnya, pada hukum tentang warisan, pengangkatan anak dan sebagainya. Jadi,
walaupun kitab suci Veda itu sudah sangat tua usianya, namun Veda masih tetap
segar bugar bagi umat Hindu. Tidak ada perubahan yang terjadi pada kitab suci

79
Veda menurut umat Hindu. Kitab suci Veda selalu merupakan kitab suci bagi umat
Hindu dari zaman ke zaman.

6.3 Pembagian kesusatraan Veda

Bagi kita yang baru pertama kali mempelajari kesusastraan Sanskerta,


biasanya sering bingung ketika kita menemukan kata 'veda' atau 'sruti'. Kata veda
sebenarnya bukan nama satu jenis kitab, tetapi merupakan hasil kesusastraan pada
zaman tertentu dan berkelanjutan dalam jangka kurtun waktu amat lama, lebih dari
2000 tahun lamanya. Karena itulah para sarjana sepakat membuat pembagian untuk
kitab itu karena jangka waktu yang begitu lama masa pembuatannya (masa
terbentuknya), serta melibatkan banyak resi pada pembentukannya.
Seandainya secara kasar kita membuat pembagian kitab Veda itu atas dasar
subjek yang dibicarakan dan bahasanya, kita bisa menemukan empat tipe yang
berbeda. Keempat tipe tersebut adalah: (1) kitab Samhita atau koleksi verse-verse;
(2) kitab Brahmana; (3) kitab-kitab Aranyaka (harta dari hutan); dan (4) adalah
kitab-kitab Upanisad.
Kitab-kitab tersebut di atas, dianggap amat suci bagi umat Hindu dan para
resi. Oleh karena itu, mereka merasa tidak patut mencatatnya atau menulisnya.
Tetapi mereka harus mendengarkan uraian-uraian para guru (resi), dan kemudian
disimpan dalam ingatan semua ajaran itu. Tradisi itu juga yang menyebabkan,
kitab-kitab tersebut dikenal sebagai kitab sruti, yang berarti semua yang didengar.
(seperti para resi mendengar ajaran itu (wahyu) dari Tuhan/Brahman).

6.4 Kitab-kitab samhita

Kita menemukan adanya empat samhita (kumpulan): (1) Rg Veda samhita,


(2) Samaveda samhita, (3) Yajurveda samhita, dan (4) Atharvaveda samhita. Dari
keempat samhita itu, Rg Veda merupakan yang tertua. Samaveda hampir tidak
mempunyai arti banyak, karena semua stansa (sloka) yang terdapat di dalamnya
diambil dari Rgveda. Fungsinya hanya untuk diucapkan menurut melodi.
Sedangkan Yajurveda samhita menambahkan banyak formula kitab Rg Veda. Lalu

80
Samaveda dibuat sedemikian rupa untuk Soma sacrifice (upacara Soma).
Sedangkan Atharvaveda samhita berfungsi pada waktu pembuatan upacara-
upacara.
Rigveda samhita agak berbeda dengan ketiga samhitaa lainnya, karena
syair-syairnya (sloka-slokanya, verse-verse) diatur menurut kepada Dewa siapa
sloka-sloka itu ditujukan. Jadi, pada Rigveda kita menemukan, misalnya, sloka-
sloka/verse untuk: Dewa Agni, Indra, dan sebagainya.
Samhita yang keempat, Atharvaveda samhita, merupakan samhitayang
termuda. Kita catat pendapat Prof. Machdonell atas Atharvaveda: Kitab ini
sebenarnya tidak begitu berbeda dengan kitab Rigveda. Hanya Atharvaveda
mencerminkaan (mewakili) jalan pemikiran orang yang lebih primitif.Sementara
kitab Rigveda melibatkan dewa-dewa, Atharvaveda melibatkan magic-magic
mantra untuk para raksasa, blackmagic dan sebagainya. Jadi Mackdonell
berpendapat, bahwa Rigveda dan Atharvaveda-lah yang terpenting dari keempat
veda samhita itu.

6.5 Kitab-kitab Brahmana


Kitab-kitab ini merupakan kitab 'theological' dan tumbuh setelah samhita,
serta sangat berbeda dengan samhitaa. Kitab itu ditulis dalam bentuk prosa. Isinya
menerangkan tentang arti-arti rahasia bermacam-macam ritual (upacara) bagi umat
Hindu yang awam.
Kitab Brahmana bersifat intelektual, mendiskusikan semua upacara,
mengenai arti, gunanya, asal-usul upacara tersebut dan sebagainya. Jadi, pada kitab-
kitab Brahmana itu, kita banyak menemukan simbol-simbol dan juga penuh dengan
dogma-dogma. Dari kitab Brahmana itulah kita mendapatkan gambaran, bahwa
sebelumnya, upacara-upacara di dalam agama Hindu dilakukan dengan cara yang
sangat sederhana Tetapi ketika kitab itu mulai terbentuk, upacara-upacara di dalam
agama Hindu menjadi sedemikian rumit. Di situ mulai timbul banyak jenis upacara
yang harus dilakukan oleh pandita dan jenisnya juga banyak, menurut derajat para
pandita.
Kita bisa menarik kesmipulan di sini, bahwa pada zaman itulah sistem kasta
mulai terbentuk dan semenjak itu juga semua urusan yang bersangkutan dengan

81
agama dikonsentrasikan pada upacara. Para sarjana berpendapat, zaman kitab
Brahmana berlangsung sebelum tahun 500 SM.

6.6 Kitab-kitab Aranyaka


Setelah kitab-kitab yang telah kita sebutkan di depan, bentuk lain yang
berkembang adalah Aranyaka (artinya harta benda hutan belantara). Kitab-kitab itu
kemungkinan disusun (kompused) bagi mereka yang melakukan kehidupan sebagai
sanyasin atau bhiksuka, hidup di hutan belantara. Jadi, mereka tidak mampu untuk
melakukan upacara-upacara.
Di dalam kitab-kitab itu meditasi kepada simbol tertentulah yang
diutamakan. Sedangkan upacara ditempatkan pada nomor dua. Di situ kita
menemukan satu tahap perkembangan yang drastis sekali di dalam agama Hindu.
Upacara-upacara tidak begitu penting lagi. Di situ timbul satu filsafat yang
berusaha menekuni dan mencari arti apakah kebenaran itu.
Seandainya kita mempelajarinya, misalnya dari Brihadaranyaka Upanisad:
bentuk upacara kuda (asvamedha) yang sangat populer pada saat itu sudah berubah
bentuknya menjadi satu bentuk meditasi yang ditujukan kepada Usas (Sang dewi
Fajar) sebagai kepala kudanya, dan matahari sebagai mata kudanya, serta udara
sebagai kehidupannya kuda dan sebagainya. Jadi, upacara-upacara kini beralih ke
bentuk meditasi dan filsafat, serta pengetahuan tentang kebenaran menjadi tujuan
hidup yang utama
Pada zaman itu, di zaman Aranyaka, terjadi suatu perubahan darastis dalam
jalan pikiran umat Hindu. Dalah hal itu, Aranyakalah yang membuka jalan untuk
munculnya ajaran-ajaran Upanisad, ajaran filsafat yang berpedoman kepada Veda.
Kemudian Upanisadlah yang menjadi sumber aliran-aliran filsafat Hindu dan
menjadi sumber jalan pikiran umat Hindu.

6.7 Polytheistik, Henotheistik, dan Monotheistik


Banyaknya jumlah dewa yang kita temukan di dalam kitab Veda, mungkin
membuat orang mempunyai pikiran, bahwa Vedic Hindu bersifat polytheistik.
Tetapi bagi mereka yang mempelajari kitab Veda dengan sangat cermat, serta teliti,
dan bagi mereka yang intelligent, mereka akan menemukan bahwa agama Hindu
(Vedic Hindu), tidak politeisme dan juga tidak monoteisme, tetapi mempunyai

82
sistem kepercayaan tersendiri.Di dalam Vedic Hindu kita menemukan: seandainya
seseo rang mempunyai dan memuja satu Dewa tertentu, maka dewa-dewa lainnya
secara otomatis menjadi dewa-dewa minor, subdewa dalam fungsinya.
Max Muller menamakan bentuk kepercayaan itu sebagai bentuk henoteisme
atau katenoisme, yang berarti percaya kepada satu dewa di antara para dewa dan
setiap dewa secara bergiliran menjadi yang tertinggi.Tetapi jalan pikiran pada
kepercayaan itu, terus berkembang bersamaan dengan perkembangan zaaman dan
bentuk monotheism kian menjadi nyata pada sejarah perkembangan agama Hindu.
Di dalam kitab Hindu kuno, kita menemukan satu bentuk, misalnya
Prajapati (lord/raja semua mahluk). Tentang itu jelas sekali diterangkan dalam
Rgveda X.121 (Rgv., X.121), bahwa Prajapatilah yang tertinggi dan maha kuasa.
Jalan pikiran agama Hindu yang terus menuju bentuk monotheism juga kita
temukan padaRgveda X .82.3, yaitu untuk Visvakarma , pencipta semuanya.

Baiklah kita mencoba menerjemahkan sloka (verse) Rgveda X.82.3: "Siapa


Bapak, Pencipta dan pembuat kita. Dia yang mengetahui segala tempat dan segala
mahluk. Dari siapa semua dewa mendapat nama mereka. Kepada Dia semua
mahluk memohon diri-Nya".

6.8 Brahman
Menyusul yang telah diuraikan di depan, kemudian kita menemukan
munculnya konsep Brahman sebagai Tuhan. Hal itu kita temukan pada aliran
filsafat Vedanta. Sedangkan arti dan makna Brahman yang sesungguhnya masih
diperdebatkan oleh para sarjana. Salah seorang resi, bernama Resi Sayana memberi
arti tentang brahman itu sebagai Mahabesar. Sedangkan menuerut kitab Satapatha
Brahmana, Brahman(netral), adalah asal mula alam semesta. Dia (Brahman),
menciptakan dewa-dewa dan memberi tugas-tugas para dewa untuk mengatur alam
semesta ini, misalnya : Agni mengatur api, Vayu untuk angin dan sebagainya.
Kemudian sebagai Yang Maha Kuasa, Brahman kadang-kadang juga disebut
sebagai Prajapati, Purusa, dan Prana. Di samping itu Brahman sering juga disebut
sebagai Svayambhu.

6.9 Konsep Atman menurut filsafat Veda

83
Umat Hindu percaya (sraddha), bahwa jiwa (atman) manusia akan dapat
terpisah pada saat mereka meninggal. Di dalam kitab Satapatha Brahmana
disebutkan, bahwa barang siapa yang tidak melakukan kejidupan dengan
semestinya, akan terlahir kembali (reinkarnasi, punarbhava), setelah ia meninggal
dan akan kembali mengalami kesengsaraan (samsara), jara marana, dan seterusnya
akan mengalami kematian kembali, dan seterusnya.
Dalam sloka Rg Veda (X. 58.), disebutkan bahwa jiwa (atman) seseorang
tanpa disadari dapat diundang untuk kembali kepadanya dari pohon, langit, dan
sebagainya.Bahkan pada banyak sloka (hymne) juga kita mendapat gambaran,
bahwa ada alam lainnya yaitu alam yang penuh dengan kebahagiaan, seandainya
mereka berbuat baik pada masa hidupnya atau alam yang penuh dengan
penderitaan, seandainya berbuat jahat pada masa hidupnya.

Kitab Satapatha Brahmana menerangkan, bahwa setelah kematian


seseorang / mereka harus melewati api yang membakar mereka yang tidak baik
tingkah lakunya selama masa hidupnya dan membiarkan mereka yang tidak hangus
terbakar Semua uraian yang disebutkan di depan, membuktikan bahwa sudah ada
konsep moral idea pada zaman itu. Begitu juga sudah ada satu hukum yang
bernama hukum karma.
Di dalam Rg Veda juga banyak kita temukan kata-kata seperti: manas,
atman, dan asu untuk jiwa. Justru kata atman inilah yang kemudian hari terus
dipakai sampai sekarang dalam agama Hindu. Jadi, kesimpulan kita adalah pada
zaman sebelum zaman Upanisad sudah ada kepercayaan (sraddha) terhadap atman.

6.10 Upacara (sacrifice = kurban = asal mula hukum karma)

Walaupun tendensi agama Hindu menuju ke bentuk monotheisme terus berlangsung


dengan pesat pada zaman itu, bentuk-bentuk upacara (sacrifice) untuk dewa-dewa atau
sacrifices untuk bentuk polytheism masih tetap terus berlangsung dan bahkan bertambah
rumit. Tetapi atas power/kekuatan para dewa yang dipuja di dalam sacrifices tersebut
menjadi tidak begitu penting dan utama. Tetapi justru kekuataan magic terletak pada
bentuk upacara (sacrifices) sendiri.

84
Bentuk banten (sesajen, offering) tidak disadari atas devotion (bhakti) seperti
halnya bentuk banten yang kita temukan pada zaman Hindu berikutnya, terutama setelah
timbulnya sekte Vaisnava.Karena begitu penting dan powerfulnya sacrifices, maka mereka
(umat Hindu) harus sangat hati-hati melakukannya. Tidak boleh salah mengucapkan
mantra-mantranya dan nadanya.
Lain daripada itu, juga tidak boleh salah sewaktu menuangkan mentega (gee) ke
dalam api upacara dan tidak boleh salah mengatur perlengkapan-perlengkapan upacara.
Kesalahan sedikit saja dapat menyebabkan kefatalan dan kegagalan bagi mereka yang
melakukan sacrifice /upacara yadnya itu. Contoh seperti itu, bisa kita temukan dalam
mitologi, bagaimana raksasa Tvastr salah mengucapkan mantra sehingga justru dia yang
terbunuh oleh musuhnya, Indra.Tetapi seandainya sacrifice / upacara sudah dilakukan dan
berjalan dengan sempurna, maka tidak ada satu kekuatan pun yang mampu menggagalkan
tujuan upacara tersebut.
Jadi jelaslah di sini, bahwa hasil upacra tidak tergantung pada belas kasih para
dewa, tetapi tergantung pada upacaranya sendiri, pada hasil upacaranya sendiri.Menurut
umat Hindu, sacrifices (upacara kurban) itu sama seperti halnya dengan kitab Veda bersifat
kekal dan tidak mungkin kita bisa mencari dan menentukan asal mulanya. Di samping itu
umat Hindu juga percaya, bahwa alam semesta ini (macrocosmos, bhuwana agung) tercipta
karena sacrifices (upacara yadnya) yang dilakukan oleh Brahman/Purusa (Tuhan).
Jadi, upacara yadnya /sacrifices, sesungguhnya tidak ditujukan atau tidak
dipersembahkan kepada para dewa. Hasil yang dicapai (melalui yadnya) tergantung dan
diperoleh langsung dari kekuatan upacara itu sendiri, seandainya upacara yadnya itu
dilakukan secara sempurna.Walau kita kadang-kadang menemukan tentang disebutkannya
beberapa dewa dan pemberian atau persembahan sesajen, banten kepadanya. Tetapi
sebenarnya fungsi dewa-dewa tersebut hanyalah sebagai alat pelengkap keberhasilan
sacrifices/upacara/yadnya. Jadi, sacrifices / upacara / yadnya mempunyai potensi power,
yang luar biasa, yang bahkan lebih besar dari kekuatan para dewa. Malahan, kita juga
menemukan , bahwa mereka /umat Hindu yang melakukan upacara/yadnya kadang-kadang
bisa menjadi dewa karena kesempurnaan upacara yadnya /sacrifices yang mereka lakukan.

85
BAB VII
SISTEM KALENDER DAN TAHUN HINDU INDIA

7.1 Kalender

Sistem perhitungan dan pencatatan waktu di India, tidak berdasarkan sistem


solar, tetapi menggunakan sistem tihti atau lunar day. Satu bulan tithi (lunar) ada
30 hari. Sedangkan kalau sistem solar, satu bulannya ada 29 hari. Kemudian yang
satu bulan itu dibagi menjadi dua bagian atau paksa: (1) dimulai dengan 'bulan
penuh' (purnima vasya), dan (2) 'bulan baru ' (amavasyaatau bahula vasya).
Masing-masing bagian atau paksa, terdiri dari 15 hari. Dua minggu yang pertama,
dimulai pada 'bulan pertama'(baru, Bali: tanggal pisan,sehari setelah tilem), disebut
'pertengahan terang' (suklapaksa), dan dua minggu berikutnya, dimulai setelah
bulan purnama (Bali: panglong pisan), disebut 'paro bulan gelap' atau kresnapaksa.
Menurut tradisi India Utara dan sebagian Deccan, bulan dimulai dan
diakhiri pada 'bulan penuh' atau purnama (purnima). Sedangkan di daerah Tamil,
bulan biasanya dimulai pada 'bulan baru.' Perlu juga diketahui, bahwa di India
sampai sekarang kalender Hindu masih dipergunakan sebagai kepentingan
agama.Jadi, suklapaksa mulai dari 'bulan baru' (Bali: tanggal pisan), sampai dengan
'bulan purnama' (purnima), dan kresnapaksa mulai 'bulan purnama' sampai 'bulan
baru' (amavasya atau bahula vasya).
Selanjutnya, penentuan kapan 'hari' (tithi) itu dimulai, menurut sistem solar?
Biasanya, dimulai pada jam berapa saja; atau dengan kata lain tidak ditetapkan
secara pasti dan tegas. Namun, untuk memudahkan pencatatan waktu, perhi tungan
'hari' (tithi), dimulai pada saat matahari terbit, dan berakhir pada saat sebelum
matahari terbit berikutnya. Jadi, bukan pada pukul 00.00, seperti sistem pergantian
hari secara masehi.Dalam satu tahun Hindu (India) ada 12 lunar (bulan).

Adapun nama-nama bulan tersebut sebagai berikut:


1) Caitra, (Maret-April)
2) Vaisakha, (April-Mei)
3) Jyaistha, (Mei-Juni)
4) Asadha, (Juni-Juli)

86
5) Sravana, (Juli-Agustus)
6) Bhadrapada atau Pransthapada, (Agustur-September)
7) Asvina atau Asvayuja, (September-Oktober)
8) Kartika, (Oktober-November)
9) Mayasira atau Agrahayana, (November-Desember)
10) Pausa atau Taisa, (Desember-Januari)
11) Magha , (Januari-Pebruari)
12) Phalguna, (Pebruari-Maret)

Sedangkan pada zaman kuno, nama-nama bulan yang kita temukan dalam
Veda atau puisi/sastra adalah sebagai berikut:
1) Madhu 7) Urja
2) Madhava 8) Sahas
3) Sukra 9) Sahasya
4) Suci 10) Tapas
5) Nabhas 11) Tapasya
6) Jsa

Menurut sistem di India, biasanya perhitungan tahun dimulai pada bulan


Caitra. Namun, kadang-kadang ada kalanya dimulai pada bulan Kartika atau pada
bulan yang lainnya.
Di samping itu, di India ada juga sistem penentuan musim (rtu). Setiap
musim lamanya dua bulan. Dengan demikian, di India ada enam musim (rta)
sebagai berikut:
1) Vasanta, Spring, (Maret-April)
2) Grisma,Summer, (Mei-Juni)

3) Varsa, rains, (Juli-Agustus)


4) Sarad, autum, (September-Oktober)
5) Hemanta, winter, (November-Desember)
6) Sisira, cool, (Januari-Pebruari)
Dalam satu tahun kalender Hindu (12 bulan), ada 354 hari; jadi berbeda
dengan tahun Masehi, yakni 365 hari. Untuk mengatasi perbedaan itu, sejak zaman

87
dahulu sudah diselesaikan permasalahannya. Dalam setiap 62 bulan lunar, dikira-
kirakan sama dengan 60 bulan solar.Jadi, setiap 30 bulan lunar ada sisipan satu
bulan ekstra dalam satu tahun, seperti juga di Babylonia. Penamba-han bulan ekstra
itu, biasanya dilakukan setelah bulan Asadha atau Sravana, yang disebut
Asadhadvitya atau Sravana dvitya(Asadha, Sravana kedua).Dengan demikian,
setiap tahun kedua dan ketiga terdiri dari 13 bulan, dan berarti 29 hari lebih panjang
daripada tahun lainnya.
Kalender Hindu (India) memang kurang efisien, karena sangat berbeda
dengan kalender solar lainnya. Bahkan sangat sulit untuk mengetahui hari-hari
penting Hindu (Bali: dewasa ala ayu), dalam waktu singkat. Sistem penulisan
tanggal India, ditulis menurut urutan sebagai berikut: bulan paksa, tithi, istilah
tambahan sudi dan badi, untuk pertengahan terang dan gelap. Misalnya, Caitra sudi
7, berarti hari ketujuh bulan baru/purnama bulan Caitra.Sesungguhnya sistem
'kalender solar' diimport dari 'astronomi Barat', yang juga sudah dikenal sejak
zaman Raja Gupta (ke atas). Namun, pengaruh itu tidak mendesak dan tidak
mennggeser kedudukan sistem kalender luni solar kuno. Walaupun penggunaan
penanggalan sistem kalender solar dalam pencatatan kuno lebih tepat, dengan
kedominanan naksatra hari dipertanyakan, setelah penanggalan hari solar yang
teratur.
Nama-nama bulan kalender solar, diberi nama menurut nama-nama zodiak,
yang penerjemahannya sangat mirip dengan yang asli Yunani, yaitu sebagai
berikut:

2) Vrshaba Taurus
3) MitunaGemini

4) Karkata Cancer
5) Simha Leo
6) Kanya Virgo
7) Tula Libra
8) Vrscika Scorpio
9) DhanusSagitarius
10) Makara Capricorn

88
11) Kumbha Aquarius
12) MinaPisces

Di samping itu kalender solar juga memperkenalkan bahwa dalam satu


minggu ada 7 hari. Kemudian ketujuh hari tersebut diberi nama menurut nama-
nama planet, seperti yang ada pada sistem Greco-Roman, yaitu sebagai berikut:
1) Ravivara Minggu (matahari)Redite
2) Somavara Senin (bulan) Soma
3) Manggalavara Selasa Anggara
4) Budhavara Rabu Budha
5) Brhaspativara Kamis Wraspati
6) Sukravara Jumat Sukra
7) Sanisvara Sabtu Saniscara

7.2 Tahun Hindu (India)


Menurut penyelidikan, ternyata sampai pada abad pertama sebelum Masehi
(abad 1 BC), tidak ditemukan adanya bukti yang bisa dipercaya, bahwa India telah
mempunyai sistem regular yang dipakai untuk mencatat tahun kejadian-kejadian,
dengan menulis penanggalan pada satu era (tahun) yang difi-nitip seperti AUC
bangsa Roma atau era Christiannya Eropa.
Prasasti-prasasti (inscripsi) kuno, biasanya ditulis tanggalnya pada tahun
berkuasanya seorang raja. Sedangkan ide penanggalan panjangnya satu periode dari
titik tahun, jelas dibawa ke India oleh para invader dari north-west. Mereka
meninggalkan prasasti-prasastinya memakai tahun India. Namun, sayang sekali
bangsa India tidak mengikuti dan tidak memakai satu jenis sitem tahun dengan
seragam.Di India berlaku atau dipakai beberapa jenis sistem tahun (era) antara lain
sebagai berikut:

7.2.1 Tahun Vikrama atau Vikrama era (58 BC)


Menurut tradisi (kepercayaan, tidak menurut fakta sejarah), tahun Vikrama
didirikan oleh seorang raja, bernama Vikramaditya. Beliau berhasil mengusir
mengusir bangsa Saka keluar dari wilayah Ujjayini dan kemudian

89
mendirikan tahun (era) Vikrama, sebagai tanda untuk merayakan kemenangannya
pada tahun 58 BC (sebelum Masehi).
Tetapi menurut sejaarah, bahwa satu-satunya raja yang memaakai titel atau
nama Vikramaditya dan yang berhasil mengenyahkan kaum Saka keluar dari
Ujjayini, adalah Candra Gupta II. Rjaa itu hidup lebih dari 400 tahun sesudah tahun
(era) itu sendiri berdiri (58 BC ). Dengan demikian, legenda atau tradiri itu tidak
benar.
Di dalam prasasti-prasasti kuno yang menggunakan tahun (era) ini semua
prasasti ini berasal dari western India, eranya disebut sebagai kreta (didirikan atau
diturunkan oleh suku Malava). Beberapa sarjana percaya, baahwa banyak prasasti
kaum Saka Palava dari north-west India menggunakan tahun ini, yang didirikan
oleh Azes, salah seorang raja kunanya. Namun hal itu masih diragukan
kebenarannya.
Era (tahun) ini (Vikrama) paling populer di India Utara aslinya. Tahun
Vikrama dimulai pada bulan Kartika, tetapi pada zaman abad pertengahan ;tahun
Vikrama dimulai pada paro (pertengahan) terang (suklapaksa) bulan Caitra di
Utara, dan pada pertengahan (paro) gelap (kresnapaksa) bulan yang sama di
Penisula.

7.2.2 Tahun Saka atau Saka Era (mulai tahun 78 M)


Menurut legenda, tahun ini didirikan oleh Raja Saka, yang menduduki
Ujjayini, 137 tahun setelah Vikramaditya. Namun, menurut fakta sejarah, era
(tahun) ini didirikaan oleh Raja Kanishka, dari dinasti Kushana dan dengan pasti
tahun (era) ini digunakan oleh Westum Satraps pada awal abad kedua Masehi.
Westum Satraps menguasai Malawa, Kathiavar dan Gujarat. Jadi penggunaan tahun
Saka ini menyebar ke Deccan dan dieksport ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

7.2.3 Tahun Gupta atau Gupta Era (320 M)


Tahun ini mungkin didirikan oleh Candra Gupta I, dan penggunaannya
dilanjutkan oleh dinasti Maitraka di Gujarat sampai beberapa abad lamanya setelah
kerajaan Gupta jatuh.

7.2.4 Tahun Harsa atau Harsa era (606 M)

90
Tahun ini didirikan oleh Raja Harsa Vasdhana dari Kanyakubja. Era ini
polpuler di India Utara sampai satu atau dua abad setelah kematiannya.

7.2.5 Tahun Kalacuri atau Kalacuriera (248 M)


Tahun ini mungkin didirikan oleh satu dinasti kecil, yang bernama dinasti
Traikuta. Era ini dipergunakan di India Tengah, sampai waktu invasi Islam.

7.2.6 Tahun lokal dan penting pada periode tertentu

7.2.6.1 Tahun Laksmana (Laksmanaera), dari Bengal (1119 M).


Beberapa sarjana berpendapat, bahwa era ini didirikan oleh raja Laksmana
Sena, namun kebenarannya masih diragukan.

7.2.6.2 Tahun Saptarsi atau Laukita Era


Digunakan di Kashmir pada abad pertengahan dan dicatat di dalam
lingkaran mulai 75 tahun, setelah satu abad era Kristen.

7.2.6.3 Licchavi Eraa dan Neyar Era dari Nepal (Masehi 110 dan 878).

7.2.6.4 Kollam era dari Malamar (825 M).

7.2.6.5 Vikramaditya era VI Calukya (1075 M).

7.2.6.6 Kaliyuga era (3102 BC),


Lebih sering dipakai untuk tujuan keagamaan dan jarang untuk politik.

7.2.6.7 Buddha Era (544 SM)


Dipergunakan di Ceylon dari zaman yang sulit diterka.

7.2.6.8 Mahavira Era (528 SM)


Dipakai oleh umat Jaina.

91
Sampai saat kini di India hanya ada empat era (tahun) yang masih
dipergunakan untuk keagamaan, yaitu: Buddha era, Mahavira era, dan Saka era.
Sedangkan tahun-tahun yang lainnya sudah punah.

92
BAB VIII
HARI RAYA DAN UPACARA YADNYA

A. HARI RAYA / SUCI


8.0. Pendahuluan

Sesuai dengan karakter atau sifat agama Hindu yang universal berdasarkan
istadevata dan adikara, maka timbullah berbagai variasi di dalam pelaksanaannya.
Varian-varianpelaksanaan itu mengikuti kebudayaan masyarakat penganutnya, yang
meliputi sila, acara, dan atmatusti. Begitu juga di Indonesia, yang juga memiliki
kebudayaan tersendiri, dengan berbagai suku bangsanya, menerima agama Hindu
tersebut disesuaikan dengan desa, kala, dan patra (tempat, waktu, dan keadaan),
seperti apa yang ada sekarang. Keseluruhan ajaran agama Hindu diramu sedemikan
rupa (seperti telah diuraikan pada buku yang lalu), termasuk hari-hari yang
dirayakan dan disucikan. Oleh karena itu, perayaan keagamaan pada umumnya
bersifat lokal dan regional. Ada perayaan keagamaan yang amat penting di
daerah/wilayah/negara tertentu, namun hampir tidak dikenal di
daerah/wilayah/negara lain. Bahkan, ada perayaan keagamaan yang berdasarkan
legenda atau mitologi setempat, sehingga tidak ditemukan dalam pustaka suci.
Itulah keunikannya.
Seperti juga telah diuraikan pada bab vii (sistem kalender), bahwa
pergantian hari terjadi pada pagi dini hari saat matahari terbit. Jadi tidak pada pukul
00.00 seperti biasa yang dianut oleh tahun masehi, tetapi pada saat subuh pukul
06.00. Di samping itu, sistem luni solar yang dipakai untuk menentukan tahun
Saka. Sedangkan di Indonesia, sudah membudaya sistem kalender tersendiri yang
disebut pawukon. Sistem itu berdasarkan wuku, banyaknya ada wuku. Satu wuku
ada tujuh hari. Dengan demikian satu putaran sistem kalender pawukon ada 210
hari (30x7hari). Di samping wuku, ada lagi beberapa pasar/ wara/ hari yang
mempunyai sifat sendiri-sendiri. Namun, yang berhubungan dengan hari
raya yang disucikan hanyalah pancawara, dan saptawara saja dikombinasikan
denganpawukon tersebut. Pancawara terdiri dari 5 wara/ hari: umanis atau legi,
pahing, pon, wage atau cemeng, dan kliwon. Dari legi atau umanis mencari umanis
berikutnya ada lima hari. Saptawara terdiri dari tujuh hari: Radite, Soma, Anggara,

93
Budha, Wrehaspati, Sukra, dan Saniscara (Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis,
Jumat, Sabtu).
Ternyata, pengombinasian kedua wara dan wuku itulah yang dipakai untuk
menentukan hari raya, seperti: Pagerwesi, Galungan, Kuningan, dan Saraswati. Di
samping itu juga ada hari-hari yang dipergunakan untuk piodalan dan hari raya
lokal dan khusus untuk menghormati tertentu, seperti: anggarkasih (Selasa kliwon),
tumpek (Sabtu kliwon), buddha manis, budha kliwon, dan budha wage, yang
masing-masing ada enam macam dalam 210 hari (bukan hanya satu macam).
Jadi, hari-hari raya yang disucikan umat Hindu di Indonesia, sebagian
berdasarkan: (1) sistem luni solar (mengikuti India) dan (2) sebagian berdasarkan
sistem pawukon.
Hari-hari raya yang berdasarkan sistem lunisolar: (a) Sivaratri, dan (b)
Nyepi/Tahun Baru Saka. Sedangkan hari-hari raya yang berdasarkan pawukon: (a)
Pagerwesi, (b) Galungan, (c) Kuningan, dan (d) Saraswati

8.1 Hari Raya/Suci Sivaratri


Sivaratri (Sivalatri) adalah hari raya suci dalam agama Hindu yang
dirayakan setiap hari ke-14 paruh gelap (caturdasi krsnapaksa, atau panglong ping
14), pada bulan ketujuh Magha-Palghuna atau kapitu), yaitu antara februari-Maret.
Jadi, setahun sekali, sebelum hari raya Nyepi.

8.1.1 Asal-usulnya

Dalam Purana disebutkan bahwa Brahma lahir dari bunga lotus (teratai).
Sedangkan lotus itu tumbuh dari pusarnya Visnu. Brahma ingin mencari pangkal
tangkai bunga lotus tersebut. Tangkainya panjang sekali. Akhirnya, ia (Brahma)
menemui Visnu sedang santai berbaring merendam badannya dalam air yang
sedang mengalir.
Brahma segera bertanya, "Wahai! Siapakah Anda sesungguhnya?"
Mendengar itu Visnu pun menjawab, sambil tersenyum, "Hai Brahma! Aku ini
Visnu! Aku adalah ayahmu!" Mendengar jawaban itu Brahma merasa tidak percaya
dan membantah keras. Perang mulut pun terjadi, tidak bisa dihindarkan. Brahma
emosi, bahkan menantang Visnu untuk mengadu kesaktiannya, yakni perang

94
tanding dengan senjata saktinya masing-masing. Visnu masih tetap santai menerima
tantangan tersebut.
Pertarungan senjata pun dimulai. Brahma mengeluarkan senjata
handalannya, yaitu Brahmastra, yang sangat terkenal kesaktiannya. Melihat itu,
Visnu pun mengeluarkan senjata ampuhnya yang bernama Pasupatastra. Maka
kedua senjata tersebut bertarung dengan dahsyat, sangat lama, tanpa henti-hentinya
sehingga para dewa di Suralaya merasa berkeberatan dan langsung memprotesnya
beramai-ramai.
Mendengar protes para dewa itu Brahma dan Visnu berusaha menarik
senjatanya masing-masing, namun ternyata tidak mudah. Di luar perhitungan
mereka, kedua senjata itu terus berlaga siang dan malam, tidak bisa diberhentikan
oleh siapa pun termasuk pemiliknya masing-masing. Hal tersebut menjadikan
keduanya (Brahma dan Visnu) menjadi bingung dan putus asa! Berbarengan
dengan keputusasaan itu, secara tiba-tiba muncullah sebuah lingga berdiri tegak di
hadapan mereka. Lingga itu sangat besar dan sangt tinggi. Pangkal dan ujung nya
tidak kelihatan. Brahma dan Visnu menjadi heran dan tercengang. Saat itulah
Brahma memulai pertandingan lagi. Brahma menantang Visnu lagi untuk
bertanding, masing-masing mencari kedua ujung lingga tersebut. Perjanjiannya
sebagai berikut: (1) Brahma akan mencari ujung atau puncak lingga tersebut, dan
(2) Visnu harus mencari pangkal lingga itu. Siapa yang lebih dahulu
menemukannya, dialah yang menjadi pemenangnya.

Setelah setuju, maka Brahma pun langsung terbang membubung ke atas


mencari ujung atau puncak lingga tersebut. Makin tinggi Brahma terbang,puncak
lingga itu makin tinggi pulka. Akhirnya Brahma tidak sanggup mecapai puncak
lingga itu. Brahma pun turun ke bumi dengan sangat kecewa. Begitu juga Visnu. Ia
segera masuk ke dalam bumi untuk mencari pangkal lingga itu. Sama dengan
Brahma, makin dalam Visnu masuk ke dalam bumi, terbnyata pangkal lingga itu
bertambah makin ke dalam bumi. Akhirnya ia gagal juga menemukan pangkalnya
dan langsung naik ke atas bumi.
Keduanya sangat lelah dan masing-masing menceritakan kegagalannya.
Namun, anehnya dengan tiba-tiba pula lingga itu menghilang. Dengan lenyapnya
lingga tersebut, Brahma dan Visnu pun sangat heran dan menyerah kalah. Dalam

95
keadaan payah begitu, lenyaplah lingga dan muncullah Siva. Dengan sangat
mudahnya, dengan kedua tangannya Siva dapat menangkap kedua senjata Brahma
dan Visnu. Sambil tersenyum Siva menyerahkan kedua senjata itu kepada
pemiliknya masing-masing, yaitu senjata brahmastra kepada Brahma, dan
pasupatastra kepada Visnu.
Brahma dan Visnu ternganga keheranan dan tidak sempat berkata sepatah
pun sebagai komentar dan ucapan terima kasih. Siva pun langsung berkata, "Wahai,
Brahma dan Visnu! Ternyata Anda berdua tidak berdaya menagkap kembali senjata
Anda yang Anda pertarungkan siang dan malam, sehingga mengganggu
ketenteraman sorga. Para dewa pun pada memprotes kejadian itu; namun Anda
berdua tidak peduli. Bahkan Anda berdua melanjutkan pertarungan Anda dengan
berpacu mencari ujung dan pangkal Lingga Siva yang muncul dan lenyap secara
tiba-tiba di hadapan Anda berdua. Oleh karena itu, sebagai sanksinya bahwa sejak
saat ini Anda berdua beserta pengikut Anda harus turut memuja Siva pada Sivaratri
(Malam Siva).

8.1.2 Kebesaran Sivaratri

Dalam Sivaratrimahatmya dan Padmapurana disebutkan bahwa Sivaratri


mempunyai makna dan keajaiban yang sangat hebat. Dalam Sivaratrimahaatmaya
diceritakan bahwa Sukumara, putra seorang Brahmana terkenal dan terhormat di
kerajaan Kunjara, di tepi sungai Sindhu. Sukumara mempunyai tiga dosa yang
sangat besar, yaitu: (1) ia tidak mau mempelajari Veda; (2) ia (Sukumara) kawin
dengan seorang wanita candala, dan (3) terakhir ia mengawini putrinya sendiri.
Namun, karena ia pernah mengikuti upacara pemujaan pada hari Sivaratri di pura
Nagesvara, maka atmannya kemudian diterima oleh Siva di Sivaloka.
Dalam Padmapurana diceritakan bahwa Nisada sebagai pemburu. Kemudian
Mpu Tanakung menyadur cerita itu dalam bentuk kakawin, dengan judul
Sivaratrikalpa. Tokoh utamanya adalah Lubdhaka. Cerita ini sangat populer di
Indonesia. Luar biasa keberhasilan karya sastra tradisional gubahan Mpu Tanakung
itu (Dalam Padmapurana kata 'lubdhaka' dipakai hanya dua kali, dalam arti
'pemburu', bukan sebagai nama seorang tokoh). Mpu Tanakung menyebutkan
bahwa Lubdhaka adalah seorang pemburu dari suku terasing Nisada.

96
Mpu Tanakung menceritakan bahwa Sivaratri telah diajarkan untuk
diperingat sejak zaman purba. Namun, kemudian tidak dirayakan lagi, bahkan para
dewa pun telah melupakannya. Hanya Lubdhaka yang merayakannya saat 'malam
Siva' (Sivaratri) itu, walaupun dalam keadaan tidak sengaja dan tidak sadar. Oleh
karena itu, diumumkan klembali kepada masyarakat dan para dewa, agar
masyarakat dan para dewa, agar merayakannya kembali, Demikianlah, sejak saat itu
Sivaratri dibudayakan kembali, hingga saat kini.

8.1.3 Makna dan hakikatnya

Mengacu kepada Sivaratrikalpa, dijelaskan bahwa Lubdhaka adalah seorang


pemburu, yang jelas pekerjaannya membunuhi binatang-binatang buruannya.
Dalam agama Hindu, pekerjaan seperti itu sangat rendah disebut papa, hina.
Dalam lontar itu diceritakan bahwa Lubdhaka pada saat Sivaratri telah
melakukan pajagran (tidak tidur). Istilah 'jagra' sering diganti dengan 'tan aturu, tan
mrema, atanghi, atutur yang artinya tidak tidur. Konsep ajaran Siva
(Vrehaspatitattva), dijelaskan bahwa manusia yang dibelenggu oleh indrianya
(raga) diibaratkan seperti orang yang sedang aturu (tidur). Selanjutnya, manusia
yang selalu aturu itu disebut papa. Bagaimana konsep manusia papa bebas dari
papaneraka? Kalau sang atma menyadari jati dirinya (... yan matutur ikang atma ri
jatinya).
Untuk itu ajaran tentang brata (vrata): mona brata, pavasa, dan jagra
seyogyanya dilaksanakan pada saat Sivaratri. Dilandasi dengan trivrata itu
dilakukan pemujaan dan pemusatan pikiran (meditasi/samadhi) terhadap Siva/Sang
Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.
Adapun pelaksanaan trivrata itu dilaksanakan sejak subuh saat Sivaratri
sampai subuh/sore keesokan harinya. Tentu sangat tergantung pada kemampuan
masing-masing. Kemudian pada saat tilem (bulan mati/gelap), jika dilakukan
berdana punya(danapunya), sangat mulia pahalanya.Jadi, pada hakikatnya ajaran
Sivaratri merupakan usaha manusia untuk membebaskan dirinya dari belenggu
yang mencekamnya sehingga terbenam dalam papaneraka yang bergelimangan
berbagai noda, dengan melaksanakan tapa, brata, yoga, dan samadhi atau trivrata.

97
Kesimpulannya, dengan penyucian pikiran akan terwujud ucapan dan
tindakan suci menuju kebahagiaan lahir batin.

8.1.4 Pelaksanaannya

Secara bersama dapat dilakukan di sebuah lokasi (pura atau tempat yang
cocok). Jika sendirian dapat dilakukan di rumah, bersama keluarga. Tingkatan perlu
diperhatikan. Hal itu telah biasa diterapkan sejak lama. Pelaksanaan dan
pembudayaannya baru dimulai sekitar tahun 60-an. Sebelumnya hanya dilakukan
oleh para pandita/sulinggih. Sedangkan di Lombok (Mataram) saat itu yang
dipopulerkan hanyalah jagra-nya.
Jika di pura dilaksanakan, tentu tidak terlepas dari upacara
persembahyangannya dilengkapi dengan sarana selengkapnya. Hal itu pasti
bervariasi juga. Misalnya, di India caranya seperti seperti India juga. Sedangkan di
Indonesia, Parisada telah mengenalkan pola tertentu juga, seperti Indonesia.

8.2 Hari Nyepi / Tahun Baru Saka

Hari Raya Nyepi dirayakan sebagai hari suci bagi umat Hindu di Indonesia,
yang biasanya jatuh pada bulan Maret atau April sehari setelah tilem (bulan
gelap/mati: tanggal pisan). Pada saat itu, mulai pergantian tahun Saka, sehingga
pantas juga disebut tahun baru Saka, walaupun belum biasa, bagi umat Hindu di
Indonesia. Namun, bagi umat Hindu masa kini, mereka sudah membiasakan dirinya
di samping merayakan Nyepi secara tradisional, mereka juga memanfaatkan saat itu
seperti merayakan tahun baru Masehi, saling mengirimkan kartu dan telegram indah,
bahkan sms (short messages system). Tentu saja kelak cara dan kebiasaan itu akan
mentradisi juga, seperti halnya pengadaan dharmasanti (semacam halal-bihalal),
yang telah ditetapkan oleh Parisada sebagai salah satu hasil keputusan mahasabha
(kongres besar). Acara itu kini kian membudaya, apalagi setelah Hari Raya Nyepi
dinyatakan sebagai hari libur nasional oleh pemerintah.
Mengingat Hari Raya Nyepi merupakan perayaan Tahun Baru Saka, maka
sebelum diuraikan hal-hal yang berhubungan dengan Hari Raya Nyepi itu, terlebih

98
dahulu diuraikan sejarah pendirian tahun Saka itu sendiri, yang bermula di India.
Jika demikian, Raja Kanishka dari dinasti Kushana yang sangat berhubungan
dengan pendirian tahun Saka tersebut.

8.2.1 Kushana

Kira-kira pada dekade keempat abad kedua sebelum Masehi --biasanya tahun
yang diterima oleh kebanyakan para indologist/indolog adalah 165 SM -- Hiung-nu,
sebuah suku nnomad Turki, menang mutlak terhadap Yueh-chi, tetangga mereka di
Kan-su di sebelah barat laut (north-western) China.Dengan kekalahan itu, bangsa
Yueh-chi yang dipimpin oleh rajanya, terpaksa harus meninggalkan negerinya, sambil
membawa sanak keluarga dan harta benda yang dapat diselamatan. Dalam migrasi ke
arah barat, The Yueh-chi harus berhadapan dengan bangsa Wu-sun di tepi sungai Ili.
Dalam pertempuran itu, ternyata Yueh-chi dapat mengalakan dan mengusir bangsa
Wu-sun, bahkan berhasil membunuh raja / pemimpin Wu-sun, yang bernama Nan-
teou-mi. Bangsa Yueh-chi menguasai seluruh wilayah bangsa Wu-sun. Namun, tidak
berapa lama kemudian, di daerah itu juga, bangsa Yueh-chi pecah menjadi dua seksi.
Satu divisi terus melanjutkan perjalanannya ke arah selatan dan kemudian menetap di
daerha perbatasan Tibet, yang kemudian dikenal dengan sebutan Yueh-chi Kecil (Siao
yueh-chi). Sedangkan divisi besarnya, terus melanjut-kanperjalanannya dan
berperang melawan bangsa Saka, (yang juga sudah terdesak dari daerah asalnya di
utara Jaxartes.
Namun demikian, bangsa Yueh-chi tidak lama tinggal didaerah talukannya,
sebab kemudian mereka dapat dikalahkan oleh Kwen-mo putra raja suku bangsa
Wu-sun, yang dahulu dibunuh oleh Yueh-chi. Kwen-mo datang menyerang mrbalas
dendam dengan bantuan Hiung-nu pada tahun 140 SM.

Oleh karena kekalahan itu, bangsa Yueh-chi kemudian melanjutkan


perjalannya/pengembaraannya menuju lembah Oxus. Di lembah itu, Yueh-chi harus
berhadapan dengan kaum Tahia (Bactrian) yang bermukim di lembah itu, yang
terkenal makmur dan pencinta damai. Peperangan pun terjadi, dengan diakhiri oleh
kemenangan Yueh-chi terhadap kaum Tahia yang terkenal pencinta damai itu.
Secara bertahap bangsa Yueh-chi dapat menguasai Bactria dan Sogdiana.

99
Kemudian pada awal abad Masehi mereka mulai menanggalakan kebiasaan
nomadiknya. Mereka mulai menjalani cara hidup baru yakni menetap di daerah
yang dikuasainya itu. Di situ bangsa Yueh-chi terbagi menjadi lima grup /
kelompok: Hieu-mi, Chouang-mo, Kouei-Chouang, Hi-thun, dan Kao-fu.

Selanjutnya, kira-kira satu abad setelah pembagian kelompok itu, the Yabghu
atau Yavuga dari kelompok Kouei-Chouang (Kushana) dapat mengalahkan
keempat kelompok lainnya, dan berhasil dipersatukan kembali di bawah satu
kerajaan dengan nama K'ieou-tsieouk'io. Raja ini (Wang), kemu-dian oleh para
sarjana diidentasikan sebagai Kujula Kadphises. Pendapat itu berdasarkan coin-coin
yang memberi informasi tentang raja tersebut. Raja Kujula Kadphises akhirnya
dapat memperkuat pengaruhnya di kawasan itu, pada saat melemahnya kejayaan
dan pengaruh Yunani di lembah Kabul. Beberapa koin memiliki nama Kujula Kasa
dalam bahasa Kharosthi dan Kozoulo Kadaphes dalam bahasa Yunani atau kadang-
kadang Hermaeus. Karena itu, mungkin kita bisa mengambil kesimpulan bahwa
kedua raja itu bersatu, dan mungkin untuk menahan kekuatan Pahlava. Namun,
secara perlahan-lahan akhirnya Kushana berhasil dapat menguasai daerah
kekuasaan Yunani di daerah Kabul.
Kemudian Kujula Kadphises menyerang Parthia, mengalahkan Kipin
(mungkin Gandhara), dan bagian selatan Afganisthan. Dia juga pasti berhasil
meraih kemenangan itu pada akhir-akhir masa hidupnya, setelah kematian
Gondophernes, yang menguasai Peshawar pada tahun 45 M menurut prasasti Takht-
i-Bahi. Para penulis China mengatakan, bahwa Kujula Kadphises hidup sampai
berumur 80 tahun. Jadi dari sini kita bisa mengambil tahun kematiannya pada kira-
kira pertengahan tida perempat abada kesatu Masehi.

8.2.2 Vima Kadphises

Melalui para sejarawan China, dapat diketahui bahwa Kujula Kadphises


kemudian diganti oleh putranya, bernama Yen-kao-chen. Nama raja itu kemudian
diidentitaskan sebagai"Raja Besar Uviama Kavthisa" atau Oemo atau wema atau
Vima Kadphises, yang tertera pada koin-koin. Dia dikenal karena penaklukkannya
atas India (T'ien-tchieou). Tetapi mungkin juga hal itu tidak benar seadainya kita

100
mengambil dari hasil literatur. Namun, dari penyebaran koin-koin yang begitu
sangat luas, dan mengambil landasan arti titel-titelnya "raja besar, raja di raja, raja
semua manusia", dan sebagainya, menunjukkan bahwa kekuasaannya sampai
bagian timur lembah Indus dan sampai ke Punjab dan kemungkinan samapai ke
United Provinces. Dia memerintah daerahnya di India, melalui seorang Viceroy,
yang memproduksi banyak koin tembaga, yang dikenal sebagai koin-koin
"Nameless king", yang banyak ditemukan di India Utara. Tampak pula penggunaan
istilah Mahesvara dan Nandi, dan juga gambar Siva pada koin-koinnya. Vima
Kadphises itu pasti menganut Siva. Jadi terlihat jelas bagaimana cepatnya kaum
Kushana mengadaptasikan dirinya pada lingkungan Hindu mereka.

8.2.3 Kanishka

Sesungguhnya tidak dapat dimungkiri lagi, bahwa Kanishka adalah sosok


raja yang paling besar di antara raja- raja Kushana India. Kanishka adalah seorang
raja penakluk dan pelindung yang sangat besar. Dia mampu mengombinasikan
kemampuan militer Candragupta Maurya dan kesadaran keagamaan Asoka pada
dirinya. Namun, sebenarnya pegetahuan kita tentang Kanishka dan kronologinya,
masih merupakan teka-teki bagi kita. Kita belum mengetahui dengan pasti
hubungannya dengan Vima Kadphises. Kemungkinan akan adanya gap sedikit
antara kedua raja itu, tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Namun, pergantian
langsung mungkin yang banyak diterima. Koin-koin Kanishka dan Vima Kadphises
ditemukan bersama-sama di beberapa tempat, seperti di Benares, Gopalpur Stupa di
distrik Gorakhpur, Begram dekat Kabul. Bentuk dan berat koin-koin tersebut
ternyata sama. Jadi, bukti numismaticnya dan stratifikasi penanggalan-penanggalan
koin Taxila menunjukkan zamannya Kanishka sangat berdekatan dengan Vima
Kadphises, dan yang pasti dia adalah pengganti Vima Kadphises.

8.2.3.1 Tahun Saka


Mengenai tahun pergantian antara Vima Kadphises dengan Kanishka,
terdapat beberapa pendapat sarjana. Namun, tahun pergantian tahtanya, pilihan
jatuh pada tahun 78 M dan 125 M. Walaupun ada beberapa tahun-tahun lainnya
yang disarankan oleh beberapa sarjana lainnya (R.C. Majumdar 248 M, Fleet 58

101
SM, R.G. Bhandarkhar 278 M). Kita tidak perlu membicarakan dasar perbedaan
pemikiran mereka di sini.
Hampir semua sarjana indologi berpendapat bahwa, sesungguhnya
Kanishkalah sebagai pendiri era 78 M. Hal itu tidak dapat diragukan lagi, bahwa
Kanishka mendirikan satu era, sejak cara penghitungannya dilanjutkan oleh para
penggantinya. Kita tidak mengetahui satu pun Samvat, yang berlaku di India Utara,
yang mulai pada akhir perempat pertama abad kedua Masehi. Tahun 78 M itu
biasanya diterima sebagai tahun Kanishka naik tahta.
Di samping, seandainya Kujula Kadphises wafat pada pertengahan perempat
ketiga abad pertama Masehi. Kalau begitu pasti Kanishka dekat sekali dengan tahun
itu, sebab Vima Kadphises naik tahta sebagai seorang octogenerian. Jadi, dia pasti
memerintah dalam waktu yang sangat pendek.

8.2.3.2 Penaklukannya
Kanishka adalah seorang prajurit yang sangat gagah perkasa dan berhasil
menang dalam banyak peperangan. Dia mengambil alih Kashmir dan memasukkan
ke dalam wilayahnya, kerajaan kushana. Dia sangat menyukai daerah Kashmir yang
baru ditaklukkannya itu.
Kalau kita mempercayai tulisan-tulisan para sejarawan China dan Tibet,
maka kita akan melihat bahwa kekuasaannya mencapai Saketa dan Magadha. Dari
sana dia berhasil membawa lari Bikkhu Buddha yang amat terkenal bernama
Asvaghosa. Selain itu juga disebutkan bahwa Kanishka berhasil memukul mundur
serangan yang dilakukan oleh raja bangsa Parthian. Tetapi tindakannya yang paling
penting adalah dengan banggsa China. Tindakannya itu membuahkan hasil
penanklukkannya atas Kashgar, Khotan, dan Yarkand. Bangsa China yang
kekuasaannya di Asia Tengah melemah pada akhir dinasti Han pertama tahun 23
M.
Namun, mereka bangkit kembali setengah abad kemudian, dan melakukan
gerakan yang sangat mantap ke arah barat di bawah pimpinan Jendral Pan-chao.
Hal itu tentu saja mengusik raja Kanishka. Raja Kanishka merasa bahwa
kedudukannya sama dengan Kaisar China. Karena itu, ia meminta seorang putri
China untuk dijadikan istrinya dan dia minta diakui sebagai seorang raja yang
bertitel Devaputra.

102
Tetapi sebaliknya Pan-chao menganggap permintaan itu sebagai penghinaan
terhadap tuannya, Kaisar China. Maka Pan-chao pun menahan utusan Kushana itu.
Dengan tindakan penahanan utusan tersebut, Kanishka lalu menyeberangi Pamir
untuk menggempur Pan-chao. Namun, sayang dalam peperangan tersebut,
Kanishka ternyata mengalami beberapa kali kekalahan. Akhirnya Kanishka minta
diadakan perdamaian, namun dia harus membayar upeti kepada kaisar China.
Beberapa tahun kemudian, Kanishka kembalimenyeberangi Pamir, dan
ternyata dalam peperangan saat itu dia menang, dengan mengalahkan Pan-yang,
putra Pan-chao. Beberapa sumber mengatakan, bahwa Kanishka menuntut beberapa
orang China sebagai sandera. Salah satu sanderanya adalah putra kaisar China
sendiri. Tetapi hal itu sulit untuk diterima akal. Namun, kita diberi tahu bahwa
sandrea-sandera itu diperlakukan dengan perlakuan yang sangat terhormat.
Pengaturan khusus dilakukan untuk tempat tinggal para sandera di monasteri She-
lo-ka di Kapisa (Kafiristan), Gandhara, dan di sebuah tempat lagi bernama
Chinabhukti di Punjab Timur. Dikatakan bahwa di sana mereka memperkenalkan
the peach and pear.

8.2.3.3 Dominasi Kanishka


Kanishka memerintah sebuah kerajaan sangat luas. Di luar India jelas
dia menguasai: Afganistan, bactria, Kashgar, Khotan, dan Yarkand. Sedangkan
kekuasaannya di India sulit dicari batas-batasnya. Prasasti-prasasti pemerintahan
Kanishka telah ditemukan di beberapa tempat seperti: di Peshawar, Manikyala
(dekat Rawalpindi), Sui Vihar (Bahawalpur State), Zeda (dekat Und), Mathura,
Sravasti, Kosambi, Sarnath. Sedangkan koin-koinnya ditemukan di seluruh India
Utara, termasuk Bihar dan Bengal.
Jadi, berdasarkan penemuan-penemuan benda-benda bersejarah itu, jelaslah
bahwa kekuasaan Kanishka di India terdiri dari: Punjab, Kashmir, Sind, United
Provinces, dan mungkin juga beberapa negara jauh ke timur dan selatan.

8.2.3.4 Ibu kotanya


Menurut para sarjana sejarah, bahwa ibu kota negeri yang mempunyai batas
kekuasaan yang sangat luas itu adalah Purushapura atau Peshavar. Negara itu

103
menguasai rute utama, yang terbentang dari Afganistan sampai lembah-lembah
Indus. Jadi, terletak di tempat yang sangat strategis.

8.2.3.5 Satrap-satrapnya
Mengenai administrasi Kanishka, sangat sedikit yang dapat kita ketahui.
Misalnya, prasasti Sarnath yang berangka tahun 3 atau 81 M, namun dengan dasar
itu kita sedikit sekali memiliki pengetahuan tentang sistem satrapanya di propinsi-
propinsi. Kharapallana adalah mahasatrapanya, kemungkinan besar dia
berkedudukan di Mathura. Vanaspara memerintah di daerah timur Benares, sebagai
seorang ksatrapa

8.2.3.6 Karya-karya Kanishka


Seperti halnya raja asoka, Kanishka adalah pembangun stupa-stupa dan
bangunan-bangunan yang hebat. Dia membuat sebuah monasteri dan menara dari
kayu yang sangat besar di ibu kotanya. Di menara itu disimpan relik-relik Sang
Buddha. beberapa tahun yang lalu, sebuah peti berisi tulang-tulang ditemukan di
sana. Prasasti di dalamnya memberikan informasi yang sangat menarik kepada kita,
yang mengatakan bahwa stupatersebut didirikan atas pengawasan seorang arsitek
Yunani, bernama Agisala atau Agesilaos. Kanishka membangun sebuah kota di
dekat Taxila, dan Kanishkapura yang disebut-sebut di dalam kitab
Rajataranginimungkin juga didirikan olehnya.

8.2.3.7 Agamanya
Berdasarkan koin-koin yang ditemukan, tidak mampu memberikan
penjelasan yang pasti tentang agama yang dianut oleh Kanishka. Kalau pun mereka
memberikan bukti, hanya pada eclecticism-nya saja (sistem filsafatnya),
kecenderungan untuk menghormati gabungan dewa-dewa Yunani, Mitraic,
Zoroastrian, dan Hindu. (Atau mungkin dewa-dewa yang tertera pada koin-koinnya
itu hanya menunjukkan berbagai bentuk kepercayaan yang dianut di kerajaan
Kanishka yang memang sangat luas itu :Prof. Tripathi).
Pada koin-koinnya banyak kita temui figure-figure dewa-dewa Yunani itu:
Herakles, Serapis, Matahari dan Bulan dengan nama Yunaninya Helios dan Selene,
Miiro (matahari), Athro (Api), Nanaia, Siva dan sebagainya. Selain itu, kita

104
temukan juga Buddha, duduk dengan cara India dan kadang-kadang berdiri dengan
pakaian Yunani.
Penulis-penulis Buddhist sangat kuat mengatakan, bahwa agamanya
Kanishka adalah Buddha. Mereka mengatakan seperti halnya Asoka, Kanishka
memeluk Buddhism, setelah perasaan penyesalan yang luar biasa atas
kekejamannya terhadap musuh-musuhnya.
Tanpa diragukan lagi, tujuan utama cerita ini adalah untuk menekankan
pengaruh Buddhism terhadap seseorang, pengaruh yang bahkan dapat mengubah
besi biasa menjadi emas berkilau, namun tidak ada keraguan bagi para indologist
untuk tidak mempercayai terjadi conversion pada diri kanishka. Pengabdiannya
terhadap relik-relik Sang Buddha di satu tempat yang luar biasa indah dan
terhormatnya serta prakarsa pengadaan Buddhist Council ke empat yang amat besar
dan bersejarah, menambah point akan bukti agama yang dianutnya.

8.2.3.8 Buddhist council IV


Pemerintahan Kanishka adalah periode yang sangat penting bagi sejarah
agama Buddha. Kita ketahui, karena merasa bingung atas studi theologinya, dia atas
persetujuan Parsvika atau Parsva, mengadakan satu council 500 bikkhu
(mahasangha), terdiri dari Sarvastivadin school, untuk memecahkan doktrin-doktrin
yang berselisih.
Konperensi Buddhist yang besar itu (Mahasabha) diadakan di Kundalavana di
lembah Kashmir yang indah - menurut Yuan Chwang (ada catatan China lainnya
yang mengatakan di Gandhara, dan yang lain di Jalandhar), semua kegiatan
diarahkan oleh Vasumitra. Seandainya dia absent Asvaghosa
bertindak sebagai presiden. Jerih payah mereka menghasilkan kitab Vibhasa sastra
dan beberapa komentari-komentari lainnya atas kitab Tripitaka. Dikatakan semua itu
ditulis di atas lempengan-lempengan tembaga merah dan setelah disegel, ditaruh di
sebuah stupa yang khusus dibangun untuk itu. Siapa tahu dokumen-dokumen yang
sangat tak ternilai harganya itu, yang masih terkubur di sana, satu saat ditemukan
kembali.

105
8.2.3.9 Kebangkitan Mahayana
Munculnya sang Buddha bersama-sama dengan dewa-dewa lain pada koin-
koinnya Kanishka, jelas sekali menunjukkan bahwa buddhism sudah bergerak jauh
berbeda dari Buddhism awal. Sedang Buddhism awal menganggap Sang Buddha
hanya sebagai seorang manusia, pandu dalam mengarungi kehidupan ini. Sekarang
Sang Buddha diangkat pada posisi dewa, tempat pemujanya untuk memohon dan
dikelilingi oleh para Boddhisattva dan para dwa lainnya. Hal itu mengarah kepada
penanaman doktrin salvation (pembebasan) dengan jalan faith (keyakinan) kepada
sang Buddha. Bentuk-bentuk upacara juga muncul dalam bentuk baru Buddhism
ini. Bentuk baru Buddhism ini disebut mahayana.
Namun, ada bukti-bukti bahwa mahayana sudah muncul jauh seelum
periodenya Kanishka. Mungkin itu berawal dari elemen bhakti yang masuk pada
tubuh Buddhism, atau pada waktu Buddhism menyebar pada masyarakat luas.
Tentu saja diperlukan bentuk yang lebih catholic untuk menggantikan idealism
hinayana yang terasa dingin bagi massa yang sulit berdampingan dengan konsep
bhakti dan pemujaan mereka.

8.2.3.10 Gandhara art


Aliran baru menemukan ekspresi pada corak art (seni) yang berbeda. Pada
seni pahat Buddhism awal, seperti yang kita ketahui dari peninggalan-peninggalan
di Sanchi dan Bharhut, menggambarkan cerita-cerita yang diambil dari kitab Jataka
dan cerita-cerita lainnya yang berhubungan dengan Sang Buddha.
Namun, Sang Buddha sendiri tidak pernah dipahat di atas batu-batu itu.
Kehadirannya hanya diindikasikan dalam simbol-simbol, seperti berbentuk telapak
kaki, pohon boddhi, kursi kosong, atau payung. Pada periode ini sang Buddha
menjadi subjek yang paling favourite bagi pahat-pahat seniman patung. Sebagian
besar dari jenis ini ditemukan di gandhara; yang dijadikan pusatnya adalah
Purusapura (Peshavar), art ini dinamai Gandharan oleh para indologist yang diambil
dari nama daerahnya. Namun kadang-kadang disebut juga dengan lebel Graeco-
Buddhist atau Indo-Hellenic, karena bentuk-bentuk Yunani (Greek) dan teknik
yang dipakai pada subjek-subjek yang diambil dari Buddhism baru.

106
Jadi pengaturan hiasan dan pakaian mengikuti contoh-contoh Hellenistic,
dan untuk menggambarkan Sang Buddha, para seniman begitu bebas sehingga
citra-citra Sang Buddha kadang-kadang begitu mirip dengan Apollo. Kemudian
figure Sang Buddha disamakan, dan menjadi pola yang diterima di mana-mana. dari
sini kitamengetahui bagaimana besarnya pengaruh Gandhara art pada seni (art) di
Mathura dan Amaravati.

8.2.3.11 Istana Kanishka


Menurut tradisi, istana Kanishka dilengkapi dengan sekumpulan kaum
intelektual tinggi dan tokoh-tokoh Buddhist seperti Parsva, Vasumitra, Asvaghosa,
Nagarjuna, Caraka, Matriceta dan lain-lainnya. Tiga orang pertama dikatakan ikut
terjun dalam perguruan Buddhist councilnya Kanishka. sisanya agak diragukan
apakah mereka contemporarnya Kanishka.

8.2.3.12 Mangkatnya Kanishka


Dikatakan bahwa Kanishka mangkat dengan cara yang menyedihkan di
Utara ditangan orang-orangnya sendiri yang sudah merasa sangat lelah atas perang
yang terus-menerus diadakan. Dia memerintah kira-kira selama 23 tahun. tetapi
seandainya dia identical dengan Kanishka dari prasasti Ara, berarti tahun
terakhirnya yang kita ketahui adalah tahun ke 41 ( 78 + 41 = 119 M ). Patung tanpa
kepala raja besar ini ditemukan di Mat distrik Mathura, dan merupakan salah satu
reliknya yang paling nyata.
Jadi, dari uraian itu semua, tahun saka merupakan tahun penobatannya
Kanishka menjadi raja, yaitu pada tahun 78 M. Mengapa tahun itu lebih dikenal
dengan nama tahun Saka, dan bukan tahun Kanishka? Pada hal bangsa Saka
merupakan salah satu suku bangsa yang menjadi jajahan Kanishka. Hal itu
disebabkan, bahwa suku bangsa Saka yang menyebarluaskan tahun itu, sehingga
disebut tahun Saka. Menurut tradisi, tahun Saka didirikan oleh seorang raja dari
kaum Saka, yang menguasai Ujjaini 137 tahun setelah Vikramaditya. Namun,
sebagian besar para indologist berpendapat, bahwa tahun / era Saka itu didirikan
oleh Kanishka, dan yang pasti digunakan pada awl-awal abad ke-2 Masehi oleh
"western satraps", yang menguasai Malva, Kathiavar, dan Gujarat. Kemudian

107
penggunaan tahun Saka itu tersebar ke Deccan dan dieksport ke Asia Tenggara,
termasuk Indonesia (Nusantara). Sampai sekarang, tahun Buddha (544 SM), tahun
Mahavira (528 SM), dan tahun Saka (78 M), masih dipergunakan untuk
memperingati keagamaan (lihat tentang tahun/kalender).

8.2.4 Methologi Raja Aji Saka

Menurut tradisi Indonesia, pada abad pertama Masehi, datanglah


seorang raja bernama Raja Haji Saka dengan beberapa pengiringnya.
Rombongannya mendarat di pantai utara Jawa Barat, tepatnya di pantai Banten.
Dua orang patihnya bernama Dhora dan Dhira yang sangat dipercaya oleh raja,
karena kesetiaan dan baktinya kepada raja.
Setelah cukup beristirahat, raja Aji Saka akan meruskan perjalannya ke arah
timur. Raja memerintahkan Dhora agar tetap tinggal di wilayah Banten.
Sebelum keberangkatannya, raja menitipkan keris saktinya kepada dhora. Raja
berpesan, bahwa Dhora harus menjaga dan mepertahankan keris itu dengan
mati-matian. Siapa pun yang memintanya agar tidak boleh diberikan,
walaupun dia mengaku atas nama raja. Sang Patih (pertama) dengan sangat
bakti dan setia mengiakan segala perintah raja itu.
Kemudian, Raja Aji Saka berangkatlah menuju ke timur diiringkan
oleh patih (kedua) dengan sebagian pasukannya. Namun, setelah sampai di
tempat tujuan, terjadilah mara bahaya yang tidak dapat dielakkan, tanpa
menggunakan kesris saktinya itu. Menyadari akan bahaya yang mengancam
itu, raja memeritahkan patih (kedua) kembali ke barat, untuk minta keris raja yang
sangat sakti itu. Sedangkan raja Aji Saka, dengan pasukannya menunggu di wilayah
yang baru diduduki itu.
Sang Patih II, dengan sigap dan cepat kembali ke barat. Tiada berapa lama,
sampailah Patih II di tempat pendudukan pertama. Ia segera menemui Sang Patih I,
untuk meminta keris sakti itu, atas perntah raja. Namun, Patih I tidak akan
memberikan keris tersebut, karena ia sangat patuh dan setia terhadap perintah
rajanya. Atas tindakan Patih I itu, maka Patih II pun sangat tersinggung, karena ia
tida dipercaya.

108
Maka terjadilah perang mulut, yang dilanjutkan dengan perkelahian yang
sangat sengit, seperti pertempuran antara dua orang yang bermusuhan. Salah satu
tak ada yang mau mengalah. Akhirnya, perkelahian perebutan keris sakti atas
perintah rajanya itu, diakhiri dengan kematian kedua-duanya. Patih I setia
mempertahankan keris itu, sedangkan Patih II setia meminta keris itu. Keduanya
atas perintah raja. Dan keduanya sangat patuh dan setia kepada rajanya.
Sementara itu, Raja Aji Saka tersentak dan sadar. bahwa kedua perintahnya
sangat bertentangan dan pasti akan menimbulkan bahaya. Maka raja pun segera
balik ke barat, namun sudah terlambat. Ditemukannya kedua patihnya yang gagah
perkasa itu telah tergeletak menjadi mayat. Mereka gugur keduanya dengan penuh
keperkasaannya, yang diakibatkan oleh kkhilafan raja sendiri.
Raja pun sangatsedih dan menyesali tindakannya. Kemudia sebagai
penghargaan dan penghormatannya kepada kedua patihnya, raja menulis aksara
Jawa dengan keris itu di batang pohon kayu. Aksara Jawa yang ditulis itu,
kemudian terkenal sampai saat sekarang. Adapun aksara itu sebagai berikut:
ha, na, ca, ra, ka, dha, tha, sa, wa, la, ma, ga, ba, ta, nga,pa, da, ja, ya, nya. Atas
dasar itu, mulailah tahun Saka dikenal di Indonesia berikut 20
aksara tersebut.Mitologi itu cukup terkenal dalam pustaka Jawa, yang dianggap
sebagai pembawa dan mulainya berlaku tahun Saka di nusantara.Menurut tradisi,
bahwa tahun Saka sampai tersebar di Nusantara / Indonesia, dibawa oleh Raja Aji
Saka.
Namun, dari kedua sumber tersebut, dapat disimpulkan bahwa tahun
Saka disebarluaskan dari Deccan ke Asia Tenggara, termasuk Nusantara /
Indonesia. Cara masuknya agama dan kebudayaan Hindu ke Nusantara, ada
berbagai teori dan metoda: bramana, ksatria, dan waisya. Namun,
sesungguhnya yang paling disetujui adalah dengan cara, adanya beberapa
orang Indonesia datang ke India, melalui perdagangan dan mereka belajar di
sana (Gujarat), dan kemudian mereka menyebarkan dan mengembangkannya
di Nusantara. Dengan demikian, kebudayaan dan agama Hindu bisa tersebar
secara meluas di seluruh Nusantara.
Bersamaan dengan itu, awal-awal abad I Masehi, terbawa juga sistem
tahun Saka itu. Bukti itu dapat ditemukan pada beberapa prasasti yang tertua

109
sampai dengan prasasti yang termuda, ternyata memekai tahun Saka atau Isaka
Warsa. Dasar perhitungannya pun disesuaikan dengan sistem yang dipakai di India.
Bahkan nama bulan-bulannya pun diambil dari India: (1) Sravana (sasih
kasa), (2) Bhadrapada (sasih karo), (3) Asvina (sasih katiga), (4) Kartika (sasih
kapat), (5) Marghasira (sasih kalima), (6) Pausa (sasih kanem), (7) Magha (sasih
(kapitu), (8) Phalguna (sasih kawolu), (9) Chaitra (sasih kasanga), (10) Vaisakha
(sasih kadasa), (11) Jyesta (sasih jyesta /kajyseta), dan (12) Asadha (sasih sada
/kasada) (lihat tentang tahun/era).

8.2..5 Rangkaian Perayaan / Upacara Hari Raya Nyepi

Berdasarkan prasasti-prasasti tersebut, jelas bahwa tahun Saka telah


membudaya pemakaiannya di Nusantara. Pergantian tahun Saka itu, diperingati dan
dirayakan berdasarkan upacara dan filsafat hidup dan agama yang dimiliki dan
dihayati oleh umat Hindu di Nusantara pada saat itu. Pekasanaan rangkaian upacara
itu, merupakan tradisi atau sadacara yang kemudian diwariskan kepada generasi-
generasi berikutnya. Dalam proses pelembagaan upacara itu, bertumbuh kembang
dengan mengalami penambahan dan pengurangan serta penyesesuaian dengan
masyarakat pendukung berikutnya.
Dengan demikian, pada setiap pergantian tahun Saka itu, diadakan upacara
yadnya, terutama menjelang pergantian tahun, atau tepat pada akhir tutup tahun
Saka. Sedangkan pada saat tanggal satu atau tahun barunya, dirayakan dengan
keadaan yang sepi, hening, tanpa adanya suara dan kegiatan apa pun.
Untuk lebih jelasnya, berikut akan diuraikan tentang rangkaian upacara dan
perayaan yang dilakukan pada saat pergantian tahun Saka itu, yakni: (1) upacara
makiis atau melis, malelasti, (2) upacara bhuta yadnya, (3) sipeng atau penyepian,
dan (4) ngembak api

8.2.5.1 Upacara makiis


Beberapa hari (biasanya tiga hari) sebelum upacara bhuta yadnya, diadakan
upacara melis, atau makiis,malelasti, yaitu suatu upacara prosesi ke laut, (ke
sungai, ke danau, bagi masyarakat jauh di pedalaman).

110
Upacara itu bertujuan untuk membersihkan diri, segala perlengkapan dan
sarana upacara keagamaan, termasuk arca, pratima, pralingga dan sebagainya. Di
samping itu, upacara makiis juga bertujuan untuk mengambil tirtha amertha (air
suci kehidupan), yang menurut metologi terdapat di
tengah samudera.(Bandingkan dengan cerita Navaruci, pemutaran girimandara
dalam ksirarnava).
Seluruh masyarakat Hindu secara bersamaan mengadakan pamelisan atau
upacara melis itu di manapun mereka berada. Dengan melaksanakan upacara
melelasti itu, diharapkan sempurnalah penyucian dan pembersihan lahir batin,
beserta seluruh perlengkapan dan sarana keagamaan itu. Prosesi atau iring-iringan
tersebut, sungguh sangat semarak dan indah, dengan diiringi suara gamelan
blaganjur, atau jenis gamelan lainnya. Makin banyak jumlah anggota masyarakat
Hindu setempat, makin ramai dan panjang prosesi tersebut. (Tetapi kini, ada
beberapa masyarakat dalam melaksanakan upacara mekiis itu, dengan memakai
kendaraan: bus, truk dan sebagainya).

8.2.5.2 Upacara bhuta yadnya


Setelah upacara makiis, melis, malelasti itu dilaksanakan, maka menyusul
rangkaian upacara yang kedua, yaitu upacara bhuta yadnya atau lengkapnya
upacara bhuta yadnya tawur kasanga. Pelaksanaan upacara itu biasa juga dikenal
dengan namamacaru (qurban). Jenis dan tingkatan pacaruan itu cukup banyak,
sehingga masyarakat yang bersangkutan bermusyawarah untuk memilihnya satu
bentuk di antara jenis bentuk yang ada.

Namun, biasanya Parisada Hindu Dharma Pusat Indonesia, sebagai majelis


agama Hindu, jauh-jauh sebelum menjelang hari Nyepi itu, telah menyebarluaskan
pedoman dan petunjuk rangkaian upacar Nyepi tersebut. Hal itu sudah termasuk
jenis caru yang seyogianya dilaksanakan oleh masyarakat dengan tetap
mempedomani dan berpegang pada desa, kala, dan patra.

Adapun jenis pacaruan itu, disusun bertingat-tingakat: tingkat propinsi,


kabupaten, kacamatan, desa, banjar, dan keluarga di rumah masing-masing. Dengan

111
adanya pedoman itu, masyarakat tidak ragu-ragu lagi untuk melaksanakannya.
Menurut tradisi, biasanya upacara pacaruan tawur kasanga itu dilakukan di setiap
perempatan jalan terbesar bagi desa tersebut.
Namun, di luar Bali, masyarakat Hindu melaksanakan upcara pacaruan itu,
di halaman depan pura setempat. Andai kata di tempat tersebut ada pura lebih dari
buah, maka upacara pacaruan dipusakan di pura yang ditetapkan sebagai pusat;
yang kemudian dilanjutkan upacara itu dilakukan di halaman pura lainnya yang
berada di tempat itu. (Misalnya, masyarakat Hindu Jakarta, melaksanakan upcara
pacaruansecara tradisi yang disepakati bersama, dilakukan di halaman pura
Adityajaya Rawamangun. Kemudian dilanjutkan di setiap pura lainnya).
Setelah selesai upacara pacaruan taur kasanga itu, setiap anggota
masyarakat mendapat tirtha dan nasi caru itu untuk dibawa pulang ke rumah
mereka masing-masing. Sesampainya di rumah, mereka mengadakan upacara di
halaman / natar rumah masing-masing, dilanjutkan dengan pangrupukan atau
mebuu-buu. Kegiatan itu dilakukan dengan segenap anggota keluarga, dengan cara
berkeliling rumah sambil menciperatkan air suci atau ngetisang tirtha,
menyemburkan mesui yang dikunyah, menyalakan obor (sundih), memukul-mukul
kaleng (blek) dengan riuh rendah dan gegap gempita.
Setelah kegiatan /upacara pabuu-buuan, atau pangerupukan selesai, semua
sisa peralatan upacara (tirtha, caru, dan sundih / prakpak), dibuang (dilebar) di
depan pintu masuk halaman rumah. Selanjutnya, seluruh masyarakat /tetangga
melakukan kegiatan ngocang (seperti suara menumbuk padi bertalu-talu pada
ketungan /tempat menumbuk padai).
Seluruh desa masyarakat Hindu dengan serentak melakukan kegiatan
terebut, sehingga terdengan suara yang bukan main gaduh dan riuhnya, riuh pikuk,
diselingi sorak-sorai, dan bunyi koncangan sampai malam. (Kegiatan seperti itu,
mungkin hanya bisa dilakukan dengan sempurna di Bali, sedangkan di luar Bali
pelaksanaannya di sesuaikan dengan keadaan setempat, desa, kala, dan patra).
Sebagai catatan, akhir-akhir ini (dimulai sekitar tahun , di kalangan pemuda
di Bali, membuat ogoh-ogoh, semacam patung dalam bentuk-bentuk mahluk yang
mengerikan, seperti: raksasa, monyet, naga, rangda, dan sebagainya dalam ukuran
besar. Ogoh-ogoh itu kemudian diarak keliling kota, desa diiringi suara gamelan
blaganjuran dan sorak-sorai yang riuh rendah, hiruk pikuk, dan gegap gempita.

112
Arak-arakan ogoh-ogog dan obor itu dilaksanakan sesaat setelah selesai upaca
pacaruan taur kasanga. Kegiatan tambahan itu ternyata telah menjalar ke luar Bali,
misalnya Jakarta, namun ogoh-ogoh itu hanya diarak di halaman pura saja. Jadi
geraknya terbatas, disesuaikan dengan keadaan setempat. Selesai pengarak-arakan
ogoh-ogoh itu, di suatu tempat, seperti di pantai, ogoh-ogoh tersebut dibakar,
ditaruh tanpa dibakar. Terlepas dari pro dan contra masyarakat kehadiran ogoh-
ogoh itu sebagai pelengkap upacara pangrupukan masih memerlukan waktu dalam
proses penyesesuaiannya.

Semua kegiatan pada saat pangerupukan, pabuu-buuan, pangoncangan,


kentongan, pengarakan ogoh-ogoh, dan sebagainya itu dilaksanakan dengan
serentak dan secara sepontan. Sesungguhnya apakah maksud dan tujuan serta
maknanya? Ajaran agama Hindu sangat menjaga keseimbangan jasmani dan rohani,
mikrokosmos dan makrokosmos, bhuana alit dan bhuana agung, badan jasmani dan
alam semesta. Keseimbangan itu (ajaran trihita karana) sangat dijaga, karena
ketidakseimbangan akan menimbulkan kegoncangan dan bahaya. Bahaya itu akan
menimpa manusia, semua mahluk, bahkan alam semesta juga.

Sehubungan dengan itu, dalam rangka menyambut tahun baru Saka, atau
pergantian tahun saka, semua faktor itu harus dalam keadaam bersih, steril, dan
suci. Sedangkan untuk membersihkan atau menyucikan alam semesta dari segala
noda dan polusi itu, adalah dengan mengadakan upacara pacaruan / bhtayadnya
taur kasanga itu. Dengan pelaksanaan upacara bhuta yadnya itu, diharapkan dunia
kita ini bersih dari segala bentuk dan jenis polusi / gangguan/ noda. Sedangkan
kegiatan atau upacara pabuu-buuan, pangerupukan, pangoncangan, dan yang
terakhir pengarakan ogoh-ogoh itu, dimaksudkan penggusuran, pengusiran, para
bhutakala, noda dan polusi dari alam ini.

Dengan selesainya seluruh kegiatan dan upacara yang dilakukan pada akhir
hari tutup tahun Saka itu, diharapkan keadaan alam lingkungan ini bebas noda,
bebas polusi, dan bebas dari gangguan bhutakala dan sejenisnya. Semua kegiatan
upacara itu, dilaksanakan pada tilem bulan mati, sasih kasanga, jadi sehari sebelum
tahun baru Saka. Jika semua kegiatan itu selesai, maka puncak kegiatan fisik berarti

113
sudah berarkhir. Pemebrsihan diri dan alam selesai, dan kini keadaan diri manusia
dan alam seimbang dalam kesucian.

8.2.5.3 Nyepi / sipeng


Pelaksanaan sipeng atau nyepi(sepi) itu dimulai pada pagi hari sebelum
matahari terbit. Seperti telah diuraikan dalam bab tentang sistem tahu / kalender,
bahwa pergantian hari adalah pada pagi hari, saat matahari terbit. Jadi tidak pada
pukul 00.00 seperti sistem masehi. Tegasnya, setelah selesai upacara pacaruan taur
kasanga, dan pangerupukan, yang dilanjutkan dengan pengarakan ogoh-ogoh
keliling kota / desa / di halaman pura, serta kegiatan pangoncangan dan suara
kulkul (kentongan) yang bertalu-talu, besoknya pada pagi hari saat matahari terbit,
dilaksankanlah panyepian, serba sepi, hening bening, sunyi lengang, tiada satu pun
kegiatan sehari-hari terjadi saat itu.

Pada hari itulah saat tanggal satu tahun baru Saka dengan bulan Vaisakha
(sasih kadasa, bulan sepuluh). Seluruh masyarakat Hindu, di manapun mereka
berada tinggal di rumah. Mereka menjalani 'penghentian hidup sehari', atau
melakukan 'penghentian sejenak', dalam rangka untuk meneruskan perjalanan
hidupnya selama setahun pada tahun Saka yang baru muncul itu. Dalam sastra
disebutkan, bahwa segenap umat Hindu seyogianya melakukan sambang samadhi,
yaitu melakukan tapa, brata, yoga, dan samadhi, atau istilah populernya amati
geni.
Sehubungan dengan itu, setiap umat Hindu diharapkan menjalani catur
brata panyepian: (a) amati geni, (b) amati karya, (c) amati lelunganan, dan (d)
amati lalangunan. Kesesemuanya itu dilaksanakan selama sehari dan semalam, jadi
24 jam, mulai saat matahari terbit, sampai dengan besok paginya pada saat matahari
terbit juga.
Untuk jelasnya, akan diuraikan semua pelaksanaan disiplin nyepi itu,
berikut pengawasan oleh para petugas pada saat itu. (Uraian ini khas terjadi di Bali,
sedangkan di luar Bali menyesuaikan diri).

114
a) Amati geni
Amati geni, artinya 'tidak menyalakan api, pemadaman api'. Pemadaman
api, atau tidak menyalakan api itu mengandung dua makna dan hakikat, yakni:
memadamkan api dalam arti sesungguhnya, jadi tidak menyalakan lampu, dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan api yang menyala.

Kegiatan itu dimulai pada pagi hari pada saat matahari terbit, sampai besok
paginya baru berakhir pada saat matahari terbit juga. Oleh sebab itu, pada malam
harinya terjadi suasana gelap gulita, tiada nyala lampu sedikit pun di malam nan
pekat itu. Benar-benar selama satu dan satu malam, pulau Bali bebas dari nyala api.
(Tentu ada perkecualian, atas dasar dispensasi yang berlaku).

Sedangkan makna yang kedua, adalah pemadaman api yang berada di dalam
diri manusia. Api yang berada dalam diri manusia, antara lain berupa: kebencian,
kemarahan, dendam, kelobaan, keserakahan, kekejaman, kejahatan, dan sebagainya.
Jadi, segala napsu rendah yang menyeret manusia ke lembah derita. Api atau geni
itu juga termasuk 'musuh manusia yang bermukim dalam dirinya sendiri, yang
disebut sadripu. Justru, pemadaman sad ripuyang berrupa menjadi berbagai 'hawa
napsu' yang rendah itulah yang paling utama harus dipadamkan. Lagi pula, hanya ia
sendiri yang mampu memadamkannya. Karena itu, setiap orang, akan berusaha
'berlomba dalam pemadaman' itu, yakni dengan melaksanakan tapa, brata, yoga,
dan samadhi.
Sebenarnya, inilah tujuan tertinggi pelaksnaan penyepian itu. Sekaligus
dalam usaha pencarian dan penemuan identitas diri, dalam bentuk kesadaran
tertinggi, yang biasa juga disebut kebijaksanaan atau pradnya. Kepradnyanan itu,
merupakan hakikat hidup tertinggi, sebab dengan pandangan terang itu manusia
mampu 'melihat' dharma yakni kebenaran.
Bila seseorang telah memiliki pandangan terang itu, ia akan disebut manusia
yang dipenuhi oleh kebijaksanaan, kemuliaan, dan keluhuran. Dengan
melaksanakan tapa, brata, yoga dan samadhi itu, secara bertahap dan yakin,
seseorang akan mengalami dan memiliki pradnya itu. Jadi, sesungguhnya itulah
menjadi tujuan pokok dalam pelaksanaan penyepian. Di samping amati geni
menjadi salah satu disiplin dalam catur brata penyepian, sesungguhnya ia juga

115
menjadi tujuan utama. Tujuan utama itu, hanya bisa dicapai, kalau dibantu oleh
disiplin-disiplin yang berikutnya. Tanpa dukungan ketiga disiplin itu, amati geni
tidak akan dengan mudah dicapai.

b) Amati karya
Amati karya berarti tidak bekerja. Tidak melakukan kegiatan apa pun yang
berhubungan dengan pekerjaan. Di depan telah diuraikan, bahwa agar bisa
seseorang melaksanakan tapa, brata dan yoga samadhi, haruslah segala kegiatan
bentuk kerja dihentikan. Di sinilah yang dimaksud dengan penghentian sejenak,
agar tujuan amati geni itu tercapai. Tanpa itu, bagaimana mungkin tapa, brata, dan
yoga samadhi itu bisa terwujud dalam diri kita. Jadi, jelaslah bahwa disiplin atau
brata yang kedua ini, benar-benar sangat diperlukan, dalam rangka pelaksanaan
pemadaman api di dalam diri kita.

c) Amati lelunganan
Amati lelunganan artinya tidak bepergian. Biasanya, jika kita tidak bekerja,
muncul keinginan untuk pergi ke mana pun. Agar tujuan pemadaman api dalam diri
tercapai, dengan tidak bekerja saja tidak akan bisa. Hal itu baru bisa terlaksana
kalau dibarengi dengan tidak bepergian. Karena itu, disiplin amatai lelunganan itu,
diletakkan pada nomor tiga; sebab manusia yang tanpa kerja pada saat itu ia akan
ingin bepergian. Jadi, jelas sangat sistematis.

d) Amati lelangunan
Amati lelangunan artinya tidak menikmati keindahan, tontonan dan hal-hal
yang menimbulkan kenikmata. Pemadaman penikmatan itu, sangat diperlukan
sebagai daya dukung yang ketiga, setelah pemadaman perkunjungan. Disiplin yang
terakhir itu, terasa akan sangat menjadi penghambat dan kendala pokok, yang
sangatmengganggu proses sambang samadhi, atau yoga samadhi. Jika proses
pelaksanaanya terganggu, maka tidak telak lagi tujuannya pun tidak akan tercapai.

116
Pandangan terang (high wisdom) tidak akan tercapai, sehingga hikmah pelaksanaan
catur bratapenyepian tidak dirasakan, karena tidak tercapainya tujuan brata itu.
Dari uraian itu, dapat disimpulkan bahwa makna dan hakikat Hari Raya
Nyepi, adalah pencarian dan penemuan jati diri kita, dalam rangka memulai hidup
baru di tahun baru yang baru saja muncul. Jika setahun itu lamanya 365 hari,
mengapa timbul kendala dan kesulitan dalam diri kita mengunakan hanya satu hari
satu malam untuk memawas diri? Inilah dilema nan kunjung sirna dan selalu
berulang setiap tahun. Karena itu, seyogianya kita memanfaatkan kelahiran sebagai
manusia ini sebaik-baiknya, sebab untuk lahir menjadi manusia jauh lebih sulit
daripada melaksnakan catur brata penyepian itu setahun sekali dalam hidup sehari
sebagai sanyasin.

8.2.5.4 Ngembak api / geni


Setelah sehari semalam (24 jam, mulai pagi matahari terbit sampai besok
paginya saat matahari terbit), melaksanakan caturbrata penyepian, tibalah saatnya
membuka kegiatan sehari-hari kembali sebagai biasa, yang disebut ngembak api
atau ngembak geni. Kegiatan yang dilakukan pada saat itu, berlaku kebiasaan
sehari-hari: para petani pergi ke sawah melakukan tugasnya sebagaimana mestinya,
para pedagang begitu juga, dan para pengusaha dan pegawai negeri demikian juga,
dan sebagainya. Mereka semua mulai saat itu melakukan tugasnya masing-masing
dengan semangat baru, yang diwarnai oleh hikmah Nyepi yang diperoleh selama
menjalani catur brata penyepian itu.

Di samping itu, mereka mengadakan saling kunjungan, sebagai tanda


perwujudan rasa cinta kasih dan kasih sayang sesama manusia. Dengan demikian,
diharapkaan seluruh hidup dan perikehidupan diwarnai oleh berkah termulia dan
hikmah yang membahagiakan. Dengan semangat baru, mereka bertugas sebaik-
baiknya di dalam udara tahun baru Saka.
Atas dasar itu, Parisada sebagai pemegang bhisama, telah menetapkan
dharmashanti sebagai wadah yang perlu dibudayakan dan dilsetarikan dalam
konteks hidup pada zaman sekarang. Keputusan itu telah diambil pada mahasabha
yang lalu. Pengisian acara dharmashanti itu, disesuaikan dengan kondisi setempat,
dan terus akan berproses mencari bentuk yang sesempurna-sempurnanya.

117
8.3 Hari Galungan dan Kuningan

Hari raya Galungan dan Kuningan, berdasarkan sistem kalender pawukon,


jadi selalu hadir setiap 210 hari sekali. Kehadiran kedua hari raya itu selalu
dibicarakan serentak, karena jaraknya hanya 10 hari. Di samping itu menurut tradisi,
masing-masing mengandung mitologi yang serangkai.

8.3.1 Hari raya Galungan

Hari raya Galungan, jatuh pada hari Budha (Rabu), kliwon, wuku

Dungulan (Galungan). Hadirnya setiap 210 hari, sesuai dengan sistem pawukon

(6 x 5 x 7 hari = 210 hari). Maksudnya: angka 6 menunjukkan, bahwa dalam satu

siklus kalender pawukon ada 6 Buddha kliwon ((1) Budha kliwon Sinta,(2) Budha

kliwon gumbreg, (3) Budha kliwon dungulan / galungan, (4) Budha kliwon

pahang, (5) Budha kliwon matal, dan (6) Budha kliwon ugu); angka 5

menunjukkan, bahwa Budha kliwon hadirnya setiap 5 wuku; dan angka 7

menunjukkan usia setiap waktu 7 hari. Jadi hadirnya setiap Budha kliwon 35 hari

(5 x 7 hari - satu bulan waktu ).

Menurut tradisi, perayaan hari Galungan di Indonesia khususnya di Bali,


diawali pada tumpekwariga, atau tumpekuduh, tumpekpengarah, atau
tumpekpangatag. Tumpek pangatag itu jatuh pada hari Sabtu /Saniscara,
kliwon, wuku wariga, jakni 25 hari sebelum hari Galungan (-25). Hari
tumpek pangatag, diperingati sebagai 'hari tumbuh-tumbuhan', terutama pohon buah-
buahan yang berguna bagi kehidupan manusia. Memang pada hari Galungan dan
Kuningan, cukup banyak diperlukan buah-buahan, janur, dedaunan, dan sebagainya,
untuk perlengkapan banten (sajen). Segala keperluan untuk hari Galungan dan
Kuningan mulai dipersiapkan.

118
Setelah itu. berbagai kegiatan yang merupakan rangkaian hari Galungan
dengan tertib dan patuh dilaksanakan. Namun, berdasarkan sosial masyarakat,
beberapa anggota masyarakat di Bali, tidak lagi mematuhi rentetan kegiatan tersebut
secara utuh. Mereka hanya mengambil yang pokok-pokok menurut aspirasinya.
Rangkaian yang paling terkenal dilaksanakan antara lain: (1) panyajaan (hari
membuat kue / jaja: Senin /Soma), dan (2) panampahan (pemotongan hewan: babi,
ayam, bebek untuk sajen, lawar, dan sebagainya: Selasa /Anggara). Keesokan harinya
(Rabu /Budha), barulah hari Galungan.Menurut tradisi kegiatan pada hari Galungan:
(1) persembahyangan di Sanggah /Merajan, pura Pedharman, (2) ke kuburan
membawa sajen bagi mereka yang belum diabenkan oleh para keluarganya, sekaligus
bersembahyang di pura Dalem. (di beberapa daerah di Bali, acara ke kuburan
ditiadakan, karena mereka beranggapan paraatman sang newata (para roh
yangmeninggal sudah berada di rumah pada saat itu).
Setelah berdirinya Parisada Hindu Dharma Indonesia, melalui berbagai
sarana pembinaannya, masyarakat Hindu Di manapun berada, baik di Bali maupun di
luar Bali, mereka mengadakan persembahyangan bersama di pura-pura,
prahayangan, kahyanganyang ada di tempat mereka berada. Persembahyang bersama
itu, kini telah membudaya dan secara otomatis, tanpa pemberitahuan / pengumuman
lagi, mereka melaksanakan upcara persem-bahyangan itu. Hal itu, merupakan salah
satu keberhasilan Parisada yang tiada taranya, sebab seluruh umat Hindu yang
tersebar di seluruh pelosok tanah air tercinta Indonesia, dengan penuh sraddha dan
bhakti kepada Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, berbondong-bondong
mengikuti persembahyangan bersama di pura setempat.
Makna simbolis dan filosofis yang tersirat dalam hari Galungan, sebenarnya
merupakan pertarungan antara dharma (kebenaran) melawan adharma
(ketidakbenaran), yang diakhiri dengan kemenangan dharma. Satyam eva jayate, na
anrtham (kebenaran pasti menang, bukan ketidakbenaran).
Pertarungan itu diawali mulai pada hari Radite (Minggu), dan berakhir pada
hari Anggara (Selasa). Rangkaian pertempurannya sebagai berikut: (1) pada hari
Minggu (Radite), manusia diserang oleh Kala Galungan,
(2) pada hari Senin (Soma) datanglah Kala Dungulan yang ingin menundukkan
manusia, dan (3) pada hari Selasa (Anggara), datang lagi Sang Kala

119
Amangkurat, yang berhasrat menguasai manusia. Jadi, Sang Bhuta Kala Tiga
( Sang Bhtakala Galungan, Sang Bhtakala Dungulam, dan Sang Bhutakala
Amangkurat), secara berturut-turut datang menyerang, menundukkna dan

menguasai manusia. Namun, berkat dharma yang dipegang teguh oleh manusia,
maka Sang Bhutakala Tiga (adharma) itu akhirnya peperangan dimenangkan oleh
manusia . Atas kemenangan itulah, pada hari Rabu (Budha), dirayakan oleh
segenap umat manusia, dengan riang gembira. Perayaan itulah kemudian disebut
Hari Raya Galungan, hari kemenangan dharma.

Dalam mitologi, disebutkan bahwa peperangan yang terjadi antara Raja


Mayadanawa dengan Bhatara Indra, yang begitu sengit, akhirnya kemenangan
berada di pihak Dewa Indra. Walaupun berbagai cara tipu dan daya Mayadanawa,
namun akhirnya kalah juga, karena ia berada di pihak adharma. Sampai sekarang,
masih ada 'bukti-bukti' nama dan tempat yang pernah dijadikan gelanggang perang
oleh Mayadanawa: Tampaksiring, Tirthaempul, Sungai Patanu dan sebagainya.
Ada lagi disebutkan, bahwa raja Sri Jayakasunu takut naik tahta menjadi raja,
karena setiap raja hanya berumur satu tahun. Kematian dan maut datang merenggut
jiwa sang raja, sehingga rata-rata usia menjadi rata hanya setahun. Oleh karena itu,
Sri Jayakasunu, dengan didampingi oleh para penasihatnya, bertapa di tengah
kuburan, dengan memuja Dewi Durga. Demikianlah, di tengah malam, Dewi Durga
datang, dan memberi tahu, bahwa sebab-musabab kejadian musibah itu, karena para
raja tidak ingat lagi merayakan hari raya Galungan. Setelah itu, Dewi durga pun
gaiblah. Betapa senang dan terima kasih sang raja, segera pulang ke istana.
Kemudian diumumkan, bahwa seluruh masyarakat agar merayakan hari raya
Gakungan seperti zaman dahulu. Sejak itulah, usia raja memerintah normal kembali
Sebenarnya, di Jawa Galungan telah dikenal dan dirayakan oleh raja
Kertanagara. Justru nama wuku dungulan di Bali, pada mulanya di Jawa bernama
wuku galungan Jelaslah bahwa hari raya Galungan telah lama dikenal di Jawa.
Jika dibandingkan dengan perayaan Durgapuja di India dan biasa disebut
Vijayadasami, nafas dan maknanya sama dengan perayaan Galungan di Indonesia.
Dewi Durga telah berhasil membunuh 9 bhutakala (setiap hari

120
131

satu bhutakala), sehingga pada hari kesepuluh disebut hari kemenangan kesepu-luh
(Vijayadasami). Hakikat perayaan itu, juga merayakan kemenangan dharma
melawan adharma. Apakah filosofis itu diresepir di Indonesia, mungkin saja.
Namun, sampai kini belum ada sarjana yang meneliti tentang itu.

121

Anda mungkin juga menyukai