Anda di halaman 1dari 6

Di Indonesia ini ada 3 geologist yang benar2 menginspirasi saya, tidak hanya menjadi

engineer yang tangguh akan tetapi juga scientist yang mengagumkan, karya2 mereka
telah diakui baik secara nasional bahkan internasional, mereka adalah
Prof.Koesoemadinata, Dr.Ir.Andang Bachtiar, Msc, dan Awang Harun Satyana.. saya
yakin masih banyak lagi ahli geologi indonesia yang tidak kalah hebat dan dapat
dijadikan inspirator yang dahsyat, akan tetapi, yang saya kenal secara langsung
memang baru 3 orang hebat ini, untuk itulah saya ingin berbagi inspirasi yang saya
dapatkan dari mereka,, sebuah cerita perjalanan hebat sang sarjana S1 yang
kemampuannya tidak kalah dengan Doktor :


Saya ingin berbagi cerita sedikit. Semoga tak terlalu menyita waktu rekan-rekan Geo-
Unpad yang mau membacanya. Saya menyukai kedokteran dan geologi sejak saya
duduk di SMP. Buku-buku kedokteran dan geologi sudah saya kumpulkan sejak kelas
3 SMP, tahun 1979, tahun saat saya memulai membangun perpustakaan pribadi. Setiap
minggu dengan uang saku sisa seadanya saya biasa membeli buku-buku bekas di
pedagang loak Pasar Cihapit. Di kiosk-kiosk buku loak itu saya suka bertemu dengan
Prof. G.A. de Neve, geologist Belanda berbadan besar. Di situ pula saya temukan buku-
buku geologi van Bemmelen, Henry Brouwer, Umbgrove, Katili, dll. Buku2
kedokteran setebal 10 cm pun saya membelinya sebagai persiapan kalau-kalau saya
jadi mahasiswa kedokteran. Tentu untuk membeli semua buku itu saya harus
menabung dulu beberapa minggu.

Akhirnya, saat saya duduk SMA terkumpulah 2000 buku macam-macam. Buku-buku
geologi loakan itu saya sering lihat-lihat. Dari SMP pun saya suka bermain ke museum
geologi yang tak jauh dari rumah. Betapa menariknya geologi ! Saat tes masuk
perguruan tinggi, saya tentu memilih Kedokteran dan Geologi, dua-duanya di Unpad.
Mengapa saya tak memilih geologi di ITB ? Sebab dalam pandangan saya saat itu,
lulusan geologi ITB akan jadi insinyur teknik geologi, sesuatu yang saya tak inginkan
sebab saya ingin menjadi seorang ilmuwan geologi. Maka saya memilih geologi Unpad
yang bernaung di bawah Fakultas MIPA, tentu bernuansa lebih ilmiah dan bukan
teknik. Ternyata, baik geologi ITB maupun geologi Unpad sama saja, lulusan geologi
Unpad pun saat saya lulus gelarnya insinyur pula. Lalu, saya gagal masuk kedokteran
Unpad dan diterima di geologi Unpad.

Tahun 1983 saat itu. Karena menjadi dokter adalah cita-cita saya sejak kecil, saya
mencoba masuk kedokteran Maranatha, diterima dan sempat kuliah satu tahun,
kemudian diputuskan keluar karena biaya. Tahun 1984 saya mencoba lagi masuk
kedokteran Unpad, gagal lagi, ya sudah, cita-cita menjadi dokter saya kubur. Saya ingin
bertekun di geologi saja. Selama tahun1983-1988 saya kuliah geologi di dua tempat :
satu di kampus (formal), satu di perpustakaan P3G (informal). Di kampus saya
mendapatkan pendidikan dari bapak-bapak dosen, di perpustakaan geologi saya belajar
geologi dari laporan-laporan, jurnal-jurnal, dan banyak lainnya. Pulang dari
perpustakaan saya selalu mampir ke museum agar hafal ini batu ini, itu batu itu. Para
petugas perpusatakaan P3G tahun 1983-1988 adalah orang-orang yang sangat berjasa
buat saya (Bu Polhaupessy, Pak Ade, Pak Anton, Eutik, Teh Ani, dll…) yang tak bosan
melihat saya hampir setiap hari berjam-jam di situ selama bertahun-tahun. Kalau
bekerja di perpustakaan, saya pasti mencatat banyak hal penting dari bahan yang saya
pelajari. Catatan-catatan di kertas bekas itu kalau ditumpuk ada satu meter tingginya.
Lulus sekolah Februari 1989, saya mengirimkan surat lamaran ke 40 perusahaan dan
instansi. Yang menjawab hanya empat : tak ada lowongan ! Selama setahun saya
mencari pekerjaan ke sana-sini sambil bekerja paruh waktu di sebuah konsutan
pertambangan di Bandung. Saya membentuk kelompok bahasa Inggris dengan teman-
teman yang bertemu seminggu sekali sambil bertukar info soal bursa pekerjaan.
Kelompok kecil ini kemudian ternyata sangat membantu saya saat tes wawancara
dengan perusahaan yang memanggil saya.
Di ujung 1989, kesempatan datang dan saya dapat memanfaatkannya dengan baik.
Saya lulus tes masuk P3G, juga lulus tes masuk Pertamina. Saya melamar ke P3G
karena ingin melanjutkan sekolah sebab saat itu di P3G banyak sekali doktornya.
Melamar ke Pertamina karena saya ingin dapat gaji yang lumayan. Bingung saya
memutuskan, masuk ke P3G atau Pertamina ? Di P3G, saya punya banyak teman senior
baik yang master maupun doktor, itu karena saya rajin ke P3G dan memberanikan diri
mengobrol dengan mereka. Satu per satu saya tanya, saya mesti masuk ke mana, P3G
atau Pertamina ? Jawaban sekian banyak ahli itu : jangan masuk P3G, duitnya sedikit,
kesempatan sekolah pun sedang jarang (begitu kira-kira jawabannya). Maka, saya
bulatkan masuk Pertamina saja. Di Pertamina tahun 1990-1997 saya sibuk sebagai
seorang exploration geologist. Tahun 1991 dibuka kesempatan sekolah S2 (lalu S3),
saya terpilih untuk ikut tes, datang dari Balikpapan ke Jakarta, bersaing dengan sekian
belas teman2 Pertamina lain. Pulang ke Balikpapan saya diberitahukan bahwa saya
tidak lulus, katanya gagal di wawancara sebab yang diperlukan adalah orang yang
senang riset 100 % (saya menjawab saat wawancara saya suka riset 50 % dan operasi
lapangan 50 %). Apakah hanya itu kriteria kelulusan ? Saya tidak yakin…, tetapi
sudahlah, saya akan tetap mencintai geologi meskipun tidak sebagai S2 apalagi S3.

Lima tahun karier awal saya ternyata pekerjaannya serabutan dan kebanyakan pergi ke
lapangan. Studi-studi geologi semakin jauh dari saya. Terus terang, saat itu saya
mengiri kepada teman-teman yang ditempatkan di bagian studi geologi yang sering
berdiskusi dengan ahli2 geologi S3 dari ITB atau LIPI atau tempat lain sebagai
konsultan studi2 Pertamina. sementara saya, jauh di lapangan, di tengah hutan menjaga
sumur2 sebagai wellsite geologist. Tetapi, saya selalu ingat kata-kata ini, kata2 yang
saya temukan di lembar pertama skripsi Pak Ildrem Syafri yang saya panggil Uda
Ildrem : “Lebih baik menyusul dengan diam-diam daripada membuang waktu dengan
iri hati kepada orang yang berjalan di depan.”.Maka, hari-hari saya penuhi dengan
belajar dan belajar, hari-hari saya penuhi dengan menulis dan menulis. Tahun 1993
saya mulai menulis paper yang saya kirimkan ke PIT IAGI atau IPA; dan sejak itu saya
tak bisa lagi berhenti belajar dan menulis. Saya menulis banyak hal dalam geologi
sebab saya belajar banyak hal dalam geologi. Saya tetap menulis meskipun saya bukan
seorang S2 atau S3, bukan seorang yang bekerja di lembaga riset, bukan seorang yang
bekerja di perguruan tinggi.

Saya menulis bukan untuk mengejar nilai kum, tetapi saya menulis karena mencintai
geologi dan ingin menyampaikan pikiran saya kepada khalayak ramai. Teman-teman
saya yang master dan doktor di Pertamina, yang dulu sama-sama waktu tes untuk S2
dan S3 (mereka berhasil sementara saya gagal) saya amati terus publikasinya, ternyata
publikasi saya jauh lebih banyak…Saya beranikan meneliti dan menulis meskipun
isinya bisa bersinggungan atau mungkin ditertawakan doktor-doktor ahlinya. Lalu,
tahun 1997-2000 saya dipindahkan ke JOB Santa Fe-Salawati joint antara Pertamina
dan Santa Fe untuk mengerjakan Cekungan Salawati. Inilah periode yang berharga
untuk saya melakukan banyak studi secara mandiri. Saya belajar dan berbuat (learning
by doing). Berbagai macam studi saya lakukan di sini, mulai dari geokimia sampai
struktur. Semua studi bukan diinstruksikan dari atasan, tetapi atas keinginan sendiri.
Ada sekitar tujuh volume laporan studi selama empat tahun yang produktif itu. Studi-
studi itu telah sangat membantu saya memahami petroleum geology secara terintegrasi.
Saya makin percaya : no pain no gain. Saya juga percaya bahwa tak ada yang sulit
dalam hidup ini asal mau berikhtiar, berusaha, dan ulet. Menjelang tahun 2000 dan
sesudahnya mulai banyak teman yang mengambil sekolah S2, baik dibiayai perusahaan
maupun biaya sendiri. Dosen2 dari ITB datang ke kantor seminggu sekali mengajari
mereka. Saya tak berminat mengambilnya, saya sudah lama belajar sendiri di
perpustakaan saya yang saat itu sudah hampir 5000 koleksi buku-bukunya tak termasuk
ribuan paper geologi. Mengambil sekolah lagi ibarat merasa mengkhianati diri sendiri
yang sudah bersumpah otodidak. Tahun 2000 saya dipindahkan ke Pertamina MPS
(manajelem production sharing – asal muasal BPMIGAS sekarang). Di sini sama sekali
bukan tempat riset, bukan tempat melakukan studi-studi geologi, dan sejenisnya, tetapi
tempat mengawasi dan mengkoordinasi kegiatan-kegiatan yang dilakukan kontraktor2
perminyakan Indonesia. Banyak orang bilang bahwa di Pertamina MPS kemampuan
teknis kita akan berkurang dan hilang sebab kemampuan kita tak dipakai lagi, tak
mengerjakan studi lagi, hanya menilai. Benarkah begitu ? Mungkin ya mungkin tidak.
Tetapi yang jelas justru di Pertamina MPS-BPMIGAS lah kecintaan saya kepada
geologi makin menjadi sebab saya dikelilingi sedemikian banyak data dari seluruh
Indonesia. Saya juga menerima laporan studi ini studi itu. Maka lebih dari setengah
jumlah total publikasi saya, saya tulis di Pertamina MPS-BPMIGAS.

Saat ini jumlah total publikasi saya sudah 139 (56 paper untuk berbagai pertemuan
nasional dan internasonal, 23 artikel untuk jurnal dalam dan luar negeri, 6 bab di dalam
enam buku, 24 presentasi undangan dan pidato kunci, 21 kuliah umum/tamu di
berbagai perguruan tinggi, dan 9 buku manual kursus untuk profesional) . Semua saya
tulis atas nama cinta saya kepada geologi dan pengabdian saya kepada masyarakat
geologi dan masyarakat awam. Tidak ada satu pun daripadanya yang saya tulis untuk
mengejar kum sebab saya bukan dosen dan bukan peneliti di lembaga riset; dan tidak
ada satu pun yang saya tulis untuk mengejar salary geology. Kini, di perpustakaan saya
di rumah, saya dikepung oleh hampir 6500 buku. Buku-buku yang telah saya
kumpulkan dari tahun 1979, hampir 30 tahun yang lalu. Itulah sekolah saya, sekolah
tanpa teman, tanpa gelar, tanpa kelulusan, tetapi dengan ribuan dosen-dosen hebat yang
bisa saya tanya kapan saja baik tengah malam maupun dini hari. Ujiannya adalah
membuat paper-paper dan mempresentasikannya . Akan ada pertentangan yang hebat
dalam diri saya kalau saya mengambil sekolah lagi, itu ibarat mengkhinati diri sendiri
yang sudah bersumpah “otodidak”. Hampir 20 tahun otodidak, tak gampang
“mengkhianatinya” . Suatu hari saya duduk bersebelahan dengan Prof. Robert Hall,
ahli tektonik SE Asia yang terkenal itu, di dalam sebuah pertemuan internasional. Saya
dan Prof. Hall sama-sama presentasi tektonik Jawa Tengah. Kami berbagi kartu nama
dan Prof. Hall langsung berkomentar demi melihat institusi saya (BPMIGAS), “you
did your research as a hobby, didn’t you ?” Ya, semuanya karena hobi, seperti juga
yang Pak Herman lakukan.
Saya sudah menemukan kecintaan saya dalam geologi. Apakah keahlian geologi bisa
dijadikan uang ? Tentu saja ! Tetapi bukan itu perhatian saya yang utama, uang akan
mengikuti kita apabila kita punya magnet untuk menariknya. Magnet itu bernama
keahlian. Saya ingin mengatakan kepada para junior saya : besarkan dulu keahlian
geologimu, uang akan mengikutinya apabila keahlian itu sudah menjadi magnet Jangan
membuatnya terbalik. salam,awang

Anda mungkin juga menyukai