Laporan PKL

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KASUS PRAKTEK KERJA LAPANGAN FARMASI KLINIK II

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA SULAWESI TENGAH

“ DISPEPSIA ”

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK III B

NI KADEK DEWI PUSPAYANTI 15 17 062

NILUH SAFITRI YANTI 15 17 064

NILUH TRISNA YANTI 15 17 065

NUR RIZKA MAULIDA 15 17 069

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI (STIFA)

PALU

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas nikmat

dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini

dengan baik dan lancer. Dalam laporan ini, diharapkan dapat menambah

wawasan dan pengetahuan kita semua.

Sebagai mahasiswa, penulis mengharapkan bimbingan, bantuan,

saran dan dukungan dari bapak/ibu dosen serta pihak lain agar laporan ini

bisa berhasil dan berguna bagi kita semua. Penulis mengucapkan terima

kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan

laporan ini.

Dalam penulisan laporan ini penulis telah berusaha semaksimal

mungkin, namun penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari

kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun

semangat penulis dari semua pihak, diharapkan demi kesempurnaan

laporan ini. Akhir kata, besar harapan penulis semoga laporan ini dapat

membantu menunjang perkembangan ilmu pengetahuan serta

memberikan manfaat yang berguna amin.

Palu,

Desember 2018

Penulis
BAB I

PROFIL PENYAKIT

A. DEFENISI DISPEPSIA

Dispepsia adalah kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari

nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung,

cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas

yang menjalar di dada. Berdasarkan pendapat para ahli bahwa 15-30%

orang dewasa pernah mengalami dispepsia.

Di Amerika Serikat, 25% dari seluruh penduduknya terkena sindrom

dispepsia (tidak termasuk keluhan refluks) dimana hanya 5% dari jumlah

penderita tersebut pergi ke dokter pelayanan primer. Di Inggris terdapat

21% penderita terkena dispepsia dimana hanya 2% dari penderita yang

berkonsultasi ke dokter pelayanan primer. Dari seluruh penderita yang

datang ke dokter pelayanan primer, hanya 40% di antaranya dirujuk ke


dokter spesialis (Wong et al., 2002). Berdasarkan data tersebut bahwa

95% penderita di Amerika Serikat membiarkannya saja bahkan 98%

penderita di Inggris tidak pergi ke dokter. Pembiaran atau pengabaian

pada kejadian sindrom dispepsia terjadi mungkin saja karena mereka

menganggap bahwa hal tersebut hanyalah hal ringan yang tidak

berbahaya; atau bisa saja pembiaran tersebut terjadi karena tingkat 2

pemahaman / kesadaran mengenai kesehatan belum tinggi

Di Indonesia diperkirakan hampir 30% pasien yang datang ke

praktik umum adalah pasien yang keluhannya berkaitan dengan kasus

dispepsia. Pasien yang datang berobat ke praktik gastroenterologist

terdapat sebesar 60% dengan keluhan dispepsia (Djojoningrat, 2009).

Berdasarkan data tersebut ternyata pasien yang mengalami sindrom

dispepsia cukup tinggi di Indonesia. Depkes (2004) mengenai profil

kesehatan tahun 2010 menyatakan bahwa dispepsia menempati urutan

ke-5 dari 10 besar penyakit dengan pasien yang dirawat inap dan urutan

ke-6 untuk pasien yang dirawat jalan.

Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa 15-

30% orang dewasa pernah mengalami hal ini dalam beberapa hari. Angka

insiden dispepsia diperkirakan antara 1-8%. Keluhan dispepsia

merupakan keadaan klinik yang sering dijumpai dalam praktek praktis

sehari – hari. Diperkirakan bahwa hampir 30% kasus pada praktek umum

dan 60% pada praktek gastroenterologi merupakan kasus dispepsia.

(Djojoningrat, 2009).
Profil kesehatan tahun 2010 berdasarkan data Departemen

kesehatan tahun 2004 menyatakan bahwa dispepsia menempati urutan

ke enam untuk kategori daftar sepuluh penyakit terbesar pada pasien

rawat jalan diseluruh rumah sakit Indonesia dengan jumlah 88,599 kasus

(Depkes, 2010

B. KLASIFIKASI DISPEPSIA

Pengelompokan mayor dispepsia terbagi atas dua yaitu:

1. Dispepsia Organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik

sebagai penyebabnya. Sindrom dispepsia organik terdapat kelainan

yang nyata terhadap organ tubuh misalnya tukak (ulkus peptikum),

gastritis, stomach cancer, gastro esophageal reflux disease,

hiperacidity. Jenis-jenis dispepsia organik yaitu:

a. Tukak pada saluran cerna atas

Keluhan yang sering terjadi nyeri epigastrum. Nyeri yang

dirasakan yaitu nyeri tajam dan menyayat atau tertekan, penuh

atau terasa perih seperti orang lapar. Nyeri epigastrum terjadi 30

menit sesudah makan dan dapat menjalar ke punggung. Nyeri

dapat berkurang atau hilang sementara sesudah makan atau

setelah minum antasida. Gejala lain seperti mual, muntah,

bersendawa, dan kurang nafsu makan

b. Gastritis
Gastritis adalah peradangan/inflamasi pada mukosa dan

submukosa lambung. Penyebabnya oleh makanan atau obat-

obatan yang mengiritasi mukosa lambung dan adanya

pengeluaran asam lambung yang berlebihan. Gejala yang timbul

seperti mual, muntah, nyeri epigastrum, nafsu makan menurun,

dan kadang terjadi perdarahan

c. Gastro esophageal reflux disease (GRD)

GRD adalah kelainan yang menyebabkan cairan lambung

mengalami refluks (mengalir balik) ke kerongkongan dan

menimbulkan gejala khas berupa rasa panas terbakar di dada

(heart burn), kadang disertai rasa nyeri serta gejala lain seperti

rasa panas dan pahit di lidah, serta kesulitan menelan. Belum

adates standart mendiagnosa GERD, kejadiannya diperkirakan

dari gejala-gejala penyakit lain atau ditemukannya radang pada

esofagus seperti esofagitis.

d. Karsinoma

Karsinoma pada saluran pencernaan (esofagus, lambung,

pankreas, kolon) sering menimbulkan dispepsia. Keluhan utama

yaitu rasa nyeri diperut, bertambah dengan nafsu makan turun,

timbul anoreksia yang menyebabkan berat badan turun

e. Pankreatitis

Gambaran yang khas dari pankreatitis akut ialah rasa nyeri hebat

di epigastrum. Nyeri timbul mendadak dan terus menerus, seperti


ditusuk-tusukdan terbakar. Rasa nyeri dimulai dari epigastrum

kemudian menjalar ke punggung. Perasaan nyeri menjalar ke

seluruh perut dan terasa tegang beberapa jam kemudian. Perut

yang tegang menyebabkan mual dan kadang-kadang muntah.

Rasa nyeri di perut bagian atas juga terjadi pada penderita

pankreatitis kronik. Pada pankreatitis kronik tidak ada keluhan

rasa pedih, melainkan disertai tanda-tanda diabetes melitus atau

keluhan steatorrhoe.

f. Dispepsia pada Sindrom Malabsorbsi

Malabsorpsi adalah suatu keadaan terdapatnya gangguan proses

absorbsi dan digesti secara normal pada satu atau lebih zat gizi.

Penderita ini mengalami keluhan rasa nyeri perut, nausea,

anoreksia, sering flatus, kembung dan timbulnya diare berlendir.

g. Gangguan Metabolisme

Diabetes Mellitus (DM) dapat menyebabkan gastroparesis yang

hebat sehingga muncul keluhan rasa penuh setelah makan,

cepat kenyang, mual dan muntah. Definisi gastroparesis yaitu

ketidakmampuan lambung untuk mengosongkan ruangan. Ini

terjadi bila makanan berbentuk padat tertahan di lambung.

Gangguan metabolik lain seperti hipertiroid yang menimbulkan

nyeri perut dan vomitus.

h. Dispepsia akibat Infeksi bakteri Helicobacter pylori


Penemuan bakteri ini dilakukan oleh dua dokter peraih nobel dari

Australia, Barry Marshall dan Robin Warre yang menemukan

adanya bakteri yang bisa hidup dalam lambung manusia.

Penemuan ini mengubah cara pandang ahli dalam mengobati

penyakit lambung. Penemuan ini membuktikan bahwa infeksi

yang disebabkan oleh Helicobacter pyloripada lambung dapat

menyebabkan peradangan mukosa lambung yang disebut

gastritis. Proses ini berlanjut sampai terjadi ulkus atau tukak

bahkan dapat menjadi kanker.

2. Dispepsia non organik, atau dispepsia fungsional, atau

dispepsia non ulkus

(DNU), bila tidak jelas penyebabnya. Dispepsia fungsional

tanpa disertai kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan

pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi .

Menurut Friedman (2010) Beberapa hal yang dianggap

menyebabkan dispepsia fungsional antara lain :

a. Sekresi Asam Lambung

Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai

tingkat sekresi asam lambung baik sekresi basal maupun dengan

stimulasi pentagastrin dapat dijumpai kadarnya meninggi, normal

atau hiposekresi.

b. Dismotilitas Gastrointestinal
Dismotilitas Gastrointestinal yaitu perlambatan dari masa

pengosongan lambung dan gangguan motilitas lain. Pada

berbagai studi dilaporkan dispepsia fungsional terjadi

perlambatan pengosongan lambung dan hipomotilitas

antrum hingga 50% kasus.

c. Diet dan Faktor Lingkungan

Intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada

kasus dispepsia fungsional. Dengan melihat, mencium bau atau

membayangkan sesuatu makanan saja sudah terbentuk asam

lambung yang banyak mengandung HCL dan pepsin. Hal ini

terjadi karena faktor nervus vagus, dimana ada hubungannya

dengan faal saluran cerna pada proses pencernaan. Nervus

vagus tidak hanya merangsang sel parietal secara langsung

tetapi efek dari antral gastrin dan rangsangan lain sel parietal.

d. Psikologik

Stress akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan

mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya

penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual

setelah stimulus stress sentral.

C. ETIOLOGI DISPEPSIA

penyebab dari syndrom dispepsia adalah:


1. Adanya gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna seperti

tukak gaster / duodenum, gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori

2. Obat-obatan seperti Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) , aspirin

beberapa obat jenis antibiotik, digitalis, teofilin dan sebagainya

3. Penyakit pada hepar, pankreas, sistembillier. hepatitis, pankreatitis,

kolesistitis kronik

4. Penyakit sistemik seperti diabetes melitus, penyakit tiroid, dan penyakit

jantung koroner

5. Bersifat fungsional yaitu dispepsia yaitu dispepsia yang terdapat kasus

yang tidak didapatkan adanya kelainan/ penggunaan organik yang

dikenal sebagai dispepsia fungsional atau dispepsia non ulkus

D. PATOFISIOLOGI

1) Faktor Genetik

Genetik merupakan faktor predisposisi penderita gangguan

gastrointestinal fungsional. Faktor genetik dapat mengurangi jumlah

sitokin antiinflamasi (Il-10, TGF β). Penurunan sitokin antiinflamasi dapat

meyebabkan peningkatan sensitisasi pada usus. Selain itu polimorfisme

genetik berhubungan dengan protein dari sistem reuptake synaptic

serotonin serta reseptor polimorfisme alpha adrenergik yang

memengaruhi motilitas dari usus. Insiden keluarga yang mengalami

gangguan fungsional gastrointestinal berhubungan dengan potensi

genetik. Perbedaan pada kelenjar axis hipotalamus pituitary adrenal


menjadi hasil temuan yang menarik. Pada pasien gangguan

gastrointestinal fungsional terjadi hiperaktifitas dari axis hypothalamus

pituitarity adrenal

2) Faktor Psikososial

Penyelidikan atas pengaruh psikososisal mengungkapkan bahwa

stres adalah faktor yang mempengaruhi dispepsia fungsional. Emosi labil

memberikan kontribusi terhadap perubahan fungsi gastrointestinal. Hal ini

merupakan akibat dari pengaruh pusat di enterik. Stres adalah faktor

yang diduga dapat mengubah gerakan dan aktivitas sekresi traktus

gastrointestinal melalui mekanisme-neuroendokri. Beberapa kepustakaan

menyebutkan bahwa anak-anak dengan gangguan fungsi gastrointestinal

lebih lazim disebabkan karena kecemasan pada diri mereka dan orang

tua terutama ibu. Satu studi menyatakan bahwa stres atau kecemasan

dapat mengaktifkan reaksi disfungsi otonomik traktus gastrointestinal yang

dapat menyebabkan gejala sakit perut berulang.

3) Pengaruh Flora Bakteri

Infeksi Hp (Helicobacter pylori) menyebabkan dispepsia fungsional.

Penyelidikan epidemiologi menunjukkan kejadian infeksi Hp pada pasien

dengan dispepsia cukup tinggi, walaupun masih ada perbedaan pendapat

mengenai pengaruh Hp (Helicobacter pylori) terhadap dispepsia

fungsional. Diketahui bahwa Hp dapat merubah sel neuroendokrin


lambung. Sel neuroendokrin menyebabkan peningkatan sekresi lambung

dan menurunkan kadar somatostatin.

4) . Gangguan motilitas dari saluran pencernaan

Stres mengakibatkan gangguan motilitas gastrointestinal. Pada

pasien dispepsia fungsional terjadi gangguan motilitas dibandingkan

dengan kontrol yang sehat, dari 17 penelitian kohort yang di teliti tahun

2000 menunjukkan keterlambatan esensial pengosongan lambung pada

40% pasien dispepsia fungsional. Gastric scintigraphy ultrasonography

dan barostatic measure menunjukkan terganggunya distribusi makanan

didalam lambung, dimana terjadi akumulasi isi lambung pada perut bagian

bawah dan berkurangnya relaksasi pada daerah antral. Dismolitas

duodenum adalah keadaan patologis yang dapat terjadi pada dispepsia

fungsional, dimana terjadi gangguan aktivitas mioelektrikal yang

merupakan pengatur dari aktivitas gerakan gastrointestinal.

5) Hipersensitivitas viseral

Hipersensitivitas viseral merupakan suatu distensi mekanik akibat

gastrointestinal hipersensitif terhadap rangsangan, merupakan salah satu

hipotesis penyakit gastrointestinal fungsional. Fenomena ini berdasarkan

mekanisme perubahan perifer. Sensasi viseral ditransmisikan dari

gastrointestinal ke otak, dimana sensasi nyeri dirasakan. Peningkatan

persepsi nyeri sentral berhubungan dengan peningkatan sinyal dari usus.

Peningkatan perangsangan pada dinding perut menunjukkan disfungsi


pada aktivitas aferen. Secara umum terganggunya aktivitas serabut

aferen lambung mungkin menyebabkan timbulnya gejala dispepsia.

Dispepsia fungsional juga ditandai oleh respon motilitas yang cepat

setelah rangsangan kemoreseptor usus. Hal ini mengakibatkan rasa mual

dan penurunan motilitas duodenum. Mekanisme hipersensitivitas viseral

ini juga terkait dengan mekanisme sentral. Penelitian pada nyeri viseral

dan somatik menunjukkan bagian otak yang terlibat dalam afektif, kognitif

dan aspek emosional terhadap rasa sakit yang berhubungan dengan

pusat sistem saraf otonom. Kemungkinan bahwa perubahan periperal

pada gastrointestinal dimodulasi oleh mekanisme sentral. Bagian

kortikolimbikpontin otak adalah bagian pusat terpenting dalam persepsi

stimuli periperal.

E. MANIFESTASI KLINIS

Klasifikasi klinis praktis membagi dispepsia berdasarkan atas

keluhan/ gejala yang dominan menjadi tiga tipe yakni :

1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulcus-like dyspepsia)

a. Nyeri epigastrium terlokalisasi

b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasida

c. Nyeri saat lapar

d. Nyeri episodik
2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia)

a. Mudah kenyang

b. Perut cepat terasa penuh saat makan

c. Mual

d. Muntah

e. Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)

f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan

3. Dispepsia non spesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas)

Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta

dapat akut atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakit. Pembagian

akut dan kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan. Nyeri dan rasa

tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai dengan

sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa

penderita, makan dapat memperburuk nyeri, sedangkan pada penderita

lainnya, makan bisa mengurangi nyeri. Gejala lain meliputi nafsu makan

menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut kembung). Jika

dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak

memberi respon terhadap pengobatan, atau disertai penurunan berat

badan atau gejala lain yang tidak biasa, maka penderita harus menjalani

pemeriksaan. Gejala klinis dispepsia fungsional harus dapat kita bedakan


dengan sakit perut berulang yang disebabkan oleh kelainan organik yang

mempunyai tanda peringatan (alarm symptoms) seperti pada tabel berikut.

Tabel Alarm symptoms sakit perut berulang karena kelainan organik.21

Nyeri terlokalisir, jauh dari umbilikus

Nyeri menjalar (punggung, bahu, ekstremitas bawah)

Nyeri sampai membangunkan anak pada malam hari

Nyeri timbul tiba-tiba

Disertai muntah berulang terutama muntah kehijauan

Disertai gangguan motilitas (diare, obstipasi, inkontinensia)

Disertai perdarahan saluran cerna

Terdapat disuria

Berhubungan dengan menstruasi

Terdapat gangguan tumbuh kembang

Terdapat gangguan sistemik: demam, nafsu makan turun

Terjadi pada usia < 4 tahun

Terdapat organomegali

Terdapat pembengkakan, kemerahan dan hangat pada sendi

Kelainan perirektal: fisura, ulserasi

F. TATALAKSANA DISPEPSIA

Pengobatan untuk dispepsia fungsional masih belum jelas.

Beberapa pengobatan yang telah didukung oleh bukti ilmiah adalah :


pemberantasan Hp (Helicobacter pylori), Itoprid, PPI, dan terapi psikologi.

Pengobatan yang belum didukung bukti adalah antasida, antispasmodik,

bismuth, terapi diet, terapi herbal, reseptor AH2, misoprostol, golongan

prokinetik, selective serotonin-reuptake inhibitor, sukralfat, dan

antidepresan.6,23 Penanganan dispepsia fungsional dapat dilakukan

dengan non farmakologi dan farmakologi.

a. Non farmakologi

Beberapa studi mengenai penanganan dispepsia fungsional

diantaranya dengan cognitive-behavioural therapy, pengaturan diet, dan


terapi farmakologi. Gejala dapat dikurangi dengan menghindari makanan

yang mengganggu, diet tinggi lemak, kopi,alkohol, dan merokok. Selain

itu, makanan kecil rendah lemak dapat membantu mengurangi intensitas

gejala. Direkomendasikan juga untuk menghindari makan yang terlalu

banyak terutama di malam hari dan membagi asupan makanan

seharihari menjadi beberapa makanan kecil. Alternatif pengobatan yang

lain termasuk hipnoterapi, terapi relaksasi dan terapi perilaku.

b. Farmakologis

Pengobatan dispepsia fungsional mengenal beberapa obat, yaitu

a. Antasida

Antacid berfungsi untuk menetralkan asam lambung. Pemakaian

antacid tidak dianjurkan secara terus menerus, sifatnya hanya simtomatis

untuk mengurangi rasa nyeri, penggunaan dosis besar dapat

menyebabkan diare.

Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir

sekresiasamlambung. Antasid biasanya mengandungi Na bikarbonat,

Al(OH)3, Mg(OH)2, danMgtriksilat. Pemberian antasid jangan terus-

menerus, sifatnya hanya simtomatis, untuk mengurangi rasa nyeri. Mg

triksilat dapat dipakai dalam waktu lebih lama, juga berkhasiat

sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar

akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2. Sering

digunakan adalah gabungan Aluminium hidroksida dan magnesium


hidroksida.Aluminum hidroksida boleh menyebabkan konstipasi dan

penurunan fosfat; magnesium hidroksida bisa menyebabkan BAB

encer.Antacid yangsering digunakan adalah seperti Mylanta, Maalox,

merupakan kombinasi Aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida.

Magnesium kontraindikasi kepada pasiengagal ginjal kronik karena bisa

menyebabkan hipermagnesemia, dan aluminium bisa menyebabkan

kronik neurotoksik pada pasien tersebut.

b. Antikolinergik

Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang

agak selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik

yang dapat menekan seksresiasamlambung sekitar 28-43%. Pirenzepin

juga memiliki efek sitoprotektif

c. Antagonis reseptor H2

(AH2) Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati

dispepsia organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk

golongan ini adalah famotidin, ranitidin, simetidin dan nizatidin.7 Obat

cepat diserap setelah pemberian per oral. Efek reseptor AH2 pada sekresi

asam tergantung pada dosis dan konsentrasi.27 Penghambat reseptor

AH2 secara kompetitif manghambat aksi histamin pada reseptor

histamine H2 pada sel parietal lambung. Sel parietal memiliki reseptor

untuk histamin, asetilkolin dan gastrin, yang semuanya dapat

merangsang sekresi asam hidroklorida ke dalam lumen gaster.


Penghambat reseptor H2 menghambat sekresi asam yang dihasilkan oleh

reseptor histamin. Efek penghambat reseptor H2 pada sekresi asam

tergantung pada dosis dan konsentrasi. Reseptor AH2 kecil pengaruhnya

terhadap otot polos lambung dan tekanan sfingter esophagus yang lebih

bawah. Sekresi gastrointestinal yang lain tidak banyak berkurang.

Terdapat perbedaan potensial yang sangat jelas dari efikasinya dibanding

obat lain dalam mengurangi sekresi asam.

Efek reseptor AH2 pada sekresi asam tergantung pada dosis dan

konsentrasi. Famotidin diberikan dengan dosis 0.5 mg/kgBB/dosis dua kali

sehari dengan dosis maksimal 40 mg/hari selama dua minggu. Efek

samping famotidin biasa ringan dan jarang terjadi, misalnya sakit kepala,

pusing, konstipasi dan diare.

d. PPI

Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium

akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk

golongan PPI adalah omeperazol,lansoprazol, dan pantoprazol.

Waktu paruh PPI adalah ~18jam ; jadi, bisa dimakan antara 2dan 5

hari supaya sekresi asid gastrik kembali kepada ukuran normal. Supaya

terjadi penghasilan maksimal, digunakan sebelum makan yaitu sebelum

sarapan pagi kecuali omeprazol.


e. Sitoprotektif

Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil

(PGE2). Selainbersifatsitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung

oleh sel parietal. Sukralfatberfungsimeningkatkan sekresi prostoglandin

endogen, yang selanjutnya memperbaikimikrosirkulasi,meningkatkan

produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat

mukosa,sertamembentuk lapisan protektif (site protective), yang

bersenyawa dengan protein sekitarlesimukosa saluran cerna bagian atas.

Toksik daripada obat ini jarang, bisa menyebabkankonstipasi (2 – 3%).

Kontraindikasi pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis standard adalah 1

gper hari.

f. Golongan prokinetik

Obat yang termasuk dalam golongan prokinetik, sisaprid,

domperidon dan metoklopramid. Obat golongan ini efektif untuk

mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofangitis dengan mencegah

refluks dan memperbaiki bersihan asam lambung

g. Antibiotik untuk infeksi Helicobacter pylori

Eradikasi bakteri Helicobacter pylori membantu mengurangi

simptom pada sebagianpasiendan biasanya digunakan kombinasi

antibiotik seperti amoxicillin (Amoxil),clarithromycin(Biaxin), metronidazole

(Flagyl) dan tetracycline (Sumycin).Kadang kala juga dibutuhkan

psikoterapi dan psikofarmakoterapi (obat anti- depresidancemas) pada


pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang keluhan

yangmunculberhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan

depresi.
BAB II

PROFIL PASIEN

A. Profil Pasien

Nama Pasien : Ny. Mr

Umur : 58 tahun

Alamat :

Berat badan :-

Tinggi badan :-

Jenis kelamin : Perempuan

MRS : 04-12-2018

KRS :-

B. Profil Penyakit

Keluhan utama : Ny. Mr masuk rumah sakit dengan keluhan muntah.


Dimana pasien mengalami muntah-muntah selama ±
4 kali. Keluhan dialami ± jam 01:00 masuk rumah
sakit. Pasien juga mengeluh nyeri uluhati tembus
belakang serta mual.

Riwayat penyakit : Maag, DM Tipe 2

Diagnosa : Dispepsia, DM Tipe 2


BAB III

PROFIL PENGOBATAN

A. Hasil Pemeriksaan Fisik

Tanggal pemeriksaan
Pemeriksaan
04/12/18 05/12/18 06/12/18 07/12/18 08/12/18
TD (mmHg)
180/110 120/80 110/90 140/80 140/70
120/80
Suhu (oC)
36 36 36 36,4
36,5 - 37,2 37,9
Nadi
(..x/menit) 80 80 82 80
76
60-100
Respirasi
(..x/menit) - - - - -
16-20

B. Data Pemeriksaan Laboratorium

Pemerik Nilai Tanggal pemeriksaan


saan Normal 04/12/18 05/12/18 06/12/18 07/12/18 08/12/18
70- 200
GDS 380 130
mg/dL
4 -10x
WBC 13.8
103/mm
Leukosit - +3
C. Profil Pengobatan Pasien

Tanggal pemberian
Jenis obat Regimen
04/12 05/12 06/12 07/12 08/12
20
Ringer Lactat √ √ √ - -
tetes/menit
Ranitidin
1x1 ampul √
Injeksi
Ondansentron
2x1 ampul √
Injeksi
Metformin 3x1 √

Paracetamol 3x1 √ √ √ √ -

Omeprazole 2x1 Vial √ √ √ √ √


Sucralfat 3x2 c. √ - √ - √
Betahistine
3x1 √ √ √ √ √
Mesylate
Novorapid 8-8-8 √ √ √ √ √
Ceftriaxone 2x1 Vial √ √ √ - -
Cefixime 2x1 - - - √ √
Simvastatin 1-0-0 - - - √ -
D. Tinjauan Farmakologi Obat
1. Ringer Lactat
 Indikasi : Mengembalikan keseimbangan elektrolit dalam
kondisidehidrasi.

 KI : Hipernatremia, kelainanginjal, kerusakan selhati,


laktat asidosis.
 Perhatian : Jangan digunakan bila botol rusak, larutan keruh
atau berisi partikel.
 Dosis : penggunaan obat ini harus sesuai dengan petunjuk
dokter. Dosis tergantung pada usia, berat badan dan keadaan
klinis penderita.

2. Ranitidin

 Indikasi : tukak lambung dan tukak duodenum, refluks


esofagitis, dispepsia episodik kronis, tukak akibat AINS, tukak
duodenum karena H.pylori, sindrom Zollinger-Ellison, kondisi
lain dimana pengurangan asam lambung akan bermanfaat.
 KI : Penderita yang hipersensitif terhadap raitidine atau
H2 reseptor antagonis lainnya.
 Perhatian : Ganguan ginjal, ganguanhati, kehamilan, menyusui.
 Dosis : Oral untuk tukak peptik ringan dan tukak duodenum
150 mg 2 kali sehari atau 300 mg pada malam hari selama 4-8
minggu, sampai 6 minggu pada dispepsia episodik kronis, dan
sampai 8 minggu pada tukak akibat AINS (pada tukak
duodenum 300 mg dapat diberikan dua kali sehari selama 4
minggu untuk mencapai laju penyembuhan yang lebih tinggi);
ANAK: (tukak lambung) 2-4 mg/kg bb 2 kali sehari, maksimal
300 mg sehari
Injeksi: injeksi intramuskular 50mg (2ml) tiap 6-8 jam.
3. Ondancentron

 Indikasi : Mual dan muntah akibat kemoterapi, pencegahan


mual dan muntah.
 KI : Hipersensitifitas, sindroma perpanjangan intervel QT
bawaan.
 Perhatian : Hipersensitifitas terhadap antagonis 5HT3 lainnya,
obstruksi intestinal subakut, kehamilan, menyusui, gangguan
fungsi hati sedang dan berat.
 Dosis : Dewasa, kemoterapi dan radioterapi yang
menyebabkan muntah tingkat sedang:oral: 8 mg, 1-2 jam
sebelum terapi atau injeksi intravena lambat, 8 mg sesaat
sebelum terapi, dilannjutkan dengan 8 mg oral tiap 12 jam
sampai dengan 5 hari. Sebagai alternatif, infus intravena lebih
dari 15 menit, 16 mg sesaat menjelang terapi, diikuti dengan 8
mg dengan interval 4 jam untuk 2 dosis berikutnya, kemudian
diikuti 8 mg oral tiap 12 jam sampai 5 hari

4. Metformin

 Indikasi : Diabetes mellitus tipe 2, terutama untuk pasien


dengan berat badan berlebih (overweight), apabila pengaturan
diet dan olahraga saja tidak dapat mengendalikan kadar gula
darah. Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi atau
dalam kombinasi dengan obat antidiabetik lain atau insulin
(pasien dewasa), atau dengan insulin (pasien remaja dan anak
>10 tahun)
 KI : gangguan fungsi ginjal, ketoasidosis, hentikan bila
terjadi kondisi seperti hipoksia jaringan (sepsis, kegagalan
pernafasan, baru mengalami infark miokardia, gangguan hati),
wanita hamil dan menyusui.
 Perhatian : tentukan fungsi ginjal (menggunakan metoda
sensitif yang sesuai) sebelum pengobatan sekali atau dua kali
setahun (lebih sering pada atau bila keadaan diperkirakan
memburuk).
 Dosis :Dewasa & anak > 10 tahun: dosis awal 500 mg
setelah sarapan untuk sekurang-kurangnya 1 minggu,
kemudian 500 mg setelah sarapan dan makan malam untuk
sekurang-kurangnya 1 minggu, kemudian 500 mg setelah
sarapan, setelah makan siang dan setelah makan malam.
Dosis maksimum 2 g sehari dalam dosis terbagi.

5. Paracetamol

 Indikasi : Nyeri ringan sampai sedang, demam


 KI : Hipersensitif, ganguan hati
 Perhatian : Ganguan fungsi hati, ginjal, ketergantungan alkohol
 Dosis : Dewasa: 500 mg- 1000 mg perhari diberikan tiap 4-6
jam. Maksimum 4 gram perhari.

6. Omeprazole
 Indikasi : Tukak lambung, tukak duodenum, GERD,
hipersekresi patologis.
 KI : Penderita yang hipersensitif terhadap Omeprazole.
 Perhatian : Pasien dengan penyakit hati, kehamilan, menyusui.
Singkirkan terlebih dahulu kemungkinan kanker lambung
sebelum pemberian omeprazole.
 Dosis : Tukak lambung dan duodenum: dosis awal 1x20
mg/hari selama 4-8 minggu, dapat ditingkatkan menjadi 40
mg/hari pada kasus berat atau kambuh; Refluks
gastroesofageal : 1x20 mg/hari selama 4-8 minggu.
7. Sucralfat
 Indikasi : Tukak lambung, tukak duodenum
 KI : Tidak boleh diberikan untuk pasien yang memiliki
riwayat hipersensitif terhadap sukralfat dan komponen lain
dalam obat. Tidak dianjurkan digunakan oleh anak usia < 15
tahun. Jangan menggunakan obat ini pada pasien gagal ginjal
kronis mengingat resiko nefropati yang diinduksi oleh
aluminium.
 Perhatian : Gangguan ginjal berat, kehamilan dan menyusui,
pemberian sucralfat dan nutrisi enteral harus berjarak 1 jam.
 Dosis : Tukak lambung dan duodenum : Tab: 4x1 g/hari
(2 jam sebelum makan dan sebelum tidur malam) selama 4-6
minggu. Maksimal 8 g/hari. Larutan suspensi: 2 sdt 4x/hari.

8. Betahistine Mesylate / Vastigo


 Indikasi : Vertigo dan pusing pada penyakit Meniere,
sindrom Meniere, dan vertigo perifer.
 KI : Hipersensitif, Feokromositoma
 Perhatian : Asma bronkial, tukak peptik, atau riwayat tukak
peptik, hamil, laktasi, anak < 12 tahun.
 Dosis : 1-2 tab (6-12 mg) diberikan 3x1.

9. Novorapid
 Indikasi : Terapi untuk DM tipe I dan DM tipe II
 KI : Hipoglikemia
 Perhatian : Penyakit atau obat yang dapat memperlambat
absorpsi makanan dan atau meningkatkan kebutuhan insulin.
 Dosis : 0,5 - 1 u/kgBB/hari
10. Ceftriaxone
 Indikasi : Infeksi yang disebabkan oleh patogen yang
sensitif terhadap ceftriaxone dalam kondisi (sepsis, meningitis,
infeksi abdomen peritonitis, infeksi kandung empedu, dan
saluran pencernaan), infeksi tulang, persendian dan jaringan
lunak, pencegahan infeksi pra bedah, infeksi ginjal dan saluran
kemih, infeksi saluran pernapasan, terutama pneumonia, infeksi
THT, infeksi kelamin termasuk gonorhea.
 KI : Hipersensitif terhadap Chepalosporin.
 Perhatian : Sebaiknya jangan diberikan pada neonatus
karna dapat menimbulkan resiko terbentuknya bilirubin
enselofati; dapat menimbulkan pseudomembran kolitis pada
penderita yang mengalami diare setelah pemberian obat-
obatan antibakteri; dapat menimbulkan superinfeksi pada
mikroorganisme yang tidak peka.
 Dosis : Dewasa dan anak > 12 tahun : 1-2 g/hari.
Pada infeksi berat, dosis dapat ditingkatkan hingga 4 g/hari.
Dapat diberikan secara injeksi i.v dan i.m. Bayi dan anak <12
tahun : 20-80 mg/KgBB/hari. pemberian infus i.v dalam 60
menit. Neonatus : 20-50 mg/KgBB/hari. Pemberian infus i.v
dalam 60 menit.

11. Cefixime
 Indikasi : Infeksi yang disebabkan oleh patogen yang
sensitif terhadap cefixime, pada penyakit ISK tanpa komplikasi
(sistitis, sistouretritis, pielonefritis), infeksi saluran napas atas
(otitis media, faringitis, tonsilitis), infeksi saluran napas bawah (
bronkitis akut dan bronkitis kronik eksaserbasi akut).
 KI : Hipersensitifitas terhadap cephalosporin.
 Perhatian : Pada penderita yang hipersensitifitas
terhadap penicilin kemungkinan dapt terjadi reaksi alergi silang
bila diberikan cefixime, pada pasien dengan fungsi ginjal
menurun dosis harus disesuaikan, pada wanita hamil dan
menyusui hanya diberikan bila benar-benar diperlukan, hati-hati
pemberian untuk penderita dengan riwayat kolitis, pemakaian
jangka panjang dapat menyebabkan pertumbuhan berlebihan
dari organisme yang resisten.
 Dosis : Dewasa dan anak >12 tahun atau berat ≥
30 Kg: 2 x 50-100 mg/hari. Anak BB <30 Kg: 2 x 1,5 – 3
mg/KgBB/hari.

12. Simvastatin
 Indikasi : Terapi tambahan pada diet untuk menurunkan
kolesterol pada hiperkolesterolemia primer atau dislipidemia
campuran.
 KI : Pasien dengan penyakit hati yang aktif, kehamilan,
menyusui, hipersensitifitas.
 Perhatian : Statin harus digunakan dengan hati- hati pada
pasien dengan riwayat penyakit hati atau peminum alkohol.
Obat ini harus dihentikanbila kadar transaminase serum
meningkat dan bertahan pada tiga kali batas atas normal.
 Dosis : Dosis awal: 5 - 10 mg/hari dosis tunggal pada
malam hari, dosis dapat disesuaikan dengan interval 4 minggu.
Maksimal 40 mg/hari sebagai dosis tunggal (malam hari).
E. Monitoring Efek Samping dan Informasi Obat
1. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Obat Indikasi Monitoring Efek Samping
Obat
Ringer Lactat Mengembalikan Asidosis laktat,
keseimbangan elektrolit Hiperkalemia,
pada dehidrasi. Pembentukan bekuan
darah / clotting pada pasien
transfusi, Alergi, Pruritus,
Reaksi lokal
Ranitidin tukak lambung dan tukak Takikardi (jarang), agitasi,
duodenum, refluks gangguan penglihatan,
esofagitis, dispepsia alopesia, nefritis interstisial.
episodik kronis, tukak akibat
AINS, tukak duodenum
karena H.pylori, sindrom
Zollinger-Ellison, kondisi
lain dimana pengurangan
asam lambung akan
bermanfaat.
Ondansentron mual dan muntah akibat sensasi hangat atau
kemoterapi dan radioterapi, kemerahan, konstipasi,
pencegahan mual dan reaksi lokasi injeksi, tidak
muntah pasca operasi umum: kejang, gangguan
gerakan (termasuk reaksi
ekstrap iramidal seperti
reaksi distoni, oculogyric
crisis, diskinesia), aritmia,
nyeri dada dengan atau
tanpa depresi segmen ST,
bradikardi, cegukan,
peningkatan uji fungsi hati
tanpa gejala
Metformin diabetes mellitus tipe 2, anoreksia, mual, muntah,
terutama untuk pasien diare (umumnya
dengan berat badan sementara), nyeri perut,
berlebih (overweight), rasa logam, asidosis laktat
apabila pengaturan diet dan (jarang, bila terjadi hentikan
olahraga saja tidak dapat terapi), penurunan
mengendalikan kadar gula penyerapan vitamin B12,
darah. Metformin dapat eritema, pruritus, urtikaria
digunakan sebagai dan hepatitis.
monoterapi atau dalam
kombinasi dengan obat
antidiabetik lain atau insulin
(pasien dewasa), atau
dengan insulin (pasien
remaja dan anak >10
tahun).
Parecetamol Nyeri ringan sampai Reaksi alergi, ruam kulit
sedang, demam berupa eritema atau
urtikaria, kelainan
darah,hipotensi, kerusakan
hati.
Omeprazole Tukak lambung, tukak Urtikaria, mual dan muntah,
duodenum, GERD, kontipasi, kembung, nyeri
hipersekresi patologis abdomen, lesu, nyeri otot
dan sendi, pandangan
kabur, edema perifer,
perubahan hematologik,
enzim dan hati, depresi.
Sucralfat Tukak lambung, tukak Konstipasi, diare, mual,
duodenum gangguan pencernaan,
gangguan lambung, ruam,
mulut kering, rekasi
hipersensitifitas, nyeri
punggung, pusing, sakit
kepala, vertigo, mengantuk
dan pembentukan bezoar.
Betahisitn Vertigo dan pusing pada Gangguan gastrointestinal,
Mesylate penyakit Meniere, sindrom ruam kulit, gatal.
Meniere, dan vertigo perifer.
Novorapid Terapi untuk DM tipe I dan Hipoglikemia
DM tipe II
Ceftriaxone Infeksi yang disebabkan Reaksi hematologi :
oleh patogen yang sensitif gangguan saluran cerna
terhadap ceftriaxone dalam (mual, muntah, tinja lunak,
kondisi (sepsis, meningitis, stomatitis, glositis).
infeksi abdomen peritonitis, Reaksi kulit : urtikaria,
infeksi kandung empedu, edema, dermatitis alergi,
dan saluran pencernaan), pruritus, eksantema,
infeksi tulang, persendian eritema multiforme.
dan jaringan lunak,
pencegahan infeksi pra
bedah, infeksi ginjal dan
saluran kemih, infeksi
saluran pernapasan,
terutama pneumonia,
infeksi THT, infeksi kelamin
termasuk gonorhea.
Cefixime Infeksi yang disebabkan Gangguan saluran cerna,
oleh patogen yang sensitif reaksi hipersensitifitas,
terhadap cefixime, pada gangguan fungsi hati,
penyakit ISK tanpa gangguan SSP, gangguan
komplikasi (sistitis, hematologi.
sistouretritis, pielonefritis),
infeksi saluran napas atas
(otitis media, faringitis,
tonsilitis), infeksi saluran
napas bawah ( bronkitis
akut dan bronkitis kronik
eksaserbasi akut).
Simvastatin Terapi tambahan pada diet Miosis, sakit kepala,
untuk menurunkan perubahan fungsi ginjal dan
kolesterol pada efek saluran cerna,
hiperkolesterolemia primer perubahan uji fungsi hati,
atau dislipidemia campuran. ruam kulit dan reaksi
hipersensitifitas.
2. Informasi Obat

OBAT INFORMASI
Ringer Lactat 1 botol (500 ml) / 12 jam
Ranitidin 1 ampul (25mg/ml)/ 24 jam
Ondansentron 1 ampul (4 mg/ 2ml)/ 12 jam
Metformin 1 tab (500 mg) / 8 jam
Parecetamol 1 tab (500 mg)/ 8 jam
Omeprazole 1 Vial (40 mg)/ 24 jam malam
Sucralfat 1 Sendok (500 mg/5 ml)/ 8 jam
Betahistine Mesylate 1 tab (6 mg) /8 jam malam
Novorapid 1 pen (100 u/mL)
Ceftriaxone 1 Vial (1 g)/ 12 jam
Cefixime 1 Kaps (100 mg) / 12 jam
Simvastatin 1 tab (20 mg)/24 jam malam
F. Analisa Pengobatan

Drug Related Problem


ADA/TIDAK KETERANGAN
(DRP)

Obat yang diberikan pada


Obat tidak diperlukan /
- pasien semua diperlukan
dibutuhkan

Dibutuhkan terapi obat Ada kondisi yang tidak



tambahan diobati

Semua obat efektif untuk


Obat tidak / kurang efektif
- keluhan pasien

Dosis obat terlalu rendah Dosis sudah sesuai


-
Reaksi obat yang tidak Tidak ada reaksi obat
diinginkan - yang merugikan

Dosis obat terlalu tinggi - Dosis sudah sesuai

Pasien sudah
menggunakan /
Pasien tidak patuh -
meminum obat dengan
baik.

Interaksi obat Ada obat yang



berinteraksi
BAB IV

PEMBAHASAN

Berdasarkan data yang didapatkan pada pasien Ny. MR umur 53


tahun, dimana masuk rumah sakit pada tanggal 04-12-2018 dengan
keluhan muntah. Dimana pasien mengalami muntah-muntah selama ± 4
kali. Keluhan dialami ± jam 01:00 masuk rumah sakit. Pasien juga
mengeluh nyeri uluhati tembus belakang serta mual. Berdasarkan keluhan
tersebut, pasien didiagnosa terkena Dispepsia yang komplikasi dengan
DM tipe 2, karena dari hasil lab pada hari pertama masuk rumah sakit
menunjukkan kadar GDS pasien yang tinggi yaitu 380 mg/dL.

Pada hari pertama, pasien diberikan terapi cairan infus Ringer lactat
dan obat yaitu Ranitidin, Ondansentron, Metformin, Paracetamol, OMZ
(Omeprazole) injeksi, Sucralfat suspensi, Vastigo (Betahistin Mesylate),
injeksi Novorapid dan Ceftriaxone. Pasien diberikan infus Ringer Lactat
bertujuan untuk mengembalikan kekurangan dan kehilangan cairan akibat
muntah yang terjadi. Infus Ringer Laktat hampir sama dengan ion-ion
utama di dalam plasma normal sehingga cairan ini cocok sebagai cairan
pengganti parenteral terhadap kehilangan cairan dan elektrolit dari
kompartemen ekstraseluler. Ranitidine injeksi diberikan pasien karena
pasien mengeluh nyeri uluhati dan juga ada riwayat maag, sehingga
pemberian ranitidine dapat mengatasi dan mempercepat penyembuhan
tukak duodenum dengan cara bekerja direseptor H2. Pasien diberikan
Ondancentron karena pada data klinis pasien, pasien mengalami mual
dan mutah sehingga Ondancentron berfungsi untuk mencegah/menekan
rasa mual dan muntah tersebut. Metformin diberikan sebagai obat oral
untuk menurunkan / menormalkan kada gula darah pasien, karena
mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping itu juga memperbaiki ambilan glukosa
dijaringan perifer. Paracetamol diberikan pada pasien untuk
menghilangkan sakit sakit kepala karena pasien mengeluh sakit kepala.
Omeprazole diberikan karena dapat menghambat sekresi asam lambung
dengan cara memblok enzim H+/K+ATPase (Adenosine Triphosphatase)
yang terdapat di sel parietal lambung. Suspensi Sucralfat diberikan
kepada pasien karena Sukralfat dapat membantu sintesa prostaglandin,
menambah sekresi bikarbonat dan mucus serta peningkatan pertahanan
dan perbaikan mukosa. Untuk menahan asam lambung yang masuk ke
lambung dan mengikat permukaan dinding lambung, sucralfat akan
membentuk zat pengkhelat sehingga terjadi hambatan yang terbentuk
dalam dinding lambung untuk melindungi lambung dari sifat ulkusogenik
sehingga peradangan pada lambung dapat sembuh. Betahistin mesylate
diberikan kepada pasien, karena pasien mengeluh pusing, terutama bila
berdiri sehingga pemberian Betahistin mesylate dapat membantu
meringankan rasa pusing tersebut. Pasien diberikan Novorapid karena
kadar glukosa darah (GDS) pada pasien sangat tinggi, sehinnga
pemberian novorapid dapat mempercepat masuknya glukosa ke sel otot
rangka dan adipose. Pasien juga diberikan terapi antibiotik Ceftriaxone
untuk mencegah infeksi bakteri yang menyebabkan dispepsia dengan
cara menghambat sintesis dinding sel bakteri.

Pada hari kedua, pasien masih diberikan terapi infus Ringer laktat
juga obat Paracetamol, Omeprazol, Betahistine mesylate, Novorapid dan
antibiotik Cefriaxone. Sedangkan terapi Ranitidine injeksi, Ondancentron,
Metformin dan Sucralfat dihentikan.

Pada hari ketiga, pasien masih diberikan terapi Ringer laktat juga
obat Paracetamol, Omeprazol, Betahistine mesylate, Novorapid dan
antibiotik Cefriaxone. Pemberian terapi ini karena masalah pada pasien
belum teratasi sepenuhnya. Pasien juga kembali diberikan suspensi
Sucralfat yang kemungkinan ditujukan untuk terapi kombinasi dengan
omeprazole injeksi dalam mengobati tukak lambung.
Pada hari keempat, pasien diberikan terapi Paracetamol,
Omeprazole injeksi, Betahistine mesylate, Novorapid dan ditambahkan
pemberian, Simvastatin dan antibiotik Cefixime. Sedangkan untuk terapi
Ringer laktat dihentikan begitu pula dengan suspensi Sucralfat juga
kembali dihentikan, adapun antibiotik ceftriaxone diganti dengan Cefixime.
Pemberian Simvastatin untuk menurunkan kolestrol LDL, namun
sebenarnya masih kurang jelas, karena pada pemeriksaan awal data klinik
dari pasien tidak mengalami hiperlipidemia / hiperkolestrol. Antibiotik
Cefixime diberikan karena pada data klinis hasil lab, pasien juga
didiagnosa terkena ISK karena kadar leukositnya yang tinggi sehingga
menunjukkan adanya infeksi. Maka dari itu pemberian antibiotik Cefixime
untuk menghambat sintesis dinding del dari bakteri penyebab ISK
tersebut.

Pada hari kelima, pasien masih diberikan terapi Omeprazole injeksi,


Betahistine, Novorapid, Simvastatin dan antibiotik Cefixime. Pemberian
terapi ini karena kemungkinan masalah pasien masih belum teratasi
sepenuhnya. Pasien juga kembali diberikan suspensi Sucralfat untuk
melapisi mukosa lambung agar tidak terjadi peradangan pada lambung
sebagai kombinasi dengan Omeprazole injeksi. Sedangkan untuk terapi
pemberian Paracetamol sebagai analgetik-antipiretik sudah dihentikan,
kemungkinan dikarenakan suhu tubuh pasien sudah kembali normal,
adapun untuk keluhan pusing dan sakit kepala diberikan terapi Betahistine
mesylate yang dari hari pertama perawatan memang selalu diberikan
pada pasien.

Hasil analisa adanya Drug Related Problem (DRP) dengan metode


SOAP, Berdasarkan data dari pasien Ny. Mr, ditemukan Drug Related
Problem (DRP) terkait terapi pengobatan yang diberikan kepada pasien.
DRP yang pertama yaitu dibutuhkan terapi obat tambahan berupa obat
Antihipertensi, dikarenakan berdasarkan data subjektif dan objektif, pasien
mengeluh pusing dan sakit kepala serta tekanan darah pasien juga cukup
tinggi sehingga didiagnosa Hipertensi. Namun tidak ada pemberian terapi
untuk menurunkan / menormalkan tekanan darah pasien. Rekomendasi
yang disarankan yaitu pemberian terapi obat antihipertensi untuk
menormalkan / menurunkan kembali tekanan darah pasien.

DRP yang kedua yaitu dosis obat terlalu tinggi/dobel. Hal ini
dikarenakan pada hari keempat perawatan pasien diberikan terapi obat
Atorvastatin dan Simvastatin yang bertujuan untuk menurunkan kadar
kolestrol LDL, karena pasien didiagnosa terkena hiperkolestrol/
hiperlipidemia, walaupun belum ada hasil dari data kliniknya. Pemberian
terapi ini bisa menyebabkan overdosis, karena Atorvastatin dan
Simvastatin merupakan obat kolestrol yang sama-sama bergolongan
statin dan mempunyai mekanisme yang sama. Sehingga bila
dikombinasikan sama saja jika memberikan terapi obat tersebut dengan
dosis yang tinggi / berlebih. Rekomendasi yan disarankan yaitu agar
menghilangkan / tidak perlu memberikan salah satu dari obat tersebut.
Bila ingin dikombinasikan, sebaiknya salah satunya diganti dengan
golongan lain misalnya dari golongan Fibrat.
BAB V

KESIMPULAN

Dispepsia adalah kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari


nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung,
cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas
yang menjalar di dada.

Terapi yang diberikan untuk pengobatan Dispepsia yang mana


dalam kasus ini juga komplikasi dengan DM Tipe 2, ISK dan Kolestrol
adalah berupa terapi infus Ringer Laktat, injeksi Ranitidin, injeksi
Ondansentron, Metformin, Paracetamol, injeksi OMZ (Omeprazole),
suspensi Sucralfat, Vastigo (Betahistin Mesylate), injeksi Novorapid,
Atorvastatin, Simvastatin Ceftriaxone dan Cefixime.

Drug Related Problem (DRP) yang ditemukan dalam kasus ini yaitu
adanya kondisi yang belum terobati sehingga diperlukan terapi obat
tambahan yaitu obat antihipertensi. DRP lain yaitu adanya terapi dimana
dosis obatnya dobel yaitu pemberian bersamaan Atorvastatin dengan
Simvastatin, sehingga disarankan untuk menghilangkan atau mengganti
kombinasi dengan yang golongan lain.

Anda mungkin juga menyukai