Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher
yang terbanyak ditemukan di Indonesia.Hampir 60 % tumor ganas daerah
kepala dan leher merupakan kanker nasofaring, kemudian diikuti tumor ganas
hidung dan paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut,
tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah (Huda Nurarif & Kusuma, 2013).
Karsinoma Nasofaring sebagian besar adalah tipe epidermoid dengan potensi
invasi ke dasar tulang tengkorang yang menyebabkan neuropati
kranial (Lucente, 2011).
Pada banyak klien, karsinoma nasofaring banyak terdapat pada ras
monggoloid yaitu penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Thailand,
Malaysia, dan Indonesia juga di daerah India. Ras kulit putih jarang ditemui
terkena kanker jenis ini.Selain itu kanker nasofaring juga merupakan jenis
kanker yang ditemukan secara genetik (Mangan, 2009).

B. Etiologi
Kanker ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan
rasio 2-3-1 dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti,
mungkin ada hubugannya dengan faktor genetic, kebebasan hidup, pekerjaan
dan lain-lain. Distribusi umur pasien dengan KNF berbeda-beda pada daerah
dengan insiden yang bervariasi.Pada daerah dengan insiden tinggi KNF
meningkat setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 40-59 tahun dan
menurun setelahnya (Ernawati, Kadrianti, & Basri, 2004).
Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya kanker nasofaring
adalah (Mangan, 2009):
1. Kerentanan Genetik
Walaupun Ca Nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi
kerentanan terhadap Ca Nasofaring pada kelompok masyarakattertentu
relatif menonjol dan memiliki fenomena agregasi familial. Analisis
korelasi menunjukkan gen HLA ( Human luekocyte antigen ) dan gen
pengode enzim sitokrom p4502E ( CYP2E1) kemungkinan adalah gen
kerentanan terhadap Ca Nasofaring, mereka berkaitan dengan
timbulnya sebagian besar Ca Nasofaring . Penelitian
menunjukkan bahwa kromosom pasien Ca Nasofaring menunjukkan
ketidakstabilan, sehingga lebih rentan terhadap serangan berbagai
faktor berbahaya dari lingkungan dan timbul penyakit.

2. Virus Epstein Barr


Metode imunologi membuktikan virus EB membawa antigen yang
spesifik seperti antigen kapsid virus (VCA), antigen membran (MA),
antigen dini (EA), antigen nuklir (EBNA), dll. Virus EB memiliki
kaitan erat dengan Ca Nasofaring , menurut (Zulkarnain Haq,
2011) alasannya adalah:
a. Di dalam serum pasien Ca Nasofaring ditemukan antibodi terkait
virus EB ( termasuk VCA-IgA, EA-IgA, EBNA, dll ) , dengan
frekuensi positif maupun rata-rata titer geometriknya jelas lebih
tinggi dibandingkan orang normal dan penderita jenis kanker lain,
dan titernya berkaitan positif dengan beban tumor . Selain itu titer
antibodi dapat menurun secara bertahap sesuai pulihnya kondisi
pasien dan kembali meningkat bila penyakitnya rekuren atau
memburuk.
b. Di dalam sel Ca Nasofaring dapat dideteksi zat petanda virus EB
seperti DNA virus dan EBNA.
c. Epitel nasofaring di luar tubuh bila diinfeksi dengan galur sel
mengandung virus EB, ditemukan epitel yang terinfeksi tersebut
tumbuh lebih cepat , gambaran pembelahan inti juga banyak.
d. Dilaporkan virus EB di bawah pengaruh zat karsinogen tertentu
dapat menimbulkan karsinoma tak berdiferensiasi pada jaringan
mukosa nasofaring fetus manusia.
Virus Epstein Barr dengan ikan asin dikatakan sebagai penyebab
utama timbulnya penyakit ini.Virus ini dapat masuk dalam tubuh dan tetap
tinggal disana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu
yang lama.Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator
kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin secara terus menerus mulai dari
masa kanak-kanak.
Mediator yang berpengaruh untuk timbulnya Ca Nasofaring :
1) Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamine.
2) Keadaan social ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan
hidup.
3) Sering kontak dengan Zat karsinogen (benzopyrenen,
benzoantrance, gas kimia, asap industri, asap kayu, beberapa
ekstrak tumbuhan).
4) Ras dan keturunan (Malaysia, Indonesia)
5) Radang kronis nasofaring
6) Profil HLA(Huda Nurarif & Kusuma, 2013)

3. Faktor Lingkungan (Zulkarnain Haq, 2011)


Faktor lingkungan juga berperan penting. Penelitian akhir-akhir ini
menemukan zat berikut berkaitan dengan timbulnya Ca Nasofaring :
a. Hidrokarbon aromatik, pada keluarga di area insiden tinggi kanker
nasofaring , kandungan 3,4- benzpiren dalam tiap gram debu asap
mencapai 16,83 ug, jelas lebih tinggi dari keluarga di area insiden
rendah.
b. Unsur renik : nikel sulfat dapat memacu efek karsinognesis pada
proses timbulnya kanker nasofaring.
c. Golongan nitrosamin : banyak terdapat pada pengawet ikan asin.
Terkait dengan kebiasaan makan ikan asin waktu kecil, di dalam air
seninya terdeteksi nitrosamin volatil yang berefek mutagenik.
C. Klasifikasi
Menurut WHO klasifikasi :
1. tipe 1 : karsinoma sel skuomosa dengan berkeratinisasi
2. tipe 2 : karsinoma sel skuomosa tanpa kreatinisasi
3. tipe 3 : karsinoma tanpa diferensiasi
Menurut Working Formulation
1. Karsinoma Tipe A : anplasia/plemorfy nyata derajat-keganasan
menengah
2. Karsinoma Tipe B : anaplasia/plemorfy ringan derajat keganasan
ringan, mempunyai titer antibody terhadap virus Epstein-Barr,
sedangkan jenis karsinoma sel skuomosa dengan berkretinisasi tidak
begitu radiosensitive dan tidak menunjukkan hubungan dengan virus
Epstein-Barr. Klasifikasi Working Formulation digunakan untuk
membendingkan respon radiasi pada karsinoma nasofaring dengan
metastasis ke kelenjer leher, respon radiasi paling baik pada
karsinoma nasofaring tipe B, kurang begitu baik pada Tipe A dan
paling kurang baik pada karsinoma sel skuomosa berkreatinin.

D. Tanda dan Gejala


Karsinoma nasofaring biasanya dijumpai pada dinding lateral dari
nasofaring termasuk fossa rosenmuler. Yang kemudian dapat menyebar ke
dalam ataupun keluar nasofaring ke sisi lateral lainnya dan atau
posterosuperior dari dasar tulang tengkorok atau palatum, rongga hidung atau
orofaring. Metastase khususnya ke kelenjar getah bening servikal.Metastase
jauh dapat mengenai tulang, paru-paru, mediastinum dan hati (jarang). Gejala
yang akan timbul tergantung pada daerah yang terkena. Sekitar separuh
pasien memiliki gejala yang beragam, tetapi sekitar 10%
asimtomatik.Pembesaran dari kelenjar getah bening leher atas yang nyeri
merupakan gejala yang paling sering dijumpai.Gejala dini karsinoma
nasofaring sulit dikenali oleh karena mirip dengan saluran nafas
atas (Lucente, 2011).
Pada Karsinoma nasofaring, paresis fasialis jarang menjadi manifestasi
awal.Karena lokasinya, karsinoma nasofaring menimbulkan sindrom
penyumbatan tuba dengan tuli konduktif sebagai keluhan.Perluasan infiltratif
karsinoma nasofaring berikutnya membangkitkan perdarahan dan
penyumbatan jalan lintasan napas melalui hidung.Setelah itu, pada tahap
berikutnya dapat timbul gangguan menelan dan kelumpuhan otot mata luar
(paralisis okular) (Muttaqin, 2008).
Gejala nasofaring yang pokok adalah (Huda Nurarif & Kusuma, 2013) :
1. Gejala Hidung
a. Epiktasis : rapuhnya mukosa hidung sehingga mudah terjadi
perdarahan
b. Sumbatan Hidung : sumbatan menetap karena pertumbuhan tumor
kedalam rongga nasofaring dan menutupi koana, gejalanya adalah
pilek kronis, ingus kental, gangguan penciuman
2. Gejala Telinga
a. Kataralis/Oklusi tuba Eustachii : tumor mula-mula pada fossa
rosenmuler, pertumbuhan tumor dapat menyebabkan penyumbatan
muara tuba (berdengung, rasa penuh, kadang gangguan pendengaran)
b. Otitis Media Serosa sampai perforasi dan gangguan pendengaran.
Sering kali pasien datang sudah dalam kondisi pendengaran menurun,
dan dengan tes rinne dan webber, biasanya akan ditemukan tuli
konduktif
3. Gejala Mata
Pada penderita KNF seringkali ditemukan adanya diplopia (penglihatan
ganda) akibat perkembangan tumor melalui foramen laseratum dan
menimbulkan gangguan N. IV dan N. VI. Bila terkena chiasma opticus
akan menimbulkan kebutaan
4. Gejala Lanjut
Limfadenopati servikal : melalui pembuluh limfe, sel-sel kanker dapt
mencapai kelenjar limfe dan bertahan disana. Dalam kelenjar ini sel
tumbuh dan berkembang biak hingga kelenjar membesar dan tampak
benjola di leher bagian samping, lama-kelamaan karena tidak dirasakan
kelenjar akan berkembang dan melekat pada otot sehingga sulit digerakkan
5. Gejala Kranial
Gejala Kranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai
saraf-saraf kranialis. Gelajanya antara lain :
a. Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase
secara hematogen
b. Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang
c. Kerusakan pada waktu menelan
d. Kehilangan suara atau bicara (afoni)
e. Sindrom Jugular Jackson atau sindrom reptroparotidean mengenai N.
IX, N. X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada Lidah,
palatum, Faring atau laring, M. Sternocleidomastoideus, dan M.
trapezeus

E. Patofisiologi
Sel-sel epitel ganas nasofaring adalah sel poligonal besar dengan
komposisi syncytial.Sel-sel tidak menunjukkan parakeratosis atau
kornifikasi dan sering bercampur dengan sel-sel limfoid di nasofaring,
sehingga dikenal sebagai lymphoepithelioma.Sudah hampir dipastikan ca
nasofaring disebabkan oleh virus eipstein barr. Hal ini dapat dibuktikan
dengan dijumpai adanya protein-protein laten pada penderita ca.
nasofaring. Sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protin
tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan
kelangsungan virus di dalam sel host. Protein tersebut dapat digunakan
sebagai tanda adanya EBV, seperti EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A dan
LMP-2B.EBNA-1 adalah protein nuclear yang berperan dalam
mempertahankan genom virus. EBV tersebut mampu aktif dikarenakan
konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen
yang menyebabkan stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak
terkontrol, sehingga terjadi differensiasi dan proliferasi protein
laten(EBNA-1). Hal inilah yang memicu pertumbuhan sel kanker pada
nasofaring, dalam hal ini terutama pada fossa Rossenmuller (Wei & Sham,
2005).
Penggolongan Ca Nasofaring (Huda Nurarif & Kusuma, 2013) :
TUMOR SIZE (T)
T Tumor primer
T0 Tidak tampak tumor
T1 Tumor terbatas pada satu lokasi saja
T2 Tumor dterdapat pada dua lokalisasi atau lebih
tetapi masih terbatas pada rongga nasofaring
T3 Tumor telah keluar dari rongga nasofaring
T4 Tumor teah keluar dari nasofaring dan telah
kmerusak tulang tengkorak atau saraf-saraf otak
Tx Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan
tidak lengkap
REGIONAL LIMFE NODES (N)
N0 Tidak ada pembesaran
N1 Terdapat pembesarantetapi homolateral dan masih
bisa digerakkan
N2 Terdapat pembesaran kontralateral/ bilateral dan
masih dapat digerakkan
N3 Terdapat pembesaran, baik homolateral,
kontralateral maupun bilateral yang sudah melekat
pada jaringan sekitar
METASTASE JAUH (M)
M0 Tidak ada metastase jauh
M1 Metastase jauh

Penggolongan stadium klinis, antara lain


a. Stadium I : T1N0M0
b. Stadium II : T2N0 – 1M0, T0 – 2N1M0
c. Stadium III : T3N0 - 2M0, T0 – 3N2M0
d. Stadium Iva : T4N0 – 3M0, T0 – 4N3M0
e. Stadium Ivb : T apapun, N Apapun, M1
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah :
1. Pemeriksaan CT Scan : makna klinis aplikasinya adalah membantu
menggambarkan invasi baik ke bidang fasial paranasofaringeal dan
invasi tulang tengkorak tanpa kelumpuhan nervus kranialis, memastikan
luas lesi, penetapan stadium secara adekuat, secara tepat menetapkan
zona target terapi, merancang medan radiasi, memonitor kondisi remisi
tumor pasca terapi dan pemeriksaan tingkat lanjut (Schwartz, 2000).
2. Pemeriksaan MRI : MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan
lunak, dapat serentak membuat potongan melintang, sagital, koronal,
sehingga lebih baik dari pada CT. MRI selai dengan jelas
memperlihatkan lapisan struktur nasofaring dan luas lesi, juga dapat
secara lebih dini menunjukkan infiltrasi ke tulang. Dalam membedakan
antara fibrosis pasca radioterapi dan rekurensi tumor , MRI juga lebih
bermanfaat .
3. Pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk
mengetahui infeksi virus E-B
4. Untuk diagnosis pasti ditegakkan dengan Biopsi nasofaring dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan mulut. Dilakukan
dengan ane\stesi topikal dengan Xylocain 10 %.
5. Pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.

G. Penatalaksaan
1. Radioterapi
Radioterapi adalah pengobatan standar untuk karsinoma
nasofaring.Tetapi hal ini dapat menghasilkan komplikasi yang tidak
diinginkan karena lokasi tumor di dasar tengkorak dan organ yang
rentan terhadap radiasi termasuk batang otak, sumsum tulang belakang,
hipofisis hipotalamus axis, temporal lobus, mata, telinga tengah dan
dalam, dan kelenjar parotis (Wei & Sham, 2005).
Hal yang perlu dipersiapkan adalah keadaan umum pasien baik, hygiene
mulut, bila ada infeksi mulut diperbaiki dulu.Pengobatan tambahan
yang diberikan dapat berupa diseksi leher (benjolan di leher yang tidak
menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran
dan tumor induknya sudah hilang yang terlebih dulu diperiksa dengan
radiologik dan serologik), pemberian tetrasiklin, faktor transfer,
interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus (Pratiwi, 2012).
2. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher (
benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul
kembali setelah penyinaran dan tumor induknya sudah hilang yang
terlebih dulu diperiksa dengan radiologik dan serologik) , pemberian
tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan
antivirus.
3. Kemoterapi
Sebagai terapi tambahan dan diberikan pada stadium lanjut.Biasanya
dapat digabungkan dengan radiasi dengan urutan kemoterapi-radiasi-
kemoterapi. Kemoterapi yang dipakai yaitu Methotrexate (50 mg IV
hari 1 dan 8); Vincristin (2 mg IV hari1); Platamin (100 mg IV hari 1);
Cyclophosphamide (2 x 50 mg oral, hari 1 s/d 10); Bleomycin (15 mg
IV hari 8). Pada kemoterapi harus dilakukan kontrol terhadap efek
samping fingsi hemopoitik, fungsi ginjal dan lain-lain.
4. Operasi
Tindakan operasi berupa diseksi leher radikal, dilakukan jika masih
ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar,
dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih.

H. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama (keluahan yang pertama kali dirasakan dan
diucapkan klien) Leher terasa nyeri, semakin lama semakin
membesar, susah menelan, hidung terasa tersumbat, telinga
seperti tidak bisa mendengar, penglihatan berkunang-kunang,
badan merasa lemas, serta BB turun drastis dalam waktu
singkat.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang (Tanyakan keluhan yang
dirasakan sekarang)
P : Nyeri karena gangguan pada nasofaring
Q : Nyeri tak terbayangkan dan tak dapat diungkapkan, terlihat
membesar pada bagian leher dan terasa banyak gangguan pada
hidung, telinga, dan mata, nyeri dirasakan setiap waktu
R : Keluhan dirasakan pada bagian dalam hidung, telinga,
mulut dan menyebar
S : Keluhan yang dirasa mengganggu aktivitas, skala nyeri
10
T : Nyeri hilang timbul dan lebih sering saat bernafas dan
menelan, keluhan muncul secara bertahap
3) Riwayat Kesehatan Masa Lalu (Tanyakan apakah klien pernah
menderita penyakit yang mempermudah terjadinya ca
nasofaring). Mempunyai profil HLA, pernah menderita radang
kronis nasofaring
4) Riwayat Kesehatan Keluarga (Tanyakan apakah ada keluarga
yang menderita penyakit yang menyebabkan ca nasofaring)
5) Riwayat Kesehatan Lingkungan (Tanyakan tentang lingkungan
klien). Terbiasa terhadap lingkungan karsinogen

c. Pola Kesehatan Fungsional (Hidayat & Alimul, 2007)


1) Pola persepsi kesehatan – pemeliharaan kesehatan
Pada klien ca nasofaring terjadi perubahan persepsi dan tata
laksana hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang
dampak sehingga menimbulkan presepsi yang negatif terhadap
dirinya dan kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur
pengobatan dan perawatan yang lama, oleh karena itu perlu
adanya penjelasan yang benar dan mudah dimengerti pasien.
2) Pola metabolisme nutrisi
Akibat adanya pembekakan pada saluran pernafasan atas
shingga menimbulkan keluahan nyeri pada leher, susah
menelan, berat badan menurun dan lemas. Keadaan tersebut
dapat mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan
metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan
penderita.
3) Pola eliminasi
Akibat kurangnya konsumsi air putih menyebabkan volume
kencing berkurang, susah kencing. Pada eliminasi alvi terdapat
gangguan, klien buang air besar tidak teratur.
4) Pola aktivitas
Adanya Ca Nasofaring menyebabkan penderita tidak mampu
melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal, penderita
mudah mengalami lemah dan letih.Klien biasanya bekerja
diluar rumah, tapi saat ini klien hanya beristirahat di Rumah
Sakit.
5) Pola istirahat – tidur
Adanya Ca nasofaring membuat klien mengalami perubahan
pada pola tidur.Klien kurang tidur baik pada waktu siang
maupun malam hari.Klien tampak tergangu dengan kondisi
ruang perawatan yang ramai.Dan adanya faktor-faktor yang
mempengaruhi tidur misalnya nyeri, ansietas, berkeringat
malam.
6) Pola kognitif – persepsi
Klien mampu menerima Pengetahuan, ide persepsi, dan
bahasa.Klien mampu melihat, mendengar, mencium, meraba,
dan merasa dengan baik.
7) Pola persepsi diri – konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan
menyebabkan penderita mengalami gangguan pada gambaran
diri. Lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan dan
pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan
gangguan peran pada keluarga.Klien mengalami cemas karena
kurangnya pengetahuan tentang sifat penyakit, pemeriksaan
diagnostik dan tujuan tindakan yang diprogramkan.
8) Pola hubungan – peran
Ca nasofaring yang sukar sembuh menyebabkan penderita
malu dan manarik diri dari pergaulan.
9) Pola seksual – reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ
reproduksi sehingga menyebabkan gangguan potensi seksual,
gangguan kualitas maupun ereksi, serta memberi dampak pada
proses ejakulasi serta orgasme. Selama dirawat di rumah sakit
klien tidak dapat melakukan hubungan seksual seperti
biasanya.
10) Pola penanganan masalah – strees – toleransi
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit kronik,
perasaan tidak berdaya karena ketergantungan menyebabkan
reaksi psikologis yang negatif berupa marah, kecemasan,
mudah tersinggung, kehilangan kontrol, dan menarik diri dapat
menyebabkan penderita tidak mampu menggunakan
mekanisme koping yang konstruktif/adaptif. Klien merasa
sedikit stress menghadapi tindakan kemoterapi/sitotraktika
karena kurangnya pengetahuan.
11) Pola keyakinan – nilai-nilai
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi
tubuh serta Ca nasofaring tidak menghambat penderita dalam
melaksanakan ibadah tetapi mempengaruhi pada ibadah
penderita.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Penampilan atau keadaan umum. Secara keseluruhan keadaan
tidak baik, BB menurun
2) Tingkat kesadaran. Kesadaran klien tidak begitu terkontrol,
mata : 2, Respon Verbal : 5, Respon motor : 4, indra
penciuman terganggu, ketajaman terganggu, berjalan
sempoyongan, tidak bisa seimbang
3) Tanda-Tanda Vital
4) Pemeriksaan Head to Toe
5) Pemeriksaan Penunjang
6) Pemeriksaan Diagnostik

2. Diagnosa Keperawtan
1. Ketidakefektifan Bersihan jalan nafas b.d adanya bendaa asing
(tumor ganas)
2. Nyeri akut b.d metastase sel kanker
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake
makanan yang kurang
4. Hambatan komunikasi verbal b.d gangguan status organ sekunder
metastase tumor
5. Resiko infeksi b.d ketidakkuatan pertahanan sekunder
imunosupresi
6. Harga diri Rendah b.d perubahan perkembangan penyakit
3. Intervensi

Tujuan dan Kriteria


NO Diagnosa Keperawatan Intervensi
Hasil
1. Ketidakefektifan Bersihan Setelah dilakukan O: Monitor TTV, Klien
jalan nafas b.d adanya tindakan keperawatan dianjurkan untuk napas
bendaa asing (tumor ganas) selama 2 x 24 jam klien dalam sebelum dilakukan
diharapkan dapat tindakan
mempertahankan jalan O: Kaji kebutuhan oral
nafas tetap terbuka dan O: Klien dianjurkan untuk
bersihan jalan nafas istirahat dan napas dalam
paten. setelah dilakukan tindakan
KH : N: Atur posisi klien dengan
K : Klien dapat bagian kepala tempat tidur
menunjukkan jalan nafas ditinggikan 450
yang paten N: Auskultasi suara nafas
A : Klien mampu sebelum dan sesudah
mengidentifikasi dan suctioning
mencegah faktor yang N: Menggunakan alat yang
dapat menghambat jalan steril
nafas N: Menginstruksikan klien
P : Klien mampu batuk tentang batuk dan teknik
efektif dan suara nafas napas dalam
yang bersih, tidak ada N: Penghisapan nasofaring
sianosis, dan dyspneu untuk mengeluarkan sekret
P : Nasofaring dapat N: Monitor respirasi dan
bekerja dengan baik, status O2
respirasi dalam batas N: Berikan udara/oksigen
normal 16-20x/menit yang telah dihumidifikasi
TTV E: Jelaskan pada klien
Suhu : 36,00C tentang suctioning
TD : 140/90 mmHg C: Kolaborasi melakukan
Nadi : 70 x/menit fisioterapi dada, melakukan
RR : 20 x/menit
suction, memberi
bronkodilstor bila perlu
2. Nyeri akut b.d metastase sel Setelah dilakukan O: Observasi reaksi
tindakan keperawatan nonverbal dari
kanker
selama …x 24 jam klien ketidaknyamanan
diharapkan nyeri dapat O: Kaji dan monitor berapa
berkurang dan terkontrol. skala nyeri
KH : O: Lakukan dengan
K : Klien mampu komunikasi terapeutik
menunjukkan tingkat N: Pantau aktivitas
nyeri dengan klien, cegah hal-hal yang
menunjukkan skala nyeri bisa memicu terjadinya nyeri
(0-10) N: Bantu klien untuk lebih
A : Klien mampu berfokus pada aktivitas
mengutarakan bukan pada nyeri
ketidaknyamanan dengan N: Lakukan penanganan
yang dikeluhkan nyeri dengan relaksasi
P : Klien merasa E: Berikan sokongan
nyerinya sudah (support) pada ektremitas
berkurang yang luka.
P : Setelah dilakukan K: Kolaborasi pemberian
tindakan keperawataan obat-obatan analgesik
klien dapat melakukan
aktifitas dengan normal.
Skala nyeri : 6
3. Ketidakseimbangan nutrisi Setelah dilakukan O: Kaji dan hitung kadar
kurang dari kebutuhan tindakan keperawatan nutrisi pada klien
tubuh b.d intake makanan selama 2 x 24 jam klien O: Kaji kemampuan klien
yang kurang diharapkan mendapatkan untuk mendapatkan nutrisi
nutrisi yang seimbang. yang dibutuhkan
KH : O: Monitor pertumbuhan dan
K : Klien mengetahui perkembangan nutrisi
penyebab kekurangan N: Berikan makanan sedikit
nutrisi dan sering dengan bahan
A : Klien dapat makanan yang tidak bersifat
menutarakan iritatif
ketidaknyamanan N: Anjurkan pasien untuk
keadaan sekarang mematuhi diet yang telah
P : Klien mampu diprogramkan
mengatur pola makan N: Berikan substansi gula
dan kebutuhan nutrisi N: Timbang klien pada
P : Klien tidak mersakaninterval yang tepat
tubuh lemas, berat badanN: Ubah posisi pasien semi
naik, dan nafsu makan fowler atau fowler tinggi
bertambah E: Ajarkan klien bagaimana
membuat catatan makanan
A= BB : menurun harian
B= HB : turun E: Berikan informasi tentang
C= Klien biasanya kebutuhan nutrisi
tampak lemas dan pucat, E: Jelaskan bagaimana
kulit kering tanda-tanda kekurangan
D= Porsi makan nutrisi
C: Kolaborasi dengan ahli
berkurang biasanya 3 kali gizi untuk menentukan
menjadi 1 kali jumlah kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan klien
4. Hambatan komunikasi Setelah dilakukan O: Kaji ketidakmampuan
verbal b.d gangguan status tindakan keperawatan klien dalam kemampuan
organ sekunder metastase selama 2 x 24 untuk berbicara, mendengar,
tumor jamganguan komunikasi menulis membaca, dan
verbal dapat teratasi. memahami
KH : N: Berdiri didepan pasien
K : Klien mengerti saat berbicara dan bicara
penyebab tidak bisa agak keras
berkomuunikasi N: Dorong klien untuk
A : Klien berkomunikasi secara
mengungkapkan tidak perlahan dan mengulangi
bisa mengontrol respon permintaan
ketakutan dan kecemasan E: Anjurkan kepada pasien
terhadap ketidakmapuan dan keluarga tentang alat
mendengar bantu mendengar
P : Klien merasa nyeri E: Anjurkan keluarga untuk
saat berkomunikasi memberi stimulus
hilang komunikasi
P : Klien C: Konsultasikan dengan
mampu mengontrol dokter kebutuhan mendengar
respon, memanajemen
kemampuan fisik yang
dimiliki,
mengkomunikasikan
kebutuhan dengan
lingkungan sosial
5. Resiko infeksi b.d Setelah dilakukan O: Kaji kemampuan klien
ketidakkuatan pertahanan tindakan keperawatan untuk menghindari infeksi
sekunder imunosupresi selama 2 x 24 jam klien O: Monitor TTV, tanda dan
diharapkan tidak terjadi gejala infeksi sistemik dan
infeksi. lokal
KH : O: Monitor kerentanan
K : Klien mengetahui terhadap infeksi
proses penularan N: Intruksikan untuk
penyakit dan faktor menjaga hygiene personal
penularan N: Berikan perawatan kulit
A : Klien menunjukkan pada area epidema
suhu norma dan tanda- N: Inspeksi kulit dan
tanda vital normal membran mukosa terhadap
P : Klien mampu kemerahan, panas, drainase
mencegah infeksi dan E: Batasi pengunjung
melakukan hidup sehat E: Pertahankan lingkungan
P : Klien bernafas aseptik
normal, melakukan nafa E: Ajarkan klien dan
dalam untuk mencegah keluarga tanda dan gejala
disfungsi dan infeksi infeksi serta cara
respiratori menghindari infeksi
TTV E: Ajakan pengunjung untuk
Suhu : 36,00C mencuci tangan
TD : 140/90 mmHg C: Memberi terapi antibiotik
Nadi : 70 x/menit
bila perlu Infection
RR : 20 x/menit
Protection
6. Harga diri Rendah b.d Setelah dilakukan O: Monitor frekuensi
perubahan perkembangan tindakan keperawatan komunikasi verbal klien
penyakit selama 2 x 24 negative
jamgangguan harga diri O: Kaji alasan untuk
pasien teratasi. mengkritik atau
KH : menyalahkan diri sendiri
K : Klien mampu N: Dorong klien
mengenali kekuatan diri mengidentifikasi kekuatan
A : Klien dirinya
mengungkapkan N: Dukung peningkatan
perubahan gaya hidup tanggung jawab diri
tentang perasaan tidak N: Dukung Klien untuk
berdaya, dan keinginan menerima tantangan baru
untuk mendapatkan E: Ajarkan Keterampilan
konseling perilaku yang positif
P : Klien mampu E: Tunjukkan rasa percaya
menerima diri, menerima diri terhadap kemampuan
kritik dari orang lain dan klien
komunikasi terbuka C: Kolaborasi dengan
P : Klien dapat
sumber-sumber lain (petugas
beradaptasi terhadap
dinas social, perawat
penyakit, percaya diri,
spesialis klinis, dan layanan
optimis tentang masa
keagamaan)
depan, dan merubah
hidup
DAFTAR PUSTAKA

Anas, T. (2008). Klien Gangguan Pernapasan : Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta:


EGC.
Ernawati, Kadrianti, E., & Basri, H. M. (2004).Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis
Volume 4 Nomor 2. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Karsinoma
Nasofaring (KNF), 224.
Gibson, J. (2002). Fisiologi dan Anatomi Modern Untuk Perawat. Jakarta: EGC.
Gunardi, d. S., & Saputra, d. L. (2012). Quick Review Anatomi Klinik, Edisi
Kedua. Tanggerang Selatan: Binapura Aksara Publisher.
Hidayat, & Alimul, A. A. (2007). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, Edisi
3. Jakarta: Salemba Medika.
Huda Nurarif, A., & Kusuma, H. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & Nanda Nic-Noc, Jilid 1. Yogyakarta: Mediaction Publishing.
Lucente, F. F. (2011). Ilmu THT Esensial. Jakarta: EGC.
Mangan, Y. (2009). Solusi Sehat Mencegah dan Mengatasi Kanker. Jakarta: Agromedia
Pustaka.
Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan.Jakarta: Salemba Medika.
Pratiwi, N. (2012, September 28). Makalah Ca Nasofaring. Dipetik Mei 16, 2015, dari
Makalah Ca Nasofaring Web site: http://www.scrib.com
Wei, W. I., & Sham, J. S. (2005).Nasopharyngeal carsinoma. carsinoma Nasofaring, 2-3.
Wilkinson, J. M. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.
Zulkarnain Haq, N. (2011, Oktober 12). Askep Kanker Nasofaring. Dipetik Mei 16, 2015,
dari Askep Kanker Nasofaring Web Site: http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id

Anda mungkin juga menyukai