Kitab Ushul Fiqh
Kitab Ushul Fiqh
Jilid pertama
bab 1 yaitu pembahasan mengenai ( ) االحكام الشرعيةKetentuan syari’ah yang mencakup: bagian
pertama pembuatan hukum (hakim), kedua pembahasan mengenai objek hukum (mahkum
bih/pih), dan subjek hukum (mahkum alaih).
bab 2 yaitu pembahasan mengenai ( ) طرق استنبط االحكامن النصوص الشرعيةsumber peerumusan
hukum Islam dengan mencakup: pembuatan sumber-sumber dalil hukum syara dan makna-
makna sumber hukum, bab ketiga yaitu pembahasan mengenai ( ) مصادراالحكام الشرعيةsumber
syari’ah, yaitu mencakup bagian pertama: sumber hukum syari’ah yang disetujui
Jilid kedua
Pada jilid kedua ini masih lanjutan dari jilid pertama bab ke tiga bagian keduanya yaitu:
sumber-sumber yang berkaitan dengan dalil hukum yang berbeda.
bab 4 yaitu membahas mengenai انسخ
bab 5 membahas mengenai ( ) تعليل النصوصkaidah perumusan hukum islam
bab 6 membahas mengenai ( ) مقاصدالشريعةالعامةtujuan umum pembinaan hukum syari’ah
maqashid al-syari’ah,
bab 7 yaitu membahas ijtihad dan perkembangannya dengan mencakup bagian pertama tentang
metode ijtihad dan yang kedua pembahasan taqlid.
bab 8 membahas mengenai المعارض والترجيح بين االدلةyang didalamnya mencakup تعارض االدلة
dan الترجيح بين االدلة.
A. Pembahasan
a. Pengertian Qiyas
هوالتقدير أي معرفة قدر الشيء:القياس الغة
وقد يطلق القياس على مقارنة أحد. فا لمساواة الزمة للتقدير. نسبة بين شيئين تقضي المساواة بينهما: والتقد ير
.الشيئين باالخر
) وأرادوا بقيد (لذاته. هو قول مؤلف من أقوال متى سلمت لزم عنه لذاته قول اخر:والقياس عند المنا طقة
.إخراج قياس المساواة
Qiyâs secara bahasa (etimologi) adalah mengira-ngirakan sesuatu atau mengetahui
kadar sesuatu. Adapun yang dimaksud kadar sesuatu adalah menisbatkan diantara dua hal yang
sama. Sedangkan menurut ulama’ ushul fiqh (teminologi), Qiyâs adalah membandingkan dua
hal yang berbeda untuk ditemukan persamaannya.
b. Rukun-Rukun Qiyâs
أركان القياس
ألنه, هو النص الدال على الحكم: وعند المتكلمين. هو محل الحكم الذي ثبت بالنص أو اإل جماع:اآلصل عند الفقهاء
. هو ما بني عليه غيره: واألصل,الذي بني عليه الحكم
: وهو في المثال السابق, هو المحل الذي لم يرد فيه نص وال إجماع:الفرع عند الفقهاء وهم الذين رجحت اصطالحهم
النبيد
هي الوصف الذي بني عليه حكم األصل:العلة
Dari definisi qiyâs di atas, maka dapat diketahui bahwa rukun-rukun yang terdapat pada
qiyâs adalah
1. Al-ashlu
Al-ashlu merupakan masalah yang ditetapkan dalam al-Qur’an atau Sunnah. Ia disebut juga
dengan maqîs ‘alaih (tolak ukur), mahmulun ‘alaih (tempat menyimpan) dan musyabbah bih
(tempat penyerupaan)
2. Al-far’u
Sedangkan menurut fuqoha’al-far’u adalah suatu masalah yang tidak ada ketegasan dalil atau
ijma’nya. Misalnya keharaman narkoba yang ditetapkan melalui Qiyâs terhadap ketentuan
yang terdapat pada keharaman khamar yang telah ditetapkan hukumnya di dalam al-Qur’an.
3. ‘Illat
Menurut bahasa (etimologi) ‘illat adalah suatu istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan
adanya perubahan keadaan sesuatu dikarenakan masuknya sesuatu tersebut. Contohnya ada
‘illat bagi seseorang yang sakit yang berarti perubahan keadaan fisik seseorang tersebut karena
datangnya penyakit. Sedangkan Menurut ahli ushul fiqh (terminologi), ‘illat adalah sebab
disyari’atkannya hukum untuk mendatangkan maslahah. Sedangkan menurut Imam Ghozali
‘illat adalah sesuatu yang mempengaruhi hukum yang ditetapkan oleh Allah, bukan karena
dzatnya ‘illat itu sendiri.
Wahbah Zuhaili adalah seorang tokoh di dunia pengetahuan, selain terkenal di bidang
tafsir, ahli fiqh dan ushul fiqh. Beliau adalah ulama yang hidup diabad ke -20 yang sejajar
dengan tokoh-tokoh lainya, seperti Sayyid Qutb. Meskipun memiliki mazhab Hanafi, namun
dalam pengembangan dakwanya beliau tidak mengedepkan mazhab atau aliran yang
dianutnya. tetap bersikap netral dan proporsional. Adapun salah satu guru beliau adalah syaikh
Muhammad Lutfi al Fayumi (w. 1990 M) yang mengajarkan tentang ilmu Ushūl fiqh dan
Mustalahul Hadits.
Biografi penulis
Syaikh Zakaria an-Anshory dilahirkan di desa Sunaikah, sebuah desa di sebelah timur Mesir
pada tahun 824 H, menurut Imam Sayuti dan Ibnu Iyyas. beliau wafat pada usia seratus tahun,
dan juga as-Sayuty sezaman dengan beliau, dan Ibnu Iyyas sendiri ikut menghadiri pemakaman
beliau, yaitu tahun 823 H bertepatan dengan tahun 1418 H. Syaikh Zakariya Al-Anshory hidup
pada masa pemerintahan Al-Mamalik. Semasa hidupnya, beliau menduduki banyak pangakat
dan jabatan. Adapun pangkat atau jabatan yang beliau duduki selama hidupnya adalah: Menjadi
staf pengajar di Turbah Ad-Dzahir Abu Sa’id Khosyqodam, seorang sultan pada saat itu,
menjadi staf pengajar di Madrasah As-Sabiqiyyah, sebuah madrasah yang dikhususkan untuk
ulama syafi’iyyah, menjadi Pengawas Badan Perwaqofan Al-Qorofah, dan Masjid Imam
Syafi’I dan menjabat sebagai Qodhil Qudhot, Qodhi Agung dari tahun 886 H- 906 H. Adapun
guru Syaikh Zakaria an-Anshory antara lain Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, beliau mengajarkan
ilmu fiqih, hadist dan ushul.
3. Isi Kandungan Kitab Irsyadu Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq Min ‘Ilm Al-Ushul (Madzhab
Syi’ah Zaidiyah)
Irsyâd al-Fuhûl merupakan sebuah kitab ushul fiqh karangan Muhammad Asy-
Syaukani, isi kitab kendati relatif ringkas, namun padat akan materi ushul fiqh berikut
kontroversi pendapat yang mengemuka. Dalam karyanya ini, Asy-Syaukani lebih banyak
menampilkan studi perbandingan di antara berbagai madzhab pemikiran, meski tidak jarang ia
mengutarakan pendapat pribadinya, sebagai konsekwensi logis dari pendiriannya tentang
independensi pemikiran serta keharaman taqlid. Berkaitan dengan pendiriannya yang anti
taqlid ini, ia telah mengarang sebuah karya khusus seputar ijtihad dan taqlid, dalam sebuah
karya berjudul Al-Qaul al-Mufîd fî Adillat al-Ijtihâd wa al-Taqlîd.
Jilid II: Ikuti tujuan keempat, tujuan kelima yaitu qiyas dan yang terkait, tujuan keenam
yaitu dalam ijtihad dan taqlid, tujuan ketujuh tentang persamaan dan tarjih.
Daftar isi:
Biografi Penulis
Kata ijtihad berakar dari kata Al-Juhd, yang berarti Al-thaqah (daya, kemampuan,
kekuatan) atau dari kata Al-jahd yang berarti Al-masyaqqah (kesulitan, kesukaran). Dari itu,
ijtihad menurut pengertian kebahasaannya bermakna “badzl Al-wus’wa Al-majhud”
(pengerahan daya dan kemampuan), atau “pengerahan segala daya dan kemampuan dalam
suatu aktivitas dari aktivitas yang berat dan sukar”
“Mengerahkan semua kemampuan dalam rangka untuk memperoleh hukum syara’ yang
bersifat amali melalui cara istinbat.”
Dari pengertian kebahasaan terlihat ada dua unsur pokok dalam ijtihad; (1) daya atau
kemampuan, (2) obyek yang sulit dan berat. Daya atau kemampuan di sini dapat diaplikasikan
secara umum, yang meliputi daya fisik-material, mentalspiritual, dan intelektual.
Hukum Ijtihad dan Taklid
Menurut Asy-Syaukani ada tiga pendapat tentang hukum ijtihad dan taqlid, yaitu:
1) Pendapat sebagian kaum Mu’tazilah, Ibn Hazm dan imam madzhab yang empat, yang
memandang ijtihad merupakan kewajiban bagi setiap mukallaf dalam menghadapi
masalah yang muncul atas dirinya, sementara taqlid dilarang secara mutlak.
2) Pendapat sementara ulama kaum Hasyawiyyah, yang memandang pintu ijtihad telah
tertutup sehabis masa imam madzhab yang empat dan segenap kaum muslim wajib
bertaqlid kepada salah satu imam madzhab.
3) Pendapat para pengikut imam madzhab yang empat, yang mewajibkan ijtihad terhadap
ulama yang telah memenuhi persyaratan untuk berijtihad dan wajib pula bagi setiap orang
awam bertaklid kepada salah seorang mujtahid.
Asy-Syaukani terlihat condong kepada pendapat pertama. Kendati demikian, mungkin
Asy-Syaukani mengambil posisi yang lebih moderat. Menurut Asy-Syaukani, upaya ijtihad
merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang telah memenuhi persyaratannya, sementara
taklid dilarang secara mutlak. Seseorang yang telah mencapai derajat ijtihad tidak boleh taklid
kepada mujtahid lain, ia wajib mengamalkan hasil ijtihadnya sendiri setelah
dipertimbangkannya secara matang.
Asy-syaukani mewajibkan ijtihad atas orang yang telah mencapai derajat mujtahid dan
melarang taklid di dasarkan atas kandungan ayat:
َ علَي أ ُ ًم ِة و اِنًا
22 :علَي آثَا ِر ِه ْم ٌم ْهتَدُونَ ـ الزخرف َ اِنًا َوج ْدنَا آبَا َءنَا
“sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya
kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka”. (Q.S al-
Zukhruf: 22)
Menurut Asy-Syaukani, melalui ayat ini Allah swt mengecam orang-orang jahiliyah
yang hanya bertaklid kepada nenek moyangnya, tanpa mengetahui alasan dan dalilnya.
Sehingga, jika nenek moyang mereka sesat, maka mereka juga ikut sesat. Orang awam memang
diperintahkan al-Qur’an untuk bertanya kepada orang yang berilmu menyangkut masalah yang
tidak diketahuinya, tetapi itu hanya bukan sebatas menanyakan pendapat ulama tersebu, lebih
dari itu, ia harus mengetahui alasan ulama tersebut dari al-Qur’an dan sunnah. Sebab, seorang
ulama hanya dituntut menjelaskan hukum-hukum Allah, bukan hukum yang bersumber dari
nafsunya.