Anda di halaman 1dari 7

1.

Isi Kandungan kitab Usulul Fiqh al-Islami (Madzhab Hanafi)


Ditulis oleh Dr Wahbah Al-Zuhayli, diterbitkan oleh Darul Fikr, Damaskus-Syiria
tahun 1986, kitab ini terdiri dari 2 jilid. Kitab ini membahas tentang usul fiqh secara luas dan
mendalam. Salah satu kelebihan kitab ini adalah pengarang mampu melepaskan diri dari
ikatan madzhab. Beliau mampu memadukan ramuan dari beberapa mazhab usul fiqh yang
berbeda-beda antara satu sama lain, sehingga memudahkan para pelajar usul fiqh
untuk membuat perbandingan antara satu mazhab dengan yang lainnya. Kitab ini berisi tentang
Ilmu Ushul Fiqh yang secara sistematis menampilkan setiap pendapat berikut argumentasi
dasarnya, baik dari Al-Qur’an, al-sunnah, ijma’ atau hipotesa rasional. Kitab ini menjadi salah
satu rujukan mempelajari ilmu ushul fiqih.

Jilid pertama
bab 1 yaitu pembahasan mengenai ( ‫ ) االحكام الشرعية‬Ketentuan syari’ah yang mencakup: bagian
pertama pembuatan hukum (hakim), kedua pembahasan mengenai objek hukum (mahkum
bih/pih), dan subjek hukum (mahkum alaih).

bab 2 yaitu pembahasan mengenai ( ‫ ) طرق استنبط االحكامن النصوص الشرعية‬sumber peerumusan
hukum Islam dengan mencakup: pembuatan sumber-sumber dalil hukum syara dan makna-
makna sumber hukum, bab ketiga yaitu pembahasan mengenai ( ‫ ) مصادراالحكام الشرعية‬sumber
syari’ah, yaitu mencakup bagian pertama: sumber hukum syari’ah yang disetujui

Jilid kedua
Pada jilid kedua ini masih lanjutan dari jilid pertama bab ke tiga bagian keduanya yaitu:
sumber-sumber yang berkaitan dengan dalil hukum yang berbeda.
bab 4 yaitu membahas mengenai ‫انسخ‬
bab 5 membahas mengenai ( ‫ ) تعليل النصوص‬kaidah perumusan hukum islam
bab 6 membahas mengenai ( ‫ ) مقاصدالشريعةالعامة‬tujuan umum pembinaan hukum syari’ah
maqashid al-syari’ah,

bab 7 yaitu membahas ijtihad dan perkembangannya dengan mencakup bagian pertama tentang
metode ijtihad dan yang kedua pembahasan taqlid.
bab 8 membahas mengenai ‫ المعارض والترجيح بين االدلة‬yang didalamnya mencakup ‫تعارض االدلة‬
dan ‫الترجيح بين االدلة‬.

A. Pembahasan
a. Pengertian Qiyas
‫ هوالتقدير أي معرفة قدر الشيء‬:‫القياس الغة‬
‫ وقد يطلق القياس على مقارنة أحد‬. ‫ فا لمساواة الزمة للتقدير‬.‫ نسبة بين شيئين تقضي المساواة بينهما‬: ‫والتقد ير‬
.‫الشيئين باالخر‬
)‫ وأرادوا بقيد (لذاته‬.‫ هو قول مؤلف من أقوال متى سلمت لزم عنه لذاته قول اخر‬:‫والقياس عند المنا طقة‬
.‫إخراج قياس المساواة‬
Qiyâs secara bahasa (etimologi) adalah mengira-ngirakan sesuatu atau mengetahui
kadar sesuatu. Adapun yang dimaksud kadar sesuatu adalah menisbatkan diantara dua hal yang
sama. Sedangkan menurut ulama’ ushul fiqh (teminologi), Qiyâs adalah membandingkan dua
hal yang berbeda untuk ditemukan persamaannya.
b. Rukun-Rukun Qiyâs
‫أركان القياس‬
‫ ألنه‬,‫ هو النص الدال على الحكم‬: ‫ وعند المتكلمين‬.‫ هو محل الحكم الذي ثبت بالنص أو اإل جماع‬:‫اآلصل عند الفقهاء‬
.‫ هو ما بني عليه غيره‬:‫ واألصل‬,‫الذي بني عليه الحكم‬
:‫ وهو في المثال السابق‬,‫ هو المحل الذي لم يرد فيه نص وال إجماع‬:‫الفرع عند الفقهاء وهم الذين رجحت اصطالحهم‬
‫النبيد‬
‫ هي الوصف الذي بني عليه حكم األصل‬:‫العلة‬
Dari definisi qiyâs di atas, maka dapat diketahui bahwa rukun-rukun yang terdapat pada
qiyâs adalah
1. Al-ashlu
Al-ashlu merupakan masalah yang ditetapkan dalam al-Qur’an atau Sunnah. Ia disebut juga
dengan maqîs ‘alaih (tolak ukur), mahmulun ‘alaih (tempat menyimpan) dan musyabbah bih
(tempat penyerupaan)
2. Al-far’u
Sedangkan menurut fuqoha’al-far’u adalah suatu masalah yang tidak ada ketegasan dalil atau
ijma’nya. Misalnya keharaman narkoba yang ditetapkan melalui Qiyâs terhadap ketentuan
yang terdapat pada keharaman khamar yang telah ditetapkan hukumnya di dalam al-Qur’an.
3. ‘Illat

Menurut bahasa (etimologi) ‘illat adalah suatu istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan
adanya perubahan keadaan sesuatu dikarenakan masuknya sesuatu tersebut. Contohnya ada
‘illat bagi seseorang yang sakit yang berarti perubahan keadaan fisik seseorang tersebut karena
datangnya penyakit. Sedangkan Menurut ahli ushul fiqh (terminologi), ‘illat adalah sebab
disyari’atkannya hukum untuk mendatangkan maslahah. Sedangkan menurut Imam Ghozali
‘illat adalah sesuatu yang mempengaruhi hukum yang ditetapkan oleh Allah, bukan karena
dzatnya ‘illat itu sendiri.

Biografi Dr Wahbah Al-Zuhayli


Lahir 6 maret 1932 M di Dair ‘Atiyah kecamatan Faiha, propinsi Damaskus Suriah, dan
meninggal pada tahun 1436 H. Bertepatan pada hari Sabtu (08/08/2015) malam, pada usia 83
tahun. Nama lengkap beliau adalah Wahbah bin Musthafa al-Zuhaili, anak dari Musthafa al-
Zuhaili. Yakni, seorang petani yang sederhana dan terkenal dalam keshalihannya. Sedangkan
ibunya bernama Hajjah Fatimah binti Mustafa Sa’adah. Seorang wanita yang memiliki sifat
watak yang teguh dalam menjalankan syari’at agama.

Wahbah Zuhaili adalah seorang tokoh di dunia pengetahuan, selain terkenal di bidang
tafsir, ahli fiqh dan ushul fiqh. Beliau adalah ulama yang hidup diabad ke -20 yang sejajar
dengan tokoh-tokoh lainya, seperti Sayyid Qutb. Meskipun memiliki mazhab Hanafi, namun
dalam pengembangan dakwanya beliau tidak mengedepkan mazhab atau aliran yang
dianutnya. tetap bersikap netral dan proporsional. Adapun salah satu guru beliau adalah syaikh
Muhammad Lutfi al Fayumi (w. 1990 M) yang mengajarkan tentang ilmu Ushūl fiqh dan
Mustalahul Hadits.

2. Isi Dan Kandungan Kitab Ghayatul Wushul (Madzhab Syafii)


Ditulis oleh Syaikh Islam Zakariya al-Anshari (826-926 H), lahir di Kairo dan pernah belajar
di Al-Azhar Kairo dan ulama besar dalam Mazhab Syafi’i. Kitab Ghayatul Wushul merupakan
Syarah dari kitab Labb al-Ushul yang juga karangan pensyarah sendiri, yaitu Zakariya al-
Anshari. Sedangkan Labb al-Ushul merupakan ringkasan dari kitab Jam’ul Jawami’ karangan
Tajuddin al-Subky (wafat : 771 H). Kitab Ghayatul Wushul ini dianggap sebuah kitab yang
tidak mudah dipahami, mengingat isinya mengenai masalah-masalah yang berat, sehingga
dalam memahaminya membutuhkan seperangkat ilmu bantu lainnya, Sebagaimana dijelaskan
dalam muqaddimahnya, Kitab Ghayatul Wushul terdiri muqaddimah dan tujuh kitab, yaitu
menjadi maksud utama ada lima yakni mengenai dalil-dalil fiqh, yaitu al-Kitab, al-Sunnah,
ijmak, Qiyas dan istidlal. Yang keenam masalah ta’adul dan tarjih dan ketujuh ijtihad dan yang
berhubungan dengannya, yaitu taqlid dan adab fatwa. Kemudian disisipi dengan masalah taqlid
pada bidang ushuluddin yang ditutup dengan khatimah mengenai tasawuf.
Contoh pembahasan tentang illat
Illat secara bahasa berarti sesuatu yang bisa merubah keadaan, misalnya penyakit disebut illat
karena sifatnya merubah kondisi seseorang yang terkena penyakit. Menurut istilah,
sebagaimana dikemukakan Abdul Wahhab Khallaf, illat adalah suatu sifat pada ashl yang
mempunyai landasan adanya hukum. Adapun cara untuk mengetahui illat adalah melalui dalil-
dalil al-Qur’an atau Sunnah, baik yang tegas maupun yang tidak tegas, mengetahui illat melalui
ijma’, dan melalui jalan ijtihad.

Biografi penulis
Syaikh Zakaria an-Anshory dilahirkan di desa Sunaikah, sebuah desa di sebelah timur Mesir
pada tahun 824 H, menurut Imam Sayuti dan Ibnu Iyyas. beliau wafat pada usia seratus tahun,
dan juga as-Sayuty sezaman dengan beliau, dan Ibnu Iyyas sendiri ikut menghadiri pemakaman
beliau, yaitu tahun 823 H bertepatan dengan tahun 1418 H. Syaikh Zakariya Al-Anshory hidup
pada masa pemerintahan Al-Mamalik. Semasa hidupnya, beliau menduduki banyak pangakat
dan jabatan. Adapun pangkat atau jabatan yang beliau duduki selama hidupnya adalah: Menjadi
staf pengajar di Turbah Ad-Dzahir Abu Sa’id Khosyqodam, seorang sultan pada saat itu,
menjadi staf pengajar di Madrasah As-Sabiqiyyah, sebuah madrasah yang dikhususkan untuk
ulama syafi’iyyah, menjadi Pengawas Badan Perwaqofan Al-Qorofah, dan Masjid Imam
Syafi’I dan menjabat sebagai Qodhil Qudhot, Qodhi Agung dari tahun 886 H- 906 H. Adapun
guru Syaikh Zakaria an-Anshory antara lain Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, beliau mengajarkan
ilmu fiqih, hadist dan ushul.

3. Isi Kandungan Kitab Irsyadu Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq Min ‘Ilm Al-Ushul (Madzhab
Syi’ah Zaidiyah)
Irsyâd al-Fuhûl merupakan sebuah kitab ushul fiqh karangan Muhammad Asy-
Syaukani, isi kitab kendati relatif ringkas, namun padat akan materi ushul fiqh berikut
kontroversi pendapat yang mengemuka. Dalam karyanya ini, Asy-Syaukani lebih banyak
menampilkan studi perbandingan di antara berbagai madzhab pemikiran, meski tidak jarang ia
mengutarakan pendapat pribadinya, sebagai konsekwensi logis dari pendiriannya tentang
independensi pemikiran serta keharaman taqlid. Berkaitan dengan pendiriannya yang anti
taqlid ini, ia telah mengarang sebuah karya khusus seputar ijtihad dan taqlid, dalam sebuah
karya berjudul Al-Qaul al-Mufîd fî Adillat al-Ijtihâd wa al-Taqlîd.

Irsyâd al-Fuhûl menyajikan setiap analisis-analisis Asy-Syaukani dalam bentuk


komperatif (perbandingan) antara satu pendapat ulama ushul dan pendapat ulama ushul yang
lain. Dalam hal ini tidak jarang pula, Asy-Syaukani menerima suatu pandangan ataupun
menolaknya dengan cara eksplisit ataupun implisit atau mengemukakan suatu pendapat seperti
adanya, tanpa mengomentarinya.
Adapun bagian kitab Irsyadu Fuhul Ila Tahqiq al-Haq Min ‘Ilm al-Ushul, yaitu:

Jilid 1: taqdim (penyerahan), muqodimah, departemen studi, muqodimah pengarang,


tujuan pertama tentang buku yang berharga (Al-Qur’an), tujuan kedua yaitu tentang As-
Sunnah, tujuan ketiga tentang Ijma’,tujuan keempat tentang umarah, ‫المواهي‬, amm, khas,
‫اإلطالق‬, ‫التقييد‬, ‫التبيين‬, ‫الظاهر‬, ‫المؤول‬, mantuq, mafhum, nasikh dan
mansukh.
Indeks bagian pertama

Jilid II: Ikuti tujuan keempat, tujuan kelima yaitu qiyas dan yang terkait, tujuan keenam
yaitu dalam ijtihad dan taqlid, tujuan ketujuh tentang persamaan dan tarjih.
Daftar isi:

1. Ayat dan Hadits


2. Hadits dan Atsar
3. Informasi
4. Manfaat dan komentar
5. Topik

Biografi Penulis

Muhammad Asy-Syaukani (1759–1834 M) adalah seorang ulama besar, Qadhi


(hakim), ahli fikih, dan mujaddid (pembaharu/reformis) dari Yaman. Nama lengkapnya adalah
Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah Asy-Syaukani Ash-Shan’ani. Julukannya
adalah Imam Asy-Syaukani yang dinisbahkan kepada wilayah Hijratusy Syaukan, yang berada
di luar kota Shan'a. Muhammad Asy-Syaukani lahir di Syaukan, suatu desa dekat kota San’a,
Yaman Utara pada hari Senin, 28 Dzulqaidah 1173 H (1759 M). Kemudian ia besar di Shan'a,
Yaman. Ia berasal dari keluarga yang menganut mazhab Syiah Zaidiyah, ayahnya adalah 'Ali
al-Syaukani yang merupakan seorang hakim (Qadi). Imam Asy-Syaukani wafat di Shan'a pada
hari Rabu, 27 Jum'adil Akhir tahun 1250 H/ 1834 M pada umur 76 tahun 6 bulan, dimakamkan
di pemakaman Khuzaimah di Shan'a, dan dishalatkan di Masjid Jami' Kabir. Adapun guru
Imam Asy-Syaukani, diantaranya yaitu Ali Asy-Syaukani, yang mengajarkannya Syarah al-
Azhar dan Syarah Mukhtashar al-Hariri dan Abd al-Rahman Ibn Qasim al Madani (1121-1211
H), yang membimbingnya mempelajari fiqh. Banyak sekali karya-karya tulis yang telah beliau
hasilkan, mayoritas dari kitab tersebut telah tersebar di masa hidup beliau sehingga menjadi
tumpuan. Di antaranya terdapat 240 buku masih berbentuk manuskrif belum melihat cahaya
(belum diterbitkan dalam bentuk kitab). Adapun karyanya yang paling terkenal adalah: Dalam
Tafsir Al-Qur'an, Fathul Qadir al-Jami’ baina Fann ar-Riwayat wad Dirayat fit Tafsir (5 jilid).

Pembahasan tentang ijtihad dan taklid

Kata ijtihad berakar dari kata Al-Juhd, yang berarti Al-thaqah (daya, kemampuan,
kekuatan) atau dari kata Al-jahd yang berarti Al-masyaqqah (kesulitan, kesukaran). Dari itu,
ijtihad menurut pengertian kebahasaannya bermakna “badzl Al-wus’wa Al-majhud”
(pengerahan daya dan kemampuan), atau “pengerahan segala daya dan kemampuan dalam
suatu aktivitas dari aktivitas yang berat dan sukar”

“Mengerahkan semua kemampuan dalam rangka untuk memperoleh hukum syara’ yang
bersifat amali melalui cara istinbat.”

Dari pengertian kebahasaan terlihat ada dua unsur pokok dalam ijtihad; (1) daya atau
kemampuan, (2) obyek yang sulit dan berat. Daya atau kemampuan di sini dapat diaplikasikan
secara umum, yang meliputi daya fisik-material, mentalspiritual, dan intelektual.
Hukum Ijtihad dan Taklid
Menurut Asy-Syaukani ada tiga pendapat tentang hukum ijtihad dan taqlid, yaitu:
1) Pendapat sebagian kaum Mu’tazilah, Ibn Hazm dan imam madzhab yang empat, yang
memandang ijtihad merupakan kewajiban bagi setiap mukallaf dalam menghadapi
masalah yang muncul atas dirinya, sementara taqlid dilarang secara mutlak.
2) Pendapat sementara ulama kaum Hasyawiyyah, yang memandang pintu ijtihad telah
tertutup sehabis masa imam madzhab yang empat dan segenap kaum muslim wajib
bertaqlid kepada salah satu imam madzhab.
3) Pendapat para pengikut imam madzhab yang empat, yang mewajibkan ijtihad terhadap
ulama yang telah memenuhi persyaratan untuk berijtihad dan wajib pula bagi setiap orang
awam bertaklid kepada salah seorang mujtahid.
Asy-Syaukani terlihat condong kepada pendapat pertama. Kendati demikian, mungkin
Asy-Syaukani mengambil posisi yang lebih moderat. Menurut Asy-Syaukani, upaya ijtihad
merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang telah memenuhi persyaratannya, sementara
taklid dilarang secara mutlak. Seseorang yang telah mencapai derajat ijtihad tidak boleh taklid
kepada mujtahid lain, ia wajib mengamalkan hasil ijtihadnya sendiri setelah
dipertimbangkannya secara matang.
Asy-syaukani mewajibkan ijtihad atas orang yang telah mencapai derajat mujtahid dan
melarang taklid di dasarkan atas kandungan ayat:

ُ ‫ْئ فَ ُرد ُْوهُ إلَي هللا َو ْال ًر‬


59 :‫س ْو ِل ـ النساء‬ َ ‫إن تَنَازَ ْعت ُ ْم فِي‬
ٍ ‫شي‬ ً َ‫ف‬
“kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya) ”. (Q.S An-Nisa: 59)
Menurut Asy-Syaukani, Allah tidak memerintahkan kembali kepada pendapat
seseorang dalam masalah agama, tetapi diperintahkan-Nya kembali kepad Allah dan Rasul-
Nya. Dengan demikian orang harus dapat memetik kandungan al-Qur’an dan sunnah Rasul dan
untuk mencapau demikian adalah dengan melakukan istinbath. Akan tetapi, jika sesuatu
permasalahan tidak ditemukan jawabannya didalam al-Qur’an dan sunnah, orang harus
melakukan ijtihad bi al-ra’y.
Pandangan Asy-Syaukani itu dapat dipahami dan diterima oleh pengikut madzhab yang
empat, jika terjadi pada ahli fiqh yang telah memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad. Akan
tetapi, jika persoalan itu dihadapi oleh masyarakat awam, apakah mungkin mereka akan
melakukan ijtiha? Dalam hal ini, para pengikut imam madhab yang empat mewajibkan bagi
orang awam bertaklid kepada salah seorang mujtahid. Menurut mereka, orang awam yang tidak
memiliki pengetahuan sedikitpun tentang hukum mustahil dapat melakukan ijtiaha. Kalau
mereka diwajibkan untuk berijtihad, akibatnya adalah kekacauan hukum dimasyarakat.
Sedangkan Asy-Syaukani berpendapat, seseorang yang belum mencapai peringkat
mujtahid, tidak hanya boleh bertaklid pada pendapat (ra’yu) mujtahid, tetapi harus meminta
keterangan dan alasan-alasan dari mujtahid tersebut berupa yat-ayat al-Qur’an dan sunnah yang
dijadikan oleh mujtahid sebagai dalil hukum yang difatwakannya. Cara demikian telah
dipraktekkan oleh masyarakat awam pada masa sahabat dan tabiin, mereka tidak berhenti
sebatas meminta pendapat para mujtahid dikalangan sahabat dan tabiin, tetapi juga
menanyakan alasan dan sumber pendapat tersebut. Menurut Asy-Syaukani, hal demikian tidak
lagi di sebut taklid, karena taklid ialah menerima pendapat orang lain, tanpa mengetahui alasan
dan dalilnya, dan hukum taklid adalah haram.
As-Syaukani melarang taklid dengan mengemukakan alasan sejumlah ayat,
diantaranya:

َ ‫علَي أ ُ ًم ِة و اِنًا‬
22 :‫علَي آثَا ِر ِه ْم ٌم ْهتَدُونَ ـ الزخرف‬ َ ‫اِنًا َوج ْدنَا آبَا َءنَا‬
“sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya
kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka”. (Q.S al-
Zukhruf: 22)
Menurut Asy-Syaukani, melalui ayat ini Allah swt mengecam orang-orang jahiliyah
yang hanya bertaklid kepada nenek moyangnya, tanpa mengetahui alasan dan dalilnya.
Sehingga, jika nenek moyang mereka sesat, maka mereka juga ikut sesat. Orang awam memang
diperintahkan al-Qur’an untuk bertanya kepada orang yang berilmu menyangkut masalah yang
tidak diketahuinya, tetapi itu hanya bukan sebatas menanyakan pendapat ulama tersebu, lebih
dari itu, ia harus mengetahui alasan ulama tersebut dari al-Qur’an dan sunnah. Sebab, seorang
ulama hanya dituntut menjelaskan hukum-hukum Allah, bukan hukum yang bersumber dari
nafsunya.

Anda mungkin juga menyukai