Anda di halaman 1dari 21

GAMBARAN HISTOPATOLOGI LAMBUNG YANG DIBERIKAN

EKSTRAK DAUN WIDURI (CALOTROPIS GIGANTEA) DAN DIINDUKSI


ASPIRIN TERHADAP TIKUS PUTIH (RATTUS NORVEGICUS)

NAMA : BERNARDINUS NGALA ( 15820020 )

ALFRED ADE PUTRA KALEGO ( 14820025 )

KELAS :A

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

2018

1
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Aspirin merupakan obat (NSAID) yang memiliki efek farmakodinamik seperti


analgesic, antiinflamasi dan antipiretik. Selain sebagai anti-inflamasi, aspirin
merupakan agen anti-trombotik yang banyak dipergunakan pada penyakit jantung
koroner (PJK) untuk mencegah terjadinya agregasi trombosit. Penggunaan aspirin
lebih sering ditujukan untuk mengatasi rasa nyeri, meskipun aspirin juga merupakan
antipiretik yang efektif (Furst and Ulrich., 2007; Zeehnder, 2007).
Diperkirakan penggunaan aspirin di Amerika mencapai 30 milyar tablet
aspirin (40 ton per hari). Karena aspirin dijual secara bebas dan tersebar luas
dimasyarakat untuk pengobatan sendiri, maka kemungkinan untuk terjadi
keracunan aspirin akan lebih besar. Overdosis aspirin dapat terjadi secara akut
maupun kronik. Tingkat kematian pada overdosis akut mencapai 2% dan pada
overdosis kronik mencapai 25% akan lebih berat dampaknya pada anakanak.
Toksisitas sedang terjadi pada dosis <300 mg/kg BB dan toksisitas berat terjadi
pada dosis 300 – 500 mg/kg BB ekitar 20-30% dari prevalensi ulkus terjadi
akibat pemakaian OAINS, salahsatunya dalah aspirin Obat ini digunakan secara
kronis pada penyakit-penyakit yang didasari inflamasi kronis, seperti
osteoarthritis. Pemakaian kronis ini akan semakin meningkatkan resiko terjadinya
ulkus pada lambung (Heijst, 2006; Kausar, 2009; Mustaqim dkk., 2017). Aspirin
menyebabkan pengelupasan sel epitel permukaan dan mengurangi sekresi mukus
yang merupakan barier protektif terhadap serangan asam (Koester, 2007).

Widuri (Calotropis gigantea) merupakan tanaman liar yang kurang


dimanfaatkan oleh masyarakat. Pada tanaman widuri ini telah ditemukan lebih dari 23
jenis senyawa bioaktif dari berbagai bagian tanaman, beberapa diantaranya memiliki
potensi sebagai antikanker yaitu alkaloid dan terpenoid, kandungan kalsium oksalat
pada tanaman biduri merupakan zat yang merupakan basa kuat (Yudi, 2004). Kalsium
oksalat pada tanaman biduri memungkinkan untuk dijadikan sebagai gastro protektif.
Gastritis adalah keadaan dimana mukosa dan submukosa lambung mengalami
inflamasi. (Sudoyo A, 2010; Lee Y, 2008). Salah satu faktor penyebab gastritis adalah
stres, karena stres bisa meningkatkan produksi HCl.( Akmal M, 2010; Kusumadewi
M, 2012). Menurut WHO, kejadian gastritis paling tinggi ditemukan di Amerika
dengan presentasi mencapai 47%, diikuti oleh India (43%) dan Indonesia (40,85%).
Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan yang dilakukan oleh Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, angka kejadian gastritis di beberapa kota di Indonesia
mencapai 91,6% (Akmal M, 2010).
Tahun 2010, gastritis menempati urutan pertama dalam 10 besar penyakit
rawat inap di rumah sakit dan menempati urutan kelima dalam 10 besar penyakit
rawat jalan. (Departemen Kesehatan RI,2010). Mukus diihasilkan oleh sel mukus atau

2
sel goblet yang biasanya terdapat pada kulit, saluran pernafasan serta saluran
pencernaan yang berfungsi untuk melapisi bagian luar tubuh. (Asakawa, 1970).
Pada saluran pencernaan, mukus sangat membantu melindungi pencernaan
dan melindungi lapisan luar dari usus, lambung dan organ yang berfili lainnya dari
zat korosif (asam lambung) terhadap infeksi bakteri dan virus. Mukus
mengandung substansi seperti imunoglobulin, lisozym, C-reactive protein

serta lektin. Substansi tersebut sangat penting untuk pertahanan penyakit maupun
lingkungan yang tidak menguntungkan. Bahkan pada organ yang sama, jenis
serta jumlah sel mukus juga dapat berbeda yang disebabkan karena kandungan
glikoprotein penyusun mukusnya tidak sama. (Purbomartono, dkk., 2004)
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka peneliti berkeinginan untuk
melakukan berkaitan mengenai uji gastroprotektif ekstrak daun widuri (Calotropis
gigantea) pada tikus gastritis yang diinduksi aspirin.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah :
1) Bagaimana gambaran histopatologi lambung yang diberikan ekstrak daun
widuri (Calotropis gigantea) dan diinduksi aspirin terhadap tikus putih (Rattus
norvegicus) ?

1.3 Tujuan
1) Untuk menganalisis gambaran histopatologi nekrosis lambung yang di
berikan ekstrak daun widuri (Calotropis gigantea) dan diinduksi aspirin
pada tikus putih (Rattus norvegicus)
2) Untuk menganalisis gambaran histopatologi degenerasi lambung yang di
berikan ekstrak daun widuri (Calotropis gigantea) dan diinduksi aspirin
pada tikus putih (Rattus norvegicus)

3) Untuk menganalisis gambaran histopatologi inflamasi sel radang lambung


yang di berikan ekstrak daun widuri (Calotropis gigantea) dan diinduksi
aspirin pada tikus putih (Rattus norvegicus)

1.4 Hipotesis
H0 : Tidak terdapat aktivitas gastroprotektif ekstrak daun widuri (Calotropis
gigantea) pada tikus gastritis yang diinduksi aspirin.
H1 : Terdapat aktivitas gastroprotektif ekstrak daun widuri (Calotropis gigantea)
pada tikus gastritis yang diinduksi aspirin.

3
1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai


aktivitas gastroprotektif ekstrak daun widuri (Calotropis gigantea) pada tikus
gastritis yang diinduksi aspirin dan memberikan informasi yang dapat berguna bagi
penelitian selanjutnya.

4
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obat Anti Inflamasi Non Steroid

Penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) bisa menyebabkan


terjadinya ganguan pada saluran pencernaan (ulkus peptikum) dan hipertensi. Selain,
sebagai antiinflamasi, NSAID juga mempunyai efek sebagai analgesic dan antipiretik.
Obat antiinflamasi nonsteroit ini mempunyai salah satu faktor agresif eksogen yang
dapat menyebabkan kerusakan pada mukosa lambung, baik smelalui local maupun
sistemik. Lesi mukosa lambung ini yang akan di kenal dengan gastritis dan ulkus.
Contoh obat yang termasuk golongan antiinflamasi nonsteroid (NSAID) adalah salah
satunya Aspirin. (Imananta, 2018 ; Mutaqim,2017)

2.1.1 Aspirin

Asam asetilsalisilat (aspirin) diperkenalkan sebagai obat anti-inflamasi


non-steroid (NSAID) dan analgesik yang kuat. Asam asetil salisilat atau yang
lebih dikenal dengan asetosal atau aspirin merupakan senyawa yang memiliki
khasiat sebagai analgesik, antipiretik, dan anti inflamasi dengan penggunaan
dosis besar. Asetosal termasuk produk over the counter (OTC) yang dapat
diperoleh tanpa resep dokter dan telah digunakan secara luas di masyarakat.
(Annuryanti,2013; Ritu,2012)

Khasiat lain yang dimiliki asetosal pada penggunaan dosis kecil adalah
sebagai anti platelet yang berfungsi mengurangi terjadinya infark miokard

pada orang dengan resiko tinggi misalnya stroke atau ischemia cerebral,
sehingga asetosal diproduksi dengan dosis sediaan 80 dan 160 mg/tablet
dengan aturan pakai 1 tablet/hari. (Annuryanti,2013)

Gambar 2.1 Asetosal (Depkes RI, 1995)

5
Pemakaian aspirin dalam waktu jangka panjang dpat mempengaruhi
cedera mukosa yang lebih rendah, dibandingkan dengan pemakaian akut,
karena mukosa lambung telah beradaptasi dan menjadi lebih resisten
terhadap aspirin. Respons adaptif juga dapat mencakup terjadinya
penurunan infiltrasi sel-sel radang netrofil dan proliferasi epitel yang
luas. Aspirin menginduksi kerusakan mukosa lambung melalui efek
toksiknya yang sangat menurunkan pertahanan mukosa lambung. Secara
fisikokimiawi aspirin diserap dengan cepat dan terakumulasi pada
mukosa sehingga menyebabkan perekat pada mukosa lambung mengalami
kerusakan. (Lintong, 2013)

2.1.1.1 Efek Samping Aspirin

Asetosal atau aspirin bukan lagi merupakan pilihan utama sebagai


analgesik dikarenakan dia memiliki efek sampingnya yang dapat
menyebabkan atau mengiritasi lambung. Gangguan pada lambung terjadi
akibat pemberian aspririn yang berkelebihan sehingga dapat menyebabkan
terjadinya gastritris. Untuk dapat mengurangi efek iritasi lambung ini,
biasanya asetosal dibuat dalam bentuk tablet biasa (plain uncoated), buffered
tablets, enteric coated tablets, dispersible tablets, suppositoria dll (Sweetman.,
2002 ; Lintong, 2013).

Efek iritasi lambung pada penggunaan asetosal disebabkan karena


asetosal bereaksi asam. Selain itu, asetosal merupakan senyawa ester yang
mudah terhidrolisis menjadi asam asetat dan asam salisilat selama masa
produksi maupun penyimpanan. Asam salisilat inilah yang menjadi penyebab
iritasi lambung ketika asetosal terhidrolisis dikonsumsi secara per oral oleh
penderita. Saat ini asetosal banyak digunakan bersama obat jantung yang juga
bereaksi asam (contohnya isosorbid dinitrat), maka monitoring asam salisilat
bebas dalam sediaan asetosal penting dilakukan, terutama karena asetosal
sebagai anti thrombus yang digunakan dalam jangka panjang.
(Annuryanti,2013)

Efek samping aspirin pada saluran cerna yang sering terjadi adalah
nyeri epigastrium, mual, muntah, dan selalu ada perdarahan mikroskopik.
Kekambuhan gejala ulkus peptikum dan perdarahan saluran cerna dapat

terjadi pada penderita yang sering menggunakan salisilat jangka panjang.


Penderita dengan nyeri epigastrium akibat gastritis yang disebabkan oleh
alkohol tidak disarankan mengonsumsi salisilat karena dampak terjadinya
risiko perdarahan saluran cerna lebih besar. (Lintong, 2013)
6
Semua obat antiinflamasi contohnya aspirin berpotensi besar
menyebabkan kerusakan pada saluran cerna. Obat-obat dengan keasaman
rendah seperti salisilat dapat masuk ke dalam sel dengan konsentrasi
tinggi karena pada pH intrasel bentuk ionisasi obat lebih banyak dan
tidak dapat segera didifusikan keluar dari dalam sel. Kadar salisilat intrasel
yang tinggi bisa menyebabkan terjadinya erosi mukosa lambung.
Penghambatan sintesis prostaglandin oleh salisilat turut menyokong
terjadinya kerusakan epitel mukosa saluran cerna. Prostaglandin terutama
PGI2 dan PGE2 berfungsi sebagai penyekat pada mukosa lambung dengan
cara meningkatkan aliran darah serta pembentukan mukus dan sodium
bikarbonat sehingga dapat mengurangi pelepasan HCl dan enzim-enzim
pencernaan). Adanya nyeri epigastrium, mual dan muntah yang
ditimbulkan bila mengonsumsi obat aspirin dapat terjadinya radang pada
lambung (gastritis akut). Pada kasus – kasus yang berat gastritis akut
dapat menjadi gastritiserosif, ulserasi yang disertai perdarahan,
hematemesis, melena, atau perdarahan hebat. (Lintong, 2013)

2.2 Lambung

2.2.1 Anatomi Lambung

Menurut Puspitasari (2008) dalam Frappier (1998) lambung tikus berada di


bagian kiri ruang abdomen yang berkontak langsung dengan hati, dengan tepi
bagian tengah yang berbentuk cekung dari lambung disebut curvature minoratau
lekukan kecil. Dan tepi bagian lateral yang berbentuk cembung disebut curvature
mayor atau lekukan besar. Lambung tikus dibedakan menjadi dua bagian yaitu
lambung depan (bagian tipis di sebelah kiri) dan lambung kelenjar. Lambung
depan umumnya dikenal dengan lambung nonkelenjar. Pada lambung tikus dan
beberapa mamalia lainnya terdapat regio tambahan sebelum cardia yaitu lambung
nonkelenjar (nonglandular stratified squamous epitelium). Lambung depan
merupakan perhubungan pintu masuk dari esofagus ke dalam lambung.

Dalam Puspitasari (2008) menurut Bringman et al. (1995); Miller (1996)


menyatakan bahwa secara anatomis lambung mamalia dibagi atas 4 regio, yaitu
cardia, fundus, bodyatau corpus dan pilorus. Cardia, merupakan bagian dengan
luas kecil dan zona pembatas dekat gastrophageal junction. Fundus, pada mamalia
merupakan regio yang berbentuk kubah terletak sebelah kiri dari esofagus dan
banyak terdapat sel kelenjar. Bodyatau corpus, merupakan bagian terluas dari
lambung (kurang lebih 2/3 bagian lambung) yang membentang dari fundus
inferior sampai ke pilorus. Pilorus merupakan bagian yang paling akhir. Pilorus

7
berbentuk corong dengan perluasan kerucut, pada sambungan dengan badan
disebut pyloric antrumdan batang corongnya disebut pyloric canal. Bagian akhir

pylorus terdapat sphinteryang berfungsi mengatur pelepasan chymeke dalam


duodenum. Berikut merupakan gambaran bentuk anatomis dari lambung dengan
regio - regionya :

Gambar 2.2 Anatomi eksternal dan internal lambung mamalia. (Tortora dan
Grabowski 1996)

2.2.2 Fisiologi Lambung

Lambung memiliki dua fungsi utama yaitu, fungsi pencernaan dan fungsi
motorik. Fungsi pencernaan dan sekresi lambung berkaitan dengan pencernaan
protein, sintesis dan sekresi enzim-enzim pencernaan. Selain mengandung sel-sel
yang mensekresi mukus, mukosa lambung juga mengandung dua tipe kelenjar
tubular yang penting yaitu kelenjar oksintik (gastrik) dan kelenjar pilorik. Kelenjar
oksintik terletak pada bagian corpus dan fundus lambung, meliputi 80% bagian
proksimal lambung. Kelenjar pilorik terletak pada bagian antral lambung. Kelenjar
oksintik bertanggung jawab membentuk asam dengan mensekresikan mukus, asam

hidroklorida (HCl), faktor intrinsik dan pepsinogen. Kelenjar pilorik berfungsi


mensekresikan mukus untuk melindungi mukosa pilorus, juga beberapa pepsinogen,
renin, lipase lambung dan hormon gastrin. Fungsi motorik lambung terdiri atas (1)
penyimpanan sejumlah besar makanan sampai makanan dapat diproses dalam
duodenum, (2) pencampuran makanan dengan sekresi lambung hingga membentuk
suatu campuran setengah cair yang disebut kimus (chyme) dan (3) pengosongan
makanan dari lambung ke dalam usus dengan lambat pada kecepatan yang sesuai
untuk pencernaan dan absorbsi dalam usus halus. Dalam Puspitasari (2008) menurut
(Wilson dan Lester 1994; Guyton dan Hall 1997).

8
2.2.3 Penyakit – penyakit Yang Menyerang Lambung

Penyakit lambung adalah salah satu penyakit yang tidak boleh di sepelehkan,
karna jika di biarkan terus – menerus dan tidak di tangani akan mengakibatkan
kematian. Beberapa jemis penyakit yang menyerang lambung, antara lain Gastritis
Akut Erosif, Gastritis Kronis, Dispepsia, Gastroesophageal Reflux Disease
(GERD). Ulkus Peptikum, Karsinoma/kangker Lambung, dan Hyperacidity.
(Akmal,2014). Pada penelitian ini saya berkeinginan untuk melakukan penelitian
tentang penyakit gastritis

2.2.3.1 Gastritis

Gastritis adalah keadaan dimana mukosa dan submukosa lambung


mengalami inflamasi. Salah satu faktor penyebab gastritis adalah karena
pemakaian obat antiinflamasi nonsteroit yang berlebihan. (Mustaqim, 2017;
sembor,2013)

Gastritis adalah kelainan radang pada lambung, dibagi menjadi 2, yaitu


gastritis akut dan gastritis kronik. Gastritis akut merupakan suatu keadaan
peradangan yang terjadi pada mukosa lambung. Gastritis kronik merupakan
penyebab tersering dari kanker lambung. Gastritis dapat disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain adalah dari golongan obat, alkohol, empedu,
iskemia, bakteri, virus, jamur, stres akut, radiasi, alergi, trauma langsung, dan
keracunan makanan atau zat aditif pada makanan, seperti formalin.
(Romdhoni,2015)

2.3 Daun Widuri

2.3.1 Klasifikasi Daun Widuri

Penggunaan obat-obatan alami atau tradsional yang berasal dari


tumbuhan terus mengalami perkembangan yang pesat. Pemanfaatan obat
alami yang berasal dari tumbuhan sangat berkhasiat dan sudah lama di
gunakan oleh masyarakat sebagai sumber senyawa terapeutik untuk
pengobatan tradisional sejak jaman kuno. senyawa tanaman yang diambil
sebagai sumber pengganti yang lebih aman atau lebih efektif untuk agen
antimikroba yang diproduksi secara sintetik. Obat herbal telah digunakan dari
dulu sampai sekarang. Tanaman herbal adalah sumber yang efektif dari obat-
obatan tradisional & modern, berguna untuk perawatan kesehatan primer. .
(Fitmawati,2018 ; Aarti,C, 2014)

Tanaman Calotropis gigantea di Indonesia dikenal dengan nama Biduri


atau Widuri. Tanaman ini merupakan tanaman asli Asia Tenggara yang

9
mudah didapatkan di Indonesia, Filipina, Kamboja, Malaysia, Thailand,
Srilanka, India dan China. Tanaman ini dikenal dengan tanaman obat
dengan kulit akar, bunga, getah dan daun yang memiliki khasiat berbeda
- beda, dan memiliki yang buah berisi serat-serat halus seperti sutera yang
melekat pada setiap bijinya. (Sukardan,2016)

Tanaman Calotropis gigantean merupakan salah satu jenis


belukar/tanaman perdu yang dapat tumbuh mencapai setinggi 3 meter.
Dengan serat yang dapat diperoleh dari kulit batang dan biji buahnya. Dan
getah yang warna putih menyerupai susu yang keluar dari batang tanaman
diketahui bermanfaat untuk kesehatan, diantaranya sebagai obat herbal
penyakit pusing, asma, bronkitis, dispepsia, lepra, tumor dan berbagai
penyakit gangguan pencernaan. (Sukardan,2016)

Klasifikasi tanaman Widuri : Menurut Aarti,C (2014)

1. Kingdom : Plantae
2. Divisi : Magnoliophyta
3. Kelas : Magnoliopsida
4. Order : Gentianales
5. Keluarga : Apocynaceae
6. Genus : Calotropis

7. Jenis : gigantea
8. Nama binomial : Calotropis gigantea (L.) W.T.Aiton

2.3.2 Morfologi Daun Widuri

Calotropis gigantea adalah semak besar atau pohon kecil, tingginya sekitar 4–
10m tinggi. Batangnya tegak, hingga 20 cm. Dedaunan berbentuk elips, dengan
ukuran 9 – 20 cm × 6 – 12,5 cm tapi bertangkai pendek. Bunga berdiameter 5 –
12,5 cm. Tangkai bunga adalah 5–12 cm; tangkai dari bunga individu

10
panjangnya 2,5 – 4 cm. Lobus sepal secara luas berbentuk telur dengan
ukuran 4 - 6 mm × 2 - 3 mm. Kelopak 2,5 - 4 cm diameter. Ini memiliki
kelompok bunga lilin yang baik warna putih atau lavender. Setiap bunga terdiri
dari lima kelopak runcing dan "mahkota" kecil dan elegan yang muncul dari atas
pusat, yang memegang benang sari. Tanaman itu berbentuk oval, ringan daun
hijau dan batang susu. Lobus petal secara luas pengukuran segitiga 10–15 mm × 5
– 8 mm; mereka berwarna ungu pucat dan krim yang menuju ke arah ujung.
Tanaman Calotropis ini tahan terhadap kekeringan, toleran garam yang relatif

tinggi derajat, tumbuh liar hingga 900 meter (MSL) sepanjang negara. Tanaman
ini adalah salah satu jenis tanaman yang tidak dikonsumsi oleh hewan
penggembalaan. (Aarti,C, 2014)

2.3.3 Senyawa Aktif Yang Terkandung Dalam Daun Widuri

Menurut Muti’ah (2014) Kandungan senyawa dan bioativitas dari Calotropis


gigantea (C.gigantea) yaitu mengandung alkaloid, glikosida sianogenik, senyawa
fenolik dan tannin kardenolid , flavonoid, terpen, sterol, proteinase, asam amino
nonprotein. Beberapa penelitian kandungan aktif pada tiap bagian tanaman C.
gigantea disajikan pada tabel di bawah ini :

Tabel 1 Komponen fitokimia di Calotropis gigantea

N Senyawa Bagian Tanaman


o Akar Bunga Kuncup
1 Alkaloid Positif positif Positif
2 Asam amino Positif Positif Positif
3 senyawa asam Positif Positif Positif
4 Karbohidrat Positif Positif Positif
5 flavonoid Positif Positif Positif
6 glikosida Positif Positif Positif
7 peroksida Negatif Negatif Negatif
8 sterol Positif Positif Positif
9 saponin Positif Positif Positif

Tabel 2 Kandungan kimia tanaman C.gigantea (Muti’ah,2014)

11
2.4 Tikus Putih (Rattus norvigicus)

Penggunanaan hewan coba dalam penelitian sangat banyak digunakan untuk


uji kelayakan atau keamanan suatu bahan obat dan juga untuk meneliti yang berkaitan
dengan penyakit. Hewan coba adalah hewan yang sengaja dipelihara untuk digunakan
sebagai hewan model yang digunakan untuk pembelajaran, pengembangan dan
pengamatan laboratorium. Hewan coba banyak digunakan sebagai penunjang dalam
melakukan pengujian-pengujian terhadap obat, vaksin, atau dalam penelitian biologi.
(Tolistiawaty,2014)

Tikus (Rattus norvegicus) albino atau yang dikenal sebagai “tikus putih”
adalah hewan yang paling sering digunakan sebagai model atau hewan percobaan
dalam penelitian biomedis. Pemilihan umur hewan coba sangat penting karena
menentukan arah penelitian. (Fitria, 2015)

Dalam penelitian kali ini digunakan tikus putih (Rattus norvegicus), tikus
putih sudah terkenal sebagai hewan percobaan ( hewan model ) karena murah, cepat
berkembang biak, interval kelahiran pendek, jumlah anak per kelahiran tinggi, sifat
anatomisnya dan fisiologisnya terkarakterisasi dengan baik, lebih dari 90% dari
semua hewan uji yang digunakan didalam penelitian adalah binatang pengerat,

12
terutama tikus putih (Rattus norvigicus) hal ini di karenakan secara biomedis, genetic
kebutuhan nutrisi, metabolism, biokimianya antara manusia dan tikus putih tersebut
mempunyai banyak sekali kemiripan. (Rahmalia,2011)

Tikus merupakan hewan menyusui (kelas mamalia) yang mempunyai peranan


penting dalam kehidupan manusia, baik bersifat menguntungkan maupun merugikan.
Sifat menguntungkan terutama dalam hal penggunaannya sebagai hewan percobaan di
laboratorium. Sifat merugikan yaitu dalam hal posisinya sebagai hama pada
komuditas pertanian, hewan pengganggu, serta penyebar dan penular (vector) dari
beberapa penyakit pada manusia (Priyambodo, 2007). Tikus telah diketahui sifat-
sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan
cocok untuk berbagai macam penelitian (Pramono, 2005).

2.4.1 Klasifikasi Tikus Putih

Klasifikasi tikus putih dalam susanti (2015), menurut (Mark, 2005), adalah :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentai
Subordo : Odontoceti
Familia : Muridae
Genus : Rattus
Species : Rattus norvegicus
Terdapat beberapa galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan
tertentu antara lain galur Sprague-Dawley yang berwarna albino putih, berkepala
kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya; galur wistar ditandai

dengan kepala besar dan ekor yang lebih pendek; dan galur Long Evens yang
lebih kecil daripada tikus putih dan memiliki warna hitam pada kepala dan dan
tubuh bagian depan (Pramono, 2005).

13
Gambar 2.4 Tikus putih (Rattus novergicus) Animal Spraque Dawley (1980)

2.4.2 Morfologi Tikus Putih

Dibawah ini adalah anatomi dan morfologi dari tikus, menurut Suckow (2001)

1. Fitur anatomi dan fisiologis dari tikus adalah :


 Pertumbuhan gigi
 Rumus gigi tikus adalah 2 (1/1 gigi seri, 0/0 gigi taring, 0/0 premolar,
dan 3/3 molar).
 Insisivus terus-menerus meletus dan akan membesar jika maloklusi
terjadi
2. Kerangka
 Rumus vertebra normal adalah C7 T13 L6 S4 C28.

 Tikus biasanya memiliki 13 pasang iga. 7 pasangan kranial adalah


"Benar" tulang rusuk dan mengartikulasikan dengan sternum. Selain itu,
di sana adalah 6 pasang rusuk “palsu”, tiga yang paling terhubung
dengan kranial ke tulang rusuk paling kanan "caudal", dan tiga yang
terakhir adalah "gratis" atau "mengambang" tanpa lampiran ke osseous
lainnya struktur.
3. Fitur eksternal
 Kaki depan dan belakang keduanya masing-masing memiliki lima digit.
 Tikus betina biasanya memiliki lima pasang puting di atas ventral thorax
(tiga pasang) dan perut (dua pasang)
4. Sistem gastrointestinal :
 Saluran pencernaan mirip dengan mamalia lain (kecuali ruminansia)
dan terdiri dari kerongkongan, perut, duodenum, jejunum, ileum, sekum,
kolon, dan rektum.
 Perut dibagi menjadi jantung (nonglandular) dan pilorik (kelenjar)
bagian. Bagian nonglandular dilapisi oleh skuamosa epitel.

14
 Tikus tidak memiliki apendiks.

Parameter biologis lainnya dari tikus adalah :

Parameter Nilai Khas


Diploid kromosom nomor 40
Masa hidup 2–3 tahun
Berat badan dewasa 20-40 g
Suhu tubuh 36,5–38,0 ° C (97,5–100,4 ° F)
Tingkat metabolisme 180–505 kkal / kg / hari
Asupan makanan 12–18 g / 100 g berat badan /
hari
Asupan air 15 ml / 100 g berat badan / hari
Tingkat pernapasan 80-230 napas / menit
Denyut jantung 500-600 denyut / menit

15
III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Farmasi Universitas Airlangga
Surabaya dan Balai Besar Veteriner Bali untuk pembuatan ekstrak daun widuri dan
preparat Histopatologi. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga bulan Mei
2019.

3.2. Materi Penelitian


3.2.1 Peralatan Penelitian
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah : Kandang
pemeliharaan tikus putih, tempat makan dan minum, spuit 1 cc, satu set
glucometer, kapas, scapel, blade, gunting bedah, pot steril, sonde oral, pinset,
nampan, pot plastic ukuran 50 cc, gelas ukur, batang pengaduk, beaker glass,
cover glass, mikroskop Olympus DP20, glove karet dan timbangan digital.

3.2.2 Bahan Penelitian


Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih
jantan (Rattus norvegicus), eksrak daun widuri (Calotropis gigantean), Aspirin
(gemerik), alkohol, larutan Netral Buffer Formalin 10 % untuk fikasasi,
bahan pembuatan preparat histopatologi seperti alkohol, xylol, paraffin,
gliserin, chloroform, CMCNa 1%, dan hematoksilin eosin (HE).

3.3 Metode Penelitian


3.3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan
menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Dalam penelitian ini digunakan
25 ekor tikus putih yang dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan dan 5 ulangan.

3.3.2 Sampel, Besaran Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel


Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah tikus putih jantan
(Rattus norvegicus) berumur 2 - 3 bulan yang diperoleh dari kandang
peternakan tikus milik Bapak Yudi dijalan Jambangan 7E/10 Surabaya.
Hewan coba diadaptasikan dalam kandang selama tujuh hari untuk
menghindari stress. Tempat makan dan minum setiap hari diisi ulang untuk
menghindari timbulnya penyakit. Tikus diberikan makan dan minum secara
rutin dua kali sehari. Jumlah pakan yang diberikan 10%dari bobot badan tikus.
Aquades diberikan secara ad libitum yang dimasukkan dalam nipple yang

16
diletakkan diatas sangkar. Kotoran tikus dibersihkan setiap hari sekali untuk
menghindari stress.
3.3.2.1. Besar Sampel
Besar sampel dihitung berdasarkan rumus Federeer yaitu : (t-1) (n-1 )≥ 15
Keterangan :

 t = Jumlah Perlakuan
 n = Ulangan

Pada penelitian ini digunakan 25 ekor tikus yang dibagi menjadi 5


kelompok perlakuan dengan 5 ulangan. Kelompok K(1) dalah kontrol negatif,
kelompok K(2) adalah kontrol positif dan kelompok 3, 4 dan 5 adalah
kelompok perlakuan.

3.3.2.2 Teknik Pengambilan Sampel


Pada penelitian ini teknik penarikan sampel yang dipakai adalah
Simple Random Sampling. Dimana masing-masing kelompok tikus
dikelompokan secara acak dan bukan karena adanya pertimbangan subjektif
(Sudjana, 1984).

3.3.3 Variabel Penelitian


Variable penelitian ini terdiri dari 3 buah yaitu
 Variabel Bebas : Pemberian ekstrak daun biduri
 Variabel Tergantung : Nekrosis, degenerasi dan inflamasi sel
radang
 Variabel Kendali : Umur tikus, jenis kelamin tikus,
makanan, kondisi lingkungan dan jenis lebah.

3.3.4 Pembuatan Ekstrak Daun Widuri


Pembuatan ekstrak pada dasarnya dilakukan dengan mengikuti metode
Supriadi (1997). Daun widuri sehat yang mekar sempurna dikeringkan selama
12 jam dalam oven pada suhu 400C, lalu diblender sampai halus. Serbuk daun
sebanyak 100 g dimasukkan dalam perkolator yang berisi 500 ml nheksan

kemudian didiamkan selama 24 jam. Setelah itu kran perkolator dibuka untuk
mengeluarkan perkolatnya. Ditambahkan lagi n-heksan sebanyak 300 ml pada
residu dan proses di atas diulang tiga kali hingga perkolat yang keluar tidak
berwarna lagi. Residu dikeluarkan dan dikering-anginkan. Setelah kering
residu dimasukkan ke dalam perkolator yang telah dilapisi kapas bebas lemak,
ditambah dengan metanol 300 ml dan didiamkan selama 24 jam. Perkolat
dikeluarkan lalu metanol sebanyak 200 ml ditambahkan lagi ke dalam

17
perkolator dan proses di atas diulang hingga 3 kali. Semua perkolat yang
diperolah kemudian disatukan dan pelarutnya diuapkan dengan menggunakan
rotary evaporator. Hasil yang diperoleh berupa zat berbentuk pasta berwarna
hitam kecoklatan.

Penyiapan dan aplikasi larutan ekstrak daun Widuri pasta hasil ekstrak
dilarutkan dalam larutan Sandovit dalam akuades (1:50 v/v) karena pasta tidak
larut dalam akuades saja. Sandovit adalah suatu bahan pembasah dan perata
komersial dengan bahan aktif alkilaril poligikol eter. Konsentrasi ekstrak daun
widuri yang disiapkan adalah 5;10;20;40;80;160;320 % yang digunakan
sebagai larutan induk. Larutan ekstrak sebanyak 1 ml dari masingmasing
konsentrasi di atas dicampur dengan 9 ml medium (yakni AKD dengan
dekstrosa diganti sukrosa) steril yang hangat (500C) sehingga didapatkan
konsentrasi akhir ekstrak dalam medium adalah 0,5; 1,0; 2,0; 4,0; 8,0; 16,0;
32,0%. Untuk medium kontrol (tanpa ekstrak) maka hanya akuades atau
larutan Sandovit yang ditambahkan ke medium dengan rasio seperti di atas.
Jadi ada dua medium kontrol, yakni kontrol akuades dan kontrol Sandovit.
(Sulaksono,2002)

3.3.4 Prosedur Penelitian


3.3.4.1 Perlakuan Pada Hewan Coba
Penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus jantan berumur 2-3 bulan
dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan kemudian diberikan aspirin dengan
dosis 500Mg/Kg BB secara peroral selama 7 hari (Enola dkk., 2016)
kelompok Tikus perlakuan yang dipakai dalam penelitian ini dapat
digambarkan sebagai berikut :
1) Kelompok Kontrol negaitif terdiri dari 5 ekor tikus tanpa perlakuan
apapun atau diberikan aquades selama 5 hari secara peroral.
2) Kelompok Kontrol positif terdiri dari 5 ekor tikus putih yang
diberikan aspirin pada dengan dosis 500 Mg/Kg BB selama 5 hari dan
dilanjutkan dengan pemberian CMC Na 1% dan Sukraflat 1% selama
5 hari secara peroral
3) Kelompok Pertama (K1) terdiri dari 5 ekor tikus putih yang diberikan
aspirin dengan dosis 500 Mg/Kg BB selama 5 hari dan dilanjutkan
dengan pemberian ekstrak daun widuri kosentrasi 30% secara peroral
selama 5 hari. Dan diberikan CMC Na 1% dan Sukraflat 1% peroral
4) Kelompok Kedua (K2) terdiri dari 5 ekor tikus putih yang diberikan
aspirin dengan dosis 500 Mg/Kg BB selama 5 hari dan dilanjutkan
pemberian ekstrak daun widuri kosentrasi 50% secara peroral selama
5 hari. Dan diberikan diberikan CMC Na 1% dan Sukraflat 1%
peroral

18
5) Kelompok ketiga (K3) terdiri dari 5 ekor tikus putih yang diberikan
aspirin dengan dosis 500 Mg/Kg BB selama 5 hari dan dilanjutkan
pemberian ekstrak daun widuri kosentrasi 70% secara peroral selama
5 hari. Dan diberikan diberikan CMC Na 1% dan Sukraflat 1%
peroral

Pemberian Aspirin diberikan setelah 1 jam pemberian madu


dimaksudkan agar madu terabsorbsi terlebih dahulu. Pada hari ke-8 Tikus
dikorbankan dengan euthanasi, lambung diambil kemudian dibersihkan dan
diproses untuk pembuatan preparat histopatologi.

3.3.4.2 Pengambilan Darah dan Nekropsi


Pada hari ke-10 semua tikus dilakukan euthanasia menggunakan
chloroform diruangan terminasi. Kemudian darah diambil melalui ekor lalu
dilanjutkan koleksi organ lambung, sampel organ yang didapat dilakukan
prmbuatan preparar histopatologi.

3.4 Pembuatan Preparat Histopatologi


Menurut Mustaba (2012) Pembuatan Preparat histopatologi organ lambung
Pembuatan preparat histopatologi dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: orga
lambung difiksasi dengan menggunakan larutan Netral Buffer Formalin 10% selama
minimal 24 jam. Kemudian jaringan dipotong-potong dan dimasukkan ke dalam
wadah spesimen yang terbuat dari plastik. Selanjutnya dilakukan proses dehidrasi
pada konsentrasi alkohol bertingkat yaitu alkohol 70%, 80%, 90% alkohol absolut I,

absolut II masing-masing 2 jam. Lalu dilakukan penjernihan dengan xylol kemudian


pencetakan menggunakan parafin sehingga tercetak di dalam blok-blok parafin dan
disimpan dalam lemari es. Blok-blok parafin tersebut kemudian di potong tipis 6-8
µm menggunakan mikrotom. Hasil potongan diapungkan dalam air hangat bersuhu
60°C ( waterbath) untuk meregangkan agar jaringan tidak berlipat. Sediaan
kemudian diangkat dan diletakkan pada gelas objek untuk dilakukan pewarnaan
Hematoxylin dan Eosin (HE). Pada pewarnaan HE, sediaan preparat pada gelas objek
direndam dalam xylol 1 dan 2 selama masing-masing dua menit untuk dilakukan
deparafinasi kemudian rehidrasi dengan perendaman secara berturut dalam alkohol
absolut, alkohol 95%, dan alkohol 80% masing-masing selama dua menit, lalu
dicuci dengan air mengalir. Pewarnaan snegan Hematoksilin dilakukan selama 8 menit,
selanjutnya dibilas dengan air mengalir, lalu dicuci dengan Lithium karbonat selama
15-30 detik, dibilas dengan air mengalir, serta diwarnai dengan Eosin selama 2-3
menit. Sediaan yang diwarnai eosin dicuci dengan air mengalir lalu dikeringkan.
Sediaan dimasukkan kedalam alkohol 95% dan alkohol absolut masing-masing
sebanyak 10 kali celupan, lalu ke dalam alkohol absolut 2 selama 2 menit. Selanjutnya ke
dalam xylol 1 selama 1 menit dan xylol 2 selama 2 menit. Sediaan kemudian diteteskan
dengan perekat permount dan ditutup dengan gelas penutup dan selanjutnya diperiksa di

19
bawah mikroskop. Standarisasi pemeriksaan preparat histopatologi organ lambung.
Pemeriksaan preparat histopatologi lambung masing-masing dilakukan 5 lapang
pandang mikroskop, masing-masing pada pembesaran 100x dan 400x. Perubahan

histopatologi yang diamati berupa adanya nekrosis dan infiltrasi sel radang.Variabel
perubahan histopatologi lambung yang diamati kemudian diskoring sebagai berikut :

a) Variabel skoring histopatologi untuk nekrosis sel lambung :


0 : nekrosis tidak ada
1 : nekrosis setempat (fokal)
2 : nekrosis merata (difusa)
b) Variabel skoring histopatologi untuk infiltrasi sel radang :
0. : sel radang tidak ada
1. : sel radang ada sedikit (ringan)
2. : sel radang menyebar (multifokal)

3.5 Kerangka Penelitian

Populasi Tikus Putih Jantan


Skrining : Usia,Jenis
(Rattus novergicus)
kelamin dan Berat
badan
25 Ekor tikus Putih Jantan

20
K(0) K(1) K(2) K(3) K(4)

n=5 n=5 n=5 n=5 n=5

Kelompok Kelompok (+) Diberikan Aspirin Diberikan Aspirin Diberikan Aspirin


(-) 500mg/kg BB 500mg/kg BB selama 500mg/kg BB
Diberikan Aspirin selama 5 hari di 5 hari di lanjutkan selama 5 hari di
Pemberian 500mg/kg BB lanjutkan dengan dengan pemberian lanjutkan dengan
aquades selama 5 hari di pemberian Ekstrak Daun pemberian Ekstrak
lanjutkan dengan Ekstrak Daun Widuri dengan Daun Widuri
pemberian Widuri dengan konsentrasi 50% dengan konsentrasi
aquades selama 5 konsentrasi 30% 70%
hari

Sampel Organ

Pembuatan Preparat Histopatologi

Analisis Data

Skema 3.1 Skema kerangka penelitian

3.6 Analis Data


Analisis data yang digunakan adalah dengan cara deskriptif, data
pemeriksaan dianalisis dengan metode Kruskall-wallis Test untuk menentukan
perbedaan data pada kelompok K0, kelompok perlakuan 1, kelompok perlakuan 2,
kelompok perlakuan 3, kelompok perlakuan 4 dan kelompok perlakuan 5. Jika
menunjukan signifikasi maka dilanjutkan dengan dengan metode Mann-Whitney Test ,
untuk menentuan perbedaan data masing-masing kelompok perlakuan.

21

Anda mungkin juga menyukai