Anda di halaman 1dari 72

1

2
LAMPIRAN
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN
DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL
NOMOR : P.1/V-SET/2013
TENTANG :
PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN KEGIATAN REHABILITASI
HUTAN DAN LAHAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kerusakan fungsi hutan dan lahan yang diidentifikasi sebagai lahan kritis di
Indonesia berdasarkan Penetapan Peta dan Data Hutan dan Lahan Kritis
Tahun 2011 yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor
SK.781/Menhut-II/2012 adalah seluas 82.176.444,16 Ha yang terdiri dari
29.916.610,99 Ha kategori Kritis s/d Sangat Kritis dan 52.259.833,17 Ha
kategori Agak Kritis.
Kerusakan hutan dan lahan sudah tersebar di semua fungsi kawasan
sehingga menjadi ancaman yang cukup serius bagi daya dukung DAS baik
fungsinya sebagai penyangga kehidupan maupun peran hidroorologis DAS.
Indikator adanya degradasi fungsi DAS ditunjukkan dengan meningkatnya
bencana alam banjir, longsor dan kekeringan yang melanda di sebagian besar
wilayah Indonesia pada dekade ini.
Dalam upaya mengendalikan laju kerusakan hutan dan lahan tersebut
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2008
tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan yang mengatur penyelenggaraan
rehabilitasi serta reklamasi hutan pada semua fungsi hutan serta areal
penggunaan lain, pembagian kewenangan dan kewajiban bagi pemerintah,
pemerintah daerah serta pemegang ijin kawasan untuk melakukan
penyelenggaraan RHL yang mencakup perencanaan, pelaksanaan maupun
pengendalian. Kewajiban melakukan RHL pada lahan kritis di semua fungsi
kawasan mengharuskan pemerintah, pemerintah daerah serta pemegang ijin
kawasan mengalokasikan kegiatan RHL dari berbagai sumber anggaran
dengan berpedoman pada ketentuan PP Nomor 76 Tahun 2008 ini.
Petunjuk Teknis kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan ini merupakan
penjabaran yang lebih teknis dan detil dari Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.9/Menhut-II/2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Kegiatan
Pendukung dan Pemberian Insentif Kegiatan RHL sebagai petunjuk teknis
bagi para penyelenggara kegiatan RHL di daerah.

B. Maksud dan Tujuan


Petunjuk Teknis Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan ini dimaksudkan
untuk memberikan arahan teknis kepada semua pihak dalam
menyelenggarakan kegiatan RHL sehingga kegiatan dapat terlaksana dengan
baik.
Tujuannya adalah pulihnya daya dukung DAS dan meningkatnya
kesejahteraan masyarakat.

C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup peraturan ini meliputi :
1. penyusunan rancangan kegiatan;
2. penyediaan bibit;
3. reboisasi;
4. penghijauan;
5. rehabilitasi hutan dan lahan daerah pesisir/pantai;
6. rehabilitasi hutan dan lahan kawasan bergambut;
7. konservasi tanah dan air;
8. tatacara evaluasi RHL; dan
9. penghapusan tanaman gagal/rusak.

1
D. Pengertian
1. Areal Produksi Benih yang selanjutnya disingkat APB adalah sumber
benih yang dibangun khusus atau berasal dari tegakan benih terseleksi
(TBS) yang kemudian ditingkatkan kualitasnya dengan penebangan
pohon-pohon yang fenotipenya tidak bagus (inferior).
2. Bangunan pengendali jurang (gully plug) adalah bendungan kecil yang
lolos air yang dibuat pada parit-parit, melintang alur parit dengan
konstruksi batu, kayu atau bambu.
3. Bangunan terjunan air adalah bangunan terjunan yang dibuat pada tiap
jarak tertentu pada saluran pembuangan air (tergantung kemiringan
lahan) yang dibuat dari batu, kayu atau bambu.
4. Bibit adalah bahan tanaman atau bagiannya yang digunakan untuk
memperbanyak dan atau mengembangkan tanaman yang berasal dari
bahan generatif atau bahan vegetatif.
5. Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat DAS adalah suatu
wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan
anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut
secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan
batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh
aktivitas daratan.
6. Dam penahan adalah bendungan kecil yang lolos air dengan konstruksi
bronjong batu atau trucuk bambu/kayu yang dibuat pada alur sungai /
jurang dengan tinggi maksimal 4 meter yang berfungsi untuk
mengendalikan/mengendapkan sedimentasi/erosi tanah dan aliran
permukaan (run-off).
7. Dam pengendali adalah bendungan kecil semi permanen yang dapat
menampung air (tidak lolos air) dengan konstruksi urugan tanah
homogen, lapisan kedap air dari beton (tipe busur) untuk mengendalikan
erosi tanah, sedimentasi dan aliran permukaan yang dibangun pada alur
sungai/anak sungai dengan tinggi bendungan maksimal 8 (delapan)
meter.
8. Embung air adalah bangunan penampung air berbentuk kolam yang
berfungsi untuk menampung air hujan/air limpasan atau air rembesan
pada lahan tadah hujan yang berguna sebagai sumber air untuk
memenuhi kebutuhan pada musim kemarau.
9. Gambut adalah material yang terbentuk dari bahan-bahan organik
(serasah), seperti dedaunan, batang dan cabang serta akar tumbuhan
yang terakumulasi dalam kondisi lingkungan yang tergenang air, sedikit
oksigen dan keasaman tinggi serta terbentuk di suatu lokasi dalam
jangka waktu yang lama.
10. Hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-
pohonan yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada
tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota
oleh pejabat yang berwenang.
11. Hutan mangrove adalah suatu formasi pohon-pohon yang tumbuh pada
tanah aluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai yang
dipengaruhi pasang surut air laut dan dicirikan oleh keberadaan jenis-
jenis Avicennia spp (Api-api), Soneratia spp. (Pedada), Rhizophora spp
(Bakau), Bruguiera spp (Tanjang), Lumnitzera excoecaria (Tarumtum),
Xylocarpus spp (Nyirih), Anisoptera dan Nypa fruticans (Nipah).
12. Hutan pantai adalah suatu formasi pohon-pohon yang tumbuh di tepi
pantai dan berada diatas garis pasang tertinggi, antara lain : Casuarina
equisetifolia (Cemara laut), Terminalia catappa (Ketapang), Hibiscus
filiaccus (Waru), Cocos nucifera (Kelapa) dan Arthocarpus altilis
(Cempedak).


2
13. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani
hak milik maupun hak lainnya di luar kawasan hutan dengan ketentuan
luas minimal 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan
tanaman lainnya lebih dari 50 %.
14. Jenis kayu-kayuan adalah jenis-jenis tanaman hutan yang menghasilkan
kayu untuk konstruksi bangunan, meubel dan peralatan rumah tangga.
15. Jenis tanaman endemik adalah jenis tanaman asli yang tumbuh/pernah
tumbuh pada suatu daerah.
16. Jenis tanaman serbaguna (multi purpose tree species/MPTS) adalah jenis
tanaman yang menghasilkan kayu dan bukan kayu antara lain buah-
buahan, getah, kulit.
17. Jenis tanaman unggulan lokal yang selanjutnya disingkat TUL adalah
jenis-jenis tanaman asli atau eksotik yang disukai masyarakat karena
mempunyai keunggulan tertentu berupa produk kayu, buah dan getah
yang produknya mempunyai nilai ekonomi tinggi.
18. Kebun Benih Semai yang selanjutnya disingkat KBS adalah sumber
benih yang dibangun dari bahan generatif yang berasal dari pohon plus
pada tegakan yang diberi perlakukan penjarangan berdasarkan hasil uji
keturunan.
19. Kebun Benih Klon yang selanjutnya disingkat KBK adalah sumber benih
yang dibangun dari bahan vegetatif yang berasal dari pohon plus pada
tegakan yang diberi perlakukan penjarangan berdasarkan hasil uji
keturunan.
20. Kebun Pangkas yang selanjutnya disingkat KP adalah sumber benih yang
dibangun dari bahan vegetatif yang berasal dari klon unggul berdasarkan
hasil uji klon.
21. Konservasi tanah adalah upaya penempatan setiap bidang tanah pada
penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan
memperlakukannya sesuai dengan syarat- syarat yang diperlukan agar
tidak terjadi kerusakan tanah sehingga dapat mendukung kehidupan
secara lestari.
22. Kriteria tanaman berhasil adalah jumlah tertentu tanaman dalam bentuk
pancang, tiang atau pohon per hektar baik tanaman awal maupun
tanaman baru yang umumnya diukur pada tahun ketiga setelah
penanaman.
23. Lahan kritis adalah lahan yang berada di dalam dan di luar kawasan
hutan yang telah menurun fungsinya sebagai unsur produksi dan media
pengatur tata air DAS.
24. Land Mapping Unit (LMU) Terpilih adalah satuan lahan terkecil pada RTk
RHL DAS yang mempunyai kesamaan kondisi biofisik (kekritisan lahan,
fungsi kawasan, morfologi DAS serta prioritas DAS) dengan kategori
tingkat kekritisan lahan Agak Kritis, Kritis dan Sangat Kritis.
25. Lubang resapan biopori adalah lubang yang dibuat di dalam tanah agar
terjadi berbagai aktivitas organisme di dalamnya, seperti cacing,
perakaran tanaman, rayap dan fauna tanah lainnya.
26. Normalized Difference Vegetation Index yang selanjutnya disingkat NDVI
merupakan indeks yang menggambarkan tingkat kehijauan vegetasi pada
data satelit yang digunakan sebagai indikator keberadaan dan kondisi
vegetasi.
27. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan
kemampuan dan kemandirian masyarakat melalui pemberian akses
terhadap sumberdaya, pendidikan, pelatihan dan pendampingan.
28. Pemeliharaan tanaman adalah perlakuan terhadap tanaman dan
lingkungannya agar tanaman tumbuh sehat dan normal melalui
pendangiran, penyiangan, penyulaman, pemupukan dan pemberantasan
hama dan penyakit.

3
29. Penghijauan adalah upaya pemulihan lahan kritis di luar kawasan hutan
untuk mengembalikan fungsi lahan.
30. Penanaman pengayaan reboisasi adalah penanaman di kawasan hutan
dalam rangka penambahan jumlah pohon untuk meningkatkan
produktivitas hutan.
31. Penanaman pengayaan hutan rakyat adalah penanaman di luar kawasan
hutan dalam rangka penambahan jumlah pohon untuk meningkatkan
produktivitas lahan.
32. Penghijauan lingkungan adalah penanaman pohon di luar kawasan
hutan untuk meningkatkan kualitas lingkungan seperti pada areal
fasilitas sosial/umum, ruang terbuka hijau, jalur hijau, pemukiman,
taman dll.
33. Perlindungan kanan kiri / tebing sungai adalah teknik konservasi tanah
secara vegetatif dan/atau sipil teknis untuk melindungi kanan
kiri/tebing sungai.
34. Propagul adalah bentuk lain dari benih atau buah yang pada tahap
perkembangannya sudah terbentuk bakal batang tanaman selagi
buah/benih tersebut masih terdapat pada pohon induknya.
35. Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang selanjutnya disingkat RHL adalah
upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi
hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya
dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.
36. Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) Prioritas I adalah lahan kritis
sasaran rehabilitasi hutan dan lahan kategori Kritis dan Sangat Kritis.
37. Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) Prioritas II adalah lahan kritis
sasaran rehabilitasi hutan dan lahan kategori Agak Kritis.
38. Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai
yang selanjutnya disingkat RTk-RHL DAS adalah rencana RHL 15 (lima
belas) tahunan yang memuat rencana pemulihan hutan dan lahan,
pengendalian erosi dan sedimentasi, pengembangan sumberdaya air dan
pengembangan kelembagaan.
39. Rencana Pengelolaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RPRHL) adalah
rencana RHL 5 (lima) tahunan yang disusun berdasarkan RTkRHL-DAS
memuat kebijakan dan strategi, lokasi, jenis kegiatan, kelembagaan,
pembiayaan dan tata waktu.
40. Rencana Tahunan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RTnRHL) adalah
rencana tahunan RHL yang disusun berdasarkan RP RHL pada T-1.
41. Rancangan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RKRHL) adalah
rancangan teknis kegiatan RHL yang memuat jenis kegiatan tertentu,
detil lokasi, volume, kebutuhan biaya, tata waktu, peta situasi, gambar
desain kegiatan RHL, yang dilengkapi dengan kegiatan pendukung.
42. Rorak adalah saluran buntu yang berfungsi sebagai tampungan
sementara air dari aliran permukaan untuk diresapkan ke dalam tanah.
43. Saluran Pembuangan Air (SPA) adalah saluran air yang dibuat memotong
kontur dapat diperkuat dengan bangunan terjunan air dan/atau gebalan
rumput.
44. Sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya
proposional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter
dari titik pasang tertinggi ke arah daratan.
45. Sistem jalur adalah cara penanaman dengan pembersihan lahan
sepanjang jalur tanaman.
46. Sistem cemplongan adalah cara penanaman dengan pembersihan lahan
di sekitar lubang tanaman.
47. Sistem tumpangsari adalah pola penanaman yang dilaksanakan dengan
menanam tanaman semusim/setahun atau tanaman sela diantara
tanaman pokok (kayu-kayuan/MPTS).


4
48. Strip rumput (grass barrier) adalah cara penanaman tanaman pokok di
antara strip rumput secara berselang seling yang dilakukan pada bidang
yang memotong lereng.
49. Tanah terbuka menurut klasifikasi tutupan lahan Ditjen Planologi
Kehutanan adalah seluruh penampakan lahan terbuka tanpa vegetasi.
50. Tegakan awal adalah tegakan berupa anakan, pancang, tiang dan pohon
sebelum dilaksanakan penanaman atau pengayaan tanaman.
51. Teras adalah bangunan konservasi tanah berupa bidang olah, guludan
dan saluran air searah dengan kontur lapangan.
52. Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT) adalah sumber benih dengan
kualitas tegakan rata-rata yang ditunjuk dari hutan alam atau hutan
tanaman yang lokasinya teridentifikasi dengan tepat.
53. Tegakan Benih Terseleksi (TBS) adalah sumber benih yang berasal dari
TBT dengan kualitas tegakan diatas rata-rata.
54. Unit Terkecil Pengelolaan (UTP) RHL, adalah LMU Terpilih yang berada
dalam suatu DAS/catchment kecil (micro watershed) seluas 300 s/d 1000
hektar yang dibatasi oleh batas alam berupa punggung-punggung bukit.
Satu UTP RHL dapat berada dalam kawasan hutan atau di luar kawasan
hutan, atau campuran keduanya.
55. Menteri adalah Menteri yang diserahi tugas dan tanggung jawab dibidang
Kehutanan.
56. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bertanggung jawab
dibidang Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial.
57. Dinas Kabupaten/Kota adalah Dinas yang diserahi tugas dan tanggung
jawab di bidang kehutanan di daerah Kabupaten/Kota.
58. Dinas Provinsi adalah Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab di
bidang kehutanan di daerah Provinsi.

5
BAB II
PENYUSUNAN RANCANGAN KEGIATAN
REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

Hirarki perencanaan RHL meliputi RTk RHL-DAS, RPRHL dan RTnRHL


mengikuti ketentuan yang berlaku. Disamping perencanaan tersebut,
pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan diperlukan rancangan kegiatan RHL
(RK RHL), yang merupakan desain teknis kegiatan RHL yang memuat informasi
detil jenis dan lokasi kegiatan, peta, rincian kebutuhan bahan dan upah,
gambar pola tanam dan/atau konstruksi. Rancangan kegiatan RHL terdiri dari
kegiatan vegetatif (tanam-menanam) dan sipil teknik.

A. Komponen RK RHL, terdiri dari:


1. Informasi lokasi kegiatan
a. Kampung/Blok, Desa, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi, DAS, Wilayah
BPDAS.
b. Identitas UTP RHL mengacu kepada RPRHL utamanya untuk kegiatan
yang luasnya lebih dari 100 ha.
c. Khusus untuk kegiatan tanam menanam (vegetatif) di luar kawasan
hutan seperti hutan rakyat dan kegiatan pemberdayaan masyarakat
seperti penanaman bibit KBR atau kegiatan lain sejenis harus
dilengkapi dengan identitas kelompok tani/masyarakat pelaksana
kegiatan RHL (nama dan alamat kelompok tani penerima kegiatan).
2. Peta Situasi dan Peta Lokasi
a. Peta situasi dengan skala 1:25.000 atau 1:50.000 adalah peta yang
menunjukkan posisi lokasi kegiatan RHL terhadap wilayah administrasi
sekitarnya.
b. Peta lokasi kegiatan vegetatif adalah peta poligon tertutup lokasi
tanaman yang diukur menggunakan GPS atau theodolite atau alat-alat
pemetaan lain dengan skala 1:1000 s/d 1:5000, dapat menggunakan
peta dasar Google Map atau peta citra satelit lainnya agar kondisi aktual
lokasi RHL dapat disajikan dengan lebih jelas.
Pada kegiatan reboisasi, penyiapan areal penanaman melalui
pembagian blok/petak dituangkan dalam peta lokasi kegiatan.
Untuk kegiatan penanaman KBR dan lainnya dapat dilakukan
pemetaan sederhana yang dilengkapi informasi nama kampung/blok,
pemilik lahan, nama sungai, jalan dan lain sebagainya.
c. Peta lokasi kegiatan sipil teknis adalah peta yang menggambarkan letak
bangunan sipil teknis yang disajikan dalam peta/sket topografi skala
1:100 atau 1:1000.
d. Untuk kegiatan RHL dengan luas lebih dari 100 Ha, peta lokasi
kegiatan RHL diplot kedalam peta UTP RHL yang sudah ada dalam peta
RP RHL.
3. Gambar Pola Tanam
Pada rancangan kegiatan vegetatif dilengkapi gambar/sket pola tanam
berupa sebaran/letak jenis dan jarak tanam, termasuk untuk wanatani
(agroforestry) agar menggambarkan sebaran tanaman pokok dan tanaman
pengisi/sela/pinggir mencakup tanaman semusim/setahun dan tanaman
keras/tahunan.
4. Gambar Konstruksi
Untuk bangunan pendukung kegiatan penanaman (gubug kerja, papan
nama lokasi kegiatan) dan bangunan konservasi tanah berupa bangunan
sipil teknis agar dilengkapi gambar konstruksi yang jelas.
5. Rincian kebutuhan bahan dan upah
Analisis kebutuhan bahan dilakukan berdasarkan kondisi riil lapangan
dengan menggunakan jenis-jenis lokal, sedangkan kebutuhan tenaga kerja
dihitung sesuai standar setempat.
6. Lembar Pengesahan
Lembar pengesahan berisi tandatangan penyusun, penilai dan pengesah
buku RK RHL.


6
B. Mekanisme Penyusunan RK RHL
1. Pembentukan Tim Penyusun
Dibentuk oleh satuan kerja pelaksana RHL, jika diperlukan tim penyusun
dapat melibatkan unsur Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) atau Balai
Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM) dan/atau konsultan/perguruan
tinggi.
2. Penyiapan bahan
Bahan-bahan berupa peta-peta RTk RHL DAS dan/atau RP RHL, peta-peta
pendukung lainnya termasuk citra satelit atau google map (jika ada), tally
sheet, serta peralataan pemetaan di lapangan.
3. Identifikasi lokasi
Identifikasi lokasi RHL dilakukan dengan menggunakan Peta RTk RHL
DAS dan/atau RP RHL serta hasil orientasi lapangan.
4. Identifikasi tegakan awal
Identifikasi tegakan awal dalam rangka memperoleh data jumlah tegakan
per hektar untuk menentukan sasaran lokasi penanaman intensif dan
pengayaan tanaman menggunakan metode remote sensing dan atau
terestris.
a. Metode remote sensing
Metode yang digunakan adalah metode digital klasifikasi citra satelit.
Penjabaran lebih lanjut mengenai Metode Remote Sensing diatur dalam
Manual Identifikasi Tegakan Awal Sasaran Lokasi RHL menggunakan
Metode Remote Sensing.
b. Terestris
Identifikasi tegakan awal menggunakan pedoman inventarisasi tegakan
yang berlaku.
Disamping itu, identifikasi tegakan awal untuk menentukan sasaran lokasi
penanaman intensif dan pengayaan tanaman dapat menggunakan Peta
Liputan Lahan Ditjen Planologi terbaru. Kelas penutupan lahan
‘Tanah Terbuka’ pada umumnya mempunyai tegakan per hektar kurang
dari 200 batang, sehingga dapat digunakan sebagai lokasi penanaman
intensif. Data tegakan per hektar pada kelas penutupan lahan lainnya
diperoleh melalui pendetailan.
5. Survey lapangan dan pemetaan
Secara umum kegiatan RHL vegetatif maupun sipil teknis perlu dilakukan
survey lapangan dan pemetaan. Survey lapangan dilakukan dengan
mengumpulkan data biofisik dan sosial ekonomi, kelompok tani pelaksana,
ketersediaan bahan-bahan, dan data-data pendukung lainnya.
Pengumpulan data biofisik termasuk pendetilan terestris dalam rangka
memperoleh data jumlah tegakan per hektar sebagaimana butir B.4.b.
Sedangkan pemetaan lokasi dilakukan dengan menetapkan titik-titik
poligon terluar lokasi kegiatan penanaman dan menentukan letak
geografisnya.
Untuk kegiatan sipil teknis, survey lapangan dan pemetaan untuk
menentukan letak dan mengukur bangunan konservasi tanah seperti
badan bendung, saluran pelimpah (spillway), saluran pengelak, letak serta
ukuran embung air, sumur resapan, biofori dll.
6. Pengolahan data
Data hasil survey lapangan dan pemetaan lokasi diolah dan dianalisa
untuk menghitung kebutuhan bahan dan upah, menentukan pola tanam
serta membuat peta poligon tertutup termasuk gambar konstruksi untuk
bangunan pendukung kegiatan penanaman dan bangunan sipil teknis.
7. Penyusunan naskah rancangan
Naskah buku RK RHL berisi informasi lokasi kegiatan, peta lokasi dan peta
situasi, gambar pola tanam, gambar konstruksi, rincian kebutuhan bahan
dan upah dan lembar pengesahan yang disajikan dalam narasi, tabel
maupun gambar mengacu pada Manual Penyusunan Rancangan Kegiatan
RHL.

7
BAB III
PENYEDIAAN BIBIT

A. Kaidah Umum Pembibitan


1. Asal-Usul Bibit
Bibit berkualitas diperoleh dari benih berkualitas yang berasal sumber
benih bersertifikat yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang. Sumber
benih yang bersertifikat memiliki klasifikasi sebagai berikut :
a. Tegakan benih teridentifikasi;
b. Tegakan benih terseleksi;
c. Areal produksi benih;
d. Tegakan benih provenance;
e. Kebun benih semai;
f. Kebun benih Klon;
g. Kebun pangkas.
2. Penyediaan Bibit
Penyediaan bibit untuk kegiatan RHL dapat dilakukan dengan berbagai
cara yaitu:
a. Pembuatan bibit melalui swakelola, Kebun Bibit Rakyat atau
Persemaian Permanen;
b. Pengadaan bibit melalui pengada dan/atau pengedar;
3. Kriteria dan Standar serta Sertifikasi Mutu Bibit
a. Kriteria dan Standar Mutu Bibit
Kriteria dan standar mutu bibit ditetapkan berdasarkan beberapa faktor
antara lain kualitas, penanganan/perlakuan benih, teknik pembibitan
dan tujuan penggunaannya. Kriteria dan standar mutu bibit sebagai
berikut:

Tabel 1. Kriteria dan Standar Mutu Bibit


Kelompok Tujuan
No Kriteria Standar
Jenis Penggunaan
1. Kayu- Reboisasi/ 1. Pertumbuhan 1. Pertumbuhan
kayuan Hutan Rakyat normal (sehat,
berbatang/
berkayu)
2. Media 2. Kompak
3. Tinggi 3. Tinggi minimal 30
cm (kecuali jenis
pinus 15 cm dan
sudah ada ekor
bajing)
Tanaman 1. Pertumbuhan 1. Pertumbuhan
turus jalan, normal
hutan kota, (sehat,
penghijauan berbatang/
lingkungan berkayu)
2. Media 2. Kompak
3. Tinggi 3. Tinggi minimal 1
meter
2. Mangrove Reboisasi/ 1. Pertumbuhan 1. Pertumbuhan
RHL normal
- Non propagul:
sehat,
berbatang
tunggal/
berkayu
- Propagul: sehat,
jumlah daun
minimal 4 helai

8
Kelompok Tujuan
No Kriteria Standar
Jenis Penggunaan
2. Media 2. Kompak
3. Tinggi 3. Tidak
dipersyaratkan
kecuali non
propagul tinggi
minimal 20 cm

3. Pantai RHL 1. Pertumbuhan 1. Pertumbuhan


normal (sehat,
berbatang/
berkayu)
2. Media 2. Kompak
3. Tinggi 3. Tinggi minimal 30
cm

4. MPTS Hutan 1. Pertumbuhan 1. Pertumbuhan


Rakyat/ normal (sehat,
Reboisasi/ berbatang/
Penghijauan berkayu)
Lingkungan 2. Media 2. Kompak
3. Tinggi 3. Tinggi minimal 50
cm kecuali bibit
okulasi 30 cm
dihitung dari
tempelan/
sambungan

b. Sertifikasi Mutu Bibit


Mutu bibit dinyatakan dalam bentuk sertifikat mutu bibit dan surat
keterangan mutu bibit. Bibit yang berasal dari sumber benih
bersertikat dan memenuhi persyaratan fisik fisiologis dinyatakan
dengan sertifikat mutu bibit. Sedangkan bibit yang memenuhi
persyaratan fisik fisiologis tetapi bukan berasal dari sumber benih
bersertifikat dinyatakan dengan surat keterangan mutu bibit.

Jika pada saat akan dilaksanakan kegiatan RHL, bibit yang berasal dari
sumber benih yang bersertifikat dan atau bibit sesuai dengan ketentuan mutu
bibit belum tersedia, maka kegiatan RHL dapat menggunakan bibit lain yang
sesuai dengan agroklimat dan zona benih setempat.

B. Pembangunan Kebun Bibit Rakyat


Kebun Bibit Rakyat yang selanjutnya disingkat KBR adalah kebun bibit yang
dikelola oleh kelompok masyarakat melalui pembuatan/pengadaan bibit
berbagai jenis tanaman hutan dan/atau tanaman serbaguna (MPTS) yang
pembiayaannya dapat bersumber dari dana pemerintah atau sumber lain
yang tidak mengikat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pembangunan Kebun Bibit
Rakyat diatur dengan Peraturan Menteri tersendiri.

C. Pembangunan Persemaian Permanen


Persemaian permanen adalah persemaian yang menetap pada satu lokasi
dengan organisasi dan personil pelaksana yang tetap, memiliki sarana,
prasarana dan teknologi mutakhir untuk memproduksi bibit tanaman hutan
berkualitas dalam jumlah besar dan berkesinambungan.
Ketentuan teknis persemaian permanen diatur sendiri dengan Peraturan
Direktur Jenderal.

9
BAB IV
REBOISASI

A. Umum
Reboisasi secara umum ditujukan untuk mengembalikan fungsi hutan baik
sebagai fungsi perlindungan, konservasi sumberdaya alam maupun fungsi
produksi. Keberadaannya yang tersebar sebagian besar di morfologi DAS
bagian hulu dan tengah menyebabkan sebagian besar kawasan hutan
mempunyai fungsi hidroorologis sebagai wilayah resapan air (recharge area)
bagi DAS tersebut. Oleh karena itu kegiatan rehabilitasi hutan di semua
fungsi menempati prioritas utama dalam pengelolaan DAS.
Berdasarkan kondisi kerapatan tegakan awal, maka reboisasi dibedakan
menjadi 2 (dua) kegiatan yaitu penanaman intensif dan pengayaan tanaman.
Penanaman intensif ditujukan untuk lokasi yang populasi tegakan/anakan
kurang dari 200 batang per ha, sedangkan pengayaan tanaman untuk
menambah populasi pada hutan yang memiliki tegakan awal berupa anakan,
pancang, tiang, dan pohon sejumlah 200-700 batang per Ha, dan apabila
populasi lebih besar dari 700 batang per ha cukup diadakan pengamanan
sehingga diharapkan akan menjadi hutan kembali secara suksesi alami.
Reboisasi dilaksanakan pada LMU Terpilih yang terbagi menjadi 2 (dua)
prioritas yaitu Prioritas I dan Prioritas II. Prioritas I merupakan LMU terpilih
kategori Kritis-Sangat Kritis menurut Peta RTk RHL DAS dan lahan kritis
mikro/sasaran tanaman RHL dengan luasan kurang dari 25 Ha yang
ditetapkan dalam RP RHL dengan kondisi lahan terbuka dengan topografi
bergunung. Sementara Prioritas II yaitu LMU terpilih kategori Agak Kritis
menurut Peta RTk RHL DAS dan lahan kritis mikro/sasaran tanaman RHL
dengan luasan kurang dari 25 Ha yang ditetapkan dalam RP RHL dengan
kondisi lahan identik dengan hutan sekunder atau kebun campuran dengan
topografi landai sampai bergelombang.
Persyaratan umum lokasi kegiatan rehabilitasi hutan dilaksanakan pada
hutan konservasi serta hutan lindung dan hutan produksi yang tidak
dibebani hak atau tidak dalam proses perijinan/pencadangan areal untuk
Hutan Tanaman Industri (HTI)/ Hutan Tanaman Rakyat (HTR), serta hutan
konservasi.
Rehabilitasi kawasan hutan konservasi maupun hutan lindung dilakukan
dengan menanam berbagai jenis. Hal ini dimaksudkan agar fungsi konservasi
ataupun lindung dapat tercapai secara optimal. Sedangkan rehabilitasi
kawasan hutan produksi dapat mengembangkan penanaman satu jenis.

B. Lokasi
1. Hutan Konservasi
a. Maksud dan Tujuan
Rehabilitasi pada hutan konservasi dimaksudkan untuk
mempertahankan dan meningkatkan keanekaragaman dan kelestarian
flora dan fauna serta pembinaan habitat.
b. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi rehabilitasi hutan konservasi diutamakan pada lahan
kritis / LMU Terpilih dan atau sasaran RHL yang ditetapkan pada RP
RHL, diutamakan pada RHL Prioritas I, serta pada morfologi DAS hulu
dan tengah kecuali hutan konservasi mangrove. Penetapan prioritas
pelaksanaan RHL dapat mempertimbangkan kendala biofisik maupun
sosial ekonomi setempat.
c. Jenis Tanaman
Jenis tanaman yang dipilih untuk rehabilitasi hutan konservasi antara
lain yang memenuhi kriteria berikut ini:
1) berdaur panjang;
2) perakaran dalam;
3) evapotranspirasi rendah;
4) anakan/biji/stek berasal dari jenis endemik baik kayu-kayuan
maupun MPTS, atau dari lokasi lain dengan jenis yang sama.


10
2. Hutan Lindung
a. Maksud dan Tujuan
Reboisasi di dalam kawasan hutan lindung ditujukan untuk
memulihkan fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga
kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan
erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
b. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi rehabilitasi hutan lindung diutamakan pada lahan kritis
/ LMU Terpilih dan atau sasaran RHL yang ditetapkan pada RP RHL
diutamakan pada lahan kategori RHL Prioritas I, serta pada morfologi
DAS bagian hulu dan tengah kecuali hutan lindung mangrove.
Penetapan prioritas pelaksanaan RHL dapat mempertimbangkan
kendala biofisik maupun sosial ekonomi setempat.
c. Jenis Tanaman
Pemilihan jenis tanaman rehabilitasi hutan lindung diarahkan tanaman
yang berdaur panjang, perakaran dalam, evapotranspirasi rendah dapat
menghasilkan hasil hutan bukan kayu (getah/kulit/buah) melalui
pengembangan aneka usaha kehutanan.
3. Hutan Produksi
a. Maksud dan Tujuan
Rehabilitasi hutan produksi dimaksudkan untuk mengembalikan dan
meningkatkan produktivitas hutan.
b. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi rehabilitasi hutan produksi adalah semua hutan
produksi yang diutamakan lahan kritis / LMU Terpilih dan atau
sasaran RHL yang ditetapkan pada RP RHL, diutamakan pada RHL
Prioritas I, serta pada morfologi DAS hulu dan tengah. Penetapan
prioritas pelaksanaan RHL dapat mempertimbangkan kendala biofisik
maupun sosial ekonomi setempat.
c. Jenis Tanaman
Jenis tanaman yang dipilih untuk rehabilitasi hutan produksi antara
lain yang memenuhi kriteria berikut ini:
1) nilai komersialnya tinggi;
2) teknik silvikulturnya telah dikuasai;
3) mudah pengadaan benih dan bibit yang berkualitas; dan
4) disesuaikan dengan kebutuhan pasar.
5) sesuai dengan agroklimat.
6) apabila pada lokasi tapak terdapat mata air atau kondisi lahan
bertopografi diatas 35% maka penetapan jenis tanamannya
disesuaikan dengan kaidah rehabilitasi hutan lindung.

C. Teknik Pelaksanaan Penanaman dan Pemeliharaan


Pelaksanaan penanaman dan pemeliharaan untuk menjamin keberhasilannya
pada prinsipnya dilakukan secara multiyears. Tahapan pelaksanaan
penanaman rehabilitasi hutan meliputi kegiatan-kegiatan persiapan,
penanaman dan pemeliharaan tanaman.
1. Persiapan
a. Kelembagaan
Kegiatan ini meliputi penyiapan organisasi pelaksana dan koordinasi
dengan pihak terkait untuk penyiapan lokasi, bibit dan tenaga kerja
yang akan melakukan penanaman.
b. Sarana dan Prasarana.
1) Rancangan pembuatan tanaman untuk dipedomani dalam
pembuatan tanaman antara lain kesesuaian lokasi/blok/ petak
sasaran pembuatan tanaman reboisasi.
2) Dokumen-dokumen pekerjaan yang diperlukan untuk pembuatan
tanaman.
3) Bahan dan alat (gubuk kerja, papan nama, patok batas, ajir,
GPS/alat ukur theodolit, kompas, altimeter dan lain-lain) dan
perlengkapan kerja. Pembuatan gubuk kerja dan pemacangan papan
nama sesuai tempat yang strategis.
4) Bibit tanaman.

11
c. Areal penanaman
1) Pembagian blok / petak
Untuk memudahkan pelaksanaan, lokasi dibagi menjadi blok dan
petak. Dalam mendisain blok dan petak mempertimbangkan kondisi
fisik lapangan dan juga batas DAS mikro yang telah dirancang saat
menyusun UTP RHL.
Untuk mempermudah pengawasan areal penanaman dibuat blok
seluas sekitar 300 ha yang dibagi kedalam beberapa petak seluas
sekitar 25 ha yang batasnya dimungkinkan batas alam. Untuk lokasi
penanaman yang luasnya kurang dari 300 Ha tetap dijadikan satu
blok. Tetapi apabila luas areal penanaman 50 ha dijadikan satu
petak dan bloknya digabung dengan lokasi yang terdekat.
Apabila batas antar petak berupa batas buatan, sekaligus dapat
difungsikan untuk jalur rintisan. Lokasi-lokasi tertentu seperti
jurang, sungai dan sebagainya tidak termasuk dalam perhitungan
luas efektif.
2) Pembuatan jalan pemeriksaan
Jalan pemeriksaan dibuat di antara blok satu dengan lainnya. Jalan
pemeriksaan selain dimanfaatkan untuk pemeriksaan juga sekaligus
untuk jalan pengangkutan alat dan bahan-bahan yang diperlukan.
Teknik pembuatannya mengikuti ketentuan pembuatan jalan yang
berlaku dengan ukuran menyesuaikan kondisi lapangan.
2. Pelaksanaan penanaman
Komponen pekerjaan penanaman meliputi :
a. pembersihan lahan
b. pembuatan / pengadaan dan pemancangan patok batas
c. pembuatan jalur tanaman
d. pembuatan dan pemasangan ajir
e. pembuatan lubang tanaman
f. distribusi bibit ke lubang tanaman
g. penanaman
Penanaman intensif dilaksanakan pada LMU Prioritas I minimal 1.600
batang/ha dan LMU Prioritas II minimal 1.100 batang/ha. Pelaksanaan
pengayaan tanaman pada LMU Terpilih paling sedikit 500
batang/hektar.
h. pemupukan (dasar dan lanjutan)
i. pembuatan gubuk kerja
j. pembuatan papan nama
k. pemeliharaan tahun berjalan yang meliputi penyiangan, pendangiran
dan penyulaman. Jumlah bibit untuk penyulaman minimal 10 % dari
jumlah yang ditanam.
Pada akhir tahun berjalan (saat penyerahan pekerjaan), persen tumbuh
tanaman lebih besar 60 %. Persen tumbuh tanaman tersebut diketahui
berdasarkan evaluasi tanaman yang dilaksanakan pada akhir tahun ke-I.
Evaluasi dimaksud juga ditujukan untuk menentukan intensitas
pemeliharaan dan rancangan pemeliharaan pada pemeliharaan I.
3. Pemeliharaan I dan II
Pemeliharaan I dan II dilaksanakan pada tahun kedua dan ketiga, dengan
komponen pekerjaan penyiangan, pendangiran, pemberantasan
hama/penyakit dan penyulaman. Pelaksanaan pemeliharaan I dan II
dilaksanakan sepanjang tahun dengan menggunakan hasil evaluasi
tanaman tahun sebelumnya. Jumlah bibit untuk penyulaman pada
pemeliharaan I dan II ditentukan berdasarkan hasil evaluasi tanaman.

12
Intensitas pemeliharaan per tahun dapat dikelompokkan kedalam 3 (tiga)
kategori, yaitu:
b. Pemeliharaan ringan
1) Penyiangan dan pendangiran masing-masing satu kali.
2) Penyulaman maksimal 10%
c. Pemeliharaan sedang
1) Penyiangan, pendangiran dan pemberantasan hama masing-masing
satu kali.
2) Penyulaman maksimal 20%
d. Pemeliharaan berat
1) Penyiangan, pendangiran dan pemberantasan hama masing-masing
minimal satu kali.
2) Penyulaman lebih dari 20%
4. Standar hasil kegiatan
Jumlah tanaman pada akhir tahun ketiga baik tanaman asal maupun
tanaman baru paling sedikit 700 batang/hektar
5. Pemeliharaan lanjutan
Kegiatan pemeliharaan tanaman untuk jenis dan fungsi tertentu, setelah
pemeliharaan II dapat dilanjutkan sampai dengan tahun kelima.
Pemeliharaan lanjutan dapat dilaksanakan setelah dievaluasi oleh tim
yang dibentuk oleh Direktur Jenderal melalui mekanisme sebagai berikut:
a. Satuan kerja pelaksana RHL mengusulkan kepada Direktur Jenderal
sasaran lokasi RHL yang akan dilakukan pemeliharaan lajutan;
b. Berdasarkan usulan tersebut, Direktur Jenderal membentuk tim yang
beranggotakan dari unsur Direktorat Bina Rehabilitasi Hutan dan
Lahan (RHL), BPDAS dan satuan kerja/pelaksana RHL di daerah;
c. Tim tersebut melakukan evaluasi pada lokasi yang diusulkan dengan
mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut:
1) Jenis dan kondisi fisik tanaman;
2) Urgensi fungsi lokasi RHL tersebut terhadap prioritas penanganan
DAS;
d. Tim dapat menyetujui atau menolak usulan tersebut dengan berita
acara;
e. Apabila tim menyetujui, selanjutnya dapat mengusulkan kepada Dirjen
untuk dilakukan kegiatan pemeliharaan lanjutan pada lokasi tersebut.

D. Reboisasi Pola Khusus


Reboisasi pada wilayah dengan karakteristik biofisik maupun sosial, ekonomi,
budaya khusus dan atau mempunyai jenis tanaman lokal tertentu yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal dapat dilaksanakan reboisasi pola khusus
dengan manual tersendiri.

13
BAB V
PENGHIJAUAN

A. Umum
Penghijauan bertujuan menjaga dan meningkatkan fungsi perlindungan tata
air dan pencegahan bencana alam banjir, longsor, dan/atau untuk
meningkatkan produktivitas lahan.
Penghijauan dilaksanakan di luar kawasan hutan pada kawasan lindung dan
kawasan budidaya. Penghijauan meliputi Pembangunan Hutan Rakyat,
Pembangunan Hutan Kota, dan Penghijauan Lingkungan.
Sasaran penghijauan diutamakan pada lahan kritis / LMU Terpilih dan atau
sasaran RHL yang ditetapkan pada RP RHL diluar kawasan hutan negara,
yang berfungsi sebagai kawasan lindung dan atau kawasan budidaya.
Penetapan prioritas pelaksanaan RHL dapat mempertimbangkan kendala
biofisik maupun sosial ekonomi setempat.
Kaidah-kaidah umum rehabilitasi lahan adalah sebagai berikut:
1. Kawasan Lindung
Dalam melaksanakan rehabilitasi lahan pada kawasan lindung,
memperhatikan prinsip-prinsip:
a. Fungsi perlindungan tata air dan pencegahan bencana alam banjir dan
longsor.
b. Mengakomodir budaya usahatani masyarakat setempat.
c. Mengembangkan pola-pola insentif RHL bagi masyarakat sesuai
peraturan perundangan yang ada.
2. Kawasan Budidaya
Dalam melaksanakan rehabilitasi lahan pada kawasan budidaya,
memperhatikan prinsip-prinsip:
a. Meningkatkan produktivitas lahan.
b. Menyesuaikan dengan kelas kemampuan lahan (land capability) dan
kesesuaian lahan (land suitability).
c. Mengembangkan usaha masyarakat setempat.

B. Lokasi
1. Hutan Rakyat
a. Maksud dan Tujuan
Maksud pembangunan hutan rakyat/pengayaan untuk mewujudkan
tanaman hutan di luar kawasan hutan negara (lahan milik rakyat)
sebagai upaya rehabilitasi lahan tidak produktif (lahan kosong/kritis) di
DAS prioritas. Adapun tujuannya untuk memulihkan fungsi dan
meningkatkan produktifitas lahan dengan berbagai hasil tanaman
berupa kayu dan non kayu, memberikan peluang kesempatan kerja dan
berusaha, meningkatkan pendapatan masyarakat, kemandirian
kelompok tani, serta memperbaiki kualitas lingkungan dan mengurangi
tekanan penebangan liar di dalam kawasan hutan negara (illegal
logging).
b. Sasaran Lokasi
Sasaran kegiatan hutan rakyat berupa lahan kritis/ LMU terpilih pada
kawasan lindung dan budidaya, diutamakan pada kawasan lindung
diluar kawasan hutan di daerah hulu dan tengah DAS dan atau
sasaran RHL yang ditetapkan pada RP RHL. Disamping kriteria diatas,
ketentuan teknis lokasi hutan rakyat adalah sebagai berikut:
1) Tanah milik.
2) Tanah terlantar.
3) Tanah desa, tanah marga/adat.
4) Luas areal hutan rakyat/pengayaan minimal seluas 0,25 Ha efektif.

14
c. Jenis kegiatan
Berdasarkan kondisi kerapatan tegakan sebelumnya, hutan rakyat
dibedakan menjadi 2 (dua) jenis kegiatan yaitu pembangunan hutan
rakyat yang dilaksanakan pada areal terbuka/semak
belukar/bertegakan dengan jumlah anakan kurang dari 200
batang/hektar dan pengayaan tanaman hutan rakyat dilaksanakan
pada areal kebun campuran dengan jumlah tegakan paling sedikit 200
batang/hektar.
d. Jenis Tanaman
Jenis tanaman untuk pembangunan hutan rakyat didasarkan pada
minat masyarakat dan sesuai agroklimat serta permintaan pasar.
Tanaman yang dipilih dapat berupa jenis yang :
1) cepat tumbuh (fast growing species);
2) dapat menyuburkan tanah;
3) tanaman jenis pioner yang mudah tumbuh di lahan kritis;
4) jenis tanaman unggulan setempat;
5) mempunyai nilai ekonomis yang tinggi.
e. Teknik Pelaksanaan Penanaman dan Pemeliharaan
Tahapan pelaksanaan penanaman meliputi kegiatan-kegiatan
persiapan, penanaman dan pemeliharaan tanaman.
1) Persiapan
a) Penyiapan kelembagaan
Kelompok tani diarahkan untuk melaksanakan persiapan
pembuatan tanaman hutan rakyat antara lain :
(1) Mengikuti sosialisasi penyuluhan dan pelatihan.
(2) Menyediakan lahan untuk lokasi kegiatan pembuatan
tanaman.
(3) Menyusun rancangan (RKRHL) bersama-sama pendamping.
(4) Menyelenggarakan pertemuan-pertemuan kelompok tani.
(5) Menyiapkan administrasi kelompok tani.
(6) Menyusun perangkat aturan/kesepakatan internal kelompok
tani.
b) Penataan Areal Tanaman
Kegiatan penataan areal tanaman dilakukan dengan tahapan
sebagai berikut :
(1) Pemancangan tanda batas dan pengukuran lapangan, untuk
menentukan luas serta letak yang pasti sehingga
memudahkan perhitungan kebutuhan bibit.
(2) Penentuan arah larikan.
(3) Penentuan tempat penampungan sementara bibit yang akan
ditanam.
c) Pembuatan Sarana dan Prasarana
(1) Pembuatan gubuk kerja dan papan pengenal di lapangan yang
memuat keterangan tentang lokasi, luas, jenis tanaman, nama
kelompok tani dan jumlah peserta serta tahun pembuatan
tanaman hutan rakyat dan sumber anggaran.
(2) Pembuatan jalan inspeksi/setapak dan atau jembatan di
dalam lokasi tanaman hutan rakyat, jika diperlukan.
2) Pelaksanaan Penanaman
Penanaman dilakukan pada awal musim hujan yang meliputi
kegiatan-kegiatan :
a) Pembersihan lapangan, pengolahan tanah dan pembuatan lubang
tanam;
b) Pembuatan dan pemasangan ajir;
c) Pemberian pupuk dasar (pupuk kandang/bokasi);
d) Distribusi bibit;

15
e) Penanaman bibit;
Penanaman hutan rakyat dilaksanakan pada LMU Prioritas I
minimal 1.600 batang/ha dan LMU Prioritas II minimal 1.100
batang/ha. Pelaksanaan pengayaan hutan rakyat pada LMU
Terpilih paling sedikit 200 batang/hektar
f) Pemeliharaan tahun berjalan yang meliputi pemupukan lanjutan,
penyulaman sejumlah 10% dari bibit yang ditanam semula,
penyiangan dan pendangiran.
Pada akhir tahun berjalan (saat penyerahan pekerjaan), persen
tumbuh tanaman lebih besar 60 %. Persen tumbuh tanaman
tersebut diketahui berdasarkan evaluasi tanaman yang dilaksanakan
pada akhir tahun ke-I. Evaluasi dimaksud juga ditujukan untuk
menentukan intensitas pemeliharaan dan rancangan pemeliharaan
pada pemeliharaan I.
Penanaman hutan rakyat dapat dilakukan dengan 2 (dua) pola
sebagai berikut :
a) Tumpangsari
Tumpangsari (interplanting, mixed planting) merupakan suatu
pola penanaman yang dilaksanakan dengan menanam tanaman
semusim sebagai tanaman sela di antara larikan tanaman pokok
(kayu/MPTS). Pola ini biasanya dilaksanakan di daerah yang
pemilikan tanahnya sempit dan berpenduduk padat, tanahnya
masih cukup subur dan topografi datar atau landai. Pengolahan
tanah dapat dilakukan secara intensif.
b) Tanaman Hutan
Pola tanam ini merupakan pola tanaman kayu-kayuan, yang
mengutamakan produk tertentu, baik kayu maupun non kayu.
Adapun teknik penanaman hutan rakyat dilakukan pada lahan
terbuka maupun kebun campuran.
Penanaman hutan rakyat pada lahan terbuka dapat dilakukan
dengan teknik :
a) Baris dan larikan tanaman lurus
Pelaksanaan teknik ini dilakukan pada lahan dengan tingkat
kelerengan datar tetapi tanah peka terhadap erosi. Larikan
tanaman dibuat lurus dengan jarak tanam teratur.
Contoh cara pengaturan tanaman dengan teknik ini adalah
seperti pada Gambar 1. berikut ini :

L L L L L L L

L L L L L L L

L L L L L L L

Keterangan: L = tanaman kayu-kayuan dan MPTS

Gambar 1. Baris dan Larikan Tanaman Lurus

b) Tanaman jalur dengan sistem tumpangsari


Teknik tanam ini sesuai untuk lahan dengan tingkat kelerengan
datar s/d landai dan tanah tidak peka terhadap erosi. Larikan
tanaman dibuat lurus dengan jarak tanam teratur.
Karena menggunakan pola tanam tumpangsari, maka jarak
tanaman antar jalur perlu lebih lebar. Diantara tanaman pokok
dapat dimanfaatkan untuk tumpangsari tanaman semusim, dan
atau tanaman sela.


16
Cara pengaturan tanaman dengan teknik ini adalah seperti pada
Gambar 2 berikut ini :

L L L L L L L

L L L L L L L

L L L L L L L

Keterangan :
: Jalur tanaman pangan (tanaman tumpangsari)
L : Tanaman Kayu-kayuan /MPTS

Gambar 2. Contoh Tanam Jalur dengan Pola Tumpangsari

c) Penanaman searah garis kontur


Teknik penanaman ini sesuai untuk lahan dengan kelerengan
agak curam s/d curam. Penanaman dilakukan dengan sistim
cemplongan.
Cara pengaturan tanaman dengan teknik ini adalah seperti pada
Gambar 3 berikut ini :

L

L
L
L
L L L L
L
L
L L
L L L

Keterangan: L = tanaman kayu-kayuan/MPTS

Gambar 3. Contoh Penanaman Searah Garis Kontur

d) Sistim pot pada lahan yang berbatu


Teknik penanaman ini dilakukan dengan membuat lubang tanam
diantara batu-batuan yang di isi dengan media tanah
secukupnya.
Penanaman hutan rakyat di kebun campuran dilakukan pada
umumnya berupa tanaman kayu kayuan maupun tanaman MPTS.
Sistim penanaman hutan rakyat dapat dilakukan melalui 3 cara,
yaitu:
a) Sistim Cemplongan.
Sistim cemplongan adalah teknik penanaman yang dilaksanakan
dengan pembuatan lobang tanam dan piringan tanaman.
Pengolahan tanah hanya dilaksanakan pada piringan disekitar
lobang tanaman. Sistem cemplongan dilaksanakan pada lahan-
lahan yang miring dan peka terhadap erosi.

17
b) Sistim Jalur.
Teknik ini dilaksanakan dengan pembuatan lobang tanam dalam
jalur larikan, dengan pembersihan lapangan sepanjang jalur
tanaman. Teknik ini dapat dipergunakan di lereng bukit dengan
tanaman sabuk gunung (countur planting).
c) Sistim tugal (zero tillage)
Teknik ini dilaksanakan dengan tanpa olah tanah (zero tillage).
Lubang tanaman dibuat dengan tugal (batang kayu yang
diruncingi ujungnya). Teknik ini cocok untuk pembuatan
tanaman dengan benih langsung terutama pada areal dengan
kemiringan lereng yang cukup tinggi, namun tanahnya subur dan
peka erosi.
3) Pemeliharaan I dan II
Pemeliharaan I dan II dilaksanakan pada tahun kedua dan ketiga,
dengan komponen pekerjaan penyiangan, pendangiran,
pemberantasan hama/penyakit dan penyulaman. Pelaksanaan
pemeliharaan I dan II diawali dengan evaluasi tanaman untuk
menentukan intensitas pemeliharaan dan penyesuaian rancangan
pemeliharaan. Jumlah bibit untuk penyulaman pada pemeliharaan I
dan II ditentukan hasil evaluasi tanaman.
Intensitas pemeliharaan per tahun dapat dikelompokkan kedalam 3
(tiga) kategori, yaitu:
a) Pemeliharaan ringan
(1) Penyiangan dan pendangiran masing-masing satu kali.
(2) Penyulaman maksimal 10%
b) Pemeliharaan sedang
(1) Penyiangan, pendangiran dan pemberantasan hama masing-
masing satu kali.
(2) Penyulaman maksimal 20%
c) Pemeliharaan berat
(1) Penyiangan, pendangiran dan pemberantasan hama masing-
masing minimal satu kali.
(2) Penyulaman lebih dari 20%
4) Standar hasil kegiatan
Jumlah tanaman pada akhir tahun ketiga baik tanaman asal
maupun tanaman baru paling sedikit 400 batang/hektar.
5) Pemeliharaan lanjutan
Untuk penanaman tertentu baik dari segi jenis maupun fungsi,
pemeliharaan dapat dilanjutkan sampai dengan tahun kelima
sepanjang dimungkinkan.

Dalam pengelolaan hutan rakyat dapat dilakukan dengan cara kemitraan,


yang sering disebut Hutan Rakyat Kemitraan dengan uraian sebagai
berikut :
a. Maksud dan Tujuan
Hutan rakyat kemitraan dimaksudkan untuk membangun hutan rakyat
yang dilakukan oleh masyarakat bersama-sama industri/ penampung
kayu rakyat atas dasar kemitraan yang saling menguntungkan. Dalam
prosesnya, kemitraan hutan rakyat ini dapat dibangun melalui fasilitasi
pemerintah.
Hutan rakyat kemitraan dikembangkan dengan tujuan untuk
menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan
masyarakat, penyediaan bahan baku bagi industri, serta membangun
pengelolaan hutan rakyat yang lestari.
b. Sasaran Lokasi
Sasaran pembangunan hutan rakyat kemitraan adalah lahan kritis/
LMU Terpilih baik pada RHL Prioritas I maupun II, diutamakan pada
kawasan budidaya.

18
c. Jenis Tanaman
Sebagaimana jenis tanaman hutan rakyat, hutan kemitraan umumnya
mengembangkan jenis-jenis tanaman sebagai berikut: cepat tumbuh
(fast growing species) dan mempunyai nilai ekonomis yang tinggi serta
sesuai dengan kebutuhan industri.
d. Teknik Penanaman dan Pemeliharaan
Teknik penanaman dan pemeliharaan hutan rakyat kemitraan sama
dengan yang diuraikan pada butir B.1.e.

2. Hutan Kota
Pembangunan hutan kota dimaksudkan sebagai upaya untuk perbaikan
lingkungan perkotaan dengan tujuan untuk mewujudkan lingkungan
hidup wilayah perkotaan yang sehat, rapi dan indah dalam suatu
hamparan tertentu sehingga mampu memperbaiki dan menjaga iklim
mikro, estetika, resapan air serta keseimbangan lingkungan perkotaan.
Pembangunan Hutan Kota dilaksanakan di wilayah perkotaan yang
ditunjuk oleh Gubernur/Bupati/Walikota, dengan luas paling sedikit 0,25
hektar. Pelaksanaan penanaman hutan kota minimal 1.600 batang/ha dan
saat penyerahan persen tumbuh tanaman minimal 80%.
Pembangunan hutan kota secara teknis sebagaimana di atur dalam
peraturan perundangan tersendiri.

3. Penghijauan Lingkungan
a. Maksud dan Tujuan
Pembuatan tanaman penghijauan lingkungan dimaksudkan sebagai
upaya perbaikan lingkungan pada lahan-lahan untuk fasilitas umum,
fasilitas sosial untuk meningkatkan kualitas iklim mikro dan
kenyamanan lingkungan hidup di sekitarnya serta wilayah-wilayah
perlindungan setempat.
b. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi penghijauan lingkungan yaitu ruang terbuka hijau dan
atau lahan kosong yang diperuntukan sebagai fasilitas umum dan
fasilitas sosial baik perkantoran, taman pemukiman dan pemakaman
umum, sekolah (umum, pesantren, kampus universitas), halaman
bangunan peribadatan (masjid, gereja, pura, vihara dan lain-lain), serta
wilayah-wilayah perlindungan setempat seperti sempadan sungai,
tebing jalan, dan lain sebagainya.
c. Jenis Tanaman
Jenis tanaman untuk penghijauan lingkungan disesuaikan dengan
peruntukan kawasannya dan juga sesuai dengan agroklimatologi
setempat serta diminati masyarakat. Tanaman penghijauan lingkungan
dapat berupa tanaman kayu-kayuan dan tanaman serbaguna/ MPTS.
d. Pelaksanaan Penanaman dan Pemeliharaan
Pelaksanaan penanaman dan pemeliharaan umumnya sama dengan
pembangunan hutan rakyat yaitu meliputi kegiatan-kegiatan persiapan,
penanaman dan pemeliharaan tanaman sebagaimana tertuang pada
butir B.1.e. namun tetap memperhatikan keinginan masyarakat dan
kondisi fisik setempat.

C. Penghijauan Pola Khusus


Penghijauan pada wilayah dengan karakteristik biofisik maupun sosial,
ekonomi, budaya khusus dan atau mempunyai jenis tanaman lokal tertentu
yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal dapat dilaksanakan penghijauan pola
khusus dengan manual tersendiri.

19
BAB VI
REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DAERAH PESISIR/PANTAI

A. Umum
Maksud dan tujuan rehabilitasi hutan dan lahan daerah pesisir/pantai
adalah untuk mengembalikan keberadaan vegetasi daerah pesisir/pantai
sehingga mampu berfungsi sebagai wilayah perlindungan pantai dari abrasi
dan intrusi air laut serta bencana alam seperti tsunami maupun bencana
lainnya. Secara umum kegiatan RHL di daerah pesisir/pantai dibagi menjadi
dua yaitu hutan mangrove dan sempadan pantai.

B. Rehabilitasi Hutan Mangrove


1. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi kegiatan rehabilitasi hutan mangrove adalah hutan dan
lahan yang diutamakan pada lahan kritis / LMU Terpilih berdasarkan
hasil penyusunan RTk RHL DAS pada Ekosistem Mangrove dan Ekosistem
Pantai yang diidentifikasi mempunyai vegetasi mangrove dengan kerapatan
kurang (NDVI -1,00 s/d 0,43) dan wilayah yang berdasarkan peta land
system termasuk KJP, KHY, PGO, LWW, TWH, dan PTG yang kondisi
vegetasinya telah terbuka dan/atau terdeforestasi, dan atau sasaran RHL
yang ditetapkan pada RP RHL. Penetapan prioritas pelaksanaan RHL dapat
mempertimbangkan kendala biofisik maupun sosial ekonomi setempat.
2. Penyediaan Bibit
Untuk menjamin agar pelaksanaan penyediaan bibit berjalan efektif dan
efisien, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Penentuan kebutuhan bibit sesuai rancangan meliputi lokasi
persemaian, jenis, jumlah dan persyaratan bibit, baik untuk kegiatan
penanaman, penyulaman tahun berjalan, maupun untuk penyulaman
pemeliharaan I.
b. Penyusunan tahapan dan jadwal kegiatan penyediaan bibit dengan
memperhatikan waktu tanam di lapangan.
c. Pembuatan bibit :
1) Penyiapan benih
a) Pengumpulan benih
Bahan yang diperlukan adalah buah atau benih yang matang dan
bermutu bagus.
Pengumpulan benih dengan cara mengambil buah jatuhan atau
memetik langsung dari pohon induknya dan ekstraksi biji dari
buah. Pengumpulan dilakukan berulang dengan interval waktu
tertentu.
b) Seleksi dan penanganan benih
Buah atau biji yang dipilih adalah berasal dari buah yang
matang, sehat, segar dan bebas hama. Ciri kematangan buah
dapat dilihat dari warna kotiledon, warna hipokotil, berat buah
atau ciri lainnya.
c) Penyimpanan benih
Penyimpanan benih tidak dapat dilakukan untuk jangka yang
panjang. Direkomendasikan bahwa penyimpanan benih tidak
lebih dari 10 hari, disimpan di tempat yang teduh di dalam ember
berisi air payau. Harus dijaga agar akar tidak terlanjur tumbuh
sehingga terpaksa dipotong saat penyemaian.
2) Persemaian
a) Untuk memperoleh mutu bibit yang baik, dan mengurangi resiko
kerusakan bibit ke lokasi penanaman, diperlukan persemaian
dan tempat pengumpulan sementara yang sesuai kriteria dan
standar mutu.
b) Benih Non propagul dari benih Sonneratia alba dapat disemaikan
secara langsung pada pot yang sudah diatur di bedeng.


20
Sedangkan Avicennia marina dan Xylocarpus granatum harus
disemaikan di bedeng di darat terlebih dahulu karena benihnya
mudah hanyut oleh pasang-surut air laut.
c) Benih yang telah disemai di pot-pot bedeng persemaian dibiarkan
terkena air laut pasang surut satu kali dalam satu hari agar
basah.
d) Bibit di persemaian sebaiknya dinaungi dengan jaring atau daun
yang hanya memberikan kemungkinan masuknya cahaya
matahari sebesar 50-70 %. Lebih baik lagi bila naungan juga
dipasang sebagai dinding yang mengelilingi barisan-barisan
bedeng. Satu bulan sebelum bibit siap tanam di lapangan,
naungan tersebut harus dibuka untuk pemantapan.
e) Penyiraman dilakukan satu kali sehari di bedeng pasang surut
pada saat pasang surut rendah, sedangkan di bedeng darat
dilakukan penyiraman dua kali sehari.
3. Pembuatan Tanaman
Pelaksanaan kegiatan pembuatan tanaman mengacu pada RTn RHL dan
rancangan kegiatan RHL.
Sebelum melakukan penanaman, harus diperhatikan beberapa faktor fisik
penunjang keberhasilan penanaman yakni : pasang surut air laut, musim
ombak dan kesesuaian jenis dengan lingkungannya/ zonasi serta
keterlibatan masyarakat setempat.
a. Persiapan
1) Penyiapan kelembagaan/ prakondisi dilakukan terhadap masyarakat
pantai setempat yang akan terlibat dalam kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove melalui kegiatan penyuluhan, pembentukan kelompok
tani dan pendampingan.
2) Pengadaan sarana dan prasarana
3) Penyiapan bahan dan pembuatan gubuk kerja, papan nama, patok
batas, ajir dan penyiapan alat pengukuran (GPS/alat ukur theodolit,
kompas, altimeter dan lain-lain) serta perlengkapan kerja lainnya.
4) Penataan areal tanaman
a) Berdasarkan rancangannya, dilakukan penataan lahan untuk
kesesuaian lokasi dan areal tanam.
b) Penyiapan areal tanam :
(1) Pengukuran ulang batas-batas areal, pemancangan patok
batas luar areal tanam;
(2) Pembuatan jalur tanaman dimulai dengan penentuan arah
larikan tanaman melintang terhadap pasang surut sesuai pola
tanam yang telah dirancang pada lokasi dan areal tanam yang
bersangkutan;
(3) Pembersihan jalur tanam dari sampah, ranting pohon, dan
potongan kayu serta tumbuhan liar;
(4) Pemancangan ajir sesuai jarak tanam, dipasang tegak lurus
dan kuat pada areal tanam;
(5) Penyiapan titik bagi bibit (di masing-masing areal penanaman).
b. Pemilihan jenis tanaman
1) Jenis tanaman dipilih yang sesuai dengan hasil analisis tapak dan
dituangkan dalam rancangan.
2) Rehabilitasi pada ekosistem mangrove yang zonasi-nya masih dapat
diidentifikasi, jenis tanaman mangrove disesuaikan dengan zonasi
berbagai tanaman, yakni dengan memperhatikan ketahanan
terhadap pasang surut dan tingkat ketinggian air, antara lain : zona
Avicennia, zona Rhizophora, zona Bruguiera, dan zona kering serta
nipah.

21
Secara alami zonasi dalam ekosistem mangrove berdasarkan jenis
tanaman yang tumbuh adalah sebagaimana gambar 4 berikut :

Gambar 6. Zonasi Alami Mangrove

Zonasi Hutan Mangrove. Dari kiri ke kanan:1.Avicenniaalba;2.Rhizophoraapiculata;3.Bruguieraparviflora;4.


Bruguieragymnorhiza;5.Nypafruticans;6.Xylocarpusgranatum;7.Excoecariaagallocha;8.Pandanusfurentus;9.
Bruguieracylindrica.

Gambar 4. Zonasi ekosistem mangrove berdasarkan jenis tanaman

Kesesuaian jenis tanaman mangrove dengan faktor lingkungan dapat


diperiksa pada Tabel 2.
Tabel 2. Kesesuaian beberapa jenis tanaman mangrove dengan faktor
lingkungan.
Toleransi Toleransi
thd thd Toleransi
Frekuensi
Jenis Salinitas kekuatan kandungan thd
penggenangan
(o/oo) ombak & pasir Lumpur
angin
1 2 3 4 5 6
Rhizophora 10-30 S MD S 20 hr/bln
mucronata (bakau)
R. stylosa (tongke 10-30 MD S S 20 hr/bln
besar)
R. apiculata (tinjang) 10-30 MD MD S 20 hr/bln
Bruguiera parvilofa 10-30 TS MD S 10-19 hr/bln
(bius)
B. sexangula 10-30 TS MD S 10-19 hr/bln
(tancang)
B.gymnorhiza 10-30 TS TS MD 10-19 hr/bln
(tancang merah)
Sonneratia alba 10-30 MD S S 20 hr/bln
(pedada bogem)
S.caseolaris (padada) 10-30 MD MD MD 20 hr/bln
Xylocarpus granatum 10-30 TS MD MD 9 hr/bln
(nyirih)
Heritiera littoralis 10-30 STS MD MD 9 hr/bln
(bayur laut)
Lumnitzera racemora 10-30 STS S MD Beberapa
(Tarumtum) kali/ thn
Cerbera manghas 0-10 STS MD MD Tergenang
(bintaro) musiman
Nypa fruticans 0-10 STS TS S 20 hr/bln
(nipah)
Avicenia spp. (api- 10-30 MD TS S
api)
Keterangan : S = Sesuai, MD = Moderat, TS = Tidak Sesuai, STS = Sangat Tidak Sesuai

22
c. Penanaman
1) Pelaksanaan penanaman di dalam kawasan hutan dan di luar
kawasan hutan dilakukan dengan menerapkan jenis tanaman dan
pola tanam sebagaimana tertuang dalam rancangan.
2) Rehabilitasi hutan mangrove dilaksanakan pada LMU Prioritas I
minimal 3.300 batang/ha dan LMU Prioritas II minimal 6.000
batang/ha, dengan pertimbangan memperhatikan tingkat
keberhasilan tumbuh.
3) Persen tumbuh saat penyerahan pekerjaan tahun pertama minimal
60%
4) Pelaksanaan penanaman menyesuaikan dengan musim setempat
dan dimulai dari garis terdekat dengan darat.
5) Cara Penanaman :
a) Penanaman dengan benih
Penanaman dapat dilakukan dengan benih jenis propagul, pada
areal berlumpur. Benih/buah ditancapkan ke dalam lumpur
dengan bakal kecambah menghadap keatas. Untuk menjaga agar
buah tidak hanyut, bila perlu diikatkan pada ajir.
b) Penanaman dengan bibit
Penanaman dapat dilakukan dengan bibit jenis mangrove dengan
ketentuan bibit tersebut layak tanam. Pada daerah yang langsung
dipengaruhi pasang surut, penanaman dapat dilakukan dengan
teknik dan atau pada saat yang memungkinkan.
6) Beberapa alternatif pola tanaman yang dapat diterapkan sebagai
berikut :
a) Pola tanam murni
(1) Penanaman murni meliputi penanaman merata dan atau
penanaman strip (jalur) pada areal tanam yang telah disiapkan
sesuai rancangan. Sebaran tanaman dapat dilihat
sebagaimana pada gambar 5.
(2) Cara penanaman dapat secara langsung dengan buah/benih
atau menggunakan bibit yang telah disiapkan.
(3) Untuk penanaman merata atau penanaman strip (jalur) jarak
tanam disesuaikan dengan kondisi di lapangan.
(4) Pada areal yang peka terhadap ombak, jika diperlukan bibit
diikat dengan ajir

- - - -- - - laut - - - - -- - - - - - - - - - - -- - - laut - - - - -- - - - - - - -
xxxxxxxxxxxxx  xx xxxx
xxxxxxx
xxxxxxxxxxxxx xxxxxxx
xxxxxxx
xxxxxxxxxxxxx
xxxxxxx
x x x x x x x x x x x x x
a. Penanaman strip (jalur) b. Penanaman merata

Gambar 5. Alternatif Pola Tanam Murni

23
b) Pola tanam tumpangsari tambak (Sylvofishery/ wanamina)
(1)Penanaman tumpangsari tambak dilaksanakan seperti halnya
dengan penananam murni, tetapi dikombinasikan dengan
kegiatan pertambakan. Penanaman selain pada tanggul juga
dilakukan di pelataran tambak sesuai dengan rancangan;
(2)Cara penanaman dapat secara langsung dengan buah/benih
atau menggunakan bibit yang telah disiapkan. Jarak tanam
disesuaikan dengan kondisi lapangan;
(3)Pola tumpangsari tambak (sylvofishery/wanamina) terdiri dari
4 (empat) macam cara yaitu : empang parit tradisional,
komplangan, empang parit terbuka dan kao-kao. Macam-
macam kombinasi seperti pada gambar 6 berikut :

  

  

  

Parit Bibit

Gambar 6. Macam-macam Teknik Tumpangsari


c) Pola penanaman rumpun berjarak
(1)Pola penanaman rumpun berjarak dimaksudkan untuk
kekokohan, menjerat lumpur atau hara dan sesuai dengan
media pasir yang labil akan ombak laut. Pola tanam ini lebih
cocok untuk ekosistem mangrove di pulau-pulau kecil.
(2)Penanaman rumpun berjarak dilaksanakan seperti halnya
dengan penanaman murni akan tetapi anakan ditanam rapat
membentuk rumpun-rumpun. Jumlah dan jarak antar
rumpun per hektar dan jumlah anakan yang ditanam di tiap
rumpun disesuaikan dengan kondisi tapak.
(3)Pada saat menanam bibit, kantong plastik (polybag) media
tanam tidak perlu dilepas tetapi cukup dirobek atau dilubangi
bagian dasarnya.
(4)Penanaman pada areal yang rawan gerakan air laut, jika
diperlukan dapat dibuat pagar pengaman.

Laut

Rumpun Dst

 

Pantai pulau
Dst
Pulau

Gambar 7. Cara penanaman rumpun berjarak




24
4. Pemeliharaan Tanaman
Kegiatan pemeliharaan tanaman mangrove dilakukan sebagaimana terurai
pada BAB IV. Huruf C. dengan catatan penyiangan hanya dilakukan pada
areal yang kering saja. Disamping itu, untuk pengendalian hama dan
penyakit pada tanaman mangrove dari serangan kepiting/ketam
(Crustacea, sp.), ulat daun dan batang, cendawan akar, tritip serta gulma
(biasanya lumut) dapat dilakukan dengan cara:
a. Benih/bibit mangrove ditanam lebih banyak atau lebih rapat
b. Membungkus benih/bibit dengan bambu atau botol plastik.
c. Menggunakan insektisida secara hati-hati dan terbatas.
5. Standar hasil kegiatan
Jumlah tanaman mangrove pada akhir tahun ketiga baik tanaman asal
maupun tanaman baru minimal 1.100 batang/ha.
Dalam hal jumlah tanaman tersebut telah tercapai maka tidak dilakukan
pemeliharaan lanjutan

C. Rehabilitasi Sempadan Pantai


1. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi kegiatan rehabilitasi sempadan pantai dapat berupa
kawasan hutan atau di luar kawasan hutan yang diutamakan pada lahan
kritis / LMU Terpilih menurut RTk RHL DAS selebar paling sedikit 100
(seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat yang bukan
termasuk habitat/ekosistem mangrove, dan atau sasaran RHL yang
ditetapkan pada RP RHL. Penetapan prioritas pelaksanaan RHL dapat
mempertimbangkan kendala biofisik maupun sosial ekonomi setempat.
2. Penyediaan Bibit
Penyediaan bibit untuk keperluan kegiatan rehabilitasi sempadan pantai
dapat dilakukan dengan pembuatan atau melalui pengadaan bibit.
Untuk menjamin agar pelaksanaan penyediaan bibit berjalan efektif dan
efisien, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Penentuan kebutuhan bibit sesuai rancangan meliputi lokasi
persemaian, jenis, jumlah dan persyaratan bibit, baik untuk kegiatan
penanaman, penyulaman tahun berjalan, maupun untuk penyulaman
pemeliharaan I.
b. Penyusunan tahapan dan jadwal kegiatan penyediaan bibit dengan
memperhatikan waktu tanam di lapangan.
c. Pelaksanaan penyediaan bibit dapat dilakukan melalui : pembuatan
bibit dan/atau pengadaan bibit oleh pihak ketiga/ perusahaan pengada
bibit.
d. Untuk memperoleh mutu bibit yang baik, dan mengurangi resiko
kerusakan bibit ke lokasi penanaman, diperlukan persemaian dan
tempat pengumpulan sementara yang sesuai kriteria dan standar mutu.
e. Rehabilitasi sempadan pantai pada lahan berpasir dapat menggunakan
bibit dengan media campuran contohnya dengan sistem press-block.
3. Pembuatan Tanaman
Tahapan penanaman rehabilitasi sempadan pantai sebagai berikut:
a. Persiapan
1) Penyiapan kelembagaan, prakondisi dilakukan terhadap masyarakat
pantai setempat yang akan terlibat dalam kegiatan rehabilitasi hutan
pantai berupa penyuluhan, pembentukan kelompok tani dan
pendampingan.
2) Pengadaan sarana dan prasarana
3) Penyiapan bahan dan pembuatan gubuk kerja, papan nama, patok
batas, ajir dan penyiapan alat pengukuran (GPS/alat ukur theodolit,
kompas, altimeter dan lain-lain) serta perlengkapan kerja lainnya.
4) Penataan areal tanaman

25
a) Berdasarkan rancangannya, dilakukan penataan lahan sesuai
lokasi dan areal tanam.
b) Penyiapan areal tanam :
(1) Pengukuran ulang batas-batas areal, pemancangan patok
batas luar areal tanam;
(2) Pembuatan jalur tanaman dimulai dengan penentuan arah
larikan tanaman sesuai pola tanam yang telah dirancang pada
lokasi dan areal tanam yang bersangkutan;
(3) Pembersihan jalur tanam dari sampah, ranting pohon, dan
potongan kayu serta tumbuhan liar;
(4) Pemancangan ajir sesuai jarak tanam;
(5) Bila diperlukan dilakukan penyiapan tempat pengumpulan
sementara bibit yang akan ditanam.
b. Pemilihan jenis tanaman
1) Jenis tanaman dipilih yang paling cocok dan disesuaikan dengan
kondisi fisik lapangan, sosial ekonomi dan budaya serta kesiapan
masyarakat setempat sebagaimana yang tertuang dalam rancangan.
2) Sifat ekologis jenis pohon pantai antara lain :

Tabel 3. Sifat ekologis jenis pohon pantai dan cara pembiakannya.


Jenis
No. Jenis Habitat Pembiakan
Tanah
1 Cemara Laut Regosol/ Tanah liat Tunas akar
(Casuarina entisol berat, di atas dan biji
spp.) garis pasang,
tanah miskin
humus
2 Ketapang Regosol/ Tanah berpasir Biji, stek,
(Terminalia entisol dan berbatu grafting,
catapa) anakan
alam
3 Waru Regosol/ Tanah tertier Stek dan Biji
(Hibiscus spp.) entisol yang periodik
kering
4 Nangka Regosol/ Tanah liat Stek akar,
(Artocarpus entisol berpasir stek batang
altilis)
5 Nyamplung Aluvial/ Tanah liat Biji
(Callophylum Regosol berpasir
innophylum)
6 Kelapa Regosol/ Tanah liat Buah/Biji
(Cocos spp.) entisol berpasir

c. Penanaman
1) Pelaksanaan pembuatan tanaman rehabilitasi sempadan pantai di
luar kawasan hutan dan di dalam kawasan hutan dilakukan dengan
menerapkan pola tanam sebagaimana tertuang dalam rancangan.
Penanaman dapat dilakukan secara merata atau jalur/baris
sepanjang pantai.
2) Rehabilitasi sempadan pantai dilaksanakan pada LMU Prioritas I
minimal 1.600 batang/ha dan LMU Prioritas II minimal 1.100
batang/ha.
3) Persen tumbuh saat penyerahan pekerjaan tahun pertama minimal
60%.
4) Komponen kegiatan penanaman meliputi :
a) Pembuatan lubang tanam yang ukurannya disesuaikan dengan
jenis yang akan ditanam;
b) Pada lahan berpasir dapat dilakukan penambahan media tumbuh
yang memadai.


26
c) Penanaman dilakukan dengan memadatkan tanah urugan di
sekitar batang dan hindari kerusakan akar.
d) Untuk penanaman pada areal yang peka pasang surut, dilakukan
pada saat air laut surut.
4. Pemeliharaan Tanaman
Pemeliharaan tanaman sebagaimana uraian pada BAB IV. Huruf C. Jenis
hama tanaman yang sering ditemui dan menyerang pada tanaman pantai
adalah ulat daun dan batang, cendawan akar dan upas (Cryptococcus
neoformans, Phytopthora palmivora) serta gulma. Pengendalian hama dan
gulma dapat dilakukan pada pemeliharaan tanaman tahun berjalan,
tahun pertama dan atau tahun kedua.
5. Standar hasil kegiatan
Jumlah tanaman sempadan pantai pada akhir tahun ketiga baik tanaman
asal maupun tanaman baru minimal 600 batang/ha.
Dalam hal jumlah tanaman tersebut telah tercapai maka tidak dilakukan
pemeliharaan lanjutan.

D. Rehabilitasi Pesisir/Pantai Pola Khusus


Rehabilitasi mangrove dan sempadan pantai dengan kondisi biofisik atau
sosial, ekonomi, budaya serta jenis tanaman tertentu yang ditetapkan
Direktur Jenderal dan atau kepentingan diseminasi teknologi rehabilitasi
dapat dilaksanakan pola khusus dengan manual tersendiri.

27
BAB VII
REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN KAWASAN BERGAMBUT

A. Umum
Kawasan bergambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah
mati, baik yang sudah lapuk maupun yang belum lapuk. Timbunan terus
bertambah karena proses dekomposisi yang terhambat oleh kondisi an-aerob
dan di permukaan atasnya hidup berbagai jenis satwa liar dan tumbuhan dari
tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Pembentukan kawasan bergambut
merupakan proses geogenik yang disebabkan oleh proses deposisi dan
transportasi, sedangkan proses pembentukan tanah mineral pada umumnya
merupakan proses pedogenik. Keberadaan kubah gambut (peat dome) di
bagian tengah pada bentang lahan gambut menjadi ciri khas ekosistem
bergambut. Sedangkan tingkat kesuburan tanah bergambut secara gradual
dipilah menjadi 3 (tiga) jenis yaitu matang (saprist), sedang (hemist) dan
mentah (fibrist).
Kawasan bergambut dipilah menjadi dua yaitu Kawasan Bergambut Berfungsi
Lindung dan Kawasan Bergambut Berfungsi Budidaya. Kriteria kawasan
bergambut berfungsi lindung yakni apabila ketebalan gambut mencapai 3
(tiga) meter atau lebih terdapat di hulu sungai atau rawa, sedangkan kriteria
kawasan bergambut berfungsi budidaya yakni apabila ketebalan gambutnya
kurang dari 3 (tiga) meter terdapat di hulu sungai atau rawa.
Kawasan bergambut memberikan manfaat yang sangat luas bagi kehidupan
di muka bumi karena merupakan habitat berbagai flora fauna yang berperan
penting dalam pengaturan tata air sehingga daerah sekitarnya dapat
terhindar dari intrusi air laut pada musim kemarau dan banjir pada musim
hujan. Kawasan bergambut mampu menyimpan dan menyerap Gas Rumah
Kaca (GRK) dalam jumlah besar sehingga secara tidak langsung berperan
penting dalam mengatur iklim lokal maupun global.
Maksud dan tujuan RHL kawasan bergambut untuk memulihkan
sumberdaya kawasan bergambut yang kritis sehingga berfungsi optimal
dalam memberikan manfaat ekologi, ekonomi dan sosial kepada seluruh
pihak yang berkepentingan, mengelola sumber daya air, dan mengembangkan
kelembagaan yang berbasis sumberdaya kawasan bergambut.

B. Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kawasan Bergambut


1. Sasaran Lokasi
Secara umum sasaran lokasi rehabilitasi hutan dan lahan kawasan
bergambut yaitu kawasan yang diidentifikasi sebagai areal kritis/rusak
sedang dan sangat kritis/rusak berat pada RTk RHL DAS Kawasan
Bergambut. Apabila pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan kawasan
bergambut tidak dapat sekaligus mencakup seluruh areal maka dapat
dilakukan prioritas, misalnya prioritas RHL-G I berupa kawasan gambut
lindung dan budidaya sangat kritis dan/atau kritis yang terletak dalam
DAS prioritas dengan kondisi gambut matang/safrik dan ketebalan tanah
gambutnya dangkal, setelah dikurangi peruntukan lain seperti pemukiman
dan sarana umum lainnya. Selanjutnya prioritas RHL-G II yaitu kawasan
gambut sangat kritis dan/atau kritis yang terletak dalam DAS prioritas
dengan kondisi gambut setengah matang/hemik dan ketebalan tanah
gambutnya dangkal, setelah dikurangi peruntukan lain seperti pemukiman
dan sarana umum lainnya.
Terhadap kegiatan penanaman dalam rangka rehabilitasi, dapat dipilih
pada areal yang terbatas kemampuannya untuk pulih secara alami dan
areal yang secara alami sulit dijangkau oleh penyebaran benih. Lahan yang

28
memiliki kemampuan untuk pulih secara alami tidak diprioritaskan
sebagai areal penanaman.
Berdasarkan kondisi kerapatan tegakan awal, maka RHL kawasan
bergambut dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu penanaman intensif dan
pengayaan tanaman. Penanaman RHL kawasan bergambut dilaksanakan
pada prioritas RHL-G I dan Prioritas RHL-G II berdasarkan RTkRHL DAS
Kawasan Bergambut yang mempunyai tegakan asal kurang dari 200 (dua
ratus) batang/hektar, sedangkan pengayaan tanaman pada kawasan
bergambut dilaksanakan pada prioritas RHL-G I dan Prioritas RHL-G II
berdasarkan RTkRHL DAS Kawasan Bergambut yang mempunyai tegakan
asal antara 200 sampai dengan 700 batang/hektar.
2. Penentuan Jenis Tanaman
Jenis tanaman yang dipilih untuk rehabilitasi sebaiknya jenis
lokal/endemik.
Proses pemilihan jenis dilakukan dengan memperhatikan :
a. keberadaan jenis dominan,
b. sifat dan karakteristik tiap jenis terutama respon terhadap genangan
dan cahaya,
c. kondisi areal (penutupan vegetasi, kondisi tanah dan kondisi
genangan).
Variasi kondisi areal dan alternatif jenis tanaman yang sesuai :

Tabel 4. Kondisi Areal dan Alternatif Jenis Tanaman RHL Rawa Gambut

No. Kondisi Lokasi Alternatif Jenis Tanaman


1 Areal yang : ƒ Jelutung rawa (Dyera lowii )
a. Bekas terbakar ƒ Perepat (Combretocarpus rotundatus )
ringan/sedang ƒ Belangiran (Shorea belangeran )
b. Bekas tebang habis ƒ Perupuk (Coccoceras borneense)
c. Areal terbuka ƒ Pulai rawa (Alstonia pneumatophora )
(vegetasi jarang) ƒ Rengas manuk (Melanorhoea wallicihi)
ƒ Terentang (Campnosperma macrophylla)
2 Areal yang : ƒ Meranti rawa (Shorea pauciflora, Shorea
a. Bekas terbakar yang tysmanniana, Shorea uliginosa)
telah mengalami ƒ Merapat (Combretocarpus rotundatus )
suksesi ƒ Durian (Durio carinatus)
b. Bekas tebang selektif ƒ Ramin (Gonystylus bancanus)
c. Penutupan vegetasi ƒ Punak (Tetramerista glabra)
sedang ƒ Kempas (Koompassia malaccensis )
ƒ Resak (Vatica rassak)
ƒ Sungkai (Peronema canescens)
ƒ Kapur Naga (Calophyllum macrocarpum)
ƒ Nyatoh (Palaquium spp.)
ƒ Bintangur (Calaphyllum spp.)
3 Areal yang : ƒ Meranti rawa (Shorea pauciflora, Shorea
a. Bekas tebang selektif tysmanniana, Shorea uliginosa)
b. Masih banyak ƒ Ramin (Gonystylus bancanus)
dijumpai pohon ƒ Punak (Tetramerista glabra )
c. Penutupan vegetasi ƒ Balam (Palaquium rostratum )
masih tinggi ƒ Medang (Litsea calophyllantha )
d. Telah kehilangan ƒ Kempas (Koompassia malaccensis)
jenis tanaman ƒ Rotan ( Calamus spp )
komersil (bernilai ƒ Gemor (Alseodhapne helophylla)
tinggi)

29
Jenis tanaman semusim yang cocok untuk kawasan bergambut antara
lain:
a. Jahe-jaheaan (Zingiberaceae)
b. Lidah buaya (Aloevera)
Jenis tanaman perdu yang dapat ditanam di sela-sela tanaman pokok dan
cocok di kawasan bergambut antara lain tanaman jarak (Jantropha sp.).
Sedangkan jenis tanaman eksotis yang dapat dikembangkan di kawasan
bergambut antara lain :
a. Akasia (Acacia crassicarpa)
b. Ekaliptus (Eucalyptus spp.)
c. Melina (Gmelina sp.)
3. Jadwal kegiatan
Pengaturan jadwal kegiatan rehabilitasi perlu dilakukan secara baik
karena kegiatan rehabilitasi memiliki variasi waktu ideal yang berlainan,
misalnya penanaman pada musim hujan dan pembuatan gundukan
piringan tanam di musim kemarau.
4. Persiapan Pelaksana Penanaman
Sumberdaya Manusia memegang peranan yang sangat penting dalam
kegiatan rehabilitasi sehingga perlu dipersiapkan. Persiapan SDM tidak
hanya penyiapan tenaga kerja dalam jumlah tertentu melainkan juga
pembekalan keterampilan yang memadai sehingga kegiatannya dapat
berupa penyiapan kelembagaan yaitu prakondisi terhadap masyarakat
setempat yang akan terlibat dalam kegiatan rehabilitasi berupa
penyuluhan, pembentukan kelompok tani dan pendampingan.
5. Persiapan bibit
Penyediaan bibit untuk keperluan rehabilitasi rawa gambut dapat
dilakukan dengan pembuatan atau melalui pengadaan bibit.
Untuk menjamin agar pelaksanaan penyediaan bibit berjalan efektif dan
efisien, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Penentuan kebutuhan bibit sesuai rancangan meliputi lokasi
persemaian, jenis, jumlah dan persyaratan bibit, baik untuk kegiatan
penanaman, penyulaman tahun berjalan, maupun untuk penyulaman
pemeliharaan I.
b. Penyusunan tahapan dan jadwal kegiatan penyediaan bibit dengan
memperhatikan waktu tanam di lapangan.
c. Pelaksanaan penyediaan bibit dapat dilakukan melalui : pembuatan
bibit dan/atau pengadaan bibit oleh pihak ketiga/ perusahaan pengada
bibit.
d. Untuk memperoleh mutu bibit yang baik dan mengurangi resiko
kerusakan bibit ke lokasi penanaman, diperlukan tempat pengumpulan
sementara di areal tanam yang sesuai kriteria dan standar mutu.
6. Penataan areal tanam
Kegiatan penataan areal tanam perlu dilakukan karena adanya perilaku
genangan air yang sulit diprediksi dan sering menjadi permasalahan serius
bagi tanaman muda/bibit yang baru ditanam.
Pada persiapan areal tanam beberapa kegiatan yang dilakukan meliputi:
a. Pembuatan batas areal penanaman.
Pembuatan batas areal penanaman sebagaimana tertuang pada BAB IV.
Huruf C.
b. Pengaturan drainase
Keberhasilan rehabilitasi di kawasan bergambut juga ditentukan oleh
fluktuasi muka air tanah gambut. Hal ini memerlukan pengaturan
drainase (water management) pada luasan areal tanam yang dimaksud.
Adapun jenis kegiatan pengaturan drainase dapat berupa 1) pembuatan
parit dengan dimensi tertentu 2) pembuatan kolam air (beje), dan 3)
pembangunan tabat/tebat dalam rangka pengaturan laju drainase


30
(canal blocking). Fungsi lain dari parit, kolam air dan tabat tersebut
dapat digunakan sebagai tempat berkembang biaknya ikan lokal
ekosistem air hitam, baik berkembang biak secara alami maupun
budidaya.
Visualisasi posisi tabat secara melintang dan posisi dilihat dari atas
terhadap sebaran areal yang akan direhabilitasi disajikan pada Gambar
8 dan 9 di bawah ini.

Gambar 8. Letak dan posisi tabat secara melintang

Gambar 9. Letak dan posisi tabat terhadap areal yang akan


direhabilitasi

Posisi kolam air (beje) divisualisasikan pada Gambar 10 di bawah ini


yang disesuaikan dengan komposisi dan posisi areal penanaman.

Hutan Gambut

Lahan Gambut

Beje/kolam

Tabat/Dam
Saluran/

Beje/kolam
Lahan Gambut

Tabat/Dam Pemukiman

Sungai

Gambar 10. Letak dan posisi kolam air (beje) terhadap areal penanaman

Bentuk bangunan tabat dapat berupa tabat papan satu lapis atau tabat
isi. Tabat papan satu lapis hanya terdiri dari satu lapis penahan arus
air yang terbuat dari susunan papan/balok kayu atau terbuat dari

31
plastik. Sedangkan tabat isi dibuat dari dua lapis papan penahan arus
air yang diantara papan tersebut dapat diisi dengan media berupa
tanah gambut, tanah mineral, atau campuran tanah gambut dan
mineral. Permukaan atas media antara pada tabat isi dapat digunakan
sebagai sarana transportasi atau sarana media tanam bagi vegetasi
tertentu. Pada masing-masing jenis bangunan tabat tersebut dibuat
lubang/rongga tempat aliran limpasan/luapan (spillway) sehingga
kontinyuitas aliran dari atas tetap terjaga dan daya dorong aliran air
dapat terukur. Bentuk bangunan tabat disajikan pada Gambar 11, 12,
dan 13.

Gambar 11. Bangunan tabat satu lapis terbuat dari papan/balok kayu
(tampak depan)
Balokpenguat

spillway
Papan

Balokpenguat
(melintang)

Tampak Depan

Gambar 12. Bangunan tabat satu lapis terbuat dari papan plastik tebal
(tampak depan)

32
Gambar 13. Bangunan tabat isi (a) tampak samping (b) tampak depan

Perencanaan pengaturan drainase tersebut dilakukan dengan seksama


dikarenakan sifat lahan gambut yang kering tidak balik (irreversible
drying) dan gejala penurunan lapisan gambut (subsidence). Kegiatan
pengaturan drainase tersebut masuk dalam ranah kegiatan sipil teknis
yang secara detil terdapat pada manual rehabilitasi hutan dan lahan
kawasan bergambut.
c. Pembuatan jalan pemeriksaan
Jalan pemeriksaan dibuat di antara blok satu dengan lainnya. Jalan
pemeriksaan selain dimanfaatkan untuk pemeriksaan juga sekaligus
untuk jalan pengangkutan alat dan bahan-bahan yang diperlukan.
Teknik pembuatannya mengikuti ketentuan pembuatan jalan yang
berlaku dengan ukuran menyesuaikan kondisi lapangan.
d. Pembuatan jalur tanam
Pembuatan jalur tanaman dimulai dengan penentuan arah larikan
tanaman sesuai pola tanam yang telah dirancang pada lokasi dan areal
tanam yang bersangkutan. Selanjutnya penentuan jarak tanam juga
disesuaikan kondisi areal.
e. Pemasangan ajir
Pemasangan ajir sesuai jarak tanam yang ditentukan, dipasang tegak
lurus dan kuat pada areal tanam.
f. Pembuatan gundukan
Pada areal tanam yang kondisi penggenangan ringan pembuatan
gundukan tidak merupakan keharusan. Namun pada areal tanam yang
kondisi penggenangannya sedang dan berat maka perlu dibuat
gundukan pada titik tanam.
Pembuatan gundukan sebaiknya dilakukan pada musim
kemarau/kering sehingga pengambilan material gambut menjadi lebih
mudah. Waktu yang ideal adalah T-2 atau T-3 bulan sebelum

33
penanaman dengan maksud agar gundukan dapat menjadi kompak dan
kuat di musim penghujan. Gundukan tidak boleh terlalu rendah sebab
bibit dapat tergenang air saat musim hujan dan jangan terlalu tinggi
sebab bibit dapat kekurangan air pada musim kemarau. Untuk itu
perlu dipelajari terlebih dahulu fluktuasi dan rata-rata tinggi muka air
tanah di lokasi rehabilitasi. Selanjutnya karena sifat tanah gambut yang
remah maka disekeliling gundukan perlu dibuat pembatas/penahan
agar gundukan tidak longsor atau terkikis saat terjadi banjir. Pembatas
dapat berupa potongan cabang, batang atau material lain yang terdapat
di areal tanam.
g. Penyiapan titik bagi bibit sebagai tempat pengumpulan sementara
sebelum bibit di tanam (di masing-masing areal penanaman).
7. Pengangkutan Bibit
Alat pengangkutan bibit dapat berupa : truk, lori, perahu atau alat
transport lainnya. Persiapan yang matang akan mampu menjamin
ketersediaan alat angkut dalam jumlah yang cukup sesuai kondisi jalan
atau parit, titik bagi bibit dan jumlah bibit yang akan diangkut.
8. Penanaman
Penaman dilakukan pada awal musim hujan. Sebaiknya bibit ditanam
pada pagi atau sore hari untuk mereduksi tingkat stres bibit akibat sinar
matahari.
Beberapa alternatif pola tanaman yang dapat diterapkan yakni :
a. penanaman intensif/merata pada areal yang terbuka,
b. penanaman jalur atau pengayaan pada areal yang penutupan
vegetasinya sedang atau rapat.
Tahapan pekerjaan pada penanaman sebagai berikut.
a. Pembersihan piringan tanam atau gundukan dan pembuatan lubang
tanam.
Kegiatan pembersihan piringan tanam atau gundukan dan pembuatan
lubang tanam dilakukan pada saat akan menanam bibit dimaksudkan
untuk menghilangkan gulma pada gundukan atau titik tanam.
Sedangkan lubang tanam dibuat disesuaikan dengan ukuran bibit yang
akan ditanam.
b. Penyiraman lubang tanam.
Bibit akan mengalami stres bila akarnya langsung menyentuh tanah
yang panas. Karenanya apabila cukup tersedia air di areal tanam maka
dapat terlebih dahulu dilakukan penyiraman air secukupnya ke lubang
tanam.
c. Penanaman bibit.
Kegiatan ini dilakukan dengan cara memasukkan bibit ke lubang
tanam. Perhatikan agar batang bibit tidak terbenam karena lubang
tanam terlalu dalam atau terdapatnya bagian akar yang tidak tertimbun
karena lubang terlalu dangkal. Lubang yang telah ditanami bibit
kemudian ditutup material tanah bekas galian, upayakan bibit tegak
dan tidak goyang.
Jumlah penanaman paling sedikit 400 batang/hektar.
9. Pemeliharaan Tanaman
Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi : penyiangan, penyulaman dan
pengendalian hama dan penyakit. Pemeliharaan tanaman dilakukan
sebagaimana terurai pada BAB IV. Huruf C.
Dalam pengendalian hama, Jenis hama yang sering ditemui di lahan dan
hutan gambut adalah : babi hutan dan rayap (Macrotermes gilvus). Untuk
mengatasi serangan babi hutan dapat dilakukan dengan cara
membersihkan semak belukar di sekitar areal lokasi tanam yang
merupakan habitatnya. Apabila serangan hama babi tidak dapat dielakkan
maka dilakukan upaya penyetruman, peracunan atau perburuan masal.
Untuk mengantisipasi gangguan rayap disarankan untuk melakukan
pembuatan lubang tanam 2-3 hari sebelum bibit ditanam dimaksudkan
agar rayap yang terganggu karena pembuatan lubang tanam akan mencari


34
tempat baru bagi koloninya. Pada kondisi gangguan yang ekstrim dapat
digunakan insektisida secara hati-hati dan terbatas.
10. Perlindungan tanaman
Bahaya yang selalu mengancam pada kawasan bergambut yang telah
terbuka adalah kebakaran hutan dan lahan (forest fire). Sifat api yang
dapat tersimpan cukup lama (latent) dan cenderung merambat melalui
lapisan bawah gambut, merupakan ancaman yang sulit diantisipasi dan
dikendalikan.
Namun demikian perlakuan yang selama ini ditempuh adalah :
a. Membuat parit-parit dan kanal saluran sebagai sekat bakar yang cukup
efektif untuk meredam laju rambatan api di bawah permukaan
b. Membuat kolam air (beje) yang digunakan sebagai cadangan air tatkala
kebakaran hutan dan lahan terjadi
c. Pemilihan jenis tanaman lain tahan terhadap api yang ditanam pada
sekitar blok maupun petak tanam. Jenis tanaman tahan api tersebut
antara lain 1) pohon pisang 2) pohon pinang, dan 3) pohon pepaya
d. Pemadaman manual yang dilakukan oleh kelompok masyarakat
setempat, baik secara swadaya maupun ada insentif dari pemerintah
setempat
11. Standar hasil kegiatan
Jumlah tanaman hasil penanaman RHL pada kawasan bergambut pada
akhir tahun ketiga baik tanaman asal maupun tanaman baru paling
sedikit 600 batang/hektar.
Dalam hal jumlah tanaman tersebut telah tercapai maka tidak dilakukan
pemeliharaan lanjutan.

C. Rehabilitasi Kawasan Bergambut Pola Khusus


Rehabilitasi kawasan bergambut dengan kondisi biofisik atau sosial, ekonomi,
budaya serta jenis tanaman tertentu yang ditetapkan Direktur Jenderal dan
atau kepentingan diseminasi teknologi rehabilitasi dapat dilaksanakan pola
khusus dengan manual tersendiri.

35
BAB VIII
KONSERVASI TANAH DAN AIR

A. Umum
Konservasi tanah dan air atau yang sering disebut pengawetan tanah dan air
merupakan usaha-usaha yang dilakukan untuk menjaga dan meningkatkan
produktifitas tanah, kuantitas dan kualitas air.
Kegiatan konservasi tanah dan air bertujuan untuk menurunkan jumlah
aliran permukaan dan meningkatkan jumlah air tersimpan, mengendalikan
daya rusak aliran permukaan dan memperbaiki kualitas aliran permukaan.

B. Teknik Konservasi Tanah dan Air


Teknik konservasi tanah dan air yang sering dilakukan dalam kegiatan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan adalah:
1. Dam Pengendali
a. Tujuan
Tujuan pembangunan dam pengendali yaitu :
1) Mengendalikan endapan sedimen dan aliran air permukaan yang
berasal dari daerah tangkapan air dibagian hulunya.
2) Menaikkan permukaan air tanah sekitarnya.
3) Tempat persediaan air bagi masyarakat (rumah tangga, irigasi,
ternak dan lain-lain).
b. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi Dam Pengendali merupakan hutan dan lahan yang
termasuk dalam LMU Terpilih, diutamakan pada RHL Prioritas I serta
morfologi DAS bagian tengah dan atau telah ditetapkan dalam RP RHL.
Secara teknis persyaratan site lokasi Dam Pengendali adalah sebagai
berikut:
1) Vegetasi pada daerah tangkapan belum efektif dalam pengendalian
erosi/sedimentasi;
2) Sedimentasi dan erosi sangat tinggi;
3) Struktur tanah stabil (badan bendung);
4) Luas DTA 100 -250 ha;
5) Tinggi badan bendung maksimal 8 meter;
6) Kemiringan rata-rata daerah tangkapan 15-35 %; dan
7) Prioritas pengamanan bangunan vital.
c. Mekanisme Pelaksanaan
1) Persiapan
a) Penyiapan Kelembagaan
(1) Pertemuan dengan masyarakat/kelompok dalam rangka
sosialisasi rencana pelaksanaan pembuatan dam pengendali.
(2) Pembentukan organisasi dan penyusunan program kerja.
b) Penyiapan ganti rugi lahan
Lahan yang terpakai untuk badan bendung, saluran air,
bangunan pelimpah, jalan dan sarana yang lain dapat diganti rugi
sepanjang anggaran tersedia.
c) Pengadaan sarana dan prasarana
Pengadaan peralatan/sarpras diutamakan untuk jenis peralatan
dan bahan habis pakai, yang bertujuan untuk memperlancar
pelaksanaan pekerjaan di lapangan, antara lain :
(1) Pembuatan jalan masuk
(2) Pembuatan gubuk kerja, gubuk material dan papan nama
2) Penataan areal kerja
a) Pembersihan lapangan
b) Pengukuran kembali
c) Pemasangan patok batas

36
3) Pelaksanaan Pembuatan
a) Pembuatan profil bendungan
b) Pengupasan, penggalian dan pondasi bangunan
c) Pembuatan saluran pengelak
d) Pembuatan/pemadatan badan bendung
e) Pembuatan saluran pengambilan dan pintu air
f) Pembuatan bangunan pelimpah (spill way)
g) Pembuatan bangunan lain untuk sarana pengelolaan: jalan
inspeksi
h) Pemasangan gebalan rumput
4) Pemeliharaan
Pemeliharaan bangunan Dam Pengendali (DPi) meliputi :
a) Pemeliharaan badan bendung dan saluran pelimpah serta
saluran pembagi
b) Perbaikan gebalan rumput
5) Organisasi pelaksana
Pelaksana dalam pembuatan Dam Pengendali adalah kelompok
masyarakat atau pihak ketiga didampingi Petugas Lapangan
Kehutanan atau petugas teknis di bawah koordinasi Dinas
Kabupaten/Kota.
6) Jadwal Kegiatan
Tahapan dalam pelaksanaan sesuai dengan jadwal pelaksanaan
yang tertuang dalam rancangan.

Gambar 14. Dam Pengendali

2. Dam Penahan
a. Tujuan
Pembuatan Dam Penahan bertujuan untuk mengendalikan
endapan/sedimentasi dan aliran air permukaan dari daerah tangkapan
air dibagian hulu.
b. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi Dam Penahan merupakan hutan dan lahan yang
termasuk dalam LMU Terpilih, diutamakan pada RHL Prioritas I dan II
serta morfologi DAS bagian hulu dan tengah dan atau telah ditetapkan
dalam RP RHL.
Secara teknis kriteria site lokasi Dam Penahan adalah sebagai berikut:
1) Sedimentasi dan erosi daerah tangkapannya sangat tinggi
2) Pengamanan sumber air/bangunan vital
3) Luas DTA 10-30 ha
4) Kemiringan alur 15-35%.
c. Mekanisme Pelaksanaan
1) Persiapan
a) Penyiapan Kelembagaan
b) Pertemuan dengan masyarakat/kelompok dalam rangka
sosialisasi.

37
c) Pembentukan organisasi dan penyusunan rencana kerja.
2) Pengadaan Sarana dan Prasarana
Pengadaan sarana dan prasaranan (sarpras) diutamakan untuk jenis
peralatan dan bahan habis pakai. Pelaksanaan pekerjaan di
lapangan antara lain :
a) Pembuatan jalan masuk
b) Pembuatan gubuk kerja/gubuk material dan papan nama
3) Penataan areal kerja
a) Pembersihan lapangan
b) Pengukuran kembali
c) Pemasangan patok batas
4) Pelaksanaan Pembuatan
a) Pemasangan profil bangunan
b) Penggalian pondasi bangunan
c) Penganyaman/pembuatan bronjong
d) Pemasangan bronjong
e) Pengisian bronjong
f) Pengikatan bronjong
5) Pemeliharaan
Pemeliharaan bangunan dam penahan meliputi :
a) Pembersihan seresah
b) Pemeliharaan bronjong
6) Organisasi pelaksana
Pelaksana pembuatan dam penahan yaitu kelompok masyarakat
atau pihak ketiga didampingi Petugas Lapangan Kehutanan atau
petugas teknis dibawah koordinasi Dinas Kabupaten/Kota.
7) Jadwal Kegiatan
Tahapan pelaksanaan sesuai dengan jadwal pelaksanaan yang
tertuang dalam rancangan

Gambar 15. Dam Penahan dengan konstruksi kayu/bambu

Gambar 16. Dam Penahan dengan konstruksi anyaman ranting,


kayu/bambu


38
Gambar 17. Dam Penahan dengan konstruksi bronjong kawat

3. Pengendali Jurang (gully plug)


a. Tujuan
Pembangunan Pengendali Jurang (gully plug) bertujuan untuk
memperbaiki lahan yang rusak berupa jurang/parit akibat gerusan air
guna mencegah terjadinya jurang/parit yang semakin besar.
b. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi gully plug merupakan hutan dan lahan yang termasuk
dalam LMU Terpilih, diutamakan pada RHL Prioritas I dan II serta
morfologi DAS bagian hulu dan tengah dan atau telah ditetapkan dalam
RP RHL. Secara teknis kriteria site lokasi gully plug adalah sebagai
berikut:
1) Kemiringan > 30 % dan terjadi erosi parit/alur;
2) Pengelolaan lahan sangat intensif atau lahan terbuka;
3) Sedimentasi tinggi;
4) Curah hujan tinggi;
5) Kemiringan alur maksimal 5%.
c. Mekanisme Pelaksanaan
1) Persiapan
a) Penyiapan Kelembagaan
b) Pertemuan dengan masyarakat/kelompok dalam rangka
sosialisasi
c) Pembentukan organisasi dan penyusunan rencana kerja
2) Pengadaan sarana dan prasarana
Pengadaan peralatan/sapras diutamakan untuk jenis peralatan dan
bahan yang habis pakai. Pembuatan sarana dan prasarana
pelaksanaan pekerjaan di lapangan yaitu:
a) Pembuatan jalan masuk
b) Pembuatan gubuk kerja/gubuk material dan papan nama
3) Penataan areal kerja
a) Pembersihan lapangan
b) Pengukuran kembali
c) Pemasangan patok
d) Pembuatan profil lapangan
4) Pembuatan
a) Stabilisasi ujung jurang dilakukan melalui :
(1) Pembuatan teras-teras dan bangunan terjunan air
(2) Pelandaian lereng
(3) Pembuatan saluran diversi mengelilingi bagian atas
b) Stabilisasi tebing jurang dilakukan melalui :
(1) Pelandaian lereng/tebing
(2) Penguatan lereng/tebing

39
c) Stabilisasi dasar jurang terhadap bangunan pengendali lolos air
dan bangunan pengendali tidak lolos air
d) Pembuatan bangunan pengendali jurang
5) Pemeliharaan.
Pemeliharaan bangunan pengendali jurang meliputi :
a) Pemeliharaan bangunan terjunan dan teras
b) Pemeliharaan saluran diversi
6) Organisasi pelaksana
Sebagai pelaksana pembuatan pengendali jurang adalah kelompok
masyarakat, yang didampingi Penyuluh Kehutanan Lapangan (PKL)
atau petugas teknis pada satuan kerja Dinas Kabupaten/Kota.
7) Tahapan dan Jadwal Kegiatan
Tahapan dalam pelaksanaan sesuai dengan jadwal pelaksanaan
yang tertuang dalam rancangan.

Gambar 18. Pengendali Jurang (Gully Plug)

4. Embung Air
a. Tujuan
Pembangunan embung air ditujukan untuk :
1) Menampung dan mengalirkan air pada kolam penampung
2) Cadangan persediaan air untuk berbagai kebutuhan pada musim
kemarau
b. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi embung air adalah hutan dan lahan yang termasuk
dalam LMU Terpilih, diutamakan pada Daerah kritis dan kekurangan
air (defisit), RHL Prioritas I dan II serta morfologi DAS bagian hulu dan
tengah dan atau telah ditetapkan dalam RP RHL.
Secara teknis kriteria site lokasi embung air adalah sebagai berikut:
1) Topografi bergelombang dengan kemiringan <30%
2) Air tanah sangat dalam
3) Tanah liat berlempung atau lempung berdebu
4) Pembangunan embung air diprioritaskan di dekat lokasi pemukiman
dan lahan pertanian/perkebunan.
5) Lokasi embung dapat dibangun pada hutan dan lahan yang rawan
kebakaran dan kekeringan.

40
Keputusan untuk menetapkan lokasi pembuatan embung dengan
memperhatikan alur proses sebagai berikut :

Dalam > 30 m Pompa air tanah dalam

Air tanah Dangkal < 30 m Pompa sumur pantek

Tekstur ringan Drum dan bak


Permeabel Penampung
Tidak ada

Tekstur liat/ Embung Air


Tidak permeabel

Gambar 19. Alur proses pengambilan keputusan untuk pembuatan


embung air

c. Mekanisme Pelaksanaan
1) Persiapan
Penyiapan acuan dan kelembagaan :
a) Mempelajari rancangan embung yang telah disahkan,
b) Pertemuan dengan masyarakat/kelompok dalam rangka
sosialisasi
c) Pembentukan organisasi dan penyusunan program kerja.
2) Pengadaan dan Pembuatan sarana dan prasarana
Pengadaan peralatan/sapras diutamakan untuk jenis peralatan dan
bahan yang habis pakai, yang bertujuan untuk memperlancar
pelaksanaan pekerjaan antara lain :
a) Pembuatan jalan masuk
b) Pembuatan gubuk kerja/gubuk material
3) Penataan areal kerja
a) Pembersihan lapangan
b) Pengukuran kembali
c) Pemasangan patok /profil
d. Pelaksanaan Pembuatan
1) Penggalian tanah (kemiringan galian 100%, kedalaman 2,5 - 3 m).
2) Pembuatan saluran pelimpah dan saluran pembagi air
3) Pemadatan/pelapisan badan embung air dengan tanah liat, batu
kapur, plastik atau dengan pasangan batu
4) Pemasangan gebalan rumput
e. Pemeliharaan
1) Pemeliharaan gebalan rumput
2) Perbaikan/pemadatan dinding embung air
3) Pengerukan lumpur
f. Organisasi Pelaksana
Sebagai pelaksana pembuatan embung adalah kelompok masyarakat
setempat di bawah koordinasi Dinas Kabupaten/Kota.
g. Jadwal Kegiatan
Tahapan dalam pelaksanaan sesuai dengan jadwal pelaksanaan yang
tertuang dalam rancangan.

41
Gambar 20. Embung Air

5. Sumur Resapan Air (SRA)


a. Tujuan
Tujuan pembangunan Sumur Resapan Air untuk mengurangi aliran
permukaan dan meningkatkan air tanah sebagai upaya untuk
mengembalikan dan mengoptimalkan fungsi sistem tata air Daerah
Aliran Sungai (DAS) sesuai dengan kapasitasnya.
b. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi sumur resapan air yaitu :
1) Daerah pemukiman padat penduduk dengan curah hujan tinggi;
2) Neraca air defisit (kebutuhan > persediaan);
3) Aliran permukaan (run off) tinggi;
4) Vegetasi penutup tanah <30 % ;
5) Tanah porous.
c. Mekanisme Pelaksanaan
1) Persiapan
Penyiapan kelembagaan
a) Pertemuan dengan masyarakat/kelompok dalam rangka
sosialisasi
b) Pembentukan organisasi dan penyusunan program kerja
2) Pembuatan sarana dan prasarana
Pengadaan peralataan/sapras diutamakan untuk jenis peralatan
dan bahan yang habis pakai.
3) Penataan areal kerja
a) Penentuan letak sumur
b) Pembersihan lokasi sumur
c) Pemasangan patok
d. Pelaksanaan Pembuatan
1) Penggalian tanah
2) Pemasangan dinding sumur
3) Pembuatan saluran air
4) Pembuatan bak kontrol
5) Pemasangan talang air
6) Pembuatan saluran pelimpasan
e. Pemeliharaan
Pemeliharaan bangunan sumur resapan air meliputi :
1) Pembersihan pipa saluran air/talang air, bak kontrol dan saluran
pelimpas
2) Pengerukan lumpur
f. Organisasi pelaksana
Pelaksana pembuatan sumur resapan air adalah kelompok masyarakat
setempat di bawah koordinasi Dinas Kabupaten/Kota.

42
g. Jadwal Kegiatan
Tahapan dalam pelaksanaan sesuai dengan jadwal pelaksanaan yang
tertuang dalam rancangan.

Gambar 21. Sumur Resapan Air

6. Rorak
a. Maksud dan Tujuan
Maksud pembuatan rorak merupakan upaya konservasi air dengan
menampung air dan meresapkannya ke dalam tanah sehingga
mengurangi aliran permukaan dan menampung sedimen/endapan
akibat proses erosi.
Tujuan pembuatan rorak adalah yaitu :
1) Mengurangi aliran air permukaan.
2) Meningkatkan proses pengendapan sedimen agar tidak terbawa
aliran air permukaan ke daerah di bawahnya.
3) Menghasilkan kompos bila dikombinasikan dengan mulsa.
4) Meningkatkan air tanah.
b. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi rorak adalah lahan yang termasuk dalam LMU Terpilih,
diutamakan pada RHL Prioritas I dan II serta morfologi DAS bagian
hulu dan tengah atau telah ditetapkan dalam RP RHL.
Secara teknis kriteria site lokasi rorak yaitu:
1) Daerah/ lokasi ini mempunyai aliran permukaan dan tingkat
sedimennya tinggi (lahan pertanian, pekarangan, perkebunan,
hutan, tepi jalan)
2) Kelerengan antara 8% - 25%.
c. Mekanisme Pelaksanaan
Persiapan Lapangan meliputi :
1) Pengukuran kembali
2) Pematokan tanda letak rorak
3) Pengadaan bahan dan alat
d. Pembuatan Rorak
1) Rorak-rorak dibuat di antara tanaman pokok (tanaman
semusim/tahunan/keras).
2) Bentuk rorak dapat berupa lubang-lubang biasa (dangkal atau
dalam) atau berupa saluran buntu (saluran memanjang tetapi tidak
dihubungkan dengan saluran lain atau saluran pembuangan air).
3) Ukuran rorak (lebar dan dalamnya) disesuaikan dengan curah
hujan, jenis tanaman dan keperluannya.
4) Rorak/saluran buntu yang sangat banyak berfungsi juga seperti
sumur peresapan.

43
e. Pemeliharaan
Memindahkan endapan pada rorak kebidang olah.
f. Organisasi Pelaksana
Sebagai pelaksana pembuatan rorak adalah kelompok masyarakat
didampingi penyuluh kehutanan lapangan (PKL) setempat atau petugas
teknis dibawah koordinasi Dinas Kabupaten/Kota.

Gambar 22. Rorak (saluran buntu)

7. Strip Rumput
a. Tujuan
Tujuan pelaksanaan pola penanaman dengan strip rumput (grass
barrier) yaitu untuk memperlambat aliran permukaan dan menahan
tanah/endapan yang tererosi/terbawa aliran sehingga mengurangi laju
erosi, menyediakan pakan ternak dari hasil pemangkasan rumput serta
terbentuknya teras alami karena tanah yang terhanyut ditahan oleh
strip rumput di bawahnya.
b. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi strip rumput merupakan lahan yang termasuk dalam
LMU Terpilih, diutamakan pada RHL Prioritas I dan II serta morfologi
DAS bagian tengah dan hilir dengan kemiringan (15 – 40) % dan atau
telah ditetapkan dalam RP RHL, kondisi tanah miskin unsur hara dan
lahan usaha yang secara intensif diusahakan oleh masyarakat.
c. Mekanisme Pelaksanaan
1) Persiapan Lapangan
a) Penyiapan rancangan teknis
b) Pengukuran kembali
c) Pematokan tanda letak larikan rumput
d) Pengolahan/penggemburan tanah
e) Pengadaan bahan dan alat
2) Pembuatan strip rumput
a) Penanaman rumput searah kontur
b) Pembuatan selokan teras/saluran di bagian atas strip rumput.
c) Penanaman tanaman pokok searah kontur
d. Pemeliharaan
Kegiatan pemeliharaan berupa pemupukan, penyulaman tanaman,
penyemprotan hama dan penyakit serta pembersihan saluran air.
e. Organisasi pelaksana
Pelaksana pembuatan strip rumput adalah kelompok masyarakat
didampingi penyuluh kehutanan lapangan (PKL) dan atau petugas
teknis dibawah koordinasi Dinas Kabupaten/Kota.

44
f. Tahapan dan Jadwal Kegiatan
Tahapan dalam pelaksanaan sesuai dengan jadwal pelaksanaan yang
tertuang dalam rancangan.

Gambar 23. Strip rumput

Tabel 5. Jenis Dan Manfaat Rumput-Rumputan Dalam Rangka Usaha


Konservasi Tanah

Ciri-ciri dan Syarat


No Jenis Manfaat
Tumbuh
1 Rumput Gajah a. Sebagai penutup a. Berumur panjang (6 th
(Pennisetum tanah produktif)
purpureum) b. Rumput potong. b. Tumbuh baik pada
daerah curah hujan >
1000 mm
c. Ditanam disela-sela
tanaman pokok.
d. Penanaman
menggunakan stek atau
sobekan rumpun tua.
2 Rumput Benggala a. Sebagai penutup a. Bentuk mirip tanaman
(Pannincum tanah padi
maximum) b. Rumput potong b. Tumbuh baik di dataran
rendah dengan curah
hujan 100-875 mm.
3 Rumput Mexico Rumput potong a. Berdaun lebar mirip
(Euchlaena maxicana) tanaman jagung.
b. Tumbuh baik didataran
rendah.(0-1200 dpl)
dengan curah hujan 2000
mm.
c. Pertumbuhan lambat jika
curah hujan rendah.
4 Rumput Bede a. Sebagai penutup a. Menjalar membentuk
(Brachiaria tanah. stolon.
decumbens) b. Rumput potong b. Daya adaptasi rendah
c. Penggembalaan c. Dapat hidup didaerah
jika berlereng terjal dan tanah
dipertahankan miskin serta tahan
tetap pendek. injakan.
d. Dapat ditanam ber sama-
sama legume jarak tanam
40x40 cm.

45
Ciri-ciri dan Syarat
No Jenis Manfaat
Tumbuh
5 Rumput Lampung a. Sebagai penutup a. Berumpun, daun lunak
(Setaria sphacelata) tanah dan akar berbulu
b. Rumput potong b. Tumbuh pd daerah
c. Penggembalaan ketinggian 200- 3000 m
dgn curah hujan 760 mm
atau lebih.
c. Dapat ditanam bersama
dengan Legume, Siratro,
Desmodium dan lain-lain
6 Rumput Makari-kari a. Sebagai penutup a. Berumpun tapi tak
(Pannicum coloratum) tanah selebat Setaria sphacelata
b. Rumput potong atau Pannicum maximum
c. Penggembalaan b. Tumbuh pada tanah
struktur berat, tidak
tergenang, dgn curah
hujan 500-760 mm atau
lebih.
c. Dapat ditanam bersama
dengan Legume, Siratro,
Desmodium dan lain-lain
7 Rumput Sudan a. Rumput potong a. Berumur panjang,
(Sorghum sudanense) b. Bahan silase membentuk rumpun.
(pengawetan b. Daun lebat dan kuat,
hijauan pakan halus dan bagian tepi
ternak) dan hay kasar.
(rumput kering c. Tumbuh baik pada
sebagai pakan ketinggian
ternak) 0-1200 m dpl.
d. Tumbuh pada curah
hujan 500-900 mm
e. Dapat ditanam bersama
leguminosa
8 Rumput vetiver/akar Sebagai pengendali a. Mempunyai sistem akar
wangi (Vetiveria erosi/ penutup berserabut yang kuat dan
zizanioides) tanah. dalam.
b. Akarnya beraroma wangi
c. Tahan terhadap hama
dan penyakit.
d. Penanaman
menggunakan stek atau
sobekan rumpun yang
tua.
9 Rumput Signal Penggembalaan a. Umur panjang , tumbuh
(Brachiaria brizantha) Sebagai penutup cepat
tanah b. Batang dan daun kaku
serta kasar
c. Tahan injak dan tahan
kering
d. Responsive terhadap
pemupukan nitrogen
c. Hidup baik pada
ketinggian 0-1200 m
d. Curah hujan 1500 mm
10 Rumput Ruzi a. Penggembalaan a. Umur panjang, tumbuh
(Brachiaria b. Rumput potong vertical dan horizontal.
ruziziensis) untuk bahan hay b. Batang menjalar dan
(rumput kering setiap buku stolon
sebagai pakan tumbuh akar.
ternak) c. Daun lebar dan halus
d. Tumbuh pada ketinggian
0-1000 m
e. Curah hujan 1000 mm.

46
Ciri-ciri dan Syarat
No Jenis Manfaat
Tumbuh
11 Rumput Para a. Penutup tanah a. Tanaman tahunan,
(Brachiaria mutica) b. Penggembalaan tumbuh menjalar.
ringan (domba, b. Setiap buku stolon
kambing) tumbuh akar dan cabang,
batang dan daun berbulu.
c. Tahan genangan air,
tanah masam dan tidak
tahan tanah asin.
12 Rumput Australia a. Penggembalaan a. Tumbuh tegak, tinggi 60-
(Paspalum dilatatum) b. Rumput potong 150 cm.
c. Penutup tanah b. Tahan diinjak, disukai
ternak, gizi tinggi.
c. Perakaran luas dan
dalam, tahan kering
d. Tumbuh pada ketinggian
0-2000 m dengan curah
hujan 900-1200 mm
e. Dapat ditanam bersama
leguminosa
13 Rumput Pangola a. Penggembalaan a. Pertumbuhan cepat dan
(Digitaria decumbens) b. Rumput potong merayap, membentuk
untuk bahan hay hamparan.
(pakan ternak) b. Tumbuh ditempat kering
c. Penutup tanah. ataupun tergenang
c. Tumbuh pada ke tinggian
200-1500 m dan curah
hujan 750–1000 mm atau
lebih
d. Dapat ditanam bersama
Legumenosa.
14 Rumput Rhodes a. Penggembalaan a. Umur panjang, menjalar
(Chloris gayana) b. Penutup tanah dan berkembang dengan
stolon
b. Tahan terhadap
penggembalaan berat dan
disukai ternak
c. Tahan keringtapi tak
tahan naungan.
d. Tumbuh pada ketinggian
0-3000 m dengan curah
hujan 762 –1300 mm
e. Dapat ditanam bersama
leguminosa
15 African Star grass a. Tumbuh tegak dan
(Cynodon menjalar membentuk
plectostachyrus) hamparan
b. Stolon rapat pada tanah
dan tumbuh akar yang
kuat
c. Tahan injak
d. Tumbuh pada dataran
rendah dengan curah
hujan 500-800 mm

8. Perlindungan Kanan-Kiri Tebing Sungai


c. Tujuan
Pembuatan bangunan perlindungan kanan kiri/tebing sungai
bertujuan:
1) Mencegah terjadinya longsor
2) Mencegah erosi masuk ke badan sungai
3) Menekan terjadinya banjir
4) Meningkatkan kualitas air sungai
5) Menekan terjadinya pendangkalan sungai

47
d. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi perlindungan kanan-kiri sungai merupakan hutan dan
lahan yang termasuk dalam LMU Terpilih, diutamakan pada RHL
Prioritas I dan II serta morfologi DAS bagian hulu dan tengah dan atau
telah ditetapkan dalam RP RHL. Sungai yang kanan kiri/tebing
sungainya mudah longsor/erosi, bertebing curam, sempadan sungai
yang gundul dan curah hujan tinggi.
e. Mekanisme Pelaksanaan
1) Persiapan Lapangan
a) Penyiapan rancangan teknis
b) Pengukuran kembali
c) Pematokan tanda letak bangunan kanan kiri/tebing sungai
d) Pengadaan bahan dan alat
e) Pembuatan bangunan perlindungan kanan kiri/tebing sungai
melalui beberapa alternatif atau kombinasi alternatif berikut
sesuai kondisi lapangan.
2) Penanaman rumput, perdu dan pohon yang memiliki perakaran yang
dalam dan tajuk pohon yang rimbun
3) Pemasangan trucuk bambu; dapat menggunakan potongan batang
bambu, maupun langsung menanami dengan bambu
d. Pemeliharaan
1) Penyulaman tanaman baik rumput, perdu maupun pohon yang tidak
tumbuh
2) Perbaikan terhadap trucuk apabila mengalami kerusakan
e. Organisasi Pelaksana
Sebagai pelaksana pembuatan perlindungan kanan/kiri sungai adalah
kelompok masyarakat didampingi penyuluh kehutanan lapangan (PKL)
atau petugas teknis dibawah koordinasi Dinas Kabupaten/Kota.

Gambar 24. Bangunan Perlindungan Kanan Kiri/Tebing Sungai

9. Saluran Pembuangan Air (SPA) dan Bangunan Terjunan Air


a. Tujuan
Pembangunan SPA bertujuan untuk mengarahkan aliran air ke tempat
yang aman dari erosi jurang sekaligus meresapkan air ke dalam tanah.
Pembuatan bangunan terjunan air bertujuan agar air yang jatuh pada
SPA tidak menyebabkan erosi dan menimbulkan longsor.
b. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi SPA dan bangunan terjunan air diutamakan pada lahan
yang termasuk dalam LMU Terpilih, berada pada RHL Prioritas I dan II
serta morfologi DAS bagian tengah dan hilir dengan tingkat kelerengan
cukup curam dan jenis tanah mudah tererosi dan longsor atau telah
ditetapkan dalam RP RHL.


48
c. Mekanisme Pelaksanaan
1) Persiapan Lapangan
a) Persiapan pembuatan SPA yang diperlukan adalah :
(1) Penyiapan rancangan teknis
(2) Pemancangan patok induk tegak lurus kontur yang
merupakan as/poros SPA. Jarak maksimum antara dua patok
5 m.
(3) Pemancangan patok pembantu di kanan/kiri patok induk
untuk menggambarkan lebar atas SPA.
b) Persiapan pembuatan bangunan terjunan yang dilakukan adalah:
(1) Pemancangan patok-patok disepanjang SPA untuk
menentukan letak terjunan, jarak antara dua patok
disesuaikan dengan lebar bidang olah teras.
(2) Letak bangunan terjunan harus lebih ke dalam dari pada talud
teras dan pada tanah asli (bukan tanah urugan).
(3) Penggalian tanah menurut patok yang telah dipancang dengan
arah tegak lurus ke bawah sedalam 0,5-1,5 m diukur dari
bidang olah.
d. Pembuatan
1) Pembuatan bangunan SPA
a) Penggalian tanah sesuai profil yang terbentuk dari patok-patok
pembantu sedalam minimal 50 cm dari bidang olah teras dan
lebar dasar 50 cm sesuai rancangan
b) Dasar SPA pada teras bangku dibuat dengan kemiringan 0,1-
0,5% ke arah luar sehingga perbedaan tinggi dasar saluran yang
berjarak 5 m adalah 0,5-2,5 cm
c) Setiap jarak 1 m sepanjang SPA ditanami gebalan rumput selebar
20 cm melintang SPA .
2) Pembuatan bangunan terjunan
a) Dua atau tiga potong bambu bulat ditanam ke dalam tanah 0,5
m, sedang yang berada dipermukaan saluran dipasang setinggi
bangunan terjunan.
b) Bambu belah dipasang melintang terjunan, kulit bagian luar
bambu diletakan di bagian luar.
c) Pemasangan bambu disusun mulai dari bawah dengan kedua
ujungnya dimasukan ke dalam bagian kanan kiri dinding SPA
dan diikatkan pada bambu bulat.
e. Pemeliharaan
1) Pembersihan saluran dari endapan
2) Perbaikan bambu apabila rusak baik karena sudah lapuk atau
karena akibat lain.
f. Organisasi Pelaksana
Pelaksana pembuatan saluran pembuangan air dan terjunan adalah
kelompok masyarakat didampingi penyuluh kehutanan lapangan (PKL)
atau petugas teknis dibawah koordinasi Dinas Kabupaten/Kota.

49
Gambar 25. SPA dan Bangunan Terjunan

10. Teras
a. Tujuan
Pembangunan teras bertujuan untuk memperkecil aliran permukaan,
menekan erosi, meningkatkan peresapan air ke dalam tanah serta
menampung dan mengendalikan aliran air ke daerah yang lebih rendah
secara aman.
b. Sasaran Lokasi
Secara umum, sasaran lokasi pembuatan teras adalah lahan yang
termasuk dalam LMU Terpilih, diutamakan pada RHL Prioritas I dan II
serta morfologi DAS bagian hulu dan tengah atau telah ditetapkan
dalam RP RHL.
c. Jenis Teras
1) Jenis Teras
a) Teras datar
Teras datar adalah teknik konservasi tanah berupa tanggul tanah
sejajar kontur yang dilengkapi saluran di atas dan di bawah
tanggul, bidang olah tidak diubah dari kelerengan permukaan.
Standar teknis:
(1) Kemiringan lereng < 5 %
(2) Solum tanah dangkal < 30 cm
(3) Drainase baik
(4) Kemiringan tanah olahan tetap
(5) Tanggul tanah ditanami vegetasi/rumput
b) Manfaat
Mengurangi aliran permukaan dan erosi

Gambar 26. Teras Datar




50
2) Teras Gulud
Teras gulud merupakan teknik konservasi tanah berupa guludan
tanah dan saluran air.
a) Standar teknis
(1) Kemiringan lereng 8-40 dan untuk tanaman semusim < 15 %
(2) Guludan ditanami legum atau rumput dan dipangkas secara
reguler
(3) Guludan ditutup dengan mulsa hasil pangkasan
(4) Beda tinggi antar guludan ± 1.25 m
(5) Solum tanah dangkal dan berpasir
(6) Kemiringan bidang olahan diusahakan tetap
(7) Permeabilitas tanah cukup tinggi.
b) Manfaat
(1) Pengendalian erosi dan aliran permukaan
(2) Sumber pakan ternak
(3) Gangguan pada struktur tanah sedikit.

Gambar 27. Teras Gulud

3) Teras Kredit
Teras kredit merupakan teknik konservasi tanah berupa guludan
tanah atau batu sejajar kontur dan bidang olah tidak diubah dari
kelerengan permukaan.
a) Standar teknis
(1) Untuk tanah dangkal lereng 3 – 15 %
(2) Untuk tanah dalam lereng 3 – 40 %
(3) Guludan ditanami tanaman penguat (misal : rumput, legum
dan ditanam secara rapat).
(4) Jarak antar guludan 5 – 12 m
(5) Tidak cocok untuk tanaman peka longsor.
b) Manfaat
(1) pengendalian erosi tanah
(2) pengurangan aliran permukaan.

51
Gambar 28 Teras Kredit

4) Teras individu
Teras individu adalah teknis konservasi tanah berupa teras yang
dibuat hanya pada tempat yang akan ditanami tanaman pokok.
a) Standar teknis
(1) Ukuran teras 1 x 1 m (segi empat)
(2) Ukuran diameter 1 m (lingkaran)
(3) Hanya untuk tanaman berupa pohon
(4) Kemiringan lereng 30 – 50 %
(5) Pada lokasi dengan curah hujan rendah
(6) Tanah di luar teras ditanami tanaman penutup tanah
(7) Untuk lereng yang curam dapat dikombinasikan dengan teknis
konervasi tanah lainnya.
b) Manfaat
(1) Pengendalian erosi tanah
(2) Pengurangan aliran permukaan
(3) Peningkatan air infiltrasi

Gambar 29. Teras Individu

52
5) Teras Kebun
Teras kebun merupakan teknik konservasi tanah berupa teras yang
hanya dibuat pada bidang tanah yang akan ditanami dan searah
kontur.
a) Standar teknis
(1) Kemiringan lereng 10-3- %
(2) Solum tanah > 30 cm
(3) Lebar teras ± 1.5 m
(4) Teras miring kedalam ± 1 %
(5) Di luar teras ditanami tanaman penutup teras
(6) Cocok untuk ditanami tanaman perkebunan/tahunan
(7) Cocok untuk tanah dengan daya serap lambat.
b) Manfaat
(1) Pengendalian erosi tanah
(2) Peningkatan air infiltrasi
(3) Pengurangan aliran permukaan

Gambar 30. Teras Kebun

d. Mekanisme Pelaksanaan
1) Persiapan Lapangan
a) Penyiapan rancangan teknis
b) Pengukuran kembali
c) Pematokan tanda letak tanggul/guludan.
2) Pembuatan teras
a) Pembuatan bangunan utama teras sejajar kontur
b) Penanaman tanaman penguat teras sepanjang kontur
c) Pembuatan bangunan pelengkap (saluran pembuangan air,
saluran pengelak, bangunan terjunan, dll)
e. Pemeliharaan
1) pengerukan tanah yang menimbun selokan kemudian digunakan
untuk memperbaiki guludan.
2) Perbaikan guludan sepanjang larikan tanaman.
3) Penyulaman dan pemangkasan tanaman penguat teras dan tanaman
gulud.
4) Pembersihan jalur teras dari tanaman pengganggu.
f. Organisasi pelaksana
Pelaksana pembuatan teras adalah kelompok masyarakat didampingi
penyuluh kehutanan lapangan (PKL) atau petugas teknis di bawah
koordinasi Dinas Kabupaten/Kota.

53
11. Biofori
a. Tujuan
Lubang Resapan Biopori merupakan teknologi tepat guna dan ramah
lingkungan yang bertujuan untuk mengatasi banjir dengan cara
meningkatkan daya resapan air, mengubah sampah organik menjadi
kompos dan mengurangi emisi gas rumah kaca (CO2 dan metan), dan
memanfaatkan peran aktivitas guna tanah dan akar tanaman dan
mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh genangan air seperti
penyakit demam berdarah dan malaria.
b. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi lobang biofori berupa lahan di perkotaan dengan
perhitungan untuk setiap 100 m2 lahan idealnya Lubang Resapan
Biopori (LRB) dibuat sebanyak 30 titik dengan jarak antara 0,5 - 1 m.
Dengan kedalam 100 cm dan diameter 10 cm setiap lubang bisa
menampung 7,8 liter sampah.
c. Mekanisme Pelaksanaaan
1) Pelaksanaan
a) Pembuatan lubang dengan bor, untuk memudahkan pembuatan
lubang bisa dibantu diberi air agar tanah lebih gembur.
b) Alat bor dimasukkan dan setelah penuh tanah (kurang lebih 10
cm kedalaman tanah) diangkat, untuk dikeluarkan tanahnya, lalu
kembali lagi memperdalam lubang tersebut sampai sebelum
muka air tanah (30 cm sampai dengan 100 cm).
c) LRB dalam alur lurus berjarak 0,5 - 1 m, sementara untuk LRB
pohon cukup dibuat 3 lubang dengan posisi segitiga sama sisi.
d) Pada bibir lubang dilakukan pengerasan dengan semen, dan
dapat digantikan dengan potongan pendek pralon. Hal ini untuk
mencegah terjadinya erosi tanah.
e) Kemudian di bagian atas diberi pengaman besi.
f) Masukkan sampah organik (sisa dapur, sampah kebun/taman)
ke dalam LRB. Jangan memasukkan sampah anorganik (seperti
besi, plastik, baterai, dll)
g) Bila sampah tidak banyak cukup diletakkan di mulut lubang, tapi
bila sampah cukup banyak bisa dibantu dimasukkan dengan
tongkat tumpul, tetapi tidak boleh terlalu padat karena akan
mengganggu proses peresapan air.
2) Pemeliharaan
a) Lubang Resapan Biopori harus selalu terisi sampah organik
b) Sampah organik dapur bisa diambil sebagai kompos setelah dua
minggu, sementara sampah kebun setelah dua bulan. Lama
pembuatan kompos juga tergantung jenis tanah tempat
pembuatan LRB, tanah lempung agak lebih lama proses
kehancurannya. Pengambilan dilakukan dengan alat bor LRB.
c) Bila tidak diambil maka kompos akan terserap oleh tanah, LRB
harus tetap dipantau supaya terisi sampah organik.
d. Organisasi Pelaksana
Pelaksana pembuatan Lubang Resapan Biopori adalah kelompok
masyarakat/perorangan.

54
Gambar 31. Lubang Resapan Biopori

C. Konservasi tanah dan Air Pola Lainnya


Kegiatan konservasi tanah dan air diluar petunjuk teknis ini dapat
dilaksanakan dengan manual tersendiri setelah ditetapkan oleh pejabat yang
berwenang.

55
BAB IX
TATA CARA EVALUASI RHL

A. Tatacara Evaluasi Tanaman


Evaluasi tanaman dimaksudkan untuk mengetahui tingkat keberhasilan
pembuatan tanaman. Sedangkan tujuannya adalah teridentifikasinya kondisi
fisik tanaman sebagai dasar pengelolaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL)
lebih lanjut.
1. Tanaman reboisasi, hutan rakyat, hutan kota dan rawa gambut
a. Satuan Unit Evaluasi
Satuan unit evaluasi tanaman di dalam kawasan hutan adalah petak
tanaman yang ditetapkan dalam rancangan kegiatan, sedangkan di luar
kawasan hutan adalah pada lahan pembuatan tanaman setiap
kelompok tani sesuai rancangan kegiatan.
b. Evaluasi tanaman
Evaluasi tanaman meliputi : pengukuran luas tanaman; jumlah dan
jenis tanaman; serta penghitungan persentase tumbuh tanaman sehat.
Pengukuran luas tanaman dilakukan terhadap realisasi luas
penamanan yang dinyatakan dalam luas areal yang ditanam dalam
satuan Ha dan dibandingkan terhadap rencana luas tanaman sesuai
rancangan.
Pengukuran luas tanaman dilakukan dengan cara memetakan petak
hasil penanaman menggunakan GPS, theodolit atau alat ukur lain.
Hasil pengukuran luas tanaman dituangkan dalam peta dengan skala
1:5.000 atau 1:10.000, dan dihitung luasnya. Hasil perhitungan
selanjutnya direkapitulasi sebagaimana pada Tabel 6.

Tabel 6. Rekapitulasi Hasil Pengukuran Luas Tanaman pada setiap


petak/Lokasi Tanam
Luas Tanaman
Blok/Petak/Unit
No Rencana Realisasi
(Lokasi Tanam)
(Ha) (Ha) %
1 2 3 4 5

Keterangan : Persen realisasi luas tanaman (%) = Hasil Pengukuran x 100 %


Rencana
Evaluasi tanaman dilakukan melalui teknik sampling dengan metode
Systematic Sampling with Random Start, yaitu petak ukur pertama
dibuat secara acak dan petak ukur selanjutnya dibuat secara
sistimatik. Intensitas Sampling (IS) sesuai dengan ketersediaan
anggaran. Penempatan petak ukur seluas 0,1 Ha, berbentuk persegi
panjang (40 m x 25 m) atau berbentuk lingkaran dengan diameter 17,8
m. Jarak antar titik pusat petak ukur disesuaikan dengan besarnya IS
yang digunakan. Apabila IS 5 % maka jarak antar titik pusat petak
ukur adalah 100 m arah Utara - Selatan dan 200 m arah Barat – Timur,
sedangkan untuk memperoleh kualitas hasil pengukuran, jarak antara
petak ukur terluar dengan batas tanaman ditentukan minimum 50 m
dan maksimum 100 m. Dengan demikian hasil sampling yang didapat
akan mampu memenuhi azas keterwakilan dengan Intensitas Sampling
(IS) sebesar 5 % atau setiap petak ukur mewakili 2 ha.

56
Jumlah petak ukur dapat dihitung menggunakan rumus:

 PU = IS x N
n
Dimana:
 PU = Jumlah petak ukur
IS = Intensitas Sampling
N = Luas petak (Ha)
n = Luas petak ukur (Ha)

Sebagai Petunjuk dalam pembuatan petak ukur pelaksanaan penilaian


tanaman, perlu dibuat diagram skema penarikan petak ukur tanaman
yang dipetakan dengan skala 1:10.000. Diagram skema tersebut
mencantumkan koordinat geografis titik ikat yang mudah ditemukan di
lapangan. Contoh pembuatan diagram skema penarikan petak ukur
tanaman berbentuk persegi panjang sebagai berikut :
1) Siapkan peta hasil pengukuran luas tanaman skala 1 : 10.000
2) Tentukan pada peta tersebut titik petak ukur pertama secara acak.
3) Buat garis transek melalui titik petak ukur pertama tersebut, yaitu
garis vertikal dan garis horizontal yang berpotongan pada titik petak
ukur pertama tersebut. Garis vertikal memotong tegak lurus larikan
tanaman dan garis horisontal sejajar larikan tanaman.
4) Buat garis transek berikutnya secara sistimatik terhadap garis
transek pertama dengan jarak antar garis vertikal 2 cm dan jarak
antar garis horisontal 1 cm.
5) Buat petak ukur ukuran 4 mm x 2,5 mm pada garis transek tersebut
dengan titik potong garis transek sebagai titik pusatnya, sehingga
penyebaran letak petak ukur tersebut dapat mewakili seluruh areal
tanaman yang dinilai. Untuk jelasnya sebagaimana pada diagram
skema berikut ini :

1 cm
2 cm

Keterangan :
: Batas areal tanaman

: Petak Ukur Pertama (ditentukan secara acak)


ukuran 4 mm x 2,5 mm

: Petak Ukur berikutnya ditentukan secara


sistematis

Gambar 32. Diagram skema penarikan petak ukur tanaman

57
6) Untuk tanaman pengayaan dilakukan dengan metode purposive
sampling (penarikan petak ukur disengaja), dengan memilih petak
ukur yang memiliki ciri tertentu yang mewakili seluruh populasi.
7) Penentuan tahapan dalam purposive sampling, pada tahap awal
dilakukan pengukuran luas tanaman sekaligus menetapkan
koordinat letak lokasi penanaman. Selanjutnya tentukan dalam peta
letak petak ukur dengan memilih lokasi-lokasi yang dapat mewakili.
8) Bilamana dalam penilaian terdapat lokasi yang terkena bencana
alam, dan mengalami kerusakan dilakukan pengukuran luas, jenis
tanaman dan penyebab kerusakan tanaman
9) Untuk memudahkan pemeriksaan ulang (re-cheking) hasil penilaian
tanaman, di lapangan diberi tanda berupa patok pengenal yang
ujungnya dicat warna merah dan diberi identitas nomor petak ukur
dan tanggal pengamatan pada semua titik sumbu petak ukur.
10) Data dan informasi petak tanaman yang dikumpulkan mencakup:
a) Wilayah administratif pemerintahan (Provinsi, Kabupaten/Kota,
Kecamatan, Desa), DAS/Sub DAS, luas, fungsi kawasan hutan,
Nama register Blok dan Petak Tanaman
b) Data yang dicatat dan diukur pada setiap petak ukur meliputi
data tanaman (jenis tanaman, jumlah tanaman yang hidup, tinggi
tanaman dan kondisi tumbuh tanaman sehat dan data penunjang
(keadaan tumbuhan bawah, kondisi tanah dan gangguan
tanaman, dan fisiografi lahan).
Data tanaman yang hidup pada setiap petak ukur dicatat pada
Tally Sheet seperti pada tabel 7.

58
Tabel 7. Tally Sheet Evaluasi Tanaman
Provinsi : Nama Petugas :
Kabupaten : Nama Kel. Tani :
Kecamatan : Jml Anggota :
Desa : Penyuluh lapangan :
Petak/lokasi : No. Petak Ukur :
DAS/Sub DAS : Intensitas Sampling :
Koordinat : Lembar Ke :
Luas : ....... Ha
Jumlah bibit : ........ Btg
Jenis Kondisi Tanaman Tinggi Keterangan
No Tanaman Sehat Kurang sehat Merana (cm)

1 2 3 4 5 6 7
1 1. Fisiografi Lahan :
2 a. Datar
3 b. Landai
4 c. Agak Curam
5 d. Curam
6 2. Keadaan Tumbuhan Bawah
7 a. Lebat/rapat
8 b. Sedang
9 c. Jarang
10 d. Tidak ada/bersih
11 3. Kondisi Tanah
12 a. Gembur/subur
13 b. Kurang gembur/subur
14 c. kurus
15 d. berbatu
16 4. Gangguan Tanaman
17 a. Penggembalaan
18 b. Kebakaran
19 c. Hama penyakit
dst
...
...
n.
Jumlah
1. Kayu
a. Jati
b. …….
c. ……..
2. MPTS
a. Mangga
b. ……..
c. ……..

Petugas Penilaian,

(...........................)

2. Tanaman penghijauan lingkungan


a. Satuan Lokasi Evaluasi
Satuan unit evaluasi tanaman penghijauan adalah sasaran lokasi yang
ditanami yang ditetapkan dalam rancangan kegiatan.
b. Evaluasi tanaman
Evaluasi persentase tumbuh tanaman dilakukan dengan metode
penghitungan tanaman 100% (sensus). Persentase tumbuh tanaman
dihitung dengan cara membandingkan jumlah tanaman yang tumbuh
dengan rencana jumlah tanaman yang seharusnya ada sesuai dengan
rancangan kegiatan.

59
c. Data dan informasi yang dikumpulkan mencakup:
1) Wilayah administratif pemerintahan (Provinsi, Kabupaten/Kota,
Kecamatan, Desa), dan jumlah tanaman yang ditanam
2) Data pengamatan tanaman penghijauan lingkungan meliputi jumlah
jenis tanaman, tanaman yang hidup dan kondisi tumbuh tanaman
sehat.
3. Agroforestry/Wanatani
a. Evaluasi tanaman meliputi: pengukuran luas tanaman; jumlah dan
jenis tanaman (kayu-kayuan, MPTS); keberhasilan tanaman semusim;
penghitungan persentase tumbuh tanaman pokok.
b. Evaluasi tanaman pokok dan semusim dilakukan di setiap lokasi, di
dalam kawasan hutan dilakukan pada setiap petak tanaman sesuai
dengan rancangan, sedangkan di luar kawasan hutan dilakukan pada
lahan pembuatan tanaman setiap kelompok tani sesuai rancangan.
c. Untuk Evaluasi tanaman pokok dan semusim di dalam dan di luar
kawasan hutan, metode yang dipakai menggunakan metode Systematic
Sampling with Random Start dengan Intensitas Sampling (IS) sesuai
dengan ketersediaan anggaran.
d. Data dan informasi yang dikumpulkan mencakup :
1) Di dalam kawasan hutan adalah wilayah administratif pemerintahan
(Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Desa), nama DAS/Sub DAS,
luas, fungsi kawasan hutan. Sedangkan diluar kawasan hutan
ditambah nama Kelompok Tani, jumlah anggota Kelompok Tani,
tenaga pendamping dan penyuluh.
2) Data pengamatan tanaman petak ukur meliputi jenis tanaman,
tanaman yang hidup dan kondisi tumbuh tanaman sehat.
4. Mangrove/Hutan Pantai
a. Satuan Lokasi Penilaian
Satuan unit evaluasi tanaman rehabilitasi hutan mangrove/pantai di
dalam kawasan hutan adalah petak tanaman yang ditetapkan dalam
rancangan kegiatan yang telah disahkan, sedangkan di luar kawasan
hutan adalah pada lahan pembuatan tanaman setiap kelompok tani
sesuai rancangan kegiatan. Evaluasi tanaman meliputi pengukuran
luas lokasi penanaman, penghitungan jumlah rumpun, jumlah
tanaman per rumpun dan jarak antar rumpun, penghitungan
persentase tumbuh tanaman sehat.
b. Evaluasi tanaman
Untuk Evaluasi tanaman di dalam dan di luar kawasan hutan, metode
yang dipakai menggunakan metode sistem jalur dengan Intensitas
Sampling (IS) sesuai dengan ketersediaan anggaran.
c. Data dan informasi yang dikumpulkan mencakup :
1) Di dalam kawasan hutan adalah wilayah administratif pemerintahan
(Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Desa), nama DAS/Sub DAS,
luas, fungsi kawasan hutan. Sedangkan diluar kawasan hutan
ditambah nama Kelompok Tani, jumlah anggota Kelompok Tani,
tenaga pendamping dan penyuluh.
2) Data pengamatan tanaman petak ukur meliputi jenis tanaman,
tanaman yang hidup dan kondisi tumbuh tanaman sehat.
Data tanaman yang hidup pada setiap jalur tanaman mangrove
dicatat sebagaimana pada pada Tally Sheet seperti pada tabel 7,
namun melihat karakteristik ekosistem nya maka kondisi tanah dan
fisiografi lahan hanya sebagai data pendukung.

60
B. Pengolahan Data
1. Persen tumbuh tanaman
Persen tumbuh tanaman dihitung dengan cara membandingkan jumlah
tanaman yang ada pada suatu petak ukur dengan jumlah tanaman yang
seharusnya ada di dalam petak ukur bersangkutan.

T = ( hi / ni) x 100 %
= (h1 + h2 + .....+ hn) / (n1 + n2 + .... + nn) x 100 %

dimana : T = Persen (%) tumbuh tanaman sehat


hi = Jumlah tanaman sehat yang terdapat pada petak ukur ke i
ni = Jumlah tanaman yang seharusnya ada pada petak ukur ke i
Penilaian terhadap kesehatan tanaman digolongkan dalam 3 (tiga) kriteria,
yaitu sehat, kurang sehat dan merana dengan tanda sebagai berikut :
a. Sehat : Tanaman tumbuh segar, batang lurus dan tajuk menutup
b. Kurang sehat : Tanaman tajuknya menguning atau berwarna tak
normal, batang bengkok-bengkok atau percabangan sangat rendah
c. Merana : Tanaman tumbuhnya tidak normal atau terserang hama
penyakit, sehingga kalau dipelihara kecil kemungkinan akan tumbuh
dengan baik.
2. Tinggi Tanaman
Kerataan tinggi tanaman adalah rata-rata tinggi tanaman yang diperoleh
dengan merata-ratakan tinggi masing-masing individu tanaman
dibandingkan dengan jumlah tanamannya
Tinggi rata-rata per petak ukur dihitung sebagai berikut:

T = ( ti / ni)

dimana:
T = Tinggi rata-rata tanaman dalam petak ukur
ti = Tinggi setiap individu tanaman dalam petak ukur ke i
ni = Jumlah tanaman pada petak ukur ke i
3. Kriteria Pemeliharaan tanaman
Evaluasi tanaman dalam rangka penentuan intensitas pemeliharaan
memperhatikan kriteria pemeliharaan tanaman yang terdiri dari 4 (empat)
kriteria yaitu persen tumbuh tanaman, dan dalam skala kualitatif di
evaluasi keadaan tumbuhan bawah yang dicatat adalah jenis utama dan
kerapatannya (jarang, sedang atau rapat), kondisi tanah (gembur, kurang
gembur, kurus, berbatu) dan gangguan tanaman (ada/tidak ada).
Sebagai panduan untuk menentukan intensitas pemeliharaan per petak
pada evaluasi tanaman memperhatikan kriteria sebagaimana pada Tabel 8
berikut:

Tabel 8. Panduan penentuan intensitas pemeliharaan per petak.


Kriteria
Intensitas % tumbuh Keadaan Kondisi Gangguan
Keterangan
pemeliharaan tanaman tumbuhan Tanah tanaman
bawah
Ringan >90% Tidak Gembur/ Tidak ada Kriteria tambahan
ada- subur yaitu fisiografi lahan :
jarang a. Datar/Landai
b. Agak Curam
Sedang 80% - Sedang Kurang Ada c. Curam
90% gembur

Berat <80% Lebat/ Kurus – Ada


rapat berbatu

61
Hasil evaluasi tanaman pada setiap petak ukur dalam rangka penentuan
intensitas pemeliharaan, kemudian direkapitulasi untuk menentukan hasil
evaluasi per petak selanjutnya hasilnya direkapitulasi sebagaimana pada
Tabel 9.
Tabel 9. Rekapitulasi Persen Tumbuh Tanaman dan intensitas
pemeliharaan pada setiap Petak Tanaman/Lokasi Penanaman
Petak/Lokasi : ..........
Luas : ..........
% Keadaan Kondisi Gangguan Intensitas
No. Petak Tumbuh tumbuhan Tanah tanaman Pemeliharaan
Ukur Tanaman bawah

Rata-
rata

4. Hasil Evaluasi tanaman.


Hasil penilaian tanaman dikelompokkan sesuai dengan jenis kegiatan
penanaman yang dilaksanakan (di dalam dan di luar kawasan hutan).
Sedangkan evaluasi tanaman berdasarkan tujuannya terbagi menjadi dua
jenis yaitu : (1) evaluasi tanaman akhir tahun ke-I untuk mengetahui
persen tumbuh tanaman sekaligus digunakan untuk menentukan
intensitas pemeliharaan; dan (2) evaluasi tanaman akhir tahun ke-III.
a. Hasil penilaian tanaman direkapitulasi dan diklasifikasikan pada
masing-masing petak tanaman.
b. Hasil evaluasi tanaman untuk evaluasi tanaman akhir tahun ke-I dan
evaluasi tanaman akhir tahun ke-III, dinilai keberhasilannya sebagai
berikut :
1) Evaluasi tanaman RHL akhir tahun ke-I, persentase tumbuh
dinyatakan :
a) Berhasil (dapat diterima)  60 %.
b) Tidak berhasil (tidak dapat diterima) < 60%
Khusus untuk hutan kota, persentase tumbuh dinyatakan :
a) Berhasil (dapat diterima)  80%
b) Tidak berhasil (tidak dapat diterima) < 80%
Evaluasi tanaman ini juga dilaksanakan untuk menentukan
intensitas pemeliharaan pada setiap petak tanaman yang
selanjutnya dituangkan dalam rancangan pemeliharaan.
2) Evaluasi tanaman akhir tahun ke-III, hasil kegiatan RHL dapat
diterima dengan kriteria sebagai berikut :
a) Untuk kegiatan reboisasi dan pengayaan tanaman reboisasi,
jumlah tanaman pada akhir tahun ketiga baik tanaman asal
maupun tanaman baru paling sedikit 700 (tujuh ratus)
batang/hektar.
b) Untuk pembangunan hutan rakyat dan pengayaan hutan rakyat,
jumlah tanaman pada akhir tahun ketiga baik tanaman asal
maupun tanaman baru paling sedikit 400 (empat ratus)
batang/hektar.
c) Untuk rehabilitasi hutan mangrove, jumlah tanaman mangrove
pada akhir tahun ketiga baik tanaman asal maupun tanaman
baru paling sedikit 1.100 (seribu seratus) batang/hektar.
d) Untuk rehabilitasi sempadan pantai, jumlah tanaman hasil
rehabilitasi areal sempadan pantai pada akhir tahun ketiga baik
tanaman asal maupun tanaman baru paling sedikit 600
batang/hektar.
e) Untuk penanaman dan pengayaan kawasan bergambut, Jumlah
tanaman hasil penanaman RHL pada kawasan bergambut pada
akhir tahun ketiga baik tanaman asal maupun tanaman baru
paling sedikit 600 (enam ratus) batang/hektar.


62
C. Tata cara evaluasi bangunan konservasi tanah/sipil teknis
1. Evaluasi dilakukan di seluruh lokasi bangunan konservasi tanah yang
dibuat dilakukan dengan cara sensus.
2. Data dan informasi yang dikumpulkan terhadap pembuatan bangunan
konservasi tanah mencakup data administratif pemerintahan (Kabupaten,
Kecamatan, Desa, Nama Lokasi), nama DAS/Sub DAS, koordinat lokasi,
jenis bangunan konservasi tanah, kapasitas bangunan konservasi tanah.
3. Kriteria penilaian terhadap pembuatan bangunan konservasi tanah adalah
berfungsi, kurang berfungsi, tidak berfungsi (gagal).
4. Sasaran penilaian bangunan konservasi tanah adalah dam pengendali,
dam penahan, sumur resapan, gully plug, embung, dan lain-lain sesuai
dengan lokasi dan jenis kegiatan yang tercantum dalam rancangan pada
setiap desa.
5. Evaluasi dilaksanakan dengan mengamati langsung bangunan konservasi
tanah sesui jenis kegiatannya, membandingkan dengan rancangan
6. Melakukan pencatatan terhadap jumlah bangunan konservasi tanah
sesuai dengan jenis bangunan, kondisinya (baik, rusak) dan sesuai
fungsinya (berfungsi dan tidak berfungsi) dalam wilayah desa tersebut.
7. Untuk mengetahui kondisi bangunan konservasi tanah digunakan 3
kriteria, yaitu berfungsi, kurang berfungsi dan tidak berfungsi.

63
BAB X
PENGHAPUSAN TANAMAN GAGAL/RUSAK

A. Maksud dan Tujuan


Maksud penghapusan tanaman gagal/rusak adalah untuk memperoleh
kepastian hukum tentang hasil kegiatan penanaman RHL yang dinyatakan
gagal/rusak setelah dilakukan pemeriksaan. Sedangkan tujuannya adalah
untuk memperoleh kepastian hasil tanaman kegiatan RHL yang akurat,
transparan dan akuntabel untuk memudahkan perencanaan kegiatan RHL
pada masa yang akan datang.

B. Ruang Lingkup
Ruang lingkup tata cara penghapusan tanaman gagal/rusak hasil kegiatan
RHL meliputi:
1. Kriteria dan indikator tanaman gagal/rusak;
2. Penetapan tanaman gagal/rusak; dan
3. Penghapusan tanaman gagal/rusak.

C. Kriteria
Kriteria tanaman gagal/rusak meliputi:
1. Tanaman yang tidak memenuhi jumlah atau target sesuai standar
keberhasilan yang ditetapkan; dan
2. Tanaman yang secara ekonomis, ekologis dan sosial tidak menguntungkan
untuk dikelola lebih lanjut sebagai hutan tanaman.
3. Indikator tanaman gagal/rusak meliputi:
a. Tanaman gagal apabila jumlah tanaman yang hidup setelah dievaluasi
kurang dari:
1) 700 (tujuh ratus) batang/hektar yang terdiri dari tanaman asal dan
tanaman baru, untuk kegiatan reboisasi dan pengayaan tanaman
reboisasi.
2) 400 (empat ratus) batang/hektar yang terdiri dari tanaman asal dan
tanaman baru, untuk pembangunan hutan rakyat dan pengayaan
hutan rakyat,
3) 1.100 (seribu seratus) batang/hektar yang terdiri dari tanaman asal
dan tanaman baru, untuk rehabilitasi hutan mangrove,
4) 600 batang/hektar yang terdiri dari tanaman asal dan tanaman baru
untuk rehabilitasi sempadan pantai, serta untuk penanaman dan
pengayaan kawasan bergambut.
b. Tanaman rusak yang disebabkan oleh alam maupun faktor lain
(manusia, pencurian, hama penyakit, penggembalaan) yang jumlah
tanaman hidupnya kurang dari jumlah tanaman sebagaimana pada
butir a diatas.
4. Mekanisme penetapan tanaman gagal/rusak
a. Laporan kerusakan tanaman sebagaimana dimaksud dapat dibuat oleh
aparat pemerintah setempat, petugas lapangan atau oleh masyarakat.
b. Pemeriksaan terhadap tanaman gagal dilakukan berdasarkan adanya
laporan kerusakan tanaman yang disampaikan kepada satuan kerja.
c. Satuan Kerja sebagaimana dimaksud terdiri dari :
1) Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal BPDASPS.
2) Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal PHKA.
3) Dinas Provinsi yang diserahi tugas dan tanggungjawab bidang
Kehutanan.
4) Dinas Kabupaten/Kota yang diserahi tugas dan tanggungjawab
bidang Kehutanan.
d. Berdasarkan laporan yang diterima satuan kerja membentuk Tim
pemeriksa dengan susunan Tim Pemeriksa terdiri dari Ketua
merangkap anggota dan anggota yang terdiri dari unsur-unsur sebagai
berikut:

64
1) Petugas teknis yang kompeten dalam melakukan pemeriksaan
dengan melibatkan unsur-unsur terkait, dalam hal laporan
tanaman gagal disebabkan oleh pertumbuhan tanaman tidak
memenuhi standar keberhasilan tanaman,
2) Petugas teknis ditambah PPNS dan/atau Polisi Kehutanan dan/atau
Polisi Negara dalam hal laporan kerusakan tanaman terjadi karena
keadaan kahar, ketidakpatuhan, kelalaian dan kesengajaan dalam
kegagalan tanaman diproses sesuai Peraturan Perundangan.
e. Pemeriksa mempunyai tugas:
1) mengevaluasi persentase tumbuh tanaman;
2) mengukur luas tanaman rusak; dan
3) melakukan pemetaan tanaman rusak dengan skala 1:10.000,
4) memeriksa penyebab terjadinya kerusakan tanaman dan
menghitung kerugian tanaman.
Hasil pemeriksaan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan yang
ditandatangani oleh Tim.
f. Pengusulan penetapan tanaman gagal/rusak
Berdasarkan hasil penilaian tim pemeriksa dan telah memenuhi kriteria
dan indikator sebagai tanaman gagal/rusak, maka Satuan Kerja
mengusulkan penetapan tanaman gagal/rusak. Usulan penetapan
tanaman gagal/rusak dilakukan oleh Kepala Satuan Kerja dengan
didasarkan berita acara yang dibuat oleh Tim pemeriksa.
Usulan penetapan tanaman gagal/rusak dilaksanakan oleh masing-
masing satuan kerja dengan prosedur sebagai berikut:
1) Usulan penetapan tanaman gagal/rusak kegiatan yang menjadi
tanggung jawab Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal BPDAS
PS diajukan oleh Kepala Unit Pelaksana Teknis yang bersangkutan
kepada Direktur Jenderal BPDAS PS sebagai penanggung jawab
program RHL.
2) Usulan penetapan tanaman gagal/rusak kegiatan yang menjadi
tanggung jawab Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal PHKA
diajukan oleh Kepala Unit Pelaksana Teknis yang bersangkutan
kepada Direktur Jenderal BPDAS PS sebagai penanggung jawab
program RHL dan ditembuskan kepada Direktur Jenderal PHKA.
3) Usulan penetapan tanaman gagal/rusak kegiatan yang menjadi
tanggung jawab Dinas Provinsi diajukan oleh Kepala Dinas Provinsi
yang bersangkutan kepada Gubernur.
4) Usulan penetapan tanaman gagal/rusak kegiatan yang menjadi
tanggung jawab Dinas Kabupaten/Kota diajukan oleh Kepala Dinas
Kabupaten/Kota yang bersangkutan kepada Bupati/Walikota.
g. Prosedur klarifikasi
1) Pembentukan Tim Klarifikasi
Atas dasar usulan penetapan tanaman gagal/rusak maka dibentuk
Tim Klarifikasi dengan susunan Tim terdiri dari Ketua merangkap
anggota dan Anggota. Tim terdiri dari:
a) Tim Klarifikasi Pusat, ditetapkan oleh Direktur Jenderal BPDAS
PS, berdasarkan usulan dari Unit Pelaksana Teknis Direktorat
Jenderal BPDAS PS dan/atau PHKA.
b) Tim Klarifikasi Provinsi, ditetapkan oleh Gubernur, berdasarkan
usulan dari Dinas Provinsi.
c) Tim Klarifikasi Kabupaten/Kota, ditetapkan oleh Bupati/Walikota
berdasarkan usulan dari Dinas Kabupaten/Kota.
2) Tim Klarifikasi bertugas :
a) Memeriksa keabsahan data dan informasi yang diajukan oleh
pengusul baik secara administratif maupun kondisi fisik
lapangan;
b) Membuat laporan berdasarkan hasil pemeriksaan; dan
c) Memberikan rekomendasi kepada Direktur Jenderal BPDAS PS,
Gubernur, atau Bupati/Walikota.

65
h. Penetapan tanaman gagal/rusak
1) Berdasarkan rekomendasi yang disampaikan oleh Tim Klarifikasi
maka Direktur Jenderal BPDAS PS, Gubernur, atau Bupati/Walikota
dapat menerima atau menolak usulan penetapan tanaman gagal.
2) Dalam hal usulan penghapusan tanaman gagal/rusak diterima,
Direktur Jenderal BPDAS PS, Gubernur, atau Bupati/Walikota
menetapkan tanaman yang diusulkan menjadi tanaman
gagal/rusak, dengan Surat Ketetapan.
3) Surat Ketetapan tanaman gagal/rusak yang diterbitkan Direktur
Jenderal BPDAS PS disampaikan kepada Unit Pelaksana Teknis
Direktorat Jenderal BPDAS PS dan Unit Pelaksana Teknis Direktorat
Jenderal PHKA, dengan tembusan Direktur Jenderal PHKA,
Inspektur Jenderal Kementerian Kehutanan dan Sekretaris Jenderal
Kementerian Kehutanan.
4) Surat Ketetapan tanaman gagal/rusak yang diterbitkan oleh
Gubernur disampaikan kepada Dinas Provinsi dengan tembusan
Direktur Jenderal BPDAS PS, Inspektur Jenderal Kementerian
Kehutanan dan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan.
5) Surat Ketetapan tanaman gagal/rusak yang diterbitkan oleh Bupati
disampaikan kepada Dinas Kabupaten/Kota dengan tembusan
Direktur Jenderal BPDAS PS, Inspektur Jenderal Kementerian
Kehutanan dan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan.
6) Dalam hal usulan penetapan tanaman gagal/rusak ditolak, Direktur
Jenderal BPDAS PS, Gubernur, atau Bupati/Walikota
menyampaikan pemberitahuan penolakan penetapan tanaman
gagal/rusak kepada pengusul.
5. Mekanisme penghapusan tanaman gagal/rusak
a. Berdasarkan Surat Ketetapan tanaman gagal/rusak yang diterbitkan
oleh Direktur Jenderal BPDAS PS, Kepala Unit Pelaksana Teknis
Direktorat Jenderal BPDAS PS dan/atau Kepala Unit Pelaksana Teknis
Direktorat Jenderal PHKA menindaklanjuti dengan melakukan
penghapusan tanaman pada daftar pelaksanaan kegiatan yang ada
pada masing-masing Unit Pelaksana Teknis. Tanaman gagal/rusak
yang telah dihapuskan oleh Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal
BPDAS PS dilaporkan kepada Direktur Jenderal BPDAS PS, dan
tanaman gagal/rusak yang telah dihapuskan Unit Pelaksana Teknis
Direktorat Jenderal PHKA dilaporkan kepada Direktur Jenderal BPDAS
PS dan Direktur Jenderal PHKA.
b. Berdasarkan Surat Ketetapan tanaman gagal/rusak yang diterbitkan
oleh Gubernur, Kepala Dinas Provinsi menindaklanjuti dengan
melakukan penghapusan tanaman pada daftar pelaksanaan kegiatan
yang ada pada Dinas Provinsi. Tanaman gagal/rusak yang telah
dihapuskan oleh Kepala Dinas Provinsi dilaporkan kepada Gubernur
dengan tembusan Direktur Jenderal BPDAS PS.
c. Berdasarkan Surat Ketetapan tanaman gagal/rusak yang diterbitkan
oleh Bupati, Kepala Dinas Kabupaten/Kota menindaklanjuti dengan
melakukan penghapusan tanaman pada daftar pelaksanaan kegiatan
yang ada pada Dinas Kabupaten/Kota. Tanaman gagal/rusak yang
telah dihapuskan oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota dilaporkan
kepada Bupati dengan tembusan Direktur Jenderal BPDAS PS.
d. Lokasi tanaman gagal/rusak yang telah dihapus selanjutnya dapat
dialokasikan kembali menjadi rencana kegiatan RHL pada periode
berikutnya.

66
BAB XI
PENUTUP

67

Anda mungkin juga menyukai