Anda di halaman 1dari 21

BAB I

ANALISIS OBAT DALAM CAIRAN HAYATI

A. Tujuan
Agar mahasiswa dapat memahami langkah – langkah analisis obat didalam cairan hayati.
B. Dasar Teori
Ketersediaan hayati suatu obat dapat diukur dengan menentukan kadar obat utuh dan /
metabolitnya didalam cairan hayati (darah, urin, saliva, atau cairan tubuh lainnya). Parameter
– parameter yang berguna dalam penentuan ketersediaan hayati suatu obat meliputi data
plasma, data urin, efek farmakologi akut, respon klinik. Ketersediaan hayati dilakukan baik
terhadap bahan aktif yang telah disetujui maupun obat dengan efek terapeutik yang belum
disetujui oleh FDA untuk dipasarkan (Syukri, 2002).
Ketersediaan hayati digunakan untuk memberikan gambaran mengenai keadaan dan
kecepatan obat diabsorbsi dari bentuk sediaan dan digambarkan dengan kurva kadar – waktu
setelah obat diminum dan berada pada jaringan biologik atau larutan seperti darah dan urin.
Data ketersediaan hayati dapat pula digunakan untuk menentukan :
a) Jumlah atau bagian obat yang diabsorbsi dari bentuk sediaan
b) Kecepatan obat diabsorbsi
c) Masa kerja obat berada didalam cairan biologik atau jaringan, bila dihubungkan dengan
respon pasien
d) Hubungan antara kadar obat dalam darah dengan efektivitas terapi/efektoksik (Anief,
2002)
Pengukuran konsentrasi obat di darah, serum, atau plasma adalah pendekatan secara
langsung yang paling baik untuk menilai ketersediaan hayati obat di tubuh. Darah mengandung
elemen seluler mencakup sel darah merah, sel darah putih, keping darah, dan protein seperti
albumin dan globulin. Pada umumnya serum atau plasma digunakan untuk pengukuran obat.
Untuk mendapatkan serum, darah dibekukan dan serum diambil dari supernatan setelah
disentrifugasi. Plasma diperoleh dari supernatan darah yang disentrifugasi dengan ditambahkan
antikoagulan seperti heparin. (Shargel, 1999). Pengetahuan tentang konsentrasi obat dalam
serum dapat menjelaskan mengapa seorang penderita tidak memberikan reaksi terhadap terapi
obat, atau mengapa penderita mengalami suatu efek yang idak diinginkan. Sebagai tambahan,
praktisi mungkin ingin menjelaskan ketelitian dari aturan dosis.
Metode analisis yang digunakan untuk penetapan kadar obat dalam serum hendaknya telah
sahih, berkenaan dengan hal-hal berikut seperti spesifitas, linieritas, kepekaan, ketepatan,

1|Modul Praktikum Biofarmasetika


ketelitian, dan stabilitas (Sahrgel, 1985). Persyaratan yang dituntut bagi suatu metode analisa
adalah jika metode tersebut dapat memberikan nilai perolehan kembali yang tinggi (75-90%
atau lebih), kesalahan acak dan sistematik kurang dari 10%. Kepekaan dan selektivitas
merupakan kriteria lain yang penting dan nilainya tergantung pula dari alat pengukur yang
dipakai.
Dalam praktikum dilakukan penentuan jangka waktu obat larutan obat yang memberikan
resapan tetap (khusus untuk reaksi warna), pembuatan kurva baku, perhitungan nilai perolehan
kembali, kesalahan acak dan kesalahan sistemik.
C. Alat dan Bahan
1. Alat :
- Labu takar
- Pipet volume 1, 2, 5 mL
- Spektrofotometer & kuvet
- Skalpel / silet
- Sentrifuge
- Stopwatch
2. Bahan :
- Natrium Salisilat
- Asam Klorida 1 N
- Merkuri Klorid
- Ferri Nitrat
- Antikoagulan (Larutan kalium oksalat 2% dengan dosis 20 mg kalium oksalat / 10 mL
darah )
D. Prosedur Kerja
Metode Spektrofotometri dengan Pereaksi Trinder
Pembuatan Pereaksi Trinder
a. Timbang merkuri klorida sebanyak 8 gram, ferri nitrat sebanyak 8 gram, tambahkan 24
mL HCl 1 N dan aquadest ad 200 mL.
Prosedur Analisa
1. Pembuatan Kurva Baku
a. Sediakan 2 larutan Na salisilat dalam air suling :
Larutan A : 1 mg/mL dan Larutan B : 4 mg/mL
b. Buatlah satu seri larutan salisilat dengan kadar 100 µg/mL dan 1000 µg/mL
menggunakan larutan A; 400 µg/mL dan 800 µg/mL menggunakan larutan B.

2|Modul Praktikum Biofarmasetika


c. Tambahkan 0,5 mL darah yang sudah diberi antikoagulan.
d. Tambahkan 0,5 mL pereaksi Trinder. Campur baik – baik.
e. Campuran tersebut disentrifuge selama 5 menit dengan kecepatan 2500 rpm.
f. Ambil supernatant yang jernih dan baca serapannya dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 540 nm.

2. Menentukan Perolehan Kembali, Kesalahan Acak,Dan Kesalahan Sistemik


- Sediakan larutan salisilat plasma 50 dan 200 µg/mL, masing – masing 3 replikasi.
- Kedalam 0,5 mL plasma yang telah diberi antikoagulan, tambahkan pereaksi trinder
dan seterusnya diproses seperti pada butir d sampai dengan f pada pembuatan kurva
baku.
- Bandingkan dengan larutan baku salisilat, dan tentukan kadar masing – masing / hitung
kadar rata – rata dan simpangan bakunya.

2. Perhitungan Kembali (Recovery) dan Kesalahan Sistemik untuk tiap besaran kadar.
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑇𝑒𝑟𝑢𝑘𝑢𝑟
Perolehan Kembali (P%) = x 100 %
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐷𝑖𝑘𝑒𝑡𝑎ℎ𝑢𝑖

Kesalahan Sistemik = 100 – P%


Catatan :
Perolehan kembali merupakan tolok ukur efisiensi analisis, sedangkan kesalahan sistemik
merupakan tolok ukur inakurasi penetapan kadar.
3. Kesalahan Acak
Hitung kesalahan acak (random analytical error) untuk tiap besaran kadar.
𝑆𝑖𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝐵𝑎𝑘𝑢
Kesalahan Acak = x 100 %
𝐻𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎

Catatan :
Kesalahan acak merupakan tolok ukur imprecision suatu analisis dan dapat bersifat positif
atau negatif. Kesalahan acak identik dengan variabilitas pengukuran dan dicerminkan oleh
tetapan variasi.
BAB II
KECEPATAN DISOLUSI INTRINSIK

A. Tujuan
Agar mahasiswa dapat mengetahui pengaruh parameter jenis kristal (polimorfi, hidrat,
solvat) dari bahan obat terhadap kecepatan disolusi intrisiknya sebagai preformulasi untuk
bentuk sediaannya.
B. Dasar Teori
Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat
aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanaya ditetapkan oleh kecepatan pelepasan
zat aktif dari bentuk sediaannya. Pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan biasanya ditentukan
oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya.
Fase biofarmasetika dapat diuraikan dalam tiga tahap, yaitu : tahap pelepasan (Liberasi),
pelarutan (Disolusi), dan Absorbsi (Penyerapan). Fase biofarmasetika dapat digambarkan
sebagai berikut :
L D A
Dispersi Dispersi
padatan zat molekuler zat Darah
aktif aktif
Obat = zat aktif + zat
pembawa
Gambar 1. Fase Biofarmasetika
Disolusi merupakan proses dimana suatu bahan kimia atau obat menjadi terlarut dalam
suatu pelarut. Dalam sistem biologi pelarutan obat dalam media “aqueous” merupakan suatu
bagian penting sebelum kondisi sistemik. Laju pelarutan obat dengan kelarutan dalam air
sangat kecil dari bentuk sediaan padat yang utuh atau terdisintegrasi dalam saluran cerna
sering mengendalikan laju absorbsi sistemik obat (Shargel dkk., 2005).
Terdapat hubungan yang bermakna antara kecepatan disolusi berbagai bahan obat dari
sediaannya dan absorbsinya. Partikel halus akan terdisolusi (melarut) dan memungkinkan
terjadinya transport bahan aktif terlarut melalui proses difusi. Tahapan semacam ini bervariasi
tergantung dari metode atau teknologi pembuatan obat. Obat – obat yang memiliki kecepatan
disolusi intrinsik kurang dari 0.1 mg/ menit cm2 biasanya menimbulkan masalah serius pada
absorbsinya. Sedangkan obat – obat yang memiliki kecepatan disolusi intrinsik lebih besar dari
1,0 mg/menit.cm2, pada umumnya kecepatan disolusi bukan menjadi langkah penentu, tetapi
kecepatan absorbsinya (Kaplan, 1973).

6
Studi kecepatan disolusi intrinsik ini sudah diawali sejak tahun 1897 oleh Noyes &
Whitney dengan menggunakan bahan asam benzoat dan timbal klorida, yang kemudian
diperoleh persamaan Noyes – Whitney sebagai berikut :
dC
= K.S. (Cs – C )
dt

(1)
Keterangan :
dC/dt = Kecepatan disolusi bahan obat
K = Tetapan kecepatan disolusi
S = Luas permukaan bahan obat yang terdisolusi
Cs = Kelarutan bahan obat (jenuh)
C = Kadar bahan obat yang terlarut dalam cairan medium
Dari persamaan tersebut diatas terlihat bahwa kecepatan disolusi berbanding lurus dengan
luas permukaan bahan obat dan kelarutannya. Persamaan ini merupakan turunan dari
persamaan Fick Pertama, yang secara matematik dinyatakan dengan :
𝑑𝐶
J = - D.𝑑𝑥

(2)
Keterangan :
J = Fluks bahan obat, yaitu jumlah bahan obat yang lewat per satuan
waktu, melalui suatu satuan luas dengan arah tegak lurus (mg cm2 det-1)
D = Koefisien difusi
dC/dx = Gradien kadar

6
Pada jarak (x) = h cm dari permukaan bahan obat yang terdisolusi akan berlaku persamaan
𝑑𝐶 𝐶−𝐶𝑠
: = (3)
𝑑𝑥 ℎ

Dengan memasukkan persamaan (3) ke persamaan (2) diperoleh persamaan :


𝐷 (𝐶−𝐶𝑠)
J= (4)

Selanjutnya persamaan (4) dapat diubah menjadi :


𝑑𝑚 𝐷 (𝐶𝑠−𝐶)
= (5)
𝑑𝑡 𝑆 ℎ
𝑑𝑚 𝑉.𝑑𝐶 𝐷 . 𝑆 (𝐶𝑠−𝐶)
= = (6)
𝑑𝑡 𝑑𝑡 ℎ
𝑑𝐶 𝐷. 𝑆
= (Cs – C) (7)
𝑑𝑡 𝑉. ℎ

Pada persamaan (7), jika D/V. H diganti K (karena masing – masing merupakan tetapan) maka
hasilnya akan identik dengan persamaan (1).
Parameter yang mempengaruhi kecepatan disolusi antara lain :
1) Polimorfisme
Merupakan sifat dimana suatu zat kimia tunggal bisa berada dalam lebih dari satu
kristal.
 Bentuk kristal yang berbeda akan memiliki kestabilan yang berbeda, serta titik
lebur dan kelarutan yang juga berbeda sehingga kecepatan disolusinya pun
berbeda.
 Bentuk amorf umumnya memiliki kelarutan yang lebih baik daripada bentuk
kristalnya, sedangkan bentuk kristal cenderung lebih stabil daripada bentuk
amorfnya. Karena diperlukan banyak energi untuk menyusun molekul dalam
susunan kristal dibandingkan untuk menyusun molekul dalam keadaan amorf yang
tidak teratur.
 Fenomena polimorfisa yang banyak terdapat dalam senyawa organik dan mineral
mulai dikenal seja temuan Huay.

2) Keadaan hidrasi
Bentuk molekul hidrat/ anhidrat juga mempengaruhi sifat kelarutan obat, dimana
bentuk hidrat memiliki bentuk kelarutan yang lebih kecil dibandingkan dengan bentuk
anhidratnya. Dengan kata lain senyawa anhidrat lebih larut dari bentuk trihidrat
sehingga dengan demikian kadar obat didalam darah lebih cepat diperoleh dari bentuk
anhidrat (Shargel, 1998).

11
Perbedaan bentuk kristal inilah yang akan dipelajari dalam percobaan ini, yaitu dengan
dilakukan proses rekristalisasi bahan obat dengan menggunakan jenis pelarut yang
berbeda karena dapat menghasilkan bentuk kristal yang berbeda juga.
C. Alat dan Bahan
a. Alat :
- Timbangan analitik
- Alat gelas yang lazim
- Dissolution tester
- Stopwatch
- Jangka sorong
- Mesin pencetak tablet
- Spektrofotometer & kuvet

b. Bahan :
- Pelarut (Etanol 95% . chloroform)
- Bahan obat : Acetosal
- Medium disolusi (dapar acetat pH 4,5)
- Vaselin
D. Prosedur Kerja
 Uji Disolusi
- Lakukan rekristalisasi asetosal dengan pelarut etanol 95% dan chloroform
- Cetak hasil rekristalisasi mejadi tablet A (Hasil rekristalisasi dengan etanol 95%)
dan tablet B (hasil rekristalisasi dengan pelarut chloroform)
- Ukur diameter tablet dan timbang bobot tablet
- Oles tablet dengan vaselin pada seluruh permukaan kecuali satu bagian
permukaan tablet
- Pengujian Disolusi : masukkan tablet hasil rekristalisasi asetosal ke dalam
dissolution tester dengan medium disolusi dapar asetat pH 4,5 sebanyak 500 mL.
Lakukan sampling tiap 15 menit sebanyak 10 mL dan tiap kali sampling larutan
dapar diganti dengan volume yang sama agar medium disolusi tetap 500 mL.
- Tentukan kadar sampel dengan spektrofotometer pada panjang gelombang = 265
nm dengan blangko dapar asetat

11
 Pembuatan Kurva Baku Asetosal
- Timbang dengan seksama 140 mg asetosal
- Larutkan asetosal dengan alkohol 95% beberapa tetes dalam labu takar 50 mL,
kemudian tambahkan dapar asetat ad tanda batas (larutan stok)
- Ambil larutan stok diatas dengan pipet volume sebanyak 1mL; 1,5 mL; 2 mL; 2,5
mL; 3 mL; 3,5 mL. Masing – masing dimasukkan dalam labu takar 50 mL dan
tambahkan larutan dapar ad tanda batas
- Baca absorbansi masing – masing larutan pada panjang gelombang = 265 nm
dengan blangko dapar asetat
- Buat persamaan kurva baku acetosal antara konsentrasi (x) vs absorbansi (y)

 Pembuatan Larutan Dapar Asetat pH 4,5 0,05 M Sebanyak 1000 mL


- Timbang 2,99 gram Na Acetat lalu tambahkan 1,66 mL asam acetat glacial (dalam
labu takar 1000 mL), dan tambahkan aquadest ad tanda batas.

E. DATA PERCOBAAN
1. Identitas Tablet
Tablet A : .............................................................................................
a. Nama Bahan Obat :
b. Pelarut :
c. Diameter Tablet :
d. Bobot Tablet :
Tablet B : ..............................................................................................
a. Nama Bahan Obat :
b. Pelarut :
c. Diameter Tablet :
d. Bobot Tablet :

2. Kondisi Uji Disolusi


Tablet A : .................................................................................................
a. Medium Disolusi :
b. Kecepatan putar :
c. Waktu mulai analisa :
d. Pembacaan pada panjang gelombang :

11
Tablet B : .................................................................................................
a. Medium Disolusi :
b. Kecepatan putar :
c. Waktu mulai analisa :
d. Pembacaan pada panjang gelombang :

3. Data Sampling
Volume tiap kali sampling = ................... mL
Waktu Absorbansi (A0) Faktor
No.
(Menit) Tablet A Tablet B Pengenceran

4. Data Kurva Baku


Konsentrasi Absorbansi
mg % (A0)

Data regresi linier hubungan Konsentrasi (mg%) vs Absorbansi :


a=
b=
r=
Persamaan Kurva Baku : y = a + bx

11
BAB III
ABSORBSI OBAT SECARA IN VITRO

A. Tujuan Percobaan
Agar mahasiswa mempelajari pengaruh pH terhadap absorbsi obat melalui saluran
pencernaan secara in vitro.
B. Dasar Teori
Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat ke dalam
tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati sawar biologic. Absorpsi obat
adalah peran yang terpenting untuk akhirnya menentukan efektivitas obat (Joenoes, 2002).
Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja di jaringan atau organ, obat tersebut harus
melewati berbagai membran sel. Pada umumnya, membran sel mempunyai struktur lipoprotein
yang bertindak sebagai membran lipid semipermeabel (Shargel and Yu, 1988). Sebelum obat
diabsorpsi, terlebih dahulu obat itu larut dalam cairan biologis. Kelarutan serta cepat-lambatnya
melarut menentukan banyaknya obat terabsorpsi. Dalam hal pemberian obat per oral, cairan
biologis utama adalah cairan gastrointestinal, dari sini melalui membrane biologis obat masuk
ke peredaran sistemik (Joenoes, 2002). Setelah obat memasuki sirkulasi sistemik obat
didistribusikan ke jaringan tubuh. Penetrasi obat ke dalam jaringan bergantung pada laju aliran
darah ke jaringan, karakteristik pasrisi antara darah dan jaringan tercapai (Sinko, 2012).
Umumnya obat diabsorbsi di saluran cerna secara pasif, yaitu tanpa diperlukan suatu energi
karena adanya gaya pendorong dari perbedaan konsentrasi (dari konsentrasi tinggi menuju ke
konsentrasi rendah).
Pada obat yang diberikan secara peroral absorbsi obat dapat terjadi pada saluran cerna.
Absorpsi obat dari saluran pencernaan ke dalam darah umumnya terjadi setelah obat tersebut
larut dalam cairan di sekeliling membran tempat terjadinya absorbsi. Obat – obat yang
ditransport secara difusi hanyalah yang larut dalam lipida. Makin baik kelarutannya dalam
lipida makin baik absorbsinya sampai suatu absorbsi optimal tercapai.Adapun, faktor yang
mempengaruhi absorbsi obat pada saluran pencernaan, antara lain :
a. pH pada Saluran Pencernaan : karena absorbsi obat dipengaruhi oleh derajat
ionisasinya. Sebagian besar obat merupakan asam atau basa lemah. Menurut
b. Handerson Hasselbach, derajat ionisasi bergantung pada pH larutan dan pKa obat,
seperti terlihat pada persamaan berikut :
𝐹𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖 𝑂𝑏𝑎𝑡 𝑇𝑒𝑟𝑖𝑜𝑛𝑘𝑎𝑛
Untuk suatu asam pH = pKa + log 𝐹𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖 𝑂𝑏𝑎𝑡 𝑡𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑟𝑖𝑜𝑛𝑘𝑎𝑛
𝐹𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖 𝑂𝑏𝑎𝑡 𝑇𝑒𝑟𝑖𝑜𝑛𝑘𝑎𝑛
Untuk suatu basa pH = pKa - log 𝐹𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖 𝑂𝑏𝑎𝑡 𝑡𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑟𝑖𝑜𝑛𝑘𝑎𝑛

Dari persamaan tersebut diatas, dapat secara teoritis untuk menentukan jumlah relatif
dari suatu obat dalam bentuk tidak terion pada berbagai kondisi pH.
c. Permeabilitas Membran Difusi
Untuk obat yang ditranspor secara difusi pasif, peranan dinding usus hanya sebagai
membran difusi. Studi absorpsi in vivo dimaksudkan untuk memperoleh informasi
tentang mekanisme absorpsi suatu bahan obat, tempat terjadi absorpsi yang optimal,
permeabilitas membran saluran pencernaan terhadap berbagai obat serta pengaruh
berbagai faktor terhadap absorpsi suatu obat.
Membran sel lebih permeabel terhadap bentuk obat yang tak terionkan daripada bentuk
terionkan, hal ini disebabkan karena membran sel tersusun dari lapisan rangkap
(bilayer) dari molekul lipid yang diselubungi oleh lapisan protein.
Menurut Turner dkk, permeabilitas membran biologi terhadap suatu obat dapat
digambarkan oleh koefisien partisinya dan mempunyai hubungan linier dengan
kecepaatan absorbsinya, yang dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :
𝑑𝑄𝑏 1
= Dm. Am. Pm/s (Cg – Cb) 𝛿𝑋𝑚
𝑑𝑡

Keterangan :
dQb/dt = Kecepatan transpor obat ke kompartemen dalam (darah)
Dm = Tetapan kecepatan difusi obat melalui membran
Am = Luas membran yang digunakan untuk berdifusi
δXm = Ketebalan membran
Cg = Kadar obat dalam kompartemen luar (usus) pada waktu t
Cb = Kadar obat dalam kompartemen dalam (darah) pada waktu t
Pm/s = Koefisien partisi obat dalam membran pelarut
Untuk obat – obat yang struktur dan tempat absorbsinya tertentu, maka kecepatan absorbsi
hanya ditentukan gradien kadar obat diantara kedua permukaan membran, yang memisahkan
lumen saluran pencernaan dengan plasma darah, sehingga persamaan diatas dapat
disederhanakan menjadi :
𝑑𝑄𝑏
= Pm (Cg – Cb)
𝑑𝑡

15
1
dimana Pm = Dm. Am. Pm/s (Cg – Cb) 𝛿𝑋𝑚 , Pm disebut sebagai permeabilitas membran. Jika

Cb dapat diabaikan karena Cb << Cg, maka persamaan diatas disederhanakan menjadi (hasil
integrasinya) :
Qb = Pm. Cg. T
Dimana Qb = jumlah obat yang ditranspor dari kompartemen luar ke kompartemen dalam
dalam selang waktu t.
Kurva hubungan jumlah obat yang diranspor sebagai fungsi waktu akan memberikan garis
linier dengan angka arah K = Pm.Cg dan lag time yaitu harga perpotongan garis dengan sumbu
t. Bahan obat yang memiliki lag time kurang dari 15 menit biasanya menimbulkan masalah
pada proses transpor melalui membrn biologis.
Pada praktikum kali ini kita membatasi pembahasan pada pengaruh pH pada lumen
gastrointestinal terhadap absorbsi obat melalui saluran pencernaan secara in vitro.
C. Alat dan Bahan
a. Alat :
- Tabung Crane dan Wilson yang dimodifikasi (gambar terlampir)
- Alat gelas yang lazim
- Water Bath
- Timbangan analitik
- pH meter
- Alat – alat untuk operasi
- Spektrofotometer & kuvet

Gambar Tabung Crane dan Wilson yang dimodifikasi


b. Bahan :
- Usus
- Cairran usus buatan tanpa pencreatinin (pH 7,5)
- Larutan NaCl fisiologis (0,9 % b/v)

15
- Asam salisilat
- Gas oksigen
- Alkohol
D. Prosedur Kerja
1. Pembuatan Larutan Baku
- Timbang ± 14 mg asetosal lalu masukkan dalam labu takar 50 mL dan encerkan
dengan dapar ad tanda batas
- Dari larutan tersebut dipipet 2 mL dan masukkan dalam labu taka 50 mL lalu
encerkan dengan dapar ad tanda batas
- Baca absorbansinya pada panjang gelombang = 265 nm, gunakan blanko dapar
asetat
2. Pembuatan Dapar Asetat pH 4,5 0.05 M sebanyak 1000 mL
- Timbang Na Asetat sebanyak 2,99 g dan tambahkan 1,66 mL asam asetat glasial
dalam labu takar 1000 mL kemudian ad aquadest hingga batas.
3. Pengujian Absorbsi In Vitro
- Timbang asam salisilat 500 mg lalu tambahkan aquadest 100 mL dan masukkan
dalam usus halus sapi yang sudah dicuci bersih, bagian ujung ditali.
- Masukkan Usus halus sapi tersebut dalam media disolusi larutan dapar 500 mL.
Dan setiap 15 menit diambil larutan uji 2 mL kemudian masukkan dalam labu takar
10 mL. Kemudian, encerkan dengan dapar ad tanda batas (larutan uji).
- Baca absorbansinya pada panjang gelombang = 265 nm, gunakan blanko dapar
asetat.
Perhitungan Kadar Asam Asetil Salisilat :
Au Cb
Q = V x Fu x Ab x Ke x 100%

Keterangan :
Q = Kadar asam asetil salisilat
V = Volume media disolusi
Fu = Faktor pengenceran cuplikan
Au = Serapan larutan uji
Ab = Serapan larutan baku
Cb = Kadar asam salisilat pada larutan ba (mg/mL)
Ke = Kadar asetosal (mg)

15
E. Data Percobaan
A. Kondisi Analisa

Keterangan Dalam Cairan Lambung Dalam Cairan Usus


a. Nama bahan obat :
................................

B. Data Absorbansi
T Absorbansi Larutan Uji Absorbansi Larutan Baku
(menit) Di Lambung Di Usus Di Lambung Di Usus

15
BAB IV
ABSORBSI OBAT SECARA IN SITU

A. Tujuan Percobaan
Agar mahasiswa mempelajari pengaruh pH terhadap absorbsi obat melalui difusi pasif dan
percobaan dilakukan secara in situ.
B. Dasar Teori
Percobaan absorbsi obat secara in situ melalui usus halus didasarkan atas penentuan
kecepatan hilangnya obat dari lumen usus halus setelah larutan obat dengan kadar tertentu
dilewatkan melalui lumen usus halus secara perfusi dengan kecepatan tertentu. Cara ini dikenal
pula dengan nama teknik perfusi, karena usus dilubangi untuk masuknya ujung kanul, satu
kanul di bagian ujung atas usus untuk masuknya sampel cairan percobaan dan satu lagi bagian
bawah untuk keluarnya cairan tersebut.
Cara ini didasarkan atas asumsi bahwa obat yang dicobakan stabil, tidak mengalami
metbolisme dalam lumen usus, sehingga hilangnya obat dari lumen usus akan muncul dalam
darah atau plasma darah, atau dengan perkataan lain hilangnya obat dari lumen usus tersebut
adalah karena proses absorbsi. Bagi obat-obat yang berupa asam lemah atau basa lemah,
pengaruh PH terhadap kecepatan absorbsi sangat besar, karena PH akan menentukan besarnya
fraksi obat dalam bentuk tak terionkan. Bentuk ini yang dapat terabsorbsi secara baik melalui
mekanisme difusi pasif.
Metode ini dapat digunakan untuk mempelajari berbagai factor yang dapat berpengaruh
pada permeabilitas dinding usus dari berebagai macam obat. Pengembangan lebih lanjut dapat
digunakan untuk merancang obat dalam upaya mengoptimalkan kecepatan absorbsinya melalui
pembentukan prodrug, khususnya untuk obat-obat yang sangat sulit atau praktis tidak dapat
terabsorbsi. Melalui metode ini akan dapat diungkapkan pula besarnya permeabilitas membran
usus terhadap obat melalui lipoid pathway, pori, dan aqueous boundary layer.
Metode Trough and Trough merupakan salah satu cara pengobatan in situ. Cara ini
dilakukan dengan menentukan fraksi obat yang terabsorbsi, setelah larutan obat dialirkan
melalui lumen intestine yang panjangnya tertentu dan kecepatan alirnya tertentu pula. Dalam
keadaan tunak proses absorbsi dapat dinyatakan dengan persamaan :
𝑄 C(1)
Papp = 2.𝑟.𝑙 ln C (0)
Keterangan :
C(0) = Kadar larutan obat mula-mula
C(1) = Kadar larutan obat setelah dialirkan melalui intestine sepanjang 1 cm.
r = jari jari usus
l = Panjang usus dalam cm
Q = Kecepatan alir larutan obat dalam mL.menit-1
Papp = Tetapan permeabilitas semu

19
C. Alat dan Bahan
a. Alat :
- Kanula satu set
- Alat gelas yang lazim
- Cutter listrik
- Timer /jam
- Gelas piala besar (tempat untuk anestesi)
- Alat – alat untuk operasi (meja operasi, gunting, pinset, benang, penggaris)
- Pompa peristaltik
- Spektrofotometer & kuvet
- Timbangan hewan percobaan
b. Bahan :
- Cairan lambung buatan (CLB) tanpa enzim
- Cairan usus buatan (CUB) tanpa enzim
- Larutan paracetamol pada CLB dan CUB tanpa enzim
- Larutan NaCl fisiologis (0,9 % b/v)
- Tikus putih jantan dengan berat 150 – 170 gram
- Larutan eter
D. Prosedur Kerja
Lakukan percobaan absorbsi in situ parasetamol per oral. Percobaan dilakukan dalam dua
kondisi uji yaitu pada kondisi asam menggunakan CLB tanpa enzim dengan pH 1,2 dan kondisi
normal-basa menggunakan CUB tanpa enzim pH 7,4. Kadar parasetamol di ukur menggunakan
metode spektrofotometeri UV.
a. Buatlah larutan CLB tanpa enzim dan CUB tanpa enzim masing masing sebanyak 1 liter
(petunjuk pembuatan CLB dan CUB silahkan cari dalam farmakope Indonesia edisi IV)
b. Buat kurva baku parasetamol dalam CLB dan CUB tanpa enzim dengan kadar 0,2 mg/mL,
0,4 mg/mL, 0,6 mg/mL, 0,8 mg/mL dan 1 mg/mL.(sebelumnya lakukan pencarian panjang
gelombang maksimum parasetamol dalam CLB dan CUB tanpa enzim)
c. Larutkan 500 mg parasetamol masing masing dalam larutan CLB dan CUB tanpa enzim
500 mL.
d. Tetapkan kadar parasetamol dalam CLB dan CUB sebagai konsentrasi awal (C0).
- Pipet masing masing-masing 2,0 mL larutan parasetamol dari larutan parasetamol
dalam CLB dan CUB tanpa enzim (point 3)

19
- Ukur absorbansi masing masing menggunakan panjang gelombang maksimun yang
sudah dicari (point 2)
- Hitung kadar parasetamol menggunakan persamaan kurva kaliberasi yang didapat
dari pekerjaan point 2.
e. Percobaan Absorbsi pada tikus teranastesi.
- Gunakan dua ekot tikus putih jantan, tikus pertama digunakan untuk uji
menggunakan CLB dan tikus kedua digunakan untuk uji menggunakan CUB.
- Tikus dipuasakan selama 24 jam, hanya boleh diberi minum
- Lakukan anastesi tikus menggunakan eter.
- Sepanjang linea medina perut tikus dibedah sampai jelas terlihat bagian ususnya
- Cari bagian lambung, ukur 15 cm dari lambung ke arah anal menggunakan benang,
dengan hati-hati dibuat lubang dan kanul dimasukkan dan ditali dengan benang.
Pemasangan kanul sedemikian rupa sehingga ujungnya mengarah ke bagian
anal.Kanul dihubungkan dengan selang infus menuju labu infus berisi CLB dan
CUB.
- Dari ujung kanul ini usus diukur lagi dengan pertolongan benang ke arah anal
sepanjang 20 cm, dan disitu dibuat lubang kedua, selanjutnya dipasang pula kanul
kedua dengan ujung kanul mengarah ke bagian oral dari usus dengan benang. Kanul
berhubungan dengan selang infus menuju gelas kimia.
- Buka kran infus dan biarkan CUB atau CLB mengalir melalui usus dan keluar
sampai ke gelas kimia, sampai cairan yang keluar jernih
- Ganti labu infus menggunakan CUB atau CLB yang mengandung parasetamol
- Aliri usus selama 30 menit
- Catat volume CUB atau CLB yang tertampung dalam gelas kimia dan tentukan
kecepatan alirnya (Q) = volume terukur / 30 menit
- Potong usus tikus antara kedua ujung dan ukur panjangnya menggunakan
penggaris. Data yang terukur sebagai l
- Ikat ujung usus dan masukkan aquades melalui ujung yang lain sampai usus
menggelembung
- Ukur diameter usus menggunakan jangka sorong dan tentukan jari-jarinya (r)
f. Penetapan kadar parasetamol dalam CUB atau CLB yang tertampung sebagai konsentrasi
akhir (C1)
- Pipet sebanyak 2,0 mL CUB atau CLB yang tertampung dalam gelas kimia

19
- Ukur absorbansi masing masing menggunakan panjang gelombang maksimun yang
sudah dicari (point 2)
- Hitung kadar parasetamol menggunakan persamaan kurva kaliberasi yang didapat
dari pekerjaan point 2.
g. Perhitungan Papp
- Hitung Papp (CUB) dan Papp (CLB) menggunakan data yang telah didapat dengan
memasukkan pada persamaan yang tertera pada teori dasar.
- Bandingkan kedua Papp tersebut
- Analisis data tersebut
E. Data Percobaan
Kurva kaliberasi parasetamol dalam CLB tanpa enzim
Kadar Parasetamol (ppm) Absorbansi

Panjang gelombang maksimum =.........


Rumus Y = bx +a Y = .............................
Kurva kalibrasi parasetamol dalam CUB tanpa enzim
Kadar Parasetamol (ppm) Absorbansi

19
BAB V
PERBANDINGAN BIOAVAILABILITAS
SEDIAAN TABLET LEPAS LAMBAT DAN TABLET BIASA

A. Tujuan Percobaan
Agar mahasiswa mengetahui bioavaibilitas antara sediaan tablet lepas lambat dengan
tablet biasa.
B. Dasar Teori
Bioavailabilitas (ketersediaan hayati) merupakan presentase dan kecepatan zat aktif dalam
suatu produk obat yang mencapai / tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh / aktif
setelah pemberian produk obat tersebut. Bioavailabilitas dapat diukur kadarnya dalam darah
terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam urin (Anonim, 2004 b).
Penggunaan obat secara oral dengan dosis berulang dimaksudkan untuk mendapatkan
kadar terapi obat dalam darah dan jaringan untuk jangka waktu yang lama dan tetap berada
dalam darah terapi (antara Konsentrasi Efektif Minimum/ KEM dan Konsentrasi Toksik
Minimum / KTM).
Penggunaan obat semacam ini diperlukan oleh banyak penyakit misalnya pada pengobatan
gangguan tekanan darah, gangguan sistem jantung, dan lain sebagainya. Tetapi, pemberian
dosis berulang pada pasien seringkali menimbulkan berbagai masalah yang diakibatkan oleh
ketidak patuhan pasien dalam mengkonsumsi obat seperti dosis yang kurang (under dose)
karena pasien telat mengkonsumsi obat dari yang telah dijadwalkan sehingga mengakibatkan
obat tidak bekerja secara efektif. Sebaliknya jika pasien terlalu cepat mengkonsumsi obat dari
yang telah dijadwalkan akan mengakibatkan toksisitas karena kelebihan dosis (over dose).
Untuk meminimalkan kasus tersebut diatas, maka dengan adanya perkembangan teknologi
dibuatlah suatu sediaan obat dengan sistem pelepasan terkendali, karena obat “controlled
release” atau “sustained release” memungkinkan pasien untuk hanya sekali mengkonsumsi
obat dalam sehari sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat.
Sistem pelepasan terkendali memungkinkan obat tetap berada dalam kadar terapi dalam jangka
panjang sehingga masalah under dose dan over dose dapat diatasi. Pemberian obat dengan
sistem pelepasan terkendali juga untuk menjamin kerja farmakologi yang homogen,
mengurangi efek samping obat yang merugikan serta mampu membuat lebih rendah biaya
harian pasien karena lebih sedikit dosis yang harus digunakan. Akan tetapi, sistem pelepasan
terkendali tidak bisa diterapkan pada semua jenis obat karena hanya dengan karakteristik
tertentu yang memungkinkan dibuat menjadi sediaan “controlled release” atau “sustained

23
release” , diantaranya untuk obat dengan waktu paruh eliminasi yang pendek, obat yang
memiliki dosis terapi kecil dan untuk obat dengan indeks terapi sempit. Sedangkan untuk obat
yang tidak dapat dibuat tablet dengan sistem pelepasan terkendali adalah obat dengan dosis
pemberian yang besar, obat dengan dosis yang dibutuhkan harus tepat untuk tiap orang serta
untuk obat yang tidak diabsorbsi secara efektif dalam bagian bawah usus halus.
Teknologi pembuatan untuk obat dengan sistem pelepasan terkendali antara lain :
- Butir / granul salut, yaitu : dibuat suatu tablet dengan butir – butir granul dengan
ketebalan penyalutan yang berbeda – beda
- Pengisian obat ke matriks yang terkikis perlahan – lahan
- Dibuat suatu pompa osmotic (OROS) : tablet dilapisi suatu membran semipermiable
dan berlobang membran memungkinkan air masuk dan melarutkan obatnya kemudian
adanya suatu tekanan yang dibuat guna mendorong / memompa larutan obat tadi keluar
lubang
C. Alat dan Bahan
a. Alat :
- Alat gelas yang lazim
- Spektrofotometer & kuvet
b. Bahan :
- Sampel urin dari probandus yang telah diminum :
 Vitamin C (tablet vit. C biasa)
 Tablet vit. C lepas lambat
- Aquades
- Vitamin C serbuk
D. Prosedur Kerja
1. Pembuatan Kurva Baku
- Membuat larutan stok vit. C 0,01% b/v
- Membuat seri konsentrasi larutan vit. C (diencerkan dengan aquadest) 0,0012 % b/v
; 0,0008 % b/v ; 0,0004 % b/v ; 0,0002 % b/v
- Mengukur absorbansi larutan tersebut pada panjang gelombang = 265 nm
- Membuat persamaan regresi linier konsentrasi (x) vs Absorbansi (y)

2. Sampling Urin Dan Pengukuran Kadar Vitamin C

23
- Probandus minum vit. C satu kali dosis (catat waktunya) dan berpuasa semalaman
dengan hanya diperbolehkan minum air yang cukup
- Menampung tiap kali mengurin dan mencatat waktunya serta mengukur volume
urin yang keluar (tiap kali mengurin ditaruh pada wadah yang berbeda dan dilabeli
waktu dan volumenya)
- Tiap sampel urin dipipet sebanyak 10 mL dan dimasukkan dalam tabung reaksi.
- Mengukur absorbansinya pada panjang gelombang = 265 nm
E. Data Percobaan
a. Kurva Baku Vitamin C
Konsentrasi (%) Absorbansi (A0)

Persamaan kurva baku Vitamin C : ......................................................


b. Absorbansi Sampel
T (Waktu) Volume (mL) Absorbansi (A0)

23

Anda mungkin juga menyukai