Anda di halaman 1dari 108

METODE ELEMEN HINGGA

MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan


rahmat serta hidayah-Nya dalam penyelesaian modul ajar
Metode Elemen Hingga ini. Mata kuliah Metode Elemen Hingga
memiliki 2 mata kuliah prasyarat yaitu Matematika Teknik I dan
Mekanika Kekuatan bahan II. Tujuan dari perkuliahan ini adalah
agar mahasiswa mampu menjelaskan konsep dasar metode
elemen hingga dan memformulasikan problem teknik dalam
model serta dapat menyelesaikan pemodelan problem tersebut
dalam struktur, frame, shell/plat pada matra garis, 2D, 3D.
Materi dalam modul ini disampaikan dengan ringkas, sehingga
pembaca tetap diharapkan mempelajari buku-buku yang telah
dijadikan sumber pustaka dari modul ini.
Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kami sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu dalam suksesnya penulisan modul ini. Semoga amal
baik semua pihak yang terlibat dalam kegiatan ini diterima oleh
Allah SWT, dan semoga modul ini bisa memberikan kontribusi
dalam pendidikan nasional.

Malang, Desember 2014

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron


Dr.Eng. Anindito Purnowidodo
Khairul Anam, MSc.

i
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

DAFTAR ISI

PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I. PENDAHULUAN 1
BAB II. METODE KEKAKUAN/PERPINDAHAN 11
BAB III. PERSAMAAN DAN MATRIK KEKAKUAN UNTUK
STRUKTUR 31
BAB IV. KEMIRINGAN DAN LENDUTAN PADA BATANG 63
BAB V. DEFLEKSI/LENDUTAN (SPECIAL CASES) 74
BAB VI. STRUKTUR 89
DAFTAR PUSTAKA
RPKPS

ii
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Sejarah Pekembangan Metode Elemen Hingga

Metode Elemen Hingga, selanjutnya disebut sebagai MEH, adalah metode


numerik yang digunakan untuk memecahkan permasalahan dalam bidang
rekayasa atau pun bidang fisik lainnya. Permasalahan-permasalahan dalam bidang
rekayasa yang dapat dipecahkan dengan metodei ini adalah meliputi analisa
struktur, analisa tegangan, perpindahan panas dan masa, dan medan
elektromagnetik.
Permasalahan-permsalahan yang melibatkan bentuk geometri, kondisi
pembebanan dan sifat mekanik material yang komplek tidak mungkin untuk
dipecahkan dengan menggunakan persamaan atau rumus matematis yang biasanya
disebut dengan penyelesaian analitis. Penyelesaian analitis ini umumnya
memerlukan penyelesaian persamaan deferensial parsial. Oleh karena itu, metode
numerik seperti MEH adalah metode yang banyak digunakan untuk memecahkan
permasalahan-permasalahan yang komplek tersebut. Hasil yang diperoleh dengan
menggunakan metode MEH ini adalah berupa harga pendekatan dari sejumlah
titik atau node pada kontinum bodi. Maka dalam pemodelan di dalam MEH, suatu
bodi dibagi menjadi beberapa bodi atau unit yang lebih kecil yang disebut dengan
elemen, yang mana elemen-element tersebut saling berhubungan dengan elemen
lain pada titik-titik simpul elemen atau dikenal dengan node. Proses pembagian ini
disebut dengan diskritisasi.
Perkembangan penggunaan MEH dimulai pada masa-masa perang dunia II,
sekitar tahun 1940 an. Pada tahun 1941, Hrennikoff dan McHenry (1943)
menggunakan elemen satu dimensi berupa elemen garis, yang sekarang dikenal
sebagai elemen batang, untuk menganalisa tegangan pada suatu struktur.
Selanjutnya, Courant mengenalkan interpolasi atau fungsi, dan metode kekakuan
atau metode perpindahan baru dikembangkan pada tahun 1947 oleh Levy. Metode
ini sangat menjanjikan dan berguna untuk analisa statika pada struktur pesawat.
Pada masa-masa tersebut dilakukan secara manual atau tanpa menggunakan alat

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
1
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

bantu seperti pada masa saat ini. MEH menjadi semakin populer untuk digunakan
setelah dikembangkannya prosesor kecepatan tinggi pada komputer.
Analisa dua dimensi menggunakan MEH pertama kali dikenalkan oleh
Tuner dan kawan pada tahun 1956. Mereka berhasil menurunkan matrik untuk
element truss, element batang, dan elemen-elemen untuk analisa kasus-kasus dua
dimensi seperti element segitiga dan segi empat pada kondisi tegangan bisang.
Disamping itu, Tuner dan kawan-kawan mengenalkan prosedur yang dikenal
sebagai metode kekakuan langsung ( direct stiffness method ) dan matrik
kekakuan struktrur. Bersama dengan perkembangan teknologi komputer, hasil
kerja dari Tuner dkk menjadi perintis perkembangan persamaan kekakuan elemen
hingga yang diekspresikan dalam notasi matrik. Istilah metode elemen hingga
pertama kali dikenalkan oleh Clough pada tahun 1960 ketika elemen-elemen
segitiga dan segi empat digunakan untuk analisa tegangan bidang (plane stress).
Selanjutnya semenjak itu dikembangkan elemen-elemen yang berbentuk tiga
dimensi seperti tetrahedral. Umumnya sebagian besar perkembangan elemen
hingga pada tahun 1960 an sesuai untuk regangan dan perpindahan kecil pada
perilaku material elastis dengan beban statis. Meskipun demikian untuk kasus
defleksi yang besar dan analisa termal dikembangkan oleh Turner. Sedangkan
untuk kasus-kasus non linier dipelopori oleh Gallagher. Disamping itu, Gallagher
dan Padlog juga berhasil mengembangkan MEH untuk memecahkan kasus-kasu
bukling pada tahun 1963. Sedangkan untuk kasus viskoelastisitas dikembangkan
oleh Zienkiewicz pada tahun 1968.
Pada era 1970-an, dipelopori oleh Belytschko, MEH mampu
menyelesaikan kasus-kasus pada struktur yang mengalami deformasi besar dan
non linier. Hal ini meningkatkan kemampuan MEH untuk menyelesaikan
problem-problem pada struktur. Semenjak awal perkembangan MEH sampai saat
ini banyak mengalami kemajuan yang pesat, dan hampir semua analisa tegangan,
defleksi dan deformasi di dalam perancangan struktur menggunakan metode MEH
terutama untuk geometri dan kondisi beban yang komplek. Bahkan MEH sudah
merupakan mata kuliah wajib yang harus ditempuh oleh mahasiswa yang belajar
bidang rekayasa. Saat ini penggunaan dan penelitian MEH yang masih relatif baru
adalah dalam bidang bioengineering. Dalam bidang ini penggunaan MEH masih

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
2
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

menemukan banyak kesulitan seperti permodelan untuk material dan geometri


yang non linier serta tingkat kompleksitas yang relatif lebih tinggi dibanding pada
bidang rekayasa. Meskipun demikian saat ini banyak usaha dilakukan untuk
meningkatkan kemampuannya dalam menyelesaikan masalah dalam berbagai
bidang rekayasa.

1.2 Matrik

Penguasaan metode perhitungan dengan menggunakan matrik adalah


sangat perlu di dalam memformulasikan rumus kekakuan elemen dengan
sederhana, menyelesaikan dengan cara manual (long hand solution) dari berbagai
permasalahan, dan yang penting adalah metode perhitungan dengan menggunakan
matrik sangat penting digunakan di dalam pemrograman komputer untuk
menyelesaikan perhitungan numeris. Pada sub bab ini diingatkan kembali secara
singkat tentang matrik dan notasinya yang umumnya digunakan dalam MEH.
Disarankan bagi pembaca yang tidak mengenal metode matrik untuk mempelajari
terlebih dahulu.
Matriks adalah suatu kumpulan bilangan yang diatur di dalam kolom dan
baris sehingga membentuk segi empat siku-siku. Bilangan bilangan di dalam segi
empat tersebut sering disebut disebut dengan elemen atau unsur. Dimensi matrik
dinyatakan dengan ordo yang menyatakan banyaknya baris ( arah horizontal) dan
banyaknya kolom (arah vertikal) dalam suatu matrik. Jadi suatu matrik yang
mempunyai baris berjumlah m dan kolom berjumlah n maka matrik tersebut
berordo m x n. Sebagai contoh adalah matrik gaya F, yang akan juga digunakan
untuk mendiskripsikan suatu komponen gaya dalam elemen, terdiri dari gaya-gaya
pada masing-masing node atau simpul (F1x, F1y, F1z, F2x, F2y, F2z,…….., Fnx, Fny,
Fnz). Komponen-komponen gaya tersebut beraksi pada node (1,2,3,….., n ) yang
juga mengakibatkan perpindahan (displacement) pada masing-masing node (d1x,
d1y, d1z, d2x, d2y, d2z,…….., dnx, dny, dnz). Ke dua matrik tersebut dapat dinyatakan
sebagai berikut.

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
3
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

 F1 x   d1x 
F  d 
 1 y   1y  (1-1)
 F1 z   d1z 
   
 F2 x  d 2 x 
 F2 y  d 2 y 
   
[ F ]  F   F2 z  [d ]  d   d 2 z 
 .   . 
   
 .   . 
F  d 
 nx   nx 
 Fny   d ny 
  d 
 Fnz   nz 

Tanda subskrip disebelah kanan F dan d mengidentifikasikan nomer node dan


arah dari gaya dan perpindahan. Misalnya, F1x adalah menunjukkan komponen
gaya pada node 1 dan mempunyai arah yang sama dengan sumbu X. Matrik pada
persamaan 1-1 disebut dengan matrik kolom yang mempunyai ordo m x 1. Tanda
kurung [ ] digunakan dalam buku ini untuk menandakan matrik kolom. Sehingga
seluruh komponen gaya dan perpindahan di dalam kolom matrik dapat
disimbulkan, masing-masing, sebagai [F] dan [d], sedangkan simbol F dan d
dengan garis diatasnya menyatakan matrik secara umum artinya dapat berupa
matrik kolom atau matrik segi empat.
Penggunaan matrik segi empat siku-siku secara umum dalam buku ini
dinyatakan dengan simbol { }. Sebagai contoh matrik untuk menyatakan koefisien
kekakuan elemen dan global, masing-masing disimbolkan sebagai {k} dan {K}
dan dinyatakan seabagai berikut.

 k11 k12 . . . k1n 


k k 22 . . . k2n 
 21 
 . . . 
k   k    (1-2)
 . . . 
 . . . 
 
k m1 k m 2 . . . k mn 

 K11 K12 . . . K1n 


K K 22 . . . K 2n 
 21 
 . . . 
K   K   
 . . . 
 . . . 
 
 K m1 km2 . . . K mn 

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
4
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Pada buku ini akan dipelajari bahwa besar gaya global pada node F dan
perpindahan global pada node d tergantung dari harga matrik kekakuan global K,
dan dinyatakan sebagai berikut .

F  Kd (1-3)
Persamaan 1-3 disebut persamaan kekakuan global . Dengan mensubtitusi
persamaan 1-2 ke dalam persamaan 1-3 menjadi.
 K11 K12 . . . K1n  d1x 
K K 22 . . . K 2 n d1 y 
 21
 . .  . 
F   
.
  (1-4)
 . . .  . 
 . . .  . 
  
 K m1 km2 . . . K mn d nz 

Pembahasan matrik kekakuan pada berbagai jenis elemen akan dilakukan


pada bab selanjutnya. Disamping itu juga akan ditunjukkan suatu prosedur atau
urutan bagaimana menyusun matrik kekakuan global K pada berbagai jenis
struktur dan bagaimana cara mengetahui suatu perpindahan d pada tiap node.
Untuk mengetahui itu maka penyelesaiannya dialkuakn dengan menggunakan
metode martik. Jika jumlah nodenya sedikit, maka ordo matriknya juga akan kecil,
sehingga dapat diselesaikan dengan cara manual (long hand solution). Akan tetapi
jika jumlah nodenya banyak dan perpindahannya lebih dari satu arah, ke arah x, y
dan z , maka konsekuensinya ukuran matriknya akan besar, sebagai contoh jika
ada 100 node dan arah gaya ke semua arah (x,y,z) kita pertimbangkan, maka
matrik kolom gaya F akan mempunyai berjumlah 300 baris, dan untuk matrik
perpindahan d mempunyai dimensi yang sama dengan matrik gaya. Selanjutnya
matrik kekakuan global mempunyai dimensi 300 X 300. Jika ini terjadi maka
penyelesain secara manual sangat tidak efektif dan efisien. Oleh karena itu, untuk
menyelesaikannya, dapat menggunakan bantuan komputer.

1.3 Peranan Komputer

Telah disebutkan bahwa komputer sangat berperan besar dalam operasi


penyelesaian persamaan dalam MEH. Sebelum pengunaan komputer, meskipun
sudah diketahui sebelumnya bahwa metode matrik dan MEH dapat digunakan

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
5
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

untuk menyelesaikan persoalan-persoalan komplek, tetapi penggunaannya tidak


praktis dan memerlukan waktu yang sangat lama. Kondisi ini berubah semenjak
tahun 1950-an, yang mana pada waktu itu mulai dikembangkan komersial
komputer generasi pertama oleh IBM. Bahkan pada saat ini dengan bantuan
personal komputer sudah dapat menyelesaikan ribuan persamaan dengan waktu
yang sangat singkat dalam hitungan menit. Di samping itu sekarang sudah banyak
dikembangkan program-program komputer berbasis elemen hingga. Diantara
program – program tersebut bahkan dapat dieksekusi melalui personal komputer
(PC) dengan satu processor saja, misalnya prgram ANSYS, Algor, Abaqus,
MARC , SAP2000 dan lain-lain. Dengan bantuan kapasitas dan kecepatan memori,
kemampuan PC dapat ditingkatkan kemampuannya dalam menyelesaikan
persoalan dangan jumlah ribuan varibale tidak diketahui.

1.4 Prosedur Umum MEH

Ada dua pendekatan langsung yang digunakan di dalam MEH untuk


menyelesaikan persoalan-persoalan pada mekanika struktur. Pendekatan pertama
adalah yang disebut dengan metode gaya atau fleksibelitas. Pada metode ini
menggunakan gaya internal sebagai harga yang tidak diketahui dan selanjutnya
dipecahkan. Metode yang kedua disebut sebagai metode perpindahan atau
kekakuan yang mengasumsikan perpindahan pada node sebagai harga yang tidak
diketahui dan selanjutnya dipecahkan. Dari kedua metode ini, metode kekakuan
atau perpindahan banyak digunakan, karena formulasinya lebih sederhana untuk
analisa struktur. Oleh karena itu di dalam buku ini hanya menerangkan metode
kekauan atau perpindahan saja.
Perlu diingat bahwa ada 8 langkah utama di dalam melakukan analisa
dengan menggunakan MEH. Langkah-langkah tersebut meliputi :
Langkah ke 1. Memilih jenis elemen dan diskritisasi
Di dalam langkah ini bodi kontinum dibagi menjadi elemen-elemen yang
terdiri dari beberapa node. Proses ini disebut diskritisasi. Sebelumnya, kita
harus bisa menentukan jenis elemen yang sesuai untuk memodelkan kondisi
fisik sebenarnya. Di dalam pendiskritan ini, memungkinkan ukuran elemen
berbeda sesuai dengan kondisi geometri dari suatu struktur. Gambar 1.1

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
6
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

menunjukkan contoh dari diskritisasi dari suatu bodi dengan elemen. Gbr. 1.1a
menunjukkan suatu bodi poros yang belum dibagi menjadi elemen-elemen, dan
Gbr 1.1b menunjukkan diskritisasi dari bodi poros dengan elemen.

a). Bodi poros

b). Diskritisasi bodi poros


Gambar 1-1. Contoh diskritisasi

Pemilihan jenis suatu elemen dan dimensi (satu, dua atu tiga dimensi) pada saat
melakukan analisa dengan menggunakan MEH tergantung dari beberapa faktor
misalnya, kondisi pembebanan. Pemilihan ini harus dilakukan dengan tepat
oleh seorang analisis atau disainer. Di samping itu, sering dijumpai untuk suatu
kasus tertentu ada jenis elemen yang paling sesuai untuk menyelesaikan suatu
kasus tersebut. Yang dimaksud sesuai disini adalah keakurasian hasil, efisiensi
dan efektifitas yang berkenaan dengan pemrograman pada komputer. Untuk hal
ini,maka pengalangaman dari seorang analisis atau disainer sangat menentukan
hasil dari analisa. Gambar 1-2 berikut menunjukkan contoh dari beberapa jenis
elemen. Gbr 1-2a adalah jenis elemen yang digunakan untuk merepresntasikan
beam atau batang. Untuk Gbr 1-2b adalah contoh elemen dua dimensi yang
mana node terletak pada masing-masing sudutnya atau dapat juga terdapat
node tambahan diantara sudut-sudutnya. Elemen jenis ini biasa digunakan
untuk menganalisa tegangan atau regangan bidang. Gbr 1-2c menunjukkan
contoh elemen 3 dimensi sederhana berbentuk tetrhedral dan hexahedral.

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
7
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

1 2

a). Elemen sederhana dengan 2 node.

y 3

1 2

b). Elemen Segitiga dengan 3 node dan 6 node

y 1
8
7
4 3
x
4 5 6
2
1 2
3
z
c). Elemen sederhana 3 dimensi berbentuk tetrahedral dan hexahedral
Gambar 1-2 Contoh jenis elemen
Langkah ke 2. Memilih fungsi perpindahan
Pada langkah ini kita menentukan fungsi perpindahan di dalam elemen. Fungsi
mendifinisikan harga perpindahan dari tiap-tiap node dan jenis fungsi tersebut
tergantung dari jumlah node yang digunakan di dalam elemen. Jenis fungsi
yang sering digunakan adalah fungsi linier, kwadratik dan kubik polynomial.
Jenis fungsi tersebut sering digunakan karena tidak rumit atau sederhana untuk
memformulasikan elemen. Fungsi polinomial bisa didapat dengan
menggunakan segitiga Pascal yang ditunjukkan pada Gambar 1-3.

linier

kwadratik

kubik

Gambar 1-3 Segitiga Pascal untuk Polinimial

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
8
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Langkah ke 3. Mendefinisikan hubungan antara regangan/perpindahan dan


tegangan/regangan
Hubungan regangan/ perpindahan dan tegangan/regangan adalah sangat
penting untuk menurunkan tiap-tiap rumus elemen hingga. Untuk kasus
deformasi elastis (kecil) pada satu dimensi, misalnya, pada arah x dengan
perpindahan u, dinyatakan dengan strain, x, sebagai berikut.
du
x  (1-5)
dx
Selanjutnya hubungan tegangan dan regangan dapat dinyatakan sesuai dengan
hukum Hook, yang ditunjukkan pada rumus 1-6, yang mana x menyatakan
tegangan ke arah sumbu x dan E adalah modulus elastisitas.
 x  E x (1-6)
Langkah ke 4 Menurunkan rumus dan matrik kekakuan elemen
Ada beberapa metode untuk menurunkan rumus dan kekakuan suatu elemen,
yaitu yang pertama adalah metode kesetimbangan langsung (Direct
Equilibrium Method). Menurut metode ini, kekakuan matrik dan rumus elemen
yang berhubungan dengan gaya dan perpindahan pada node diperoleh dengan
menggunakan kondisi kesetimbangan gaya. Karena rumus ini sederhana dan
mudah, maka digunakan untuk menurunkan matrik kekakuan dan rumus
elemen untuk elemen-elemen garis atau satu dimensi, misalanya untuk elemen
pegas atau batang. Metode selanjutnya adalah metode untuk menurunkan
rumus elemen dan matrik kekakuan untuk elemen-elemen dua dimensi dan tiga
dimensi. Metode yang digunakan dikenal sebagai metode energi [35].
Penggunaan dari metode-metode tersebut akan ditunjukkan pada bab-bal
selanjutnya.
Langkah ke 5. Menggabungkan rumus elemen untuk mendapat rumus global dan
menentukan kondisi batas.
Pada langkah ini, rumus untuk satu elemen yang diturunkan pada langkah 4,
digbung menjadi rumus global. Rumus global ini mencakup seluruh node yang
ada pada suatu bodi.

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
9
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Langkah ke 6. Menyelesaikan atau memecahkan derajat kebebasan yang tidak


diketahui.
Rumus 1-7 menunjukkan rumus kekakuan global dengan jumlah derajat
kebebasan sebanyak n. Di sini kita mencari harga-harga d yang tidak diketahui,
dan menentukan harga d sebagai kondisi batas. Contoh kondisi batas, misalnya
pada suatu node memodelkan suatu jenis tumpuan jepit, maka perpindahan
pada node tersebut ke arah sumbu x, y, z mempunyai harga nol. Sehingga kita
bisa menentukan harga d pada node tersebut. Untuk mencari harga d yang tidak
diketahui kita bisa menggunakan beberapa metode eleiminasi seperti metode
Gauss, atau iterasi Gauss-Seidel. Untuk menyelsaikan jumlah node yang
banyak atau dimensi matrik yang besar maka penyelesain menggunakan
program computer adalah efektif.
 K11 K12 . . . K1n  d1 
K  
 21 K 22 . . . K 2 n d 2 
 . .  . 
F   
.
  (1-7)
 . . .  . 
 . . .  . 
  
 K n1 k n 2 . . . K nn d n 
Langkah ke 7. Menghitung harga tegangan dan regangan pada elemen
Setelah dapat mengetahui harga-harga perpindahan pada masing masing node
pada langkah ke 6, maka selanjutnya harga regangan dan tegangan dapat
diketahui.
Langkah ke 8. Menginterprestasikan hasil
Pada langkah ini kita bisa melakukan analisa hasil pada model untuk
menentukan dimana terjadi tegangan atau regangan yang terbesar pada model.
Dari sini kita bisa mengambil keputusan misalnya, bahwa suatu struktur
mempunyai kekuatan atau tidak karena kondisi suatu pembebanan tertentu.

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
10
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

BAB II
METODE KEKAKUAN/PERPINDAHAN

2.1 Difinisi Matrik Kekakuan

Untuk memahami metode kekakuan, maka familiar dengan matrik


kekakuan adalah hal yang sangat penting. Matrik kekakuan k’ atau {k}
didefinisikan sebagai suatu matrik sedemikian rupa sehingga f’= k’d’ untuk suatu
elemen, yang mana k’ menunjukkan matrik kekakuan untuk koordinat lokal (x’, y’,
z’) yang berhubungan dengan node d’ atau [d] untuk gaya-gaya f’ atau [f] yang
bekerja pada satu elemen. Gambar 2.1 menunjukkan suatu elemen pegas satu
dimensi dengan 2 node yang ditinjau dari koordinat lokal (x’, y’, z’) atau koordinat
global (x, y, z)perbedaan koordinat lokal dan global pada suatu elemen.
y

x’
y’
2
1

z z’

Gambar 2.1 Koordinat lokal dan global

2.2 Penurunan Matrik Kekakuan untuk Elemen Pegas

Dengan menggunakan pendekatan kesetimbangan langsung, di sini


diterangkan bagaimana menurunkan matrik kekakuan untuk elemen pegas satu
dimensi dengan asumsi pegas tersebut mengikuti hukum Hook dan gaya yang
bekerja hanya pada satu arah saja. Langkah-langkah yang digunakan untuk
menurunkan matrik kekakuan adalah sesuai dengan langkah-langkah yang
diterangkan di Bab I.
Langkah ke 1. Memilih Jenis Elemen
Sesui dengan yang kita ketahui pada langkah ini, jenis elemen pegas kita pilih.
Gambar 2.2 menunjukkan jenis elemen pegas yang mempunyai dua node
dengan panjang awal atau jarak awal antar node sebesar L. Sedangkan k adalah

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
11
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

konstanta material pegas. Jika elemen pegas tersebut dikenakan beban sebesar
T, maka masing masing node akan mengalami perpindahan sebesar d’1x dan
d’2x.

k
1 2
x’
L

T 1 2 T
x’

d’1x d’2x

Gambar 2.2. Elemen pegas yang diberi beban T


Langkah ke 2. Memilih fungsi perpindahan
Di sini kita menentukan fungsi matematis untuk merepresentasikan bentuk
elemen yang terdeformasi. Karena sangat sulit untuk mendapat solusi eksak,
maka dapat didekati dengan fungsi yang sering digunakan, yaitu polinomial.
Karena elemen pegas menahan gaya aksial saja ke arah atau paralel dengan
sumbu x’, maka derajat kebebasanya atau perpindahan pada koordinat lokal
adalah d’1x dan d’2x. Di sini perpindahannya sesuai dengan fungsi u’ pada
masing-masing node. Selanjutnya kita tentukan fungsi perpindahan u’ ke arah
aksial sepanjang elemen pegas. Karena perpindahannnya diasumsikan linier
maka ;
u'  a1  a2 x' (1-8)
Perlu diingat bahwa biasanya jumlah koefisien a adalah sama dengan jumlah
derajat kebebabasan elemen. Untuk kasus elemen pegas ini, jumlahnya adalah
dua, yaitu ke arah aksial atau paralel sumbu x’ saja pada masing-masing node.
Jika persamaan (1-8) dinyatakan dalam bentuk matrik maka :

u'  {1 x' } 1 


a
(1-9)
a 2 
Selanjutnya kita dapat mengekspresikan u’ sebagai fungsi perpindahan d’1x dan
d’2x dengan cara mengevaluasi u’ pada tiap node. Pertama kita tentukan kondisi
batasnya misalkan pada node 1 adalah x’= 0 dan selanjutnya x’=L pada node 2,
harga L adalah jarak antara node (Gbr.2.2). Sehingga kita dapat menentukan
harga masing-masing koefisien sebagai berikut;

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
12
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

u' (0)  a1  a2 x'  d1' x  a1 (1-10a)

u' ( L)  d 2' x  a1  a2 L  d1' x  a2 L (1-10b)


Sehingga harga a2 adalah,
d 2' x  d1' x
a2  (1-11)
L
Dengan mensubtitusi masing-masing koefisien ke persamaan (1-8) maka u’
dapat dinyatakan sebagai berikut
 d '  d1' x 
u'  d1' x   2 x  x' (1-12)
 L 
Jika persamaan (1-12) dinyatakan dalam bentuk matrik menjadi sebagai berikut
x' x'  d1' x  d ' 
u'  {1  } ' atau u '  {N 1 N 2 } 1' x  (1-13)
L L d 2 x  d 2 x 
x' x'
Di sini N1  1  dan N 2  (1-14)
L L
Persamaan (1-14) ini disebut dengan fungsi bentuk, karena N mengekspresikan
bentuk fungsi perpindahan yang telah diasumsikan di koordinat x’pada elemen.
Jika diasumsikan linier, Gbr. 2.3 menunjukkan fungsi bentuk untuk masing-
masing node. Gambar tersebut menunjukkan bahwa pada saat N1= 1 pada node
1 maka pada node 2, N2= 0 dan jika N2= 1 pada node 2 maka N1= 0 pada node
1. Untuk sembarang posisi pada koordinat belaku hubungan N1+ N2 = 1. N
juga disebut fungsi interpolasi, karena dengan cara mengintepolasikan, maka
kita dapat memperoleh harga diantara harga node sesuai dengan fungsinya.
L
1 2
x’
u'  a1  a2 x'

x’

d 1x d’2x
x'
N1  1 
L
1
0
x'
N2 
L
1
0

Gambar 2.3. Fungsi bentuk masing-masing node

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
13
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Langkah ke 3. Menentukan hubungan tegangan dan regangan


Gambar 2.4 menunjukkan elemen pegas yang mengalami perpanjangan
(elongasi) atau terdeformasi disebabkan oleh gaya T. Besar elongasi sebesar
d’1x kearah kiri (negatif) dan d’2x kearah kanan (positif) sepanjang sumbu x’.

k
1 2
x’
L

T 1 2 T
x’

d’1x d’2x

Gambar 2.4. Perpanjangan pada elemen pegas


Besar dari elongasi adalah ;
  u' ( L)  u' (0)  d 2' x  d1' x (1-15)
Untuk elemen pegas hubungan gaya dan perpindahan (elongasi) dapat
langsung dinyatakan sebagai berikut.
T  k (1-16)
dengan mensubtitusi persamaan (1-15) ke persamaan (1-16), maka kita dapat
hubungan sebagai berikut.
T  k d 2' x  d1' x  (1-17)
Langkah ke 4. Menurunkan matrik kekakuan elemen
Selanjutnya kita turunkan matrik kekakuan elemen pegas. Dengan merujuk
pada Gbr.2.4, sesuai dengan arah beban dan prinsip keseimbangan, maka dapat
didapat ;
f1'x '  T f 2' x '  T (1-18)
Dengan mesubtitusikan persamaan (1-18) didapat :
T   f1'x '  k d 2' x '  d1' x ' 

T  f 2' x '  k d 2' x '  d1' x '  (1-19)


atau dapat ditulis kembali sebagai berikut ;
f1'x '  k d1' x '  d 2' x ' 

f 2' x '  k d 2' x '  d1' x '  (1-20)

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
14
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Jika persamaan (1-20) dinyatakan dalam bentuk matrik, menjadi seperti bentuk
dibawah ini.
 f1'x '   k  k  d1 x ' 
'

f'  k d 2' x ' 


(1-21)
 2 x '   k
Dari persamaan (1-21) didapat matrik k’ yang merupakan matrik kekakuan
lokal. Jika kita perhatikan matrik tersebut adalah simetris yang mana jumlah
kolom dan baris sama ( m = n ).

k'   k  k
 k k 
(1-22)
 
Langkah ke 5. Menggabungkan rumus elemen lokal menjadi rumus global
Prinsip pada langkah ini adalah menjumlahkan masing-masing kekakuan tiap
elemen dan gaya tiap elemen sedemikian rupa atau dinyatakan sebagai berikut’.
N N
K    k ' (e)
dan F    f '( e ) (1-23)
e 1 e 1

Langkah ke 5 ini dijelaskan lebih detail pada sub-bab selanjutnya


Langkah ke 6. Menghitung perpindahan node
Pada langkah ini harga perpindahan dapat diketahui setelah diberikan kondisi
batas, seperti tumpuan, pada persamaan-persamaan yang telah disusun pada
langkah sebelumnya, sehinnga kita dapat menyelesaikan persamaan
[F]={K}[D] secara simultan.
Langkah ke 7. Menghitung gaya-gaya pada elemen
Setelah perpindahan dapat diketahui haragnya,maka dengan cara subtitusi
kembali pada persamaan (1-20), maka gaya pada masing masing elemen dapat
diketahui.

2.3. Penggabungan Elemen Pegas

Struktur-struktur seperti truss, frame dan kontruksi jembatan, terdiri dari


komponen-komponen struktur yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya.
Untuk menganalisanya maka, kekakuan seluruh struktur yang terdiri dari elemen-
elemen harus ditentukan terlebih dahulu. Oleh karena itu di sini ditunjukkan
bagaimana menyusun matrik kekakuan global (seluruh struktur) yang terdiri dari
kekakuan lokal. Gbr. 2.5 menunjukkan dua elemen pegas yang saling
berhubungan, dan sesuai dengan langkah 5, matrik kekakuan global akan disusun.

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
15
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

k1 1

3
2
k2
f3x

f2x

Gambar 2.5. Gabungan dua elemen pegas


Dengan menggunakan persamaan (1-21), maka dapat disusun untuk tiap elemen
sebagai berikut;
Elemen 1
 f1'x '   k  k   d1 x ' 
(1)

f'   k

k  (1) 
(1-24)
 3x'  d 3 x ' 
dan untuk elemen 2 adalah;
 f 3'x '   k  k  d 3 x ' 
(2)

f'  k  d 2( 2x )' 


(1-25)
 2 x '   k
Selanjutnya, karena ke dua elemen tersebut terhubung pada node 3, maka berlaku
hubungan sebagai berikut ;
d 3(1x)'  d 3( 2x ')  d 3 x (1-26)
Hubungan pada persamaan (1-26) disebut kontinyuitas atau syarat kompatibelitas .
Kembali ke Gbr.2.5, terlihat bahwa karena node 3 adalah menghubungkan eleven
1 dan 2, maka gaya yang bekerja pada node 3 berlaku hubungan seperti berikut ini
F3 x  f 3(x1')  f 3(x2' ) (1-27)
Selanjutnya pada node 1 dan 2 adalah ;
F2 x  f 2(x2') dan F1x  f1(x1') (1-28)
Dengan mensubtitusikan persamaan (1-24)-(1-26) ke dalam (1-27) dan (1-28),
maka didapatkan persamaan berikut ini.

F3x  f 3(x1')  f 3(x2')   k1d1(1x)'  k1d3(1x)'   k2d3( 2x ')  k2 d 2( 2x)' 

F2 x  f 2(x2')  k2 d 3( 2x ')  k2 d 2( 2x)' (1-29)

F1x  f1(x1')  k1d1(1x)'  k1d 3(1x)'

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
16
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Jika dalam bentuk matrik,

 F3 x  k1  k 2  k2  k1   d 3 x ' 
 F2 x   
  k2 k2

0  d 2( 2x )'  (1-30)
F    k  (1) 
 1x   1 k1   d1 x ' 

Persamaan (1-30) dapat diatur sedemikian rupa sehingga bisa berurutan dari node
1 sampai ke node 3.

 F1x   k1 0  k1  d1x ' 


 F2 x   
 0 k2

 k 2  d 2 x '  (1-31)
 F   k  
 3x   1  k2 k1  k 2 
 d 3 x ' 

Persamaan (1-31) dapat disederhanakan sebagai berikut ;


F   K d  (1-32)
yang mana [F] disebut matrik gaya global pada masing-masing node, [d] disebut
sebagai matrik perpindahan global dan {K} disebut matrik kekakuan global.

2.4. Penggabungan Matrik Kekakuan dengan Superposisi (Metode


Kekakuan Langsung)

Metode Kekakuan Langsung sering digunakan karena lebih mudah untuk


menyusun matrik kekakuan global. Metode ini berdasarkan superposisi pada tiap
elemen pada suatu struktur . Merujuk pada persamaan (1-24) dan (1-25) yang
mana masing-masing elemen kekakuannya adalah sebagai berikut ;

d1x ' d3x'


 k  k1  d1 x '
k 1   1
 k1 k1  d3x'

(1-33)
d3x ' d2 x'
 k  k2  d 3 x '
k 2    2
 k2 k2  d2 x'
Pada rumus (1-33) simbol perpindahan d diletakkan pada masing-masing baris
dan kolom pada matrik k, untuk menunjukkan masing-masing derajat kebebasan
pada tiap-tiap node sesuai dengan harga k-nya.
Karena sistem pegas pada Gbr. 2.5 mempunyai 3 derajat kebebasan atau 1
derajat kebebasan pada masing-masing node, maka matrik kekakuan untuk

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
17
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

masing-masing elemen dapat dinyatakan dalam matrik yang berdimensi 3 x 3,


maka persamaan (1-33) menjadi sebagi berikut ini;
Untuk Elemen 1 ;
d1x ' d2 x' d3x '

  1 d (1)   f1(x1') 
1 0   1(1x)'   f (1) 
k1  0 0 0  d2 x'  (1-34)
 1    2(x1') 
 1 0  d 3(1x)'   f 3 x ' 
Untuk Elemen 2 ;
d1x ' d2 x' d3x '

 0 d1(x2')   f1(x2' ) 
0 0 
k2 0 1  1 d 2( 2x )'    f 2(x2')  (1-35)
 1 1    
0  d 3( 2x ')   f 3(x2' ) 

Sesuai dengan kaidah kesetimbangan gaya maka gaya-gaya yang bekerja di tiap-
tiap node pada persamaan (1-34) dan (1-35), menghasilkan resultan gaya ( gaya
global), seperti berikut ini.

 f1(x1')   0   F1x 
 0    f 2(x2')    F2 x  (1-36)
 f (1)   ( 2 )   
 3 x '   f 3 x '   F3 x 
Selanjutnya dengan mensubtitusikan persamaan (1-34) dan (1-35), maka
didapatkan persamaan di bawah ini.

 1 0  1d1x '  0 0 0 d1x '   F1x 


(1) ( 2)

       
k1  0 0 0 d 2(1x)'   k2 0 1  1d 2( 2x)'    F2 x  (1-37)
 1 0 1 d (1)  0  1 1 d ( 2)   F 
  3 x '    3 x '   3 x 
Atau dapat dinyatakan sebagai persamaan di bawah ini

 k1 0  k1  d1x   F1x 
    
 0 k2  k 2 d 2 x    F2 x  (1-38)
 k k1  k 2 
 1  k2  d 3 x   F3 x 
Dari persaman (1-38) dapat membuktikan bahwa dengan 3 derajat kebebasan
maka akan terdapat matrik kekakuan global, K, yang berdimensi 3 x 3, dan
mempunyai matrik kolom perpindahan dan gaya global yang masing-masing
jumlah barisnya sama dengan jumlah derajat kebebasan sistem (struktur) dalam
hal ini dua pegas yang ditunjukkan di dalam Gbr. 2.5. Perlu dicatat bahwa kunci

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
18
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

dari penyusunan persamaan kekakuan (1-38) adalah menggabungkan kekakuan


tiap-tiap elemen, k, menjadi kekakuan global, K. Untuk menyusun matrik K secara
efisien dan efektif dapat dilakukan secara langsung menjumlahkan nilai k pada
masing node (Metode Kekakuan Langsung). Untuk itu kita tulis kembali matrik k
pada masing-masing elemen dari persamaan (1-33). Seperti dinyatakan
sebelumnya karena jumlah derajat kebebasannya adalah 3, maka matrik K pasti
berdimensi 3 x 3, oleh karena itu kita langsung bisa membuat matrik dengan
dimensi tersebut. Selanjut perhatikan masing-masing sel ( ditunjukkan dengan
anak panah ) pada masing masing matrik k untuk masing masing elemen yang
disusun kembali pada matrik K sesuai dengan sel nya, seperti dicontohkan pada
Gbr. 2.6 berikut ini.
d1x ' d3x' d3x ' d2 x'
 k  k1  d1 x '  k  k2  d 3 x '
k 1   1 k 2    2
 k1 k1  d3x'  k2 k2  d2 x'
d1x d2 x d3x

 k1 0  k1  d1 x
 
K 0 k2  k2  d2x

 k1  k2 k1  k2 
 d3x
Gambar 2.6, Cara mengisi sel pada matrik K dari matrik k

2.5. Kondisi Batas

Agar supaya persamaan kekakuan global (1-4) dapat diselesaikan maka


suatu struktur, misalnya pegas pada Gbr.2.5, harus mempunyai kondisi batas.
Kondisi batas, dalam kasus ini adalah tumpuan. Jika struktur tersebut tidak
mempunyai kondisi batas maka harga diterminan dari K menjadi singular, yaitu
harga diterminannya adalah nol, dan tidak mempunyai matrik invers. Ini berarti
struktur tersebut tidak stabil. Ada dua jenis kondisi batas , yaitu, kondisi batas
homogen dan non homogen. Kondisi batas homogen terjadi pada tumpuan yang
harga perpindahannya nol. Sedangkan untuk non homogen jika perpindahannya
mempunyai harga tertentu atau tidak nol.
Untuk mengilustrasikan kondisi batas homogen, kita merujuk pada Gbr.
2.5 dan persamaan kekakuan global, (1-38), yang telah kita turunkan sebelumnya.

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
19
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Dari Gbr. 2.5, dapat kita ketahui bahwa kondisi batas pada node 1 atau pada
tumpuan, mempunyai harga perpindahan nol, sehingga persamaan (1-38), menjadi
sebagai berikut.

 k1 0  k1  0   F1x 
 
 0 k2  k 2 d 2 x    F2 x  (1-39)
 k1  k 2     
 k1  k2  d 3 x   F3 x 

Jika dijabarkan maka persamaan (1-39) menjadi,


k1 0  0d 2 x  k1d 3 x  F1x

00  k2 d 2 x  k2 d 3 x  F2 x (1-40)

 k1 0  k2 d 2 x  k1  k2 d 3 x  F3 x
sesuai dengan Gbr. 2.5 harga F1x tidak diketahui, sedangkan harga F2x dan F3x
diketahui.
Jika rumus ke dua dan ke tiga pada persamaan (1-40) dirubah ke bentuk matrik
maka,

 k2  k 2 d 2 x   F2 x 
 k 
k1  k 2 
(1-41)
 2 d 3 x   F3 x 
Dari persamaan (1-39) dan (1-41) diketahui bahwa pada baris dan kolom ke satu
pada matrik K pada persamaan (1-39) adalah berharga nol, hal ini terjadi karena
pada baris ke satu matrik d merupakan kondisi batas (pada tumpuan, perpindahan
berharga nol). Sehingga selanjutnya kita dapat menentukan harga perpindahan
pada node 2 dan 3, sebagai berikut.
1 1 1

 k 2   F2 x   k1 
1
d 2 x   k 2  k 2 k1  F2 x 
d    k1  k 2 

  F3 x   1 1  F3 x 
(1-42)
 3 x   k 2 
 k1
 
k1 

Jika harga perpindahan d2x dan d3x dapat ditentukan dari persamaan (1-42), maka
besar gaya pada node 1, yaitu F1x dapat dihitung dengan mensubtitusikan
perpindahan tersebut pada persamaan pertama pada (1-40).
k1 0  0d 2 x  k1d 3 x  F1x atau  k1d 3 x  F1x (1-43)
Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa untuk kondisi batas homogen, baris dan
kolom pada matrik K yang mempunyai harga perpindahannya nol dapat
dihilangkan .

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
20
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Selanjutnya dimisalkan pada node 1 ( tumpuan ) pada Gbr.2.7 mempunyai


harga perpindahan tertentu, maka kondisi batas struktur tersebut dikatakan tidak
homogen. Misalkan pada node 1, mempunyai harga perpindahan, d1x = L.

L 1

k1 1

3
2
k2
f3x

f2x

Gbr.2.7. Kondisi batas non homogen


Karena kondisi batasnya tidak berharga nol, maka persamaan kekakuan dalam
bentuk matrik (1-38) dapat ditulis kembali dan menjadi persamaan berikut ini.

 k1 0  k1  L   F1x 
 
 0 k2  k 2 d 2 x    F2 x  (1-44)
 k1  k 2     
 k1  k2  d 3 x   F3 x 

Selanjutnya persamaan dibawah ini hasil penjabaran dari persamaan (1-44).


k1 L  0d 2 x  k1d 3 x  F1x

0L  k2 d 2 x  k2 d 3 x  F2 x (1-45)

 k1 L  k2 d 2 x  k1  k2 d 3 x  F3 x
Besar harga gaya pada node 1, F1x, adalah besar gaya pada saat node 1 telah
berpindah sebesar L. Karena besar gaya pada masing-masing node 2 dan 3
diketahui sebesar F2x dan F3x, maka rumus ke dua dan ke tiga pada persamaan
dapat diselesaikan untuk mendapatkan harga d2x dan d3x. Selanjutnya dari
persamaan (1-45) menjadi sebagai berikut.
0L  k2 d 2 x  k2 d 3 x  F2 x (1-46)

 k1 L  k2 d 2 x  k1  k2 d 3 x  F3 x

dan selanjutnya untuk menyederhanakan, yang mengandung variabel L dipindah


pada sisi kanan persamaan.
k2 d 2 x  k2 d 3 x  F2 x (1-47)

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
21
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

 k2 d 2 x  k1  k2 d 3 x  F3 x  k1 L
Jika dinyatakan dalam bentuk matrik, menjadi ;

 k2  k 2  d 2 x   F2 x 
 k 
k1  k 2 
(1-48)
 2 d 3 x   F3 x  k1 L 
 

Dari sini harga d2x dan d3x dapat ditentukan , sehingga dengan menggunkan rumus
pertama persamaan (1-43) harga F1x, dapat diketahui. Dari uraian penyelesaian
pada kondisi batas non homogen, dapat disimpulkan bahwa kolom dan baris
pertama matrik K dan baris pertama pada matrik d yang berhubungan dengan
kondisi batas tidak dapat dihapus karena merupakan perkalian dengan harga lebih
besar dari nol dan hasilnya harus dipindah ke ruas kanan sebelum kita
menyelesaikan perpindahan yang tidak diketahui (d2x dan d3x).

Contoh 2.1
Suatu rangkaian pegas seperti ditunjukkan pada Gbr 2.8, mempunyai harga
konstanta pegas k1= 2000 N/m, k2 = 4000 N/m dan k3 = 6000 N/m dan diberi
beban P = 10 000 N pada node 4, tentukan ;
a. Matrik kekakuan global,
b. Besar perpindahan pada node 3 dan 4,
c. Gaya reaksi pada node 1 dan 2
d. Gaya-gaya yang bekerja pada masing-masing pegas

k1 1

k2 2

K3 3

Gambar 2.8. Rangakian pegas dengan beban P

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
22
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

a). Untuk menyusun matrik kekakuan global, terlebih dahulu kita susun matrik
kekakuan tiap tiap elemen pegas dengan merujuk pada persamaan (1-33)
sebagai berikut :
1 3 3 4
k 1    2000 1  4000 3
k 2   
2000 4000
 2000 2000   4000 4000 
 3  4

4 2

k 3    6000  6000 4
 6000 6000 
 2
Dengan menggunakan model superposisi dan Gbr. 2.6 kita mendapatkan matrik
kekakuan global seperti di bawah ini.
1 2 3 4

 2000 0  2000 0 1
 0 6000 0  6000 2
K 
 4000  3
(1-49)
 2000 0 2000  4000
 0  6000  4000 4000  6000
 4
b).Karena gaya global berhubungan dengan kekakuan dan perpindahan global,
maka sesuai persamaan (1-38), didapatkan hubungan sebagai berikut ;
 F1 x   
F  
2000 0  2000 0   d1 x 
 0 6000 0  6000  d 2 x
 2 x    2000 0 2000  4000  4000   d 3 x  (1-50)
 F3 x  
 F4 x   0  6000  4000 4000  6000 
 d 
 4x 
Dengan menggunakan prinsip penyelesaian kondisi batas homogen, yang mana
harga perpindahan pada node 1, d1x = 0 dan pada node 2, d2x = 0, baris pertama
dan kedua, kolom pertama dan kedua dapat dihilangkan sehingga persamaan
kekakuan diatas dapat disederhanakan sebagi berikut;

 0   2000  4000  4000 d 3 x 


10000   6000
(1-51)
  4000 4000 d 4 x 
Dari sini kita bisa mendaptakan harga d3x = 10/11 m dan d4x = 15/11 m ;
c).Untuk mendapatkan gaya global yang bekerja pada tiap node, maka persamaan
(1-50) dapat digunakan kembali dan mensubtitusikan harga d3x dan d4x yang
telah diketahui harganya.

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
23
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

0
 F1x 
 F   0
2000 0  2000 0  0 
6000 0  6000 10 
 2 x    2000 0 2000  4000  4000  11 
(1-52)
 F3 x  
 F4 x   0  6000  4000 4000  600015 
 
 11 
Dengan operasi perkalian matrik pada persamaan (1-52) maka harga gaya
global pada masing-masing node adalah ;
 20000  90000
F1x  N F2 x  N
11 11 (1-53)
F3 x  0 N 110000
F4 x  N
11
Elemen 1

 f1x    2000  200010 


0
 
 f 3 x   2000 2000    (1-54)
 11 

Atau jika disederhanakan.


 20000 20000
f1 x  N f 3x  N
11 11
Elemen 2
10 
 f 3 x    4000  4000 11 
 f 4 x   4000 4000 15  (1-55)
 
 11 
 20000 20000
f 3x  N f4x  N
11 11
Elemen 3
15 
 f 4 x    6000  6000 
 f 2 x   
 6000 6000 11 
(1-56)
0
90000  90000
f4x  N f2x  N
11 11

Contoh 2.2
Gambar 2-9 menunjukkan rangkaian elemen pegas, tentukan (a) Matrik kekakuan
global, (b) Perpindahan pada node 3 dan 4, (c) Gaya-gaya global, (d) Gaya local
pada masing-masing elemen. Node 1 adalah tetap sedangkan node 4 mempunyai

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
24
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

perpindahan sebesar L = 0,2 m. Konstanta pada semua elemen pegas adalah


sama, k = 100 kN/m.
a).Pertama terlebih dahulu kita susun matrik kekakuan tiap-tiap elemen pegas (1-
33) sebagai berikut :
1 3 3 2
k 1    100 1  100 3
k 2   
100 100
 100 100   100 100 
 3  2

2 4

k 3    100  100 2
 100 100 
 4
Sehingga matrik kekakuan global dapat ditentukan di bawah ini.
1 2 3 4
 100 0  100 0  1
 100  100  100  100 2
K 0
 100  100 100  100 0  3 (1-57)
 0  100 100 
 0  4
1

k1 1

k2 2

K3 3

4 F2x
L

Gambar 2.8. Rangakian pegas dengan perpindahan L


b).Dengan menggunakan persamaan (1-38), gaya global dapat ditentukan sebagai
berikut ;

 F1x   100 0  100 0  0 


 0   0 100  100  100  100d 2 x 
 0    100  100 100  100 0 d 3 x 
(1-58)
F   0  100 0 100  0.2 
 4x   
Selanjutnya persamaan (1-58) dijabarkan dan jika diubah kedalam bentuk
matrik menjadi seperti persamaan (1-59)

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
25
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

20   200  100d 2 x 


 0    (1-59)
 100 200 d 3 x 
Sehingga harga perpindahan pada node 2, 3 dan 1 dapat ditentukan
2 1
d2x  m d 3x  m
15 15
c). Selanjutnya dengan mensubtitusi harga-harga perpindahan yang sudah
diketahui ke persamaan (1-58) untuk menentukan gaya-gaya global.
0
 F1 x   100 0  2 
 F   0
100 0
100  100  100  100 15 
 2 x    100  100 100  100 0  1 
(1-60)
 F3 x  
 F4 x   0  100 0 100  15 
 
0.2
 100 100
F1x  F2 x  0 F3 x  0 F4 x 
15 15
d) Gaya local pada masing-masing elemen
Elemen 1

 f1x    100  100 1 


0
 f 3 x   100 100  
   (1-61)
15 

 100 100
f1 x  N f3x  N
15 15
Elemen 2

1
 f 3 x    100  100 15 
 f 2 x   100 100   2  (1-62)
 
15 
 100 100
f3x  N f2x  N
15 15
Elemen 3
2
 f 2 x    100  100 
 f 4 x   
 100 100 015 
(1-63)
 .2
 100 100
f2x  N f4x  N
15 15

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
26
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

2.6. Pendekatan Energi Potensial

Salah satu metode alternatif untuk menurunkan rumus elemen dan matrik
kekakuan elemen adalah berdasarkan prinsip energi potensial minimum. Prinsip
ini lebih sesuai untuk menurunkan rumus elemen yang lebih komplek yang
mempunyai lebih banyak derajat kebebasan, seperti untuk elemen plain stress atau
strain, tegangan aksis simetri, elemen plat bending dan elemen untuk kondisi tiga
dimensi. Energi potensial minimum hanya sesuai untuk menurunkan rumus untuk
kasus material elastis dan buku ini hanya membahas untuk kasus-kasus pada
permodelan material elastis.
Energi potensial, Pe, dari struktur merupakan fungsi dari perpindahan.
Pada elemen hingga perpindahan ini terjadi pada node dari suatu elemen dan
dinyatakan sedemikian rupa sehingga Pe  Pe d1 , d 2 ,......, d n  . Jika Pe
diminimalkan terhadap perpindahan maka akan menghasilkan kondisi setimbang.
Untuk elemen pegas, maka akan dihasilkan persamaan f '  k ' d ' seperti yang
diturunkan pada sub-bab sebelumnya.
Total energi potensial didefinisikan sebagai jumlah energi regangan dalam,
U, dan enegi potensial yang disebabkan oleh gaya luar ;
Pe  U   (1-64)
Energi regangan dalam, U, adalah kapasitas gaya internal atau tegangan untuk
melakukan kerja yang mengakibatkan terjadinya regangan di dalal struktur.
Sedangkan energi potensial yang disebabkan oleh gaya luar, , adalah body force,
gaya traksi permukaan dan gaya yang bekerja pada node untuk melakukan kerja
sehingga terjadi deformasi pada struktur.
Kembali pada hubungan linier antara gaya dan perpindahan pada pegas,
yaitu F = k.x , yang mana k adalah konstanta pegas dan x adalah perpindahan.
Perubahan (diferensial) usaha/kerja dalam atau energi regangan, dU, untuk
perpindahan yang sangat kecil pada pegas adalah gaya dikali dengan perubahan
perpindahan dimana gaya bekerja, dan dinyatakan sebagai berikut;
dU  Fdx (1-65)

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
27
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

dari persamaan pegas kita tahu bahwa gaya dinyatakan sebagai F = k.x dan jira
hubungan ini disubtitusikan ke persamaan (1-65), maka menghasilkan hubungan
di bawah ini.
dU  k. xdx (1-66)
Maka total energi regangannya adalah :
x
k . x 2  k . x x  Fx
1 1 1
U   k .xdx atau U  (1-67)
0
2 2 2

Persamaan ini menunjukkan bahwa besar total energi remangan adalah luas area
dibawah kurve gaya-perpindahan, seperti ditunjukkan pada Gbr. 2.9.

k
F

k x

x
Gambar 2.9. Hubungan perpindahan dan gaya pada pegas
Jika energi potensial yang disebabkan oleh gaya luar adalah  = - F.x dan
dengan mensubtitusikan persamaan (1-67) maka persamaan (1-64) menjadi;
1
Pe  k.x 2  F .x (1-68)
2
Selanjutnya kita perhatikan contoh 3 berikut ini untuk memahami konsep dari
prinsip energi minimum dengan menganalisa pegas dengan satu derajat kebebasan.
Dari contoh ini ditunjukkan bahwa kondisi setimbang dari pegas adalah pada saat
energinya minimum.

Contoh 2.3
Dimisalkan ada pegas dengan konfigurasi seperti ditunjukkan pada Gbr.2.10
x

F= 2000 N
1 2
k= 500 N/m

Gambar 2.10. Pegas yang diberi beban F

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
28
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Untuk mengevaluasi energi potencial pada pegas tersebut maka kita dapat
menggunakan persamaan (1-68).
1
Pe  k.x2  F .x
2
Untuk memudahkan maka selanjutnya kita subtitusikan harga perpindahan, x,
misalnya antara – 5 sampai dengan 13, dan selanjutnya dapat kita plot dalam
kurve hubungan Pe dan x, seperti dalam Gbr.2.11. Dari gambar tersebut dapat
diketahui harga minimum dari petensial energi, yang mengindikasikan juga bahwa
pada kondisi tersebut terjadi kesetimbangan. Dari sini dapat diketahui bahwa
kondisi potensial enegi minimum terjadi pada perpindahan, ketika x = 4 m

18000

16000

14000

12000

10000
Energi potensial, N.m

8000

6000

4000

2000

0
-6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 12 14
-2000

-4000

-6000
x, perpindahan, m

Gambar 2.11. Hubungan antara energi potensial, Pe , dan perpindahan, x .


Untuk mengetahui harga energi potensial minimum dapat dilakukan dengan cara
menurunkan persamaan energi potensial sebagai berikut;
Pe
0 (1-69)
x
1 
 k . x 2  F . x 
Pe 2 
  k . x  F  500 x  2000  0 (1-70)
x x
Sehingga x = 4 m, dan selanjutnya harga ini disubtitusikan kembali ke persamaan
(1-68) untuk mendapatkan harga Energi potensial Pe = -4000 N.m.

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
29
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Dengan menggunakan prinsip energi potensial minimum maka kita dapat


menurunkan rumus matrik kekakuan dari elemen pegas. Dari Gbr. 2.10 yang
mana suatu elemen pegas yang dikenai beban F, maka harga energi potensialnya
dapat dinyatakan sebagai berikut ini;

k d 2' x  d1' x   f1'x d1' x  f 2' x d 2' x


1 2
Pe  (1-71)
2
Yang mana d 2' x  d1' x adalah deformasi dari elemen pegas, dan jika persamaan (1-
71) dijabarkan maka menjadi;

Pe 
1
2
 2 2

k d 2' x  2d 2' x d1' x  d1' x  f1'x d1' x  f 2' x d 2' x (1-72)

Dengan menggunakan prinsip energi potensial minimum, maka persamaan (1-72)


diturnkan secara parsial sesuai dengan masing-masing node nya, menjadi sebagai
berikut ini;
Pe 1
 k  2d 2' x  2d1' x   f1'x  0
1x 2
(1-73)
Pe 1
 k 2d 2' x  2d1' x   f 2' x  0
2 x 2
Jika disederhanakan menjadi
k  d 2' x  d1' x   k d1' x  d 2' x   f1'x
(1-74)
k d 2' x  d1' x   k  d1' x  d 2' x   f 2' x
Atau jika dinyatakan dalam bentuk matrik, sebagai berikut ;

 k   d1 x    f 1 x 
' '
k
 k k 
(1-75)
 d 2' x   f 2' x 
Dari persamaan diketahui bahwa matrik kekakuan yang diturunkan dengan
menggunakan prinsip energi potensial minimum mempunyai hasil yang sama
dengan hasil yang didapat dengan menggunakan metode langsung.

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
30
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

BAB III
PERSAMAAN DAN MATRIK KEKAKUAN UNTUK STRUKTUR

Pada Bab II dijelaskan bagaimana menurunkan rumus elemen dan matrik


kekakuan pada elemen pegas dengan satu derajat kebebasan. Pada Bab III ini akan
dijelaskan bagaimana menurunkan rumus dan matrik kekakuan elemen lebih dari
satu derajat kebebasan pada koordinat lokal atau global di suatu struktur
berdasarkan metode kekakuan langsung. Pertama akan dijelaskan penurunan
rumus dan matrik kekakuan batang atau truss elastis dengan menggunakan
tahapan yang telah dijelaskan pada Bab II. Karena elemen pada struktur arahnya
tidak selalu paralel dengan suatu arah tertentu yang telah kita tentukan, maka
perlu suatu cara untuk mentransformasikan vektor dari koordinat lokal ke
koordinat global dengan menggunakan konsep matrik transformasi. Dengan
matrik transformasi, kita dapat mengekspresikan matrik kekakuan ke sembarang
arah pada koordinat global. Selanjutnya dijelaskan juga bagaimana menyusun
matrik kekakuan untuk truss pada ruang atau tiga dimensi.

3.1. Matrik Kekakuan Elemen Batang Pada Koordinat Lokal

Gambar 3.1 menunjukkan suatu struktur truss 2 dimensi, yang mana jika
salah satu batang truss yang ditunjukkan dengan anak panah, dapat ditinjau
dengan dua sistem koordinat, yaitu koordinat global (sumbu X-Y) dan koordinat
lokal (x’-y’). Diasumsikan batang truss tersebut mempunyai arah dengan sudut α
terhadap koordinat global dan mempunyai panjang L dengan luas penampang A
konstan. Karena gaya yang bekerja pada tiap batang truss, T, adalah selalu paralel
dengan arah batang, maka arah T berhimpit dengan arah sumbu x’(koordinat
lokal).
Dalam menganalisa beban pada struktur, dalam hal ini adalah truss,
dengan menggunakan Metode Elemen Hingga, setiap batang pada truss dianggap
sebagai satu elemen yang mempunyai arah orientasi yang berbeda-beda . Oleh
karena itu pertama kita menurunkan rumus elemen dan matrik kekakuan pada
salah satu batang atau elemen seperti ditunjukkan pada Gbr. 3.1. Tahapan yang
kita gunakan adalah tahapan-tahapan yang telah diterangkan pada Bab II.

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
31
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

x'
T
Y
f’2x , d’2x
L
y'

T
f’1x , d’1x
α
X
Gambar 3.1. Beban pada batang truss
Pertama kita perhatikan pada Gbr. 3.1 sebelah kiri yang menunjukkan
detail dari salah satu batang dari truss yang mana batang tersebut mempunyai
koordinat lokal x’-y’ dan mempunyai arah  terhadap koordunat global X-Y. Jika
kita asumsikan batang tersebut adalah suatu elemen yang mempunyai satu derajat
kebebasan pada masing-masing node nya, maka dengan cara yang sama pada
penurunan rumus elemen dan matrik kekakuan elemen pegas dapat digunakan.
Oleh karena itu langkah-langkah umum yang terdiri dari 7 langkah seperti
dijelaskan pada Bab II dapat digunakan.
Elemen batang pada Gbr. 3.1 diasumsikan mempunyai luas penampang. A.
Konstan dan panjang awal, L, dan perpindahan pada masing-masing node
dinotasikan sebagai d’1x, dan d’2x yang terdapat pada masing-masing ujung
elemen. Sesuai dengan prinsip hukum Hook dan hubungan tegangan, , /regangan,
, dapat dinyatakan sebagai persamaan dibawah ini.
 x  E. x (3-1)
yang mana E adalah modulus elastisitas, dan regangan didapat dari hubungan
sebagai berikut;
du' x
x  (3-2)
dx '
Yang mana u’ adalah perpindahan sepanjang sumbu x’. Jika gaya yang bekerja
pada batang adalah sebesar T, maka berlaku hubungan sebagai berikut;
T  A. x '  konstan (3-3)
Untuk menurunkan matrik kekakuan batang pada truss maka ada beberapa
hal yang harus diasumsikan, yaitu;

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
32
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

1.Batang pada truss tidak dapat menahan gaya geser atau momen bending, yaitu ;
f '1 y '  0, f '2 y '  0, m'1  0 dan m' 2  0

2. Perpindahan kearah sumbu y’ dianggap kecil sekali atau tidak ada


3. Berlaku hukun hooke
Berikut ini adalah 7 langkah prosedur yang digunakan untuk menurunkan
matrik kekakuan pada statu batang truss, sesuai ditunjukkan pada Gbr.3.1 kiri. Di
sini kita akan menurunkan berdasarkan koordinat local, x’-y’.
Langka 1. Menentukan jenis elemen
Menentukan jenis elemen, yaitu elemen batang dan notasinya pada masing-
masing node pada masing-masing ujungnya seperti ditunjukkan pada Gbr.3.1.
Langkah 2. Menentukan fungsi perpindahan
Karena elemen batang yang kita gunakan untuk merepresentasikan batang truss
adalah linier maka, hubungan perpindahan linier sepanjang sumbu x’ adalah
sebagai berikut;
u'  a1  a2 x' (3-4)
Selanjutnya dengan menggunakan cara yang sama seperti ditunjukkan pada
persamaan (2-8) sampai dengan (2-14), maka persamaan (3-4) dapat ditulis
kembali seperti di bawah ini.
 d '  d '1 x 
u'   2 x  x '  d '1 x (3-5)
 L 
Jika dinyatakan dalam bentuk matriz dan fungsi bentuknya maka;
d ' 
u '  {N 1 N 2 } 1' x  (3-6)
d 2 x 
yang mana :
x' x'
N1  1  dan N 2 
L L
Langkah 3. Mendefinisikan hubungan regangan-perpindahan dan tegangan-
regangan
Diketahui bahwa regangan dapat dinyatakan seperti persamaan berikut ini.
du' d ' 2 x d '1x
x   (3-7)
dx' L

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
33
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

dan hubungan tegangan dan regangan dinyatakan sebagai berikut ini


 x  E. x (3-8)
Langkah 4. Menurunkan matrik kekakuan elemen
Kita mengetahui dari pelajaran dasar statika bahwa gaya yang bekerja pada
truss diteruskan atau didistribusikan ke masing-masing batang searah atau
behimpit dengan batang, sehingga besar gaya yang bekerja pada suatu batang
truss, T adalah :
T  A. x (3-9)
atau dengan mennggunakan persamaan (3-7) dan (3-8) persamaan (3-9) dapat
dinyatakan sebagai;
 d ' d ' 
T  AE  2 x 1x  (3-10)
 L 
Jika merujuk pada Gbr.3.1 dan sesuai dengan sumbu x’-y’, maka f’1x = -T,
sehingga persamaan (3-10) dapat ditulis kembali sebagai;
 d '  d '2 x 
f '1x  AE  1x  (3-11)
 L 
dan karena f’2x = T , dengan cara yang sama dapat kita dapat;
 d ' d ' 
f '2 x  AE  2 x 1x  (3-12)
 L 
Jika persamaan (3-11) dan (3-12) diekspresikan dalam bentuk matrik maka,
menjadi bentuk matrik sperti berikut ini.
 f '1x  AE  1  1 d '1x 
 f '   L  1 1 d '  (3-13)
 2x    2 x 
Karena f’=k’d’ , maka kita dapat menentukan matrik kekakuan lokal, k’, yaitu;
AE  1  1
k'   (3-14)
L  1 1 
Persamaan pada rumus (3-14) menunjukkan bahwa harga k’pada elemen pegas
analog dengan AE/L pada elemen batang.
Langkah 5. Penggabungan rumus elemen untuk mendapat rumus global
Penggabungan matrik kekakuan dari masing-masing elemen untuk menjadi
matrik kekakuan global telah diterangkan pada Bab II, yang mana
penggabungan hanya dapat dilakukan jika masing-masing elemen tersebut

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
34
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

ditinjau dari sistem koordinat yang sama, dalam kasus ini, misalnya, koordinat
lokal tiap-tiap elemen paralel atau behimpit dengan koordinat global. Pada
kasus batang pada struktur truss yang mana masing-masing batang dianggap
sebagai suatu elemen dan arah orientasi masing-masing elemen bervariasi
sesuai dengan koordinat lokal masing-masing elemen. Oleh karena itu untuk
menggabung matrik kekakuan lokal menjadi global, masing-masing elemen
harus ditransformasikan terlebih dahulu sesuai dengan orientasi koordinat
global. Cara transformasi tersebut diterangkan pada sub bab selanjutnya.
Berikut persamaan di bawah ini ditulis kembali seperti pada Bab II untuk
menggabungkan masing-masing rumus kekakuan elemen menjadi rumus global.
N N
K    k ' (e)
dan F    f '( e ) (3-15)
e 1 e 1

Langkah 6. Menentukan perpindahan pada masing-masing node


Pada langkah ini perpindahan pada masing-masing node dapat diketahui
dengan cara memecahkan persamaan kekakuan global F  K d secara simultan
dengan cara menentukan dan mensubtitusikan kondisi batas pada persamaan
tersebut.
Langkah 7. Menentukan gaya-gaya pada elemen
Selanjutnya setelah kita bisa mengetahui perpindahan pada masing-masing
node, gaya pada masing-masing dapat ditentukan.

Contoh 3.1
Gambar 3.2 menunjukkan suatu struktur yang terdiri dari tiga batang yang
masing mempunyai panjang L1,2,3 = 2 m. Luas penampang A1,2 = 0,01 m2 untuk
batang satu dan dua. Batang satu dan dua terbuat dari bahan yang sama dengan
modulus elatisitas E1,2 = 20x106 N/m2, sedangkan batang ketiga mempunyai E3 =
10x106 N/m dengan luas penampang A3 = 0,02 m2. Node 1 dan 2 tertanam pada
dinding atau mempunyai perpindahan nol. Tentukan matrik kekakuan global dan
perpindahan pada node 2 dan 3, jika pada node 2 diberi beban F = 2000 N.

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
35
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

1
y
1
x
2

2
F
3

3
3
4

Gambar 3.2. Struktur tiga batang


a) Dengan menggunakan persamaan (3-14) matrik kekakuan untuk masing-
masing elemen batang dapat ditentukan sebagai berikut.
Elemen 1
A1 E1  1  1 0,01.20.106  1  1  105  1  1 N/m
k '(1)     1 1   1 1  (3-16)
L  1 1  2    
Elemen 2

 1  1  0,01.20.10  1  1  105  1  1 N/m


6
AE
k '( 2 )  2 2  1 1   1 1   1 1  (3-17)
L   2    
Elemen 3

 1  1  0,02.10.10  1  1  105  1  1 N/m (3-18)


6
A3 E3
k ' ( 3)   1 1   1 1   1 1 
L   2    
Setelah matrik kekakuan untuk masing-masing elemen dapat ditentukan maka,
selanjutnya kita gabungkan untuk mendapatkan matrik kekakuan global.
Dengan menggunakan cara seperti pada persamaan (2-38) dan Gbr. 2.6 maka
didapat matrik kekakuan global seperti ditunjukkan pada persamaan (3-19).
Karena mempunyai 4 derajat kebebasan maka matrik kekakuannya adalah
berdimensi 4x4.
 1 1 0 0 
 0  N/m
K  10   1
5 11 1
1 
(3-19)
0 1 11
 0 1 1 
 0 
b) Dari persamaan (3-19), maka kita dapat menentukan perpindahan global pada
masing masing node .

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
36
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

 F1x   1 1 0 0   d1 x 
 F2 x  5  1 2  1 0  d 2 x 
 F   10  0  1 2  1 d  N/m (3-20)
 3x  0 0  1 1 d 
3x

 F4 x    4x 
Dan jika kondisi batas disubtitusikan ke persamaan maka persamaan (3-20)
menjadi;

 0   1 1 0 0  0 
2000  105  1 2  1 0 d 2 x  N/m
 0   0  1 2  1 d  (3-21)
 0  0 0  1 1  0 
3x

Karena mempunyai kondisi batas yang homogen maka persamaan (3-21) dapat
diubah menjadi persamaan berikut ini;

2000  105  2  1d 2 x  N/m


 0   1 2   d  (3-22)
  3 x 
Dengan menyelesaikan persamaan (3-22) dengan cara simultan maka didapat
harga perpindahan dari node 2 dan 3.
4 2
d2x  X 102 m d3x  X 102 m (3-23)
3 3
3). Untuk dapat mengetahui rekasi-reaksi yang terjadi pada node 1 dan 4 maka
hasil pada persamaan (3-23) disubtitusikan kembali pada (3-20) dan menjadi;
 0 
 F1 x   1 1 0 0  4 X 10  2 
 F2 x  5  1 2  1 0  3 
 F   10  0  1 2  1 2 2
 (3-24)
 3x  0 
0 1 1  3 X 10 
 F4 x    
 0 
Dan jika dijabarkan maka,
 4  4
F1x   0  .102  0  0 105  .103 N
 3  3

 4 2 
F2 x   0  2. .102  1. .102  0 105  2.103 N
 3 3 
(3-25)
 4 2 
F3 x   0  1. .102  2. .102  0 105  0 N
 3 3 
 2  2
F4 x   0  0  1. .102  0 105  .103 N
 3  3

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
37
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

3.2. Transformasi Vektor Dua Dimensi

Untuk menganalisa suatu komponen dalam struktur biasanya kita akan


mininjaunnya dari salah satu sistem koordinat, yaitu lokal atau global. Karena
arah orientasi dari koordinat lokal belum tentu sama dengan koordinat global
maka jika pengamatan dilakukan berdasarkan salah satu sistem koordinat, yaitu
lokal atau global, maka salah satu dari sistem koordinat tersebut harus
ditransformasikan ke koordinat yang lainnya. Untuk memahami transformasi
vektor, Gbr.3.3 menunjukkan suatu titik d yang dapat ditinjau dari dua sistem
koordinat, misalkan koordinat x’-y’ yang mewakili koordinat lokal dan koordinat
X-Y mewakili koordinat global.
Y

y'
d
x'

Gambar 3.3. Suatu posisi, titik d, yang ditinjau dari dua sistem koordinat
Cara mentransformasi suatu perpindahan atau posisi suatu node elemen
yang ditinjau dari koordinat yang satu ke koordinat lainnya adalah sebagai berikut.
Misalkan suatu vektor d yang ditunjukkan pada Gbr.3.4 tidak berhimpit pada
salah satu koordinat, sehingga vektor d dapat dinyatakan sebagai berikut;
d  d x i  d y j  d x 'i ' d y ' j ' (3-26)

Yang mana unit vektor pada masing-masing sumbu dinotasikan sebagai i dan i’
pada masing-masing sumbu X dan x’, sedangkan j dan j’ pada masing-masing
sumbu Y dan y’ . Sehingga berdasarkan Gbr. 3.4 persamaan (3-26) dapat
dinyatakan juga sebagi berikut;
d x 'i'  d x cos  i'd y sin  i' (3-27)

d y ' j'  d x sin   j'd y cos   j'

sehingga ;
d x '  d x cos   d y sin  (3-28)

d y '  d x sin   d y cos 

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
38
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Dan jika dinyatakan dalam bentuk matrik menjadi ;


 d x '   cos  sin   d x   C S  d x 
d          (3-29)
 y '   sin  cos  d y   S C d y 

Yang mana C  cos  dan S  sin  . Persamaan (3-29) menghubungkan


perpindahan, d, berdasarkan koordinat lokal dan koordinat global pada suatu node
dengan dua derajat kebebasan (perpindahan ke arah x’ dan y’).

Matrik  C S
 S C  disebut matrik transformasi.
 
Y

y'
d
dy
x'

d y' d x'

α
dx X
Gambar 3.4. Hubungan antara koordinat lokal dan global pada vektor d

3.3. Matrik Kekakuan Global

Rumus transformasi (3-29) digunakan untuk mendapatkan rumus matrik


kekakuan global dari elemen batang. Pada dasarnya untuk mendapatkan rumus
matrik kekakuan global dari struktur, langkah pertama yang harus dilakukan
adalah mendapat rumus matrik kekakuan masing-masing elemen berdasarkan
koordinat global dan selanjutnya menggabungkannya. Untuk memudahkan kita
tulis kembali rumus hubungan kekakuan berdasarkan koordinat lokal seperti
dinyatakan dalam persamaan (3-13) adalah
 f '1x  AE  1  1 d '1x 
 f '   L  1 1 d '  (3-30)
 2x    2 x 
atau dapat dinyatakan sebagai f’ = k’d’
Jika ditinjau dari koordinat global maka orientasi dari persamaan (3-30) bisa
mempunyai arah sembarang relatif terhadap koordinat global. Oleh karena itu
langkah pertama adalah menghubungkan koordinat lokal dan global untuk
masing-masing elemen dengan persamaan transfromasi.

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
39
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Untuk memudahkan, seperti telah kita ketahui bahwa, persamaan untuk


kekakuan berdasarkan koordinat global pada elemen batang dengan dua node
dengan dua derajat kebebasan dapat dinyatakan sebagai berikut;
 f1 x   d1 x 
 f1 y   d1 y 
 f   k  d  (3-31)
 2x   2x 
 f 2 y  d 2 y 
atau f=kd
yang mana f, k dan d adalah matrik gaya, kekakuan dan perpindahan berdasarkan
koordinat global. Telah diketahui bahwa persamaan transformasi untuk node 1
dan 2 pada arah x’ adalah ;
d '1x '  d1x cos   d1 y sin  (3-32)

d '2 x '  d 2 x cos   d 2 y sin 

Jika dinyatakan dalam bentuk matrik maka ;


 d1x 
 
 d '1x '  C S 0 0   d1 y 
d '    0 S   d 2 x 
(3-33)
 2 x'   0 C
 
d 2 y 
Atau dapat dinyatakan d '  T * d
C S 0 0
T* adalah matrik transformasi , T *  
0 0 C S 
Dengan cara yang sama seperti mentransformasikan pindahan, maka untuk gaya
adalah;
 f1x 
 f '1x '   C S 0 0   f1 y 
S   f 2 x 
 f ' 2 x '   0 (3-34)
0 C
 
 f 2 y 
Atau f '  T * f
Dari persamaan (3-30) kita mengetahui bahwa persamaan kekakuan untuk
koordinat lokal adalah ;
f '  k' d ' (3-35)
Dan jika persamaan (3-33) disubtitusikan ke dalam (3-35) maka menjadi;
f '  k'T *d (3-36)

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
40
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Jika persamaan (3-34) disubtitusikan ke dalam (3-36), maka kita dapat


menghubungkan gaya global dan lokal pada masing-masing node;
T * f  k'T * d (3-37)
Tetapi untuk mendapat persamaan akhir yang menghubungkan gaya global dan
lokal pada masing-masing node, maka T* harus diinverse terlebih dahulu. Untuk
matrik T* harus dimodifikasi terlebih dahulu untuk menjadi matrik bujursangkar.
Oleh karena itu, kita harus menjabarkan matrik f’,d’ dan k’ sedemikian rupa
sehingga konsisten dengan penggunaan koordinat global. Berdasarkan persamaan
transformasi (3-29), maka d '  T * d , jika dinyatakan dalam bentuk matrik
menjadi sebagi berikut;
 d '1x '   C S 0 0   d1 x 
 d '1 y '   S C 0 0   d1 y 
d '    0 0 C S  d 2 x 
(3-38)
 2 x'   0 0  S C  d 
d ' 2 y '    2y 
C S 0 0
Yang mana T *   S C 0 0
 0 0 C S
 0 0  S C 
Dengan cara yang sama kita dapat menjabarkan untuk f '  T * f
Karena gaya dan perpindahan dijabarkan, maka matrik k’ harus dijabarkan
juga, jika persamaan (3-30) matrik k’ nya dijabarkan menjadi sebagai berikut;
 f '1x '  1 0 1 0 d '1x ' 
 f '1 y '  AE  0 0 0 0 d '1 y ' 
f'   0 d ' 2 x ' 
(3-39)
 2 x'  L  1 0 1
0 0 0 0d ' 
 f ' 2 y '   2 y' 
Karena harga f’1y’ dan f’2y’ adalah berharga nol maka pada persamaan (3-39) baris
yang berhubungan dengan f’1y’ dan f’2y’ pada matrik k’ juga berharga nol.
Selanjutnya persamaan (3-37) dapat ditulis kembali tetapi T, f dan d telah
dijabarkan, sebagai berikut;
T * f  k'T * d (3-40)
Jika ruas kiri dan kanan masing masing dikalikan dengan inverse T*, yaitu, T*-1,
maka menjadi;
f  T *1 k ' T * d (3-41)

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
41
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Dan telah dibuktikan bahwa T *1  T *T , yang mana T *T adalah transpose dari
T * , sehingga persamaan (3-41) dapat ditulis sebagai;
f  T *T k ' T * d (3-42)
Maka dari persamaan (3-42) di dapat harga k global untuk satu elemen, yaitu;
k  T *T k 'T * (3-43)
Jika matrik T*dari persamaan (3-38) dan matrik k’ lokal yang telah dijabarkan
pada persamaan (3-39) disubtitusikan pada persamaan (3-43) maka didapat matrik
k global sebagai berikut;
 C2 CS  C2  CS 
 
AE  S2  CS  S2 
k   (3-44)
L  C2 CS 
simetri S 2 
Selanjutnya setelah matrik kekakuan berdasarkan koordinat global untuk elemen,
persamaan (3-44), telah diketahui, maka matrik kekakuan untuk seluruh elemen
atau struktur dapat dilakukan dengan cara menggabungkan matrik kekakuan
masing-masing elemen dengan cara superposisi (kekakuan langsung) seperti
diterangkan pada sub bab 2.4 atau sebagai berikut;
N

k   K
e 1
e
(3-45)

yang mana K adalah matrik kekakuan global untuk struktur dan k(e) matrik
kekakuan tiap elemen berdasarkan koordinat lokal dan N adalah jumlah total
elemen. Dengan cara yang sama, maka untuk gaya adalah;
N

fF
e 1
e
(3-46)

Karena matrik K menghubungkan matrik F dan d untuk seluruh elemen atau


struktur, maka;
F  Kd (3-47)
Contoh 3.2 berikut menerangkan bagaimana mentransformasi matrik kekakuan
lokal menjadi global.

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
42
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Contoh 3.2
Suatu elemen batang dari struktur truss seperti ditunjukkan pada Gbr. 3.5
mempunyai arah relatif terhadap sumbu x-y sebesar 60o. Jika batang mempunyai
luas penampang A=0.04 m, panjang L = 6 m dan modulus elastisitas E = 20 x 109
N/m2, tentukan matrik kekakuan global berdasarkan sumbu x-y.
y x'

60o x

Gambar 3.5. Elemen batang ditinjau dari koordinat lokal dan global

Untuk menghadapi permasalahan seperti ini, yang mana derajat kebebasannya


adalah satu. Maka kita bisa langsung menggunakan persamaan (3-44). Sehingga
kita dapat matrik k, sebagi berikut ;
  60o C  cos 60o  0.5 S  sin 60o  0.87

 C2 CS  C2  CS 
 
AE  S2  CS  S2 
k  
L  C2 CS 
simetri S 2 

 0.25 0.435  0.25  0.435


 0.76  0.435  0.76 
0.4 x 20 x10 
9
k  
6  0.25 0.435 
simetri 0.76 

3.4. Tegangan Pada Batang di Bidang 2 Dimensi

Untuk mengetahui tegangan yang bekerja pada elemen batang pada truss,
maka kita harus menentukan terlebih dahulu gaya yang bekerja pada statu batang.
Karena elemen batang pada truss mempunyai satu derjat kebebasan, maka
persamaan (3-30) yang menunjukkan hubungan gaya dan perpindahan ditinjau
dari koordinat lokal.

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
43
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

 f '1x '  AE  1  1 d '1x 


 f '   L  1 1 d '  (3-48)
 2 x'    2 x 
Telah diketahui bahwa tegangan yang bekerja pada suatu batang karena adanya
gaya aksial adalah dapat dinyatakan sebagai berikut ini :
f '1x'
 (3-49)
A
Dari persamaan (3-48) dapat diketahui bahwa;
d ' 
f '1x ' 
AE
1  1 1x  (3-50)
L d '2 x 
Jika persamaan (3-50) disubtitusikan ke persamaan (3-49), menjadi ;
d ' 

E
1  1 1x  (3-51)
L  d '2 x 
Atau


E
1  1d ' (3-52)
L
Dan karena telah diketahui bahwa d ' T * d , maka persamaan (3-52) dapat
dinyatakan sebagai berikut;


E
1  1T * d (3-53)
L
Dan jika disederhanakan menjadi;


E
1  1T * d  C ' d (3-54)
L

1  1T *  E 1  1
E C S 0 0
Yang mana C ' 
L L 0 0 C S 
Sehingga C’

C' 
E
C S  C  S (3-55)
L

Contoh 3.3
Misalkan suatu batang miring 60o terhadap sumbu x, yang mempunyai
luas penampang A, panjang L dan modulus elastisitas E. Jika perpindahan pada
masing-masing node berdasarkan koordinat global sudah dapat ditentukan,

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
44
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

sehingga d1x=0.25, d1y=0.01, d2x= 0.35 dan d2y=0.5 mm. Tentukan besar tegangan
pada batang tersebut.
y x'

60o x
1

Gambar 3.6. Suatu batang dengan sudut 60o terhadap sumbu x


Untuk menyelesaikan soal ini, maka kita bisa menggunakan persamaan (3-
54), yaitu;
 d1x   0.25 
d   0.01
  C' d 
E
C S  C  S    C
1y

d 2 x  L
E
S  C  S   (3-56)
L  0.35 
   
d 2 y  d 0.5

3.5. Penyelesaian Truss Dua Dimensi

Telah diketahui dari ilmu statika dasar bahwa truss adalah suatu struktur
yang terdiri dari beberapa batang yang disusun sedemikina rupa, yang mana
ujung-unjungnya saling berhubungan satu dengan yang lain dan disambung
dengan pasak. Gaya-gaya yang bekerja pada truss diteruskan pada batang-batang
truss dan arahnya paralel dengan arah masing-masing batang dimana gaya
tersebut bekerja. Karena arah batang mempunyai arah relatif terhadap batang yang
lain, maka dalam menganalisa gaya pada tiap-tiap batang, kita perlu meninjau
pada salah satu sistem koordinat sebagai referensi peninjauan. Oleh karena itu
semua arah gaya, tegangan, perpindahan dan regangan harus ditransformasikan
sesuai dengan arah referensi yang telah kita pilih. Berikut ini adalah contoh
bagaimana kita menyelesaikan persoalan pada suatu truss dua dimensi sederhana.

Contoh 3.4
Gambar 3.5 menunjukkan suatu truss yang terdiri dari tiga elemen, yang mana
pada salah satu ujung dari masing-masing batangnya ditumpu dengan pasak dan
pada ujung yang lain pada batang-batang tersebut disambung dengan pasak dan

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
45
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

menerima beban kearah bawah sebesar 1000 N. Tentukan perindahan kearah x


dan y dan tegangan pada masing-masing batang. Modulus elastisitas batang E =
200 x 105 N/m2 dan luas penampang dari batang adalah A= 0,04 m2. Panjang dari
masing-masing batang ditunjukkan dalam gambar.

10 m y
10 m
10 m x
1
45o
3

1000 N
4

Gambar 3.5. Truss


Untuk memudahkan, maka pertama kita tentukan dulu harga C dan S pada
masing-masing elemen. Tabel 3.1 menunjukkan harga C dan S pada masing-
masing elemen.
Tabel 3.1. Harga C dan S
No Sudut
Node C S C2 S2 CS
Elemen 
1 1-2 90 0 1 0 1 0
2 1-3 0 1 0 1 0 0
3 1-4 -45 -0.707 -0.707 0.5 0.5 0.5

Selanjutnya kita tentukan matrik kekakuan untuk masing-masing elemen dengan


menggunkan persamaan (3-44).
Elemen 1
d1x d1 y d2 x d2 y

 C2 CS  C 2  CS  0 0 0 0
 2 5 
AE  S  CS  S  0.04 x 200 x10 0 1
2
0  1
k 1      (3-57)
L  C2 CS  10 0 0 0 0
simetri S 
2 0  1 0 1 

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
46
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Elemen 2
d1x d1 y d3 x d3 y

 C2 CS  C 2  CS  1 0  1 0
 2 5 
AE  S  CS  S  0.04 x 200 x10  0
2
0 0 0
k 2       (3-58)
L  C2 CS  10  1 0 1 0
simetri S 
2  0 0 0 0

Elemen 3
d1x d1 y d4 x d4 y

 C2 CS  C2  CS   0.5 0.5  0.5  0.5


  
AE  S2  CS  S 2  0.04 x 200 x105  0.5 0.5  0.5  0.5
k 3      
L  C2 CS  10  0.5  0.5 0.5 0.5 
simetri S 2   0.5  0.5 0.5 0.5 

(3-59)
Setelah matrik kekakuan global, k(e), untuk masing-masing elemen dapat
disusun, maka langkah selanjutnya adalah menggabungnya dengan cara
superposisi atau metode kekakuan langsung seperti ditunjukkan pada Gbr.2.6
untuk mendapat matrik kekakuan struktur K global.
d1x d1 y d2x d2 y d3 x d3 y d4x d4 y

 1.5 0.5 0 0 1 0  0.5  0.5 d1 x


 0.5 1.5 0 1 0 0  0.5  0.5 d1 y

 0 0 0 0 0 0 0 0  d2x
 
 0 1 0 1 0 0 0 0  d2 y
K  8 x108   (3-60)
 1 0 0 0 1 0 0 0  d3x
 0 0 0 0 0 0 0 0  d3 y
 
 0.5  0.5 0 0 0 0 0.5 0.5  d 4 x
 0.5  0.5 0.5  d 4 y
 0 0 0 0 0.5
Selanjutnya setelah berhasil menyusun matrik K struktur, selanjutnya dengan
menggunakan persamaan kekakuan global yang menghubungkan antara gaya
global dan perpindahan global, F  Kd .

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
47
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

 F1x   1.5 0.5 0 0  1 0  0.5  0.5 d1x 


F   0.5  
 1y   1.5 0  1 0 0  0.5  0.5 d1 y 
 F2 x   0 0 0 0 0 0 0 0  d 2 x 
    
 F2 y   8 x10 4  0 1 0 1 0 0 0 0 d 2 y 
 F3 x    (3-61)
 1 0 0 0 1 0 0 0  d 3 x 
   
 F3 y   0 0 0 0 0 0 0 0  d 3 y 
F   
 0.5  0.5 0 0 0 0 0.5 0.5  d 4 x 
 4x   
 F4 y   0.5  0.5 0.5 d 4 y 
 0 0 0 0 0.5

 F1x  0   1.5 0.5 0 0 1 0  0.5  0.5 d1x 


 F  1000  0.5 1.5  
 1y   0 1 0 0  0.5  0.5 d1 y 
 F2 x   0 0 0 0 0 0 0 0  d 2 x  0 
    
 F2 y   8 x10 4  0 1 0 1 0 0 0 0   d 2 y  0
    (3-62)
F3 x  1 0 0 0 1 0 0 0  d 3 x  0 
   
 F3 y   0 0 0 0 0 0 0 0  d 3 y  0 
   
F4 x  0.5  0.5 0 0 0 0 0.5 0.5  d 4 x  0
   
   0.5  0.5 0 0.5 0.5 d 4 y  0
F4 y  0 0 0

Selanjutnya setelah persamaan kekakuan dapat disusun adalah mencari


perpindahan pada node 1 dan gaya-gaya yang bekerja pada masing-masing node.
Dari persamaan tersebut diketahui bahwa kondisi batasnya adalah homogen, maka
kolom dan baris yang berhubungan dengan perpindahan nol (kondisi batas
berharga nol) dapat dieliminasi, shingga harga perpindahan pada node 1 dapat
diketahui. Oleh karena itu rumus (3-62) setelah di eleminasi baris dan kolomnya
menjadi;
 0  4 1.5 0.5 1x 
d
 1000  8 x10     (3-62)
  0.5 1.5 d1 y 
Jika dijabarkan menjadi ;
0  8x104 1.5d1x  0.5d1 y 

0  1.5d1x  0.5d1 y  d1 y  3d1x

dan
 1000  8x104 0.5d1x  1.5d1 y 

 1000  8x104 0.5d1x  1.5d1x   8x108  d1x 

d1x  125x104 m d1 y  375x104 m

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
48
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Selanjutnya dengan menggunakan persamaan (3-54), tegangan pada tiap-tiap


batang dapat ditentukan.
 d1x  125 x10 4 
d   
200 x105 375 x10  4 
 1  C ' d 
E
C S  C  S 1y 

d 2 x 
 0 1 0  1


L 10 0
   
d 2 y   0 

125 x10 4 
 
375 x10  4 
 1  20 x105 0 1 0  1  20 x105 x375 x10  4  75 x103 N / m 2
 0 
 
 0 
125 x10 4 
 
375 x10 4 
  20 x10 1 0  1 0
2  5   20 x105 x125 x10 4  25 x103 N / m 2
 0 
 
 0 
125 x10 4 
 
375 x10  4 
  20 x10  0.707  0.707 0.707 0.707
3  5 
 0 
 
 0 

 3  20 x10 5 x  0.707125 x10 4  375 x10 4   200 x  0.707 x500

 100000 x  0.707  70.7 x10 3 N / m 2

3.6. Transformasi Matrik Kekakuan Untuk Batang Pada Tiga Dimensi


(Ruang)

Karena batang yang digunakan untuk menyusun truss tidak selalu bisa
diasumsikan pada bidang datar atau dua dimensi, tetapi sering juga dijumpai
bahwa batang pada truss mempunyai arah atau orientasi dalam tiga dimensi. Oleh
karena itu, untuk meninjau elemen dengan koordinat lokal ke koordinat global,
perlu ditransformasi seperti diterangkan pada sub bab sebelumnya.
Untuk mentransformasikan koordinat lokal ke global pada ruang tiga
dimensi, lebih mudah jika suatu batang pada truss dinyatakan dengan vektor,
seperti ditunjukkan pada Gbr. 3.6. Dalam gambar tersebut ditunjukkan bahwa
statu batang dengan panjang L dan mempunyai dua node dapat ditinjau dari

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
49
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

koordinat lolal x’y’z’ atau koordinat global xyz. Batang tersebut mempunyai arah
orientasi yang berhimpit dengan sumbu x’ yang mempunyai sudut α, β dan γ
masing-masing terhadap sumbu x, y dan z. Seperti diterangkan pada bab
sebelumnya, untuk melakukan operasi transformasi maka kita harus menentukan
terlebih dahulu matrik T*. Oleh karena itu, langkah pertama adalah menurunkan
matrik transformasi T*, sehingga d ' T * d .

y d
x'
y' L
2
β

1 α x
γ

z
z'
Gambar 3.6 Batang dalam koordinat tiga dimensi
Vektor d adalah suatu vektor yang mempunyai arah sembarang, jika vektor
tersebut ditinjau dari koordinat lokal atau global maka berlaku hubungan sebagai
berikut;
d' d (3-63)
Yang mana d’ adalah vektor d ditinjau dari koordinat lokal dan d ditinjau dari
koordinat global, dan selanjutnya persamaan (3-63) dapat dijabarkan sebagai
berikut;
d ' x i'd ' y j 'd ' z k '  d xi  d y j  d z k (3-64)

Yang mana i’, j’ dan k’, masing-masing adalah unit vektor pada koordinat lokal
x’y’z’ dan i, j, dan k adalah unit vektor pada koordinat global xyz. Karena batang
pada Gbr.3.6 berhimpit dengan x’, maka hal ini identik dengan proyeksi vektor d
terhadap sumbu x’. Maka dengan melakukan operasi dot produk pada masing-
masing ruas pada persamaan (3-64) akan didapat hubungan sebagi berikut.
d ' x i'.i'  d ' y  j '.i'  d ' z k '.i'  d x i.i'  d y  j.i'  d z k.i' (3-65)

d ' x 0  0  d x i.i'  d y  j.i'  d z k.i'

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
50
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Berdasarkan Gbr.3.6 dan difinisi dari operasi dot produk, maka didapat hubungan
seperti dibawah ini.
x2  xl
i.i'   cos   C x
L
y2  y1
j.i'   cos   C y
L
z2  z1
k.i'   cos   C z
L
Yang mana dari gambar tersebut diketahui bahwa ;

L x2  xl 2   y2  yl 2  z2  zl 2
Dan Cx, Cy dan Cz masing-masing adalah proyeksi i’ terhadap sumbu i, j dan k.
Sehingga persamaan (3-65) dapat dinyatakan sebagai berikut;
d ' x  d xCx  d y C y  d z Cz (3-66)

Dengan menggunkan persamaan (3-66), kita dapat menyatakan secara eksplisit


hubungan d ' T * d dalam bentuk matrik untuk node 1 dan 2 adalah sebagai
berikut ini;
 d1x 
d 
 1y 
 d '1x '  C x Cy Cz 0 0 0   d1z 
d '    0  
C z   d 2 x 
(3-67)
 2 x'   0 0 Cx Cy
d 2 y 
 
 d 2 z 
Maka diari persamaan ini diketahui bahwa ;
C x Cy Cz 0 0 0
T*  
0 0 0 Cx Cy C z 

Dari persamaan (3-43) diketahui bahwa matrik kekakuan yang merujuk


pada koordinat global adalah k  T *T k 'T * . Maka dengan menggunakan T* pada
persamaan (3-67), matrik kekakuan yang merujuk pada koordinat global menjadi
sebagai berikut;

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
51
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

C x 0
C 0 
 y
C 0  AE  1  1C x Cy Cz 0 0 0
k z   
C z 
(3-68)
0 C x  l  1 1   0 0 0 Cx Cy
0 Cy 
 
 0 C z 

Jika disederhanakan menjadi ;


 C x2 C xC y C xC z  C x2  C xC y  C xC z 
 
 C y2 C yCz  C xC y  C y2  C yCz 
AE  C z2  C xC z  C yCz  C z2 
k   (3-69)
L  C x2 C xC y C xC z 
 C y2 C yCz 
 
Simetri C z2 

Contoh 3.5
Gambar 3.7 menunjukkan truss tiga dimensi yang terdiri dari 3 batang dan
4 node. Masing-masing batang dijepit di dinding sedemikian rupa dengan nomer
node 1, 2 dan 3. Beban F = 1000 N dikenakan pada node 4. Luas penampang
masing-masing batang 1, 2 dan 3 adalah sama yaitu A= 0,04 m2 dan E = 200 x 105
N/m2. Tentukan tegangan yang bekerja pada masing-masing batang.
(0,5,5) 4

Y
(0,5,0) Z

3
X
(0,0,0)
(0,5,-5)

3
2 (5,0,0)
(0,-5,0) 1
1
2

F = 1000 N

Gambar 3.7 Trus tiga dimensi


Sebelum menentukan matrik k untuk masing-masing elemen maka kita perlu
menentukan panjang L pada masing-masing batang dengan cara sebagi berikut;

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
52
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

L1  x2  xl 2   y2  yl 2  z2  zl 2   52   52  02 5 2

L2   x3  xl 2   y3  yl 2  z3  zl 2   52  52   52 5 3

L3  x4  xl 2   y4  yl 2  z4  zl 2   52  52  52 5 3

Elemen 1
Harga Cx, Cy dan Cz dapat ditentukan sebagai berikut ;
x 2  xl 5 1
i.i '  1    Cx
L 5 2 2
y2  y1 5 1
j.i '  1    Cy
L 5 2 2
z2  z1 0
k .i '  1   0  Cz
L 5 2
Selanjutnya dengan menggunakan persamaan (3-69), matrik k(1) dapat ditentukan.
d1 x d1 y d1z d2x d2 y d2z

 56.569 56.569 0  56.569  56.569 0


 56.569 56.569 0  56.569  56.569 0
 0
k 1  0 0 0 0 0
 56.569  56.569 0 56.569 56.569 0
 56.569  56.569 0 56.569 56.569 0
 0
 0 0 0 0 0 
Elemen 2
x3  xl 5 1
2     Cx
L 5 3 3
y3  y1 5 1
2     Cy
L 5 3 3
z3  z1  5 1
2     Cz
L 5 3 3
d1 x d1 y d1z d3x d3 y d 3z

 30.485  30.485 30.485  30.485 30.485  30.485


 30.485 30.485  30.485 30.485  30.485 30.485 
2   30.485  30.485 30.485  30.485 30.485  30.485
k 
 30.485 30.485  30.485 30.485  30.485 30.485 
 30.485  30.485 30.485  30.485 30.485  30.485
 30.485 30.485  30.485 30.485  30.485 30.485 
 

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
53
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Elemen 3
x 4  xl 5 1
3     Cx
L 5 3 3
y4  y1 5 1
3     Cy
L 5 3 3
z4  z1 5 1
3     Cz
L 5 3 3
d1 x d1 y d1z d4 x d4 y d4z

 30.485  30.485  30.485  30.485 30.485 30.485 


  30.485 30.485 30.485 30.485  30.485  30.485
    30.485
k 3    30.485 30.485 30.485 30.485 30.485
 30.485 30.485 30.485 30.485  30.485  30.485
 30.485  30.485  30.485  30.485 30.485 30.485 
 30.485  30.485  30.485  30.485 30.485 30.485 

Untuk memperoleh K struktur, kita dapat mensuperposisikan matrik k dari masing
–masing elemen batang. Karena struktur tersebut mempunyai 4 node dan tiap
node mempunyai 3 derajat kebebasan, maka matrik K struktur berdimensi 12 x 12.
d d d d d d d d d d d d
1x 1y 1z 2x 2y 2z 3x 3y 3z 4x 4y 4z

 117.54  4.4 0  56.57  56.57 0  30.49 30.49  30.49  30.49 30.49 30.49 
  4.4 117.54 0  56.57  56.57 0 30.49  30.49 30.49 30.49  30.49  30.49 
 0 0 60.97 0 0 0  30.49 30.49  30.49 30.49  30.49  30.49

  56 .57  56.57
 56.57
0 56.57 56.57 0 0 0 0 0 0 0

 
56.57 0 56.57 56.57 0 0 0 0 0 0 0

K   300 .49 0
30.49
0
 30.49
0
0
0
0
0
0
0
30.49
0
 30.49
0
30.49
0
0
0
0
0
0

 30.49  30.49 30.49 0 0 0  30.49 30.49  30.49 0 0 0 
 30.49 30.49  30.49 0 0 0 30.49  30.49 30.49 0 0 0 
 30.49 30.49 30.49 0 0 0 0 0 0 30.49  30.49  30.49 

 30.49  30.49  30.49 0 0 0 0 0 0  30.49 30.49 30.49 

 30.49  30.49  30.49 0 0 0 0 0 0  30.49 30.49 30.49 

Selanjutnya dengan menggunakan rumus persamaan kekakuan global, maka


didapat persamaan sebagai berikut;

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
54
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

 0 
  1000   d1x 
 0   117.54  4.4 0  56.57  56.57 0  30.49 30.49  30.49  30.49 30.49 30.49 d1 y 
 30.49   
 F2 x    04.4 117.54 0  56.57  56.57 0 30.49  30.49 30.49 30.49  30.49
 30.49  1 z 
d
 F2 y   56.57  0
0 60.97 0 0 0  30.49 30.49  30.49 30.49  30.49

   56.57
 56.57 0 56.57 56.57 0 0 0 0 0 0 0
 0 
 0 
 56.57
 F2 z    0
0 56.57 56.57 0 0 0 0 0 0 0

 F3 x   30.49  
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
 30.49  30.49
0  
30.49 0 0 0 30.49 30.49 0 0 0

 F3 x   30.49
0
 30.49 30.49 0 0 0  30.49 30.49  30.49 0 0
0 
0 
 F3 y   30.49 30.49  30.49 0 0 0 30.49  30.49 30.49 0 0
 30.49   0 
 F  3030.49.49 30.49 30.49 0 0 0 0 0 0 30.49  30.49
30.49   0 
 4 x   30.49
 30.49  30.49 0 0 0 0 0 0  30.49 30.49
30.49 
 F4 y 
 30.49  30.49 0 0 0 0 0 0  30.49 30.49
0
 F4 z   0 

Karena kondisi batasnya adalah homogen, maka kita dapat menghilangkan baris
dan kolom yang berhubungan karena berharga nol, sehingga rumus persamaan
kekakuan global dapat disederhanakan menjadi seperti dibawah ini.
d 
 0   117.54  4.4 0   1x 
 1000    4.4 117.54 0  d1 y
 0   .97   
 0 0 60   d1 z 

Dan jika dijabarkan menjadi;


0  117.54d1x  4.4d1 y  1000  4.4d1x  117.54d1 y

0  60.97d1z
Dengan cara subtitusi maka didapat harga –harga perpindahan pada node 1, yaitu
d1x, d1y, d1z.
d1x  0.32m d1 y  8.54m dan d1z  0m

Dengan menjabarkan persamaan (3-54) untuk tiga dimensi maka


persamaan untuk tegangan yang bekerja pada elemen batang dalam tiga dimensi
yang mempunyai node 1 dan 2 adalah;
 d1 x 
 d1 y 
d 

E
 C x  Cy  Cz Cx Cy C z  1z  (3-70)
L d 2 x 
d 2 y 
 d 2 z 

Dengan menggunakan persamaan (3-70), maka tegangan yang bekerja pada


masing-masing batang dapat ditentukan, yaitu;

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
55
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

 0.32
  8.54
200 x105  1 1 1 1  0 
 1   2 0   0
 0 
 25.06 x106 N / m 2
5  2 2 2 
 0 
 0 
 0.32
  8.54
200 x105  1 1 1 1 1 1  0 
 2    3     0 
 18.98 x106 N / m 2
5  3 3 3 3 3
 0 
 0 

 0.32
  8.54
200 x105  1 1 1 1 1 1  0 
 3    3      0 
 18.98 x106 N / m 2
5  3 3 3 3 3
 0 
 0 

3.7. Tumpuan Miring

Pada suatu kasus, tumpuan suatu struktur bisa mempunyai arah orientasi
tertentu terhadap sembarang koordinat global atau dengan kata lain tumpuan
tersebut membentuk sudut dengan koordinat global. Gbr. 3.8 menunjukkan contoh
dari tumpuan miring dengan sudut tertentu terhadap koordinat global. Dalam
gambar tersebut ditunjukkan suatu truss dengan 3 batang elemen dan 3 node. Pada
node 3 ditumpu dengan tumpuan membentuk sudut α terhadap koordinat global.
x'
y'
α

3
y

1 2

Gambar 3.8. Struktur dengan tumpuan miring

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
56
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Untuk menghadapi persoalan seperti ini, pertama kita perhatikan bahwa


pada node 3, arah gaya yang bekerja sesuai dengan arah dari koordinat lokalnya
maka pada node tersebut perlu transformasi arah gaya dari koordinat global ke
koordinat lokal. Oleh karena itu rumus trasnformasi pada persamaan (3-29) dapat
digunakan, dan untuk memudahkan maka ditulis kembali sebagai berikut ;
 d 3 x '   cos  sin   d 3 x   C S  d 3 x 
d          (3-71)
 3 y '   sin  cos  d 3 y   S C d 3 y 

atau
d3'   t3 d3 
 cos  sin  
Yang mana t3'    
 sin  cos  
Untuk transformasi global pada struktur dapat dinyatakan sebagai;
d '  TI d  (3-72)
Atau
d   TIT d ' (3-73)
Matrik TI , untuk kasus struktur pada Gbr. 3.8 adalah matrik transformasi 6 x 6.
d1x d1 y d 2 x d 2 y d3 x d3 y

1 0 0 0 0 0 
0 1 0 0 0 0 
 
0 0 1 0 0 0 
TI    (3-74)
0 0 0 1 0 0 
0 0 0 0 cos  sin  
  Node 3
0 0 0 0  sin  cos  
Karena pada node 1 dan 2 arah-arah gayanya paralel dengan koordinat global,
maka pada diagonal pada matrik TI berharga 1. Akan tetapi pada node 3, seperti
ditunjukkan dengan lingkaran pada persamaan (3-74), harus ditransformasikan,
sehingga pada baris dan kolom mempunyai harga identik dengan harga matrik t
pada persamaan (3-71).
Dengan menggunakan matrik pada persamaan (3-74), maka persamaan (3-
73) dapat ditulis kembali dalam bentuk matrik sebagai berikut;

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
57
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

 d1x  1 0 0 0 0 0  d1x ' 


d    d 
 1 y  0 1 0 0 0 0  1 y ' 
d2 x   0 0 1 0 0 0  d 2 x ' 

    (3-75)
d 2 y  0 0 0 1 0 0 d 2 y ' 
 d 3 x  0 0 0 0 cos  sin   d 3 x ' 
    
 d 3 y  
0 0 0 0 sin  cos   d 3 y ' 
Untuk gaya yang bekerja pada masing-masing node maka dapat juga
ditransformasikan dengan cara seperti pada persamaan (3-34), yaitu;
 f '  TI  f  (3-76)
Dan telah kita ketahui bahwa gaya sesuai dengan koordinat global dapat
dinyatakan dalam persamaan kekakuan, yaitu ;
 f   K d  (3-77)
Jika kedua sisi dikalikan dengan TI, maka persamaan (3-77) menjadi;
TI  f   TI K d  (3-78)
Jika dinyatakan dengan matrik, maka ruas kiri pada persamaan (3-78) adalah
sebagai berikut;
1 0 0 0 0 0  f1x   f1x ' 
0    
 1 0 0 0 0  f1 y   f1 y ' 
0 0 1 0 0 0  f 2 x   f 2 x ' 
      (3-79)
0 0 0 1 0 0  f 2 y   f 2 y ' 
0 0 0 0 cos  sin   f3 x   f3 x ' 
    
0 0 0 0  sin  cos   f3 y   f3 y ' 

Karena nilai gaya berdasarkan koordinat lokal dan global pada node 1 dan 2
adalah sama maka persamaan (3-79) dapat disederhanakan sebagai berikut;
 f   t  f 
3
'
3 3 (3-80)
Selanjutnya dengan mensubtitusikan persamaan (3-73) ke persamaan (3-78),
TI  f   TI K TIT d ' (3-81)
Karena ruas kiri pada persamaan (3-78) adalah sama dengan persamaan (3-79),
maka didapat hubungan sebagai berikut;

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
58
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

 F1x   d1x 
F  d 
 1y   1y 
 F2 x  d 
   TI K TI T  d 2 x  (3-82)
 F2 y   2y 
 F3 x '  d3x' 
   
 F3 y '  d 3 y ' 
Yang mana telah kita ketahui bahwa nilai perpindahan pada node 1 dan 2 jika
ditinjau dari koordinat global dan lokal adalah sama.

Contoh 3.6
Gambar 3.8 menunjukkan truss dua dimensi yang terdiri dari 3 batang dan 3 node.
Node 1 ditumpu dengan engsel dan node 3 ditumpu dengan jenis tumpuan roll.
Sedangkan pada node 2 diberi beban sebesar F = 2000 N. Tumpuan roll pada
node 2 membentuk sudut α = 450. Luas penampang masing-masing batang 1, 2
dan 3 adalah sama yaitu A= 0,04 m2 dan E = 200 x 105 N/m2. Tentukan
perpindahan pada node 2 .
F = 2000 N

3
y
3 5m
2

1 1 2
x'
5m y'
α

x
Gambar 3.9. Struktur dengan tumpuan miring
Untuk menyelesaikan persoalan seperti ini, maka kita dapat mnggunkan prosedur
yang sama pada contoh soal 3.2. Pertama kita tentukan terlebih dahulu harga
matrik kekakuan k pada masing-masing elemen batang, selanjutnya dengan cara
superposisi kita gabung untuk mendapatkan matrik kekakuan global K. Sebelum

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
59
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

menyusun matrik kekakuan, kita identifikasi dulu arah orientasi masing-masing


batang, seperti ditunjukkan pada tabel 3.2.
Tabel 3.2. Harga C dan S
No Sudut
Node C S C2 S2 CS
Elemen 
1 1-2 0 1 0 1 0 0
2 2-3 90 0 1 0 1 0
3 1-3 45 0.707 0.707 0.5 0.5 0.5

Selanjutnya dengan menggunakan persamaan (3-44) matrik k untuk masing-


masing elemen dapat disusun.
Elemen 1
d1x d1 y d2 x d2 y

1 0 1 0  16 0  16 0
1  0  104  0 0
 16 X 10  0
4 0 0 0 0
0  16 0
k
1 0 1 0 16
0   0 0
 0 0 0  0 0 
Elemen 2
d2x d2 y d3 x d3 y

0 0 0 0 0 0 0 0 
2   0  1  104 0 16 0  16
 16 X 10 0 1
4
0 0 0 0 0 0 
k
0 0
0  1  0  16 0 16 
 0 1  
Elemen 3
d1x d1 y d3x d3 y

 1 / 2 1 / 2  1 / 2  1 / 2  4 2 4 2  4 2  4 2
   
k 3  8 2 X 104 11/ /22 11/ /22 11/ /22 11/ /22   104  4 2 4 2  4 2  4 2 

 1 / 2  1 / 2 1 / 2 1 / 2    4 2  4 2 4 2 4 2 
 4 2  4 2 4 2 4 2 
Selanjutnya dengan cara superposisi matrik kekakuan K global dapat ditentukan
sebagai berikut;
d1x d1 y d2 x d2 y d3 x d3 y

4  2 2 4 0  2  2
 2 2 0 0  2  2 
4  4 0 
K  4 X 10  0 0
0
4
0
0
4
0
0 4 
 2  2 0 0 2 2

 2 
  2 0 4 2 4  2

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
60
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Setelah matrik K global dapat ditentukan, maka dengan menggunakan


persamaan (3-82) harga gaya-gaya pada masing-masing node dapat ditentukan.
Untuk lebih memudahkan kita tentukan matrik TI K , yaitu;
Harga α = -45O.
1 0 0 0 0 0
0 1 0 0 0 0
4  2 2 4 0  2  2 
0 0 
1

1
0 0
  2 2 0 0  2  2 
TI K    1
2
1
2  4 4
4 X 10  0
0
0
4
0
0
4
0
0
0
4


0 0  0 0  2  2 0 0 2 2 
 2 2   2 
0 0 0 0 1 0   2 0 4 2 4  2

0 0 0 0 0 1
4  2 2 4 0  2  2 
 2 2 0 0  2  2 
 2 2 2 2 
2 2 
 4 X 10 4  2 2 0 0

2 2 2 2
 
0 2 2 0 2 2

 2  2 0 0 2 2

  2  2 0 4 2 
4  2

dan
1 0 0 0 0 0
4  2 2 4 0  2  2  0 1 0 0 0 0
 2 2 0 0  2  2  0 1 1 
0 
  0 0
2 2  
TI KTI 
T
 4 X 10 4  2 2 0 2 2 2 2 0

2 2

2 2 2 2 1 1
  0 0
0 2 2 0 2 2
0   0
 2  2 0 0 2 2
 2 2 
  2  2 0 4 2 4  2  0 0 0 0 1 0
0 0 0 0 0 1
4  2 2 2 2 2 2  2  2 
 2 2 0 0  2  2 
 2 2  
 4 X 10 4  2 2 0 4 0 0

2 2
 
0 0 4 0 2 2

 2  2 0 0 2 2

  2  2 2 2 2 2 2 4  2 

Selanjutnya dengan menggunakan persamaan (3-82), maka persamaan


kekakuan struktur bisa kita susun sebagai berikut.
 F1x  4  2 2 2 2 2 2  2   d1 x 
2
 F1 y   2   2 
 d1 y 
F   
2 0 0 2
 
 2 x '   4 X 10 4  2 2 0 4 0 0 2 2  d 2 x'
 d 

 F2 y '  
2 2 0 0 4 0 2 2
 2 y ' 
 F3 x   2  2 0 0 2 2
 d 3 x 
 F3 y    2  4  2
 d 3 y 
 
2 2 2 2 2 2

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
61
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Dan dengan mensubtitusikan kondisi batas, maka persamaan diatas menjadi ;

 F1x  4  2 2 2 2 2 2  2  2  0 
 F1 y   2 2 0 0  2  2  0 
 0  
4 2 2 2 2 
d 2 x ' 
 F   4 X 10   2 2
0 4 0 0

2 2  0 
 2 y'    0 
0 0 4 0

 F3 x   2  2 0 0 2 2
 d 3 y 
  2000    2  2 2 2 2 2 2  
4  2

Karena kondisi batas adalah homogen maka didapat ;

 0   4 X 10 4  4 2 2 d 2 x '  d 2 x'  10,35mm


 2000 2 2   , maka dan
 4 2 d
 3y 
d 3 y  14,64mm

Dan gaya-gaya global yang bekerja pada masing-masing tumpuan dapat dilakukan
dangan mensubtitusikan harga-harga d 2x ' dan d 3 y pada persamaan kekakuan

struktur.

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
62
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

BAB IV
KEMIRINGAN DAN LENDUTAN PADA BATANG

4.1. Kekakuan Batang

Pada sub bab ini diterangkan bagaimana menurunkan matrik kekakuan


untuk elemen batang sederhana (simple beam). Telah kita ketahui dari statika
struktur, bahwa yang dimaksud dengan batang sederhana adalah suatu batang
memanjang yang ditumpu pada kedua ujungnya dan menerima beban tranversal
atau melintang sehingga menghasilkan efek bending atau tekuk sebagai reaksi dari
rotasi dan efek aksial. Berubahan bentuk tekuk atau lendutan (deformasi bending)
diukur dari perpindahan transversal atau melintang dan besar sudut rotasi pada
batang, seperti ditunjukan dengan garis putus-putus pada Gbr. 4-1. Sehingga
derajat kebebasan pada batang sederhana ini adalah perpindahan melintang dan
rotasi.
Gambar 4.1 menunjukkan elemen batang sederhana yang terdiri dari dua
node dan mempunyai panjang L. Elemen batang tersebut mempunyai koordinat
lokal axial x’ dan transversal atau lintang y’. Karena ada dua derajat kebebasan
dalam kasus ini, yaitu, perpindahan transversal atau lintang dan rotasi pada
masing-masing nodenya, maka perindahan lintang dinyatakan dengan diy dan
rotasi dinyatakan dengan Фi. Sedangkan gaya dan momen lokal pada masing-
masing node, masing-masing dinyatkan sebagai fiy’ dan mi’.
y'
x'

2’,m2’
1’,m1’
1 2

f1y’,d1y’ L f2y’,d2y’

Gambar 4.1 menunjukkan elemen batang sederhana


Telah kita ketahui dari statika bahwa dalam beam sederhana dapat
menerima beban terpusat P, beban merata w(x) dan kopel C [ ]. Selanjutnya
dapat diketahui bahwa beban-beban tersebut menyebabkan terjadinya lendutan
(deflection), y dan kemirangan (slope) dy/dx pada beam, dan dapat kita ketahui
gaya vertikal atau gaya lintang V(x) yang bekerja pada bagian beam. Di samping

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
63
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

itu, kita dapat mengetahui besar moment pada tiap bagian beam, M(x). Sesuai
dengan dasar-dasar statika, hubungan antara moment, gaya lintang terhadap
defleksi dan kemiringan pada beam dinyatakan sebagai berikut;
Deflection  y (4-1a)
dy
Slope  (4-1b)
dx

d2y
Moment  M x   EI 2 (4-1c)
dx
d3y
GayaVertik al  V x  
dM
 EI 3 (4-1d)
dx dx
d4y
Beban  wx  
dV
 EI 4 (4-1e)
dx dx
Rumus (4-1) berlaku dengan asumsi harga modulus elastisitas E dan momen
inersia I adalah konstan.
Selanjutnya sesuai dengan prosedur penurunan persamaan dan matrik
kekakuan pada bab sebelumnya, maka disini kita turunkan untuk kasus elemen
beam.
1. Memilih jenis elemen
Elemen yang kita gunakan adalah elemen batang yang ditunjukkan pada
Gbr.4.1.
2. Menentukan fungsi perpindahan
Karena elemen beam/batang yang ditunjukkan pada Gbr.4.1 mempunyai
total 4 derajat kebebasan, yaitu , perpindahan transversal atau vertikal diy dan
rotasi atau kemiringan Фi pada masing-masing node, maka fungsi perpindahan
yang dipilih adalah fungsi kubik yang ditunjukkan pada rumus (4-2) berikut
ini.
v' ( x' )  a1 x'3 a2 x'2 a3 x'a4 (4-2)

Selanjutnya fungsi v' ( x' ) dinyatakan sebagai fungsi derajat kebebasan pada
masing-masing node yang terdiri dari 1’,d1y’2’ dan d2y’ sebagai berikut ;
v' (0)  d1 y '  a4 (4-3a)

dv' (0)
 1 '  a3 (4-3b)
dx'

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
64
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

v' ( L)  d 2 y '  a1L3  a2 L2  a3 L  a4 (4-3c)

dv' ( L)
 2 '  3a1 L2  2a2 L  a3 (4-3d)
dx'
Selanjutnya dengan menggunakan empat persamaan (4-3), konstanta a1
sampai dengan a2 dapat ditentukan dan kemudian disubtitusikan kembali ke
persamaan (4-2), maka ;

v'   3 d1 y '  d 2 y '   2 1 '2 ' x'3   2 d1 y '  d 2 y '   21 '2 ' x'2
2 1   3 1 
L L   L L 
 1 ' x' d1 y '

(4-4)
dan jika disederhanakan sesuai dengan parameter perpindahan dan rotasi
(kemiringan) maka persamaan (4-4) menjadi sebagai berikut;
1
 
 1

v'   3 2 x'3 3x'2 L  L3  d1 y '   3 x'3 L  2 x'2 L2  x' L3  '
1
L  L 
1
 
 1
 
  3  2 x'3 3x'2 L  d 2 y '   3 x'3 L  x'2 L2 2 ' 
L  L 
(4-5)
Jika dinyatakan dalam bentuk matrik menjadi;
v'  N d ' (4-6a)
yang mana ;
 d1 y ' 
 ' 
d '   1  (4-6b)
d 2 y ' 
 2 ' 

dan

N1 
1
L3

2 x'3 3x'2 L  L3 
N2 
1 3
L3

x' L  2 x'2 L2  x' L3  (4-6c)

N3 
1
L3

 2 x'3 3x'2 L 
N4 
1 3
L3

x' L  x'2 L2 

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
65
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

3. Mendefinisikan hubungan regangan/perpindahan dan tegangan/regangan


Regangan arah aksial pada bidang dua dimensi dapat dinyatakan sebagai
hubungan sebagai berikut ;

 x '  x ' , y ' 


du '
(4-7)
dx'
yang mana du’ adalah fungsi perpindahan keaarah x’. Jika merujuk pada Gbr.
4.2 yang menunjukkan terjadinya perubahan bentuk beam, maka hubungan
perpindahan arah aksial dan tranversal dapat dinyatakan sebagai ;
dv'
u'   y' (4-8)
dx'
yang mana dv’ adalah fungsi perpindahan kearah y’. Sehingga persamaan (4-
7) dapat dinyatakan sebagai;
d 2 v'
 x '  x ' , y '   y ' (4-9)
dx'2
y’,v’

D
A

x’,u’
B
C

A D

C
B dv’/dx’=Ф’

dv’/dx’=Ф’
-y’

Gambar 4.2 Perubahan bentuk beam setelah diberi beban


Sesuai dengan dasar-dasar persamaan beam maka hubungan perpindahan
transversal atau vertikal beam terhadap momen dan gaya vertikal atau gaya
geser dapat dinyatkan sebagai berikut ;

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
66
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

d 2 v'
Moment  M ' x'  EI (4-10)
dx'2
dan
d 3v'
GayaVertik al  V ' x'  
dM
 EI (4-11)
dx dx'3
4. Menurunkan rumus dan matrik kekakuan
Dengan mensubtitusikan persamaan (4-4) ke persamaan (4-10) dan (4-11)
maka kita mendapatkan persamaan gaya dan momen pada masing-masing
node (fiy’ dan mi’).
d 3v' 0 EI
f1 y '  V ' 0  EI  3 12d1 y '  6L1 '12d 2 y '  6L2 ' 
dx'3 L
d 2 v' 0 EI
. m'1   M ' 0   EI 2
 3 6Ld1 y '  4 L21 '6Ld2 y '  2 L22 '  (4-12)
dx' L
d 3v' L  EI
f 2 y '  V ' L    EI  3  12d1 y '  6L1 '12d 2 y '  6L2 ' 
dx'3 L

d 2 v' L EI
m'2  M ' L  EI 2
 3 6Ld1 y '  2L2 '1 6Ld 2 y '  4 L22 '
dx' L
Jika dinyatakan dalam bentuk matrik maka;
 f1 y '   12 6 L  12 6 L  d1 y ' 
 m'1  EI  6 L 4 L2  6 L 2 L2   '1 
 f   3  12  6 L 12  6 L d  (4-13)
 2 y '  L  6 L 2 L2  6 L 4 L2  2 y ' 
 m' 2    2 ' 

Sehingga harga k’ adalah


 12 6 L  12 6 L 
EI  6 L 4 L2  6 L 2 L2 
k'  3  12  6 L 12  6 L 
L  6 L 2 L2  6 L 4 L2 
 
Selanjutnya setelah dapat kita tentukan harga k’, maka langkah selanjutnya
adalah sama seperti penjelasan pada bab sebelumnya. Berikut ini ditunjukkan
contoh bagaimana menggabung matrik kekakuan tiap-tiap elemen menjadi
matrik kekakuan global.

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
67
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Contoh 4.1 y

100 N m
x
1 3
1 2 2

1m 1m

100 N
Gambar 4.3 Beam sederhana
Dengan menggunakan persamaan (4-13), maka matrik kekakuan untuk masing-
masing elemen dapat disusun.
Elemen 1
d1 y '  '1 d 2 y ' 2 '

 12 6  12 6 
 6 4 6 2 
k '  EI 
(1)
 12  6 12  6
(4-14)
 6 6 4 
 2 
Elemen 2
d 2 y '  '2 d 3 y ' 3 '

 12 6  12 6 
 6 4 6 2 
( 2)
 EI 
 12  6 12  6
k' (4-15)
 6 6 4 
 2 
Dengan menggunakan superposisikan persamaan (4-14) dan (4-15), maka matrik
kekakuan global K menjadi sebagai berikut.

d1 y '  '1 d2 y' 2 ' d3 y' 3 '

 12 6  12 6 0 0 
 6 4 6 2 0 0 
 6 
K  EI  12 6 12 0  12
2 
(4-16)
6 2 0 8 6
 0 0  12 6 12  6
 0 6 4 
 0 6 2 
Maka persamaan kekakuan global dapat disusun berdasarkan persamaan (4-16),
dan menjadi;

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
68
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

 F1 y  d 
 M1   12 6  12 6 0 0  1 y 
F   6 4 6 2 0 0  1 
 2 y   EI  12  6 12 0  12 6 d 2 y 
 6 2  2 
(4-17)
M 2  6 2 0 8
 0 0  12  6 12  6 d 
 F3 y   0
M   0 6 2  6 4  3 y 
 3  3 
Dengan mensubtitusikan kondisi batas, maka persamaan (4-17) menjadi ;
 F1 y   12 6  12 6 0 0  0 
 M1   6 4  6 2 0 0  0 
 100  12  6 12 0  12 6  d 2 y 
 100  EI  6 2 0 8  6 2  2 
(4-18)
 F   0 0  12  6 12  6 0 
 3y   0  6 4  0 
 M 3   0 6 2

Karena kondisi batasnya homogen, maka;

 100  EI 12 0d 2 y 


 100  0 8   (4-19)
  2 
Dan jika dijabarkan maka persamaan (4-19) menjadi sebagai berikut;
50
d2 y  
6 EI
25
2   (4-20)
2 EI
Dengan menggunkan persamaan (4-18), (4-19) dan (4-20) maka ;
F1 y  25N ; M1  25Nm ; F3 y  175N ; M 3  75Nm

4.2. Beban Merata

Gambar 4.4a menunjukkan suatu beam dengan beban merata dan ditumpu
dengan tumpuan jepit pada kedua ujungnya. Karena tumpuan jepit mampu
menerima momen dan gaya, maka dengan menggunakan prinsip-prinsip statika
tak tentu, gaya reaksi dan moment pada masing-masing tumpuan tersebut dapat
ditentukan, dan mempunyai harga seperti ditunjukkan dengan diagram bebas pada
Gbr. 4.4b.

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
69
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

W (N/m)

a.) Beban merata dengan tumpuan jepit dikeduaujungnya


wl 2 wl 2
12 12

wl wl
2 2
b) Reaksi pada masing-masing tumpuan
Gambar 4.4 Beban merata beam
Jika masing-masing tumpuan pada diagram bebas Gbr.4.4b dianggap
sebagai node, maka beban equivalen pada beam yang disebabkan oleh beban
merata dapat dinyatakan seperti pada Gbr. 4.5. Beban equivalen pada masing-
masing node atau tumpuan adalah beban yang mempunyai efek yang sama
(defleksi ataupun rotasi) pada beam jika diberi beban merata seperti pada Gbr.4.4.
Ada tidaknya efek tergantung dari jenis tumpuan pada masing-masing node. Dari
Gbr 4.5 dapat disimpulkan bahwa masing-masing node pada elemen garis yang
mewakili beam dapat menerima gaya ataupun momen jika node-node tersebut
mewakili tumpuan jepit dan besar defleksi dan rotasi adalah berharga nol.
wl wl
2 2

wl 2 1 2
wl 2
12 12
Gambar 4.5 Beban ekivalen beban merata dengan tumpuan jepit di kedua
tumpuannya
Oleh karena metode kekakuan langsung berdasarkan kondisi pada node
maka kita harus dapat mengidentifikasi gaya, momen, rotasi dan deflrksi pada
node. Secara umum, untuk kondisi beban terpusat maupun terdistribusi dapat
dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut;
F  Kd  F0 (4-21)

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
70
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

yang mana F adalah gaya-gaya pada tiap-tiap node, F0 adalah gaya-gaya


equivalen pada masing-masing node, dan Kd adalah gaya efektif yang bekerja
pada node.

Contoh 4.2
Gambar 4.6a menunjukkan suatu kantiliver dengan beban yang
terdistribusi, dan pada Gbr.4.6b menunjukkan tegangan equivalen yang terpusat
pada tiap-tiap node untuk beam dengan beban merata. Beban equivalen terpusat
tersebut adalah semua beban yang memungkinkan dapat diterima pada node.

l
a. Kantilever dengan beban merata

wl wl
 
2 2

wl 2
wl 2 1 2
 12
12
b. Beban equivalen pada masing-masing node.
Gambar 4.6. kantiliver beam
Dengan menggunakan persamaan (4-21), harga F0 yang merupakan gaya
equivalent dapat ditentukan dengan merujuk pada Gbr 4.6b, sebagai berikut ;
 wl 
 2 
 wl 2 
 
F0   12  (4-22a)
  wl 
 2 
 wl 2 
 
 12 
Besar beban F0 akan memberikan rotasi dan defleksi yang sama dengan beban
merata pada masing-masing node. Oleh karena itu, pertama-tama kita misalkan
bahwa harga gaya atau beban global adalah F = 0, sehingga berlaku ;
F0  Kd (4-22b)

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
71
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Sehingga harga d dapat ditentukan dangan menggunkan persamaan (4-13) ;


 wl 
 2 
 wl 2 
   12 6 L  12 6 L   d1 y 
2  
 12   EI  6 L 4 L  6 L 2 L   1 
2
(4-22c)
  wl  L3  12  62L 12  62L  d 2 y 
 2   6 L 2 L  6 L 4 L   2 
 wl 
2
 
 12 
Selanjutnya kita subtitusikan kondisi batas, karena pada node 1 adalah tumpuan
jepit maka harga perpindahan dan rotasi adalah nol ( d1 y  1  0 ), sehingga

persamaan (4-22c) disederhanakan menjadi;


 wl 
 2  EI  12  6l d 2 y 
 wl 2   3  6l 4l 2  2 
(4-22d)
  L 
 12 
Dengan meniverse matrik K pada persamaan (4-22d), maka harga matrik d dapat
ditentukan sebagai berikut ;
 wl 

 6l   2 
1
d 2 y  L  12
3

 2   EI  6l 4l 2   wl 2 
(4-22e)
 
 12 

 wl   wl   wl 4 
  
d 2 y  l 1 4l 2 6l  2   L 2l 2 3l  2    8EI 
3

 2  EI 12l 2   2  3 
12   2  6
.
 6l  wl  6 EI  3l  wl   wl 

 12   12   6 EI 
Setelah harga perpindahan dan rotasi dapat diketahui pada persamaan (4-22e),
maka selanjutnya harga-harga ini disubtitusikan ke persamaan (4-21), dan jika
dijabarkan menjadi sebagi berikut ini;

 wl 

 d1 y   2 
   2
 F1 y   12 6 L  12 6 L  1   wl 
 M1   6 L 4 L2  6 L 2 L2  wl 4   12 
 F   EI  12  6 L 12  6 L    (4-22f)
  2y
 6 L 2 L2  6 L 4 L2   8 EI    wl 
 M 2    wl   2 
3

   2 
 6 EI   wl 
 12 

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
72
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Karena pada node 1 adalah tumpuan jepit maka harga perpindahan dan
rotasi adalah berharga nol sehingga persamaan (4-22f) menjadi;
 wl 

 0   2 
 2
 F1 y   12 6 L  12 6 L  0 4   wl 
 M1   6 L 4 L2  6 L 2 L2  wl 
 F   EI  12  6 L 12  6 L   8EI    12 
  2y
 6 L 2 L2  6 L 4 L2  3 
 
wl 
 M 2    wl   2 

 6 EI   wl 
2
 
 12 

 wl   wl 
 2   2 
 F1 y   5wl 2   wl 2   wl2 
 M 1   12   12   wl 
 F    wl    wl    2  (4-22g)
 2y        0 
 2 
M  2   2   
 wl 2   wl 2   0 
   
 12   12 

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
73
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

BAB V
DEFLEKSI/LENDUTAN (SPECIAL CASES)

Dalam perencanaan suatu bagian mesin atau struktur selain perhitungan


tegangan (stress) yang terjadi akibat beban yang bekerja, besarnya lenturan
seringkali harus diperhitungkan. Hal ini disebabkan walaupun tegangan yang
terjadi masih lebih kecil daripada tegangan yang diijinkan oleh kekuatan bahan,
bisa terjadi besar lenturan akibat beban yang bekerja melebihi batas yang diijinkan.
Keadaan demikian dapat menyebabkan kerusakan yang serius pada bagian mesin
seperti :
a. Keretakan pada bahan
b. Bantalan pada poros yang berputar cepat rusak.
c. Bidang kontak antara roda-roda gigi menjadi tidak sempurna.
Besarnya lenturan yang terjadi pada suatu bagian mesin terutama tergantung
kepada beberapa faktor sbb.
a. Sifat kekakuan bahan (modulus elastisitas)
b. Posisi batang terhadap beban dan dimensi batang, yang biasanya
ditunjukkan dalam besaran momen inertia batang.
c. Besarnya beban yang diterima
Lenturan pada suatu batang dapat terjadi akibat adanya beban gaya geser atau
momen lentur. Lenturan akibat beban geser umumnya sangat kecil dibandingkan
dengan lenturan akibat beban momen. Lenturan akibat beban geser biasanya
hanya diperhitungkan untuk batang yang sangat pendek, sehingga proporsi
terhadap lenturan yang terjadi karena beban momen menjadi cukup berarti.
Penyelesaian kasus lenturan dapat digunakan dengan metode analitis,
eksperimental maupun dengan metode numerik.

5.1. Metode Analitis dengan Metode Castigliano

Metode ini merupakan metode yang paling banyak dipakai untuk pemecahan
masalah lenturan yang terjadi pada suatu struktur atau batang. Metode ini
dikembangkan oleh seorang insinyur Italia bernama Alberto Castigliano pada

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
74
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

tahun 1873. Teori dasar metode ini dikembangkan berdasarkan perhitungan besar
energi yang tersimpan didalam suatu batang akibat beban yang bekerja padanya.
Prinsip kekekalan energi dapat dipakai sebagai dasar pembahasan metode ini,
yaitu energi input harus selalu sama dengan output ditambah energi yang hilang
dan lain-lain. Pada suatu batang yang terbebani energi inputnya adalah kerja yang
dilakukan oleh beban, sedang outputnya adalah energi yang tersimpan didalam
batang karena batang tidak melakukan kerja.
Teori dasar dari metode Castigliano, yang secara umum dapat dijabarkan
sebagai : "Apabila energi strain yang tersimpan didalam batang dapat
dinyatakan dalam fungsi gaya-gaya yang bekerja padanya, turunan partial
fungsi tsb. terhadap salah satu gaya adalah sama dengan lenturan yang
terjadi pada titik bekerjanya gaya tersebut."
Besar lenturan (yi) yang terjadi pada suatu titik dimana bekerja gaya Pi adalah :

U 1
L
M
yi =
Pi
=
EI 
0
M
Pi
dx (5-1)

5.2. Pemodelan Kasus Lendutan (Elemen Beam) dengan MEH

Lendutan batang dijelaskan dalam elemen beam sebagai fungsi


perpindahan v(x). Fungsi differensial dari kesetimbangan elemen beam dalam
kondisi tidak mengalami pembebanan yaitu :
4v
=0
x 4

y, v

1 EI 2
M 1,  1
x, u
L
M2, 2

Y1, v1 Y2, v2
Gambar 5.1. Model elemen beam 2 node

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
75
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Solusi pendekatan yang dipilih adalah fungsi polinomial cubic :


v(x) = a1 + a2 x + a3 x2 + a4 x3 (5-2)
konstanta a1, a2, a3 dan a4 dapat dicari dengan memanfaatkan persamaan kondisi
batas yang ada pada node.
v
v = v1 dan = 1 pada x = 0
x
v
v = v2 dan = 2 pada x = L (5-3)
x
Sehingga didapatkan persamaan perpindahan titik node dengan konstanta yang
akan dicari dalam bentuk matrik sebagai berikut :
 v 1  1 0 00  a1 
  0 1 0 0  a 
 1    2
 =  
 v 2  1 L L2 L3  a 3 
 2  0 
1 2L 2L2   a 4 

Matrik konstanta dapat dicari dengan invers yaitu :

a1   L3 0 0 0  v1 
a   
 2 1  0 L3 0 0   1 
 = 3   
 a 3  L  3L  2L
2
3L  L2   v 2 
 a 4  
 2 L 2 L   2 

dan dimasukkan kembali pada fungsi polinomial cubic (2) sehingga :


3x 2 2x 2 3x 2 x2 2x 3 x3 2x 3
v(x) = v1 + x 1 - v 1 - 1 + v 2 - 2 + v 1 + 1 - v2 +
L2 L L2 L L3 L2 L3
x3
2
L2
dibentuk menjadi rumusan akhir berikut :
v(x) = N1(x) v1 + N2(x) 1 + N3(x) v2 + N4(x) 2
dengan :
2 3
x x
N1(x) = 1 – 3   + 2  
L L

 x2   x3 
N2(x) = x – 2   +  2 
 L  L 
2 3
x x
N3(x) = 3   - 2  
L L

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
76
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

 x2   x3 
N4(x) = –   +  2  (5-4)
 L  L 
N1(x), N2(x), N3(x) dan N4(x) adalah Shape Function.
Persamaan stiffness dari elemen beam didapat dengan menggunakan teorema
Castigliano yaitu :
U
Fi = (5-5)
q i
Dengan : Fi = nodal force / moment
U = strain energy
q = perpindahan / rotasi nodal dof
i = jumlah dof
Strain energy elemen beam dengan uniform cross section adalah :
2
 2v 
L
EI
U=
2 0  x 2  dx (5-6)

Sehingga dibutuhkan differensial terhadap shape function untuk memenuhi


persamaan di atas.
2v
= N1’’(x) v1 + N2’’(x) 1 + N3’’(x) v2 + N4’’(x) 2 (5-7)
x 2

6 x
dengan : N1’’ (x) = - + 12 3
L2
L
4 x
N2’’ (x) = - + 6 2
L L
6 x
N3’’ (x) = - 12 3
L2
L
2 x
N4’’ (x) = - + 6 2 (5-8)
L L
Dengan memasukkan persamaan 5-7 ke dalam teorema castigliano, maka
diperoleh :
U  2v    2v 
L
EI
Yi =
v i
=
2 0  x 2  vi
2  2  dx
 x 
L

=EI 
0
( N1’’(x) v1 + N2’’(x) 1 + N3’’(x) v2 + N4’’(x) 2 ) N1’’(x) dx

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
77
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

= k11 v1 + k12 1 + k13 v2 + k14 2


L L

dengan : k11 = E I 
0
’’
N1 (x) N1 (x)’’
k12 = E I 
0
N1’’(x) N2’’(x)

L L

k13 = E I 
0
’’
N1 (x) N3 (x)’’
k14 = E I 
0
N1’’(x) N4’’(x)

diambil contoh untuk menghitung k11 yaitu :


2 L
L
6 x EI  72 x 2 48 x 3 
k11 = E I   - 2  12 3  dx = 4  36x -  2 
0 L L  L  L L 0

EI
= 12
L3
Dengan prosedur yang sama maka dapat dirumuskan persamaan stiffness yaitu :

 12 6 12 6 
 L2 
L L2 L   v 
 Y1   6 6  1
M   4  2   
 1 E I  L
 =
L   1
 
12 6 12 6
 Y2  L  2    v2 
 M 2   L L L 2
L   
 6 6   2
 2  4 
 L L 
atau dalam simbol : {F} = [K] {d}

Contoh 5.1
Hitung displacement di titik 2 pada kasus beam di bawah ini.

PL P
2EI
EI
  

L
2L

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
78
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Model Elemen hingga dapat digambarkan sebagai berikut:

1 EI 2 2E I 3

M1, 1 M2, 2 M3, 3

Y1, v1 Y2, v2 Y3, v3


L 2L

Persamaan {F} = [K] {d} didefinisikan sesuai informasi kasus, sehingga:


 Y1     v1 
M   [ K ]global  assembly   
 1    1
 Y2   [k1 ] & [k 2 ]   v2 
M      
 2    2
 Y3     v3 
M     
 3    3
Masukkan harga pembebanan (Y2 = -P, M2 = PL dan M3=0) dan harga
displacement kondisi batasnya (v1 = 1 = v3 = 0), sehingga:
 
 Y1    0
M    0
 1    
 P   [ K ]global  assembly   v2 
 PL      
    2
[k1 ] & [k 2 ]

 3  
Y  0
 0     
     3
 

Dihitung [k] lokal masing-masing elemen [k]1 dan [k]2


v1 1 v2 2 v 2 2 v3 3

12 6  12 6  v 3 3 3 3  v
 L2 L L2 L 
1
 L2 L L2 L 
2

 6   3 
EI  2  1 EI  2  2
k 1   4
L  k 2   4
L 
L 12  6  v2 L 3  3  v3
 simetri  simetri
 L2 L  L2 L 

 4   2  4   3

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
79
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Assembly [k]1 dan [k]2 menjadi elemen kekakuan global [K]G


1 1 2 2 3 3
v1
 12 6  12 6 
 L2 0 0 
L L2 L 1
 6 
 4 2 0 0 
 L  v2
6 3 3
2 EI 
12 3 3 
 
K G   L2 L2 L L L2 L  2
2L  3 
 44 2 
 L  v3
 3  3
 L2 L  3
 4 

Dimasukkan ke persamaan {F} = [K] {d} sehingga:

 12 6  12 6 
 L2 0 0 
L L2 L
 Y1   6  0
M   4 2 0 0  0
  1  L   
6 3 3
 P  2 EI 
12 3 3 
   v2 
 PL   2 L  L2 L2 L L L2 L   
   3   2
 Y3   44 2  0
 0   L   
   3  3  3
 L2 L 
 4 

 18 30 
15 3 3 28 L  L 
 P   L2 L  v2   v2    P 

L 51 39   
 PL   2      = L
3
2 EI 8    PL
  2L    2  2  276 EI  L2 L2   
 0   4  3   3   111   0 
   L2 

 
 v2   10
  = PL
3  33 
 2  276 EI  
 3   L 
 9 
 L 

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
80
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Contoh 5.2
Hitung lendutan di tengah batang kasus berikut.
p(x) = -p

EI
L/2 L/2

Model Elemen hingga dengan menggunakan 2 elemen dapat digambarkan berikut:

1 EI 2 2E I 3

M 1,  1 M 2,  2 M 3 , 3

Y1, v1 Y2, v2 Y3, v3


L/2 L/2

Kasus ini merupakan kasus simetri sehingga bisa dimodelkan dengan ½ bagian.
Model Elemen hingga dapat disederhanakan dengan minimal 1 elemen saja.

1 EI 2

M1, 1 M2, 2

Y1, v1 L/2 Y2, v2

Persamaan {F} = [K] {d} didefinisikan sesuai informasi kasus, sehingga:


 Y1     v1 
M     
 1   [k 1 ]   1
 
 Y2    v2 
     2 
M 2   
Masukkan harga displacement kondisi batasnya (v1 = 2 = 0), sehingga
penyelesaian matrik bisa dikurangi ukurannya menjadi:
 48 12  48 12 
 Y1   L2
L L2 L  0
M    12  
 1 EI  4 2  1 
 Y2  L / 2  L  v 
   48  12   2
L   0 
simetri
 2
M  L2

 4 

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
81
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

dan di kasus ini beban merata perlu ditranformasikan dulu menjadi beban
ekuivalen node, dimana:
L
2
  x2  x3  p L2
M1 =  
L

 p .  x  4   4 3  dx = 
L 48
0 
L
2   x 2 x 
3
pL
Y2 = 
0
 p . 12   16   dx = 
  L   L   4

  12 
 1 
M 1 
 
L3  4 L  1  1 
  =
PL3
Sehingga :   12 48  v   51
 Y2  48 EI    2 v2  24 EI 16 
 L L2 

Contoh 5.3
Hitung lendutan di ujung batang kasus berikut.

p(x) = -p 
x

 
L

P0

EI
L

Model Elemen hingga dapat menggunakan minimal 1 elemen.

1 EI 2

M 1,  1 M2, 2

Y1, v1 L Y2, v2

Persamaan {F} = [K] {d} didefinisikan sesuai informasi kasus, sehingga:


 Y1     v1 
M     
 1   [k 1 ]   1
 
 Y2    v2 
     2 
M 2   

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
82
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Masukkan harga displacement kondisi batasnya (v2 = 2 = 0), sehingga


penyelesaian matrik bisa dikurangi ukurannya menjadi:
12 6  12 6 
 1 
Y  L2
L L2 L   v1 
M   6  
 1   EI  4 2  1 
 Y2  L  L  0
   12  6  
 simetri  
 2
M L2
L  0
 4 

dan di kasus ini beban merata perlu ditranformasikan dulu menjadi beban
ekuivalen node, dimana:

p0 x  x 
2 3
x
L
3p L
Y1 = 
0
 . 1  3   2   dx =  0
L  L  L   20

L
p0 x   x 2  x3  p L2
M1 = 
0

L 
.  x  2   3  dx =  0
 L L  30

12 6 
 1  EI  L2 L  v1 
Y
Sehingga :     
M 1  L  6 4  1 
L 

  6   3 p0 L   L
v1  L  43
L   20  p0 L3  30 
  =   2 =  1 
1  12 EI   6 12    p0 L  EI  

 L L   30 
2   24 

Contoh 5.4
a). Data Kasus :
 Lebar Plat = 20 mm
 Panjang dan Tebal Plat
Plat 1 : Panjang = 637 mm, dan Tebal = 4 mm
Plat 2 : Panjang = 650 mm, dan Tebal = 3 mm
 Besar Pembebanan
P = 200, 300, 400, 500, 600, 700, 800, 900, 1000 dan 1100 gr
 Jarak pengukuran data = 10 mm pada tiap-tiap lokasi pengambilan data
(A-B, B-C, C-D, E-F dan sisa jarak pada F-G)

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
83
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

 Posisi Pembebanan yaitu di ujung batang


y

A B C D E F G
x

L P

Gambar 5.2. Model Kasus dan Jarak Lokasi Pengambilan Data


b) Komparasi yang dilakukan adalah dengan :
1. Ekperimental dengan cara mengukur lenturan
2. Metode Analitis dengan Metode Castigliano
3. Metode Numerik dengan Metode Elemen Hingga

Penyelesaian
a. Ekperimental dengan cara mengukur lenturan
Data lendutan diukur dengan dial indicator dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.1. Data Lendutan untuk plat 1 (L = 637 mm, t = 4 mm)
LOKASI PENGAMBILAN DATA LENDUTAN (mm)
P (gr)
A B C D E F G
200 0,22 1,4 2,535 4,29 6,27 8,2 8,39
300 0,35 1,935 3,74 6,42 9,16 12,5 12,63
400 0,595 2,595 4,96 8,415 11,985 16 16,72
500 0,74 3,195 6,19 10,515 14,89 19,88 20,74
600 0,815 3,775 7,38 12,46 17,855 23,82 24,98
700 1,325 4,34 8,535 14,44 20,78 27,585 29
800 1,535 4,92 10,765 16,385 23,615 31,49 33,115
900 1,685 5,575 11 18,43 26,4 35,249 37,6
1000 1,9 6,19 12,17 20,425 29,32 38,96 40,81
1100 2,7 6,76 13,475 22,36 32,1 42,57 44,905

Tabel 5.2. Data Lendutan untuk plat 2 (L = 650 mm, t = 3 mm)


LOKASI PENGAMBILAN DATA LENDUTAN (mm)
P (gr)
A B C D E F G
200 0,9 3,325 6,525 10,62 15,5 20,085 22,01
300 1,35 4,655 9,755 15,575 22,28 29,5 32,26

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
84
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

400 1,78 6,05 12,18 20,735 28,935 38,93 42,49


500 2,235 7,495 15,2 25,23 36,385 48,115 52,56
600 2,67 8,735 18,4 30,05 43,12 57,39 62,56
700 2,96 10 21,33 34,9 50 66,36 72,35
800 3,2 11,27 24,2 39,59 56,93 75,36 82,08
900 3,71 12,68 27,07 44,33 63,755 84,22 91,58
1000 4,05 14,11 29,595 48,97 70,125 92,52 100,81
1100 4,46 15,345 32,715 53,655 76,645 101,23 109,86

b. Metode Analitis dengan Metode Castigliano


y

P x

Gambar 5.3. Model potongan untuk perhitungan metode Castigliano


Sumbu koordinat diambil pada ujung bebas, sehingga momen yang
bekerja pada jarak x adalah,
M = - Px
Turunan partial fungsi momen terhadap gaya P adalah
M/P= -x
L
P L3

2
EI.y = (Px ) dx =
0 3

P L3
Sehingga lenturan yang terjadi pada P adalah : y=
3 EI
Dengan memasukkan data variasi pembebanan (P), Modulus Elastisitas
bahan (E = 19,5 x 103 MPa) dan momen inersia (I), maka dapat ditabulasikan
hasil perhitungan lendutan pada ujung batang (di titik G) sebagai berikut :

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
85
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Tabel 5.3. Hasil perhitungan dengan metode Castigliano

P (gr) Lendutan Plat 1 Lendutan Plat 2


200 8,2845 20,8642
300 12,4267 31,2963
400 16,5689 41,7284
500 20,7111 52,1605
600 24,8534 62,5926
700 28,9956 73,0247
800 33,1378 83,4568
900 37,2800 93,8889
1000 41,4223 104,3210
1100 45,5645 114,7531

c. Metode Elemen Hingga dengan bantuan Ansys.


Pemodelan dilakukan dengan menggunakan elemen beam, yaitu elemen
garis dengan 2 node dan masing-masing node memiliki 2 dof yaitu translasi
(dalam bentuk lendutan) dan rotasi (dalam bentuk slope). Meshing Kasus dibuat
dengan cara manual, yaitu pada masing-masing lokasi pengukuran data dibuat
node, sehingga total dipakai sejumlah 7 buah elemen dan 8 node.

1 2 3 4 5 6 7

M1, 1 M2, 2 M3, 3 M4, 4 M5, 5 M6, 6 M7, 7 M8, 8

Y1, v1 Y2, v2 Y3, v3 Y4, v4 Y5, v5 Y6, v6 Y7, v7 Y8, v8


Gambar 5.4. Pemodelan metode elemen hingga
Tabel 5.4. Hasil perhitungan dengan Ansys untuk plat 1
LOKASI PERHITUNGAN DATA LENDUTAN (mm)
P (gr)
A B C D E F G
200 0.29022 1.0968 2.3236 3.8744 5.6530 7.5635 8.2845
300 0.43534 1.6452 3.4853 5.8115 8.4796 11.345 12.427
400 0.58045 2.1936 4.6471 7.7487 11.306 15.127 16.569
500 0.72556 2.7420 5.8089 9.6859 14.133 18.909 20.711
600 0.87067 3.2904 6.9707 11.623 16.959 22.690 24.853
700 1.0158 3.8388 8.1325 13.560 19.786 26.472 28.996

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
86
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

800 1.1609 4.3872 9.2942 15.497 22.612 30.254 33.138


900 1.3060 4.9356 10.456 17.435 25.439 34.036 37.280
1000 1.4511 5.4840 11.618 19.372 28.265 37.817 41.422
1100 1.5962 6.0324 12.780 21.309 31.092 41.599 45.564

Tabel 5.5. Hasil perhitungan dengan Ansys untuk plat 2


LOKASI PERHITUNGAN DATA LENDUTAN (mm)
P (gr)
A B C D E F G
200 0.70275 2.6591 5.6410 9.4207 13.770 18.462 20.864
300 1.0541 3.9886 8.4615 14.131 20.655 27.692 31.296
400 1.4055 5.3181 11.282 18.841 27.540 36.923 41.728
500 1.7569 6.6477 14.103 23.552 34.425 46.154 52.160
600 2.1083 7.9772 16.923 28.262 41.311 55.385 62.593
700 2.4596 9.3067 19.744 32.972 48.196 64.615 73.025
800 2.8110 10.636 22.564 37.683 55.081 73.846 83.457
900 3.1624 11.966 25.385 42.393 61.966 83.077 93.889
1000 3.5138 13.295 28.205 47.104 68.851 92.308 104.32
1100 3.8651 14.625 31.026 51.814 75.736 101.54 114.75

Pembahasan
Secara umum hasil perhitungan dengan metode Castigliano dan metode
elemen hingga mempunyai karakteristik data yang cukup dekat dengan data
pengujian seperti tampak pada grafik berikut. Dimana makin besar pembebanan
semakin besar pula lendutan yang terjadi.
Hasil perhitungan dengan metode Castigliano dan metode elemen hingga
mempunyai hasil yang sama, dikarenakan perumusan elemen beam dikembangkan
dari teorema Castigliano. Yang beda hanya sebatas pendekatan jumlah angka
dibelakang koma, karena metode elemen hingga merupakan metode numeric yang
memiliki hasil mendekati eksak.

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
87
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

GRAFIK BEBAN - LENDUTAN UNTUK PLAT 1


50

45

40

35

LENDUTAN (mm) 30

25

20

15
HASIL PENGUJIAN
10
METODE CASTIGLIANO
5 METODE ELEMEN HINGGA
0

0 200 400 600 800 1000 1200

PEMBEBANAN (gr)

Gambar 5. Hasil pengukuran dan perhitungan lendutan


Hasil yang didapatkan metode elemen hingga memiliki kelebihan yaitu
dapat memplot besar lendutan pada tiap node sepanjang batang tergantung dari
jumlah elemen yang dipakai. Sedangkan metode Castigliano hanya dapat memplot
hasil 1 harga lendutan untuk setiap kali perhitungan. Dari hal tersebut telah
dilakukan verifikasi penggunaan metode elemen hingga untuk terapan kasus
lendutan dengan hasil yang cukup baik.
Perbedaan hasil pengukuran lendutan (eksperimen) dengan perhitungan
yakni metode Castigliano (mewakili solusi dengan mathematic modelling) dan
metode elemen hingga (mewakili solusi dengan numerical modelling) disebabkan
hal-hal sebagai berikut :
1. Pada solusi dengan mathematic dan numerical modelling masih
menggunakan asumsi-asumsi sebagai berikut :
- Batang dianggap homogen dan isotropic.
- Pembebanan dianggap murni statis.
2. Pada waktu pengujian terjadi kemungkinan penyimpangan dalam
pengukuran data sebagai berikut :
- Pembebanan tidak dapat dijamin halus, sehingga dapat muncul
sedikit hentakan/bergoyang.
Kondisi batang yang sudah tidak lurus lagi.

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
88
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

BAB VI
STRUKTUR

Pada bab terdahulu dijelaskan bagaimana menurunkan rumus-rumus dan


matrik kekakuan pada beam sederhana, yang mana pada beam tersebut dapat
dianggap satu elemen atau lebih dari satu, dan mempunyai arah orientasi yang
paralel dengan koordinat global atau juga mempunyai arah tertentu terhadap
koordinat global. Pada kenyataan, suatu struktur tidak hanya tersusun dari satu
beam saja tetapi lebih dari satu beam dan mempunyai arah orientasi yang berbeda-
beda dalam satu kesatuan. Struktur tersebut dalam ilmu statika disebut sebagai,
truss, frame dan grid. Oleh karena itu, dalam bab ini akan diterangkan bagaimana
menurunkan rumus dan matrik kekakuan pada struktur truss, frame dan grid.

6.1. Elemen Beam 2-D Arah Orientasi Sembarang

Gambar 6.1 menunjukkan suatu beam yang membentuk kemiringan atau


arah tertentu terhadap koordinat X-Y sebesar α, sehingga beam paralel dengan
sumbu X’-Y’. Jika koordinat X-Y diasumsikan sebagai koordinat global dan X’-Y’
adalah koordinat lokal maka untuk menghubungkan perpindahan lokal dab global
dapat digunakan persamaan (3-29). Untuk memudahkan, persamaan tersebut kita
tulis kembali sebagai berikut;
 d x '   cos  sin   d x   C S  d x 
d          (6-1)
 y '   sin  cos  d y   S C d y 

Y
d'2y
X’
Y’
'2
2

d'1y
L α
'1 X
1

Gambar 6.1. Beam yang membentuk kemiringan

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
89
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Dengan menggunakan rumus ke dua transformasi (6-1), jika efek aksial


pada beam diasumsikan tidak ada, maka hubungan perpindahan dan rotasi lokal
pada tiap-tiap node terhadap perindahan dan rotasi global dapat dinyatakan
sebagai berikut;
 d1x 
 d1 y '   S C 0 0 0 0  d1 y 
  '   0 0 1 0 0 0   
 d 1    0 0 0  S C 0  d 1  (6-2)
 2 y '   0 0 0 0 0 1  2 x 
 2 '    d 2 y 
 
 2
Sehingga matrik transformasi dapat didefinisikan sebagai berikut:

  S C 0 0 0 0
T *   0 0 1 0 0 0 (6-3)
 0 0 0  S C 0
 0 0 0 0 0 1

Persamaan 6-2 menindikasikan bahwa rotasi tidak bervariasi atau konstan


terhadap sistem koordinat, baik global maupun lokal, sehingga rotasi ’1= 1 dan
momen m’1 = m1 dapat dianggap sebagai vektor yang searah dengan normal
bidang X-Y atau X’-Y’ , artinya arahnya searah dengan sumbu Z’=Z. Oleh karena
itu momen tidak terpengaruh dengan perubahan arah orientasi bidang X-Y.
Persamaan matrik kekakuan global dapat diperoleh dengan
mensubtitusikan persamaan (6-3) sebagai T* dan k’ pada persamaan (4-13) ke
dalam persamaan (3-43), k  T *T k 'T * . Sehingga diperoleh matrik kekakuan
global seperti di bawah ini.
d1x d1 y 1 d2 x d2 y 2
12S 2  12SC  6 LS  12S 2 12SC  6 LS 
 12C 2 6 LC 12SC  12C 2 6 LC 
  6 LC 2 L2 
EI  4 L2 6 LS
k 3 
6 LS 
(6-4)
L  12S 2  12SC

 Simetri 12C 2  6 LC 
 4 L2 
Persamaan (6-4) adalah persamaan kekakuan global yang tidak meliputi
efek dari beban aksial pada batang. Berikut ini adalah penurunan rumus
persamaan matrik kekakuan global meliputi efek dari beban aksial. Gambar 6.2

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
90
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

menunjukkan batang dengan beban aksial. Sehingga tiap elemen mempunyai 3


derajat kebebasan yaitu, diy ' , dix ' ,  'i .

Y
d'2y
X’
Y’
'2 f'2x
2

d'1y
L α
'1 X
1
f'1x

Gambar 6.2. Gaya aksial lokal yang beraksi pada batang


Untuk efek aksial dapat kita gunakan persamaan (1-13), yaitu;
 f '1x  AE  1  1 d '1x 
 f '   L  1 1 d '  (6-5)
 2x    2 x 
Jika efek aksial diperhitungkan maka persamaan (6-5) dapat dikombinasikan
dengan persamaan (4-13) yang mana hanya terdiri dari efek shear dan bending
momen saja, untuk memudahkan ditulis kembali seperti berikut ini.
 f1 y '   12 6 L  12 6 L  d1 y ' 
 m'1  EI  6 L 4 L2  6 L 2 L2   '1 
 f   3  12  6 L 12  6 L d  (6-6)
 2 y '  L  6 L 2 L2  6 L 4 L2  2 y ' 
 m' 2    2 ' 

Maka setelah dikombinasikan maka menghasilkan;


f'  d' 
 1' x   C1 0 0  C1 0 0   1x 
'
 f1 y   0 12C2 6C2 L 0  12C2 6C2 L  d1 y 
 '   2  ' 
 m1    0 6C2 L 4C2 L2 0  6C2 L 2C2 L  1 
f'    C1 0 0 C1 0 0  d ' 
(6-7)
 2' x    12C2  6C2 L
 2x
 6C2 L  ' 
 f2 y  
0 0 12C2
2  d 2 y 
 '    0 6C2 L 2C2 L2 0  6C2 L 4C2 L  ' 
 m2   2 

AE EI
yang mana C1  dan C2  3
L L
Dari persamaan (6-7) dapat diketahui matrik k’ , yaitu ;

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
91
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

 C1 0 0  C1 0 0 
 0 12C2 6C2 L 0  12C2 6C2 L 
 0 6C2 L 4C2 L 2
0  6C2 L 2C2 L2 
k'  
0 
(6-8)
C 0 0 C1 0
 1 
 0  12C2  6C2 L 0 12C2  6C2 L 
 0 6C2 L 2C2 L 2
0  6C2 L 4C2 L2 
Dengan mengkombinasikan persamaan (6-1) dan (6-2) maka, koordinat lokal dan
global dapat dihubungkan dengan persamaan berikut ini.
 d1' x  d 
d '   C S 0 0 0 0 1 x 
 1'y   S C 0 0 0 0 1 y 
d
 1    0 0 1 0 0 0 1 
 d 2' x   0 0 0 C S 0 d 2 x 
(6-9)
 '   
d  0 0 0  S C 0  d 2 y 
  2 y  
 0 0 0 0 0 1  
 2 
'
 2 
Sehingga dapat diketahui bahwa matrik transformasi yang meliputi efek gaya
aksial lokal adalah ;
C S 0 0 0 0
 S C 0 0 0 0 
 
T   0 0 1 0 0 0 (6-10)
0 0 0 C S 0
 
 0 0 0  S C 0
 0 0 0 0 0 1
Dengan menggunakan persamaan yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya
bahwa untuk menghubungkan matrik kekakuan lokal dan global adalah
menggunakan hubungan seperti dibawah ini;
k  T T k'T (6-12)
Sehingga dengan mensubtitusi persamaan (6-8) dan (6-10) ke dalam persamaan
(6-12) maka didapat matrik kekakuan global yang meliputi effek gaya aksial.

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
92
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

       
       
 2 12 I 2  12 I  6I  2 12 I 2   12 I  6I 
 AC  S  A CS  S  AC 
 S   A CS  S
       

2  2  L  2   2  L 
 L  L   L   L  
     
     
2 12 I 2 6I  12 I   2 12 I 2 6I
 
 AS  C C  A CS  AS  C  C 

 2 L  2  
 2 
 L 
 L  L   L  
 
 6I 6I 
 
E 4I S  C 2I 
k x  
 L L 
L    
  
 2 12 I 2  12 I  6I 
 Simetri AC  S  A CS S 
   
2  2  L
 L  L  
 

 2 12 I 2 6I 
 AS  C  C
 2 
 L 
 L 
 4 I 

  (6-13)

Contoh 6.1
Gambar 6.3 menunjukkan suatu frame yang dijepit pada node 1 dan 4.
Frame tersebut mendapat gaya horizontal sebesar 1000 N pada node 2 dan
moment sebesar 500 N.m pada node 3. Global koordinat dan panjang dari masing-
masing batang ditunjukkan pada gambar. Diasumsikan untuk semua elemen,
harga E = 100 GPa., A = 0,04 m2 dan I= 0,0002 m4

5m

2
F =1000 N

10 m M =500 Nm

1 y
3

3 5m
x
1 4

Gambar 6.3 Frame 2 dimensi


Untuk menyelesaikan ini maka, langkah pertama adalah menyusun matrik
kekakuan tiap elemen dengan menggunakan persamaan (6-13) dan rotasi
berlawanan dengan arah jarum jam diasumsikan positif.

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
93
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Elemen 1
C Cos90 0 S  Sin901
d1x d1 y 1 d2 x d2 y 2

 
 24 0  120  24 0  120
 
 0 40000 0 0 40000 0 
 
k 1

  120 0 800 120 0 400 
 104  
  24 0 120 24 0 120 
 
 0 40000 0 0 40000 0 
 
 120 0 120 120 0 800 
 

Elemen 2

C  cos 315  1 S  sin 315   1


2 2
d2x d2 y 2 d 3x d3 y 3

 
 40096  39904 240  40096 40048 240 
 
 39904 40096 240 39904 40096 240 
 
k 2 4  240 240 1600  240  240 800 
 10  
 40096 39904  240 40096  39904  240
 
 40048 40096  240  39904 40096  240
 
 240 240 800  240  240 1600 
 

Elemen 3
C Cos270 0 S  Sin270  1
d 3x d3 y 3 d4x d4 y 4

 
192 0 480 192 0 480 
 
 0 80000 0 0 80000 0 
 
480 0 1600 480 0 800 
k  104  
192 0 480 9600 0  240 
 
 0 80000 0 0 80000 0 
 
480 0 800  240 0 1600 
 

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
94
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Selanjutnya matrik kekakuan struktur mempunyai dimensi 12x12 karena struktur


ini mempunyai 4 node dan pada masing-masing node mempunyai 3 derajat
kebebasan.
d1x d1y 1 d2 x d2 y 2 d 3x d3 y 3 d4x d4 y 4

 24 0 120 24 0 120 0 0 0 0 0 0 


 0 40000 0 0 40000 0 0 0 0 0 0 0 
 120 0 800 120 0 400 0 0 0 0 0 0 
  24 0 120 40120  39904 360  40096 40048 240 0 0 0 
 0 40000 0  39904 80096 240 39904 40096 240 0 0 0 
4   120 0 400 360 240 240  240  240 800 0 0 0 
 10 
480 
k
0 0 0  40096 39904  240 40288  39904 240 192 0
 0 0 0 40048 40096  240  39904 120096  240 0 80000 0 
 0 0 0 240 240 800 240  240 3200 480 0 800 
 0 0 0 0 0 0 192 0 480 9600 0  240 
 0 0 0 0 0 0 0 80000 0 0 80000 0 

 0 0 0 0 0 0 480 0 800  240 0 1600 
Dengan menggunakan hubungan F=Kd, maka;
F 
 1x 
 F1 y   d1x 
M   d1 y 
 1  24 0  120  24 0  120 0 0 0 0 0 0  
 0 0   1 
 F2 x  40000 0 0 40000 0 0 0 0 0 0
   120 0 800 120 0 400 0 0 0 0 0 0  d 2 x 
 F2 y    24 0 120 40120  39904 360  40096 40048 240 0 0 0 d 
 0 40000 0  39904 80096 240 39904 40096 240 0 0 0  2 y 
M2  4   120  240  240 0  2
   1 0  0
0 400 360 240 240 800
 40096 39904  240 40288  39904 240
0 0
480  d
 
 F3 x   0
0
0
0
0 40048 40096  240  39904 120096  240
192
0
0
80000 0   3x 
F   0 800  2 y 
 d
0 0 240 240 800 240  240 3200 480 0
 3y   0 0 0 0 0 0 192 0 480 9600 0  240   3 
 M3   0 0 0 0 0 0 0 80000 0 0 80000 0  d 
 0 1600 d 
4x
F  0 0 0 0 0 480 0 800  240 0
 4x   2y 
 F4 y   4 
M 
 4
Selanjutnya kondisi batas disubtitusikan pada persamaan diatas, dan menjadi
sebagai berikut;
 0 
 0   24 0  120  24 0  120 0 0 0 0 0 0  0 
 0   0 40000 0 0 40000 0 0 0 0 0 0 0  0 
 0   120 0 800 120 0 400 0 0 0 0 0 0  d 2 x 
1000   24 0 120 40120  39904 360  40096 40048 240 0 0 0 d 
2y
 0   0 40000 0  39904 80096 240 39904 40096 240 0 0 0  
 0   10 4  120 0 400 360 240 240  240  240 800 0 0 0   2 
 40096 39904  240 40288  39904 240 480  d 3 x
 00   0
0 0 0
40096  240  39904 120096  240
192 0
0  d
 
 500  0
0
0
0
0
40048
240 240 800 240  240 3200
0
480
80000
0
 
800  2 y
 0   0 0 0 0 0 0 192 0 480 9600 0  240  3 

 0   0 0 0 0 0 0 0 80000 0 0 80000 0  0 
 0   0 800  240  0 
1600 
  0 0 0 0 0 480 0 0
 0 
 

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
95
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Karena kondisi batasnya homogen maka disederhanakan menjadi:


d 
1000  40120  39904 360  40096 40048 240  2 x
d 
 0   39904 80096 240 39904 40096 240   2 y 
 0  4  360  240  240 800   2 
 0   10  40096
240 240
39904  240 40288  39904 240   d 3 x 
 0   40048 40096  240  39904 120096  240  d 3 y 
 500   240  240 
3200  
 240 800 240 
 3 
Sehingga didapat nilai-nilai sebagai berikut;
d 2 x  6.13 d 2 y  0.115 2  1.110rad d3x  6.285 d 3 y  0.078

3  0.483rad

6.2. Tumpuan Miring

Gambar 6.4 menunjukkan suatu frame dengan salah tumpuannya


membentuk kemiringan terhadap koordinat global. Untuk menyelesaikan ini maka
node pada tumpuan dapat ditransfomasikan dari koordinat global ke lokal dengan
menggunkan persamaan (6-9), dan untuk salah satu node dapat kita tulis kembali
sebagai berikut.

d '  d 
 1' x   C S 0 1x 
d1 y    S C 0d1 y 
 '   0 0 1  (6-14)
 1   
 1 

3
Y’ Y
α
X’ X

1 2
F

Gambar 6.4 Frame dengan tumpuan miring


Selanjutnya dengan dengan menggunakan persamaan (3-81)
TI  f   TI K TIT d ' (6-15)
atau jika dijabarkan akan menjadi sebagai berikut;

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
96
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

 F1x   d '1x 
F  d ' 
 1y   1y 
 M1   1' 
   
 F2 x   2x 
d
 F2 y   TI K  T
  I  T
d 
 2y 
M2   2 
F  d  (6-16)
 3x'   3x' 
 F3 y '  d3 y ' 
   
M3  
 3 

6.3. Grid

Berbeda dengan frame atau truss, pada grid, beban yang bekerja
mempunyai arah tegak lurus dengan bidang grid. Gambar 6.5 menunjukkan
contoh arah beban dari grid.
y
F1
x
z

F2

Gambar 6.5 Beban tegak lurus pada bidang struktur, disebut grid.
Selanjutnya matrik kekakuan dan rumus elemen untuk grid dijabarkan.
Karena bentuk dan arah beban sedemikian rupa, maka derajat kebebasan yang
dapat terjadi pada masing-masing node pada elemen grid dapat diidentifikasikan,
seperti ditunjukkan pada Gambar 5.6, yang mana derajat kebebasan pada masing-
masing node, yaitu d’1y menyatakan defleksi ke arah sumbu y , ’ix dan ’iz
adalah putaran torsi masing-masing terhadapsumbu x dan y, f'iy adalah gaya
vertikal pada masing-masing node dan untuk gaya aksial f'ix=0 , m'iz dan m'ix
adalah momen terhadap masing-masing sumbu x dan z.

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
97
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

y'

m'1x , ’1x m'2x , ’2x


m'1z , ’1z 1 2 m'2z , ’2z
x'

L
z'
f'1y , d’1y f'2y , d’2y

Gambar 6.6 Elemen grid dengan derajat kebebasan pada masing-masing node
Untuk menurunkan matrik kekakuan lokal pada elemen grid, maka kita
harus memperhitungkan pengaruh torsi ke dalam matrik kekakuan dasar batang.
Untuk memudahkan disini kita tulis kembali rumus matrik kekakuan dasar sesuai
dengan rumus (4-13).

 12 6 L 12 6L 
EI  6 L 4 L2  6 L 2 L2 
k  
L3  12  62L 12  62L  (6-17)

 6L 2L  6L 4 L 

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
98
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

DAFTAR PUSTAKA

Grandin, Hartley. Jr. “Fundamentals of The Finite Element


Method”. Mac Millan Publishing Company.
Yang, T.Y. “Finite Element Structural Analysis”. Prentice Hall
International Series.
Bathe, Klaus-Jurgen. “Finite Element Procedurs”. Prentice Hall
International Editions.
Zienkiewicz, O.C. “The Finite Element Method”. London:
Mc.Graw-Hill.
Zahavi Eliahu. “The Finite Element Method in Machine Design”.
New York: Prentice-Hall International Editions.
R., Thomas J. Hughes. “The Finite Element ethod”. Prentice Hall
Inc.
Cook, Robert D. “Concepts and Aplications of Finite Element
Analysis”. New York: John Willey & Sons Inc.
Knight, Charles E. “The Finite Element Method in Mechanical
Design”. PWS Kent Publishing Company.
Soeharjo. “Analisis Numerik”. Surabaya: ITS.
Triatmojo, Bambang. “Metode Numerik”. Bandung: ITB.
Munif, A. “Penguasaan dan Penggunaan Metode Numerik”.
Scheid, Fracis. “Theory and Problems of Numerical Analysis”.
New York: Mc.Graw-Hill. Inc.
Atkinson, Kendall. “Elementary Numerical Analysis”. New York:
John Willey & Sons.
Atkinson, Kendall. “An Introduction to Numercial Analysis”. New
York: John Willey & Sons.
Tejo Sutikno. “Aljabar Matrik”.

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER ( RPKPS )


( Lembar 1 )

MATA KULIAH : METODE ELEMEN HINGGA Kode Mata Kuliah : TKM 4204
SEMESTER : GENAP JUMLAH SKS : 3 (W)
DOSEN : - PRASYARAT : TKM 4111, 4202

KOMPETENSI YANG DIHARAPKAN DAPAT DICAPAI OLEH PESERTA ( TIU DAN TIK )
Setelah mengikuti mata kuliah ini mahasiswa dapat :
1 Menjelaskan konsep dasar metode elemen hingga dan memformulasikan problem teknik dalam model.
2 menyelesaikan pemodelan problem teknik dalam struktur, frame, shell/plat pada matra garis, 2D, 3D.
PUSTAKA YANG DIGUNAKAN
1 Reddy J. N., "An Introduction to the Finite Element Method", Second Edition, Mc Graw-Hill, Inc.
2 Zienkiewicz O. C. and Taylor R. L., "The Finite Element Method", Fifth Edition, Vol 1-3, Butterworth-Heinemann.
3 Team pengajar Metode Elemen Hingga Universitas Brawijaya, Diktat Metode Elemen Hingga.
4 Grandin, Hartley. Jr. “Fundamentals of The Finite Element Method”. Mac Millan Publishing Company.
5 Yang, T.Y. “Finite Element Structural Analysis”. Prentice Hall International Series.

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER ( RPKPS )


( Lembar 2 )

JENIS TAKSONOMI
POKOK
PERTEMUAN SUB POKOK BAHASAN KEGIATAN BENTUK BOBOT NILAI
BAHASAN
KE (1) (3) PEMBELAJARAN TUGAS (5) (6)
(2) (7)
(4)
1 2 3 4 5 6
Penjelasan materi,
- referensi dan sistem Kuliah v v
penilaian
Sejarah
Perkembangan
1 -
Metode Elemen
Kuliah v v
Hingga
BAB I.
PENDAHULUAN - Peranan Komputer Kuliah v v
Prosedur Umum
- Metode Elemen Kuliah v v
Hingga
2

- Matrik Kuliah v v

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

Definisi Matrik
-
Kekakuan
Kuliah v v
Penurunan Matrik
- Kekakuan untuk Kuliah v v
Elemen Pegas
3
Penggabungan
-
Elemen Pegas
Kuliah v v
BAB II.
METODE
KEKAKUAN/ Penggabungan Matrik
PERPINDAHAN Kekakuan dengan
-
Superposisi (Metode
Kuliah v v
Kekakuan Langsung)

4 Kuliah
- Kondisi Batas
Problem solving
mandiri *) v v v

Pendekatan Energi Kuliah


-
Potensial Problem solving
mandiri *) v v v

5 QUIZ I : Materi BAB I dan II *)

BAB III. Matrik Kekakuan


Kuliah
6 PERSAMAAN - Elemen Batang pada
Problem solving
mandiri *) v v v
DAN MATRIK Koordinat Lokal

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

KEKAKUAN
UNTUK Transformasi Vektor 2
STRUKTUR
-
Dimensi
Kuliah v v v

Matrik kekakuan Kuliah


-
Global Problem solving
mandiri *) v v v
Tegangan pada
Kuliah
- Batang di Bidang 2
Problem solving
mandiri *) v v v
Dimensi
7
Penyelesaian Truss 2 Kuliah
-
Dimensi Problem solving
mandiri *) v v v
Transformasi Matrik
Kekakuan untuk Kuliah mandiri
-
Batang pada 3 Problem solving
*) v v v
8 Dimensi (ruang)

Kuliah
- Tumpuan Miring
Problem solving
mandiri *) v v v

BAB IV. Kuliah


9 - Kekakuan Batang
Problem solving
mandiri *) v v v
KEMIRINGAN
DAN
LENDUTAN Kuliah
10 PADA BATANG - Beban Merata
Problem solving
mandiri *) v v v

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

11 QUIZ I : Materi Bab III dan IV *)

Metode Analitis
12 BAB V. - dengan Metode Kuliah v v
DEFLEKSI/ Castigliano
LENDUTAN Pemodelan Kasus Kuliah
(SPECIAL Lendutan dengan Problem solving
13 CASES) -
Metode Elemen Studi
mandiri *) v v v
Hingga Perbandingan
Elemen Beam 2-D
Kuliah
- Arah Orientasi
Problem solving
mandiri *) v v v
Sembarang

BAB VI.
14
STRUKTUR
- Tumpuan Miring Kuliah v v

- Grid Kuliah v v
BAB VII.
SOFTWARE
Pemanfaatan
BERBASIS Kuliah
15
METODE
- Software Berbasis
Problem solving
mandiri *) v v v v
Elemen Hingga
ELEMEN
HINGGA
16 QUIZ II : Materi BAB V - VII *)

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB
MODUL AJAR METODE ELEMEN HINGGA

KETERANGAN :
(1) Cukup jelas
(2) Cukup jelas
(3) Cukup jelas
(4) Jenis kegiatan pembelajaran bisa berupa :
Kuliah berisi penjelasan mengenai suatu teori, penyelesaian suatu masalah matematis, pemodelan masalah fisis dalam
bentuk matematis dan penyelesaiannya.
Problem solving adalah penyelesaian dari suatu soal, baik soal yang diberikan dalam pertemuan sebelumnya ataupun soal
yang diberikan dalam pertemuan tersebut (merupakan tugas mandiri).
(5) Bentuk tugas : soal – soal matematis atau fisis yang harus diselesaikan secara mandiri oleh setiap mahasiswa, diberikan setiap
pertemuan dan akan dibahas (dipresentasikan) dalam pertemuan berikutnya
(6) Nilai Akhir = 30% (nilai rata-rata tugas mandiri) + 30% (nilai rata-rata
Quiz) + 40%(nilai UAS)
(7) Di isi tingkat kedalaman proses pemahaman : 1 s/d 6
1. Remember 2. Understand 3. Apply 4. Analyze 5. Evaluate 6. Create

Dr.Eng. Moch. Agus Choiron, Dr.Eng. Anindito P dan Khairul Anam, MSc.
Teknik Mesin UB

Anda mungkin juga menyukai