Anda di halaman 1dari 6

KONGRES

BAHASA DAERAH NUSANTARA

BAHASA DAERAH:
KEKAYAAN NASIONAL YANG
HAMPIR TERLUPAKAN

Abdullah Mustappa

Gedung Merdeka, Bandung


2-4 Agustus 2016
Sebagai penulis dan sehari-hari bekerja sebagai redaktur di majalah bahasa
Sunda, saya sempat mengikuti "Sarasehan Jatidiri Bahasa Daerah" di Bojonegoro,
Jawa Timur pada tahun 1981. Pesertanya selain dari Jawa, Madura dan Bali juga
ada yang dari Padang dan Bugis. Di samping para penulis dan pewarta, hadir juga
para akademisi dari beberapa perguruan tinggi, termasuk dari IKIP Bandung
(sekarang UPI, Universitas Pendidikan Indonesia).
Perbincangan berkisar tentang masalah-masalah penerbitan buku,
kehidupan pers (terutama majalah) dan pengajaran bahasa daerah, baik di
tingkat sekolah dasar, tingkat sekolah menengah maupun di perguruan tinggi.
Semua sepakat berpendapat, ada perbedaan kebijakan pemerintaah terhadap
bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Hanya peserta dari Padang yang tidak
terlalu mempersoalkannya karena kedekatan antara bahasa Melayu dengan
bahasa Indonesia.
Sementara penutur dan penulis yang lain, terutama dari bahasa Sunda dan
bahasa Jawa di mana tradisi menulisnya sudah berlangsung berabad-abad
lamanya, sangat merasakan akibatnya. Regenerasi penulis tersendat-sendat,
begitu juga minat terhadap bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Semua itu
disebabkan oleh kebijakan pemerintah di bidang kebahasaan yang sangat
jomplang. Jika bahasa Indonesia diperlakukan ibarat jalan tol yang mulus dan
selalu dirawat dengan baik, sebagaimana disampaikan oleh Arswendo
Atmowiloto, bahasa daerah diibaratkan sebagai jalan desa yang dibiarkan
berlubang-lubang, kalaupun diaspal hanya sekali-sekali saja.
Lebih dari 20 tahun kemudian, kami bertemu lagi di Bandung dalam sebuah
acara yang lebih sederhana. Yang hadir selain dari Bandung, hanya dari
Surakarta dan Surabaya. Dalam pembicaraan yang sangat terbuka, masing-
masing berpendapat bahwa keadaan bahasa daerah sudah lebih parah lagi. Pers
yang masih bertahan terbit tinggal satu dua saja, itu pun dalam kondisi yang
tidak menggembirakan. Tirasnya sangat kecil, iklan hampir tidak ada,
pengasuhnya pun sebagian besar pensiunan. Sementara para penulis jumlahnya
terus menyusut. Sebagian dari mereka lebih fokus menulis dalam bahasa
Indonesia. Alasannya gampang ditebak oleh siapa pun juga.
Penerbitan buku lebih parah lagi. Pasarnya tidak bisa diandalkan. Kondisi
pengajaran bahasa daerah di sekolah-sekolah juga tidak berbeda jauh. Statusnya
sebagai pelajaran muatan lokal, lebih sering menimbulkan persoalan terutama
bagi siswa yang bukan penutur bahasa ibu setempat. Pengangkatan guru untuk
mata pelajaran bahasa Sunda dan bahasa Jawa sangat sulit, padahal masih sangat
dibutuhkan oleh sekolah-sekolah.
Tampaknya selama ini ada pergeseran pemahaman mengenai bahasa
Indonesia dan bahasa daerah. Ketika para peserta Kongres Pemuda tahun 1928
menyatakan ikrarnya tentang Indonesia, yang salah satunya mengikrarkan
"menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia", hampir bisa dipastikan
para pemuda itu, yang berasal dari berbagai etnis, tidak ada pikiran atau
keinginan untuk melenyapkan berbagai bahasa daerah di seluruh Indonesia yang
jumlahnya demikian banyak serta sebagian masih hidup dan dipelihara oleh para
penuturnya.
Bahwa kemudian para peserta kongres sepakat mengikrarkan bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan, itu adalah keputusan strategis demi tujuan
untuk mencapai Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Tapi tidak berarti
bahasa daerah sudah kehilangan peran dalam proses ke arah itu. Surat kabar
"Sipatahoenan" yang berbahasa Sunda dan majalah "Panyebar Semangat" yang
berbahasa Jawa, sekadar menyebut beberapa contoh, telah membuktikan bahwa
pada saat bangsa ini masih berada dalam kungkungan kolonial, kedua media
tersebut dapat memberikan sumbangan yang cukup besar untuk menumbuhkan
semangat kemerdekaan terhadap pembacanya. Bahkan "Sipatahoenan" dan
"Panyebar Semangat", meskipun terbit dalam bahasa daerah, diakui sebagai Pers
Nasional, bukan sebagai Pers Daerah. Beberapa wartawannya pun oleh
pemerintah ditetapkan sebagai tokoh Pers Nasional.
Entah sejak kapan, tapi sampai sekarang pemahaman kita tentang bahasa
Indonesia bukan lagi sebagai bahasa persatuan melainkan sebagai bahasa
nasional. Dipandang dari konsep pengertian mungkin tidak akan terasa
perbedaannya. Tapi tidak demikian dalam praktik kehidupan kita berbangsa dan
bernegara sampai saat ini, karena pemilahan bahasa nasional dengan bahasa
daerah sangat terasa. Kesenjangan antara kategorisasi nasional dengan daerah
implikasinya cukup jauh.
Salah satu faktanya adalah apa yang pernah dialami oleh pers daerah. Pada
masa-masa awal pemerintahan Presiden Suharto, timbul keresahan di bidang

1
pers. Pers yang terbit di daerah, terutama surat kabar, merasa resah dan iri
terhadap perkembangan pers nasional yang terbit di Jakarta, meskipun
keduanya sama-sama terbit dalam bahasa Indonesia. Para pengelola pers dari
berbagai daerah sepakat melakukan semacam gugatan, mengapa pemerintah
memberlakukan kebijakan yang berbeda terhadap pers nasional dengan pers
daerah, khususnya dukungan fasilitas. Akhirnya gugatan tersebut diperhatikan
oleh pemerintah pusat. Pers daerah diberikan berbagai kemudahan, termasuk
kemudahan dalam mendapatkan fasilitas bank. Hasilnya tampak dengan jelas,
beberapa pers yang terbit di daerah mengalami kemajuan sedemikian rupa
sehingga kondisinya tidak jauh berbeda dengan rekan-rekannya yang terbit di
Jakarta, termasuk dalam kesejahteraan karyawannya.
Tapi kebijakan pemerintah terhadap pers daerah tersebut tidak berlaku
terhadap pers yang berbahasa daerah. Di sini tampak bahwa faktor bahasa
sangat menentukan. Ada sejenis penyempitan pemahaman. Pers daerah yang
berbahasa Indonesia dianggap memiliki peran penting dalam menyukseskan
program pemerintah, tidak demikian halnya dengan pers berbahasa daerah.
Peran "Sipatahoenan" dan "Panyebar Semangat" di masa lalu tampaknya sudah
dihapus dari catatan sejarah sehingga tidak menjadi bahan pertimbangan lagi.
Demikian juga terhadap catatan sejarah mengenai peran bahasa dan sastra
daerah. Bahasa Sunda dan bahasa Jawa misalnya, juga beberapa bahasa daerah
lainnya, telah memiliki tradisi tulis cukup panjang. Karya tulis dalam kedua
bahasa tersebut bukan hanya meliputi sastra tapi juga mencakup bidang lain,
termasuk bidang pertanian, kesehatan, adat kepercayaan dan juga agama. Tafsir
Quran dalam bahasa Sunda dan bahasa Jawa termasuk tafsir klasik dalam
khazanah Islam di Indonesia.
Karya sastra dalam bahasa Sunda dan bahasa Jawa terus berlanjut sejak masa
klasik sampai zaman modern. Memang kalau dilihat dari jumlah tidak selalu
meningkat, karena kadang-kadang menurun. Tapi bagaimanapun juga hal itu
menunjukkan bahwa menulis karya sastra dalam berbagai bahasa daerah di
Indonesia masih berlanjut sampai saat ini.
Yayasan Rancage awalnya memberikan penghargaan kepada sastra Sunda.
Tapi dalam perjalanannya kemudian, penghargaan yang sama juga diberikan
kepada karya sastra dalam bahasa Jawa dan bahasa Bali. Lebih kemudian lagi

2
penghargaan tersebut diberikan kepada karya sastra dalam bahasa Lampung
dan bahasa Batak.
Kenyataan tersebut menjadi bukti bahwa hasrat, keinginan, atau barangkali
juga kerinduan menulis dalam bahasa daerah masih hidup, termasuk di kalangan
generasi muda. Oleh para penuturnya bahasa daerah tidak hanya sebatas
digunakan dalam pergaulan sehari-hari melainkan juga dimanfaatkan sebagai
sarana untuk menyampaikan dan mendokumentasikan pikiran, gagasan serta
harapan, sehingga pada waktunya nanti akan diwariskan kepada generasi
selanjutnya. Yang perlu dicatat juga adalah para penulisnya yang berlanjut dari
generasi ke generasi. Tapi di samping itu ada problema yang layak untuk
dipertimbangkan, yakni pemahaman dalam menyikapi kenyataan seperti itu.
Antara lain belum ada pemahaman bahwa karya sastra yang ditulis dalam
bahasa daerah adalah kekayaan dan keragaman bangsa Indonesia sebagai
perwujudan dari kebhinekaan kita. Khazanah sastra yang ditulis dalam bahasa
daerah belum diterima sebagai bagian dari khazanah sastra Indonesia.
Sebelumnya, khazanah sastra Indonesia yang ditulis dalam bahasa daerah
tersebut hanya terbatas dibaca oleh pembaca di daerahnya masing-masing. Baru
belakangan ada upaya dari pihak pemerintah menerjemahkannya ke dalam
bahasa Indonesia. Meskipun masih sangat terbatas tapi upaya seperti itu mesti
berlanjut agar kekayaan yang terkandung dalam bahasa-bahasa daerah benar-
benar dapat diwujudkan menjadi kekayaan bangsa.
Kenyataan yang kita hadapi sampai hari ini adalah bahwa bahasa daerah
belum dipahami sebagai kekayaan bangsa. Kita masih berkutat dalam
pemahaman yang picik bahwa yang masuk kategori kekayaaan bangsa itu adalah
sebatas sumber daya manusia dan sumber daya alam. Sumber daya peradaban,
termasuk bahasa dan sastra yang jumlahnya sangat banyak di seluruh
Nusantara, belum dimasukkan ke dalamnya.
Dalam konsep pemilahan antara konteks nasional dengan konteks daerah
masih dibiarkan ada pembatas yang kaku. Bila diibaratkan koteks nasional
sebagai gerbong utama, maka konteks bahasa daerah adalah penumpang gelap
yang tidak memiliki tiket untuk masuk dan duduk di gerbong utama. Bahasa-
bahasa daerah tidak dipandang sebagai kekayaan bangsa, tapi justru dianggap
sebagai beban, apakah itu beban politik maupun beban anggaran.

3
Bahkan otonomi daerah yang menjadi idaman berbagai pihak dan telah
diberlakukan sejak era reformasi, sampai sejauh ini belum mampu
menumbuhkan semangat untuk menempatkan bahasa daerah sebagai komponen
penting dalam upaya melahirkan generasi yang lebih baik. Kualifikasi manusia
Indonesia di masa depan mamsih dikerangkeng oleh format yang serba materi.
Bahkan penyertaan bahasa daerah dalam memperkaya bahasa Indonesia pun
masih harus melalui seleksi ketat, meskipun patokannya tidak dirinci secara
jelas. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, mencantumkan "kata dan
ungkapan daerah" hanya dua halaman sementara "kata dan ungkapan asing"
sebanyak 34 halaman! Padahal ada ratusan bahasa daerah di seluruh Nusantara
ini.
Saya sendiri selama puluhan tahun menulis dalam dua bahasa, bahasa Sunda
dan bahasa Indonesia. Tidak pernah merasa atau berniat untuk mempersaingkan
keduanya. Bahasa Indonesia dan bahasa Sunda sama pentingnya. Saya percaya,
para penulis dalam bahasa daerah yang lain pun, yang juga menulis dalam
bahasa Indonesia, memiliki sikap yang sama. Bahasa Indonesia dan bahasa
daerah layak untuk dipersandingkan sebagai bahasa nasional. Tidak lagi
dibedakan kastanya sebagaimana yang sampai saat ini berlaku.

Anda mungkin juga menyukai