BAHASA DAERAH:
KEKAYAAN NASIONAL YANG
HAMPIR TERLUPAKAN
Abdullah Mustappa
1
pers. Pers yang terbit di daerah, terutama surat kabar, merasa resah dan iri
terhadap perkembangan pers nasional yang terbit di Jakarta, meskipun
keduanya sama-sama terbit dalam bahasa Indonesia. Para pengelola pers dari
berbagai daerah sepakat melakukan semacam gugatan, mengapa pemerintah
memberlakukan kebijakan yang berbeda terhadap pers nasional dengan pers
daerah, khususnya dukungan fasilitas. Akhirnya gugatan tersebut diperhatikan
oleh pemerintah pusat. Pers daerah diberikan berbagai kemudahan, termasuk
kemudahan dalam mendapatkan fasilitas bank. Hasilnya tampak dengan jelas,
beberapa pers yang terbit di daerah mengalami kemajuan sedemikian rupa
sehingga kondisinya tidak jauh berbeda dengan rekan-rekannya yang terbit di
Jakarta, termasuk dalam kesejahteraan karyawannya.
Tapi kebijakan pemerintah terhadap pers daerah tersebut tidak berlaku
terhadap pers yang berbahasa daerah. Di sini tampak bahwa faktor bahasa
sangat menentukan. Ada sejenis penyempitan pemahaman. Pers daerah yang
berbahasa Indonesia dianggap memiliki peran penting dalam menyukseskan
program pemerintah, tidak demikian halnya dengan pers berbahasa daerah.
Peran "Sipatahoenan" dan "Panyebar Semangat" di masa lalu tampaknya sudah
dihapus dari catatan sejarah sehingga tidak menjadi bahan pertimbangan lagi.
Demikian juga terhadap catatan sejarah mengenai peran bahasa dan sastra
daerah. Bahasa Sunda dan bahasa Jawa misalnya, juga beberapa bahasa daerah
lainnya, telah memiliki tradisi tulis cukup panjang. Karya tulis dalam kedua
bahasa tersebut bukan hanya meliputi sastra tapi juga mencakup bidang lain,
termasuk bidang pertanian, kesehatan, adat kepercayaan dan juga agama. Tafsir
Quran dalam bahasa Sunda dan bahasa Jawa termasuk tafsir klasik dalam
khazanah Islam di Indonesia.
Karya sastra dalam bahasa Sunda dan bahasa Jawa terus berlanjut sejak masa
klasik sampai zaman modern. Memang kalau dilihat dari jumlah tidak selalu
meningkat, karena kadang-kadang menurun. Tapi bagaimanapun juga hal itu
menunjukkan bahwa menulis karya sastra dalam berbagai bahasa daerah di
Indonesia masih berlanjut sampai saat ini.
Yayasan Rancage awalnya memberikan penghargaan kepada sastra Sunda.
Tapi dalam perjalanannya kemudian, penghargaan yang sama juga diberikan
kepada karya sastra dalam bahasa Jawa dan bahasa Bali. Lebih kemudian lagi
2
penghargaan tersebut diberikan kepada karya sastra dalam bahasa Lampung
dan bahasa Batak.
Kenyataan tersebut menjadi bukti bahwa hasrat, keinginan, atau barangkali
juga kerinduan menulis dalam bahasa daerah masih hidup, termasuk di kalangan
generasi muda. Oleh para penuturnya bahasa daerah tidak hanya sebatas
digunakan dalam pergaulan sehari-hari melainkan juga dimanfaatkan sebagai
sarana untuk menyampaikan dan mendokumentasikan pikiran, gagasan serta
harapan, sehingga pada waktunya nanti akan diwariskan kepada generasi
selanjutnya. Yang perlu dicatat juga adalah para penulisnya yang berlanjut dari
generasi ke generasi. Tapi di samping itu ada problema yang layak untuk
dipertimbangkan, yakni pemahaman dalam menyikapi kenyataan seperti itu.
Antara lain belum ada pemahaman bahwa karya sastra yang ditulis dalam
bahasa daerah adalah kekayaan dan keragaman bangsa Indonesia sebagai
perwujudan dari kebhinekaan kita. Khazanah sastra yang ditulis dalam bahasa
daerah belum diterima sebagai bagian dari khazanah sastra Indonesia.
Sebelumnya, khazanah sastra Indonesia yang ditulis dalam bahasa daerah
tersebut hanya terbatas dibaca oleh pembaca di daerahnya masing-masing. Baru
belakangan ada upaya dari pihak pemerintah menerjemahkannya ke dalam
bahasa Indonesia. Meskipun masih sangat terbatas tapi upaya seperti itu mesti
berlanjut agar kekayaan yang terkandung dalam bahasa-bahasa daerah benar-
benar dapat diwujudkan menjadi kekayaan bangsa.
Kenyataan yang kita hadapi sampai hari ini adalah bahwa bahasa daerah
belum dipahami sebagai kekayaan bangsa. Kita masih berkutat dalam
pemahaman yang picik bahwa yang masuk kategori kekayaaan bangsa itu adalah
sebatas sumber daya manusia dan sumber daya alam. Sumber daya peradaban,
termasuk bahasa dan sastra yang jumlahnya sangat banyak di seluruh
Nusantara, belum dimasukkan ke dalamnya.
Dalam konsep pemilahan antara konteks nasional dengan konteks daerah
masih dibiarkan ada pembatas yang kaku. Bila diibaratkan koteks nasional
sebagai gerbong utama, maka konteks bahasa daerah adalah penumpang gelap
yang tidak memiliki tiket untuk masuk dan duduk di gerbong utama. Bahasa-
bahasa daerah tidak dipandang sebagai kekayaan bangsa, tapi justru dianggap
sebagai beban, apakah itu beban politik maupun beban anggaran.
3
Bahkan otonomi daerah yang menjadi idaman berbagai pihak dan telah
diberlakukan sejak era reformasi, sampai sejauh ini belum mampu
menumbuhkan semangat untuk menempatkan bahasa daerah sebagai komponen
penting dalam upaya melahirkan generasi yang lebih baik. Kualifikasi manusia
Indonesia di masa depan mamsih dikerangkeng oleh format yang serba materi.
Bahkan penyertaan bahasa daerah dalam memperkaya bahasa Indonesia pun
masih harus melalui seleksi ketat, meskipun patokannya tidak dirinci secara
jelas. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, mencantumkan "kata dan
ungkapan daerah" hanya dua halaman sementara "kata dan ungkapan asing"
sebanyak 34 halaman! Padahal ada ratusan bahasa daerah di seluruh Nusantara
ini.
Saya sendiri selama puluhan tahun menulis dalam dua bahasa, bahasa Sunda
dan bahasa Indonesia. Tidak pernah merasa atau berniat untuk mempersaingkan
keduanya. Bahasa Indonesia dan bahasa Sunda sama pentingnya. Saya percaya,
para penulis dalam bahasa daerah yang lain pun, yang juga menulis dalam
bahasa Indonesia, memiliki sikap yang sama. Bahasa Indonesia dan bahasa
daerah layak untuk dipersandingkan sebagai bahasa nasional. Tidak lagi
dibedakan kastanya sebagaimana yang sampai saat ini berlaku.