Anda di halaman 1dari 28

Senja di Padang Arafah 1

- SENJA DI PADANG ARAFAH -


***

Buah nangka buah rambutan

Masak disimpan dalam tembikar

Bila sudah suratan tangan

Tak kan lari jodoh dikejar

***

Editor : Syahronanda Ibnu Habli

Tulisan ini diambil dari website : www.abufairuz.com


Senja di Padang Arafah – Liburan Musim Panas 2

LIBURAN MUSIM PANAS

Musim panas telah tiba, membuat penghuni Kota Madinah enggan ke luar dari
rumah. Menurut mereka lebih baik di dalam rumah yang udaranya sejuk daripada
berpanas-panas ria di luar rumah, karena itu tak heran jalan-jalan menjadi lengang
seolah kota Nabi tersebut tak berpenghuni. Angin siang begitu kuat mendesau seolah
membawa bara yang hendak membakar negeri yang penuh berkah tersebut.

Biasanya ketika panas memuncak seperti itu liburan panjang di sekolah dimulai.
Tidak berbeda dengan Universitas Islam Madinah yang meliburkan siswanya antara
pertengahan juni hingga pertengahan September.

Waktu liburan biasanya dimanfaatkan para mahasiswa untuk pulang ke negeri


masing-masing dalam rangka silaturrahmi, berdakwah di keluarga dan masyarakat,
menjenguk istri yang ditinggal di Indonesia atau untuk mencari istri bagi yang belum
menikah.

Sebagian teman-teman ada yang memanfaatkan liburan untuk berkunjung ke


negeri-negeri Islam. Ada yang menghabiskan lubrannya di Mesir, di Pakistan, Malaysia
dan negeri lainnya.

Aku baru saja menyelesaikan tahun pertama program “manhajiyah” untuk


meraih Magister di Universitas Madinah . Biasanya jika telah selesai dari tahun pertama
“manhajiyyah” berarti tinggal nulis tesis dalam dua hingga tiga tahun ke depan.

Liburan musim panas bulan juni ini akan kumanfaatkan untuk berlibur ke negeri-
negeri teman-temanku yang berada di Asia Tenggara. Aku berjanji sebelum sampai di
indonesia akan kelililing dulu ke Malaysia, Bangkok ibu kota Thailand dan beberapa
negeri lainnya.

Tujuanku adalah untuk refreshing sambil meyambung tali persaudaraan dengan


teman-teman di sana sambil melihat perkembangan dakwah dan terakhir -jika
ditakdirkan- semoga dalam petualanganku ini bisa pulang membawa wanita
pendamping hidupku kelak.

Menurutkku sudah layak rasanya aku beristri untuk menyempurnakan agamaku


dan menentramkan jiwa ini yang selalu gelisah jika melihat teman-teman sejawat telah
Senja di Padang Arafah – Liburan Musim Panas 3

pada menikah. Jangankan sedang menempuh jenjang magister, di jenjang S1 saja sudah
banyak pelajar-pelajar dari Indonesia yang menikah. Ada juga yang baru duduk di
semester dua di kuliah sudah nekat menyunting wanita idamannya, meskipun ia tau
akan menegak pahitnya piala perpisahan kelak setelah satu hingga dua bulan meresapi
indahnya bulan madu.

Ketika itu pihak Universitas memang tidak akan pernah mengeluarkan visa untuk
para istri-istri pelajar yang masih duduk di strata satu. Jadi bukanlah hal yang aneh jika
sebagian mahasiswa yang nekat menikah di masa kuliah harus rela “kurus kering”
berpisah dengan istri-istri mereka dan hanya berjumpa setahun sekali bila masa liburan
datang dan dapat menyelesaikan seluruh mata kuliah yang diujikan.

Bila ada mata kuliah yang gagal, maka jangan harap diberi tiket gratis dari
universitas, jika mau pulang dia harus keluarkan uang dari kocek nya sendiri. Karena
tiket pulang pergi hanya menjadi hak istimewa setiap pelajar yang lulus tanpa her.

Kuingat ada seorang pelajar yang baru satu dua minggu menikah lantas
berangkat belajar ke Madinah, duduk di kelas Syu’bah untuk persiapan
bahasa….subhanallah..

Betapa sulit baginya merenda hari-hari tanpa istri tercinta, membuat ia gagal
fokus dan akhirnya Ramadhan nekat pulang ke tanah air dan tak pernah kembali lagi ke
Kota Nabi tersebut. Itulah sebagian ujian menikah dikala belajar.

Bagi yang sabar, Alhamdulillah banyak juga yang dapat menyelesaikan kuliahnya
hingga tamat. Tapi jujur saja, aku kasihan melihat sebagian mereka menyendiri dan
terkadang duduk berjam-jam berbicara di hadapan tape recorder, bercumbu rayu
dengan istri via kaset yang dikirim ke tanah air dan baru nyampai setelah sebelas hari
perjalanan laut.

Kala itu kita belum mengenal kecanggihan internet, Hp Android, Line, Dimdim,
Skype..dst. Jangankan Hp Android, komputer saja menjadi barang langka yang hanya
ada di tempat photocopy dan kantor-kantor. Paling hebat kala itu adalah pemilik pager
yang selalu dengan bangga digantungkan disaku-saku mereka yang berduit.
Senja di Padang Arafah – Liburan Musim Panas 4

Kalau pun malas via kaset yang direkam, mereka setiap bulan tidak pernah bosan
berkirim surat, menjalin kasih mesra yang halal melaui goresan-goresan tangan penuh
cinta dan setia.

Ku ingat setiap datang waktu istirahat, maka para mahasiswa Indonesia antrian
di depan kotak pos, sekedar bertanya dan berharap kalau-kalau mendapatkan surat
orang yang terkasih dari tanah air.

Sedangkan aku sendiri telah menyelesaikan jenjang itu dan kini menjalani
program magister. Untuk setiap pelajar yang telah menyelesaikan starata satu, pihak
kampus bersedia mengeluarkan visa untuk istri-istri mereka agar dapat tinggal di
Madinah bersama suami-suami .

Meskipun para pelajar yang bawa istri ini benar- benar harus peras otak untuk
mencari subsidi dan infak dari para muhsinin dan donatur buat bayar Syuqqah(tempat
tinggal), kecuali jika orang tua atau mertua mereka adalah orang kaya dan berduit.

Waktu itu, banyak teman-temanku yang “laris manis” menikah dengan anak-
anak orang kaya plus dapat subsidi bulanan dan sewa flat. Bahkan ada yang wanitanya
diantar oleh ayahnya ke Madinah untuk dinikahkan langsung dengan sebagian pelajar
madinah sekaligus disewakan bagi mereka flat dan subsidi bulanan.

Merekalah pala pelajar yang dapat “rezeki nomplok” menikah dengan “modal
dengkul”. Bahkan untuk maharpun sebagian mereka ada yang disubsidi calon mertua,
agar tidak malu di depan kerabat mereka

Aku teringat ada seorang temanku yang kini jadi bupati di satu daerah, hanya
punya modal nekat saja menikah dengan salah seorang wanita Betawi. Ia benar-benar
dapat subsisi 80 persen dari semua uang hantaran dan mahar dari calon mertua sendiri.

Ada seorang sahabat akrabku berkebangsaan Thailand, selalu menceritakan


padaku tentang adik perempuannya. Membuat hatiku selalu berdebar-debar jika
mendengarnya. Khayalanku seketika terbang ke langit berandai-andai kalau saja
adiknya sesuai seleraku dan berkenan hati menerimaku apa adanya. Dalam khayalku
alangkah indahnya jika bisa membawa gadis muslimah yang cantik bermata sipit
berkulit putih dari negeri Gajah Putih- Thailand tersebut.
Senja di Padang Arafah – Liburan Musim Panas 5

Siang yang terik itu, tidak begitu kurasakan disebabkan berbagai lintasan hati
dan berbagai perasaan jiwa yang berkecamuk di dalam dada. Dari Bandara prince
Muhammad bin Abdul Aziz Madinah, pesawat menerbangkanku ke Kuala Lumpur
setelah sebelumnya transit di Bandara King Abdul Aziz Jeddah.

Tak terasa delapan jam terbang antara langit dan bumi, kini aku telah
meninggalkan negeri yang kering, penuh dengan gunung batu dan padang pasir, kini
kakiku menginjak negeri yang serba hijau dan indah, negeri para Hang pahlawan
Melayu, negeri Ipin dan Upin.

Dari Bandara KLIA ( Kuala Lumpur International Airpot) aku berangkat memulai
perjalananku mengunjungi kerabat-kerabatku di sana yang telah berkebangsaan
Malaysia. Rencananya setelah dari Malaysia, aku kan kulanjutkan menuju Bangkok.
Apalagi udah janjian dengan sahabatku itu untuk berjumpa dengannnya di Bangkok.

Setibanya di Rumah pamanku, aku disambut hangat oleh sanak kerabat di sana,
bahkan ada tawaran untuk mengajar di sana kelak setelah tamat dari Madinah. Tidak
hanya ditawarkan mengajar, ada juga isyarat-isyarat tidak langsung sekiranya aku juga
berkenan untuk menikah dengan salah seorang sepupuku. Namun entahlah, hatiku
tidak tertarik dengan sepupu-sepupuku meskipun dari sisi kecantikan dan adab mereka
tidak mengecewakan.

Beberapa hari di Malaysia, Ibu menghubungiku via telepon menyuruhku untuk


segera pulang guna menghadiri acara walimahan abang yang dipercepat dua minggu.
Awalnya aku kuberatan dengan segala alasan, namun ibu merayuku setiap hari agar
pulang dahulu ke Indonesia, dengan setengah memaksa akhirnya kuturuti kemauan ibu
untuk pulang ke kampung halamanku terlebih dahulu. Ku yakin jika telah pulang,maka
niat awal untuk keliling dunia terancam batal, sebab ku tau betapa sulitnya melepaskan
diri dari para kerabat dan handai tolanku yang telah lama merindukan kepulanganku.

--ooo--
Senja di Padang Arafah – Di kampung 6

DI KAMPUNG

Kampung halamanku adalah Kampar negeri Melayu. Ia dilalui Sungai Siak yang
meliuk-liuk bak naga besar yang muaranya ke laut menjadi sebab masuknya kapal-kapal
layar, kabarnya dahulu pernah menghubungkan antara kerajaan Malaka dan Kampar.
Disebutkan bahwa Sultan Melaka terakhir -Mahmud Shah- setelah jatuhnya Bintan
tahun 1526 ke tangan Portugis, melarikan diri ke Kampar, dua tahun berikutnya
mangkat dan dimakamkan di Kampar. Konon juga di negeri ini pernah berdiri kerajaan
Melayu yang memiliki hubungan dengan penguasa Minangkabau.

Suku yang mendiami negeri kampar mayoritasnya adalah suku melayu “Ocu”
yang menurut sebagian orang adalah asal-usul munculnya suku Minang. Apalagi melihat
kedekatan bahasa dan budaya antara keduanya menunjukkan adanya hubungan dekat
antara kedua suku ini. Penyebutan “orang siak” dalam bahasa minang yang berarti orang
ahli ibadah dan berilmu, konon terambil dari sebutan para da’i dan penyeru agama yang
masuk ke Minang dari alim ulama negeri siak pada masa kejayaan Melayu. Mereka
datang menelusuri sungai Siak hingga tiba di daratan Limapuluh Koto dan terus berjalan
hingga ke istana Pagaruyung di Batu Sangkar. Adapun versi Suku Minang bahwa
merekalah nenek moyang Suku ocu, karena dahulu kala daerah kampar takluk kepada
kerajaan Pagaruyung, wallahu a’lam kebenarannya.

Sudah lebih satu minggu ibuku membujukku agar segera menikah. Keinginannya
agar acara walimahanku dipercepat. Dua minggu setelah acara walimah abang, agar
para kerabat yang datang dari Malaysia dalam resepsi abangku dapat menetap di
kampung hingga acara walimahanku selesai. Dengan demikian mereka tidak perlu
datang dua kali ke Indonesia, ibarat pepatah “sekali berlayar dua tiga pulau tersinggahi”.

Setiap dengar ocehan ibuku, aku hanya sambut dengan tersenyum dan sambil
berkata pelan:

“belum siap bu, aku belum memiliki kemampuan sekarang”.

Ibu menjawab:

“Kami akan tanggung semua biaya pernikahanmu, maharmu, hantaran, rumah


dan nafkah dua bulan setelah engkau menikah, tak perlu khawatir. Lihatlah ibumu yang
Senja di Padang Arafah – Di kampung 7

telah renta ini, rasanya tidaklah nyaman bila ku mati sebelum menunaikan kewajibanku
untuk menikahkanmu”.

Sebenarnya dalam hati kecilku yang dalam, alangkah ingin membuat ibuku
bahagia, menikah dalam waktu dekat, seperti keinginannya, namun perkara jodoh
bukanlah seperti membeli “kacang goreng”, kapan mau langsung dapat.

Bak kata orang Jawa, dalam memilih jodoh harus dilihat dulu “bibit, bebet,dan
bobot nya”. Bukannya tak mau menikah, tapi siapa yang bakal menjadi pendamping
hidupku kelak yang setia menemaniku dalam suka dan duka, bidadari yang kuharap
kelak menjadi pasanganku di negeri akhirat sana..? Aku tidak ingin sembarang “comot”
yang akhirnya menuai penyesalan yang berkepanjangan.

Tidak sedikit kulihat kegagalan sebagian orang dalam memilih pasangan hidup.
Menikahi Istri-istri yang menjadi penghalang kebaikan bagi suami, yang melalaikan dan
membuat suami lemah untuk berkhidmah bagi agama. Aku tidak ingin hal itu menjadi
bagian dari episode hidupku kelak.

Merasa terdesak, dan hujjahku patah akupun berkata pada ibu:

“duhai ibu, Putramu ini bukannya menolak keinginanmu, tapi aku belum memiliki
calon, carikan untuk ku gadis yang sholehah, semoga saja aku berjodoh dengan pilihan
ibu”.

Ibu senang dipercayakan untuk mencarikan jodoh bagi puteranya yang miskin
pengalaman dalam hal wanita ini. Jangankan berpacaran, bersalaman dengan lawan
jenis saja tidak dia lakukan.

Betapa cepatnya hari-hari berganti, tak terasa sudah satu minggu ibuku
berkeliling kampung, bagaikan “detektif swasta” mengumpulkan data-data anak gadis
kampungku, melirik, memantau, melihat, mengamat-amati hingga bertanya semua
dilakukan ibu. Rasanya tidak ada lagi gadis yang “imut-imut” kecuali telah terpantau
olehnya.

Setelah data terkumpul, mulailah ibuku mengolahnya, menyaring dan menjaring,


seleksi demi seleksi ia lakukan, tibalah waktunya untuk mempresentasikan para
calonnya di hadapanku.
Senja di Padang Arafah – Di kampung 8

“Bagaimana menurutmu si fulanah…? Orangnya baik lho, wajahnya pun lumayan,


masih berdekatan dengan kita, tidak perlu jauh-jauh jika pulang kampung. Katanya ia
juga “sreg” denganmu…bla…bla..bla..” ibuku mulai berceloteh.

Satu demi satu calon dipresentasikan ibu di hadapanku dengan baik. Adapun aku
hanya menjadi “pendengar setia” sambil manggut-manggut.

Itulah kegiatanku di kampung seminggu pertama kedatanganku. Tiada hari tanpa


membicarakan jodoh. Setiap ibu menawarkan calon-calon menantunya padaku,
semuanya kandas membentur dinding kebebalanku.

Waktu liburan semangkin dekat berakhir, pembicaraan tentang acara


pernikahanku pun buntu tiada berkelanjutan. Misi liburanku gagal seluruhnya. Mimpi
tentang gadis Thailand buyar dan petualanganku batal.

Sebentar lagi kaki ini kan menginjak di bumi Kaum Muhajirin dan Anshar, kembali
untuk menatap ketegaran Uhud dengan pesonanya. Gunung yang menjadi saksi abadi
atas kekalahan kaum muslimin disebabkan menyelisihi perintah baginda Rasul. Jabal
rumat itu tak kan pernah hilang menjadi saksi sejarah turunnya pasukan pemanah ketika
melihat harta rampasan perang ditinggalkan musuh dan datangnya pasukan Khalid
memukul mereka dari arah belakang. Kemenangan yang hampir ditangan berganti
dengan kekalahan.

Aku kan kembali ke kampus, bertemu dengan para mahasiswa dari puluhan
bahkan ratusan bangsa-bangsa dunia, kembali dengan memakmurkan perpustakaan
yang memuat puluhan ribu kitab-kitab turast dari zaman ke zaman, kembali fokus untuk
memulai menggarap tesisku.

“Ya Allah …mungkin belum saatnya aku menikah tahun ini, entahlah tahun
depan-jika masih ada umur- mungkin mimpiku menjadi nyata. Alangkah bahagianya….”

--ooo--
Senja di Padang Arafah – Pertemuan Yang Mendebarkan 9

PERTEMUAN YANG MENDEBARKAN

Entah mengapa, di penghujung liburan ini, memori lamaku kembali bekerja


memutar ulang hari-hari yang lalu, di masa liburan 2-3 tahun yang silam ketika aku
masih duduk di bangku perkuliahan S1.

Sudah menjadi kebiasaanku bila liburan datang, mengunjungi rekan-rekan lama


yang dulu nyantri bareng di Pesantren. Kembali reuni dan bernostalgia, mengulang
segala pengalaman pahit dan indah tatkala nyantri.

Sebelum studi di Ma’had LIPIA dan belajar di Madinah University aku memang
menghabiskan masa puber dan mudaku di pesantren tersebut. Disitulah kami mulai
belajar bahasa Arab dan ilmu-ilmu keislaman. Persahabatan di dunia pesantren adalah
persahabatan yang begitu kuat dan kokoh, bahkan terkadang mengalahkan hubungan
pertalian darah. Bagaimana tidak, dengan para santri itulah aku merajut hari-hari indah
dalam menimba ilmu. Aktivitas belajar, makan,minum, olah raga, bermain, berpetualang
dan tidur. semua kujalani dengan mereka. Merekalah teman sekamar dan teman
tidurku.

Aku memiliki seorang teman akrab tatkala di pesantren. Ketika masih nyantri aku
sudah biasa tidur-tiduran di rumahnya bahkan kedua orang tuanya juga sudah
kuanggap bagai orang tuaku sendiri. Di rumahnya aku merasa tidak canggung lagi.

Setelah tamat pesantren temanku itu berwira swasta membuka usaha jual beli
kendaraan bermotor. Ia punya showroom sendiri untuk memasarkan berbagai tipe
motor yang dijual dengan harga cash maupun kredit.

Siang itu aku berjanji untuk bertemu dengan salah seorang teman di simpang
jalan yang kami sepakati. Siang itu hari lumayan panas membuat keringat mengucur
deras setiap orang. Sambil menunggu, aku didatangi sahabat karibku yang ternyata
melihatku berdiri menunggu seseorang di depan showroomnya. Ia memanggilku dan
mempersilahkanku masuk ke showroomnya untuk berteduh.

Aku senang bertemu dengannya, sahabatku lamaku di pesantren yang kini telah
menjadi pengusaha sukses. Kulihat banyak motor-motor yang dipajang di
showroomnya.
Senja di Padang Arafah – Pertemuan Yang Mendebarkan 10

Tanpa ragu aku melangkah masuk ke dalam showroomnya, niat hati ingin
meminjam sejenak telephone untuk menghubungi teman yang kutunggu. Setibanya di
dalam…..

MasyaAllah, aku melihat di meja kasir ada seorang wanita cantik berjilbab lebar,
duduk begitu anggunnya. Hatiku berdegub keras tak menentu, nafasku turun naik, dan
ada sesuatu goresan hati yang tak dapat kulukiskan dengan kata-kata, melintas dan
menghujam. Segera aku tinggalkan ruangan tersebut dan menemui sahabatku. Aku tak
kuasa menahan diri untuk mempertanyakannya tentang sosok makhluk yang duduk
dengan anggunnya di meja kasir itu. Ternyata wanita itu adalah adik kandung temanku
sendiri yang selama ini tidak pernah kutau. Meskipun aku selalu berkunjung ke
rumahnya dikala liburan dan hampir mengenal semua keluarganya, namun yang satu ini
luput dari pengetahuanku.

Ia memang tidak melihatku, tapi aku sangat jelas melihatnya. Setibanya di rumah
aku beristighfar berkali-kali memohon ampunan Allah dan berupaya menghapus
bayangan itu yang begitu cepat membekas dalam hatiku.

Kesibukan perkuliahan di kampus berhasil menghapus segala ingatan


tentangnya. Namun ketika aku di desak ibu untuk menikah kali ini, dan setelah semua
calon ibu ku tolak, entah mengapa wajah itu kembali berkelebat di alam fikiranku.
Subhanallah..

--ooo--
Senja di Padang Arafah – Pesan 11

PESAN

Liburan musim panasku berakhir. Besok aku harus kembali ke Madinah. Liburan
kali ini bagiku adalah liburan yang spesial dan berbeda dengan masa-masa sebelumnya.
Liburan yang menggali kembali lintasan peristiwa yang telah ku kubur. Peristiwa
berjumpa dengan sosok yang kini memenuhi mimpi-mimpi dan harapku. Sekalipun ia
tidak pernah tau tentangku, apalagi membaca tali asaku yang menggantung padanya.
Sungguh dialah orang yang kuharap dapat menterjemahkan mimpi-mimpiku di alam
nyata.

Sebelum berangkat aku berpesan kepada orang yang kupercaya untuk mencari
info tentangnya. Akhlaknya, agamanya, pendidikannya dan terakhir tentang statusnya,
sebab aku masih merasa sungkan untuk bertanya kepada abangnya.

Kesibukanku mengumpulkan bahan-bahan tesis, pulang balik ke pepustakaan,


bertemu dengan tutor, semuanya dapat membuatku tenggelam dalam indahnya lautan
ilmu, menikmati keindahan mutiara perkataan para ulama dan membuatku lupa dengan
program menikah. Sungguh keindahan ilmu begitu melalaikan segalanya, wajarlah jika
sebagian ulama melupakan diri mereka untuk menikah disebabkan kesibukan untuk
mendalami ilmu, memgamalkannya, mengajarkannya dan menyebarkannya. Ku teringat
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Nawawi dan lain-lain yang wafat dalam keadaan
membujang sepanjang hidup. Bahkan dalam Mazhab Syafi’i dikatakan bahwa kesibukan
menimba ilmu dan mengajarkannya lebih utama dari menikah bagi siapa saja yang tidak
khawatir terfitnah dengan godaan wanita.

Namun aku hidup di zaman fitnah wanita begitu dahsyatnya melanda. Tidak
menikah di zaman fitnah ini hanyalah akan mempercepat kebinasaan seseorang.
Apalagi seorang juru dakwah yang senantiasa menjadi panutan manusia. Berapa banyak
skandal yang “meremukkan” jati diri juru dakwah yang terlalu bermudah-mudah dalam
urusan wanita hingga akhirnya terjebak dalam belitan keindahan fitnah wanita.

Selang beberapa bulan, aku coba menghubungi sahabat yang ku amanahkan


untuk mengumpulkan data tentangnya. Tapi aku kecewa karena ia tidaklah mampu
mengumpulkan data yang ku inginkan kecuali informasi bahwa sekarang ia sedang
KKN. Padahal yang kumau adalah info tentang statusnya apakah masih kosong, atau
Senja di Padang Arafah – Pesan 12

telah dipinang seseorang guna melanjutkan misi berikutnya. Bila ia telah di-khitbah
seseorang, maka aku harus rela menelan pahitnya kekecewaan dan bersabar dengan
ketentuan Allah. Tapi apabila ia masih berstatus “single” berarti aku masih punya
secercah harap untuk mengkhitbahnya, jika ia berkenan.

Aku sendiri hakikatnya hanyalah memiliki niat yang lurus dan ketulusan hati
untuk berupaya menjadi suami terbaik. Adapun penampilan wajah, aku hanyalah pas-
pasan, tidak seperti bintang-bintang sinetron yang gagah-gagah dan tampan itu.
Sekiranya kelak dia hanya melihat zahir wajahku, niscaya aku pasti disisihkan oleh para
pelamar yang lebih” keren” dariku. Apalagi ku tau dia adalah “bunga desa” yang
membuat tertarik banyak kumbang. Jika hal tersebut terjadi, aku harus bersiap-siap
untuk mengalah dan kalah.

Tapi jika ia tau tentang kepribadianku, karakter diriku, riwayat hidupku dan
prestasi belajarku yang terang dan cemerlang, niscaya aku dapat diperhitungkannya
dan boleh jadi mengalahkan rival-rivalku yang lain. Ah..sudahlah, semuanya telah di atur
dan semua ketentuan Allah pasti itulah yang terbaik bagiku. Aku selalu teringat firman
Allah yang artinya:

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui”. QS: Albaqarah: 216.

--ooo--
Senja di Padang Arafah – Musim Haji 13

MUSIM HAJI

Musim haji telah datang. Para jemaah haji telah membanjiri Masjid Nabi dan kota
Madinah. Segala macam bangsa, bahasa dan rupa manusia bertemu jadi satu. Semuanya
lebur dalam satu buhul yang menyatukan mereka, buhul Islam. Tiada bangsa yang
berhak merasa lebih tinggi dari bangsa lainnya. Semuanya sama di mata Allah. Takwa
semata yang dapat membuat seseorang lebih mulia di mata Allah.

Ku dengar dari sahabat lamaku-abang dari gadis yang kulihat di showroom itu,
bahwa kedua orang tuanya ada bersama rombongan jamaah haji yang datang dari
kampungku. Mereka telah kuanggap bagai orangtuaku sendiri karena akrabnya aku
dengan putera mereka ketika di pesantren, dan seringnya aku berkunjung ke rumah
mereka.

Sudah menjadi kebiasaan para mahasiswa untuk mendatangi para kerabat,


handai tolan dan orang sekampung yang datang untuk melaksanakan haji ke hotel-hotel
tempat kediaman mereka.

Banyak sekali manfaat berkunjung ke jamaah, selain mempererat silaturrahmi,


biasanya berkunjung ke mereka dapat mengobati sedikit kerinduan ke kampung
halaman. Apalagi bila disuguhkan makanan dari indo sperti bumbu pecal, rendang
jengkol, sambal teri kacang tanah,ikan sale…dll, wah ngak bakalan rugi berletih-letih
mencari mereka di maktab-maktab yang terkadang lumayan jauh dari Masjid Nabi.

Musim haji bagi sebagian mahasiswa adalah musim meraih pundi-pundi dolar
US. Para pelajar ada yang bekerja mencari upah di travel sambil memandu jama’ah
untuk ziarah city tour, ke tempat-tempat bersejarah seperti, Uhud, Makam Sayyidina
Hamzah dan syuhada Uhud, sumur Utsman, kebun kurma, Masjid Quba, tempat
pristiwa perang Khandaq (perang parit), Masjid Qiblatain, peternakan unta sambil
menikmati susu unta, dan kencing unta- bagi yang nekat mengkonsumsinya untuk
kesehatan- dan tempat-tempat lainnya. Adapula bekerja di travel menjemput dan
mengantar jama’ah dari bandara ke penginapan, mengantar katering jama’ah, bahkan
menjadi pembimbing ibadah haji di Mekah.
Senja di Padang Arafah – Musim Haji 14

Sebagian pelajar yang belajar di Negeri Arab semisal Mesir, Maroko, Jordan,
Sudan, dll turut meramaikan ibadah haji dengan menjadi TEMUS (tenaga musim) haji.
Bahkan kudengar dari sebagian Mahasiswa yang orangtuanya pas-pasan dan jarang
ngirim uang saku, bahwa musim haji adalah kesempatan mereka mengumpulkan modal
hidup setahun di negeri tempat mereka menimba ilmu.

Dengan susah payah akhirnya aku berhasil menjumpai kedua orangtua


sahabatku itu. Kesempatan baik itu tak kusia-siakan untuk berkhidmat membantu
mereka dalam hal apapun. Sudah menjadi kebiasaan jama’ah haji meminta bantuan para
pelajar untuk menemani mereka berbelanja, ke rumah sakit bila sakit, dan sekaligus
meminta bimbingan mereka dalam ibadah haji.

Betapa senangnya mereka dapat bertemu denganku seolah mereka bertemu


dengan anak mereka sendiri. Dari mereka aku mulai banyak mengenal sisi-sisi
kehidupan sigadis “misterius” putri mereka itu. Jujur aku semakin tertarik dan
penasaran dengannya. Tapi bibir ini serasa kelu tiap kali ingin mengutarakan keinginan
hatiku melamar puteri mereka.

Perubahan musim dan pebedaan iklim membuat salah seorang dari orangtua
sahabatku sakit dan harus di opname. Hari-hari aku menginformasikan perkembangan
kesehatan mereka kepada sahabtku via telephone.

Suatu hari sebagaimana biasa aku menghubungi sahabatku untuk


menginformasikan kesehatan orang tuanya, namun hari itu yang menerima telephone
adalah kerabatnya, karena sahabatku sedang membezuk adik perempuannya “si gadis”
di-opname di rumah sakit. Kabarnya lambung atau pencernaanya bermasalah. Aku
begitu bersedih mendengarnya, entahlah… perasaan iba memenuhi seluruh relung
hatiku. Perasaan khawatir, cemas, takut dan lain-lain berkecamuk di dalam dadaku.
Tanpa kusadari lisan ini senantiasa memanjatkan doa kepada Tuhan Pencipta Alam
semesta agar menyembuhkannya.

--ooo--
Senja di Padang Arafah – Senja di Padang Arafah 15

SENJA DI PADANG ARAFAH

Hari ini tanggal 9 Zulhijjah saat wukuf di padang Arafah. Hari terpenting dalam
ritual ibadah haji. Siapa saja yang tidak ikut berwukuf meskipun sesat di padang Arafah,
maka hajinya batal dan tidak dapat diganti dengan menyembelih dam. Separah apapun
kondisi pasien dari jama’ah haji yang di rawat di rumah sakit di Mekah, wajib di bawa
pakai mobil ambulan menuju Arafah walau sekedar melintas.

Siang hari Arafah adalah hari terbaik sepanjang tahun, sebagaimana malam
lailatul qadar adalah malam terbaik sepanjang tahun pula. Pada hari ini Allah
permaklumkan kepada para malaikatnya bahwa Ia telah mengampuni dosa orang-orang
yang berwukuf di Arafah dan membebaskan leher-leher mereka dari belenggu api
neraka.

Keistimewaan hari Arafah adalah hari yang mustajab dalam berdoa padanya,
apalagi doa yang dipanjatkan selepas ashar hingga tenggelam matahari. Sungguh besar
peluang dikabukan Allah.

Senja itu terasa begitu hening dan senyap. Jutaan manusia yang sedang
berwukuf tenggelam dalam kekhusuyukan berdoa dan bermunajat. Wajah-wajah
memelas dan pasrah yang dibanjiri peluh dan air mata, dengan kedua tangan yang
ditengadahkan ke langit sambil menghadap kiblat menjadi pandangan umum dimana-
mana. Ada yang berdoa khusuk sambil duduk di dalam tenda-tenda, ada pula yang
berdiri menghadap kiblat. Semua larut dalam lantunan zikir dan munajat.

Senja itu begitu syahdu bagiku. Sinar mentari telah redup kan segera tenggelam
kembali ke peraduan. Warna jingga di upuk barat menambah khusyukku dalam berdoa.
Segala doa kebaikan dunia akhirat tak henti kupanjatkan dengan air mata yang mengalir
dan hati yang bergetar.

Episode-demi episode hidupku yang sejak kecil telah menjadi yatim, masa-masa
beranjak dewasa di pesantren, hingga masa-masa indah belajar di Madinah melintas
begitu saja. Kusadar betapa banyak nikmat Tuhan yang tidak sempurna ku syukuri, dan
ku sadar betapa banyak dosa-dosaku yang ditangguhkanNya.
Senja di Padang Arafah – Senja di Padang Arafah 16

Matahari telah hilang sebagian menyisakan setengah bola emas alam yang
terlalu indah untuk dilukiskan dengan kata-kata. Entah kenapa ingatanku kembali
kepada sang gadis yang kini sedang terbaring. Perasaan iba dan kasih memenuhi dadaku
membuat bibir ini bergerak bermunajat kepada Penciptanya.

“Duhai Tuhan pemilik tujuh petala langit dan bumi, kepadaMu kutengadahkan tangan
ini,

Hanya kepadaMu aku berharap…

Sembuhkanlah gadis itu dari penyakitnya dan tumpahkan rahmat dan belas kasihMu
kepadanya.

Duhai Tuhan Pemilik hati-hati hamba, maafkan kenaifan diri ini, sungguh diri ini tak
kuasa menahan kecondongan hatiku padanya. Jika Engkau- dengan ilmuMu-
mengetahui bahwa ialah jodoh terbaik untukku, maka satukanlah hati kami untuk
menjadi pasangan hidup di dunia dan akhirat, sebagaimana Engkau telah menyatukan
hati Baginda Nabi dengan ibunda Aisyah, antara hati kekasihMu Ibrahim dengan ibunda
Sarah, antara hati nenek moyang kami Adam dengan ibunda Hawa.

Duhai Tuhan pemilik segala rahasia yang ghaib, seandainya dalam ilmuMu ia tidak
berjodoh denganku, ajarkan diri ini untuk sabar menerima segala putusanMu. Jadikan
rumah tangga yang ia bina dengan pasangannya penuh dengan keberkahan, sakinah
dan mawaddah, peliharalah ia dan orang yang dia cintai sebagaimana diriMu
memelihara dan menjaga wali-wali dan hamba-hambamu yang sholeh”.

Matahari sempurna tenggelam. Lautan manusia tumpah-ruwah memenuhi jalan-


jalan menuju Muzdalifah. Suara talbiyah dan takbir bersahut-sahutan membahana
membelah langit, naik ke atas menuju Tuhan Yang Maha Pemurah. Di antara
rombongan manusia itu ada seorang anak manusia yang tertatih-tatih mengharap belas
kasih tuhanNya, mengharap diijabahi doa dan rintihannya.

Malam merangkak, Arafah menjadi lengang. Segala hiruk-pikuk jutaan jamaah


haji berpindah ke Muzdalifah untuk melanjutkan rangkaian manasik ibadah haji lainnya.

--ooo--
Senja di Padang Arafah – Melamar 17

MELAMAR

Begitu cepatnya gugusan hari-hari berubah menjadi bulan, dan bulan pun
berubah menjadi tahun. Selaksa peristiwa memenuhi catatan hidup anak manusia. Ada
kisah suka cita, ada pula kisah tangis dan tawa. Ada yang lahir ada pula yang wafat. Ada
yang menikah ada pula yang bercerai. Susah dan senang senantiasa dipergulirkan untuk
menguji iman manusia.

Orang beriman sangat meyakini bahwa dibalik kesusahan akan terlahir


kemudahan. Menurut mereka tiada banjir yang tak kering, tiada benang kusut yang tak
dapat diurai, tiada kemarau panjang tak berhujan. Segala kejadian hidup senantiasa ia
sikapi dengan baik. Bila datang kenikmatan berantai ia tak kan lalai mensyukurinya. Bila
datang ujian bertubi-tubi ia sabar menghadapinya dan meyakini dibalik semua ujian
terkandung hikmah yang besar dan kebaikan yang banyak.

Liburan musim panas kini datang lagi. Tahun ini aku harus pulang ke Indonesia
untuk mewujudkan mimpiku berumah tangga. Meskipun tesis belum rampung ku garap,
tapi aku harus tetap pulang berlibur. Tidak harus memaksakan diri menyelesaikannya
dengan tergesa-gesa. Sudah menjadi kebiasaan di universitasku bahwa waktu tercepat
mahasiswa dapat kelar menyelesaikan tesisnya adalah tiga tahun, kalaupun belum
tuntas maksimal maka mahasiswa diberi tenggang waktu hingga empat tahun. Kini aku
sudah menjalani program ini dua tahun, masih bersisa satu hingga dua tahun lagi untuk
merampungkannya.

Universitas Madinah sepengetahuanku adalah universitas terlama dalam


memberikan gelar S2 dan S3. Untuk merampungkan magister membutuhkan waktu 4
tahun dan untuk Doktor 6 tahun. Semua dalam upaya universitas untuk mengeluarkan
alumni yang benar-benar berbobot dan teruji dengan karya-karya mereka yang
berkwalitas.

Tiba di indonesia aku tak kuasa bersabar lama untuk tidak menyatakan maksud
hatiku untuk melamar gadis itu. Begitu kuat keinginan itu, menggebu-gebu, dan
membuncah alam pikirku dan harus ku ungkapkan.
Senja di Padang Arafah – Melamar 18

Waktu bertemu abangnya jantungku berdebar keras ketika mulai menjurus


kepada pembicaraan yang telah lama kususun-susun di rumah. Seolah-olah lisanku
menjadi kelu tak dapat kugerakkan. Segala kalimat indah semuanya berantakan tak
terarah. Wajahku memerah dan nada suaraku menjadi parau. Keahlianku dalam
berorasi dan berbicara semua hilang entah kemana. Dengan susah payah dan terbata-
bata akhirnya aku berhasil juga mengutarakan hasrat hati ini untuk melamar adiknya.

Kucoba membaca ekspresi wajahnya mendengar ungkapan jujurku.


Alhamdulillah ia tidak tersinggung maupun marah, bahkan rona wajahnya melukiskan
kegembiraan mendengar berita ini. Bak kata pepatah “puncuk dicinta ulam pun tiba”,
ternyata ia pun berharap demikian dan berjanji akan segera menyampaikan lamaranku
pada pihak keluarganya.

Rembulan menyembul diantara awan yang berarak. Sinar peraknya menerangi


bumi menyibak pekatnya malam. Begitu pula secercah sinar harap telah pula masuk
menerangi cela-cela hatiku yang kelam dalam kegalauan sebelum lamaran itu
kusampaikan. Semua urusan akhirnya kuserahkan kepada Allah Tuhan Yang Maha Bijak
dengan segala ketentuan dan keputusanNya. Manusia hanyalah berharap dan
berikhtiar, tetapi Dia Yang Di Atas jua penentu segalanya.

Islam menghalalkan pernikan dan mengharamkan perzinahan. Segala sarana


yang menjurus ke zina dilarang Oleh Allah. Tidak dibolehkan bagi seorang lelaki yang
tertarik pada wanita untuk bebas bergaul dengannya, berduaan,berpacaraan,
bersentuhan..dst. Dalam Islam jika seorang lelaki tertarik pada perempuan, seyogyanya
ia menjelaskan pada walinya, baik langsung maupun dengan perantara.

Laki-laki yang tertarik pada seorang wanita atau sebaliknya, tidak terlarang
untuk mengungkapkan keinginannya menikah atau dknikahi orang yang dia harap.
Tidak baik memendam perasaan dan hanya berdiam diri. Banyak kudengar ratapan
“para pengecut” yang hanya berani berandai-andai mencintai seseorang dalam diam
akhirnya kecewa tatkala wanita yang diharap telah menjadi milik orang lain.

Aku sangat terkesan sekali dengan keberanian seorang wanita sahabat yang
datang kepada Nabi memintanya agar sudi menikahinya, meskipun akhirnya ia tidak
bersanding dengan baginda Rasul, tetapi ia telah membawa pesan abadi kepada ummat
Senja di Padang Arafah – Melamar 19

tentang bolehnya mengungkapkan keinginan menikah atau dinikahi orang yang diharap
baik agama dan akhlaknya.

Akhirnya berita lamaranku telah sampai ke telinga kedua orang tua dan
keluarganya. Semua menerimaku dengan tangan terbuka. Hanya si gadis yang belum
mengetahui informasi ini , karena ia tidak tinggal di kampung. Sejak kuliah ia memilih
kost di kota yang berdekatan dengan kampusnya. Tinggallah kewajiban Abangnya
untuk berangkat kepadanya membawa berita ini.

--ooo--
Senja di Padang Arafah – Kecewa 20

KECEWA

Jalan hidup ini tidaklah selalu datar, kan ada masanya sang musafir harus berjalan
mendaki bukit, menuruni lereng, menyisir lembah dan ngarai.

Seringkali keinginan hati tak bersesuaian dengan realita hidup, sebagaimana arah
kemudi tak selalu selaras dengan arah angin. Terkadang nakhoda arahkan kemudi ke
Barat, namun angin membawa perahu layarnya ke arah barat.

Siang itu sahabatku bertemu dengan adiknya. Setelah berbual-bual melepas


rindu, ia menyampaikan perihal lamaranku.

“Abang punya seorang sahabat kental teman sepermainan ketika nyantri di


pesantren. Orangnya baik, berprestasi dan berkarakter. Hubungan kami layaknya kakak
beradik sejak dulu. Kini ia berstatus mahasiswa magister di Universitas Islam Madinah.
Ia hanya pernah sekali melihatmu sesaat ketika engkau duduk di meja kasir showroom.
Ia tertarik dan ingin melamarmu. Harapannya engkau dapat menemaninya untuk
menyelesaikan program magister dan doktoralnya di kota Nabi. Menjadi pendamping
hidupnya dan ibu bagi anak-anaknya kelak. Semua keluarga kita mendukung, dan
kuharap engkau tidak mengecewakan harapannya”.

Sesaat gadis itu terdiam kaget tak percaya dengan apa yang didengarnya.
Bukanya ia tak sudi menerima pinangan tersebut dan membahagiakan keluarga dan
orang tuanya, masalahnya ia sedang menjalani proses ta’aruf (penjajakan) dengan
seorang pemuda tamatan King Abdul Aziz Riyadh-ibu kota Saudi Arabia. Pemuda itu
telah lebih dahulu menyampaikan lamaranannya melalui salah seorang kerabat dekat
sang gadis. Hati kecilnya menerima lelaki yang baik dan tampan itu. Wanita mana yang
tak senang mendapatkan pendamping lelaki sholeh, tampan dan alumni timur tengah
meskipun baru bergelar LC.

Belum lagi satu permasalahan, kini telah muncul pula masalah baru. Ia
dihadapkan pada pilihan sulit, namun satu hal yang pasti bahwa ia telah mengetahui
wujud lelaki pertama yang datang melamarnya. Adapun lelaki kedua hanyalah teman
abangnya yang tidak pernah dia ketahui wujud dan bentuknya.
Senja di Padang Arafah – Kecewa 21

Dengan berat hati ia berkata: “bang… Seandainya ia datang lebih awal, pasti ku
tak ragu untuk menerimanya meski belum melihat orangnya, tapi karena ia datang
terlambat, hatiku berat untuk menerimanya”.

Sahabatku kecewa dengan ungkapan adiknya, sekalipun keputusan itu barulah


sepihak belum diketahui keluarganya. Ia yakin semua keluarga besarnya pasti kan
kecewa. TIdak bisa dipungkiri, diantara semua yang kecewa maka akulah orang yang
paling kecewa mendengarnya.

Malam itu ku tak kuasa memejamkan mata. Cuaca diluar begitu dingin menusuk
tulang. Mendung bergelayut pertanda akan segera turun hujan. Semendung hatiku
yang remuk redam mendengar laporan sahabatku tadi siang.

“Duhai Tuhan..ajarkan hati ini untuk selalu berhusnuz zhan dengan goresan tinta
dari pena takdirku yang telah mengering…., Lapangkan dadaku dan berilah pengganti
musibah yang telah aku alami”.

--ooo--
Senja di Padang Arafah – Menemui Rival 22

MENEMUI RIVAL

Telah menjadi tekatku untuk datang menemui lelaki yang telah lebih dahulu
melamar gadis itu. Aku tidak mengenal kecuali namanya. Kabarnya ia baru
menyelesaikan kuliahnya dan sekarang mulai berkarya mengamalkan ilmunya dengan
menjadi dosen honerer.

Kerabat gadis itulah yang pertama kali menjadi perantara antara mereka.
Kabarnya ia lelaki yang tampan dengan postur tubuh dan tinggi yang ideal. Menurut
kerabat si gadis, lelaki itu sangat sesuai dipasangkan dengannya. Hal itulah yang
membuatku penasaran ingin bertemu dengannya.

Aku telah menyusun kata-kata jika kelak berhadapan dengannya. Akan


kukatakan bahwa aku juga punya hak untuk memiliki gadis itu, karena secara syar’i
belum ada lamaran resmi yang datang darinya kepada wali gadis itu. Apalagi dalam Islam
masalah menerima lamaran dan menikah adalah kewenangan wali wanita, bukan di
tangan wanita itu sendiri. Sekalipun sang wanita setuju namun wali tidak merestuinya,
tidak kan ada yang namanya pernikahan.

Hanya wanita jahil saja yang nekat menikah tanpa wali. Apalagi “kawin lari”
menikah tanpa restu wali dengan sembarang mencomot wali untuk menikahkan dirinya.

--ooo--
Senja di Padang Arafah – Ta’aruf 23

TA’ ARUF

Pesona pelangi yang indah tak kan pernah tampak kecuali setelah hujan.
Semburat lazuardi nan cerah kan datang mengusir mendung hitam. Begitu juga
kehidupan anak manusia. Senantiasa ada keindahan di balik penderitaan.

Aku terperanjat tatkala mendengar berita bahwa keluarga sang gadis menunggu
kedatanganku dan keluarga di rumah mereka. Proses ta’aruf dan nazhar akan segera
dilangsungkan. Betapa bahagia hatiku mendengar info terbaru ini. Kaget dengan
perubahan yang begitu cepat terjadi. Baru saja pupus harapanku yang mulai bersemi
untuk menyuntingnya, kini telah bertunas pula harapan baru. Entah apa yang terjadi,
wallahu a’lam yang jelas aku harus menyiapkan mental untuk bertatap muka
dengannya.

Hari itu ku datang dengan keluarga ke rumahnya. Didampingi oleh orangtua dan
abangnya ia tampil begitu anggun menurutku. Tak salah jika orang-orang mengatakan
ia adalah “bunga desa” ini dan menjadi incaran banyak “kumbang”. Adapun aku,
hanyalah pemuda yang tidak begitu perduli dengan penampilanku. Kala itu aku datang
mengenakan baju yang begitu bersahaja dengan rambut yang kubiarkan memanjang liar
karena belum sempat datang ke tukang cukur. Tubuh yang kurus karena banyak
bergadang malam bukanlah hal yang aneh bagi para pelajar dikampusku. Demikian juga
penampilan yang kurang diperhatikan para pelajar sudah menjadi pemandangan yang
lumrah.

Aku lebih banyak berbincang dengan kedua orang tua dan abangnya sambil curi-
curi pandangan ke arahnya. Sementara ia acuh tak acuh memandangku sesekali.
Zahirnya ia tidak begitu tertarik dengan penampilanku yang “kuper” ini. Menurutku ide
acara ini terwujud hanyalah dari desakan pihak keluarganya yang menginginkan aku
menjadi bagian dari mereka,bukan darinya. Tapi biarlah segalanya kupasrahkan pada
Zat Yang di Atas sana. Ia lebih tau apa yang terbaik bagiku.

Di ujung acara pihak keluarga menerima lamaranku dan mulai membincangkan


hari pernikahan kami. Seolah mereka ingin memahamkan kepada si gadis bahwa cinta
itu terkadang tidak selalu hadir utuh di hati, tetapi ia kan datang secara perlahan. Biarlah
perjalanan waktu yang kelak menyatukan hati-hati dalam tautan cinta.
Senja di Padang Arafah – Ta’aruf 24

Memang ada benarnya cinta itu perlu proses. Menumbuhkan bibitnya gampang,
yang lebih sulit adalah memupuk bibit itu menjadi kokoh,bak pohon yang tinggi
menjulang ke langit dan dahannya menyebar kesegala penjuru. Mengharapkan buah
cinta yang lebat tanpa melalui proses dan ujian adalah keliru.

Aku dan keluarga pulang ke rumah dengan membawa sejuta harapan, semoga
Allah yang Maha Pengasih memudahkan urusanku ke depan. Jujur aku belum benar-
benar merasa yakin dapat bersanding dengannya. Melihat dari proses ta’aruf dan
tanggapannya yang tidak begitu merespon keberadaanku. Ah…biarlah waktu yang
menentukan kelak.

Setelah kepulanganku, segala macam pujian atas diriku dari pihak keluarga gadis
itu sedikit banyak mulai merubah persepsinya tentangku. Kata abangnya ia mulai
mencari tau segala sesuatu yang berkaitan dengan jati diriku. Semua ustadz-ustadz dan
ulama-ulama yang ia kenal di kota itu ia tanyakan tentangku dan semua memberikan
tanggapan yang positif. Semua mereka mengenal riwayat hidupku sejak kecil hingga
kini. Konon kata abangnya ia juga membandingkan diriku dengan alumni Riyadh
tersebut dan bertanya kemana-mana tentang lelaki gagah itu. Sayang ia tidak
menemukan jawaban yang memuaskan sebagaimana tanggapan orang-orang
tentangku.

Ketertarikannya padaku mulai tampak. Apalagi ketika ia meminta tanggapan dari


kerabatnya yang menjadi perantara antara dia dengan alumni Riyadh itu dan ternyata
kerabatnya itu menyarankannya agar memilih diriku.

Subhanallah… alangkah ajaibnya hati manusia yang begitu mudah untuk


berbolak balik. Namun tetap kepercayaan itu belumlah sepenuhnya kokoh jua, apabila
ia membandingkan penampilan zahir diriku dengan alumni Riyadh itu.

Hari pernikahan memang belum disepakati meskipun telah ada pembicaraan ke


arah sana. Boleh saja pihak keluarga menunggu putri mereka sampai benar-benar
menyukaiku dan yakin menikah denganku.

--ooo--
Senja di Padang Arafah – Surat Pembatalan 25

SURAT PEMBATALAN

Hari-hari berjalan begitu terasa cepat, gadis itu masih dalam kebimbangan untuk
menentukan putusan. Dari satu pihak keluarganya memilih diriku sementara dari sisi
lain ia masih meragukan dapat tentram dan bahagia menjadi pendampingku.

Peperangan bantin selalu bergejolak di hatinya hingga akhirnya ia nekat menulis


secarik surat ingin membatalkan kesepakatan antar dua keluarga. Malam itu ia benar-
benar telah rampung menulis surat dan memasukkannya ke dalam amplop. Rencananya
esok pagi akan ia antar sendiri ke rumahku. Isi surat itu adalah mohon maafnya yang
sebesar-besarnya kepada diriku dan keluargaku bahwa ia tidak bersedia menjadi
pendamping hidupku.

Semua pihak keluarganya menyesal dengan sikapnya itu dan berlepas tangan
dari apa yang ia lakukan. Terlebih abangnya yang merupakan sahabat karibku. Tidak
seorangpun ada yang bersedia menemani dirinya membawa surat itu.

--ooo--
Senja di Padang Arafah – Bermimpi 26

BERMIMPI

Malam itu sang gadis bermimpi melihat para gadis-gadis belia sedang
berkumpul-kumpul berbual-bual. Tiba-tiba ia melihatku melewati majelis para gadis
belia itu. Tiba-tiba para gadis itu berlomba-lomba melambaikan tangan ke arahku
sementara ia begitu cemburu menatap tingkah laku mereka. Entah kenapa dalam mimpi
itu ia merasa lebih berhak atas diriku daripada gadis-gadis itu. Lapun terjaga tatkala
fajar menyingsing. Sungguh mimpi itu membekas di hatinya. Entah mengapa ia merasa
begitu takut kehilanganku pada waktu itu.

Tetapi mimpi itu tetap ia hiraukan. Tekatnya telah bulat untuk mengantarkan
surat itu. Dengan naik becak ia bergerak menuju rumahku.

Tatkala telah mendekat,entah mengapa timbul keraguan yang dahsyat untuk


melanjutkan keinginannya. Ia berhenti di salah satu rumah sahabatnya yang adalah
tetanggaku. Ia berpura-pura mengunjungi sahabatnya itu, padahal hatinya sedang
berperang. Kebingungannya memuncak.

Entah kenapa sahabatnya itu mengarahkan pembicaraan tentang diriku. Ia


menyanjung-nyanjung diriku dan menyebutkan bahwa banyak sekali gadis-gadis di
kampung ini berharap menikah denganku. Bahkan tanpa malu-malu ia juga
menyebutkan ketertarikannya padaku dan bersedia menjadi istriku.

Merah wajah sang gadis, rasa cemburunya terbakar, entah mengapa kali ini dia
yakin bahwa dirinya benar-benar telah mencintaiku dan siap menikah.

Ia tetap datang ke rumahku, namun bukan untuk mengatarkan surat itu,


melainkan sebagai pemberitahuan bahwa ia benar-benar siap untuk menyambut
walimah.

--ooo--
Senja di Padang Arafah – Penutup 27

PENUTUP

Cemburu takkan pernah muncul kecuali dari seseorang yang mencintaimu.


Mustahil ada cinta tanpa cemburu. Semakin besar dirimu mencintai seseorang semakin
dahsyat pula cintamu padanya.

Subhanallah…

Tak disadari ternyata gadis itu benar-benar yakin menikah denganku. Benih cinta
yang awalnya bermula dari keraguan kini telah berubah menjadi suatu keyakinan.

Kini diriku telah dikarunia Allah darinya putra-putri buah cinta kami. Bertahun-
tahun ia setia menenami diriku belajar di Kota Nabi hingga meraih Doktoral. Berbagai
halangan dan rintangan hidup kami hadapi bersama. Suka dan senang, bahagia dan
derita, semua semangkin mengekalkan cinta kami.

Sungguh ku bersyukur pada Allah yang telah memilihkan untukku istri sholehah,
semoga cinta ini berkekalan hingga nyawa memisahkan kami. Sebagaimana ia adalah
bidadari duniaku, kuharap kelak ia pula menjadi bidadariku di akhirat.

Hari ini adalah tanggal 9 Zulhijjah 1437 hijriyah. Aku berada di antara lautan
manusia yang sedang wukuf. Senja di Padang Arafah masih tetap seindah dulu.
Mengingatkanku pada peristiwa masa lalu. Di tempat inilah kutengadahkan dua tangan
ini, merintih dan berharap pada Ilahi agar memilihkan ia menjadi pasanganku,
mendampingi hidupku selamanya.

Matahari tenggelam diiringi lantunan talbiyah dan takbir. Jama’ah haji bergerak
meninggalkan Arafah. Entah berapa banyak doa-doa yang naik ke atas dikabulkan.
Entah berapa banyak genangan air mata tobat dan penyesalan yang diampunkan. Entah
berapa banyak pula leher-leher hamba yang dibebaskan dari neraka pada hari ini.

Duhai Tuhan…

Berilah kami istri-istri dan anak keturunan yang membuat senang mata-mata
kami, dan jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.

* diambil dari kisah nyata seorang da’i-hafizahullah–


Senja di Padang Arafah – Sumber 28

SUMBER

Tulisan Ini Diambil Dari website : www.abufairuz.com

Link :

https://www.abufairuz.com/2016/kisah/senja-di-padang-arafah-bag-1/

https://www.abufairuz.com/2016/kisah/senja-di-padang-arafah-bag-2/

https://www.abufairuz.com/2016/kisah/senja-di-padang-arafah-bag-3/

https://www.abufairuz.com/2016/kisah/senja-di-padang-arafah-bag-4/

https://www.abufairuz.com/2016/kisah/senja-di-padang-arafah-bag-5-tamat/

Anda mungkin juga menyukai