Anda di halaman 1dari 3

Nama: Echa desmita dwina

Kelas:XI Mia
Tugas:B.Indonesia(teks drama/novel)

NEGRI 5 MENARA

Alif lahir di pinggir Danau Maninjau dan tidak pernah menginjak tanah di luar
ranah Minangkabau. Masa kecilnya adalah berburu durian runtuh di rimba
Bukit Barisan, bermain bola di sawah berlumpur dan tentu mandi berkecipak di
air biru Danau Maninjau. Tiba-tiba saja dia harus naik bus tiga hari tiga malam
melintasi punggung Sumatera dan Jawa menuju sebuah desa di pelosok Jawa
Timur. Ibunya ingin dia menjadi Buya Hamka walau Alif ingin menjadi Habibie.
Dengan setengah hati dia mengikuti perintah Ibunya: belajar di pondok. Di
kelas hari pertamanya di Pondok Madani (PM), Alif terkesima dengan
"mantera" sakti man jadda wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti
sukses. Dia terheran-heran mendengar komentator sepakbola berbahasa Arab,
anak menggigau dalam bahasa Inggris, merinding mendengar ribuan orang
melagukan Syair Abu Nawas dan terkesan melihat pondoknya setiap pagi
seperti melayang di udara. Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif
berteman dekat dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari
Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari Gowa. Di bawah menara masjid
yang menjulang, mereka berenam kerap menunggu maghrib sambil menatap
awan lembayung yang berarak pulang ke ufuk. Di mata belia mereka, awan-
awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing. Kemana
impian jiwa muda ini membawa mereka?

Analisis struktur teks novel “Negeri 5 Menara” berikut!


1) Abstrak
Iseng saja, aku mendekat ke jendela kaca dan menyentuh permukaannya
dengan ujung telunjuk kananku. Hawa dingin segera menjalari wajah dan
lengan kananku. Dari balik kerai tipis di lantai empat ini, salju tampak turun
menggumpal-gumpal seperti kapas yang dituang dari langit. Ketukan-ketukan
halus terdengar setiap gumpal salju menyentuh kaca depanku. Matahari sore
menggantung condong ke barat membentuk piring putih susu. (halaman 1)
2) Orientasi
Laki-laki ramping ini adalah Ustad Salman, wali kelasku. Wajahnya lonjung
kurus, sebagian besar dikuasai keningnya yang lebar. Bola matanya yang lincah
memancarkan sinar kecerdasan. Pas sekali dengan gerak kaki dan tangannya
yang gesit ke setiap sudut kelas. Sebuah dari berwarna merah tua terikat rapi
di leher kemeja putihnya yang licin. Lipatan celana hitamnya berujung tajam
seperti baru saja disetrika. Sepatu hitamnya bersol tebal dan berdekak-dekak
setiap dia berjalan di ubin kelas kami. (halaman 41)

3) Komplikasi
Alif yang tidak ingin masuk pesantren dipaksa oleh kedua orang tuanya utnuk
mengikuti tes masuk di Pondok Madani. Setelah lulus, alif merasa tertekan
karena tidak dapat bersekolah di SMA umum seperti Randi, dan terus
terprovokasi dengan surat Randi dan kehidupan SMA. Banyak cerita dan
perjuangan dalam Pondok Madani bersama kelima teman Alif yang
mengikrarkan diri menjadi Sahibul Menara.

4) Evaluasi
“Anak-anakku semua. Mari kita bersyukur, kita telah diberi jalan oleh Tuhan
untuk bersama melangkah sampai sejauh ini. Selamat atas naik ke kelas enam.
Tujuan akhir kalian tidak jauh lagi. Terminal sudah tampak di ujung sana”
Seperti biasa, beliau menyapa kami dengan lemah lembut dan intim (halaman
291)

5) Resolusi
Kami pada Sahibul Menara berangkulan bersama. Hidup penuh suka duka
selama 4 tahun di PM telah merekatkan kami semua dalam sebuah
pengalaman dan persaudaraan yang tak akan lekang oleh waktu. (halaman
398)
6) Koda
Dulu kami melukis langit dan membebaskan imajinasi itu lepas membumbung
tinggi. Aku melihat awan yang seperti benua Amerika, Raja bersikeras awan
yang sama membentuk benua Eropa, sementara Atang tidak yakin dengan
kami berdua, dan sangat percaya bahwa awan itu berbentuk Afrika. Baso
malah melihat semua ini dalam konteks Asia, sedangkan Said dan Dulmajid
sangat nasionalis, awan itu berbentuk peta negara kesatuan Indonesia.
(halaman 405)

Anda mungkin juga menyukai