Anda di halaman 1dari 2

Pembelajaran tematik integratif (terpadu) pada kurikulum 2013 adalah pembelajaran yang diterapkan di SD

dengan memadukan berbagai mata pelajaran yang memiliki tema yang sama. Pembelajaran tematik biasa diterapkan di
SD karena karakteristik peserta didik yang masih memandang sesuatu secara holistik (menyeluruh), mereka belum
meampu memilah-milah konsep dari berbagai disiplin ilmu. Hal ini melukiskan cara berpikir anak yang deduktif yakni dari
hal umum ke bagian-demi bagian. Oleh karena itu pembelajaran tematik integratif menjadi pembelajaran yang sesuai
dengan karakteristik peserta didik di SD.

Konsep pembelajaran terpadu diungkapkan oleh Fogarty (2009: 95), penggunaan model terintegrasi sebagai
proses induktif untuk membedakan keterampilan penting sikap, konsep, dan keterampilan tertanam dalam disiplin ilmu.
Selain membahas unit belajar, pikiran kita tertutup dalam pada ide-ide yang tumpang tindih. Semakin banyak kita
berbagi, semakin banyak kesamaan. Disimpulkan bahwa melalui pembelajaran tematik siswa dapat mempelajari
berbagai hal sekaligus dalam waktu yang bersamaan, sehingga lebih efisien waktu. Eisner dalam Johnson (2010: 47)
menambahkan pendapat tersebut dalam bidang ilmu sosial, sebagai berikut.

“An integrated approach to social studies creates the curriculum where everything is connected to everything else.
Student learn more deeply by approaching an area study from a multitude of perspective. Also an integrated curriculum
employs a variety of form of representations of ideas, and thus honors student’s multiple forms of intelegence and the
variety of cognitive strength”

Artinya, suatu pendekatan terpadu untuk studi sosial menciptakan kurikulum di mana semuanya terhubung
dengan segala sesuatu yang lain. Siswa belajar lebih dalam dengan mendekati wilayah belajar dari banyak perspektif.
Kurikulum yang terintegrasi juga mempekerjakan berbagai bentuk representasi ide, dan dengan demikian menghormati
berbagai bentuk siswa dari kecerdasan dan berbagai kekuatan kognitif. Pengertian tersebut sebenarnya juga berlaku
bukan hanya untuk bidang ilmu sosial, tetapi juga pada semua bidang ilmu dengan memadukan berbagai bidang ilmu
yang memiliki tema pembahasan yang sama. Hal ini sejalan dengan Ellis (2010: 263).

“Themes provide a means for the various contributing disciplines to be different, showcasing their unique properties yet
at the same time carrying out a similar conceptual purpose. The liberating aspect of a carefully chosen, content-enriching
theme is that it is supportive of connected, integrated experiences across the discipline”

Artinya, tema menyediakan sarana untuk berbagai disiplin ilmu yang berkontribusi untuk menjadi berbeda,
menampilkan sifat unik mereka namun pada saat yang sama melaksanakan tujuan konseptual serupa. Aspek
membebaskan dipilih dengan hati-hati, konten-memperkaya tema adalah bahwa hal itu mendukung terhubung,
pengalaman terpadu di seluruh disiplin.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas, pembelajaran tematik integratif adalah pembelajaran yang disusun dari
beberapa disiplin ilmu yang memiliki tema sama untuk dipadukan, sehingga bersifat holistik dan tidak terpisah antar mata
pelajaran.

Pendekatan scientific atau lebih umum dikatakan pendekatan ilmiah merupakan pendekatan dalam Kurikulum
2013. Nasser (2014: 5) menyatakan bahwa “The approach elicited the knowledge of stakeholders and experts in the fi
eld”. Yang dapat dimaknai bahwa pendekatan mampu menimbulkan pengetahuan dan stakeholder yang ahli di
bidangnya. Dalam pelaksanaannya, ada yang menjadikan scientific sebagai pendekatan ataupun metode. Namun,
karakteristik dari pendekatan scientific tidak berbeda dengan metode scientifi c. Sesuai dengan Standar Kompetensi
Lulusan, sasaran pembelajaran mencakup pengembangan ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang
dielaborasi untuk setiap satuan pendidikan. Pendekatan scientific atau lebih umum dikatakan pendekatan ilmiah
merupakan pendekatan dalam Kurikulum 2013.

Authentic assessment memiliki relevansi kuat dengan scientific approach dalam pembelajaran sesuai dengan
tuntutan kurikulum 2013. Hal ini dikarenakan, penilaian semacam ini mampu menggambarkan peningkatan hasil belajar
peserta didik, baik dalam aktivitas melalui scientific approach. Penilaian otentik lebih sering dikenal dengan penilaian
yang sebenarnya yang diperoleh dari peserta didik. Menurut Mardapi (2013: 166) bahwa penilaian otentik berbeda
dengan penilaian tradisional karena dalam beberapa aspek. Penilaian otentik juga biasa disebut penilaian berdasarkan
kinerja atau (performance based assessment) karena seluruh aspek dinilai baik hasil dan prosesnya. Authentic
assessment berfokus pada tugas-tugas kompleks atau kontekstual, yang memungkinkan peserta didik untuk
menunjukkan kompetensi mereka.Authentic assessment mencoba menggabungkan kegiatan guru mengajar, kegiatan
peserta didik belajar, motivasi dan keterlibatan peserta didik serta keterampilan belajar. Authentic assessment harus
mampu menggambarkan sikap, keterampilan dan pengetahuan yang sudah atau belum dimiliki oleh peserta didik. Oleh
karena itu guru dapat mengidentifikasi materi yang layak untuk dilanjutkan atau untuk melakukan kegiatan remedial.
Authentic assessment terdiri dari berbagai teknik penilaian, yaitu (1) pengukuran langsung keterampilan siswa yang
berhubungan dengan hasil jangka panjang pendidikan, (2) penilaian atas tugas-tugas yang memerlukan keterlibatan
yang luas dan kinerja yang kompleks, (3) analisis proses yang digunakan untuk menghasilkan respon siswa atas
perolehan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang ada (Majid, 2014: 239-241). Kurikulum 2013 menerapkan
penilaian otentik untuk menilai kemajuan belajar peserta didik yang meliputi sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

HOTS merupakan suatu tigkat berfikir yang menekankan pada penerapan pengetahuan yang telah diterima,
penelaran reflkesi, pemecahan masalah, pengambilan keputusan dan selanjutnya merumuskan pada suatu hal
yang baru (Sulaiman, Muniyan, Madhvan, Hasan & Rahim, 2017; Widodo, 2013; Brookhart, 2010; King, Goodson
& Rohani, 2006). HOTS merupakan suatu keahlian dalam berfikir yang mencakup hal-hal di atas. Peserta didik
yang mnecapai level HOTS akan mampu menerapkan pengetahuan secara kreatif dan kritis sehingga suatu
pengetahuan akan terus di proses dan akhirnya akan mneghasilkan suatu pemecahan masalah. Konsep HOTS
berasal dari teori taksonomi Bloom (1956) dalam ranah kognitif yang melibatkan perkembangan keterampilan
intelektual dan secara bertahap berkembangan dari cara berfikir konkret ke abstrak (Forehand, 2010; Pappas,
Pierakos & Nagel, 2012). Dalam HOTS, peserta didik diharuskan menguasai suatu pengetahuan dalam level
menganalisis (Analyze), mengevaluasi (Evaluated) dan mencipta (Created). Sehingga daya nalar dan daya kritis
berfikir siswa sangat dibutuhkan dalam HOTS.

Anda mungkin juga menyukai