Anda di halaman 1dari 16

BAHAN PRAKTIKUM

BLOK 3 FUNGSI NORMAL SISTEM KARDIORESPIRASI


DEPARTEMEN FISIOLOGI FK UNLAM 2017

A. Mekanisme Pernapasan
1) Tekanan atmosfer (barometrik) = tekanan yang ditimbulkan oleh berat udara di
atmosfer pada benda di permukaan bumi. Pada ketinggian permukaan laut tekanan ini
sama dengan 760 mmHg.
2) Tekanan intra-alveolus / intrapulmonal = tekanan di dalam alveolus
Inspirasi : tekanan intrapulmonal < tekanan atmosfer
Ekspirasi : tekanan intrapulmonal > tekanan atmosfer
Pada akhir inspirasi/ekspirasi tekanan intrapulmonal sama dengan tekanan atmosfer karena
alveolus berkomunikasi langsung dengan atmosfer dan udara terus mengalir menuruni
gradien sampai kedua tekanan seimbang
3) Tekanan intrapleura = tekanan di dalam kantong pleura. Tekanan intrapleura
biasanya lebih rendah daripada tekanan atmosfer, rerata 756 mmHg saat istirahat.
(Kadang-kadang disebut sebagai tekanan -4 mmHg, menjadi negatif karena dibandingkan
dengan tekanan atmosfer normal sebesar 760 mmHg)

a. Kantong pleura adalah kantong yang tertutup


Udara tidak dapat masuk atau keluar meskipun terdapat gradien tekanan berapapun antara
romgga pleura dan atmosfer atau paru.
b. Cairan pleura berfungsi seperti lem atau perekat antara bagian dalam dinding thorax dan
paru. Ibarat kaca yang disatukan oleh suatu lapisan tipis cairan, kaca dapat mudah tergeser
maju atau mundur tapi butuh tenaga besar untuk memisahkannya.
Gradien Tekanan Transmural

Pada keadaan normal :

• Tekanan intrapulmonal (760 mmHg) mendorong ke luar


Tekanan intrapleura (756 mmHg) mendorong ke dalam
Perbedaan tekanan ini membentuk gradien transmural. Paru meregang ke arah luar (karena
tekanan intrapulmonal lebih tinggi daripada intrapleura). Peregangan paru mengisi rongga
thorax yang lebih besar.
• Tekanan atmosfer (760 mmHg) mendorong ke dalam
Tekanan intrapleura (756 mmHg) mendorong ke luar
Terbentuk gradien tekanan transmural karena perbedaan tekanan. Tekanan atmosfer
mendorong ke arah dalam dan menekan dinding thorax

Apabila tidak ada gradien tekanan transmural :

• Paru akan tertarik ke dalam menjauhi rongga dada ketika teregang.


• Dinding thorax yang tertekan cenderung bergerak cenderung menjauhi rongga paru
Klinis : Pneumotoraks
Dalam keadaan normal udara tidak bisa masuk ke rongga pleura. Namun, jika dinding dada
tertusuk (misalnya oleh luka tusuk atau iga yang patah), udara mengalir dari atmosfer ke
ruang pleura. Hal ini karena tekanan atmosfer lebih besar daripada tekanan didalam rongga
pleura. Keadaan masuknya udara ke dalam rongga pleura dikenal sebagai pneumotoraks
(udara dalam dada). Tekanan intrapleura dan tekanan intrapulmonal kini menjadi seimbang
dengan tekanan di atmosfer sehingga gradien tekanan transmural tidak ada lagi, baik di
dinding paru maupun di dinding dada. Tanpa gaya yang meregangkan paru, maka paru akan
kolaps ke keadaan tak teregangnya. Pneumotorax dan kolaps paru juga dapat terjadi jika
udara masuk ke rongga pleura melalui lubang di paru yang ditimbulkan, misal oleh proses
penyakit seperti TBC.

B. OTOT-OTOT PERNAPASAN

Otot Inspirasi pernapasan

a. Diafragma (dipersarafi oleh saraf frenikus)


• Ketika relaksasi berbentuk kubah menonjol ke atas ke dalam rongga thorax
• Ketika konstraksi akan turun dan mendatar (inspirasi tenang turun 1 cm, inspirasi
dalam turun 10 cm) sehingga akan menekan isi abdomen ke bawah dan ke depan.
b. Otot intercostal eksternal (terletak diantara iga)
• Fungsinya adalah memperbesar rongga thorax ke lateral dan anteroposterior.
• Ketika kontraksi akan mengangkat iga dan sternum ke atas dan depan
Hukum BOYLE :
Pada suhu konstan tekanan yang ditimbulkan berbanding terbalik dengan volume gas

Pada saat Inspirasi


terjadi kontraksi diafragma dan otot intercostal eksternal

Rongga thorax membesar
Tekanan intrapleura menjadi 754 mmHg

Paru mengembang untuk mengisi rongga thorax yang membesar

Volume paru meningkat

Tekanan intrapulmonal turun menjadi 759 mmHg

Udara masuk

Ekspansi paru tidak disebabkan karena udara masuk, tapi udara masuk karena
adanya ekspansi paru

Pernapasan dalam menggunakan otot inspirasi tambahan. Kontraksi otot inspirasi tambahan
dapat mengangkat sternum dan dua iga pertama  semakin memperbesar bagian rongga
thorax.

Ekspirasi
Terjadi pada akhir inspirasi

Otot inspirasi melemas
Diafragma kembali seperti kubah
Otot intercostal relaksasi (kembali turun)

Dinding dada mengalami rekoil dan kembali mengecil
Tekanan intrapulmonal 756 mmHg

Volume udara menurun

Tekanan intrapleura meningkat (761 mmHg)

Udara keluar

Ekspirasi tenang adalah proses pasif. Tidak memerlukan kontraksi otot dan
pengeluaran energi
Ekspirasi paksa

kontraksi otot dinding kontraksi otot intercostal


abdomen internal
 
Peningkatan tekanan intra-abdomen Menarik iga turun dan kedalam
 
Mendorong diafragma semakin keatas ke Dinding dada mendatar
dalam rongga thorax 
 Rongga thorax mengecil
Rongga thorax semakin mengecil

Ekspirasi paksa bertujuan untuk mengosongkan paru secara tuntas dan lebih cepat daripada
pernapasan tenang. Biasanya terjadi ketika olahraga. Pada ekspirasi paksa, paru tidak kolaps
karena peningkatan tekanan intrapleura diimbangi oleh peningkatan tekanan di dalam pulmo.
Misal : tekanan intrapleura meningkat menjadi 766 mmHg di intrapulmonal juga akan
meningkat menjadi 770 mmHg sehingga tetap beda 4 mmHg (gradien tekanan transmural
tetap ada).
Klinis :
PPOK (penyakit paru obstruksif kronis  adalah sekelompok penyakit paru yang ditandai
dengan peningkatan resistensi saluran napas yang terjadi akibat penyempitan lumen saluran
napas bawah. Ketika resistensi saluran napas meningkat, harus diciptakan gradien tekanan
yang lebih besar untuk mempertahankan kecepatan aliran udara agar tetap normal. Misalnya :
jika resistensi berlipat dua akibat penyempitan lumen saluran napas, maka selisih tekanan
harus berlipat dua juga melalui kontraksi otot pernapasan yang lebih besar untuk mencapai
kecepatan aliran udara masuk dan keluar paru sama seperti yang dicapai orang sehat dalam
keadaan istirahat. Karena itu orang dengan PPOK harus bekerja lebih kuat ketika bernapas.
PPOK mencakup 3 penyakit kronik yaitu :
• Bronkitis kronik  radang jangka panjang pada saluran napas bawah, biasanya dipicu
oleh pajanan berulang asap rokok, polutan atau alergen. Sebagai respon terhadap iritasi
kronik, saluran napas menyempit oleh menebalnya dinding saluran napas karena reaksi
peradangan dan sumbatan mukus yang terjadi karena mukus tidak dapat dikeluarkan
secara tuntas ketika batuk berulang.
• Asma  sumbatan saluran napas pada asma disebabkan oleh menebalnya dinding saluran
napas karena reaksi peradangan dan edema yang dipicu histamin, sumbatan mukus kental,
dan hiperresponsivitas saluran napas yang ditandai dengan kontriksi saluran napas.
• Emfisema  ditandai oleh kolapsnya saluran napas dan rusaknya dinding alveolus.
Penyebab emfisema adalah pelepasan berlebihan enzim tripsin (enzim perusak protein)
dari makrofag alveolus sebagai mekanisme pertahanan terhadap pajanan kronik asap
rokok atau iritan) atau ketidakmampuan tubuh untuk menghasilkan 1-tripsin sehingga
jaringan paru tidak terlindungi dari tripsin. Tripsin merupakan enzim destruksi yang
menghancurkan tidak saja benda asing tetapi juga jaringan paru. Berkurangnya jaringan
paru menyebabkan rusaknya dinding alveolus dan kolapsnya saluran napas halus.
C. DAYA REGANG PARU
• Daya regang paru = gaya yang meregangkan paru
Semakin sedikit daya regang paru semakin besar tekanan transmural yang harus
diciptakan selama inspirasi agar paru dapat mengembang normal.
• Rekoil = seberapa mudah paru kembali ke bentuk semula setelah diregangkan.

• Tegangan permukaan alveolus = gaya yang menahan paru agar tidak meregang
berlebihan
Tegangan ini diperlihatkan oleh lapisan tipis cairan yang melapisi bagian dalam
alveolus. Pada pertemuan antara udara-air, molekul air memperlihatkan ikatan yang
lebih kuat dibandingkan dengan udara diatas permukaan. Lapisan cairan menahan
setiap gaya yang berusaha untuk meningkatkan luas permukaannya (tegangan tersebut
melawan ekspansi alveolus karena molekul-molekul air dipermukaan menolak untuk
diregangkan satu sama lain)  semakin besar tegangan permukaan maka semakin
rendah daya regang paru.
• Surfaktan = campuran lemak + protein yang dikeluarkan oleh sel alveolus tipe 2
Fungsinya adalah untuk meningkatkan daya regang paru agar paru dapat mengembang
dan menurunkan tegangan permukaan alveolus agar paru tidak kolaps. Campuran ini
terselip diantara molekul air di cairan yang melapisi bagian dalam alveolus. Kerja
surfaktan memerlukan oksigen dan glukosa.
Menurut hukum Laplace, jika 2 alveolus dengan ukuran tak sama, tetapi dengan
tegangan permukaan yang sama dihubungkan oleh saluran yang sama, alveolus yang
yang lebih kecil akan cenderung kolaps (karena memiliki tekanan ke arah dalam yang
lebih besar). Kerja surfaktan akan meningkat untuk mengurangi tegangan permukaan
alveolus yang lebih kecil daripada alveolus besar. Tegangan permukaan yang menurun
akan mengimbangi efek diameter alveolus yang kecil sehingga tekanan penyebab
kolaps antara paru yang besar dan kecil akan seimbang. Dengan adanya surfaktan,
alveolus kecil tidak kolaps.

Klinis :
Asbestosis adalah suatu penyakit saluran pernapasan yang terjadi akibat menghirup serat-
serat asbes, dimana pada paru-paru terbentuk jaringan parut yang luas. Sifat elastis paru
dipengaruhi oleh tegangan permukaan alveolus dan serat elastin di dalam jaringan ikat paru.
Pada kasus asbestosis (fibrosis paru)  serat asbes menyebabkan jaringan normal paru
menjadi jaringan ikat fibrosa  paru menjadi kaku.

D. PERTUKARAN GAS
Pertukaran gas didasarkan pada prinsip difusi (gas mengalir menuruni gradien tekanan
parsial).

• Tekanan parsial udara di atmosfer : • Tekanan parsial udara di alveolus :


O2 = 160 mmHg O2 = 100 mmHg
CO2 = 0,23 mmHg CO2 = 40 mmHg

Komposisi udara di alveolus tidak sama dengan komposisi udara di atmosfer. Karena :

• pada saat udara masuk ke saluran napas, pajanan saluran napas yang lembab menyebabkan
udara tersebut bercampur dengan H2O. Akibatnya PO2 ketika sampai di alveolus menurun.
• Udara yang masuk ke alveolus bercampur dengan udara lama (volume tidal). Pada akhir
inspirasi hanya sekitar 13% udara di alveolus yang merupakan udara segar. PO2 alveolus
rerata 100 mmHg karena udara baru menggantikan udara lama di alveolus dan bercampur
dengan udara lama.

Pertukaran :
1. PO2 alveolus relatif tinggi dan PCO2 alveolus relatif rendah karena sebagian udara
alveolus ditukar dengan udara atmosfer setiap kali bernapas.
2. Darah vena sistemik yang masuk ke paru relatif rendah O2 dan tinggi CO2 karena berasal
dari jaringan tubuh.
3. Akibatnya O2 dari alveolus akan berdifusi masuk ke dalam kapiler darah dan CO2 dari
darah akan berdifusi ke dalam alveolus sampai tekanan parsial antara darah dan alveolus
setara.
4. Karena hal ini, darah dari arteri yang meninggalkan paru akan mengandung banyak O2 dan
sedikit CO2. Darah ini akan disalurkan ke jaringan tubuh. Kandungan gas darah yang di
salurkan ke jaringan sama dengan kandungan gas darah kapiler ketika meninggalkan paru.
5. Di jaringan, kandungan O2 relatif rendah dan kandungan CO2 relatif tinggi karena jaringan
mengkonsumsi O2 dan memproduksi CO2.
6. Akibatnya O2 dari kapiler darah akan berdifusi masuk ke dalam jaringan dan CO2 dari
jaringan akan berdifusi ke dalam kapiler darah sampai tekanan parsial antara darah dan
jaringan seimbang.
7. Darah vena yang meninggalkan jaringan (kaya CO2 dan rendah O2) kemudian akan
kembali ke paru untuk kembali di isi O2 dan dikeluarkan CO2 nya.

Catatan :
• Darah dari alveolus tetap mengandung CO2 untuk mengatur keseimbangan asam basa
tubuh karena CO2 menghasilkan asam karbonat.
• Oksigen yang bertekanan 40 mmHg tetap beredar di pembuluh darah (tidak dapat kembali
ke alveolus karena perbedaan tekanan). Oksigen ini digunakan sebagai cadangan O2
didalam tubuh sehingga bisa segera diambil oleh sel jaringan seandainya kebutuhan O2
mereka meningkat.
• O2 yang ditransfer menyamai jumlah O2 yang dikonsumsi
• CO2 yang dipindahkan ke alveolus dari darah menyamai jumlah CO2 yang diserap
jaringan.

Olahraga :
Jaringan lebih banyak mengambil O2 mengakibatkan pengurangan PO2 di darah (misal dari
40 mmHg menjadi 30 mmHg. Akibatnya terjadi perbedaan tekanan yang lebih besar antara
darah dari kapiler dan alveolus dari yang sebelumnya 60 mmHg menjadi 70 mmHg.
Akibatnya semakin banyak O2 yang berdifusi ke kapiler dari alveolus yang pada akhirnya
merangsang peningkatan ventilasi.

E. KONTROL PERNAPASAN

1. Pusat pernapasan di medulla


a. Kelompok respiratorik dorsal (KRD)
• Terdiri dari neuron inspiratorik yang serat-serat descendennya berakhir di neuron
motorik yang mempersarafi otot inspirasi.
• Apabila neuron KRD melepas muatannya  akan terjadi inspirasi
• Apabila neuron KRD menghentikan sinyal  otot inspirasi relaksasi dan terjadi
ekspirasi pasif
• Ekspirasi di akhiri ketika neuron-neuron inspiratorik mencapai ambang dan kembali
melepaskan muatannya.
Terdapat kompleks Prabotzinger (suatu regio terletak dekat ujung atas / kepala
KRV). Kompleks ini lah yang membentuk irama pernapasan. Kompleks ini
mengalami potensial aksi spontan mirip di nodus SA jantung. Kompleks ini
memacu KRD agar melepaskan muatannya dan terjadi inspirasi.

b. Kelompok respiratorik ventral (KRV)


• Terdiri dari neuron inspiratorik dan neuron ekspiratorik  keduanya tetap inaktif
selama pernapasan tenang/normal.
• KRD akan mengaktifkan KRV sebagai mekanisme penguat saat kebutuhan terhadap
ventilasi meningkat.
• Pada saat ekspirasi aktif  neuron ekspiratorik KRV akan merangsang neuron
motorik yang mempersarafi otot-otot ekspirasi agar berkontraksi.
• Neuron inspiratorik KRV ketika dirangsang KRD akan memacu aktivitas inspirasi
saat kebutuhan terhadap ventilasi meninggi.

2. Pusat pernapasan di pons


Untuk menghasilkan inspirasi dan ekspirasi yang normal dan halus.
a. Pusat pneumotaksik  mengirim impuls ke KRD untuk membantu memadamkan
neuron inspiratoik sehingga durasi inspirasi dibatasi.
b. Pusat apneustik  pusat ini mencegah neuron inspiratorik dipadamkan sehingga
dorongan inspirasi meningkat.

Dalam keadaan normal, pusat pneumotaksik mendominasi pusat apneustik sehingga dapat
membantu menghentikan inspirasi dan membiarkan ekspirasi terjadi secara normal.
Apabila tidak ada pusat pneumotaksik ini, pola bernapas akan berupa tarikan napas
panjang yang terputus mendadak dan singkat oleh ekspirasi. Keadaan ini dinamakan
apneusis (terjadi pada kerusakan otak berat)

KONTROL INVOLUNTER PERNAPASAN


1. Perubahan PO2 arteri
PO2 arteri dipantau oleh kemoreseptor perifer yaitu badan karotis dan badan aorta yang
terletak di percabangan arteri karotis komunis (yang memperdarahi otak) di sisi kanan dan
kiri arkus aorta.
Kemoreseptor perifer tidak peka dengan penurunan PO 2 arteri sedang. PO2 harus
turun dibawah 60 mmHg (>40%) sehingga kemoreseptor perifer dapat berespon dan
meningkatkan ventilasi pernapasan. Kemoreseptor perifer hanya berespon pada PO2
arteri bukan kandungan O2 darah.
Klinis :
• Kandungan O2 total dalam arteri dapat menurun pada keaadaan anemia (yaitu ketika Hb
pengangkut O2 turun) atau pada keracunan CO2 yaitu dimana Hb lebih suka berikatan
dengan molekul lain daripada O2. Dalam keaadaan ini PO2 normal tapi jaringan
mengalami hipoksia. Keadaan hipoksia inilah yang merangsang peningkatan ventilasi
untuk mencukupi kebutuhan oksigen tubuh.
• Dalam keadaan kekurangan O2 semua aktivitas di jaringan saraf menurun, kecuali di
kemoreseptor perifer. Apabila tidak ada intervensi stimulatorik kemoreseptor perifer
maka akan terjadi penekanan langsung pusat pernapasan oleh PO2 arteri yang rendah 
terjadi penurunan ventilasi  kematian.

2. Perubahan PCO2 arteri


Peningkatan PCO2 arteri  meningkatkan ventilasi untuk mengeliminasi kelebihan
CO2 ke atmosfer
Penurunan PCO2 arteri  menurunkan dorongan untuk bernapas agar CO2 hasil
metabolik di dalam tubuh menumpuk sehingga PCO2 kembali normal.
Tidak ada kemoreseptor khusus untuk memantau PCO2 arteri (badan karotis dan badan
aorta berespon lemah terhadap ini).
Terdapat kemoreseptor sentral yang terletak di medulla di dekat pusat pernapasan.
Kemoreseptor ini tidak memantau CO2 tetapi peka terhadap perubahan konsentrasi H+
yang di induksi oleh CO2 di cairan ekstraseluler.
Perpindahan zat menembus kapiler otak dibatasi oleh sawar darah otak. Sawar ini mudah
dilewati oleh CO2.
Peningkatan PCO2 arteri dapat menyebabkan peningkatan PCO2 di CES otak karena CO2
berdifusi menuruni gradien tekanan dari pembuluh darah otak ke dalam CES otak.
Peningkatan CO2 didalam CES otak dapat meningkatkan konsentrasi H+. Sesuai
hukum aksi massa :
CO2 + H2O  H+ + HCO3-

Peningkatan konsentrasi H+ di CES otak  merangsang kemoreseptor sentral 


meningkatkan ventilasi untuk membuang kelebihan CO2. Setelah kelebihan CO2
dikeluarkan, maka PCO2 arteri, PCO2 dan konsentrasi H+ di CES otak kembali normal. Ini
adalah mekanisme kompensasi, apabila mekanisme ini tidak dilakukan dapat terjadi
asidosis respiratorik.

H+ sukar menembus sawar darah otak sehingga H+ dalam plasma tidak dapat
mempengaruhi kemoreseptor sentral. Hanya H+ dalam CES otak akibat masuknya CO2
yang dapat mempengaruhi kemoreseptor perifer. H+ di otak mencerminkan PCO2 di
arteri.

Menahan Napas :
Kita tidak dapat menahan napas lebih dari sekitar 1 menit. Hal ini karena ketika kita
menahan napas maka CO2 hasil metabolisme akan terus menumpuk di darah  impuls
eksitatorik kemoreseptor sentral akan “melindas” impuls inhibitorik volunter untuk
pernapasan yang telah kita buat. Akibatnya pernapasan akan kembali terjadi / pulih meski
coba untuk ditahan. Bernapas pulih akan terjadi jauh sebelum PO2 arteri turun ke kadar
yang membahayakan yang memicu kemoreseptor perifer.
Kadar CO2 70-80 mmHg  memicu peningkatan ventilasi utk mengeluarkan CO2
Kadar CO2 > 70-80 mmHg = kadar O2 sangat menurun  tidak memicu peningkatan
ventilasi tetapi akan menekan neuron2 pernapasan. Akibatnya, semakin membuat kadar
CO2 mencapai kadar yang mematikan, tidak saja semakin menekan pusat pernapasan
tetapi juga menyebabkan asidosis respiratorik berat.

Klinis :
Hipoventilasi berkepanjangan akibat penyakit paru kronik dapat meningkatkan PCO2 dan
menurunkan PO2. Pada sebagian pasien dengan PPK berat, mereka kehilangan kepekaan
pada peningkatan PCO2 arteri. Hal ini karena peningkatan H+ di CES otak yang
berkepanjangan dan retensi kronik CO2 dapat mengakibatkan HCO3- menembus sawar
darah otak dan menetralkan kelebihan H+. Akibatnya konsentrasi H+ di CES otak kembali
normal meski PCO2 arteri dan PCO2 CES tetap tinggi. Kemoreseptor sentral tidak sadar
akan hal ini sehingga dorongan ventilasi tetap berkurang / normal. Pada pasien ini keadaan
hipoksia adalah pendorong utama ventilasi. (pada orang normal kadar PCO2 adalah faktor
utama pendorong ventilasi).

3. Perubahan H+ arteri
Kemoreseptor perifer (badan karotis dan badan aorta) :
• Kurang peka pada penyimpangan PCO2 arteri
Perubahan konsentrasi H+ di CES karena perubahan PCO2 arteri dideteksi oleh
kemoreseptor perifer tetapi masih kuat peran dari kemoreseptor sentral.
• Kurang peka pada PO2 arteri sampai turun 40% dibawah normal
• Sangat peka pada fluktuasi konsentrasi H+ arteri
Kemoreseptor perifer lebih besar berperan untuk menyesuaikan ventilasi akibat H+
arteri yang tidak berkaitan dengan fluktuasi PCO2 (penting untuk mengatur
keseimbangan asam basa tubuh).

Misal pada Diabetes melitus yang tidak diobati, peningkatan asam-asam keto penghasil H+
didalam darah mengakibatkan peningkatan H+ darah padahal CO2 normal. Ventilasi oleh
kemoreseptor mengkompensasi kelebihan H+ yang disebabkan oleh faktor non respiratorik.

KONTROL VOLUNTER PERNAPASAN


Kontrol volunter pernapasan dilakukan oleh korteks serebrum. Korteks serebrum mengirim
impuls langsung ke neuron motorik di korda spinalis yang mempersarafi otot pernapasan.
Melalui kontrol volunter ini kita dapat menahan napas dan sengaja melakukan hiperventilasi.

Klinis :
• Apnea  interupsi ventilasi sesaat, dengan bernapas kembali secara spontan. Apabila
tidak pulih dinamakan henti napas. Selama tidur ventilasi menurun, kemoreseptor sentral
kurang peka pada PCO2 arteri. Seseorang tidur dan berhenti bernapas selama beberapa
detik atau hingga 1-2 menit. Hal ini tidak berbahaya kecuali yang bersangkutan sakit
paru.
• Sindrom kematian bayi mendadak (SIDS)  apnea dan tidak dapat pulih. Hal ini
karena kontrol pernapasan masih imatur, baik di batang otak maupun kemoreseptor lain.
• Dispnea  sesak napas. Sering terjadi pada PPOK atau edem paru. Dispnea subjektif
tiap individu. Misal merasa sesak napas di lift yang penuh padahal kadar CO2 dan O2
tubuh normal.

Gangguan keseimbangan asam basa meliputi :


• Asidosis respiratorik
• Asidosis metabolik
• Alkalosis respiratorik
• Alkalosis metabolik

Penyebab asidosis Penyebab alkalosis


• Bertumpuknya CO2 • Meningkatnya senyawa alkali
• Adanya produk metabolik yang bersifat • Menurunnya kadar senyawa asam
asam • Menurunnya CO2
• Penurunan senyawa alkali dalam darah

Nilai normal AGD


pH : 7,35 – 7,45
pCO2 : 35 – 45 mmHg
HCO3 : 22 – 26 mEq/L

Kelainan asam basa dimulai oleh :


• Perubahan pada PCO2  kelainan respirasi
• Perubahan pada bikarbonat plasma  kelainan metabolik

1. Asidosis respiratorik
pH darah < 7,35 (asidemia) dengan pCO2 > 45 mmHg
Terjadi karena PCO2 meningkat. Menumpuknya CO2 yang bergabung dengan air
menghasilkan asam karbonat sehingga pH darah turun.
CO2 + H2O  H+ + HCO3-
PCO2 meningkat  H+ meningkat  pH menurun  asidosis

2. Alkalosis respiratorik
pH darah > 7,45 (alkalemia) dengan pCO2 < 35 mmHg
Terjadi karena PCO2 menurun  H+ menurun  pH meningkat  alkalosis
3. Asidosis metabolik
HCO3 < 22 mEq/L dengan pH < 7,35 (asidemia)
Terjadi karena kurangnya basa dalam aliran darah atau kelebihan asam selain CO2
HCO3 rendah  pH menurun  asidosis
Penyebab :
✓ Produksi berlebihan asam tetap dan organik.
• asam tetap : asam sulfat & as fosfat
• asam organic : asam laktat
✓ Gangguan ekskresi H+ seperti pada glomerulonefritis
✓ Sesudah kehilangan bikarbonat

4. Alkalosis metabolik
Definisi : HCO3 > 26 mEq/L dengan pH 7,45
Terjadi karena kelebihan basa atau kehilangan asam
HCO3 tinggi  pH meningkat  alkalosis

KOMPENSASI GINJAL
Jika terjadi perubahan pH plasma, kompensasi ginjal adalah :
✓ perubahan laju sekresi dan reabsorbsi H+ & HCO3
Ion hidrogen disekresi ke tubulus ginjal : Tubulus Contortus Proksimalis dan Tubulus
Contortus Distalis
✓ Sekresi berlanjut hingga pH cairan tubulus 4 - 4,5

Anda mungkin juga menyukai