A. Mekanisme Pernapasan
1) Tekanan atmosfer (barometrik) = tekanan yang ditimbulkan oleh berat udara di
atmosfer pada benda di permukaan bumi. Pada ketinggian permukaan laut tekanan ini
sama dengan 760 mmHg.
2) Tekanan intra-alveolus / intrapulmonal = tekanan di dalam alveolus
Inspirasi : tekanan intrapulmonal < tekanan atmosfer
Ekspirasi : tekanan intrapulmonal > tekanan atmosfer
Pada akhir inspirasi/ekspirasi tekanan intrapulmonal sama dengan tekanan atmosfer karena
alveolus berkomunikasi langsung dengan atmosfer dan udara terus mengalir menuruni
gradien sampai kedua tekanan seimbang
3) Tekanan intrapleura = tekanan di dalam kantong pleura. Tekanan intrapleura
biasanya lebih rendah daripada tekanan atmosfer, rerata 756 mmHg saat istirahat.
(Kadang-kadang disebut sebagai tekanan -4 mmHg, menjadi negatif karena dibandingkan
dengan tekanan atmosfer normal sebesar 760 mmHg)
B. OTOT-OTOT PERNAPASAN
Ekspansi paru tidak disebabkan karena udara masuk, tapi udara masuk karena
adanya ekspansi paru
Pernapasan dalam menggunakan otot inspirasi tambahan. Kontraksi otot inspirasi tambahan
dapat mengangkat sternum dan dua iga pertama semakin memperbesar bagian rongga
thorax.
Ekspirasi
Terjadi pada akhir inspirasi
Otot inspirasi melemas
Diafragma kembali seperti kubah
Otot intercostal relaksasi (kembali turun)
Dinding dada mengalami rekoil dan kembali mengecil
Tekanan intrapulmonal 756 mmHg
Volume udara menurun
Tekanan intrapleura meningkat (761 mmHg)
Udara keluar
Ekspirasi tenang adalah proses pasif. Tidak memerlukan kontraksi otot dan
pengeluaran energi
Ekspirasi paksa
Ekspirasi paksa bertujuan untuk mengosongkan paru secara tuntas dan lebih cepat daripada
pernapasan tenang. Biasanya terjadi ketika olahraga. Pada ekspirasi paksa, paru tidak kolaps
karena peningkatan tekanan intrapleura diimbangi oleh peningkatan tekanan di dalam pulmo.
Misal : tekanan intrapleura meningkat menjadi 766 mmHg di intrapulmonal juga akan
meningkat menjadi 770 mmHg sehingga tetap beda 4 mmHg (gradien tekanan transmural
tetap ada).
Klinis :
PPOK (penyakit paru obstruksif kronis adalah sekelompok penyakit paru yang ditandai
dengan peningkatan resistensi saluran napas yang terjadi akibat penyempitan lumen saluran
napas bawah. Ketika resistensi saluran napas meningkat, harus diciptakan gradien tekanan
yang lebih besar untuk mempertahankan kecepatan aliran udara agar tetap normal. Misalnya :
jika resistensi berlipat dua akibat penyempitan lumen saluran napas, maka selisih tekanan
harus berlipat dua juga melalui kontraksi otot pernapasan yang lebih besar untuk mencapai
kecepatan aliran udara masuk dan keluar paru sama seperti yang dicapai orang sehat dalam
keadaan istirahat. Karena itu orang dengan PPOK harus bekerja lebih kuat ketika bernapas.
PPOK mencakup 3 penyakit kronik yaitu :
• Bronkitis kronik radang jangka panjang pada saluran napas bawah, biasanya dipicu
oleh pajanan berulang asap rokok, polutan atau alergen. Sebagai respon terhadap iritasi
kronik, saluran napas menyempit oleh menebalnya dinding saluran napas karena reaksi
peradangan dan sumbatan mukus yang terjadi karena mukus tidak dapat dikeluarkan
secara tuntas ketika batuk berulang.
• Asma sumbatan saluran napas pada asma disebabkan oleh menebalnya dinding saluran
napas karena reaksi peradangan dan edema yang dipicu histamin, sumbatan mukus kental,
dan hiperresponsivitas saluran napas yang ditandai dengan kontriksi saluran napas.
• Emfisema ditandai oleh kolapsnya saluran napas dan rusaknya dinding alveolus.
Penyebab emfisema adalah pelepasan berlebihan enzim tripsin (enzim perusak protein)
dari makrofag alveolus sebagai mekanisme pertahanan terhadap pajanan kronik asap
rokok atau iritan) atau ketidakmampuan tubuh untuk menghasilkan 1-tripsin sehingga
jaringan paru tidak terlindungi dari tripsin. Tripsin merupakan enzim destruksi yang
menghancurkan tidak saja benda asing tetapi juga jaringan paru. Berkurangnya jaringan
paru menyebabkan rusaknya dinding alveolus dan kolapsnya saluran napas halus.
C. DAYA REGANG PARU
• Daya regang paru = gaya yang meregangkan paru
Semakin sedikit daya regang paru semakin besar tekanan transmural yang harus
diciptakan selama inspirasi agar paru dapat mengembang normal.
• Rekoil = seberapa mudah paru kembali ke bentuk semula setelah diregangkan.
• Tegangan permukaan alveolus = gaya yang menahan paru agar tidak meregang
berlebihan
Tegangan ini diperlihatkan oleh lapisan tipis cairan yang melapisi bagian dalam
alveolus. Pada pertemuan antara udara-air, molekul air memperlihatkan ikatan yang
lebih kuat dibandingkan dengan udara diatas permukaan. Lapisan cairan menahan
setiap gaya yang berusaha untuk meningkatkan luas permukaannya (tegangan tersebut
melawan ekspansi alveolus karena molekul-molekul air dipermukaan menolak untuk
diregangkan satu sama lain) semakin besar tegangan permukaan maka semakin
rendah daya regang paru.
• Surfaktan = campuran lemak + protein yang dikeluarkan oleh sel alveolus tipe 2
Fungsinya adalah untuk meningkatkan daya regang paru agar paru dapat mengembang
dan menurunkan tegangan permukaan alveolus agar paru tidak kolaps. Campuran ini
terselip diantara molekul air di cairan yang melapisi bagian dalam alveolus. Kerja
surfaktan memerlukan oksigen dan glukosa.
Menurut hukum Laplace, jika 2 alveolus dengan ukuran tak sama, tetapi dengan
tegangan permukaan yang sama dihubungkan oleh saluran yang sama, alveolus yang
yang lebih kecil akan cenderung kolaps (karena memiliki tekanan ke arah dalam yang
lebih besar). Kerja surfaktan akan meningkat untuk mengurangi tegangan permukaan
alveolus yang lebih kecil daripada alveolus besar. Tegangan permukaan yang menurun
akan mengimbangi efek diameter alveolus yang kecil sehingga tekanan penyebab
kolaps antara paru yang besar dan kecil akan seimbang. Dengan adanya surfaktan,
alveolus kecil tidak kolaps.
Klinis :
Asbestosis adalah suatu penyakit saluran pernapasan yang terjadi akibat menghirup serat-
serat asbes, dimana pada paru-paru terbentuk jaringan parut yang luas. Sifat elastis paru
dipengaruhi oleh tegangan permukaan alveolus dan serat elastin di dalam jaringan ikat paru.
Pada kasus asbestosis (fibrosis paru) serat asbes menyebabkan jaringan normal paru
menjadi jaringan ikat fibrosa paru menjadi kaku.
D. PERTUKARAN GAS
Pertukaran gas didasarkan pada prinsip difusi (gas mengalir menuruni gradien tekanan
parsial).
Komposisi udara di alveolus tidak sama dengan komposisi udara di atmosfer. Karena :
• pada saat udara masuk ke saluran napas, pajanan saluran napas yang lembab menyebabkan
udara tersebut bercampur dengan H2O. Akibatnya PO2 ketika sampai di alveolus menurun.
• Udara yang masuk ke alveolus bercampur dengan udara lama (volume tidal). Pada akhir
inspirasi hanya sekitar 13% udara di alveolus yang merupakan udara segar. PO2 alveolus
rerata 100 mmHg karena udara baru menggantikan udara lama di alveolus dan bercampur
dengan udara lama.
Pertukaran :
1. PO2 alveolus relatif tinggi dan PCO2 alveolus relatif rendah karena sebagian udara
alveolus ditukar dengan udara atmosfer setiap kali bernapas.
2. Darah vena sistemik yang masuk ke paru relatif rendah O2 dan tinggi CO2 karena berasal
dari jaringan tubuh.
3. Akibatnya O2 dari alveolus akan berdifusi masuk ke dalam kapiler darah dan CO2 dari
darah akan berdifusi ke dalam alveolus sampai tekanan parsial antara darah dan alveolus
setara.
4. Karena hal ini, darah dari arteri yang meninggalkan paru akan mengandung banyak O2 dan
sedikit CO2. Darah ini akan disalurkan ke jaringan tubuh. Kandungan gas darah yang di
salurkan ke jaringan sama dengan kandungan gas darah kapiler ketika meninggalkan paru.
5. Di jaringan, kandungan O2 relatif rendah dan kandungan CO2 relatif tinggi karena jaringan
mengkonsumsi O2 dan memproduksi CO2.
6. Akibatnya O2 dari kapiler darah akan berdifusi masuk ke dalam jaringan dan CO2 dari
jaringan akan berdifusi ke dalam kapiler darah sampai tekanan parsial antara darah dan
jaringan seimbang.
7. Darah vena yang meninggalkan jaringan (kaya CO2 dan rendah O2) kemudian akan
kembali ke paru untuk kembali di isi O2 dan dikeluarkan CO2 nya.
Catatan :
• Darah dari alveolus tetap mengandung CO2 untuk mengatur keseimbangan asam basa
tubuh karena CO2 menghasilkan asam karbonat.
• Oksigen yang bertekanan 40 mmHg tetap beredar di pembuluh darah (tidak dapat kembali
ke alveolus karena perbedaan tekanan). Oksigen ini digunakan sebagai cadangan O2
didalam tubuh sehingga bisa segera diambil oleh sel jaringan seandainya kebutuhan O2
mereka meningkat.
• O2 yang ditransfer menyamai jumlah O2 yang dikonsumsi
• CO2 yang dipindahkan ke alveolus dari darah menyamai jumlah CO2 yang diserap
jaringan.
Olahraga :
Jaringan lebih banyak mengambil O2 mengakibatkan pengurangan PO2 di darah (misal dari
40 mmHg menjadi 30 mmHg. Akibatnya terjadi perbedaan tekanan yang lebih besar antara
darah dari kapiler dan alveolus dari yang sebelumnya 60 mmHg menjadi 70 mmHg.
Akibatnya semakin banyak O2 yang berdifusi ke kapiler dari alveolus yang pada akhirnya
merangsang peningkatan ventilasi.
E. KONTROL PERNAPASAN
Dalam keadaan normal, pusat pneumotaksik mendominasi pusat apneustik sehingga dapat
membantu menghentikan inspirasi dan membiarkan ekspirasi terjadi secara normal.
Apabila tidak ada pusat pneumotaksik ini, pola bernapas akan berupa tarikan napas
panjang yang terputus mendadak dan singkat oleh ekspirasi. Keadaan ini dinamakan
apneusis (terjadi pada kerusakan otak berat)
H+ sukar menembus sawar darah otak sehingga H+ dalam plasma tidak dapat
mempengaruhi kemoreseptor sentral. Hanya H+ dalam CES otak akibat masuknya CO2
yang dapat mempengaruhi kemoreseptor perifer. H+ di otak mencerminkan PCO2 di
arteri.
Menahan Napas :
Kita tidak dapat menahan napas lebih dari sekitar 1 menit. Hal ini karena ketika kita
menahan napas maka CO2 hasil metabolisme akan terus menumpuk di darah impuls
eksitatorik kemoreseptor sentral akan “melindas” impuls inhibitorik volunter untuk
pernapasan yang telah kita buat. Akibatnya pernapasan akan kembali terjadi / pulih meski
coba untuk ditahan. Bernapas pulih akan terjadi jauh sebelum PO2 arteri turun ke kadar
yang membahayakan yang memicu kemoreseptor perifer.
Kadar CO2 70-80 mmHg memicu peningkatan ventilasi utk mengeluarkan CO2
Kadar CO2 > 70-80 mmHg = kadar O2 sangat menurun tidak memicu peningkatan
ventilasi tetapi akan menekan neuron2 pernapasan. Akibatnya, semakin membuat kadar
CO2 mencapai kadar yang mematikan, tidak saja semakin menekan pusat pernapasan
tetapi juga menyebabkan asidosis respiratorik berat.
Klinis :
Hipoventilasi berkepanjangan akibat penyakit paru kronik dapat meningkatkan PCO2 dan
menurunkan PO2. Pada sebagian pasien dengan PPK berat, mereka kehilangan kepekaan
pada peningkatan PCO2 arteri. Hal ini karena peningkatan H+ di CES otak yang
berkepanjangan dan retensi kronik CO2 dapat mengakibatkan HCO3- menembus sawar
darah otak dan menetralkan kelebihan H+. Akibatnya konsentrasi H+ di CES otak kembali
normal meski PCO2 arteri dan PCO2 CES tetap tinggi. Kemoreseptor sentral tidak sadar
akan hal ini sehingga dorongan ventilasi tetap berkurang / normal. Pada pasien ini keadaan
hipoksia adalah pendorong utama ventilasi. (pada orang normal kadar PCO2 adalah faktor
utama pendorong ventilasi).
3. Perubahan H+ arteri
Kemoreseptor perifer (badan karotis dan badan aorta) :
• Kurang peka pada penyimpangan PCO2 arteri
Perubahan konsentrasi H+ di CES karena perubahan PCO2 arteri dideteksi oleh
kemoreseptor perifer tetapi masih kuat peran dari kemoreseptor sentral.
• Kurang peka pada PO2 arteri sampai turun 40% dibawah normal
• Sangat peka pada fluktuasi konsentrasi H+ arteri
Kemoreseptor perifer lebih besar berperan untuk menyesuaikan ventilasi akibat H+
arteri yang tidak berkaitan dengan fluktuasi PCO2 (penting untuk mengatur
keseimbangan asam basa tubuh).
Misal pada Diabetes melitus yang tidak diobati, peningkatan asam-asam keto penghasil H+
didalam darah mengakibatkan peningkatan H+ darah padahal CO2 normal. Ventilasi oleh
kemoreseptor mengkompensasi kelebihan H+ yang disebabkan oleh faktor non respiratorik.
Klinis :
• Apnea interupsi ventilasi sesaat, dengan bernapas kembali secara spontan. Apabila
tidak pulih dinamakan henti napas. Selama tidur ventilasi menurun, kemoreseptor sentral
kurang peka pada PCO2 arteri. Seseorang tidur dan berhenti bernapas selama beberapa
detik atau hingga 1-2 menit. Hal ini tidak berbahaya kecuali yang bersangkutan sakit
paru.
• Sindrom kematian bayi mendadak (SIDS) apnea dan tidak dapat pulih. Hal ini
karena kontrol pernapasan masih imatur, baik di batang otak maupun kemoreseptor lain.
• Dispnea sesak napas. Sering terjadi pada PPOK atau edem paru. Dispnea subjektif
tiap individu. Misal merasa sesak napas di lift yang penuh padahal kadar CO2 dan O2
tubuh normal.
1. Asidosis respiratorik
pH darah < 7,35 (asidemia) dengan pCO2 > 45 mmHg
Terjadi karena PCO2 meningkat. Menumpuknya CO2 yang bergabung dengan air
menghasilkan asam karbonat sehingga pH darah turun.
CO2 + H2O H+ + HCO3-
PCO2 meningkat H+ meningkat pH menurun asidosis
2. Alkalosis respiratorik
pH darah > 7,45 (alkalemia) dengan pCO2 < 35 mmHg
Terjadi karena PCO2 menurun H+ menurun pH meningkat alkalosis
3. Asidosis metabolik
HCO3 < 22 mEq/L dengan pH < 7,35 (asidemia)
Terjadi karena kurangnya basa dalam aliran darah atau kelebihan asam selain CO2
HCO3 rendah pH menurun asidosis
Penyebab :
✓ Produksi berlebihan asam tetap dan organik.
• asam tetap : asam sulfat & as fosfat
• asam organic : asam laktat
✓ Gangguan ekskresi H+ seperti pada glomerulonefritis
✓ Sesudah kehilangan bikarbonat
4. Alkalosis metabolik
Definisi : HCO3 > 26 mEq/L dengan pH 7,45
Terjadi karena kelebihan basa atau kehilangan asam
HCO3 tinggi pH meningkat alkalosis
KOMPENSASI GINJAL
Jika terjadi perubahan pH plasma, kompensasi ginjal adalah :
✓ perubahan laju sekresi dan reabsorbsi H+ & HCO3
Ion hidrogen disekresi ke tubulus ginjal : Tubulus Contortus Proksimalis dan Tubulus
Contortus Distalis
✓ Sekresi berlanjut hingga pH cairan tubulus 4 - 4,5