Anda di halaman 1dari 4

KAJIAN WULANGREH (249): PRASAPA PAKUBUWANA III

Pada (bait) ke-249, Pupuh ke-12, Sinom, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku
Buwana IV.

Prasapa Jeng Susuhunan,


Pakubuwana kaping tri,
mring satedhak turunira.
Mapan datan den lilani,
agawe andel ugi,
wong kang seje jinisipun,
puniku linarangan.
Anak putu wuri-wuri,
poma aja wani anrajang prasapa.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Prasapa Kanjeng Susuhunan,


Pakubuwana yang ketiga,
kepada anak keturunannya.
Memang tidak diijinkan,
mengangkat kepercayaan,
dari orang yang berbeda jenis bangsanya,
yang demikian itu dilarang.
Anak cucu yang akhir-akhir ini,
ingatlah jangan berani melanggar prasapa.

Kajian per kata:

Prasapa (prasapa) Jeng (Kanjeng) Susuhunan (Susuhunan), Pakubuwana (Pakubuwana)


kaping tri (yang ke-3), mring (kepada) satedhak turunira (anak keturunannya). Prasapa
Kanjeng Susuhunan, Pakubuwana yang ketiga, kepada anak keturunannya.

Inilah prasapanya Susuhunan Pajubuwana Ketiga, namun sebelum kita membahasnya marilah
kita lihat sekilas riwayat tokoh ini.

Pakubuwana III adalah anak dari Pakubuwana II, yang selain mewarisi tahta juga mewarisi
kekacauan di dalamnya. Anehnya yang melantiknya adalah Baron von Hohendorff, Gubernur
pesisir Jawa bagian timur yang mewakili VOC. PB III meneruskan perang suksesi Jawa III
yang telah berkobar sejak ayahnya menjabat. Menghadapi Pangeran Mangkubumi yang telah
bersekutu dengan Pangeran Sambernyawa, PB III merasa kewalahan. Akhirnya dia
menawarkan perdamaian, dan lahirlah perjanjian Giyanti, 1755M. Dengan demikian Kerajaan
Surakarta terpecah menjadi 2 kerajaan, Surakarta dan Yogyakarta dengan Sultan
Hamengkubuwana I.

Pangeran Sambernyawa yang belum mendapat bagian kerajaan meneruskan perjuangan


hingga akhirnya ditawari pula pembagian kerajaan, namun tidak seperti Mangkubumi yang
mendapat kedudukan setara Mangkunegara hanya mendapat kerajaan setingkat kadipaten
saja. Inilah yang kemudian menjadi praja Mangkunegaran, dengan Sambernyawa menjadi
penguasa pertamanya bergelar KGPAA Mangkunegara I. Dengan ini kerajaan Surakarta
sebagai penerus Mataram sudah terpecah menjadi 3 wilayah kecil yang kelak masing-masing
berdaulat sendiri.

Pakubuwana III adalah raja yang sangat tunduk kepada VOC karena kekuasaannya sangat
bergantung pada dukungan kongsi dagang dari Belanda itu. Kita kembali pada kajian kita,
inilah prasapa Kanjeng Susuhunan Pakubuwana III.
Mapan (memang) datan (tidak) den lilani (diijinkan), agawe (mengangkat) andel
(kepercayaan) ugi (juga), wong (orang) kang (yang) seje (berbeda) jinisipun (jenisnya
bangsanya), puniku (demikian itu) linarangan (dilarang). Memang tidak diijinkan,
mengangkat kepercayaan, dari orang yang berbeda jenis bangsanya, yang demikian itu
dilarang.

Anak keturunannya tidak boleh mengangkat orang kepercayaan dari bangsa asing. Suatu
prasapa yang ironis mengingat dia sendiri sangat bergantung dan dekat dengan para penjajah
Belanda. Namun mungkin juga ini semacam perlawanan batin, karena raja berikutnya yang
tak lain putranya sendiri ternyata seorang pemberani. Dari kaca mata ini prasapanya tak sia-
sia.

Anak (anak) putu (cucu) wuri–wuri (yang akhir-akhir), poma (ingatlah) aja (jangan) wani
(berani) anrajang (melanggar) prasapa (prasapa). Anak cucu yang akhir-akhir ini, ingatlah
jangan berani melanggar prasapa.

Anak cucu di kemudian hari, diharap jangan sampai melanggar prasapa tersebut. Kita tidak
tahu pasti mengapa PB III mengeluarkan prasapa ini, namun pada masa sebelum dia menjadi
raja pernah ada huru-hara oleh pasukan pemberontak yang dipimpin Sunan Kuning, seorang
pangeran muda yang didukung oleh orang-orang Cina. Apakah peristiwa ini menjadi sebab
dari keluarnya prasapa ini? Wallahu a’lam.
KAJIAN WULANGREH (246-248): PRASAPA PAKUBUWANA I & II LAN
AMANGKURAT JAWI

Pada (bait) ke-246-248, Pupuh ke-12, Sinom, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku
Buwana IV.

Jeng Sunan Pakubuwana, kang jumeneng ing Samawis, kondur madeg Kartasura,
prasapanira anenggih, tan linilan anitih, dipangga saturunipun. Sunan Prabu Mangkurat,
waler mring saturunreki, tan rinilan ngujung astana ing Betah.

Lawan tan kena nganggowa, dhuwung sarungan tan mawi, kandelan yen nitih kuda.
Kabeh aja na kang lali, lawan aja nggegampil, puniku prasapanipun. Nenggih jeng
Susuhunan, Pakubuwana ping kalih, mring satedhak turunira linarangan,

Dhahar apyun nora kena, sineret tan den lilani, nadyan nguntal linarangan. Sapa kang
wani nglakoni, narajang waler iki, yen kongsi kalebon apyun, pasti keneng prasapa,
jinabakken tedhakneki, Kanjeng Sunan ingkang sumare Nglawiyan.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Kanjeng Sunan Pakubuwana, yang dilantik di Semarang, dan pulang mendirikan Kartasura,
prasapanya yakni, tak diijinkan naik, gajah bagi seketurunannya. Sunan Prabu Amangkurat,
melarang kepada seketurunannya, tak diijinkan berziarah ke pemakaman Butuh.

Dan tak boleh memakai, keris yang sarungnya tak memakai, pendok kalau naik kuda. Semua
jangan ada yang lupa, dan jangan ada yang meremehkan, prasapanya itu. Adapun Kanjeng
Susuhunan, Pakubuwana kedua, kepada anak keturunannya dilarang,

mengkonsumsi candu, dihisap tak diijinkan, walau ditelan juga dilarang. Siapa yang berani
melakukan, melanggar larangan ini, kalau sampai terkena candu, pasti tertimpa prasapa,
dikeluarkan dari keturunan, Kanjeng Sunan yang dimakamkan di Laweyan.

Kajian per kata:

Jeng Sunan Pakubuwana (Kanjeng Sunan Pakubuwana), kang (yang) jumeneng (dilantik)
ing (di) Samawis (semarang), kondur (pulang) madeg (mendirikan) Kartasura (Kartasura),
prasapanira (prasapanya) anenggih (yakni), tan (tak) linilan (diijinkan) anitih (naik),
dipangga (gajah) saturunipun (seketurunannya). Kanjeng Sunan Pakubuwana, yang dilantik
di Semarang, dan pulang mendirikan Kartasura, prasapanya yakni, tak diijinkan naik, gajah
bagi seketurunannya.

Kanjeng Sunan Pakubuwana yang dimaksud dalam bait ini adalah Pakubuwana I, yang
dilantik di Semarang atas bantuan VOC. Peristiwa ini menandai semakin menancapnya kuku-
kuku kolonialisme setelah sebelumnya Mataram pecah akibat pemberontakan Trunajaya.
Pakubuwana I adalah anak dari Sunan Amangkurat Agung yang meninggal di Tegal.
Sebenarnya dia bukan pewaris tahta, namun ketika kekuasaan dipegang Amangkurat III yang
tak lain adalah keponakannya sendiri dia memutuskan untuk memberontak. Dia kemudian
bermarkas di Semarang dan satu demi satu mengumpulkan dukungan dari para pangeran
Mataram lainnya yang tidak puas atas kepemimpinan Amangkurat III. Pada tahun 1705 M,
dia berhasil mengusai Kartasura dan memaksa Amangkurat III menyingkir keluar Istana.
Selanjutnya dia naik tahta sebagai raja Kartasura dan bergelar Pakubuwana I.

Pakubuwana I mempunyai prasapa, yakni anak keturunannya tidak diijinkan naik gajah.
Adapun alasan yang melatar belakangi prasapa ini kami belum mendapatkan data yang
akurat.

Sunan Prabu Mangkurat (Sunan Prabu Amangkurat), waler (melarang) mring (kepada)
saturunreki (seketurunannya), tan (tak) rinilan (diijinkan) ngujung (berziarah) astana
(pemakaman) ing (di) Betah (Butuh). Sunan Prabu Amangkurat, melarang kepada
seketurunannya, tak diijinkan berziarah ke pemakaman Butuh.
Sunan Prabu Mangkurat yang dimaksud adalah Prabu Amangkurat Jawa atau Amangkurat
IV. Dia adalah putra dari Pakubuwana I. Pada masanya banyak terjadi pemberontakan oleh
para pangeran yang tidak puas. Banyak dari pangeran itu yang mengangkat diri sebagai raja di
wilayah masing-masing. Ini menyebabkan terjadinya banyak peperangan. Situasi itu membuat
pengaruh VOC semakin kuat menancapkan kekuasaan di Tanah Jawa.
Prabu Amangkurat ini mempunyai prasapa, anak keturunannya dilarang berziarah ke
pemakaman Butuh. Pemakaman butuh adalah tempat dimakamkannya Sultan Hadiwijaya,
Raja Pajang.
Lawan (dan) tan (tak) kena (boleh) nganggowa (memakai), dhuwung (keris) sarungan
(sarung) tan (tak) mawi (pakai), kandelan (pendhok) yen (kalau) nitih (naik) kuda (kuda).
Dan tak boleh memakai, keris yang sarungnya tak memakai, pendok kalau naik kuda.
Yang dimaksud adalah jika naik kuda tidak boleh memakai keris yang sarungnya tidak ada
pelapis pendhoknya. Warangka atau sarung keris ada bagian yang berfungsi sebagai
pelindung bilah keris, biasanya terbuat dari kayu. Di luar bagian kayu itu ada pelapis dari
logam namanya kandelan atau pendhok.
Kabeh (semua) aja (jangan) na (ada) kang (yang) lali (lupa), lawan (dan) aja (jangan)
nggegampil (meremehkan), puniku (itu) prasapanipun (prasapanya). Semua jangan ada
yang lupa, dan jangan ada yang meremehkan, prasapanya itu.
Itulah prasapa para leluhur Mataram. Jangan sampai lupa dan meremehkan prasapa itu. Bagi
anak keturunan Mataram harap dipatuhi.
Nenggih (adapun) jeng (Kanjeng) Susuhunan (Susuhunan), Pakubuwana (Pakubuwana)
ping kalih (kedua), mring (kepada) satedhak turunira (anak keturunannya) linarangan
(dilarang), dhahar apyun (madat) nora (tak) kena (boleh), sineret (dihisap) tan (tak) den
(di) lilani (ijinkan), nadyan (walau) nguntal (ditelan) linarangan (juga dilarang). Adapun
Kanjeng Susuhunan, Pakubuwana kedua, kepada anak keturunannya dilarang,
mengkonsumsi candu, dihisap tak diijinkan, walau ditelan juga dilarang.
Sekedar informasi sebagai tambahan pengetahuan, Pakubuwana II adalah anak dari Prabu
Amangkurat Jawa. Dia adalah pendiri dari Keraton Surakarta. Pada watu itu keraton lama
telah porak poranda akibat geger pecinan. Karena menganggap bahwa keraton Kartasura yang
sudah pernah diduduki musuh itu tidak baik jika ditempati lagi, ia memindahkan keraton ke
Surakarta. Pada masanya pemberontakan tak juga reda, bahkan dia menghadapi lawan-lawan
yang tidak enteng, yakni Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi.
Kedua pemberontak itu kelak berhasil memaksa Surakarta berbagi wilayah pada masa
Pakubuwana III, Pangeran Mangkubumi kemudian menguasai Yogyakarta sebagai Sultan
Hamengku Buwana I, sementara Raden Mas Said mendapat beberapa bagian wilayah di
Surakarta dan begelar Mangkunegara I.
Kembali ke kajian serat Wulangreh, Pakubuwana II mempunyai prasapa kepada anak
keturunannya agar tidak mgnkonsumsi candu atau madat. Baik dihisap maupun ditelan tidak
diperbolehkan.
Sapa (siapa) kang (yang) wani (berani) nglakoni (melakukan), narajang (melanggar) waler
(larangan) iki (ini), yen (kalau) kongsi (sampai) kalebon (terkena) apyun (candu), pasti
(pasti) keneng (kena, tertimpa) prasapa (prasapa), jinabakken (dikeluarkan) tedhakneki (dari
keturunan), Kanjeng (Kanjeng) Sunan (Sunan) ingkang (yang) sumare (dimakamkan)
Nglawiyan (Laweyan). Siapa yang berani melakukan, melanggar larangan ini, kalau sampai
terkena candu, pasti tertimpa prasapa, dikeluarkan dari keturunan, Kanjeng Sunan yang
dimakamkan di Laweyan.
Siapa yang berani melakukan madat, dengan melanggar wewaler ini pasti akan tertimpa
prasapa, yakni akan dikeluarkan dari keturunan Kanjeng Sunan yang dimakamkan di
Laweyan itu.

Anda mungkin juga menyukai