Anda di halaman 1dari 14

1.

Menjelaskan nilai dan norma


A. Pengertian Nilai dan Norma
Salah satu pemikirana yang menunjukan perbedaan mengenai pengertian
nilai dikemukakan oleh Rokeach yang membedakan nilai sebagai (1) sesuatu yang
dimiliki seseorang (a person has a value) dan (2) sesuatu berdasarkan onjek (an
object has a value).
Pandangan pertama yang menyatakan bahwa manusia memiliki nilai,
berpendapat bahwa nilai adalah sesuatu yang ada pada manusia, sesuatu yang ia
berikan atau yang dijadikan ukuran baku bagi persepsinya mengenai dunia luar.
Mengenai hal ini, Robin williams menyatakan bahwa nilai adalah kriteria atau
standar yang dibuat untuk melakukan penilaian.
Pandangan kedua menganggap nilai sebagai sesuatu yang ada pada objek.
Pandangan ini lebih menekankan nilai sebgai milik (property) objek. Nilai
tersebut dapat diletakkan dalam suatu dimensi yang merupakan kontinum dari
positif negatif. Pandangan ini dikemukakan B.F skiner yang menyangkal bahwa
manusia memiliki nilai-nilai.
Nilai menjadi ukuran standar bagi manusia dalam menentukan pilihan
aktivitas yang “baik” dan akan dilakukannya sehari-hari didalam masyarakat.
seorang pasien akan menilai cara perawat bertanya, memberikan obat atau cara
mengajak dirinya membicarakan perkembangan kesehatan. Ketika perawat
menujukan bahasa yang kasar atau kurang sopan, maka pasien akan refleks
memberikan penilaian yang buruk terhadapnya. Oleh karena itu ada yang
mengatakan bahwa nilai (value) dan sejenisnya merupakan wujud dari afektif
(affectife domian) yang ada dalam diri seseorang.
Sistem nilai ini sangat dominan/kuat dalam menentukan prilaku dan
kepribadian seseorang. Hal tersebut sangat berpengaruh karena merupakan
pegangan emosional seseorang (value are powerful emmotional commitmenrt).

B. Kategorisasi Nilai

Nilai sosial yang tumbuh dimasyarakat sangat bervariasi. Aneka ragam


nilai sosial-budaya oleh kalangan ilmuwan sosial sudah diupayakan untuk
dikelompokkan. Kendati pada akhirnya pengelompokan nilai budaya tersebut
berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Dalam kajian sosioantropologi, banyak suber yang biasa digunakan


sebagai sumber nilai. Diantara sejumlah sumber nilai tersebut yakni orang tua,
guru, teman sebaya dan dirinya sendiri. Dalam proses perkembangan dan
pengembangannya, dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan lingkungan alam.

Sutan takdir alisyahbana (1982) ketika menjelaskan kebudayaan asli


indonesia menyebutkan ada enam nilai, yaitu nilai ekonomi, teori, kuasa,
solidaritas, estetika, dan agama. Nilai ekonomi yaitu tujuan untuk memakai atau
menggunakan benda-benda dan kejadian-kejadian secara efektif bagi kehidupan
manusia. Nilai teori yaitu proses penilaian secara objektif mengenai identitas
benda-benda dan kejadian-kejadian alam sekitar. Nilai kuasa, jika dikaitkan
dengan adanya kepuasan bila orang lain mengikuti norma dan nilai. Nilai
solidaritas, jika dikaitkan dengan proses penghargaan orang lain dalam konteks
interaksi dan komunikasi. Nilai estetika, jika dikaitkan dengan masalah
keindahan. Nilai agama, yaitu jika penilaian dihadapkan pada masalah keagungan
serta kebesaran hidup dan alam semesta.

Selaras dengan pandangan ini, pelayanan kesehatan sesungguhnya bisa


dikaitkan dengan nilai-nilai budaya tersebut. Artinya, dapat ditemukan sejumlah
nilai budaya yang terkandung dalam proses pelayanan kesehatan. Sebagai contoh
dengan meminjam nilai teori budaya oleh sutan takdir alisyahbana, dapat
dikemukakan contoh kasus pelayanan kesehatan sebagai berikut

No. Nilai Budaya Pelayanan Kesehatan


Dalam mendapatkan pelayanan kesehatan
membutuhkan biaya, alat produksi, atau imbalan
jasa, kebutuhan terhadap pelayanan medis atau
1 Ekonomi
obat, senantiasa menyertakan kebutuhan akan
biaya (ekonomi) dalam kenteks ini maka layanan
kesehatan mengandung nilai ekonomi.
Lingkungan yang bersih serta ruangan yang
2 Estetis
nyaman dan harum memberikan dukungan
emosional terhadap proses penyembuhan
kesehatan. Terlebih lagi bila dikaitkan dengan
adanya pengembangan antropometri untuk
kesehatan, maka masalah keindahan dan
kenyamanan menjadi sangat penting untuk
kesehatan
 Dalam menjalankan tugas profesinya, seorang
perawat dapat bekerjasama dengan pasien,
keluarga pasien, dokter, dan pihak lain yang
3 Solidaritas
berkepentingan
 Sebagai manusia, sesungguhnya pasien
memerlukan teman untuk berkeluh kesah
 Seorang dokter memiliki peran dan fungsi
yang berbeda, demikian pula perawat dan
bidan.
4 Kuasa
 Terdapatnya struktur pengelola rumah sakit
muali dari direktur, dokter, perawat, bidan,
apoteker dan lain sebagainya.
 Dalam melaksanakan tugasnya seorang dokter,
perawat, bidan dtuntut untuk memiliki
pengetahuan tentang kesehatan.
5 Teori
 Sebelum melaksanakan praktiknya, setiap
lulusan kesehatan diwajibkan untuk mengikuti
pendidikan profesi.
 Bagi masyarakat yang beragama, praktik
pelayanan merupakan bagian pelayanan
kepada umat.
 Selaras dengan kode etik, ilmu pengetahuan,
6 Agama
dan keterampilan profesi yang dimiliknya
merupakan karunia dari tuhan yang maha esa.
Oleh karena itu, pelayan kesehatan pun perlu
dianggap sebagai bagian dari ibadah.

Berbeda dengan pandangan Sutan Takdir alisyahbana, Sondang P.Siagan


menyatakan ada tujuh nilai, yaitu :

1. Nilai reaktif
Nilai reaktif menunjukan pada tindakan seseorang yang melakukan
tindakan tertentu karena bereaksi terhadap situasi tertentu yang
dihadapinya. Reaksi tersebut pada dasarnya ditujukan kepada pemuasanan
kebutuhan yang sifatnya fisiologis seperti rasa haus, lapar, dan sejenisnya
yang sering ditunjukan oleh seorang bayi.
2. Nilai Tribalistik
Seseorang yang menganut nilai ini ditandai dengan sifaat yang taat kepada
norma-norma sosial atau norma-norma kelompok dan pimpinan formal.
Dengan kata lain, orang yang menganut nilai tribalistik adalah mereka
yang berpendapat bahwa ketergantungan kepada orang lain dan ketaan
terhadap orang yang berkuasa dan kepada norma-norma hidup yang sudah
disepakati bersama akan mengakibatkan hidup penuh keserasian dan
keseimbangan. Orang dengan demikian akan mudah diajak bekerjasama
dengan orng lain dan akan lebih mudah melakukan penyesuai-penyesuaian
yang diperlukan, sepanjang dapat mempengaruhi pimpinan formal. Pada
masa orde baru, kasus penolakan program keluarga bencana (KB)
dibeberapa daerah diindonesia, dapat dieliminasi dengan menggunakan
peran tokoh agama atau pimpinan formal.
3. Nilai ego sentris
Yang menonjol dalam diri penganut nilai ini adalah sifat yang
mementingkan diri sendiri dengan segala kebutuhan dan kepentingannya.
Mereka hanya taat pada norma-norma sosial dan norma-norma kelompok
apabila ada pimpinan yang kuat atau malah keras dan mampu menuntut
ketaatan terhadap norma-norma yang telah ditetapkan. Pada umumnya
orang yang menganut nilai-nilai ini akan mau diajak bekerja sama dengan
orang laon asalkan kebutuhan dan kepentingannya terpenuhi.
4. Nilai Konformitas
Salah satu tuntun kehidupan kelompok adalah kesedian untuk melakukan
penyesuaian-penyesuain tertentu agar perilaku seseorang dapat sedemikian
rupa sehingga ia diterima oleh orang lain dalam kelompok kerja diaman ia
menjadi anggota.
5. Nilai manipulatif
Orang-orang yang menganut nilai manipulatif adalah mereka yang
berusaha mencapai tujuan pribadi sendiri melalui manipulasi orang lain
sedemikian rupa sehingga orang itu membenarkan tindakannya. Orang
yang demikian biasanya ambisius dan cendrung berbuat segala sesuatu
agar ia merah keberhasilan dan pada gilirannya tercermin pada berbagai
hal seperti status yang lebih tinggi serta penghargaan yang lebih besar.
6. Nilai yang Sosio sentris
Konotasi jelas dari nilai ini ialah penempatan kebersamaan jauh lebih
penting ketimbang nilai yang matrialistik, manipulatif maupun
konformitas. Orang yang menganut nilai ini mementingkan keberadaan
orang lain.
7. Nilai eksistensial
Orang yang menganut nilai ini ialah mereka yang memiliki nilai toleransi
yang tinggi terhadap pandangan orang lain yang berbeda dari
pandangannya sendiri. Orang seperti ini sangat tidak menyukai kekakuan
dalam hubungan interaksi dalam kehidupan organisasional, peraturan yang
terlalu mengikat, simbol-simbol dan status dan penggunaan kekuasaan
yang tidak benar.
C. Fungsi Nilai dan budaya

Rokeach melihat ada tiga fungsi nilai yaitu, (1) ukuran baku untuk
mengarahkan perilaku (2) rencana global dalam menyelesaikan masalah dan (3)
motivasi.

Dengan memahami nilai budaya seorang tenaga kesehatan dapat berusaha


keras untuk menunjukan perilakunya supaya sesuai dengan nilai yang berlaku
dimasyarakat. Misalnya saja klau seorang calon tenaga medis ditugaskan
dimasyarakat yang taat agama, maka dia harus berusaha menunjukan penghargaan
terhadap nilai agama yang berlaku tersebutn baik dalam tutur kata, pakaian,
maupun dalam praktik kesehatannya itu sendiri. Sehingga pada akhirnya nanti
pada saat akan memberikan kesehatan, si perawat dapat menggunakan pola pikir
nilai budaya masyarakat untuk menyusun kerangka pelayanan kesehatan
masyarakat.

Menurut George eangland ada dua fungsi nilai budaya yaitu penyaluran
perilaku (behavior channeling) dan penyaringan persepsi (perceptual screnning).
Yang dimaksud dengan penyaringan persepsi adalah seseorang yang
menggunakan pemahamnnya tentang nilai untuk mengukur nilai sebuah perilaku,
apakah nilai itu sejalan dengan nilai panutan masyarakat atau tidak. Misalnya saja,
tidak mungkin seorang tenaga memberikan terapi urine bagi masyarakat pesantren
islam yang memandang status urine itu adalah najis. Kemampuan perawat untuk
mengambil kebijakan untuk tidak memberikan terapi urine merupakan bentuk
nyata dari pemahamannya terhadap nilai sebagai saringan persepsi dan perilaku
masyarakat.

D. Norma sosial masyarakat indonesia

Nilai atau value lebih tinggi dari pada norma atau moral. Nilai merupakan
keyakinan (belife) yang sudah merupakan milik diri yang akan menjadi barometer
acton and will, sedangkan norma baru merupakan keharusan yang lebih bersifat
operasional karena adanya sanksi. Sementara norma menurut piage lebih bersifat
tuntutan dari luar (masyarakat/kehidupan) karena kiprah umum dan atau praktik
nyata. Namun demikian secara keseluruhan memuat hal yang
dianggap/dinyatakan baik atau berharga atau positif. Norma sosial adalah suatu
ukuran atau pandangan tentang sesuatu ataupun sejumlah tingkah laku yang
diterima dan disepakati secara umum oleh warga atau masyarakat.

Sumber-sumber norma dapat dikelompokan sebagai berikut :

a. Ajaran agama, pada umumnya mengajarkan kepada pemeluknya untuk


melakukan hal-hal yang baik dan melarang yang berbau tidak baik. Perbuatan
baik atau tidak baik berkaitan dengan tatanan kehidupan. Agama memiliki
aturan mengenai makna, perilaku, dan cara pengobatan yang dibenarkan secara
hukum agama.
b. Ajaran Moral, moral tumbuh dari hari nurani manusia untuk menjunjung tinggi
harkat dan derajat manusia sehingga berbeda dengan makhluk lain. Conto,
berdasarkan undang-undang kesehatan tidak ada pasal atau ayat yang
menjelaskan kewajiban seorang dokter untuk menolong orang yang terkena
musibah tabrakan. Artinya jika dirinya tidak menolong korban tabrakan
tersebut tidak akan dikenai sanksi hukum. Tetapi secara moral dan tanggung
jawab sebagai anggota masyarakat akan mendorong dirinya untuk bertindak
cepat dalam menolong orang sakit.
c. Ajaran adat istiadat. Setiap kelompok masyarakat memiliki adat istiadat dan
kebiasaan yang menjadi nilai-nilai yang dianggap baik atau buruk dan berlaku
bagi kelompok tersebut. Setiap tenaga medis dituntut untuk menjunjung tinggi
nilai dan norma yang bersumber dari adat atau budaya masyarakat.
d. Aspek hukum, semua peraturan atau perundang-undangan yang berlaku dan
yang dibuat oleh yang berwenang wajib dipatuhi oleh semua warga. Norma
hukum yang perlu dipahami itu, baik norma hukum secara umum, maupun
norma hukum dalam bidang kesehatan pada khususnya.
e. Kode etik profes, selain keempat sumber diatas ada satu sumber lagi yang
dapat dijadikan rujukan pengembangan nilai dan norma profesi kesehatan yaitu
kode etik profesi. Jika keempat sumber sebelumnya lebih cendrung berasal dari
luar orang yang melaksanakan pelayanan kesehatan, sumber yang terakhir ini
bersumber dari posisi dan profesi dirinya sendiri. Oleh karena itu, kendatipun
ada tuntutan untuk menghormati nilai dan norma masyarakat yang berlaku,
pelaku pelayanan kesehatan tidak boleh melanggar

2. Menjelaskan Konsep kelompok dan kelompok acuan


a. Pengertian kelompok sosial

Robert K. Merton (2010:10) berpendapat bahwa “Kelompok sosial adalah


kelompok yang saling berinteraksi sesuai dengan pola-pola yang telah matang.”

Johnson (2010:11) mendefinisikan “Kelompok sosial adalah dua atau lebih


orang yang saling berinteraksi dengan cara-cara yang terpola, dan dikenali sebagai
sebuah kelompok oleh mereka sendiri atau oleh orang lain.”

Berdasarkan definisi dari beberapa ahli sosiologi di atas dapat disimpulkan


bahwa kelompok sosial adalah sekumpulan manusia yang mempunyai ciri-ciri
yang sama, mempunyai pola interaksi yang terorganisir secara berulang-ulang,
dan mempunyai kesadaran bersama akan keanggotaannya.
Kelompok sosial terbentuk setelah di antara individu yang satu dan
individu yang lain bertemu. Pertemuan antar individu yang menghasilkan
kelompok sosial haruslah berupa proses interaksi, seperti adanya kontak,
komunikasi, kerja sama, akomodasi, asimilasi, dan akulturasi untuk mencapai
tujuan bersama, bahkan mungkin mengadakan persaingan, pertikaian, dan konflik.
Dengan demikian, interaksi merupakan syarat utama yang harus dipenuhi agar
terbentuk kelompok sosial.

Sejak dilahirkan, manusia sudah mempunyai dua hasrat atau keinginan


pokok, yaitu keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain di sekelilingnya
(masyarakat) dan keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam
sekelilingnya. Untuk dapat menyesuaikan diri, manusia menggunakan pikiran,
perasaan, dan kehendaknya.

Di dalam menghadapi lingkungannya, seperti udara yang dingin, alam


yang keras, dan sebagainya, manusia kemudian menciptakan rumah, pakaian, dan
lain-lain. Manusia juga harus makan agar badannya tetap sehat. Untuk memenuhi
kebutuhannya tersebut, dia juga mengambilnya dari alam dengan menggunakan
akal, misalnya di laut manusia akan menjadi nelayan untuk mendapatkan ikan.
Semuanya itu menimbulkan kelompok-kelompok sosial (social group) di dalam
kehidupan manusia. Kelompok-kelompok manusia tersebut merupakan himpunan
atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama. Hubungan tersebut antara
lain menyangkut kaitan timbal balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu
kesadaran untuk saling tolong-menolong.

b. Pembentukan Kelompok Sosial

1. Kepentingan yang Sama (Common Interest)


Kepentingan yang sama menjadi pendorong sekumpulan manusia untuk
membentuk sebuah kelompok sosial. Berbagai kelompok sosial berdasarkan
kesamaan kepentingan akhir-akhir ini semakin berkembang seiring dengan
perkembangan masyarakat yang semakin modern, misalnya kelompok
olahragawan, kelompok arisan, dan lain-lain.
2. Kesamaan Darah dan Keturunan (Common Ancestry)
3. Keturunan menjadi dasar persatuan dan tali persaudaraan yang paling kuat
bagi manusia. Mereka yang merasa satu keturunan dan tinggal dalam suatu
masyarakat yang dianggap mempunyai persamaan latar belakang suku
bangsa maupun nenek moyang kemudian membentuk sebuah kelompok
sosial misalnya kelompok keturunan India, kelompok keturunan Tiongkok,
dan sebagainya.
4. Daerah atau Wilayah yang Sama
Kelompok sosial terbentuk atas dasar daerah atau wilayah yang sama
ditinggali cenderung membentuk organisasi yang mantap dan kelompok
sosial yang kuat. Sebagai contoh adalah paguyuban masyarakat Padang
yang tinggal di Jawa.
5. Ciri Fisik yang Sama
Warna kulit, warna rambut dan bentuknya, bentuk hidung, mata dan ciri
fisik lainnya merupakan salah satu faktor pendorong dibentuknya kelompok
sosial.

c. Klasifikasi Kelompok Sosial

1. In-Groupdan Out-Group
In-groupadalah kelompok sosial dimana individu mengidentifikasi dirinya.
Sedangkan out-group adalah kelompok sosial yang oleh individu diartikan
sebagai lawan in-groupnya. Ia selalu di kaitkan dengan istilah “kami atau
kita” dan “mereka”, misalnya “kami mahasiswa Pendidikan Geografi dan
“mereka mahasiswa Pendidikan Matematika”. Sikap-sikap in-grouppada
umumnya didasarkan pada faktor simpati dan selalu mempunyai perasaan
dekat dengan anggota-anggota kelompok.
Sikap out-groupselalu ditandai dengan suatu kelainan yang berwujud
antagonisme atau antipati. Perasaan in-group atau out-group didasari
dengan suatu sikap yang dinamakan etnosentris, yaitu adanya anggapan
bahwa kebiasaan dalam kelompoknya merupakan yang terbaik dibanding
dengan kelompok lainnya.
2. Kelompok Primer (Primary Group) dan Kelompok Sekunder (Secondary
Group)
Menurut Charles Horton Chooley dalam bukunya yang berjudul Social
Organization(1909) menyatakan bahwa kelompok primer adalah
kelompok-kelompok yang ditandai dengan adanya ciri-ciri saling
mengenal antar anggotanya serta adanya kerja sama erat yang bersifat
pribadi. Hasil dari hubungan yang erat dan bersifat pribadi itu adalah
adanya peleburan individu-individu ke dalam kelompok-kelompok
sehingga tujuan individu juga menjadi tujuan kelompok.
3. Paguyuban (Gemeinschaft) dan Patembayan (Gesellschaft)
Paguyuban adalah bentuk kehidupan bersama yang anggota-anggotanya
diikat oleh hubungan batin yang bersifat alamiah dan kekal, hal ini dapat
terbentuk pada ikatan keturunan contohnya keluarga. Patembayan adalah
kelompok yang didasari oleh ikatan lahiriah yang jangka waktunya
terbatas, contohnya ikatan para pedagang atau pekerja yang memiliki
kepentingan secara rasional.
4. Formal Grup dan Informal Grup
Formal grup merupakan kelompok yang memiliki peraturan-peraturan
yang tegas dan dengan sengaja dibuat oleh anggota-anggotanya untuk
mengatur hubungan antar anggotanya. Kelompok formal disebut juga
dengan istilah asosiasi atau organisasi. Contoh : organisasi mahasiswa
seperti HIMAGEO (Himpunan Mahasiswa Geografi).
Informal group merupakan kelompok sosial yang terbentuk karena
pertemuan-pertemuan yang berulang dan merasa memiliki kepentingan
dan pengalaman yang sama. Pada kelompok informal ini pada umumnya
terbentuk karena pertemuan-pertemuan yang dilakukan secara berulang-
ulang sehingga menjadi media pertemuan berbagai kepentingan ataupun
pengalaman- pengalaman yang sama.
5. Membership Groupdan Reference Group
Membership group merupakan kelompok sosial yang secara fisik menjadi
anggota kelompok tersebut. Batasan yang dipakai untuk menentukan
keanggotaan seseorang pada suatu kelompok secara fisik tidak bisa
dilakukan secara mutlak hal tersebut diakibatkan adanya perubahan-
perubahan keadaan. Kondisi yang tidak tetap akan mempengaruhi derajat
interaksi dalam suatu kelompok. Untuk membedakan secara tegas
keanggotaan atas dasar derajat interaksi dalam kelompok maka ditemukan
adanya dua istilah yaitu nominal group-member dan peripheral group-
member. Seorang anggota nominal groupadalah orang yang dianggap
berinteraksi dengan kelompok sosial oleh orang lain, meskipun
interaksinya tidak intens. Sedangkan peripheral group dianggap tidak
berhubungan lagi dengan kelompok sosial yang bersangkutan sehingga
kelompok tersebut tidak mempunyai kekuasaan apapun juga atas anggota
ataupun kelompok tersebut.
Reference group merupakan kelompok sosial yang menjadi acuan dalam
perilaku maupun mengembangkan kepribadian para individu yang tidak
tercatat secara fisik dalam keanggotaan kelompok tersebut. Bisa juga
diartikan sebagai kelompok sosial yang menjadi acuan bagi seseorang
bukan anggota untuk membetuk pribadi dan perilakunya.
6. Kelompok Okupasional dan Volunter
Kelompok okupasional adalah kelompok yang muncul karena semakin
memudarnya fungsi kekerabatan, dimana kelompok ini timbul karena
anggotanya memiliki pekerjaan yang sejenis. Contohnya kelompok
profesi, seperti asosiasi sarjana farmasi, ikatan dokter Indonesia, dan lain-
lain.
Kelompok volunteer adalah kelompok yang memiliki kepentingan sama,
namun tidak mendapatkan perhatian masyarakat. Melalui kelompok ini
diharapkan akan dapat memenuhi kepentingan anggotanya secara
individual tanpa mengganggu kepentingan masyarakat secara umum.

Talcott Parsons berpendapat bahwa aksi ( action ) itu bukanlah perilaku


( behavior ). Aksi merupakan tanggapan atau respon mekanis terhadap suatu
stimulus sedangkan perilaku adalah suatu proses mental yang aktif dan kreatif.
Menurut Parsons, yang utama bukanlah tindakan individual, melainkan norma-
norma dan nilai-nilai sosial yang menurunkan dan mengatur perilaku (Sarwono,
1993 : 19 ).

Parsons melihat bahwa tindakan individu dan kelompok dipengaruhi oleh tiga
sistem, yaitu sistem sosial, sistem budaya, dan sistem kepribadian masing-masing
individu. Kita dapat mengaitkan individu dengan sistem sosialnya melalui status
dan perannya. Dalam setiap sistem sosial individu menduduki suatu status dan
berperan sesuai dengan norma atau aturan yang dibuat oleh sistem tersebut dan
perilaku ditentukan pula oleh tipe kepribadiannya. (Sarwono, 1993 : 19 ).

Beberapa asumsi fundamental Teori Aksi dikemukakan oleh Hinkle dengan


merujuk karya Mac Iver, Znaniecki dan Parsons sebagai berikut :

1. Tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek dan


dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai obyek.

2. Sebagai subyek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai


tujuan-tujuan tertentu. Jadi, tindakan manusia bukan tanpa tujuan.

3. Dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik, prosedur, metode,


serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut.

4. Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tak


dapat diubah dengan sendirinya.

5. Manusia memilih, menilai dan mengevaluasi terhadap tindakan yang akan,


sedang dan yang telah dilakukannya.

6. Ukuran-ukuran, aturan-aturan atau prinsip-prinsip moral diharapkan


timbul pada saat pengambilan keputusan.

7. Studi mengenai antar hubungan sosial memerlukan pemakaian teknik


penemuan yang bersifat subyektif seperti metode verstehen,
imajinasi, sympathetic reconstruction atau seakan-akan mengalami sendiri
(vicarious experienc ) ( Ritzer, 2003 : 46 ).
Dalam menyesuaikan tingkah lakunya dengan norma masyarakat biasanya
individu melihat kepada kelompok acuannya ( reference group ). Kelompok
referensi yaitu kelompok sosial yang menjadi acuan bagi seseorang (bukan
anggota kelompok) untuk membentuk pribadi dan perilakunya. Dengan perkatan
lain, seorang yang bukan anggota kelompok sosial bersangkutan mengidentifikasi
dirinya dengan kelompok tadi (Soekanto, 1990:154)

Pengalaman kelompok yang dilalui seseorang dalam sosialisasi cukup penting


perannya dalam mengembangkan kepribadian. Kelompok yang sangat
berpengaruh dalam perkembangan kepribadian seseorang dibedakan menjadi dua
sebagai berikut.

1) Kelompok Acuan (Kelompok Referensi)

Sepanjang hidup seseorang, kelompok-kelompok tertentu dijadikan model yang


penting bagi gagasan atau norma-norma perilaku. Dalam hal ini, pembentukan
kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh pola hubungan dengan kelompok
referensinya. Pada mulanya, keluarga adalah kelompok yang dijadikan acuan
seorang bayi selama masa-masa yang paling peka. Setelah keluarga, kelompok
referensi lainnya adalah teman-teman sebaya. Peran kelompok sepermainan ini
dalam perkembangan kepribadian seorang anak akan semakin berkurang dengan
semakin terpencar nya mereka setelah menamatkan sekolah dan memasuki
kelompok lain yang lebih majemuk (kompleks).

2) Kelompok Majemuk

Kelompok majemuk menunjuk pada kenyataan masyarakat yang lebih beraneka


ragam. Dengan kata lain, masyarakat majemuk memiliki kelompok-kelompok
dengan budaya dan ukuran moral yang berbeda-beda. Dalam keadaan seperti ini,
hendaknya seseorang berusaha dengan keras mempertahankan haknya untuk
menentukan sendiri hal yang dianggapnya baik dan bermanfaat bagi diri dan
kepribadiannya sehingga tidak hanyut dalam arus perbedaan dalam kelompok
majemuk tempatnya berada. Artinya, dari pengalaman ini seseorang harus mau
dan mampu untuk memilah-milahkannya

Anda mungkin juga menyukai