Anda di halaman 1dari 76

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI STEROID/TRITERPENOID

PADA SPONGE (Xestospongia sp de Laubenfels) DARI


PANTAI LHOKNGA ACEH BESAR

SKRIPSI

OLEH:
RIZKY MAYA SARI
NIM 121524081

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI STEROID/TRITERPENOID
PADA SPONGE (Xestospongia sp de Laubenfels)DARI
PANTAI LHOKNGA ACEH BESAR

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh


gelar Sarjana Farmasi pada
Fakultas FarmasiUniversitas Sumatera Utara

OLEH:
RIZKY MAYA SARI
NIM 121524081

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
PENGESAHAN SKRIPSI

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI STEROID/TRITERPENOID


PADA SPONGE (Xestospongia sp de Laubenfels)DARI
PANTAI LHOKNGA ACEH BESAR

OLEH:
RIZKY MAYA SARI
NIM 121524081

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi


Fakultas FarmasiUniversitas Sumatera Utara
Pada Tanggal: 11 Mei 2015

Disetujui Oleh:
Pembimbing I, Panitia Penguji,

Dra. Aswita Hafni Lubis, M.Si., Apt Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt.
NIP 195304031983032001 NIP195112231980032002
NIP 195112231980032002

Dra.
Dra. Aswita
Aswita Hafni
Hafni Lubis,
Lubis, M.Si.,
M.Si., Apt.
Apt.
Pembimbing II, NIP 195304031983032001
NIP 195304031983032001

Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt. Drs.Suryadi


Drs.Suryadi Achmad,
Achmad, M.Sc.,
M.Sc., Apt.
Apt.
NIP 195107231982032001 NIP 195109081985031002

Drs. Awaluddin Saragih, M.Si., Apt


Drs. Awaluddin Saragih, M.Si., Apt
NIP 195008221974121002
NIP 195008221974121002

Medan, Juli 2015


Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
Wakil Dekan I,

Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt.


NIP 195311281983031002
KATA PENGANTAR

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat mencapai gelar Sarjana

Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Isolasi

dan Identifikasi Steroid/triterpenoid pada Sponge (Xestospongia sp de Laubenfels)

dari Pantai Lhoknga Aceh Besar”.

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio

Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi USU Medan, yang telah

memberikan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Ibu Dr.

Poppy Anjelisa Zaitun Hasibuan M.si., Apt selaku pembimbing akedemik. Ibu

Dra. Aswita Hafni Lubis, M.Si., Apt dan Ibu Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt., yang

telah membimbing dan memberikan petunjuk serta saran-saran selama penelitian

hingga selesainya skripsi ini.

Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU Medan yang telah

mendidik selama perkuliahan. Bapak dan Ibu Kepala Laboratorium Penelitian dan

Fitokimia yang telah memberikan fasilitas, petunjuk dan membantu selama

penelitian. Ibu Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt., Bapak Suryadi Achmad,

M.Sc., Apt., Bapak Awaluddin Saragih, M.Si., Apt., selaku dosen penguji yang

telah memberikan kritik, saran dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tiada

terhingga kepada Ayahanda Bustami, dan Ibunda Darwani, yang telah

memberikan semangat, doa dan pengorbanan luar biasa dan tak sanggup penulis

iv
jabarkan baik moril maupun materi, juga kepada Abang-abang,kakak tercinta adek

tercinta, Uzir Farizal, Rahmad Zulmi, Sri Wahyuni, Asriani, Rizka Khaira.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih

jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran demi

kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan

manfaat bagi kita semua.

Medan, Februari 2015

Penulis

Rizky Maya Sari


NIM 121524081

v
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI STEROID/TRITERPENOID PADA
SPONGE Xestospongia sp de Laubenfels DARI
PANTAI LHOK NGA ACEH BESAR
yarat untuk memperolehgelar Sarjana
bABSTRAK

Sponge merupakan salah satu hewan invertebrata laut yang hidup pada
terumbu karang yang mempunyai potensi bioaktif yang belum banyak
dimanfaatkan dalam berbagai keperluan, terutama untuk obat-obatan. Senyawa
metabolit sekunder yang terdapat dalam sponge adalah alkaloid,
steroid/triterpenoid dan sesquiterpenoid. Senyawa steroid/triterpenoid digunakan
dalam bidang pengobatan sebagai kardiotonik, prekursor vitamin D, kontrasepsi
oral dan antiinflamasi. Steroid/triterpenoid merupakan kelompok penting dari
produk alami yang memiliki profil farmakologi yang luas, diantaranya sebagai
pengatur hormon, antioksidan, anti-asma, bronkodilator dan menormalkan darah
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakterisasi simplisia, skrining
fitokimia dan isolasi senyawa steroid/triterpenoid dari sponge Xestospongia sp de
Laubenfels.
Ekstraksi dilakukan secara maserasi menggunakan pelarut adalah n-
heksana, ekstrak diuapkan dan di analisis dengan kromatografi lapis tipis (KLT)
dengan berbagai perbandingan pengembang, dilanjutkan isolasi menggunakan
kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif. Terhadap isolat yang diperoleh
dilakukan uji kemurnian secara kromatografi lapis tipis 2 arah, selanjutnya di
karakterisasi secara spektrofotometri ultraviolet (UV) dan spektrofotometri
inframerah (IR).
Hasil karakterisasi simplisia Xestospongia adalah kadar air 6,00%, kadar
sari yang larut dalam air 4,47%, kadar sari yang larut dalam etanol 5,43%, kadar
abu total 10,13%, dan kadar abu tidak larut asam 7,07%. Hasil skrining fitokimia
kimia diperoleh senyawa alkaloid, steroid/triterpenoid, glikosida dan saponin.
Hasil isolasi diperoleh isolat harga Rf = 0,85 untuk fase (gerak 1) dan Rf 0,8 (fase
gerak 2). Hasil analisis isolat secara spektrofotometri UV memberikan absorbansi
maksimum pada panjang gelombang 203 nm dan hasil secara spektrofotometri IR
menunjukkan adanya gugus fungsi –OH, CH-alifatis, C=C, CH3, C=O. Isolat yang
diperoleh termasuk golongan senyawa steroid/triterpenoid.

Kata kunci : Sponge Xestospongia sp, isolasi, steroid/triterpenoid

vi
ISOLATION OF STEROIDAL/TERPENOIDAL COMPOUNDS FROM OF
SPONGE (Xeastospongia sp de Laubenfels) FROM LHOKNGA BEACH
ACEH BESAR

bABSTRACT

Sponge is one of ocean invertebrate which lives on coral reef and it has
Bioactive potential that has not been widely used in various occasion, especially
in drugs. Secondary metabolite compound that can be isolated from sponge is
Alkaloida from Xestospongia sp., Diterpenoida from Oceanapia sp.,
sesquiterpenoida from Dysidea herbaceae, isonitril and terpenoid from
Halicandria sp., and sesterterpenoid from Hyrtios erecta. Triterpenoid compound
can be used in various needs such as to treat diabetes, menstruation problem,
snakebite, skin problems, livers, malaria, infection, Analgesic and cancer. The
purpose of this research was to determine the simplex characterization,
phytochemical screening and isolating the steroidal/triterpenoidal compound of
Xestospongia sp leaves
Extraction accomplished by maceration of dried powdered plant material
with n-hexane, then the extract was fractionated preparative Thin Layer
Chromatography. The purity of isolates were confirmed by two-dimensional Thin
Layer Cromatography and the pure isolate was characterized with ultraviolet and
infrared spectrophotometric methods.
The result of simplex characterization gave water content 6.00%, water-
soluble extract 4.47%, ethanol-soluble extract 5.43%, total ash 10.13%, and acid-
insoluble ash 7.077%. The result of phytochemical screening of Xestospongia sp
leaves gave positive results for the presence of flavonoid, steroid/triterpenoid,
glycoside and saponin. Three pure isolates were obtained, with Rf = 0,8, the
measurement of uv spectrum gave maximum absorption at 203 nm. The result of
infrared spectrophotometric measurement indicated the presence of –OH, CH,
C=C, C-H3, C-O functional groups. The isolates were inferred as
steroid/triterpenoid compounds.

Keywords: Xestospongia sp, isolation, steroids / triterpenoids

vii
DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ..................................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN .................................................................. iii

KATA PENGANTAR ............................................................................. iv

ABSTRAK ............................................................................................... vi

ABSTRACT ............................................................................................. vii

DAFTAR ISI ............................................................................................ viii

DAFTAR TABEL .................................................................................... xii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xiii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xiv

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1

1.2 Perumusan Masalah ............................................................... 2

1.3 Hipotesis ................................................................................. 3

1.4 Tujuan Penelitian ................................................................... 3

1.5 Manfaat Penelitian ................................................................. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................... 5

2.1 Uraian Sponge ......................................................................... 5

2.1.1Habitat ........................................................................... 5

2.1.2Morfologi dan anatomi .................................................. 5

2.1.3Klasifikasi ...................................................................... 12

2.1.4Klasifikasi sponge.......................................................... 13

2.2 Kandungan Kimia .................................................................. 13

viii
2.2.1Alkaloid ......................................................................... 13

2.2.2Glikosida........................................................................ 14

2.2.3Saponin .......................................................................... 14

2.3.3 Steroid/triterpenoid ....................................................... 15

2.3 Ekstraksi .................................................................................. 16

2.4 Kromatografi ........................................................................... 17

2.4.1Kromatografi lapis tipis ................................................. 18

2.4.2Kromatografi preparatif ................................................. 19

2.5 Spektrofotometri ..................................................................... 20

2.5.1Spektrofotometri sinar ultraviolet (UV) ....................... 20

2.5.3 Spektrofotometri sinar inframerah (IR) ........................ 20

BAB III METODE PENELITIAN............................................................ 21

3.1 Alat-alat yang digunakan......................................................... 21

3.2 Bahan-bahan yang digunakan ................................................. 22

3.3 Pengumpulan dan Pengolahan Sponge ................................... 22

3.3.1 Pengumpulan sponge .................................................... 22

3.3.2 Identifikasi sponge ........................................................ 22

3.3.3 Pengolahan sponge ....................................................... 22

3.4 Lokasi Penelitian ..................................................................... 23

3.5 Pembuatan Larutan Pereaksi ................................................... 23

3.5.1 Larutan pereaksi asam klorida 2 N .............................. 23

3.5.2Larutan pereaksi natrium klorida 2 N ............................ 23

3.5.3Larutan pereaksi Bouchardat ......................................... 23

ix
3.5.4Larutan pereaksi Mayer .................................................. 23

3.5.5Larutan pereaksi Dragendorff ........................................ 23

3.5.6 Larutan pereaksi besi (III) klorida 1 % ...................... 24

3.5.7 Larutan pereaksi Libermann-Burchard ...................... 24

3.5.8 Larutan pereaksi Molish ............................................. 24

3.5.9 Laruran air kloroform ................................................. 24

3.5.10 Larutan kloralhidrat .................................................... 24

3.5.11 Larutan pereaksi timbal (II) asetat 0,4 N .................... 24

3.5.12 Larutan pereaksi asam sulfat 50% dalam metanol ..... 24

3.5.13 Larutan asam nitrat 0,5 N ........................................... 25

3.6 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia ...................................... 25

3.6.1 Pemeriksaan makroskopik............................................. 25

3.6.2 Pemeriksaan mikroskopik ............................................. 25

3.6.3 Penetapan kadar air ...................................................... 25

3.6.4 Penetapan kadar sari yang larut dalam air .................... 26

3.6.5 Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol .............. 26

3.6.6 Penetapan kadar abu total ............................................. 27

3.6.7 Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam ........ 27

3.7 Skrining Senyawa Kimia........................................................ 27

3.7.1 Pemeriksaan alkaloida ................................................... 28

3.7.2 Pemeriksaan flavonoid .................................................. 28

3.7.3 Pemeriksaan saponin ..................................................... 28

3.7.4 Pemeriksaan tanin ......................................................... 29

3.7.5 Pemeriksaan glikosida .................................................. 29

x
3.7.6 Pemeriksaan antrakinon ............................................... 29

3.7.7 Pemeriksaan steroid/triterpenoid .................................. 30

3.8Pembuatan Ekstrak ................................................................... 30

3.9 AnalisisEkstrak n-heksana Secara Kromatoografi KLT ....... 30

3.10 IsolasiSenyawa Streroid/triterpenoid SecaraKromatografi


Lapis Tipis Preparatif ............................................................. 31

3.11 Uji Kemurnian Terhadap Isolat ............................................. 32

3.11.1 Uji KLT satu arah ........................................................ 32

3.11.2 Uji KLT dua arah ........................................................ 32

3.12 Karakterisasi Isolat ................................................................ 32

3.12.1 Karakterisasi isolat dengan spektrofotometri UV ....... 33

3.12.2 Karakterisasi isolat dengan spektrofotometrI IR ......... 33

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 34

4.1 Hasi dan Identifikasi Sponge ............................................... 34

4.2 Hasil Pemeriksaan Kareteristik ............................................ 34

4.3 Hasil Skrining Senyawa Kimia ............................................ 35

4.4 Hasi Ekstraksi ..................................................................... 36

4.5 Hasil Isoasi Senyawa Steroid/triterpenoidSecara KLT ....... 37

4.6 Hasil Isolasi Senyawa Steroid/triterpenoid Secara KLT


Preparatif .............................................................................. 37

4.7 Hasil Uji Kemurnian Kromatografi Lapis Tipis Satu Arah . 37

4.8 Hasil Uji Kemurnia Kromatografi Lapis Tipis Dua Arah ... 38

4.9 Hasil KarakterisasiIsolat Dengan SpektrofotometriUltraviolet


(UV) ........................................................................... 39

4.10 Hasi KarakterisasiIsolatDenganSpektofotometri IR ........... 40

xi
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 40

5.1 Kesimpulan.............................................................................. 40

5.2 Saran ........................................................................................ 40

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 41

LAMPIRAN .............................................................................................. 44

xii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.1 Hasil karakterisasi simplisia dari sponge ..................................... 35

4.2 Hasil skrining fitokimia dari simplisia Xeastospongia sp


de Laubenfels ................................................................................ 36

4.3Hasil spektrofotometer inframerahdari isolat.................................. 39

xiii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Bagian organ sponge .............................................................. 7

2.2 Tipe morfologi sponge ........................................................... 8

2.3 Tipe spikula ............................................................................ 9

2.4 Megasklera ............................................................................. 10

2.5 Mikrosklera ............................................................................ 10

2.6 Megaskleras monoaxone ....................................................... 11

2.7 Megasklera tetraxon ............................................................... 11

2.8 Struktur dasar steroid ............................................................. 15

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Identifikasi sampel ........................................................................ 44

2 Gambar sponge Xestospongia sp de Laubenfels segar.................. 45

3 Gambar sponge Xeatospongia sp de Laubenfels .................... 46

4 Gambar makroskopik sponge ........................................................ 47

5 Gambar mikroskopik serbuk Simplisia ......................................... 48

6 Bagan pembuatan ekstrak n-heksana sponge ................................ 49

7 Bagan perolehan isolat .................................................................. 50

8 Hasil analisis senyawa steroid/terpenoid secara KLT ................... 51

9 Hasil isolasi senyawa steroi/triterpenoid secara KLT preparatif. 52

10 Hasil uji kemurnian KLT satu arah .............................................. 53

11 Hasil uji kemurnia KLT dua arah ................................................. 54

12 Perhitungan penetapan kadar ....................................................... 55

xv
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI STEROID/TRITERPENOID PADA
SPONGE Xestospongia sp de Laubenfels DARI
PANTAI LHOK NGA ACEH BESAR
yarat untuk memperolehgelar Sarjana
bABSTRAK

Sponge merupakan salah satu hewan invertebrata laut yang hidup pada
terumbu karang yang mempunyai potensi bioaktif yang belum banyak
dimanfaatkan dalam berbagai keperluan, terutama untuk obat-obatan. Senyawa
metabolit sekunder yang terdapat dalam sponge adalah alkaloid,
steroid/triterpenoid dan sesquiterpenoid. Senyawa steroid/triterpenoid digunakan
dalam bidang pengobatan sebagai kardiotonik, prekursor vitamin D, kontrasepsi
oral dan antiinflamasi. Steroid/triterpenoid merupakan kelompok penting dari
produk alami yang memiliki profil farmakologi yang luas, diantaranya sebagai
pengatur hormon, antioksidan, anti-asma, bronkodilator dan menormalkan darah
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakterisasi simplisia, skrining
fitokimia dan isolasi senyawa steroid/triterpenoid dari sponge Xestospongia sp de
Laubenfels.
Ekstraksi dilakukan secara maserasi menggunakan pelarut adalah n-
heksana, ekstrak diuapkan dan di analisis dengan kromatografi lapis tipis (KLT)
dengan berbagai perbandingan pengembang, dilanjutkan isolasi menggunakan
kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif. Terhadap isolat yang diperoleh
dilakukan uji kemurnian secara kromatografi lapis tipis 2 arah, selanjutnya di
karakterisasi secara spektrofotometri ultraviolet (UV) dan spektrofotometri
inframerah (IR).
Hasil karakterisasi simplisia Xestospongia adalah kadar air 6,00%, kadar
sari yang larut dalam air 4,47%, kadar sari yang larut dalam etanol 5,43%, kadar
abu total 10,13%, dan kadar abu tidak larut asam 7,07%. Hasil skrining fitokimia
kimia diperoleh senyawa alkaloid, steroid/triterpenoid, glikosida dan saponin.
Hasil isolasi diperoleh isolat harga Rf = 0,85 untuk fase (gerak 1) dan Rf 0,8 (fase
gerak 2). Hasil analisis isolat secara spektrofotometri UV memberikan absorbansi
maksimum pada panjang gelombang 203 nm dan hasil secara spektrofotometri IR
menunjukkan adanya gugus fungsi –OH, CH-alifatis, C=C, CH3, C=O. Isolat yang
diperoleh termasuk golongan senyawa steroid/triterpenoid.

Kata kunci : Sponge Xestospongia sp, isolasi, steroid/triterpenoid

vi
ISOLATION OF STEROIDAL/TERPENOIDAL COMPOUNDS FROM OF
SPONGE (Xeastospongia sp de Laubenfels) FROM LHOKNGA BEACH
ACEH BESAR

bABSTRACT

Sponge is one of ocean invertebrate which lives on coral reef and it has
Bioactive potential that has not been widely used in various occasion, especially
in drugs. Secondary metabolite compound that can be isolated from sponge is
Alkaloida from Xestospongia sp., Diterpenoida from Oceanapia sp.,
sesquiterpenoida from Dysidea herbaceae, isonitril and terpenoid from
Halicandria sp., and sesterterpenoid from Hyrtios erecta. Triterpenoid compound
can be used in various needs such as to treat diabetes, menstruation problem,
snakebite, skin problems, livers, malaria, infection, Analgesic and cancer. The
purpose of this research was to determine the simplex characterization,
phytochemical screening and isolating the steroidal/triterpenoidal compound of
Xestospongia sp leaves
Extraction accomplished by maceration of dried powdered plant material
with n-hexane, then the extract was fractionated preparative Thin Layer
Chromatography. The purity of isolates were confirmed by two-dimensional Thin
Layer Cromatography and the pure isolate was characterized with ultraviolet and
infrared spectrophotometric methods.
The result of simplex characterization gave water content 6.00%, water-
soluble extract 4.47%, ethanol-soluble extract 5.43%, total ash 10.13%, and acid-
insoluble ash 7.077%. The result of phytochemical screening of Xestospongia sp
leaves gave positive results for the presence of flavonoid, steroid/triterpenoid,
glycoside and saponin. Three pure isolates were obtained, with Rf = 0,8, the
measurement of uv spectrum gave maximum absorption at 203 nm. The result of
infrared spectrophotometric measurement indicated the presence of –OH, CH,
C=C, C-H3, C-O functional groups. The isolates were inferred as
steroid/triterpenoid compounds.

Keywords: Xestospongia sp, isolation, steroids / triterpenoids

vii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sumber daya alam

hayati laut yang besar. Salah satu sumber daya alam tersebut adalah terumbu

karang yang merupakan bagian dari ekosistem laut, dan merupakan sumber

kehidupan bagi beranekaragam biota laut. Ekosistem terumbu karang hidup

beribu-ribu jenis karang, beratus-ratus jenis ikan dan berpuluh-puluh jenis

Molusca, Crustaceae, Sponge, Alga dan biota lainnya (Amir dan Budiyanto,

1996).

Sponge merupakan salah satu hewan invertebrata laut yang hidup pada

terumbu karang yang mempunyai potensi bioaktif yang belum banyak

dimanfaatkan dalam berbagai keperluan, terutama obat-obatan. Sponge laut

tergolong kedalam Filum Porifera yang merupakan hewan multiseluler paling

sederhana dengan bentuk tubuh dan warna yang beraneka ragam (Handayani,

dkk., 2009). Penelusuran pustaka diketahui bahwa hewan laut ini mengandung

senyawa kimia dengan bioaktivitas yang beraneka ragam antara lain:

Discodermolide yang memiliki aktivitas antikanker, Manoalide yang memiliki

aktivitas antiinflamasi, Manzamine-A yang memiliki aktivitas sitotoksik (Hillisch,

2002), Spongouridin yang memiliki aktivitas antivirus dan Taraxeron yang

memiliki aktivitas antibakteri (Handayani, dkk., 2009). Senyawa metabolit

sekunder yang berhasil diisolasi dari sponge yaitu alkaloida dari Xestospongia sp.,

diterpenoida dari Oceanapia sp., seskuiterpenoid dari Dysidea herbaceae, isonitril

1
dan terpenoid dari Halicandria sp. dan seskuiterpenoid dari Hyrtios erecta (Crews

dan Hunter, 1993).

Steroid/triterpenoid memiliki aktivitas biologi antara lain untuk

peningkatan ataupun pengendalian reproduksi pada manusia contohnya estradiol,

progesteron dan testosteron. Senyawa steroid/triterpenoid digunakan dalam

bidang pengobatan sebagai kardiotonik, prekursor vitamin D, kontrasepsi oral dan

antiinflamasi (Tyler, 1984). Steroid/triterpenoid merupakan kelompok penting

dari produk alami yang memiliki profil farmakologi yang luas, diantaranya

sebagai pengatur hormon, antioksidan, anti-asma, bronkodilator dan menormalkan

tekanan darah (Okwu, 2010).

Berdasarkan uraian diatas penulis telah melakukan penelitian meliputi

karakterisasi simplisia, skrining fitokimia, analisis kromatografi lapis tipis (KLT)

serta isolat senyawa yang diperoleh di karakterisasi secara spektrofotometri

ultraviolet (UV) dan spektrofotometri infrared (IR).

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang penelitian di atas, perumusan

masalahnya sebagai berikut:

a. Apakah karakterisasi simplisia sponge Xestospongia sp de Laubenfels

memenuhi persyaratan mutu simplisia?

b. Apakah golongan senyawa kimia yang terkandung sponge Xestospongia sp de

Laubenfels?

c. Apakah senyawa steroid/triterpenoid dari sponge Xestospongia sp de

Laubenfels dapat diisolasi dan isolat yang diperoleh dapat diidentifikasi secara

secara spektrofotometri ultraviolet (UV) dan spektrofotometri infrared (IR)?

2
1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka hipotesis dari penelitian ini

sebagai berikut:

a. Karakterisasi simplisia sponge Xestospongia sp de Laubenfels memenuhi

persyaratan mutu simplisia

b. Golongan senyawa kimia dari sponge Xestospongia sp de Laubenfels adalah

alkaloid, steroid/triterpenoid, glikosida dan saponin.

c. Senyawa steroid/triterpenoid dari sponge Xestospongia sp de Laubenfels

dapat diisolasi dan isolat yang diperoleh dapat diidentifikasi dengan

spektrofotometri ultraviolet (UV) dan spektrofotometri infrared (IR).

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui karakterisasi simplisia sponge (Xestospongia sp de

Laubenfels) .

b. Untuk mengetahui golongan senyawa kimia yang terdapat didalam sponge

(Xestospongia sp de Laubenfels) .

c. Untuk mengetahui isolat yang terdapat didalam sponge (Xestospongia sp de

Laubenfels) dan mengidentifikasi isolatnya dengan spektrofotometri

ultraviolet (UV) dan spektrofotometri infrared (IR).

3
1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk menambah informasi tentang

steroid/triterpenoid pada biota laut yang diperoleh dari sponge Xestospongia sp

de Laubenfels dan pengembangan steroid/triterpenoid dalam bidang farmasi.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Sponge

2.1.1 Habitat

Habitat sponge terdapat pada daerah jernih dan menempel pada permukaan

substrat. Sponge Xestospongia sp merupakan salah satu jenis sponge yang banyak

terdapat di perairan Indonesia (Krisyunida, 2011). Habitat sponge yang melekat

pada pasir atau bebatuan menyebabkan hewan ini sulit untuk bergerak, untuk

mempertahankan diri dari serangan predator dan infeksi bakteri patogen, sponge

mengembangkan sistem “biodefense” yaitu dengan menghasilkan zat racun dari

tubuhnya, zat ini umumnya yang dimanfaatkan sebagai bahan farmasi (Murniasih,

2003). Porifera yang sudah teridentifikasi ada 10.000 spesies, sebagian besar

hidup dilaut dan hanya 159 spesies hidup di air tawar, semuanya termasuk famili

Spongilidae. Umumnya sponge terdapat di perairan jernih dangkal dan menempel

di substrat, beberapa menetap didasar perairan berpasir atau berlumpur

(Suwignyo, dkk., 2005).

2.1.2 Morfologi dan anatomi

Morfologi luar sponge laut sangat dipengaruhi oleh faktor fisik, kimiawi

dan biologis lingkungannya. Spesimen yang berada dilingkungan yang terbuka

dan berombak besar cenderung pendek pertumbuhannya atau juga merambat.

Sebaliknya spesimen dari jenis yang sama pada lingkungan yang terlindung atau

pada perairan yang lebih dalam dan beruas terang, pertumbuhannya cenderung

tegak dan tinggi. Perairan yang lebih dalam sponge cenderung memiliki tubuh

yang lebih simetris dan lebih besar sebagai akibat lingkungan dari lingkungan

5
yang lebih stabil apabila dibandingkan dengan jenis yang sama yang hidup pada

perairan yang dangkal (Suparno, 2005). Sponge adalah biota multiseluler primitif

yang bersifat filter feeder menghisap air dan bahan-bahan lain di sekelilingnya

melalui pori-pori kemudian dialirkan ke seluruh bagian tubuhnya melalui kanal

dan dikeluarkan melalui pori-pori yang terbuka (ostula/osculum) (Vacelet, 2008).

Hewan ini dapat hidup dengan baik pada arus air yang kuat, karena aliran

air “filter feeder” menyediakan kumpulan makanannya dan oksigen. Makanan

sponge terdiri dari detritus organik seperti bakteri, zooplankton dan phytoplankton

yang kecil-kecil yang mana secara efektif ditangkap oleh sel-sel berbulu

cambuknya. Sponge dapat menyaring partikel yang sangat kecil (diameter <

50μm) yang tidak tersaring oleh hewan-hewan laut lainnya (Amir dan Budiyanto,

1996).

Sponge memiliki warna yang berbeda walaupun dalam satu jenis,

beberapa sponge juga memiliki warna dalam tubuh yang berbeda dengan

pigmentasi luar tubuhnya. Sponge yang hidup di lingkungan yang gelap akan

berbeda warnanya dengan sponge sejenis yang hidup pada lingkungan yang cerah.

Warna sponge tersebut sebagian dipengaruhi oleh fotosintesa mikrosimbionnya

(misalnya berwarna ungu dan merah jambu). Mikrosimbion sponge umumnya

adalah cyanophita (cyanobacteria dan eukariot alga seperti dinoflagella atau

zooxanthella) (Amir dan Budiyanto, 1996). Ukuran tubuh porifera sangat

bervariasi dari sebesar kacang polong sampai 90 cm, bentuk tubuh sponge juga

bermacam-macam, beberapa simetri radikal, tetapi kebanyakan berbentuk tidak

beraturan dengan pola bervariasi.

6
Pada dasarnya dinding tubuh porifera terdiri atas tiga lapisan, (Suwignyo, dkk.,

2005) yaitu:

a) Pinococyte atau Pinacoderm, seperti epidermis berfungsi untuk melindungi

tubuh bagian dalam. Bagian sel pinacocyte dapat berkontraksi atau berkerut,

sehingga seluruh tubuh hewan dapat sedikit membesar atau mengecil.

b) Mesohyl atau Mesoglea, terdiri dari zat semacam agar, mengandung bahan

tulang dan sel amebocyte yang mempunyai banyak fungsi, antara lain untuk

pengangkut dan cadangan makanan, membuang partikel sisa metabolisme,

membuat spikula, serat sponge dan membuat sel reproduktif.

c) Choanocyte, yang melapisi rongga atrium atau spongocoel. Bentuk choanocyte

agak lonjong, ujung yang satu melekat pada mesohyl dan ujung yang lain

berada di spongocoel serta dilengkapi sebuah flagelum yang dikelilingi

kelopak dari fibril. Getaran flagel pada lapisan choanocyte menghasilkan arus

air di dalam spongocoel ke arah osculum, sedangkan fibril berfungsi sebagai

alat penangkap makanan. Gambar organ sponge dapat dilihat pada Gambar 2.1

Gambar 2.1. Bagian organ sponge


Sumber : (Vacelet, 2008)

7
Berdasarkan sistem aliran air (bukan secara taksonomi), bentuk tubuh

porifera dibagi menjadi tiga tipe, (Suwignyo, dkk., 2005) yaitu:

1. Asconoid

Asconoid merupakan bentuk yang paling primitif, menyerupai vas bunga

atau jambangan kecil. Pori-pori atau lubang merupakan saluran pada sel porocyte

yang berbentuk tabung, memanjang dari permukaan tubuh sampai spongocoel

2. Syconoid

Sponge memperlihatkan lipatan-lipatan dinding tubuh secara horizontal,

sehingga potongan melintangnya seperti jari-jari

3. Leuconoid

Tingkat pelipatan dinding spongocoel paling tinggi terdapat pada

leuconoid. Gambar tipe morfologi sponge dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Tipe morfologi sponge


Sumber : (Haris, dkk., 2012)
Keterangan: a. Tipe Asconoid, b. Tipe Syconoid, c. Tipe Leuconoid

8
Spikula ibarat ‘rangka’ bagi tubuh sponge. Tulang yang berukuran kecil

dan tajam, dapat dilihat dengan mata telanjang dan mikroskop. Tubuh sponge

yang lunak dapat berdiri karena ditunjang oleh sejumlah besar spikula serta serat

organik yang berfungsi sebagai kerangka. Spikula kapur dari CaCO3 dan spikula

silikat H2SiO7. Bentuk spikula bermacam–macam, sehingga dipakai sebagai

indikator untuk identifikasi. Gambar tipe spikula dapat dilihat pada gambar 2.3

Gambar 2.3. Tipe spikula


Sumber : Vacelet, 2008

Megasklera adalah komponen dari kerangka primer yang berperan untuk

membentuk sponge dan perkembangan sub struktur internal. Mikrosklera tidak

berfungsi seperti peranan megasklera, tetapi membentuk kelompok antara

kumpulan megasklera atau tersebar pada permukaan atau membran internal.

Ukuran, bentuk dan susunan dari masing-masing spikula yang dikandung oleh

hewan sponge sangat berguna untuk menentukan klasifikasinya (Amir dan

9
Budiyanto, 1996). Gambar megasklera dapat dilihat pada gambar 2.4 dan gambar

mikrosklera dapat dilihat pada Gambar 2.5

Gambar 2.4. Megasklera


Sumber : Haris, dkk., 2012.

Gambar 2.5 Mikrosklera (Haris, et al., 2012).


Sumber : Haris, dkk., 2012

Tipe megasklera dapat dibagi menjadi monoaxons, triaxons, tetraxons dan

polyaxons. Monaxon berbentuk seperti jarum, lurus atau melengkung.Triaxons

10
mempuyai tiga percabangan. Tetraxon berbentuk empat percabangan. Polyaxon

berbentuk banyak percabangan memijar dari satu pusat.

Gambar megasklera monoaxon dapat dilihat pada Gambar 2.6 dan Gambar

2.7.

Gambar 2.6 Megasklera monoaxon


Sumber : (Walker, 1932)
Keterangan: a. fusiform oxea, b. Hastate oxea, c. Strongyloxea, d. Strongyle, e.
Tylote, f. Centrotylote oxea, g. Hastate style, h. Fusiform style, i.
Styloid, j. Tylostyle, k. Subtylostyle.
.

Gambar 2.7 Megasklera Tetraxon (triaene)


Sumber : Walker, 1932
Keterangan: a. bentuk Calthrope dengan ujungnya yang pendek, b. Plagiotriaene,
c. Anatriaene, d. Protriaene, e. Mesoprotriaene, f. Prodiaene, g.
Promonaene, h. Orthotriaene, i. Dichotriaene.

11
Hewan avertebrata laut lainnya seperti pada karang, sponge juga tidak

memiliki ciri seksual sekunder yang dapat digunakan untuk menentukan jenis

seksualitasnya oleh karena itu, satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk

pengamatan tersebut adalah pengamatan histologik pada jaringannya. Seksualitas

pada sponge dapat dikelompokkan atas dua yaitu:

1) Hermaprodit, yaitu jenis sponge yang menghasilkan baik gamet jantan atau

betina selama hidupnya, tetapi menghasilkan telur dan sperma dalam waktu

yang berbeda.

2) Gonokhorik, yaitu jenis sponge yang memproduksi hanya gamet jantan atau

betina saja selama hidupnya (Haris, dkk., 2012).

2.1.3 Klasifikasi

Filum Porifera yang dibagi dalam 3 kelas (Amir dan Budiyanto, 1996):

1. Kelas Hexactinellida

Hexactinellida merupakan sponge gelas dengan spikula yang terdiri dari

silikat dan tidak mengandung spongin. Spikulanya berbentuk bidang "triaxon",

dimana masing-masing bidang terdapat dua jari-jari. Sponge dari kelas ini belum

banyak dikenal, karena sulit mendapatkan dan hanya terdapat di laut dalam (< 500

meter).

2. Kelas Calcarea

Spikula sponge ini tersusun dari kalsium karbonat dan tidak mengandung

spongin. Sebagian besar sponge dari kelas ini bentuknya kecil-kecil dan berwarna

putih keabu-abuan dan ada beberapa jenis berwana kuning, pink, atau hijau.

Elemen kerangka dari kelas Calcarea berbentuk spikula "triaxon" dan tidak ada

perbedaan antara Megasklera dan Mikrosklera. Beberapa jenis sponge ini yang

12
umum adalah Sycon gelatinosum (berbentuk silinder berwarna coklat muda),

Clathrina sp. dan Leucetta sp.

3. Kelas Demospongiae

Hampir 75% jenis sponge yang dijumpai di laut adalah dari kelas

Demospongiae. Sponge dari kelas ini tidak memiliki spikula "triaxon" (spikula

kelas Hexactinellidae). Beberapa jenis sponge kelas ini ada yang tidak

mengandung spikula tetapi hanya mengandung serat-serat kolagen atau spongin

saja.

2.1.4 Klasifikasi sponge

Klasifikasi hewan sponge menurut ITS (2014) dan Walker (1932) adalah

sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Porifera

Kelas : Demospongiae

Ordo : Haploscleridae

Sub ordo : Petrosina

Famili : Petrosidae

Genus : Xestospongia

Spesies : Xestospongia sp de Laubenfels

2.2 Kandungan Kimia

2.2.1 Alkaloid

Alkaloida merupakan golongan zat sekunder yang terbesar. Alkaloida

mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen,

13
biasanya sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloida mempunyai aktivitas

fisiologi yang menonjol, sehingga banyak diantaranya digunakan dalam bidang

pengobatan (Harborne, 1987).

2.2.2 Glikosida

Glikosida adalah suatu golongan senyawa bila dihidrolisis akan terurai

menjadi gula (glikon) dan senyawa lain (aglikon atau genin). Umumnya glikosida

mudah terhidrolisis oleh asam mineral atau enzim. Hidrolisis oleh asam

memerlukan panas, sedangkan hidrolisis oleh enzim tidak memerlukan panas

(Sirait, 2007).

Berdasarkan ikatan antara glikon dan aglikon, glikosida dapat dibedakan

menjadi:

a. Tipe O-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan

O. Mayoritas glikosida termasuk ke dalam kelompok ini.

b. Tipe C-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan

C, yakni gula melekat pada aglikon melalui ikatan karbon-karbon.

c. Tipe S-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan

S. Contoh: sinigrin yang termasuk ke dalam glikosida glukosinolat dari

tumbuhan dari tumbuhan Brassicaceae.

d. Tipe N-glikosida, ikatan antara bagian dari glikon dengan aglikon melalui

jembatan N. Contoh: nikleosidin, kronotosidin.

2.2.3 Saponin

Saponin tersebar luas diantara tanaman tingkat tinggi. Saponin merupakan

senyawa berasa pahit, menusuk, menyebabkan bersin dan mengakibatkan iritasi

terhadap selaput lendir. Saponin mula-mula diberi nama demikian karena sifatnya

14
yang menyerupai sabun (bahasa Latin sapo berarti sabun). Saponin adalah

senyawa aktif permukaan yang kuat dan menimbulkan busa jika dikocok dalam

air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah

merah. Saponin sangat beracun dalam larutan yang sangat encer, untuk ikan dan

tumbuhan yang mengandung saponin telah digunakan oleh penduduk sebagai

racun ikan selama beratus-ratus tahun. Beberapa saponin bekerja sebagai

antimikroba (Robinson, 1995).

2.2.4 Steroid/triterpenoid

Steroid adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin

siklopentana perhidropenantren (Harbone, 1987). Triterpenoid adalah senyawa

yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis

masuk jalur asam mevalonat yang diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu

skualena. Uji yang banyak digunakan ialah reaksi Liebermann-Burchard yang

dengan kebanyakan triterpen dan sterol memberikan warna hijau-biru (Harborne,

1987). Steroid pada umumnya berupa alkohol dengan gugus hidroksil pada C3

sehingga steroid sering juga disebut sterol (Robinson, 1995). Gambar struktur

dasar dapat dilihat pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8 Struktur Dasar Steroid


Sumber : Robinson, 1995

15
2.3 Ekstraksi

Ekstraksi adalah penyarian komponen aktif dari suatu jaringan tumbuhan

atau hewan dengan menggunakan pelarut yang cocok (Handa, 2008). Beberapa

metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut (Depkes, 2000) yaitu:

A. Cara dingin

1. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan

pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur

kamar. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus

menerus). Remaserasi berarti dilakukan penyaringan berulang dan seterusnya

2. Perkolasi

Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu

baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses

perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap

perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai

diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1–5 kali bahan Cara panas

3. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut pada temperatur

titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif

konstan dengan adanya pendingin balik.

4. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada

temperatur lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum

dilakukan pada temperatur 40–50oC.

16
5. Sokletasi

Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan alat soklet dengan

pelarut yang selalu baru sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut

yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

6. Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air

(bejana infus tercelup dalam penangas mendidih, temperatur terukur 96–98oC)

selama waktu tertentu (15–20 menit).

7. Dekok

≥ 30
Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama ( menit) dan

temperatur sampai titik didih air

2.4 Kromatografi

Kromatografi adalah suatu metode pemisahan berdasarkan perbedaan

perpindahan dari komponen-komponen senyawa di antara dua fase yaitu fase

diam (dapat berupa zat cair atau zat padat) dan fase gerak (dapat berupa gas atau

zat cair). Kromatografi serapan dikenal jika fase diam berupa zat, jika zat cair

dikenal sebagai kromatografi partisi (Sastrohamidjojo, 1985).

1. Fase gerak zat cair–fase diam padat:

- Kromatografi lapis tipis

- Kromatografi penukar ion

2. Fase gerak gas–fase diam padat:

- Kromatografi gas padat

3. Fase gerak zat cair–fase diam zat cair:

17
- Kromatografi cair kinerja tinggi

4. Fase gerak gas–fase diam zat cair:

- Kromatografi gas cair

- Kromatografi kolom kapiler

Pemisahan dan pemurnian kandungan tumbuhan dilakukan dengan

menggunakan salah satu atau gabungan dari beberapa teknik tersebut dan dapat

digunakan pada skala mikro maupun makro (Harborne, 1987).

2.4.1 Kromatografi lapis tipis

Kromatografi lapis tipis ialah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan

pemisah terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga

berupa plat gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah

berupa larutan yang di totolkan baik berupa bercak ataupun pita. Plat atau lapisan

dimasukkan ke dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang

cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan)

(Stahl, 1985). Fase gerak akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh

kapiler pada pengembangan secara menaik (ascending) atau karena pengaruh

gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending) (Rohman, 2007).

Pendeteksian bercak hasil pemisahan dapat dilakukan dengan beberapa

cara. Pengamatan dengan sinar ultraviolet adalah cara sederhana yang dilakukan

untuk senyawa tak berwarna. Beberapa senyawa organik bersinar atau

berfluorosensi jika disinari dengan sinar ultraviolet gelombang pendek (254 nm)

atau gelombang panjang (366 nm). Jika dengan cara itu senyawa tidak dapat

dideteksi maka harus dicoba dengan penyemprotan pereaksi yang membuat

18
bercak tersebut tampak yaitu pertama tanpa pemanasan, kemudian bila perlu

dengan pemanasan (Rohman, 2007).

2.4.2 Kromatografi preparatif

Kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif merupakan salah satu metode

pemisahan dengan menggunakan peralatan sederhana. Ketebalan penjerap yang

sering dipakai adalah 0,5-2 mm. Plat kromatografi biasanya berukuran 20 x 20

cm. Pembatasan ketebalan lapisan dan ukuran plat sudah tentu mengurangi jumlah

bahan yang dapat dipisahkan dengan KLT preparatif. Penjerap yang paling umum

digunakan adalah silika gel. Penotolan cuplikan dilakukan dengan melarutkan

cuplikan dalam sedikit pelarut. Cuplikan ditotolkan berupa pita dengan jarak

sesempit mungkin karena pemisahan tergantung pada lebar pita. Penotolan dapat

dilakukan dengan pipet tetapi lebih baik dengan penotol otomatis. Pengembangan

plat KLT preparatif dilakukan dalam bejana kaca yang dapat menampung

beberapa plat. Bejana dijaga tetap jenuh dengan pelarut pengembang dengan

bantuan kertas saring yang diletakkan berdiri disekeliling permukaan bagian

dalam bejana (Hostettmann, et al., 1995).

2.5 Spektrofotometri

2.5.1 Spektrofotometri sinar ultraviolet (UV)

Spektrum ultraviolet adalah suatu gambaran yang menyatakan hubungan

antara panjang gelombang atau frekuensi sinar UV terhadap intensitas serapan

(absorbansi). Sinar ultraviolet mempunyai panjang gelombang antara 200-400 nm.

Serapan cahaya oleh molekul dalam daerah spektrum ultraviolet tergantung pada

struktur elektronik dari molekul yang bersangkutan (Sastrohamidjojo, 1985).

19
Suatu atom atau molekul menyerap sinar UV maka energi tersebut akan

menyebabkan tereksitasinya elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang

lebih tinggi. Tipe eksitasi tergantung panjang gelombang cahaya yang diserap.

Gugus kromofor disebut juga gugus yang dapat mengabsorpsi cahaya

(Dachriyanus, 2004).

2.5.2 Spektrofotometri sinar inframerah (IR)

Spektrofotometri inframerah pada umumnya digunakan untuk:

1. Menentukan gugus fungsi suatu senyawa organik

2. Mengetahui informasi struktur suatu senyawa organik dengan membandingkan

daerah sidik jarinya.

Pengukuran pada spektrum infrared dilakukan pada daerah cahaya infrared

tengah (mid-infrared) yaitu pada panjang gelombang 2.5–50 �m atau bilangan

gelombang 4000–200 cm-1. Energi yang dihasilkan oleh radiasi ini akan

menyebabkan vibrasi atau getaran pada molekul. Pita absorpsi sinar infrared

sangat khas dan spesifik untuk setiap tipe ikatan kimia atau gugus fungsi

(Dachriyanus, 2004).

Jenis absorpsi energi yang lain, molekul-molekul dieksitasikan ke tingkat

energi yang lebih tinggi ketika molekul-molekul ini menyerap radiasi infrared.

Hanya frekuensi (energi) tertentu dari radiasi infrared yang dapat diserap oleh

suatu molekul, agar molekul dapat menyerap radiasi infrared, maka molekul

tersebut harus mempunyai gambaran spesifik, yakni momen dipol molekul harus

berubah selama vibrasi (Gandjar dan Rohman, 2012).

20
BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif meliputi pengumpulan

dan pengolahan sponge, pemeriksaan karakteristik, pembuatan ekstrak, analisis

senyawa metabolit sekunder secara kromatografi lapis tipis (KLT) dan

kromatrografi lapis tipis preparatif. Terhadap isolat yang diperoleh dilakukan uji

kemurnian LKT satu arah dan KLT dua arah, dilanjutkan dengan karekterisasi

secara UV dan IR

3.1 Alat-alat yang digunakan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanur (Nabertherm),

seperangkat alat destilasi, seperangkat alat penetapan kadar air, oven listrik

(Stork), mikroskop (Olympus), eksikator, neraca analitik (Vibra AJ), penangas

air, lemari pengering dan alat-alat gelas Laboratorium.

3.2 Bahan-bahan yang digunakan

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sponge dan air

suling dan bahan-bahan kimia yang digunakan kecuali dinyatakan lain berkualitas

pro analisis yaitu etil asetat, asam asetat anhidrida, asam sulfat pekat, kloroform,

toluen, timbal (II) asetat, amil alkohol, metanol, natrium hidroksida, asam klorida

pekat, serbuk magnesium, serbuk seng, kloralhidrat, isopropanol, natrium sulfat

anhidrida, α-naftol, amonia pekat, besi (III) klorida, iodium, raksa (II) klorida,

kalium iodida, bismut (III) nitrat dan asam nitrat pekat, n-heksana (destilasi),

etanol.

21
3.3 Pengumpulan dan Pengolahan Sponge

3.3.1 Pengumpulan sponge

Pengumpulan sponge dilakukan dengan cara purposif yaitu tanpa

membandingkan dengan hewan serupa dari daerah lain. Sponge yang digunakan

adalah Sponge jenis Xestospongia sp de Laubenfels yang diambil dari Pantai

Lhoknga Aceh Besar. Gambar sponge Xestospongia sp de Laubenfels segar dapat

dilihat pada Lampiran 2 halaman 46.

3.3.2 Identifikasi sponge

Identifikasi sponge di Laboratorium Ekologi Prodi Biologi FMIPA-Institut

Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya. Hasil dilihat pada Lampiran 1

halaman 45.

3.3.3 Pengolahan sponge

Sponge yang telah dikumpulkan, didisortasi basah yaitu memisahkan

sponge dari kotoran-kotoran atau bahan asing lainnya, kemudian sponge yang

telah terkumpul dicuci untuk menghilangkan pengotor yang melekat. Pencucian

dilakukan dengan air mengalir, ditiriskan, dikeringkan dengan cara diangin-

anginkan (terlindung dari sinar matahari langsung) lalu ditimbang (berat basah).

Dikecilkan ukuranya, kemudian dimasukkan ke dalam lemari pengering dengan

suhu 40-50oC. Simplisia yang telah kering disortasi kering yaitu memisahkan

benda-benda asing seperti pengotoran-pengotoran lain yang terjadi selama

pengeringan. Simplisia ditimbang (berat kering), kemudian diserbuk dengan

menggunakan blender. Serbuk simplisia disimpan dalam kantung plastik untuk

mencegah pengaruh lembab dan pengotoran lainnya. Gambar serbuk sponge

Xestospongia sp de Laubenfels dapat dilihat pada Lampiran 3 halaman 47.

22
3.4 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Fitokimia Fakultas Farmasi
Unversitas Sumatera Utara Medan.

3.5 Pembuatan Larutan Pereaksi

3.5.1 Larutan pereaksi asam klorida 2 N

Sebanyak 17 ml asam klorida pekat diencerkan dengan air suling hingga

100 ml (Ditjen POM, 1979).

3.5.2 Larutan pereaksi natrium hidroksida 2 N

Sebanyak 8,002 g natrium hidroksida dilarutkan dalam air suling bebas

karbondioksida hingga 100 ml (Ditjen POM, 1979).

3.5.3 Larutan pereaksi Bouchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air

suling, ditambahkan iodium sebanyak 2 g dan dicukupkan dengan air suling

hingga 100 ml (Ditjen POM, 1979).

3.5.4 Larutan pereaksi Mayer

Larutan raksa (II) klorida P 2,27% b/v sebanyak 60 ml dicampur dengan

10 ml larutan kalium iodida P 50% b/v, kemudian ditambahkan air secukupnya

hingga 100 ml (Ditjen POM, 1979).

3.5.5 Larutan pereaksi Dragendorff

Larutan bismut nitrat P 40% b/v dalam asam nitrat P sebanyak 20 ml

dicampur dengan 50 ml kalium iodida P 54,4% b/v, didiamkan sampai memisah

sempurna. Lalu diambil lapisan jernih dan diencerkan dengan air secukupnya

hingga 100 ml (Ditjen POM, 1979).

23
3.5.6 Larutan pereaksi besi (III) klorida 1%

Sebanyak 1 g besi (III) klorida dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml

(Ditjen POM, 1979).

3.5.7 Larutan pereaksi Liebermann-Burchard

Sebanyak 20 bagian asam asetat anhidrat dicampurkan dengan 1 bagian

asam sulfat pekat. Larutan penyemprotnya dibuat dengan 20 bagian asam asetat

anhidrida dengan 1 bagian asam sulfat pekat dan 50 bagian kloroform. Larutan

penyemprot ini harus dibuat baru (Harborne, 1987).

3.5.8 Larutan pereaksi Molisch

Sebanyak 3 g α-naftol dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N hingga diperoleh

volume 100 ml (Ditjen POM, 1979).

3.5.9 Larutan air kloroform

Sebanyak 2,5 ml kloroform dikocok dengan 900 ml air suling, encerkan

dengan air suling hingga 1000 ml (Ditjen POM, 1995).

3.5.10 Larutan kloralhidrat

Sebanyak 50 gram kloralhidrat ditimbang dan dilarutkan dalam 20 ml air

suling (Ditjen POM, 1979).

3.5.11 Larutan pereaksi timbal (II) asetat 0,4 N

Sebanyak 15,17 gram timbal (II) asetat dilarutkan dalam air suling bebas

karbondioksida secukupnya hingga 100 ml (Ditjen POM, 1979).

3.5.12 Pereaksi asam sulfat 50% dalam metanol

Sebanyak 5 ml asam sulfat pekat ditambahkan hati-hati kepada 5 ml

metanol (Ditjen POM, 1979).

24
3.5.13 Pereaksi asam nitrat 0,5 N

Sebanyak 3,4 ml asam nitrat pekat diencerkan dengan air suling hingga

volume 100 ml (Ditjen POM, 1979).

3.6 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia

Pemeriksaan karakteristik simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik

dan mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari yang larut dalam air,

penetapan kadar sari yang larut dalam etanol, penetapan kadar abu total, dan

penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam.

3.6.1 Pemeriksaan makroskopik

Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan mengamati bentuk, warna,

dan bau. Hasil dilihat pada Lampiran 4 halaman 48.

3.6.2 Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia dengan

cara menaburkan serbuk simplisia di atas kaca objek yang telah ditetesi dengan

kloralhidrat dan ditutupi dengan cover glass (kaca penutup) kemudian dilihat di

bawah mikroskop. Hasil dilihat pada Lampiran 5 halaman 49.

3.6.3 Penetapan kadar air

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi toluen)

(Depkes, 1995).

Cara kerja :

1. Penjenuhan toluen

25
Sebanyak 200 ml toluen dan 2 ml air suling dimasukkan ke dalam labu

alas bulat, didestilasi selama 2 jam. Kemudian toluen didinginkan selama 30

menit dan volume air pada tabung penerima dibaca dengan 0,05 ml.

2. Penetapan kadar air simplisia

Sebanyak 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama dimasukkan

ke dalam labu yang berisi toluen tersebut, lalu dipanaskan hati-hati selama 15

menit. Setelah toluen mendidih, kecepatan tetesan diatur lebih kurang 2 tetesan

perdetik, sampai sebagian air terdestilasi, kemudian kecepatan destilasi dinaikkan

hingga 4 tetes perdetik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin

dibilas dengan toluen. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung

penerima dibiarkan dingin sampai suhu kamar. Setelah air dan toluen memisah

sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air

dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa.

3.6.4 Penetapan kadar sari yang larut dalam air

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara dimaserasi selama 24

jam dengan 100 ml air-kloroform dalam labu bersumbat sambil berkali-kali

dikocok selama 6 jam pertama kemudian dibiarkan selama 18 jam lalu disaring.

Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan hingga kering dalam cawan penguap berdasar rata

yang telah ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar sari

larut dalam air dihitung dengan persen terhadap bahan yang telah kering (Depkes,

1995).

3.6.5 Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara dimaserasi selama 24

jam dengan 100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok selama 18

26
jam. Kemudian disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol 96%,

sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan penguap berdasar

rata yang telah ditara dan sisanya dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot

tetap. Kadar sari larut dalam etanol dihitung dalam persen terhadap bahan yang

telah kering (Depkes, 1995).

3.6.6 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama

dimasukkan ke dalam cawan porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian

diratakan. Krus dipijar perlahan- lahan sampai arang habis, pemijaran dilakukan

pada suhu 500-600 oC selama 3 jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai

diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah kering

(Depkes, 1995).

3.6.7 Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam

Abu yang telah diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25

ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam

dikumpulkan, disaring melalui kertas saring dipijarkan sampai bobot tetap,

kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam

dihitung terhadap bahan yang kering (Depkes, 1995).

3.7 Skrining Senyawa Kimia

Skrining senyawa kimia serbuk simplisia meliputi pemeriksaan senyawa

gologan alkaloid, flavonoida, glikosida, glikosida antrakinon, saponin, tanin dan

steroid/triterpenoida (Farnsworth, 1996). Skrining senyawa kimia ekstrak n-

27
heksana dilakukan dengan cara yang sama dengan skrining fsenyawa kimia

serbuk simplisia.

3.7.1 Pemeriksaan alkaloida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g, kemudian ditambah 1 ml asam

klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit,

didinginkan dan disaring. Filtrat dipakai untuk percobaan berikut :

a. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Mayer, akan

terbentuk endapan menggumpal berwarna putih atau kuning bila terdapat

alkaloida.

b. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Bouchardat,

akan terbentuk endapan berwarna coklat sampai hitam bila terdapat alkaloida.

c. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes pereaksi Dragendorf akan

terbentuk warna merah atau jingga bila terdapat alkaloida.

3.7.2 Pemeriksaan flavonoida

Sebanyak 10 g serbuk simplisia ditambah 100 ml air panas, dididihkan

selama 5 menit dan saring dalam keadaan panas. Kedalam 5 ml filtrat

ditambahkan serbuk magnesium, 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil alkohol,

dikocok kuat dan dibiarkan memisah. Flavonoida ditunjukkan dengan timbulnya

warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol.

3.7.3 Pemeriksaan saponin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia, dimasukkan ke dalam tabung reaksi,

ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan kemudian dikocok selama 10 detik.

Jika terbentuk busa setinggi 1 sampai 10 cm yang stabil tidak kurang dari 10

menit dan tidak hilang dengan penambahan asam klorida 2 N bila adanya saponin.

28
3.7.4 Pemeriksaan tanin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia, disari dengan 10 ml air suling lalu

disaring, filtratnya diencerkan dengan air sampai tidak berwarna. Larutan diambil

sebanyak 2 ml dan ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%. Jika

terjadi warna biru atau hijau kehitaman bila adanya tanin.

3.7.5 Pemeriksaan glikosida

Sebanyak 3 g serbuk simplisia disari dengan 30 ml campuran etanol 95%

dengan air (7:3) dan 10 ml asam sulfat 2 N, direfluks selama 1 jam, didinginkan

dan disaring. Pada 20 ml filtrat ditambahkan 25 ml air dan 25 ml timbal asetat 0,4

M, dikocok, diamkan 5 menit lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran

isopropanol dan kloroform (2:3), dilakukan sebanyak 3 kali. Kumpulan sari air

diuapkan pada temperatur tidak lebih dari 50oC. Sisanya dilarutkan dalam 2 ml

metanol. Larutan sisa dimasukkan dalam tabung reaksi selanjutnya, diuapkan di

atas penangas air, pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes pereaksi Molisch.

Tambahkan hati- hati 2 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung, terbentuknya

cincin ungu pada batas kedua cairan bila adanya gula.

3.7.6 Pemeriksaan antrakinon

Sebanyak 0,2 g serbuk simplisia dicampur dengan 5 ml asam sulfat 2 N,

dipanaskan sebentar, lalu didinginkan, ditambahkan 10 ml benzena, dikocok,

didiamkan. Lapisan benzena dipisahkan dan disaring. Kocok lapisan benzena

dengan 2 ml NaOH 2 N, diamkan. Lapisan air berwarna merah dan lapisan

benzena tidak berwarna bila adanya glikosida antrakinon.

3.7.7 Pemeriksaan steroida/triterpenoida

Sebanyak 1 g serbuk simplisia dimaserasi dengan 20 ml n-heksana selama

29
2 jam, disaring, filtrat diuapkan dalam cawan penguap dan pada sisanya

ditambahkan 2 tetes Liebermann-Burchard. Apabila terbentuk warna ungu atau

merah berubah menjadi ungu atau biru hijau bila adanya steroida/triterpenoida.

3.8 Pembuatan Ekstrak

Cara kerja :

Sejumlah 500 gram serbuk simplisia dimasukkan ke dalam wadah

bertutup, dituangkan 75 bagian n-heksan, ditutup, dibiarkan selama 5 hari

terlindung dari cahaya sambil sering-sering diaduk, diserkai, diperas, ampas

dicuci dengan n-heksan hingga diperoleh 100 bagian penyari, dipindahkan ke

dalam bejana tertutup, dibiarkan di tempat sejuk, terlindungi cahaya selama 2 hari.

Dienaptuangkan atau disaring, kemudian dipekatkan dengan rotary evaporator

pada suhu 40-50oC sampai diperoleh ekstrak kental. Bagan pembuatan ekstrak n-

heksan sponge dapat dilihat pada Lampiran 6 halaman 50.

3.9 Analisis Ekstrak n-heksana secara Kromatografi Lapis Tipis

Ekstrak dianalisis secara KLT menggunakan fase diam silika gel GF 254

dengan fase gerak campuran (n-heksana-etil asetat) dengan perbandingan (90:10),

(80:20), (70:30), (60:40) dan (50:50). Sebagai penampak bercak digunakan

pereaksi Liebermann–Burchard.

Cara kerja :

Ekstrak ditotolkan pada plat lapis tipis, kemudian dimasukkan ke dalam

chamber yang telah jenuh dengan uap fase gerak. Setelah pengembangan selesai

plat dikeluarkan dan dikeringkan, plat disemprot dengan penampak bercak dan

30
dipanaskan dalam oven pada suhu 110 0C selama 5 menit lalu diamati perubahan

warna yang terjadi. Bagan perolehan isolat dari ekstrak sponge dapat dilihat pada

Lampiran 7 halaman 51 dan hasil analisis ekstrak n-heksana secara KLT dapat

dillihat pada Lampiran 8 halaman 52.

3.10 Isolasi Senyawa Steroid/triterpenoid secara Kromatografi Lapis Tipis


Preparatif

Hasil yang menunjukan fase terbaik digunakan untuk pengembang pada

KLT Preparatif sebagai penampak bercak digunakan pereaksi Liebermann-

Burchard dan sebagai fase gerak digunakan n-heksana-etilasetat (70:30) dan fase

diam silika gel GF 254.

Cara kerja:

Ekstrak n-heksana ditotolkan seperti pita pada jarak 2 cm dari tepi bawah

plat KLT berukuran 20 x 10 cm yang telah diaktifkan, setelah kering plat KLT

dimasukkan ke dalam bejana yang telah jenuh dengan uap, fase gerak,

pengembang dibiarkan naik membawa komponen yang ada, setelah mencapai

batas pengembangan plat dikeluarkan dari bejana lalu dikeringkan. Bagian tengah

plat ditutup dengan kaca yang bersih sedangkan pada sisi kanan dan kiri plat

disemprot dengan penampak bercak Liebermann-Burchard. Bagian tengah plat

yang sejajar dengan bercak berwarna ungu dikerok dan dikumpulkan, direndam

dengan metanol satu malam lalu disaring kemudian pelarutnya diuapkan,

kemudian dilakukan uji kemurnian dengan KLT terhadap isolat yang diperoleh

(Hostettmann, 1995). Hasil isolasi senyawa steroid/triterpenoid secara KLT

preparatif dapat dilihat pada Lampiran 9 halaman 53.

31
3.11 Uji Kemurnian Terhadap Isolat

3.11.1 Uji kromatografi lapis tipis satu arah

Uji kemurnian isolat dilakukan dengan KLT menggunakan fase gerak n-

heksana-etilasetat (70:30).

Cara kerja:

Isolat ditotolkan pada plat lapis tipis, lalu dimasukan ke dalam chamber

yang telah jenuh dengan uap fase gerak. Setelah pengembangan selesai plat

dikeluarkan dan dikeringkan, plat disemprot dengan penampak bercak

Liebermann-Burchard dan dipanaskan di oven pada suhu 110 oC (Gritter, 1991).

Hasil uji KLT satu arah dapat dilihat pada Lampiran 10 halaman 54.

3.11.2 Uji kromatografi lapis tipis dua arah

Terhadap isolat hasil isolasi dilakukan KLT 2 arah menggunakan fase

gerak n-heksana-etilasetat (70:30) dan toluen-etilasetat (80:20).

Cara kerja:

Isolat ditotolkan pada plat pra lapis silika gel GF254 ukuran 20x20 lalu

dikembangkan memakai fase gerak I yaitu n-heksana-etilasetat (70:30), hingga

mencapai batas pengembangan, kemudian plat dikeluarkan dari dalam bejana dan

dikeringkan, setelah plat kering dikembangkan kembali dengan arah yang berbeda

90 oC memakai fase gerak II yaitu toluen-etilasetat (80:20) disemprot dengan

memakai penampak bercak Liebermann-Burchard, setelah itu plat dipanaskan

pada suhu 110 oC selama 10 menit lalu ditandai bercak yang terbentuk (Gandjar

dan Rohman, 2012). Hasil uji KLT dua arah dapat dilihat pada lampiran 11

halaman 54.

32
3.12 Karakterisasi Isolat

Karakterisasi isolat dengan spektrofotometri ultraviolet dan

spektrofotometri inframerah dilakukan di Laboratorium Penelitian Fakultas

Farmasi USU Medan.

3.12.1 Karakterisasi isolat dengan spektrofotometri ultraviolet (UV)

Cara kerja:

Isolat hasil isolasi dilarutkan dalam pelarut metanol, kemudian

dimasukkan kedalam kuvet yang telah dibilas dengan metanol, selanjutnya

absorbansi larutan sampel diukur pada panjang gelombang 200-400 nm.

3.12.2 Karakterisasi isolat dengan spektrofotometri infrared (IR)

Cara kerja:

Karakterisasi isolat dengan spektrofotometri infrared dilakukan dengan

cara mencampurkan 1 mg isolat dengan 100 mg kalium bromida menggunakan

alat mixture vibrator kemudian dicetak menjadi pelet pada tekanan 11,5 ton dan

dimasukkan ke dalam spektrofotometer inframerah serta diukur pada bilangan

gelombang 4000-500 cm-1.

33
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil dan Identifikasi Sponge

Hasil identifikasi sponge yang dilakukan oleh Laboratorium Ekologi Prodi

Biologi FMIPA-Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya adalah

Xeastospongia sp de Laubenfels.

4.2 Hasil Pemeriksaan Karakteristik

Hasil karakterisasi simplisia sponge Xeastospongia sp de Laubenfels

meliputi dari pemeriksaan karakteristik sponge secara makroskopik, Pemeriksaan

karakteristik serbuk simplisia secara mikroskopik, pemeriksaan kadar air, kadar

sari larut air, kadar sari larut etanol, kadar abu total, kadar abu yang tidak larut

asam,dapat dilihat pada Tabel 4.1

Pemeriksaan karakteristik sponge secara makroskopik dilakukan untuk

memperoleh identitas (kebenaran simplisia). Hasil pemeriksaan Xeastospongia sp

de Laubenfels diperoleh tempat spesimen itu hidup melekat pada batu-batuan

atau karang-karang mati, tubuh besar dan tumbuh tegak berbentuk seperti bunga,

warna ketika diambil berwarna coklat terang, berbau tak sedap.

Pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia secara mikroskopik dilakukan

untuk memperoleh identitas simplisia (kebenaran simplisia). Hasil pemeriksaan

karakteristik serbuk simplisia Xeastospongia sp de Laubenfels secara mikroskopik

terlihat adanya spikula megasklera monoaxon jenis Hastate oxea. Hasil dapat

dilihat pada tabel 4.1.

34
Tabel 4.1 Hasil karakterisasi simplisia sponge

No. Karakteristik Simplisia Hasil (%)


1. Kadar air 6,00 %
2. Kadar sari larut dalam etanol 5,43 %
3. Kadar sari arut dalam air 4,47 %
4. Kadar abu total 10.13 %
5. Kadar abu tidak larut dalam asam 7,077 %

Hasil penepatapan kadar air pada sponge Xeastospongia sp de Laubenfels

yaitu 6,00 % dengan tujuan untuk memberikan batasan minimal kandungan air

yang masih dapat ditolerir di dalam ekstrak karena tingginya kandungan air

menyebabkan ketidakstabilan sediaan obat, bakteri dan jamur cepat tumbuh dan

bahan aktif yang terkandung didalamnya dapat terurai. Kadar sari yang larut

dalam etanol dengan bobot persen 5,43 % penetapan kadar sari yang larut dalam

air dan etanol dilakukan untuk mengetahui banyaknya senyawa polar yang larut

dalam air dan etanol.

4.3 Hasil Skrining Senyawa Kimia

Hasil skrining Senyawa kimia terhadap simplisia dan ekstrak sponge

dilakukan untuk mendapatkan informasi golongan senyawa metabolit sekunder

yang terdapat di dalamnya. Skrining fitokimia sponge Xeastospongia sp de

Laubenfels hanya dilakukan pada simplisia saja karena keterbatasan ekstrak. Hasil

Skrining Fitokimia Simplisia dapat dilihat pada Tabel 4.2

35
Tabel 4.2 Hasil skrining senyawa kimia simplisia Xeastospongia sp de
Laubenfels

No Nama Senyawa Hasil


1. Alkaloid +
2. Flavonoid -
3. Steroid/Triterpenoid +
4. Tanin -
5. Glikosida +
6. Saponin +
7. Glikosida antrakuinon -

Keterangan : (+) = mengandung golongan senyawa


(-) = tidak mengandung golongan senyawa

Hasil skrining senyawa kimia pada serbuk simplisia sponge Xeastospongia

sp de Laubenfels mengandung senyawa alkaloid, saponin, glikosida dan

steroid/triterpenoid. Serbuk simplisia sponge yang ditambah dengan periaksi

Dragendorff memberikan endapan jingga kecoklatan, dengan pereaksi Bouchardat

memberikan endapan warna kuning kecoklatan dan dengan pereaksi Mayer

terbentuk edapan putih dan kekeruhan, hal ini menunjukkan simplisia

mengandung alkaloid. Alkaloid dianggap positif jika terjadi endapan pada paling

sedikit dua atau tiga dari pereaksi yang ditambahkan (Depkes RI, 1995).

Penambahan Liebermann-Burchard memberikan warna merah ungu menunjukkan

adanya senyawa steroid (Harborne, 1987). Skrining saponin menghasilkan busa

yang stabil dengan tinggi busa 3 cm dan tidak hilang dengan penambahan HCl 2

N,). Skrining glikosida menghasilkan adanya cincin ungu pada kedua batas cairan

karena adanya gula.

4.4 Hasil Ekstraksi

Sejumlah 500 gram serbuk simplisia dimasukkan kedalam wadah bertutup,

dituangkan 75 bagian n-heksan, ditutup, dibiarkan selama 5 hari terlindung dari

36
cahaya sambil sering-sering diaduk, diserkai, diperas, ampas dicuci dengan n-

heksan hingga diperoleh 100 bagian penyari, dipindahkan kedalam bejana

tertutup, dibiarkan ditempat sejuk, terlindungi cahaya selama 2 hari.

Dienaptuangkan atau disaring, kemudian dipekatkan dengan rotary evaporator

pada suhu 40-50oC sampai diperoleh ekstrak kental. Ekstrak yang diperoleh

sebanyak 8 gram. Penggunaan pelarut n-heksana untuk menarik senyawa kimia

non polar, seperti triterpenoid dan steroid bebas.

4.5 Hasil Analisis Ekstrak Steroid/triterpen secara Kromatografi Lapis Tipis

Hasil analisis KLT menggunakan fase diam silika gel GF 254 dengan

penampak bercak Liebermann-Burchard diperoleh fase gerak terbaik n-heksan-etil

asetat dengan perbandingan (70:30) karena menghasilkan pemisahan noda yang

paling baik.

4.6 Hasil Isolasi Senyawa Steroid/Triterpenoid Secara Kromatografi Lapis


Tipis Preparatif

Hasil kromatografi lapis tipis preparatif dari ekstrak sponge terdapat 3 pita

berwarna merah keunguan, masing-masing dikerok dan direndam selama satu

malam dalam metanol kemudian disaring lalu diuap dan diperoleh 3 isolat

selanjutnya masing-masing isolat direndam dengan metanol dingin sehingga

diperoleh kristal amorf yang berwarna putih yang berupa isolat murni.

4.7 Hasil Uji Kemurnian Kromatografi Lapis Tipis Satu Arah

Terhadap isolat hasil isolasi KLT satu arah menggunakan fase diam silika

gel GF 254 menggunakan fase gerak n-heksana-etil asetat (70:30) diperoleh nilai

37
Rf 0,43 dengan penampak bercak Liebermann-Burchard. Hasil elusi menunjukkan

satu noda pada fase gerak yang digunakan diduga bahwa isolat yang diperoleh

telah murni.

4.8 Hasil Uji Kemurnian Kromatografi Lapis Tipis Dua Arah

KLT dua arah dilakukan untuk memastikan kemurnian steroid/triterpenoid

menggunakan fase gerak 1 n-heksana-etil asetat (70:30) dengan nilai Rf 0,85 dan

fase gerak ke 2 toluen-etil asetat (80:20) dengan nilai Rf 0,80.

4.9 Hasil Karakterisasi Isolat dengan Spektofometri Ultraviolet (UV)

Hasil isolasi menunjukkan absorbsi pada panjang gelombang 203 nm yang

menunjukan adanya gugus kromofor. Berikut ini adalah gambar spektrum

ultraviolet dari senyawa isolat. Gambar spektrofotometri UV dari isolat dapat

dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Spektrofotometri UV dari isolat

4.10 Hasil Karakterisasi Isolat dengan Spektrofotometri Infrared (IR)

Hasil menunjukkan pada bilangan gelombang 3433,29 cm-1 terdapat

gugus -OH alkohol, namun masih perlu dilakukan identifikasi untuk mengetahui

38
apakah gugus -OH ini berasal dari isolat atau berasal dari pelarut, karena pelarut

yang digunakan adalah metanol, Gugus -OH tersebut dikuatkan oleh serapan C=O

pada bilangan gelombang 1099,43 cm-1 dan puncak pada bilangan gelombang

1377,17 cm-1 menunjukkan adanya gugus metil (CH3). Bilangan gelombang 1635,

64 cm-1 adanya gugus C=C, dicocokkan dengan melihat CH-alifatis pada bilangan

gelombang 2949,30 cm-1 yang berada disebelah kanan dari bilangan gelombang

3000 cm-1. Hasil identifikasi dengan spektrofotometer inframerah dapat dilihat

pada Tabel 4.3 di bawah ini.

Tabel 4.3 Hasil Spektrofotometer Infraramerah dari isolat

No. Bilangan Gelombang (cm-1) Gugus Fungsi


1 1099,43 C=O
2 1377,17 -CH3
3 1635,64 C=C
4 2949,30 C-H alifatis
5 3433,29 -OH

Gambar spektrum inframerah dari senyawa isolat dapat dilihat pada Gambar

4.2 dibawah ini

Gambar 4.2 spektrum


BAB Inframerah
V dari Isolat

39
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Penelitian yang dilakukan menggunakan prosedur karakterisasi simplisia

pada Materia Medika, dengan hasil pemeriksaan karakterisasi simplisia

sponge Xestospongia sp diperoleh kadar air 6,00%, kadar sari yang larut

dalam air 4,47%, kadar sari yang larut dalam etanol 5,43%, kadar abu total

10,13% dan kadar abu yang tidak larut dalam asam 7,07%.

2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa golongan senyawa kimia yang

terkandung dalam simplisia sponge Xestospongia sp adalah alkaloid,

steroid/triterpenoid, glikosida dan saponin.

3. Hasil isolat menunjukkan golongan senyawa steroid/triterpenoid dan hasil

identifikasi dengan spektrofotometri ultraviolet, isolat memberikan panjang

gelombang absorbsi maksimum 203 nm dan hasil pengukuran

spektrofotometri inframerah menunjukkan adanya gugus –OH, CH alifatis,

C=C, –CH3 dan C=O. Isolat yang diperoleh merupakan isolat tunggal dan

termasuk golongan senyawa steroid/triterpenoid.

5.2 Saran

Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan elusidasi struktur

terhadap senyawa steroid/triterpenoid dari sponge Xestospongia sp de Laubenfels.

40
DAFTAR PUSTAKA

Amir, I.,dan., Budiyanto, A. (1996). Mengenal Spons Laut (Demospongiae)


Secara Umum. Oceana. XXI (2). Halaman 15-31.

Crews, P.,dan. Hunter, L. C. (1993). The Search for Antiparasitic Agents from
Marine Animals. Dalam: Marine Biotechnology. Volume I Pharmaceutical
and Bioactive Natural Products. Disunting Oleh: David H. Attaway dan
Oskar R. Zaborsky. New York: Plenum Press. Halaman 352-376.

Dachriyanus. (2004). Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektroskopi.


Padang: Andalas University Press. Halaman 3-5, 21.

Depkes RI. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Departemen Kesehatan
RI. Jakarta. Halaman 321-326.

Depkes RI. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI. Halaman. 1, 10-11.
Ditjen RI. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI. Halaman 33 – 34, 696.

Ditjen RI. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen


Kesehatan RI. Halaman 925.

Farnsworth, N.R. (1966). Biological and Phytochemical Screening of Plant.


Journal of Pharmaceutical Sciences. 55(3): 262-263.

Gandjar, I.G., dan Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar. Halaman 323, 353-361.

Gritter, R.J., Bobbitt, J., dan Schwarting, A.E. (1991). Pengantar Kromatografi
Penerjemah: Kokasih Padmawinata. Edisi 2. Bandung: ITB. Halaman.
107-146.
Handa, S., Suman, P.S.K., Gennaro, L., dan Dev, D.R.. (2008). Extraction
Technologies For Medicinal And Aromatic Plants. Italy: International
Centre For Science and High Technology. Halaman 22.

Handayani, D., Esa A., Rustini. (2009) Isolasi Senyawa Kimia dan Uji Aktivitas
Antibakteri dari Fraksi Etil Asetat Spon Laut Petrosia nigrans. Jurnal
Sains dan Teknologi Farmasi. XIV(1) : 6–7.

Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisa


Tumbuhan.Terjemahan K. Padmawinata. Edisi II. Bandung: ITB Press.
Halaman 76.

41
Haris, A., Soedharma D., Zamani N,. Parwono., dan Racmania. (2012) Seksualitas
dan Perkembangan Gamet Sponge Laut Aaptos aaptus Schmidt. Jurnal
Natural Indonesia. XIV(3): 206.

Hillisch, A. Hilgenfeld, R.,(2002). Modern Methods of Drug Discovery,


Birkhauser Verlag, Berlin. Halaman 1108-1115.

Hostettmann, K., Hostettmann, M., dan Marston, A. (1995). Cara Kromatografi


Preparatif: Penggunaan Pada Isolasi Senyawa Alam. Penerjemah:
Kokasih Padmawinata. Bandung: ITB. Halaman 9-12, 33-34.

Krisyunida, M.P. (2011). Toksisitas Fraksi Sponge callyspongia sp dengan


Metode Brine Shrim Test (BST) dari perairan Pasir Putih Situbondo.
Program Study Biologi ITS. 1. Halaman 1-2.

Murniasih, T. (2003) Metabolit Sekunder dari Sponge Sebagai Bahan Obat-obatan


. Oseanografi LIPI. 28. Halaman 27-28.

Okwu, D.E., dan Ohenhen, O.N. (2010) Isolation and characterization of Steroidal
Gycosides from the leaves of Stachytarpheta Jamaicensis Linn
Vahl.Pelagia research library.1(2):6-14.

Robinson, T. (1995) . Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi VI.


Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata. Bandung: Penerbit ITB.
Halaman 154.

Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Halaman 323, 328-329, 353.

Sastrohamidjojo, H. (1991). Kromatografi. Yogyakarta: Penerbit Liberty.


Halaman. 22-36.

Sirait, M. (2007). Penuntun Fitokimia Dalam Farmasi. Bandung: ITB. Hal. 158.

Stahl, E. (1985). Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopik.


Penerjemah: Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. Bandung: ITB.
Halaman. 3-18.

Suparno (2005). Kajian Bioaktif Sponge Laut (forifera: demospongiae) Suatu


Peluang Alternatif Pemanfaatan Ekosistem Karang Indonesia dalam
Bidang Farmasi. Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPs 7002). Sekolah
Pasca Sarjana, IPB. Halaman 3,4,5,6.

Suwignyo, S., Widigdo, B., Wardiatno, Y., dan Krisanti, M. (2005). Avertebrata
Air. Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman 34-36.

42
Tyler, V.E., Brady, L.R., dan Robbers, J.E. (1976). Pharmacognosy. Third
edition. Philadelphia: Lea dan Febriger. Halaman 76.

Vacelet, J. (2008). A New Genus Of Carnivorous Sponges (Porifera


poecilosclerida, cladorhizidae) from the deep N-E Pacific, and Remarks
on the Genus Neocladia Zootaxa. Nature Precedings. 1: 57-65.

Walker Max (1932). Proceeding Of The United States National Mesem, United
States National Meseum. The Marine And Fresh-Water Sponges Of
Califonia xvii. Halaman 93.

43
Lampiran 1. Identifikasi Sampel

44
Lampiran 2. Gambar sponge Xeastospongia sp de Laubenfels segar

45
Lampiran 3. Gambar simplisia dan serbuk sponge Xestospongia sp de Laubenfela

Simplisia sponge Xestospongia sp de Laubenfels

Serbuk sponge Xestospongia sp de Laubenfels

46
Lampiran 4. Gambar makroskopik sponge

Keterangan :

Bentuk : seperti karang


Warna : coklat terang
Bau : tidak sedap

47
Lampiran 5. Gambar mikroskopik serbuk simplisia

Keterangan : Pembesaran 10 X 10

1 : Spikula monoaxon jenis Hastate oxea

48
Lampiran 6. Gambar bagan pembuatan ekstrak n–heksana sponge

Xeastospongia sp de Laubenfels
disortasi basah dari pengotor
dicuci dengan air mengalir
ditiriskan
dipotong/dikecilkan ukurannya
ditimbang berat basah
dimasukkan dalam lemari pengering
Simplisia
disortasi kering
detimbang berat kering
diserbukkan dengan blender
Serbuk simplisia
dimasukkan kedalam wadah tertutup
dituangkan cairan penyari n-heksana secukupnya
sampai semua simplisia terendam
ditutup mulut wadah maserasi dengan alumunium
foil
direndam selama 5 hari , sambil sering –sering
diaduk
diserkai /diperas

Maserat 1 Ampas

dicuci dengan cairan


penyari hinga
diperoleh 100 bagian

Maserat

dibiarkan selama 2 hari terlindungi dari


cahaya
dienaptuang/disaring
Ekstrak cair

dipekatkan dengan rotary evaporator


pada suhu tidak lebih dari 40-50°C
Ekstrak kental n-
heksan

49
Lampiran 7. Gambar bagan perolehan isolat

Ekstrak n-heksana

Di KLTdengan fase gerak


n-heksana-etilasetat s

90:10 80:10 70:30 60:40 50:50

Pengembang terbaik
Di KLT preparatif dengan
fase gerak
n-heksana-etilasetat s

isolat

50
Lampiran 8. Gambar hasil analisis senyawa steroid/triterpenoid secara KLT

bp

tp

90:10 80:20 70:30 60:40 50:50

Keterangan: Fase diam silika gel GF254, fase gerak n-heksana-etilasetat,


penampak bercak Liebermann-Burchard, tp = titik penotolan, bp
= batas pengembangan

51
Lampiran 9. Gambar hasil isolasi senyawa steroid/triterpenoid secara KLT
preparatif

bp

tp

Keterangan: Fase diam silika gel GF254, fase gerak n-heksana-etilasetat (70:30),
penampak bercak Liebermann-Burchard, tp = titik penotolan, bp =
batas pengembangan.

52
Lampiran 10. Gambar hasil uji kemurnian KLT satu arah

bp

tp

Keterangan: Fase diam silika gel GF254, fase gerak = n-heksana-etilasetat (70:30)

53
Lampiran 11. Gambar hasil uji kemurnian KLT dua arah
A2
GBp 2

GBp 1

A1

tp

Keterangan: Fase diam silika gel GF254, fase gerak I = n-heksana-etilasetat


(70:30), fase gerak II = toluen-etil asetat (80:20) , penampak bercak
Liebermann–Burchard, tp = titik pentotolan, GBp1= batas
pengembangan pertama, GBp2 = batas pengembangan kedua, A1 =
arah pengembangan pertama, A2 = arah pengembangan kedua.
Harga rf 1 = 0,85; harga rf 2 = 0,8

54
Lampiran 12. Perhitungan hasil penetapan kadar

a. Perhitungan penetapan kadar air

������ ��� (�� )


Kadar air = x100%
����� ������ (�)

1. Sampel 1
Berat sampel = 5,000 g

Volume air = 0,4 ml

0,4
Kadar air = x100%
5,000

= 7,99 %

2. Sampel
Berat sampel = 4,99 g

Volume air = 0,4 ml

0,4
Kadar air = � 100%
4,99

= 8,01 %

3. Sampel 3
Berat sampel = 5,000 g

Volume air = 0,1 ml

0,1
Kadar air = x100%
5,000

= 2%

7,99%+8,01%+2%
Kadar air rata – rata =
3

=6%

55
Lampiran 12. (Lanjutan)

b. Perhitungan penetapan kadar sari yang larut dalam air


����� ���� 100
Kadar sari larut dalam air = x x 100%
����� ��������� 20

1. Kadar sari larut dalam air I


Berat cawan = 47,840 g

Berat cawan + berat sari = 47,92 g

Berat sampel = 5,000 g

Berat sari = 0,08 g

0,2920,008 100
Kadar sari larut dalam air = x x 100%
5,000 20

= 8,01 %

2. Kadar sari larut dalam air II


Berat cawan = 48,012 g

Berat cawan + berat sari = 48,1291 g

Berat sampel = 5,012 g

Berat sari = 117 g

117 100
Kadar sari larut dalam air = x x 100%
5,012 20

= 4,67 %

3. Kadar sari larut dalam air III


Berat cawan = 47,840 g

Berat cawan + berat sari = 47,860 g

Berat sampel = 5,000 g

Berat sari = 0,02 g

0,02 100
Kadar sari larut dalam air = x x 100%
5,000 20

= 0,8 %

56
Lampiran 12. (Lanjutan)

8,01%+4,67%+0,8%
Kadar sari larut dalam air rata – rata =
3

= 4,473 %

c. Perhitungan penetapan kadar sari yang larut dalam etanol

Kadar sari larut dalam etanol 100%

1. Kadar sari larut dalam etanol I


Berat Cawan = 48,012 g
Berat Cawan + Berat Sari = 48,1562 g
Berat Sampel = 5,000 g
Berat sari = 0,1442 g
0,1442 100
Kadar sari larut dalam etanol = x x 100%
5,00 20
= 5,756 %
2. Kadar sari larut dalam etanol II
Berat Cawan = 47,840 g
Berat Cawan + Berat Sari = 47,920 g
Berat Sampel = 5,010 g
Berat sari = 0,080 g
0.081 100
Kadar sari larut dalam etanol = x x 100%
5,031 20
= 8,05 %
3. Kadar sari larut dalam etanol III
Berat Cawan = 45,149 g
Berat Cawan + Berat Sari = 45,232 g
Berat Sampel = 5,022 g
Berat sari = 0.082 g
0,080 100
Kadar sari larut dalam etanol = x x 100%
5,010 20
= 4,804

57
Lampiran 12. (Lanjutan)
5,756%+4,806%+5,75%
Kadar sari larut dalam etanol rata-rata =
3

= 5,4374 %

d. Perhitungan penetapan kadar abu total

Kadar abu total 100%

1. Sampel I
Berat simplisia = 2,0010 g
Berat abu = 0,2180 g
0,2180
Kadar abu total = x 100%
2,0010
= 10%
2. Sampel II
Berat simplisia = 2,002 g
Berat abu = 0,200 g
0,200
Kadar abu total = x 100%
2,002
= 9,9%
3. Sampel III
Berat simplisia = 2,001 g
Berat abu = 0,2110g
0,2110
Kadar abu total = x 100%
2,001
= 10,5%
10%+9,9%+10,5%
Kadar abu total rata-rata =
3
= 10,13%

58
Lampiran 12. (Lanjutan)

e. Perhitungan Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Dalam Asam

Kadar abu tidak larut dalam asam 100%

1. Sampel I
Berat simplisia = 2,0010 g
Berat abu = 0,2011 g
0,2011
Kadar abu tidak larut asam = x 100%
2,0010
= 10,05 %
2. Sampel II
Berat simplisia = 2,0010 g
Berat abu = 0,1220 g
0,1220
Kadar abu tidak larut asam = � 100%
2,0010
= 6,096 %
3. Sampel III
Berat simplisia = 2,0111 g
Berat abu = 0,1023 g
0,1023
Kadar abu tidak larut asam = x 100%
2,0111
= 5,087 %

10,5%+6,096%+5,087
Kadar abu tidak larut asam rata-rata =
3
= 7.077%

59

Anda mungkin juga menyukai