Kala III dimulai sejak bayi lahir sampai lahirnya plasenta/uri. Rata-rat lama
kala III berkisar 15-30 menit, baik pada primipara maupun multipara. Risiko
perdarahan meningkat apabila kala tiga lebih dari 30 menit, terutama antara 30-60
menit. (Sumarah, 2009)
b. Penegangan Tali Pusat Terkendali atau PTT (CCT/ Controled Cored Traction)
1) Berdiri di samping ibu
2) Pindahkan klem (penjepit untuk memotong tali pusat saat kala II) pada tali
pusat sekitar 5-10 cm dari vulva.
Alasan : memegang tali pusat lebih dekat ke vulva akan mencegah avulsi.
3) Letakkan tangan yang lain pada abdomen ibu (beralaskan kain) tepat di
atas simfisis pubis. Gunakan tangan ini untuk meraba kontraksi uterus dan
menekan uterus pada saat melakukan penegangan pada tali pusat. Setelah
terjadi kontraksi yang kuat tegangkan tali pusat dengan satu tangan dan
tangan lain (pada dinding abdomen) menekan uterus kee arah lumbal dan
kepala ibu (dorso-kranial). Lakukan secara hati-hati untuk mencegah
terjadinya inversion uteri.
4) Bila plasenta belum lepas, tunggu hingga uterus berkontraksi kembali (
sekitar 2 atau 3 menit berselang) untuk mengulangi kembali penegangan
tali pusat terkendali.
5) Saat mulai kontraksi (uterus menjadi bulat atau tali pusat menjulur)
tegangkan tali pusat kearah bawah, lakukan tekanan dorso-kranial hingga
tali pusat makin menjulur dan korpus uteri bergerak ke atas yang
menandakan plasenta telah lepas dan dapat dilahirkan.
f) Tetapi jika langka 5 diatas tidak berjalan sebagaimana mestinya dan plasenta
tidak turun setelah 30-40 detik dimulainya pennegangan tali pusat dan tidak ada
tanda-tanda yang menunjukkan lepasnya plasenta, jangan teruskan penegangan tali
pusat.
Pegang klem dan tali pusat dengan lembut dan tunggu sampai kontraksi
berikutnya. Jika perlu, pindahkan klem lebih dekat ke perenium pada saat tali pusat
memanjang. Pertahankan kesabaran pada saat melahirkan plasenta.
Pada saat kontraksi berikutnya terjadi, ulangi penegangan tali pusat terkendali
dan tekanan dorso-kranial pada korpus uteri secara serentak. Ikuti langkah-langkah
tersebut pada setiap kontraksi hingga terasa plasenta terlepas dari dinding uterus.
g) Setelah plasenta terpisah, anjurkan ibu untuk meneran agar plasenta terdorong
keluar melalui introitus vagina. Tetap tegangkan tali pusat dengan arah sejajar lantai
(mengikuti poros jalan lahir).
Alasan : segera melepaskan plasenta yang ttelah terpisah dari dinding uterus akan
mencegah kehilangan darah yang tidak perlu.
Catatan : jangan melakukan penegangan tali pusat tanpa diikuti dengan tekanan dorso
cranial secara serentak pada bagian bawah uterus (diatas simfisis pubis)
h) Pada saat plasenta terlihat pada introitus vagina, lahirkan plasenta dengan
mengangkat tali pusat keatas dan menopang plasenta dengan tangan lainnya untuk
diletakkan dalam wadah penampung. Karena selaput ketuban mudah robek, pegang
plasenta dengan kedua tangan dan secara lembut putar plasenta hingga selaput
ketuban terpilin menjadi satu.
j) Jika selaput ketuban robek dan tertinggal di jalan lahir saat melahirkan
plasenta, dengan hati-hati periksa vagina dan serviks dengan seksama. Gunakan jari-
jari tangan anda atau klem DTT atau steril atau forsep untuk keluarkan selaput
ketuban yang teraba.
Catatan :
Jika plasenta belum lahir dalam waktu 15 menit, berikan 10 unit oksitosin IM
dosis kedua.
Periksa kandung kemih. Jika ternyata penuh, gunakan teknik aseptik untuk
memasukkan kateter Nelaton disinfeksi tingkat tinggi atau steril untuk mengosongkan
kandung kemih.
Ulangi kembali penegangan tali pusat dan tekanan dorso-kranial seperti yang
diuraikan di atas . apabila tersedia akses dan mudah menjangkau fasilitas kesehatan
rujukan maka nasehati keluarga bahwa mungkin ibu perlu dirujuk apabila plasenta
belum lahir setelah 30 menit bayi lahir.
Jika plasenta tetap tidak lahir , rujuk segera. Tetapi apabila fasilitas kesehatan
rujukan sulit dijangkau dan kemudian tibul perdarahan maka sebaiknya lakukan
tindakan plasenta manual. Untuk melaksanakan hal tersebut, pastikan bahwa petugas
kesehatan telah terlatih dan kompeten untuk melaksanakan tindakan atau prosedur
yang diperlukan.
b) Jelaskan tindakan kepada ibu, katakana bahwa ibu mungkin merasa tidak
nyaman karena tindakan yang diberikan. Anjurkan ibu untuk menarik napas dalam
dan perlahan serta rileks.
c) Dengan lembut tapi mantap gerakkan tangan dengan arah memutar pada fundus
uteri supaya uterus berkontraksi. Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu 15 detik,
lakukan penatalaksanaan atonia uteri.
d) Periksa plasenta dan selaputnya untuk memastikan keduanya lengkap dan utuh
e) Periksa kembali uterus setelah satu hingga dua menit untuk memastikan uterus
berkontraksi. Jika uterus masih belum bisa berkontraksi dengan baik, ulangi masase
fundus uteri. Ajarkan ibu dan keluarganya cara masase uterus sehingga mampu untuk
segera mengetahui jika uterus tidak berkontraksi dengan baik.
d) Rutinitas katerisasi.
a)Terjadi inverse uteri. Pada saat menegangkan tali pusat terkendali terlalu kuat
sehingga uterus tertarik keluar dan terbalik.
b) Tali pusat terputus. Terlalu kuat dalam penarikan tali pusat sedangkan plasenta
belum lepas.
c)Syok.
Periksa plasenta sisi maternal (yang melekat pada dinding uterus) untuk
memastikan bahwa semuanya lengkap dan utuh (tidak ada bagian yang hilang).
Jumlah kotiledon, keutuhan pinggir kotiledon.
Periksa plasenta sisi fetal (yang menghadap ke bayi) untuk memastikan tidak
adanya kemungkinan lobus tambahan (suksenturiata)
c)Tali pusat : Jumlah arteri dan vena adakah arteri atau vena yang terputus untuk
mendeteksi plasenta suksenturia. Insersi tali pusat, apakah sentral, marginal, serta
panjang tali pusat.