Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Periode kala III persalinan dimulai saat proses lahirnya bayi dan
berakhir dengan lahirnya plasenta. Komplikasi utama yang terkait dengan
periode ini adalah perdarahan postpartum (PPH), yang merupakan penyebab
paling umum dari morbiditas dan kematian ibu di negara-negara
berkembang. Bahkan di negara maju, meskipun angka kematian ibu jauh
lebih rendah, PPH tetap menjadi perhatian utama. Peristiwa ini
dilatarbelakangi kejadian tromboemboli dan penyakit hipertensi sebagai
penyebab umum kematian ibu pada wanita yang kehamilannya berlanjut
setelah 20 minggu. Periode postpartum sangat dini ini berhubungan dengan
komplikasi ibu dari perdarahan, perpindahan cairan, dan emboli.
Pendarahan pasca partum masih menjadi salah satu dari tiga penyebab
utama kematian ibu secara global. Meskipun mayoritas (99%) kematian
dilaporkan terjadi di negara berkembang, risiko pendarahan postpartum tidak
boleh diremehkan pada setiap kelahiran, atau tidak hanya itu, potensi kala III
persalinan menjadi kala persalinan yang paling berbahaya juga tidak boleh
diremehkan. Selama kala ini, focus dan perasaan emosional serta kelegaan
fisik ibu seringkali berubah secara spontan dari kelelahan konsentrasi
terhadap kelahiran yang actual menjadi eksplorasi dan pengenalan terhadap
bayinya yang baru lahir. Untuk memfasilitasi diperoleh hasil akhir yang aman
dan sehat untuk ibu dan bayinya, kesehatan antenatal dan juga kesiapan
intrapartum, keterampilan, ketekunan, dan keahlian bidan merupakan faktor
yang sangat penting. Data penelitian seringkali lebih jelas tentang beberapa
aspek penatalaksanaan kala III dibandingkan kala persalinan lainnya. 

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana asuhan pada ibu bersalin kala III ?
2. Bagaimana asuhan pada ibu bersalin kala IV ?

1
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Setelah mempelajari makalah ini diharapkan mahasiswi D IV Alih
Jenjang Kebidanan Tasikmalaya dapat memahami dan menjelaskan
tentang bagaimana asuhan pada ibu bersalin dengan benar.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui asuhan pada ibu bersalin kala III
b. Untuk mengetahui asuhan pada ibu bersalin kala IV

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Asuhan Pada Ibu Bersalin kala III


1. Manajemen Aktif Kala III
Tujuan Manajemen Aktif Kala III adalah membuat uterus
berkontraksi lebih efektif sehingga dapat mempersingkat waktu,
mencegah perdarahan dan mengurangi kehilangan darah selama Kala III
Persalinan jika dibandingkan dengan pelepasan plasenta secara spontan.
Sebagian besar (25-29%) morbiditas dan mortalitas ibu di Indonesia
disebabkan oleh perdarahan pascapersalinan akibat atonia uteri dan
separasi parsial/retensio plasenta yang dapat dicegah dengan Manajemen
Aktif Kala III.
Penelitian Prevention of Postpartum Hemorrhage Intervention-
2006 terkait dengan manajemen aktif kala III (Active Management of
Third Stage of Labar/AMTSL) 20 rumah sakit di Indonesia menunjukkan
bahwa hanya 30% rumah sakit melaksanakan hal tersebut. Hasil yang
jauh berbeda jika dibandingkan dengan praktik manajemen aktif kala III
di Klinik Bersalin atau Bidan Praktik Swasta di wilayah Kabupaten
Kuningan dan Cirebon dimana sekitar 70% petugas kesehatan
melaksakana intervensi ini bagi ibu bersalin. Jika pemerintah ingin
menurunkan jumlah kematian ibu yang disebabkan oleh perdarahan
pasca persalinan maka manajemen aktif kala III seharusnya menjadi
prosedur standar bagi asuhan persalinan.
Keuntungan manajemen aktif kala III : Persalinan kala tiga yang
lebih singkat, Mengurangi jumlah kehilangan darah, Mengurangi
kejadian retensio plasenta.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Is Susiloningtyas dan
Yanik Purwanti di dalam jurnal nya yang berjudul kajian pengaruh
manajemen aktif kala III terhadap pencegahan perdarahan postpartum
menyatakan bahwa Hasil penelitian menunjukkan manajemen aktif kala

3
III mengurangi kejadiaan PPH, memperpendek kala III, kebutuhan akan
trasfusi menurun, kondisi uterus membaik secara signifikan .

Manajemen aktif kala tiga terdiri dari tiga langkah utama :

a. Pemberian Suntikan Oksitosin


Pemberian Suntikan Oksitosin dalam 1 menit pertama setelah
bayi lahir.
1) Letakkan bayi baru lahir diatas kain bersih yang telah disiapkan di
perut bawah ibu dan minta ibu atau pendampingnya untuk
membantu memegang bayi tersebut.
2) Pastikan tidak ada bayi lain (Undiagnosed twin) di dalam uterus
Alasan : Oksitosin menyebabkan uterus berkontraksi kuat dan
dapat menyebabkan hipoksia berat pada bayi kedua atau ruptura
uteri. Hati-hati jangan menekan kuat (ekspresi) dinding korpus
uteri karena dapat menyebabkan kontraksi tetanik atau spasme
serviks sehingga terjadi plasenta inkarserata atau kesulitan untuk
mengeluarkan plasenta.
3) Beritahu ibu bahwa ia akan disuntik.
4) Segera (dalam 1 menit pertama setelah bayi lahir) suntikkan
oksitosin 10 I.U secara intramuskuler (IM) pada satu pertiga
bagian atas paha bagian luar (aspektus lateralis).
Alasan : Oksitosin menyebabkan uterus berkontraksi efektif
sehingga akan mempercepat pelepasan plasenta dan mengurangi
kehilangan darah. Lakukan aspirasi sebelumnya penyuntikan
untuk mencegah oksitosin masuk langsung ke pembuluh darah.
Catatan : Jika oksitosin tidak tersedia, minta ibu untuk melakukan
stimulasi puting susu atau melakukan Inisiasi Menyusu Dini
(IMD) segera. Upaya ini akan merangsang produksi oksitosin
secara alamiah. Untuk profilaksis, dapat diberikan misoprostol
600 mcg yang diberikan per oral/sublingual jika tidak tersedia
oksitosin.

4
5) Letakkan kembali alat suntik pada tempatnya, ganti kain alas dan
penutup tubuh bayi dengan kain bersih dan kering yang baru
kemudian lakukan penjepitan (2-3 menit setelah bayi lahir) dan
pemotongan tali pusat sehingga dari langkah 4 dan 5 ini akan
tersedia cukup waktu bagi bayi untuk memperoleh sejumlah darah
kaya zat besi dari ibunya.
6) Serahkan bayi yang telah terbungkus kain pada ibu untuk IMD
kontak kulit-kulit dengan ibu dan tutupi ibu-bayi dengan kain.
7) Tutup kembali perut bawah ibu dengan kain bersih
Alasan: Kain akan mencegah kontaminasi tangan penolong
persalinan yang sudah memakai sarung tangan dan mecegah
kontaminasi darah pada perut ibu.

Penelitian PATH (2008) di Indonesia tentang penyimpanan


oksitosin menunjukkan bahwa sekitar 80% dari 27 RS Provinsi dan
Kabupaten ternyata oksitosin ini tidak disimpan di kulkas/lemari
pendingan dengan temperatur 2o -8o C, baik selama bersalin maupun
saat disimpan di gudang penyimpanan obat. Hasil ini sama dengan
temuan PATH secara global (2007) dimana sebagian besar RS
Pemerintah dan Swasta tidak menyimpan oksitosin secara benar. Jika
oksitosin disimpan di tempat dengan temperatur 2o -8o C selama lebih
dari 3-5 hari (tergantung suhu rata-rata di suatu daerah) oksitosin aktif
yang ada didalam ampul akan menjadi rusak, disuntikkan ke ibu
bersalin, baik di periode intrapartum atau postpartum dengan
gangguan kontraksi (termasuk atonia) maka obat ini tak akan
menimbulkan kontraksi atau menghentikkan perdarahan seperti yang
diinginkan. Oksitosin yang disimpan pada temperatur 2 o -8o C dibuat
dari ekstraks hormon oksitosin. Tersedia juga sejenis oksitosin yang
dapat disimpan pada temperatur 15o -21o C (tergantung pembuatannya)
tetapi jika disimpan pada temperatur di atas batas toleransi temperatur
tersebut maka obat tersebut juga akan rusak dan menjadi tidak efektif.
Menurut temuan Studi RS PONEK (Jakarta, 2011), suhu rata-rata

5
kamar bersalin adalah 25o -27o C. Menurut temuan penilaian fasilitas
dan kinerja (On the Job Training) di 6 RS PONEK di provinsi DKI
Jakarta, suhu rata-rata di kamar bersalin berkisar antara 26o-28o C
sehingga walaupun tersedia oksitosin yang termostabil (tahan panas)
tapi tetap akan rusak jika suhu kamar bersalin atau kamar obat berada
di atas 15o -21o C.

b. Penegangan Tali Pusat Terkendali


1) Berdiri di samping ibu.
2) Pindahkan klem (penjepit tali pusat) ke sekitar 5-10 cm dari vulva.
Alasan: Memegang tali pusat lebih dekat ke vulva akan mencegah
avulsi.
3) Letakkan tangan yang lain pada abdomen ibu (beralaskan kain)
tepat di atas simfisis pubis. Gunakan tangan ini untuk meraba
kontraksi uterus dan menekan uterus pada saat melakukan
penegangan pada tali pusat. Setelah terjadi kontraksi yang kuat,
tegangkan tali pusat dengan satu tangan dan tangan yang lain
(pada dinding abdomen) menekan uterus ke arah lumbal dan
kepala ibu (dorso-kranial). Lakukan secara hati-hati untuk
mencegah terjadinya inversio uteri.
4) Bila plasenta belum lepas, tunggu hingga uterus berkontraksi
kembali (sekitar dua atau tiga menit berselang) untuk mengulangi
kembali penegangan tali pusat terkendali.
5) Saat mulai kontraksi (uterus menjadi bulat atau tali pusat
menjulur) tegangkan tali pusat ke arah bawah, lakukan tekanan
dorso-kranial hingga tali pusat makin menjulur dan korpus uteri
bergerak keatas yang menandakan plasenta telah lepas dan dapat
dilahirkan.
6) Tetapi jika langkah 5 diatas tidak berjalan sebagaimana mestinya
dan plasenta tidak turun setelah 30-40 detik sejak dimulainya
penegangan tali pusat dan tidak ada tanda-tanda yang

6
menunjukkan lepasnya plasenta, jangan teruskan penegangan tali
pusat.
a) Pegang klem dan tali pusat dengan lembut dan tunggu sampai
kontraksi berikutnya. Jika perlu, pindahkan klem lebih dekat
ke perineum pada saat tali pusat menjadi lebih panjang.
Pertahankan kesabaran pada melahirkan plasenta.
b) pada saat kontraksi berikutnya terjadi, ulangi penegangan tali
pusat terkendali dan tekanan dorso-kranial pada korpus uteri
secara serentak. Ikuti langkah-langkah tersebut pada setiap
kontraksi hingga terasa plasenta terlepas dari dinding uterus.
c) Jika setekag 15 menit melakukan PTT dan dorangan dorso-
kranial, plasenta belum juga lahir maka ulangi pemberian
oksitosin 10 I.U. IM, tunggu kontraksi yang kuat kemudian
ulangi PTT dan dorongan dorso-kranial hingga dapat
dilahirkan.
d) Setelah plasenta terlepas dari dinding uterus (bentuk uterus
menjadi globuler dan tali pusat menjulur ke luar maka
dianjurkan ibu untuk meneran agar plasenta terdorong keluar
melalui introtus vagina. Bantu kelahiran plasenta dengan cara
menegangkan dan mengarahkan tali pusat sejajar dengan lantai
(mengikuti poros jalan lahir).
Alasan: Segera melepaskan plasenta yang telah terpisah dari
dinding uterus akan mencegah kehilangan darah yang tidak
perlu.
7) Pada saat plasesnta terlihat pada introitus vagina, lahirkan plasenta
dengan mengangkat tali pusat keatas dan menopang plasenta
dengan tangan lainya untuk diletakan dalam wadah penampung.
Karena selaput ketuban mudah robek, pegang plasenta dengan
kedua tangan dan secara lembut putar plasenta hingga selaput
ketuban terpilin menjadi satu.

7
8) Lakukan penarikan dengan lembut dan perlahan-lahan untuk
melahirkan selaput ketuban.
Alasan : Melahirkan plasenta dan selaputnya dengan jalan melilin
keduanya akan membantu mencegah tertinggalnya selaput ketuban
di uterus dan jalan lahir.
9) Jika selaput ketuban robek dan tertinggal di jalan lahir saat
melahirkan plasenta dengan hati-hati periksa vagina dan serviks
secara seksama. Gunakan jari-jari tangan anda atau klem atau
cunam ovum DTT/Steril untuk mengeluarkan selaput ketubat
tersebut.
Catatan:
a) Jika plasenta belum lahir setelah 30 menit sejak bayi
dilahirkan maka lakukan konseling pada suami/keluarganya
bahwa kemungkinan ibu perlu dirujuk karena waktu normal
untuk melahirkan plasenta sudah terlampaui dan kemungkina
ada penyulit lain yang memerlukan penanganan di rumah
sakit rujukan.
b) Jika akibat kondisi tertentu maka fasilitas kesehatan rujukan
sulit dijangkau dan kemudian timbul perdarahan (lihat
paragraf dibawah ini) maka sebaiknya dilakukan tindakan
plasenta manual. Untuk melakukan hal tersebut, pastikan
bahwa petugas kesehatan telah terlatih dan kompeten untuk
melakukan tindakan atau prosedur yang diperlukan.

Perhatian: jika plasenta belum lahir dan mendadak terjadi


perdarahan, segera lakukan plasenta manual untuk segera
mengosongkan kavum uteri sehingga uterus segera berkontraksi
secara efektif dan perdarahan dapat dihentikan. Jika setelah
manual plasenta tetapi masih terjadi perdarahan, lakukan
kompresi bimanual internal/eksternal, kompresi aorta, atau pasang
tampon kondom-kateter. Beri oksitosin 10 I.U. dosis tambahan

8
dan misoprostol tablet 600 mcg per rektal. Tunggu hingga uterus
dapat berkontraksi kuat dan perdarahan berhenti, baru hentikan
tindakan kompresi atau keluarkan tampon.

10) Tanda - Tanda Lepasnya Plasenta


a) Perubahan bentuk dan tinggi fundus
Setelah bayi lahir dan sebelum miometrium mulai
berkontraksi, uterus berbentuk bulat penuh dan tinggi fundus
biasanya dibawah pusat. Setelah uterus berkontraksi dan
plasenta terdorong kebawah, uterus berbentuk segi tiga, atau
seperti buah pir atau alpukat dan fundus berada diatas pusat
(seringkali mengarah kesisi kanan).
b) Tali Pusat Memanjang
Tali pusat terlihat menjulur keluar melalui vulva (tanda
ahfeld)
c) Semburan darah Mendadak dan Singkat.
Darah yang terkumpul dibelakang plasenta akan membantu
mendorong plasenta keluar dibantu oleh gaya gravitasi.
Apabila kumpulan darah (retroplacetal pooling) dalam ruang
diantara dinding uterus dan permukaan dalam plasenta
melebihi kapasitas tampungnya, darah tersembur keluar dari
tepi plasenta yang terlepas.
11) Cara Pelepasan Plasenta
a) Metode Ekspulsi Schultze
Pelepasan ini dapat dimulai dari tengah plasenta, disini
terjadi hematoma retro placentair yang selanjutnya
mengangkat plasenta dari dasarnya. Plasenta dengan hematon
diatasnya sekarang jatuh ke bawah dan menarik lepas selaput
janin. Bagian plasenta yang nampak dalam vulva adalah
permukaan fetal, sedangkan hematoma terdapat dalam kantong
yang berputar balik. Oleh karena itu pada pelepasan schultze

9
tidak ada perdarahan sebelum plasenta lahir atau sekurang-
kurangnya terlepas seluruhnya. Baru setelah plasenta
seluruhnya lahir, darah akan mengalir. Pelepasan shultze ini
adalah cara pelepasan plasenta yang sering dijumpai.
b) Metode Ekspulsi Matthew-Duncan
Pelepasan plasenta secara Duncan dimulai dari pinggir
plasenta. Darah mengalir keluar antara selaput janin dan
dinding rahim, jadi perdarahan sudah ada sejak plasenta
sebagian lahir atau terlepas sehingga tidak terjadi bekuan
retropalsenta. Plasenta keluar menelusuri jalan lahir,
permukaan maternal lahir terlebih dahulu. Pelepasan Duncan
terjadi terutama pada plasenta letak rendah. Proses ini
memerlukan waktu lama dan darah yang keluar lebih banyak,
serta memungkinkan plasenta dan membran tidak keluar
secara komplit. Ketika pelepasan plasenta terjadi, kontraksi
uterus menjadi kuat kemudian plasenta dan membrannya jatuh
dalam segmen bawah rahim, ke dalam vagina, kemudian
ekspulsi.
12) Beberapa Prasat untuk Mengetahui Apakah Plasenta Lepas dari
Tempat Implantasinya
a) Prasat Kustner/Brand-Andrews
(1) Tali pusat ditegangkan
(2) Tangan ditekankan diatas simfisis, bila tali pusat masuk
kembali, berarti plasenta belum lepas (tali pusat
memendek). Jika panjang tali pusat masih sama, berarti
plasenta sudah lepas.
b) Prasat Strassman
Tangan kanan meregangkan atau menarik sedikit tali pusat.
Tangan kiri mengetok-ngetok fundus uteri. Bila terasa getaran
pada tali pusat yang diregangkan ini berarti plasenta belum
lepas dari dinding uterus.

10
c) Prasat Klein
Parturien (ibu yang melahirkan tersebut) disuruh mengejan
sehingga tali pusat tampak turun kebawah. Bila mengejan
dihentikan dapat terjadi:
(1) Tali pusat tertarik kembali, berarti plasenta belum lepas
dari dinding uterus.
(2) Tali pusat tetap ditempat, berarti plasenta sudah lepas.
d) Prasat Manuaba
Tangan kiri memegang uterus pada segmen bawah rahim,
sedangkan tangan kanan memegang serta mengencangkan tali
pusat. Kedua tangan ditarik berlawanan, dapat terjadi:
(1) Tarikan terasa berat dan tali pusat tidak memanjang,
berarti plasenta belum lepas.
(2) Tarikan terasa ringan dan tali pusat memanjang, berarti
plasenta telah lepas.
e) Crede
(1) Keempat jari-jari pada dinding rahim belakang, ibu jari
difundus depan tengah.
(2) Lalu pijat rahim dan sedikit dorong kebawah, tapi jangan
terlalu kuat, seperti memeras jeruk.
(3) Lakukan sewaktu ada his.
(4) Jangan tarik tali pusat, karena bisa terjadi inversio uteri
(Nurasiah, Ai, dkk, 2012).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Euis Sisca Alviani,


Merry Wijaya, Irna Kurnia pada tahun 2018 di dalam jurnal nya yang
berjudul Gambaran Lama Waktu Pelepasan Plasenta dengan
Manajemen Aktif Kala III dan Masase Fundus Setelah Bayi Lahir di
Rsud Kelas B Kabupaten Subang. Dari hasil penelitian ini didapatkan
ibu yang diberikan masase fundus uteri merasakan kurang nyaman
dan tidak jarang merasakan mual, keadaan tersebut sesuai dengan

11
penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya yang dilakukan oleh
Abdel H, Singata M, Abdel M, dkk tahun 2010.8 Untuk pelepasan
plasenta MAK III dipercaya dapat mempersingkat waktu pelepasan
plasenta sehingga dapat menurunkan AKI (Angka Kematian Ibu) yang
diakibatkan oleh perdarahan. Dalam melakukan MAK III yang perlu
diperhatikan yaitu teknik yang dilakukan dan ketersediaan uterotonika
sehingga pelepasan plasenta berjalan dengan aman.

c. Rangsangan Taktil (Masase) Fundus Uteri


Segera setelah plasenta lahir, lakukan masase fundus uterus:
1) Letakkan telapak tangan pada fundus uteri.
2) Jelaskan tindakan kepada ibu, katakan bahwa ibu mungkin
merasa agak tidak nyaman karena tindakan yang berikan.
Anjurkan ibu untuk menarik napas dalam dan perlahan serta
rileks.
3) Dengan lembut tapi mantap gerakkan tangan dengan arah
memutar pada fundus uteri supaya uterus berkontraksi (lihat
Gambar 4-10). Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu 15
detik, lakukan penatalaksanaan atonia uteri (lihat dibawah).
4) Periksa plasenta dan selaputnya untuk memastikan keduanya
lengkap dan utuh :
a) Periksa plasenta sisi maternal (yang melekat pada dinding
uterus) untuk memastikan bahwa semuanya lengkap dan utuh
( tidak ada bagian yang hilang).
b) Pasangkan bagian-bagian plasenta yang robek atau terpisah
untuk memastikan tidak ada bagian yang hilang.
c) Periksa plasenta sisi foetal (yang menghadap ke bayi) untuk
memastikan tidak adanya kemungkinan lobus tambahan
(seuksenturiata).
d) Evaluasi selaput untuk memastikan kelengkapannya.

12
5) Periksa kembali uterus setelah satu hingga dua menit untuk
memastikan uterus berkontraksi. Jika uterus masih belum
berkontraksi baik, ulangi, masase fundus uteri. Ajarkan ibu dan
keluarganya cara melakukkan masase uterus sehingga mampu
untuk segera mengetahui jika uterus tidak berkontraksi baik.
6) Periksa kontraksi uterus setiap 15 menit selama satu jam pertama
pascapersalinan dan setiap 30 menit selama satu jam kedua pasca
persalinan (Santoso, Budi Iman dkk, 2017).

2. Pemenuhan Kebutuhan Ibu pada Kala III


Sebaiknya ibu dan bayi tetap dipantau oleh bidan, sampai
dipastikan ibu dan bayi aman. Kebanyakan ibu merasa tidak nyaman
ingin segera melakukan kebersihan diri. Terutama jika ibu berada
dirumah. Ibu sebaiknya dianjurkan untuk mengosongkan kandung kemih
sebab kandung kemih yang penuh akan menghalangi kontraksi uterus.
Anjurkan ibu makan dan minum.
Pada saat yang sama bidan harus memeriksa keadaan umum bayi,
sebagaian besar ibu ingin menyusui bayi, memeluknya segera setelah
lahir, hal ini sangat berguna untuk merangsang kontraksi uterus. Selain
itu ibu biasanya ingin ditemani oleh suami atau keluarganya. Oleh karena
itu bidan harus mengizinkannya untuk bersama-sama (Nurasiah, Ai dkk,
2012).

Adapun pemenuhan kebutuhan pada kala III di antaranya :

a. Menjaga kebersihan
Pada daerah vulva ibu, harus selalu dijaga kebersihannya untuk
menghindari infeksi. Selain untuk menghindari infeksi, serta untuk
mencegah bersarangnya bakteri pada daerah vulva dan perinium. Cara
pembersihan perinium dan vulva yaitu dengan menggunakan kapas
atau kasa yang bersih. Usapkan dari atas ke bawah mulai dari bagian
anterior vulva ke arah rectum untuk mencegah kontaminasi tinja,

13
kemudian menganjurkan ibu untuk mengganti pembalut kurang lebih
dalam sehari tiga kali ataupun bila saat ibu BAK dirasa pembalut
sudah basah (tidak mungkin untuk dipakai lagi). Jangan lupa
menganjurkan ibu untuk mengeringkan bagian perinium dan vulva.
b. Pemberian Cairan dan Nutrisi
Memberikan asupan nutrisi (makanan ringan dan minuman
setelah persalinan karena ibu telah banyak mengeluarkan tenaga
selama kelahiran bayi. Dengan pemenuhan asupan nutrisi ini
diharapkan agar ibu tidak kehilangan energi.
c. Kebutuhan Istirahat
Setelah janin dan plasenta lahir kemudian ibu sudah
dibersihakan, ibu dianjurkan untuk istirahat karena sudah
mengeluarkan banyak tenaga pada saat persalinan. Disini pola
istirahat ibu dapat membantu mengembalikan alat-alat reproduksi dan
meminimalisir trauma pada saat persalinan.
d. Sugesti
Sugesti adalah member pengaruh pada ibu dengan pemikirkan
yang dapat diterima secara logis. Menurut psikologis, sosial individu
yang keadaan psikisnya labil akan lebih mudah dipengaruhi dan
mudah mendapatkan sugesti. Demikian juga pada wanita yang
keadaan psikisnya kurang stabil, lebih-lebih dalam masa persalinan,
mudah sekali menerima pengaruh atau menerima sugesti. Kesempatan
ini harus digunakan untuk memberikan sugesti yang bersifat positif.
e. Mengalihkan perhatian
Perasaan sakit akan bertambah bila perhatian dikhususkan pada
rasa sakit itu. Usaha yang dilakukan misalnya mengajak bercerita,
sedikit bersenda gurau, jika ibu masih kuat berilah buku bacaan yang
menarik (Mutmainnah, Annisa U dkk, 2017).

14
3. Pemeriksaan Plasenta, Selaput ketuban dan Tali pusat
Melakukan pemeriksaan plasenta sesudah lahir merupakan
tindakan untuk memastikan bahwa plasenta dan selaput ketuban lengkap
dan utuh serta untuk mendiagnosa normalitas plasenta.
Bila bagian plasenta dan selaput ketuban tidak utuh (ada bagian yang
tertinggal) menyebabkan uterus tidak berkontraksi secara efektif dan
mengakibatkan pendarahan post partum.
Pemeriksaan kelengkapan plasenta dan selaput ketuban sebaiknya
dilakukan segera setelah kelahiran selesar agar jika ada keraguan tentang
kelengkapannya, maka langkah selanjutnya bisa diambil sebelum ibu
meninggalkan ruangan bersalin.
Setelah plasenta lahir bersama selaputnya, prinsip-prinsip yang harus
diperhatikan :
1) Plasenta normal : berat ±500 gram, diameter 15-20 cm, dan
dengan ketebalan 1,5-3 cm.
2) Kelengkapan kotiledon, yang berjumlah ± 16-20
3) Keutuhan pertemuan robekan selaput ketuban.
4) Mencari tanda abnormalitas plasenta, seperti : plasenta
suksenturiata ( Damayanti, ika putri dkk, 2014).

Tertinggalnya sebagian jaringan plasenta dapat menyebabkan :

1) Pendarahan perineum yang berkepanjangan


2) Bahaya infeksi
3) Terjadi polip plasenta
4) Degenerasi ganas menjadi kariokarsinoma (Nurasih Ai
dkk,2012).
B. Asuhan Pada Ibu Bersalin Kala IV
Sebagian besar kesakitan dan kematian ibu akibat perdarahan
pascapersalinan terjadi dalam 4 jam pertama setelah kelahiran bayi. Karena
alasan ini, sangatlah penting untuk memantau ibu secara ketat segera setelah
persalinan. Jika tanda-tanda vital dan kontraksi uterus masih dalam batas

15
normal selama dua jam pertama pascapersalinan, mungkin ibu tidak akan
mengalami perdarahan pascapersalinan. Penting untuk berada di samping ibu
dan bayinya selama dua jam pertama pasca persalinan.
Selama dua jam pertama pasca persalinan :
1. Evaluasi Kontraksi Uterus, Robekan Jalan Lahir
a. Evaluasi Kontraksi Uterus
Perlu diperhatikan bahwa kontraksi uterus multak diperlukan
untuk mencegah terjadinya pendarahan dan pengembalian uterus ke
bentuk normal. Kontraksi uterus yang tidak kuat dan terus menerus
dapat menyebabkan terjadinya atonia uteri, yang dapat mengganggu
keselamatan ibu. Untuk itu evaluasi uterus pasca pengeluaran plasenta
sangat penting untuk diperhatikan.
Untuk membantu uterus berkontraksi, bisa dilakukan dengan
massase agar uterus tidak lembek dan mampu berkontraksi secara kuat.
Setela kelahiran plasenta, periksa kelengkapan dari plasenta dan
selaput ketuban. Jika masih ada sisa plasenta dan selaput ketuban yang
tertinggal dalam uterus akan mengganggu kontraksi uterus sehingga
menyebabkan perdarahan. Jika dalam waktu 15 menit uterus tidak
berkontraksi dengan baik, maka akan terjadi atonia uteri. Oleh karena
itu, diperlukan tindakan rangsangan taktil (massase) fundus uteri dan
bila perlu dilakukan Kompresi bimanual. Dapat diberikan obat
oksitosin dan harus diawasi sekurang kurangnya selama satu jam
sambil mengamati terjadinya pendarahan post partum (Nurasiah, Ai
dkk, 2012).
b. Evaluasi Robekan Jalan Lahir
Untuk mengetahui apakah ada tidaknya robekan jalan lahir,
maka periksa daerah perineum, vagina dan vulva. Setelah bayi
lahir, vagina akan mengalami peregangan, oleh kemungkinan edema
dan lecet. Introitus vagina juga akan tampak terkulai dan terbuka.
Sedangkan vulva bisa berwarna merah, bengkak dan mengalami lecet-
lecet.

16
Segera setelah kelahiran bayi, serviks dan vagina harus diperiksa
secara menyeluruh untuk mencari ada tidaknya laserasi dan dilakukan
perbaikan lewat pembedahan kalau diperlukan. Serviks, vagina dan
perineum dapat diperiksa lebih mudah sebelum pelepasan plasenta
karena tidak ada pendarahan rahim yang mengaburkan pandangan.
Untuk mengetahui ada tidaknya trauma atau hemoroid yang keluar,
maka periksa anus dengan rectal toucher (Nurasiah, Ai dkk, 2012).
2. Perkiraan Darah yang Hilang
Sangat sulit untuk memperkirakan kehilangan darah secara tepat
karena darah seringkali bercampur dengan cairan ketuban atau urin dan
mungkin terserap handuk, kain atau sarung. Tak mungkin menilai
kehilangan darah secara akurat melalui penghitungan jumlah sarung
karena ukuran sarung bermacam-macam dan mungkin telah diganti jika
terkena sedikit darah atau basah oleh darah. Meletakkan wadah atau pispot
di bawah bokong ibu untuk mengumpulkan darah, bukanlah cara efektif
untuk mengukur kehilangan darah dan cerminan asuhan sayang ibu karena
berbaring di atas wadah atau pispot sangat tidak nyaman dan menyulitkan
ibu untuk memegang dan menyusukan bayinya.
Satu cara sederhana untuk menilai kehilangan darah adalah dengan
melihat volume darah yang terkumpul dan memperkirakan berapa banyak
botol 500 ml dapat menampung semua darah tersebut. Jika darah bisa
mengisi dua botol, ibu telah kehilangan satu liter darah. Jika darah bisa
mengisi setengah botol, ibu kehilangan 250 ml darah. Memperkirakan
kehilangan darah hanyalah salah satu cara untuk menilai kondisi ibu. Cara
tak langsung untuk mengukur jumlah kehilangan darah adalah melalui
penampakan gejala dan tekanan darah.
Apabila perdarahan menyebabkan ibu lemas, pusing dan kesadaran
menurun serta tekanan darah sistolik turun lebih dari 30 mmHg dari
kondisi sebelumnya maka telah terjadi pendarahan ≥ 500 ml. Bila ibu
mengalami syok hipovolemik maka ibu telah kehilangan darah 50% dari
total jumlah darah ibu (2000-2500 ml).

17
Penting untuk memantau keadaan umum dan menilai jumlah
kehilangan darah ibu selama kala empat melalui tanda vital, jumlah darah
yang keluar dan kontraksi uterus (Santoso, Budi Iman dkk, 2017).
3. Melakukan Penjahitan Luka Episiotomi atau Laserasi
Prinsip Penjahitan Luka Episiotomi atau Laserasi Perineum :
a. Indikasi episiotomi
1) Gawat janin
2) Persalinan per vaginam dengan penyulit (sungsang, tindakan
vakum ataupun forsep).
3) Jaringan parut (perineum dan vagina) yang menghalangi
kemajuan persalinan.
b. Derajat laserasi perineum
1) Derajat satu : mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum.
Penjahitan tidak diperlukan jika tidak ada pendarahan dan jika luka
tereposisi secara alamiah.
2) Derajat dua : mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum,
otot perineum. Jahit menggunakan teknik jelujur dan subkutikuler.
3) Derajat Tiga : mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum,
otot perineum, otot spingter ani eksterna.
4) Derajat empat : mukosa vagina, komisura posterior, kulit
perineum, otot perineum, otot spingter ani eksterna, dinding rectum
anterior. Jangan coba menjahit laserasi perineum derajat tiga dan
empat. Segera lakukan rujukan karena laserasi ini memerlukan
teknik dan prosedur khusus.

18
c. Tujuan penjahitan
1) Untuk menyatukan kembali jaringan yang luka
2) Mencegah kehilangan darah.
d. Keuntungan teknik jelujur
1) Mudah dipelajari
2) Tidak nyeri
3) Sedikit jahitan.
e. Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan penjahitan, perlu
diperhatikan tentang :
1) Laserasi derajat satu yang tidak mengalami perdarahan, tidak perlu
dilakukan penjahitan.
2) Menggunakan sedikit jahitan.
3) Menggunakan selalu teknik aseptik.
4) Menggunakan anestesi lokal, untuk memberikan kenyamanan ibu.
f. Keuntungan Penggunaan Anestesi Lokal
1) Ibu lebih merasa nyaman (sayang ibu).
2) Bidan lebih leluasa dalam penjahitan.
3) Lebih cepat dalam menjahit perlukaannya (mengurangi kehilangan
darah).
4) Trauma pada jaringan lebih sedikit (mengurangi infeksi).
g. Pemberian anastesi local
Berikan anastesi lokal pada setiap ibu yang memerlukan penjahitan
laserasi atau episiotomi. penjahitan sangat menyakitkan dan
menggunakan anastesi lokal merupakan asuhan sayang ibu. Jika ibu
dilakukan tindakan episiotomi dengan anastesi lokal, lakukan
pengujian luka untuk mengetahui bahwa anastesi
masih bekerja.sentuh luka dengan jarum yang tajam atau cubit
dengan forseps atau cunam. Jika ibu tidak merasa nyaman, maka
ulangi lagi pemberian anastesi lokal sebelum penjahitan.
Gunakan tabung suntik satu kali pakai dan jarum ukuran 22
panjang 4 cm. Jarum yang lebih panjang atau tabung suntik yang lebih

19
besar bisa digunakan, tapi jarum harus berukuran 22 atau lebih kecil
tergantung tempat yang memerlukan anastesi. Obat standar yang di
gunakan untuk anastesi lokal adalah 1% lidokain tanpa epinefrin
(silokain). Jika lidokain 1% tidak tersedia, gunakan lidokain 2%
dengan di larutkan terlebih dahulu dengan air steril atau normalsalin
dengan perbandingan 1:1 (sebagai contoh, larutkan 5 ml lidokain 2%
dengan 5ml air steril untuk membuat larutan klorin 1%). Hati-hati
pada saat pemberian anastesi jangan sampai masuk kedalam pembuluh
darah karena dapat menyebabkan ibu menjadi kejang bahkan dapat
menyebabkan kematian.

Langkah-langkah pemberian anastesi lokal adalah sebagai berikut :

1) Jelaskan pada ibu apa yang akan dilakukan dan bantu ibu untuk
merasa santai atau rileks.
2)  Isap 10 ml larutan lidokain 1% ke dalam alat suntik sekali pakai
ukuran 10 ml.
3) Tempelkan/pasang jarum suntik ukuran 22 pada tabung suntik
tersebut.
4)  Tusukkan jarum ke ujung atau pojok luka (laserasi), tarik jarum
sepanjang tepi luka (ke arah bawah di antara mukosa dan kulit
perineum).
5) Aspirasi (tarik pendorong tabung suntik) untuk memastikan bahwa
jarum tidak berada dalam pembuluh darah. Jika darah masuk ke
tabung suntik, jangan teruskan penyuntikan dan tarik jarum
seluruhnya. Pindahkan posisi jarum dan suntikan kembali. Alasan:
Ibu dapat mengalami kejang dan kematian bila lidokain    
disuntikkan ke dalam pembuluh darah.
6) Suntikan anestesi sejajar dengan permukaan luka pada saat jarum
suntik ditarik perlahan-lahan.
7) Tarik jarum sampai ke bawah tempat di mana jarum tersebut
disuntikkan.

20
8) Arahkan lagi jarum ke daerah di atas tengah luka dan ulangi
langkah empat .Tusuk jarum untuk ketiga kalinya sehingga tiga
garis di satu sisi luka mendapat anastesi lokal. Ulangi proses ini di
sisi lain luka tersebut. Setiap sisi luka akan memerlukan kurang
lebih 5 ml lidokain 1% untuk mendapatkan anastesi yang cukup.
9)  Tunggu selama dua menit dan biarkan anastesi tersebut bekerja
dan kemudian uji daerah yang dianastesi dengan cara mencubit
dengan forsep atau disentuh dengan jarum yang tajam.Jika ibu
merasakan jarum atau cubitan tersebut, tunggu dua menit lagi dan
kemudian uji kembali sebelum mulai menjahit luka.
h. Penjahitan laserasi perineum
Langkah-langkah penjahitan laserasi pada perineum adalah sebagai
berikut :
1) Cuci tangan secara saksama dan gunakan sarung tangan disinfeksi
tingkat tinggi atau steril. Ganti sarung tangan jika sudah
terkontaminasi atau jika tertusuk jarum maupun peralatan tajam
lainnya.
2) Pastikan bahwa peralatan dan bahan-bahan yang digunakan untuk
melakukan penjahitan sudah didisinfeksi tingkat tinggi atau steril.
3)  Setelah memberikan anastesi lokal dan memastikan bahwa daerah
tersebut telah dianastesi, telusuri dengan hati-hati dengan
menggunakan satu jari untuk secara luas menentukan batas-batas
luka. Nilai kedalaman luka dan lapisan jaringan yang terluka.
Dekatkan tepi laserasi untuk menentukan bagaimana cara
menjahitnya menjadi satu dengan mudah.
4)  Buat jahitan pertama kurang lebih 1 cm di atas ujung laserasi di
bagian dalam vagina. Setelah membuat tusukan pertama, buat
ikatan dan potong pendek benang yang lebih pendek dari ikatan.
5)  Tutup mukosa vagina dengan jahitan jelujur, jahit ke bawah ke
arah cincin himen.

21
6)  Tepat sebelum cincin himen, masukan jarum ke dalam mukosa
vagina lalu ke bawah cincin himen sampai jarum berada di bawah
laserasi. Periksa bagian antara jarum di perineum dan bagian atas
laserasi. Perhatikan seberapa dekat jarum ke atas puncak luka.
7) Teruskan ke arah bawah,tetapi tetap pada luka, hingga jelujur
mencapai bagian bawah laserasi. Pastikan bahwa jarak antara
jahitan sama dan otot yang terluka telah dijahit. Jika laseiSsi
meluas ke dalam otot, mungkin perlu melakukan satu atau dua
lapisan putus-putus untuk menghentikan perdarahan dan atau
mendekatkan jaringan tubuh secara efektif.
8) Setelah mencapai ujung laserasi, arahkan jarum ke atas dan
teruskan penjahitan dengan menggunakan jahitan jelujur untuk
menutup jaringan subkutikuler.Jahitan ini akan menjadi jahitan
lapis kedua. Periksa lubang bekas jarum tetap terbuka berukuran
0,5 cm atau kurang. Luka ini akan menutup dengan sendirinya saat
penyembuhan luka.
9) Tusukkan jarum dari robekan perineum ke dalam vagina. Jarum
harus keluar dari belakang cincin himen.
10) Ikat benang dengan membuat simpul di dalam vagina. Potong
ujung benang dan sisakan sekitar 1,5 cm. Jika ujung benang
dipotong terlalu pendek, simpul akan longgar dan laserasi akan
terbuka.
11)  Ulangi pemeriksaan vagina dengan lembut untuk memastikan
tidak ada kasa atau peralatan yang tertinggal di dalam.
12)  Dengan lembut, masukkan jari paling kecil ke dalam anus. Raba
apakah ada jahitan pada rektum. Jika ada jahitan yang teraba,
ulangi pemeriksaan rektum enam minggu pascapersalinan. Jika
penyembuhan belum sempurna (misalnya jika ada fistula
rektovaginal atau ibu melapor inkontinensia alvi atau feses), ibu
segera dirujuk ke fasilitas kesehatan rujukan.

22
13)  Cuci daerah genital secara lembut dengan sabun dan air disinfeksi
tingkat tinggi,kemudian keringkan. Bantu ibu mencari posisi yang
nyaman.
14) Nasihati ibu untuk melakukan hal-hal berikut.
a) Menjaga perineumnya selalu bersih dan kering.
b) Hindari penggunaan obat-obatan tradisional pada perineum.
c)  Cuci perineumnya dengan sabun dan air bersih yang mengalir
tiga sampai empat kali per hari.
d) Kembali dalam seminggu untuk memeriksakan penyembuhan
lukanya. Ibu harus kembali lebih awal jika ia mengalami
demam atau mengeluarkan cairan yang berbau busuk dari
daerah lukanya atau jika daerah tersebut menjadi lebih nyeri.
i. Penjahitan Episiotomi
Secara umum prosedur menjahit episiotomi sama dengan
menjahit laserasi perineum. Jika episiotomi sudah dilakukan, lakukan
penilaian secara hati-hati untuk memastikan lukanya tidak meluas.
Sedapat mungkin, gunakan jahitan jelujur. Jika ada sayatan yang
terlalu dalam hingga mencapai lapisan otot, mungkin diperlukan
penjahitan secara terputus untuk merapatkan jaringan (Nurasih, Ai
dkk, 2012).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Herdini Widyaning Pertiwi,


Lies Indarwati di dalam jurnal nya yang berjudul efektifitas prosedur
penatalaksanaan pra penjahitan metode jelujur terhadap lamanya
penyembuhan luka perineum menyatakan ada hubungan yang sangat kuat
dan signifikan antara prosedur pra penjahitan menggunakan anestesi
dengan lamanya proses penyembuhan luka perineum pada ibu post
partum. Artinya prosedur pra penjahitan tanpa anestesi lebih efektif
terhadap penyembuhan luka robekan perineum.

23
4. Pemantauan dan Evaluasi Lanjut Kala IV
a. Vital Sign
Tekanan darah < 90/60 mmhg, jika denyut nadinya normal,
tekanan darah yang rendah ini tidak jadi masalah. Akan tetapi jika
tekanan darah 90/60 dan nadinya 100x/menit, ini mengidentifikasi
adanya satu masalah. Bidan harus mengumpulkan data lain untuk
membuat diagnosis. Mungkin ibu sedang mengalami demam atau
banyak mengeluarkan darah.

Suhu tubuh yang normal adalah < 38C. Jika suhunya >38C
bidan harus mengumpulkan data untuk memungkinkan
identifikasi masalah.suhu yang tinngi tersebut mungkin disebabkan
oleh dehidrasi (karena persalinan yang lama dan tidak cukup minum)
atau ada infeksi.

b. Kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri

Pemantauan adanya kontraksi uterus sangat lah penting dalam


asuhan persalinan kala IV dan perlu evaluasi lanjut setelah plasenta
lahir berguna untuk memantau terjadinya pendarahan. Kalau kontraksi
uterus baik dan kuat kemungkinan terjadinya pendarahan sangat kecil.
Pasca melahirkan perlu melakukan pemantawan secara seksama
mengenai ada tidaknya kontraksi uterus yang telah kita ketahui dengan
meraba bagian perut ibu serta perlu diamati apakah tinggi fundus
uterinya akan berada 2 jari dibawah pusat dan terletak agak sebelah
kanan.
Tonus uterus dan tinggi fundus uteri-kontraksi tidak baik maka
uterus teraba lembek. TFU yang normal adalah sejajar dengan pusat
atau di bawah pusat. Uterus lembek (lakukan masase uterus, bila perlu
berikan injeksi oksitosin atau methergin).
c. Lochea
Selama beberapa hari pertama setelah kelahiran sekret rahim
(lochea) tampak merah (lochea rubra) karena adanya eritrosit. Setelah

24
3 sampai 4 hari lochea menjadi lebih pucat (lochea serosa) dan di hari
ke-10 lochea tampak putih atau putih kekuningan (lochea alba).
Lochea yang berbau busuk diduga adanya suatu di endometriosis.
d. Kandung Kemih
Jika kandung kencing penuh dengan air seni, uterus tidak dapat
berkontraksi dengan baik.jika uterus naik didalam abdomen dan
tergeser ke samping, ini biasanya merupakan bertanda bahwa kandung
kencingnya penuh.bantulah ibu untuk bangun dan coba apakah ia bisa
buang air kecil.jika tidak bisa buang air kecil,bantulah ia agar merasa
rileks dengan meletakan jari-jarinya di dalam air hangat, mengucurkan
air ke atas perinium, dengan menjaga pripasinya.jika ia tidak dapat
kencing, lakukan katerisasi. Setelah kandung kencingnya kosong,
uterus akan dapat berkontraksi dengan baik.
e. Perdarahan
Perdaran yang normal setelah kelahiran mungkin hanya akan
sebanyak 1 pembalut per jam, selama 6 jam pertama atau seperti darah
haid yang banyak. Jika perdarahan lebih banyak dari ini, ibu
hendaknya di periksa lebih sering dan penyebab perdarahan berat
harus diselidiki. Apakah ada laserasi pada vagina atau serviks, apakah
uterus berkontraksi dengan baik, apakah kandung kencingnya kosong.
f. Perineum
perineum dievaluasi untuk melihat adanya edema, memar dan
pembentukan hematoma serta untuk memeriksa apakah ada perdarahan
pada jahitan perineum (Nurasiah, Ai dkk, 2012).

25
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Manajemen Aktif
Kala III adalah Pemberian Suntikan Oksitosin, penegangan tali pusat
terkendali, dan rangsangan taktil (Masase) Fundus Uteri. Komplikasi
persalinan kala III merupakan masalah yang terjadi setelah janin lahir/ berada
diluar rahim. Komplikasi yang terjadi adalah perdarahan yang sering
menyebabkan kefatalan/kematian bila tidak ditangani sesegera mungkin.
Asuhan kebidanan pada kala IV (pengawasan 2 jam setelah kelahiran)
merupakan masa penting, di mana pada fase ini sering terjadi kondisi
patologis pada ibu maupun bayi. Komplikasai paling sering pada saat ini
adalah terjadinya pendarahan post-partum.pada bayi,bisa terjadi asfiksia atau
hipotermi pada saat ini.oleh karena itu diperlukan pengawansan terhadap ibu
dan bayi secara terjadwal.
B. Saran
Seluruh tenaga penolong persalinan (bidan, dokter) diharapkan dapat
melakukan Manajemen Aktif kala III pada setiap asuhan poersalinan normal
sebagai upaya percepatran penurunan angka kemnatian ibu di Indonesia.
Dalam melaksanakan Manajemen Aktif kala III bidan harus memperhatikan
setiap tindakan agar tidak terjadi kekeliruan ataupun kesalahan yang dapat
membahayakan keselamatan ibu. Setiap tindakan juga harus disesuaikan
dengan ketentuan yang berlaku sehingga perdarahan postpartum dapat
dikurangi.

26

Anda mungkin juga menyukai