Anda di halaman 1dari 3

Legal Due Diligence, Peluru

Ampuh untuk Negosiasi Harga


Tidak hanya berfungsi untuk meminimalisir risiko hukum,
lawyer yang kreatif bisa menggunakan LDD sebagai peluru
untuk negosiasi harga.
Suatu kegiatan operasional perusahaan tidak akan bisa berjalan tanpa adanya
perizinan. Apalagi jika suatu perusahaan tersandung permasalahan hukum atau
ternyata terdapat izin yang bermasalah, hal ini dapat mengakibatkan
tersendatnya operasi perusahaan, dicabutnya izin perusahaan, bahkan
menurunkan reputasi suatu perusahaan. Sementara untuk menjaga stabilitas
atau menaikkan nilai saham, suatu perusahaan harus memiliki reputasi yang
baik, dalam artian tidak tersangkut masalah hukum.

Sudah pasti setiap perusahaan yang tidak ingin tersandung risiko hukum dituntut
harus berhati-hati sebelum memutuskan untuk mengambil keputusan atas
berbagai aktivitas perusahaan. Aktivitas perusahaan tersebut bisa beraneka
ragam seperti merger, konsolidasi serta akuisisi, baik akuisisi aset maupun
saham.

Dalam rangka kehati-hatian tersebut perlu dilakukan


suatu assessment (penilaian) secara komprehensif dan menyeluruh terkait
seluruh objek yang akan dibeli maupun diambilalih oleh suatu perusahaan.
Penilaian secara komprehensif tersebut dikenal juga dengan uji tuntas
atau Legal Due Diligence(LDD).

LDD merupakan uji tuntas atau kegiatan pemeriksaan aspek hukum secara
seksama oleh konsultan hukum terhadap suatu objek transaksi perusahaan
sesuai dengan tujuan transaksi yang bertujuan untuk memperoleh informasi atau
fakta materiil yang menggambarkan kondisi suatu perusahaan maupun objek
transaksinya.

Berbagai informasi yang berhasil dihimpun konsultan hukum dalam proses LDD
bisa menjadi pisau yang digunakan sebagai alat untuk negosiasi harga.
Sehingga risiko mengeluarkan budget terlalu besar untuk membeli suatu
perusahaan yang ternyata bermasalah atau beberapa izin usaha masih belum
tuntas dapat diminimalisir.

“Supaya tahu penyakit perusahaan, supaya klien kita tidak merasa seperti beli
kucing dalam karung sekaligus bisa kita gunakan sebagai alat untuk negosiasi
harga,” kata Managing Partner pada AKSET Law, Mohamad Kadri, dalam acara
Pelatihan Hukum dan Bimbingan Kerja Untuk Fresh Graduate Hukum yang
digelar Hukumonline di Jakarta, Rabu (14/2).

Ketika ditemukan beberapa permasalahan hukum perusahaan yang akan dibeli,


maka itu merupakan peluang bagi lawyer untuk bisa negosiasi menurunkan
harga. Namun ketika ditemukan banyak sekali permasalahan perusahaan
tersebut, pembelian perusahaan (transaksi) bisa batal.

Baca Juga : Strategi Pembuatan Due Diligence Tanpa Celah

Oleh sebab itu, skill sangat penting bagi seorang lawyer untuk bisa mem-
balancing dengan baik terkait peluang dan risiko transaksi serta mampu secara
kreatif memberikan solusi terbaik demi kepentingan transaksi, namun tetap
sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.

“Lawyer yang sibuk bilang ga bisa-ga bisa terus itu ga kreatif, tapi lawyer yang
sibuk bilang bisa-bisa terus juga bahaya, orang jadi ngeri,” ujar Kadri.

Di acara yang sama, Senior Associate pada AKSET Law Firm, Gabriella M.C.
Ticoalu, menjelaskan ada prosedur yang harus ditempuh dalam melakukan
LDD. Pertama, pembuatan MoU atau nota kesepahaman sebagai bentuk
perjanjian pendahuluan (preliminary agreement) antara penjual dan pembeli
yang berisi ketertarikan untuk membeli suatu objek barang atau usaha.

Namun sebelum komitmen untuk menyepakati janji-janji tersebut, pembeli harus


memeriksa kondisi objek jual beli tersebut. Hal ini biasanya dicantumkan di MoU,
berapa jangka waktu pembeli untuk melakukan due dilligence process.

Baca Juga: Legal Audit (2)

Kedua, tahap due diligence process untuk melakukan review terhadap dokumen-
dokumen yang berfungsi menemukan isu mana yang bisa menjadi deal
breaker dan isu mana yang bisa dijadikan alat untuk negosiasi harga. Seluruh isu
dan informasi yang berhasil dikumpulkan pada tahapan due dilligence
process berfungsi sebagai peluru pembeli untuk bernegosiasi pada tahapan
selanjutnya.

Ketiga, tahap drafting & negotiating CSPA. CSPA merupakan perjanjian lanjutan
dari MoU yang berisi hak dan kewajiban lebih lanjut dari para pihak, namun
dalam CSPA belum terjadi jual beli objek.
“Misalnya, selama jangka waktu CSPA pihak penjual dilarang melakukan
penambahan modal atau selama jangka waktu CSPA tidak boleh jual aset.
Setelah CSPA disepakati, barulah masuk ke dalam proses penandatanganan
CSPA yang mengakibatkan CSPA tersebut mulai berlaku efektif terhadap kedua
belah pihak,” kata Gabriella.

Keempat, tahap periode conditions presedent (CP). CP memuat hal penting


terkait apa yang harus dilakukan pihak penjual atau pihak pembeli sebelum
saham ini bisa dialihkan. Dalam usaha perkebunan misalnya. Menurut Gabriella,
bila izin perkebunan sudah mau habis dan harus diperpanjang, dalam CP inilah
pembeli dapat bernegosiasi agar penjual dapat memperpanjang izin perkebunan
tersebut terlebih dahulu sebelum masuk ke tahap closing.

Sumber: bahan presentasi Pelatihan Hukumonline

Kelima, tahap Closing atau Completion. Jika LDD tersebut sudah closing, maka
seluruh tanggungjawab hukum penjual sudah beralih ke tangan pembeli. Bila
kemudian ditemukan bahwa ada informasi penting yang disembunyikan oleh
penjual sebelumnya dan merugikan pembeli, maka penjual dapat dituntut.

Terkait penuntutan ini, Mohamad Kadri menjelaskan bahwa mekanisme


penuntutan tersebut bisa ditemukan dalam conditional sale agreement. Namun,
ia mengingatkan bahwa jangka waktu proses penyusunan LDD beragam
tergantung pada besarnya size suatu perusahaan, lama berdirinya perusahaan
tersebut serta banyak tidaknya anak perusahaan.

“Terlebih jika perusahaan tersebut memiliki banyak cabang perusahaan di


berbagai daerah,” katanya.

Anda mungkin juga menyukai