Anda di halaman 1dari 10

Optimalisasi Pelestarian Ekowisata Mangrove Berbasis Local Wisdom

di Bedul Banyuwangi
Imam Arifa’illah Syaiful Huda1, ,Bigharta Bekti Susetyo2,
1
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial UM, faillah.arif@gmail.com
2
Mahasiswa, Fakultas Ilmu Sosial UM, bighartabekti@yahoo.com

JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
Oktober 2013

1
Abstrak

Optimalisasi Pelestarian Ekowisata Mangrove Berbasis Local Wisdom


di Bedul Banyuwangi.
Imam Arifa’illah Syaiful Huda dan Bigharta Bekti Susetyo.

Pelestarian hutan mangrove menjadi komponen yang sangat penting untuk keseimbangan ekosistem di
wilayah pesisir dan lautan. Hutan mangrove selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi
biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan (nursery ground) berbagai macam biota, penahan abrasi pantai,
amukan angin topan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah interusi air laut, hutan mangrove juga mempunyai
fungsi ekonomis yang tinggi seperti penyedia kayu, obat-obatan, alat, dan teknik penangkapan ikan
(Rahmawaty: 2006). Sesuai data Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia tahun 2012 Sekitar 60
persen dari total hutan mangrove di wilayah pesisir Indonesia yang mencapai 4,3 juta hektare mengalami
kerusakan. Kondisi ini menjadi ancaman terhadap ekosistem mangrove. Untuk memperbaiki hutan mangrove di
seluruh Indonesia dibutuhkan dana ratusan miliar. Tetapi yang jauh lebih penting untuk pelestarian hutan
mangrove tersebut adalah dengan cara memperbaiki sudut pandang (mindset) masyarakat yakni pelestarian tidak
dimulai ketika kerusakan lingkungan sudah terjadi, namun pelestarian harus dilakukan sebelum kerusakan terjadi
agar suatu ekosistem tetap terjaga dalam keasliannya. Hutan mangrove di Bedul Banyuwangi yang mempunyai
nilai ekologis dan ekonomi yang tinggi, hal ini sangat membutuhkan perhatian semua pihak agar tetap terjaga
kelestariannya, tetapi mampu memberikan manfaat ekonomi yang tinggi kepada masyarakat di sekitarnya.
Pembangunan dan pengembangan ekowisata mangrove di Bedul Banyuwang diharapkan mampu
mempertahankan nilai ekologis dan mampu member nilai ekonomis. Oleh sebab itu dalam pengembangannya
tidak perlu merusak ekosistem pantai dan hutan mangrove tersebut. Pedoman strategi nasional pengelolaan
mangrove harus menjadi dasar dalam pembangunan ekowisata mangrove. Salah satu pendekatan untuk
mengoptimalkan pelestarian ekowisata mangrove di Bedul Banyuwangi yakni dengan pendekatan berbasis
kearifan lokal (Local Wisdom). Pendekatan berbasis kearifan lokal perlu ditanamkan kepada Masyarakat dalam
bentuk pendidikan non formal yang mampu memberikan kesadaran masyarakat pada pelestarian mangrove
melalui penyuluhan dan pelatihan yang berkesinambungan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, perilaku,
adat kebiasaan, dan peran masyarakat terhadap upaya pelestaraian mangrove. Pendekatan kearifan lokal
berfungsi sebagai konservasi dan pelestarian sumber daya alam. Melalui konsep ekowisata yang mempunyai
penekanan pada konsep berkelanjutan, sehingga hutan mangrove Banyuwangi akan tetap terjaga. Di sisi lain
minat para wisatawan tetap tinggi, yang nantinya akan berpengaruh pada peningkatan pendapatan masyarakat
Bedul Banyuwangi.

Kata Kunci: Ekowisata, Mangrove, Local Wisdom

2
PENDAHULUAN

Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan yaitu wilayah
pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang
strategis karena merupakan wilayah interaksi/peralihan (interface) antara ekosistem darat dan ekosistem laut
yang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi biologi cukup besar serta jasa lingkungan
lainnya. Kekayaan sumber daya yang dimiliki wilayah tersebut menimbulkan daya Tarik bagi beberapa pihak
untuk memanfaatkan secara langsung atau untuk meregulasi pemanfaatanya karena secara sektoral memberikan
sumbangan yang besar dalam kegiatan ekonomi misalnya pertambangan, perikanan, kehutanan, industri,
pariwisata dan lain-lain. Wilayah pesisir merupakan ekosistem transisi yang dipengaruhi daratan dan lautan,
yang mencakup beberapa ekosistem, salah satunya yakni ekosistem hutan mangrove.

Sesuai data dari situs Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Lingkungan Mandiri Perdesaan
(PNPM LMP) pada tahun 2007 menyebutkan beberapa kerusakan hutan mangrove di Indonesia diantaranya; di
Riau sekitar 6 pulau telah tenggelam akibat abrasi air laut. Keenam pulau itu adalah Nipah, Barkih, Raya, Jenir,
Desa Muntai dan Sinabo. Tenggelamnya pulau-pulau itu adalah akibat eksploitasi hutan mangrove yang
berlebihan. Di Jawa Tengah, kerusakan hutan mangrove diperkirakan sekitar 90% dari total hutan mangrove
yang ada di pantura Jawa Tengah. kerusakan itu terjadi di 7 kabupaten yaitu Rembang, Demak, Jepara, Kota
Semarang, Kendal, Kota Tegal, dan Brebes. Abrasi pantai akibat pengrusakan mangrove di tujuh daerah tersebut
sekitar 5.400 hektar. Di Kalimantan Timur, kurang lebih 370.000 hektar hutan mangrove di provinsi itu sudah
hancur dan dikonversi menjadi tambak udang. Sementara luas hutan mangrove yang ada diperkirakan tinggal
512.000 hektar. Di Bekasi, dari sekitar 15.000 hektar hutan mangrove yang ada, kini tinggal sekitar 600 hektar
saja yang tersisa. Pengrusakan mangrove disebabkan oleh pembabatan hutan oleh masyarakat sekitar antara lain
untuk bisnis properti, usaha tambak udang, perluasan wilayah, wisata, pembangunan jalan dan infrastruktur.

Kondisi mangrove di atas merupakan contoh nyata ancaman terhadap ekosistem kehidupan di wilayah
pantai dan pesisir. Salah satu mangrove yang masih terjaga kelestariannya yakni di Bedul Banyuwangi. Kondisi
mangrove Banyuwangi tergolong masih baik dan masih terjaga kelestariaannya. Ini didukung dengan konsep
ekowisata yang mengedepankan pelestarian lingkungan dan tetap mendapatkan keuntungan tanpa merusak hutan
mangrove. Namun, dari hasil survei pada 04-07 Oktober 2013 pada masyarakat Bedul Banyuwangi mengenai
pemahaman pengelolaan mangrove yang mencakup syarat hidup dan tumbuh kembangnya menyatakam bahwa
80% pengetahuan masyarakat terhadap pelestarian mangrove masih rendah. Untuk menjaga pelestarian
mangrove yang masih lestari tersebut perlu adanya optimalisasi pelestarian mangrove dengan merubah cara
pandang atau mindset masyarakat sebagai berikut ”pelestarian tidak dimulai ketika kerusakan lingkungan sudah
terjadi, namun pelestarian harus dilakukan sebelum kerusakan terjadi agar tetap dalam keasliannya”.
Pendekatan yang digunakan dalam pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove yakni pendekatan
berbasis kearifan local (local wisdom). Selama ini, kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dikontrol kuat oleh
Negara yang pengelolaannya didelegasikan penguasa besar, jarang kepada rakyat kecil. Pemerintah sepertinya
kurang percaya bahwa rakyat mampu mengelola sumberdaya alam yang ada di lingkungannya (Sallatang dalam
Golar, 2002). Berdasarkan hal di atas penulis mencoba untuk mencari solusi bagaimana Pelestarian Ekowisata
Mangrove Berbasis Local Wisdom di Bedul Banyuwangi.

DASAR TEORI

Definisi ekowisata yang pertama diperkenalkan oleh Organisasi The Ecotourism Society (1990), diacu
oleh Fandeli (2000), ekowisata adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan
tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Bentuk
pariwisata ini telah menjadi salah satu kegiatan ekonomi global yang terbesar. Suatu cara untuk membayar
konservasi alam dan meningkatkan nilai lahan-lahan dalam kondisi alami. Ekowisata sesungguhnya adalah suatu
perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan lingkungan, ekonomi dan sosial (Lindberg 1995).
Drumm (dalam Sudiarta, 2006) menyatakan bahwa ada enam keuntungan dalam implementasi kegiatan
ekowisata yaitu: (1) memberikan nilai ekonomi dalam kegiatan ekosistem di dalam lingkungan yang dijadikan
sebagai obyek wisata; (2) menghasilkan keuntungan secara langsung untuk pelestarian lingkungan; (3)
memberikan keuntungan secara langsung dan tidak langsung bagi para stakeholders; (4) membangun
3
konstituensi untuk konservasi secara lokal, nasional dan internasional; (5) mempromosikan penggunaan sumber
daya alam yang berkelanjutan; dan (6) mengurangi ancaman terhadap kenekaragaman hayati yang ada di obyek
wisata tersebut.

Pemanfaatan kawasan taman nasional melalui pengembangan potensi keanekaragaman hayati yang ada
sebagai obyek daya tarik wisata dengan tetap mengikutsertakan masyarakat lokal sebagai salah satu stakeholders
dalam kegiatan ekowisata merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk dalam mengelola kawasan
tersebut. Masyarakat lokal sebagai bagian yang secara langsung, memiliki hak dan tanggung jawab yang lebih
dibanding masyarakat yang dari luar, karena apabila terdapat perubahan pemanfaatan lingkungan alam akan
berdampak pada masyarakat lokal, demikian juga bila ada perubahan perilaku masyarakat akan mempengaruhi
lingkungannya, karena lingkungan alam dan masyarakat tersebut adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
ekowisata.
Dari sekian banyak pengertian ekowisata, pada dasarnya memiliki prinsip–prinsip utama yaitu : (1)
suatu model pengembangan wisata yang bertanggung jawab di daerah yang masih alami atau di daerah-daerah
yang dikelola dengan kaidah secara alam; (2) untuk menikmati keindahannya, juga melibatkan unsur pendidikan,
pemahaman dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi sumberdaya alam; dan (3) memiliki fungsi sosial
budaya ekonomi seperti peningkatan pengetahuan dan pendapatan masyarakat sekitar.
Menurut the ecotourism society (dalam Fandeli 2002:115-116), terdapat delapan prinsip-prinsip yang
bila dilaksanakan maka ekowisata menjamin pembangunan ecological friendly dari pembangunan yang berbasis
kerakyatan: (1) mencegah dan menanggulangi dampak dari aktifitas wisatawan terhadap alam dan budaya,
pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat; (2)
pendidikan konservasi lingkungan, mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti
konservasi; (3) pendapatan langsung untuk kawasan, mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata
dan menejemen pengelola kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan.; (4)
partisipasi masyarakat dalam perencanaan, masyarakat diajak dalam merencanakan pengembangan ekowisata.
(5) penghasilan masyarakat, keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat dari kegiatan ekowisata
mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan alam; (6) menjaga keharmonisan dengan alam, semua
upaya pengembangan termasuk pengembangan fasilitas dan utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan
alam; (7) peningkatan daya dukung lingkungan.

Ekosistem Hutan Mangrove

Hutan mangrove merupakan formasi hutan yang tumbuh dan berkembang pada daerah landai di muara
sungai dan pesisir pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Oleh karena kawasan hutan mangrove
secara rutin digenangi oleh pasang air laut, maka lingkungan (tanah dan air) hutan mangrove bersifat salin dan
tanahnya jenuh air. Vegetasi yang hidup di lingkungan salin, baik lingkungan tersebut kering maupun basah,
disebut halopita (Onrizal, 2005).

Menururt Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia (2008) ciri-iri ekosistem
mangrove adalah: (1) memiliki jenis pohon yang relatif sedikit; (2) memiliki akar nafas (pneumatofora)
misalnya seperti jangkar melengkung dan menjulang pada bakau Rhizophora spp., serta akar yang mencuat
vertikal seperti pensil pada pidada Sonneratia spp. dan pada api-api Avicennia spp.; (3) memiliki biji yang
bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya, khususnya pada Rhizophora yang lebih dikenal sebagai
propagul. (4) memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon.

Berdasarkan tempat hidupnya, hutan mangrove merupakan habitat yang unik dan memiliki ciri-ciri
khusus, diantaranya adalah: (1) tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari atau hanya tergenang
pada saat pasang pertama; (2) tempat tersebut menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat; (3) daerahnya
terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat; airnya berkadar garam (bersalinitas) payau (2
– 22%) hingga asin.

Soerianegara (1987) dalam Noor et al., (1999) memberikan batasan hutan mangrove sebagai hutan yang
tumbuh pada tanah alluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut
serta ciri dari hutan ini terdiri dari tegakan pohon Avicennia, Sonneratia, Aegiceras, Rhizophora, Bruguiera,
Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Scyphyphora dan Nypa. Flora mangrove terdiri atas pohon, epipit,
liana, alga, bakteri dan fungi. Telah diketahui lebih dari 20 famili flora mangrove dunia yang terdiri dari 30
genus dan lebih kurang 80 spesies. Berdasarkan jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan mangrove

4
Indonesia memiliki sekitar 89 jenis, yang terdiri atas 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29
jenis epifit dan 2 jenis parasit.

Faktor Lingkungan untuk Pertumbuhan Mangrove

Menurut Departemen Kehutanan (1992), kondisi ekologis yang mengatur dan memelihara kelestarian
ekosistem mangrove sangat tergantung pada kondisi berimbangnya jumlah ketersedian air tawar dan air masin
yang cukup. Menurut Parcival and Womersley (1975) dalam Kusmana (1995) lebih lanjut menyatakan bahwa
kondisi lingkungan yang mempengaruhi hutan mangrove adalah kondisi sedimentasi, erosi laut dan sungai,
penggenangan pasang surut dan kondisi garam tanah serta kondisi akibat eksploitasi. Faktor-faktor lingkungan
tersebut diuraikan sebagai berikut:

A. Fisiografi pantai

Fisiografi pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi spesies dan lebar hutan mangrove.
Pada pantai yanglandai, komposisi ekosistem mangrove lebih beragam jika dibandingkan dengan pantai
yang terjal. Hal ini disebabkan karena pantai landai menyediakan ruang yang lebih luas untuk tumbuhnya
mangrove sehingga distribusi spesies menjadi semakin luas dan lebar. Pada pantai yang terjal komposisi,
distribusi dan lebar hutan mangrove lebih kecil karena kontur yang terjal menyulitkan pohon mangrove
untuk tumbuh.

B. Pasang

Pasang yang terjadi di kawasan mangrove sangat menentukan zonasi tumbuhan dan komunitas
hewan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Secara rinci pengaruh pasang terhadap pertumbuhan
mangrove dijelaskan sebagai berikut:

Lama pasang:

1. Lama terjadinya pasang di kawasan mangrove dapat mempengaruhi perubahan salinitas air dimana
salinitas akan meningkat pada saat pasang dan sebaliknya akan menurun pada saat air laut surut
2. Perubahan salinitas yang terjadi sebagai akibat lama terjadinya pasang merupakan faktor pembatas
yang mempengaruhi distribusi spesies secara horizontal.
3. Perpindahan massa air antara air tawar dengan air laut mempengaruhi distribusi vertikal organisme

Durasi pasang:

1.Struktur dan kesuburan mangrove di suatu kawasan yang memiliki jenis pasang diurnal, semi
diurnal, dan campuran akan berbeda.
2. Komposisi spesies dan distribusi areal yang digenangi berbeda menurut durasi pasang atau
frekuensi penggenangan. Misalnya: penggenagan sepanjang waktu maka jenis yang dominan
adalah Rhizophora mucronata dan jenis Bruguiera serta Xylocarpus kadang-kadang ada.
C. Gelombang dan Arus
1. Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove. Pada lokasi-lokasi
yang memiliki gelombang dan arus yang cukup besar biasanya hutan mangrove mengalami abrasi
sehingga terjadi pengurangan luasan hutan.
2. Gelombang dan arus juga berpengaruh langsung terhadap distribusi spesies misalnya buah atau
semai Rhizophora terbawa gelombang dan arus sampai menemukan substrat yang sesuai untuk
menancap dan akhirnya tumbuh.
3. Gelombang dan arus berpengaruh tidak langsung terhadap sedimentasi pantai dan pembentukan
padatan-padatan pasir di muara sungai. Terjadinya sedimentasi dan padatan-padatan pasir ini
merupakan substrat yang baik untuk me nunjang pertumbuhan mangrove
4. Gelombang dan arus mempengaruhi daya tahan organisme akuatik melalui transportasi nutrien-
nutrien penting dari mangrove kelaut. Nutrien-nutrien yang berasal dari hasil dekomposisi serasah
maupun yang berasal dari run off daratan dan terjebak dihutan mangrove akan terbawa oleh arus
dan gelombang ke laut pada saat surut.
D. Iklim
5
Mempengaruhi perkembangan tumbuhan dan perubahan faktor fisik (substrat dan air). Pengaruh iklim
terhadap pertumbuhan mangrove melalui cahaya, curah hujan, suhu, dan angin. Penjelasan mengenai
faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Cahaya
a. Cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi, dan struktur fisik mangrove
b. Intensitas, kualitas, lama (mangrove adalah tumbuhan long day plants yang membutuhkan
intensitas cahaya yang tinggi sehingga sesuai untuk hidup di daerah tropis) pencahayaan
mempengaruhi pertumbuhan mangrove
c. Laju pertumbuhan tahunan mangrove yang berada di bawah naungan sinar matahari lebih kecil dan
sedangkan laju kematian adalah sebaliknya
d. Cahaya berpengaruh terhadap perbungaan dan germinasi dimana tumbuhan yang berada di luar ke
lompok (gerombol) akan menghasilkan lebih banyak bunga karena mendapat sinar matahari lebih
banyak daripada tumbuhan yang berada di dalam gerombol.

2. Curah hujan
a. Jumlah, lama, dan distribusi hujan mempengaruhi perkembangan tumbuhan mangrove
b. Curah hujan yang terjadi mempengaruhi kondisi udara, suhu air, salinitas air dan tanah Curah hujan
optimum pada suatu lokasi yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mangrove adalah yang berada
pada kisaran 1500-3000 mm/tahun
3. Suhu
a. Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi)
b. Produksi daun baru Avicennia marina terjadi pada suhu 18-20C dan jika suhu lebih tinggi maka
produksi menjadi berkurang
c. Rhizophora stylosa, Ceriops, Excocaria, Lumnitzera tumbuh optimal pada suhu 26-28C
d. Bruguiera tumbuh optimal pada suhu 27C, dan Xylocarpus tumbuh optimal pada suhu 21-26C
4. Angin
a. Angin mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus
b. Angin merupakan agen polinasi dan diseminasi biji sehingga membantu terjadinya proses
reproduksi tumbuhan mangrove
E. Salinitas
1. Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar antara 10-30 ppt
2. Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan zonasi mangrove ,hal ini
terkait dengan frekuensi penggenangan
3. Salinitas air akan meningkat jika pada siang hari cuaca panas dan dalam keadaan pasang
F. Oksigen Terlarut
1. Oksigen terlarut berperan penting dalam dekomposisi serasah karena bakteri dan fungsi yang
bertindak sebagai dekomposer membutuhkan oksigen untuk kehidupannya.
2. Oksigen terlarut juga penting dalam proses respirasi dan fotosintesis
3. Oksigen terlarut berada dalam kondisi tertinggi pada siang hari dan kondisi terendah pada malam
hari
G. Substrat
1. Karakteristik substrat merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan mangrove
2. Rhizophora mucronata dapat tumbuh baik pada substrat yang dalam tebal dan be rlumpur
3. Avicennia marina dan Bruguiera hidup pada tanah lumpur berpasir
4. Tekstur dan konsentrasi ion mempunyai susunan jenis dan kerapatan tegakan Misalnya jika
komposisi substrat lebih banyak liat (clay) dan debu (silt) maka tegakan menjadi lebih rapat
5. Konsentrasi kation Na>Mg>Ca atau K akan membentuk konfigurasi hutan Avicennia/Sonn
ratia/Rhizophora/Bruguiera
6. Mg>Ca>Na atau K yang ada adalah Nipah
7. Ca>Mg, Na atau K yang ada adalah Melauleuca
H. Hara

Unsur hara yang terdapat di ekosistem mangrove terdiri dari hara inorganik dan organik.

1. Inorganik : P,K,Ca,Mg,Na
2. Organik : Allochtonous dan Autochtonous (fitoplankton, bakteri, alga) Macnae dan Kalk (1962)
dalam Sukardjo (1981) menyatakan bahwa tinggi pohon-pohon mangrove dipengaruhi oleh faktor-
faktor salinitas air, drainase air dan pasang surut. Biasanya pada daerah dengan air tanah mendekati

6
permukaan dan mempunyai aerasi baik, kondisi dan tinggi vegetasinya seragam. Kemudian
vegetasi mangrove akan menjadi pendek jika mendekati zona dengan kondisi permukaan air jauh
dari permukaan.

METODE

Penelitian dilakukan di Kawasan mangrove Blok Bedul berada di tepian Segoro Anakan sepanjang kurang
lebih 16 km, luas hutan mangrove sekitar 2.300 hektar yang berada dalam kawasan Taman Nasional Alas Purwo
dan di Kawasan Perhutani. Penelitian dilakukan pada tanggal 04-07 Oktober 2013. Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif analitik dengan metode survei. Seperti yang diketahui bahwa
metode deskriptif dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan-keadaan nyata sekarang
(sementara berlangsung). Tujuan utama dalam menggunakan metode ini adalah untuk menggambarkan sifat
suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat di wilayah penelitian, dan memeriksa sebab-sebab dari suatu
gejala tertentu (Travers, 1978 dalam Sevilla et. al, 1993).Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian yaitu wawancara pada masyarakat Bedul Banyuwangi dan Studi pustaka, yaitu dengan cara mencari
teori yang ada hubungannya dengan optimalisasi ekowisata mangrove berbasis kearifan lokal.

Optimalisasi pelestarian ekowisata mangrove berbasis kearifan local (local wisdom) ditanamkan
melalui beberapa langkah. langkah yang pertama yakni membuat suatu komunitas pelestarian mangrove dari
warga bedul dengan slogan”MariMelestarikan Tanpa Menunggu Kerusakan”. Dengan terbentuknya komunitas
pelestarian mangrove akan mempermudah dalam langkah selanjutnya. Langkah yang kedua yakni Memberikan
penyuluhan dan pelatihan berupa pengelolaan mangrove yang benar dan berkelanjutan. Dengan adanya
penyuluhan dan pelatihan mengenai pengelolan mangrove, diharapkan pengetahuan, sikap, perilaku, adat
kebiasaan, dan peran masyarakat terhadap upaya pelestaraian mangrove meningkat. Langkah yang ketiga yakni
mengadakan beberapa kegiatan optimalisasi ekowisata mangrove dengan tepat dan benar, selain itu komunitas
pelestarian mangrove akan dipandu untuk memanfaatkan kondisi alam sekitar agar bernilai ekonomis. Contoh
budidaya lebah madu, pemanfaatan daun mangrove sebagai jenang mangrove, pewarna batik, kerupuk
mangrove, sirup mangrove dan dodol mangrove.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Mangrove Blok Bedul berada ditepian Segoro Anakan sepanjang kurang lebih 16 km, luas hutan
mangrove sekitar 2.300 hektar yang berada dalam kawasan Taman Nasional Alas Purwo dan di
KawasanPerhutani. Optimalisasi pelestarian mangrove Bedul Banyuwangi perlu ditingkatkan agar keseimbangan
ekosistem tetap terjaga. Komponen pertama dalam optimalisasi pelestarian mangrove yang harus dibenahi yakni
paradigma masyarakat. Menurut Lincoln (1994:107) Suatu paradigma dapat dipandang sebagai seperangkat
kepercayaan dasar (atau yang berada di balik fisik yaitu metafisik) yang bersifat pokok atau prinsip utama.
Dalam perkembangan pengertian paradigm selanjutnya adalah sebagai kerangka pikir, kerangka bertindak,
acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu
dijadikan sebagai kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan. Dengan
demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam melaksanakan segala hal dalam kehidupan
manusia.

7
Gambar: Peta Situasi Kawasan Mangrove Segoroanakan Taman Nasional Alas Purwo

Paradigma yang masih sering muncul di masyarakat mengenai pelestarian lingkungan


yakni”pelestarian dilakukan ketika kerusakan sudah terjadi. Seharusnya pelestarian dimulaisebelum kerusakan
terjadi agar tetap dalam keasliannya”. Paradigma ini sangat cocok diterapkan dalam pelestarian lingkungan
agar terjaga kelestariannya.Dengan paradigma yang benar dan tepat akan memberikan acuan dasar terhadap
segala perbuatan atau tindakan masyarakat Bedul Banyuwangi untuk menjaga kelestarian mangrove.

Hutan mangrove Bedul Banyuwangi yang berbasis ekowisata akan memberikan kontribusi yang sangat
besar terhadap pelestarian mangrove dan masyarakat sekitar. Menurut Fennell (1999) dalam Hidayati et al.
(2003) mendefinisikan ekowisata sebagai kegiatan wisata berbasis alam yang berkelanjutan dengan fokus
pengalaman dan pendidikan tentang alam, dikelola dengan sistem pengelolaan tertentu dan memberi dampak
negatif paling rendah pada lingkungan. Ekowisata tidak bersifat konsumtif dan berorientasi lokal (dalam hal
kontrol, manfaat/keuntungan yang dapat diambil dari skala usaha). Sedangkan Wood (2002) dalam Hidayati et
al. (2003) mendefinisikan bahwa ekowisata sebagai kegiatan wisata bertanggungjawab yang berbasis utama pada
kegiatan wisata alam, dengan mengikutsertakan pula sebagian kegiatan wisata pedesaaan dan wisata budaya.

Prinsip dan Karakteristik Ekowisata TIES (2000) dalam Damanik dan Weber (2006) mengidentifikasi
beberapa prinsip ekowisata yang harus diikuti oleh pelaksana dan partisipator, yaitu: a. Meminimalkan dampak
negatif; b. Membangun kesadaran serta menghormati budaya dan lingkungan; c. Memberikan pengalaman
positif bagi pengunjung dan masyarakat sekitar; d. Memberikan manfaat finansial secara langsung bagi
konservasi; e. Memberikan manfaat finansial bagi masyarakat setempat; f. Menumbuhkan kepekaan sosial,
lingkungan dan politik bagi masyarakat; dan g. Mendukung hak asasi manusia dan perjanjian buruh.

Ekowisata berbeda dengan kegiatan pariwisata lainnya karena ekowisata memiliki karakteristik yang
spesifik dengan adanya kepedulian pada pelestarian lingkungan dan pemberian manfaat ekonomi bagi
masyarakat lokal. Menurut Hidayati et al. (2003), kegiatan ekowisata harus mengikuti prinsip-prinsip
pengelolaan yang berkelanjutan seperti: (1) berbasis pada wisata alam; (2) menekankan pada kegiatan
konservasi; (3) mengacu pada pembangunan pariwisata yang berkelanjutan; (4) berkaitan dengan kegiatan
pengembangan pendidikan; (5) mengakomodasikan budaya lokal; dan (7) memberi kontribusi positif pada
ekonomi lokal. Meskipun mangrove Bedul berbasis ekowisata, tetap harus diperhatikan dalam pengelolaanya.
Seperti Pembangunan dan pengembangan ekowisata mangrove Banyuwangi tidak perlu merusak ekosistem
pantai dan hutan mangrove. Pedoman strategi nasional pengelolaan mangrove harus menjadi dasar dalam
pembangunan ekowisata mangrove.
8
Optimalisasi Pelestarian Mangrove Berbasis Kearifan Lokal

Pelestarian mangrove Bedul Banyuwangi harus ada campur tangan dari masyarakat sekitar.
Keikutsertaan masyarakat bedul dalam pelestarian akan memberikan kontribusi yang besar, keikutsertaan
masyarakat dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, diantaranya:

Pendekatan non teknis dan Pendekatan kearifan lokal (Local Wisdom)

Pendekatan non teknis mengarah pada pembentukan organisasi penggarap kawasan mangrove yakni
”Kelompok Tani Hutan Mangrove (KTHM)”. Kelompok Tani Hutan Mangrove berperan sebagai pengelola
dalam membangun dan melestarikan mangrove. Untuk mengoptimalkan kinerja Kelompok Tani Hutan
Mangrove perlu dibentuk kepengurusan yang jelas agar tanggung jawab pelaksanaan program kerja dapat
dilaksanakan dengan baik.KTHM ini perlu juga dilengkapai dengan koperasi sebagai wadah penyedia sarana
produksi pertanian atau sarana pengolahan hasil.

Di ekowisata mangrove Bedul Banyuwangi Kelompok pengelolah mangrove hanya dominan pada
ekowisata, belum mengarah pada pelestarian mangrove dan pengembangan potensi lainnya. Dari hasil
wawancara pada masyarakat (pengelola ekowisata) Bedul menyatakan bahwa 80% pengetahuan mengenai
mangrove sangat minim, meliputi jenis-jenis mangrove, cara menanam yang baik, dan syarat hidup mangrove.
Minimnya pengetahuan masyarakat Bedul terhadap pengelolaan mangrove dapat ditingkatkan melalui
pendekatan kearifan local dengan beberapa kegiatan sesuai program kerja. Petrasa Wacana dalam artikel yang
berjudul ”Kebudayaan dan Kearifan Lokal dalam Mengelola Lingkungan dan Sumberdaya Air Kawasan
Kars Gunung Sewu” menyatakan bahwa kearifan lokal merupakan seperangkat pengetahuan yang
dikembangkan oleh suatu kelompok masyarakat setempat (komunitas) yang terhimpun dan terangkum dari
pengalaman panjang manusia menggeluti alam dalam ikatan hubungan yang saling menguntungkan kedua belah
pihak (manusia dan lingkungan) secara berkelanjutan dan dengan ritme yang harmonis. Kemudian kita
lanjutkankan dengan kearifan lokal yang spesifik mengenai lingkungan yaitu kearifan lingkungan. Kearifan
lingkungan (ecological wisdom) merupakan pengetahuan yang diperoleh dari abstraksi pengalaman adaptasi
aktif terhadap lingkungannya yang khas. Pengetahuan tersebut diwujudkan dalam bentuk ide, aktivitas dan
peralatan. Kearifan lingkungan yang diwujudkan ke dalam tiga bentuk tersebut dipahami, dikembangkan,
dipedomani dan diwariskan secara turun-temurunoleh komunitas pendukungnya. Sikap dan perilaku
menyimpang dari kearifan lingkungan, dianggap penyimpangan (deviant), tidak arif, merusak, mencemari,
mengganggu dan lain-lain.

Kegiatan-kegiatan berbasis kearifan lokal ditanamkan dalam bentuk pendidikan non formal bagi
masyarakat setempat berupa penyuluhan dan pelatihan yang berkesinambungan untuk meningkatkan
pengetahuan, sikap, perilaku, adat kebiasaan, dan peran masyarakat terhadap upaya pelestaraian mangrove.
Pendekatan kearifan lokal berfungsi sebagai konservasi dan pelestarian sumber daya alam. Dalam Fadmin
Prihatin Malau,Kembali kepada Kearifan Lokal Lingkungan Indonesia.”ketakutan akan hancurnya lingkungan
hidup di Indonesia tidak akan terjadi bila kearifan lingkungan atau kearifan lokal masyarakat (local wisdom)
yang sudah ada di dalam kehidupan masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu tetap terpelihara dengan baik

Optimalisasi pelestarian mangrove melaluiKelompok Tani Hutan Mangrove (KTHM) Bedul Banyuwangidapat
dilakukan sebagai berikut:

1. Mengadakan kegiatan penyuluhan dan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan mengenai mangrove
2. Pembagian tugas KTHM yang jelas dalam menjalakan program kerja
3. Menjalankan program kerja sesuia tanggung jawab masing-masing
4. Melaksanakan penanaman mangrove disetiap lokasi garapan masing-masing
5. Ikut menertibkan pemukiman/perambah dalam kawasan hutan mangrove
6. Gotong royong memperbaiki saluran air yang dangkal untuk memperlancar pasang surut air laut dan
aliran sungai
7. Secara rutin mengadakan pertemuan untuk membahas permasalahan yang dihadapi, diantaranya
kerusakan mangrove, budidaya ikan, udang, kepiting dikawasan hutan mangrove.
8. Disamping itu melakukan usaha koperasi simpan pinjam, pelayanan saprodi, pemasaran hasil ikan dan
pengembangan pengelolaan ikan.
9
Kesimpulan

Dari hasil deskripsi di atas dapat disimpulkan bahwa optimalisasi pelestarian ekowisata mangrove
berbasis local wisdom dapat meningkatkan kelestarian mangrove dengan beberapa kegiatan, sepertipenyuluhan
dan pelatihan yang berkesinambungan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, perilaku, adat kebiasaan, dan
peran masyarakat terhadap upaya pelestaraian mangrove. Optimalisasi ini didukung dengan adanya Kelompok
Tani Hutan Mangrove dan Perbaikan paradigma masyarakat Bedul bahwa ”pelestarian tidak dimulai ketika
kerusakan lingkungan sudah terjadi, namun pelestarian harus dilakukan sebelum kerusakan terjadi agar tetap
dalam keasliannya” dengan kombinasi pendekatan ekowisata dan local wisdom diharapkan mampu menjadi
percontohan dalam pelestarian mangrove lainnya. Sejalan dengan itu, kesejahtraan masyarakat Bedul akan
meningkat.

Saran

Untuk dapat optimalisasi pengembangan potensi ekowisata di Bedul Banyuwangi perlu pendekatan
yang bersifat praktis dan mendasar sebagai berikut: (1) Perbaikan paradigma masyarakat Bedul bahwa
”pelestarian tidak dimulai ketika kerusakan lingkungan sudah terjadi, namun pelestarian harus dilakukan
sebelum kerusakan terjadi agar tetap dalam keasliannya (2) memberikan pelatihan dan pendidikan ekowisata
bagi masyarakat.

Daftar Rujukan

Fandeli, C, dan Muhklison (2000). Pengusahaan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.
Kusworo, HA (2000). Pengembangan Wisata Pedesaan Tepi Hutan Berbasis Kerakyatan dalam Pengusahaan
Ekowisata, Pengusahaan Ekowisata. Chafid Fandeli, ed. Fakultas kehutanan. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.
Lindberg, K and Enriquez, J (1994) Summary Report: An Analysis of Ecotourism’s Contribution to Conservation
and Development in Belize. Vol. 1. WWF,Washington, DC, USA.
Sudiarta, Made. 2006. Ekowisata Hutan Mangrove : Wahana Pelestarian Alam Dan Pendidikan Lingkungan.
Jurnal Manajemen Pariwisata, Juni 2006, volume 5, nomor 1 2.
Suriani, Nur Emma & Razaki, M. Nurdin. 2011. Pemetaan Potensi Ekowisata di Taman Nasional Baluran.
Jurnal Pariwisata Fisip UNAIR Volume 24, nomor 3 hal 251-280
UPT Perpustakaan Universitas Negeri Malang. karya ilmiah. (Online), http://library.um.ac.id/free-contents/new-
karyailmiah/search.php/mangrove.php diakses pada 28 September 2013
Ningtyas, Ika. 2012. Wisata Mangrove Banyuwangi Percontohan Nasional. (Online),
http://www.tempo.co/read/news/2012/05/31/199407289/Wisata Mangrove Banyuwangi Percontohan
Nasional. Diakses pada 28 September 2013
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Lingkungan Mandiri Perdesaan (PNPM LMP) .Selamatkan
Mangrove Demi Bumi Tercinta. (Online), http://www.green
pnpm.com/pnpmlmp/baru/BeritaNew/DetailBerita.php?kodeberita=B0057 Diakses pada 28 September
2013
Rahmawaty. 2006. Upaya pelestarian mangrove berdasarkan pendekatan masyarakat. Departemen Kehutanan
Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara. File pdf diakses pada 01 Oktober 2013

10

Anda mungkin juga menyukai