Cekungan Air
Cekungan Air
OLEH :
NAMA : JEFRIYADI GURUSINGA
NPM : 141113015
Puji syukur saya sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan saya kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini, makalah ini
membahas kasus cekungan air tanah di Jakarta, Surat Keputusan Presiden RI No
26 Tahun 2011 + lampiran , penentuan batas cekungan air tanah, luasan cekungan
air tanah dan potesi cekungan air tanah
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I. PENDAHULUAN
4.1. Kesimpulan
4.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Air tanah mengalir dalam lapisan pembawa air (akuifer) yang dibatasi oleh
batas hidrogeologi yang dapat berupa batuan, patahan, lipatan, atau tubuh air
permukaan. Batas-batas ini menentukan tiga elemen penting dalam anatomi
cekungan hidrogeologi, yaitu kawasan imbuhan (recharge area), kawasan
pengaliran (flowing area), dan kawasan pengurasan (discharge area). Kendali
hidrogeologi bersifat alamiah dan tidak kasat mata karena berada di bawah
permukaan.
1. Salah satu sistem cekungan air tanah yang berkembang sangat pesat di
Indonesia adalah cekungan air tanah gunung api. Dengan jumlah gunung api yang
kurang lebih 130 buah di Indonesia, maka sumber daya air yang mengalir di
dalamnya sangat besar.
2. Bab ini ditulis dengan dilator-belakangi perhatian penulis atas adanya berbagai
pendapat para pakar mengenai kondisi air tanah di Indonesia baik yang
menyangkut kuantitas maupun kualitasnya. Permasalahan air tanah di Cekungan
indonesia menjadi berkembang pada saat dikaitkan dengan permasalahan
indonesia sebagai kawasan imbuhan yang masih saja menjadi polemik. Banyak
ahli juga memberikan pandangan dan saran sesuai bidang keahlian yang dimiliki.
Gambar Ilustrasi tata air yang dikendalikan kondisi geologi berupa perlapisan
akuifer dan lapisan kedap air. Batas-batas tersebut tidak mengikuti batas
administrasi
1.2 Tujuan
TINJAUAN UMUM
Adanya krisis air akibat kerusakan lingkungan, perlu suatu upaya untuk
menjaga keberadaan/ketersediaan sumber daya air tanah salah satunya dengan
memiliki suatu sistem monitoring penggunaan air tanah yang dapat
divisualisasikan dalam data spasial dan atributnya. Dalam Undang-undang
Sumber Daya Air, daerah aliran air tanah disebut Cekungan Air Tanah (CAT)
yang didefinisikan sebagai suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis,
tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbunan, pengaliran dan
pelepasan air tanah berlangsung.
Elemen CAT adalah semua air yang terdapat di bawah permukaan tanah,
jadi seakan-akan merupakan kebalikan dari air permukaan.
2.2. Penetapan Cekungan Air Tanah
Perbedaan antara batas cekungan air tanah dengan batas administrasi, akan
menyebabkan rancangan penetapan cekungan air tanah terbagi menjadi 4 kategori,
yaitu:
Tabel Potensi air tanah pada CAT di Indonesia per Pulau (Air Tanah Danaryanto
et al, 2005)
Gambar Potensi air tanah pada CAT akuifer bebas dan tertekan
Potensi Air
Tanah pada
Luas
No CAT Jumlah Akuifer (juta
m3/tahun)
(km2) Bebas Tertekan
1 Lintas Negara 5 147.886 126.276 5.259
2 Lintas Provinsi 36 319.635 131.186 4.127
Lintas
3 176 349.023 198.101 9.987
Kabupaten/Kota
Dalam
4 204 91.071 40.654 1.533
Kabupaten/Kota
Total 421 907.615 496.217 20.906
Salah satu contoh CAT lintas negara adalah CAT Timika–Merauke. CAT
tersebut melintasi batas administrasi Negara Papua Nugini. Sebaran CAT Timika–
Merauke dapat dilihat pada Gambar 5-12.
CAT lintas provinsi adalah CAT yang berada pada dua wilayah provinsi
atau lebih. Pengelolaan air tanah pada CAT lintas provinsi merupakan
kewenangan Pemerintah (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral). Di
Indonesia terdapat 36 CAT yang keberadaannya melintasi wilayah provinsi.
Salah satu contoh CAT lintas provinsi adalah CAT Tegal – Brebes yang
berada pada wilayah administrasi Provinsi (Prov.) Jawa Tengah dan Jawa Barat
seperti pada Gambar 5-13.
Luasan cekungan air tanah dan potensi air tanah pada akuifer bebas
terkecil terdapat di Watuputih Prov. Jawa Tengah, dengan luasan 31 km2 dan
potensi sebesar 3 juta m3/tahun. Sedangkan untuk potensi air tanah pada akuifer
tertekan terkecil sebesar 1 juta m3/tahun dijumpai di beberapa daerah yaitu:
Butung Prov. Sulawesi Tengah; Bobo, Langko dan Sinjai Prov. Sulawesi Selatan;
Kolaka dan Tinanggea Prov. Sulawesi Tenggara; dan Reo-Riung di Prov. Nusa
Tenggara Timur. Dapat disimpulkan bahwa untuk cekungan air tanah lintas
kabupaten/kota, Jawa Tengah memiliki luasan cekungan air tanah terkecil
dibandingkan daerah lain di seluruh Indonesia.
Air tanah dalam CAT dalam satu kabupaten/kota dikelola oleh bupati/
walikota.
Gambar Perbesaran Area C Gambar, Contoh CAT dalam satu kabupaten: CAT
Banyuwangi dan CAT Blambangan, Kab. Banyuwangi.
2.4. Surat Keputusan Presiden RI No 26 Tahun 2011
beserta lampiran
lampiran 1 CAT di Jakarta, STUDI KASUS
lampiran 2 CAT di Jakarta, STUDI KASUS
2.5. Penentuan Batas Cekungan Air Tanah
Dalam kondisi seperti itu, penentuan batas cekungan air tanah perlu
dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi antar kabupaten/kota, provinsi, atau
negara yang tercakup di dalam cekungan tersebut.
Penentuan batas cekungan air tanah meliputi batas lateral dan batas
vertikal.
Batas tanpa aliran eksternal adalah bidang kontak antara akuifer dan bukan
akuifer. Batas itu dapat berupa bidang sesar, keselarasan, atau ketidakselarasan.
1. Peta geologi skala lebih besar atau sama dengan 1:250.000, untuk melakukan
pengelompokan formasi batuan atau satuan batuan menjadi satuan
hidrogeologi, yakni akuifer atau bukan akuifer, dan memperoleh
informasi tentang struktur geologi terutama sesar, lipatan, dan kekar.
2. Peta hidrogeologi skala lebih besar atau sama dengan 1:250.000, untuk
memperoleh informasi tentang satuan hidrogeologi (akuifer dan non akuifer).
Batas pemisah air tanah terletak berimpit dengan batas pemisah air
permukaan pada suatu akuifer utama, yang memisahkan dua aliran air
tanah dengan arah berlawanan. Batas pemisah air tanah ditentukan berdasarkan:
1. Peta geologi dan peta hidrogeologi skala lebih besar atau sama dengan
1:250.000, untuk memperoleh informasi tentang satuan hidrogeologi.
2. Peta topografi/peta rupa bumi skala lebih besar atau sama dengan 1:250.000,
untuk menentukan batas pemisah air permukaan.
c. Batas muka air permukaan eksternal (tipe batas B1)
1. Peta topografi/peta rupa bumi skala lebih besar atau sama dengan 1:250.000,
untuk memperoleh informasi tentang lokasi dan kedudukan muka
air permukaan yang bersifat tetap, misal muka air laut dan danau.
2. Peta geologi dan peta hidrogeologi skala lebih besar atau sama dengan
1:250.000, untuk memperoleh informasi tentang satuan hidrogeologi.
3. Hasil analisis data hidrogeologi bawah permukaan dari kegitan
pengeboran dan atau pendugaan geofisika, untuk memperoleh informasi jenis
akuifer dan sebarannya.
1. Batas muka air permukaan eksternal adalah muka air laut di sepanjang garis
pantai yang berbatasan dengan akuifer utama dan muka air danau yang
berbatasan dengan akuifer utama.
2. Batas sebagaimana disebut pada huruf a, merupakan
batas lateral cekungan air tanah jika akuifer utama berupa akuifer tertekan,
batas lateral cekungan itu berada di daerah lepas pantai.
Batas aliran air tanah masuk ke dalam cekungan air tanah (tipe batas C1)
dan batas aliran air tanah keluar dari cekungan air tanah (tipe batas C2) ditentukan
berdasarkan:
1. Peta geologi dan peta hidrogeologi skala lebih besar atau sama dengan
1:250.000, untuk memperoleh informasi tentang satuan hidrogeologi dan
parameter akuifer terutama keterusan (T) dan koefisien kelulusan (k).
2. Peta curah hujan tahunan rata-rata skala lebih besar atau sama dengan
1:250.000, sebagai data masukan untuk penghitungan jumlah imbuhan air
tanah di dalam cekungan (Qtotal).
3. Peta aliran air tanah skala lebih besar atau sama dengan 1:100.000, untuk
menentukan arah aliran air tanah dan penghitungan jumlah aliran air tanah
yang masuk ke dalam cekungan (Qin) atau jumlah aliran air tanah yang
keluar dari cekungan (Qout).
Penentuan batas vertikal dilakukan untuk mengetahui batas, sebaran, dan dimensi
cekungan air tanah pada arah vertikal. Penentuan batas vertikal cekungan air
tanah dilakukan sebagai berikut.
Batas tanpa aliran internal adalah bidang kontak antara akuifer dan bukan akuifer
yang mengalasinya atau yang berfungsi sebagai dasar akuifer. Batas itu dapat
berupa bidang keselarasan atau ketidakselarasan.
Batas tanpa aliran internal ditentukan berdasarkan: peta geologi dan peta
hidrogeologi skala lebih besar atau sama dengan 1:250.000, hasil analisis
pendugaan geofisika, dan penampang litologi dari hasil kegiatan pengeboran,
untuk memperoleh informasi tentang sebaran dan dimensi akuifer dan bukaan
akuifer secara vertikal.
1. Peta geologi dan peta hidrogeologi skala lebih besar atau sama dengan
1:250.000, hasil analisis pendugaan geofisika, dan penampang litologi dari
hasil kegiatan pengeboran, untuk memperoleh informasi tentang ketebalan
akuifer di bawah kanal atau sungai (d) dan ketebalan maksimum akuifer
utama (d3-maks dan d4-maks) yang berada di kedua sisi saluran/kanal atau
sungai (Akuifer-3 dan Akuifer-4).
2. Peta topografi skala lebih besar atau sama dengan 1:250.000, untuk
memperoleh informasi lokasi dan sebaran saluran/kanal dan sungai.
3. Hasil analisis data pengukuran atau rekaman kedudukan muka
air saluran/kanal dan muka air sungai, untuk memperoleh informasi tentang
kedudukan muka air saluran/kanal dan muka air sungai.
Berdasarkan informasi seperti pada huruf a, b, dan c di atas, batas muka
air permukaan internal ditentukan sebagai berikut.
1. Jika d/d3-maks > 5% dan d/d4-maks > 5%, tipe batas B2 merupakan batas
vertikal bagian atas cekungan air tanah, artinya Akuifer-3 dan Akuifer-4
berada dalam satu cekungan air tanah.
2. Jika d/d3-maks £ 5% dan d/d4-maks £ 5%, tipe batas B2 merupakan batas
lateral cekungan air tanah, artinya Akuifer-3 dan Akuifer-4 berada pada
cekungan air tanah yang berbeda.
3. Jika d/d3-maks > 5% dan d/d4-maks < 5%, tipe batas B2 merupakan batas
lateral cekungan air tanah dari Akuifer-4.
4. Jika d/d3-maks < 5% dan d/d4-maks > 5%, tipe batas B2 merupakan batas
lateral cekungan air tanah dari Akuifer-3.
Batas muka air tanah bebas adalah bidang yang merupakan tempat kedudukan
muka air tanah tersebut. Batas muka air tanah bebas ditentukan berdasarkan peta
muka air tanah bebas skala lebih besar atau sama dengan 1:250.000, untuk
memperoleh informasi tentang kedudukan muka air tanah.
BAB III
CONTOH KASUS
3. Amblesan tanah
Penggunaan air tanah Jakarta memang besar. Data resmi untuk pemakaian
komersial menurut Dinas Pelayanan Pajak adalah 22 juta meter kubik per tahun.
Biasanya penggunaan komersial adalah 30 persen dari penggunaan domestik.
Dengan demikian, hitungan kasar total pemanfaatan air tanah Jakarta 73 juta
meter kubik per tahun. Akan tetapi, penghitungan berdasar jumlah penduduk yang
9 juta orang, rata-rata kebutuhan air dan kemampuan layanan PT Palyja dan PT
Aetra, maka angka minimal pemanfaatan air tanah yang muncul adalah 270 juta
meter kubik per tahun, jauh di atas batas pengambilan aman, yaitu 60 juta meter
kubik per tahun.
Gap yang besar ini mungkin terjadi karena pengawasan air tanah masih
sangat minimal. Jumlah aparat yang bertugas mengawasi dapat dihitung dengan
jari, sementara pemanfaat komersial sudah ribuan jumlahnya. Di sisi lain,
pengawasan dari masyarakat sangat sulit dilakukan karena data pemanfaat
komersial air tanah tertutup rapat.
• 1993 pengambilannya tercatat 32,6 juta m3/tahun dari sekitar 2800 sumur,
Jumlah pengambilan airtanah yang sebenarnya relatif jauh lebih besar dari
angka-angka tersebut di atas, karena masih banyaknya sumur-sumur produksi
yang belum terdaftar. Berdasarkan hasil kalibrasi pada 1985, jumlah pengambilan
airtanah pada 1994 diperkirakan telah mencapai sekitar 53 juta m3.
- Muka airtanah pada sistem akuifer ini menunjukkan pola fluktuasi dengan
kecenderungan turun selama periode pemantauan. Di wilayah DKI Jakarta,
kecepatan penurunan pada pemantauan >2 tahun (periode panjang) antara
0,12 m/tahun (Tongkol) dan 0,46 m/tahun (Kuningan), sedangkan di luar
wilayah DKI Jakarta terhitung 0,07 m/tahun (Cibinong). Pada periode
1994, kecepatan penurunannya antara 0,06 m/tahun (Cibinong) dan 4,44
m/tahun (Cilandak).
- Pola perubahan muka air tanah pada sistem akuifer tidak tertekan
dipengaruhi oleh pola curah hujan di daerah sekitarnya. Pada saat
berlangsungnya musim penghujan, muka airtanah umumnya cenderung
naik karena proses pengisian kembali, sementara penurunan muka airtanah
secara alamiah (natural groundwater depletion) terjadi pada saat musim
kemarau. Di beberapa lokasi seperti di Monas, Senayan, pasar Rebo dan
Cilandak, perubahan muka air tanah sangat terkait dengan pola
pemompaan di sekitar lokasi pemantauan.
Akuifer air tanah tak tertekan mempunyai kedudukan muka alami (1956)
sekitar 5 m (aml), yang kemudian turun menjadi 2,49 m (bml) pada tahun 1992.
Pada tahun 1994 muka air tanah mengalami penurunan terdalam yang mencapai
3,48 - 3,50 m (bml), sedangkan hasil studi 1996 menunjukkan penurunan antara
01,0-4,35 m (bml). Akuifer ini memiliki batas penyebaran yang berjarak antara
3,0-11,0 km ke arah darat dari pantai, dan berdasarkan analisis hidrokimia
(Distam DKI Jakarta & Dit GTL, 1995), menunjukkan bahwa akuifernya,
memiliki hubungan dengan air laut dan tidak memperlihatkan terjadinya proses
intrusi air laut. Proses yang terjadi adalah proses pencucian karena tipe air
tanahnya adalah Natrium Bikoarbonat (umumnya air tanah tua). Hasil analisis
isotop menunjukkan umur rata-rata air tanahnya adalah 10,318 ± 13,639 tahun.
Pada sistem akuifer ini, gejala kenaikan muka airtanah selama periode >2
hanya terjadi di Tongkol (0,43 m/tahun), sedangkan pada 1994 terjadi di
kompleks PAM Darmawangsa (0,24 m/tahun). Diwilayah DKI Jakarta,
kecepatanpenurunan muka airtanah selama periode >2 tahun terhitung antara 0,22
m/bulan (Sunter) dan 2,47 m/bulan (kompleks Jakarta Land), sementara di luar
wilayah DKI Jakarta mencapai 0,81 m/bulan (Teluk Pucung). Selama periode
1994, gejala penurunan muka airtanah di wilayah DKI Jakarta terhitung dengan
kecepatan antara 0,72 m/tahun (Walang Baru dan kompleks Hotel Borobudur) dan
3,96 m/tahun (Senayan), sedangkan di luar wilayah DKI Jakarta mencapai 1,20
m/tahun di Teluk Pucung.
Akuifer air tanah tertekan atas (40-140 m) memiliki kedudukan muka air
tanah dalam (1956) antara 1 - 10 m (ami), dan mengalami penurunan kembali
pada tahun 1992 menjadi 18,64 - 35,50 m (bml). Dan pada tahun 1994 muka air
tanah turun kembali menjadi 31,78 - 56,90 m (bml). Sedangkan hasil studi 1995
memperlihatkan bahwa mat nya telah mengalami kenaikan antara 12,70 - 52,98 m
(nml). Akuifer ini memiliki batas penyebaran yang berjarak antara 1,5 - 7,5 km ke
arah darat dari pantai, dan berdasarkan analisis hidrokimia (Distam DKI Jakarta &
Dit GTL, 1995) memperlihatkan bahwa akuifernya tidak memiliki hubungan
dengan air laut, tetapi yang terjadi adalah proses pencucian karena tipe air
tanahnya adalah Natrium Bikarbonat (umumnya air tanah tua). Hasil analisis
isotop memperlihatkan bahwa umur rata-rata air tanahnya adalah 17.500 s/d
22.006 tahun.
Pola muka airtanah pada periode panjang (>2 tahun) menunjukkan gejala
penurunan pada semua lokasi pemantauan, sedangkan pada 1994 kenaikan muka
airtanah terjadi di kompleks DPRD Kebon Sirih (4,20 m/tahun) dan Cengkareng-
Pedongkelan (0,24 m/tahun). Kecepatan penurunan muka airtanah pada periode
>2 tahun antara 0,19 m/bulan (Sunter) dan 2,25 m/bulan (Porisgaga), sementara
selama periode 1994 kecepatan penurunan antara 0,24 m/tahun (Tongkol) dan
4,70 m/tahun (kompleks PT BASF). Pola perubahan muka airtanah pada sistem
akuifer tertekan bawah berhubungan erat dengan pola Qabs di daerah sekitarnya,
di mana pola perubahan pada periode Januari 1993 – November 1994 umumnya
sesuai dengan pola Qabs di wilayah DKI Jakarta. Didaerah Jakarta Utara
pemanfaatan airtanah sudah tidak memungkinkan untuk dikembangkan lebih
lanjut, terutama untuk proses industri (Zone IV pada Peta Konservasi Airtanah
Jakarta 1993/1994). Pola perubahan airtanah pada sistem akuifer tertekan (dalam)
pada periode 1994 masih didominasi oleh kecenderungan penurunan. Gejala yang
mengarah pada pemulihan kedudukan muka airtanah, ditunjukkan oleh
kecenderungan kenaikan, terjadi di Cakung (sistem akuifer tertekan atas),
kompleks DPRD Kebon Sirih dan
Akuifer air tanah tertekan bawah memiliki kedudukan mat alami (1956)
sekitar 2 m (negatif), yang kemudian mengalami penurunan menjadi 22,0-33,90 m
(bml). Selama tahun 1994 terus terjadi penurunan mat menjadi 40,0-51,40 m
(bml), sedangkan hasil studi 1995 menunjukkan bahwa akiufernya tidak
berhubungan dengan air laut, tetapi yang terjadi adalah proses pencucian karena
tipe air tanahnya adalah Natrium Bikarbonat. Hasil analisis isotop menunjukkan
umur rata-rata air tanahnya adalah 17,172 tahun s/ d 32,58 tahun.
Adanya data air tanah akuifer tertekan atas (40-140 m) yang bersifat payau
ternyata berada di tepi kali Grogor, Sunter dan Cakung, sehingga pencemaran air
payau ke dalam akifer tesebut adalah melalui mekanisme pasang naik air laut
yang masuk ke dalam aliran air sungai dan mencemari air tanah dangkalnya. Air
tanah payau ini akan menyebabkan rusaknya pipa sumur bor dalam yang
selanjutnya akan mengakibatkan pipa menjadi keropos dan bocor, dan akhirnya
mencemari air tanah tertekan atas (Distam DKI Jakarta &DitGTL, 1995).
Air garam yang berada dalam akuifer tertekan dapat pula merupakan air
tanah tua (Distam DKI Jakarta & GT, 1966) karena lingkungan pengendapan
akuifer adalah pengendapan fluviatil serta laut (Hehanusa & Djoehanah, 1983 dan
Distam DKI Jakarta & P3G 1995).
3.2. Analisa kasus dan konservasi air tanah
Pemerintah Jawa Barat dalam rangka konservasi air tanah ini telah
membuat perda yang diperlukan dalam langkah konservasi ini, yaitu Perda No 16
tahun 2001 tentang pengelolaan Air Bawah Tanah dan Perda No 6 tahun 2001
tentang pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.
Dalam kebijakan operasionalnya, strategi yang ditempuh adalah :
1. Pengurangan debit melalui syarat teknis Daftar Ulang Ijin Pengambilan Air
Tanah (SIPA)
Dalam skala kecil, peningkatan kualitas hidup tersebut akan terjadi, dan
juga keseimbangan sektor lainnya. Berbagai peraturan telah dibuat berkaitan
dengan pengelolaan sumberdaya air di Indonesia. Begitu pula halnya dengan
instansi yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya air. Pengelolaan air tanah
menjadi wewenang Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral sedangkan
Pengelolaan air permukaan menjadi wewenang Departemen Kimpraswil.
Sedangkan wewenang regulasi pengelolaan kualitas air permukaan dan tanah
dalam berbagai kegiatan ekonomi dan kemasyarakatan terdapat pada kementrian
negara Lingkungan Hidup.
4. Penetapan daerah perlindungan air tanah (zona aman, rawan, kritis, dan
rusak)
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
1. pemanfaatan air untuk memenuhi kebutuhan sektor industri dan jasa masih
mengandalkan air tanah secara berlebih menimbulkan dampak negative terhadap
sumberdaya air tanah maupun lingkungan yaitu Penurunan muka air tanah,Intrusi
air laut, dan Amblesan tanah
4. Peraturan tentang Cekungan Air Tanah sementara ini baru untuk P Jawa,
untuk daerah lainnya belum ada, sehingga hal ini harus lebih ditingkatkan lagi
secara bertahap.
4.2. SARAN
1. Harus ada keterpaduan dan integrasi antara air tanah yang terletak dalam satu
cekungan air tanah namun terletak pada pada wilayah sungai yang berbeda dalam
pengelolaan sumberdaya air yang hendak dilakukan.
3. Pemantauan penurunan muka air tanah pada setiap CAT perlu dilakukan
untuk mengetahui dampaknya terhadap land subsidence dan potensi intrusi air
laut.
DAFTAR PUSTAKA
www.academiedu.com
www.esdm/surat/keputusan/presiden/tentang/cekungan/air/tanah/beser
ta/lampiran.co.id