SKENARIO
1
BAB II
KATA KUNCI
1. Mudah marah
Marah adalah reaksi emosional akut ditimbulkan oleh sejumlah situasi
yang merangsang, termasuk ancaman, agresi , pengekangan diri, serangan
lisan, kekecewaan, atau frustrasi, dan dicirikan oleh reaksi kuat pada sistem
syaraf otonomik, khususnya oleh reaksi darurat pada bagian simpatetik; dan
secara implisit disebabkan oleh reaksi serangan lahiriah, baik yang bersifat
somatis atau jasmaniah maupun yang verbal atau lisan (Fauzia, 2006).
2. Perempuan 20 tahun
2
BAB III
PROBLEM
3
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Batasan
B. Anatomi
4
C. Fisiologi Limbic System
5
D. Patofisiologi
6
perkembangandan fungsi dari sirkuit PTSD, secara spesifik di respon
terhadap stress (Bailey, et al, 2013).
4. Axis hipotalamik-pituitary-adrenal (axis HPA) dan corticotropin
releasing factor (CRF)
System endogenous cannabinoid dipercaya berhubungan kuat
dengan axis HPA, neurosirkuit lain yang terlibat dalam respon stress.
Axis HPA adalah system neuroendokrin untuk respon stress yang
menghubungkan system saraf pusat ke system endokrin. Axis HPA
membantu adapatasi terhadap stress dan mengatur homeostasis tubuh
setelah terpapar suatu kejadian yang menantang, tapi juga vital untuk
membantu fungsi-fungsi dasar tubuh. CRF adalah molekul signal neuron
yang diproduksi oleh sel di hipotalamus untuk merespon terhadap stress
fisik maupun psikologik. Peningkatan CRF di hipotalamus
mengakibatkan aktivasi axis HPA yang kemudian meningkatkan kadar
kortisol. Dipercaya bahwa peningkatan CRF pasca trauma dapat
memunculkan ingtan traumatic dan mempertahankan gejala cemas pada
pasien (Bailey, et al, 2013).
7
kolaps. Beberapa orang dengan AF mungkin tidak memperhatikan gejala
apapun, bagaimanapun, tetap penting untuk mengobati kondisinya, karena
bisa menimbulkan masalah lain (Alpert, Calkins, dkk, 2014).
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis atrial
fibrilasi pada pasien didasarkan pada riwayat klinis pasien dan
pemeriksaan fisik dan dikonfirmasi oleh EKG, pemantauan irama pada
rawat jalan (misalnya telemetri, monitor Holter, event recorders), implant
loop recoders, alat pacu jantung atau defibrilator, atau dalam kasus yang
jarang terjadi, dengan studi elektrofisiologi. Evaluasi klinis, termasuk studi
tambahan yang mungkin diperlukan (Alpert, Calkins, dkk, 2014).
2. Ventrikel Fibrilasi
Fibrilasi ventrikel adalah aritmia awal yang paling umum
menyebabkan henti jantung dan muncul sebagai ritme yang kacau pada
EKG. fibrilasi ventrikel dapat digambarkan sebagai bagian yang berbeda
dari ventrikel miokardium yang terdepolarisasi secara kacau satu sama
lain, dan pada tingkat yang cepat dan tidak teratur. Aktivitas koordinasi
ventrikel dan kontraksi otot berhenti, menghasilkan curah jantung nol,
(Ambu).
Gejala yang mungkin timbul selama fibrilasi ventrikel, jantung
berhenti memompa setelah sekitar 10 detik dan henti jantung secara klinis
disertai dengan hilangnya kesadaran. Jika tidak diobati, kematian akan
terjadi setelah beberapa menit. Penyebab fibrilasi ventrikel terutama
penyakit arteri koroner, yang paling sering terjadi selama beberapa jam
pertama setelah infark miokard (primary VF). Fibrilasi ventrikel dapat
disebabkan oleh kecelakaan listrik, gangguan elektrolit yang serius,
tenggelam, tersedak, hipotermia dan toksisitas obat (digoxin, antidepresan
trisiklik, quinidin dan lainnya). Ventrikel fibrilasi yang terjadi jika tidak
ada infark miokard biasanya terkait dengan penyakit arteri koroner yang
parah dan kemungkinan akan kambuh pada pasien yang masih dapat
bertahan. Pasien tersebut memerlukan pemantauan terperinci, termasuk
pengujian latihan, angiografi koroner dan elektrofisiologi invasif, (Ambu).
8
Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosa yaitu dengan elektrokardiogram.
F. Anamnesis
1. IDENTITAS
9
Tekanan darah : 135/90 mmHg
Nadi : 115 x/menit
Respiratory read : 30 x/menit
Suhu tubuh : 37 ℃
Saturasi O₂ : 99%
4. Inspeksi / Palpasi / Perkusi / Auskultasi
a. Kepala – leher
- Anemia / Icterus / Cyanosis / Dypsneu : -/ - / - / -
- Pupil isokor, refleks cahaya kanan / kiri (+/+)
b. Thorax
- Cor : S1 S2 tunggal reguler, takikardi
- Pulmo : dalam batas normal, vesikuler, wheezing / ronchi (-/-)
c. Abdomen
- Dalam batas normal
d. Extremitas
- Dalam batas normal
10
BAB V
2. Hipertiroid
3. Hipoglikemi
11
BAB VI
12
f. Gejala menyebabkan kecemasan atau gangguan fungsional
Spesifikasi:
1) Akut : Gejala berlangsung 1 sampai 3 bulan
Faktor Resiko :
a. Perempuan
b. Mengalami trauma intens atau trauma jangka lama
c. Memiliki trauma diawal kehidupan
d. Memiliki masalah kesehatan mental lainnya, seperti kecemasan atau
depresi
e. Karena tidak memiliki sistem pendukung yang baik dari keluarga dan
teman
f. Memiliki kerabat dekat dengan masalah kesehatan mental
g. Memiliki kerabat dekat dengan depresi
h. Setelah dilecehkan atau disia-siakan sebagai seorang anak.
(Jiwo, 2014).
Gambaran klinis
Pemeriksaan status mental sering mengungkapkan rasa bersalah,
penolakan, dan cemoohan. Pasien juga menggambarkan disosiatif dan
serangan panik, ilusi dan halusinasi (APA, 1994).
Pemeriksaan Fisik
Sering tidak ditemukan adanya kelainan akan tetapi uji kognitif dapat
menunjukkan bahwa pasien memiliki penurunan daya memori dan perhatian.
Gejala terkait dapat mencakup agresi, kekerasan, kendali impuls yang buruk,
depresi (APA, 1994).
Terapi
Non farmakologi :
Psikoterapi, suatu bentuk dari perawatan (treatment) terhadap
masalah-masalah yang dasarnya emosi, meliputi :
13
1) Cognitive Behavioral Therapy (CBT) adalah mengidentifikasi pikiran-
pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut
tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian
mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu mencapai
emosi yang lebih seimbang.
2) Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR) adalah sebuah
pendekatan psikoterapi yang bertumpu pada model pemrosesan informasi
di dalam otak. Jaringan memori dilihat sebagai landasan yang mendasari
patologi sekaligus kesehatan mental, karena jaringan-jaringan memori
adalah dasar dari persepsi, sikap dan perilaku kita.
3) Playtherapy merupakan cara yang dapat digunakan untuk mengobati
PTSD pada anak periode awal/young children. Pada terapi ini bertujuan
untuk memahami trauma anak dan memberikan kebebasan untuk
berekspresi dalam mengurangi tekanan emosional yang dialami (APA,
1994 ; Jiwo, 2014).
Farmakologi :
a. antipsikotik untuk meredakan kecemasan yang parah dan masalah yang
terkait, seperti sulit tidur atau ledakan emosional.
b. Antidepresan. Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) obat sertraline
(Zoloft) dan paroxetine (Paxil) disetujui FDA untuk pengobatan PTSD.
c. Prazosin. Jika gejala termasuk insomnia atau mimpi buruk berulang (Jiwo,
2014).
2. Hipertiroid
Hipertiroidisme merupakan keadaan yang disebabkan kelenjar tiroid
memproduski hormone tiroid berlebihan. Berbeda dengan hipertiroidisme ada
gejala klinis yang disebabkan peningkatan kadar hormon tiroid di dalam
darah. Penyakit Graves merupakan penyabab hipertiroidisme yang tersering.
14
e. Respiratorik : Sesak nafas.
f. Gastrointestinal
: Peningkatan motilitas usus, sering buang air besar.
g. Renal : Poliuria, polydipsia.
h. Reproduksi : Gangguan siklus menstruasi, perubahan volume
menstruasi, impotensi, ginekomastia.
i. Neuromuskular : Tremor, mudah Lelah, kelemhan otot proksimal,
paralisis periodic.
j. Metabolik : Penurunan berat badan, nafsu makan tetap atau
meningkat.
k. Dermatologi : Miksedema, lembab, berkeringat, onkilosis.
3. Hipoglikemi
Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh konsumsi obat yang
digunakan untuk mengobati diabetes mellitus atau dengan paparan obat lain,
termasuk alkohol. Namun, sejumlah gangguan lainnya, termasuk gagal organ
kritis, sepsis dan malnutrisi, defisiensi hormon, tumor non-β-sel, insulinoma,
dan keadaan sebelum operasi lambung, dapat menyebabkan hipoglikemia.
Hipoglikemia paling meyakinkan didokumentasikan oleh triad Whipple: (1)
gejala yang konsisten dengan hipoglikemia, (2) konsentrasi glukosa plasma
rendah diukur dengan metode yang tepat (bukan monitor glukosa), dan (3)
perbaikan gejala setelah kadar glukosa plasma dinaikkan. Batas bawah kadar
15
glukosa plasma puasa biasanya 70 mg / dL (3,9 mmol / L), tetapi kadar
glukosa vena yang lebih rendah terjadi secara normal, terlambat setelah
makan, selama kehamilan, dan selama puasa yang lama (> 24 jam).
BAB VII
16
Dada berdebar-debar Kehilangan kesadaran
Sesak nafas
Tremor, kelemahan otot
Miksedema
Pemeriksaan Takikardia retrasi atau lag kelopak Diaphoresis dan pucat
Fisik mata
Takikardia Denyut jantung dan
Eksoftalmus tekanan darah sistolik
adanya peningkatan
meningkat
reflex wasting otot dan
myopati proksimal
yang tidak disertai
fasikulasi
17
BAB VIII
MEKANISME DIAGNOSIS
ANAMNESA
GEJALA KLINIS
1. IDENTITAS
- Nama : Nn. Sarah
- Umur : 20 tahun
- Jenis kelamin : Perempuan
- Pekerjaan : Mahasiswi
- Status pernikahan: Belum menikah
- Alamat : Sidoarjo
2. KELUHAN UTAMA
- Mudah marah lebih dari satu bulan
3. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
- Mudah marah bila bepergian dengan mobil terutama jika
dikemudikan dengan kecepatan tinggi.
- Keluhan disertai gangguan tidur dan sering terbangun dengan
mimpi-mimpi yang terasa nyata.
- Ada suatu penghindaran apabila harus bepergian dengan mobil
di malam hari disertai hujan. 18
- Stressor tiga bulan yang lalu ayahnya meninggal dunia karena
kecelakaan lalu lintas saat bepergian dengan keluarga pada saat
malam hari dalam kondisi hujan.
4. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
PEMERIKSAAN FISIK PENYAKIT
1. Keadaan umum : cukup
2. Kesadaran : composmentis
3. Vital sign :
Tekanan darah : 135/90 mmHg
Nadi : 115 x/menit
Respiratory read : 30 x/menit
Suhu tubuh : 37 ℃
Saturasi Oksigen : 99%
4. Inspeksi / Palpasi / Perkusi / Auskultasi
a. Kepala – leher
- Anemia / Icterus / Cyanosis / Dypsneu : -/ - / - / -
- Pupil isokor, refleks cahaya kanan / kiri (+/+)
b. Thorax
- Cor : S1 S2 tunggal reguler, takikardi
- Pulmo : dalam batas normal, vesikuler, wheezing / ronchi
(-/-)
c. Abdomen
- Dalam batas normal
d. Extremitas
- Dalam batas normal
19
PEMERIKSAAN PENUNJANG PENYAKIT
1. EKG sinus takikardi
BAB IX
Penatalaksanaan
Terdapat dua pilihan terapi yang dapat diberikan kepada penderita Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD) , yakni terapi psikologi dan pharmakologi .
Beberapa terapi psikologi untuk PTSD diantaranya trauma-focused cognitive-
behavioural therapy (TFCBT) dan eye movement desensitization and reprocessing
(EMDR), manajemen stres, dan terapi lainnya termasuk terapi suportif, terapi
psikodinamik dan hipnoterapi. Sedangkan secara pharmakologi, obat yang dapat
diberikan untuk penderita PTSD antara lain golongan selective serontonin
reuptake inhibitor (SSRIs), golongan tricyclics dan monoamine oxidase inhibitors
(MAOIs) (Bisson, 2007).
20
Terapi Psikologi
Menurut The National Institute for Health and Clinical Excelence (NICE)
lini pertama dalam penanganan PTSD adalah trauma-focused cognitive-
behavioural therapy (TFCBT) atau eye movement desensitization and
reprocessing (EMDR).
1. Trauma-Focused Cognitive-Behavioural Therapy (TFCBT)
Trauma-Focused Cognitive-Behavioural Therapy (TFCBT) ini
mencakup pendidikan tentang PTSD, pemantauan gejala-gejala PTSD,
manajemen kecemasan, pemaparan terhadap rangsangan yang mengakibatkan
kecemasan dalam suasana yang mendukung dan manajemen kemarahan.
Pendekatan kognitif-pilaku terutama terapi pemaparan (exposure therapy)
efektif untuk PTSD karena kekerasan seksual (Leserman, 2005). Terapi
pemaparan ini diantaranya, konfrontasi ketakutan namun situasinya tidak
membahayakan yang berkaitan dengan trauma yang dialami misalnya, saat
tidur tidak menggunakan penerangan, atau pergi ke tempat ramai. Terapi ini
memfasilitasi proses emosional dengan menolong pasien untuk bereaksi
dengan sedikit rasa takut terhadap memori atau ingatan tentang peristiwa
yang dialami. Terapi ini dapat dikombinasikan dengan cognitiveexposure
therapy dan stress-inoculation therapy (penataan kembali kognisi, pelatihan
kemampuan coping, dan manajemen stres). Menurut Foa et al kombinasi
terapi pemaparan berkepanjangan dan stress inoculation therapy tersebut
efektif untuk mengurangi gejala-gejala PTSD pada korban pemerkosaan.
Penelitian selanjutnya menyatakan terapi-terapi tersebut tidak efektif
bila tidak dikombinasikan. Resick et al membandingkan pemaparan
berkepanjangan dengan cognitive processing therapy (mengkombimasikan
pemaparan dalam bentuk menulis dan membaca tentang trauma dan terapi
kognitif) untuk meminimalkan perhatian. Penelitian ini menunjukan kedua
terapi tersebut efektif mengurangi gejala PTSD dibandingkan kelompok
kontrol (Leserman, 2005).
2. Eye Movement Desensitisation and Reprocessing (EMDR)
Eye Movement Desensitisation and Reprocessing (EMDR) adalah
terapi yang menggunakan gerakan bola mata bolak-balik secara volunter
untuk mengurangi kecemasan yang berhubungan dengan pikiran yang
mengganggu pasien PTSD (Bisson, 2007).
21
Terapi ini difokuskan pada gambaran trauma serta pikiran dan respon
afektif negatif yang ditimbulkan oleh trauma. Tujuan terapi ini agar seseorang
dapat berpikir dan bersikap lebih positif terhadap trauma yang dialami.
EMDR menggunakan stimulasi bilateral berupa gerakan mata saccadic atau
rangsangan bolak balik mata lainnya, dilakukan saat keadaan terpapar (fokus
terhadap ingatan, emosi dan kognitif yang mengganggu).Tidak diketahui
secara pasti komponen gerakan saccadic mata yang bagaimana dari terapi
yang mempunyai nilai lebih dalam terapi. Terdapat delapan fase dalam terapi
ini, yaitu :
a. Fase I assessment, dalam fase ini terapis sudah mendapatkan cerita
lengkap mengenai peristiwa yang dialami oleh pasien, pada fase ini
digambarkan rencana terapi yang sudah disesuaikan dengan pasien.
b. Fase II persiapan, pasien mempersiapkan dirinya untuk mendapatkan
terapi, metode terapi dijelaskan, terapi ini disesuaikan dengan masing-
masing individu sesuai dengan pendidikan dan kondisi psikologisnya,
dalam fase ini disepakati stimulasi bilateral yang digunakan.
c. Fase III penilaian target memori, selama fase ini pasien mengidentifikasi
ingatan, kognisi, dan emosi yang akan dirubah. Terapi normalnya focus
terhadap bayangan yang menunjukan ingatan buruk pasien.
d. Fase IV desensitisasi, pasien diminta menanamkan dalam pikirannya
tentang gambaran atau bayangan trauma bersamaan dengan kognisi
negatifnya. Stimulasi bilateral dimulai sampai semua ingatannya saling
terhubung, stimulasi biasanya diberikan melalui gerakan cepat mata
pasien yang mengikuti gerakan jari terapis. Gerakan jari dari terapis ada
30 gerakan namun hal ini disesuaikan dengan kondisi pasien. Proses ini
dapat diulang sampai proses terapi selesai ataupun sampai pasien sudah
tidak merasakan emosi dan respon fisik yang negatif terhadap bayangan
traumanya.
e. Fase V Instalasi, pikiran positif ditanamkan dengan proses stimulasi yang
sama dengan sebelumnya.
f. Fase VI body scan, pasien diminta untuk berkonsentrasi dan
mengidentifikasi perasaannya. Jika pasien merasakan perasaan negatif,
stimulasi bilateral diulang kembali, namun jika positif stimulasi tersebut
digunakan untuk menguatkan perasaannya.
22
g. Fase VII closure, terapis memuji pasien atas usaha yang dilakukan dan
pencapaiannya serta dukungan dan semangat pasien. Penterapi juga
memberikan pelatihan peregangan dengan tahanan.
h. Fase VIII debriefing the experience, pasien diwawancarai dan dijelaskan
mengenai efek yang mungkin akan dialami pasien nantinya setelah terapi
selesai. (Coetzee, 2005)
Terapi Farmakologi
Selain dalam pengobatan untuk pasien Post Traumatic Stress Disorder
(PTSD), intervensi secara pharmakologi dipercaya dapat mencegah terjadinya
gangguan tersebut. Berdasarkan level kortisol, pemberian hydrocortisone secara
intravena pada korban yang mengalami syok septic di intensif care salah satu
rumah sakit di Swiss, menunjukan bahwa dengan pemberian hydrocortisone dapat
menurunkan gejala PTSD, namun belum ada penelitian tentang pemberian obat
ini pada populasi umum. Study yang kedua tentang pemberian propanolol, hal ini
berdasarkan hipotesa adanya gelombang adrenergic pada awal setelah terjadi
peristiwa traumatik. Pitman et al berhipotesa bahwa pemberian propanolol 6 jam
setelah trauma berhasil mencegah timbulnya gejala PTSD (Bisson, 2007).
Menurut National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE)
menggunakan obat-obatan untuk terapi PTSD adalah pilihan ke dua, merupakan
terapi alternatif setelah terapi psikologis. NICE merekomendasikan terapi
pharmakologi diberikan apabila Trauma-Focused Cognitive-Behavioural Therapy
(TFCBT) tidak efektif, kontraindikasi terhadap pasien ataupun karena menolak
terapi psikologi. Pilihan golongan obat yang dianggap bisa dipakai untuk pasien
PTSD adalah :
1. Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs)
Jenis obat pertama dari golongan SSRIs adalah paroxetine.
Penelitian double blind RCTs tentang paroxetine yang pernah dipublikasikan,
menunjukan efek positif dibandingkan plasebo, namun paroxetine tidak
direkomendasikan oleh NICE sebagai terapi pilihan pertama untuk PTSD.
Efek samping dari obat ini adalah mual, mulut kering, asthenia dan ejakulasi
abnormal. Obat kedua adalah sertraline, obat ini dianggap efektif untuk PTSD
23
di Inggris, namun hanya efektif untuk wanita, sedangkan untuk pria tidak.
Efek samping dari obat ini dibandingkan plasebo, sertraline secara signifikan
meningkatkan insomnia, diare dan mual serta penurunan nafsu makan.
2. Tricyclics dan Monoamine Oxidase inhibitors
Pemberian tricyclics dan golongan MAOIs seperti amitriptyline,
imipramine, dan phenelzine, memberikan efek positif, namun efektifitas obat-
obat tersebut belum diketahui secara pasti di populasi umum (Bisson, 2007).
BAB X
24
menyelesaikan masalah. Dan juga dukungan sosial seperti teman terdekat maupun
di lingkungan tinggal sangat berpengaruh terhadap keadaan pasien.
Pencegahan Penyakit
Jangan mengingat kejadian traumatic yang dapat membuat stress.
Membuka diri dan mendekatkan diri ke lingkungan terdekat seperti keluarga
maupun teman dekat. Selalu berfikir bahwa tidak sedirian.
DAFTAR PUSTAKA
Fauzia, Yurika dan Weny Lestari. 2006. Gangguan Stres Pasca Trauma pada
Korban Pelecehan Seksual dan Perkosaan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sistim dan Kebijakan Kesehatan, Surabaya.
Bailey, et al. Recent Progress In Understanding The Patophysiology of Post
Traumatic Stress Disorder : Implication for Targeted Pharmacological
Treatment. CNS Drugs. 2013 March ; 27(3): 221–232
Liza. 2010. OTAK MANUSIA, NEUROTRANSMITER , DAN STRESS. Dinkes
Kab. Cirebon
Alpert, J. S., Calkins,H., dkk. 2014. AHA/ACC/HRS Guideline for the
Management of Patients With Atrial Fibrillation: A Report of the
American College of Cardiology/American Heart Association Task Force
on Practice Guidelines and the Heart Rhythm Society, (Online),
(http://circ.ahajournals.org/content/circulationaha/early/2014/04/10/CIR.
0000000000000041.full.pdf), diakses 25 September 2017.
Anonim.Ambu: A Pocket Guide to Common Arrhythmias, (Online),
(http://www.ambu.co.uk/Admin/Public/Download.aspx?
File=Files/Billeder/MediaDB/Originals/Ambu+EKGguide+forUK.pdf.),
diunduh 26 September 2017.
25
Arif, M. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi IV. Jakarta: Penerbitan
Media Aesculapius FKUI.
Anthony Fauci, Eugene Braunwald, Dennis Kasper, Stephen Hauser, Dan Longo,
J. Jameson, Joseph Loscalzo. 2015. Harrison's Principles of Internal
Medicine, 19th Edition, 17th edn., : Mcgraw-hill.
Jiwo, Tirto. 2014. Mengenal Gangguan Stress Pasca Trauma 1 Juni 2012, diakses
pada tanggal 23 September 2017 pukul 22.24 dalam
(http://tirtojiwo.org/wp-content/uploads/2012/06/kuliah-PTSD.pdf)
American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual for Mental
Disorders, 4th edition.Washington, DC: American Psychiatric Press.
1994.
Leserman J. Sexual Abuse History: Prevalence, Health effects, Mediator, and
Psychological Treatment. Psychosomatic Medicine. 2005; 67: 906-915.
Bison JI. In-Depth Review Post Traumatic Stress Disorder. Occupational
Medicine.2007;57:399-403.
Bisson JI, et al. Psychological Treatments for Cronic Post Traumatic Stress
Disorder. British Journal of Psychiatry. 2007;190: 97-104
Bisson JI. Pharmacological Treatment of Post Traumatic Stress Disorder.
Advances in Psyciatric Treatment. 2007;13:119-126.
Coetzee RH, Regel S. Eye Movement Desensitisation and Reprocessing: an
update. Advances in Psychiatric Treatment.2005;11:347-354
Solichah, Mutingatu. 2013. Asesment Post Traumatic Stress Disorder pada
Perempuan Korban Perkosaan (Acquaintance Rape). Humanitas, Vol. X
No. 1. Yogyakarta.
26