Preseptor :
PADANG
2018
BAB 2
1
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lensa Mata
2.1.1 Anatomi Lensa Mata 1,2
Lensa mata berbentuk bikonveks dan transparan. Jaringan lensa mata berasal dari
ektoderm permukaan. Lensa di dalam bola mata terletak di belakang iris dan anterior dari
korpus vitreous yang terdiri dari zat tembus cahaya berbentuk seperti cakram yang dapat
menebal dan menipis pada saat terjadinya akomodasi.
4
di UPTD BKIM ini adalah Extra Capsular Cataract Extraction (ECCE) dengan Intra Ocular
Lens (IOL) sebanyak 205 kali 10.
2.4 Klasifikasi Katarak
1. Katarak kongenital, katarak yang sudah terlihat pada usia di bawah 1 tahun
2. Katarak juvenile, katarak yang terjadi sesudah usia 1 tahun
3. Katarak senil, katarak setelah usia 50 tahun
Klasifikasi Katarak Senilis
5
kadar gula di aqueous humor. Glukosa dari aqueous akan masuk ke lensa secara
difusi, sebagian dari glukosa ini diubah menjadi sorbitol oleh enzim aldose reduktase
melalui jalur poliol, yang tidak dimetabolisme dan tetap tinggal di lensa. Akumulasi
sorbitol intraselular menyebabkan perubahan osmotik sehingga air masuk ke lensa,
yang akan mengakibatkan pembengkakan serabut lensa. Penelitian pada hewan telah
menunjukkan bahwa akumulasi poliol intraseluler menyebabkan kolaps dan likuifaksi
(pencairan) serabut lensa, yang akhirnya terjadi pembentukan kekeruhan pada lensa
2.6 Katarak Senilis
Katarak senilis adalah kekeruhan lensa yang terdapat pada usia lanjut, yaitu usia di
atas 50 tahun. Katarak senilis dapat dibagi kedalam 4 stadium, yaitu katarak insipien, katak
imatur, katarak matur dan katarak hipermatur. Katarak insipient merupakan stadium katarak
yang paling awal dan belum menimbulkan gangguan visus. Pada katarak imatur, kekeruhan
belum mengenai seluruh bagian lensa sedangkan pada katarak matur, kekeruhan telah
mengenai seluruh bagian lensa. Sementara katarak hipermatur adalah katarak yang
mengalami proses degenerasi lanjut, dapat menjadi keras atau lembek dan
mencair.Kekeruhan pada katarak imatur utamanya terjadi di bagian posterior dan belakang
nukleus lensa. Pada katarak imatur, volume lensa dapat bertambah akibat meningkatnya
tekanan osmotik bahan degeneratif lensa. Pada keadaan ini, lensa akan mencembung dan
dapat menimbulkan hambatan pupil sehingga terjadi glaukoma sekunder.13,3
Katarak Senilis dilaporkan telah diderita lebih dari 90% individu berusia 70 tahun.
Penelitian The Beaver Dam Eye melaporkan 38,8% laki-laki dan 45,9% perempuan berusia
lebih dari 74 tahun telah menderita katarak. Katarak biasanya menyerang kedua mata,
nammun hampir pada semua kasus satu mata lebih dahulu terkena dibanding mata lainnya.2,6
6
Katarak senilis merupakan bagian dari suatu proses penuaan. Walaupun patogenesis
katarak belum diketahuai secara pasti, terdapat beberapa faktor yang terlibat.6
Faktor-faktor yang mempengaruhi onset usia, tipe dan maturase katarak senilis yaitu:6
1. Keturunan : mempengaruhi peran genetik dalam mulainya awitan seorang individu terkena
katarak dan maturasi dari kataraknya tersebut,
2. Radiasi Ultraviolet: paparan UV yang tinggi mempercepat maturasi dan usia munculnya
katarak.
3. Faktor diet: Defisiensi dari beberapa jenis protein, asam amino dan vitamin C, E serta
riboflavin dihubungkan dengan kecepatan maturasi dan usia munculnya katarak
4. Krisis dehidrasi: Riwayat dehidrasi berat seperti pada kolera meningkatkan resiko.
5. Merokok: Merokok menyebabkan penumpukan molekul berpigmen -3 hydroxykhynurine
dan chromophores, yang menyebabkan terjadinya penguningan warna lensa, yang
menyebabkan kekuningan. Sianat dalam rokok juga menyebabkan
terjadinya karbamilasi dan denaturasi protein.
2.9 Tipe katarak senilis
Terdapat tida tipe katarak senilis: nuclear, kortikal dan subkapsular posterior. Pada
kebanyakan pasien ditemuka lebih dari satu tipe katarak.2
Katarak nuklear2
Penyebaran sinar yang berlebihan dan penguningan lensa disebut sebagai katarak
nuclear, yang menyebabkan opasitas sentral. Dokter spesialis mata dapat menilai derajat
peningkatan warna dan kekeruhan menggunakan biomikroskop slit lamp dan menilai reflek
merah dengan dilatasi pupil.
7
Gambar 2.3 A. katarak nuclear dilihat dengan diffuse illumination (A) dan dilihat dengan
slitlamp (B), C. Skema katarak nuklear
Secara histologi, nukleus pada katarak nuclear sulit dibedakan dengan nukleus normal,
pada lensa yang tua. Pemeriksaan dengan mikroskop electron dapat mengidentifikasi suatu
peningkatan jumlah serat membrane lamella pada beberapa katarak nuclear.
Katarak kortikal2
Berbeda dengan katarak nuclear, katarak kortikal dikaitkan dengan gangguan lokal pada
struktur sel serat lensa. Saat integritas membran terganggu, metabolit penting hilang dari sel
yang terkena. Kehilangan ini menyebabkan oksidasi dan presipitasi protein yang berlebihan.
Katarak kortikal biasannya bilateral tapi sering juga asimetris. Efek pada fungsi penglihatn
sangat bervariasi tergantung pada lokasi kekeruhan yang mempengaruhi aksis visual. Gejala
yang sering pada katarak kortikal adalah silau saat melihat cahaya yang terang, seperti lampu
mobil. Diplopia monocular juga dapat terjadi. Katarak kortikal sangat bervariasi dalam
kecepatan progresivitasnya, beberapa kekeruhan kortikal tidak berubah dalam waktu lama
dan lainnya dapat berubah dengan cepat.
8
Tanda pertama terbentuknya katarak kortikal terlihat dengan biomkroskop slit lamp
berupa vakuola dan air pada korteks anterior atau posterior. Lamela korteks dapat dipisahkan
oleh cairan. Wedge-shape opasiti (sering disebut cortical spokes atau cuneiform opacities)
terbentuk di dekat perifer lensa, dengan ujung opasitas mengarah ke tengah. Karena
kekeruhan perifer terjadi pada sel serat yang meluas dari sutura posterior atau anterior, hal
ini hanya mempengaruhi region ekuator sel serat.
Pada tahap awal katarak, sel yang terkena tetap jernih pada ujung anterior dan posterior.
Jari-jari kortikal muncul sebagai kekeruhan putih ketika dilihat dengan biomikroskop slit
lamp dan terlihat sebagai bayangan hitam saat diamati dengan retroiluminasi. Opasitas
wedge-shaped dapat menyebar ke sel serat yang berdekatan dan sepanjang serat yang terkena,
menyebabkan derajat kekeruhan bertambah dan meluas ke aksis visual. Saat seluruh kortek
dari kapsul hingga nukleus manjadi putih dan opak, katarak menjadi matur. Pada opasitas
9
yang matur, lensa menyerap air dan bengkak menjadi suatu katarak kortikal yang
intumescent.
Saat material yang berdegenerasi dari korteks bocor melalui kapsul lensa, kapsul yang
ditinggalkan menjadi berkerut dan menyusut, katarak menjadi hipermatur. Ketika pencairan
lebih lanjut kortek membuat pergerakan nukleus dengan bebas pada kantong kapsular, disebut
sebagai katarak morgagnian.
Secara histologi, katarak kortikal dicirikan dengan pembengkakan lokal dan gangguan
pada sel serat lensa. Percikan dari material yang eosinofilik (globula morgagnian) diamati
pada slit lamp sperti ruang antara serat.
Pasien sering mengeluhkan silau dan penglihatan yang buruk pada keadaan yang terang
karena katarak mengaburkan sebagian besar pupil yang miosis saat diinduksi sinar yang
terang, akomodasi, atau miotik. Penglihatan dekat lebih berkurang dibandingkan penglihatan
jarak jauh. Beberapa pasien mengalami monocular diplopia. Deteksi katarak subkapsula
posterior dengan slit lamp dapat diamati dengan baik pada pupil yang berdilatasi.
Retroiluminasi juga dapat membantu.
Secara histologi, katarak subkapsula posterior dikaitkan dengan migrasi posterior sel
spitel lensa dari ekuator lensa ke aksis visual pada permukaan dalam kapsul posterior. Selama
imigrasi atau setelah smapai pada aksis posterior, sel mengalami pemesaran yang tidak
normal. Sel yang membengak ini disebut sel Wedl atau Bladder.
10
Gambar 2.5 Posterior subcapsula cataract (PSC) dilihat dengan slit lamp (A), dan dilihat
dengan indirect illumination (B), C. Skema PSC
Katarak senilis secara klinik dikenal dalam 4 stadium yaitu insipien, imatur, matur, dan
hipermatur.
1. Katarak Insipien
Pada stadium ini kekeruhan lensa tidak teratur, tampak seperti bercak-bercak yang
membentuk gerigi dangan dasar di perifer dan daerah jernih di antaranya. Kekeruhan
biasanya terletak di korteks anterior dan posterior. Kekeruhan ini pada awalnya hanya
nampak jika pupil dilebarkan. Pada stadium ini terdapat keluhan poliopia yang disebabkan
oleh indeks refraksi yang tidak sama pada semua bagian lensa. Bentuk ini kadang menetap
untuk waktu yang lama.
2. Katarak Imatur
Pada katarak imatur terjadi kekeruhan yang lebih tebal, tetapi belum mengenai seluruh
lapisan lensa sehingga masih terdapat bagian-bagian yang jernih pada lensa. Terjadi
penambahan volume lensa akibat meningkatnya tekanan osmotik bahan lensa yang
11
degeneratif. Pada keadaan lensa yang mencembung akan dapat menimbulkan hambatan pupil,
mendorong iris ke depan, mengakibatkan bilik mata dangkal sehingga terjadi glaukoma
sekunder. Pada pemeriksaan uji bayangan iris atau sahdow test, maka akan terlihat bayangan
iris pada lensa, sehingga hasil uji shadow test (+).
3. Katarak Matur
Pada katarak matur kekeruhan telah mengenai seluruh lensa. Proses degenerasi yang
berjalan terus maka akan terjadi pengeluaran air bersama hasil disintegrasi melalui kapsul,
sehingga lensa kembali ke ukuran normal. Bilik mata depan akan berukuran kedalaman
normal kembali. Tidak terdapat bayangan iris pada lensa yang keruh, sehingga uji bayangan
iris negatif.
5. Katarak Hipermatur
Merupakan proses degenerasi lanjut lensa, sehingga masa lensa yang mengalami
degenerasi akan mencair dan keluar melalui kapsul lensa. Lensa menjadi mengecil dan
berwarna kuning. Bila proses katarak berjalan lanjut disertai kapsul yang tebal, maka korteks
yang berdegenerasi dan cair tidak dapat keluar, maka korteks akan memperlihatkan
sekantong susu dengan nukleus yang terbenam di korteks lensa. Keadaan ini disebut sebagai
katarak Morgagni. Uji bayangan iris memberikan gambaran pseudopositif. Cairan / protein
lensa yang keluar dari lensa tersebut menimbulkan reaksi inflamasi dalam bola mata karena
di anggap sebagai benda asing. Akibatnya dapat timbul komplikasi uveitis dan glaukoma
karena aliran melalui COA kembali terhambat akibat terdapatnya sel-sel radang dan cairan /
protein lensa itu sendiri yang menghalangi aliran cairan bola mata.
12
Gambar 2.6 A.Katarak kortikal matur, B. Skema Katarak kortikal matur4
13
Gambar 2.8 A. Katarak Morgagnian, B. Skema katarak Morgagnian
2.11 Etiologi
Penyebab katarak senilis sampai saat ini belum diketahui. 1Kejadian katarak senilis
sering dihubungkan dengan adanya riwayat keluarga, sehingga penting menanyakan secara
2.12 Patogenesis
14
Penuaan menyebabkan perubahan seluler, yang dapat menyebabkan gangguan
peningkatan masa dan penebalan dari lensa, serta terjadi penurunan kekuatan akomodasi
pada proses penuaan. Sebagai lapisan yang baru serat kortek membentuk konsentrik,
sehingga menekan nukleus lensa dan mengeras (proses nuklear sklerosis). Perubahan kimia
dan pembelahan proteolitik dari kristalin (protein lensa) menghasilkan pembentukan agregat
protein high-molecular-mas, agregat ini dapat menyebabkan perubahan dari indeks refraksi
lensa, dan menyebabkan penyebaran cahaya dan menurunkan transparansi lensa. Perubahan
kimia dari protein nuklear lensa juga menyebabkan peningkatan kekeruhan, sehingga lensa
menjadi lebih berwarna kuning atau kecoklatan seiring dengan peningkatan usia. Perubahan
pada lensa yang dihubungkan dengan peningkatan usia juga termasuk penurunan konsentrasi
glutation dan kalium dan peningkatan konsentrasi natrium dan kalsium di sitoplasma sel
lensa.2
Gejala hallmark yang dikeluhkan pasien katarak adalah penurunan penglihatan dan
terjadinya glare. Pada pasien dengan katarak yang ringan, tidak mempengaruhi pengelihatan
secara signifikan (pada perubahan kortek, katarak subkapsuler posterior yang kecil) dapat
diketahui dengan pemeriksaan klinis. 5Pasien juga dapat datang dengan kekeruhan yang nyata
white opacity. Pada tahap awal pengelihatan dapat dikoreksi dengan kacamata namun
kekuatan kacamata dapat berubah secara cepat sehingga pasien sering merubah kacamata
frequent change of glassses. Dapat terjadi pengelihatan objek yang ganda atau triple, yang
disebut uniocular polyopia, hal ini disebabkan refraksi ireguler dari bagian yang berbeda dari
lensa sehingga terbentuk beberapa bayangan yang dibentuk oleh suatu objek, hal ini lebih
jelas pada keadaan pupil berdilatasi dan melihat objek yang sangat jauh.16
15
Ketika kekeruhan meluas dan lebih padat, tajam pengelihatan sentral dapat
mengalami penurunan, hal ini dipengaruhi oleh kepadatan dan posisi dari kekeruhan lensa.
Ketika kekeruhan berada diperifer, seperti pada katarak senilis kortek, penurunan
pengelihatan dapat lebih lambat munculnya dan pengelihatan dapat ditingkatkan ketika pupil
berkontraksi pada cahaya terang. Ketika kekeruhan berada di sentral, penurunan pengelihatan
terjadi lebih awal dan pasien lebih baik melihat ketika pupil berdilatasi pada cahaya redup.
Kekeruhan pada kortek posterior, dapat menyebabkan penurunan pengelihatan sentral yang
tidak sesuai dengan jumlah kekeruhan yang teramati. Ketika sklerosis nukleus lebih menonjol
Ketika kekeruhan terus berlanjut maka tajam pengelihatan akan terus turun sampai
Gejala
A. Glare: Pasien katarak menegeluhkan peningkatan glare, keluhan Bervariasi mulai dari
peningkatan fotosensitif terhadap cahaya terang atau pada siang hari atau pada cahaya dari
mobil pada malam hari. Peningkatan sensitivitas ini biasanya sering pada PSC dan bisa
C. Variasi penglihatan diurnal : Pada katarak sentral, pengelihatan memburuk pada cahaya
terang, namun meningkat saat sore hari. Hal ini terbalik pada katarak kortikal perifer
(cuneiform).17
D. Monokular diplopia atau plyopia : Terkadang pada mata katarak, perubahan nuklear
berada di lapisan dalam dari nukleus lensa, sehingga menghasilkan area refraksi yang
16
Tanda
A. Tajam penglihatan : Terjadi penurunan tajam penglihatan yang terjadi sesuai dengan
derajat katarak.17
B. Leukokoria : Pupil berwarna putih, pada katarak immature pupil berwarna keabu-abuan
C. KOA : KOA dalam, kecuali pada katarak intumesen dimana KOA dangkal .
D. Iris shadow : Pada katarak immatur akan terlihat bayangan kresen dari iris yang terlihat di
pupil pada penyinaran obliq. Pada katarak matur iris shadow tidak terlihat.
E. Kornea : Biasanya normal, tapi kornea dapat kabur ketika terjadi edema pada kornea
akibat peningkatan tekanan intra okuler yang disebabkan glaukoma yang diinduksi lensa.17
2.14 Diagnosis
1. Anamnesis
Pada anamnesis harus ditanyakan manifestasi klinis, apakah simtomatis atau tidak.
Gejala-gejala umum dari katarak adalah: glare atau intoleransi terhadap cahaya terang,
poliopia uniokuler, halo berwarna, spot hitam di depan mata, pandangan kabur atau berawan,
dan kehilangan penglihatan.6 Penyakit intraokuler lain yang dapat menyebabkan katarak juga
harus ditanya untuk menentukan katarak sekunder atau tidak.3 Perlu juga ditanyakan penyakit
sistemik untuk menentukan etiologi dari katarak seperti diabetes mellitus, galaktosemia,
hemodialisa, distrofi miotonik, riwayat trauma, dan penggunaan obat-obatan tertentu yang
dapat menyebabkan katarak toksik seperti steroid, klorpromazin, agen miotik, dan lain-lain.5
2. Pemeriksaan Oftalmologi
17
Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada penyakit katarak adalah pemeriksaan visus,
shadow test (+), pemeriksaan glare dan contrast sensitivity test untuk mengukur derajat
gangguan penglihatan, pemeriksaan slit lamp, dan pengukuran kekuatan intraocular lens
(IOL).
2.15 Tatalaksana
Katarak hanya dapat diatasi melalui prosedur operasi. Tatalaksana nonsurgikal dapat
diberikan pada pasien yang tidak mau dioperasi atau ketika pembedahan tidak bisa dilakukan.
Tatalaksana nonsurgikal yang diberikan adalah pembuatan kacamata untuk membantu
penglihatan. Sementara, agen farmakologi untuk mengatasi katarak masih dalam penelitian.
Belum ada pengobatan yang dapat menghentikan progresifitas atau mengembalikan lensa
seperti semula pada manusia. Aldose reduktase inhibitor melihatkan efek yang baik pada
hewan coba, akan tetapi tidak berefek pada manusia.2
Penatalaksanaan definitif untuk katarak senilis adalah ekstraksi lensa. Terdapat 2 tipe
ekstraksi lensa yaitu intra capsuler cataract ekstraksi (ICCE) dan ekstra capsuler cataract
ekstraksi (ECCE). ECCE sendiri terdiri dari dua teknik yaitu Small Incision Cataract Surgery
(SICS) dan Phakoemulsifikasi.3
3. Phakoemulsifikasi
SICS adalah teknik ECCE yang dapat digunakan dengan menggunakan insisi yang
kecil. Teknik ini sering digunakan pada negara berkembang.
Sebelum tahun 1949, pembedahan katarak menyebabkan afakia pada pasien.2 Pada
hampir semua ekstraksi katarak, selalu dilakukan implantasi IOL. Mata dengan lensa
dibuatan disebut dengan pseudophakia. Beberapa jenis dari IOL adalah IOL monofokal,
multifokal, Toric IOL, dan IOL akomodatif.5
1. Iris
Iris merupakan suatu membran datar sebagai lanjutan dari badan siliar ke depan
(anterior). Di bagian tengah iris terdapat lubang yang disebut pupil yang berfungsi untuk
mengatur besarnya sinar yang masuk mata. Permukaan iris warnanya sangat bervariasi
dan mempunyai lekukan-lekukan kecil terutama sekitar pupil yang disebut kripte. Pada
iris terdapat 2 macam otot yang mengatur besarnya pupil, yaitu : Musculus dilatator pupil
yang berfungsi untuk melebarkan pupil dan Musculus sfingter pupil yang berfungsi
untuk mengecilkan pupil. Kedua otot tersebut memelihara ketegangan iris sehingga tetap
tergelar datar. Dalam keadaan normal, pupil kanan dan kiri kira-kira sama besarnya,
keadaan ini disebut isokoria. Apabila ukuran pupil kanan dan kiri tidak sama besar,
keadaan ini disebut anisokoria. Iris menipis di dekat perlekatannya dengan badan siliar
dan menebal di dekat pupil18.
Pembuluh darah di sekeliling pupil disebut sirkulus minor dan yang berada dekat
badan siliar disebut sirkulus mayor. Iris dipersarafi oleh nervus nasoiliar cabang dari
saraf cranial III yang bersifat simpatik untuk midriasis dan parasimpatik untuk miosis.
2. Corpus Siliar
Korpus siliaris merupakan susunan otot melingkar dan mempunyai sistem eksresi
dibelakang limbus. Badan siliar dimulai dari pangkal iris ke belakang sampai koroid
20
terdiri atas otot-otot siliar dan prosesus siliaris. Otot-otot siliar berfungsi untuk
akomodasi 19.
Badan siliar berbentuk cincin yang terdapat di sebelah dalam dari tempat tepi kornea
melekat di sklera. Badan siliar merupakan bagian uvea yang terletak antara iris dan
koroid. Badan siliar menghasilkan humor akuos. Humor akuos ini sangat menentukan
tekanan bola mata (tekanan intraokular = TIO). Humor akuos mengalir melalui kamera
okuli posterior ke kamera okuli anterior melalui pupil, kemudian ke angulus
iridokornealis, kemudian melewati trabekulum meshwork menuju canalis Schlemm,
selanjutnya menuju kanalis kolektor masuk ke dalam vena episklera untuk kembali ke
jantung.
21
3. Koroid
Koroid merupakan bagian uvea yang paling luar, terletak antara retina (di sebelah
dalam) dan sklera (di sebelah luar). Koroid berbentuk mangkuk yang tepi depannya
berada di cincin badan siliar. Koroid adalah jaringan vascular yang terdiri atas anyaman
pembuluh darah. Retina tidak menempati (overlapping) seluruh koroid, tetapi berhenti
beberapa millimeter sebelum badan siliar. Bagian koroid yang tidak terselubungi retina
disebut pars plana.
Vaskularisasi uvea berasal dari arteri siliaris anterior dan posterior yang berasal dari
arteri oftalmika. Vaskularisasi iris dan badan siliaris berasal dari sirkulus arteri mayoris
iris yang terletak di badan siliaris yang merupakan anastomosis arteri siliaris anterior dan
arteri siliaris posterior longus. Vaskularisasi koroid berasal dari arteri siliaris posterior
longus dan brevis.
Fungsi dari uvea antara lain : Regulasi sinar ke retina,Imunologi (bagian yang
berperan dalam hal ini adalah khoroid), Produksi akuos humor oleh korpus siliaris, dan
sebagai nutrisi19.
2.2.1 Uveitis
1. DEFINISI
Uveitis adalah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada lapisan traktus uvealis
yang meliputi peradangan pada iris, korpus siliaris dan koroid yang disebabkan oleh
infeksi, trauma, neoplasia, atau proses autoimun.20
2. KLASIFIKASI
Uveitis adalah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada lapisan traktus uvealis
yang meliputi peradangan pada iris, korpus siliaris dan koroid. Klasifikasi uveitis
dibedakan menjadi empat kelompok utama, yaitu klasifikasi secara anatomis, klinis,
etiologis, dan patologis. Penyakit peradangan traktus uvealis umumnya unilateral,
biasanya terjadi pada oreng dewasa dan usia pertengahan. Pada kebanyakan kasus
penyebabnya tidak diketahui.
22
1. Klasifikasi berdasarkan Anatomis20
a) Uveitis anterior
Merupakan inflamasi yang terjadi terutama pada iris dan korpus siliaris atau
disebut juga dengan iridosiklitis.
b) Uveitis intermediet
Merupakan inflamasi dominan pada pars plana dan retina perifer yang disertai
dengan peradangan vitreous.
c) Uveitis posterior
Merupakan inflamasi yang mengenai retina atau koroid.
d) Panuveitis
Merupakan inflamasi yang mengenai seluruh lapisan uvea.
2. KLASIFIKASI
Menurut klinisnya uveitis anterior dibedakan dalam uveitis anterior akut
yaitu uveitis yang berlangsung selama < 6 minggu, onsetnya cepat dan bersifat
simptomatik dan uveitis anterior kronik uveitis yang berlangsung selama > 6
minggu bahkan sampai berbulan-bulan atau bertahun-tahun, seringkali onset
tidak jelas dan bersifat asimtomatik. Pada kebanyakan kasus penyebabnya tidak
diketahui.
Berdasarkan patologi dapat dibedakan dua jenis besar uveitis: yang non-
granulomatosa (lebih umum) dan granulomatosa. Penyakit peradangan traktus
uvealis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada oreng dewasa dan usia
pertengahan. Uveitis non-granulomatosa terutama timbul di bagian anterior
traktus uvealis ini, yaitu iris dan korpus siliaris. Terdapat reaksi radang, dengan
terlihatnya infiltrat sel-sel limfosit dan sel plasma dengan jumlah cukup banyak
dan sedikit mononuklear. Uveitis granulomatosa yaitu adanya invasi mikroba
aktif ke jaringan oleh bakteri. Dapat mengenai uvea bagian anterior maupun
posterior. Infiltrat dominan sel limfosit, adanya aggregasi makrofag dan sel-sel
24
raksasa multinukleus. Pada kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau
hipopion di kamera okuli anterior.21
3. ETIOLOGI
Penyebab eksogen seperti trauma uvea atau invasi mikroorganisme atau
agen lain dari luar. Secara endogen dapat disebabkan idiopatik, autoimun,
keganasan, mikroorganisme atau agen lain dari dalam tubuh pasien misalnya
infeksi tuberkulosis, herper simpleks. Etiologi uveitis dibagi dalam :
Berdasarkan spesifitas penyebab21 :
1. Penyebab spesifik (infeksi) Disebabkan oleh virus, bakteri, fungi, ataupun
parasit yang spesifik.
2. Penyebab non spesifik (non infeksi) atau reaksi hipersensitivitas
Disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap mikroorganisme atau antigen
yang masuk kedalam tubuh dan merangsang reaksi antigen antibodi dengan
predileksi pada traktus uvea.
Berdasarkan asalnya:
25
1. Eksogen : Pada umumnya disebabkan oleh karena trauma, operasi intraokuler,
ataupun iatrogenik.
2. Endogen : disebabkan idiopatik, autoimun, keganasan, mikroorganisme atau
agen lain dari dalam tubuh pasien misalnya infeksi tuberkulosis, herpes
simpleks.
4. PATOFISIOLOGI
Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh efek langsung
suatu infeksi atau merupakan fenomena alergi. Infeksi piogenik biasanya
mengikuti suatu trauma tembus okuli, walaupun kadang-kadang dapat juga terjadi
sebagai reaksi terhadap zat toksik yang diproduksi oleh mikroba yang
menginfeksi jaringan tubuh diluar mata.
Uveitis yang berhubungan dengan mekanisme alergi merupakan reaksi
hipersensitivitas terhadap antigen dari luar (antigen eksogen) atau antigen dari
dalam (antigen endogen). Dalam banyak hal antigen luar berasal dari mikroba
yang infeksius. Sehubungan dengan hal ini peradangan uvea terjadi lama setelah
proses infeksinya yaitu setelah munculnya mekanisme hipersensitivitas. Radang
iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya Blood Aqueous Barrier sehingga
terjadi peningkatan protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam humor akuos. Pada
pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai flare, yaitu partikel-
partikel kecil dengan gerak Brown (efek tyndall)22.
Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-
sel radang berupa pus di dalam COA yang disebut hipopion, ataupun migrasi
eritrosit ke dalam COA, dikenal dengan hifema. Apabila proses radang
berlangsung lama (kronis) dan berulang, maka sel-sel radang dapat melekat pada
endotel kornea, disebut sebagai keratic precipitate (KP). Ada dua jenis keratic
precipitate, yaitu :
1. Mutton fat KP : besar, kelabu, terdiri atas makrofag dan pigmen-pigmen
yang difagositirnya, biasanya dijumpai pada jenis granulomatosa.
2. Punctate KP : kecil, putih, terdiri atas sel limfosit dan sel plasma, terdapat
pada jenis non granulomatosa.
5. MANIFESTASI KLINIS
Keluhan pasien dengan uveitis anterior adalah mata sakit, mata merah,
fotofobia, penglihatan turun ringan dengan mata berair. Keluhan sukar melihat
dekat pada pasien uveitis dapat terjadi akibat ikut meradangnya otot-otot
akomodasi. Dari pemeriksaan mata dapat ditemukan tanda antara lain :
Hiperemia perikorneal, yaitu dilatasi pembuluh darah siliar sekitar limbus, dan
keratic precipitate. Pada pemeriksaan slit lamp dapat terlihat flare di bilik mata
depan dan bila terjadi inflamasi berat dapat terlihat hifema atau hipopion. Iris
edema dan warna menjadi pucat, terkadang didapatkan iris bombans. Dapat pula
dijumpai sinekia posterior ataupun sinekia anterior. Pupil kecil akibat peradangan
otot sfingter pupil dan terdapatnya edema iris. Lensa keruh terutama bila telah
27
terjadi katarak komplikata. Tekanan intra okuler meningkat, bila telah terjadi
glaukoma sekunder. Pada proses akut dapat terjadi miopisi akibat rangsangan
badan siliar dan edema lensa. Pada uveitis non-granulomatosa dapat terlihat
presipitat halus pada dataran belakang kornea. Pada uveitis granulomatosa dapat
terlihat presipitat besar atau mutton fat noduli Koeppe (penimbunan sel pada tepi
pupil) atau noduli Busacca (penimbunan sel pada permukaan iris)21,22.
2 UVEITIS INTERMEDIATE
Uveitis intermediate disebut juga uveitis perifer atau pars planitis adalah
peradangan intraokular terbanyak kedua. Tanda uveitis intermediet yang terpenting
yaitu adanya peradangan vitreus. Uveitis intermediet biasanya bilateral dan cenderung
mengenai pasien remaja akhir atau dewasa muda. Pria lebih banyak yang terkena
dibandingkan wanita. Gejala- gejala yang khas meliputi floaters dan penglihatan
kabur. Nyeri, fotofobia dan mata merah biasanya tidak ada atau hanya sedikit. Temuan
pemeriksaan yang menyolok adalah vitritis seringkali disertai dengan kondensat
vitreus yang melayang bebas seperti bola salju (snowballs) atau menyelimuti pars
plana dan corpus ciliare seperti gundukan salju (snow-banking). Peradangan bilik
mata depan minimal tetapi jika sangat jelas peradangan ini lebih tepat disebut
panuveitis. Penyebab uveitis intermediate tidak diketahui pada sebagian besar pasien,
tetapi sarkoidosis dan multipel sklerosis berperan pada 10-20% kasus. Komplikasi
uveitis intermediate yang tersering adalah edema makula kistoid, vaskulitis retina dan
neovaskularisasi pada diskus optikus.21
3. UVEITIS POSTERIOR
Uveitis posterior adalah peradangan yang mengenai uvea bagian posterior yang
meliputi retinitis, koroiditis, vaskulitis retina dan papilitis yang bisa terjadi sendiri-
sendiri atau secara bersamaan. Gejala yang timbul adalah floaters, kehilangan lapang
pandang atau scotoma, penurunan tajam penglihatan. Sedangkan pada koroiditis aktif
pada makula atau papillomacular bundle menyebabkan kehilangan penglihatan
sentral dan dapat terjadi ablasio retina22.
4. PENATALAKSANAAN
28
Tujuan utama dari pengobatan uveitis adalah untuk mengembalikan atau
memperbaiki fungsi penglihatan mata. Apabila sudah terlambat dan fungsi
penglihatan tidak dapat lagi dipulihkan seperti semula, pengobatan tetap perlu
diberikan untuk mencegah memburuknya penyakit dan terjadinya komplikasi yang
tidak diharapkan. Adapun terapi uveitis dapat dikelompokkan menjadi23,24 :
Terapi non spesifik :
1. Penggunaan kacamata hitam
Kacamata hitam bertujuan untuk mengurangi fotofobi, terutama akibat pemberian
midriatikum.
2. Kompres hangat
Dengan kompres hangat, diharapkan rasa nyeri akan berkurang, sekaligus untuk
meningkatkan aliran darah sehingga resorbsi sel-sel radang dapat lebih cepat.
3. Midritikum/ sikloplegik
Tujuan pemberian midriatikum adalah agar otot-otot iris dan badan silier relaks,
sehingga dapat mengurangi nyeri dan mempercepat penyembuhan. Selain itu,
midriatikum sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya sinekia, ataupun
melepaskan sinekia yang telah ada.
Midriatikum yang biasanya digunakan adalah:
a. Sulfas atropin 1% sehari 3 kali tetes
b. Homatropin 2% sehari 3 kali tetes
c. Scopolamin 0,2% sehari 3 kali tetes
4. Anti inflamasi
Anti inflamasi yang biasanya digunakan adalah kortikosteroid, dengan dosis
sebagai berikut:
Dewasa : Topikal dengan dexamethasone 0,1 % atau prednisolone 1 %. Bila radang
sangat hebat dapat diberikan subkonjungtiva atau periokuler : :
a. Dexamethasone phosphate 4 mg (1 ml)
b. Prednisolone succinate 25 mg (1 ml)
c. Triamcinolone acetonide 4 mg (1 ml)
d. Methylprednisolone acetate 20 mg
Bila belum berhasil dapat diberikan sistemik Prednisone oral mulai 80 mg per hari
sampai tanda radang berkurang, lalu diturunkan 5 mg tiap hari.
Anak : prednison 0,5 mg/kgbb sehari 3 kali.
29
Pada pemberian kortikosteroid, perlu diwaspadai komplikasi-komplikasi yang
mungkin terjadi, yaitu glaukoma sekunder pada penggunaan lokal selama lebih dari
dua minggu, dan komplikasi lain pada penggunaan sistemik.
Terapi spesifik
Terapi yang spesifik dapat diberikan apabila penyebab pasti dari uveitis
anterior telah diketahui. Karena penyebab yang tersering adalah bakteri, maka obat
yang sering diberikan berupa antibiotik, yaitu :
Dewasa : Lokal berupa tetes mata kadang dikombinasi dengan steroid.
Anak : Chloramphenicol 25 mg/kgbb sehari 3-4 kali.
Walaupun diberikan terapi spesifik, tetapi terapi non spesifik seperti disebutkan
diatas harus tetap diberikan, sebab proses radang yang terjadi adalah sama tanpa
memandang penyebabnya22,23.
3. Katarak komplikata
30
Komplikasi ini sering dijumpai pada uveitis anterior kronis. Terapi yang
diperlukan adalah pembedahan, yang disesuaikan dengan keadaan dan jenis
katarak serta kemampuan ahli bedah24.
5. KOMPLIKASI
Komplikasi dari uveitis dapat berupa24 :
a. Glaucoma, peninggian tekanan bola mata
Pada uveitis anterior dapat terjadi sinekia posterior sehingga mengakibatkan
hambatan aliran aquos humor dari bilik posterior ke bilik anterior. Penumpukan
cairan ini bersama-sama dengan sel radang mengakibatkan tertutupnya jalur dari
out flow aquos humor sehigga terjadi glaucoma. Untuk mencegahnya dapat
diberikan midriatika.
b. Katarak
Kelainan polus anterior mata seperti iridosiklitis yang menahun dan penggunaan
terapi kortikosteroid pada terapi uveitis dapat mengakibatkan gangguan
metabolism lensa sehingga menimbulkan katarak. Operasi katarak pada mata
yang uveitis lebih komplek lebih sering menimbulkan komplikasi post operasi
jika tidak dikelola dengan baik. Sehingga dibutuhkan perhatian jangka panjang
terhadap pre dan post operasi. Operasi dapat dilakukan setelah 3 bulan bebas
inflamasi. Penelitian menunjukan bahwa fakoemulsifikasi dengan penanaman
IOL pada bilik posterior dapat memperbaiki visualisasi dan memiliki toleransi
yang baik pada banyak mata dengan uveitis.
c. Sinekia posterior à perlekatan antara iris dengan kapsul lensa bagian anterior
akibat sel-sel radang, fibrin, dan fibroblas.
d. Sinekia anterior à perlekatan iris dengan endotel kornea akibat sel-sel radang,
fibrin, dan fibroblas.
e. Seklusio pupil à perlekatan pada bagian tepi pupil
f. Oklusio pupil à seluruh pupil tertutup oleh sel-sel radang
g. Endoftalmitis à peradangan supuratif berat dalam rongga mata dan struktur di
dalamnya dengan abses di dalam badan kaca akibat dari peradangan yang meluas.
h. Panoftalmitis à peradangan pada seluruh bola mata termasuk sklera dan kapsul
tenon sehingga bola mata merupakan rongga abses.
i. Ablasio retina
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Riordan-Eva P (2013). Anatomi dan Embriologi Mata. Dalam : Whitcher JP, Eva PR
(eds.). vaughan & asbury oftalmologi umum. Edisi ke-17. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran Jakarta EGC, pp : 1-27.
2. America Academy of Opthalmology. Lens and Cataract. Section 11. 2014-2015.
3. Harper, RA, Shock JP (2013). Lensa. Dalam : Whitcher JP, Eva PR (eds.). vaughan &
asbury oftalmologi umum. Edisi ke-17. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran Jakarta
EGC, pp : 169-177.
4. Snell RS (2012). Anatomi klinis berdasarkan sistem. Jakarta : EGC.
5. Lang GK, Amann J, Gareis O, Lang GE, Recker D, Spraul CW (2000).
Ophthalmology a short textbook. New York: Thieme Stuttgart.
6. Khurana AK (2007). Comprehensive ophthalmology. New Delhi: New Age
International (P) Limited, Publishers.
7. Husain R, Tong L, Fong A, Cheng JF, How A, Chua WH, et al (2005). Prevalence of
cataract in rural Indonesia. Ophthalmology 112: 1255–1262.
8. Riset Kesehatan Dasar (2013). Riskesdas tahun 2013. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
9. Dinkes Kota Padang (2014). Laporan tahunan tahun 2013. Dinas kesehatan kota
padang. Edisi 2014. Padang.
10. Asbell PA, Dualan I, Mindel J, Brocks D, Ahmad M, Epstein S (2005). Age-related
cataract. Lancet 365: 599–609.
11. Pollreisz A, Schmidt U (2010). Diabetic cataract—pathogenesis, epidemiology and
treatment. Hindawi Publishing Corporation Journal of Ophthalmology Volume 2010,
Article ID 608751.
12. Lucas RM (2011). An epidemiological perspective of ultraviolet exposure–public
health concerns. Eye Contact Lens 2011 37:168-75.
13. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2005.
14. Michael R, Bron AJ. 2011. The ageing lens and cataract: a model of normal and
pathological ageing. NCBI. 366(1568): 1278-1292).
15. AOA. Cataract
16. Sihota R, Tandon R. 2010. Parsons disease of the eye. 21st edition. India: Elsevier
17. Dhawan S. 2005. Lens and Cataract. Diunduh tanggal 13 Juni 2017. URL:
http://sdhawan.com/ophthalmology/lens.html
18. Ilyas, Sidarta : ”Anatomi dan Fisiologi mata” dalam ”Ilmu Penyakit Mata”. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI, Edisi 3, 2008. Hal 1-12
19. Hartono. Ringkasan Anatomi dan Fisiologi Mata. UGM. Yogyakarta. 2007
20. Riordan Paul – Eva et al : ”Anatomi dan Embriologi Mata” dalam : Riordan Paul –
Eva, et al : ”Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum”. Jakarta : EGC, edisi 17, 2009
21. Vaughan, Dale. General Ophtalmology (terjemahan), Edisi 14. Jakarta: Widya
Medika, 2000.
22. Ilyas, S, Penuntun Ilmu Penyakit Mata Edisi ketiga. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta : 2004
23. Department of Ophthalmology and Visual Sciences, The Chinese University of Hong
Kong Sept 2002. www.afv.org.hk/Uveitis/uveitis_3.jpg
32
24. Wijaya,Nana. Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke-6. Semarang. Universitas Diponegoro.
33