Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN

Penimbunan merupakan perilaku ekonomi yang merugikan orang lain. Terlebih


dengan sengaja menyimpan bahan kebutuhan pokok yang mengakibatkan kelangkaan
komoditas di pasar sehingga harga barang menjadi naik lebih mahal (ikhtikar).
Menimbun jelas merugikan banyak orang sehingga disalahkan oleh RASULULLAH
SAW, “Hendaklah seseorang tidak menimbun kecuali ia adalah orang yang bersalah”.
(HR. Muslim dan Ahmad). Begitu juga perilaku memperkaya diri dengan tidak
menafkahkan harta bendanya di jalan allah juga diharamkan. Perilaku menimbun harta
telah jelas dilarang oleh para ekonom muslim.

Karena distribusi kekayaan termasuk masalah yang sangat penting, maka Islam
memberikan juga berbagai ketentuan yang berkaitan dengan hal ini. Mekanisme
distribusi kekayaan terwujud dalam sekumpulan hukum syara’ yang ditetapkan untuk
menjamin pemenuhan barang dan jasa bagi setiap individu rakyat. Mekanisme ini
dilakukan dengan mengikuti ketentuan sebab-sebab kepemilikan (misalnya, bekerja) serta
akad-akad muamalah yang wajar (misalnya jual-beli dan ijarah).
Namun demikian, perbedaan potensi individu dalam masalah kemampuan dan
pemenuhan terhadap suatu kebutuhan, bisa menyebabkan perbedaan distribusi kekayaan
tersebut di antara mereka. Selain itu perbedaan antara masing-masing individu mungkin
saja menyebabkan terjadinya kesalahan dalam distribusi kekayaan. Kemudian kesalahan
tersebut akan membawa konsekuensi terdistribusikannya kekayaan kepada segelintir
orang saja, sementara yang lain kekurangan, sebagaimana yang terjadi akibat
penimbunan alat tukar yang fixed, seperti emas dan perak.

sebagaimana telah dijelaskan dalam QS. At-Taubah Ayat 34-35.


BAB II
PEMBAHASAN

Teks Ayat dan Terjemahan

QS. At-Taubah Ayat 34-35

Terjemahan

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-


orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan
jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan allah. Dan orang-
orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menfkahkannya pada jalan allah,
maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang
pedih, (QS. At-Taubah 34).

Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar
dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada
mereka, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka
rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”. (QS. At-Taubah 35).

Makna Kosa Kata yang Penting

Amwal : Harta
Batil : Batil
Yaknizuna : Menyimpan
Dzahaba : Emas
Fidhdhata : Perak
Yunfiqu : Menafkahkan

Makna Ijmali (Global)

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim
Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil
dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan allah. Dan orang-orang yang
menyimpan emas dan perak dan tidak menfkahkannya pada jalan allah, maka
beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, (QS.
At-Taubah 34).
Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka jahannam, lalu
dibakar dengannya dhi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan)
kepada mereka, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,
maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”. (QS. At-Taubah
35).

Setelah menjelaskan sekelumit dari keburukan dan kesesatan kaum musyrikin


dan Ahl al-kitab, yang berkaitan dengan sikap mereka kepada ALLAH SWT, kini
diuraikan keburukan mereka menyangkut masalah duniawi, yakni loba dan tamak
serta menumpuk harta benda. Kaum muslimin diajak oleh ayat ini untuk menghindari
keburukan itu dengan berpesan “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib, yakni ulama-ulama
Nasrani, yang benar-benar memakan, yakni mengambil dan menggunakan harta orang
lain dengan jalan yang batil, antara lain dengan menerima sogok, memanipulasi
ajaran untuk mendapatkan keuntungan materi. Mereka menampakkan diri sebagai
agamawan yang dekat kepada tuhan dan mementingkan kehidupan akhirat tetapi
hakikat mereka tidak demikian, dan disamping itu meraka juga menghalang-halangi
manusia dari jalan Allah dengan berbagai uraian dan penafsiran yang mereka ajarkan.

Harta benda yang mereka peroleh dari yang batil itu dan yang mereka simpan
dan timbun itu kelak akan menyiksa mereka. Dan orang-orang yang menghimpun dan
menyimpan emas dan perak lagi tidak menafkahkannya pada jalan Allah, yakni sesuai
dengan ketentuan dan tuntutan-Nya, maka gembirakanlah mereka bahwa mereka
akan disiksa dengan siksa yang pedih.

Makna Rinci
Menurut Tafsir Qur’an Karim orang-orang yang menyimpan uang emas
dan perak, baik dalam peti atau dalam bank dan tiada dibelanjakannya pada jalan
allah (tidak dikeluarkannya zakatnya), maka berilah ia kabar suka (duka) dengan
siksa yang pedih, yang menimpanya pada hari kiamat. Waktu itu dipanaskan emas
dan perak yang disimpannya itu (atau yang seumpanya) dalam api neraka, hingga
menjadi panas, lalu digosokkan kedahinya, kerusuknya dan kepunggungnya,
seraya dikatakan padanya, “Inilah harta benda yang kamu simpan selama ini
untuk dirimu, maka rasailah olehmu siksaan sebagai balasan, karena kamu
menyimpannya dahulu.

Dalam ayat ini diterangkanlah, bahwa menyimpan uang emas dan perak
haram hukumnya, jika tidak dikeluarkan zakatnya. Tetapi jika tidak dikeluarkan
zakatnya pada tiap-tiap tahun, yaitu 2 ½ %, maka tiadalah haram. Berkata Nabi
Muhammad SAW, “harta-harta yang dibayarkan zakatnya, tiadalah dinamakan
menyimpannya”.

Sebab itu salah sekali orang yang berpendapat, bahwa ayat ini melarang
menyimpan uang emas dan perak, lebih dari keperluan makan yang mesti dan
wajib membelanjakan semua harta benda pada jalan allah (termasuk nafkah yang
perlu untuk anak, istri dsb). Dalam hadist Arabi (Arab Badwi yang datang
bertanya kepada nabi) “Apakah kewajiban saya selain zakat itu?” Berkata Nabi
SAW “Tidak ada, kecuali bersedekah sunat”.

Menurut Tafsir Rahmat Banyak rahib-rahib dan pendeta-pendeta yang


memakan harta dengan jalan haram, dengan mengatakan dosa orang diampuninya
dan meminta pembayaran. Mereka akan menerima balasan azab yang berat.

Menurut Tafsir Ruhul Bayan “ya ayyuhal ladzina amanu inna katsiram
minal ahbari” (wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar
ahbar), yaitu para ulama kaum yahudi yang sebagian besar merupakan anak cucu
Harun a.s.

“War ruhbani” (dan ruhban), mereka adalah para penghuni biara dari
kalangan nasrani. Ruhban jamak dari rahib sebagaimana telah dibahas didepan.
“Laya’kuluna amwalan nasi bil bathili” (benar-benar memakan harta
manusia dengan batil). Mereka mengambil harta itu melalui suapan sebagai
imbalan atas pengubahan hukum-hukum dan syari’at, meringankannya dan sangat
permisif (toleran) atas hukumnya. Mereka menciptakan image dikalangan
manusia bahwa mereka sebagian orang cerdik dan ahli dalam mena’wilkan ayat
dan menerangkan tujuan Allah swt, dalam ayat.

Penulis berkata: “Demikian pula perbuatan para mufti dan hakim yang
lalim dizaman sekarang. Mereka mengeluarkan fatwa sesuai dengan selera
pemesannya, menetapkan hukum dengan berdasarkan pendapat yang lemah
bahkan kontradiktifdengan penjelasan. Mereka beranggapan bahwa pendapat itu
merupakan sandaran yang kuat. Mudah-mudahan Allah swt melenyapkan mereka.

Dalam ayat itu kata “mengambil” diungkapkan demgan “memakan”


padahal yang dicela dari mereka adalah semata-mata mengambilnya dengan cara
yang batil, yaitu dengan cara menyuap, baik mereka mengambilnya untuk
dimakan, atau tidak dimakan. Hal itu didasarkan pada kenyataanbahwa tujuan
utama mengambil itu untuk dimakan.

“Wa yashudduna ‘an sabilillahi” (dan mereka menghalang-halangi


manusia dari jalan Allah), yaitu dari agama islam, atau mereka memalingkan
dirinya sendiri dari agama Islam disebabkan mereka makan harta dengan cara
yang batil.
Wal ladzina yaknizunadz dzahaba wal fidldlata (dan orang-orang yang
mengumpulkan emas dan perak), yakni mengumpul-ngumpul keduanya dan
memeliharanya, baik dengan cara ditimbun didalam tanah atau dengan cara lain.
Dalam perkataan orang arab, al-kanzu artinya: kumpulan dan perkara yang
sebagian disatukan dengan sebagian yang lain, maka perkara itu disebut maknuz
(yang dikumpulkan). Dikatakan: Hadza jismun muktanizul ajza-I, bila sosok itu
merupakan kumpulan dari beberapa bagian. Emas disebut dzahab karena ia suksa
pergi (dzahaba) dan tak tersisa. Perak disebut fidldlah karena ia suka bercerai-
berai dan tidak bersisa. Cukuplah bagimu petunjuk kefanaan keduanya dan
bahwasanya ia tidak kekal dan lenyap.

Dikatakan: “Tatkala Adam a.s. keluar dari surga, maka menangislah segala
segala perkara yang ada disurga kecuali pohon, mas dan perak. Allah swt
berfirman: “kalaulah dalam kalbu kalian (mas, perak dan pohon) ada belas
kasihan, niscaya kalian akan menangis karena takut kepada-Ku, namun karena
kekerasan kalbunya, aku membakarnya dengan api. Demi kemuliaan dan
keagungan-Ku, tidaklah kalian dicetak menjadi kalung, dinar dan dirham serta
gelang melainkan dengan cara dibakar terlebih dahulu. Sedangkan engkau wahai
pohon senantiasa berada dalam apidan bersedih hingga hari kiamat.

Yang dimaksud dengan alladzina mencakup banyak orang, yaitu para


ulama yahudi dan nasrani serta ulama kaum muslimin. Adapun alldzina (orang-
orang yang) menumpuk mas dan perak yang tidak menginfakkan, maka menjadi
mubtada, sedangkan khabarnya ialah kata fabasysyirhum.

Wa la yunfiqunaha fi sabilillahi (dan mereka tidak menginfakkannya


dijalan allah), yakni mereka tidak menginfakkan sebagiannya. Yakni tidak
membayar zakatnya, dan tidak mengeluarkan hak allah dari mas dan perak itu.
Kemudian dibuang min yang menunjukkan bagian (asalnya: yunfiquna minha)
dan dikehendaki penetapannya sebab dalam firman lain pun ditetapkan
keberadaannya, yaitu dalam ayat khudz min awwalihim shadaqatan….. nabi saw.
Bersabda:
Dua ratus dirham zakatnya lima dirham dan nas 20 mitsqal zakatnya
setengah mitsqal. (H.R. Ahmad)

Andaikan maksudnya wajib menginfakkan seluruh harta, tentu perkiraan


ayat ini tidak ada, seperti kata al-Haddadi. Dalam ayat itu dikatakan: ”dengan
mereka tidak menginfakkan sebagiannya”, padahal yang diceritakan itu dua
perkara (mas dan perak) tiada lain yang karena yang dimaksudkan oleh keduanya
adalah dinar dan dirham yang banyak. Pendapat lain mengatakan: “Kata ganti
pada yunfiqunaha kembali ke al-amwal atau ke al-kunuz yang ditunjukkan oleh
kata kerja atau kembali ke al-fidldlah. Kata itulah yang lebih dekat ke
yunfiqunaha, kemudian dianggap cukup dengan menyebutkan salah satunya saja
untuk mengetahuinya, sebagaimana kata ganti ha dalam ayat wa lazar a-au
tijaratan au lahwan infadldlu ialiha (semestinya dikatakan ilaihima. Yang
dirujukkan pun kata tujaratan dan lahwan). Demikian pula halnya dengan kata
alaiha dalam penggalan berikutnya.

Fa basysyirhum bi adzabin alim (maka gembiralah mereka dengan siksa


yang pedih). Ancaman siksaan atad mereka ditempatkan dalam berita gembira
meraih kenikmatan karena mereka tidak menginfakkan sebagian hartanya.

Yauma yuhma ‘alaiha fi nari jahannama (pada hari ia emas dan perak
dipanaskan dalam neraka jahannam). Dikatakan: Hamiyatun naru, artinya: Api itu
panas sekali. Makna ayat: pada hari emas dan perak itu dinmyalakan dengan api
yang sangat panas, dalam neraka jahannam.

Fa tukwa biha jibahuhum wa junubuhum wa zhuhuruhum (lalu dibakar


dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka). Ketiga anggota tubuh
yang dibakar bukan anggota tubuh yang lain, karena orang kaya, apabila melihat
orang miskin yang meminta zakat, dia bermuka masam. Bila si miskin meminta
dengan sangat, dia memalingkan badannya. Dan bila si miskin mendesak
memintanya, si kaya akan berpaling membelakang dengan punggungnya dan
tidak memberinya apa pun juga atau karena tujuan sipenimbun/penumpuk harta
ialah untuk mencari kebanggan dengan kenyataan itu, maka tukwa berta’alluq ke
(berhubungan dengan) anggota badan muka bagian atas, yaitu dahi. Dan tatkala
kekayaan itu ditujukan untuk meraih kesenangan makanan yang diinginkan
sehingga dengan makanan itu dilambungnya membengkak serta untuk meraih
kesenangan pakaian yang dikenakan dipunggungnya, maka tukwa pun
dita’alluqkan ke jibah dan junub.

Ketika dibakar pada hari tersebut, dikatakan pada mereka………….

Hadza ma kanaztum li anfusikum (inilah perkara yang kalian tumpuk-


tumpukkan, ketika hidup di dunia, untuk diri kalian), yakni untuk kesengan diri,
yang kemidian berubah menjadi wujud kesengsaraan dan penyebab dideritanya
siksaan.

Fa bzuqu ma kuntum taknizun (maka rasakanlah perkara yang dahulu


kalian tumpuk-tumpuk), yakni. Rasakanlah sekarang bencana dari harta
simpananmu itu. Mereka merasakan diakhirat karena ketika mereka di dunia
mereka berada dalam tidur yang melalaikan dari urusan akhirat. Orang yang tidur
tenti saja tidak merasakan pedihnya setrikaan, ketika ia tidur, namun
merasakannya ketika ia terjaga. Selama di dunia manusisa tertidur, dan apabila
dalam sebuah hadist dikatakan:
Apapun yang dimiliki berupa tumpukan barang yang tidak dizakati,
melainkan pemiliknya akan dipanaskan didalam jahannam, kemudian
dijadikan lempengan-lempengan. Lempengan itu disetrikakan ke lambung dan
dahinya hingga Allah memutuskan persoalan diantara para hamba-Nya pada
suatu hari yang kadarnya 50 ribu tahun. Barulah dia mengetahui jalannya.
Apakah menuju kesurga atau keneraka? Dan tidaklah seseorang yang
memiliki unta yang tidak ditunaikan zakatnya melainkan berderetlah unta-
unta yang pernah ia miliki sambil mengeram dan menerjangnya. Setelah unta
terakhir berlalu, deretan itu diawali dengan unta pertama. (kejadian tersebut
terus berlangsung) hingga Allah memutuskan perkara diantara para hamba-
Nya dalam saru hari yang kadarnya 50 ribu tahun. Setelah itu barulah ia
melihat jalannya, apakah jalannya menuju kesurga atau neraka? Ditunaikan
zakatnya melainkan domba-domba itu, sebanyak yang pernah ia miliki, akan
berderet serta menerjangnya dengan kakinya dan menubruknya dengan
tanduk-tanduknyayang tidak akan pernah retak dan patah. Setelah domba
terakhir berlalu, maka diawali lagi dengan domba yang pertama tadi. (kejadian
tersebutu terus berlanjut) hingga Allah memutuskan perkara diantara para
hamba-Nya dalam saru hari yang kadarnya 50 ribu tahun menurut
perhitungan kalian. Kemudian barulah diperlihatkan jalannya, apakah
kesurga atau keneraka? (H.R. Muslim).

Ketahuilah bahwa zakat merupakan pernyataan syukur atas nikmat harta


kekayaan, sebagaimana shaum, shalat dan haji merupakan pernyataan syukur atas nikmat
anggota badan. Oleh karena itu shalat dhula menjadi perbuatan pernyataan syukur atas
kenikmatan 360sendi tulang tubuh.

Uang 200 dirham zakatnya ialah lima dirham yang diberikan kepada fakir
yang muslim, dengan niat karena allah swt dan untuk meraih keridhoan-Nya. Pemberian
zakat dengan mengharapkan balasan pengganti, bukanlah zakat namanya. Orang yang
mengurus anak yatim, bila memberinya dari zakatnya, maka sah saja, namun menurut
ajaran islam, perawatan anak yatim dipersysaratkan untuk tidak dengan maksud
memiliki. Bilamana pengurus menyerahkan makanan kepada anak yatim, berarti
menyerahkan harta zakat yang dikelolanya. Bila dia tidak menyerahkannya, tidaklah sah
karena tiada unsur pemberian hak milik. Demikianlah pemberian zakat hendaklah tidak
pakai pernyataan seperti agar anak yatim menjadi pelayan pengurusnya. Bila seseorang
memberikan sebagian zakatnyakepada seorang khadam yang bukan budaknya dengan
mengharapkan balasan, yaitu berupa layanan si khadam, maka pemberian zakat itu tidak
bermotivasikan untuk mencari ridho Allah dan ini banyak disepelekan oleh mayoritas
orang. Apabila seseorang memberikan infak kepada kerabatnya dengan niat zakat, maka
zakat itu sah adanya, kecuali infak untuk kerabat itu sudah ditetapkan sebagai
kewajibannya. Sebagian ulama mengatakan: “yang paling baik itu zakat diberikan kepada
saudara-saudaranya, paman-paman dan bibi-bibinya, barulah kepada kerabat jauh, para
tetangga, penduduk sekampung, kemudian kepada penduduk kota dimana dia
bermukim”.

Menurut Tafsir Al-Ahkam Kata “yaknizun” berasal dari kata “kanaza”


yang artinya mengumpul, menyimpan, dan menumpuk sesuatu, biar yang disimpan itu
emas atau perak maupun yang lainnya. Menurut keterangan muawwiyah, ayat ini
diturunkan hanya kepada pendeta-pendetayang memakan harta orang dengan jalan yang
batil dan menghalangi jalan Allah.

Menurut zahirnya, ayat ini ditujukan kepada mereka yang mengumpulkan


kekayaan sebanyak mungkin, dan tidak mau mengeluarkannya pada jalan Allah. Kepada
mereka dijannjikan azab yang sangat menyakitkan, siksa yang mengerikan oleh karena
mereka menumpuk harta benda lebih dari semestinya. Sebenarnya kelakuan seperti itu
adalah tidak sah menurut syari’at islam, karena pada banyak ayat, Allah menegaskan,
bahwa orang mukmin ialah yang mau mengeluarkan apa yang diberikan Allah kepadanya
sebagai rezeki, dan pada harta itu ada hak orang miskin, orang meminta-minta, yang telah
ditentukan.

Menurut Tafsir Al-Misbah Kata “taknizun” dipahami dalam arti


menghimpun sesuatu dalam wadah, baik wadah itu berada dalam tanah maupun
dipermukaan bumi. Ayat ini hanya menyebut dua macam yang dihimpun, yaitu emas dan
perak, karena biasanya kedua hal itulah yang menjadi ukuran nilai atau yang umumnya
disimpan.

Asy-Sy‘rawi mengemukakan bahwa salah satu aspek kemukjijatan Al-


Qur’an adalah uraian ayat ini dimana Allah swt. Menguraikan tentang emas dan perak,
dua jenis barang tambang yang dijadikan Allah sebagai dasar penetapan nilai uang dan
alat tukar dalam perdagangan. Kendati ada barang tambang lainnya yang lebih mahal dan
berharga. Tetapi demikianlah, keadaannya hingga kini diseluruh dunia kedua barang
tambang itu masih tetap menjadi dasar bagi perdagangan dan nilai uang setiap negara.

Ayat ini tidak mengecam semua yang mengumpulkan harta apalagi yang
menabungnya untuk masa depan. Kecaman ditujukan kepada mereka yang menghimpun
tanpa menafkahkannya dijalan Allah, yakni tidak melaksanakan fungsi sosial dari harta,
antara lain zakat, dan itulah yang dinamai ayat ini kanz. Atas dasar itu, mereka yang telah
menginfakkan hartanya dan menabung sisanya tidak lah dinamai taknizun.

Ayat ini sangat teliti dan objektif. Ia tidak menyatakan bahwa seluruh
pemimpin yahudi dan nasrani bermoral bejat, tetapi hanya sebagian besar dari mereka.
Memang Al-Qur’an selalu memerhatikanhal tersebut dalam mengecam kelompok tertentu
itu jika ditemukan kecaman dengan menggunakan redaksi yang bersifat umum, pasti
ditemukan sesudahnya pengecualian. Misalnya QS. al-Maidah 5 : 59

Pesan Hukum Ayat Ekonomi


Penimbunan merupakan perilaku ekonomi yang merugikan orang lain. Terlebih
dengan sengaja menyimpan bahan kebutuhan pokok yang mengakibatkan kelangkaan
komoditas di pasar sehingga harga barang menjadi naik lebih mahal (ikhtikar).
Menimbun jelas merugikan banyak orang sehingga disalahkan oleh RASULULLAH
SAW, “Hendaklah seseorang tidak menimbun kecuali ia adalah orang yang bersalah”.
(HR. Muslim dan Ahmad). Begitu juga perilaku memperkaya diri dengan tidak
menafkahkan harta bendanya di jalan allah juga diharamkan. Perilaku menimbun harta
telah jelas dilarang oleh para ekonom muslim.

Pesan Ayat dan Konteks Tualisasinya dengan Persoalan


Ekonomi
Pesan yang terdapat dalam ayat ini dalam konteks tualisasi dengan persoalan
ekonomi adalah janganlah kita melakukan penimbunan terhadap harta (emas dan perak)
atau pun yang lainnya, yang dapat merugikan banyak orang. Ulama memahaminya
bahwa menyimpan harta dalam jumlah yang berlebihan dari kebutuhan keluarga adalah
haram .Karena sebenarnya bukan orang lain saja yang rugi tapi kita juga akan merugi,
karena kita akan mendapat balasannya di hari akhir kelak.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Penimbunan harta yang dicintai seperti emas dan perak dan tidak
menafkahkannya di jalan allah merupakan perilaku ekonomi yang diharamkan. Terlebih
bila harta tersebut diperoleh dari jalan yang batil seperti riba. Semua perbuatan tersebut
akan menyebabkan siksa yang pedih. Oleh karena itu, sirkulasi harta mesti perputar
dimasyarakat supaya tidak terkumpul disegolongan orang kaya saja. ”Harta rampasan
fai’ yang diberikan allah kepada rasulnya (yang berasal) dari penduduk beberapa
negeri, adalah untuk allah, rasul, kerabat (rasul), anak-anak yatim, orang-orang
miskin, dan untuk orng-orang yang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya
beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu. Apa yang diberikan rasul
kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.
Dan bertaqwalah kepada allah. Sungguh, allah sangat keras hukumannya”. (QS.
Al-Hasyr : 7)
Referensi

 M. Quraish Shihab, 2009, Tafsir Al-Misbah: Pesum,


Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Leritera Hati, Jakarta.
 Prof. Dr. Hamka Tafsir Al-Azhar. PT PUSTAKA
PANJIMAS, Jakarta 1994
 Ahmad mustafa Al-Maraghi, 1989, Tafsir Al-
Maraghi, CV. Toha Putra, Semarang.
 Suwiknyo, Dwi, SEI., MSI. 2010. Kompilaasi Tafsir
Ayat-Ayat Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
 Al-Ahkam

Anda mungkin juga menyukai