Anda di halaman 1dari 20

Kelenjar Adrenal

Terdapat dua kelenjar adrenal, masing-masing terbenam di atas masing-masing ginjal


dalam suatu kapsul lemak. Setiap kelenjar adrenal terdiri dari dua organ endokrin, satu
mengelilingi yang lain. Lapisan luar yang terdiri dari korteks adrenal mengeluarkan
beragam hormon steroid; bagian dalam, medula adrenal, mengeluarkan katekolamin. [1]

a. Korteks Adrenal
 Lapisan korteks adrenal : [2]
Korteks adrenal terdiri dari tiga lapisan atau zona : zona glomerulosa (lapisan
terluar), zona fasikulata (lapisan tengah dan terbesar), dan zona retikularis
(lapisan paling dalam).
1. Zona glomerulosa
Lapisan tipis sel-sel yang terletak tepat di bawah kapsul, membentuk
sekitar 15% korteks adrenal. Pada kelenjar adrenal, sel-sel tersebut merupakan
satu-satunya yang menyekresi aldosteron dalam jumlah berarti karena sel-sel
tersebut mengandung enzim aldosteron sintase. Sekresi sel-sel tersebut diatur
terutama oleh konsentrasi angiotensin II dan kalium cairan ekstraselular, yang
keduanya merangsang sekresi aldosteron.
2. Zona fasikulata,
Lapisan tengah dan terbesar membentuk sekitar 75 persen korteks
adrenal dan menyekresi glukokortikoid kortisol dan kortikosteron, serta
sejumlah kecil androgen dan estrogen adrenal. Sekresi sel-sel tersebut diatur
sebagian besar oleh sumbu hipotalamus-hipofisis adrenocorticotropic
hormone (ACTH).
3. Zona retikularis
Merupakan lapisan terdalam dari korteks, menyekresi androgen
adrenal dehidroepiandrosteron (DHEA) dan androstenedion, juga sejumlah
kecil estrogen dan beberapa glukokortikoid. ACTH juga mengatur sekresi sel-
sel tersebut, walaupun faktor lain seperti hormon perangsang-androgen
korteks, yang disekresi oleh hipofisis, juga terlibat.

 Pembentukan Aldosteron
Korteks adrenal rnengeluarkan sejumlah hormon adrenokorteks berbeda, yang
semuanya adalah steroid yang berasal dari molekul prekursor bersama, kolesterol.
Semua jaringan steroidogenik (penghasil steroid) pertama mengubah kolesterol
menjadi pregnenolon, lalu memodifikasi inti biasa ini oleh reaksi enzimatik
bertahap untuk menghasilkan hormon steroid aktif. Setiap jaringan steroidogenik
memiliki enzim komplemen untuk menghasilkan satu atau beberapa hormon
steroid tapi tidak semuanya Korteks adrenal menghasilkan variasi hormon yang
lebih besar dibandingkan dengan jaringan steroidogenik lainnya. [1]
Aldosterone mempengaruhi keseimbangan mineral(elektrolit)
khususnya, keseimbangan Na+dan K + Tempat kerja utamanyadi tubulus
distal dan koligentes ginjal, tempat mendorong retensi Na+ dan meningkatkan
eliminasi K + selama pembentukan urine. Retensi Na+ oleh aldosterone secara
sekunder akan mendorong retensi amotik H2O,meningkatkan volume CES,
yang penting dalam regulasi jangka panjang tekanan darah.Sekresi aldosterone
ditingkatkan oleh pengaktifan system Renin-Angiotensin-Aldosteron oleh
factor-faktor yang berkaitan dengan penurunan Na+ dan tekanan darah, serta
stimulasi langsung korteks adrenaloleh peningkatan konsentrasi K + plasma.[1]
 Sekresi Aldosteron
Aldosteron, disekresikan oleh sel-sel zona glomerulosa pada korteks adrenal,
adalah suatu regulator penting bagi reabsorpsi natrium dan sekresi kalium oleh
tubulus ginjal.Tempat kerja utama aldosteron adalah di tubulus distal dan
koligentes ginjal, tempat hormon ini mendorong retensi Na+ dan meningkatkan
eliminasi K+ sewaktu proses pembentukan urine. Retensi Na+ oleh aldosteron
akan secara sekunder menginduksi retensi H2O, meningkatkan volume bertahap
untuk menghasilkan hormon steroid aktif. Setiap CES (termasuk volume plasma)
yang penting dalam regulasi jangka panjang tekanan darah.[1]
1. Mekanisme Selular Kerja Aldosteron
Rangkaian peristiwa yang menimbulkan peningkatan reabsorpsi
natrium tampaknya sebagai berikut:[2]
Pertama, oleh karena kemudahannya larut dalam lemak pada
membran sel, maka aldosteron mudah berdifusi ke dalam sel-sel epitel tubulus.
Kedua, dalam sitoplasma sel-sel tubulus, aldosteron akan berikatan
dengan protein reseptor mineralokortikoid sitoplasma yang sangat spesifik
(MR), yaitu protein yang mempunyai konfigurasi stereomolekular yang hanya
membolehkan aldosteron atau senyawa yang mirip dengan aldosteron
berikatan dengan protein reseptor tersebut. Meskipun reseptor MR sel epitel
tubulus ginjal juga mempunyai daya ikat yang tinggi terhadap kortisol, enzim
11β- hidroksisteroid dehidrogenase tipe 2 normal mengubah hampir sebagian
besar kortisol menjadi kortison, yang tidak dapat berikatan dengan reseptor
MR, seperti telah dijelaskan sebelumnya.
Ketiga, kompleks reseptor-aldosteron atau produk dari kompleks ini
berdifusi ke dalam inti sel yang akan mengadakan perubahan- perubahan
selanjutnya, dan akhirnya menginduksi satu atau lebih gugus spesifik DNA
untuk membentuk satu atau beberapa jenis RNA caraka yang berkaitan dengan
proses pengangkutan natrium dan kalium.
Keempat, RNA caraka berdifusi kembali ke dalam sitoplasma, yaitu
saat RNA caraka bekerja bersama dengan ribosom dan menyebabkan
terbentuknya protein. Protein yang terbentuk merupakan campuran dari (1)
satu atau lebih enzim dan (2) protein transport membran, yang kerja samanya
dibutuhkan untuk transport natrium, kalium, dan hidrogen melalui membran
sel. Salah satu enzim yang terutama ditingkatkan adalah natrium-kalium
adenosin trifosfatase, yang bekerja sebagai bagian utama dari pompa
pertukaran natrium dan kalium pada membran basolateral sel tubulus ginjal.
Protein lain yang mungkin sama pentingnya, merupakan suatu protein kanal
epitel untuk natrium-(ENaC) yang dimasukkan ke dalam membran luminal
dari sel tubulus ginjal yang sama sehingga membuat ion natrium dapat
berdifusi dengan cepat dari lumen tubulus masuk ke dalam sel; kemudian
natrium selanjutnya dipompa oleh pompa natrium-kalium yang terletak di
dalam membran basolateral sel. Jadi, sebenarnya aldosteron tidak mempunyai
efek utama yang segera pada pengangkutan natrium; namun, pengaruh ini
harus menunggu timbulnya rangkaian peristiwa yang menyebabkan
terbentuknya bahan-bahan spesifik intrasel yang dibutuhkan untuk
pengangkutan natrium. Dibutuhkan waktu kira-kira 30 menit lamanya sebelum
RNA yang baru muncul, dan dibutuhkan waktu kira-kira 45 menit sebelum
kecepatan pengangkutan natrium mulai meningkat; efek maksimumnya akan
tercapai hanya dalam waktu beberapa jam sesudahnya.
2. Pengaturan Sekresi Aldosteron
Pengaturan sekresi aldosteron sangat berkaitan dengan pengaturan
besarnya konsentrasi elektrolit dalam cairan ekstraselular, volume cairan
ekstraselular, volume darah, tekanan arteri, dan berbagai aspek khusus fungsi
lainnya sehingga sulit untuk membicarakan pengaturan sekresi aldosteron
tanpa mengaitkan faktor-faktor di atas.[1,2]
Pengaturan sekresi aldosteron sel-sel zona glomerulosa hampir sama
sekali tidak berhubungan dengan hormon kortisol zona fasikulata dan
androgen zona retikularis. Dikenal empat faktor yang memainkan peran
penting dalam pengaturan aldosteron. Menurut urutan manfaatnya, keempat
faktor tersebut adalah sebagai berikut:[1,2]
1) Peningkatan konsentrasi ion kalium di dalam cairan ekstraselular sangat
meningkatkan sekresi aldosteron.

2) Peningkatan konsentrasi angiotensin II di dalam cairan ekstraselular juga


sangat meningkatkan sekresi aldosteron atau Faktor-faktor yanga berkaitan
dengan penurunan Na+ dan penurunan tekanan darah melalui sistem
reninangiotensin-aldosteron (RAAS) yang kompleks.

3) Peningkatan konsentrasi ion natrium di dalam cairan ekstraselular sangat


sedikit menurunkan sekresi aldosteron.
4) ACTH dari kelenjar hipofisis anterior diperlukan untuk sekresi aldosteron
tetapi dalam sebagian besar kondisi fisiologis, mempunyai efek yang kecil
dalam mengatur kecepatan sekresinya.
Dari faktor-faktor tersebut, konsentrasi ion kalium dan sistem sistem renin-
angiotensin sejauh ini merupakan faktor yang paling kuat dalam mengatur
sekresi aldosteron. Sedikit peningkatan persentase konsentrasi kalium dapat
menyebabkan beberapa kali peningkatan sekresi aldosteron. Selain itu,
aktivasi sistem renin-angiotensin, biasanya sebagai respons terhadap
berkurangnya aliran darah ke ginjal atau karena kehilangan natrium, dapat
menyebabkan peningkatan sekresi aldosteron beberapa kali lipat.
Selanjutnya, aldosteron akan bekerja pada ginjal dengan (1) membantu
ginjal mengeluarkan kelebihan ion kalium, serta (2) meningkatkan volume
darah dan tekanan arteri, jadi mengembalikan sistem renin angiotensin ke
tingkat aktivitas normal.
 Pembentukan Glukokortikoid

Semua hormon steroid pada mamalia disintesis dari kolesterol via pregnenolon
melalui sederet reaksi yang terjadi di dalam mitokondria maupun di dalam
reticulum endoplasma sel korteks adrenal, dalam hal ini diperlukan hidroksilase
dan NADPH, dalam keadaan tertentu juga diperlukan dehidrogenase, isomerase
dan liase.[1]
Sintesis glukokortikoid membutuhkan tiga hidroksilase yang beraksi secara
beruntun pada posisi C17, C21, dan C11. Dua reaksi hidroksilase yang pertama
berlangsung cepat, sedangkan hidroksilase pada C11 berlangsung lebih lambat.[1]
Senyawa metirapon adalah penghambat efektif dari 1 – hidroksilase dan
digunakan untuk tes diagnostic cadangan hipotalamus-hipopisa. Tes ini berguna
untuk mengetahui bahwa glukokortikoid merupakan hormone yang menghambat
secara umpan balik pelepasan ACTH. Bila sintesis glukokortikoid dihambat
dengan memberi orang normal dosis metipan balik pelepasan ACTH , metirapon
secara oral pada tengah malam, keesoakan harinya terjadi pelepasan ACTH
berlebihan, pembentukan steroid dirangsang dan 11 deoksikortisol menumpuk
karena tidak terjadi pembentukan glukokortikoid.[1]
 Sekresi Glukokortikoid


 Hormon glukokortikoid sedikit sekali disimpan di dalam sel korteks adrenal,
karena hormon ini selalu dilepaskan ke dalam setelah selesai dibuat. Pelepasan
glukokortikoid terjadi dengan periodisitas yang diatur oleh irama diurnal
pelepasan ACTH. Glukokortikoid plasma mulai meningkat sesudah tengah
malam dan mencapai kadar puncak plasma (kira-kira 15 mikrogram per
desiliter) antara pukul 06.00 sampai pukul 08.00 pagi. Sesudah pukul 08.00
pagi sekresi glukokortikoid berangsur menurun sebagaimana kadar plasma,
dan mencapai titik terendah (kira-kira 6 mikrogram/ desiliter) antara pukul
18.00 dan tengah malam. Selama waktu ini glukokortikoid tidak disekresi
terus menerus, sekresi dalam jumlah besar terjadi pada pagi hari. Kecuali
dalam keadaan stress irama diurnal dilampaui dan kadar glukokortikoid dalam
plasma dapat melebihi 25 mikrogram per desiliter. Pada titik ini kapasitas
protein pengikat plasma utama meningkat dan globulin pengikat steroid
dilampaui serta kadar glukokortikoid plasma meningkat.[1]
 Sekresi glukokortikoid tergantung pada ACTH yang selanjutnya diatur oleh
Corticotropin Releasing Hormone (CRH). Kadar glukokortikoid bebas yang
berlebihan melakukan control umpan balik negatif (penghambatan) cepat dan
lambat pada hipofisa anterior, hipotalamus atau kedua-duanya. Respon cepat
kelihatan dengan diikuti tingginya kadar glukokortikoid selanjutnya timbul
aksi glukokortikoid pada membran sel hipotalamus. Efek lambat tergantung
pada kadar absolute glukokortikoid dan diusahakan pada sel basofilik hipofisa
anterior melalui penghambatan produksi mRNA proopiomelanokortin
(POMC).[1]
 Perangsangan adrenal dalam waktu cukup lama dengan ACTH mengakibatkan
peningkatan ukuran dan jumlah sel, serta dapat menentukan besar respon
steroidogenik terhadap rangsang ACTH yang mendadak. Sebaliknya
kekurangan ACTH dalam jangka lama menyebabkan atrofi korteks adrenal,
penurunan steroidogenesis dan respon yang sangat lambat terhadap ACTH.[1]
 Pelepasan ACTH dan sekresi glukokortikoid terjadi melalui pengontrolan oleh
input saraf dari sejumlah tempat dalam sistem saraf. Sekresi glukokortikoid
juga dipengaruhi oleh stress fisik dan emosional. Input dari nucleus amigdala
menghambat respon ACTH terhadap stress emosional, kekhawatiran, takut
dan kecemasan sedangkan serabut spinotalamik dan formasi ini dapat
melampaui kedua sistem umpan balik negatif dan irama diurnal.[1]
 Fungsi Hormon Korteks Adrenal
Fungsi Hormon yang dihasilkan [1]
1. Mineralokortikoid, terutama aldosteron, memengaruhi keseimbangan mineral
(elektrolit), khususnya keseimbangan Na+ dan K+.
2. Glukokortikoid, terutama kortisol, berperan besar dalam metabolisme glukosa
serta metabolisme protein dan lemak dan dalam adaptasi terhadap stres.
3. Hormon seks identik atau serupa dengan yang dihasilkan oleh gonad (testis
pada pria, ovarium pada wanita). Hormon seks adrenokorteks yang paling
banyak dan penting secara fisiologis adalah dehidroepiandrosteron, suatu
androgen, atau suatu hormon seks "pria".
Efek utama mineralokortikoid adalah keseimbangan Na+ dan K+ serta
homeostasis tekanan darah. [1]
Kerja dan regulasi mineralokortikoid adrenokorteks utama, aldosteron.
Tempat kerja utama aldosteron adalah di tubulus distal dan koligentes ginjal,
tempat hormon ini mendorong retensi Na dan meningkatkan eliminasi K+
sewaktu proses pembentukan urine. Retensi Na+ oleh aldosteron akan secara
sekunder menginduksi retensi H2O, meningkatkan volume bertahap untuk
menghasilkan hormon steroid aktif. Setiap CES (termasuk volume plasma) yang
penting dalam regulasi jangka panjang tekanan darah. [1]
Mineralokortikoid bersifat esensial untuk hidup. Tanpa aldosteron, orang akan
segera meninggal akibat syok sirkulasi karena penurunan mencolok volume
plasma akibat penge-luaran berlebihan Na+ penahan H2O. Pada sebagian besar
defisiensi hormon lain, kematian tidak langsung terjadi, meski-pun defisiensi
kronik hormon akhirnya dapat menyebabkan kematian dini. [1]
Sekresi aldosteron ditingkatkan oleh faktor-faktor yanga berkaitan dengan
penurunan Na+ dan penurunan tekanana darah melalui sistem reninangiotensin-
aldosteron (RAAS)a yang kompleks, serta stimulasia langsung korteks adrenal
oleh peningkatan konsentrasi K+ plasma Selain efeknya pada sekresi aldosteron,
angiotensin mendorong pertumbuhan zona glomerulosa, dengan cara serupa
dengan efek TSH pada tiroid. Hormon adrenokortikotropik (ACTH) dari
hipofisis anterior mendorong sekresi kortisol, bukan aldosteron. Karena itu, tidak
seperti regulasi kortisol, regulasi sekresi aldosteron tidak bergantung pada kontrol
hipofisis anterior.[1]
Glukokortikoid memiliki efek metabolik dan beperan kunci dalam adaptasi
terhadap stres. [1]
Kortisol, glukokortikoid utama, berperan penting dalam metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein; memiliki efek permisif signifikan bagi aktivitas
hormon lain; dan membantu seseorang menahan stres.[1]
1. EFEK METABOLIK : Efek keseluruhan dari pengaruh kortisol pada
metabolisme adalah peningkatan konsentrasi glukosa darah dengan
mengorbankan simpanan lemak dan protein. Secara spesifik, kortisol
melakukan fungsi-fungsi berikut:[1]
 Kortisol merangsang glukoneogenesis di hati, yaitu perubahan
sumber-sumber non-karbohidrat (yaitu asam amino) menjadi
karbohidrat (gluko artinya "glukosa"; neo artinya "baru"; genesis
artinya "produksi"). Di antara waktu makan atau selama puasa,
ketika tidak ada nutrien baru yang diserap ke dalam darah untuk
digunakan dan disimpan, glikogen (glukosa simpanan) di hati
cenderung berkurang karena ditiraikan untuk membebaskan glukosa
ke dalam darah. Glukoneogenesis adalah faktor penting untuk
mengganti simpanan glikogen hati dan karenanya mempertahankan
kadar glukosa daraht etap normal di-antara waktu makan. Hal ini
esensial karena otak hanya dapat menggunakan glukosa sebagai
bahan bakar metabolik, tetapi jaringan saraf sama sekali tidak dapat
menyimpan glikogen. Karena itu, konsentrasi harus dipertahankan
pada tingkat yang sesuai agar otak yang bergantung pada glukosa
mendapat nutrien yang memadai.
 Kortisol-menghambat penyerapan dan pemakaian glukosa oleh
banyak jaringan, kecuali otak, sehingga glukosa tersedia bagi otak,
yang membutuhkan bahan ini sebagai bahan bakar metabolik. Efek
ini, seperti glukoneogenesis, meningkatkan glukosa darah.
 Kortisol merangsang penguraian protein di banyak jaringan,
khususnya otot. Dengan menguraikan sebagian protein otot menjadi
konstituennya (asam amino), kortisol meningkatkan konsentrasi
asam amino darah. Asam-asam amino yang dimobilisasi ini tersedia
untuk glukoneogenesis atau di manapun mereka dibutuhkan,
misalnya untuk memperbaiki jaringan yang rusak atau sintesis
struktur sel baru.
 Kortisol mempermudah lipolisis, penguraian simpanan lemak (lipid)
di jaringan adiposa sehingga asam-asam lemak dibebaskan ke dalam
darah (tisis artinya "pengurai- an"). Asam-asam lemak yang
dimobilisasi ini tersedia sebagai bahan bakar metabolik alternatif
bagi jaringan yang dapat menggunakan sumber energi ini sebagai
pengganti glukosa sehingga glukosa dihemat untuk otak.
2. EFEK PERMISIF : Kortisol sangat penting karena sifat permisif nya.
Sebagai contoh, kortisol harus ada dalam jumlah memadai agar
katekolamin dapat menimbulkan vasokonstriksi (penyempitan pembuluh
darah). Orang yang kekurangan kortisol, jika tidak diobati, dapat
mengalami syok sirkulasi pada situasi dapat mengalami syok sirkulasi
pada situasi penuh stres yang membutuhkan vasokonstriksi luas dalam
waktu cepat.[1]
3. PERAN DALAM ADAPTASI TERHADAP STRES : Kortisol berperan
kunci dalam adaptasi terhadap setres. Segala jenis stres merupakan salah
satu rangsangan utama bagi peningkatan sekresi kortisol. Meskipun peran
persis kortisol dalam adaptasi terhadap stres belum diketahui, penjelasan
yang spekulatif tetapi masuk akal adalah sebagai berikut: Manusia primitif
atau hewan yang terluka atau menghadapi situasi yang mengancam nyawa
harus melupakan makan. Pergeseran dari penyimpanan protein dan lemak
ke peningkatan simpanan karbohidrat dan ketersediaan glukosa darah
yang ditimbulkan oleh kortisol akan membantu melindungi otak dari
malnutrisi selama periode puasa terpaksa tersebut. Asam-asam amino
yang dibebaskan oleh penguraian protein juga akan menjadi jika terjadi
cedera fisik. Karena itu, terjadi peningkatan cadangan glukosa, asam
amino, dan asam lemak yang dapat digunakan sesuai kebutuhan.[1]
4. EFEK ANTI-INFLAMASI DAN IMUNOSUPRESIF : Ketika stres
ditemani oleh luka jringan, respons imun dan inflamasi akan menyertai
respons stres. Kortisol memiliki efek anti inflamasi dan imunosupresif
untuk menolong agar respons sistem imun ini berada dalam suatu
keseimbangan. Respons inflamasi yang berlebihan berpotensi
menimbulkan bahaya. Kortisol turut berperan dalam setiap langkah
inflamasi, seperti dengan menekan migrasi neutrofil ke tempat yang
terluka dan ikut serta dalam aktivitas fagositiknya dan dengan
menghambat sebagian produksi mediator kimia inflamasi. Kortisol
menghambat respons imun dengan menggangu produksi antibodi oleh
limfosit. Dengan mengaburkan batas antara endokrin dan kontrol imun,
limfosit yang telah terbukti menyekresi ACTH dan beberapa sitokin yang
dilepaskan dari sel imun dapat merangsang aksis hipotalamus hipofisis
adrenal.Melalui mekanisme umpan balik, kortisol pada gilirannya
memiliki dampak yang jelas dalam menurunkan sistem imun. Interaksi
yang terjadi antara sistem imun dan sekresi kortisol ini membantu
mempertahankan homeostasis imunitas, suatu area yang mulai diteliti.[1]
Korteks adrenal menyekresikan hormon seks pria dan wanita pada kedua
jenis kelamin. [1]
Pada kedua jenis kelamin, korteks adrenal menghasilkan androgen,
atau hormon seks "pria”, dan estrogen, atau hor-mon seks "wanita". Tempat
utama produksi hormon seks ad-alah gonad: testis untuk androgen dan ovarium
untuk es-trogen. Karena itu, pada pria androgen darah mendominasi sementara
pada wanita yang menonjol adalah estrogen.[1]
b. Medulla Adrenal
 Perkembangan Medulla Adrenal
Medula adrenal sebenarnya adalah suatu bagian modifikasi dari sistem
saraf simpatis. Jalur simpatis terdiri dari dua neuron dalam rangkaian. Neuron
praganglion yang berasal dari SSP memiliki serat akson yang berakhir di neuron
pascaganglion kedua yang terletak di perifer, yang berakhir di organ efektor.[1]

Gambar 1 Jalur Saraf Otonom

Medula adrenal tersusun dari dua macam sel yaitu sel kromafin yang
berfungsi mensekresi katekolamin (epinefrin & norepinefrin) dan sel-sel
ganglion simpatik yang tersebar di sepanjang jaringan ikat.[1]
a. Sel Kromafin
Sel komafin merupakan neurosimpatis pascaganglion
modifikasi yang terwanai oleh pewarnaan ion kromium. Tidak seperti
neuron simpatis pascaganglion biasa, sel kromafin tidak memiliki serat
akson yang berakhir di organ efektor. Jika distimulasi oleh serat
praganglion, sel kromafin mengeluarkan bahan transmiter kimiawi
langsung ke dalam darah. Dalam hal ini, bahan transmiter dianggap
sebagai hormon dan bukan neurotransmitter. [1]
Gambar 2 Sistem Saraf Otonom

Sel kromafin adalah sel epiteloid besar yang terdapat berkelompok atau dalam
korda pendek. Sel ini mengandung granula yang dapat terwarna dengan baik
menggunakan garam kromafin. Granula akan berwarna coklat gelap jika diwarnai
dengan garam kromafin, yang menandakan bahwa sel tersebut mengandung
katekolamin. Katekolamin adalah transmitter yang diproduksi oleh sel postganglion
sistem saraf simpatik. Seperti serat simpatis, medula adrenal mengeluarkan
norepinefrin, tetapi produk sekresi utramanya adalah suatu cara kimiawi serupa
dinamai epinefirn. Baik epinefrin maupun norepinefrin termasuk dalam golongan
katekolamin, yang berasal dari asam amino tirosin. Epinefrin dan norepinefrin sama
kecuali bahwa epinefrin juga memiliki satu gugus metil. Epinefrin dan norepinefrin
disintesis hampir seluruhnya di dalam sitosol sel sekretorik medula adrenal. Setelah
diproduksi, katekolamin akan disimpan dalam granula kromafin (organel dalam sel),
yang berfungsi untuk biosintensis , uptake, penyimpanan dan sekresi katekolamin
yang serupa dengan vesikel penyimpanan transmiter di ujung saraf simpatis.
Segregasi katekolamin dalam granula kromafin melindungi bahan ini dari kerusakan
oleh enzim-enzim sitosol sewaktu penyimpanan.[1]
b. Sel-sel ganglion simpatik
Medulla adrenal mensintesis hormon dengan pengaturan sistem
saraf simpatik. Hormon yang dihasilkan adalah katekolamin.
Katekolamin terdiri atas epinefrin dan norepinefrin. Sumber
katekolamin berasal dari sel kromafin. Mekanime pembentukan
katekolamin di atur oleh saraf preganglion, simpatik dan splanknik.
Fungsi epinefrin yaitu mengoperasikan mekanisme “flight or fight”
untuk persiapan tubuh dari stress dan ketakutan, meningkatkan denyut
dan out put jantung, meningkatkan aliran darah ke organ, melepaskan
glukosa dari hepar untuk pembentukan energi. Norepinefrin berfungsi
meningkatkan tekanan darah pada saat vasokonstriksi.[1]
 Fungsi Hormon yang Dihasilkan
1. Hormon Epinefrin
Hormon epinefrin berfungsi memicu reaksi terhadap tekanan dan
kecepatan gerak tubuh. Tidak hanya gerak, hormon inipun memicu reaksi
terhadap efek lingkungan seperti suara derau tinggi atau intensitas cahaya
yang tinggi. Reaksi yang sering dirasakan adalah frekuensi detak jantung
meningkat, keringat dingin dan keterkejutan/syok.[1]
Fungsi hormon ini mengatur metabolisme glukosa terutama di saat
stress. Hormon epinefrin timbul sebagai stimulasi otak, menjadi was-was dan
siaga dan secara tidak langsung akan membuat indera kita menjadi sangat
sensitive untuk bereaksi. Stres dapat meningkatkan produksi kelenjar atau
hormon epinefrin sebenarnya jika tidak berlebihan hormon bisa berakibat
positif, lebih terpacu untuk bekerja atau membuat lebih fokus tetapi jika
hormon diproduksi berlebihan akibat stres yang berkepanjangan akan terjadi
kondisi kelelahan bahkan menimbulkan depresi. Penyakit fisik juga mudah
berdatangan, akibat dari darah yang terpompa lebih cepat, sehingga
mengganggu fungsi metabolisme dan proses oksidasi di dalam tubuh.[1]
Epinefrin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh
darah dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan
tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek. Hormon
epinefrin menyebar diseluruh tubuh, dan menimbulkan tanggapan yang sangat
luas: laju dan kekuatan denyut jantung meningkat sehingga tekanan darah
meningkat, kadar gula darah dan laju metabolisme meningkat, bronchus
membesar sehingga memungkinkan udara masuk dan keluar paru-paru lebih
mudah, pupil mata membesar, kelopak mata terbuka lebar, dan diikuti dengan
rambut berdiri.[1]
Keadaan stres akan terangsang pengeluaran hormon epinefrin secara
berlebihan sehingga menyebabkan jantung berderbar keras dan cepat. Hormon
epinefrin diproduksi dalam jumlah banyak pada saat sedang marah. Indikasi
stress adalah sulit tidur, cepat lelah, mudah terusik, kepala pusing, dan
sebagainya. Penderita stres umunya juga kehilangan nafsu makan.[1]
Hormon epinefrin mempengaruhi otak akan membuat indera perasa
merasa kebal terhadap sakit, kemampuan berpikir dan ingatan meningkat,
paru-paru menyerap oksigen lebih banyak, glukogen diubah menjadi glukosa
yang bersama-sama dengan oksigen merupakan sumber energi. Detak jantung
dan tekanan darah juga meningkat sehingga metabolisme meningkat.[1]
Hormon ini berfungsi untuk mencegah efek penuaan dini seperti
melindungi dari Alzheimer, penyakit jantung, kanker payudara dan ovarium
juga osteoporosis. Semakin tinggi tingkat DHEA (Dehidroepiandrosteron)
dalam tubuh, maka makin pada tulang. Molekul-molekul epinefrin memiliki
fungsi khusus dalam pembuluh vena dan arteri yang memastikan bahwa
organ-organ penting menerima lebih banyak aliran darah disaat bahaya, dan
karena itu molekul-molekul ini melebarkan pembuluh darah menuju jantung,
otak, dan otot. Sel-sel mengelilingi pembuluh merespon epinerfrin dan
mengalirkan lebih banyak darah yang dibutuhkan jantung. Dengan cara ini
darah tambahan yang dibutuhkan oleh otak, otot dan jantung dapat dipasok.[1]
Secara garis besar, aksi yang ditimbulkan oleh epinefrin antara lain :
menambah kadar gula darah (hiperglikemik), merangsang adenohipofisis
untuk pelepasan ACTH. Meningkatkan konsumsi oksigen dan laju
metabolisme basal, menaikkan frekuensi (efek kronotropik positif) dan
amplitude kontraksi jantung, dilatasi pembuluh darah di otot rangka dan hati,
keresahan, kecemasan, perasaan lelah, mengurangi kadar eusinofil,
meningkatkan kecepatan tingkat metabolik yang independen terhadap hati.[1]
2. Hormon Norepinefrin
Neurotransmiter yang dibebaskan oleh serat pascaganglion simpatias
adalah norepinefrin, yang berinteraksi secara lokal dengan organ yang disarafi
melalui pengikatan dengan reseptor adrenergik. Sebagian besar norepinefrin
dihasilkan oleh serat pascaganglion simpatis. Norepinefrin adrenomedula
umumnya dikeluarkan dalam jumlah yang terlalu kecil untuk menimbulkan
efek signifikan pada sel sasaran. Karena itu, untuk kepentingan praktis kita
dapat menganggap bahwa efek norepinefrin terutama diperantarai langsung
oleh sistem saraf simpatis dan efek epinefrin secara eksklusif ditimbulkan oleh
medula adrenal. Norepinefrin terutama berikatan dengan reseptor α dan β1
yang terletak dekat dengan terminal serat simpatis pascaganglion. Hormon
epinefrin, yang dapat mencapai semua reseptor α dan β1 melalui sirkulasi,
berinteraksi dengan reseptor yang sama. Norepinefrin memiliki afinitas yang
sedikit lebih besar dari pada epinefrin untuk respetor α, dan kedua hormon
memiliki potensi yang hampir sama pada reseptor β1. Karena itu, epinefrin dan
nore-pinefrin menimbulkan efek serupa di banyak jaringan,dengan epinefrin
umumnya memperkuat aktivitas saraf simpatis. Selain itu, epinefrin
mengaktifkan reseptor β2, yang sangat sedikit dipengaruhi oleh sistem saraf
simpatis.[1]

Tabel 1 Jenis Reseptor


Kedua kelas utama reseptor adrenergik untuk norepinefrin dan epinefrin
adalah reseptor alfa (𝛂) dan beta (𝛃) yang masing-masing dibagi lebih lanjut menjadi
reseptor 𝛂1 dan 𝛂2 dan serta 𝛃1 dan 𝛃2. Berbagai jenis reseptor ini tersebar secara
berbeda di antara organ-organ efektor yang dikendalikan oleh simpatis sebagai
berikut : [1]

1. Reseptor α1 ada pada sebagian besar jaringan sasaran simpatis.


2. Reseptor α2 bertempat terutama pada organ pencernaan
3. Reseptor β1 hanya terbatas pada jantung
4. Reseptor β2 ditemukan pada otot polos arteriol dan bronkiol (pembuluh darah
dan saluran napas kecil)

Jenis reseptor yang berbeda juga memiliki afinitas (daya tarik) yang berbeda
bagi epinefrin dan norepinefrin: [1]

1. Reseptor α kedua subjenis memiliki afinitas yang lebih besar terhadap


norepinefrin dibandingkan epinefrin.
2. Reseptor β1 memiliki afinitas yang setara bagi norepinefrin dan epinefrin.
3. Reseptor β2 hanya terikat pada epinefrin.

Semua reseptor adrenergik digabungkan dengan protein G, tetapi jalur yang


diaktifkan ketika berikatan dengan katekolamin berbeda untuk tipe reseptor yang
berbeda. [1]

1. Aktivasi reseptor β1 dan β2 memicu respons sel sasaran melalui pengaktifan


jalur caraka kedua adenosin monofosfat siklik (cAMP).
2. Sebaliknya, pengikatan suatu neurotransmiter ke reseptor α2 menghambat
produksi cAMP di sel sasaran.

Respons organ efektor juga bervariasi bergantung pada tipe reseptor


adrenergik:[1]

1. Aktivasi reseptor α1 biasanya menyebabkan respons eksitatorik di organ


efektor—misalnya, konstriksi arteriol akibat meningkatnya kontraksi otot
polos di dinding pembulug darah ini.
2. Aktivasi reseptor α2, sebaliknya, menyebabkan respons inhibitorik di organ
efektor, misalnya berkurangnya kontraksi otot polos di saluran cerna.
3. Stimulasi reseptor β1, yang hanya terdapat di jantung menyebabkan respons
eksitatorik, yaitu peningkatan frekuensi dan kekuatan kontraksi jantung.
4. Respons terhadap aktivasi reseptor β2 umumnya bersifat inhibitorik, misalnya
dilatasi arteriol atau bronkiolus (saluran napas) akibat relaksasi otot polos di
dinding struktur-struktur tubulus ini.

Untuk aturan yang cepat, aktivasi reseptor adrenergik tipe "1" mengarah
ke respons eksitatorik, dan aktivitas tipe "2" mengarah ke respons inhibitorik.
DAFTAR PUSTAKA

[1]
Sherwood, L. 2014. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem, ed. 8. Jakarta: EGC
[2]
Guyton, A.C, dan Hall, J.E. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, ed. 12.
Penerjemah : Ermita I, Ibrahim I. Singapura : Elsevier

Anda mungkin juga menyukai