Anda di halaman 1dari 21

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

“CKD dan Urolithiasis”

Oleh :

KELOMPOK 4a

A11-A

A.A Istri Meidina Cindy (17.321.2657)

Kadek Aristiani Putri (17.321.2673)

Ni Komang Sri Wahyuni (17.321.2687)

Ni Luh Kade Novita Wahyuningrum (17.321.2691)

Ni Made Anggi Febrianti (17.321.2694)

Ni Putu Eva Pradnyayanti (17.321.2700)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
2019
2.1 Urolithiasis (Batu Saluran Kemih)
2.2.1 Definisi Urolithiasis
Urolitiasis adalah proses terbentuknya batu (kalkuli) pada
traktus urinarius. Kalkuli yang ditemukan pada ginjal disebut
nephrolitiasis dan kasus ini paling sering ditemukan. Jika kalkuli
ditemukan pada ureter dan vesica urinaria sebagian besar berasal dari
ginjal. Urolitiasis adalah penyebab umum adanya keluhan ditemukan
darah dalam urin dan nyeri di abdomen, pelvis, atau inguinal.
Urolitiasis terjadi pada 1 dari 20 orang pada suatu waktu dalam
kehidupan mereka.
Urolithiasis adalah suatu kondisi dimana dalam saluran kemih
individu terbentuk batu berupa kristal yang mengendap dari urin
(Mehmed & Ender, 2015). Pembentukan batu dapat terjadi ketika
tingginya konsentrasi kristal urin yang membentuk batu seperti zat
kalsium, oksalat, asam urat dan/atau zat yang menghambat
pembentukan batu (sitrat) yang rendah (Moe, 2006; Pearle, 2005).
Urolithiasis merupakan obstruksi benda padat pada saluran kencing
yang terbentuk karena faktor presipitasi endapan dan senyawa tertentu
(Grace & Borley, 2006). Urolithiasis merupakan kumpulan batu
saluran kemih, namun secara rinci ada beberapa penyebutannya.
Berikut ini adalah istilah penyakit batu bedasarkan letak batu antara
lain: (Prabawa & Pranata, 2014):
1. Nefrolithiasis disebut sebagai batu pada ginjal
2. Ureterolithiasis disebut batu pada ureter
3. Vesikolithiasis disebut sebagai batu pada vesika urinaria/
batu buli
4. Uretrolithisai disebut sebagai batu pada ureter

2.2.2 Etiologi Urolithiasis


Penyebab terjadinya urolithiasis secara teoritis dapat terjadi atau
terbentuk diseluruh salurah kemih terutama pada tempat-tempat yang
sering mengalami hambatan aliran urin (statis urin) antara lain yaitu
sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada
pelvikalis (stenosis uretro-pelvis), divertikel, obstruksi intravesiko
kronik, seperti Benign Prostate Hyperplasia (BPH), striktur dan buli-
buli neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan
terjadinya pembentukan batu (Prabowo & Pranata, 2014).
Menurut Grace & Barley (2006) Teori dalam pembentukan batu
saluran kemih adalah sebagai berikut:
1. Teori Nukleasi
Teori ini menjelaskan bahwa pembentukan batu berasal dari
inti batu yang membentuk kristal atau benda asing. Inti batu
yang terdiri dari senyawa jenuh yang lama kelamaan akan
mengalami proses kristalisasi sehingga pada urin dengan
kepekatan tinggi lebih beresiko untuk terbentuknya batu
karena mudah sekali untuk terjadi kristalisasi.
2. Teori Matriks Batu
Matriks akan merangsang pembentukan batu karena memacu
penempelan partikel pada matriks tersebut. Pada
pembentukan urin seringkali terbentuk matriks yang
merupakan sekresi dari tubulus ginjal dan berupa protein
(albumin, globulin dan mukoprotein) dengan sedikit hexose
dan hexosamine yang merupakan kerangka tempat
diendapkannya kristal-kristal batu.
3. Teori Inhibisi yang Berkurang
Batu saluran kemih terjadi akibat tidak adanya atau
berkurangnya faktor inhibitor (penghambat) yang secara
alamiah terdapat dalam sistem urinaria dan berfungsi untuk
menjaga keseimbangan serta salah satunya adalah mencegah
terbentuknya endapan batu. Inhibitor yang dapat menjaga dan
menghambat kristalisasi mineral yaitu magnesium, sitrat,
pirofosfat dan peptida. Penurunan senyawa penghambat
tersebut mengakibatkan proses kristalisasi akan semakin
cepat dan mempercepat terbentuknya batu (reduce of
crystalize inhibitor).
Batu terbentuk dari traktus urinarius ketika konsentrasi
subtansi tertentu seperti kalsium oksalat, kalsium fosfat, dan asam
urat meningkat. Batu juga dapat terbentuk ketika terdapat defisiensi
subtansi tertentu, seperti sitrat yang secara normal mencegah
kristalisasi dalam urin. Kondisi lain yang mempengaruhi laju
pembentukan batu mencakup pH urin dan status cairan pasien (batu
cenderung terjadi pada pasien dehidrasi) (Boyce, 2010; Moe, 2006).
Penyebab terbentuknya batu dapat digolongkan dalam 2 faktor
antara lain faktor endogen seperti hiperkalsemia, hiperkasiuria, pH
urin yang bersifat asam maupun basa dan kelebihan pemasukan
cairan dalam tubuh yang bertolak belakang dengan keseimbangan
cairan yang masuk dalam tubuh dapat merangsang pembentukan
batu, sedangkan faktor eksogen seperti kurang minum atau kurang
mengkonsumsi air mengakibatkan terjadinya pengendapan kalsium
dalam pelvis renal akibat ketidakseimbangan cairan yang masuk,
tempat yang bersuhu panas menyebabkan banyaknya pengeluaran
keringat, yang akan mempermudah pengurangan produksi urin dan
mempermudah terbentuknya batu, dan makanan yang mengandung
purin yang tinggi, kolesterol dan kalsium yang berpengaruh pada
terbentuknya batu (Boyce, 2010; Corwin, 2009; Moe, 2006)
Komplikasi yang dapat terjadi akibat dari urolithiasis, ialah:
- Terbentuknya abses
- Pyelonefritis
- Terbentuknya fistula urinarius
- Perforasi ureter
- Urosepsis yang bisa disebabkan oleh obstruksi
- Adanya obstrukssi total selama 48 jam dapat menyebabkan
kerusakanginjal yang irreversible

2.2.3 Manifestasi Klinis Urolithiasis


Urolithiasis dapat menimbulkan berbagi gejala tergantung pada
letak batu, tingkat infeksi dan ada tidaknya obstruksi saluran kemih
(Brooker, 2009). Beberapa gambaran klinis yang dapat muncul pada
pasien urolithiasis:
1. Nyeri
Nyeri pada ginjal dapat menimbulkan dua jenis nyeri yaitu nyeri
kolik dan non kolik. Nyeri kolik terjadi karena adanya stagnansi
batu pada saluran kemih sehingga terjadi resistensi dan iritabilitas
pada jaringan sekitar (Brooker, 2009). Nyeri kolik juga karena
adanya aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises ataupun ureter
meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu pada saluran
kemih. Peningkatan peristaltik itu menyebabkan tekanan
intraluminalnya meningkat sehingga terjadi peregangan pada
terminal saraf yang memberikan sensasi nyeri (Purnomo, 2012).
Nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena
terjadi hidronefrosis atau infeksi pada ginjal (Purnomo, 2012)
sehingga menyebabkan nyeri hebat dengan peningkatan produksi
prostglandin E2 ginjal (O’Callaghan, 2009). Rasa nyeri akan
bertambah berat apabila batu bergerak turun dan menyebabkan
obstruksi. Pada ureter bagian distal (bawah) akan menyebabkan
rasa nyeri di sekitar testis pada pria dan labia mayora pada wanita.
Nyeri kostovertebral menjadi ciri khas dari urolithiasis, khsusnya
nefrolithiasis (Brunner & Suddart, 2015). Kolik didefinisikan
sebagai nyeri tajam yang disebabkan oleh sumbatan, spasme otot
polos, atau terputarnya organ berongga. Kolik renal berarti nyeri
tajam yang disebabkan sumbatan atau spasme otot polos pada
saluran ginjal atau saluran kencing (ureter).
Nyeri klasik pada pasien dengan kolik renal akut ditandai dengan
nyeriberat dan tiba-tiba yang awalnya dirasakan pada regio flank
dan menyebar ke anterior dan inferior. Hampir 50% dari pasien
merakan keluhan mual dan mutah. Kolik ginjal biasanya nyeri
berat, pasien tidak bisa istirahat (posisi irrespektif). Berbeda
dengan pasien peritonitis yang cenderung berbaring saja dan tidak
mau bergerak. Gejala lain adalah lemas, berkeringat, dan nyeri
ringan saat palpasi abdominal ginjal. Namun untuk batu staghorn
walaupun besar sering tanpa gejala nyeri karena jenis batu ini
membesar mengikuti system anatomi saluran ginjal. Gejala dari
batu ginjal atau batu ureter dapat diprediksi dari pengetahuan
tempat terjadinya obstruksi. Nyeri yang khas dirasakan pada testis
untuk pasien pria dan labia mayora pada pasien wanita.
Lokasi dan karakteristik dari nyeri pada urolitiasis meliputi:
- Di ureteropelvic: nyeri bersifat ringan sampai berat
dirasakanlokasinya agak dalam dalam regio flank tanpa
penyebaran ke regio inguinal, urgensi (dorongan kuat untuk
berkemih disertai dengan kandung kemih yang tidak nyaman
dan banyak berkemih), frekuensi(sering berkemih), disuria
(nyeri saat berkemih) dan stranguria (pengeluaran urin yang
lambat dan nyeri akibat spasme uretra dankandung kemih).
- Di ureter: nyeri yang mendadak, berat, nyeri di regio flank dan
ipsilateral dari abdomen bagian bawah, menyebar ke testes atau
vulva, mual yang terus menerus tanpa muntah
- Di ureter bagian proksimal: nyeri menyebar ke regio flank atau
area lumbar
- Di ureter di bagian medius: nyeri menyebar ke anterior dan
caudal
- Di uterer di bagian distal: menyebar ke inguinal atau testes atau
labia majora
- Waktu melewati vesica urinaria: paling sering asimptomatis,
retensio urin posisional
2. Gangguan miksi
Adanya obstruksi pada saluran kemih, maka aliran urin (urine
flow) mengalami penurunan sehingga sulit sekali untuk miksi
secara spontan. Pada pasien nefrolithiasis, obstruksi saluran kemih
terjadi di ginjal sehingga urin yang masuk ke vesika urinaria
mengalami penurunan. Sedangkan pada pasien uretrolithiasis,
obstruksi urin terjadi di saluran paling akhir sehingga kekuatan
untuk mengeluarkan urin ada namun hambatan pada saluran
menyebabkan urin stagnansi (Brooker, 2009). Batu dengan ukuran
kecil mungkin dapat keluar secara spontan setelah melalui
hambatan pada perbatasan ureteropelvik, saat ureter menyilang
vasa iliaka dan saat ureter masuk ke dalam buli-buli (Purnomo,
2012).
3. Hematuria
Batu yang terperangkap di dalam ureter (kolik ureter) sering
mengalami desakan berkemih, tetapi hanya sedikit urin yang
keluar. Keadaan ini akan menimbulkan gesekan yang disebabkan
oleh batu sehingga urin yang dikeluarkan bercampur dengan darah
(hematuria) (Brunner & Suddart, 2015). Hematuria tidak selalu
terjadi pada pasien urolithiasis, namun jika terjadi lesi pada saluran
kemih utamanya ginjal maka seringkali menimbulkan hematuria
yang masive, hal ini dikarenakan vaskuler pada ginjal sangat kaya
dan memiliki sensitivitas yang tinggi dan didukung jika
karakteristik batu yang tajam pada sisinya (Brooker, 2009)
4. Mual dan muntah
Kondisi ini merupakan efek samping dari kondisi
ketidaknyamanan pada pasien karena nyeri yang sangat hebat
sehingga pasien mengalami stress yang tinggi dan memacu sekresi
HCl pada lambung (Brooker, 2009). Selain itu, hal ini juga dapat
disebabkan karena adanya stimulasi dari celiac plexus, namun
gejala gastrointestinal biasanya tidak ada (Portis & Sundaram,
2001)
5. Demam
Demam terjadi karena adanya kuman yang menyebar ke tempat
lain. Tanda demam yang disertai dengan hipotensi, palpitasi,
vasodilatasi pembuluh darah di kulit merupakan tanda terjadinya
urosepsis. Urosepsis merupakan kedaruratan dibidang urologi,
dalam hal ini harus secepatnya ditentukan letak kelainan anatomik
pada saluran kemih yang mendasari timbulnya urosepsis dan
segera dilakukan terapi berupa drainase dan pemberian antibiotik
(Purnomo, 2012)
6. Distensi vesika urinaria
Akumulasi urin yang tinggi melebihi kemampuan vesika urinaria
akan menyebabkan vasodilatasi maksimal pada vesika. Oleh
karena itu, akan teraba bendungan (distensi) pada waktu dilakukan
palpasi pada regio vesika (Brooker, 2009)

2.2.4 Patofisiologi Urolithiasis


Batu terbentuk dari calsium, phospat, oxalat, asam urat, struvit
dankristal cystine. Dan yang paling banyak adalah batu calsium yaitu
calsium phopat dan calsium oxalat. Batu asam urat dibentuk dari
pengaruh metabolismepurine, batu struvit terbentuk karena akibat dari
ure splitting bacteri danmengandung magnesium, phospat dan
amonium. Batu cystine terbentuk daricrystal cystine sebagai akibat
dari defek tubulur renal. Ketika filtrat yang harus diekskresikan
semakin cystine. Dan yang paling banyak adalah batu calsium yaitu
calsium phopat dan calsium oxalat. Batu asam urat dibentuk dari
pengaruh metabolismepurine, batu struvit terbentuk karena akibat dari
ure splitting bacteri danmengandung magnesium, phospat dan
amonium. Batu cystine terbentuk daricrystal cystine sebagai akibat
dari defek tubulur renal.Ketika filtrat yang harus diekskresikan
semakin meningkatkonsentrasinya, keadaanini sangat mendorong
terjadinya keadaan supersaturasi. Contohnya sebagai efek
immobilisasi yang lama dapat menyebabkan mobilisasicalsium dari
tulang sehingga kadar serum kalsium meningkat yang berdampak
terhadap beban yang harus diekskresikan. Jika intake cairan tidak
adekuat akanterjadi supersaturasi dan akan terbentuk batu, lebih
banyak batu kalsium.
PH urine dapat meningkatkan atau melarutkan batu saluran kemih.
Batuasam urat cenderung terbentuk pada keadaan urine yang asam.
Batu struvit dankalsium phosfat cenderung terbentuk pada keadaan
urine yang alkali. Batukalsium oxalat tidak dipengaruhi oleh PH urine.
Batu dibentuk di ginjal dan menuju ureter dan turun kedalam
vesikaurinaria. Sering kali batu tersangkut di sudut uretepelvie
ataupun dilekukkanuretero visikal. Bila batu menyumbat dan
menghambat aliran urinemenyebabkan dilatasi ureter sehingga terjadi
keadaan hidroureter. Rasa nyerikarena spasme ureter terasa sangat
berat dan seperti diremes atau ditusuk dandapat menyebabkan shock.
Dapat juga klien mengalami hematuria karenakerusakan lapisan
urethelial. Jika obstruksi tidak segera diatasi atau dihilangkan,urin
stasis dapat menyebabkan infeksi dan secara bertahap mengganggu
fungsiginjal pada bagian yang dipengaruhi. Obstruksi terus menerus
dapat menyebabkan hidroneprosis atau pembesaran ginjal.
Pathway
2.2.5 Pemeriksaan Diagnostik dan Therapy
A. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium rutin meliputi: sedimen urin / tes dipstik
untuk mengetahui sel eritrosit, lekosit, bakteri (nitrit), dan pH urin.
Untuk mengetahui fungsi ginjal, diperiksa kreatinin serum. Pada
keadaan demam, sebaiknya diperiksa C-reactive protein, hitung
leukosit sel B, dan kultur urin. Pada keadaan muntah, sebaiknya
diperiksa natrium dan kalium darah. Untuk mencari faktor risiko
metabolik, sebaiknya diperiksa kadar kalsium dan asam urat darah.
1. Pemeriksaan Darah Rutin
(Hb,Ht,Leukosit, Trombosit) : Penilaian dasar komponen sel
darah yang dilakukan dengan menentukan jumlah sel darah dan
trombosit, persentase dari setiap jenis sel darah putih dan
kandungan hemoglobin (Hb). Hematologi rutin meliputi
pemeriksaan Hb, eritrosit, leukosit, trombosit, hematokrit, dan
nilai-nilai MC. Manfaat pemeriksaan untuk mengevaluasi anemia,
leukemia, reaksi inflamasi dan infeksi, dan karakteristik sel darah
perifer
2. Pemeriksaan Urine Rutin
- PH urin : Penetapan pH diperlukan pada gangguan
keseimbangan asam basa, karena dapat memberi kesan tentang
keadaan dalam badan. pH urin normal berkisar antar 4,5 -- 8,0.
Selain itu penetapan pH pada infeksi saluran kemih dapat
memberi petunjuk ke arah etiologi. Pada infeksi oleh
Escherichia coli biasanya urin bereaksi asam, sedangkan pada
infeksi dengan kuman Proteus yang dapat merombak ureum
menjadi atnoniak akan menyebabkan urin bersifat basa. Dalam
pengobatan batu karbonat atau kalsium fosfat urin
dipertahankan asam, sedangkan untuk mencegah terbentuknya
batu urat atau oksalat pH urin sebaiknya dipertahankan basa.
- Bj urine : Pemeriksaan berat jenis urin bertalian dengan faal
pemekatan ginjal, dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu
dengan memakai falling drop, gravimetri, menggunakan pikno
meter, refraktometer dan reagens 'pita'. Berat jenis urin sewaktu
pada orang normal antara 1,003 -- 1,030. Berat jenis urin
herhubungan erat dengan diuresa, makin besar diuresa makin
rendah berat jenisnya dan sebaliknya. Makin pekat urin makin
tinggi berat jenisnya, jadi berat jenis bertalian dengan faal
pemekat ginjal. Urin sewaktu yang mempunyai berat jenis
1,020 atau lebih, menunjukkan bahwa faal pemekat ginjal baik.
Keadaan ini dapat dijumpai pada penderita dengan demam dan
dehidrasi. Sedangkan berat jenis urin kurang dari 1,009 dapat
disebabkan oleh intake cairan yang berlebihan, hipotermi,
alkalosis dan kegagalan ginjal yang menahun.
- Sedimen urine (kristal) : Kristal dalam urin tidak ada hubungan
langsung dengan batu di dalam saluran kemih. Kristal asam
urat, kalsium oksalat, triple fosfat dan bahan amorf merupakan
kristal yang sering ditemukan dalam sedimen dan tidak
mempunyai arti, karena kristal-kristal itu merupakan hasil
metabolisme yang normal. Terdapatnya unsur tersebut
tergantung dari jenis makanan, banyak makanan, kecepatan
metabolisme dan kepekatan urin. Di samping itu mungkin
didapatkan kristal lain yang berasal dari obat-obatan atau
kristal-kristal lain seperti kristal tirosin, kristal leucin.
3. Faal Ginjal
Bertujuan untuk mencari kemungkinan penurunan fungsi ginjal
dan untuk mempersiapkan pasien menjalani pemeriksaan foto
IVP.

4. Kadar Elektrolit
Untuk mencari faktor penyebab timbulnya batu saluran kemih
(antara lain kadar : kalsium, oksalat, fosfat maupun urat didalam
darah maupun urine).
5. Pemeriksaan Radiografi Imaging
Pemeriksaan radiologi wajib dilakukan pada pasien yang dicurigai
mempunyai batu. Hampir semua batu saluran kemih (98%)
merupakan batu radioopak. Pada kasus ini, diagnosis ditegakkan
melalui radiografi. Pemeriksaan rutin meliputi foto abdomen dari
ginjal, ureter dan kandung kemih (KUB) ditambah USG atau
excretory pyelography (Intravenous Pyelography, IVP). Excretory
pyelography tidak boleh dilakukan pada pasien dengan alergi
media kontras, kreatinin serum > 2 mg/dL, pengobatan metformin,
dan myelomatosis.
6. Ultrasonografi (USG)
USG umumnya digunakan untuk evaluasi ginjal, kandung kemih,
prostat, testis, dan penis. USG berguna untuk menilai ukuran
ginjal dan pertumbuhannya.USG ginjal berguna dalam deteksi
dari massa ginjal. Ultrasound memberikan metode yang efektif
dalam membedakan kista jinak dari kortikal yang berpotensi
ganas dalam bentuk lesi ginjal yang solid. Karena yang paling
umum lesi ginjal adalah kista kortikal yang sederhana dan USG
adalah metode yang efektif untuk mengkonfirmasi diagnosis ini.
Ultrasound juga dapat digunakan untuk melihat kista yang sulit
terdeteksi pada CT misalnya kista hyperdenseatau kista dengan
septations tipis. Diagnosis banding untuk massa ginjal echogenic
termasuk batu ginjal, angiomyolipomas, ginjal korteks neoplasma
(termasuk karsinoma), dan yang kurang umum abses dan
hematoma. Semua massa ginjal echogenic harus dapat
dihubungkan dengan riwayat klinis, dan jika perlu dikonfirmasi
dengan modalitas pencitraan yang lain atau follow up USG.
7. Foto Polos Abdomen
Sebuah film polos abdomen, adalah pemeriksaan uroradiologis
sederhana. Hal ini umumnya radiograf awal di pemeriksaan
penunjang radiologis, seperti urografi intravena, dan biasanya
diambil dengan posisi terlentang . Ini mungkin menunjukkan
kelainan, kalsifikasi abnormal, atau besar jaringan lunak massa.
Garis Ginjal biasanya bisa dilihat pada film biasa, sehingga
ukuran, jumlah, bentuk, dan posisi bisa dinilai. Ukuran ginjal
dewasa normal sangat bervariasi. Panjang dari ginjal adalah yang
paling banyak digunakan dan paling mudah untuk pengukuran
radiografi. Ginjal dewasa rata-rata adalah sekitar 12-14 cm. Pada
anak yang lebih dari 2 tahun, panjang normal ginjal kira-kira sama
dengan jarak dari atas L1 sampai bagian bawah L4.
8. Intra Venous Pielografi (IVP)
IVP memiliki sensitivitas 64% dan spesifisitas 92%. Pemeriksaan
ini membutuhkan waktu cukup lama dan harus dilakukan dengan
hati-hati karena kemungkinan alergi terhadap kontras.
Pemeriksaan ini bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi
ginjal. Selain itu IVP dapat mendeteksi adanya batu semiopak
ataupun batu non opak yang tidak dapat terlihat oleh foto polos
abdomen. Jika IVP belum dapat menjelaskan keadaan sistem
saluran kemih akibat adanya penurunan fungsi ginjal, sebagai
penggantinya adalah pemeriksaan pielografi retrograd.
9. CT Scan
CT Scan tanpa kontras (unenhanced) merupakan pemeriksaan
terbaik untuk diagnosis nyeri pinggang akut, sensitivitasnya
mencapai 100% dan spesifisitas 98%. CT Scan tanpa kontras
tersedia luas di negara-negara maju dan juga dapat memberikan
informasi mengenai abnormalitas di luar saluran kemih.
Computed Tomography (CT) Scan telah mengambil kepentingan
yang lebih besar dan meningkatkan berkaitan dengan urolitiasis.
Dan CT Scan merupakan ”gold standard” dalam mendiagnosa
batu saluran kemih. CT Scan memiliki kemampuan untuk
mendeteksi kalkuli radiolusen seperti batu asam urat. Tidak seperti
ultrasound, CT Scan dapat menggambarkan ureter seluruh dan
membedakan antara berbagai penyebab obstruksi saluran kemih.
Oleh karena itu, baik batu buram dan non-opak radial di ureter
dengan mudah dapat ditunjukkan dan untuk mengidentifikasi
penyebab obstruksi saluran kemih oleh CT Scan. CT Scan dapat
mendeteksi batu sekecil 3 mm.
B. Therapy
Terapi untuk pasien dengan batu saluran kemih dapat
dikelompokkan ke dalam lima kategori secara garis besar, yaitu:
1. Management Observasi
Pasien diinstruksikan untuk meningkatkan asupan cairan
sedikitnya 3 liter/hari, yang bertujuan untuk mempertahankan
produksi urin sebanyak 2500 ml/hari. Pasien harus membatasi
asupan oksalat dan natrium, juga restriksi protein hewani.
Obat – obatan yang digunakan untuk mengatasi kolik
sementara sebelum batu lewat mencakup analgesik narkotik
dan obat anti inflamasi non steroid.
Dalam pertimbangan awal apakah akan memilih atau menolak
intervensi, ukuran dan lokasi batu merupakan faktor utama.
Batu dengan lebar ≤ 5 mm di ureter proksimal memiliki
kemungkinan 70-80% untuk mengalami pengeluaran spontan
dan kemungkinan ini akan lebih besar apabila batu tersebut
terletak di ureter distal. Namun, ukuran mungkin pula bukan
merupakan faktor terpenting jika pasien mengalami nyeri yang
tak tertahankan. Dalam kasus ini, terapi yang terbaik adalah
intervensi, tanpa memperhitungkan ukuran batu. Jika terjadi
infeksi saluran kemih, maka ginjal berisiko mengalami
pielonefritis dan atau pionefrosis sehingga perlu dilakukan
terapi segera, tanpa memperhitungkan ukuran batu.Faktor lain
adalah derajat penyumbatan. Sebuah contoh yang ekstrim,
pasien dengan batu asimtomatik di ureter distal tanpa obstruksi
dapat diobservasi selama satu tahun atau lebih sebelum
akhirnya batu lewat atau diambil keputusan untuk terapi aktif.
Pasien dengan fungsi renal mendekati ambang batas, ginjal
soliter, dan ginjal transplantasi tidak dapat bertahan terhadap
obstruksi ringan sekalipun.
Irving, Calleja, Lee et al. melakukan uji klinis terhadap pasien
dengan batu ureter unilateral simtomatik, yang direkrut saat
datang ke unit gawat darurat dengan keluhan kolik ureter.
Kriteria batu yaitu radioopak, telah dipastikan terletak dalam
ureter dan diameter ≥ 5mm. Kriteria inklusi untuk pasien
adalah fungsi ginjal yang baik (dengan renografi), nyeri
terkontrol dengan analgesia oral dan tidak ada tanda sepsis
urologik. Posisi batu dikonfirmasi menggunakan urografi
kontras. Renogram dengan radioisotop MAG3 dilakukan
dalam waktu 48 jam setelah pasien masuk rumah sakit dan 1
bulan setelah bebas batu. Indikasi untuk intervensi adalah
kehilangan fungsi (≥ 5%) ipsilateral, infeksi, nyeri atau
kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Dari 54 pasien yang
direkrut (18 batu ureter sepertiga atas, 12 ureter tengah dan 24
sepertiga bawah), terapi konservatif dilakukan pada 18 pasien,
namun pada perjalanan, 4 pasien memerlukan intervensi
dikarenakan keluhan nyeri. Pasien lain memerlukan intervensi
segera karena nyeri (8 pasien), penurunan fungsi ginjal (15),
dan penurunan fungsi ginjal disertai infeksi (13). Hasilnya,
tidak ada batu >7mm yang keluar tanpa intervensi.
Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa manajemen
konservatif untuk batu berdiameter 5-7 mm adalah aman,
dengan syarat dilakukan renografi radioisotop untuk
mengidentifikasi ginjal yang memerlukan intervensi.
Pekerjaan pasien juga dapat menjadi pertimbangan dalam
memilih terapi. Misalnya, bila pasien sering melakukan
perjalanan jauh atau menghabiskan banyak waktu di negara
asing, terapi aktif dapat dipertimbangkan bahkan untuk batu
asimtomatik.
2. ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy)
Alat ESWL adalah pemecah batu yang diperkenalkan pertama
kali oleh Caussy pada tahun 1980. Alat ini dapat memecah
batu ginjal, batu ureter proksimal atau batu buli-buli tanpa
melalui tindakan invasif dan tanpa pembiusan. Batu dipecah
dengan gelombang kejut menjadi fragmen-fragmen kecil
sehingga mudah dikeluarkan melalui saluran kemih.
Betapapun disebutkan bahwa dengan ESWL batu dapat
dipecahkan menjadi bagian yang lebih kecil dari 2 mm, belum
tentu pasca tindakan semua batu akan pecah hingga ukuran
yang dikehendaki. Walaupun dinyatakan bahwa gelombang
kejut yang dipergunakan tidak akan merusak jaringan ginjal
secara permanent, kerusakan yang ada perlu diawasi baik dari
segi kemungkinan terjadinya infeksi atau kerusakan yang
dapat menimbulkan gejala sisa. Kesuksesan dari ESWL sangat
dipengaruhi oleh banyak faktor. Tidak semua jenis batu dapat
dihancurkan dengan metode ini, ukuran, lokasi batu, anatomi
ginjal dan kondisi kesehatan pasien juga mempengaruhi.
3. PNL
Prosedur ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu akses perkutan
dan pengangkatan batu. Untuk mencapai akses perkutan,
urolog atau radiolog memasang kabel penuntun fleksibel
berukuran kecil di bawah kontrol fluoroskopi melalui
pinggang pasien ke dalam ginjal lalu turun ke ureter. Jika akses
sudah diperoleh, saluran dilebarkan sampai ukuran 30 F dan
dimasukkan selongsong, lalu nefroskop atau ureteroskop rigid
/ fleksibel dimasukkan melalui selongsong. Dengan tuntunan
fluoroskopi dan endokamera, batu diangkat secara utuh atau
setelah dipecahkan menggunakan litotripsi intrakorporal.
4. URS
URS yaitu prosedur spesialistik dengan menggunakan alat
endoskopi semirigid / fleksibel berukuran kurang dari 30 mm
yang dimasukkan melalui saluran kemih ke dalam saluran
ginjal (ureter) kemudian batu dipecahkan dengan gelombang
udara. Tindakan ini memerlukan pembiusan umum atau
regional dan rawat inap dan memerlukan waktu kira-kira 30
menit. Dengan menggunakan laser atau lithoclast, kita dapat
melakukan kontak langsung dengan batu untuk dipecahkan
menjadi pecahan kecil-kecil . Alat ini dapat mencapai batu
dalam kaliks ginjal dan dapat diambil atau dihancurkan
dengan sarana elektrohidraulik atau laser.
5. Bedah Terbuka
Terapi bedah digunakan jika tidak tersedia alat litotripsor,
ESWL, atau cara non bedah tidak berhasil. Walaupun
demikian, sudah tentu untuk menentukan tindak bedah pada
suatu penyakit batu saluran kemih perlu seperangkat indikasi.
Batu ginjal yang terletak di kaliks selain oleh indikasi umum,
perlu dilakukan tindak bedah bila terdapat hidrokaliks. Batu
sering harus dikeluarkan melalui nefrolitotomi yang tidak
gampang karena batu biasanya tersembunyi di dalam kaliks.
Batu pelvis juga perlu dibedah bila menyebabkan
hidronefrosis, infeksi, atau menyebabkan nyeri yang hebat.
Pada umumnya, batu pelvis terlebih lagi yang berbentuk
tanduk rusa amat mungkin menyebabkan kerusakan ginjal.
Operasi untuk batu pielum yang sederhana disebut
pielolitotomi sedang untuk bentuk tanduk rusa (staghorn)
dengan pielolitotomi yang diperluas. Bila batu ureter ukuran
0,4 cm terdapat pada bagian sepertiga proksimal ureter, 80%
batu akan keluar secara spontan, sedangkan bila batu terdapat
pada bagian sepertiga distal, kemungkina keluar spontan 90%.
Patokan ini hanya dipakai bila batu tidak menyebabkan
gangguan dan komplikasi. Tidak jarang batu dengan ukuran
0,4 cm dapat juga menyebabkan gangguan yang mengancam
fungsi ginjal atau sebaliknya, batu dengan ukuran lebih dari 1
cm tidak menyebabkan gangguan sama sekali dan bahkan
keluar secara spontan.
2.2.6 Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
ditandai dengan pasien mengeluh nyeri, tampak meringis, gelisah,
tekanan darah meningkat, pola napas berubah, skala nyeri diatas 1
2. Gangguan Eliminasi Urine berhubungan dengan iritasi kandung
kemih ditandai dengan nokturia, distensi kandung kemih, volume
residu urine meningkat
3. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan Nyeri ditandai
dengan mengeluh sulit beraktivitas, kekuatan otot menurun, nyeri
saat bergerak, fisik lemah
4. Risiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan
prosedur pembedahayan mayor
5. Risiko Tinggi Infeksi berhubungan dengan peningkatan paparan
organisme pathogen lingkungan
DAFTAR PUSTAKA

Ishvara, Ridi. 2012. Pemilihan Pemeriksaan Penunjang dan Therapy pada Batu
Saluran Kemih. Tersedia pada
https://www.scribd.com/doc/110596683/Pemilihan-Pemeriksaan-
Penunjang-Dan-Terapi-Pada-Batu-Saluran-Kemih diakses pada Rabu, 3
April 2019 pukul 15.15 WITA
Ningrum, WAC. 2017. Urolithiasis. Tersedia pada
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/7842/6.%20BAB
%20II.pdf?sequ diakses pada Rabu, 3 April 2019 pukul 15.00 WITA
Nuari, Afrian. 2017. Gangguan pada Sistem Perkemihan dan Penatalaksanaan
Keperawatan. Yogyakarta: CV Budi Utama
Pratomo, Fajar. 2018. Ureterolithiasis (Batu Ginjal). Jakarta: Rineka Cipta.
Tersedia pada http://eprints.ums.ac.id/25941/2/3._BABI.pdf. Diakses
pada tanggal 3 April 2019 Pukul 13:52 wita

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI

Ty, Hendi. 2012. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Batu Saluran Kemih Pada Laki-
laki. Semarang: Salemba Medika. Tersedia pada
https://www.scribd.com/doc/98625759/Lp-Urolithiasis. Diakses pada
tanggal 3 April 2019 Pukul 15:47 WITA

Anda mungkin juga menyukai