Oleh :
KELOMPOK 4a
A11-A
4. Kadar Elektrolit
Untuk mencari faktor penyebab timbulnya batu saluran kemih
(antara lain kadar : kalsium, oksalat, fosfat maupun urat didalam
darah maupun urine).
5. Pemeriksaan Radiografi Imaging
Pemeriksaan radiologi wajib dilakukan pada pasien yang dicurigai
mempunyai batu. Hampir semua batu saluran kemih (98%)
merupakan batu radioopak. Pada kasus ini, diagnosis ditegakkan
melalui radiografi. Pemeriksaan rutin meliputi foto abdomen dari
ginjal, ureter dan kandung kemih (KUB) ditambah USG atau
excretory pyelography (Intravenous Pyelography, IVP). Excretory
pyelography tidak boleh dilakukan pada pasien dengan alergi
media kontras, kreatinin serum > 2 mg/dL, pengobatan metformin,
dan myelomatosis.
6. Ultrasonografi (USG)
USG umumnya digunakan untuk evaluasi ginjal, kandung kemih,
prostat, testis, dan penis. USG berguna untuk menilai ukuran
ginjal dan pertumbuhannya.USG ginjal berguna dalam deteksi
dari massa ginjal. Ultrasound memberikan metode yang efektif
dalam membedakan kista jinak dari kortikal yang berpotensi
ganas dalam bentuk lesi ginjal yang solid. Karena yang paling
umum lesi ginjal adalah kista kortikal yang sederhana dan USG
adalah metode yang efektif untuk mengkonfirmasi diagnosis ini.
Ultrasound juga dapat digunakan untuk melihat kista yang sulit
terdeteksi pada CT misalnya kista hyperdenseatau kista dengan
septations tipis. Diagnosis banding untuk massa ginjal echogenic
termasuk batu ginjal, angiomyolipomas, ginjal korteks neoplasma
(termasuk karsinoma), dan yang kurang umum abses dan
hematoma. Semua massa ginjal echogenic harus dapat
dihubungkan dengan riwayat klinis, dan jika perlu dikonfirmasi
dengan modalitas pencitraan yang lain atau follow up USG.
7. Foto Polos Abdomen
Sebuah film polos abdomen, adalah pemeriksaan uroradiologis
sederhana. Hal ini umumnya radiograf awal di pemeriksaan
penunjang radiologis, seperti urografi intravena, dan biasanya
diambil dengan posisi terlentang . Ini mungkin menunjukkan
kelainan, kalsifikasi abnormal, atau besar jaringan lunak massa.
Garis Ginjal biasanya bisa dilihat pada film biasa, sehingga
ukuran, jumlah, bentuk, dan posisi bisa dinilai. Ukuran ginjal
dewasa normal sangat bervariasi. Panjang dari ginjal adalah yang
paling banyak digunakan dan paling mudah untuk pengukuran
radiografi. Ginjal dewasa rata-rata adalah sekitar 12-14 cm. Pada
anak yang lebih dari 2 tahun, panjang normal ginjal kira-kira sama
dengan jarak dari atas L1 sampai bagian bawah L4.
8. Intra Venous Pielografi (IVP)
IVP memiliki sensitivitas 64% dan spesifisitas 92%. Pemeriksaan
ini membutuhkan waktu cukup lama dan harus dilakukan dengan
hati-hati karena kemungkinan alergi terhadap kontras.
Pemeriksaan ini bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi
ginjal. Selain itu IVP dapat mendeteksi adanya batu semiopak
ataupun batu non opak yang tidak dapat terlihat oleh foto polos
abdomen. Jika IVP belum dapat menjelaskan keadaan sistem
saluran kemih akibat adanya penurunan fungsi ginjal, sebagai
penggantinya adalah pemeriksaan pielografi retrograd.
9. CT Scan
CT Scan tanpa kontras (unenhanced) merupakan pemeriksaan
terbaik untuk diagnosis nyeri pinggang akut, sensitivitasnya
mencapai 100% dan spesifisitas 98%. CT Scan tanpa kontras
tersedia luas di negara-negara maju dan juga dapat memberikan
informasi mengenai abnormalitas di luar saluran kemih.
Computed Tomography (CT) Scan telah mengambil kepentingan
yang lebih besar dan meningkatkan berkaitan dengan urolitiasis.
Dan CT Scan merupakan ”gold standard” dalam mendiagnosa
batu saluran kemih. CT Scan memiliki kemampuan untuk
mendeteksi kalkuli radiolusen seperti batu asam urat. Tidak seperti
ultrasound, CT Scan dapat menggambarkan ureter seluruh dan
membedakan antara berbagai penyebab obstruksi saluran kemih.
Oleh karena itu, baik batu buram dan non-opak radial di ureter
dengan mudah dapat ditunjukkan dan untuk mengidentifikasi
penyebab obstruksi saluran kemih oleh CT Scan. CT Scan dapat
mendeteksi batu sekecil 3 mm.
B. Therapy
Terapi untuk pasien dengan batu saluran kemih dapat
dikelompokkan ke dalam lima kategori secara garis besar, yaitu:
1. Management Observasi
Pasien diinstruksikan untuk meningkatkan asupan cairan
sedikitnya 3 liter/hari, yang bertujuan untuk mempertahankan
produksi urin sebanyak 2500 ml/hari. Pasien harus membatasi
asupan oksalat dan natrium, juga restriksi protein hewani.
Obat – obatan yang digunakan untuk mengatasi kolik
sementara sebelum batu lewat mencakup analgesik narkotik
dan obat anti inflamasi non steroid.
Dalam pertimbangan awal apakah akan memilih atau menolak
intervensi, ukuran dan lokasi batu merupakan faktor utama.
Batu dengan lebar ≤ 5 mm di ureter proksimal memiliki
kemungkinan 70-80% untuk mengalami pengeluaran spontan
dan kemungkinan ini akan lebih besar apabila batu tersebut
terletak di ureter distal. Namun, ukuran mungkin pula bukan
merupakan faktor terpenting jika pasien mengalami nyeri yang
tak tertahankan. Dalam kasus ini, terapi yang terbaik adalah
intervensi, tanpa memperhitungkan ukuran batu. Jika terjadi
infeksi saluran kemih, maka ginjal berisiko mengalami
pielonefritis dan atau pionefrosis sehingga perlu dilakukan
terapi segera, tanpa memperhitungkan ukuran batu.Faktor lain
adalah derajat penyumbatan. Sebuah contoh yang ekstrim,
pasien dengan batu asimtomatik di ureter distal tanpa obstruksi
dapat diobservasi selama satu tahun atau lebih sebelum
akhirnya batu lewat atau diambil keputusan untuk terapi aktif.
Pasien dengan fungsi renal mendekati ambang batas, ginjal
soliter, dan ginjal transplantasi tidak dapat bertahan terhadap
obstruksi ringan sekalipun.
Irving, Calleja, Lee et al. melakukan uji klinis terhadap pasien
dengan batu ureter unilateral simtomatik, yang direkrut saat
datang ke unit gawat darurat dengan keluhan kolik ureter.
Kriteria batu yaitu radioopak, telah dipastikan terletak dalam
ureter dan diameter ≥ 5mm. Kriteria inklusi untuk pasien
adalah fungsi ginjal yang baik (dengan renografi), nyeri
terkontrol dengan analgesia oral dan tidak ada tanda sepsis
urologik. Posisi batu dikonfirmasi menggunakan urografi
kontras. Renogram dengan radioisotop MAG3 dilakukan
dalam waktu 48 jam setelah pasien masuk rumah sakit dan 1
bulan setelah bebas batu. Indikasi untuk intervensi adalah
kehilangan fungsi (≥ 5%) ipsilateral, infeksi, nyeri atau
kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Dari 54 pasien yang
direkrut (18 batu ureter sepertiga atas, 12 ureter tengah dan 24
sepertiga bawah), terapi konservatif dilakukan pada 18 pasien,
namun pada perjalanan, 4 pasien memerlukan intervensi
dikarenakan keluhan nyeri. Pasien lain memerlukan intervensi
segera karena nyeri (8 pasien), penurunan fungsi ginjal (15),
dan penurunan fungsi ginjal disertai infeksi (13). Hasilnya,
tidak ada batu >7mm yang keluar tanpa intervensi.
Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa manajemen
konservatif untuk batu berdiameter 5-7 mm adalah aman,
dengan syarat dilakukan renografi radioisotop untuk
mengidentifikasi ginjal yang memerlukan intervensi.
Pekerjaan pasien juga dapat menjadi pertimbangan dalam
memilih terapi. Misalnya, bila pasien sering melakukan
perjalanan jauh atau menghabiskan banyak waktu di negara
asing, terapi aktif dapat dipertimbangkan bahkan untuk batu
asimtomatik.
2. ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy)
Alat ESWL adalah pemecah batu yang diperkenalkan pertama
kali oleh Caussy pada tahun 1980. Alat ini dapat memecah
batu ginjal, batu ureter proksimal atau batu buli-buli tanpa
melalui tindakan invasif dan tanpa pembiusan. Batu dipecah
dengan gelombang kejut menjadi fragmen-fragmen kecil
sehingga mudah dikeluarkan melalui saluran kemih.
Betapapun disebutkan bahwa dengan ESWL batu dapat
dipecahkan menjadi bagian yang lebih kecil dari 2 mm, belum
tentu pasca tindakan semua batu akan pecah hingga ukuran
yang dikehendaki. Walaupun dinyatakan bahwa gelombang
kejut yang dipergunakan tidak akan merusak jaringan ginjal
secara permanent, kerusakan yang ada perlu diawasi baik dari
segi kemungkinan terjadinya infeksi atau kerusakan yang
dapat menimbulkan gejala sisa. Kesuksesan dari ESWL sangat
dipengaruhi oleh banyak faktor. Tidak semua jenis batu dapat
dihancurkan dengan metode ini, ukuran, lokasi batu, anatomi
ginjal dan kondisi kesehatan pasien juga mempengaruhi.
3. PNL
Prosedur ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu akses perkutan
dan pengangkatan batu. Untuk mencapai akses perkutan,
urolog atau radiolog memasang kabel penuntun fleksibel
berukuran kecil di bawah kontrol fluoroskopi melalui
pinggang pasien ke dalam ginjal lalu turun ke ureter. Jika akses
sudah diperoleh, saluran dilebarkan sampai ukuran 30 F dan
dimasukkan selongsong, lalu nefroskop atau ureteroskop rigid
/ fleksibel dimasukkan melalui selongsong. Dengan tuntunan
fluoroskopi dan endokamera, batu diangkat secara utuh atau
setelah dipecahkan menggunakan litotripsi intrakorporal.
4. URS
URS yaitu prosedur spesialistik dengan menggunakan alat
endoskopi semirigid / fleksibel berukuran kurang dari 30 mm
yang dimasukkan melalui saluran kemih ke dalam saluran
ginjal (ureter) kemudian batu dipecahkan dengan gelombang
udara. Tindakan ini memerlukan pembiusan umum atau
regional dan rawat inap dan memerlukan waktu kira-kira 30
menit. Dengan menggunakan laser atau lithoclast, kita dapat
melakukan kontak langsung dengan batu untuk dipecahkan
menjadi pecahan kecil-kecil . Alat ini dapat mencapai batu
dalam kaliks ginjal dan dapat diambil atau dihancurkan
dengan sarana elektrohidraulik atau laser.
5. Bedah Terbuka
Terapi bedah digunakan jika tidak tersedia alat litotripsor,
ESWL, atau cara non bedah tidak berhasil. Walaupun
demikian, sudah tentu untuk menentukan tindak bedah pada
suatu penyakit batu saluran kemih perlu seperangkat indikasi.
Batu ginjal yang terletak di kaliks selain oleh indikasi umum,
perlu dilakukan tindak bedah bila terdapat hidrokaliks. Batu
sering harus dikeluarkan melalui nefrolitotomi yang tidak
gampang karena batu biasanya tersembunyi di dalam kaliks.
Batu pelvis juga perlu dibedah bila menyebabkan
hidronefrosis, infeksi, atau menyebabkan nyeri yang hebat.
Pada umumnya, batu pelvis terlebih lagi yang berbentuk
tanduk rusa amat mungkin menyebabkan kerusakan ginjal.
Operasi untuk batu pielum yang sederhana disebut
pielolitotomi sedang untuk bentuk tanduk rusa (staghorn)
dengan pielolitotomi yang diperluas. Bila batu ureter ukuran
0,4 cm terdapat pada bagian sepertiga proksimal ureter, 80%
batu akan keluar secara spontan, sedangkan bila batu terdapat
pada bagian sepertiga distal, kemungkina keluar spontan 90%.
Patokan ini hanya dipakai bila batu tidak menyebabkan
gangguan dan komplikasi. Tidak jarang batu dengan ukuran
0,4 cm dapat juga menyebabkan gangguan yang mengancam
fungsi ginjal atau sebaliknya, batu dengan ukuran lebih dari 1
cm tidak menyebabkan gangguan sama sekali dan bahkan
keluar secara spontan.
2.2.6 Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
ditandai dengan pasien mengeluh nyeri, tampak meringis, gelisah,
tekanan darah meningkat, pola napas berubah, skala nyeri diatas 1
2. Gangguan Eliminasi Urine berhubungan dengan iritasi kandung
kemih ditandai dengan nokturia, distensi kandung kemih, volume
residu urine meningkat
3. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan Nyeri ditandai
dengan mengeluh sulit beraktivitas, kekuatan otot menurun, nyeri
saat bergerak, fisik lemah
4. Risiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan
prosedur pembedahayan mayor
5. Risiko Tinggi Infeksi berhubungan dengan peningkatan paparan
organisme pathogen lingkungan
DAFTAR PUSTAKA
Ishvara, Ridi. 2012. Pemilihan Pemeriksaan Penunjang dan Therapy pada Batu
Saluran Kemih. Tersedia pada
https://www.scribd.com/doc/110596683/Pemilihan-Pemeriksaan-
Penunjang-Dan-Terapi-Pada-Batu-Saluran-Kemih diakses pada Rabu, 3
April 2019 pukul 15.15 WITA
Ningrum, WAC. 2017. Urolithiasis. Tersedia pada
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/7842/6.%20BAB
%20II.pdf?sequ diakses pada Rabu, 3 April 2019 pukul 15.00 WITA
Nuari, Afrian. 2017. Gangguan pada Sistem Perkemihan dan Penatalaksanaan
Keperawatan. Yogyakarta: CV Budi Utama
Pratomo, Fajar. 2018. Ureterolithiasis (Batu Ginjal). Jakarta: Rineka Cipta.
Tersedia pada http://eprints.ums.ac.id/25941/2/3._BABI.pdf. Diakses
pada tanggal 3 April 2019 Pukul 13:52 wita
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI
Ty, Hendi. 2012. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Batu Saluran Kemih Pada Laki-
laki. Semarang: Salemba Medika. Tersedia pada
https://www.scribd.com/doc/98625759/Lp-Urolithiasis. Diakses pada
tanggal 3 April 2019 Pukul 15:47 WITA