Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

UROLITHIASIS

A. Definisi

Urolithiasis adalah suatu kondisi dimana dalam saluran kemih individu


terbentuk batu berupa kristal yang mengendap dari urin (Mehmed & Ender,
2015). Pembentukan batu dapat terjadi ketika tingginya konsentrasi kristal urin
yang membentuk batu seperti zat kalsium, oksalat, asam urat dan/atau zat yang
menghambat pembentukan batu (sitrat) yang rendah (Moe, 2006; Pearle, 2005).
Urolithiasis merupakan obstruksi benda padat pada saluran kencing yang
terbentuk karena faktor presipitasi endapan dan senyawa tertentu (Grace &
Borley, 2006).

B. Etiologi

Penyebab terjadinya urolithiasis secara teoritis dapat terjadi atau terbentuk


diseluruh salurah kemih terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami
hambatan aliran urin (statis urin) antara lain yaitu sistem kalises ginjal atau buli-
buli. Adanya kelainan bawaan pada pelvikalis (stenosis uretro-pelvis), divertikel,
obstruksi intravesiko kronik, seperti Benign Prostate Hyperplasia (BPH), striktur
dan buli-buli neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan
terjadinya pembentukan batu (Prabowo & Pranata, 2014).

Faktor-faktor yang berperan pada pembentukan batu saluran kemih, dibagi


atas 2 golongan, yaitu:

1. Faktor endogen yaitu faktor genetik misalnya, hipersistinuria, hiperkalsiuria


primer, dan hiproksaluria primer
2. Faktor eksogen, yaitu faktor lingkungan , makanan, infeksi, dan kejenuhan
mineral di dalam air minum (Suharyono & madjid, 2013, p. 151).
C. Tanda dan Gejala
Gejala pasti dari urolitiasis tergantung pada lokasi dan ukuran kalkuli dalam
traktus urinarius. Jika kalkuli berukuran kecil tidak menunjukkan gejala.
Namun perlahan keluhanakan dirasakan seiring bertanbahnya ukuran kalkuli
seperti:
a. Nyeri atau pegal-pegal pada pinggang atau flank yang dapat menjalar ke
perut bagian depan, dan lipatan paha hingga sampai ke kemaluan.
b. Hematuria:buang air kecil berdarah.
c. Urin berisi pasir, berwarna putih dan berbau
d. Nyeri saat buang air kecil
e. Infeksi saluran kencing
f. Demam

D. Klasifikasi
Teori pembentukan batu renal      :
a. Teori Intimatriks
Terbentuknya Batu Saluran Kencing memerlukan adanya substansi organik
Sebagai inti. Substansi ini terdiri dari mukopolisakarida dan mukoprotein A
yang mempermudah kristalisasi dan agregasi substansi pembentukan batu.
b. Teori Supersaturasi
Terjadi kejenuhan substansi pembentuk batu dalam urine seperti sistin, santin,
asam urat, kalsium oksalat akan mempermudah terbentuknya batu.
c. Teori Presipitasi-Kristalisasi
Perubahan pH urine akan mempengaruhi solubilitas substansi dalam urine.
Urine yang bersifat asam akan mengendap sistin, santin dan garam urat, urine
alkali akan mengendap garam-garam fosfat.
d. Teori Berkurangnya Faktor Penghambat
Berkurangnya Faktor Penghambat seperti peptid fosfat, pirofosfat, polifosfat,
sitrat magnesium, asam mukopolisakarida akan mempermudah terbentuknya
Batu Saluran Kencing.
Jenis  Batu-batu renal        :

1. Batu kalsium
Terutama dibentuk oleh pria pada usia rata-rata timbulnya batu adalah dekade
ketiga. Kebanyakan orang yang membentuk batu lagi dan interval antara batu-
batu yang berturutan memendek atau tetap konstan. Kandungan dari batu jenis
ini terdiri atas kalsium oksalat, kalsium fosfat atau campuran dari kedua jenis
batu tersebut.
Faktor yang menyebabkan terjadinya batu kalsium adalah :
a. Hiperkalsiuria
Dapat disebabkan oleh pembuangan kalsium ginjal primer atau sekunder
terhadap absorbsi traktus gastrointestinal yang berlebihan. Hiperkalsiuria
absorptif dapat juga disebabkan oleh hipofosfatemia yang merangsang
produksi vitamin D3. Tipe yang kurang sering adalah penurunan primer
pada reabsorbsi  kalsium di tubulus ginjal, yang mengakibatkan
hiperkalsiuria di ginjal.
b. Hipositraturia
Sitrat dalam urin menaikkan kelarutan kalsium dan memperlambat
perkembangan batu kalsium oxalat. Hipositraturia dapat terjadi akibat
asidosis tubulus distal ginjal, diare kronik atau diuretik tiazid.
c. Hiperoksalouria
Terdapat pada 15% pasien dengan penyakit batu berulang (> 60 mg/hari).
Hiperoksaluria primer jarang terjadi, kelainana metabolisme kongenital
yang merupakan autosan resesif yang secara bermakna meningkatkan
ekskresi oksalat dalam urin, pembentukan batu yang berulang dan gagal
ginjal pada anak.
d. Hiperurikorsuria
Kadar asam urat urin melebihi 850 mg/24 jam. Asam urat urin dapat
bertindak sebagai inti batu yang mempermudah terbentuknya batu kalsium
oksalat asam urat dalam urin dapat bersumber dari konsumsi makanan
yang kaya purin/ berasal dari metabolisme endogen.
e. Hipomagnesiuria
Seperti halnya dengan sitrat magnesium bertindak sebagai penghambat
timbulnya batu kalsium karena di dalam urine magnesium akan bereaksi
dengan oksalat menjadi magnesium oksalat sehingga mencegah ikatan
dengan kalsium dengan oksalat.
2. Batu asam urat
Batu asam urat merupakan penyebab yang paling banyak dari batu-batu
radiolusen di ginjal. Batu-batu tersebut dapat terbentuk jika terdapat
hiperurikosuria dan urin asam yang menetap. Batu asam urat batu ini dijumpai
pada pasien gout, Ph Urin yang rendah Adalah factor Kritis dalam membantu
pembentukan batu asam urat. Batu ini jarang terbentuk dalam urin basa. Batu
terbentuk pada PH dibawah 5,5.
3. Batu struvit
Sering ditemukan dan potensial berbahaya. Batu ini terutama pada wanita,
diakibatkan oleh infeksi saluran kemih oleh bakteri-bakteri yang memiliki
urease, biasanya dari psesies proteus. Batu ini dapat tumbuh menjadi besar dan
mengisi pelvis ginjal dan kalises untuk menimbulkan suatu penampilan seperti
“tanduk rusa jantan”. Dalam urin, kristal struvit berbentuk prisma bersegi
empat yang menyerupai tutup peti mati.obat antibiotik.

E. Manifestasi Klinis

Urolithiasis dapat menimbulkan berbagi gejala tergantung pada letak batu,


tingkat infeksi dan ada tidaknya obstruksi saluran kemih (Brooker, 2009).
Beberapa gambaran klinis yang dapat muncul pada pasien urolithiasis:

a. Nyeri
 Nyeri pada ginjal dapat menimbulkan dua jenis nyeri yaitu nyeri kolik dan non
kolik. Nyeri kolik terjadi karena adanya stagnansi batu pada saluran kemih
sehingga terjadi resistensi dan iritabilitas pada jaringan sekitar (Brooker,
2009). Nyeri kolik juga karena adanya aktivitas peristaltik otot polos sistem
kalises ataupun ureter meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu pada
saluran kemih. Peningkatan peristaltik itu menyebabkan tekanan
intraluminalnya meningkat sehingga terjadi peregangan pada terminal saraf
yang memberikan sensasi nyeri (Purnomo, 2012).
 Nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena terjadi
hidronefrosis atau infeksi pada ginjal (Purnomo, 2012) sehingga menyebabkan
nyeri hebat dengan peningkatan produksi prostglandin E2 ginjal
(O’Callaghan, 2009). Rasa nyeri akan bertambah berat apabila batu bergerak
turun dan menyebabkan obstruksi. Pada ureter bagian distal (bawah) akan
menyebabkan rasa nyeri di sekitar testis pada pria dan labia mayora pada
wanita. Nyeri kostovertebral menjadi ciri khas dari urolithiasis, khsusnya
nefrolithiasis (Brunner & Suddart, 2015)
b. Gangguan Miksi
Adanya obstruksi pada saluran kemih, maka aliran urin (urine flow)
mengalami penurunan sehingga sulit sekali untuk miksi secara spontan. Pada
pasien nefrolithiasis, obstruksi saluran kemih terjadi di ginjal sehingga urin
yang masuk ke vesika urinaria mengalami penurunan. Sedangkan pada pasien
uretrolithiasis, obstruksi urin terjadi di saluran paling akhir sehingga kekuatan
untuk mengeluarkan urin ada namun hambatan pada saluran menyebabkan
urin stagnansi (Brooker, 2009). Batu dengan ukuran kecil mungkin dapat
keluar secara spontan setelah melalui hambatan pada perbatasan uretero-
pelvik, saat ureter menyilang vasa iliaka dan saat ureter masuk ke dalam buli-
buli (Purnomo, 2012).
c. Hematuria
Batu yang terperangkap di dalam ureter (kolik ureter) sering mengalami
desakan berkemih, tetapi hanya sedikit urin yang keluar. Keadaan ini akan
menimbulkan gesekan yang disebabkan oleh batu sehingga urin yang
dikeluarkan bercampur dengan darah (hematuria) (Brunner & Suddart, 2015).
Hematuria tidak selalu terjadi pada pasien urolithiasis, namun jika terjadi lesi
pada saluran kemih utamanya ginjal maka seringkali menimbulkan hematuria
yang masive, hal ini dikarenakan vaskuler pada ginjal sangat kaya dan
memiliki sensitivitas yang tinggi dan didukung jika karakteristik batu yang
tajam pada sisinya (Brooker, 2009).
d. Mual dan muntah
Kondisi ini merupakan efek samping dari kondisi ketidaknyamanan pada
pasien karena nyeri yang sangat hebat sehingga pasien mengalami stress yang
tinggi dan memacu sekresi HCl pada lambung (Brooker, 2009). Selain itu, hal
ini juga dapat disebabkan karena adanya stimulasi dari celiac plexus, namun
gejala gastrointestinal biasanya tidak ada (Portis & Sundaram, 2001).
e. Demam
Demam terjadi karena adanya kuman yang menyebar ke tempat lain. Tanda
demam yang disertai dengan hipotensi, palpitasi, vasodilatasi pembuluh darah
di kulit merupakan tanda terjadinya urosepsis. Urosepsis merupakan
kedaruratan dibidang urologi, dalam hal ini harus secepatnya ditentukan letak
kelainan anatomik pada saluran kemih yang mendasari timbulnya urosepsis
dan segera dilakukan terapi berupa drainase dan pemberian antibiotik
(Purnomo, 2012).
f. Distensi vesika urinaria
Akumulasi urin yang tinggi melebihi kemampuan vesika urinaria akan
menyebabkan vasodilatasi maksimal pada vesika. Oleh karena itu, akan teraba
bendungan (distensi) pada waktu dilakukan palpasi pada regio vesika
(Brooker, 2009).

F. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Brunner & Suddart, (2015) dan Purnomo, (2012) diagnosis
urolithiasis dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan seperti:
a. Kimiawi darah dan pemeriksaan urin 24 jam untuk mengukur kadar kalsium,
asam urat, kreatinin, natrium, pH dan volume total (Portis & Sundaram, 2001).
b. Analisis kimia dilakukan untuk menentukan komposisi batu.
c. Kultur urin dilakukan untuk mengidentifikasi adanya bakteri dalam urin
(bacteriuria) (Portis & Sundaram, 2001).
d. Foto polos abdomen
Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya
batu radio-opak di saluran kemih. Batu-batu jenis kalsium oksalat dan kalsium
fosfat bersifat radio-opak dan paling sering dijumpai diantara batu jenis lain,
sedangkan batu asam urat bersifat non opak (radio-lusen) (Purnomo, 2012).
e. Intra Vena Pielografi (IVP)
IVP merupakan prosedur standar dalam menggambarkan adanya batu pada
saluran kemih. Pyelogram intravena yang disuntikkan dapat memberikan
informasi tentang baru (ukuran, lokasi dan kepadatan batu), dan
lingkungannya (anatomi dan derajat obstruksi) serta dapat melihat fungsi dan
anomali (Portis & Sundaram, 2001). Selain itu IVP dapat mendeteksi adanya
batu semi-opak ataupun non-opak yang tidak dapat dilihat oleh foto polos
perut. Jika IVP belum dapat menjelaskan keadaan saluran kemih akibat
adanya penurunan fungsi ginjal, sebagai penggantinya adalah pemeriksaan
pielografi retrograd (Brunner & Suddart, 2015; Purnomo, 2012).
f. Ultrasonografi (USG)
USG sangat terbatas dalam mendiagnosa adanya batu dan merupakan
manajemen pada kasus urolithiasis. Meskipun demikian USG merupakan jenis
pemeriksaan yang siap sedia, pengerjaannya cepat dan sensitif terhadap renal
calculi atau batu pada ginjal, namun tidak dapat melihat batu di ureteral
(Portis & Sundaram, 2001). USG dikerjakan bila pasien tidak memungkinkan
menjalani pemeriksaan IVP, yaitu pada keadaan-keadaan seperti alergi
terhadap bahan kontras, faal ginjal yang menurun, pada pada wanita yang
sedang hamil (Brunner & Suddart, 2015; Purnomo, 2012). Pemeriksaan USG
dapat menilai adanya batu di ginjal atau buli-buli, hidronefrosis, pionefrosis,
atau pengerutan ginjal (Portis & Sundaram, 2001).

G. Patofisiologi
Tugas utama ginjal adalah mengeluarkan produk samping metabolisme
yang meliputi kalsium, oksalat, dan asam urat. Ketika konsentrasi mineral tersebut
meningkat, maka batu dapat terbentuk di traktus urinarius. Secara teoritis batu
dapat terbentuk diseluruh saluran kemih terutama pada tempat-tempat yang sering
mengalami hambatan aliran urin (stasis urin), yaitu pada sistem kalises ginjal atau
buli-buli. Ada tidaknya zat inhibitor dalam urin, seperti magnesium, pirofosfat,
sitrat dan substansi lain juga menjadi faktor yang menentukan dalam
pembentukan batu (Chang 2009), karena substansi tersebut secara normal
mencegah kristalisasi dalam urin (Smeltzer et. al, 2002).
Pembentukan batu urinarius juga dapat terjadi pada penyakit inflamasi
usus dan pada individu dengan ileostomi atau reseksi usus, karena individu ini
mengabsorbsi oksalat secara berlebihan. Batu terdiri atas kristal-kristal yang
tersusun oleh bahan-bahan organik maupun anorganik yang terlarut di dalam urin.
Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam keadaan metastable (tetap terlarut)
dalam urin, jika tidak ada keadaan tertentu yang menyebabkan terjadinya
presipitasi kristal.
Kristal-kristal yang saling mengadakan presipitasi membentuk inti batu
(nukleasi) yang kemudian akan mengadakan agregasi dan menarik bahan-bahan
lain sehingga menjadi kristal yang lebih besar. Meskipun ukuranya cukup besar,
agregat kristal masih rapuh dan belum cukup mapu membuntu saluran kemih.
Oleh karena itu, agregat kristal menempel pada epitel saluran kemih (membentuk
retensi kristal) dan dari sini bahan-bahan lain diendapkan pada agregat itu
sehingga membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran kemih.
Kondisi metastable dipengaruhi oleh suhu, PH larutan, adanya koloid di dalam
urin, konsentrasi solut di dalam urin, laju aliran urin didalam saluran kemih, atau
danya korpus alineum di dalam saluran kemih yang bertindak sebagai inti batu
(Purnomo 2011). Apabila volume urin sedikit, bahan tersebut membuat urin
sangat jenuh hingga terbentuk kristal, sedangkan pH urin dan status cairan klien
dapat mempengaruhhi laju pembentukan batu karena batu cenderung terjadi pada
klien dehidrasi. Selain karena urin sangat jenuh, pembentukan batu dapat juga
terjadi pada individu yang memiliki riwayat batu sebelumnya atau pada individu
yang stasis karena imobilitas (Chang 2009).
Ketika batu menghambat aliran urin, terjadi obstruksi menyebabkan
peningkatan tekanan hidrostatik dan distensi piala ginjal (hidronefrosis) dan ureter
proksimal (hidroureter). Ada pula beberapa batu yang menyebabkan sedikit
gejala, namun secara perlahan merusak unit fungsional (nefron) ginjal, sedangkan
yang lain menyebabkan nyeri yang luar biasa dan ketidaknyamanan. Nyeri yang
berasal dari area renal menyebar secara anterior dan pada wanita ke bawah
mendekati kandung kemih, sedangkan pada pria mendekati testis. Bila nyeri
mendadak menjadi akut, disertai nyeri tekan diseluruh area kostovertebral dan
muncul mual dan muntah maka klien sedang mengalami episode kolik renal
(Smeltzer et. al, 2002).
Jenis nyeri ini disertai dengan  rasa sakit menetap di daerah kostovertebral
(titik di bagian pungggung yang berhubungan dengan iga ke-12 dan tepi lateral
muskulus sakrospinalis). Gejala gastrointestinal seperti diare dan
ketidaknyamanan abdominal dapat terjadi akibat dari refleks renointestinal dan
proksimal anatomik ginjal ke lambung, pankreas dan usus besar. Gejala kolik
ginjal dapat sangat hebat hingga timbul respon saraf simpatik berupa mual,
muntah, kulit pucat, dingin dan lembab (Chang 2009).
Batu yang terjebak di ureter menyebabkan gejala kolik ureteral berupa
gelombang nyeri yang luar biasa, akut dan kolik yang menyebar ke paha dan
genitalia. Rasa nyeri hebat dan bersifat hilang timbul karena spasme yang terjadi
pada ureter ketika berupaya untuk mendorong batu turun (Chang 2009).
Klien sering merasa ingin berkemih namun hanya sedikit urin yang keluar
dan biasanya mengandung darah akibat aksi abrasif batu. Inflamasi kontinu akibat
permukaan batu yang kasar dapat mengakibatkan infeksi ginjal (pielonefritis) atau
kandung kemih (sistitis) sehingga timbul demam, menggigil, sering berkemih,
hematuria, rasa sakit dan terbakar ketika berkemih. Jika batu menyebabkan
obstruksi pada leher kandung kemih akan terjadi retensi urin (Smeltzer et. al,
2002).
Jika batu berukuran kecil, dapat keluar tanpa gejala apa pun, namun jika
ukurannya besar, dapat menimbulkan obstruksi dan trauma. Umumnya klien akan
mengaluarkan batu dengan diameter 0,5 sampai 1 cm secara spontan. Batu dengan
diameter lebih dari 1 cm biasanya harus diangkat atau dihancurkan sehingga dapat
diangkat atau dikeluarkan secara spontan (Smeltzer et. al, 2002).
Purnomo (2011) Menjelaskan dalam bukunya yang berjudul “Dasar-dasar
urologi” mengenai teori pembentukan batu saluran kemih. Secara teoritis batu
dapat berbentuk di seluruh saluran kemih terutama pada tempat-tempat yang
sering mengalami hambatan aliran urin (statis urin) yaitu pada sistem kalises
ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada pelvikalises (stenosis uretero-
pelvis), divertikel, obstruksi infravesika kronis seperti pada hiperplasia benigna
prostat, striktura dan buli-buli neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang
memudahkan terjadinya pembentukan batu. Batu tersebut terdiri atas kristal-
kristal yang tersusun bahan-bahan organik dan anorganik yang terlarut dalam urin.
Terbentuk atau tidaknya batu saluran kemih juga ditentukan oleh adanya
keseimbangan antara zat pembentuk batu dan inhibitor, yaitu zat yang mampu
mencegah timbulnya batu. Dikenal beberapa zat yang dapat menghambat
terbentuknya batu saluran kemih yang bekerja mulai dari proses reabsorbsi
kalsium dalam usus, proses pembentukan inti batu atau Kristal, proses agregasi
kristal hingga retensi kristal.

H. Penatalaksanaan Medis
Tujuan dalam panatalaksanaan medis pada urolithiasis adalah untuk
menyingkirkan batu, menentukan jenis batu, mencegah penghancuran nefron,
mengontrol infeksi, dan mengatasi obstruksi yang mungkin terjadi (Brunner &
Suddart, 2015; Rahardjo & Hamid, 2004).
1. Cara penanganan :
 Pengurangan nyeri, mengurangi nyeri sampai penyebabnya dapat dihilangkan,
morfin diberikan untuk mencegah sinkop akibat nyeri luar biasa. Mandi air
hangat di area panggul dapat bermanfaat. Cairan yang diberikan, kecuali
pasien mengalami muntah atau menderita gagal jantung kongestif atau kondisi
lain yang memerlukan pembatasan cairan. Ini meningkatkan tekanan
hidrostatik pada ruang belakang batu sehingga mendorong passase batu
tersebut ke bawah. Masukan cairan sepanjang hari mengurangi kosentrasi
kristaloid urine, mengencerkan urine dan menjamin haluaran urine yang besar.
 Pengangkatan batu, pemeriksaan sistoskopik dan passase kateter ureteral kecil
untuk menghilangkan batu yang menyebabkan obstruksi ( jika mungkin), akan
segera mengurangi tekanan belakang pada ginjal dan mengurangi nyeri.
 Terapi nutrisi dan Medikasi. Terapi nutrisi berperan penting dalam mencegah
batu ginjal. Masukan cairan yang adekuat dan menghindari makanan tertentu
dalam diet yang merupakan bahan utama pembentuk batu(mis.kalsium),
efektif untuk mencegah pembentukan batu atau lebih jauh meningkatkan
ukuran batu yang telah ada. Minum paling sedikit 8 gelas sehari untuk
mengencerkan urine, kecuali dikontraindikasikan.
a. Batu kalsium, pengurangan kandungan kalsium dan fosfor dalam diet
dapat membantu mencegah pembentukan batu lebih lanjut.
b. Batu fosfat, diet rendah  fosfor dapat diresepkan untuk pasien yang
memiliki batu fosfat, untuk mengatasi kelebihan fosfor, jeli aluminium
hidroksida dapat diresepkan karena agens ini bercampur dengan fosfor,
dan mengeksikannyamelalui saluran intensial bukan ke system urinarius.
c. Batu urat, untuk mengatasi batu urat, pasien diharuskan diet rendah purin,
untuk mengurangi ekskresi asam urat dalam urine.
d. Batu oksalat, urine encer  dipertahankan dengan pembatasan pemasukan
oksalat. Makanan yang harus dihindari mencakup sayuran hijau berdaun
banyak, kacang,seledri, coklat,the, kopi.

Jika batu tidak dapat keluar secara spontan atau jika terjadi
komplikasi, modaritas penanganan mencakup terapi gelombang kejut
ekstrakorporeal, pengankatan batu perkutan, atau uteroroskopi.

 Lithotrupsi Gelombang Kejut Ekstrakorporeal, adalah prosedur noninvasive


yang digunakan untuk menghancurkan batu kaliks ginjal. Setelah batu itu
pecah menjadi bagian yang kecil seperti pasir, sisa batu-batu tersebut
dikeluarkan secara spontan.
 Metode Endourologi Pengangkatan batu, bidang endourologi menggabungkan
keterampilan ahli radiologi dan urologi untuk mengankat batu renal tanpa
pembedahan mayor.
 Uteroskopi, mencakup visualisasi dan askes ureter dengan memasukan suatu
alat ureteroskop melalui sistoskop. Batu dihancurkan dengan menggunakan
laser, lithotripsy elektrohidraulik, atau ultrasound kemudian diangkat.
 Pelarutan batu, infuse cairan kemolitik, untuk melarutkan batu dapat
dilakukan sebagai alternative penanganan untuk pasien kurang beresiko
terhadap terapi lain, dan menolak metode lain, atau mereka yang memiliki
batu yang mudah larut (struvit).
 Pengangkatan Bedah,sebelum adanya lithotripsy, pengankatan batu ginjal
secara bedah merupakan terapi utama. Jika batu terletak di dalam ginjal,
pembedahan dilakukan dengan nefrolitotomi (Insisi pada ginjal untuk
mengangkat batu atau nefrektomi, jika ginjal tidak berfungsi akibat infeksi
atau hidronefrosis. Batu di piala ginjal diangkat dengan pielolitotomi,
sedangkan batu yang diangkat dengan ureterolitotomi, dan sistostomi jika batu
berada di kandung kemih., batu kemudian dihancur dengan penjepit alat ini.
Prosedur ini disebut sistolitolapaksi.

I. PENCEGAHAN
a. Usahakan diuresis yang adekuat: minum air 2-3 liter per hari dapat di
capai diuresis 1,5 liter/hari.
b. Pelaksanaan diet bergantung dari jenis penyakit batu (rendah kalsium
tinggi sisa asam, diet tinggi sisa basa, dan diet rendah purin).
c. Eradikasi infeksi saluran kemih khususnya untuk batu struvit.

J. KOMPLIKASI
a. Sumbatan : akibat pecahan batu
b. Infeksi : akibat desiminasi partikel batu ginjal atau bakteri akibat obstruksi
d. Kerusakan fungsi ginjal : akibat sumbatan yang lama sebelum pengobatan
dan pengangkatan batu ginjal.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. (2003). Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah. Jakarta:
EKG
Prabowo, E, & Pranata, A. E. (2014). Asuhan Keperawatan Sistem
Perkemihan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Suharyanto, T., & Madjid, A. (2013). Asuhan Keperawatan Pada Klien
Dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta : CV. TRANS
INFO MEDIA.
Wijaya, A. S., & Putri, Y. M. (2013). Keperawatan Medikal Bedah.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Nurlina, Suharyo. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Batu Saluran Kemih pada
Laki-Laki ( Studi Kasus di RS. Dr. Kariadi, RS Roemani dan RSI
Sultan Agung Semarang). 2008:1–9.
Smeltzer et. al, Knoll T, Petrik A, Sarica K, Skolarikos A, Straub M, dkk.
Guidelines on Urolithiasis. European A. Urology. 2014:1-97.
Robbins SL, Chung, Cotran RS, penyunting. Ginjal dan Sistem Penyalurnya.
Dalam: Robbins Buku Ajar Patologi. Edisi ke-7. New York:
Elsevier; 2007. hlm.602-3
Ikatan Ahli Urologi Indonesia. Pedoman Penatalaksanaan Klinik penyakit
Batu Saluran Kemih. IAUI. 2005

Anda mungkin juga menyukai