A. DEFINISI
Ureter adalah suatu saluran muskuler berbentuk silinder yang menghantarkan urin dari ginjal menuju
kandung kemih. Panjang ureter adalah sekitar 20-30 cm dengan diameter maksimum sekitar 1,7 cm di
dekat kandung kemih dan berjalan dari hilus ginjal menuju kandung kemih (Fillingham dan Douglass,
2016). Ureter dibagi menjadi pars abdominalis, pelvis,dan intravesikalis (Brunner dan Suddarth, 2018).
Batu saluran kemih (kalkulus uriner) adalah massa keras seperti batu yang terbentuk di sepanjang
saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi (Sja’bani,
2006). Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam kandung kemih (batu kandung
kemih). Proses pembentukan batu ini disebut urolitiasis
Batu saluran kemih (urolithiasis), sudah dikenal sejak zaman Babilonia dan Mesir kuno dengan
diketemukannya batu pada kandung kemih mummi (Muslim, 2017). Batu saluran kemih dapat diketemukan
sepanjang saluran kemih mulai dari sistem kaliks ginjal, pielum, ureter, buli-buli dan ureter. Batu ini
mungkin terbentuk di di ginjal kemudian turun ke saluran kemih bagian bawah atau memang terbentuk di
saluran kemih bagian bawah karena adanya stasis urine seperti pada batu buli-buli. karena hiperplasia prostat
atau batu uretra yang terbentu di dalam divertikel uretra. Batu ginjal adalah batu yang terbentuk di tubuli
ginjal kemudian berada di kaliks, infundibulum, pelvis ginjal dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh
kaliks ginjal dan merupakan batu saluran kemih yang paling sering terjadi (Brunner dan Suddarth, 2018).
B. ETIOLOGI
Penyebab terbentuknya batu saluran kemih bisa terjadi karena air kemih jenuh dengan garam-garam yang
dapat membentuk batu atau karena air kemih kekurangan penghambat pembentuka batu yang normal (Sja’bani, 2016).
Sekitar 80% batu terdiri dari kalsium, sisanya mengandung berbagai bahan, termasuk asam urat, sistin dan mineral
struvit (Sja’bani, 2016). Batu struvit (campuran dari magnesium, amonium dan fosfat) juga disebut batu infeksi
karena batu ini haya terbentuk di dalam air kemih yang terinfeksi (Muslim, 2017). Ukuran batu bervariasi,
mulai dari yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang sampai yang sebesar 2,5 sentimeter atau lebih.
Batuyang besar disebut kalkulus staghorn. Batu ini bisa mengisi hampir keseluruhan pelvis renalis dan
kalises renalis.
Brunner dan Sudarth (2018) dan Nurlina (2018) menyebutkan beberapa faktor yang
mempengaruhi pembentukan batu saluran kemih, yaitu:
1. Faktor Endogen
Faktor genetik, familial, pada hypersistinuria, hiperkalsiuria dan hiperoksalouria.
2. Faktor Eksogen
Faktor lingkungan, pekerjaan, makanan, infeksi dan kejenuhan mineral dalam air minum.
C. MANIFESTASI KLINIS
Urolithiasis dapat menimbulkan berbagai gejala tergantung pada letak batu, tingkat infeksi dan ada
tidaknya obstruksi saluran kemih (Brooker, 2019). Ketika batu menghambat aliran urine, terjadi obstruksi,
menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dan distensi piala ginjal serta ureter proksimal. Infeksi
(pielonefritis dan sistisis yang di sertai menggigil, demam, dan disuria) dapat terjadi dari iritasi batu yang
terus menerus. Beberapa batu, jika ada, menyebabkan sedikit gejala, sedangkan yang lain menyebabkan
nyeri yang luar biasa dan ketidaknyamanan (Zmeltzer dan Bare, 2015 )
Beberapa gambaran klinis yang dapat muncul pada urolithiasis
1. Nyeri
Nyeri pada ginjal dapat menimbulkan dua jenis nyeri yaitu nyeri kronik dan nyeri non kolik. Nyeri
kolik terjadi karena adanya stagnansi batu pada saluran kemih sehingga terjadi resistensi dan iritabilisasi
pada jaringan sekitar (Brooker,2019). Nyeri kolik juga karena adanya aktivitas peristaltic otot polos
system kalises ataupun ureter meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu pada saluran kemih.
Peningkatan peristaltic itu menyebabkan tekanan intraluminalnya meningkat sehingga terjadi
peregangan pada terminal saraf yang memberikan sensasi nyeri (Purnomo, 2014).
2. Gangguan Mikasi
Adanya obstruksi pada saluran kemih, maka aliran urine (urine flow) mengalami penururnan
sehungga sulit sekali untuk miksasi secara spontan. Pada pasien nefrolithiasis, obstruksi saluran kemih
terjadi di ginjal sehingga urine yang masuk ke vesika urinary mengalami penurunan. Sedangkan pada
pasien uretrolithiasis, obstruksi urin eterjadi di saluran paling akhir sehingga kekuatan untuk
mengeluarkan urine ada namun hambatan pada saluran menyebabkan urin stagnansi (Brooker,2019).
Batu dengan ukuran kecil mungkin dapat keluar secara spontan setelah melalui hambatan pada
perbatasan uretro-pelvik, saat ureter menyilang vasa iliaka dan saat ureter masuk ke dalam buli-buli
(purnomo,2017).
3. Hematuria Batu yang terperangkap di dalam ureter
(Klonik ureter) sering mengalami desakan berkemih, tetapi hanya sedikit urine yang keluar. Keadaan
ini akan menimbulkan gesekan yang di sebabkan oleh batu 10 sehingga urine yang di keluarkan
bercampur dengan darah (hematuria) (Brunner & suddart, 2015). Hematuria. Tidak selalu terjadi pada
pasien urolithiasis, namun jika terjadi lesi pada saluran kemih utamanya ginjal maka seringkali
menimbulkan hematuria yang massive, hal ini di karenakan vaskuler pada ginjal sangat kaya dan
memiliki sensivitas yang tinggi dan didukung jika karakteristik batu yang tajam pada sisanya
(Brooker,2019)
4. Mual dan muntah
Kondisi ini merupakan efek samping dari kondisi ketidaknyamanan pada pasien karena nyeri yang
sangat hebat sehingga pasien mengalami stess yang tinggi dan memacu sekresi HCLI pada lambung
(Brooker, 2019). Selain itu, hal ini juga dapat di sebankan karena adanya stimulasi dari celiac plexus,
namun gejala gastrointestinal biasanya tidak ada (Portis & Sundaram,2015).
5. Demam
Demam terjadi karena adanya kuman yang menyebar ke tempat lain. Tanda demam di sertai dengan
hipotensi, palpitasi,vasodilatasi pembuluh darah di kulit merupakan tanda terjadinya urosepsis.
Urosepsis merupakan kedaruratan di bidang urologi dalam hal ini harus secepatnya ditentutakn letak
kelainan anatomic pada saluran kemih yang mendasari timbulnya urosepsis dan di lakukan terapi berupa
drainase dan pemberian antibiotic (purnomo,2015)
6. Distensi vesika urinaria
Akumulasi urin yang tinggi melebihi kemampuan vesika urinaria akan menyebabkan vasodilatasi
maksimal pada vesika. Oleh karena itu, akan teraba bendungan (distensi) pada waktu di lakukan palpasi
pada region vesika (Brooker,2019)
D. PATOFISIOLOGI
Banyak faktor menyebabkan berkurangnya aliran urin dan menyebabkan obstruksi, salah satunya
adalah statis urine dan menurunnya volume urin akibat dehidrasi serta ketidakadekuatan intake cairan, hal ini
dapat meningkatkan resiko terjadinya urolithiasis, rendahnya aliran urin adalah gejala abnormal yang umum
terjadi (Colella, et al., 2015), selain itu, berbagai kondisi pemicu terjadinya urolithiasis seperti komposisi
batu yang beragam menjadi faktor utama bekal identifikasi penyebab urolithiasis. Batu yang terbentuk dari
ginjal dan berjalan menuju ureter paling mungkin tersangkut pada satu dari lokasi berikut, yaitu sambungan
uroteropelvik, titik ureter menyilang disebut batu staghorn. pembuluh darah iliaka, dan sambungan
ureterovesika keputusan untuk tindakan pengangkatan batu. Batu yang masuk pada pelvis akan membentuk
pola koligentes yang di sebut staghorn.
PATH WAY
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Urinalisa
Warna kuning, coklat atau gelap. : warna : normal kekuning-kuningan, abnormal merah menunjukkan
hematuri (kemungkinan obstruksi urine, kalkulus renalis, tumor,kegagalan ginjal). pH : normal 4,6 – 6,8
(rata-rata 6,0), asam (meningkatkan sistin dan batu asam urat), alkali (meningkatkan magnesium, fosfat
amonium, atau batu kalsium fosfat), Urine 24 jam : Kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat, atau
sistin mungkin meningkat), kultur urine menunjukkan Infeksi Saluran Kencing , BUN hasil normal 5 –
20 mg/dl tujuan untuk memperlihatkan kemampuan ginjal untuk mengekskresi sisa yang bemitrogen.
BUN menjelaskan secara kasar perkiraan Glomerular Filtration Rate. BUN dapat dipengaruhi oleh diet
tinggi protein, darah dalam saluran pencernaan status katabolik (cedera, infeksi). Kreatinin serum hasil
normal laki-laki 0,85 sampai 15mg/dl perempuan 0,70 sampai 1,25 mg/dl tujuannya untuk
memperlihatkan kemampuan ginjal untuk mengekskresi sisa yang bemitrogen. Abnormal (tinggi pada
serum/rendah pada urine) sekunder terhadap tingginya batu obstruktif pada ginjal menyebabkan
iskemia/nekrosis.
2. Laboratorium
a. Darah lengkap : Hb, Ht, abnormal bila pasien dehidrasi berat atau polisitemia.
b. Hormon Paratyroid mungkin meningkat bila ada gagal ginjal (PTH merangsang reabsorbsi kalsium
dari tulang, meningkatkan sirkulasi serum dan kalsium urine
3. Foto KUB (Kidney Ureter Bladder)
Menunjukkan ukuran ginjal, ureter dan bladder serta menunjukan adanya batu di sekitar saluran
kemih.
4. Endoskopi ginjal
Menentukan pelvis ginjal, dan untuk mengeluarkan batu yang kecil.
5. USG Ginjal
Untuk menentukan perubahan obstruksi dan lokasi batu.
6. EKG (Elektrokardiografi)
Menunjukan ketidak seimbangan cairan, asam basa dan elektrolit
7. Foto Rontgen
Menunjukan adanya batu didalam kandung kemih yang abnormal, menunjukkan
adanya calculi atau perubahan anatomik pada area ginjal dan
sepanjang ureter
8. IVP (Intra Venous Pyelografi )
Menunjukan perlambatan pengosongan kandung kemih, membedakan derajat obstruksi kandung
kemih divertikuli kandung kemih dan penebalan abnormal otot kandung kemih dan memberikan
konfirmasi cepat urolithiasis seperti penyebab nyeri abdominal atau panggul. Menunjukkan
abnormalitas pada struktur anatomik (distensi ureter).
9. Pielogram retrograd
Menunjukan abnormalitas pelvis saluran ureter dan kandung kemih. Diagnosis ditegakan dengan
studi ginjal, ureter, kandung kemih, urografi intravena atau pielografi retrograde. Uji kimia darah dengan
urine dalam 24 jam untuk mengukur kalsium, asam urat, kreatinin, natrium, dan volume total merupakan
upaya dari diagnostik. Riwayat diet dan medikasi serta adanya riwayat batu ginjal, ureter, dan kandung
kemih dalam keluarga di dapatkan untuk mengidentifikasi faktor yang mencetuskan terbentuknya batu
kandung kemih pada klien.
F. PENATALAKSANAAN
Tujuan dasar penatalaksanaan adalah untuk menghilangkan batu, menentukan jenis batu, mencegah
kerusakan nefron, mengidentifikasi infeksi, serta mengurangi obstruksi akibat batu (Sja’bani, 2016). Cara
yang biasanya digunakan untuk mengatasi batu kandung kemih adalah terapi konservatif, medikamentosa,
pemecahan batu, dan operasi terbuka
1. Terapi Konservatif
Sebagian besar batu ureter mempunyai diameter kurang dari 5 mm. Batu ureter yang besarnya kurang
dari 5 mm bisa keluar spontan (Fillingham dan Douglass, 2016). Untuk mengeluarkan batu kecil tersebut
terdapat pilihan terapi konservatif berupa (American Urological Association, 2015):
1. Minum sehingga diuresis 2 liter/ hari
2. α - blocker
3. NSAID
Batas lama terapi konservatif adalah 6 minggu. Di samping ukuran batu syarat lain untuk terapi
konservatif adalah berat ringannya keluhan pasien, ada tidaknya infeksi dan obstruksi. Adanya kolik
berulang atau ISK menyebabkan konservatif bukan merupakan pilihan. Begitu juga dengan adanya
obstruksi, apalagi pada pasien-pasien tertentu (misalnya ginjal tunggal, ginjal trasplan dan penurunan
fungsi ginjal ) tidak ada toleransi terhadap obstruksi. Pasien seperti ini harus segera dilakukan intervensi
(American Urological Association, 2005).
2. Extracorporal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
ESWL banyak digunakan dalam penanganan batu saluran kemih. Badlani (2014) menyebutkan
prinsip dari ESWL adalah memecah batu saluran kemih dengan menggunakan gelombang kejut yang
dihasilkan oleh mesin dari luar tubuh. Gelombang kejut yang dihasilkan oleh mesin di luar tubuh dapat
difokuskan ke arah batu dengan berbagai cara. Sesampainya di batu, gelombang kejut tadi akan melepas
energinya. Diperlukan beberapa ribu kali gelombang kejut untuk memecah batu hingga menjadi
pecahan-pecahan kecil, selanjutnya keluar bersama kencing tanpa menimbulkan sakit.
Al-Ansari (2015) menyebutkan komplikasi ESWL untuk terapi batu ureter hampir tidak ada.
Keterbatasan ESWL antara lain sulit memecah batu keras (misalnya kalsium oksalat monohidrat), perlu
beberapa kali tindakan, dan sulit pada orang bertubuh gemuk. Penggunaan ESWL untuk terapi batu
ureter distal pada wanita dan anak-anak juga harus dipertimbangkan dengan serius karena ada
kemungkinan terjadi kerusakan pada ovarium.
3. Ureterorenoskopic (URS)
Pengembangan ureteroskopi sejak tahun 1980 an telah mengubah secara dramatis terapi batu ureter.
Kombinasi ureteroskopi dengan pemecah batu ultrasound, EHL, laser dan pneumatik telah sukses dalam
memecah batu ureter. Keterbatasan URS adalah tidak bisa untuk ekstraksi langsung batu ureter yang
besar, sehingga diperlukan alat pemecah batu seperti yang disebutkan di atas. Pilihan untuk
menggunakan jenis pemecah batu tertentu, tergantung pada pengalaman masing-masing operator dan
ketersediaan alat tersebut.
4. Percutaneous Nefro Litotripsy (PCNL)
PCNL yang berkembang sejak dekade 1980 secara teoritis dapat digunakan sebagai terapi semua batu
ureter. Namun, URS dan ESWL menjadi pilihan pertama sebelum melakukan PCNL. Meskipun
demikian untuk batu ureter proksimal yang besar dan melekat memiliki peluang untuk dipecahkan
dengan PCNL (Al-Kohlany, 2015). Menurut Al-Kohlany (2015), prinsip dari PCNL adalah membuat
akses ke kalik atau pielum secara perkutan. Kemudian melalui akses tersebut dimasukkan nefroskop
rigid atau fleksibel, atau ureteroskop, untuk selanjutnya batu ureter diambil secara utuh atau dipecah.
Keuntungan dari PCNL adalah apabila letak batu jelas terlihat, batu pasti dapat diambil atau dihancurkan
dan fragmen dapat diambil semua karena ureter bisa dilihat dengan jelas. Proses PCNL berlangsung
cepat dan dapat diketahui keberhasilannya dengan segera. Kelemahan PCNL adalah PCNL perlu
keterampilan khusus bagi ahli urologi.
5. Operasi Terbuka
Fillingham dan Douglass (2018) menyebutkan bahwa beberapa variasi operasi terbuka untuk batu
ureter mungkin masih dilakukan. Hal tersebut tergantung pada anatomi dan posisi batu, ureterolitotomi
bisa dilakukan lewat insisi pada flank, dorsal atau anterior. Saat ini operasi terbuka pada batu ureter
kurang lebih tinggal 1 -2 persen saja, terutama pada penderita-penderita dengan kelainan anatomi atau
ukuran batu ureter yang besar.
G. DIAGNOSA
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pecedera fisik operasi ditandai dengan keluhan nyeri
2. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif ditandai dengan peningkatan suhu tubuh
Intervensi
Obervasi
1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2. Identifikasi skala nyeri
3. Identifikasi respon nyeri non verbal
4. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
9. Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
10. Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi nyeri
11. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
12. Fasilitasi istirahat tidur
13. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi
14. Jelaskan penyebab, periode, pemicu nyeri
15. Jelaskan strategi meredakan nyeri
16. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
17. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
18. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri
Kolaborasi
19. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
Observasi :
1. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal an sistemik
Terapeutik :
2. Batasi jumlah pengunjung
3. Berikan perawatan kulit pada area edema
4. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien
5. Pertahankan teknik aseptik pada pasien beresiko tinggi
Edukasi
6. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
7. Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
8. Ajarkan cara memeriksa kondisi atau luka operasi
9. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
10. Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Kolaborasi
11. Kolaborasi pemberian imunisasi jika perlu
DAFTAR PUSTAKA
PPNI (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi Dan Indikator Diagnostik, Edisi 1.
Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi Dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1.
Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi Dan Tindakan Keperawatan, Edisi 1.
Jakarta: DPP PPNI.
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
“HUTAMA ABDI HUSADA”
Ijin Pendirian Mendiknas RI Nomor : 113/D/O/2009
Tulungagung 66224
IDENTITAS
1. Nama : Tn. A
2. Umur : 50
3. Jenis Kelamin : laki - laki
4. Agama : islam
5. Suku / Bangsa : jawa/indonesia
6. Bahasa : indonesia
7. Pendidikan : SMA
8. Pekerjaan : Guru
9. Alamat : ds karangrejo, kec. Boyolangu, kab. tulungagung
10. Alamat yg mudah dihubungi : ds karangrejo, kec. Boyolangu, kab. tulungagung
11. Ditanggung oleh : Askes / Astek / Jamsostek / JPS / Sendiri
B. Pola Eliminasi
BAB
- Warna Kuning Kuning
- Bau Khas Khas
- Konsistensi Padat Padat
- Jumlah Tidak terkaji Tidak terkaji
- Frekwensi 1 x sehari 1 x sehari
- Kesulitan BAB Tidak ada Tidak ada
- Upaya mengatasi Tidak ada Tidak ada
BAK
- Spontan / Catheter Spontan Menggunakan kateter
- Warna Kuning jernih Kuning keruh
- Bau Amoniak Amoniak
- Konsistensi Cair Cair
- Jumlah Tidak terkaji 300 cc/ 6jam
- Frekwensi 3-4 kali sehari -
- Kesulitan BAK Tidak ada Sulit BAK
- Upaya mengatasi Tidak ada Terpasang kateter
2. Minum
- Frekwensi 5-6 kali sehari 3-4 kali sehari
- Jenis Air putih Air putih
- Diit Tidak ada Air putih
- Pantangan Tidak ada Kopi, minuman bersoda
- Yang Disukai Kopi, air putih Air putih
- Yang Tdk disukai Tidak ada Tidak ada
- Alergi Tidak ada Tidak ada
- Masalah minum Tidak ada tidak nafsu minum
- Upaya mengatasi Tidak ada sedikit tapi sering
- Cairan IV Tidak ada 500cc RL
E. Pola Kegiatan / Aktifitas Berkebun, perawatan diri dan Tidak bisa berkebun,
Lain toileting secara mandiri perawatan diri dan toileting
dibantu keluarga
F. Kebiasaan
- Merokok .ya Tidak
- Alkohol Tidak Tidak
- Jamu, dll Ya tidak
KONSEP DIRI
Gambaran Diri
Pasien merasa cemas apabila sakitnya berangsur lama harus diobati dirumah sakit
Harga Diri
Pasien menerima jika sakit adalah cobaan dari tuhan
Ideal Diri
Pasien berharap bahwa ingin segera sembuh dari sakitnya
Identita diri
Pasien dapat menyebutkan nama, tempat tinggal, dengan keluarga dengan baik
Peran
Pasien adalah seorang kepala keluarga dengan istri dan 2 anak
DATA SPIRITUAL
A. Ketaatan Beribadah :
Pasien beribadah sesuai kemampuan, saat bedres di tempat tidur
B. Keyakinan terhadap sehat / sakit :
Pasien percaya bahwa sehat dan sakit adalah pemberian dari tuhan
C. Keyakinan terhadap penyembuhan :
Pasien yakin dan berusaha ingin segera sembuh agar bisa beraktifitas sehari-hari
PEMERIKSAAN FISIK
A. Kesan Umum / Keadaan Umum
K/u lemah
Ubun-ubun : cembung/menutup
b. Rambut
Penyebaran dan keadaan rambut :
Bau : harum
c. Wajah
Warna Kulit : sawo matang/ tidak pucat
Mata
b. Lubang telinga :
terbuka, ada sekret dan tidak ada kelainan/ luka
c. Ketajaman pendengaran :
normal tidak terjadi penurunan pendengaran
Mulut dan faring
a. Keadaan bibir :
bibir kering, tidak sianosis
b. Keadaan gusi dan gigi :
bersih gigi masih lengkap
c. Keadaan lidah :
bersih
d. Orofarings :
tidak ada peradangan
Leher
c. Suara : normal
d. Kelenjar Lymphe : tidak mengalami pembesaran
a. Kebersihan : bersih
d. Turgor : kering
e. Tekstur : lembut
f. Kelembaban : lembab
Inspeksi Thorak
Pemeriksaan Paru
a. Palpasi getaran suara ( vocal fremitus ) :
vokal fremitus teraba simetris
b. Perkusi :
sonor
c. Auskultasi
Suara Nafas :
vesikuler
Suara Ucapan :
normal
Suara Tambahan :
Tidak ada suara tambahan
Pemeriksaan Jantung
Inspeksi dan Palpasi
- Pulsasi : ICS V midclavicula sinistra
- Ictus cordis : teraba di ICS 4-5 midclavicula sinistra
Perkusi
Batas-batas jantung :
Kiri atas : ICS II sternalis sinistra
Kiri bawah : ICS V midclavicula sinistra
Kanan atas : ICS II sternalis dextra
Kanan bawah : ICS III sternalis dextra
Auskultasi
- Bunyi jantung I : Lup
- Bunyi jantung II : Dup
- Bunyi jantung Tambahan : Tidak ada bunyi tambahan
- Bising / Murmur : tidak ada bunyi murmur
- Frekwensi denyut jantung : 97 x/menit
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi
- Bentuk abdomen : cembung
- Benjolan / Massa : tidak ada massa/ benjolan
- Bayangan pembuluh darah pada abdomen
terlihat
Auskultasi
- Peristaltik Usus : 8 x/menit
- Bunyi jantung Anak / BJA : -
c. Palpasi
- Tanda nyeri tekan : nyeri tekan area pembedahan (kuadran kiri bawah)
- Benjolan / massa : tidak ada benjolan/ massa
- Tanda-tanda ascites : tidak ada tanda acites
- Hepar : tidak mengalami pembersaran
- Lien : tidak mengalami pembesaran
- Titik Mc. Burne : tidak ada nyeri tekan
d. Perkusi
- Suara Abdomen
tympani
- Pemeriksaan Ascites
Tidak mengalami acites
Pemeriksaan Kelamin dan Daerah Sekitarnya
2. Genetalia
a. Kelainan – kelainan pada genetalia eksterna dan daerah inguinal
tidak ada kelainan pada genetalia eksterna
3. Anus dan Perineum
a. Lubang anus :
normal tidak mengalami pembesaran hemoroid
b. Kelainan – kelainan pada anus dan perineum :
normal tidak ada luka
Pemeriksaan Neurologi
1. Tingkat kesadaran ( secara kuantitatif ) / GCS :
Compos mentis
2. Tanda – tanda rangsangan otak ( meningeal sign ) :
Tidak ada kelainan pada rangsangan otak
3. Syaraf otak( Nervus cranialis ) :
Tidak ada sarraf/nervus yang terganggu
4. Fungsi Motorik :
Tidak ada kelainan fungsi motorik
5. Fungsi Sensorik :
Tidak ada kelainan fungsi sensorik
6. Refleks :
a. Refleks Fisiologis
normal
b. Refleks Patologis
normal
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
2. Rontgen
Pemeriksaan Rotgen Dada hasilnya tidak ada kelainan
3. E C G
Pemeriksaan EKG hasilnya tidak ada kelainan
4. U S G
Hasil : Ginjal kiri: Besar, bentuk baik, system pelviokalises sedikit melebar, tampak batu di ureter
distal dengan ukuran 2 x 10 cm
Kesan : Hidronefrosis kiri grade 2-3
• IVFD : RL 20 tpm IV
• Ceftriaxone : 1 x 2 gr IV
• Lasix: 1x1 gr IV
• Profenid 3x 1 Supp
• Ciprofloxacin 1 x 500 mg PO
• Neuralgad 1x 500 mg PO
Mahasiswa
ANALISA DATA