terhadap
Tingkat Stres Akademik Siswa
DISUSUN OLEH
Proposal Penelitian
(Revisi pertama)
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Stres menjadi salah satu masalah yang seringkali menjangkiti remaja.Seperti yang
disebutkan Hall (dalam Santrock, 2007) bahwa periode remaja dianggap sebagai masa
badai emosional.Meningginya emosi pada remaja laki-laki maupun perempuan dapat terjadi
sebagai dampak dari kondisi sosial sebagai reaksi atas perubahan yang terjadi pada diri
remaja. Para peneliti menemukan bahwa dari kelas lima hingga kelas sembilan, baik remaja
laki-laki maupun perempuan mengalami kemunduran sebesar 50% dari kondisi “sangat
bahagia” (Larson & Lampman-Petraitis dalam Santrock, 2007).
Stres sendiri merupakan cara tubuh beradaptasi dengan implus berupa tuntutan.
Seyle (dalam Pasha, dkk. 2016) menyimpulkan bahwa segala ancaman terhadap tubuh
dan pengaruh spesifiknya akan memicu respon umum terhadap stres. Pemicu stres yang
mesti dihadapi pun meningkat seiring dengan kenyataan bahwa periode remaja
merupakan situasi badai emosional sehingga mempengaruhi kondisi sosialnya ketika
berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi pada diri remaja.
Sekolah merupakan salah satu tempat dimana remaja banyak menghabiskan waktu dan
menyesuaikan diri dengan berbagai aspek sosial yang heterogen, khusunya bagi sekolah
dengan metode asrama. Sekolah berasrama merupakan salah konsep pendidikan dengan
menempatkan siswa didiknya di sekolah melebihi jam kegiatan belajar formal di kelas
Sekolah berasarama menuntut kemampuan untuk beradaptasi dengan berbagai tatanan
sosial.Kartono (dalam Khamidatul, 2017) menjelaskan bahwa penyesuaian sosial
merupakan salah satu prasyarat penting bagi kesehatan mental individu, karena salah
satu ciri pokok pribadi yang sehat mental adalah pribadi yang mampu menyesuaikan diri
secara harmonis, baik terhadap diri sendiri maupun lingkungan.Hidup terpisah dari orang
tua dan bertemu dengan orang-orang baru menjadi hal yang menuntut kemampuan untuk
menyesuaikan diri.Memasuki kelompok yang baru merupakan suatu yang serius.(Sri
Maslihah, 2017).Menurut Elias (dalam Taufik, 2013) menyatakan jika sebagian besar
sumber stres siswa berasal dari masalah akademik.Stres di bidang akademik pada anak
muncul ketika harapan untuk meraih prestasi akademik meningkat, baik dari orang tua,
guru ataupun teman sebaya.Menurut Govearts & Greguire (dalam Lilis & Diana, 2015)
Stres akademik diartikan sebagai suatu keadaan individu mengalami tekanan hasil
persepsi dan penilaian tentang stresor akademik, yang berhubungan dengan ilmu
pengetahuan dan pendidikan.Gejala stres dapat berupa permasalahan biologis berupa
sulit tidur, gejala kognitif berupa lupa materi yang sudah dipelajari, dan gejala emosional
berupa perasaan takut dan cemas yang berlebihan (Lilis & Diana, 2015).Sebagian besar
sumber stres siswa berasal dari masalah akademik (Elias, 2011).
Di kalangan remaja Indonesia banyak ditemukan fenomena ketidakmampuan siswa
mengelola stres akibatnya akan berbuntut pada hal-hal tragis seperti melarikan diri dan
bunuh diri misalnya, seorang siswa kaget dan bunuh diri karena tidak lulus UN
(Kompasiana, 2011). Tidak hanya dampak negatif berbentuk fisik berupa tindakan,
berbagai permasalahan emosional seperti depresi dan penurunan minat dan efektivitas,
penurunan energi, cenderung mengekspresikan pandangan sinis pada orang lain,
perasaan marah, kecewa, frustasi, bingung, putus asa, serta melemahkan tanggung
jawabmerupakan bagian dari dampak stres akademik(Dika,dkk. 2010). Hasil penelitian
Pasha Nandaka, dkk.pada tahun 2016 juga menunjukan bahwa stres yang tak tertangani
pada remaja dapat menjadi alasan mereka mengkonsumsi obat-obatan terlarang.
Salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan remaja dalam mengatasi stres
akademik yang mereka alami adalah melalui dukungan sosial salah satunya melalui
orang tua, Indati (dalam Lilis dan Diana, 2015) menyebutkan bahwa terdapat pengaruh
yang sangat besar antara dukungan sosial keluarga yang dalam hal ini orang tua dengan
self efficacy.Semakin besar dukungan sosial yang diberikan oleh orang tua maka
semakin baik pula self efficacy yang dimiliki oleh remaja yang dalam hal ini adalah
siswa.Hal ini juga didukung oleh pendapat Syah (2003), bahwa lingkungan keluarga bisa
berpengaruh terhadap kinerja akademik (academic performance) seorang siswa.
Senada seperti yang dikatakan Wang dan Yeh (dalam Santrock, 2007) bahwa dukungan
dari orang lain merupakan salah satu aspek yang penting agar kita dapat mengatasi stres.
Kelekatan yang akrab dan positif dengan orang lain – seperti dengan anggota keluarga,
sahabat, atau mentor – secara konsisten dapat menjadi peredam stres bagi remaja (Seiffe-
Krenke dalam Santrock, 2007). Dalam sebuah studi yang dilakukan Wegner dkk.1991
menunjukkan bahwa remaja dapat mengatasi stres dengan lebih efektif apabila mereka
memiliki relasi efektif yang dekat dengan ibunya.Dalam studi lainnya kawan-kawan
sebaya paling sering dijadikan sumber dukungan bagi remaja disusul dengan ibu
(O’Brien dalam Santrock, 1990).
Namun, berbeda dengan sekolah konvensional pada umumnya, siswa yang
bersekolah di boarding school tentu saja memiliki jam bertemu dengan orang tua yang
lebih sedikit ketimbang siswa seperti pada sekolah umumnya. Padahal dukunganorang
tua diperlukan untuk membantu siswa beradaptasi dengan lingkungan, peraturan dan
kebiasaan-kebiasaan, yang tentu saja berguna untuk membantu siswa didik mengatasi
stres akademik.
SMAN Sumatera Selatan sebagai sekolah berasrama memiliki suatu mekanisme yang
menempatkan para siswa ke dalam berbagai kelompok.Awalnya, para siswa Commented [DV1]: Jelaskan pengelompokan siswa
berdasarkan apa?? Tingkatan/kelas kah? Atau berdasarkan
dikelompokkan berdasarkan sifat-sifatnya. Kemudian, dikarenakan sistem jurusan? Peminatan? Atau apa?Penjelasannya kurang dibagian ini