Anda di halaman 1dari 11

UNIVERSITAS INDONESIA

Perilaku Bullying di Sekolah sebagai Dampak dari Pengalaman Kekerasan


dan Struktur Keluarga Broken Home

MAKALAH
Disusun sebagai Ujian Akhir Semester mata kuliah Kenakalan Anak Kelas A
Dosen: Dra. Mamik Sri Supatmi M.Si

Disusun oleh:
IVAN HADDAR M.
1406559686

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


DEPARTEMEN KRIMINOLOGI
DEPOK
DESEMBER 2015
Halaman Pernyataan Orisinalitas

Saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa karya ilmiah ini merupakan karya
saya sendiri. Semua sumber yang saya kutip dan yang saya rujuk telah saya nyatakan dengan
benar. Bila dikemudian hari ditemukan hal yang berbeda dari pernyataan ini, saya siap
menanggung hukuman yang diberikan pengajar.
Depok, 13 Desember 2015

(..........................................)

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
1

Setiap orang pastinya pernah melakukan kenakalan, terutama ketika masih anak-anak.
Apalagi ketika memasuki lingkungan sekolah, khususnya di Indonesia, baik pada Sekolah
Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan juga Sekolah Menegah Atas. Kenakalan bisa berupa
pelanggaran aturan sekolah, kekerasan, pelecehan seksual, pengrusakan, dan lain- lain.
Bentuk perilaku kekerasan baik, bullying, hazzing, dan perkelahian merupakan kasus yang
sering kita jumpai pada anak sekolahan. Akhir-akhir ini perilaku Bullying adalah suatu yang
kerap kali dijumpai oleh anak-anak khususnya ketika mereka sedang berada lingkungan
sekolah, misalnya kasus video bullying yang tersebar di internet pada siswa SMP di Binjai1
Bullying dapat didefinisikan sebagai suatu aksi dari agresi atau manipulasi atau
tindakan pengucilan yang dilakukan dengan penuh kesadaran, berulang, dan tanpa paksaan
oleh individu atau kelompok kepada individu atau kelompok lain. 2 Perilaku bullying
merupakan penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan yang dilakukan oleh seorang/sekelompok.
Pihak yang kuat disini tidak hanya kuat dalam ukuran fisik, namun juga secara mental. 3
Perilaku bullying memiliki potensi untuk dilakukan secara berulang. Baik anak yang
diganggu ataupun yang menggangu mungkin dapat memiliki masalah serius yang
berkepanjangan.
1.2. Pokok Permasalahan
Kebanyakan analisis terhadap perilaku bullying, ternyata menunjukan bahwa bullying
selalu menjadi masalah kompleks di sekolah yang dipengaruhi oleh faktor internal serta
eksternal (Cook, William dkk, 2010). Faktor yang berasal dari eksternal tersebut salah
satunya adalah dari lingkungan keluarga. Disini penulis melihat bahawa faktor keluarga
menjadi pemicu sekaligus yang dapat menjadi solusi. Meskipun sudah banyak peneliti yang
membahas tentang perilaku bullying, namun belum banyak bukti penelitian yang
mengkaitkan korelasi antara faktor dengan perilaku bullying yang dilakukannya di sekolah.
Pada paper ini, penulis mencoba untuk memberikan penjelasan berupa analisis dari sudut

1 Tribunnews-Medan http://medan.tribunnews.com/2015/09/07/video-siswi-smpn4-binjai-yang-membully-rekannya-hebohkan-media-sosial (diakses pada 11


Desember 2015, pukul 19.51)
2 Keith Sullivan. 2011. The anti-bullying handbook (2nd Ed.). London: SAGE
Publication. hlm. 10
3 Yayasan SEJIWA. 2008. Bullying: Mengatasi Kekearasan di Sekolah dan
Lingkungan Sekitar Anak. Jakarta: PT Grasindo. hlm. 2.
2

pandang kriminologis yang berhubungan dengan mata kuliah Kenakalan Anak yang penulis
sedang tempuh.
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Telaah Artikel Jurnal Ilmiah
2.1.1 Sumber: Dorothy L. Espelage dan Susan M. Swearer. 2004. Bullying in American
Schools: A Social-Ecological perspective on Prevention and Intervention. New Jersey:
Lawrence Erlbaum Associates Publishers. Hlm. 3-4
Fenomena perilaku bullying bukanlah terjadi karena satu faktor saja. Fenomena
tersebut muncul sebagai hasil dari hubungan yang komplex antara seorang individu
dengan kelurga, teman sebaya, sekolah, komunitas maupun sebuah budaya. Kesemua
faktor tersebut merupakan bagian dari ecological-system theory yang menyebutkan
bahwa anak merupakan seorang individu yang merupakan bagian dari sebuah sistem
dimana individu tersebut berada pada pusat yang dikelilingi oleh faktor yang dapat
mempengaruhi individu tersebut (Bronfenbrenner 1979). Pada sistem tersebut terbagi
menjadi empat bagian yaitu microsystem, mesosystem, exosystem dan macrosystem.
Microsystem adalah hubungan seorang anak dengan suatu sistem semisal lingkungan
rumah, kelas, ataupun tempat bermain. Hal yang terjadi di microsystem merupakan
sebuah reaksi langsung terhadap apa yang diterimanya, termasuk perilaku bullying.
Maksudnya adalah jikalau anak-anak melakukan perbuatan bullying, itu karena anak
tersebut mendapatkan semacam perlakuan yang sama terlebih dulu pada suatu
lingkungannya.
2.1.2 Sumber: Justin W. Patchin. 2006. The Family Context of Delinquency. New York:
LFB Scholary Publishing LLC. Hlm. 4 & 8
Di semua budaya, baik historikal ataupun modern, keluarga terus menjadi
institusi sosialisasi utama yang bertanggung-jawab pada penanaman suatu set norma,
nilai, kepercaayan serta keidelan bagi anak-anak (Loury, 1987). Kegagalan keluarga
dalam hal sosialisasi dapat mengakibatkan konsekuensi negatif untuk seorang individu
dan juga masyarakat. Kebanyakan peneliti menyetujui buruknya pengasuhan
merupakan penyebab perilaku menyimpang (Unnever et al., 2006). Orang tua terkadang
terlalu menunjukkan kedisiplinan terlalu keras seperti mulai dari caci makian sampai
yang ekstrim adalah serangan fisik. Sebagai hasil dari pendisiplinan yang keras dan

tidak konsisten, anak malah melawan dan juga perilakunya semakin menjadi nakal.
Akibatnya anak bisa menjadi pribadi yang agresif.
2.1.3 Sumber: Debra Pepler, Depeng Jiang, Wendy Craig and Jennifer Connolly.
2008. Developmental Trajectories of Bullying and Associated Factors. Child
Development, Vol. 79, No. 2. Hlm. 327
Dalam konteks keluarga, ada bukti bahwa pola pengasuhan yang kasar dan
cenderung menghukum maka akan berdampak pada perilaku anak menjadi agresif
(Olweus, 1978). Orang tua menjadi yang memiliki power untuk menjadi panutan
atas perilaku anak, jika mereka menghukum anaknya dengan keras, mereka
dijadikan model oleh anak-anak untuk menggunakan kekuatan serta agresi mereka
yang nantinya akan diterapkan pada peer mereka dalam bentuk bullying. Juga
hubungan dalam keluarga pada anak yang suka membully cenderung anak tersebut
seperti ditelantarkan, hubungannya renggang dan kurangnya monitoring dari orang
tua. Hal tersebut dipengaruhi karena kurangnya kepercayaan orang tua, rendahnya
pengawasan anak sampai karena tingginya konflik antar orang tua.
2.2 Kerangka Teori
Social Learning Theory
Social Learning Theory ini mengacu kepada Teori Diferensiasi Asosiasi
Milik Suthterland yang memiliki sembilan preposis, namun yang perlu
digarisbawahi adalah preoposisi pertama sampai keempat yaitu: Perilaku
kriminal itu dipelajari; Perilaku kriminal dipelajari dalam interaksi dengan
orang lain melalui komunikasi; Mempelajari perilaku kriminal terjadi dalam
kelompok intim; Termasuk teknik melakukan, yang rumit maupun yang mudah
serta motifnya.4
Kejahatan dan kenakalan disebabkan karena bergaul dengan orang lain
yang menularkan perbuatan yang mendukung seperti melawan hukum.
Sementara fakta tersebut konsisten dengan teori Sutherland, di dalam diri
individu sendiri menunjukkan bahwa kenakalan disebabkan oleh transmisi
melalui bergaul dengan kenakalan lainnya. Maksudnya disini sesuai dengan
preposisi perilaku dapat dipelajari. Sutherland menambahkan bahwa frekuensi,
durasi, prioritas, dan intensitas asosiasi menentukan seberapa besar dampak
perilaku tersebut dapat terinternalisasi pada seseorang, dan ia mendukung

4 William E. Thompson, Bynum, Jack E. 1991. Juvenile Delinquency Classic and


Contemporary Readings. Texas: East Texas State University. Hlm. 176-177
4

argumen ini dengan kasus masa lalu dan dengan pernyataan penilaian diri oleh
berbagai individu yang telah mengikuti pola kriminal.5

Social Control Theory


Social Bond yang masuk kedalam Social Control Theory dikembangkan
oleh Travis Hirschi, dikatakan terdapat suatu attachment kepada seseorang
terhadap suatu nilai dasar dalam berperilaku di masyaakat. 6 Hal yang menjadi
attachment tersebut muncul akibat kedekatan dengan orang tua, teman sebaya,
guru dan siapapun yang menjadi model seperti yang diharapkan dan dihormati.
Social Control Theory menyatakan baahwa pentingnya peran keluarga dan
perkembangan dari pengendalian diri melihat kurangnya dalam pengedalian
dalam berinteraksi di dalam lingkungan sosial dapat menyebabkan individu
melakukan perbuatan yang berbahaya sebagai bentuk penyimpangan hingga
dapat digolongkan sebagai kejahatan.7
Bentuk serta latar belakang keluarga dapat mempengaruhi dari anak dan
remaja melakukan penyimpangan serta delikuensi, pengaruh dari keluarga
yang dimaksud adalah faktor-faktor bagaimana anak diperlakukan di dalam
keluarga seperti kedekatan mereka dengan anggota keluarga serta cara mereka
berkomunikasi antara keluarga juga teman sebaya, sampai pekerjaan orang tua
dapat mempengaruhi perilaku anak.8

5 Donald J. Shoemaker. 2010. Theories of Delinquency: An Examination of Explanations


of Delinquent Behavior, sixth edition. Oxford : University Press. Hlm. 184

6 William E. Thompson, Bynum, Jack E. 1991. Juvenile Delinquency Classic and


Contemporary Readings. Texas: East Texas State University. Hlm. 189
7 Josine Junger-Tas, dkk. 2012. The Many Faces of Youth Crime: Contrasting
Theoretical Perspectives on Juvenile Delinquency across Countries and Cultures.
New York: Springer. Hlm. 186
8 Ibid. Hlm. 188
5

BAB 3
ANALISIS

Keluarga Sebagai Pemicu Perilaku Bullying


Beberapa

penelitian

menyatakan

bahwa

menyaksikan

kekerasan

ataupun

mendapatkan perlakuan kekerasan langsung di dalam rumah dapat menjadi salah satu faktor
pemicu konflik peer seperti tindakan agresi dan bahkan bullying. Sebuah penelitian
menemukan bahwa anak perempuan yang pernah melihat kekerasan antara ayah dan ibunya
serta mendapatkan kontak fisik kekerasan baik dengan ayah ataupun ibunya, lebih rentan
terlibat sebagai pelaku bullying.9 Pengalaman anak melihat atau bahkan terlibat langsung
dengan orang tua yang saling bertengkar sampai melakukan kekerasan akan menjadikan
pemahaman bagi si anak yang nantinya akan mereka terapkan dalam interaksinya dalam peer
karena mereka telah mengobservasi dan juga menginternalisasi perlakukan kekerasan
tersebut yang terjadi di rumahnya karena sifatnya yang juga berkelanjutan.
Keluarga merupakan unit sosialisasi terkecil yang seharusnya memberikan fondasi
primer bagi perkembangan anak. Sosialisasi disini yang dimaksud bagi anak adalah proses
internalisasi segala sikap, nilai dan perilaku dari seorang yang dianggap sebagai figur untuk
berperilaku sesuai dengan peran di masyarakat (Encyclopedia of Sociology, 1984:272).10
Dalam interaksinya, keluarga memiliki fungsi seperti agen sosialisasi yang telah disebutkan,
juga memiliki fungsi afeksi dan juga pengasuhan. Bagaimana fungsi keluarga tersebut dapat
memicu perilaku bullying yang dilakukan seorang anak disekolah, pertama jika dalam
keluarga tersebut disosialisasikannya nilai-nilai serta sikap kekerasan dan dominasi, kedua,
berhubungan dengan pengasuhan negatif yang memiliki ciri emosi yang ditampilkan orang
tua tinggi serta struktur keluarga yang berantakan.
Karena itu kualitas kondisi lingkungan rumah yang dihuni keluarga jelas akan
mengambil peran yang penting bagi perkembangan anak. Dalam keluarga yang strukturnya
9 A. C. Baldry. 2003. Bullying in Schools and Exposure to Domestic Violence.
Journal of Child Abuse and Neglect, Vol. 27. Hlm. 714
10 William E. Thompson, Bynum, Jack E. 1991. Juvenile Delinquency Classic and
Contemporary Readings. Texas: East Texas State University. Hlm. 188
6

broken home family, yaitu dimana yang mengalami banyak perselisihan seperti perkelahian
fisik dimana anak juga dilibatkan didalamnya. Seperti kasus bullying yang terjadi di SMA di
Binjai yang ternyata pelaku pembully, Ichy, berasal dari keluarga broken home. 11 Perlakuan
yang diterima anak tersebut di rumah kemudian menjadi rangsangan bagi anak yang
kemudian diinternalisasi kedalam dirinya sehingga mengakibatkan dia melakukan
delinkuensi dalam bentuk mem-bully temannya. Seperti apa yang dikatan Sutherland dalam
preposisinya, namun disini, perilaku kasarlah yang dipelajari anak karena keterlibatan
hubungan yang intim dengan orang tuanya. Anak yang diremehkan serta mendapatkan
penghinaan, tempramen orang tua, terutama ayah yang agresif seperti meledak-ledak, suka
marah, dan sewenang-wenang dapat dengan mudah dipelajari oleh anak-anak karena tidak
hanya mentranformasikan perilaku agresif saja tetapi juga menciptakan kondisi iklim yang
mendemoralisir sehingga anak lebih cenderung akan memendam dahulu lalu akan
mengeluarkannya pada lingkungan yang lain semisal sekolah dengan melakukan bullying
kepada temannya.
Jika keluarga sebagai unit total sosialisasi tidak berfungsi dengan baik, anak sebagai
individu dalam keluarga cenderung akan terpengaruh yang kemudian berdampak pada
perilaku di luar keluarga. Hal tersebut jelas membuat keluarga sebagai institusi sosial yang
krusial yang dapat mempengaruhi perkembangan agresivitas remaja karena pada keluarga
terdapat faktor-faktor yang terasosiasi dengan karakter individu yang sedang berkembang
terhadap hasil produk yang berupa perilaku yang berpengaruh ketika seorang anak tersebut
bersosialisasi ke dunia luar yaitu lingkungan sekolah. Hubungan yang tercipta antara anak
dengan orang tua mereka sesuai teori social bond jika terdapat ikatan yang kuat, maka anak
tersebut lebih cenderung tidak akan melakukan perilaku menyimpang. Dengan terciptanya
hubungan yang kuat maka nilai-nilai postif yang diberikan akan dapat meningkatkan kontrol
diri pada anak.

11 Tribunnews-Medan http://medan.tribunnews.com/2015/09/07/pem-bully-darismpn-4-binjai-dari-keluarga-broken-home (diakses pada 11 Desember 2015,


pukul 20.00)
7

BAB 4
KESIMPULAN
Perilaku bullying yang dilakukan oleh siswa pada lingkungan sekolah bukan semata
karena menujukkan kekuasaan, namun terdapat faktor lain seperti keluarga dimana latar
belakang sosial sebuah keluarga dapat mempengaruhi perilaku anak. Struktur sebuah
keluarga semisal broken home family dapat menentukan perilaku anak berdasarkan variabel
pola pengasuhan terhadap sang anak. Tidak konsekuen pendisiplinan terhadap anak dan
kontroversi antara proses pendisiplinan yang kerap kali menggunakan perkataan kasar bahkan
sampai melakukan kontak fisik, dapat mendorong anak melakukan perbuatan menyimpang.
Disisi lain, anak mendapatkan penggambaran dari orang tua dari pola pengasuhan sehingga
nilai dan norma tersebut yang kemudian terinternalisasi sehingga anak menerapkannya dalam
pergaulan, yaitu ketika berada di lingkungan sekolah.
SARAN
Selain dapat menjadi pemicu, keluarga dapat juga menjadi pencegah perilaku bullying
anak. Sebagai salah satu unit yang memegang fungsi utama dalam pengawasan anak, orang
tua seharusnya dapat memberikan kontrol terhadap perilaku anak sehingga timbul pada diri
anak kontrol untuk dirinya sendiri. Untuk itu diperlukan interaksi yang positif antara orang
tua dan anak karena hal tersebut dapat menjadi model positif bagi sang anak ketika
berinteraksi dengan orang lain di luar keluaga seperti dapat bekerja sama dengan orang lain,
menyelesaikan konflik dengan tuntas, mampu berkomunikasi dengan jerlas, serta dapat
menghargai satu sama lain.

DAFTAR PUSTAKA

Baldry, A. C. 2003. Bullying in Schools and Exposure to Domestic Violence. Journal of Child
Abuse and Neglect, Vol. 27.
Debra

Pepler, Depeng Jiang,

Wendy Craig and

Jennifer

Connolly. 2008. Journal:

Developmental Trajectories of Bullying and Associated Factors. Child Development,


Vol. 79, No. 2. Wiley on behalf of the Society for Research in Child Development
Dorothy L. Espelage dan Susan M. Swearer. 2004. Bullying in American Schools: A SocialEcological perspective on Prevention and Intervention. New Jersey: Lawrence Erlbaum
Associates Publishers
Junger-Tas, Josine, dkk. 2012. The Many Faces of Youth Crime: Contrasting Theoretical
Perspectives on Juvenile Delinquency across Countries and Cultures. New York:
Springer.
Justin W. Patchin. 2006. The Family Context of Delinquency. New York: LFB Scholary
Publishing LLC
Olweus, D. 1993. Bullying at School: What we know and what we can do about it. London:
Blackwell Publishing
Rigby, Ken. 2002. New Perspective on Bullying. London: Jessica Kingsley Publisher
Shoemaker, Donald J. 2010. Theories of Delinquency: An Examination of Explanations of
Delinquent Behavior, sixth edition. Oxford : University Press.
Sullivan, Keith. 2011. The anti-bullying handbook (2nd Ed.). London: SAGE Publication.
Thompson, William E., Bynum, Jack E. 1991. Juvenile Delinquency Classic and
Contemporary Readings. Texas: East Texas State University
Totura, Christine M. Wienke, dkk. 2009. Bullying and Victimization Among Boys and Girls in
Middle School: The Influence of Percieved Family and School Context Journal of
Early Adolescence Vol 29 Number 4. SAGE Publications

Yayasan SEJIWA. 2008. Bullying: Mengatasi Kekearasan di Sekolah dan Lingkungan Sekitar
Anak. Jakarta: PT Grasindo

10

Anda mungkin juga menyukai