Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anemia hemolitik autoimun (AIHA) merupakan kelainan yang jarang

ditemukan, diakibatkan oleh autoantibodi yang melawan sel darah merah.1

Anemia hemolitik autoimun ditandai adanya produksi antibodi terhadap sel darah

merah. Antigen ini menginisiasi penghancuran sel darah merah melalui sistem

komplemen dan retikuloendotelial.2

Puncak insiden AIHA anak adalah pada usia 4 tahun pertama kehidupan.

Angka kejadian AIHA pada pria dan wanita hampir sama yaitu dengan

perbandingan 1:1, dan tidak berhubungan dengan ras, namun terkait dengan

keturunan.2 Insiden yang tepat dari penyakit ini tidak diketahui, namun

diperkirakan jumlah anak-anak yang terkena dampak kurang dari 0,2/100.000

dengan tingkat tertinggi terlihat pada usia pra-sekolah.3 AIHA pada bayi dan

anak-anak terjadi 0,2 per 100.000 per tahun, dimana 37% kasus merupakan

AIHA primer dan 53% kasus terkait kelainan imun. Angka kematian lebih

rendah pada anak-anak (4%), tapi meningkat hingga 10% jika anemia hemolitik

ini dikaitkan dengan trombositopenia imun (Evans Syndrome).1

AIHA dipicu oleh infeksi virus atau vaksinasi, lebih sering terjadi pada

anak daripada orang dewasa. Imunodefisiensi atau keganasan (terutama

keganasan jaringan limforetikular), sistemik lupus eritematosus (SLE), dan tipe

lain penyakit kolagen vaskuler biasanya menjadi penyebab yang sering AIHA

1
sekunder pada anak. Selain itu, beberapa kelainan yang langka seperti giant cell

hepatitis mungkin dapat menyebabkan AIHA.2

AIHA diklasifikasikan menjadi tipe hangat (Warm autoimmune hemolytic

anemia = WAIHA) dan tipe dingin (Cold agglutinin disease = CAD) berdasarkan

kisaran suhu autoantibodinya. Autoantibodi tipe hangat merupakan 48-70% kasus

AIHA. Sementara itu, autoantibodi tipe dingin merupakan 16-32% kasus dari

AIHA. Infeksi dan kelainan limfoproliferatif merupakan penyebab tersering pada

tipe sekunder.2 Diagnosis ditegakkan berdasarkan munculnya gejala anemia

hemolitik dan bukti serologis dari antibodi anti-eritrosit, yang dideteksi dengan

Direct Antiglobulin Test (DAT).1

1.2 Batasan Masalah

Referat ini membahas tentang anemia hemolitik autoimun pada anak.

1.3 Tujuan Penulisan

Referat ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman

mengenai anemia hemolitik autoimun pada anak-anak.

1.4 Metode Penulisan

Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk

dari berbagai literatur.

1.5 Manfaat Penulisan

Melalui penulisan referat ini diharapkan bermanfaat untuk informasi dan

pengetahuan tentang anemia hemolitik autoimun pada anak.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Anemia Hemolitik Autoimun (Autoimmune Hemolytic Anemia=AIHA) ialah

suatu anemia yg timbul karena terbentuknya autoantibodi terhadap self antigen pada

membran eritrosit sehingga menimbulkan dekstruksi eritrosit (hemolisis). Reaksi

autoantibodi ini akan menimbulkan anemia, akibat masa edar eritrosit dalam sirkulasi

menjadi lebih pendek.4,5 Anemia disebabkan karena kerusakan eritrosit melebihi

kapasitas sumsum tulang untuk menghasilkan sel eritrosit, sehingga terjadi

peningkatan persentase retikulosit dalam darah. 6,7,8

2.2 Epidemiologi

Umumnya anemia di Indonesia adalah jenis anemia akibat kekurangan zat gizi

tertentu seperti anemia defisiensi besi, anemia defisiensi asam folat, dll. Angka

kejadian jarang di Indonesia, maka AIHA juga tidak terlalu diperhatikan di Indonesia.

Hal ini dapat dibuktikan dengan sedikitnya penelitian di Indonesia tentang AIHA,

padahal AIHA merupakan penyakit yang jika terjadi dan mengenai pada pasien

khususnya anak-anak akan berakibat fatal pada anak tersebut.9

Insidensi AIHA di Amerika Serikat tidak terlalu tinggi, terjadinya AIHA di

Amerika Serikat yaitu 2,6 per 100,000 tiap tahunnya, dengan rata-rata insidensi 3400

orang terkena AIHA di Amerika10. Insiden AIHA di Rumah Sakit Sanglah Denpasar

pada tahun 2005 ditemukan sebanyak 5 orang (2,3%). Perbandingan AIHA pada pria

dan wanita memiliki frekuensi yang sama yaitu 1:1 11.

3
2.3 Etiologi

AIHA terjadi akibat hilangnya toleransi tubuh terhadap self antigen sehingga

menimbulkan respon imun terhadap self antigen. Antibodi yang bereaksi terhadap

self antigen menyebabkan kerusakan pada jaringan dan bermanifestasi sebagai

penyakit autoimun. Antibodi yang terbentuk mengakibatkan peningkatan klirens

dengan fagositosis melalui reseptor (hemolisis ekstravaskuler) atau destruksi eritrosit

yang diperantarai oleh komplemen (hemolisis intravaskuler).19

Etiologi AIHA terbagi 2 yaitu:

1. Idiopatik

a. Anemia autoimun tipe hangat

b. Anemia autoimun tipe dingin

2. Sekunder

a. Infeksi

virus: Virus Epstein–Barr (EBV), sitomegalovirus (CMV), hepatitis, herpes

simplex, measles, varisela, influenza A, coxsackie virus B, human

immunodeficiency virus (HIV)

bakteri : streptokokus, salmonella typhi, septikemia Esceria coli,

Mycoplasma pneumonia (pneumonia atipikal)

b. Obat-obatan dan bahan kimia : kuinine, kuinidin, fenacetin, p-asam

aminosalisilat, sodium cefalotin (Keflin), ceftriakson, penisilin, tetrasiklin,

rifampisin, sulfonamid, khlorpromazin, pyradon, dipyron, insulin

4
c. Kelainan darah: leukemia, limfoma, sindrom limfoproliferatif,

hemoglobinuria paroksismal cold, hemoglobinuria paroksismal nokturnal

d. Gangguan Immunologi: sistemik lupus eritematosus, periarteritis nodosa,

skleroderma, dermatomiositis, artritis reumatik, kolitis ulseratif,

disgammaglobulinemia, defisiensi IgA, kelainan tiroid, hepatitis giant cell,

sindrom limfoproliferatif autoimun, dan variasi defisiensi imun lainnya.

e. Tumor: timoma, karsinoma, limfoma

2.4 Klasifikasi

AIHA dibedakan menjadi 2 kelompok menurut karakteristik klinis dan

serologis19, seperti yang tercantum pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Karakteristik AIHA

Karakteristik Warm AIHA Cold AIHA

Isotipe antibodi Ig G, jarang Ig A, Ig M Ig M

Antigen spesifitas Multiple, Rh primer i/L, P

Hemolisis Terutama ekstravaskuler Terutama intravaskular

Direct antiglobulin test Ig G C3

2.5 Patogenesis

Kerusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi

melalui sistem kompemen, aktivasi mekanisme selular, atau kombinasi

keduanya12.

5
a. Aktivasi Sistem Komplemen

Secara keseluruhan aktivasi sistem komplemen akan menyababkan

hancurnya membran sel eritosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler yang

ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria13.

Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun melalui

jalur alternatif. Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur

klasik adalah IgM, IgG1, IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai aglutinin tipe dingin

sebab antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel

darah merah dibawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena

bereaksi dengan antigen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh12,14.

b. Aktivasi Komplemen Jalur Klasik

Reaksi diawali dengan aktivasi C1 suatu protein yang dikenal sebagai

recognition unit. C1 akan berikatan dengan kompleks imun antigen antibodi dan

menjadi aktif serta mampu mengkatalisis reaksi-reaksi pada jalur klasik.

Fragmen C1 akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b,2b

(dikenal sebagai C3-convertase). C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen

C3b dan C3a. C3b mengalami perubahan konformational sehingga mampu

berikatan secara kovalen dengan partikel yang mengaktifkan komplemen (sel

darah berlabel antibodi). C3 juga akan membelah menjadi C3d,g dan C3c,C3d,

dan C3g akan tetap berikatan pada membran sel darah merah dan merupakan

produk final aktivasi C3. C3b akan membentuk kompleks C4b,2b menjadi

6
C4b2b3b (C5-convertase). C5-convertase akan memecah C5 menjadi C5a

(anafilatoksin) dan C5b yang berperan dalam kompleks penghancur membran.

Kompleks penghancur membran terdiri dari molekul C5b,C6,C7,C8, dan

beberapa molekul C9. Kompleks ini akan menyisip ke dalam membran sel

sebagai suatu aluran transmembran sehingga permeabilitas membran normal

akan terganggu. Air dan ion akan masuk ke dalam sel sehingga sel membengkak

dan ruptur12,13.

c. Aktivasi Komplemen Jalur Alternatif

Aktivator jalur alternatif akan mengaktifkan C3, dan C3b yang terjadi

akan berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor B kemudian akan

melekat pada C3b, dan oleh D faktor B dipecah menjadi Ba dan Bb. Bb

merupakan suatu protease serin dan tetap melekat pada C3b. Ikatan C3bBb

selanjutnya akan memecah molekul C3 lagi menjadi C3a dan C3b. C5 akan

berikatan dengan C3b dan oleh Bb dipecah menjadi C5a dan C5b. selanjutnya

C5b berperan dalam penghancuran membran.

d. Aktivasi seluler yang menyebabkan hemolisis ekstravaskuler

Jika sel darah disensitisasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan

komplemen atau berikatan dengan komponen komplemen namun tidak terjadi

aktivasi komplemen lebih lanjut, maka sel darah merah tersebut akan

dihancurkan oleh sel-sel retikulo endothelial. Proses immune adheren ini sangat

7
penting bagi perusakan sel eritrosit yang diperantarai sel. Imuno adherens

terutama yang diperantai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis13.

2.6 Gejala Klinis

Gejala dan tanda anemia bergantung pada derajat dan kecepatan

terjadinya anemia, juga kebutuhan oksigen penderita. Gejala akan lebih ringan

pada anemia yang terjadi perlahan-lahan, karena ada kesempatan bagi mekanisme

homeostatik untuk menyesuaikan dengan berkurangnya kemampuan darah

membawa oksigen. Gejala anemia disebabkan oleh 2 faktor, yaitu berkurangnya

pasokan oksigen ke jaringan dan adanya hipovolemia (pada penderita dengan

perdarahan akut dan masif). Pasokan oksigen dapat dipertahankan pada keadaan

istirahat dengan mekanisme kompensasi peningkatan volume sekuncup, denyut

jantung dan curah jantung pada kadar Hb mencapai 5 g% (Ht 15%). Gejala timbul

bila kadar Hb turun di bawah 5 g% atau ketika terjadi gangguan mekanisme

kompensasi jantung karena penyakit jantung yang mendasarinya.16

Pada anemia hemolitik autoimun tipe hangat, pasien mempunyai gejala

khas anemia yang berkembang secara tersembunyi, meliputi lemah, pusing, lelah,

dan dispnea saat beraktifitas atau gejala lainnya yang kurang khas yaitu demam,

perdarahan, batuk, nyeri perut dan penurunan berat badan. Pada pasien dengan

hemolisis hebat, dapat terjadi ikterik, pucat, edema, urin berwarna gelap

(hemoglobinuria), splenomegali, hepatomegali dan limfadenopati yang

mengiringi anemia. Pada kasus yang lebih akut, dapat mengancam nyawa, hal ini

terkait dengan infeksi virus, terutama pada anak.17

8
Anemia hemolitik autoimun tipe dingin, pasien biasanya mempunyai

gejala anemia hemolitik kronis berupa pucat dan lemah. Keadaan lingkungan

yang dingin dapat mencetuskan serangan, oleh karena itu episode hemolisis akut

dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria lebih sering terjadi di musim dingin.

Darah lebih mudah terpengaruh suhu pada ekstremitas, sehingga pasien lebih

sering mengalami akrosianosis (warna kebiru-biruan tanpa rasa sakit pada kedua

tangan dan kaki) saat serangan terjadi.17

2.7 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis AIHA meliputi

pemeriksaan hitung darah lengkap, morfologi darah tepi, pemeriksaan bilirubin,

laktat dehidrogenase (LDH), haptoglobin, urobilinogen urin, dan pemeriksaan

serologi.19

A. pemeriksaan darah lengkap

Kadar hemoglobin yang didapatkan pada AIHA tipe hangat bervariasi

dari normal sampai sangat rendah. Kadar hemoglobin pada AIHA tipe dingin

jarang ditemukan <7gr/dl. Jumlah retikulosit dapat meningkat sedangkan

jumlah leukosit bervariasi dan jumlah trombosit umumnya normal.12

B. Morfologi darah tepi

Hasil pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan anisositosis,

polikromasi, sferositosis, fragmentosit, dan eritrosit berinti.22 Polikromasi

menunjukkan peningkatan retikulosit yang diproduksi sumsum tulang.

Sferositosis dapat terjadi pada proses hemolitik pada anemia hemolitik sedang

sampai berat.12

9
C. Pemeriksaan bilirubin, haptoglobin, urobilinogen, dan Laktat dehidrogenase

(LDH)

Hemolisis ekstravaskuler terjadi pada AIHA tipe hangat dan

didapatkan peningkatan bilirubin indirek dan urobilinogen. Hemolisis

ekstravaskuler terjadi melalui proses fagositosis eritrosit oleh sistem

retikuloendotelial yang menyebabkan eritrosit lisis dan hemoglobin dipecah

menjadi heme dan globin oleh lisosom. Globin dihidrolisis menjadi asam

amino. Heme kemudian menjadi besi dan protoporfirin yang terdiri dari

biliverdin dan karbonmonoksida. Biliverdin yang terikat dengan albumin

merupakan bilirubin yang tidak terkonjugasi di dalam darah. Bilirubin yang

tidak terkonjugasi/indirek masuk ke hepar dan menjadi bilirubin

terkonjugasi/direk. Bilirubin direk dirubah menjadi urobilinogen yang

diekskresikan melalui tinja. Bilirubin yang direasorpsi di ginjal dirubah

urobilinogen urin.8

Hemolisis intravaskuler terjadi pada AIHA tipe dingin yang

menyebabkan penurunan kadar haptoglobin.20 Hemolisis intravaskuler

menimbulkan destruksi pada eritrosit sehingga hemoglobin berikatan dengan

haptoglobin menjadi haptoglobin hemoglobin sehingga kadar haptoglobin

menurun. Kompleks haptoglobin hemoglobin dimetabolisme menjadi

bilirubin.8

10
D. Pemeriksaan serologi

Pemeriksaan yang diperlukan adalah direct antiglobulin test (DAT)

yang menggunakan Ig G dan C3d. Sel eritrosit pasien AIHA dengan reagen

anti globulin yang dicampurkan akan menyebabkan terjadinya reaksi

aglutinasi. Hal ini menandakan adanya Ig G dan C3d pada permukaan eritrosit

pasien.22

Gambar : pemeriksaan Direct Antiglobulin (Coombs) test

2.8 Diagnosa Banding

Anemia hemolitik merupakan kelainan dekstruksi sel darah merah,

yang terbagi atas 2 tipe yaitu didapat dan herediter. Tipe didapat terbagi

menjadi immune-mediated, mikroangiopati dan infeksi. Immune-mediated

diperantarai adanya reaksi antigen-antibodi pada permukaan sel darah merah.

Dari pemeriksaan akan didapatkan sferosit dan DAT positif. Pengobatan

penyakit ini dapat dengan cara obati penyakit yang mendasarinya, hentikan

penggunakan obat-obatan penyebab, dan pemberian steroid, splenektomi,

gamma globulin IV, plasmaferesis, agen sitotoksik, atau danazol (danocrine).

11
Mikroangiopati diperantarai adanya mekaninsme gangguan eritrosit di

sirkulasi. Dari pemeriksaan akan didapatkan schistocytes. Pengobatan

penyakit ini dengan cara obati penyakit dasarnya. Sementara itu, infeksi

diperantarai oleh penyakit malaria dan infeksi clostridium. Pemeriksaan yang

dibutuhkan antara lain kultur darah, apusan darah tepi dan serologi.

Pengobatan penyakit ini dengan cara pemberian antibiotik17,20.

Sementara itu, tipe herediter terbagi menjadi enzimopati,

membranopati dan hemoglobinopati. Enzimopati terjadi pada penyakit

defisiensi G6PD. Hal ini dapat dipicu oleh adanya infeksi dan pengaruh obat-

obatan. Pada pemeriksan akan didapatkan rendahnya aktivitas enzim G6PD.

Penyakit ini dapat diobati dengan hentikan obat-obatan dan obati penyakit

pemicunya. Membranopati terjadi pada sferositosis herediter. Pada

pemeriksaan akan didapatkan adanya sferosit, adanya riwayat keluarga dan

DAT negatif. Pengobatan penyakit ini dapat berupa splenektomi pada kasus

yang sedang sampai berat. Hemoglobinopati terjadi pada talasemia dan

penyakit sickle cell. Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain dengan

elektroforesis hemoglobin dan pemeriksaan genetik. Penyakit ini dapat dobati

dengan pemberian asam folat dan tranfusi 17,20.

2.9 Tatalaksana

Autoimmune Hemolytic Anemia dibagi dua golongan yaitu AIHA yang

diperantarai oleh antibodi IgG disebut sebagai AIHA tipe hangat yang

berikatan pada temperatur 37oC sedangkan AIHA tipe dingin di perantarai

12
oleh antibodi IgM yang berikatan maksimal pada temperatur dibawah 320C.4

Alur pengobatan terhadap AIHA berbeda tergantung pada tipe AIHA nya.

Secara umum tujuan pengobatan pada AIHA adalah untuk mengembalikan

hematologis normal, mengurangi proses hemolitik, dan menghilangkan gejala

dengan efek samping minimal.5 Transfusi darah biasanya hanya digunakan

untuk kepentingan sementara tapi mungkin diperlukan diawal sebagai upaya

untuk mengatasi anemia berat sampai terlihat efek dari pengobatan yang lain.6

Pasien biasanya ditransfusi dengan menggunakan packed red cell jika Hb < 7

g/dL.2

2.9.1 Pengobatan pada AIHA tipe panas

Kortikosteroid dosis tinggi merupakan obat pilihan utama untuk AIHA

tipe panas. Steroid bekerja memblok fungsi makrofag dan menurunkan

sintesis antibodi.4 Prednison diberikan secara oral 2-4mg/kgBB/hari dalam 2-

3 dosis selama 2-4 minggu kemudian dilakukan tappering off dalam 2-6

minggu berikutnya. Jika respon pengobatan tidak baik, dosis prednison

ditingkatkan menjadi 30 mg/kgBB/hari secara intravena selama 3 hari.2 Pada

beberapa pasien dengan hemolisis yang berat maka dosis prednison dapat

ditingkatkan menjadi 6 mg/kgBB/hari dengan tujuan untuk mengurangi

tingkat hemolisisnya. Pengobatan tetap dilanjutkan sampai didapatkan

penurunan hemolisis, kemudian dosis obat diturunkan secara bertahap. Jika

relaps terjadi, maka diberikan dosis awal kembali.6 Pasien dikatakan respon

terhadap pengobatan dengan steroid akan memperlihatkan peningkatan

13
hemoglobin atau hemoglobin yang stabil serta penurunan kadar retikulosit

setelah dua minggu pengobatan.2

Anemia hemolitik yang tetap berat meskipun telah diobati dengan

kortikosteroid atau anemia hemolitik yang memerlukan dosis obat yang tinggi

untuk mencapai hemoglobin yang normal, maka dapat dipertimbangkan

pemberian immunoglobulin intravena dan danazol.2 Obat immunosuppresif

termasuk pengobatan baru seperti rituximab dengan dosis 375mg/m2 dapat

diberikan sebagai pengobatan lini kedua pada pasien yang tidak memberi

respon terhadap pengobatan dengan steroid, pasien dengan steroid-dependent,

pasien relaps, ataupun pasien AIHA kronik.2,5

Pasien yang tidak responsif terhadap pemberian kortikosteroid

dianjurkan untuk dilakukan splenektomi.5 Splenektomi juga dapat dilakukan

pada pasien AIHA kronik. AIHA dikatakan kronik jika gejala dan hasil

laboratorium yang abnormal tetap ditemukan selama > 6 bulan, akan tetapi

splenektomi dapat menyebabkan peningkatan risiko infeksi (sepsis), terutama

pada anak yang berumur < 2 tahun.2 Persiapan yang dilakukan sebelum

splenektomi adalah pemberian profilaksis dianjurkan dengan vaksin yang

sesuai ( pneumococcal, meningococcal, dan Haemophilus influenza type b)

dan pemberian penisilin secara oral setelah splenektomi dilakukan.6

2.9.2 AIHA tipe dingin

AIHA tipe dingin lebih jarang ditemukan pada anak-anak dibanding

dewasa. Penggunaan kortikosteroid pada AIHA tipe dingin kurang efektif

dibandingkan pada AIHA tipe panas. Penderita dianjurkan untuk menghindari

14
paparan terhadap udara dingin yang dapat memicu terjadinya hemolisis dan

jika penyebab mendasari dapat diidentifikasi, maka penyebab tersebut harus

diatasi. Pada beberapa pasien dengan hemolisis berat, pengobatan termasuk

immunosupresan dan plasmaferesis. Beberapa penelitian sebelumnya

menyatakan keberhasilan pengobatan AIHA tipe dingin dengan menggunakan

monoclonal antibodi yaitu rituximab dengan dosis 375mg/m2. Splenektomi

tidak banyak membantu pada AIHA tipe ini. 6

2.10 Komplikasi

2.10.1 Tromboemboli

Menurut Allgood dkk, pada pasien AIHA penyebab kematian yang

paling sering adalah emboli paru (4 dari 47 pasien). Semua pasien ini

mendapatkan terapi kortikosteroid dan splenektomi. Pada penelitian yang

dilakukan oleh Pullarkat dkk, 8 dari 30 pasien (27%) mengalami episode

tromboemboli vena. Faktor yang berperan dalam trombosis pada AIHA

adalah cytokine-induced expression of monocyte atau faktor endothelial

tissue. Hoffman (2009) berpendapat bahwa antikoagulan lupus yang

terdeteksi pada pasien AIHA berisiko tinggi untuk terjadinya tromboemboli

vena dan pasien sebaiknya diberikan antikoagulan untuk profilaksis.

Penelitian yang dilakukan Kokori dkk pada pasien AIHA dengan sistemik

lupus erythematosus ditemukan risiko trombosis meningkat lebih dari 4 kali

lipat.24

Pada penelitian yang dilakukan oleh Hendrick, disimpulkan bahwa

pasien AIHA memiliki risiko tromboemboli yang cukup tinggi. Dia meneliti

15
pada 23 pasien dengan AIHA tipe hangat, didapatkan 6 pasien mengalami

tromboemboli vena, dan 5 diantaranya cukup fatal.24

2.10.2 Kelainan limfoproliferatif

Pasien dengan kelainan limfoproliferatif dapat berkembang menjadi

AIHA. Begitu juga sebaliknya, pada pasien AIHA terjadi peningkatan risiko

kelainan limfoproliferatif. Sallah, dkk. melaporkan 18% pasien AIHA

berkembang menjadi kelainan limfoproliferatif maligna. Faktor risiko

perkembangan AIHA menjadi keganasan limfoproliferatif adalah usia,

adanya penyebab penyakit autoimun, dan serum gammophaty.

Perkembangan menjadi keganasan lymphoid membutuhkan proses yang

bertahap, pada fase awal proliferasi termasuk stimulasi antigen kronik

hingga terjadinya mutasi yang menyebabkan perubahan menjadi keganasan.

Analisis terakhir ditemukan peningkatan sel T limfoma dan zona marginal

limfoma, serta ditemukan juga peningkatan sel B limfoma non Hodgkin 2-3

kali lipat, khususnya tipe diffuse large cell limfoma.24

2.11 Prognosis

Prognosis anemia hemolitik autoimun pada anak-anak biasanya baik

kecuali yang diikuti penyakit penyerta (misalnya, imunodefisiensi kongenital,

acquired immunodeficiency syndrome [AIDS], lupus erythematosus)6. Secara

umum, anak-anak dengan anemia hemolitik autoimun tipe hangat berisiko

tinggi untuk menderita penyakit yang lebih parah dan kronis dengan mortalitas

yang lebih tinggi. Pasien anemia hemolitik autoimun tipe dingin lebih sering

bersifat akut, self-limited (<3 bulan). Anemia hemolitik autoimun tipe dingin

16
hampir selalu berhubungan dengan infeksi (misalnya, infeksi Mycoplasma,

CMV, dan EBV)5. Lebih dari 80% anak dengan anemia hemolitik autoimun

sembuh spontan4.

17
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Anemia Hemolitik Autoimun (Autoimmune Hemolytic Anemia=AIHA) ialah

anemia yang timbul akibat terbentuknya autoantibodi terhadap self antigen pada

membran eritrosit sehingga menimbulkan dekstruksi eritrosit (hemolisis). Anemia

disebabkan karena kerusakan eritrosit melebihi kapasitas sumsum untuk

menghasilkan sel eritrosit. Anemia hemolitik autoimun biasanya merupakan proses

autoimun akut yang berkembang setelah infeksi (Mycoplasma, Epstein-Barr, atau

infeksi virus lainnya), akibat suatu penyakit autoimun kronis (lupus eritematosus

sistemik, gangguan limfoproliferatif, atau immunodefisiensi) dan neoplasma.

Anemia hemolitik autoimun terdiri dari dua tipe yaitu anemia hemolitik

autoimun tipe hangat ( warm antibody AIHA) yang lebih aktif pada suhu 370C dan

ditemukan peningkatan kadar IgG dan anemia hemolitik autoimun tipe dingin ( cold

antibody AIHA) yang lebih aktif pada suhu dingin (320 C).

Anemia hemolitik autoimun (AIHA) ini terjadi akibat destruksi eritrosit yang

melalui hemolisis ekstravaskuler dan intravaskuler. Pada AIHA tipe hangat

melibatkan proses hemolisis ekstravaskuler dan pada AIHA tipe dingin melibatkan

hemolisis intravaskuler. Derajat penurunan hemoglobin dapat bervariasi dari ringan

sampai sedang. Penurunan hemoblobin dapat terjadi perlahan-lahan, tetapi seringkali

sangat cepat (lebih dari 2g/dl dalam 1minggu).

18
Pada AIHA tipe hangat, eritrosit yang diselimuti IgG atau komplemen

difagosit oleh makrofag dalam lien dan hati sehingga terjadi hemolisis ekstravaskuler.

Adapun hemolisis ekstravaskuler terjadi pada sel makrofag dari sistem

retikuloendothelial (RES) terutama pada lien,hepar dan sumsum tulang karena sel ini

mengandung enzim heme oxygenase. Lisis ini terjadi karena kerusakan membran

(akibat reaksi antigen antibodi). Eritrosit yang pecah akan menghasilkan globulin

dan besi.

Pada AIHA tipe dingin autoantibodi IgM mengikat antigen membran eritrosit

dan membawa C1q ketika melewati bagian yang dingin,kemudian terbentuk

kompleks penyerang membran,yaitu suatu kompleks komplemen yang terdiri dari

C56789.Kompleks penyerang ini menimbulkan kerusakan membran eritrosit,apabila

terjadi kerusakan membran yang hebat akan terjadi hemolisis intravaskuler. Jika

kerusakan minimal terjadi pagositosis oleh makrofag dalam RES sehingga terjadi

hemolisis ekstravaskuler.

Gejala dan tanda anemia bergantung pada derajat dan kecepatan terjadinya

anemia, juga kebutuhan oksigen penderita. Gejala akan lebih ringan pada anemia

yang terjadi perlahan-lahan, karena ada kesempatan bagi mekanisme homeostatik

untuk menyesuaikan dengan berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen.

Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis AIHA meliputi

pemeriksaan hitung darah lengkap, morfologi darah tepi, pemeriksaan bilirubin, laktat

dehidrogenase (LDH), haptoglobin, urobilinogen urin, dan pemeriksaan serologi.

19
Pengobatan terhadap AIHA berbeda tergantung pada tipe AIHA nya. Secara

umum tujuan pengobatan pada AIHA adalah untuk mengembalikan hematologis

normal, mengurangi proses hemolitik, dan menghilangkan gejala dengan efek

samping minimal. Transfusi darah biasanya hanya digunakan untuk kepentingan

sementara tapi mungkin diperlukan diawal sebagai upaya untuk mengatasi anemia

berat sampai terlihat efek dari pengobatan yang lain. Pasien biasanya ditransfusi

dengan menggunakan packed red cell jika Hb < 7 g/dL. Kortikosteroid dosis tinggi

merupakan obat pilihan utama untuk AIHA tipe panas. Penggunaan kortikosteroid

pada AIHA tipe dingin kurang efektif dibandingkan pada AIHA tipe panas. Penderita

dianjurkan untuk menghindari paparan terhadap udara dingin yang dapat memicu

terjadinya hemolisis dan jika penyebab mendasari dapat diidentifikai, maka penyebab

tersebut harus diatasi. Pada beberapa pasien dengan hemolisis berat, pengobatan

termasuk immunosupresan dan plasmaferesis.

3.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian mengenai epidemiologi mengenai anemia

autoimun terutama di Indonesia karena masih kurangnya data mengenai

insiden dan prevalensi anemia hemolitik autoimun di Indonesia.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mempergunakan berbagai

literatur lainnya yang berhubungan dengan anemia hemolitik autoimun.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Zanella Alberto dan Wilma Barcellini. 2014. Treatment of Autoimmune

Hemolytic Anemias. Hematologica. 99(10): 1547-1554.

2. Sarper Nazan, Suar Caki Kilic, Emine Zengin, Sema Aylan Gelen.2011.

Management of autoimmune hemolytic anemia in children and adolescents : A

single center experience. Turk J Hematol 28:198-205.

3. Ware, Russel E., Donald H. Mahony and Stephen A. Landlaw. 2012.

Autoimmune Hemolytic Anemia in Children.

4. Robert J. Arceci, Ian M. Hann, Owen. 2006. Pediatric hematology 3rd ed.

Blackwell; Australia. Hal: 151-170.

5. Lange, Appleton. 2007.Current Pediatric Diagnosis & Treatment, Eighteenth

Edition. The McGraw-Hill Companies; United States of America. Chapter 127.

6. I. Kliegman, Behrman, Jenson. 2007. Nelson Textbook of Pediatrics, 18th ed,

Elsevier Science; Philadelphia. Chapter 457.

7. Rudolph, Colin D.; Rudolph, Abraham M, dkk. 2003. Rudolph's Pediatrics,

21st Edition McGraw-Hill. Chapter 19.

8. Lanzkowskys,Philip. 2005. Manual of Pediatric Hematology and Oncology,

Elsevier Science; California. Hal: 136-198.

9. Made IB., 2006. Hematologi Klinik Dasar. Jakarta: Buku kedokteran EGC.

10. Noel R. Rose, Ian R. Mackay. 2000. The Autoimmune Diseases Third Edition

in 1998. Hal 943-944

21
11. Bagus Mudita Ida. 2007. Pola Penyakit Dan Karakteristik Pasien Hemato-

Onkologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Univeritas

Udayana/RS Sanglah Denpasar Periode 2000-2005. Sari Pediatri; Denpasar

12. Parjono elias, Kartika widyanti. 2006. Anemia Hemolitik Autoimun; dalam

Ilmu Penyakit Dalam Ed.IV, Jakarta, FKUI. Hal: 660-662.

13. Marc, M. 2014. Warm Autoimmune hemolytic anemia: Advances in

pathophysiology and treatment. Elsevier Masson SAS.

14. IDAI. 2006. Hematologi-Onkologi Anak. Cetakan kedua. Dalam: Anemia

Hemolitik, Badan Penerbit IDAI. 2006. Hal: 51-57.

15. Sills, RH. 2003. Practical Algorithms in Pediatric Hematology and Oncology.

Switzerland: S.Karger AG

16. Sari,TT dan Ismi CI. 2009. Sferositosis Herediter: Laporan Kasus. Sari

Pediatri, Vol.11 No.4, hal: 298-304

17. Oehadian, Amaylia. 2012. Pendekatan Klinis dan Diagnosis Anemia.

Continuing Medical Education 39 (6): 407- 412.

18. Zeerleder. 2011. Autoimmune haemolytic anemia ( a practical guide to cope

with a diagnostic and therapeutic challenge). Netherlands the journal of

medicine.

19. Friedberg RC and Johari VP, 2009. Autoimmune Hemolytic Anemia , in

Wintrobe’s Clinical Hematology, 12th edition, Wolter Kluwer, pp 956-962.

20. Hilman RS, ZAult KA, Rinder HHM, 2005, Hemolytic Anemias in

Hematology Clinical Practise, Fourth edition, Mc Graw Hill, pp 134-150.

22
21. Kelton JG, Chan H, Heddle N, Whittaker S, 2011, Acquired hemolytic anemia

in Blood and Bone Marrow Pathology, second edition, Elsevier, pp 185-197

22. Permono, Bambang, dkk. 2006. Cetakan kedua. Buku Ajar Hematologi

Onkologi Anak. BAB 2 Anemia, Sub bab Anemia Hemolitik. Jakarta : badan

penerbit IDAI Hal 52-54.

23. Hoffman,PC. 2009. Immune Hemolytic Anemia-Selected Topics. University of

Chicago. American Society of Hematology

24. Dave, Krishna, Diwan. 2012. Evan’s Syndrome Revisited. Journal Association

of Physician India, Vol.60: 60-61

23

Anda mungkin juga menyukai