Anda di halaman 1dari 3

Sejarah psms medan

PSMS Medan pernah sangat ditakuti di blantika sepak bola nasional, khususnya di era Perserikatan.
Diproklamirkan 21 April 1950, tim berjuluk Ayam Kinantan lima kali juara Perserikatan, yakni pada
1967, 1971, 1975 (juara bersama Persija Jakarta), 1983, dan 1985. Tak hanya sederet prestasi,
tentu saja. Tim yang bermarkas di Stadion Teladan, Medan, Sumatera Utara, juga mengentaskan
sederet pemain top yang selain menjadi legenda klub juga berperan besar bagi tim nasional.
Siapa yang tak kenal Parlin Siagian, Nobon, Anjas Asmara, Sarman Panggabean, Tumsila, Ricky
Yacobi, Marzuki Nyakmad, Ponirin, Iwan Karo-Karo, Sunardi A, Sunardi B, Saktiawan Sinaga,
Mahyadi Panggabean, Reswandi, dan Markus Horison?
PSMS tak lahir begitu saja. Dia lahir dari sejarah yang panjang, berliku-liku, bahkan sebelum
Republik Indonesia terbentuk. Pada 1930 berdirilah MSV (Medansche Voetbal Club). Sekelompok
anak-anak muda, dari berbagai kelompok, bermain bola bersama. Seiring berjalannya waktu,
terbentuklah PSMS, Persatuan Sepak Bola Medan Sekitarnya. PSMS memilih daun tembakau
sebagai logo, karena di Medan, kala itu, tumbuh subur tembakau.
Di Indonesia, tak banyak yang mendapat julukan 'kota sepak bola' dan Medan adalah salah satunya,
selain Surabaya, Bandung, Makassar, dan Jakarta. Terbukti, tim-tim inilah yang menjadi langganan
PSMS bertemu di final Perserikatan. Bagi meraka yang berusia di atas 40, masih teringat jelas
bagaimana dahsyatnya final Perserikatan pada 1984. Di final, PSMS bertemu Persib Bandung, tim
terkokoh di Jawa Barat.
Pertarungan berlangsung di Stadion Utama Gelora Bung Karno (Stadion Utama Senayan). Laga
menyedot ribuan pendukung kedua tim. Ditaksir, final disaksikan lebih kurang 120 ribu penonton dan
masuk Museum Rekor Indonesia (MuRI) sebagai pertandingan yang menyedot penonton terbanyak
sepanjang sejarah sepak bola dalam negeri. Laga yang berlangsung ketat, yang juga menguras
tenaga, dimenangkan PSMS.
Medan bepesta, Sumatera Utara bergelora. Setahun kemudian, PSMS dengan musuh yang sama di
partai puncak, juga tampil sebagai yang terbaik. Persib saat itu diperkuat sederet pemain top yang
kemudian menjadi legenda tanah Pasundan, di antaranya Ajad Sudrajat, Robby Darwis (kini asisten
pelatih Persib Bandung), Kosasih, Sukowiyono, dan Iwan Sunarya.
"Saya tak akan pernah melupakan pertandingan melawan Persib. Ratusan ribu orang menyaksikan
langsung di stadion, belum lagi jutaan pasang mata melalui televisi. Ketika menang dan menjadi
juara, kami dielu-elukan, bahkan ketika sampai di Bandara Polonia Medan. Saya dan kawan-kawan
merasa seperti pahlawan," kata Sunardi A, saat saya menemuinya di Medan beberapa waktu silam.
Perjalanan PSMS di kancah sepak bola nasional tak melulu mulus. Seiring berjalannya waktu, Ayam
Kinantan kerap dililit persoalan pelik. Konflik internal, di mana keegoan lebih ditonjolkan, PSMS
babak belur dan pelan-pelan tenggelam sonder prestasi.
Pada 1994, era Perserikatan, kompetisi yang sangat dinanti-nanti seluruh rakyat Indonesia, karena
fanatisme daerah dipertaruhkan, berlalu sudah. Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesioa (PSSI)
selaku otorita sepak bola dalam negara melebur Perserikatan dan Galamata (kompetisi profesional
antar klub saat itu) ke dalam satu kompetisi bernama Liga Indonesia.
PSMS tak punya catatan bagus di Liga Indonesia. Tim kebanggaan warga Medan harus menunggu
lama untuk mencicipi posisi bergengsi, yakni pada 2007. Diperkuat trio Sumatera Utara, Mahyadi
Panggabean, Saktiawan Sinaga, dan Markus Horison, PSMS tampil sebagai runner up. Sejak saat
itu, Ayam Kinatan tak lagi nyaring 'berkokok'. Bahkan, fans setia mereka harus menerima
kenyataan, setahun setelah bercokol sebagau runner up Liga Indonesia, PSMS degradasi ke Divisi
Utama.
Kini, PSMS tampil di Indonesia Super League (ISL) 2011/2012. Keikutsertaan mereka di ISL,
kompetisi paling bergengsi di tanah air, punya cerita sendiri, yang mau tidak mau, enak atau tidak,
menjadi bagian dari perjalan sejarah PSMS ke depan. Kepengurusan PSSI di bawah Djohar Arifin
Husin, dengan alasan yang kurang kuat dan akurat, memasukkan enam tim ke kompetisi level satu.
Keenam tim tersebut adalah Bontang FC, Persema Malang, PSM Makassar, Persibo Bojonegoro,
Persebaya, dan PSMS.
Keputusan ini kontan memantik protes klub-klub lain, khususnya anggota ISL. Keputusan Djohar
dituding mencederai semangat fair play dalam sepak bola. Persema, Persibo, dan PSM seyogyanya
tak bisa tampil ke kompetisi level satu karena tengah menjalani sanksi PSSI era Nurdin Halid, terkait
keterlibatan mereka di Liga Prima Indonesia, kompetisi gagasan Arifin Panigoro yang tak diakui
PSSI dan FIFA.
Sementara, Persebaya dan PSMS tak bisa tampil lantaran tak punya prestasi mentereng di Divisi
Utama.
Tim yang bisa tampil ke jenjang selanjutnya adalah tim juara dan peringkat dua Divisi Utama.
Keempat tim yang berhak adalah Persiba Bantul, Persiraja Banda Aceh, Mitra Kutai Kartanegara
dan Persidafon Dafonsoro. Sedangkan Bontang FC tak layak karena mereka degradasi ke Divisi
Utama. Masuknya enam tim tambahan membuat kuota bertambah. Padahal, berdasarkan Kongres
Tahunan PSSI di Bali pada Januari 2011 memutuskan bahwa kompetisi tertinggi hanya boleh diikuti
18 tim.
Klub-klub terbelah, tak terkecuali PSMS: ISL dan IPL. Banyak yang sedih, tak sedikit yang
menangis. PSMS, tim kebanggaan warga Medan itu, tercabik-cabik. "Masyarakat bisa menilai, mana
PSMS asli mana yang palsu. Masyarakat Medan masih mengakui kami. Buktinya, setiap kami
bermain di kandang, stadion selalu penuh. Demikian juga dengan partai tandang. Masyarakat asal
Sumatera Utara menyambut kami dengan dukungan langsung ke stadion," kata Idris, CEO PSMS
yang bermain di ISL. "Kamilah PSMS yang asli," imbuhnya, seraya menatap saya, tatkala saya
menanyakan mana PSMS yang sejati.
Idris hakul yakin, PSMS yang sudah lama terpuruk, bakal bangkit kembali. Selain masih mendapat
dukungan penuh fans, Ayam Kinantan juga membenahi materi pemain, termasuk rencana
pembangunan stadion baru. Stadion Teladan dinilai sudah tak layak lagi menyelenggarakan
pertandingan ISL. "Stadion baru akan dibangun di daerah Helvetia, masih di kota Medan juga.
Akses ke sana juga tak susah, tak sampai satu jam dari Bandara Polonia," kata Idris.
Jalan masih terjal, juga berliku-liku. PSMS tak hanya butuh waktu, materi pemain, dan infrastruktur
yang bagus, tapi juga hati. Satu hati, satu mimpi, satu pergumulan. Tanpa itu, nonsens. Ayo Ayam
Kinantan, berkokoklah lantang!
Prestasi PSMS Medan
Perserikatan
1954: Runner-up
1957: Runner-up
1967: Juara
1971: Juara
1975: Juara
1983: Juara
1985: Juara
1992: Runner-up
Liga Indonesia
1994/1995: Peringkat ke-9 Divisi Utama
Wilayah Barat
1995/1996: Peringkat ke-11 Divisi Utama
Wilayah Barat
1996/1997: Peringkat ke-10 Divisi Utama
Wilayah Tengah
1997/1998: Peringkat ke-1 Divisi Utama
Wilayah Tengah (liga dihentikan)
1998/1999: Semifinalis Divisi Utama (juara Grup A, peringkat ke-2 Grup Q Babak 10 Besar)
1999/2000: Babak Delapan Besar Divisi Utama (peringkat ke-4 Wilayah Barat)
2001: Semi-Final Divisi Utama (juara Wilayah Barat, juara Grup Barat Babak 8 Besar)
2002: Peringkat ke-11 Divisi Utama (degradasi)
2003: Divisi Satu, Peringkat ke-2 (juara Grup A)
2004: Peringkat ke-7 Divisi Utama
2005: Peringkat ke-4 Divisi Utama
2006: Peringkat ke-5 Wilayah 1
2007: Runner-up
2009/10: Peringkat ke-9 Grup 1
Superliga Indonesia
2008/09: Peringkat ke-15 (kalah adu penalti 7-6 dari Persebaya Surabaya dalam laga play-off,
degradasi ke Divisi Utama)
Gelar Lain
2005: Juara Piala Emas Bang Yos II, di final mengalahkan tim asal Singapura Geylang United FC 5-
1.
2005: Juara Piala Emas Bang Yos III, di final mengalahkan Persik Kediri 2-1.
2006: Juara Piala Emas Bang Yos IV, di final mengalahkan PSIS Semarang dengan 4-2 melalui
drama adu penalti dan PSMS dinobatkan sebagai pemilik abadi Piala Emas
Bang Yos.
Piala Indonesia
2005: Semi-Final
2006: Semi-Final
2007: Perempat-Final
2008/09: Perempat-Final
2009/10: tidak berpartisipasi

Anda mungkin juga menyukai