Anda di halaman 1dari 6

Persib 

(atau singkatan dari Persatuan Sepak Bola Indonesia Bandung; Aksara Sunda Baku: ᮕᮦᮁᮞᮤᮘ᮪
ᮘᮔ᮪ᮓᮥᮀ, Pérsib) adalah klub sepak bola Indonesia yang berdiri pada 14 Maret 1933, berbasis
di Bandung, Jawa Barat. Persib saat ini bermain di Liga 1 Indonesia. Julukan mereka adalah Maung
Bandung dan Pangeran Biru.

Sejak jaman Perserikatan permainan Persib Bandung mempunyai ciri khas tersendiri yaitu dalam bahasa
Sunda; tikteuk yaitu permainan kaki ke kaki, mengandalkan kreativitas dan kecepatan penyerangan.

Masa-masa Awal

Sebelum lahirnya Persib Bandung, di Kota Bandung telah berdiri klub sepak bola Bandoeng Inlandsche
Voetbal Bond (BIVB) pada sekitar tahun 1923. BIVB ini merupakan salah satu organisasi perjuangan
kaum nasionalis pada masa itu. Tercatat sebagai Ketua Umum BIVB adalah Mr. Syamsudin yang
kemudian diteruskan oleh R. Atot, putra dari pahlawan nasional Dewi Sartika. Atot juga tercatat sebagai
Komisaris Daerah Jawa Barat yang pertama. BIVB memanfaatkan lapangan Tegallega di
depan tribun pacuan kuda. Tim BIVB ini beberapa kali mengadakan pertandingan di
luar kota seperti Yogyakarta dan Jatinegara, Jakarta.[1]

Pada tanggal 19 April 1930, BIVB bersama dengan VIJ Jakarta, SIVB (Persebaya), MIVB (PPSM Magelang),
MVB (PSM Madiun), VVB (Persis Solo), dan PSM (PSIM Yogyakarta) turut membidani
kelahiran PSSI dalam pertemuan yang diadakan di Societeit Hadiprojo Yogyakarta. BIVB dalam
pertemuan tersebut diwakili oleh Mr. Syamsuddin. Setahun kemudian kompetisi tahunan antar
kota/perserikatan diselenggarakan.

BIVB kemudian menghilang dan muncul dua perkumpulan lain yang juga diwarnai nasionalisme
Indonesia yakni Persatuan Sepak bola Indonesia Bandung (PSIB) dan National Voetball Bond (NVB). Pada
tanggal 14 Maret 1933, kedua perkumpulan itu sepakat melakukan fusi dan lahirlah perkumpulan yang
bernama Persib yang kemudian memilih Anwar St. Pamoentjak sebagai Ketua Umum. Klub-klub yang
bergabung ke dalam Persib adalah SIAP, Soenda, Singgalang, Diana, Matahari, OVU, RAN, HBOM, JOP,
MALTA, dan Merapi.[1]

1930-1994 : Era Perserikatan

Diawal keikutsertaanya di kompetisi ini pada tahun 1933, Persib dikalahkan oleh VIJ Jakarta. kemudian
baru pada tahun 1937 Persib berhasil meraih juara setelah mengalahkan Persis Solo di pertandingan
final di Stadion Sriwedari dengan skor 2-1.[butuh rujukan] Kemudian di tahun-tahun berikutnya Persib gagal
mempertahankan gelar dan hanya berhasil menjadi juara 3 pada kompetisi tahun 1939.[butuh rujukan]

Dekade 1940an

Memasuki awal dekade 40-an, situasi politik dalam negeri ketika itu mengganggu jalannya Kompetisi
Perserikatan. Saat itu, kompetisi hanya bisa digelar pada tahun 1941, 1942, 1943. Pada
tahun 1941 Bandung menjadi tuan rumah kompetisi perserikatan, tetapi Persib tidak mampu mencapai
hasil yang maksimal.[butuh rujukan]

Di era pendudukan Jepang, pemerintahan kolonial membredel seluruh perkumpulan sepak bola yang
ada di tanah air, termasuk PSSI. Pemerintah Kolonial Jepang pun mendirikan perkumpulan baru yang
menaungi kegiatan olahraga ketika itu, yakni Rengo Tai Iku Kai.
Dekade 1950an

Pada dekade 50-an, prestasi Persib tidak begitu mencuat. Tahun 1950, Persib hanya menjadi runner-
up dalam kejuaraan yang bersamaan dengan Kongres PSSI di Semarang. Persib gagal tampil sebagai
juara setelah dikalahkan Persebaya di final, padahal skuat Persib saat itu diisi beberapa pemain timnas
proyeksi Asian Games 1951 seperti Anas dan Aang Witarsa.[1]

Setelah hanya mampu menempati peringkat ketiga pada


tahun 1952 di Surabaya, 1954 di Jakarta dan 1957 di Padang, Persib mulai menggeliat pada tahun 1959.
Sayang, Persib gagal menjadi juara ketika pada pertandingan terakhir dikalahkan PSM Makassar 1-2 di
Lapangan Ikada, Jakarta.[2]

Pada dekade ini, Persib mengalami periode-periode penting dimana walikota Bandung saat itu R.
Enoch membangun kantor sekretariat untuk Persib di Cilentah. Sebelum akhirnya atas upaya R.
Soendoro, Persib berhasil memiliki sekretariat Persib yang sampai sekarang berada di Jalan Gurame.[butuh
rujukan]

Dekade 1960an

Pada musim kompetisi 1961, Persib berhasil menjuarai Kompetisi Perserikatan setelah memperoleh poin
tertinggi di putaran final yang diikuti 7 kontestan.[3][1] Tetapi setelah itu di tahun-tahun berikutnya
prestasi Persib kembali melorot dan gagal mempertahankan gelar pada Kompetisi Perserikatan 1964
dan 1965 di Jakarta.[1]

Dekade 1970an

Memasuki dekade 1970-an, tidak ada prestasi yang dicatatkan oleh Persib. Meskipun tidak meraih
prestasi di kompetisi mayor, tetapi Persib masih berprestasi di kompetisi atau turnamen-turnamen
seperti Surya Cup (Surabaya) 1978, Yusuf Cup (Makasar) dan Tugu Muda (Semarang), diketiga turnamen
tersebut Persib mampu tampil sebagai juara.[butuh rujukan]

Dekade 1980an

Setelah berjuang dari tingkat zona, wilayah dan nasional, dengan materi pemain di antaranya
Sobur, Adeng Hudaya, Suryamin, Encas Tonif, dan Iwan Sunarya, pada tahun 1980 Persib akhirnya
kembali ke Divisi Utama bersama PSIS Semarang, Persema Malang dan PSP Padang untuk melengkapi 6
tim lain di Divisi Utama yaitu Persija Jakarta, PSMS Medan, Persipura Jayapura, PSM
Makassar, Persebaya Surabaya dan Persiraja Banda Aceh.

Setelah kembali ke Divisi Utama pada Kompetisi Perserikatan 1983, Persib langsung unjuk gigi. Meski
pada putaran pertama Wilayah Barat di Stadion Imam Bonjol, Padang, hanya mencatat sekali
kemenangan atas PSP Padang 2-1 (sisanya kalah 1-2 dari PSMS serta bermain imbang 2-2 dengan PSMS
dan 0-0 dengan Persija), Persib memastikan diri lolos ke babak “4 Besar”, setelah mencetak 3
kemenangan dan sekali imbang di putaran kedua di Stadion Siliwangi.

Pada pertandingan pertama, gol-gol yang disumbangkan Adeng Hudaya (30), Wolter Sulu (52), Encas
Tonif (66) dan Bambang Sukowiyono (72) mengantarkan Persib meraih kemenangan 4-0 atas Persiraja.
Selanjutnya, PSP dibabat 5-0 lewat hattrick Adjat Sudradjat pada menit 18, 38 dan 55, serta gol
tambahan dari Bambang Sukowiyono (8) dan Robby Darwis (68). PSMS yang akhirnya tampil sebagai
juara Wilayah Barat juga ditaklukan dengan skor 3-1 melalui gol Bambang Sukowiyono (12-pen.) dan dua
gol Adjat Sudradjat pada menit 22 dan 66. Pada partai pamungkas Wilayah Barat, Persib bermain
imbang tanpa gol dengan Persija.

Di babak “4 Besar” yang berlangsung di Stadion Utama Senayan, Persib dan PSMS bergabung dengan
dua wakil Wilayah Timur, Persebaya Surabaya dan PSM Makassar. Persib akhirnya lolos ke grandfinal
setelah mengalahkan Persebaya 2-1 lewat gol Wawan Karnawan (40) dan Wolter Sulu (60); kembali
membekap PSMS 2-1 melalui dua gol yang diborong Adjat Sudradjat dan menghancurkan PSM Makassar
3-0 lewat gol Djafar Sidik (10), Yana Rodiana dan Bambang Sukowiyono (74).

Persib dikenal bersaing ketat dengan PSMS Medan dalam perebutan gelar juara Perserikatan.
Pertemuan mereka yang pertama di laga pamungkas Perserikatan terjadi pada tahun 1983. Tiada gol
tercipta pada 90 menit pertandingan dan tambahan waktu, namun PSMS mampu mengalahkan Persib
dengan keunggulan 3-2. Final tahun 1985 yang dihelat di Stadion Utama Gelora Bung Karno, yang saat
itu masih bernama Stadion Senayan pada 23 Februari 1985 dikenang sebagai partai yang ditonton
150.000 orang, catatan yang hingga kini belum dapat tersaingi.[4] Persib kembali ditekuk PSMS lewat adu
penalti lagi-lagi yang berakhir 3-2 setelah skor 2-2 hingga akhir perpanjangan waktu laga itu.[5]

Dua kegagalan pada musim 1982/1983 dan 1983/1984, tidak membuat Persib patah arang. Pada
tahun 1986, Adeng Hudaya dan kawan-kawan akhirnya bisa meraih Piala Presiden di Bandung setelah di
final mengalahkan Perseman Manokwari 1-0 lewat gol tunggal Djadjang Nurdjaman.[6]

Para pemain yang sukses mengakhiri penantian panjang Persib selama seperempat abad itu sebagian
besar merupakan hasil binaan Marek Janota. Ketika itu skuat Persib dihuni Sobur, Boyke Adam, Wawan
Hermawan (penjaga gawang), Wawan Karnawan, Ade Mulyono, Suryamin, Ujang Mulyana, Sarjono,
Adeng Hudaya, Robby Darwis, Yoce Roni, Kornelis, Ajid Hermawan, Ajat Sudradjat, Yana Rodiana, Sam
Triawan, Iwan Sunarya, Dede Rosadi, Djadjang Nurdjaman, Bambang Sukowiyono, Suhendar, Kosasih
dan Djafar Sidik. Pemain-pemain berbakat itu ditangani pelatih Nandar Iskandar.

Piala Presiden gagal dipertahankan Persib pada musim berikutnya, 1986/1987. Setelah lolos ke babak “6
Besar”, Persib tidak lolos ke grand final karena hanya berada di peringkat ketiga klasemen akhir. Nilai
yang dikumpulkan Persib yaitu 6, hasil sekali menang dan 4 kali seri, sebenarnya sama dengan PSIS
Semarang. Namun, karena buruknya produktivitas gol, Persib harus memberikan tempat di grandfinal
kepada PSIS yang akhirnya tampil sebagai juara dengan mengalahkan Persebaya 1-0. Dari 5
pertandingan yang dimainkan, Persib hanya mencetak dua gol melalui Adjat Sudradjat ketika bermain
imbang 1-1 dengan Persipura dan Adeng Hudaya saat mengalahkan PSIS 1-0.

Tahun 1986, usai Persib memuncaki kompetisi Perserikatan Divisi Utama, Piala Sultan Hassanal Bolkiah
berhasil dibawa pulang ke Bumi Pajajaran. Di partai final, Persib yang mendapat tenaga tambahan dari
libero terbaik Indonesia saat itu Herry Kiswanto, mengalahkan tim nasional Malaysia. Gol kemenangan
jagoan Bandung dilesakan Yusuf Bachtiar, yang kemudian melegenda sebagai dirijen utama Persib di Liga
Indonesia.

“Kita bisa menjadi juara di Piala Sultan Hassanal Bolkiah karena Persib memang sedang di puncak
prestasi. Dan memenuhi pra syarat sebagai tim juara. Di semua lini permainan tidak ada sama sekali
celah yang bisa mengandaskan impian kami dalam mengibarkan sepak bola prestasi. Teknis dan non
teknis jempolan. Tidak ada sama sekali ganjalan untuk menjadi the champion. Juara memang tinggal
menunggu waktu saja,”

Bambang Sukowiyono (1986)

Persib menerima kunjungan klub Belanda PSV Eindhoven pada 11 Juni 1987 di Stadion Siliwangi dalam
sebuah laga persahabatan. Klub yang nantinya akan menjuarai Piala Champions 1987-88 itu
memenangkan laga dengan skor 6-0 dengan gol dari Rene van der Gijp (menit 8), hattrick Eric
Viscaal ('15, '40, '51) dan Jurrie Koolhof ('58, '63).[7][8][9]

Pada musim berikutnya, 1987/1988, Persib mencatat hasil serupa. Ketika itu, Persib kalah bersaing
dengan Persebaya yang akhirnya tampil sebagai juara dan Persija. Namun, pada musim 1989/1990,
Persib kembali unjuk gigi. Di bawah besutan pelatih Ade Dana dan dua asistennya Dede Rusli dan Indra
M. Thohir, Persib tampil sebagai kampiun setelah pada babak grand final di Stadion Utama Senayan
mengalahkan PSM Makassar 2-0 lewat gol bunuh diri Subangkit dan Dede Rosadi.[10]

Dekade 1990an

Mengawali dekade 90-an, Persib mengawali Kompetisi Perserikatan dengan kegagalan. Namun, setelah
lolos dari babak reguler Wilayah Barat ke babak “6 Besar” bersama PSMS dan PSDS Deli Serdang, Persib
masih sempat lolos ke semifinal berkat kemenangan 2-1 atas Persebaya lewat gol Kekey Zakaria menit
ke-7 dan Robby Darwis menit 30 dan menjinakkan PSDS 1-0 melalui gol tunggal Dede Rosadi pada menit
62. Namun, di semifinal, Persib harus mengakui keunggulan PSM Makassar 1-2. Gol Robby Darwis
melalui titik penalti pada menit 65 tidak mampu menyelamatkan Persib karena PSM mampu mencetak
dua gol melalui Alimudin Usman pada menit 54 lewat titik penalti dan Kaharudin menit 79.

Kegagalan Persib makin lengkap ketika pada pertandingan perebutan tempat ketiga pun dikalahkan
Persebaya 1-2. Bagi Persib, peringkat keempat ini menjadi prestasi terburuk sejak kebangkitan di awal
dekade 80-an.

Persib kembali jadi kampiun disertai catatan sejarah, karena musim 1993/1994 merupakan Kompetisi
Perserikatan terakhir, sebelum dilebur menjadi Liga Indonesia (LI) pada musim 1994/1995. Persib
berhasil membumikan Piala Presiden di Bandung untuk selamanya, setelah di final menjungkalkan PSM
Makassar 2-0 pada tanggal 17 April 1994.[10] Dua gol kemenangan Persib pada partai final yang
disaksikan lebih dari 100.000 penonton itu dicetak Yudi Guntara menit ke-26 dan Sutiono Lamso menit
71. Pada partai final itu, pelatih Indra M. Thohir yang didampingi Asisten Pelatih Djadjang Nurdjaman
dan Emen Suwarman menurunkan formasi terbaiknya yaitu Aris Rinaldi (kiper); Robby Darwis, Roy
Darwis, Yadi Mulyadi (belakang); Dede Iskandar, Nandang Kurnaedi, Asep Kustiana, Yusuf Bachtiar, Yudi
Guntara (gelandang), Kekey Zakaria, dan Sutiono Lamso (striker).[11]

1994-2007: Bergulirnya Liga Indonesia

Sebuah catatan sejarah dibuat PSSI pada pertengahan dekade 90-an. Setelah bertahun-tahun terjadi
dualisme kompetisi yaitu Perserikatan (amatir) dan Galatama (semiprofesional), mulai musim 1994-
1995, PSSI memutuskan menggabungkan kedua kompetisi sepak bola di tanah air tersebut dan
membuka keran bagi pemain asing. Sebanyak 34 tim, terdiri dari 16 eks Galatama dan 18 eks
Perserikatan, tampil dalam kompetisi Liga Indonesia (LI).
Ke-34 peserta dibagi ke dalam dua wilayah, Barat dan Timur. Di Wilayah Barat bercokol Arseto Solo,
Bandung Raya, BPD Jateng, Mataram Putra, Medan Jaya, Pelita Jaya Jakarta, Persib Bandung, Persija
Jakarta, Persijatim Jakarta Timur, Persiku Kudus, Persiraja Banda Aceh, Persita Tangerang, PS Bengkulu,
PSDS Deli Serdang, PSMS Medan, Semen Padang, dan Warna Agung. Sedangkan di Wilayah Timur, ada
Arema Malang, Assyabaab Salim Grup Surabaya (ASGS), Barito Putra, Gelora Dewata, Mitra Surabaya,
Persebaya Surabaya, Persegres Gresik, Persema Malang, Persiba Balikpapan, Persipura Jayapura,
Petrokimia Putra Gresik, PSIM Yogyakarta, PSIR Rembang, PSIS Semarang, PSM Makassar, Pupuk Kaltim
Bontang, dan Putra Samarinda.

17 tim yang berada di masing-masing wilayah harus bertarung secara reguler dalam 32
pertandingan home and away. Empat tim teratas berhak lolos ke babak “8 Besar”, dan dua tim terbawah
di masing-masing wilayah degradasi ke Divisi I.

Liga Indonesia/1994-95

Kendati keran pemain asing sudah dibuka lebar-lebar oleh PSSI, namun Persib tetap mengandalkan
pemain lokal pada LI I/1994-95. Meskipun demikian, dominasi Persib yang sudah dipancangkan sejak
pertengahan dekade 80-an, belum tergoyahkan.

Persib memulai kompetisi dengan hasil buruk. Pada partai pembuka, Persib dikalahkan Pelita Jaya 0-1
melalui gol tunggal pemain asing asal Yugoslavia (sekarang Serbia), Dejan Gluscevic.Di babak reguler,
dengan mengalami tiga kekalahan, Persib pun hanya lolos ke babak “8 Besar” sebagai runner-up di
bawah Pelita Jaya. Setelah lolos ke Senayan, Persib membuka pertandingan Grup B, 20 Juli 1995, dengan
hasil imbang tanpa gol dengan Petrokimia Putra. Dalam pertandingan ini, Petrokimia Putra menurunkan
dua pemain asing andalannya, Jacksen Tiago (Brasil) dan penjaga gawang asal Trinidad & Tobago, Darryl
Sinerine. Sementara pada pertandingan lain, ASGS membekap Medan Jaya 2-1.

Persib baru membuka peluang lolos ke semifinal setelah pada partai kedua, 23 Juli 1995, menundukkan
Medan Jaya 2-1 dan pada pertandingan lain, Petrokimia Putra kembali bermain imbang 2-2 dengan
ASGS. Hasil ini membuat persaingan perebutan dua tiket dari Grup B semakin panas, terutama tiga tim
yang masih punya peluang yaitu Persib, ASGS dan Petrokimia Putra.

Pada partai penentuan, 26 Juli 1995, Persib tampil luar biasa ketika membekap pimpinan klasemen
sementara, ASGS dengan skor telak 3-0, sekaligus menempatkan diri di babak semifinal sebagai juara
Grup B. Persib akhirnya didampingi Petrokimia Putra yang menang 3-0 atas Medan Jaya.

Di babak semifinal, 28 Juli 1995, Persib bertemu Barito Putra yang menjadi runner-up Grup A. Dalam
pertandingan yang berlangsung sengit, Persib akhirnya berhasil mematahkan perlawanan keras Barito
Putra lewat gol tunggal Kekey Zakaria. Dengan seabreg tudingan Persib diselamatkan wasit pada babak
semifinal, Robby Darwis dan kawan-kawan melenggang ke partai puncak untuk kembali berhadapan
dengan Petrokimia Putra yang menyingkirkan Pupuk Kaltim 1-0 berkat gol tunggal Widodo Cahyono
Putro.

Pada partai puncak, 30 Juli 1995, Persib masuk ke lapangan di bawah sorak sorai puluhan ribu bobotoh
yang memadati Stadion Utama Senayan Jakarta. Seperti partai-partai sebelumnya, pada pertandingan
final, pelatih Indra M. Thohir menurunkan skuad terbaiknya; Anwar Sanusi (kiper), Mulyana, Robby
Darwis, Yadi Mulyadi (belakang), Dede Iskandar, Nandang Kurnaedi, Yudi Guntara, Asep Kustiana, Yusuf
Bachtiar (tengah), Kekey Zakaria, dan Sutiono Lamso (depan).
Persib akhirnya kembali menorehkan sejarah dengan menjuarai LI I, setelah Sutiono Lamso menjebol
gawang Petrokimia Putra pada menit 76. Penyerang Petrokimia Jacksen F. Tiago sempat mencetak gol di
menit 30, namun dianulir oleh wasit Zulkifli Chaniago.[12] Hingga pertandingan usai, Petrokimia Putra
gagal membuat gol balasan, yang membuat ribuan bobotoh berpesta pora di Stadion Utama Senayan.
[13]
 Pesta serupa juga terjadi di Bandung dan seantero Jawa Barat. Bagi Sutiono Lamso, golnya ke gawang
Petrokimia Putra itu melengkapi koleksi golnya pada musim itu menjadi 21 gol. Sebuah rekor yang
hingga saat ini belum terpecahkan oleh striker Persib lainnya.

Berkat keberhasilannya menjadi juara LI, Persib menjadi wakil Indonesia di kancah Piala Champions
Asia (kini menjadi Liga Champions Asia). Pada gelaran musim 1995 aksi anak-anak Bandung pun gilang-
gemilang. Tim besutan Indra M. Thohir membukakan mata sepak bola internasional. Bermodalkan dua
kemenangan atas Bangkok Bank (Thailand) dan Pasay City (Filipina) pesaingnya di babak awal Persib
yang datang dengan status tim amatir, di antara para raksasa Asia dengan sepak bola profesionalnya,
mampu merangsek hingga babak perempatfinal wilayah Timur yang digelar di Stadion Siliwangi.[14]

Sayang, tim pujaan masyarakat Tatar Pasundan tidak mampu berbuat lebih banyak lagi. Langkah raksasa
mereka pun terhenti sampai di situ, setelah Verdy Kawasaki (Jepang) memberi luka 1-3, ditundukan Thai
Farmers Bank (Thailand) 2-3, dan dihempas Ilhwa Chunwa (Korea Selatan) 1-4.[14] Kendati begitu, Persib
masih bisa tersenyum, karena Indra M Thohir terpilih sebagai pelatih terbaik Asia versi AFC (Asosiasi
Sepak bola Asia).

“Kalah dan terhenti di babak perempatfinal Wilayah Timur memang sudah diprediksi. Lawan yang kita
hadapi, kualitasnya jauh di atas lawan-lawan Persib di babak penyisihan sebelumnya. Tapi, apapun
adanya, langkah Persib sudah terekam dalam sejarah perhelatan Piala Champion Asia. Tim amatir tetapi
mentalnya sangat profesional, sulit dilahirkan lagi dalam waktu yang relatif pendek,”

— Asep Kustiana, pencetak gol Persib ke gawang Ilhwa Chunma (sekarang  Seongnam FC)

Persib tercatat pernah menghadapi AC Milan dalam laga persahabatan tanggal 4 Juni 1994 di Stadion
Utama Senayan (kini SUGBK). Pasukan pimpinan pelatih legendaris Italia Fabio Capello menghajar
Pangeran Biru 0-8 lewat gol Dejan Savićević ('17, '18), Gianlugi Lentini ('26), Paolo Baldieri ('27, '48, '58),
Christian Antigori ('68), dan Stefano Desideri ('78).[15][16]

Anda mungkin juga menyukai