KARSINOMA NASOFARING
Disusun Oleh:
Fika Linatunnafisah 1306374806
Khadijah Fitriah 1306413763
Kusmawanto 1306386592
Masayu Siti Gumala Sari 1306440240
Miftahul Ulum 1306386604
Narasumber:
dr. Ika Dewi Mayangsari, Sp.THT-KL(K)
1.2 ANAMNESIS
▪ Keluhan Utama:
Benjolan di leher kiri muncul kembali sejak 7 bulan SMRS.
▪ Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien merupakan pasien rujukan dari RS Kanker Dharmais. Awalnya, 3 tahun
SMRS (sekitar Maret 2015) pasien merasa muncul benjolan sebesar ujung jari
kelingking di leher sebelah kiri. Menurut pasien benjolan berjumlah satu buah, keras,
nyeri apabila ditekan, warna benjolan tidak kemerahan, tidak ada keluhan demam, dan
tidak ada keluhan nyeri menelan.
Semakin lama, pasien merasa benjolan semakin membesar menjadi sebesar telur
ayam negeri, benjolan masih berjumlah satu buah, nyeri apabila ditekan, dan keras.
Namun, pasien tidak tahu pasti seberapa lama waktu perubahan sampai sebesar telur
ayam negeri. Pasien juga mengaku mengalami penuruan berat badan semenjak mulai
muncul benjolan di leher, namun pasien tidak menimbang berat badannya. Semenjak
benjolan mulai membesar, pasien juga mulai merasakan keluhan pilek yang terus
menerus dengan ingus merah seperti bercampur darah dan pasien merasa menjadi
banyak riak. Pasien juga mengaku telinga mulai terdengar berdenging terus-menerus,
kemudian pasien mulai merasakan pendengarannya menurun dan semakin lama mejadi
sering mengalami sakit kepala. Sakit kepala dirasakan oleh pasien seperti dipukul,
lokasinya di kepala sebeleh kiri, pasien tidak tahu pemicunya, dan biasanya hilang
dengan sendirinya.
2
Pasien menyangkal ada nyeri menelan, suara serak, hidung mampet, penurunan
penghidu, kebas pada wajah, pandangan ganda, nyeri pada tulang, dan sesak napas.
Pada September 2015, pasien berobat ke RS Sumber Waras, dilakukan biopsi
yang dikatakan pasien diambil lewat mulut dan hasilnya dikatakan kanker nasofaring.
Pasien kemudian dirujuk ke RS Kanker Dharmais untuk direncanakan kemoterapi.
Pasien sempat berhenti berobat akibat takut kemoterapi sampai 6 bulan dan datang
kembali sekitar pertengahan tahun 2016 setelah pasien merasa kondisinya memburuk
yang dikatakan pasien sudah ada nyeri kepala dan pasien kesulitan untuk menggerakkan
kepala.
Pasien sudah mendapat kemoterapi sebanyak 6 siklus di RS Kanker Dharmais,
kemoterapi pertama dilakukan bulan Juni dan kemoterapi terakhir dilakukan bulan
Desember 2016. Setelah kemoterapi terakhir, setelah dilakukan evaluasi pasien
dikatakan kanker di hidung sudah bersih. Pasien juga merasakan keluhan benjolan di
leher sudah tidak ada, keluhan lain seperti keluar ingus juga tidak ada.
Pada tujuh bulan SMRS (sekitar Agustus 2017) pasien merasa muncul benjolan
kembali di leher yang dirasa semakin membesar dan berjumlah lebih dari satu dengan
keluar ingus berwarna merah seperti bercampur darah, kemudian dilakukan kemoterapi
sebanyak tiga kali namun tidak menunjukkan respons.
Keluhan saat ini yang dirasakan oleh pasien yaitu keluar ingus berwarna merah
seperti bercampur darah, hidung mampet, banyak riak, benjolan yang terasa nyeri, sulit
menelan, telinga berdenging, dan pendengaran berkurang. Sedangkan keluhan nyeri
telinga, mimisan, kebas pada wajah, pandangan ganda, nyeri pada tulang belakang,
nyeri kepala yang seperti dahulu dirasakan dan sesak napas disangkal oleh pasien.
▪ Riwayat Penyakit Dahulu:
Kanker Nasofaring.
Riwayat alergi obat, makanan, dan lainnya disangkal. Riwayat keluar cairan dari telinga
disangkal. Riwayat penyakit gula, darah tinggi, asma disangkal.
• Riwayat Pengobatan
Terapi KNF:
o 6 Siklus (Juni-Desember 2016): Cisplatin, Docetaxel, 5-FU
▪ Hasil evaluasi: complete respons
3
Riwayat penyakit seperti yang diderita pasien dalam keluarga disangkal. Riwayat alergi
dalam keluarga, keganasan dalam keluarga disangkal. Riwayat sakit gula, darah tinggi
dalam keluarga disangkal.
▪ Riwayat Sosial:
Pasien merupakan wiraswasta. Masih tinggal dengan orang tua. Pembiayaan dengan
BPJS. Pasien memiliki riwayat merokok sejak kelas 3 SMP selama 6 tahun sekitar 2
bungkus/hari. Riwayat konsumsi alkohol disangkal oleh pasien. Pasien sering makan
makanan berpengawet.
4
Pemeriksaan Status Lokalis
Telinga
Kanan Kiri
Normotia, nyeri tekan - Daun Telinga Normotia, nyeri tekan -
Fistula -, abses -, nyeri tekan Daerah Retro Aurikuler Fistula -, abses -, nyeri tekan
- -
Lapang, serumen +, sekret -, Liang Telinga Lapang, serumen +, sekret -,
hiperemia - hiperemia -
Intak, refleks cahaya di arah Gendang Telinga Intak, refleks cahaya di arah
jam 5 jam 7
+ Rinne +
Weber
Sama dengan pemeriksa Schwabach Memanjang
Hidung
Simetris Hidung Luar Simetris
Edema -, hiperemia - Vestibulum Edema -, hiperemia -
Lapang, sekret - Lubang Hidung Lapang, sekret -
Lapang Rongga Hidung Lapang
Lurus, deviasi -, kusta - Septum Lurus, deviasi -, kusta -
Intak Dasar Hidung Intak
Eutrofi, hiperemia -, pucat - Konka Inferior Eutrofi, hiperemia -, pucat -
Eutrofia, hipermeis -, pucat - Konka Media Eutrofia, hipermeis -, pucat -
Tidak dapat dinilai Konka Superior Tidak dapat dinilai
Tertutup, sekret - Meatus Inferior Tertutup, sekret -
Tertutup, sekret - Meatus Medius Tertutup, sekret -
Tidak dapat dinilai Meatus Superior Tidak dapat dinilai
Nyeri tekan - Sinus Maksila Nyeri tekan -
Nyeri tekan - Sinus Ethmoid Nyeri tekan -
Nyeri tekan - Sinus Frontal Nyeri tekan -
Faring
Arkus Faring Edema arkus faring kiri
Uvula Ditengah
5
Dinding Faring Hiperemis +, granular -
Tonsil T1/T2, detritus -
Laring
Epiglotis Tidak edema, tidak hiperemis
Plika Ariepiglotika Tidak edema, tidak hiperemis
Pita Suara Palsu Tidak edema, tidak hiperemis
Pita Suara Tidak edema, tidak hiperemis, dapat menutup sempurna
Aritenoid Tidak edema, tidak hiperemis
Subglotis Tidak edema, tidak hiperemis
Fosa Piriformis Tidak edema, tidak hiperemis
Kelenjar Getah Bening Leher
Kanan Kiri
- Level I -
(5x3) cm, terfiksir, kenyal, Level II (6x4) cm, terfiksir, padat,
nyeri (-) nyeri (-)
(2x2) cm, terfiksir, kenyal,
nyeri (-)
- Level III (6x3) cm, terfiksir, kenyal,
nyeri (-)
(4x3) cm, mobile, kenyal, Level IV (6x2) cm, terfiksir, kenyal,
nyeri (-) nyeri (-)
(3x2) cm, terfiksir, nyeri (+) Level V (3x2) cm, terfiksir, kenyal,
nyeri (-)
(2x2) cm, terfiksir, kenyal,
nyeri (-)
Pemeriksaan Penunjang:
Pemeriksaan Laboratorium
Belum dilakukan pemeriksaan laboratorium darah.
7
Tanggal 18/09/2017 di RS Kanker Dharmais
Pemeriksaan CT-Scan
Tanggal 30/08/2017 di RS Kanker Dharmais (MSCT Nasofaring dengan kontras)
Kesan: Masa nasofaring kiri, stqa. Progresivitas limfadenopati jugular superior kiri. Destruksi
basis kranii kiri, stqa.
Pemeriksaan MRI
8
Tanggal 05/03/2018 di RS Kanker Dharmais (MRI nasofaring dengan T1+T2)
Kesan: Progresivitas massa pada nasofaring kiri dengan perluasan ke retrofaring kiri kanan dan
tonsil waldeyer kiri. Destruksi fossa media basis kranii kiri, stqa. Progresivitas limfadenopati
jugular kanan kiri dan submandibula kanan kiri.
1.4 RESUME
Pasien laki-laki, 22 tahun datang dengan benjolan di leher kiri sejak 2015. Benjolan semakin
membesar, nyeri. Keluhan hidung mampet +, tinitus +, pendengaran berkurang +. Dilakukan
biopsi hasil karsinoma nasofaring, sudah kemoterapi 9x. Agustus 2017 massa nasofaring
muncul kembali progresivitas limfadenopati.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan: Hidung dalam batas normal, mulut didapatkan arkus faring
kiri membesar, tonsil kiri T3. Pemeriksaan garpu tala didapatkan Rinne +/+, Weber lateralisasi
kiri, Scwabach telinga kiri memanjang.
Hasil pemeriksaan penunjang didapatkan: biopsi didapatkan hasil sesuai karsinoma nasofaring,
hasil MSCT dan MRI didapatkan karsinoma nasofaring progresivitas limfadenopati dengan
destruksi basis kranii kiri. Hasil pemeriksaan foto toraks, USG Abdomen, dan bone scan
didapatkan kesan normal tidak ada kelainan.
9
1.5 DAFTAR MASALAH
- Karsinoma nasofaring, stadium IVa rekuren.
1.8 PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
11
Gambar 1 Potongan parasagital kepala dan leher
Bagian medial faring yaitu orofaring, berada di posterior rongga mulut dan
memanjang dari palatum mole hingga setinggi os hyoid. Bagian ini berfungsi dalam
fungsi respirasi dan digestif, sebagai jalur masuknya udara, makanan, dan minuman.
Karena orofaring bersentuhan langsung dengan makanan yang bersifat abrasif, maka
orofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa keratin. Pada orofaring juga terdapat
tonsil palatina dan tonsil lingualis.1,2
Bagian inferior faring atau laringofaring bermula dari os hyoid hingga berakhir
di perbatasan esofagus dan laring. Seperti orofaring, laringofaring dilapisi oleh epitel
berlapis gepeng tanpa keratin.1,2
Sumber utama aliran darah ke faring adalah arteri faringea ascendens. Drainase
vena dilakukan oleh Vv. pharyngea ke dalam vena jugularis interna dan Vv. meningea
di regio nasofaring. Drainase limfatik menuju ke tonsillar pharyngealis dan dinding
faringeal mencapai nodi lymphoidei retropharyngeales dan Nodi lymphoidei cervicales
profundi, dilanjutkan ke nodus limfa jugularis interna dan kelenjar spinal asesoris
bagian superior.1,4
Inervasi saraf sensoris nasofaring oleh nervus maksilari (V2), orofaring oleh
nervus glosofaringeus (N IX), dan laringofaring oleh nervus glosofaringeus dan nervus
vagus (N IX dan N X). Inervasi motoris didominasi oleh N X, kecuali muskulus
stilofaringeus yang diinervasi oleh N IX.1,2
Pada area di sekitar nasofaring terdapat berbagai nervus kranialis yang melintas.
Nasofaring berhubungan sangat dekat dengan rongga kranial melalui beberapa lubang.
Foramen laserum merupakan lubang keluarnya N III, IV, V, dan VI ataupun foramen
12
jugular yang merupakan lubang keluar N IX, X, XI, dan XII. Adanya massa pada area
nasofaring dapat menyebar atau membesar hingga mengenai nervus-nervus kranial
tersebut.2
13
4. 1/3 posterior nodus jugular: laring, hipofaring, tiroid
5. Segitiga posterior servikal: scalp, limfoma, nasofaring
6. Nodus paratrakeal: tiroid, laring
7. Supraklavikula: nonkepala atau leher (paru-paru, payudara, saluran cerna, saluran
kemih)
14
pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, dan infeksi kuman atau
parasit.5-7
Kanker nasofaring lebih sering ditemukan pada laki-laki (2-3 kali lebih tinggi
dibandingkan perempuan), namun penyebabnya belum ditemukan. Kemungkinan hal ini terjadi
dikaitkan dengan faktor genetik, pekerjaan, dan kebiasaan hidup. Faktor genetik dikaitkan
dengan gen HLA, mutasi/delesi kromosom, respon imun, DNA repair, dan jalur metabolisme.
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi bahan kimia, paparan asap, merokok,
kebiasaan makan yang terlalu panas, makanan berpengawet seperti ikan asin (nitrosamine),
alkohol, dan teh herbal, dan defisiensi serat, karoten, serta buah segar.5-7
15
ditemukan pada pasien dengan karsinoma nasofaring yaitu antigen EBV dan
epstein-barr encoded ribonucleic acids (EBERs). Infeksi EBV dapat terjadi secara
litik sehingga menyebabkan nekrosis, atau laten. Pada infeksi laten, ada beberapa
protein yang diekspresikan.10 Antigen EBV dapat ditemukan pada sel KNF berupa
antigen litik dan nuklear. Antigen litik terdiri dari latent membrane protein 1,2, dan
3 (LMP1, 2, 3) sedangkan antigen nuklear terdiri dari Epstein-barr nuclear antigen
1 sampai 6 (EBNA1-6). Pada KNF, EBNA-1 selalu diekspresikan sedangkan
LMP-1 diekspresikan pada tingkatan tertentu yang signifikan. Keduanya
merupakan protein laten. EBNA-1 tersebut dipercaya dalam menjaga episom virus
di sel tumor. LMP-1, telah dibuktikan dapat menginduksi pertumbuhan selular
dengan menginduksi hiperplasia dan mengubah ekspresi gen keratin (mengurangi
ekspresi sitokeratin dan menghambat diferensiasi sel skuamosa). Selain itu protein
ini juga meng-up regulate reseptor faktor pertumbuhan epidermis.8
Mayoritas orang yang terinfeksi dengan EBV tidak akan berkembang
menjadi KNF namun ekspresi laten dari protein EBNA-1 dan LMP-1 tidak ada
pada sel nasofaring yang normal. Oleh karena itu, dipercaya bahwa EBV bukanlah
pemicu KNF melainkan infeksi laten virus tersebut pada orang yang rentan secara
genetik dan lingkungan sehingga terjadi perubahan sel epitel nasofaring.8
2. Faktor genetik
Faktor utama terkait kejadian KNF adalah diet. Diet yang memiliki kaitan
dengan KNF diantaranya makan makanan dengan pengawet atau makanan terlalu
panas, memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, makanan dan minuman
mengandung nikel (berkaitan dengan mortalitas pasien karsinoma nasofaring).
Beberapa bahan makanan dengan pengawet seperti ikan asin, telur asin, ikan laut,
maupun buah berperan. Karisinogen yang dipercaya sebagai faktor terlibat yaitu
nitrosamin.8,9 Nitrosamin akan menginduksi kerusakan DNA , inflamasi kronik
pada mukosa nasofaring, dan menjadi faktor predisposisi infeksi EBV.11 Selain itu,
pada ikan yang diaskinkan juga terdapat substansi yang dapat mengaktivasi EBV.
Faktor lingkungan lain yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia ataupun
asap.8,9 Merokok merupakan faktor independen terjadinya KNF berbeda halnya
dengan karsinoma sel skuamosa. Perokok berat memiliki risiko 2-4 kali lipat
mengalami KNF dibandingkan orang yang tidak merokok.8,10 Selain itu, terdapat
pengaruh infeksi dengan adanya penurunan angka kejadian Limfoma Burkitt,
keganasan akibat virus yang sama, dimana kejadian menurun seiring penurunan
kejadian malaria.9
17
Gambar 4. Etiopatogenesis KNF11
19
namun semakin lama nodus dapat membesar dengan nekrosis di sentral diikuti oleh
pembentukan abses.8.910 Penyebaran jauh dari KNF tersering adalah ke tulang,
paru-paru dan hepar.10
Sebelum terjadi karsinoma nasofaring, dapat ditemukan lesi pada nasofaring yang
disebut lesi hiperplastik nasofaring atau LHN berupa 3 pembesaran adenoid pada
orang dewasa, pembesaran nodul dan mukosistis berat pada daerah nasofaring.9
20
gejala mata dan saraf, serta gejala metastasis dan leher. Gejala KNF seperti sumbatan
hidung dan epistaksis. Gejala telinga seperti tinitus, otalgia, dan gangguan
pendengaran. Gejala mata dan saraf seperti diplopia dan neuralgia trigeminal.
Sementara gejala leher misalnya muncul benjolan pada leher.6,13
Selain gejala dan tanda KNF, perlu dicari etiologi dan faktor risiko pasien. Sudah
diketahui bahwa Virus Epstein-Barr dianggap sebagai etiologi KNF, namun ada faktor
risiko lain yang perlu digali seperti letak geografis, ras, jenis kelamin, genetik,
pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosioekonomi, dan infeksi. 6,13
Pemeriksaan fisik dilakukan mulai dari status generalis dan status lokalis.
Pemeriksaan nasofaring menggunakan rinoskopi posterior, nasofaringoskop, dan
laringoskopi. Sementara pemeriksaan nasoendoskopi dengan NBI (narrow band
imaging) digunakan untuk skrining, melihat mukosa dengan kecurigaan KNF, panduan
lokasi biopsi, dan follow up terapi pada kasus dengan dugaan residu dan residif. 6,13
21
mulut, massa tumor akan terlihat jelas. Biopsi umumnya dilakukan dengan analgesia
topikal dengan xylocain 10%.6,13-15
Hasil biopsi PA berdasarkan kriteria WHO dibagi menjadi karsinoma sel
skuamosa berkeratin (WHO 1), karsinoma tidak berkeratin berdiferensiasi (WHO 2),
karsinoma tidak berkeratin tidak berdiferensiasi (WHO 3), dan karsinoma basaloid
skuamosa. 6,13-15
Pemeriksaan lain untuk menilai metastasis jauh yang dapat dilakukan yaitu USG
abdomen dan foto thoraks serta bone scan. USG abdomen untuk menilai metastasis ke
organ intraabdomen. Foto thoraks untuk melihat nodul paru atau apabila dicurigai
metastasis maka bisa dilakukan CT scan. Bone scan dapat digunakan untuk menilai
metastasis ke tulang. 6,13-15
Pemeriksaan serologi dapat dilakukan dengan pemeriksaan IgA anti EA dan IgA
anti VCA untuk EBV. Berdasarkan penelitian di Indonesia, IgA anti VCA memiliki
sensitifitas 97,5% dan spesifitas 91,8%. Sedangkan IgA anti EA memiliki sensitifitas
100% dan spesifitas 30% Pemeriksaan serologi ini tidak digunakan sebagai diagnosis
namun digunakan untuk skrining dan data dasar untuk evaluasi pengobatan. 6,13-15
22
23
24
2.8. Staging Kanker Nasofaring
Untuk penentuan stadium menggunakan sitem TNM menurut UICC tahun 2002. 6,13-15
Stadium T N M
Stasium 0 Tis N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium IIA T2a N0 M0
Stadium IIB T1 N1 M0
T2a N1 M0
T2b N0, N1 M0
Stadium III T1 N2 M0
T2a, T2b N2 M0
T3 N2 M0
Stadium IVa T4 N0,N1,N2 M0
Stadium IVb Semua T N3 M0
Stadium IVc Semua T Semua N M1
Keterangan:
25
Mx: metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0: tidak ada metastasis jauh
M1: terdapat metastasis jauh
26
kemoterapi (kemoradiasi) pada T1N1-3, T2-T4N0-3. Dalam tatalaksana KNF
dengan radioterapi, dosis perfraksi yang diberikan adalah 2 Gy DT (Dosis Tumor)
diberikan selama 5 kali dalam seminggu. Selanjutnya dilanjutkan dengan
pengecilan lapangan radiasi/blok medulla spinalis. Lalu dilanjutkan radiasi untuk
tumor primer. Dosis total yang diberikan adalah 70 Gy.13
Pada tumor dengan stadium T1N0M0, T2N0M0, dosis yang diberikan adalah
radiasi eksterna dengan dosis total 60 Gy, lalu dievaluasi dengan CT scan. Apabila
hanya tersisa pada daerah nasofaring saja, maka pasien diterapi dengan terapi
radiasi internal (brakhiterapi) dengan fraksi 3 x 4 Gy, pagi dan sore dengan jarak
sekitar 6 jam. Sedangkan untuk tumor dengan stadium T4, radiasi eksternal
diberikan dengan dosis 70 Gy, diberikan 2 cm di atas dasar tengkorak. Pada semua
kasus, apabila masih terdapat sisa tumor di sinus paranasal, maka radiasi eksternal
dilanjutkan menjadi 66 sampai 70 Gy. Untuk tumor risiko rendah hingga sedang
(lokasi yang dicurigai mengalami penyebaran subklinik), dosis radioterapi yang
diberikan adalah 44-50 Gy (2 Gy/fraksi) hingga 54-63 Gy (1,6-1,8 Gy/fraksi).
Untuk kemoradiasi konkuren, pada KNF risiko tinggi, dosis yang diberikan adalah
70-70,2 Gy (1,8-2,0 Gy/fraksi) tiap hari Senin-Jumat dalam 7 minggu. Sedangkan
untuk KNF risiko rendah hingga sedang adalah 44-50 Gy (2,0 Gy/fraksi) hingga
54063 Gy (1,6-1,8 Gy/fraksi). 13
Untuk radiasi paliatif, dosis yang diberikan adalah sebagai berikut. 13
- 1 fraksi x 8 Gy
- 5 fraksi x 4 Gy
- 10 fraksi x 3 Gy
- 15 fraksi x 2,5 Gy
2. Kemoterapi
Kemoterapi merupakan terapi adjuvan terbaik untuk KNF stadium lanjut (stadium
III dan IV). Terapi kemoterapi ini diberikan sebagai single atau combination
therapy bergantung pada kemoterapi ini sebagai concurrent chemotherapy atau
neoadjuvant chemotherapy. Pada neoadjuvant chemotherapy, bahan yang dapat
digunakan adalah (berdasarkan penelitian di RS dr. Sardjito Yogyakarta)
kombinasi carboplatin, 5 FU (fluorouracyl); cisplatin, 5 FU; docetaxel, cisplatin, 5
FU; atau paclitaxel, cisplatin. Sebagai concurrent chemotherapy, bahan yang dapat
diberikan adalah carboplatin atau cisplatin. 16,17
27
Kemoterapi dapat diberikan sebagai terapi concurrent (CCRT: chemo-concurrent
radiotherapy) atau neo-adjuvant. Kemoterapi juga dapat diberikan sebagai
kemoterapi induksi untuk pasien KNF sebelum mendapatkan terapi radiasi. Terapi
ini ditujukan untuk meningkatkan sensitivitas radioterapi.6,16,17
Kemoterapi sebagai radiosensitizer diberikan dengan preparat platinum based 30 –
40 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap minggu sekali 2,5 - 3 jam sebelum terapi radiasi.
Pada kasus N3 > 6 cm, diberikan kemoterapi dosis penuh neo adjuvant atau
adjuvant. 13
Terapi sistemik untuk KNF rekuren/metastatik adalah sebagai berikut.13
a. Terapi Kombinasi
- Cisplatin atau carboplatin + docetaxel atau paclitaxel
- Cisplatin/5-FU
- Carboplatin
- Cisplatin/gemcitabine
- Gemcitabine
- Taxans + platinum +5-FU
b. Terapi Tunggal
- Cisplatin
- Carboplatin
- Paclitaxel
- Docetaxel
- 5-FU
- Methotrexate
- Gemcitabine
Secara umum, rerata harapan hidup dalam 5 tahun untuk pasien KNF yang
menjalani radioterapi konvensional adalah sekitar 50% - 76%. Terapi kombinasi
radiasi-kemoterapi di RS dr. Sardjito Yogyakarta menunjukkan angka survival
(median) sebesar 21 bulan terhitung sejak diagnosis, sedangkan untuk angka
disease free survival sebesar 20 bulan sejak diagnosis KNF ditegakkan.16,17
3. Pembedahan
Tata laksana bedah terutama diindikasikan bagi pasien dengan KNF rekuren atau
residual. Perluasan tumor harus dinilai terlebih dahulu. Apabila terdapat
keterlibatan kulit, maka kulit yang terlibat tersebut harus didiseksi dan dilakukan
28
flap dengan jaringan kulit yang bersih, biasanya diambil dari kulit pektoralis
mayor. Akses pembedahan untuk mencapai nasofaring beragam, dapat dilakukan
transpalatal, transmaksila, ataupun transcervikal. Adapun hasil dari terapi
pembedahan KNF rekuren atau residif, five-year control rates berkisar antara 43%
- 67%. Untuk KNF rekuren atau residif stadium awal, angka kesintasan selama 5
tahun dapat mencapai 67%.16
Setelah pasien mendapatkan terapi, pasien di-follow up dengan jadwal sebagai berikut.
13
30
Tata Laksana KNF rekuren
Tata laksana KNF rekuren sampai saat ini masih terus dikembangkan. Pilihan terapi
diantaranya radioterapi presisi, endoscopic surgery atau transoral robotic resection, regimen
kemoterapi generasi ketiga, targeted therapy, dan immunotherapy. Dosis radiasi yang diberikan
pada terapi radiasi adalah 60 Gy atau lebih. Radioterapi presisi yang dimaksudkan dapat berupa
radioterapi 3D, IMRT, dan stereotactic radiotherapy.19
Pada kasus KNF rekuren, algoritma tata laksana didasarkan pada stadium. Algoritma
tersebut dapat dilihat pada diagram di bawah ini.19
31
metastasis. Oleh karena itu, semakin besar kategori T dan N maka semakin
besar/luas area kerusakan atau yang sudah terinvasi oleh kanker.20,21
2. Ukuran tumor
Semakin besar ukuran tumor akan meurunkanangka kelangsungan hidup
dalam 5 tahun. Hal ini diduga pada ukuran tumor yang besar cenderung memiliki
area yang hipoksik sehingga lebih resisten terhadap terapi radiasi.20,21
3. Jenis histopatologi
Karsinoma nasofaring dengan jenis histopatologi karsinoma berkeratin
(WHO tipe-1) memiliki prognosis yang lebih buruk dibanding dengan karsinoma
tak berkeratin (WHO tipe-2) dan karsinoma tak berdiferensiasi (WHO tipe-3).
Berdasarkan klasifikasi patologi, karsinoma juga terbagi menjadi 3 yang
berhubungan dengan prognosis, yaitu:20,21
a. High-graded malignancy (KS; dengan angka kelangsungan hidup dalam 5
tahun sebesar 21%)
b. Intermediet malignancy (karsinoma tipe A; dengan angka kelangsungan hidup
5 tahun sebesar 30-40%)
c. Low-grade malignancy (karsinoma tipe B; dengan angka kelangsungan hidup
5 tahun sebesar 60-72%)
Karsinoma tipe A dan tipe B merupakan modifikasi dari klasifikasi WHO tipe-
2 (tidak berkeratin) berdasarkan derajat sel anaplastik dan pleimorfisme. Dimana
tipe A merupakan anaplasia yang jelas dan tipe B adalah anaplasia ringan-
sedang.20,21
4. Biomarker tumor
Biomarker yang diperiksa pada kasus karsinoma nasofaring adalah marker
EBV. Hal ini berkaitan dengan etiologi tersering dimana hampir semua jaringan
sampel yang diambil pada kasus karsinoma nasofaring terdapat komponen EBV
baik DNA, RNA, maupun proteinnya. Tingginya kadar anti-EBV menunjukkan
masih adanya karsinoma nasofaring.20,21
Alkali phosphatase (ALP) yang memiliki hubungan metabolisme tulang
dalam tubuh juga dapat dijadikan marker dalam menentukan prognosis karsinoma
nasofaring. ALP akan mudah meningkat jika terjadi kelianan metabolisme tulang
serta gangguan pada hepar, sehingga dapat untuk memprediksi jika ada metastasi
kanker ke tulang atau hepar.20
32
5. Usia
Prevalensi karsinoma nasofaring berkisar pada usia 40-59 tahun. Hubungan
usia dengan prognosis karsinoma nasofaring terletak pada toleransi tatalaksananya.
Penderita usia muda, umumnya memiliki performa tubuh yang lebih baik sehingga
memiliki toleransi yang baik dalam radioterapi dan kemoterapi.20
6. Jenis kelamin
Risiko laki-laki terkena karsinoma nasofaring 2-3 kali lebih besar dibanding
dengan perempuan. Begitupula dengan angka kelangsungan dalam 5 tahun pada
wanita lebih besar dibandingkan dengan perempuan. Akan tetapi, angka
kelangsungan hidup laki-laki maupun wanita akan sama-sama menurun seiring
bertambahnya usia.20
33
• Stable Disease (SD): Penurunan ukuran <20%.
Neoplasma yang muncul kembali dalam waktu <6 bulan setelah CR disebut dengan
residif. Jika muncul dalam waktu >6 bulan setelah CR, maka disebut dengan rekuren. Pada
pasien dengan respon terapi CR, perlu dilakukan evaluasi secara berkala setiap 3 bulan sekali.
34
BAB III
DISKUSI
Pasien datang dengan keluhan benjolan di leher kiri muncul kembali sejak 7 bulan
SMRS. Dari keluhan tersebut dipikirkan diferensial diagnosis inflamasi, infeksi, neoplasma,
metabolik, autoimun, dan trauma. Pada pasien ditemukan keluhan rhinorea dan beberapa kali
berwarna merah, kongesti hidung, tinitus, pendengaran berkurang, nyeri kepala, sulit menelan,
serta pembengkakan leher. Pada pasien juga terdapat penurunan berat badan dan cepat capek.
Sedangkan keluhan otalgia, telinga terasa penuh, mimisan, anosmia/hiposmia, kebas pada
wajah, diplopia, ptosis, sulit membuka mulut, nyeri pada tulang, dan sesak napas disangkal
oleh pasien. Dari anamnesis juga didapatkan keluhan demam, nyeri menelan, batuk lama, dan
riwayat trauma disangkal. Dari hasil anamnesis tersebut dapat disimpulkan diferensial
diagnosis infeksi, metabolik, autoimun, dan trauma dapat disingkirkan. Pasien juga
mengatakan bahwa pasien sudah pernah dibiopsi dan menjalani kemoterapi sebanyak 6 kali.
Dari riwayat penyakit sekarang dapat diambil diagnosis kerja karena neoplasma.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan telinga dalam batas normal, hidung dalam batas
normal, mulut didapatkan arkus faring kiri tidak simetris. Pemeriksaan garpu tala didapatkan
Rinne +/+, Weber lateralisasi kiri, Scwabach telinga kiri memanjang. Pada leher didapatkan
massa multiple, di level II, III, IV, dan V, dengan ukuran terbesar 6 cm. Sementara hasil
pemeriksaan penunjang didapatkan biopsi didapatkan hasil sesuai karsinoma nasofaring, hasil
MSCT dan MRI didapatkan karsinoma nasofaring progresivitas limfadenopati dengan
destruksi basis kranii kiri. Hasil pemeriksaan foto toraks, USG Abdomen, dan bone scan
didapatkan kesan normal tidak ada kelainan sehingga metastasis jauh dapat disingkirkan.
Pada pasien ini terdapat faktor risiko yang berkaitan dengan kejadian kanker nasofaring
yaitu faktor jenis kelamin laki-laki yang meningkatkan risiko 2-3 kali lipat lebih tinggi, ras
Mongoloid, kebiasaan hidup berupa riwayat menjadi perokok berat yang dapat meningkatkan
risiko 2-4 kali lipat. Selain itu, pasien sering mengkonsumsi makanan yang mengandung
pengawet yang dapat menjadi karsinogen terjadinya karsinoma nasofaring.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat disimpulkan
diagnosis pasien ini karsinoma nasofaring rekuren. Pada pasien ini didapatkan T4, N2, M0
sehingga termasuk stadium IVa.
35
Pada kasus ini, pasien didiagnosis awal KNF pada tahun 2015 sebagai KNF stadium IVC
(riwayat metastasis tulang belakang) dan telah menjalani kemoterapi cisplatin, docetaxel, dan
5-FU sebanyak 6 siklus pada bulan Juni – Desember 2016 dengan hasil evaluasi complete
response. Pada Agustus 2017, timbul kembali massa nasofaring dengan progresifitas
limfadneopati. Pasien menjalani kemoterapi lini kedua namun tidak response.
Terapi awal yang didapatkan pasien telah tepat, sesuai protokol tata laksana KNF stadium
IVC, yaitu kemoterapi lini pertama dengan cisplatin, docetaxel, dan 5-FU. Saat ini pasien
mengalami KNF rekuren, maka perlu dilakukan re-staging tumor pasien. Terapi untuk pasien
didasarkan pada staging tumor sesuai dengan protokol panduan tata laksana KNF rekuren.
Prognosis pada pasien ini dapat diperkirakan dengan beberapa indikator. Prognosis
pasien ini dinyatakan dengan angka kelangsungan hidup dalam 5 tahun. Indikator yang pertama
yaitu stadium, pada pasien ini termasuk stadium IVa yang memiliki prognosis 42%. Jenis
histologi pasien ini didapatkan jenis KNF WHO tipe 3 yang memiliki prognosis 72%. Usia
muda dan status gizi pasien yang baik juga menambah prognosis baik, terutama karena
toleransi terhadap kemoterapi dan kemoradiasi yang lebih baik.
36
BAB IV
KESIMPULAN
Pasien laki-laki usia 22 tahun datang dengan keluhan benjolan di leher kiri muncul
kembali sejak 7 bulan SMRS. Pasien memiliki riwayat KNF stadium IVa dan telah menjalani
kemoterapi selama 6 siklus dengan hasil complete response. Berdasarkan hasil pemeriksaan
sebelumnya di RS Dharmais, pasien didiagnosis sebagai KNF stadium IVa rekuren. Namun,
untuk memastikan stadium kanker pasien saat ini perlu dilakukan evaluasi hasil pemeriksaan
dan sediaan biopsi terakhir. Tata laksana yang diberikan untuk pasien ini sesuai dengan stadium
kanker (menunggu hasil evaluasi ulang).
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy & Physiology. 13th Ed. Danver: John
Wiley & Sons. 2009. p620-5
2. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Hidung. In Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga Hidung Tenggorok Kepala
& Leher. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2012. p96-9
3. Paulsen F, Waschke J. Sobotta: Atlas anatomi manusia. 23rd ed. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran. 2010. p58-5, 176-8
4. Roezin A. Sistem aliran limfa leher. In Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti
RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI. 2012. p150-3
5. Chua MLK, Wee JTS, Hui EP, Chan ATC. Nasopharyngeal carcinoma. The Lancet. 2016;
387:1012-24
6. Roezin A, Adham M. Karsinoma Nasofaring. In Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,
Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2012. p158-66.
7. Tan L, Loh T. Benign and malignant tumors of the nasopharynx. In Cummings
Otolaryngology. 2015. Philadelphia: Elsevier. p1425-6.
8. Tan L, Loh T. Benign and Malignant Tumors of the Nasopharynx in Flint PW, et al.
Cummings Otolaryngology Head & Neck Surgery. 5th edition. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2010. P. 1352-1353.
9. Roezin A, Adham M. Karsinoma Nasofaring dalam Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin
J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hindung Tenggorok Kepala & Leher.
Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017. Hlm.
156-157.
10. Plant RL. Neoplasms of the Nasopharynx in Snow JB, Wackym PA. Ballenger’s
Otorhinolaryngology Heand and Neck Surgery. United States: BC Decker; 2009. p. 1083.
11. Saad S, Wang TJC. Nasopharyngeal carcinoma: current treatment optionts and future
directions. J Nasopharyng Carcinoma. 2014: 1(16); e16.
12. Bull TR. Color Atlas of ENT Diagnosis. 4th edition. New York: Thieme Stuttgart; 2003.
P. 162.
38
13. Adham M, Gondhowiardjo S, Soediro R, jack Z, Lisnawati, Witjaksono F, dkk. Panduan
penatalaksanaan kanker nasofaring. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia: 2017.
14. Spano JP, Busson P, Atlan D, Bourhis J, Pignon JP, Esteban C, et all. Nasopharyngeal
carcinoma: an update. European Journal of Cancer. 2003;39(1): p. 2121-35.
15. Sivanandan R, Fee WE. Benign and malignant tumors of the nasopharynx. In: Cummings
C, Flint PW, Haughey BH, Robbins KT, Thomas JR, Harker LA, et all. Cumings
otolaryngology head and neck surgery. 4th ed.Elsevier. 2007.
16. Cummings CW, Flint PW, Harker LA, Haughey BH, Richardson MA, Robbins KT, et.al.
Cummings otolaryngology head & neck surgery. 4th ed. USA: Elsevier Mosby; 2005.
Chap.73.
17. Wildeman MA, Fles R, Herdini C, Indrasari RS, Vincent AD, Tjokronagoro M, et. al.
Primary treatment result on nasopharyngeal carcinoma (NPC) in Yogyakarta, Indonesia.
Plos One. 2013; 8(5).
18. Stevenson MM. Nasopharyngeal cancer treatment [Internet]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/2047748-overview. Accessed Mar 25th, 2018.
19. Xu T, Tang J, Gu M, Liu L, Wei W, Yang H. recurrent nasopharyngeal carcinoma: a
clinical dilemma and challenge. Curr Oncol. 2013; 20. P.e406-19.
20. Leu Y, Chang Y, Lee J, Lo A, Chen Y, Chen H. Prognosis of Nasopharyngeal Carcinoma
in the Elderly is Worse than in Younger Individuals e Experience of a Medical Institute q.
Int J Gerontol. 2014;8(2):81-84.
21. Adham M, AN K, AI M, et al. Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia: epidemiology,
incidence, signs, and symptoms at presentation.
Chin J Cancer. Feb 2012
22. Kademani D, August M. Chapter 47: Neck Mass: Diagnosis and Management, In: Current
Therapy In Oral and Maxillofacial Surgery. Philadelphia: Elsevier. 2012; p.372–379
23. Roseman B, Clark OH. Neck mass. In: ACS surgery: Principle and practice. BC Decker
Inc; 2008.
24. Eisenhauer EA, Therasse P, Bogaerts J, Schwartz LH, Sargent D, Ford R et al. New
response evaluation criteria in solid tumours: Revised RECIST guideline (version 1.1).
European Journal of Cancer. 2009;45(2):228-247.
25. Feryel L, Yosra B, Mouna A, Khadija M, Amina M, Yosra Y et al. Complete Clinical
Response after Induction Chemotherapy Followed by Chemoradiotherapy in
39
Nasopharyngeal Carcinoma: Impact on Oncologic Outcomes. Journal of Cancer science
and Clinical Oncology. 2017;4(2).
40