Anda di halaman 1dari 40

PRESENTASI KASUS

KARSINOMA NASOFARING

Disusun Oleh:
Fika Linatunnafisah 1306374806
Khadijah Fitriah 1306413763
Kusmawanto 1306386592
Masayu Siti Gumala Sari 1306440240
Miftahul Ulum 1306386604

Narasumber:
dr. Ika Dewi Mayangsari, Sp.THT-KL(K)

MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU KESEHATAN THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
APRIL 2018
BAB I
ILUSTRASI KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. EFH
Umur : 22 Tahun (17 Maret 1996)
Jenis kelamin : Laki-Laki
Alamat rumah :Rusunawa Tower A Lt.3 No. 12 Rt.02/011, Angke, Tambora, Jakarta
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
No RM : 427-44-51

1.2 ANAMNESIS
▪ Keluhan Utama:
Benjolan di leher kiri muncul kembali sejak 7 bulan SMRS.
▪ Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien merupakan pasien rujukan dari RS Kanker Dharmais. Awalnya, 3 tahun
SMRS (sekitar Maret 2015) pasien merasa muncul benjolan sebesar ujung jari
kelingking di leher sebelah kiri. Menurut pasien benjolan berjumlah satu buah, keras,
nyeri apabila ditekan, warna benjolan tidak kemerahan, tidak ada keluhan demam, dan
tidak ada keluhan nyeri menelan.
Semakin lama, pasien merasa benjolan semakin membesar menjadi sebesar telur
ayam negeri, benjolan masih berjumlah satu buah, nyeri apabila ditekan, dan keras.
Namun, pasien tidak tahu pasti seberapa lama waktu perubahan sampai sebesar telur
ayam negeri. Pasien juga mengaku mengalami penuruan berat badan semenjak mulai
muncul benjolan di leher, namun pasien tidak menimbang berat badannya. Semenjak
benjolan mulai membesar, pasien juga mulai merasakan keluhan pilek yang terus
menerus dengan ingus merah seperti bercampur darah dan pasien merasa menjadi
banyak riak. Pasien juga mengaku telinga mulai terdengar berdenging terus-menerus,
kemudian pasien mulai merasakan pendengarannya menurun dan semakin lama mejadi
sering mengalami sakit kepala. Sakit kepala dirasakan oleh pasien seperti dipukul,
lokasinya di kepala sebeleh kiri, pasien tidak tahu pemicunya, dan biasanya hilang
dengan sendirinya.

2
Pasien menyangkal ada nyeri menelan, suara serak, hidung mampet, penurunan
penghidu, kebas pada wajah, pandangan ganda, nyeri pada tulang, dan sesak napas.
Pada September 2015, pasien berobat ke RS Sumber Waras, dilakukan biopsi
yang dikatakan pasien diambil lewat mulut dan hasilnya dikatakan kanker nasofaring.
Pasien kemudian dirujuk ke RS Kanker Dharmais untuk direncanakan kemoterapi.
Pasien sempat berhenti berobat akibat takut kemoterapi sampai 6 bulan dan datang
kembali sekitar pertengahan tahun 2016 setelah pasien merasa kondisinya memburuk
yang dikatakan pasien sudah ada nyeri kepala dan pasien kesulitan untuk menggerakkan
kepala.
Pasien sudah mendapat kemoterapi sebanyak 6 siklus di RS Kanker Dharmais,
kemoterapi pertama dilakukan bulan Juni dan kemoterapi terakhir dilakukan bulan
Desember 2016. Setelah kemoterapi terakhir, setelah dilakukan evaluasi pasien
dikatakan kanker di hidung sudah bersih. Pasien juga merasakan keluhan benjolan di
leher sudah tidak ada, keluhan lain seperti keluar ingus juga tidak ada.
Pada tujuh bulan SMRS (sekitar Agustus 2017) pasien merasa muncul benjolan
kembali di leher yang dirasa semakin membesar dan berjumlah lebih dari satu dengan
keluar ingus berwarna merah seperti bercampur darah, kemudian dilakukan kemoterapi
sebanyak tiga kali namun tidak menunjukkan respons.
Keluhan saat ini yang dirasakan oleh pasien yaitu keluar ingus berwarna merah
seperti bercampur darah, hidung mampet, banyak riak, benjolan yang terasa nyeri, sulit
menelan, telinga berdenging, dan pendengaran berkurang. Sedangkan keluhan nyeri
telinga, mimisan, kebas pada wajah, pandangan ganda, nyeri pada tulang belakang,
nyeri kepala yang seperti dahulu dirasakan dan sesak napas disangkal oleh pasien.
▪ Riwayat Penyakit Dahulu:
Kanker Nasofaring.
Riwayat alergi obat, makanan, dan lainnya disangkal. Riwayat keluar cairan dari telinga
disangkal. Riwayat penyakit gula, darah tinggi, asma disangkal.
• Riwayat Pengobatan
Terapi KNF:
o 6 Siklus (Juni-Desember 2016): Cisplatin, Docetaxel, 5-FU
▪ Hasil evaluasi: complete respons

▪ Riwayat Penyakit Keluarga:

3
Riwayat penyakit seperti yang diderita pasien dalam keluarga disangkal. Riwayat alergi
dalam keluarga, keganasan dalam keluarga disangkal. Riwayat sakit gula, darah tinggi
dalam keluarga disangkal.

▪ Riwayat Sosial:
Pasien merupakan wiraswasta. Masih tinggal dengan orang tua. Pembiayaan dengan
BPJS. Pasien memiliki riwayat merokok sejak kelas 3 SMP selama 6 tahun sekitar 2
bungkus/hari. Riwayat konsumsi alkohol disangkal oleh pasien. Pasien sering makan
makanan berpengawet.

1.3 PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan Fisik Umum
Kesadaran : Kompos mentis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Status gizi : Baik
Tekanan darah : 127/75 mmHg
Nadi : 92 x/menit, reguler, isi cukup, equal
Napas : 20 x/menit, reguler, abdomino-torakal.
Suhu : 37,50 C

Pemeriksaan Status Generalis


Kepala : rambut kepala tidak ada, wajah simetris kanan dan kiri, kesan tidak ada paresis
nervus fasialis, sensasi di ketiga regio cabang nervus trigeminus sama kanan dan
kiri
Mata : konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, bola mata kanan dan kiri dapat
bergerak tanpa hambatan ke segala arah, diplopia (-)
Jantung : bunyi jantung S1 dan S2 normal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : bentuk dada normal, retraksi dinding dada (-), tidak ada penggunaan otot bantu
nafas dan napas cuping hidung, dada simetris saat statis dan dinamis, bunyi
napas vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : datar, supel, nyeri tekan (-), bising usus (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, pitting edema -/-, CRT < 2 detik

4
Pemeriksaan Status Lokalis
Telinga
Kanan Kiri
Normotia, nyeri tekan - Daun Telinga Normotia, nyeri tekan -
Fistula -, abses -, nyeri tekan Daerah Retro Aurikuler Fistula -, abses -, nyeri tekan
- -
Lapang, serumen +, sekret -, Liang Telinga Lapang, serumen +, sekret -,
hiperemia - hiperemia -
Intak, refleks cahaya di arah Gendang Telinga Intak, refleks cahaya di arah
jam 5 jam 7
+ Rinne +
 Weber 
Sama dengan pemeriksa Schwabach Memanjang
Hidung
Simetris Hidung Luar Simetris
Edema -, hiperemia - Vestibulum Edema -, hiperemia -
Lapang, sekret - Lubang Hidung Lapang, sekret -
Lapang Rongga Hidung Lapang
Lurus, deviasi -, kusta - Septum Lurus, deviasi -, kusta -
Intak Dasar Hidung Intak
Eutrofi, hiperemia -, pucat - Konka Inferior Eutrofi, hiperemia -, pucat -
Eutrofia, hipermeis -, pucat - Konka Media Eutrofia, hipermeis -, pucat -
Tidak dapat dinilai Konka Superior Tidak dapat dinilai
Tertutup, sekret - Meatus Inferior Tertutup, sekret -
Tertutup, sekret - Meatus Medius Tertutup, sekret -
Tidak dapat dinilai Meatus Superior Tidak dapat dinilai
Nyeri tekan - Sinus Maksila Nyeri tekan -
Nyeri tekan - Sinus Ethmoid Nyeri tekan -
Nyeri tekan - Sinus Frontal Nyeri tekan -
Faring
Arkus Faring Edema arkus faring kiri
Uvula Ditengah

5
Dinding Faring Hiperemis +, granular -
Tonsil T1/T2, detritus -
Laring
Epiglotis Tidak edema, tidak hiperemis
Plika Ariepiglotika Tidak edema, tidak hiperemis
Pita Suara Palsu Tidak edema, tidak hiperemis
Pita Suara Tidak edema, tidak hiperemis, dapat menutup sempurna
Aritenoid Tidak edema, tidak hiperemis
Subglotis Tidak edema, tidak hiperemis
Fosa Piriformis Tidak edema, tidak hiperemis
Kelenjar Getah Bening Leher
Kanan Kiri
- Level I -
(5x3) cm, terfiksir, kenyal, Level II (6x4) cm, terfiksir, padat,
nyeri (-) nyeri (-)
(2x2) cm, terfiksir, kenyal,
nyeri (-)
- Level III (6x3) cm, terfiksir, kenyal,
nyeri (-)
(4x3) cm, mobile, kenyal, Level IV (6x2) cm, terfiksir, kenyal,
nyeri (-) nyeri (-)
(3x2) cm, terfiksir, nyeri (+) Level V (3x2) cm, terfiksir, kenyal,
nyeri (-)
(2x2) cm, terfiksir, kenyal,
nyeri (-)

Pemeriksaan Penunjang:
Pemeriksaan Laboratorium
Belum dilakukan pemeriksaan laboratorium darah.

Pemeriksaan Rontgen Thorax


6
Tanggal 25/09/2017 di RS Kanker Dharmais

Hasil: Tidak tampak kelainan pada jantung dan paru-paru

Pemeriksaan USG Abdomen


Tanggal 18/09/2017 di RS Kanker Dharmais

Kesan: Tidak tampak kelainan pada organ intraabdominal

Pemeriksaan Bone Scan

7
Tanggal 18/09/2017 di RS Kanker Dharmais

Kesan: Tidak tampak kelainan pada Bone Scan.

Pemeriksaan CT-Scan
Tanggal 30/08/2017 di RS Kanker Dharmais (MSCT Nasofaring dengan kontras)

Kesan: Masa nasofaring kiri, stqa. Progresivitas limfadenopati jugular superior kiri. Destruksi
basis kranii kiri, stqa.

Pemeriksaan MRI
8
Tanggal 05/03/2018 di RS Kanker Dharmais (MRI nasofaring dengan T1+T2)

Kesan: Progresivitas massa pada nasofaring kiri dengan perluasan ke retrofaring kiri kanan dan
tonsil waldeyer kiri. Destruksi fossa media basis kranii kiri, stqa. Progresivitas limfadenopati
jugular kanan kiri dan submandibula kanan kiri.

Pemeriksaan Patologi Anatomi


Tanggal 16/10/2017 di RS Kanker Dharmais ( Biopsi nasofaring)
Kesimpulan: Histologi sesuai dengan karsinoma nasofaring tidak berkeratin tidak
berdifierensiasi (WHO tipe-3), residif.

1.4 RESUME
Pasien laki-laki, 22 tahun datang dengan benjolan di leher kiri sejak 2015. Benjolan semakin
membesar, nyeri. Keluhan hidung mampet +, tinitus +, pendengaran berkurang +. Dilakukan
biopsi hasil karsinoma nasofaring, sudah kemoterapi 9x. Agustus 2017 massa nasofaring
muncul kembali progresivitas limfadenopati.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan: Hidung dalam batas normal, mulut didapatkan arkus faring
kiri membesar, tonsil kiri T3. Pemeriksaan garpu tala didapatkan Rinne +/+, Weber lateralisasi
kiri, Scwabach telinga kiri memanjang.
Hasil pemeriksaan penunjang didapatkan: biopsi didapatkan hasil sesuai karsinoma nasofaring,
hasil MSCT dan MRI didapatkan karsinoma nasofaring progresivitas limfadenopati dengan
destruksi basis kranii kiri. Hasil pemeriksaan foto toraks, USG Abdomen, dan bone scan
didapatkan kesan normal tidak ada kelainan.

9
1.5 DAFTAR MASALAH
- Karsinoma nasofaring, stadium IVa rekuren.

1.6 RENCANA DIAGNOSIS


- Evaluasi ulang pemeriksaan

1.7 RENCANA TATALAKSANA


- Menunggu hasil pemeriksaan

1.8 PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Nasofaring


Faring berbentuk seperti tabung yang berlubang, dengan ukuran sekitar 13 cm,
berawal dari bagian posterior rongga nasal hingga setinggi kartilago krikoid atau bagian
paling inferior dari laring. Faring berada posterior dari rongga nasal dan oral, superior
dari laring, dan anterior dari vertebra servikalis. Dinding dari faring terdiri dari otot-
otot skeletal yang dilapisi membran mukosa. Otot-otot ini berfungsi mempatenkan
posisi faring dan juga dalam proses menelan. Faring berfungsi sebagai jalur untuk udara
dan makanan, ruang untuk resonansi suara bicara, dan tempat terdapatnya tonsil yang
berpartisipasi dalam sistem imunitas.1,2
Faring dibagi menjadi tiga region anatomis, yaitu (1) nasofaring, (2) orofaring,
dan (3) laringofaring. Nasofaring merupakan bagian faring yang paling superior yang
berada di posterior rongga nasal hingga palatum mole. Pada nasofaring terdapat 5
bukaan pada dindingnya, yaitu dua lubang dari rongga hidung, dua lubang yang menuju
ke tuba eustachius, dan lubang ke orofaring. Pada bagian posterior dari nasofaring
terdapat tonsil faring atau adenoid. Fossa rosenmuller berlokasi di superoposterior dari
torus tubarius yang dibentuk oleh refleksi mukosa didepan muskulus longus colli.
Melalui rongga hidung posterior, nasofaring menerima aliran udara dari rongga hidung
serta mukus. Nasofaring dilapisi oleh epitel kolumnar berlapis semu bersilia
(pseudostrafied ciliated columnar epithelium). Silia mendorong mucus menuju ke
bagian posterior faring. Nasofaring juga berfungsi sebagai tempat pertukaran udara
dalam jumlah sedikit ke tuba eustachius untuk menyamakan tekanan faring dengan
telinga tengah.1-4

11
Gambar 1 Potongan parasagital kepala dan leher

Bagian medial faring yaitu orofaring, berada di posterior rongga mulut dan
memanjang dari palatum mole hingga setinggi os hyoid. Bagian ini berfungsi dalam
fungsi respirasi dan digestif, sebagai jalur masuknya udara, makanan, dan minuman.
Karena orofaring bersentuhan langsung dengan makanan yang bersifat abrasif, maka
orofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa keratin. Pada orofaring juga terdapat
tonsil palatina dan tonsil lingualis.1,2
Bagian inferior faring atau laringofaring bermula dari os hyoid hingga berakhir
di perbatasan esofagus dan laring. Seperti orofaring, laringofaring dilapisi oleh epitel
berlapis gepeng tanpa keratin.1,2
Sumber utama aliran darah ke faring adalah arteri faringea ascendens. Drainase
vena dilakukan oleh Vv. pharyngea ke dalam vena jugularis interna dan Vv. meningea
di regio nasofaring. Drainase limfatik menuju ke tonsillar pharyngealis dan dinding
faringeal mencapai nodi lymphoidei retropharyngeales dan Nodi lymphoidei cervicales
profundi, dilanjutkan ke nodus limfa jugularis interna dan kelenjar spinal asesoris
bagian superior.1,4
Inervasi saraf sensoris nasofaring oleh nervus maksilari (V2), orofaring oleh
nervus glosofaringeus (N IX), dan laringofaring oleh nervus glosofaringeus dan nervus
vagus (N IX dan N X). Inervasi motoris didominasi oleh N X, kecuali muskulus
stilofaringeus yang diinervasi oleh N IX.1,2
Pada area di sekitar nasofaring terdapat berbagai nervus kranialis yang melintas.
Nasofaring berhubungan sangat dekat dengan rongga kranial melalui beberapa lubang.
Foramen laserum merupakan lubang keluarnya N III, IV, V, dan VI ataupun foramen

12
jugular yang merupakan lubang keluar N IX, X, XI, dan XII. Adanya massa pada area
nasofaring dapat menyebar atau membesar hingga mengenai nervus-nervus kranial
tersebut.2

Gambar 2. Histologi epitel nasofaring2

Gambar 3. Histologi epitel faring2

Sistem Aliran Limfa Leher


Sistem aliran limfa leher perlu diperhatikan karena hampir seluruh infeksi atau
keganasan kepala dan leher bermanifestasi ke kelenjar limfe leher. Pada setiap sisi leher
terdapat sekitar 75 buah kelenjar limfa. Pada metastasis tumor, rangkaian jugularis
interna seringkali terlibat, terbentang dari klavikula hingga dasar tengkorak.
Berdasarkan Sloan Kattering Memorial Cancer Center Classification, penyebaran
kelompok kelenjar dibagi menjadi 7 daerah, yaitu:2
1. Segitiga submental dan submandibular: bibir, rongga mulut, kulit sekitar area
wajah bawah
2. 1/3 anterior nodus jugular: orofaring (tonsil, lidah), parotis
3. 1/3 tengah nodus jugular: hipofaring, tiroid

13
4. 1/3 posterior nodus jugular: laring, hipofaring, tiroid
5. Segitiga posterior servikal: scalp, limfoma, nasofaring
6. Nodus paratrakeal: tiroid, laring
7. Supraklavikula: nonkepala atau leher (paru-paru, payudara, saluran cerna, saluran
kemih)

2.2. Definisi Kanker Nasofaring


Karsinoma nasofaring merupakan kanker yang berasal dari epitel nasofaring
(epitel gepeng). Episentrum atau titik awal pembentukan massa tumor biasanya muncul
di fossa Rusenmuller.5

2.3. Epidemiologi Kanker Nasofaring


Di seluruh dunia, jumlah kasus karsinoma nasofaring pada tahun 2012 didapatkan
sebanyak 86.500, yaitu sebesar 0.6% dari seluruh diagnosis kanker. Kanker nasofaring paling
tinggi ditemukan di daerah Cina bagian selatan dengan jumlah kasus baru sebanyak 2500 per
tahun dan prevalensi 39.84/100.000 penduduk. Ras mongoloid merupakan faktor dominan,
sehingga kekerapannya cukup tinggi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam,
Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Sebanyak 71% kasus ditemukan di negara-
negara tersebut. Selain itu, pada penduduk dengan kebiasaan memakan makanan yang
diawetkan seperti pada suku Eskimo, angka kanker nasofaring juga cukup banyak. Namun,
kasus kanker nasofaring juga tidak jarang ditemukan pada non-Mongoloid.5-7

Di Indonesia, kanker nasofaring merupakan kanker terbanyak (60% kasus) pada


daerah kepala dan leher. Diikuti oleh kanker hidung dan sinus paranasal (18%) dan
kanker laring (16%). Berdasarkan data Laboratorium Patologi Anatomi, kanker
nasofaring selalu berada dalam posisi lima besar kasus kanker terbanyak bersama
kanker serviks, kanker payudara, tumor getah bening, dan tumor kulit. Frekuensi kasus
di Indonesia cukup merata di setiap daerah. Di RSCM sendiri, ditemukan >100 kasus
baru per tahunnya.5-7

2.4. Faktor Risiko Terjadinya Kanker Nasofaring


Penyebab utama dari karsinoma nasofaring adalah virus Eipstein-Barr (EBV), karena
ditemukan titer anti-virus Eipstein Barr yang tinggi pada penderita karsinoma nasofaring.
Namun virus ini bukan merupakan satu-satunya faktor. Faktor lain yang mempengaruhi
kemungkinan munculnya tumor ini adalah letak geografis, rasial, jenis kelamin, genetik,

14
pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, dan infeksi kuman atau
parasit.5-7
Kanker nasofaring lebih sering ditemukan pada laki-laki (2-3 kali lebih tinggi
dibandingkan perempuan), namun penyebabnya belum ditemukan. Kemungkinan hal ini terjadi
dikaitkan dengan faktor genetik, pekerjaan, dan kebiasaan hidup. Faktor genetik dikaitkan
dengan gen HLA, mutasi/delesi kromosom, respon imun, DNA repair, dan jalur metabolisme.
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi bahan kimia, paparan asap, merokok,
kebiasaan makan yang terlalu panas, makanan berpengawet seperti ikan asin (nitrosamine),
alkohol, dan teh herbal, dan defisiensi serat, karoten, serta buah segar.5-7

2.5. Etiologi dan Patogenesis Kanker Nasofaring


Terdapat 3 faktor utama terjadinya karsinoma nasofaring (KNF). Faktor tersebut adalah virus
Epstein-Barr, faktor lingkungan, dan faktor genetik. Saat ini, dipercaya bahwa karsinoma ini
terjadi akibat interaksi dari ketiga faktor tersebut.8
1. Virus Epstein-barr
Virus epstein barr merupakan virus yang ada dimana-mana. Virus ini
merupakan herpes virus dengan pusat ini DNA dan dibungkus oleh capsid. Infeksi
virus ini biasanya terjadi saat masa kanak-kanak awal atau remaja muda. Pada masa
kanak-kanak awal, biasanya infeksi terjadi asimtomatik. Pada remaja muda
biasanya gejala klinis terlihat sesuai dengan infeksi mononukleosis.8 Ketika
seseorang terinfeksi dengan virus ini, orang tersebut akan menjadi imun namun
EBV tetap ada di tubuh orang tersebut dalam limfosit B spesifik di saluran napas
atas atau tersebar di saliva. Dengan demikian virus ini juga dapat ditransmisikan
secara horizontal.8
Virus EB dipercaya merupakan penyebab karsinoma nasofaring karena
ditemukan titer antivirus EB yang cukup tinggi pada pasien dengan KNF
dibandingkan dengan orang sehat, pasien tumor ganas leher dan kepala lainnya,
tumor organ tubuh lainnya, bahkan kelainan nasofaring lain.9 Pada fase akut dan
fase penyembuhan infeksi, antibodi IgM dan IgG terhadap antigen EBV akan
meningkat. Antigen EBV terdiri dari antigen inti nukleus (Ea) atau antigen viral
capsid (VCA). Pada mayoritas populasi, IgG VCA dan Ea akan meningkat
sedangkan pada karsinoma nasofaring IgA VCA dan Ea yang meningkat sehingga
bisa dijadikan marker pemeriksaan.8
Selain itu, terdapat dua temuan yang tidak normal pada nasofaring yang dapat

15
ditemukan pada pasien dengan karsinoma nasofaring yaitu antigen EBV dan
epstein-barr encoded ribonucleic acids (EBERs). Infeksi EBV dapat terjadi secara
litik sehingga menyebabkan nekrosis, atau laten. Pada infeksi laten, ada beberapa
protein yang diekspresikan.10 Antigen EBV dapat ditemukan pada sel KNF berupa
antigen litik dan nuklear. Antigen litik terdiri dari latent membrane protein 1,2, dan
3 (LMP1, 2, 3) sedangkan antigen nuklear terdiri dari Epstein-barr nuclear antigen
1 sampai 6 (EBNA1-6). Pada KNF, EBNA-1 selalu diekspresikan sedangkan
LMP-1 diekspresikan pada tingkatan tertentu yang signifikan. Keduanya
merupakan protein laten. EBNA-1 tersebut dipercaya dalam menjaga episom virus
di sel tumor. LMP-1, telah dibuktikan dapat menginduksi pertumbuhan selular
dengan menginduksi hiperplasia dan mengubah ekspresi gen keratin (mengurangi
ekspresi sitokeratin dan menghambat diferensiasi sel skuamosa). Selain itu protein
ini juga meng-up regulate reseptor faktor pertumbuhan epidermis.8
Mayoritas orang yang terinfeksi dengan EBV tidak akan berkembang
menjadi KNF namun ekspresi laten dari protein EBNA-1 dan LMP-1 tidak ada
pada sel nasofaring yang normal. Oleh karena itu, dipercaya bahwa EBV bukanlah
pemicu KNF melainkan infeksi laten virus tersebut pada orang yang rentan secara
genetik dan lingkungan sehingga terjadi perubahan sel epitel nasofaring.8
2. Faktor genetik

Faktor genetik yang rentan dapat meningkatkan risiko kejadian karsinoma


nasofaring, diantaranya riwayat keluarga dengan KNF, mutasi pada gen, dan
polimorfisme gen.11 Faktor genetik yang ditemukan yaitu adanya kasus herediter
atau familier dengan keganasan pada organ tubuh lain seperti kanker payudara.9
Risiko terjadinya KNF meningkat hingga 20 kali lipat pada pasien dengan riwayat
keluarga tingkat pertama yang memiliki KNF. Mayoritas yang lebih berpengaruh
adalah antar saudara kandung (70%) dibandingkan dengan orang tua dengan anak
(30%). Rata-rata durasi kejadian antara kedua saudara dalam suatu keluarga adalah
5,3 tahun sedangkan antara orang tua dan anak 25 tahun. Risiko juga meningkat
jika anggkota keluarga tersebut didiagnosis saat usia kurang dari 40 tahun.8
Alel HLA klas I yang termasuk pada HLA A, B, dan D pada kromosom 6
berkaitan dengan kejadian KNF. Di sisi lain, HLA A2, Bw46, B 17, Bw58, DR3,
dan DR9 secara konsisten lebih banyak ditemukan pada pasien KNF. Risiko
tertinggi ada pada jenis haplotype A2 dan B46. Beberapa bukti menunjukkan
16
bahwa gen yang rentan terhadap tumor tersebut diturunkan secara resesif.
Perubahan kromosom yang dapat terjadi diantaranya delesi kromosom 3, 9, dan 11.
Dengan adanya perubahan ini, fungsi dari faktor spesifik akan berkurang, misalnya
kromosom kode region 9p21yang merupakan regulator siklus sel seperti p15 dan
p16. Pada pasien KNF protein p16 inaktif. Dengan demikian, delesi tersebut terkait
pada tumor suppressor gene.8 Selain itu, variasi KNF yaitu undifferentiated terkait
memiliki kadar tinggi onkogen Bcl-2 dimana gen ini dipercaya sebagai oemicu
progresi tumor dan meningkatkan proteksi terhadap sel neoplasma.10
3. Faktor lingkungan

Faktor utama terkait kejadian KNF adalah diet. Diet yang memiliki kaitan
dengan KNF diantaranya makan makanan dengan pengawet atau makanan terlalu
panas, memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, makanan dan minuman
mengandung nikel (berkaitan dengan mortalitas pasien karsinoma nasofaring).
Beberapa bahan makanan dengan pengawet seperti ikan asin, telur asin, ikan laut,
maupun buah berperan. Karisinogen yang dipercaya sebagai faktor terlibat yaitu
nitrosamin.8,9 Nitrosamin akan menginduksi kerusakan DNA , inflamasi kronik
pada mukosa nasofaring, dan menjadi faktor predisposisi infeksi EBV.11 Selain itu,
pada ikan yang diaskinkan juga terdapat substansi yang dapat mengaktivasi EBV.
Faktor lingkungan lain yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia ataupun
asap.8,9 Merokok merupakan faktor independen terjadinya KNF berbeda halnya
dengan karsinoma sel skuamosa. Perokok berat memiliki risiko 2-4 kali lipat
mengalami KNF dibandingkan orang yang tidak merokok.8,10 Selain itu, terdapat
pengaruh infeksi dengan adanya penurunan angka kejadian Limfoma Burkitt,
keganasan akibat virus yang sama, dimana kejadian menurun seiring penurunan
kejadian malaria.9

17
Gambar 4. Etiopatogenesis KNF11

2.6. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis Kanker Nasofaring


Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi gejala nasofaring, gejala
telinga, gejala mata dan saraf, dan metastasis atau gejala di leher.8,9 Gejala awal tidak
terlihat dan tidak spesifik sehingga seringkali KNF didiagnosis pada stadium lanjut.10

Gambar 5. Gejala karsinoma nasofaring12


18
1. Gejala nasofaring
Gejala dapat berupa epistaksis ringan hingga sumbatan hidung.9 Selain itu,
dapat keluar keluhan sekret dari hidung.11 Keluhan yang sering adalah saliva atau
sputum dengan bercak darah. Epistaksis lebih jarang terjadi dibandingkan dengan
saliva dan sputum yang tercampur darah terjadi karena nasofaring terletak di
rongga postnasal dan darah cenderung mengikuti gravitasi.8,9 Akan tetapi, episaksis
hebat tidak terkait dengan KNF.8
2. Gejala telinga
Gejala telinga merupakan gejala dini, timbul karena tempat asal karsinoma
nasofaring seringkali adalah fossa Rosen-muler yang dekat dengan muara tuba
eustachius. Lesi ini dapat mengingiltrasi levator peli palatini mengakibatkan
disfungsi tuba. Gangguan yang muncul dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman di
telinga hingga rasa nyeri (otalgia). Gejala berkurangnya pendengaran terjadi akibat
otitis media efusi akibat disfungsi tuba. tuli yang terjadi adalah tuli konduktif.8,9,10
3. Gejala mata dan saraf
Nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa
lubang sehingga gangguan saraf otak dapat terjadi pada proses lanjut. Penjalaran
ke foramen laserum dapat mengenai nervus kranialis III, IV, VI, dan dapat pula ke
V sehingga gejala diplopia dan neuralgia trigeminal dapat muncul berupa nyeri di
wajah atau paralisis dan disfagia.9,10 Proses lebih lanjut lagi akan mengenai saraf
kranial IX, X, XI, dan XII melalui foramen jugular. Gangguan ini sering disebut
dengan Sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh otak, gangguan disebut
sindrom unilateral. Gangguan dapat disertai destruksi tulang tengkorak. Keluhan
nyeri kepala terjadi pada 1/3 pasien biasanya mengindikasikan penyebaran sel
tumor ke basis cranii.10
4. Metastasis atau gejala di leher
Benjolan di leher dapat terjadi akibat metastasis ke kelenjar getah bening di
leher. Metastasis nodus biasanya terjadi pada aspek superior leher (level V dan II).
Nodus limfe yang pertama kali terlibat adalah nodus retrofaring yang dapat terlihat
pada pemeriksaan fisik sebagai nodul yang membengkak pada dindin faring
posterior. Terkadang, nodus limfe level III juga dapat terlibat dan yang lebih jarang
adalah level IV. Beberapa pasien dapat mengalami pembengkakan parotis akibat
metastasis nodus limfe parotis, namun jarang. Benjolan tersebut biasanya padat,

19
namun semakin lama nodus dapat membesar dengan nekrosis di sentral diikuti oleh
pembentukan abses.8.910 Penyebaran jauh dari KNF tersering adalah ke tulang,
paru-paru dan hepar.10

Gambar 6. Pembesaran nodus limfatik servikal level II,III, IV, dan V

Gambar 7. Manifestasi klinis karsinoma nasofaring8

Sebelum terjadi karsinoma nasofaring, dapat ditemukan lesi pada nasofaring yang
disebut lesi hiperplastik nasofaring atau LHN berupa 3 pembesaran adenoid pada
orang dewasa, pembesaran nodul dan mukosistis berat pada daerah nasofaring.9

2.7. Diagnosis Kanker Nasofaring


Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik dicari berbagai gejala dan tanda dari KNF.
Pada anamnesis harus dicari gejala KNF, termasuk gejala KNF sendiri, gejala telinga,

20
gejala mata dan saraf, serta gejala metastasis dan leher. Gejala KNF seperti sumbatan
hidung dan epistaksis. Gejala telinga seperti tinitus, otalgia, dan gangguan
pendengaran. Gejala mata dan saraf seperti diplopia dan neuralgia trigeminal.
Sementara gejala leher misalnya muncul benjolan pada leher.6,13
Selain gejala dan tanda KNF, perlu dicari etiologi dan faktor risiko pasien. Sudah
diketahui bahwa Virus Epstein-Barr dianggap sebagai etiologi KNF, namun ada faktor
risiko lain yang perlu digali seperti letak geografis, ras, jenis kelamin, genetik,
pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosioekonomi, dan infeksi. 6,13
Pemeriksaan fisik dilakukan mulai dari status generalis dan status lokalis.
Pemeriksaan nasofaring menggunakan rinoskopi posterior, nasofaringoskop, dan
laringoskopi. Sementara pemeriksaan nasoendoskopi dengan NBI (narrow band
imaging) digunakan untuk skrining, melihat mukosa dengan kecurigaan KNF, panduan
lokasi biopsi, dan follow up terapi pada kasus dengan dugaan residu dan residif. 6,13

Pemeriksaan Radiologi dan Penunjang


Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan adalah CT scan untuk menilai tumor
primer KNF, sehingga tumor primer yang masih tersembunyi bisa ditemukan. CT scan
nasofaring mulai setinggi sinus frontalis sampai klavikula. Pemeriksaan baik tanpa dan
dengan kontras. CT scan selain dapat mengevaluasi tumor primer bisa juga
mengevaluasi penyebaran ke jaringan sekitarnya serta penyebaran ke KGB. Selain CT
bisa juga dilakukan MRI karena densitas KNF mirip dengan soft tissue. MRI ini lebih
akurat dalam melihat kontur dan ekstensi lokoregional serta ekstensi ke bone marrow.
Sementara CT lebih bagus dalam mendeteksi erosi tulang akibat tumor. 6,13-15
Diagnosis pasti KNF ditegakkan dengan biopsi nasofaring. Biopsi ini bisa
dilakukan lewat hidung atau lewat mulut. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa
melihat jelas tumornya (blind biopsy). Biopsi melalui hidung dilakukan dengan cara
cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri konka media ke
nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan diambil sampel biopsi. Sementara
biopsi melalui mulut dilakukan dengan memakai bantuan kateter nelaton yang
dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar
dan di klem bersama ujung kateter dari hidung, sehingga palatum mole tertarik keatas.
Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasafing. Biopsi dilakukan dengan melihat
tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui

21
mulut, massa tumor akan terlihat jelas. Biopsi umumnya dilakukan dengan analgesia
topikal dengan xylocain 10%.6,13-15
Hasil biopsi PA berdasarkan kriteria WHO dibagi menjadi karsinoma sel
skuamosa berkeratin (WHO 1), karsinoma tidak berkeratin berdiferensiasi (WHO 2),
karsinoma tidak berkeratin tidak berdiferensiasi (WHO 3), dan karsinoma basaloid
skuamosa. 6,13-15
Pemeriksaan lain untuk menilai metastasis jauh yang dapat dilakukan yaitu USG
abdomen dan foto thoraks serta bone scan. USG abdomen untuk menilai metastasis ke
organ intraabdomen. Foto thoraks untuk melihat nodul paru atau apabila dicurigai
metastasis maka bisa dilakukan CT scan. Bone scan dapat digunakan untuk menilai
metastasis ke tulang. 6,13-15
Pemeriksaan serologi dapat dilakukan dengan pemeriksaan IgA anti EA dan IgA
anti VCA untuk EBV. Berdasarkan penelitian di Indonesia, IgA anti VCA memiliki
sensitifitas 97,5% dan spesifitas 91,8%. Sedangkan IgA anti EA memiliki sensitifitas
100% dan spesifitas 30% Pemeriksaan serologi ini tidak digunakan sebagai diagnosis
namun digunakan untuk skrining dan data dasar untuk evaluasi pengobatan. 6,13-15

Pendekatan Massa Leher


Masa leher bisa disebabkan oleh berbagi macam penyebab, mulai dari inflamasi
dan infeksi, kongenital, dan tumor. Untuk etiologi lebih jelasnya bisa dilihat tabel
berikut.22-3

22
23
24
2.8. Staging Kanker Nasofaring
Untuk penentuan stadium menggunakan sitem TNM menurut UICC tahun 2002. 6,13-15

Stadium T N M
Stasium 0 Tis N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium IIA T2a N0 M0
Stadium IIB T1 N1 M0
T2a N1 M0
T2b N0, N1 M0
Stadium III T1 N2 M0
T2a, T2b N2 M0
T3 N2 M0
Stadium IVa T4 N0,N1,N2 M0
Stadium IVb Semua T N3 M0
Stadium IVc Semua T Semua N M1

Keterangan:

T0 : tidak tampak tumor Nx: pembesaran kelenjar getah bening


T1 : tumor terbatas di nasofaring tidak dapat dinilai
T2 : tumor meluas ke jaringan lunak N0: tidak ada pembesaran
T2a : perluasan tumor ke orofaring N1: metastasis kelenjar getah bening
dan/atau rongga hidung tanpa perluasan unilateral, dengan ukuran terbesar kurang
ke parafarsing atau sama dengan 6 cm, diatas fossa
T2b : disertai peluasan ke parafaring supraklavikula
T3 : tumor menginvasi struktur tulang N2: metastasis kelenjar getah bening
dan/atau sinus paranasal bilateral, dengan ukuran terbesar kurang
T4 : tumor dengan perluasan intrakranial atau sama dengan 6 cm, diatas fossa
dan/atau terdapat keterlibatan saraf supraklavikula
kranial, fossa infratemporal, hipofaring, N3: metastasis kelenjar getah bening
orbita, atau ruang mastikator. bilateral dengan ukuran lebih besar dari 6
cm, atau terletak di dalam fossa
supraklavikula
N3a: ukuran lebih dari 6 cm
N3b: didalam fossa supraklavikula

25
Mx: metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0: tidak ada metastasis jauh
M1: terdapat metastasis jauh

2.9. Diagnosis Differensial Kanker Nasofaring


Diagnosis banding dari KNF bisa dipikirkan limfoma malignum, proses non
keganasan seperti TB kelejar, dan tumor sekunder (metastasis). Selain KNF pada
nasofaring dapat juga ditemukan kelainan jinak misalnya yang paling sering yaitu
juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Kelainan jinak lainnya seperti adenoid, kista,
dan polip koana. 6,13-15

2.10. Tatalaksana Kanker Nasofaring


Kanker nasofaring (KNF) merupakan jenis kanker yang radiosensitif.
Tatalaksana bedah untuk kasus ini tidak diterapkan akibat letak kanker yang sulit
diakses. Adapun terapi kanker nasofaring didasarkan pada stadium kankernya. Terapi
yang dapat diterapkan adalah sebagai berikut.6,16
1. Radioterapi
Radioterapi merupakan terapi pilihan utama bagi KNF stadium awal (stadium I dan
II). Prosedur terapi ini dilakukan dengan memberikan radiasi dosis tumoricidal (70
– 76 Gy) dengan mesin linear accelerator. Pada suatu penelitian di Yogyakarta,
radioterapi untuk pasien KNF diberikan dengan dosis 66 – 70 Gy (2 Gy per fraksi
selama 5 hari).16,17
Pada tumor yang timbul kembali (rekuren), terapi radiasi menjadi lebih resisten.
Pemberian terapi reradiasi dilakukan dengan dosis eradikasi 60 Gy. Pilihan terapi
lainnya diantaranya brachytherapy atau dengan terapi pembedahan. 17
Efek samping yang timbul akibat terapi radiasi harus disampaikan kepada pasien.
Beberapa efek samping tersebut diantaranya adalah mulut kering akibat kerusakan
kelenjar liur, mukositis rongga mulut, dan rasa kaku di daerah leher akibat fibrosis
jaringan. Beberapa edukasi yang dapat disampaikan kepada pasien diantaranya
adalah dengan makan banyak kuah, makan makanan asam untuk menginduksi
keluarnya saliva, dan menjaga higiene mulut.6
Radioterapi dapat diberikan sebagai terapi kuratif definitif dan paliatif. Radioterapi
kuratif definitif diberikan pada pasien KNF T1N0M0, konkuren bersama

26
kemoterapi (kemoradiasi) pada T1N1-3, T2-T4N0-3. Dalam tatalaksana KNF
dengan radioterapi, dosis perfraksi yang diberikan adalah 2 Gy DT (Dosis Tumor)
diberikan selama 5 kali dalam seminggu. Selanjutnya dilanjutkan dengan
pengecilan lapangan radiasi/blok medulla spinalis. Lalu dilanjutkan radiasi untuk
tumor primer. Dosis total yang diberikan adalah 70 Gy.13
Pada tumor dengan stadium T1N0M0, T2N0M0, dosis yang diberikan adalah
radiasi eksterna dengan dosis total 60 Gy, lalu dievaluasi dengan CT scan. Apabila
hanya tersisa pada daerah nasofaring saja, maka pasien diterapi dengan terapi
radiasi internal (brakhiterapi) dengan fraksi 3 x 4 Gy, pagi dan sore dengan jarak
sekitar 6 jam. Sedangkan untuk tumor dengan stadium T4, radiasi eksternal
diberikan dengan dosis 70 Gy, diberikan 2 cm di atas dasar tengkorak. Pada semua
kasus, apabila masih terdapat sisa tumor di sinus paranasal, maka radiasi eksternal
dilanjutkan menjadi 66 sampai 70 Gy. Untuk tumor risiko rendah hingga sedang
(lokasi yang dicurigai mengalami penyebaran subklinik), dosis radioterapi yang
diberikan adalah 44-50 Gy (2 Gy/fraksi) hingga 54-63 Gy (1,6-1,8 Gy/fraksi).
Untuk kemoradiasi konkuren, pada KNF risiko tinggi, dosis yang diberikan adalah
70-70,2 Gy (1,8-2,0 Gy/fraksi) tiap hari Senin-Jumat dalam 7 minggu. Sedangkan
untuk KNF risiko rendah hingga sedang adalah 44-50 Gy (2,0 Gy/fraksi) hingga
54063 Gy (1,6-1,8 Gy/fraksi). 13
Untuk radiasi paliatif, dosis yang diberikan adalah sebagai berikut. 13
- 1 fraksi x 8 Gy
- 5 fraksi x 4 Gy
- 10 fraksi x 3 Gy
- 15 fraksi x 2,5 Gy
2. Kemoterapi
Kemoterapi merupakan terapi adjuvan terbaik untuk KNF stadium lanjut (stadium
III dan IV). Terapi kemoterapi ini diberikan sebagai single atau combination
therapy bergantung pada kemoterapi ini sebagai concurrent chemotherapy atau
neoadjuvant chemotherapy. Pada neoadjuvant chemotherapy, bahan yang dapat
digunakan adalah (berdasarkan penelitian di RS dr. Sardjito Yogyakarta)
kombinasi carboplatin, 5 FU (fluorouracyl); cisplatin, 5 FU; docetaxel, cisplatin, 5
FU; atau paclitaxel, cisplatin. Sebagai concurrent chemotherapy, bahan yang dapat
diberikan adalah carboplatin atau cisplatin. 16,17

27
Kemoterapi dapat diberikan sebagai terapi concurrent (CCRT: chemo-concurrent
radiotherapy) atau neo-adjuvant. Kemoterapi juga dapat diberikan sebagai
kemoterapi induksi untuk pasien KNF sebelum mendapatkan terapi radiasi. Terapi
ini ditujukan untuk meningkatkan sensitivitas radioterapi.6,16,17
Kemoterapi sebagai radiosensitizer diberikan dengan preparat platinum based 30 –
40 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap minggu sekali 2,5 - 3 jam sebelum terapi radiasi.
Pada kasus N3 > 6 cm, diberikan kemoterapi dosis penuh neo adjuvant atau
adjuvant. 13
Terapi sistemik untuk KNF rekuren/metastatik adalah sebagai berikut.13
a. Terapi Kombinasi
- Cisplatin atau carboplatin + docetaxel atau paclitaxel
- Cisplatin/5-FU
- Carboplatin
- Cisplatin/gemcitabine
- Gemcitabine
- Taxans + platinum +5-FU
b. Terapi Tunggal
- Cisplatin
- Carboplatin
- Paclitaxel
- Docetaxel
- 5-FU
- Methotrexate
- Gemcitabine
Secara umum, rerata harapan hidup dalam 5 tahun untuk pasien KNF yang
menjalani radioterapi konvensional adalah sekitar 50% - 76%. Terapi kombinasi
radiasi-kemoterapi di RS dr. Sardjito Yogyakarta menunjukkan angka survival
(median) sebesar 21 bulan terhitung sejak diagnosis, sedangkan untuk angka
disease free survival sebesar 20 bulan sejak diagnosis KNF ditegakkan.16,17
3. Pembedahan
Tata laksana bedah terutama diindikasikan bagi pasien dengan KNF rekuren atau
residual. Perluasan tumor harus dinilai terlebih dahulu. Apabila terdapat
keterlibatan kulit, maka kulit yang terlibat tersebut harus didiseksi dan dilakukan

28
flap dengan jaringan kulit yang bersih, biasanya diambil dari kulit pektoralis
mayor. Akses pembedahan untuk mencapai nasofaring beragam, dapat dilakukan
transpalatal, transmaksila, ataupun transcervikal. Adapun hasil dari terapi
pembedahan KNF rekuren atau residif, five-year control rates berkisar antara 43%
- 67%. Untuk KNF rekuren atau residif stadium awal, angka kesintasan selama 5
tahun dapat mencapai 67%.16

Menurut Kementerian Kesehatan RI dalam Pedoman Penatalaksanaan Kanker


Nasofaring, algoritma tatalaksana kanker nasofaring adalah sebagai berikut. 13

Gambar 1. Algoritma tata laksana karsinoma nasofaring13

Setelah pasien mendapatkan terapi, pasien di-follow up dengan jadwal sebagai berikut.
13

- Tahun 1 : setiap 1 – 3 bulan


- Tahun 2 : setiap 2 – 6 bulan
- Tahun 3-5 : setiap 4 – 8 bulan
- > 5 tahun : setiap 12 bulan

Protokol Tata Laksana KNF


Tata laksana KNF didasarkan pada stadium penyakitnya.18
1. Terapi radiasi untuk early or localized NPC (KNF stadium I): tata laksana yang
diberikan untuk pasien berupa tata laksana radiasi definitif pada nasofaring
29
dengan dosis radiasi 66 – 70 Gy (2 Gy/fraksi, tiap hari Senin – Jumat selama 7
minggu).18
2. Kemoterapi dengan terapi radiasi untuk locally advanced NPC (stadium II - IVB):
tata laksana yang diberikan berupa concurrent kemoterapi dan radiasi +/- adjuvant
chemotherapy atau kemoterapi induksi yang dilanjutkan dengan concurrent
chemoradiation.18
3. Kemoterapi lini pertama untuk metastatic atau recurrent NPC (stadium IVC):
terapi yang diberikan berupa standard platinum-based chemotherapy. Apabila
pasien tidak dapat mentoleransi platinum-based therapy, maka terapi dengan
single agent juga dapat diberikan.18
4. Kemoterapi lini kedua dan ketiga untuk metastatic or recurrent NPC (stadium
IVC): second line therapy diberikan apabila terdapat progresivitas penyakit atau
rekurensi setelah menjalani first line therapy secara lengkap, sedangkan third line
therapy diberikan apabila terdapat progresivitas penyakit atau rekurensi setelah
menjalani first line dan second line therapy secara lengkap. Apabila pasien belum
mendapatkan terapi platinum-based sebelumnya, maka pasien harus menjalani
terapi platinum-based.18

Adapun tatalaksana kanker nasofaring didasarkan pada stadium kankernya sebagai


berikut. 13
Tabel 1. Modalitas tatalaksana kanker nasofaring13

30
Tata Laksana KNF rekuren
Tata laksana KNF rekuren sampai saat ini masih terus dikembangkan. Pilihan terapi
diantaranya radioterapi presisi, endoscopic surgery atau transoral robotic resection, regimen
kemoterapi generasi ketiga, targeted therapy, dan immunotherapy. Dosis radiasi yang diberikan
pada terapi radiasi adalah 60 Gy atau lebih. Radioterapi presisi yang dimaksudkan dapat berupa
radioterapi 3D, IMRT, dan stereotactic radiotherapy.19
Pada kasus KNF rekuren, algoritma tata laksana didasarkan pada stadium. Algoritma
tersebut dapat dilihat pada diagram di bawah ini.19

Gambar 2. Alur tatalaksana kanker nasofaring rekuren19

2.11. Prognosis dan Komplikasi Kanker Nasofaring


Prognosis Karsinoma Nasofaring dipengaruhi berbagai hal sebagai berikut.
1. Stadium
Penentuan stadiun karsinoma nasofaring yang saat ini digunakan adalah
klasifikasi berdasar AJCC tahun 2010. Semakin meningkatnya stadium tumor,
maka prognosis penderita untuk hidup dalam 5 tahun juga akan semakin menurun.
Angka kelangsungan dalam 5 tahun penderita karsinoma nasofaring dari stadium I
sampai stadium IV berturut-turut yaitu sebesar 72%, 64%, 62%, dan 38%.20,21
Secara umum klasifikasi T yang menandakan besarnya tumor memiliki arti
pengaruh pada daerah lokal, klasifikasi N memprediksi area regional dan

31
metastasis. Oleh karena itu, semakin besar kategori T dan N maka semakin
besar/luas area kerusakan atau yang sudah terinvasi oleh kanker.20,21
2. Ukuran tumor
Semakin besar ukuran tumor akan meurunkanangka kelangsungan hidup
dalam 5 tahun. Hal ini diduga pada ukuran tumor yang besar cenderung memiliki
area yang hipoksik sehingga lebih resisten terhadap terapi radiasi.20,21
3. Jenis histopatologi
Karsinoma nasofaring dengan jenis histopatologi karsinoma berkeratin
(WHO tipe-1) memiliki prognosis yang lebih buruk dibanding dengan karsinoma
tak berkeratin (WHO tipe-2) dan karsinoma tak berdiferensiasi (WHO tipe-3).
Berdasarkan klasifikasi patologi, karsinoma juga terbagi menjadi 3 yang
berhubungan dengan prognosis, yaitu:20,21
a. High-graded malignancy (KS; dengan angka kelangsungan hidup dalam 5
tahun sebesar 21%)
b. Intermediet malignancy (karsinoma tipe A; dengan angka kelangsungan hidup
5 tahun sebesar 30-40%)
c. Low-grade malignancy (karsinoma tipe B; dengan angka kelangsungan hidup
5 tahun sebesar 60-72%)
Karsinoma tipe A dan tipe B merupakan modifikasi dari klasifikasi WHO tipe-
2 (tidak berkeratin) berdasarkan derajat sel anaplastik dan pleimorfisme. Dimana
tipe A merupakan anaplasia yang jelas dan tipe B adalah anaplasia ringan-
sedang.20,21

4. Biomarker tumor
Biomarker yang diperiksa pada kasus karsinoma nasofaring adalah marker
EBV. Hal ini berkaitan dengan etiologi tersering dimana hampir semua jaringan
sampel yang diambil pada kasus karsinoma nasofaring terdapat komponen EBV
baik DNA, RNA, maupun proteinnya. Tingginya kadar anti-EBV menunjukkan
masih adanya karsinoma nasofaring.20,21
Alkali phosphatase (ALP) yang memiliki hubungan metabolisme tulang
dalam tubuh juga dapat dijadikan marker dalam menentukan prognosis karsinoma
nasofaring. ALP akan mudah meningkat jika terjadi kelianan metabolisme tulang
serta gangguan pada hepar, sehingga dapat untuk memprediksi jika ada metastasi
kanker ke tulang atau hepar.20
32
5. Usia
Prevalensi karsinoma nasofaring berkisar pada usia 40-59 tahun. Hubungan
usia dengan prognosis karsinoma nasofaring terletak pada toleransi tatalaksananya.
Penderita usia muda, umumnya memiliki performa tubuh yang lebih baik sehingga
memiliki toleransi yang baik dalam radioterapi dan kemoterapi.20

6. Jenis kelamin
Risiko laki-laki terkena karsinoma nasofaring 2-3 kali lebih besar dibanding
dengan perempuan. Begitupula dengan angka kelangsungan dalam 5 tahun pada
wanita lebih besar dibandingkan dengan perempuan. Akan tetapi, angka
kelangsungan hidup laki-laki maupun wanita akan sama-sama menurun seiring
bertambahnya usia.20

7. Status gizi dan anemia


Penelitian yang dilakukan Wang dkk, pasien karsinoma nasofaring yang
kehilangan berat badan >10% memiliki angka kelangsungan hidup 5 tahun sebesar
85,6% dibanding dengan penderita yang mengalami penurunan berat bdan <10%
yaitu 90,9%.20
Kadar Hb yang rendah menyebabkan jaringan mendapat pasokan oksigen
yang kurang, sehingga banyak jaringan yang hipoksik termasuk juga jaringan
tumor. Tumor yang mengalami kondisi hipoksik akan menurunkan efektivitas
dalam terapi radioterapi.20,21

Evaluasi Respon Terapi


Penilaian respon terapi dilakukan melalui beberapa pemeriksaan, yaitu pemeriksaan
lesi secara klinis melalui pemeriksaan fisik, nasofaringoskopi, dan pencitraan. Jenis pencitraan
yang biasanya dilakukan adalah CT-scan dibandingkan dengan MRI. MRI dapat digunakan
untuk melihat status jaringan lunak (fibrosis, inflamasi, lesi sisa, serta lesi baru). Hasil
pemeriksaan tersebut diinterpretasikan berdasarkan kriteria Response Evaluation Criteria in
Solid Tumor (RECIST). Evaluasi respon terapi dilakukan setiap 6-8 minggu sekali.24-5
Respon terapi dalam kriteria RECIST dibagi menjadi:24
• Complete response (CR): Hilangnya seluruh lesi target
• Partial Response (PR): Penurunan ukuran lesi target >30%
• Progressive Disease (PD): Penurunan ukuran lesi target >20%

33
• Stable Disease (SD): Penurunan ukuran <20%.
Neoplasma yang muncul kembali dalam waktu <6 bulan setelah CR disebut dengan
residif. Jika muncul dalam waktu >6 bulan setelah CR, maka disebut dengan rekuren. Pada
pasien dengan respon terapi CR, perlu dilakukan evaluasi secara berkala setiap 3 bulan sekali.

34
BAB III
DISKUSI

Pasien datang dengan keluhan benjolan di leher kiri muncul kembali sejak 7 bulan
SMRS. Dari keluhan tersebut dipikirkan diferensial diagnosis inflamasi, infeksi, neoplasma,
metabolik, autoimun, dan trauma. Pada pasien ditemukan keluhan rhinorea dan beberapa kali
berwarna merah, kongesti hidung, tinitus, pendengaran berkurang, nyeri kepala, sulit menelan,
serta pembengkakan leher. Pada pasien juga terdapat penurunan berat badan dan cepat capek.
Sedangkan keluhan otalgia, telinga terasa penuh, mimisan, anosmia/hiposmia, kebas pada
wajah, diplopia, ptosis, sulit membuka mulut, nyeri pada tulang, dan sesak napas disangkal
oleh pasien. Dari anamnesis juga didapatkan keluhan demam, nyeri menelan, batuk lama, dan
riwayat trauma disangkal. Dari hasil anamnesis tersebut dapat disimpulkan diferensial
diagnosis infeksi, metabolik, autoimun, dan trauma dapat disingkirkan. Pasien juga
mengatakan bahwa pasien sudah pernah dibiopsi dan menjalani kemoterapi sebanyak 6 kali.
Dari riwayat penyakit sekarang dapat diambil diagnosis kerja karena neoplasma.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan telinga dalam batas normal, hidung dalam batas
normal, mulut didapatkan arkus faring kiri tidak simetris. Pemeriksaan garpu tala didapatkan
Rinne +/+, Weber lateralisasi kiri, Scwabach telinga kiri memanjang. Pada leher didapatkan
massa multiple, di level II, III, IV, dan V, dengan ukuran terbesar 6 cm. Sementara hasil
pemeriksaan penunjang didapatkan biopsi didapatkan hasil sesuai karsinoma nasofaring, hasil
MSCT dan MRI didapatkan karsinoma nasofaring progresivitas limfadenopati dengan
destruksi basis kranii kiri. Hasil pemeriksaan foto toraks, USG Abdomen, dan bone scan
didapatkan kesan normal tidak ada kelainan sehingga metastasis jauh dapat disingkirkan.

Pada pasien ini terdapat faktor risiko yang berkaitan dengan kejadian kanker nasofaring
yaitu faktor jenis kelamin laki-laki yang meningkatkan risiko 2-3 kali lipat lebih tinggi, ras
Mongoloid, kebiasaan hidup berupa riwayat menjadi perokok berat yang dapat meningkatkan
risiko 2-4 kali lipat. Selain itu, pasien sering mengkonsumsi makanan yang mengandung
pengawet yang dapat menjadi karsinogen terjadinya karsinoma nasofaring.

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat disimpulkan
diagnosis pasien ini karsinoma nasofaring rekuren. Pada pasien ini didapatkan T4, N2, M0
sehingga termasuk stadium IVa.

35
Pada kasus ini, pasien didiagnosis awal KNF pada tahun 2015 sebagai KNF stadium IVC
(riwayat metastasis tulang belakang) dan telah menjalani kemoterapi cisplatin, docetaxel, dan
5-FU sebanyak 6 siklus pada bulan Juni – Desember 2016 dengan hasil evaluasi complete
response. Pada Agustus 2017, timbul kembali massa nasofaring dengan progresifitas
limfadneopati. Pasien menjalani kemoterapi lini kedua namun tidak response.

Terapi awal yang didapatkan pasien telah tepat, sesuai protokol tata laksana KNF stadium
IVC, yaitu kemoterapi lini pertama dengan cisplatin, docetaxel, dan 5-FU. Saat ini pasien
mengalami KNF rekuren, maka perlu dilakukan re-staging tumor pasien. Terapi untuk pasien
didasarkan pada staging tumor sesuai dengan protokol panduan tata laksana KNF rekuren.

Prognosis pada pasien ini dapat diperkirakan dengan beberapa indikator. Prognosis
pasien ini dinyatakan dengan angka kelangsungan hidup dalam 5 tahun. Indikator yang pertama
yaitu stadium, pada pasien ini termasuk stadium IVa yang memiliki prognosis 42%. Jenis
histologi pasien ini didapatkan jenis KNF WHO tipe 3 yang memiliki prognosis 72%. Usia
muda dan status gizi pasien yang baik juga menambah prognosis baik, terutama karena
toleransi terhadap kemoterapi dan kemoradiasi yang lebih baik.

36
BAB IV
KESIMPULAN

Pasien laki-laki usia 22 tahun datang dengan keluhan benjolan di leher kiri muncul
kembali sejak 7 bulan SMRS. Pasien memiliki riwayat KNF stadium IVa dan telah menjalani
kemoterapi selama 6 siklus dengan hasil complete response. Berdasarkan hasil pemeriksaan
sebelumnya di RS Dharmais, pasien didiagnosis sebagai KNF stadium IVa rekuren. Namun,
untuk memastikan stadium kanker pasien saat ini perlu dilakukan evaluasi hasil pemeriksaan
dan sediaan biopsi terakhir. Tata laksana yang diberikan untuk pasien ini sesuai dengan stadium
kanker (menunggu hasil evaluasi ulang).

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy & Physiology. 13th Ed. Danver: John
Wiley & Sons. 2009. p620-5
2. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Hidung. In Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga Hidung Tenggorok Kepala
& Leher. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2012. p96-9
3. Paulsen F, Waschke J. Sobotta: Atlas anatomi manusia. 23rd ed. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran. 2010. p58-5, 176-8
4. Roezin A. Sistem aliran limfa leher. In Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti
RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI. 2012. p150-3
5. Chua MLK, Wee JTS, Hui EP, Chan ATC. Nasopharyngeal carcinoma. The Lancet. 2016;
387:1012-24
6. Roezin A, Adham M. Karsinoma Nasofaring. In Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,
Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2012. p158-66.
7. Tan L, Loh T. Benign and malignant tumors of the nasopharynx. In Cummings
Otolaryngology. 2015. Philadelphia: Elsevier. p1425-6.
8. Tan L, Loh T. Benign and Malignant Tumors of the Nasopharynx in Flint PW, et al.
Cummings Otolaryngology Head & Neck Surgery. 5th edition. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2010. P. 1352-1353.
9. Roezin A, Adham M. Karsinoma Nasofaring dalam Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin
J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hindung Tenggorok Kepala & Leher.
Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017. Hlm.
156-157.
10. Plant RL. Neoplasms of the Nasopharynx in Snow JB, Wackym PA. Ballenger’s
Otorhinolaryngology Heand and Neck Surgery. United States: BC Decker; 2009. p. 1083.
11. Saad S, Wang TJC. Nasopharyngeal carcinoma: current treatment optionts and future
directions. J Nasopharyng Carcinoma. 2014: 1(16); e16.
12. Bull TR. Color Atlas of ENT Diagnosis. 4th edition. New York: Thieme Stuttgart; 2003.
P. 162.

38
13. Adham M, Gondhowiardjo S, Soediro R, jack Z, Lisnawati, Witjaksono F, dkk. Panduan
penatalaksanaan kanker nasofaring. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia: 2017.
14. Spano JP, Busson P, Atlan D, Bourhis J, Pignon JP, Esteban C, et all. Nasopharyngeal
carcinoma: an update. European Journal of Cancer. 2003;39(1): p. 2121-35.
15. Sivanandan R, Fee WE. Benign and malignant tumors of the nasopharynx. In: Cummings
C, Flint PW, Haughey BH, Robbins KT, Thomas JR, Harker LA, et all. Cumings
otolaryngology head and neck surgery. 4th ed.Elsevier. 2007.
16. Cummings CW, Flint PW, Harker LA, Haughey BH, Richardson MA, Robbins KT, et.al.
Cummings otolaryngology head & neck surgery. 4th ed. USA: Elsevier Mosby; 2005.
Chap.73.
17. Wildeman MA, Fles R, Herdini C, Indrasari RS, Vincent AD, Tjokronagoro M, et. al.
Primary treatment result on nasopharyngeal carcinoma (NPC) in Yogyakarta, Indonesia.
Plos One. 2013; 8(5).
18. Stevenson MM. Nasopharyngeal cancer treatment [Internet]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/2047748-overview. Accessed Mar 25th, 2018.
19. Xu T, Tang J, Gu M, Liu L, Wei W, Yang H. recurrent nasopharyngeal carcinoma: a
clinical dilemma and challenge. Curr Oncol. 2013; 20. P.e406-19.
20. Leu Y, Chang Y, Lee J, Lo A, Chen Y, Chen H. Prognosis of Nasopharyngeal Carcinoma
in the Elderly is Worse than in Younger Individuals e Experience of a Medical Institute q.
Int J Gerontol. 2014;8(2):81-84.
21. Adham M, AN K, AI M, et al. Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia: epidemiology,
incidence, signs, and symptoms at presentation.
Chin J Cancer. Feb 2012
22. Kademani D, August M. Chapter 47: Neck Mass: Diagnosis and Management, In: Current
Therapy In Oral and Maxillofacial Surgery. Philadelphia: Elsevier. 2012; p.372–379
23. Roseman B, Clark OH. Neck mass. In: ACS surgery: Principle and practice. BC Decker
Inc; 2008.
24. Eisenhauer EA, Therasse P, Bogaerts J, Schwartz LH, Sargent D, Ford R et al. New
response evaluation criteria in solid tumours: Revised RECIST guideline (version 1.1).
European Journal of Cancer. 2009;45(2):228-247.
25. Feryel L, Yosra B, Mouna A, Khadija M, Amina M, Yosra Y et al. Complete Clinical
Response after Induction Chemotherapy Followed by Chemoradiotherapy in

39
Nasopharyngeal Carcinoma: Impact on Oncologic Outcomes. Journal of Cancer science
and Clinical Oncology. 2017;4(2).

40

Anda mungkin juga menyukai